repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/gadis... · ii...

181
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA PASIEN PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP SALAH SATU RUMAH SAKIT DAERAH BANGKA SKRIPSI Gadis Fujiastuti NIM: 1112102000062 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2016

Upload: dangthuan

Post on 03-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA PASIEN PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT

INAP SALAH SATU RUMAH SAKIT DAERAH BANGKA

SKRIPSI

Gadis Fujiastuti

NIM: 1112102000062

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2016

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

ii  

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA PASIEN PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT

INAP SALAH SATU RUMAH SAKIT DAERAH BANGKA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

Gadis Fujiastuti

NIM: 1112102000062

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2016

 

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

iii  

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Gadis Fujiastuti NIM : 112102000062 Tanda Tangan :

Tanggal : 10 Oktober 2016  

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN
Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

vi  

ABSTRAK Nama : Gadis Fujiastuti Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pasien Pediatri Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular pada pediatri. ISPA terutama terjadi di negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah termasuk Indonesia. Menurut hasil Riskesdas 2013 periode prevalensi ISPA pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu sebesar 25,8 % dan kelompok umur 5-14 tahun adalah 15,4 %. Kejadian masalah terkait obat (DRPs) lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kejadian dari DRPs yang meliputi ketidaktepatan dosis yaitu dosis kurang dan dosis lebih, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, potensial interaksi serta ketidaktepatan pemilihan obat pada terapi pengobatan infeksi saluran pernafasan akut pada pasien pediatri di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka tahun 2015. Penelitian ini bersifat retrospektif dimana data diperoleh melalui data sekunder berupa rekam medis pasien periode Januari-Desember 2015 dengan desain penelitian cross-sectional. Teknik pengambilan data berupa total sampling, didapatkan 80 sampel yang sesuai kriteria inklusi. Hasil penelitian Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi adalah dosis rendah sebanyak 60 %, dosis tinggi sebanyak 12,5 %, obat tanpa indikasi sebanyak 5 %, ketidaktepatan pemilihan obat sebanyak 2,5 % dan potensi interaksi obat sebanyak 56,3 %, serta tidak terdapat DRPs kategori indikasi tanpa obat. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya peranan apoteker dalam melakukan pemantauan terapi obat pasien untuk meminimalisir terjadinya DRPs.

Kata Kunci : Drug Related Problems (DRPs), ISPA, Pediatri, Rawat Inap Salah

Satu Rumah Sakit Daerah Bangka

 

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

vii  

ABSTRACT

Name : Gadis Fujiastuti Program Study : Pharmacy Title : Evaluation Of Drug Related Problems (DRPs) In

Paediatric Patients With Acute Respiratory Tract Infections At One of General Hospital In Bangka

Acute respiratory infections (ARI) is a major cause of morbidity and mortality in paediatric infectious diseases. ARI is common in countries with low and middle income per capita, including Indonesia. According to the 2013 basic health research report period of ARI prevalence in the age group 1-4 years is 25.8 % and the age group 5-14 years is 15.4 %. The incidence of DRPs is more common in paediatric than adults. Drug Related Problems (DRPs) is an event that unexpected from the experience of patients therapies or suspected due to unsuccessfully of drug therapies. The purpose of this research is to know the total incidence number of DRPs categories, which the under dose, high dose, drug without indication, indication without drug, potential drug interaction, and wrong drug in medical therapy of paediatric patients with acute respiratory infection in installation inpatient at one of general hospital in Bangka. This study is a retrospective where the data was obtained through secondary data from medical records of patients in the period from January to December 2015 with a cross-sectional study design. Data collection techniques using total sampling, obtained 80 samples of corresponding study inclusion criteria. The results of Drug Related Problems (DRPs) that occurs is under dose (60 %), high dose (12,5 %), drugs without indication (5 %), wrong drug (2,5 %) and potential drug interaction (56.3 %), and there is not finding indication without drugs in patients. Therefore, the role of pharmacist is important for monitoring patient drug therapy to minimize the occurrence of DRPs.

Keywords : ARI (Acute Respiratory Infections), Drug Related Problems (DRPs), Inpatient At One of General Hospital In Bangka

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

viii  

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan

rahmat, karunia serta nikmat Iman dan islam yang tak terhingga. Shalawat serta

salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas

limpahan cinta dan kasihNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pasien Pediatri Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu

Rumah Sakit Daerah Bangka”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan

terwujud dan berjalan lancar tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan doa dari

berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Yardi, Ph.D, Apt. dan Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc., Apt. selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam

penelitian ini juga untuk kesabaran dalam membimbing, memberikan saran,

dukungan serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga

terselesaikannya skripsi ini.

2. Dr. Arief Sumantri, S.KM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Bapak Supandi, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing akademik Farmasi kelas

C tahun ajaran 2012. Serta seluruh pihak dosen pengajar Program Studi

Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta atas ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan.

5. Ibu dr. Hj. Dede Lina Lindayanti, MKM, dr. Bayu, Ibu Rokimah, M.Farm, Apt.

dan Ibu Titin serta seluruh civitas di salah satu rumah sakit daerah Bangka yang

telah memberikan kesempatan dan membantu kelancaran dalam melakukan

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

ix  

penelitian dan pengambilan data serta memberikan dukungan yang sangat

besar.

6. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Trian Gusrianto dan ibunda Winarmi yang

tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil,

cinta, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga

saat ini.

7. Kedua adik tersayang Rani Dwi Ramadaningsih dan M. Glenn Al-Khalif, serta

seluruh keluarga besar atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis.

8. Endang Suryani, Moethia, Risha Natasya, Nisa Utami Dewi, Zakiyah Zahra N.

A., Khoirunnisak, Lailatul Khotimah atas kebersamaan, persaudaraan,

persahabatan, doa, semangat, dukungan, serta selalu menemani dan

mendengarkan penulis.

9. Teman seperjuangan penelitian Annissa Fadilla Martha yang selalu menemani

dan memberikan masukan, bantuan, kesabaran, serta semangat selama masa

penelitian hingga penyusunan skripsi.

10. Kak Randika yang selalu membantu dan memberikan masukan serta saran

kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.

11. Teman-teman Farmasi 2012 khususnya Farmasi 2012 kelas AC atas

kebersamaan, serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan.

12. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan

penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu.

Kesempurnaan hanya milik Allah, begitu pula dengan skripsi ini. Dengan segala

kerendahan hati penulis berharap kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan

penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.

Ciputat, 10 Oktober 2016

Gadis Fujiastuti

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

x  

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Gadis Fujiastuti

NIM : 1112102000062 Program Studi : Farmasi Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis karya : Skripsi

demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA PASIEN PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP SALAH SATU RUMAH SAKIT

DAERAH BANGKA

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : 10 Oktober 2016

Yang menyatakan,

(Gadis Fujiastuti)

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xi  

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .......................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... v

ABSTRAK ..................................................................................................... vi

ABSTRACT .................................................................................................. vii

KATA PENGANTAR ................................................................................. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................ x

DAFTAR ISI .................................................................................................. xi

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xviii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix

DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... xx

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 4

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 4

1.3.1. Tujuan Umum ................................................................ 4

1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................... 4

1.4. Manfaat hasil Penelitian ........................................................... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6

2.1. Literatur Review ........................................................................ 6

2.2. Drug Related Problem (DRPs) ................................................ 10

2.2.1 Klasifikasi Drug Related Problems ............................. 10

2.2.1.1 Ketidaktepatan Pemilihan Obat (Salah Obat) .. 11

2.2.1.2 Dosis Rendah ................................................... 11

2.2.1.3 Dosis Tinggi ..................................................... 11

2.2.1.4 Indikasi Tanpa Obat ......................................... 12

2.2.1.5 Obat Tanpa Indikasi ......................................... 12

2.2.1.6 Reaksi Obat yang Merugikan .......................... 12

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xii  

2.2.1.7 Ketidakpatuhan Pasien ..................................... 15

2.3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ................................ 16

2.3.1. Definisi ISPA ............................................................... 16

2.3.2. Klasifikasi ISPA .......................................................... 17

2.3.3. Tonsilitis ...................................................................... 20

2.3.3.1 Faktor Resiko ................................................... 21

2.3.3.2 Patofisiologi ..................................................... 22

2.3.3.3 Gejala Tonsilitis ............................................... 23

2.3.3.4 Pemeriksaan ..................................................... 23

2.3.3.5 Penatalaksanaan ............................................... 25

2.3.4. Faringitis ...................................................................... 26

2.3.4.1 Faktor Resiko ................................................... 27

2.3.4.2 Patofisiologi ..................................................... 27

2.3.4.3 Gejala Faringitis ............................................... 28

2.3.4.4 Pemeriksaan ..................................................... 29

2.3.4.5 Penatalaksanaan ............................................... 30

2.3.5. Bronkitis ...................................................................... 31

2.3.5.1 Faktor Resiko ................................................... 32

2.3.5.2 Patofisiologi ..................................................... 32

2.3.5.3 Gejala Bronkitis ............................................... 33

2.3.5.4 Pemeriksaan ..................................................... 33

2.3.5.5 Penatalaksanaan ............................................... 34

2.3.6. Bronkhiolitis ................................................................ 36

2.3.6.1 Faktor Resiko ................................................... 37

2.3.6.2 Patofisiologi ..................................................... 37

2.3.6.3 Gejala Bronkhiolitis ......................................... 39

2.3.6.4 Pemeriksaan ..................................................... 39

2.3.6.5 Penatalaksanaan ............................................... 40

2.3.7. Pneumonia ................................................................... 42

2.3.7.1 Faktor Resiko ................................................... 44

2.3.7.2 Patofisiologi ..................................................... 44

2.3.7.3 Gejala Pneumonia ............................................ 45

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xiii  

2.3.7.4 Pemeriksaan ..................................................... 46

2.3.7.5 Penatalaksanaan ............................................... 47

2.3.8. Tuberkulosis ................................................................ 51

2.3.8.1 Faktor Resiko ................................................... 51

2.3.8.2 Patofisiologi ..................................................... 52

2.3.8.3 Gejala Tuberkulosis ......................................... 54

2.3.8.4 Pemeriksaan ..................................................... 55

2.3.8.5 Penatalaksanaan ............................................... 57

2.4. Rumah Sakit ............................................................................ 61

2.5. Pelayanan Farmasi Klinis Di Rumah Sakit ............................. 62

2.6. Rekam Medis ........................................................................... 63

2.7. Terapi Obat Berkaitan Dengan Karakteristik Pasien Pediatri . 64

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................. 70

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 70

3.1.1. Tempat Penelitian ......................................................... 70

3.1.2. Waktu Penelitian .......................................................... 70

3.2. Desain Penelitian ..................................................................... 70

3.3. Kerangka Konsep .................................................................... 71

3.4. Variabel Penelitian .................................................................. 72

3.4.1. Variabel Independen ..................................................... 72

3.4.2. Variabel Dependen ....................................................... 72

3.5. Definisi Operasional ................................................................ 73

3.6. Populasi dan Sampel Penelitian............................................... 76

3.6.1. Populasi ........................................................................ 76

3.6.2. Sampel .......................................................................... 76

3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian .................................. 77

3.7.1. Kriteria Inklusi ............................................................. 77

3.7.2. Kriteria Eksklusi ........................................................... 77

3.8. Cara Pengumpulan Data .......................................................... 77

3.9. Instrumen Penelitian ................................................................ 77

3.10 Prosedur Penelitian .................................................................. 78

3.10.1. Bagan Alur Penelitian ............................................... 78

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xiv  

3.10.2. Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) ................... 78

3.10.3. Pelaksanaan Pengumpulan Data ............................... 78

3.10.3.1. Penelusuran Dokumen ............................... 78

3.10.4. Manajemen Data ....................................................... 79

3.10.5. Pengolahan Data ....................................................... 79

3.10.6. Rencana Analisis Data .............................................. 80

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 81

4.1. Hasil ........................................................................................ 81

4.1.1. Karakteristik Pasien .................................................. 81

4.1.1.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit

.................................................................................. 81

4.1.1.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia .................... 82

4.1.1.3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ..... 82

4.1.1.4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta

.................................................................................. 83

4.1.2. Profil Penggunaan Obat ........................................... 84

4.1.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi ................................ 84

4.1.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral ................................... 84

4.1.2.3. Profil Penggunaan Obat Inhalasi .............................. 85

4.1.2.4. Profil Penggunaan Obat Luar ................................... 85

4.1.3. Jumlah Penggunaan Obat ......................................... 86

4.1.4. Drug Related Problems (DRPs) ............................... 86

4.1.4.1. DRPs Kategori Dosis Rendah .................................. 87

4.1.4.2. DRPs Kategori Dosis Tinggi .................................... 88

4.1.4.3. DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat ........................ 89

4.1.4.4. DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi ........................ 89

4.1.4.5. DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat ..................... 89

4.1.4.6. DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat ...... 91

4.2. Pembahasan ............................................................................. 91

4.2.1. Karakteristik Pasien .................................................. 91

4.2.1.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit

.................................................................................. 91

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xv  

4.2.1.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia .................... 92

4.2.1.3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ..... 93

4.2.1.4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta

.................................................................................. 95

4.2.2. Profil Penggunaan Obat ........................................... 98

4.2.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi ................................ 98

4.2.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral ................................. 101

4.2.2.3. Profil Penggunaan Obat Inhalasi ............................ 105

4.2.2.4. Profil Penggunaan Obat Luar ................................. 106

4.2.3. Jumlah Penggunaan Obat ....................................... 107

4.2.4. Drug Related Problems (DRPs) ............................. 108

4.2.4.1. DRPs Kategori Dosis Rendah ................................ 109

4.2.4.2. DRPs Kategori Dosis Tinggi .................................. 111

4.2.4.3. DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat ...................... 113

4.2.4.4. DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi ...................... 113

4.2.4.5. DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat ................... 114

4.2.4.6. DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat .... 115

4.3. Keterbatasan Penelitian ......................................................... 116

4.3.1. Kendala .................................................................... 116

4.3.2. Kelemahan ............................................................... 116

4.4. Kekuatan Penelitian ............................................................... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 117

5.1. Kesimpulan ............................................................................ 117

5.2. Saran ...................................................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 119

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xvi  

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Terapi Awal Pada Bronkitis ......................................................... 36

Tabel 2.2 Agen Penyebab Infeksi Virus D Saluran Napas Pada Anak ........ 36

Tabel 2.3 Dugaan Bakteri Penyebab Pneumonia ........................................ 43

Tabel 2.4 Antibiotika Pada Terapi Pneumonia ............................................ 48

Tabel 2.5 Sistem Skoring Tb Anak .............................................................. 56

Tabel 2.6 Dosis Obat Tb Rekomendasi Dosis Dalam Mg/Kgbb ................. 58

Tabel 2.7 OAT KDT Pada Anak .................................................................. 61

Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional dari Variabel dalam Penelitian ........ 73

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit 82

Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia ....................... 82

Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ........ 83

Tabel 4.4 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta . 83

Tabel 4.5 Distribusi Profil Penggunaan Obat Injeksi Pada Pasien Pediatri

Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka

..................................................................................................... 84

Tabel 4.6 Distribusi Profil Penggunaan Obat Oral Pada Pasien Pediatri Di

Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka ... 85

Tabel 4.7 Distribusi Profil Penggunaan Obat Inhalasi Pada Pasien Pediatri

Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka

..................................................................................................... 85

Tabel 4.8 Distribusi Profil Penggunaan Obat Luar Pada Pasien Pediatri Di

Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka ... 86

Tabel 4.9 Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Pada Pasien Pediatri Di

Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka ... 86

Tabel 4.10 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Dosis

Rendah Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi Rawat

Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. ............................ 88

Tabel 4.11 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian Ketidaktepatan Durasi

Pemberian Antibiotik Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di

Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. .. 88

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xvii  

Tabel 4.12 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Dosis

Tinggi Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi Rawat

Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. ............................ 89

Tabel 4.13 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Obat

Tanpa Indikasi Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi

Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. ................. 89

Tabel 4.14 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Potensi

Interaksi Obat Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi

Rawat Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. ......................... 90

Tabel 4.15 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Potensi

Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan. ......................... 90

Tabel 4.16 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian Jenis Obat Terbanyak

Yang Mengalami DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat

Berdasarkan Tingkat Keparahan. ................................................. 91

Tabel 4.17 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori

Ketidaktepatan Pemilihan Obat Pada Pasien Pediatri Penderita

ISPA Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah

Bangka. ........................................................................................ 91

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xviii  

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Tonsil .......................................................................... 20

Gambar 2.2 Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Sarana Pelayanan

Kesehatan Dasar ........................................................................ 59

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian .......................................... 71

Gambar 4.1 Persentase Jumlah Kejadian DRPs Pasien Pediatri Penderita

ISPA Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah

Bangka ....................................................................................... 87

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xix  

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Pengambilan Data dan Penetian Dari

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta .................................................................. 127

Lampiran 2. Surat Persetujuan Izin Pengambilan Data dan Penetian Dari

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta .................................................................. 128

Lampiran 3. Rekapitulasi 5 Data Pasien dari 80 Sampel Penelitian .............. 129

Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori Dosis

Rendah dan Dosis Tinggi yang Paling Banyak ......................... 135

Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori Obat Tanpa

Indikasi ....................................................................................... 147

Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori Potensi

Interaksi yang Paling Banyak .................................................... 150

Lampiran 7. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori

Ketidaktepatan Pemilihan Obat ................................................. 155

Lampiran 8. Data Koding Pasien Berdasarkan Kategori DRPs ..................... 157

Lampiran 9. Hasil Analisis SPSS (Statistical Package for the Social

Sciences) 22.0 ............................................................................ 160

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

xx  

DAFTAR ISTILAH

ADR : Adverse Drug Reactions

AIDS : Acquired Immune Deficiency

Syndrome

ARI : Acute Respiratory Infections

BCG : Bacille Calmette-Guérin

BTA : Bakteri Tahan Asam

CAP : Community Acquired

Pneumonia

CMV : Citomegalovirus

DRPs : Drug Related Problems

EBV : Epstein Barr Virus

EMB : Etambutol

GAS : Group A Streptococcus

Hb : Hemoglobin

HIV : Human Immune Virus

HSV : Herpes Simplex Virus

ICU : Intensive Care Unit

INH : Isoniazid

ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan

Akut

MDR : Multi Drug Resistance

OAT : Obat Anti TB

P2-ISPA : Program Pemberantasan

Infeksi Saluran

Pernapasan Akut

PMN : Polymorphonuclear

Neutrophilic Leukocyte

PZA : Pirazinamid

RIF : Rifampisin

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RSUD : Rumah Sakit Umum

Daerah

RSV : Respiratory Synctial Virus

TB : Tuberkulosis

UKG : Ultra Korte Golf

CRP : C-Reactive Protein

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit yang

banyak diderita oleh masyarakat umum yang meliputi infeksi akut saluran

pernafasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernafasan bagian bawah

(Depkes, 2005). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di negara sedang

berkembang merupakan penyebab kematian tersering pada anak (WHO,

2003). Penyakit ISPA sering terjadi pada anak karena sistem pertahanan tubuh

anak masih rendah. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia

diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang balita rata-rata

mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Depkes RI,

2002). Insidens menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode

per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di

negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru

di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7 %) terjadi di negara

berkembang. (Depkes, 2012). Di Indonesia terdapat sekitar 10 juta episode

ISPA yang terjadi pada anak-anak (Rudan et al Bulletin WHO, 2008).

Menurut data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013

dinyatakan bahwa periode prevalensi nasional ISPA di Indonesia yaitu

25 %. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada

kelompok umur 1-4 tahun yaitu sebesar 25,8 %. Sedangkan periode

prevalensi ISPA pada anak usia 5-14 tahun adalah 15,4 % (Riskesdas,

2013) dan persentase ini meningkat jika dibandingkan dengan periode

prevalensi ISPA pada tahun 2007 yaitu sebesar 9,2 % (Riskesdas, 2007).

Periode prevalensi ISPA di provinsi Bangka Belitung pada pasien yang

hanya terdiagnosis adalah 9,2 % dan pasien yang terdiagnosis serta

menunjukkan gejala yaitu 23,4 % (Riskesdas, 2013). Sedangkan untuk

prevalensi pneumonia pada balita menurut data statistik Riskesdas 2013

provinsi Bangka Belitung menduduki urutan tertinggi ke 3 setelah Nusa

Tenggara Timur dan Aceh dengan persentase 34,8 %. Menurut data dari

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tengah tahun 2014 penyakit ISPA

merupakan salah satu dari 10 penyakit yang paling banyak dan menempati

urutan pertama dengan jumlah kasus sebanyak 13.134 yang terdiri dari 6205

kasus pada laki-laki dan 6929 kasus pada perempuan. Pada tahun 2014,

jumlah kasus pneumonia pada balita adalah 878 anak dari 19.030 balita.

(Dinkes Kabupaten Bangka Tengah, 2014)

Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang

tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat

sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang

dikehendaki (Cipolle et al., 1998). Obat dikatakan rasional jika

penggunaannya tepat, efektif, aman dan ekonomis (IONI, 2008). Menurut

Cipolle et al., (1998) Drug Related Problems (DRPs) dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu kurang dosis, dosis lebih,

salah obat, terapi yang tidak perlu, efek samping yang merugikan, butuh

terapi tambahan serta kepatuhan pasien. Berdasarkan data dari Medication

Management System dari 22.694 pasien yang menerima pengobatan

terdapat 88.556 kasus DRP yang terbagi atas 58,3 % pasien yang

membutuhkan terapi tambahan, 13,5 % menerima terapi yang tidak perlu,

19,1 % pasien membutuhkan terapi yang berbeda, 36,6 % pasien

mendapatkan terapi dengan dosis rendah, 14,6 % pasien mendapatkan

terapi dengan dosis tinggi, 26,5 % pasien mengalami efek samping obat

yang tidak diinginkan dan 28 % terkait masalah ketidakpatuhan pasien

(Cipolle et al., 1998).

Pengobatan yang efektif dan efisien dengan memberikan obat secara

rasional pada pasien ISPA merupakan hal yang penting untuk mengontrol

meningkatnya jumlah penderita ISPA pada pasien anak-anak. Namun pada

kenyataannya masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam pemberian obat

kepada pasien terutama pada pasien anak-anak, sehingga hal ini memicu

terjadinya permasalahan terkait obat (Drug Related Problems). Hal ini

dibuktikan melalui penelitian mengenai DRPs pada pasien anak penderita

ISPA di instalasi rawat inap rumah sakit “X” Surakarta pada tahun 2012,

dimana sebanyak 100 pasien anak yang memenuhi kriteria inklusi

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

menunjukkan kejadian DRPs kategori interaksi obat sebanyak 51 kasus

(43,59 %), dosis kurang sebanyak 40 kasus (34,19 %), dosis lebih

sebanyak 26 kasus (22,2 %) dan tidak ditemukannya DRPs kategori obat

salah dari total obat yang dianalisis. Kejadian kesalahan dalam pengobatan

serta resiko kesalahan yang serius lebih sering terjadi pada anak dibanding

pada orang dewasa. (Istikomah, 2013). Hal itu disebabkan dengan masalah

perhitungan dosis, tidak adanya standar dosis bagi pasien anak, tidak

terdapat bentuk sediaan dan formulasi yang sesuai serta penggunaan

indikasi maupun dosis obat secara off-licence (Prest, 2003).

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian DRPs

pada pasien masih terjadi pada anak-anak. Oleh karena itu, pentingnya

pendidikan untuk dokter dan tenaga medis tentang farmakologi dan

farmakokinentik pada anak-anak harus diterapkan untuk peresepan obat

(Rashed et al., 2012). Selain itu farmasis juga harus memiliki pengetahuan

tentang penggunaan obat pada anak-anak agar dapat memberikan saran

yang tepat bagi dokter, perawat, ataupun tenaga medis lainnya maupun

orang tua anak (Prest, 2003).Hal ini dilakukan untuk meminimalisir

terjadinya DRPs pada pasien terutama pada pasien anak-anak penderita

ISPA. Menurut Permenkes RI No. 58 tahun 2014 tentang standar

pelayanan kefarmasian di rumah sakit disebutkan bahwa  pelayanan

kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi,

mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Selain itu dijelaskan

juga bahwa adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi

kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi

pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian

(pharmaceutical care).  Hal ini bermaksud untuk meningkatkan kualitas

hidup pasien serta meminimalisir terjadinya kesalahan dalam pengobatan

atau yang dikenal dengan kejadian DRPs. Oleh karena itu, penelitian ini

dilakukan untuk mengevaluasi terapi ISPA pada pasien pediatri di salah

satu rumah sakit daerah Bangka terhadap kemungkinan terjadinya Drug

Related Problems (DRPs).

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Permasalahan yang diambil dari penelitian ini adalah jenis Drug

Related Problems (DRPs) apa yang sering terjadi serta berapa jumlah

kejadian masing-masing DRPs tersebut dalam terapi ISPA di salah satu

rumah sakit daerah Bangka yang dilihat dari data rekam medik pasien.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Belum adanya penelitian terkait DRPs pada pasien ISPA di salah

satu rumah sakit daerah Bangka

1.2.2. Peneliti ingin mengetahui apakah terjadi DRPs pada pengobatan

ISPA untuk pasien pediatri di salah satu rumah sakit daerah Bangka

1.2.3. Peneliti ingin mengetahui kategori DRPs yang terjadi DRPs pada

pengobatan ISPA untuk pasien pediatri di salah satu rumah sakit

daerah Bangka serta berapa jumlah dan presentase kejadian dari

masing-masing kategori DRPs

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

Mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) kategori dosis rendah,

dosis tinggi, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, potensi interaksi obat

serta ketidaktepatan pemilihan obat pada pengobatan ISPA untuk pasien

pediatri di salah satu rumah sakit daerah Bangka

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui profil penggunaan obat yang digunakan pada

pasien pediatri penderita ISPA di salah satu rumah sakit daerah

Bangka yang diamati dari data rekam medik pasien

b. Untuk mengetahui jenis Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi

pada pasien pediatri penderita ISPA di salah satu rumah sakit daerah

Bangka dari 6 kategori DRPs yang diteliti

c. Untuk mengetahui jumlah dan persentase kejadian masing-masing

DRPs tersebut dalam pengobatan ISPA untuk pasien pediatri di salah

satu rumah sakit daerah Bangka

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan:

a. Dapat memberikan informasi mengenai permasalahan terkait obat

(Drug Related Problems) pada pengobatan ISPA untuk pasien pediatri

di salah satu rumah sakit daerah Bangka.

b. Dapat menjadi bahan pertimbangan, saran ataupun informasi bagi

dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya dalam meningkatkan

ketepatan indikasi, pemilihan obat, regimen dosis, dan lama

penggunaan obat pada pasien ISPA pediatri di salah satu rumah sakit

daerah Bangka sehingga diperoleh pengobatan yang efektif, aman,

dan efisien.

 

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

 

  6  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Pelayanan

kefarmasian pada saat ini telah diperluas orientasinya dari obat (drug oriented) ke

pasien (patient oriented) yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Pelayanan

Kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan

tujuan agar mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien

(Permenkes RI, 2014).

Farmasis dalam kaitannya dengan Pharmaceutical care harus memastikan

bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang tepat dan efisien serta aman. Hal ini

melibatkan tiga fungsi umum yaitu:

a. Mengidentifikasi DRPs yang terjadi dan yang potensial terjadi

b. Mengatasi DRPs yang terjadi

c. Mencegah terjadinya DRPs yang potensial terjadi. (Rovers et al,

2003)

2.1. Literatur Review

Berikut ini adalah beberapa penelitian-penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya terkait DRPs pada pasien pediatri penderita ISPA

serta data mengenai kejadian Medication Errors pada pasien pediatri yang

menjadi dasar peneliti untuk melakukan penelitian tentang DRPs pada

pasien ISPA di salah satu rumah sakit di Bangka.

a. Penelitian yang pertama mengenai DRPs pada pasien pediatri yang

dilakukan oleh Istikomah (2013) di instalasi rawat inap dari salah satu

rumah sakit di Surakarta pada tahun 2012. Penelitian ini bersifat non

eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif dan

pengambilan data secara retrospektif. Dari 138 kasus pasien ISPA

rawat inap, terdapat 100 kasus pasien pediatri yang memenuhi kriteria

inklusi, yaitu pasien pediatri umur 2-12 tahun yang tercatat menderita

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

7  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

ISPA meliputi sinusitis, faringitis, bronkhiolitis dan pneumonia, serta

pasien rawat inap yang mendapatkan terapi pengobatan di RS “ X “

Surakarta tahun 2012. Pengambilan data menggunakan teknik

purposive sampling. Analisis kejadian DRPs dilakukan dengan

membandingkan hasil dengan buku standar secara deskriptif. Hasil

penelitian dari 100 kasus pasien anak yang memenuhi kriteria inklusi

menunjukkan kejadian DRPs kategori interaksi obat sebanyak 51

kasus (43,59 %), dosis kurang sebanyak 40 kasus (34,19 %), dosis

lebih sebanyak 26 kasus (22,22 %), dan tidak ditemukannya kategori

DRPs obat salah dari total obat yang dianalisis.

b. Penelitian yang kedua dilakukan oleh Dewi (2012) tentang studi

prevalensi drug related problem (DRPs) terapi penyakit ISPA pada

pasien pediatri yang dilakukan di salah satu rumah sakit di daerah

Yogyakarta periode Januari – Desember 2010. Prevalensi drug related

problem (DRPs) yang diamati adalah kategori pemilihan obat yang

tidak tepat, ketidaktepatan dosis dan interaksi obat pada terapi

penyakit ISPA pada pasien pediatri. Metode penelitian dilakukan

dengan menggunakan rancangan studi cross sectional dengan

pengumpulan data secara retrospektif di unit rekam medis. Penilaian

prevalensi DRPs menggunakan literatur yang sesuai. Hasil penelitian

dari 119 pasien menunjukkan bahwa 52,52 % kasus pemilihan

antibiotik yang tidak tepat, 5,45 % kasus pemilihan obat yang tidak

tepat, 0,25 % kasus ketidaktepatan dosis dan 6,72 % kasus interaksi

obat yang terjadi pada pasien pediatri di RS X daerah Yogyakarta.

c. Penelitian ketiga dilakukan oleh Dwiprahasto (2005: 204-211) tentang

studi penggunaan obat untuk ISPA pada anak usia kurang dari 10

tahun. Penelitian ini dilakukan di praktek dokter umum dan seluruh

apotek di Provinsi DIY. Dengan rancangan studi cross sectional,

untuk data pasien dan pengukuran kecepatan respirasi dikumpulkan

dari praktek swasta sedangkan data peresepan dikumpulkan dari

seluruh apotek di Provinsi DIY. Hasil dari penelitian ini diperoleh data

bahwa 60 % anak dengan ISPA mendapat obat dengan dosis yang

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

8  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

tidak tepat, yaitu dosis berlebih sebanyak 27,51 % dan dosis kurang

41,12 %. Pemberian obat dalam sediaan yang tidak tepat ditemukan

pada 24,07 % resep. Selain itu pada penelitian ini juga ditemukan

bahwa seperlima penderita ISPA mendapat obat dengan frekuensi

pemberian yang keliru.

d. Penelitian keempat dilakukan oleh Rashed, et al (2013: 873-879)

dengan judul penelitian Epidemiology And Potential Risk Factors Of

Drug-Related Problems In Hong Kong Paediatric Wards, dimana

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui epidemiologi dan

mengidentifikasi faktor risiko DRPs pada anak-anak dirawat di rumah

sakit di Hong Kong. Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif

pada anak usia 0-18 tahun yang dirawat di bangsal medis, unit

perawatan intensif anak atau unit perawatan intensif neonatal dari

tujuh rumah sakit di Hong Kong, selama periode 3 bulan. Grafik

pasien, catatan medis dan data laboratorium dicek setiap hari untuk

mengidentifikasi DRPs. Berdasarkan penelitian diperoleh 329 anak-

anak (usia rata-rata 2 tahun, kisaran interkuartil 0 bulan-9 tahun) yang

memenuhi kriteria inklusi, terdapat 82 DRPs yang terjadi pada 69

pasien. DRPs yang paling banyak terjadi adalah kategori

ketidaktepatan dosis (n= 35; 42,7 %), diikuti masalah ketidaktepatan

pemilihan obat (n= 19; 23,2 %) dan reaksi obat merugikan (n= 11;

13,4 %).

e. Penelitian kelima dilakukan oleh Nori, et al (2014: 534-538) dengan

judul penelitian Drug Related Problems in Sulaimani Pediatric

Teaching Hospital, Iraq. Penelitian ini bersifat prospektif yang

meneliti tentang masalah terkait obat (DRPs) di Rumah Sakit Anak

Pendidikan Sulaimani, daerah Kurdistan, Irak. Resep obat dari dokter

terbaru yang dievaluasi dari tanggal 6 Februari-10 Juni 2013. Dengan

menggunakan kuesioner khusus yang terstandar untuk

mengidentifikasi jenis kesalahan pengobatan yang muncul di lembar

tindak lanjut dari pasien anak dan dipilih secara acak, serta dirawat di

rumah sakit karena penyebab yang berbeda. Pertanyaan dijawab oleh

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

9  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

orang tua pasien, diperoleh lebih dari 500 resep obat ditinjau dan

terdapat 499 kesalahan pengobatan (85 %). Jenis yang paling umum

dari kesalahan pengobatan adalah dosis yang salah 33 %, resep yang

tidak lengkap 29 %, 6% untuk interaksi obat, 4 % untuk efek samping,

2 % untuk interval dosis yang salah, durasi yang salah terapi dan

keterlambatan dalam pelayanan, dan 1 % karena kelalaian obat. Jenis

yang paling umum dari resep tidak lengkap adalah dosis (53 %) dan

bentuk sediaan (18 %).

f. Berdasarkan database dari USP MEDMARX pada tahun 2006-2007

menunjukkan bahwa 2,5 % dari medication error pada pasien pediatri

berpotensi membahayakan nyawa pasien. Jenis medication errors

yang terjadi yang berpotensi membahayakan pasien pediatri adalah

penggunaan dosis yang tidak tepat sebanyak 37,5 %, salah obat

sebanyak 13,7 %, omission error sebanyak 19,9 %, dan peresepan

obat yang salah sebanyak 9,4 % yang diikuti dengan kesalahan teknik

pemberian obat, salah waktu pemberian obat, penyiapan obat yang

tidak tepat, salah bentuk sediaan obat dan salah rute pemberian obat.

g. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh GS. Takata et al (2008:

e927-e935) tentang pengembangan, pengujian dan penemuan alat

pemicu untuk identifikasi bahaya terkait pengobatan pada pasien anak

di rumah sakit USA (United State of America). Jenis bahaya terkait

pengobatan yang diteliti adalah kejadian efek samping obat.

Penelitian ini dilakukan pada 80 pasien dari masing-masing bagian

dipilih secara acak untuk dilakukan review chart secara retrospektif.

Diperoleh hasil bahwa pada populasi pasien pediatri rawat inap

mengalami efek samping obat sebanyak 11,1 %. Penelitian ini juga

menunjukkan bahwa 22 % dari kejadian efek samping obat yang dapat

dicegah, 17,8 % bisa diidentifikasi sebelumnya, dan 16,8 % bisa saja

dikurangi secara lebih efektif.

Penelitian-penelitian tersebut menjadi salah satu landasan peneliti

untuk melakukan penelitian tentang DRPs pada terapi untuk pasien

pediatri penderita ISPA.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

10  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

2.2. Drug Related Problem (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak

diharapkan, berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga

melibatkan terapi obat yang potensial mengganggu keberhasilan

penyembuhan yang diharapkan (Cipolle et al, 1998). Pharmaceutical Care

Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah suatu

peristiwa atau kejadian yang melibatkan terapi obat yang benar-benar atau

berpotensi mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE,

2010). Identifikasi DRPs menjadi fokus penilaian dan pengambilan

keputusan terakhir dalam tahap proses patient care (Cipolle et al, 2004).

Ada dua jenis DRPs yaitu DRPs aktual dan DRPs potensial. DRPs

aktual adalah DRPs yang sudah terjadi sehingga farmasis wajib

mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Sedangkan DRPs potensial

dikarenakan resiko yang sedang berkembang jika farmasis tidak turun

tangan (Rovers, J. P., et al., 2003).

Ada dua komponen penting dalam DRPs yaitu:

a. Kejadian atau resiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien.

Kejadian ini dapat diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi,

fisiologis, atau sosiokultural pasien.

b. Ada hubungan atau diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak

diharapkan yang dialami oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan

ini meliputi konsekuensi dari terapi obat sehingga penyebab/diduga

sebagai penyebab kejadian tersebut,atau dibutuhkannya terapi obat

untuk mencegah kejadian tersebut.

2.2.1. Klasifikasi Drug Related Problems

Menurut Cipolle, R. J., et al. (1998), DRPs dikategorikan ke dalam

7 kelompok yaitu ketidaktepatan pemilihan obat, dosis rendah, dosis

tinggi, butuh terapi tambahan (indikasi tanpa obat), terapi yang tidak perlu

(obat tanpa indikasi), efek samping yang merugikan, serta kepatuhan

pasien.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

11  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

2.2.1.1. Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan keadaan dimana pasien

telah diresepkan obat yang tidak tepat. Pertama, terapi obat yang

digunakan untuk mengobati kondisi medis pasien tidak efektif. Kedua,

obat yang diterima pasien bukan merupakan obat yang paling efektif.

Ketiga, pasien mempunyai kontraindikasi atau menimbulkan alergi

terhadap obat yang diterima. Keempat, pasien menerima kombinasi obat

yang sama efektifnya dengan terapi obat tunggal. Kelima, pasien

menerima obat yang lebih mahal bukan obat yang lebih murah dan

memiliki efektivitas yang sama (Mahmoud, 2008).

2.2.1.2. Dosis Rendah

Dosis rendah dapat menyebabkan terjadinya DRPs, hal ini

dikarenakan dosis tidak cukup atau terlalu rendah untuk menghasilkan

respon yang diinginkan sehingga obat tersebut tidak memberikan efek

yang seharusnya. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian dosis obat oleh

apoteker klinis yang memperhitungkan semua obat yang tepat, penyakit

dan informasi spesifik pasien dapat menurunkan jumlah masalah dosis

pada pasien. Selain itu, parameter seperti usia dan berat badan sering dapat

berguna untuk membantu dalam menentukan dosis obat yang optimal

untuk pasien (Mahmoud, 2008).

Penyebab dosis rendah, seperti frekuensi pemberian dosis yang tidak

sesuai, jarak dan waktu pemberian terapi obat terlalu singkat,

penyimpanan obat yang tidak sesuai (misalnya, menyimpan obat di tempat

yang terlalu panas atau lembab, menyebabkan degradasi bentuk sediaan

dan dosis subterapi), pemberian obat yang tidak sesuai dan interaksi obat

(Mahmoud, 2008).

2.2.1.3. Dosis Tinggi

Seperti yang dinyatakan oleh Cipolle, R. J., et al. (1998), ketika

seorang pasien menerima dosis obat yang terlalu tinggi dan mengalami

efek toksik yang tergantung dosis atau konsentrasi menunjukkan pasien

mengalami DRPs. Penyebab terjadinya yaitu ketika dosis obat dinaikkan

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

12  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

cepat, frekuensi pemberian, durasi terapi, cara pemberian obat pada pasien

yang tidak tepat, dan konsentrasi obat diatas kisaran terapi (Cipolle, et al,

1998).

2.2.1.4. Indikasi Tanpa Obat

Indikasi tanpa obat adalah terjadi ketika pasien mengalami

gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat, pasien menderita

penyakit kronis lain sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan, pasien

membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek sinergis, pasien

berpotensi untuk mengalami resiko gangguan penyakit baru yang dapat

dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaksis atau premedikasi

(Mahmoud, 2008).

2.2.1.5. Obat Tanpa Indikasi

Obat tanpa indikasi terjadi ketika seorang pasien mengambil terapi

obat yang tidak perlu, yang indikasi klinisnya tidak ada pada saat itu. Ada

beberapa penyebab obat tanpa indikasi (Mahmoud, 2008).

Pertama, kondisi medis dapat lebih tepat diobati dengan terapi tanpa

obat seperti diet, olahraga atau operasi. Kedua, pasien mungkin pada terapi

obat untuk mengobati Adverse Drug Reactions (ADR) yang disebabkan

obat lain. Ketiga, penyalahgunaan narkoba, tembakau dan konsumsi

alkohol semua mungkin menyebabkan masalah. Keempat, terapi obat

kombinasi dapat digunakan untuk mengobati kondisi yang hanya

membutuhkan terapi obat tunggal. Sebagai contoh, beberapa pasien

menerima lebih dari satu pencahar untuk pengobatan sembelit; beberapa

pasien menerima lebih dari satu antidiare untuk pengobatan diare; dan

beberapa pasien menerima lebih dari satu analgesik untuk pengobatan

nyeri (Mahmoud, 2008).

2.2.1.6. Reaksi Obat yang Merugikan

Reaksi obat yang merugikan merupakan efek negatif yang tidak

diinginkan yang disebabkan oleh obat-obatan yang tidak dapat diprediksi

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

13  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

berdasarkan konsentrasi dosis atau tindakan farmakologis (Mahmoud,

2008).

Menurut WHO, reaksi obat yang merugikan (Adverse Drug

Reactions/ADR) digambarkan sebagai respon terhadap obat yang tidak

diinginkan dan berbahaya, yang terjadi pada dosis yang biasanya

digunakan untuk profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk

modifikasi fungsi fisiologis (Mahmoud, 2008).

Seorang pasien dapat mengalami ADR karena pemberian obat yang

tidak aman, reaksi alergi, pemberian obat yang salah, interaksi obat,

penurunan atau peningkatan dosis yang cepat atau efek yang tidak

diinginkan dari obat yang tidak bisa diprediksi. Misalnya, pendarahan

karena dosis yang lebih tinggi dari obat antikoagulan seperti warfarin atau

heparin merupakan ADR (Mahmoud, 2008).

Interaksi obat salah satu masalah terkait obat (drug related

problems) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat

yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat

terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh

berubah dengan adanya satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli,

2005).

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat

meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang

berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang

sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,

antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat yaitu interaksi

farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik

terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme

dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah

obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58,

2009).

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat

yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

14  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor

atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang

sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang

farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).

Keparahan interaksi obat diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan

ke dalam tiga level: minor, moderate, atau major.

1. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi

mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial

berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah

penurunan absorbsi Siprofloksasin oleh Antasida ketika dosis

diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).

2. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari

bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe

intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate

mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan

perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit atau perpanjangan

lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi

Vankomisin dan Gentamisin perlu dilakukan monitoring

nefrotoksisitas (Bailie, 2004).

3. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat

probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien

termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya

kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah perkembangan

aritmia yang terjadi karena pemberian Eritromisin dan Terfenadin

(Piscitelii, 2005).

Berdasarkan signifikansinya, interaksi obat dapat dibagi menjadi lima,

yaitu:

1. Level 1 - Tidak bermakna secara klinis (Not clinically significant)

Interaksi dapat terjadi namun hasilnya tidak signifikan secara klinis.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

15  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

2. Level 2 – Perhatian (Caution)

Interaksi dapat terjadi berdasarkan mekanisme kerja dari obat-obatan

yang digunakan secara bersamaan. Waspada pada peningkatan atau

penurunan dari efek obat, tergantung pada kombinasi obat-obatan.

3. Level 3 – Kecil (Minor)

Efek klinis dari interaksi yang terbatas dan mungkin mengganggu

tetapi biasanya tidak akan membutuhkan perubahan besar pada terapi

pasien. Pasien harus dipantau untuk manifestasi kemungkinan

interaksi.

4. Level 4 – Sedang (Moderat)

Obat-obat yang berinteraksi dapat berpotensi mengakibatkan

memburuknya kondisi pasien. Pasien harus dipantau untuk

manifestasi kemungkinan interaksi. Intervensi medis atau perubahan

terapi mungkin diperlukan.

5. Level 5 – Berat (Major)

Interaksi antara obat-obat ini mungkin mengancam jiwa atau dapat

menyebabkan kerusakan permanen. Obat-obat ini biasanya tidak

digunakan secara bersamaan; intervensi medis mungkin diperlukan.

2.2.1.7. Ketidakpatuhan Pasien

Ketidakpatuhan pasien dapat terjadi ketika pasien menggunakan

obat tidak sesuai dengan aturan yang diberikan dan pasien memiliki

kondisi ekonomi yang tidak mampu sehingga pasien tidak menebus obat

yang telah diresepkan. Kasus ini perlu bantuan farmasis untuk

memberikan informasi obat pada pasien sehingga tercapai efek terapi yang

diinginkan. (Strand, et al, 1990).

Penderita gagal menerima obat dapat disebabkan oleh:

a. Penderita tidak mematuhi aturan yang direkomendasikan dalam

penggunaan obat

b. Penderita tidak menerima pengaturan obat yang sesuai sebagai akibat

kesalahan medikasi (medication error) berupa kesalahan peresepan,

dispensing, cara pemberian atau monitoring yang dilakukan.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

16  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

c. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena

ketidakpahaman

d. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena tidak sesuai

dengan keyakinan tentang kesehatannya.

e. Penderita tidak mampu menebus obat dengan alasan ekonomi.

Pasien yang perlu mendapat perhatian khusus terhadap munculnya

masalah terkait obat apabila berada dalam kondisi khusus, seperti:

a. Penderita hamil/menyusui

b. Penderita gangguan ginjal

c. Penderita gangguan hati

d. Penderita gangguan jantung (stage 3-4)

e. Penderita lanjut usia

f. Penderita anak-anak

g. Penderita sedang berpuasa (Cipolle et al, dikutip dalam Depkes RI,

2005).

2.3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.3.1. Definisi ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran

pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang

berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA menyerang saluran pernapasan

bagian atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA.

Istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory

Infections (ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran

pernapasan dan akut dengan pengertian (Yudarmawan, 2012), sebagai

berikut:

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam

tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala

penyakit.

b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah

dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

17  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan

paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan

ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory

tract).

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun

untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses

ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan

oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya

gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa

hari.

Menurut Depkes RI (2005), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau

lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga

telinga tengah dan pleura.

2.3.2. Klasifikasi ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut memiliki berbagai macam jenisnya.

Berdasarkan letaknya terbagi menjadi infeksi di saluran pernapasan atas,

sindrom croup (terdiri dari epiglotis, laring dan trakea), dan saluran

pernapasan bawah (terdiri dari bronkus dan bronkiolus. Infeksi saluran

pernapasan atas terdiri dari pilek (nasofaring), faringitis, influenza.

Sindrom croup terdiri dari laringitis akut, laringitis spasmodik akut,

epiglotitis akut, dan trakeitis akut. Infeksi saluran pernapasan bawah terdiri

dari bronkhitis pneumonia, TBC, dan aspirasi substansi asing (Wong,

2008).

ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan

bawah.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

18  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

a. Infeksi saluran pernapasan atas

1. Batuk pilek

2. Sinusitis

3. Tonsilitis

4. Faringitis

5. Laringitis

6. Otitis Media

b. Infeksi saluran pernapasan bawah

1. Bronkhitis

2. Bronkhiolitis

3. Pneumonia

4. Tuberkulosis

5. Komplikasi

Berdasarkan Program Pemberantasan ISPA (P2-ISPA)

pengklasifikasian ISPA menjadi 2 kelompok umur yaitu golongan umur

dibawah 2 bulan dan golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun. Klasifikasi

penyakit untuk golongan umur kurang 2 bulan, ada 2 klasifikasi penyakit

yaitu: pneumonia berat dan bukan pneumonia. Untuk golongan umur

2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu: pneumonia berat,

pneumonia, dan bukan pneumonia (Misnadiarly, 2008).

a. Golongan Umur Kurang 2 Bulan

1. Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian

bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur

kurang 2 bulan yaitu 6x per menit atau lebih.

2. Bukan Pneumonia (Batuk Pilek Biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah

atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang

2 bulan, yaitu:

a. Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai

kurang dari ½ volume yang biasa diminum)

b. Kejang

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

19  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

c. Kesadaran menurun

d. Wheezing

e. Demam/dingin.

b. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

1. Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada

bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat

diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau

meronta).

2. Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

a. Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

b. Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

3. Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak

ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur

2 bulan-5 tahun yaitu:

a. Tidak bisa minum

b. Kejang

c. Kesadaran menurun

d. Stridor

e. Gizi buruk

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :

a. ISPA Ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala

batuk, pilek dan sesak.

b. ISPA Sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari

39⁰ C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

20  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

c. ISPA Berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba,

nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan

gelisah.

2.3.3. Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan

bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar

limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal

(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal

lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s

tonsil) (Soepardi, Effiaty Arsyad, et al. 2007).

Penyebab utama tonsilitis adalah kuman golongan streptokokus

(Streptococcus α, Streptococcus ß hemolycitus, Streptococcus viridians

dan Streptococcus pyogeneses), penyebab yang lain yaitu infeksi virus

(influenza, serta herpes) (Nic dan Noc,2008). 

Macam-macam tonsillitis ( Soepardi, Effiaty Arsyad,et al ,2007 )

yaitu:

a. Tonsilitis Akut

Tonsilitis viral

Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold

yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering

adalah virus Epstein Barr.

Tonsilitis bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman Grup A

Streptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai Strept

throat, Pneumococcus, Streptococcus viridian dan Streptococcus

piogenes. Detritus merupakan kumpulan leukosit bakteri yang

mulai mati.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

21  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

b. Tonsilitis Membranosa

Tonsilitis Difteri

Penyebab yaitu oleh kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman

yang termasuk gram positif dan hidung disalurkan napas bagian

atas yaitu hidung, faring dan laring.

Tonsilitis Septik

Penyebab Streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu

sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena itu, di

Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi

sebelum di minum maka penyakit ini jarang di temukan.

Angina Plaut Vincent

Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri Spirochaeta atau

Triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut

yang kurang dan defisiensi vitamin C.

c. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,

beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,

kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

Gambar 2.1. Anatomi Tonsil (Price, 2006)

2.3.3.1. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya tonsilitis adalah:

- Eksposi kepada orang yang terinfeksi;

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

22  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

- Eksposi kepada asap rokok;

- Paparan asap beracun, asap industri dan polusi udara lainnya;

- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

- Kanak-kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas;

- Stres;

- Mulut yang tidak higiene

- Kondisi ko-morbid yang mempengaruh sistem imun seperti hayfever,

alergi ,kemoterapi, infeksi Epstein-barr virus (EBV), infeksi Herpes

Simplex Virus (HSV), infeksi Sitomegalovirus (CMV) dan infeksi

Human Immune Virus (HIV) atau Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS) (Sasaki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy, 2008)

- Jenis kelamin, lebih sering terjadi pada wanita (Abouzied, 2010).

2.3.3.2. Patofisiologi

Bakteri atau virus masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil

berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang

masuk dan membentuk antibodi terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi

lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial

mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi

leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus

tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan

kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut

dengan detritus disebut tonsilitis falikularis. Pada tonsilitis akut dimulai

dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien

hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan

demam tinggi (39⁰C-40⁰C). Sekresi yang berlebih membuat pasien

mengeluh sakit menelan, tenggorokan akan terasa mengental. (Charlene J.

Reeves, 2001).

Namun apabila penjamu memiliki kadar imunitas yang tinggi

terhadap infeksi virus atau bakteri, maka tidak akan terjadi kerusakan

tubuh ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan

terjadi penyakit (Arwin, 2010).

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

23  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga

membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan

(Sherwood, 2001).

Tonsilitis kronik dapat terjadi karena proses radang yang berulang

sehingga menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.

Akibatnya pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan

parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok

melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus (Iskandar N,1993).

2.3.3.3. Gejala Tonsilitis

Gejala klinis tonsilitis menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007)

adalah:

Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit

tenggorok, sulit sampai sakit menelan.

Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri

kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.

Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis

folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis

parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik

kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan

kelenjar limfe regional. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar

dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa

kriptus terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan,

dirasakan kering di tenggorokan dan nafas berbau.

2.3.3.4. Pemeriksaan

Pada pemeriksaan pada tonsil akan terlihat tonsil hipertrofi, tetapi

kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas. Terdapat

detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.

Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan (Herawati

dan Rukmini S, 2003).

Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau

atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1-T4.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

24  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Pembagian ukuran pembesaran tonsil menurut Cody dan Thane (1993)

adalah sebagai berikut:

- T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar

anterior-uvula

- T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai

½ jarak pilar anterior-uvula

- T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai

¾ jarak pilar anterior-uvula

- T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau

lebih.

Fokal infeksi pada tonsil dapat diperiksa dengan beberapa tes. Dasar

dari tes-tes ini adalah adanya kuman yang bersarang pada tonsil dan

apabila tes dilakukan, terjadi transportasi bakteri, toksin bakteri, protein

jaringan fokal, material limfosit yang rusak ke dalam aliran darah ataupun

akan terjadi bakterimia yang dapat menimbulkan kenaikan pada jumlah

leukosit dan LED. Dalam keadaan normal jumlah leukosit darah berkisar

antara 4000-10000/mm3 darah. Tes yang dapat dilakukan adalah:

1. Tes masase tonsil: salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang

lebih 5 menit dengan kain kasa, jika 3 jam kemudian terjadi kenaikan

leukosit lebih dari 1200/mm3 atau kenaikan laju endap darah (LED)

lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes

dianggap positif.

2. Penyinaran dengan UKG: tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan

4 jam kemudian diperiksa jumlah leukosit dan LED. Jika terdapat

kenaikan jumlah leukosit lebih dari 2000/mm3 atau kenaikan LED

lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes

dianggap positif.

3. Tes hialuronidase: periksa terlebih dahulu jumlah leukosit, LED dan

temperatur oral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam

setelah diinjeksi, jika didapati kenaikan temperatur 0,3⁰C, kenaikan

jumlah leukosit lebih dari 1000/mm3 serta kenaikan LED lebih dari 10

mm maka tes ini dianggap positif.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

25  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Terjadinya peningkatan leukosit karena leukosit akan tertarik terhadap

zat-zat yang dihasilkan kuman dan dilepaskan oleh jaringan yang cedera.

Namun, bakterimia yang terjadi karena rangsang terhadap fokal infeksi

biasanya bersifat sementara sehingga kenaikan jumlah leukosit dan LED

juga bersifat sementara (Siswantoro, 2003).

2.3.3.5. Penatalaksanaan

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara

simptomatik. Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat

membantu. Gejala yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Namun

tonsilitis yang disebabkan oleh Streptokokus perlu diobati dengan penisilin

V secara oral, sefalosporin, makrolid, klindamisin, atau injeksi secara

intramuskular penisilin benzatin G. Terapi yang menggunakan penisilin

mungkin gagal (6-23 %), oleh karena itu penggunaan antibiotik tambahan

mungkin akan berguna (Desai et al., 2008).

Terapi antibiotik yang digunakan untuk pasien tonsilitis yang

disebabkan oleh Grup A Streptokokus β-hemolitik berdasarkan guideline

Standard Treatment Guidelines And Essential Medicines List (2013):

Sebagai aturan umum faringotonsilitis disebabkan oleh GAS

(Grup A Streptokokus ) harus diobati dengan antibiotik

Jika pengobatan dimulai dini , durasi penyakit dapat

dipersingkat .

Antibiotik dapat menghambat penyebaran infeksi dan

mengurangi risiko komplikasi .

Fenoksimetilpenisilin : 500 mg setiap 8 jam selama 10 hari

- dosis maksimum untuk anak-anak kurang dari 10 tahun

250 mg per dosis

- dosis maksimum untuk anak-anak yang lebih dari 10

tahun 500 mg per dosis

ATAU

Amoksisilin 250-500 mg setiap 8 jam selama 10 hari

ATAU

Eritromisin ; 250-500 mg setiap 8 jam selama 10 hari ;

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

26  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Anak-anak sampai 8 tahun 10 mg/kg setiap 8 jam selama 10

hari

ATAU

Amokisillin + klavulanat asam 625 mg 8 jam selama 10

hari

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,

gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007).

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering

dilakukan pasa pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan

pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi

tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko

menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca

tonsilektomi, maupun infeksi (Amarudin dan Christanto, 2007).

Menurut Firman S (2006) pengangkatan tonsil (tonsilektomi)

dilakukan jika:

- Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih/tahun.

- Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih/tahun dalam

kurun waktu 2 tahun.

- Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih/tahun dalam

kurun waktu 3 tahun.

- Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian

antibiotik.

2.3.4. Faringitis

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering

meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama

dengan tonsilitis, rhinitis dan laringitis. Faringitis banyak diderita

anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas. Faringitis

dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau

bekerja di lingkungan anak-anak. (Bisno Alan et al., 2001)

Penyakit ini juga sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun

juga bisa disebabkan oleh bakteri, seperti Hemolytic streptococcy,

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

27  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Staphylococci atau bakteri lainnya (Reeves, Roux dan Lockhart, 2001).

Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri Streptococcus

pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang

mungkin terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae,

Neisseria gonorrhoeae. Streptococcus hemolitik Grup A hanya dijumpai

ada 15-30 % dari kasus faringitis pada anak-anak dan 5-10 % pada

faringitis dewasa. Penyebab lain yang banyak dijumpai adalah nonbakteri,

yaitu virus-virus saluran napas seperti Adenovirus, Influenza,

Parainfluenza, Rhinovirus dan Respiratory Syncytial Virus (RSV). Virus

lain yang juga berpotensi menyebabkan faringitis adalah Echovirus,

Coxsackievirus, Herpes Simplex Virus (HSV). Epstein Barr Virus (EBV)

seringkali menjadi penyebab faringitis akut yang menyertai penyakit

infeksi lain. Faringitis oleh karena virus dapat merupakan bagian dari

influenza. (Bisno Alan et al., 2001)

2.3.4.1. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya faringitis menurut Kemenkes RI (2014) yaitu

sebagai berikut:

- Paparan udara yang dingin.

- Menurunnya daya tahan tubuh.

- Konsumsi makanan yang kurang gizi.

- Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam

lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.

2.3.4.2. Patofisiologi

Faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara

langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon

inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian

mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan

menyebabkan terjadinya pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit

polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema

dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi

menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

28  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

melekat pada dinding faring. Dalam keadaan hiperemis, pembuluh darah

dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning,

putih atau abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid.

Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring

posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi meradang dan

membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat

menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal

(Bailey, 2006; Adam, 2009).

Infeksi Streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal

dan pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan

kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari

Streptococcus ß hemolyticus Grup A memiliki struktur yang sama dengan

sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan

kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan

glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat

terbentuknya kompleks antigen antibodi (Bailey, 2006; Adam, 1989).

2.3.4.3. Gejala Faringitis

Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada

mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis

menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anoreksia, demam,

suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.

Gejala khas berdasarkan jenis faringitis (Kemenkes RI, 2014), yaitu:

a. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala

rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain

demam disertai rinorea dan mual.

b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai

demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.

c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan

akhirnya batuk yang berdahak.

e. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta

mulut berbau.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

29  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon

dengan pengobatan bakterial non spesifik.

g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan

riwayat hubungan seksual.

2.3.4.4. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Fisik (Kemenkes RI, 2014)

Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil

hiperemis, eksudat (virus influenza, Coxsachievirus,

Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada

Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring

dan lesi kulit berupa maculopapular rash.

Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,

faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di

permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae

pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher

anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di

orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya

hiperemis.

Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar

limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada

pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan

bergranular (cobble stone).

Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring

ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa

kering.

Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma

perkejuan pada mukosa faring dan laring.

Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:

1. Stadium primer

Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring

berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

30  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu

tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula

2. Stadium sekunder

Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat

eritema yang menjalar ke arah laring.

3. Stadium tersier

Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.

b. Pemeriksaan Penunjang (Kemenkes RI, 2014)

1. Pemeriksaan darah lengkap.

2. Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.

3. Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.

2.3.4.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan faringitis adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2014)

a. Istirahat cukup

b. Minum air putih yang cukup

c. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur

antiseptik untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal

diberikan Nistatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis

kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring

dengan memakai zat kimia larutan Nitras Argentin 25 %.

d. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Metisoprinol

(Isoprenosin) dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam

4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan

50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.

e. Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh

Streptococcus Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan

penyebab faringitis sebelum terapi dimulai. Terapi dengan antibiotika

dapat dimulai lebih dahulu bila disertai kecurigaan yang tinggi

terhadap bakteri sebagai penyebab, sambil menunggu hasil

pemeriksaan kultur. Terapi dini dengan antibiotika menyebabkan

resolusi dari tanda dan gejala yang cepat. Namun perlu diingat adanya

2 fakta berikut:

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

31  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

- Faringitis oleh Streptococcus Grup A biasanya sembuh dengan

sendirinya, demam dan gejala lain biasanya menghilang setelah

3-4 hari meskipun tanpa antibiotika.

- Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama

kali muncul dan tetap dapat mencegah komplikasi.

Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya

Streptococcus Grup A, diberikan antibiotik Penisilin G Benzatin

50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal bila pasien tidak alergi penisilin,

atau Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari

dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari, atau Eritromisin

4 x 500 mg/hari.

Pada faringitis gonorea, dapat diberikan sefalosporin generasi

ke-3, seperti Seftriakson 2 gr IV/IM dosis tunggal.

f. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus

paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan

ditujukan pada rhinitis atrofi. Sedangkan, pada faringitis kronik

hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari.

g. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.

h. Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi

inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang

diberikan dapat berupa deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama

3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari

selama 3 hari.

2.3.5. Bronkitis

Bronkitis adalah suatu peradangan bronkiolus, bronkus, dan

trakhea oleh berbagai sebab. Bronkitis biasanya lebih sering disebabkan

oleh virus seperti Rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus

influenza, virus para influenza, dan Coxsackie virus. Bronkitis adalah

suatu peradangan pada bronkus yang disebabkan oleh berbagai macam

mikroorganisme baik virus, bakteri, maupun parasit. Ada 2 jenis bronkitis

yaitu bronkitis akut dan kronik (Muttaqin, 2008).

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

32  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Bronkitis akut dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: infeksi

virus, yang paling umum influenza A dan B, parainfluenza, RSV,

Adenovirus, Rhinovirus dan Coronavirus; infeksi bakteri, seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies, Chlamydia pneumoniae,

Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus

influenzae; rokok dan asap rokok; paparan terhadap iritasi, seperti polusi,

bahan kimia, dan asap tembakau, juga dapat menyebabkan iritasi bronkial

akut; bahan-bahan yang mengeluarkan polusi; penyakit gastrofaringeal

refluk-suatu kondisi di mana asam lambung naik kembali ke saluran

makan (kerongkongan); pekerja yang terekspos dengan debu atau asap.

Bronkitis akut dapat dijumpai pada semua umur, namun paling sering

didiagnosis pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan bronkitis kronis

lebih umum pada orang tua dari 50 tahun (Kemenkes RI, 2014).

2.3.5.1. Faktor Resiko

Penularan bronkitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkitis

adalah sebagai berikut:

a. Merokok

b. Polusi

c. Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas

dan menimbulkan batuk kronik

d. Bronkhiektasi

e. Anomali saluran pernapasan

f. Foreign bodies

g. Aspirasi berulang

2.3.5.2. Patofisiologi

Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lendir dan

inflamasi. Akibat iritasi yang konstan, kelenjar-kelenjar yang mensekresi

lendir dan sel-sel goblet jumlahnya meningkat, fungsi silia menurun, dan

lebih banyak lendir yang dihasilkan, sehingga bronkhiolus menjadi

menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus

dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

33  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

fungsi makrofag alveolar, yang berperan penting dalam menghancurkan

partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan

terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkhial lebih lanjut terjadi

sebagai akibat perubahan fibrotic yang terjadi dalam jalan napas. Pada

waktunya, mungkin terjadi perubahan paru yang 22 irreversibel,

kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkhiectasis (Smeltzer dan

Bare, 2002).

2.3.5.3. Gejala Bronkitis (Kemenkes RI, 2014)

Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) selama 2-3 minggu. Dahak

dapat berwarna jernih, putih, kekuning-kuningan atau kehijauan. Keluhan

disertai demam (biasanya ringan), rasa berat dan tidak nyaman di dada.

Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya

batuk tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak

berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak,

berwarna kuning atau hijau.

Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik,

kadang terjadi demam tinggi selama 3-5 hari dan batuk bisa menetap

selama beberapa minggu.

Sesak nafas dan rasa berat bernapas terjadi jika saluran udara

tersumbat, sering ditemukan bunyi nafas mengi atau “ngik”, terutama

setelah batuk. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat terjadi batuk darah.

Bronkitis bisa berkembang menjadi pneumonia.

Riwayat penyakit biasanya ditandai batuk-batuk setiap hari disertai

pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam

1 tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.

2.3.5.4. Pemeriksaan (Kemenkes RI, 2014)

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan:

- Pasien tampak kurus dengan barrel shape chest (diameter

anteroposterior dada meningkat).

- Fremitus taktil dada tidak ada atau berkurang.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

34  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

- Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru

hati lebih rendah, tukak jantung berkurang.

- Suara nafas berkurang dengan ekpirasi panjang, terdapat ronki

basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah

batuk), wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan

ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi.

b. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan sputum dengan pengecatan Gram akan banyak

didapat leukosit PMN dan mungkin pula bakteri.

- Foto thoraks pada bronkitis kronis memperlihatkan tubular

shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari

hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.

- Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan napas yang

reversibel dengan menggunakan bronkodilator.

2.3.5.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan bronkitis menurut Permenkes RI No. 5 Tahun 2014 yaitu:

a. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala-gejala tidak

hanya pada fase akut, tapi juga pada fase kronik, serta dalam

melaksanakan aktivitas sehari-hari sesuai dengan pola kehidupannya.

b. Mengurangi laju perkembangan penyakit apabila dapat dideteksi lebih

awal.

c. Oksigenasi pasien harus memadai.

d. Istirahat yang cukup.

e. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): DMP (Dekstrometorfan)

15 mg, diminum 2-3 kali sehari. Kodein (obat Doveri) dapat diberikan

10 mg, diminum 3 x/hari, bekerja dengan menekan batuk pada pusat

batuk di otak. Antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan, ibu

menyusui dan anak usia 6 tahun ke bawah. Pada penderita bronkitis

akut yang disertai sesak napas, pemberian antitusif perlu umpan balik

dari penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka antitusif

dihentikan.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

35  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

f. Pemberian ekspektoran (obat batuk pengencer dahak) yang lazim

digunakan di antaranya: GG (Glyceryl Guaiacolate), Bromheksin,

Ambroksol, dan lain-lain.

g. Antipiretik (pereda panas): Parasetamol (Asetaminofen), dan

sejenisnya, digunakan jika penderita demam.

h. Bronkodilator (melonggarkan napas), diantaranya: Salbutamol,

terbutalin sulfat, teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Berikan β-agonis

misalnya Salbutamol (oral) 4-8 mg 6-8 jam atau Ipratropium Bromida

aerosol 20-80 mg, 6-8 jam. Obat-obat ini digunakan pada penderita

yang disertai sesak napas atau rasa berat bernapas, sehingga obat ini

tidak hanya untuk obat asma, tetapi dapat juga untuk bronkitis. Efek

samping obat bronkodilator perlu diketahui pasien, yakni: berdebar,

lemas, gemetar dan keringat dingin.

i. Pemberian steroid jika ada kemungkinan obstruksi saluran napas

reversibel yaitu Prednisolon (oral) 20 mg sekali sehari selama 5 hari

j. Antibiotika hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh

kuman berdasarkan pemeriksaan dokter. Antibiotik yang dapat

diberikan antara lain: Ampisilin, Eritromisin, atau Spiramisin,

3 x 500 mg/hari. Antibiotika yang dapat digunakan lihat tabel 2.1,

dengan lama terapi 5-14 hari sedangkan pada bronkitis kronik

optimalnya selama 14 hari

k. Pemberian antiviral Amantadine dapat berdampak memperpendek

lama sakit bila diberikan dalam 48 jam setelah terinfeksi virus

influenza A.

l. Terapi lanjutan: jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan

terapi hingga gejala menghilang paling sedikit 1 minggu.

Bronkodilator juga dapat diberikan jika diperlukan.

Rencana Tindak Lanjut

Pasien kontrol kembali setelah obat habis, dengan tujuan untuk:

a. Mengevaluasi modifikasi gaya hidup.

b. Mengevaluasi terapi yang diberikan, ada atau tidak efek

samping dari terapi.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

36  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Tabel 2.1. Terapi awal pada Bronkitis (Pharmaceutical Care untuk Penyakit ISPA, 2005)

Kondisi Klinik Patogen Terapi Awal

Bronkhitis akut Biasanya virus Lini I: Tanpa antibiotika Lini II: Amoksisilin, amoksi-klav, makrolida

Bronkhitis Kronik H.influenzae, Moraxella catarrhalis,

S. pneumoniae

Lini I: Amoksisilin, quinolon Lini II: Quinolon, Amoksi-Klav, Azitromisin, Kotrimoksazol

Bronkhitis Kronik dg komplikasi

s.d.a, K. Pneumoniae, P. aeruginosa, Gram

(-) batang lain

Lini I: Quinolon Lini II: Seftazidim, Sefepim

Bronkhitis Kronik dg infeksi bakteri

s.d.a Lini I: Quinolon oral atau parenteral, Meropenem atau Seftazidim / Sefepim + Siprofloksasin oral.

2.3.6. Bronkhiolitis

Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang

lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan

oleh Virus Sinsisium Respiratorik (VSR), Virus Para Influenzae,

mikroplasma, dan Adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun

pertama, dengan insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 1999).

Yang didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek

beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan

dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).

Tabel 2.2. Agen penyebab infeksi virus di saluran napas pada anak (Welliver RC, 2009)

Agen Penyebab Frekuensi Kejadian Berdasarkan Kelompok Umur

0 – 2 tahun 2 – 5 tahun 5 – 9 tahun 9 – 15 tahun

Respiratory Syncytial Virus ++++ +++ ++ ++ Adenovirus ++ ++ + 0 Parainfluenza viruses ++ ++ ++ ++

Rhinoviruses + ++

sampai +++

++ sampai

+++ +++

Metapneumovirus ++ + + 0 Mycoplasma pneumonia + ++ +++ ++++ ++++ = sangat sering, +++ = sering, ++ = kadang-kadang, + = tidak umum, 0 = tidak diketahui

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

37  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

2.3.6.1. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya bronkiolitis:

- Usia kurang dari 6 bulan

- Tidak pernah mendapatkan ASI

- Prematur

- Menghirup asap rokok.

2.3.6.2. Patofisiologi

Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas

yang disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut

ditandai obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema, penimbunan

lendir, serta debris-debris seluler. Proses patologis yang terjadi akan

mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Ventilasi yang makin

menurun pada alveolus akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini.

(Mansbach JM. et al, 2009)

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang

(80-350 nm), termasuk Paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein

permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi

sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel dan protein F

(fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan

sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi

protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan

B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat

dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi

di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran

nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan

melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran

napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan

bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel

epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema

submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus.

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan

mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

38  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap

alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin,

substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada

akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi

Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang

akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Bronkiolus menjadi sempit

karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi

sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas. Adapun

respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,

menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead

space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut

menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing,

obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea,

asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara

saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat

4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan

akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi

dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas

meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi.

Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan

terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir

ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi

bila obstruksi total. Anak-anak dan orang dewasa jarang mengalami

bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-

paru bayi muda dan anak-anak mungkin memiliki kontribusi terhadap hal

ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak

lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan

meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-

ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan

orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan

pneumonia karena RSV.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

39  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel

bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih

lama dapat sampai 15 hari. Ada 2 macam fenomena yang mendasari

hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma:

1. Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak kecil seringkali

disertai wheezing.

2. Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal

paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada

saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun

humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan

dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun

yang lebih buruk.

2.3.6.3. Gejala Bronkiolitis

Umumnya anak pernah terpajan dengan anggota keluarga yang

menderita infeksi virus beberapa minggu sebelumnya. Gejala awal yang

mungkin timbul adalah tanda-tanda infeksi respiratorik atas akut berupa

demam, batuk, pilek, dan bersin. Setelah gejala di atas timbul biasanya

diikuti oleh adanya kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada saat

ekspirasi. (Sari pediatri, 2006)

2.3.6.4. Pemeriksaan

Pada pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi nafas yang meningkat

(takipnea), disertai adanya ekspirasi yang memanjang bahkan mengi. Pada

kasus yang berat mengi dapat terdengar tanpa stetoskop. Pada pemeriksaan

penunjang yaitu pemeriksaan radiologis dijumpai gambaran hiperinflasi,

dengan infiltrat yang biasanya tidak luas. Bahkan ada kecenderungan

ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran radiologis. Berbeda

dengan pneumonia bakteri, gambaran klinis yang berat akan menunjukkan

gambaran kelainan radiologis yang berat pula, sementara pada bronkiolitis

gambaran klinis berat tanpa gambaran radiologis berat.

Pada pemeriksaan laboratorium (darah tepi) umumnya tidak

memberikan gambaran yang bermakna, dapat disertai dengan limfopenia.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

40  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Pemeriksaan serologis RSV dapat dilakukan secara cepat, di negara

maju pemeriksaan ini menjadi pemeriksaan rutin apabila dicurigai adanya

infeksi RSV.

2.3.6.5. Penatalaksanaan

Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga pengobatan

biasanya hanya suportif (WHO, 2005).

1. Oksigenasi

Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi

dan distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah

dengan nasal prolongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal

dengan kadar oksigen 30-40 % (WHO, 2013). Apabila tidak ada

oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan

udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent) untuk

mencairkan sekret di tempat peradangan (WHO, 2005). Terapi

oksigen diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter

nasal >2 L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan

kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).

Penggunaan kateter nasal serupa efektifnya dengan nasal CPAP

bahkan mengurangi kebutuhan obat sedasi (Mayfield S et al, 2014).

2. Cairan

Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis

metabolik dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah

dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan

tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan kesulitan minum.

Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa

melalui intravena maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui

lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sesak,

akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang terisi cairan

(WHO, 2005).

3. Bronkodilator dan Kortikosteroid

Albuterol dan Epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak

harus diberikan. Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

41  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

reviews di Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat

meredakan gejala klinis, namun tidak mempengaruhi penyembuhan

penyakit, kebutuhan rawat inap, ataupun lama perawatan, sehingga

dapat disimpulkan tidak ada keuntungannya, sedangkan efek samping

takikardia dan tremor dapat lebih merugikan (Ralston SL et al, 2014).

Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada

tahun 2009 menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan

deksametason oral pada anak dengan bronkiolitis dapat mengurangi

kebutuhan rawat inap, lama perawatan di rumah sakit, dan durasi

penyakit (Plint AC et al, 2009).

Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang

dirawat. Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia

saluran napas untuk membersihkan lendir dan debris-debris seluler

yang terdapat pada saluran pernapasan (Ralston SL et al, 2014).

4. Antivirus

Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik.

Penggunaannya masih kontroversial baik efektivitas maupun

keamanannya. The American Academy of Pediatrics

merekomendasikan penggunaan Ribavirin pada keadaan yang

diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita

bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru

kronik, imunodefisiensi dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat

menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis

dengan penyakit jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan

ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis

20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3-7 hari (WHO,

2005).

5. Antibiotik

Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus

disebabkan oleh virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan.

Terapi antibiotik sering digunakan berlebihan karena khawatir

terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi, padahal hal ini justru

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

42  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten

terhadap antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya diusahakan

hanya berdasarkan indikasi (Ralston SL et al, 2014).

Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan untuk anak

dengan bronkiolitis yang membutuhkan intubasi dan ventilasi

mekanik untuk mencegah gagal napas (Ralston SL et al, 2014).

Antibiotik yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun

untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan eritromisin (WHO,

2005).

6. Fisioterapi

Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi

ataupun perkusi (5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik

selain pengurangan durasi pemberian terapi oksigen. Penghisapan

sekret daerah nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal

atau obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi retrospektif

menyatakan deep suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap

lebih lama pada anak usia 2-12 bulan (Ralston SL et al, 2014).

2.3.7. Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah

yang mengenai parenkim paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yaitu

Streptococcus pneumonia dan Haemophillus influenza. Pada bayi dan anak

kecil ditemukan Staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia

yang berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi (Wardhani dan

Setiowulan, 2000).

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme

(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi,

radiasi, dan lain-lain). Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda

sesuai dengan distribusi umur pasien. Secara umum bakteri yang paling

berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Streptokokus Grup B,

serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

43  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Tabel 2.3. Dugaan bakteri penyebab pneumonia (Pechere JC, 1995)

Dugaan kuman penyebab

Pneumonia tanpa

komplikasi

Pneumonia dengan komplikasi

Efusi pleura Abses paru

Streptococcus pneumoniae ++++ ++ +

Haemophilus influenzae ++ ++ +

Streptococcus group A + ++ -

Flora mulut + +++ ++++

Staphylococcus aureus + ++ ++

Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga

macam yaitu :

1. Community acquired pneumonia (CAP)

Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti

jompo. Patogen umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus

pneumonia, H. influenzae, bakteri atypical, virus influenza,

Respiratory Syncytial Virus (RSV). Pada anak-anak patogen yang

biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan Mycoplasma

pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di samping bakteri pada pasien

dewasa.

2. Nosokomial Pneumonia

Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah

sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang

resisten terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya

adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti E.coli,

Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu

mendapat terapi Sefalosporin generasi ke-tiga, biasanya dijumpai

bakteri enterik yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp.,

Enterobacter sp.. Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen yang

kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai pada pneumonia yang

fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang resisten terhadap

methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

44  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

3. Pneumonia Aspirasi

Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret

oropharyngeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat

pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan

gangguan refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada

Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi dari

flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi Streptococci

anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri

yang lazim dijumpai campuran antara gram negatif batang + S. Aureus

+ anaerob (John Flaherty, 2002).

2.3.7.1. Faktor Resiko

Faktor resiko pneumonia adalah sebagai berikut (Pharmaceutical

Care untuk Penyakit ISPA, 2005) :

- Usia tua atau anak-anak

- Merokok

- Adanya penyakit paru yang menyertai

- Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus

- Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia)

- Obstruksi Bronkhial

- Immunocompromise atau mendapat obat immunosupressive seperti

kortikosteroid

- Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi)

- Gangguan nutrisi (malnutrisi)

- Kelengkapan imunisasi

2.3.7.2. Patofisiologi

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman

atau penyebaran langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya

sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari viremia/bakteremia atau

penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal saluran

respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal dalam

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

45  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

keadaan steril (Arguedas AG et al, 1990; Long SS, 1994). Paru terlindung

dari infeksi dengan beberapa mekanisme:

filtrasi partikel di hidung

pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis

ekspulsi benda asing melalui refleks batuk

pembersihan ke arah kranial oleh selimut mukosilier

fagositosis kuman oleh makrofag alveolar

netralisasi kuman oleh substansi imun lokal

drainase melalui sistem limfatik

Pneumonia terjadi jika satu atau lebih mekanisme di atas mengalami

gangguan.

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli

menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan

infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan

fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri

ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui

psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian

dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan

tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :

1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.

2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi

sel darah merah.

3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang

aktif dengan jumlah PMN yang banyak.

4. Zona resolusi E : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri

yang mati, leukosit dan alveolar makrofag. (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003)

2.3.7.3. Gejala Pneumonia

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu,

tubuh meningkat dapat melebihi 40⁰C, batuk dengan dahak mukoid atau

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

46  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum

infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal.

Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan

gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal

seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut (Arguedas AG et al,

1990).

2.3.7.4. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan fisik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.

Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu

bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,

pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai

bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian

menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

2. Pemeriksaan penunjang (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

a. Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang

utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat

berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air broncogram,

penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.

Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab

pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis

etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering

disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas

aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau

gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia

sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas

kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

47  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

b. Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah

leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai

30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran

ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan

diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah

dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25 % penderita

yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia

dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis

respiratorik.

2.3.7.5. Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian

antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data

mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa

alasan yaitu :

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab

pneumonia.

3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2003)

Terapi suportif berupa pemberian makanan atau cairan sesuai

kebutuhan serta koreksi asam-basa dan elektrolit sesuai kebutuhan. Terapi

oksigen diberikan secara rutin. Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia,

alat bantu napas mungkin diperlukan terutama dalam 24-48 jam pertama

(Sari pediatri, 2006).

Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama

seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang

dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu

hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotik diubah menjadi

antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen (Pharmaceutical

Care untuk Penyakit ISPA, 2005).

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

48  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Tabel 2.4. Antibiotika pada terapi Pneumonia (Pharmaceutical Care untuk Penyakit ISPA, 2005)

Kondisi Klinik

Patogen Terapi Dosis Ped (mg/kg/hari)

Dosis Dws (dosis

total/hari) Sebelumnya sehat

Pneumococcus, Mycoplasma Pneumoniae

Eritromisin Klaritromisin Azitromisin

30-50 15 10 pada hari 1,diikuti 5 mg selama 4 hari

1-2g 0,5-1g

Komorbiditas (manula, DM, gagal ginjal, gagal jantung, keganasan)

S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae dan Legionella

Sefuroksim Sefotaksim Seftriakson

50-75

1-2g

Aspirasi Community Hospital

Anaerob mulut Anaerob mulut, S. aureus, gram (-) enterik

Ampi/Amoks Klindamisin Klindamisin +aminoglikosida

100-200 8-20 s.d.a

2 – 6 g1,2 -1,8 gs.d.a.

Nosokomial Pneumonia Ringan, Onset <5 hari, Risiko rendah

K. pneumoniae, P. aeruginosa,Enterobacter spp.S. aureus,

Sefuroksim Sefotaksim Seftriakson Ampisilin-Sulbaktam Tikarsilin-klav Gatifloksasin Levofloksasin Klinda+azitro

s.d.a. s.d.a s.d.a. 100-200

200-300 - -

s.d.a. s.d.a. s.d.a. 4 – 8 g

12 g0,4 g0,5-0,75g

Pneumonia berat**, Onset > 5 hari, Risiko Tinggi

K. pneumoniae, P. aeruginosa, Enterobacter spp.S. aureus,

Gentamisin/ Tobramisin atau Siprofloksasin )* + Seftazidim atau Sefepim atau Tikarsilin-klav/ Meronem/ Aztreonam

(7,5 - 150

100-150

4 – 6 mg/kg 0,5-1,5 g2 – 6 g2-4

Keterangan :

*) Aminoglikosida atau Siprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika

yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama

**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat,

gagal ginjal

Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya.

Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien

pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Pneumonia viral

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

49  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

seharusnya tidak diberikan antibiotik, namun pasien dapat diberi antibiotik

apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri; di

samping kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan

(Sari pediatri, 2006).

Streptokokus dan Pneumokokus sebagai kuman gram positif dapat

dicakup oleh ampisilin, sedangkan Hemofilus suatu kuman gram negatif

dapat dicakup oleh kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat

dipakai sebagai antibiotik lini pertama untuk pneumonia anak tanpa

komplikasi. Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia

diberikan dalam 5-10 hari, namun dapat sampai 14 hari. Pedoman lain

pemberian antibiotik sampai 2-3 hari bebas demam (Sari pediatri, 2006).

Penaatalaksanaan pneumonia berdasarkan Standard Treatment

Guidelines And Essential Medicines List tahun 2013 adalah sebagai

berikut:

Manajemen umum

a. Terapi oksigen jika tersedia

b. Perawatan suportif

- Turunkan suhu jika ≥ 38.5 ⁰C, berikan Parasetamol

- Jika mengi berikan bronkodilator-cepat: nebulasi salbutamol

- Pastikan bahwa anak menerima cairan pemeliharaan harian

yang sesuai untuk usia anak

Pengobatan pneumonia sangat berat:

- Ampisilin 50 mg/kg I.V/I.M setiap 6 jam + Gentamisin (7,5

mg/kg I.V/I.M sekali sehari) selama 5 hari

Jika anak merespon dengan baik, perawatan lengkap di rumah atau di

rumah sakit dengan:

- Amoksisilin (15 mg/kg tiga kali sehari) + Gentamisin 7,5 mg/kg

I.M sekali sehari selama 5 hari selanjutnya.

ATAU

- Kloramfenikol (25 mg/kg I.M atau I.V setiap 6 jam) sampai anak

membaik. Kemudian lanjutkan oral 4 kali sehari selama 10 hari.

Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, beralih ke:

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

50  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

- Gentamisin (7,5 mg/kg I.V/I.M sekali sehari) + Kloksasilin (50

mg/kg I.V atau I.M setiap 6 jam), kemudian lanjutkan kloksasilin

oral 4 kali sehari selama 3 minggu.

Jika anak tidak ada perbaikan penggunaan seftriakson (80 mg/kg I.V

atau I.M sekali sehari) selama 10 hari.

Untuk anak-anak di atas 5 tahun, pneumonia atipikal harus

dipertimbangkan misalnya Mycoplasma. Makrolida (Eritromisin atau

Azitromisin) harus dipertimbangkan sebagai pilihan obat tambahan

dari antibiotik di atas atau sebagai pengobatan lini kedua.

Pneumonia berat

- Benzil Penisilin 50.000 unit/kg I.V atau I.M setiap 6 jam selama

minimal 3 hari kemudian Amoksisilin 15 mg/kg 8 jam selama 7

hari.

Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, atau memburuk,

observasi untuk komplikasi dan berikan terapi yang sesuai. Jika tidak

ada komplikasi yang jelas, beralih ke:

- Kloramfenikol (25 mg/kg I.M atau I.V setiap 6 jam) sampai anak

membaik. Kemudian lanjutkan oral 4 kali sehari selama 10 hari.

Pneumonia tidak berat

- Amoksisilin 25 mg/kg 12 jam selama 5 hari

Berikan dosis pertama di klinik dan mengajarkan ibu cara

memberikan dosis lainnya di rumah.

Anjurkan pemberian asi dan makan.

Pneumonia rumah sakit

Didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam

setelah masuk rumah sakit.

- Gunakan terapi empiris sampai hasil mikrobiologi tersedia:

Ampisilin (IV) 1 g setiap 6 jam selama 7-10 hari + Gentamisin

(IV) 4 sampai 5 mg/kg/ hari dalam 2 dosis terbagi selama 7-10

hari.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

51  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

2.3.8. Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagian

besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh

lainnya. Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari

22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar

5,8 %. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu

TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/MDR) (Kemenkes RI, 2014).

Mycobacterium tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan

berbentuk batang. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang

paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat

khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk

identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai basil tahan

asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari

langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab.

Kuman dapat dormant atau tertidur sampai beberapa tahun dalam jaringan

tubuh.

2.3.8.1. Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:

1. Jenis kelamin

Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir

tidak ada perbedaan di antara anak laki dan perempuan sampai pada

umur pubertas.

2. Status gizi

Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh

sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit

termasuk TB. (Croft, 2002).

3. Sosioekonomi

Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari

kalangan sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan

permukiman yang terlampau padat sangat potensial dalam

penyebaran penyakit TB (Croft, 2002).

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

52  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

4. Pendidikan

Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat

mempengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan.

Terdapat beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa seseorang

yang mempunyai pendidikan rendah akan berpeluang untuk

mengalami ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar berbanding

dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi

(Croft, 2002).

5. Faktor-faktor Toksis

Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting

dapat menurunkan daya tahan tubuh (Nelson, 1995).

2.3.8.2. Patofisiologi

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98 % kasus infeksi TB.

Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik

(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman

TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.

Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup

menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian

kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman

akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus

berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.

Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer

GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfa menuju

kelenjar limfa regional, yaitu kelenjar limfa yang mempunyai saluran

limfa ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya

inflamasi di saluran limfa (limfangitis) dan di kelenjar limfa (limfadenitis)

yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,

kelenjar limfa yang akan terlibat adalah kelenjar limfa parahilus,

sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

53  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

fokus primer, kelenjar limfa regional yang membesar (limfadenitis) dan

saluran limfa yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses

infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga

timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam

waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa

inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 -104, yaitu

jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan

logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum

tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas.

Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer

dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya

hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons

positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih

negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh

terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system

imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang,

proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat

tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman

TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru

biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau

kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.

Kelenjar limfa regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,

tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di

jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-

tahun dalam kelenjar ini.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

54  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

2.3.8.3. Gejala Tuberkulosis (Depkes RI, 2005)

Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk

dan berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau

pernah batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa

adalah sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat

badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam,

walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.

Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala

khusus.

a. Gejala umum, meliputi :

Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang

jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan

penanganan gizi yang baik.

Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus,

malaria atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan

keringat malam.

Pembesaran kelenjar limfa superfisialis yang tidak sakit, paling

sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari

(setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada

dan nyeri dada.

b. Gejala Khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya:

TB kulit atau skrofuloderma

TB tulang dan sendi, meliputi:

Tulang punggung (spondilitis): gibbus

Tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di

pinggul

Tulang lutut: pincang dan atau bengkak

TB otak dan saraf meningitis dengan gejala kaku kuduk, muntah-

muntah dan kesadaran menurun.

Gejala mata

Konjungtivitis phlyctenularis

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

55  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Tuburkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

Seorang anak juga patut dicurigai menderita TB apabila:

Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA

positif.

Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG (dalam

3-7 hari).

2.3.8.4. Pemeriksaan (Kemenkes RI, 2014)

Pemeriksaan Fisik

Demam (pada umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi sekali),

respirasi meningkat, berat badan menurun (BMI pada umumnya

<18,5). Pada auskultasi terdengar suara napas

bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apeks paru,

tergantung luas lesi dan kondisi pasien.

Pemeriksaan Penunjang

a. Darah: limfositosis/monositosis, LED meningkat, Hb turun.

b. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/

BTA) atau kultur kuman dari specimen sputum/dahak sewaktu-

pagi-sewaktu.

c. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung,

cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

d. Tes tuberkulin (Mantoux test). Pemeriksaan ini merupakan

penunjang utama untuk membantu menegakkan Diagnosis TB

pada anak.

e. Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara

Mantoux (intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan

dengan mengukur diameter transversal. Uji tuberkulin dinyatakan

positif yaitu:

1. Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk anak

dengan riwayat imunisasi BCG diameter indurasinya

>10 mm.

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

56  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

2. Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi

buruk, keganasan dan lainnya) diameter indurasinya >5 mm.

f. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/top lordotik. Pada TB,

umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan

dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas

membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai

yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis

(penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).

Tabel 2.5. Sistem Skoring TB Anak (Kemenkes RI, 2014)

Catatan:

a. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama

1 bulan.

Parameter 0 1 2 3 Jumlah Kontak TB Tidak jelas Laporan

keluarga, BTA (-) atau BTA tidak jelas/tidak tahu

BTA (+)

Uji Tuberkulin (Mantoux)

(-) (+) (≥10mm, atau ≥5mm pada keadaan imunokompromais)

Berat badan/keadaan gizi

BB/TB < 90% atau BB/U < 80%

Klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U < 60%

Demam yang tidak diketahui penyebabnya

> 2 minggu

Batuk kronik ≥3 minggu Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal

>1 cm, Lebih dari 1 KGB, tidak nyeri

Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang

Ada pembeng-kakan

Foto toraks Normal kelainan tidak jelas

Gambaran sugestif TB

Total skor

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

57  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

b. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak membaik

setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di Puskesmas.

c. Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa: pembesaran kelenjar

hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi

segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.

d. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat imunisasi BCG

harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

e. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis

meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk

evaluasi lebih lanjut.

Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB membantu tenaga

kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun

pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi

terjadinya under diagnosis maupun over diagnosis.

Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau

lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif

dan uji tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala, maka anak

cukup diberikan profilaksis INH terutama anak balita.

2.3.8.5. Penatalaksanaan (Kemenkes RI, 2014)

Tujuan pengobatan

a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan

produktifitas pasien.

b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.

c. Mencegah kekambuhan TB.

d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.

e. Mencegah kejadian dan penularan TB resisten obat.

Prinsip-prinsip terapi

a. Praktisi harus memastikan bahwa obat-obatan tersebut digunakan

sampai terapi selesai.

b. Semua pasien (termasuk pasien dengan infeksi HIV) yang tidak

pernah diterapi sebelumnya harus mendapat terapi Obat Anti TB

(OAT) lini pertama sesuai ISTC (Tabel 2.6).

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

58  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

1. Fase Awal selama 2 bulan, terdiri dari: Isoniazid, Rifampisin,

Pirazinamid, dan Etambutol.

2. Fase lanjutan selama 4 bulan, terdiri dari: Isoniazid dan

Rifampisin

3. Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan terapi

rekomendasi internasional, sangat dianjurkan untuk

penggunaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT/fixed-dose

combination/ FDC) yang terdiri dari 2 tablet (INH dan RIF),

3 tablet (INH, RIF dan PZA) dan 4 tablet (INH, RIF, PZA,

EMB).

c. Untuk membantu dan mengevaluasi kepatuhan, harus dilakukan

prinsip pengobatan dengan:

1. Sistem patient centred strategy, yaitu memilih bentuk obat,

cara pemberian cara mendapatkan obat serta kontrol pasien

sesuai dengan cara yang paling mampu laksana bagi pasien.

2. Pengawasan langsung menelan obat (DOT/direct observed

therapy)

Tabel 2.6. Dosis Obat TB Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB

d. Semua pasien dimonitor respon terapi, penilaian terbaik adalah

follow up mikroskopis dahak (2 spesimen) pada saat:

1. Akhir fase awal (setelah 2 bulan terapi),

2. 1 bulan sebelum akhir terapi, dan pada akhir terapi.

3. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada 1 bulan

sebelum akhir terapi dianggap gagal (failure) dan harus

meneruskan terapi modifikasi yang sesuai.

Obat Harian 3x seminggu

INH* 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900 mg/dosis

RIF 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600 mg/dosis

PZA 25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400 mg/dosis

EMB 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400 mg/dosis

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

59  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Diagnosis TB dengan pemeriksaan selengkap mungkin (Skor ≥ 6 sebagai entry point)

Beri OAT 2 bulan terapi

Ada perbaikan klinis Tidak da perbaikan klinis

Terapi TB diteruskan Terapi TB diteruskan sambil mencari penyebabnya

Untuk RS fasilitas terbatas rujuk ke RS yang lengkap

4. Evaluasi dengan foto toraks bukan merupakan pemeriksaan

prioritas dalam follow up TB paru.

e. Catatan tertulis harus ada mengenai:

1. Semua pengobatan yang telah diberikan,

2. Respon hasil mikrobiologi

3. Kondisi fisik pasien

4. Efek samping obat

f. Di daerah prevalensi infeksi HIV tinggi, infeksi Tuberkulosis –

HIV sering bersamaan, konsultasi dan tes HIV diindikasikan

sebagai bagian dari tatalaksana rutin.

g. Semua pasien dengan infeksi Tuberkulosis-HIV harus dievaluasi

untuk:

1. Menentukan indikasi ARV pada tuberkulosis.

2. Inisasi terapi tuberkulosis tidak boleh ditunda.

3. Pasien infeksi tuberkulosis-HIV harus diterapi

Kotrimoksazol apabila CD 4 < 200.

Gambar 2.2. Alur tatalaksana pasien TB Anak pada sarana pelayanan kesehatan

dasar (Kemenkes RI, 2014)

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

60  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Suspek TB Anak

Sistem Skoring

Didapat dari parameter uji tuberkulin (+) dan kontak; tanpa gejala klinis lain

Skor > 6 Skor = 6 Skor < 6

Didapat dari parameter uji tuberkulin (+) dan kontak;

dengan gejala klinis lain

Infeksi laten TB

Pertimba-ngan dokter

(**)

Bukan TB

Umur ≥ 5 th

Umur ≤ 5 th

INH Profilaksis

HIV (+) HIV (-)

INH Profilaksis

Observasi

TB Anak

Evaluasi 2 bulan terapi

Perbaikan Tidak ada perbaikan

Lanjutkan terapi

Evaluasi, rujuk bila perlu

Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)

Keterangan: (*) : Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring (**) : Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor

< 6 bila ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin

Gambar 2.3. Algoritma tatalaksana TB Anak (Kemenkes RI, 2013)

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

61  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Tabel 2.7. OAT KDT pada anak (sesuai rekomendasi IDAI)

2.4. Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks,

menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan

oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi

dan menangani masalah medis modern yang semuanya terikat bersama-

sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan

kesehatan yang baik (Siregar, C. J. P., dan Lia, A., 2003).

Definisi rumah sakit berdasarkan UU RI No. 44 tahun 2009 adalah

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Menurut UU RI No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit , tugas

rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan

pemulihan kesehatan. Sedangkan fungsi rumah sakit adalah sebagai

berikut:

a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit

b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai

kebutuhan medis;

c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia

dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan

kesehatan; dan

d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

Berat badan

(kg)

2 bulan tiap hari 3KDT Anak

RHZ (75/50/150)

4 bulan tiap hari 2KDT Anak

RH (75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

62  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan.

Rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah

diklasifikasikan menjadi rumah sakit A,B,C, dan D. Klasifikasi tersebut

didasarkan pada unsur pelayanan ketenagaan fisik dan peralatan.

Klasifikasi Rumah Sakit Umum pemerintah menurut UU RI No. 44 Tahun

2009:

1. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang

medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.

2. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang

medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar.

3. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang

medik.

4. Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikit 2 (dua) spesialis dasar.

2.5. Pelayanan Farmasi Klinis di Rumah Sakit

Pelayanan farmasi klinis merupakan pelayanan langsung yang

diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome

terapi dan meminimalkan resiko terjadinya efek samping karena obat

untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup

pasien (quality of life) terjamin (Permenkes, 2014). Pelayanan farmasi

klinis yang dilakukan meliputi:

a. Pengkajian dan pelayanan resep;

b. Penelusuran riwayat penggunaan obat;

c. Rekonsiliasi obat;

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

63  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

e. Konseling;

f. Visite;

g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);

h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);

i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);

j. Dispensing sediaan steril; dan

k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

2.6. Rekam medis

Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara

rekam medis dan memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita

rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medis ini harus secara

akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah

ditelusuri kembali (retrieving) dan lengkap informasi. Rekam medis

adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari kehidupan dan kesakitan

penderita, ditulis dari sudut pandang medis.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

269/MenKes/Per/III/2008 rekam medis adalah berkas yang berisikan

catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,

tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Kegunaan

rekam medis secara umum sesuai dengan Undang-Undang Dirjen

Pelayanan Medis Depkes RI dalam keputusan No. 78 tahun 1991

menjelaskan bahwa rekam medis digunakan sebagai:

1. Sumber informasi medis dari pasien yang berobat di rumah sakit

berguna untuk keperluan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan

pasien.

2. Alat komunikasi antara dokter dengan dokter lainnya, antara dokter

dengan para medis guna memberikan pelayanan, pengobatan dan

perawatan.

3. Buku tertulis (documentary evidence) tentang pelayanan yang telah

diberikan oleh rumah sakit dan keperluan lain.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

64  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

4. Alat untuk analisa dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang

diberikan oleh rumah sakit dan kepeluan lain.

5. Alat untuk melindungi kepentingan hukum bagi pasien, dokter, tenaga

kesehatan lainnya di rumah sakit.

6. Untuk penelitian dan pendidikan.

7. Untuk perencanaan dan pemanfaatan dan sumber daya.

8. Untuk keperluan lain yang ada kaitannya dengan rekam medis.

2.7. Terapi Obat Berkaitan Dengan Karakteristik Pasien Pediatri (Depkes

RI, 2009)

Pada pasien pediatri terapi obat yang diberikan berbeda dengan

terapi obat pada orang dewasa karena perbedaan karakteristik. Perbedaan

karakteristik ini akan mempengaruhi farmakokinetika-farmakodinamika

obat sehingga akan mempengaruhi efikasi dan/ atau toksisitas obat.

1. Farmakokinetika – Farmakodinamika

Kinetika obat dalam tubuh anak-anak berbeda dengan dewasa sesuai

dengan pertambahan usianya. Beberapa perubahan farmakokinetika

terjadi selama periode perkembangan dari masa anak-anak sampai

masa dewasa yang menjadi pertimbangan dalam penetapan dosis

untuk pediatri:

a. Absorpsi

Absorpsi obat melalui rute oral dan parenteral pada anak

sebanding dengan pasien dewasa. Pada bayi dan anak sekresi

asam lambung belum sebanyak pada dewasa, sehingga pH

lambung menjadi lebih alkalis. Hal tersebut akan menurunkan

absorbsi obat-obat yang bersifat asam lemah seperti

Fenobarbital dan Fenitoin, sebaliknya akan meningkatkan

absorbsi obat-obat yang bersifat basa lemah seperti Penisilin dan

Eritromisin. Waktu pengosongan dan pH lambung akan

mencapai tahap normal pada usia sekitar tiga tahun. Waktu

pengosongan lambung pada bayi baru lahir yaitu 6-8 jam

sedangkan dewasa 3-4 jam. Oleh karena itu, harus diperhatikan

pada pemberian obat yang di absorbsi di lambung. Peristaltik

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

65  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

pada neonatus tidak beraturan dan mungkin lebih lambat

sehingga absorbsi obat di usus halus sulit diprediksi.

Absorpsi perkutan meningkat pada bayi dan anak-anak

terutama pada bayi prematur karena kulitnya lebih tipis, lebih

lembab dan lebih besar dalam ratio luas permukaan tubuh per

kilogram berat badan. Sebagai contoh terjadinya peningkatan

absorpsi obat melalui kulit, terjadi pada penggunaan steroid,

asam borat, heksaklorofen, iodium, asam salisilat dan alkohol.

Absorpsi obat pada pemberian secara intramuskular

bervariasi dan sulit diperkirakan. Perbedaan masa otot,

ketidakstabilan vasomotor perifer, kontraksi otot dan perfusi

darah yang relatif lebih kecil dari dewasa, kecuali persentase air

dalam otot bayi lebih besar dibandingkan dewasa. Efek total dari

faktor-faktor ini sulit diperkirakan, misalnya fenobarbital akan

diabsorpsi secara cepat sedang absorpsi diazepam memerlukan

waktu lebih lama. Oleh karena itu, pemberian secara

intramuskular jarang dilakukan pada neonatus kecuali pada

keadaan darurat atau tidak memungkinkan untuk pemberian

secara intravena.

Pemberian obat secara rektal umumnya berguna untuk bayi

dan anak yang tidak memungkinkan menggunakan sediaan oral

seperti pada kondisi muntah dan kejang. Namun demikian,

seperti halnya pada pasien dewasa, ada kemungkinan terjadinya

variasi individu pada suplai darah ke rektum yang menyebabkan

variasi dalam kecepatan dan derajat absorpsi pada pemberian

secara rektal.

b. Distribusi

Distribusi obat pada bayi dan anak berbeda dengan orang

dewasa, karena adanya perbedaan volume cairan ekstraselluler,

total air tubuh, komposisi jaringan lemak, dan ikatan protein.

Volume cairan ekstraselular relatif lebih tinggi dibandingkan

orang orang dewasa, volume ini akan terus menurun seiring

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

66  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

bertambahnya usia; pada neonatus 50 %, pada bayi berusia

4-6 bulan 35 %, pada usia satu tahun 25 % sedangkan pada orang

dewasa sebanyak 20-25 % dari total berat badan. Hal lain yang

lebih penting adalah total cairan dalam tubuh akan lebih tinggi

pada bayi yang dilahirkan secara prematur (80-85 % dari total

berat badan) dibandingkan pada bayi normal (75 % dari total

berat badan) dan pada bayi usia 3 bulan 60 % dan pada orang

dewasa (55 % dari total berat badan). Besarnya volume cairan

ekstra sel dan total air tubuh akan menyebabkan volume

distribusi dari obat-obat yang larut dalam air contoh

Fenobarbital Na, Penisilin dan Aminoglikosida akan meningkat

sehingga dosis mg/kg BB harus diturunkan.

Hal sebaliknya terjadi berupa lebih sedikitnya jaringan

lemak pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi

prematur 1-2 % sedangkan pada bayi lahir cukup bulan 15 %

sedangkan pada orang dewasa sekitar 20 %. Sebagai

konsekuensinya volume distribusi obat yang larut lemak pada

bayi dan anak lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa

sehingga diperlukan penurunan dosis dan/atau penyesuaian

interval.

Afinitas ikatan obat dengan protein plasma pada bayi dan

anak lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa, hal ini

ditambah pula dengan terjadinya kompetisi untuk tempat ikatan

obat tertentu oleh senyawa endogen tertentu seperti bilirubin.

Ikatan protein plasma seperti Fenobarbital, Salisilat dan Fenitoin

pada neonatus lebih kecil daripada orang dewasa sehingga

diperlukan dosis yang lebih kecil atau interval yang lebih

panjang. Afinitas ikatan obat dengan protein akan sama dengan

orang dewasa pada usia 10-12 bulan.

Sebagai contoh, dosis Gentamisin pada neonatus usia

0-7 hari 5 mg/kg BB setiap 48 jam, bayi usia 1-4 minggu tiap 36

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

67  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

jam, lebih dari 1 bulan setiap 24 jam. Pada anak usia 7-8 bulan

4 mg/kg BB setiap 24 jam.

c. Metabolisme

Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus

disebabkan oleh rendahnya aliran darah ke hati, asupan obat oleh

sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi empedu. Sistem enzim

di hati pada neonatus dan bayi belum sempurna, terutama pada

proses oksidasi dan glukoronidase, sebaliknya pada jalur

konjugasi dengan asam sulfat berlangsung sempurna.

Meskipun metabolisme Asetaminofen melalui jalur

glukoronidase pada anak masih belum sempurna dibandingkan

pada orang dewasa, sebagian kecil dari bagian ini dikompensasi

melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur metabolisme

ini mungkin berhubungan langsung dengan usia (9) dan

mungkin memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu

tahun agar berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari

peningkatan klirens pada usia setelah satu tahun.

Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi

lebih besar daripada dosis dewasa agar tercapai konsentrasi

plasma terapeutik. Hal ini disebabkan bayi belum mampu

melakukan metabolisme senyawa tersebut menjadi bentuk

metabolit aktifnya.

d. Eliminasi Melalui Ginjal

Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus

menurun dan bersihan (clearance) obat tidak dapat di prediksi,

tergantung cara eliminasi obat tersebut di ginjal.

Pada umumnya obat dan metabolitnya dieliminasi melalui

ginjal. Kecepatan filtrasi glomerulus pada neonatus adalah

0,6-0,8 mL/menit per 1,73 m2 dan pada bayi adalah

2-4 mL/menit per 1,73 m2. Proses filtrasi glomerulus, sekresi

tubuler dan reabsorpsi tubuler akan menunjukkan efisiensi

ekskresi ginjal. Proses perkembangan proses ini akan

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

68  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

berlangsung sekitar beberapa minggu sampai satu tahun setelah

kelahiran.

2. Efikasi dan Toksisitas Obat

Selain adanya perbedaan farmakokinetik antara pasien pediatri

dan pasien dewasa, faktor yang berhubungan dengan efikasi dan

toksisitas obat harus dipertimbangkan dalam perencanaan terapi

untuk pasien pediatri. Perubahan patofisiologi yang spesifik

berlangsung pada pasien pediatri yang mempunyai penyakit

tertentu. Contoh terjadinya perubahan patofisiologik dan

farmakodinamik pada pasien yang menderita asma kronik.

Manifestasi klinik asma kronik pada anak berbeda dengan dewasa.

Anak- anak menunjukkan tipe asma ekstrinsik yang bersifat

reversibel, sedangkan dewasa berupa asma non atopik bronkial

iritabilitas. Hal ini tampak dengan diperlukannya terapi

hiposensitisasi adjunctive pada pasien pediatri dengan asma

ekstrinsik.

Beberapa efek samping yang pasti terjadi pada neonatus telah

diketahui, dimana efek samping toksik lain dapat menjadi perhatian

untuk beberapa tahun selama masa anak-anak. Toksisitas

kloramfenikol meningkat pada neonatus karena metabolisme yang

belum sempurna dan tingginya bioavailabilitas. Mirip dengan

Kloramfenikol, Propilen Glikol yang ditambahkan kepada beberapa

sediaan injeksi seperti Fenitoin, Fenobarbital, Digoksin, Diazepam,

Vitamin D dan Hidralazin dapat menyebabkan hiperosmolalitas

pada bayi.

Beberapa obat berkurang toksisitasnya pada pasien pediatri

dibanding pasien dewasa. Aminoglikosida lebih rendah

toksisitasnya pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada

pasien dewasa, toksisitas aminoglikosida berhubungan langsung

dengan akumulasi pada kompartemen perifer dan sensitifitas pasien

yang bersifat permanen terhadap konsentrasi aminoglikosida di

jaringan.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

69  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta    

Meskipun jaringan kompartemen perifer neonatus untuk

Gentamisin telah dilaporkan mempunyai ciri yang mendekati

dengan kondisi pada pasien dewasa dengan fungsi ginjal yang sama,

Gentamisin jarang bersifat nefrotoksik untuk bayi. Perbedaan

insiden nefrotoksik tersebut menunjukkan bahwa neonatus

mempunyai sensitifitas jaringan yang permanen dan lebih rendah

terhadap toksisitas dibandingkan pada pasien dewasa. Perbedaan

efikasi, toksisitas dan ikatan protein obat pada pasien pediatri dan

pasien dewasa menimbulkan pertanyaan penting tentang rentang

terapeutik pada anak yang dapat diterima.

Contoh yang lain terjadinya Sindroma Reye, merupakan

penyakit fatal yang menyebabkan efek kerusakan pada banyak

organ, khususnya otak dan hati. Hal ini dapat terjadi berkaitan

dengan penggunaan Aspirin oleh pasien pediatri yang sedang

menderita penyakit karena virus misalnya cacar air. Penyakit ini

dapat menyebabkan fatty liver dengan inflamasi minimal, dan

ensefalopati parah (dengan pembesaran otak). Hati sedikit

membengkak dan kencang, dan tampak perubahan pada ginjal.

Biasanya tidak terjadi jaundice. Diagnosis awal merupakan hal

penting, karena jika tidak dapat terjadi kerusakan otak atau

kematian. Perhatian juga perlu pada penggunaan Tetrasiklin dan

Fluorokinolon.

 

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

  

70 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu rumah sakit daerah Bangka.

3.1.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari Maret 2016 sampai dengan

September 2016. Penelitian ini terdiri dari penyusunan proposal penelitian,

pengambilan data, analisis data serta penyusunan hasil dari penelitian

tersebut.

3.2. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang menggunakan

pendekatan cross-sectional (potong lintang), yaitu mempelajari dinamika

korelasi antara faktor pengaruh dan faktor terpengaruh dengan cara

pendekatan, observasi, pengumpulan data sekaligus, dimana menekankan

waktu pengukuran hanya satu kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002).

Penelitian ini bersifat non eksperimental karena tidak ada perlakuan pada

subyek penelitian (Pratiknya, 2001). Penelitian ini berupa penelitian survei

dengan metode retrospektif yaitu penelitian berdasarkan rekam medis

pasien, melihat ke belakang peristiwa yang terjadi dimasa lalu, dengan

melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada lembar rekam

medik pasien pediatri penderita ISPA di salah satu rumah sakit daerah

Bangka periode Januari sampai dengan Desember 2015. Analisa dilakukan

secara deksriptif yaitu dengan menggambarkan karakteristik demografi

pasien ISPA dan jumlah setiap kategori DRPs (dosis rendah, dosis tinggi,

indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, potensi interaksi obat dan

ketidaktepatan pemilihan obat).

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

71  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan suatu hubungan atau kaitan

antara variabel-variabel yang akan diamati (diukur) dalam penelitian

tersebut (Notoatmodjo, 2005).

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik Pasien:

- Usia - Jenis kelamin - Penyakit penyerta

Jumlah DRPs yang terjadi pada pasien anak penderita ISPA:

1. Dosis rendah 2. Dosis tinggi 3. Interaksi obat 4. Ketepatan pemilihan obat 5. Indikasi tanpa obat 6. Obat tanpa indikasi

Profil penggunaan obat pasien

Jumlah Penggunaan Obat

Variabel Independen Variabel Dependen

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

72  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh

informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2012). Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi

titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2006).

3.4.1. Variabel Independen

Variabel independen (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi

atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen

(terikat) (Notoatmodjo, 2012).

Variabel independen pada penelitian ini adalah:

a. Karakteristik pasien

- Usia

- Jenis kelamin

- Penyakit penyerta

b. Profil penggunaan obat pasien

c. Jumlah penggunaan obat

3.4.2. Variabel Dependen

Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Notoatmodjo, 2012).

Variabel dependen pada penelitian ini adalah jumlah DRPs yang

terjadi pada pasien anak penderita ISPA kategori:

1. Dosis tinggi

2. Dosis rendah

3. Indikasi tanpa obat

4. Obat tanpa indikasi

5. Potensi interaksi obat

6. Ketidaktepatan pemilihan obat

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

73  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.5. Definisi Operasional

Menurut Notoatmodjo (2012) definisi operasional adalah uraian

tentang batasan variabel yang dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh

variabel yang bersangkutan. Definisi operasional dari variabel penelitian

penting dan diperlukan agar pengukuran variabel atau pengumpulan data

(variabel) tersebut konsisten antara responden satu dengan responden yang

lainnya (Notoatmodjo, 2012). Berikut ini adalah tabel definisi operasional

dari variabel yang digunakan dalam penelitian:

Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional dari Variabel dalam Penelitian

No. Variabel Definisi Cara Ukur Skala

Ukur Kategori

1 Karakteristik Pasien - Usia

Rentang waktu antara saat lahir sampai saat pengambilan data, dihitung saat ulang tahun terakhir.

Klasifikasi usia pasien pediatri menurut US FDA:

- Neonatus: lahir - 1 bulan

- Bayi: 1 bulan - 2 tahun

- Anak-anak: 2 tahun - 12 tahun

- Remaja: 12 tahun - < 16 tahun

Melihat data rekam medis pasien

Ordinal 0. Neonatus: < 1 bulan

1. Bayi: 1 bulan - 2 tahun

2. Anak-anak: 2 tahun - 12 tahun

3. Remaja: 12 tahun -

<16 tahun

- Jenis

kelamin

Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan.

Melihat data rekam medis pasien

Nominal 0. Laki-laki

1. Perempuan

- Penyakit

Penyerta

Kondisi tubuh pasien dimana pasien menderita penyakit selain ISPA

Melihat data rekam medis pasien

Nominal 0. Terdapat

penyakit

penyerta

1. Tanpa

penyakit

penyerta

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

74  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2 Profil penggunaan obat

Semua jenis obat-obatan yang diterima pasien selama di rawat di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka.

Melihat data rekam medis pasien

Nominal 0. Antibiotik

1. Non

antibiotik

3 Jumlah penggunaan obat

Seluruh obat yang diterima oleh pasien selama dirawat di rumah sakit.

Melihat data rekam medis pasien

Nominal 0. 1 – 5 obat

1. 6 – 10 obat

2. > 10 obat

4 a. Dosis

rendah

Keadaan dimana pasien menerima terapi obat dengan dosis obat yang terlalu rendah

Melihat data rekam medis pasien, Pediatric Dosage Handbook (PDH, 2009), Informatorium Obat Nasional Indonesia”(IONI, 2008), MIMS (2016)

Nominal 0. Tidak ada

1. Ada

b. Dosis

tinggi

Keadaan dimana pasien menerima terapi obat dengan dosis obat yang terlalu rendah

Melihat data rekam medis pasien, Pediatric Dosage Handbook (PDH, 2009), Informatorium Obat Nasional Indonesia”(IONI, 2008), MIMS (2016)

Nominal 0. Tidak ada

1. Ada

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

75  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Potensi

interaksi obat

Adanya perubahan efek obat yang dikonsumsi oleh pasien ISPA akibat pengaruh atau reaksi dengan obat lain sehingga mengganggu proses penyembuhan pasien

Melihat data rekam medis pasien, Drug Interaction (Stockley et al., 2003), Drug Interaction Facts (Tatro, 2001), Pediatric Dosage Handbook (PDH, 2009)

Nominal 0. Tidak ada

1. Ada

d. Indikasi

tanpa obat

Keadaan dimana pasien membutuhkan obat untuk mengobati indikasi tetapi tidak menerima pengobatan (butuh terapi tambahan).

Melihat data rekam medis pasien, kemudian dibandingkan dengan Guidelines penyakit ISPA pada pasien anak-anak, Permenkes No. 5 Tahun 2014, Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi II (2011)

Nominal 0. Tidak ada

1. Ada

e. Obat tanpa

indikasi

Ketika seorang pasien mengambil terapi obat yang tidak perlu, yang indikasi klinisnya tidak ada pada saat itu

Melihat data rekam medis pasien, kemudian dibandingkan dengan Guidelines penyakit ISPA pada pasien anak-anak, Permenkes No. 5 Tahun 2014, Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi II (2011)

Nominal 0. Tidak ada

1. Ada

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

76  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

f. Ketidakte-patan pemilihan obat

Keadaan dimana pasien telah diresepkan obat yang salah.

Melihat data rekam medis pasien, kemudian dibandingkan dengan Guidelines penyakit ISPA pada pasien anak-anak, Permenkes No. 5 Tahun 2014, Pharmaceut-ical Care ISPA, Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi II (2011)

Nominal 0. Tidak ada

1. Ada

3.6. Populasi dan Sampel Penelitian

3.6.1. Populasi

Populasi adalah seluruh objek penelitian yang memiliki kuantitas

dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan

ditarik kesimpulannya (Arikunto, 2002). Subjek dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien anak-anak penderita ISPA di salah satu rumah sakit

daerah Bangka periode Januari sampai dengan Desember 2015. Populasi

dalam penelitian ini sebanyak 117 pasien

3.6.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

populasi tersebut (Sugiyono, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah

populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 80 pasien. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua

pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai penelitian.

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

77  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian

3.7.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian yang dapat

mewakili dalam sampel penelitian, memenuhi syarat sebagai sampel.

Kriteria inklusi pada sampel kasus dalam penelitian ini adalah :

- Pasien pediatri penderita ISPA

- Pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah

sakit daerah Bangka pada bulan Januari – Desember 2015

- Pasien pediatri penderita ISPA dengan rekam medis lengkap dan

terbaca

3.7.2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek

tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian.

1. Pasien pediatri penderita ISPA yang tidak menyelesaikan pengobatan

(pulang paksa).

3.8. Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

membaca lembar rekam medik pasien pediatri penderita ISPA yang

memenuhi kriteria inklusi di salah satu rumah sakit daerah Bangka.

3.9. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data. Alat yang digunakan untuk pengumpulan data dari

penelitian ini adalah Rekam Medik Pasien anak penderita ISPA di salah

satu rumah sakit daerah Bangka. Buku-buku rujukan yang menjadi sumber

analisis data yaitu “Pharmaceutical Care untuk Infeksi Saluran

Pernafasan” (Depkes, 2006), “British National Formulary” (BNF, 2009),

“Pediatric Dosage Handbook” (PDH, 2009), “Informatorium Obat

Nasional Indonesia” (IONI, 2008), “Drug Interaction” (Stockley et al.,

2003), “Drug Interaction Facts” (Tatro, 2001), Pedoman Pelayanan Medis

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

78  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Persiapan (permohonan izin penelitian)

Pengumpulan data rekam medik pasien

Melakukan seleksi rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi

Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis

Pengolahan data

Analisis data: Analisis Univariat

Hasil

Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi II (IDAI, 2011) dan Guideline-

Guideline Penyakit ISPA.

3.10. Prosedur Penelitian

3.10.2. Bagan Alur Penelitian

3.10.2. Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)

1. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan

penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program

Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta kepada Direktur salah

satu rumah sakit daerah Bangka.

2. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari salah satu rumah sakit

daerah Bangka kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta.

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

79  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.10.3. Pelaksanaan Pengumpulan Data

3.10.3.1. Penelusuran Dokumen

1. Penelusuran data pasien pediatri di ruang rawat inap salah satu rumah

sakit daerah Bangka yang menderita ISPA periode bulan Januari –

Desember 2015.

2. Penelusuran rekam medis di bagian administrasi medis.

3. Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi.

4. Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis di ruang

administrasi medis, berupa:

a. Nomor rekam medis;

b. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan usia);

c. Tanggal perawatan;

d. Diagnosa penyakit pasien

e. Terapi obat yang diberikan pada pasien

3.10.4. Manajemen Data

Pelaksanaan verifikasi data rekam medis dan pola terapi pengobatan

diabetes melitus yang dilanjutkan dengan transkrip data yang dikumpulkan

ke dalam logbook dan komputer.

3.10.5. Pengolahan Data

a. Editing

Proses pemeriksaan ulang kelengkapan data dan mengeluarkan data-

data yang tidak memenuhi kriteria agar dapat diolah dengan baik serta

memudahkan proses analisa. Kesalahan data dapat diperbaiki dan

kekurangan data dilengkapi dengan mengulang pengumpulan data atau

dengan cara penyisipan data (interpolasi).

b. Coding

Kegiatan pemberian kode tertentu pada tiap-tiap data yang termasuk

kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka-

angka atau huruf untuk membedakan antara data atau identitas data yang

akan dianalisa. Peneliti melakukan coding data yang terpilih dari proses

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

80  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

seleksi untuk mempermudah analisa di program Microsoft Excel dan SPSS

(Statistical Package for the Social Sciences) 22.0.

c. Entry Data

Setelah dilakukan coding lalu memasukkan data ke dalam program

Microsoft Excel dalam bentuk tabel. Tabel-tabel yang dibuat sebaiknya

mampu meringkas agar memudahkan dalam proses analisa data.

d. Cleaning

Data yang sudah diinput diperiksa kembali untuk memastikan data

bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisa lebih lanjut.

3.10.6. Rencana Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan deskriptif secara retrospektif-cross

sectional, meliputi pengamatan demografi pasien untuk menentukan kasus

yang terjadi di ruang rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka.

Analisa DRPs pada pasien anak-anak penderita ISPA digunakan untuk

menggambarkan pola DRPs pada pasien pediatri penderita ISPA yang

paling sering terjadi di ruang rawat inap salah satu rumah sakit daerah

Bangka.

Setelah melakukan analisa DRPs pada pasien anak-anak penderita

ISPA, selanjutnya peneliti melakukan analisa dengan uji statistik univariat

dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social

Sciences) 22.0.

Analisa univariat adalah analisa yang digunakan untuk menganalisa

setiap variabel yang ada secara deskriptif. Data yang telah di kategorikan

ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun variabel yang dianalisa

berupa karakteristik pasien (usia, jenis kelamin dan penyakit penyerta),

profil penggunaan obat pasien, polifarmasi serta jenis DRPs yang

dikelompokkan menjadi ketidaktepatan penyesuaian dosis (dosis rendah

dan dosis tinggi), indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, potensi interaksi

obat dan ketidaktepatan pemilihan obat.

 

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

  81  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta   

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Berdasarkan hasil penelitian dari seluruh data rekam medik pasien

pediatri di salah satu rumah sakit daerah Bangka periode

Januari-Desember tahun 2015, diperoleh 117 pasien pediatri dengan

diagnosis penyakit ISPA dari 1326 pasien pediatri yang dirawat inap. Dan

terdapat 80 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini.

Pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah pasien pediatri penderita

ISPA pada instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

periode Januari-Desember 2015 dengan rekam medis lengkap dan terbaca.

4.1.1. Karakteristik Pasien

Demografi pasien adalah distribusi pasien yang dapat dilihat dari

karakteristik pasien (diagnosa penyakit, usia pediatri, jenis kelamin dan

penyakit penyerta).

4.1.1.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa diagnosa

penyakit ISPA yang paling banyak diderita oleh pasien pediatri di instalasi

rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka adalah pneumonia

dengan jumlah sebanyak 57 pasien (71,25 %) kemudian diikuti dengan

TBC dengan jumlah sebanyak 7 pasien (8,75 %) dan untuk penderita

bronkhiolitis jumlahnya sama dengan rhinofaringitis yaitu 4 pasien (5 %).

Sedangkan untuk diagnosa ISPA yang lain seperti nasofaringitis,

faringitis, tonsilitis dan bronkitis memiliki persentase dibawah 5 %.

Berikut ini adalah tabel distribusi karakteristik pasien berdasarkan

diagnosa penyakit.

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

82  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit

4.1.1.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia

Klasifikasi umur pasien pediatri menurut US FDA adalah neonatus

(< 1 bulan), bayi (1 bulan-2 tahun), anak-anak (2 tahun-12 tahun), remaja

(12 tahun - < 16 tahun). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa

kasus pasien pediatri yang paling banyak menderita ISPA adalah

kelompok umur bayi (1 bulan-2 tahun) dengan jumlah 45 pasien (56,3 %)

kemudian diurutan kedua terdapat kelompok umur anak-anak

(2 tahun-12 tahun) dengan jumlah 29 pasien (36,3 %). Dan selanjutnya

untuk kelompok umur neonatus (< 1 bulan) dan kelompok umur remaja

(12 tahun - < 16 tahun) menempati urutan ketiga dengan jumlah yang sama

yaitu 3 pasien (3,8 %). Berikut ini adalah tabel distribusi karakteristik

pasien berdasarkan usia.

Tabel 4.2. Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia

Kategori Umur Jumlah Pasien Persentase (%)

(N = 80) < 1 bulan 3 3,8

1 bulan - 2 tahun 45 56,3 2 tahun - 12 tahun 29 36,3

12 tahun - < 16 tahun 3 3,8 Jumlah Total 80 100,0

4.1.1.3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa kasus pasien

pediatri yang menderita ISPA paling banyak adalah laki-laki dengan

Diagnosa Penyakit Jumlah Pasien Presentasi (%) (N = 80)

Nasofaringitis 1 1,25

Rhinofaringitis 4 5,00

Faringitis 3 3,75

Tonsilitis 2 2,50

Bronkhitis 2 2,50

Bronkhiolitis 4 5,00

TBC 7 8,75

Pneumonia 57 71,25

Jumlah Total 80 100,00

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

83  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

jumlah 43 pasien (53,75 %) sedangkan perempuan terdapat 37 pasien

(46,25 %). Berikut ini adalah tabel distribusi karakteristik pasien

berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.3. Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase (%)

(N = 80) Laki-laki 43 53,75

Perempuan 37 46,25

Jumlah Total 80 100,00

 

4.1.1.4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa sekitar 48 pasien

(60 %) tidak terdapat penyakit penyerta. Penyakit penyerta yang paling

banyak diderita oleh pasien adalah gizi buruk (tipe marasmus) dengan

jumlah 7 pasien (8,75 %) kemudian diikuti dengan asma bronkhial dan

morbili dengan jumlah 4 kasus (5 %), sedangkan untuk penyakit penyerta

yang lain memiliki persentase dibawah 5 %. Berikut ini adalah tabel

distribusi karakteristik pasien berdasarkan penyakit penyerta.

Tabel 4.4. Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta

Jenis Penyakit Penyerta Jumlah Pasien Persentase (%)

(N = 80) Gizi buruk (tipe marasmus) 7 8,75 Asma bronkhial 4 5,00 Morbili 4 5,00 Pertusis 2 2,50 Diare 2 2,50  Demam berdarah 2 2,50  Asma 2 2,50  Anemia 2 2,50  Hipertermia 2 2,50  Kejang demam kompleks 2 2,50  Sindrom down 1 1,25 Konjungtivitis 1 1,25  Impetigo 1 1,25  Palastoskisis 1 1,25  Undesensus testis 1 1,25  Leukositosis 1 1,25  Defek septum atrium 1 1,25  Gastritis 1 1,25  Demam tifoid 1 1,25  Penyakit jantung kongenital sianotik 1 1,25  Sepsis 1 1,25  Endokarditis 1 1,25 Tanpa penyakit penyerta 48 60,00

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

84  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.2. Profil Penggunaan Obat

4.1.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data profil penggunaan obat

injeksi pada pasien, dimana obat injeksi yang paling banyak digunakan

oleh pasien adalah obat golongan terapi antiinfeksi dengan persentase

50,00 % (99 kali) kemudian diikuti oleh golongan larutan elektrolit dan

nutrisi dengan persentase 36,36 % (72 kali). Sedangkan untuk penggunaan

obat injeksi golongan lain dibawah 10 %. Berikut ini adalah tabel distribusi

profil penggunaan obat injeksi pada pasien.

Tabel 4.5. Distribusi profil penggunaan obat injeksi pada pasien pediatri di instalasi

rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

 

 

 

4.1.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data profil penggunaan obat

oral pada pasien, dimana obat oral yang paling banyak digunakan adalah

obat golongan saluran pernapasan sebanyak 140 kali (33,73 %), sedangkan

yang kedua adalah golongan analgesik dan antipiretik sebanyak 70 kali

(16,86 %), dan yang ketiga adalah golongan antiinfeksi sebanyak 58 kali

(13,98 %). Penggunaan obat oral golongan lain memiliki persentase

dibawah 10 %. Berikut ini adalah tabel distribusi profil penggunaan obat

oral pada pasien.

Kelas Terapi Jumlah Persentase (%) Antibiotik 99 50,00

Obat saluran pernapasan 2 1,01 Antiemetik 12 6,06

Kortikosteroid 10 5,05 Larutan elektrolit dan nutrisi 72 36,36

Diuretik 3 1,51 Jumlah Total 198 100,00

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

85  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.6. Distribusi profil penggunaan obat oral pada pasien pediatri di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

Kelas Terapi Jumlah Persentase (%)

Antibiotik 58 13,98 Obat saluran pernapasan 140 33,73 Antiemetik 19 4,57 Analgesik dan antipiretik 70 16,86 Kortikosteroid 33 7,95 Antihistamin 22 5,30 Antihipertensi 3 0,72 Diuretik 1 0,24 Antiepilepsi dan Antikonvulsan

5 1,20

Vitamin dan mineral 33 7,95 Terapi tambahan 2 0,48 Antidiare 29 6,98

Jumlah Total 415 100,00

4.1.2.3. Profil Penggunaan Obat Inhalasi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data profil penggunaan obat

inhalasi pada pasien, dimana golongan obat antiasma merupakan

golongan obat yang paling banyak digunakan dengan jumlah

penggunaan sebanyak 67 kali (97,10 %) sedangkan untuk golongan

terapi tambahan (nasal drop) sebanyak 2 kali (2,89 %). Berikut ini adalah

tabel distribusi profil penggunaan obat inhalasi pada pasien.

Tabel 4.7. Distribusi profil penggunaan obat inhalasi pada pasien pediatri di

instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

Golongan Terapi Obat Jumlah Persentase (%) Antiasma 67 97,10 Terapi tambahan 2 2,89

Jumlah Total 69 100,00

4.1.2.4. Profil Penggunaan Obat Luar

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan obat luar yang paling

banyak digunakan adalah penggunaan obat melalui rute rektal golongan

analgesik dan antipiretik yaitu sebanyak 8 kali (36,36 %). Sedangkan

yang kedua adalah penggunan obat topikal golongan antiinflamasi dan

antipuritik sebanyak 7 (31,81 %) dan yang ketiga adalah penggunaan

obat topikal golongan antinfeksi dan antiseptik yaitu sebanyak 6 kali

(27,27 %). Penggunaan obat rute rektal golongan antiepilepsi dan

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

86  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

antikonvulsi hanya digunakan sebanyak 1 kali (4,5 %). Berikut ini adalah

tabel distribusi profil penggunaan obat topikal pada pasien.

Tabel 4.8. Distribusi profil penggunaan obat luar pada pasien pediatri di instalasi

rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

Rute Pemberian Golongan Terapi Obat Jumlah Persentase (%)

Topikal Antiinfeksi dan antiseptik 6 27,27 Antiinflamasi dan antipuritik 7 31,81

Rektal Analgesik dan antipiretik 8 36,36 Antiepilepsi dan antikonvulsi 1 4,50

Jumlah Total 22 100,00

4.1.3. Jumlah Penggunaan Obat

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa frekuensi jumlah

penggunaan obat yang paling banyak diterima oleh pasien adala 6-10

obat sebanyak 60 pasien (75 %) sedangkan pasien yang menerima 1-5

obat sebanyak 11 pasien (13,75 %) dan yang menerima > 10 obat

sebanyak 9 pasien (11,25 %). Data distribusi persentase jumlah

penggunaan obat pada pasien dapat dilihat pada tabel 4.9.

Tabel 4.9. Distribusi jumlah penggunaan obat pada pasien pediatri di instalasi rawat

inap salah satu rumah sakit daerah Bangka Jumlah Penggunaan Obat Frekuensi Persentase

1 – 5 Obat 11 13,75 6 – 10 Obat 60 75,00 > 10 Obat 9 11,25

Jumlah Total 80 100,00

4.1.4. Drug Related Problems (DRPs)

Kategori DRPs pada penelitian ini meliputi kategori ketidaktepatan

pemilihan obat, ketidaktepatan dosis meliputi dosis rendah dan dosis

tinggi serta potensial interaksi obat. Berikut ini adalah grafik presentase

distribusi jumlah kejadian DRPs pada pasien pediatri penderita ISPA di

salah satu rumah sakit daerah Bangka.

.

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

87  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

60

12,5

05

2,5

56,3

0

10

20

30

40

50

60

70

Kategori DRPs

Pre

sen

tase

Kej

adia

n D

RP

s (%

)

Dosis Terlalu Rendah Dosis Terlalu Tinggi

Indikasi Tanpa Obat Obat Tanpa Indikasi

Ketidaktepatan Pemilihan Obat Interaksi Obat

 

 

   

   

   

     

 

 

 

   

Gambar 4.1. Persentase jumlah kejadian DRPs pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa persentase kejadian

DRPs yang paling banyak terjadi pada pasien adalah DRPs kategori dosis

rendah dengan persentase sebanyak 60 % (48 pasien). Selanjutnya

diurutan kedua adalah DRPs kategori interaksi obat yaitu sebanyak

56,3 % (45 pasien). Kemudian untuk kejadian DRPs lainnya yaitu

kategori dosis tinggi sebanyak 12,5 % (10 pasien), kategori

ketidaktepatan pemilihan obat 2,5 % (2 pasien), kategori obat tanpa

indikasi 5 % (4 pasien), sedangkan untuk kategori indikasi tanpa obat

tidak ditemukan kejadian DRPs pada pasien pediatri penderita ISPA di

instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka.

4.1.4.1. DRPs Kategori Dosis Rendah

Menurut Cipolle et al., (1998), penyebab tidak efektifnya terapi obat

pada pasien antara lain pasien menerima obat dalam jumlah dosis kecil

terapi dibanding dari dosis lazim yang meliputi besaran, frekuensi dan

durasi. Berdasarkan hasil penelitian dari 80 kasus pasien ISPA diperoleh

data sebanyak 48 pasien (60 %) mengalami DRPs kategori dosis rendah

dan sebanyak 32 pasien (40 %) tidak mengalami DRPs kategori dosis

rendah. Berikut ini adalah tabel distribusi persentase jumlah kejadian

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

88  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DRPs kategori dosis rendah pada pasien pediatri penderita ISPA di

instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka.

Tabel 4.10. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori dosis rendah pada

pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

DRPs Kategori Dosis Rendah Jumlah Kejadian Persentase (%)

N = 80 Ada 48 60

Tidak Ada 32 40 Jumlah Total 80 100

Berdasarkan durasi pemberian antibiotik pada penelitian ini

diperoleh data bahwa dari 77 pasien yang menerima pengobatan dengan

antibiotik terdapat 26 pasien (33,76 %) yang mengalami ketidaktepatan

durasi pemberian antibiotik. Berikut ini adalah tabel distribusi persentase

jumlah kejadian ketidaktepatan durasi pemberian antibiotik pada pasien

pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit

daerah Bangka.

Tabel 4.11. Distribusi persentase jumlah kejadian ketidaktepatan pemberian antibiotik

pada pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

Ketidaktepatan Durasi Pemberian Antibiotik

Jumlah Kejadian Persentase (%)

Tepat 51 66,23 Tidak Tepat 26 33,76

Jumlah Total 77 100,00

4.1.4.2. DRPs Kategori Dosis Tinggi

Berdasarkan hasil penelitian dari 80 kasus pasien ISPA yang

memnuhi kriteria inklusi diperoleh data sebanyak 10 pasien (12,5 %)

mengalami DRPs kategori dosis tinggi dan sebanyak 70 pasien (87,5 %)

tidak mengalami DRPs kategori dosis tinggi. Berikut ini adalah tabel

distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori dosis tinggi pada

pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah

sakit daerah Bangka.

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

89  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.12. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori dosis tinggi pada pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

DRPs Kategori Dosis Tinggi Jumlah Kejadian Persentase (%)

N = 80 Ada 10 12,5

Tidak Ada 70 87,5 Jumlah Total 80 100,0

4.1.4.3. DRPs Indikasi Tanpa Obat

Berdasarkan data penelitian diperoleh data bahwa dari 80 pasien

pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit

daerah Bangka yang masuk kriteria inklusi tidak terdapat pasien yang

mengalami drug related problems untuk kategori indikasi tanpa obat.

4.1.4.4. DRPs Obat Tanpa Indikasi

Pada penelitiaan ini diperoleh hasil bahwa terdapat 4 pasien (5 %)

yang mengalami DRPs kategori obat tanpa indikasi. Berikut ini adalah

tabel distribusi jumlah kejadian DRPs kategori obat tanpa indikasi yang

terjadi pada pasien pediatri di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit

daerah Bangka.

Tabel 4.13. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori obat tanpa indikasi pada pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

DRPs Kategori Obat Tanpa

Indikasi Jumlah

Kejadian Persentase (%)

N = 80 Ada 4 5 Tidak Ada 76 95 Jumlah Total 80 100,0

4.1.4.5. DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat

Identifikasi drug related problems untuk kategori potensi interaksi

obat dilakukan berdasarkan pada pemakaian obat yang bersamaan dalam

1 hari. Interaksi obat akan terjadi apabila terdapat dua atau lebih obat

berinteraksi sehingga menyebabkan adanya perubahan toksisitas dan

efek dari salah satu atau kedua obat tersebut (Fradgley, 2003).

Pada penelitian ini diperoleh data bahwa pasien yang mengalami

DRPs kategori potensi interaksi obat sebanyak 45 pasien (56,3 %).

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

90  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sedangkan sebanyak 35 pasien (43,8 %) tidak ditemukan adanya

kejadian DRPs kategori potensi interaksi obat. Distribusi persentase

jumlah pasien yang mengalami DRPs kategori potensi interaksi obat

dapat dilihat pada tabel 4.14.

Tabel 4.14. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori potensi interaksi obat pada pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka.

DRPs Kategori Potensi

Interaksi Obat Jumlah Kejadian

Persentase (%) N = 80

Ada 45 56,3 Tidak Ada 35 43,8

Jumlah Total 80 100,0

Berdasarkan tingkat keparahannya potensi interaksi obat dapat

dibedakan menjadi 3 yaitu major, moderate dan minor. Berikut ini adalah

tabel distribusi jumlah kejadian DRPs kategori potensi interaksi obat

berdasarkan tingkat keparahan.

Tabel 4.15. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori potensi interaksi

obat berdasarkan tingkat keparahan

Potensi Interaksi Tingkat Keparahan

Jumlah Kejadian

Persentase Kejadian (%)

Minor 12 10,62 Moderate 99 87,61 Major 2 1,76 Jumlah Total 113 100,00

Data frekuensi kejadian potensi interaksi obat dari masing-masing

tingkat keparahan dilihat dari kejadian jenis obat yang paling banyak

mengalami interaksi dapat dilihat pada tabel 4.16.

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

91  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.16. Distribusi persentase jumlah kejadian jenis obat terbanyak yang mengalami DRPs kategori potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan

Tingkat Keparahan Nama Obat Frekuensi

Minor Diazepam + Parasetamol 3 Rifampisin + Parasetamol 2 Azitromisin + Ampisilin 2 Moderate Salbutamol + Pseudoefedrin 20 Salbutamol + Klorfeniramin 13 Gentamisin + Seftriakson 13 Major Gentamisin + Furosemid 2

Jumlah Total 113 4.1.4.4. DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Berdasarkan data dari hasil penelitian diperoleh data bahwa dari 80

pasien yang memenuhi kriteria inklusi terdapat 2 pasien (2,5 %) yang

mengalami drug related problems kategori ketidaktepatan pemilihan

obat. Berikut ini adalah tabel distribusi persentase jumlah kejadian DRPs

kategori ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien pediatri penderita

ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka.

Tabel 4.17. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori ketidaktepatan

pemilihan obat pada pasien pediatri penderita ISPA instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka

Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Jumlah Kejadian

Persentase Kejadian (%) N = 80

Ada 2 2,5 Tidak Ada 78 97,5 Jumlah Total 80 100,0

4.2. Pembahasan

4.2.1. Karakteristik Pasien

4.2.1.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit

Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan

penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan ada beberapa

yang disebabkan oleh jamur. Penyakit ini menyerang saluran pernapasan

bagian atas dan bawah. Pada kesempatan ini peneliti melakukan

penelitian dengan mengambil data rekam medik tahun 2015 pasien rawat

inap di salah satu rumah sakit daerah Bangka diperoleh data jumlah

pasien anak yang dirawat sebanyak 1326 pasien dan pasien anak yang

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

92  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dirawat karena diagnosa ISPA ada 117 kasus namun hanya 80 kasus yang

memenuhi kriteria inklusi. Dari 80 pasien tersebut terdapat diagnosa

ISPA yang berbeda-beda yaitu faringitis, nasofaringitis, rhinofaringitis,

tonsilitis, bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia, dan TBC.

Berdasarkan hasil penelitian pneumonia merupakan penyakit ISPA

yang paling banyak diderita oleh pasien pediatri di instalasi rawat inap

salah satu rumah sakit daerah Bangka sebanyak 57 pasien (71,25 %). Hal

ini sesuai dengan data pada profil kesehatan Kabupaten Bangka Tengah

dimana penyakit pneumonia masih banyak diderita oleh balita di daerah

Kabupaten Bangka Tengah dan termasuk ke dalam 20 penyakit

terbanyak yang diderita oleh masyarakat. Selain itu persentase kejadian

pneumonia pada tahun 2014 meningkat jika dibandingkan dengan tahun

2013, meskipun data pada tahun 2015 belum tersedia hal ini dapat

menggambarkan bahwa masih banyak pasien pediatri yang menderita

pneumonia. Kemudian untuk penyakit kedua terbanyak yang diderita

oleh pasien pediatri di instalasi rawat inap adalah TB dengan jumlah

penderita sebanyak 7 pasien (8,75 %). Penyakit TB disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis, berdasarkan data dari Dinkes

Kabupaten Bangka Tengah prevalensi penyakit TB pada tahun 2014

meningkat dibandingkan dengan tahun 2013. Penyebab prevalensi

penyakit ISPA terutama pneumonia dan TB masih terjadi kemungkinan

dikarenakan masih kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap

penyakit ini dan pencegahannya sehingga kesadaran masyarakat untuk

memeriksakan penyakit ini agar memperoleh penanganan yang tepat

masih kurang.

4.2.1.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia

Umur merupakan salah satu karakteristik individu yang penting

dalam studi epidemiologi karena dapat memberikan gambaran faktor

penyakit serta menjadi faktor sekunder yang diperhitungkan dalam

meneliti perbedaan frekuensi penyakit terhadap variabel lain. Selain itu

umur juga menjadi karakteristik individu utama karena berhubungan erat

dengan keterpaparan penyakit dan besarnya resiko terhadap penyakit

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

93  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tertentu. ISPA merupakan penyakit yang dapat menyerang semua jenis

umur, namun lebih sering menyerang balita dan lansia. Dari hasil

penelitian ini (tabel 4.2) dapat dilihat bahwa penyakit ISPA paling

banyak terjadi pada pasien bayi (1 bulan-2 tahun) sebanyak 45 pasien

(56,3 %) kemudian pasien anak-anak (2 tahun-12 tahun) sebanyak 29

pasien (36,3 %). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Istikomah tahun 2013 di salah satu rumah sakit di Surakarta, dimana dari

hasil penelitian tersebut diperoleh data bahwa pasien yang paling banyak

menderita ISPA adalah pasien dengan usia 2-5 tahun (82 %). Selain itu

berdasarkan data dari RISKESDAS 2013 prevalensi ISPA paling banyak

terjadi pada anak dengan usia 1-4 tahun yaitu 25,8 %. Usia bayi dan balita

merupakan usia yang rentan untuk menderita suatu infeksi. Hal ini

disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang masih belum matang,

sehingga anak mudah menderita infeksi dan tertular suatu penyakit

(Nursalam et al., 2005).

Selain menjadi faktor resiko dari penyakit ISPA, usia pasien juga

menjadi pertimbangan terjadinya masalah terkait obat (DRPs). Pediatrik

harus diprioritaskan dalam penanganan DPRs karena kondisi

fisiologisnya belum sempurna sehingga faktor-faktor metabolisme dan

absorbsi obat akan sangat berbeda dengan pasien dewasa (Ladymotts,

2005). Kejadian kesalahan dalam pengobatan serta resiko kesalahan yang

serius pada pediatrik lebih sering terjadi dibandingkan pada orang

dewasa dan mungkin terkait dengan masalah perhitungan dosis, tidak

adanya standar dosis bagi pediatrik, tidak terdapat bentuk sediaan dan

formulasi yang sesuai serta penggunaan indikasi maupun dosis obat

secara off-licence (Prest, 2003). Oleh karena itu, perlu adanya

penyesuaian terhadap dosis, rute pemberian dan jenis sediaan yang tepat

untuk pasien pediatri untuk menimalisir terjadinya DRPs.

4.2.1.3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Secara teori, jenis kelamin diketahui memiliki pengaruh terhadap

gangguan pada saluran pernapasan. Hal ini biasanya terjadi karena

perbedaan pada bentuk anatomi, fisiologis, dan sistem hormonal pada

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

94  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

laki-laki dan perempuan. Selain itu, adanya perbedaan frekuensi penyakit

menurut jenis kelamin dapat disebabkan oleh adanya perbedaan

pekerjaan, pola hidup, keterpaparan dan tingkat kerentanan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa penyakit ISPA

paling banyak diderita oleh pasien yang berjenis kelamin laki-laki yaitu

sebanyak 43 pasien (53,75 %) sedangkan untuk perempuan 37 pasien

(46,25 %). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taisir

di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2005, menunjukkan bahwa proporsi

ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-laki (43,3 %) lebih

tinggi dari pada proporsi ISPA pada balita perempuan (33,7 %). Nelson

dan Williams (2007) menyatakan bahwa laki-laki beresiko menderita

ISPA. Namun faktor resiko tidak hanya perbedaan jenis kelamin, umur

seseorang juga perlu dipertimbangkan.

Selain itu jenis kelamin pasien juga dapat mempengaruhi

pengobatan pasien. Hal ini dikarenakan perbedaan fisiologis antara

laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi aktivitas obat, termasuk

farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik pada wanita

dipengaruhi oleh berat tubuh yang lebih rendah, motilitas gastrointestinal

lebih lambat, aktivitas enzimatik usus yang kurang, dan laju filtrasi

glomerulus lebih lambat. Akibat dari pengosongan lambung yang lebih

lambat pasien berjenis kelamin perempuan mungkin perlu untuk

memperpanjang interval antara waktu makan dengan waktu minum obat

terutama untuk obat yang harus diserap pada perut kosong. Perbedaan

fisiologis lainnya dapat mempengaruhi dosis obat. Misalnya, karena

klirens ginjal lebih lambat pada wanita, beberapa obat yang

diekskresikan melalui ginjal, seperti digoxin, mungkin memerlukan

penyesuaian dosis. Selain itu, wanita 50-75 % lebih berpotensi untuk

mengalami reaksi obat yang merugikan dibandingkan pria. Perbedaan ini

kemungkinan disebabkan oleh peningkatan polifarmasi, peningkatan

bioavailabilitas obat, dan sensitivitas yang lebih besar untuk obat-obatan.

Torsade de pointes adalah reaksi obat yang merugikan serius yang lebih

sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Perempuan secara alami

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

95  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memiliki interval QT yang lebh panjang daripada laki-laki dan cenderung

untuk torsade de pointes. Oleh karena itu, untuk obat-obatan yang

diketahui dapat memperpanjang interval QT harus digunakan dengan

hati-hati. (Whitley, 2009)

4.2.1.3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta merupakan keluhan yang diderita oleh pasien

selain penyakit ISPA dan penyakit komplikasi lainnya. Pada penelitian

diperoleh data bahwa penyakit penyerta yang paling banyak dialami oleh

pasien adalah malnutrisi sebanyak 7 pasien (8,75 %), morbili dan pertusis

sebanyak 4 pasien (5 %). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

Dewi dan Sebodo (1996) bahwa terdapat proporsi kasus balita penderita

ISPA terbanyak terdapat pada anak dengan gizi kurang/buruk (41,03 %).

Sedangkan penyakit penyerta yang lain dibawah 5 % dan terdapat 48

pasien (60 %) yang tidak memiliki penyakit lain selain ISPA.

Malnutrisi merupakan suatu keadaan klinis yang disebabkan

ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi, baik karena

kekurangan atau kelebihan asupan makanan maupun akibat kebutuhan

yang meningkat. Malnutrisi yang banyak terjadi pada pasien pediatri di

instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka adalah

malnutrisi tipe marasmus. Marasmus adalah bentuk malnutrisi protein

kalori yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis

terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan, disertai retardasi

pertumbuhan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot (Dorland,

1998). Infeksi bisa berhubungan dengan status gizi melalui beberapa

cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan

kehilangan bahan makanan karena diare dan muntah-muntah atau

mempengaruhi metabolisme makanan (Alisjahbana, 1985). Pada pasien

ISPA malnutrisi merupakan salah satu faktor resiko penting yang

menjadi pemicu terjadinya ISPA. Apabila keadaan gizi baik maka tubuh

mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap

penyakit infeksi. Sedangkan jika keadaan gizi tubuh buruk maka reaksi

kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

96  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh

karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala

defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya

kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Gizi yang buruk akan

mempermudah balita terserang ISPA. Beberapa penelitian telah

membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi

paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat

pneumonia. Menurut Kartasasmita (1993), diketahui bahwa prevalensi

ISPA cenderung lebih tinggi pada anak dengan status gizi kurang. Status

gizi kurang/buruk pada anak balita mempunyai resiko pneumonia 2,5 kali

lebih besar dibanding dengan anak yang bergizi baik/normal.

Selain malnutrisi pada penelitian ini terdapat pula penyakit penyerta

yang dapat memperparah ISPA dan termasuk kedalam salah satu faktor

resiko ISPA yaitu morbili (campak) dan pertusis. Morbili (campak)

merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus campak.

Sedangkan pertusis merupakan infeksi akibat bakteri Gram-negatif

Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk

hebat yang khas. Di india, anak yang baru sembuh dari campak, selama

6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering

daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri

bersama-sama dapat menyebabkan 15-25 % dari seluruh kematian yang

berkaitan dengan ISPA. Namun hal ini dapat dicegah dengan

meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis untuk mengurangi

angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini.

Penyakit penyerta pada pasien dapat menjadi pertimbangan dalam

menentukan terapi yang tepat pada pasien untuk menghindari adanya

permasalahan terkait obat (DRPs). Malnutrisi dapat menyebabkan

beberapa perubahan dari fungsi fisiologis tubuh sehingga mengakibatkan

adanya perubahan pada efek obat. Anak-anak dengan marasmus

memiliki cairan tubuh total tertinggi tetapi sebaliknya, ada penurunan

yang signifikan dalam massa jaringan adiposa serta massa tubuh tanpa

lemak di marasmus dan marasmus-kwashiorkor yang dapat mengubah

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

97  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

volume distribusi obat. Volume distribusi adalah suatu volume yang

mengandung sejumlah obat pada cairan-cairan tertentu di dalam tubuh

(volume hipotesis penyebaran obat dalam cairan tubuh). Volume

distribusi menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi

obat (C) dalam darah atau plasma. Volume distribusi adalah parameter

yang paling penting yang menentukan konsentrasi puncak

aminoglikosida dan berkaitan erat dengan volume cairan ekstraselular

karena rendahnya tingkat mengikat protein dan kelarutannya tinggi

dalam air. Volume distribusi aminoglikosida meningkat pada keadaan

edema, luka bakar (atau deskuamasi kulit yang ekstensif) dan dengan

kebocoran kapiler pada infeksi yang parah.

Obat setelah diabsorpsi akan masuk ke dalam sistem vaskular dan

akan terikat dengan protein plasma. Secara umum, obat bersifat asam

mengikat albumin dan obat bersifat basa mengikat α1-acid glycoprotein

yang pada umumnya bersifat reversibel dan keadaan keseimbangan

dipertahankan antara obat terikat dan tidak terikat. Obat yang protein

terikat tidak melewati membran sel; hanya fraksi terikat (bebas) yang

dapat didistribusikan ke kompartemen jaringan. Setelah di ruang

ekstravaskuler, aktivitas obat bervariasi. Obat dapat dimetabolisme atau

berikatan dengan reseptor jaringan sehingga menghasilkan efek

farmakologis, beracun, atau efek netral. Pada pasien malnutrisi terjadi

hipoproteinemia dimana albumin plasma dan fraksi dari glikoprotein

yang bertanggung jawab untuk obat mengikat menurun. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya peningkatan fraksi obat bebas dari obat yang

terikat protein dan anak-anak dengan malnutrisi mungkin mengalami

variasi dalam memberikan respon terhadap terapi obat atau beresiko

meningkatkan toksisitas obat.

Diare dan muntah adalah masalah umum dari malnutrisi. Oleh

karena itu, obat oral harus dipertimbangkan kembali dan jika tetap

diberikan melalui oral maka waktu transit melalui usus berkurang. 

Malnutrisi dikaitkan dengan atrofi vili mukosa jejunum dan ini dapat

mengganggu penyerapan obat. Penyerapan oral Karbamazepin,

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

98  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Klorokuin, Sulfadiazin, dan Kloramfenikol telah dilaporkan menurun

secara signifikan pada anak-anak dengan malnutrisi bila dibandingkan

dengan anak normal yang sehat. Penyerapan oral menurun disebabkan

perubahan morfologi di jejunum.

4.2.2. Profil Penggunaan Obat

4.2.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi

Injeksi merupakan salah satu cara pemberian obat yang biasa

digunakan untuk mengobati penyakit. Salah satu jenis injeksi adalah

injeksi intravena. Pemberian obat dengan injeksi intravena memberikan

reaksi tercepat yaitu kurang lebih 18 detik, hal ini disebabkan oleh obat

yang dimasukkan melalui satu pembuluh darah akan langsung bereaksi

menuju sel dan jaringan, sehingga efeknya lebih cepat dan kuat (Tjay,

2002). Sediaan injeksi intravena dapat digunakan apabila: obat mudah

rusak dengan adanya asam lambung atau obat tidak diabsorbsi, obat

diabsorbsi tetapi dikeluarkan cepat akibat metabolisme lintas pertama,

jika pasien tidak mau atau tidak dapat menelan, usus tidak berfungsi

dengan baik, diperlukan absorbsi yang sangat cepat, diperlukan kadar

yang tinggi dalam jaringan, dan apabila diperlukan penyesuaian dosis

secara terus menerus (Scot, 2003; Mycek, 2001; Ansel, 1989). Injeksi

intravena tidak diberikan untuk pasien apabila obat tersebut dapat

menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah (Tjay, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian pasien pediatri penderita ISPA

mendapatkan obat injeksi dari beberapa jenis kelas terapi, yaitu:

a. Antibiotik

Antibiotik digunakan dalam terapi penyakit infeksi yang

disebabkan oleh bakteri dengan tujuan sbb:

- Terapi empirik infeksi

- Terapi definitif infeksi

- Profilaksis non-Bedah

- Profilaksis Bedah

Sebelum memulai terapi dengan antibiotik sangat penting untuk

memastikan infeksi tersebut benar terjadi. Hal ini dikarenakan ada

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

99  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

beberapa kondisi penyakit yang dapat memberikan gejala/ tanda

yang mirip dengan infeksi, sehingga perlu dilakukannya

pemeriksaan yang lebih lanjut seperti melakukan cek darah dan

kultur mikroba. Selain itu, penggunaan antibiotik tanpa didasari

bukti infeksi dapat menyebabkan meningkatnya insiden resistensi

maupun potensi Reaksi Obat Berlawanan (ROB) yang dialami

pasien.

Berdasarkan hasil penelitian jenis antibiotik yang paling banyak

digunakan adalah Seftriakson dengan jumlah penggunaan sebanyak

60 kali. Seftriakson adalah sefalosporin generasi ketiga dan

merupakan jenis antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan

sebagai terapi empiris untuk mengatasi infeksi yang belum diketahui

secara spesifik jenis bakteri yang menjadi penyebab infeksi pada

pasien. Selain dikarenakan Seftriakson merupakan antibiotik

spektrum luas, tingginya penggunaan obat injeksi Seftriakson pada

pasien disebabkan karena hampir semua pasien memiliki keluhan

muntah-muntah sehingga sulit untuk diberikan secara oral. Selain itu

penyakit ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang salah satu

penyebabnya adalah adanya infeksi bakteri, sehingga memerlukan

terapi antibiotik yang tepat dan cepat. Konsentrasi serum efektif

diharapkan cepat tercapai setelah pemberian obat melalui injeksi.

Rute untuk terapi Seftriakson telah tepat diberikan secara parenteral

khususnya injeksi intravena karena Seftriakson Sodium tidak di

absorbsi secara baik pada Gastrointestinal dan harus diberikan

secara parenteral (American Hospital Formulary Services (AHFS)

Drug Information, 2008).

b. Obat Saluran Pernapasan

Pada penelitian ini obat saluran pernapasan yang digunakan adalah

obat golongan bronkodilator yaitu aminofilin. Aminofilin bekerja

dengan cara membuka saluran pernapasan di dalam paru-paru,

sehingga udara dapat mengalir dengan lancar dan penggunanya

dapat bernapas dengan lega. Namun aminofilin tidak dapat diberikan

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

100  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

secara inhalasi sehingga efek sampingnya lebih besar dibandingkan

ß-Adrenoceptor Agonist. (Depkes RI, 2005)

c. Antiemetik

Anti-emetik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi rasa mual

dan muntah. Pada penelitian ini obat golongan antiemetik yang

digunakan adalah ondansetron. Ondansetron merupakan antagonis

serotonin yang disetujui sebagai terapi mual dan muntah karena

kemoterapi, radioterapi, ataupun pasca-operasi. Ondansetron juga

banyak dipakai sebagai terapi muntah pada anak dengan

gastroenteritis akut. (Rerksuppaphol, 2013)

d. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid bertujuan untuk mengurangi edema

subglotis dengan cara menekan proses inflamasi lokal.

Kortikosteroid mengatur mekanisme humoral maupun seluler dari

respon inflamasi dengan cara menghambat aktivasi dan infiltrasi

eosinofil, basofil dan mast cell ke tempat inflamasi serta mengurangi

produksi dan pelepasan faktor-faktor inflamasi (prostaglandin,

leukotrien). Selain itu kortikosteroid juga bersifat sebagai

vasokonstriktor kuat. Pada penelitian ini jenis kortikosteroid yang

digunakan adalah deksametason. Deksametason merupakan salah

satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam

mencegah peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih

hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998).

e. Larutan Elektrolit dan Nutrisi

Pemberian larutan elektrolit pada pasien dilakukan melalui infus.

Pada penelitian ini jenis cairan infus yang paling banyak diberikan

adalah Dekstrosa 5 %. Dekstrosa berfungsi untuk mengganti

kehilangan atau kekurangan karbohidrat dan cairan; menjadi sumber

nutrisi yang diberikan secara parenteral dan meningkatkan kadar

gula darah pada keadaan hipoglikemia.

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

101  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

f. Diuretik

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan

urin. Pada penelitian ini obat golongan diuretik diberikan kepada

pasien yang menderita kelainan jantung. Diuretik yang digunakan

adalah diuretik loop yaitu Furosemid. Mekanisme kerja furosemid

adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli

ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,

kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal.

4.2.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral

Obat oral adalah obat yang diberikan melalui mulut dimana rute ini

merupakan rute yang paling umum digunakan, paling ekonomis, paling

aman serta nyaman bagi para pengguna. Namun penggunaan obat

melalui rute ini memiliki beberapa kerugian yaitu efek yang ditimbulkan

lebih lama dibandingkan dengan obat injeksi, bioavailabilitas obat dapat

berkurang dengan adanya beberapa faktor seperti gangguan absorbsi

serta metabolisme tubuh sehingga membutuhkan dosis yang lebih besar

dan tepat, dan sangat bergantung terhadap tingkat kepatuhan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian pasien pediatri penderita ISPA

mendapatkan obat oral dari beberapa jenis kelas terapi, yaitu:

a. Antibiotik

Penggunaan antibiotik pada pasien ISPA sangat penting dan

merupakan terapi pokok pada pasien ISPA yang disebabkan oleh

bakteri. Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh

mikroorganisme, yang dalam jumlah kecil dapat menghambat

pertumbuhan atau membunuh pertumbuhan mikroorganisme lain

(Harmita dan Radji, 2008). Pada penelitian ini penggunaan antibiotik

oral yang paling banyak digunakan adalah Sefiksim. Sefiksim adalah

sefalosporin generasi ketiga dan merupakan jenis antibiotik

spektrum luas.

b. Obat Saluran Pernapasan

Pada penelitian ini obat saluran pernapasan oral yang digunakan

adalah obat golongan bronkodilator ß-Adrenoceptor Agonist yaitu

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

102  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

salbutamol sebanyak 57 kali. Salbutamol bekerja dengan cara

membuka saluran pernapasan di dalam paru-paru, sehingga udara

dapat mengalir dengan lancar dan penggunanya dapat bernapas

dengan lega. Penggunaan obat ini pada pasien ISPA merupakan

salah satu terapi simptomatis untuk mengobati sesak yang dialami

oleh pasien tersebut. (Depkes RI, 2005)

c. Antiemetik

Anti-emetik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi rasa mual

dan muntah. Pada penelitian ini obat golongan antiemetik oral yang

digunakan adalah domperidon sebanyak 4 kali.  Domperidon

merupakan derivat benzimidazole dan merupakan antagonis

dopamin yang bekerja pada chemoreceptor trigger zone.

Domperidon banyak digunakan pada penanganan muntah pada anak,

walaupun studi yang mendukung pemberian domperidone pada anak

dengan gastroenteritis masih sangat terbatas. (Rerksuppaphol, 2013)

d. Analgetik dan Antipiretik

Obat ini seringkali digunakan untuk mengurangi gejala demam

terkait infeksi pernapasan. Pada penelitian ini jenis analgetik dan

antipiretik yang paling banyak digunakan adalah parasetamol

sebanyak 70 kali. Parasetamol (Asetaminofen) merupakan obat

analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis

prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol

merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah.

Mekanisme kerja Parasetamol adalah menghambat sistesis

prostaglandin di SSP dan perifer memblok impuls nyeri serta

menghasilkan efek antipiretik dari penghambatan pada pusat

pengaturan panas di hipotalamus (Takemoto et al, 2003).

e. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid bertujuan untuk mengurangi gejala

peradangan dan inflamasi yang terjadi pada pasien ISPA (Depkes,

2005). Pada penelitian ini jenis kortikosteroid yang paling banyak

digunakan adalah triamsinolon. Triamsinolon bekerja terutama

Page 123: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

103  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai glukokortikoid dan mempunyai daya antiinflamasi yang

kuat, mempunyai efek hormonal dan metabolik seperti kortison.

f. Antihistamin

Antihistamin digunakan dalam terapi rhinitis alergi. Ada dua

kelompok antihistamin yaitu: generasi pertama yang terdiri dari

Klorfeniramin, Difenhidramin, Hidroksizin dan generasi kedua yang

terdiri dari Astemizol, Cetirizine, Loratadin, Terfenadin, Akrivastin.

Antihistamin generasi pertama mempunyai profil efek samping yaitu

sedasi yang dipengaruhi dosis, merangsang SSP menimbulkan mulut

kering. Antihistamin generasi kedua tidak atau kurang menyebabkan

sedasi dan merangsang SSP, serta tidak bereaksi sinergis dengan

alkohol dan obat-obat yang menekan SSP. Pada penelitian ini jenis

antihistamin yang digunakan adalah cetirizine sebanyak 22 kali.

Cetirizine adalah antihistamin selektif, antagonis reseptor-H1 perifer

yang mempunyai efek sedatif yang rendah pada dosis aktif dan

mempunyai sifat tambahan sebagai anti alergi. Cetirizine berkerja

menghambat pelepasan histamin pada fase awal dan mengurangi

migrasi sel inflamasi. (Depkes RI, 2005)

g. Antidiare

Pada penelitian penggunaan obat golongan ini yang digunakan

adalah Zink sebanyak 25 kali dan Oralit (ORS) sebanyak 4 kali.

Cairan rehidrasi oral (Oral Rehydration Solution/ ORS) dapat

digunakan untuk menangani gastroenteritis akut untuk pemeliharaan

rehidrasi, dan mencegah komplikasi lebih lanjut akibat diare

(Ladinsky, et al, 2000). Cairan rehidrasi oral tersebut terbukti dapat

mengatasi dehidrasi ringan hingga sedang pada bayi dan anak-anak

secara aman, efektif, relatif lebih murah, dan mudah digunakan.

Oleh karena itu, American Academy of Pediatric (AAP) dan WHO

merekomendasikan cairan tersebut sebagai tindakan pertama untuk

mengatasi dehidrasi ringan (Ladinsky, et al, 2000). Namun, cairan

rehidrasi oral tidak signifikan dalam menurunkan defekasi dan

durasi diare (Lukacik, Thomas, & Aranda, 2008). Oleh karena itu,

Page 124: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

104  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

WHO dan UNICEF kembali merekomendasikan kebijakan terbaru

mengenai penatalaksanaan diare pada anak, yaitu dengan

menambahkan suplementasi Zink (Zn). Zink merupakan salah satu

zat gizi mikro yang penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak.

Zink yang ada dalam tubuh akan menurun dalam jumlah besar ketika

anak mengalami diare. Untuk menggantikan Zink yang hilang

selama diare, anak dapat diberikan Zink yang akan membantu

penyembuhan diare serta menjaga agar anak tetap sehat. (Depkes RI,

2011). Zink mempunyai efek terhadap beberapa enterosit dan sel

imun yang berinteraksi dengan agen infeksius pada diare. Zink

utamanya bekerja pada jaringan dengan kecepatan turnover yang

tinggi seperti halnya pada saluran cerna dan sistem imun dimana

zink dibutuhkan untuk sintesa DNA dan sintesa protein (Bijleveld,

et al., 1997, dalam Armin, 2005). Jika Zink diberikan pada anak yang

sistem kekebalannya belum berkembang baik, dapat meningkatkan

sistim kekebalan dan melindungi anak dari penyakit infeksi. Oleh

karena itu, anak yang diberi Zink (diberikan sesuai dosis) selama 10

hari berturut-turut berisiko lebih kecil untuk terkena penyakit

infeksi, diare dan pneumonia. (Depkes RI, 2011).

h. Antihipertensi

Penggunaan antihipertensi pada pasien bertujuan untuk

mempertahankan fungsi jantung serta untuk mencegah terjadinya

hipertensi pulmonal yang terjadi pada pasien penyakit jantung

bawaan. Pada penelitian ini jenis antihipertensi yang digunakan

adalah golongan ACE inhibitor yaitu kaptopril. Kaptopril

merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di klinik

untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung.

i. Diuretik

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan

urin. Pada penelitian ini obat golongan diuretik diberikan kepada

pasien yang menderita kelainan jantung. Diuretik yang digunakan

adalah diuretik loop yaitu Furosemid. Mekanisme kerja furosemid

Page 125: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

105  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli

ginjal. Furosemid meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,

kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal.

j. Antiepilepsi dan Antikonvulsan

Penggunaan obat golongan ini pada pasien bertujuan untuk

mengatasi kejang. Obat yang paling banyak digunakan adalah

diazepam. Diazepam digunakan untuk mengurangi kecemasan,

kejang otot, dan kejang-kejang serta mengendalikan agitasi yang

disebabkan oleh penarikan alkohol.

k. Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral sangat penting dalam proses metabolism tubuh

manusia. Penggunaan vitamin yang utama adalah untuk pengobatan

terhadap defisiensi (kekurangan), dan penyakit-penyakit menurun.

Pada penelitian ini penggunaan vitamin dan mineral yang paling

banyak digunakan adalah multivitamin untuk menambah nafsu

makan pada anak. Pemberian multivitamin ini sangat dibutuhkan

pada pasien ISPA pediatri, karena kebanyakan pasien mengalami

penurunan nafsu makan dan muntah sehingga asupan gizi ke dalam

tubuh menjadi berkurang.

l. Terapi Tambahan

Terapi tambahan yang digunakan adalah imunomodulator.

Imunomodulator berfungsi untuk menstimulasi sistem imun, terapi

penunjang untuk infeksi yang disebabkan bakteri, virus dan jamur,

batu ginjal, penyembuhan luka, hepotoprotektor untuk hepatitis B,

dan sebagai antioksidan.

4.2.2.3. Profil Penggunaan Obat Inhalasi

Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam

saluran napas melalui penghisapan. Terapi melalui rute ini makin

berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan penyakit-penyakit

saluran napas. Keuntungan terapi inhalasi ini adalah obat bekerja

langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek lebih cepat

untuk mengatasi serangan asma karena setelah dihisap, obat akan

Page 126: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

106  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

langsung menuju paru-paru untuk melonggarkan saluran pernapasan

yang menyempit. Selain itu memerlukan dosis yang lebih rendah untuk

mendapatkan efek yang sama, dan harga untuk setiap dosis lebih murah.

Sedangkan untuk efek samping obatnya lebih kecil dibandingkan pada

penggunaan obat oral, karena konsentrasi obat didalam rendah.

Pada penelitian ini obat golongan antiasma merupakan terapi

inhalasi yang paling banyak digunakan sebanyak 67 kali (97,10 %).

Antiasma yang paling banyak digunakan adalah kombinasi β2-Agonis

dan antikolinergik yaitu kombinasi Salbutamol sulfat 2.5 mg dan

Ipratropium Br 0.5 mg sebanyak 55 kali. Dosis pemberiannya adalah

0,5-1 vial unit dosis setiap 1 sampai 2 jam dan dilanjutkan setiap 4 sampai

6 jam melalui rute inhalasi (nebulisasi). Obat ini diberikan secara inhalasi

bertujuan agar mampu mengatasi sesak yang dialami oleh pasien dengan

cepat. Terapi kombinasi ini merupakan terapi simptomatis untuk

mengatasi gejala yang timbul akibat adanya ISPA.

4.2.2.4. Profil Penggunaan Obat Luar

Penggunaan obat luar pada pasien ISPA pediatri di salah satu rumah

sakit daerah Bangka terbagi menjadi 2 rute yaitu topikal dan rektal.

Pemberian rute topikal digunakan apabila pemberian obat tersebut

bertujuan untuk memiliki efek lokal. Sedangkan untuk rute pemberian

rektal merupakan salah satu rute pemberian alternatif untuk obat yang

memiliki kelemahan apabila diberikan secara per oral dapat mengiritasi

saluran cerna atau untuk menghindari obat mengalami metabolisme

lintas pertama. Pemberian rektal memiliki keuntungan dapat mencegah

penghancuran obat oleh enzim usus atau pH rendah di dalam lambung,

dan juga berguna jika obat dapat menginduksi muntah ketika diberikan

secara oral (Allen, 2009).

Pada penelitian ini penggunaan obat topikal yang paling banyak

adalah obat golongan antiinflamasi dan antipuritik sebanyak 7 kali,

dimana obat yang digunakan adalah Betametason salep, Betametason

krim, dan Mometason krim. Obat yang paling banyak digunakan adalah

Betametason salep dengan frekuensi sebanyak 4 kali.

Page 127: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

107  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Betametason digunakan untuk mengobati gatal-gatal, kemerahan,

kekeringan, pengerasan kulit, scaling, peradangan, dan ketidaknyamanan

dari berbagai kondisi kulit. Betametason termasuk golongan

kortikosteroid yang berfungsi sebagai antiinflamasi. Penggunaan obat ini

pada pasien pediatri di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah

Bangka untuk mengurangi gatal-gatal.

Kemudian untuk penggunaan obat rektal yang paling banyak

digunakan adalah obat golongan analgetik dan antipiretik Parasetamol

sebanyak 8 kali. Parasetamol (Asetaminofen) merupakan obat analgetik

non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin

terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol merupakan

penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Mekanisme

kerja Parasetamol adalah menghambat sistesis prostaglandin di SSP dan

perifer memblok impuls nyeri serta menghasilkan efek antipiretik dari

penghambatan pada pusat pengaturan panas di hipotalamus (Takemoto

et al, 2003). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja

analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak

menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).

Pemberian parasetamol pada pasien ISPA digunakan untuk mengobati

demam pada pasien, biasanya diberikan melalui rektal karena pemberian

secara oral tidak memungkinkan dan karena membutuhkan onset yang

cepat.

4.2.3. Jumlah Penggunaan Obat

Jumlah penggunaan obat merupakan jumlah obat yang diterima oleh

pasien selama dirawat di rumah sakit. Pada pasien ISPA tidak hanya

menerima terapi pokok berupa antibiotik saja melainkan terdapat

beberapa terapi suportif yang dapat digunakan untuk mengurangi gejala

pada pasien, sehingga pasien dapat menerima lebih dari satu jenis obat.

Penggunaan obat yang lebih dari satu yang diterima oleh pasien dapat

disebut dengan polifarmasi. Polifarmasi merupakan penggunaan jumlah

obat lebih dari 4 atau 5 obat yang diberikan kepada pasien yang sama.

Penggunaan obat lebih dari satu dapat menyebabkan masalah seperti

Page 128: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

108  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ketidaksesuaian pengobatan (interaksi obat, penggandaan obat), ketidak

patuhan, dan efek samping obat yang tidak diinginkan. (Hajar, dkk.,

2007).

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pasien pediatri di instalasi

rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka paling banyak

menerima 6-10 jenis obat selama di rawat yaitu sebanyak 60 pasien (75

%). Sedangkan untuk penggunaan obat lebih dari 10 jenis obat terdapat

9 pasien. Salah satu contoh pasien nomor 78, dimana pasien menerima

obat sebanyak 19 jenis selama dirawat di rumah sakit dan terdapat 9 jenis

obat per hari yang diberikan secara bersamaan pada pasien. Hal ini dapat

menyebabkan potensi terjadinya DRPs pada pasien pediatri.

4.2.4. Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) merupakan permasalahan terkait

obat yang tidak diinginkan yang dapat mengganggu keberhasilan dari

terapi pada pasien. Pada penelitian ini evaluasi DRPs pengobatan ISPA

dilakukan pada pasien pediatri. Pasien pediatri merupakan pasien yang

rentan untuk mengalami DRPs terutama pada pasien yang menerima obat

lebih dari 4 jenis obat. Terapi obat pada pediatri berbeda dengan terapi

obat pada orang dewasa karena perbedaan karakteristik. Perbedaan

karakteristik ini akan mempengaruhi farmakokinetika dan

farmakodinamika obat yang pada akhirnya akan mempengaruhi efikasi

dan/ atau toksisitas obat. Selain itu dosis pasien pediatri dengan dosis

pada pasien dewasa tidak sama sehingga memerlukan penyesuaian dosis

yang tepat agar obat dapat memberikan efek dan aman. Pemberian yang

tidak tepat pada pasien pediatri dapat menyebabkan DRPs. Pertimbangan

pengobatan pada anak, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa,

tetapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar

pada kemungkinan efek samping, karena adanya imaturitas fungsi

organ-organ tubuh, sehingga mungkin diperlukan penyesuaian dosis

serta pemilihan obat yang benar-benar tepat. Selain itu, pengobatan pada

anak juga memerlukan pertimbangan lebih kompleks, antara lain karena

Page 129: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

109  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berbagai masalah cara pemberian obat, pemilihan bentuk sediaan, dan

masalah ketaatan (patient's compliance).

Evaluasi DRPs bertujuan untuk menjamin terapi yang diberikan

kepada pasien rasional, efektif, efisien, aman dan bermutu. Evaluasi

DRPs terdiri dari beberapa kategori yaitu: indikasi tanpa obat, obat tanpa

indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis dibawah dosis terapi, dosis

melebihi dosis terapi, interaksi obat, dan ketidakpatuhan pasien. Namun,

pada penelitian ini tidak dapat dilakukan untuk evaluasi kategori

ketidakpatuhan pasien karena penelitian bersifat retrospektif.

Pasien dikatakan mengalami DRPs apabila pasien mengalami satu

atau lebih kategori DRPs pada pengobatannya. Berdasarkan hasil

penelitian diperoleh hasil bahwa dari 80 pasien terdapat 61 pasien

(76,3 %) yang mengalami DRPs pada pengobatan yang diterima oleh

pasien pediatri penderita ISPA di salah satu rumah sakit daerah Bangka.

4.2.4.1. DRPs Kategori Dosis Rendah

Dosis rendah dapat menyebabkan obat tidak dapat memberikan efek

sehingga akan mengganggu keberhasilan pengobatan pada pasien.

Menurut Cipolle et al., (1998), penyebab tidak efektifnya terapi obat

pada pasien antara lain pasien menerima obat dalam jumlah dosis kecil

terapi dibanding dari dosis lazim yang meliputi besaran, frekuensi dan

durasi. Dosis kurang dapat menyebabkan waktu pengobatan menjadi

lebih lama dan biaya pengobatan menjadi mahal.

Pada penelitian ini dosis yang diberikan pada pasien dibandingkan

dengan dosis yang direkomedasikan berdasarkan buku Pediatric Dosage

Handbook (2009) dan MIMS (2016). Dosis rendah dengan kriteria lebih

rendah dari 80 % dosis standar, hal ini berdasarkan kriteria Food Drug

and Administration (FDA). FDA menetapkan kriteria bioekivalensi obat

berkisar antara 80-125 % pada 90 % interval Area Under Curve (AUC)

dan konsentrasi dalam plasma maksimum (Cmax). Kriteria ini digunakan

pada obat baik yang rendah maupun tinggi variabilitasnya (Food Drug

and Administration, 2004).

Page 130: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

110  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa terdapat 48

pasien pediatri mengalami DRPs kategori dosis rendah. Namun pada

kenyataannya pasien dinyatakan mengalami perbaikan setelah menerima

obat tersebut. Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya perbedaan

fisiologis tubuh pada setiap pasien, sehingga dengan pemberian dosis

yang lebih kecil dari dosis yang dianjurkan literatur pada pasien tersebut

masih dapat memberikan efek terapi.

Jenis obat yang paling banyak ditemukannya dosis kurang dari dosis

terapi adalah obat kombinasi Pseudoefedrin HCl dan Klorfeniramin

Maleat. Obat kombinasi Pseudoefedrin HCl dan Klorfeniramin Maleat

digunakan untuk indkasi hidung tersumbat, bersin, rinore dan lakrimasi

yg menyertai flu atau selesma, rinitis alergika dan rinitis vasomoto.

Pseudoefedrin adalah suatu obat simpatomimetik dengan efek langsung

pada reseptor adrenergik yang memberikan efek dekongestan.

Klorfeniramin maleat merupakan suatu antihistamin turunan alkilamin

(propilamin) dengan efek antagonis secara kompetitif terhadap histamin

pada reseptor H1 sehingga memberikan efek antihistamin. Efek samping

rhinos adalah insomnia, sakit kepala, eksitasi, tremor, takikardia, artmia,

palpitasi, sulit berkemih, gangguan pencernaan, dan klorfeniramin dapat

menyebabkan mengantuk dan mulut kering. (MIMS, 2016). Penggunaan

rhinos pada pasien ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit

daerah Bangka untuk mengatasi gejala flu yang dialami pasien. Namun

pemberian dosis rhinos dibawah dari 80 % dosis terapi sehingga obat

tersebut berpotensi tidak dapat memberikan efek yang sesuai dan

kemungkinan dapat menyebabkan meningkatnya efek samping yang

merugikan pada pasien. Pada penelitian ini pasien yang menerima rhinos

adalah pasien dengan usia kurang dari 2 tahun dan usia 2-5 tahun. Dosis

rhinos dihitung berdasarkan berat badan pada pasien dibawah umur 2

tahun, dosis yang dihitung adalah dosis pseudoefedrin 4 mg/kgBB/hari.

Sedangkan untuk usia 2-5 tahun, dosis yang diberikan adalah 2,5 ml 3

x/hari.

Page 131: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

111  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Evaluasi DRPs kategori dosis rendah pada pasien tidak hanya dilihat

dari jumlah besaran obat yang diberikan, namun dilihat juga durasi

pemberian obat khususnya antibiotik. Antibiotik merupakan salah satu

terapi pokok pada pasien ISPA yang disebabkan oleh infeksi bakteri.

Penggunaan antibiotik oleh pasien harus memperhatikan waktu,

frekuensi dan lama pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan

kondisi pasien (Kemenkes, 2011). Hal ini untuk mencegah terjadinya

resistensi terhadap antibiotik.

Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat 26 pasien yang mengalami

ketidaktepatan durasi pemberian antibiotik. Ketidaktepatan durasi

pemberian antibiotik dalam penelitian ini adalah durasi pemberian

antibiotik yang kurang dari durasi pemberian yang sudah ditetapkan di

literatur. Dari hasil penelitian ketidaktepatan durasi pemberian antibiotik

yang paling banyak terjadi adalah antibiotik yang diberikan untuk pasien

penderita pneumonia. Antibiotik yang diberikan adalah Seftriakson,

dimana berdasarkan Phamaceutical Care ISPA pengobatan untuk pasien

pneumonia dengan antibiotik selama 5-10 hari bahkan sampai 14 hari.

Seftriakson merupakan antibiotik spektrum luas dan golongan

sefalosporin generasi ke 3. Mekanisme kerja Seftriakson adalah

bakterisidal dengan menghambat sintesis peptidoglikan yang diperlukan

kuman sehingga sel mengalami lisis dan sel bakteri akan mati (Katzung,

2004). Kurangnya durasi pemberian obat ini pada pasien dapat

menyebabkan obat tidak dapat bekerja optimal dalam membunuh bakteri

penyebab penyakit tersebut sehingga dapat menimbulkan resistensi

bateri terhadap antibiotik tersebut.

4.2.4.2. DRPs Kategori Dosis Tinggi

Pemberian dosis yang melebihi standar pemberian pada pasien dapat

meningkatkan resiko efek toksik yang membahayakan bagi pasien

(Cipolle at al.,1998). Drug related problems kategori dosis lebih adalah

pasien yang menerima obat dengan durasi, frekuensi dan durasi melebihi

dosis lazim. Dosis tinggi dengan kriteria lebih dari 125 % dosis standar

tersebut ditetapkan berdasarkan kriteria Food Drug and Administration

Page 132: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

112  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(FDA). FDA menetapkan kriteria bioekivalensi obat berkisar antara

80-125 % pada 90 % interval Area Under Curve (AUC) dan dalam

plasma maksimum (Cmax). Kriteria ini digunakan pada obat baik yang

rendah maupun tinggi variabilitasnya (Food Drug and Administration,

2004).

Berdasarkan dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa terdapat 10

pasien yang mengalami DRPs kategori dosis tinggi. Jenis obat tersebut

masing-masing adalah Deksametason dengan frekuensi sebanyak 4 kali,

Erdostein sebanyak 4 kali, kemudian Salbutamol nebulizer dan

Salbutamol oral masing-masing sebanyak 1 kali.

Salah satu contoh jenis obat yang paling banyak digunakan adalah

deksametason. Deksametason digolongkan ke dalam kelompok

glukokortikoid yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat

dan lemak. Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan

alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki

Prednisone (Katzung, 1998). Deksametason adalah kortikosteroid kuat

dengan khasiat immunosupresan dan antiinflamasi yang digunakan untuk

mengobati berbagai kondisi peradangan ( Samtani, 2005). Pada pasien

ISPA kortikosteroid digunakan untuk mengurangi edema subglotis

dengan cara menekan proses inflamasi lokal. Deksametason bertindak

sebagai anti-inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid

serta menurunkan kerja eosinofil. Efek samping pemberian

deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis, retensi

cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain. Pada penelitian ini, deksametason

dikatakan dosis tinggi karena dosis yang diberikan pada pasien melebihi

dari 125 % dosis literatur (anak-anak 0,08-0,3 mg/kg BB/hari 2-4 x/hari).

Kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan sindrom

Cushing dengan gejala-gejala moon face, striae dan acne yang dapat

pulih (reversibel) bila terapi dihentikan, tetapi cara menghentikan terapi

harus dengan menurunkan dosis secara bertahap (tappering-off) untuk

menghindari terjadinya insufisiensi adrenal akut. Pada anak, penggunaan

kortikosteroid dapat menghambat pertumbuhan dan dapat

Page 133: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

113  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mempengaruhi perkembangan pubertas. Oleh karena itu, penting untuk

menggunakan dosis efektif terendah, pemberian secara berselang sehari

dapat membatasi efek penurunan perkembangan anak. (IONI, 2008).

Selain itu pemberian Salbutamol pada pasien biasanya digunakan

secara bersama dengan obat golongan kortkosteroid. Kedua obat ini

dapat memperparah kondisi hipokalemia (Depkes RI, 2007; Ari, E. dan

Arif, A., 2008). Pemberian dosis berlebih dapat menimbulkan berbagai

macam efek samping. Efek samping yang dapat terjadi untuk obat

golongan β2 -agonis antara lain vasodilatasi pembuluh darah dengan

reflek takikardi, iritabilitas,  tremor, hiperaktifitas, gangguan

gastrointestinal (mual dan muntah), bronkospasme paradoksimal,

hipoksemia paradoksimal serta hipokalemi. Efek samping ini sebagian

besar disebabkan oleh stimulasi β adrenoreseptor, tergantung pada dosis,

aktifitas sel dan rute pemberian. Efek samping yang penting adalah

semakin memburuknya obstruksi saluran napas dikarenakan penurunan

tonus dinding saluran napas dan memburuknya ventilasi akibat perfusi

yang tidak sesuai (Rowley et al, 2003).

Kemudian untuk Erdostein penggunaan dosis tinggi dapat

menyebabkan berkeringat, vertigo dan kemerahan (IONI, 2008).

4.2.4.3. DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat

DRPs kategori indikasi tanpa obat pada penelitian ini terjadi apabila

pasien menderita penyakit baru selain penyakit ISPA namun tidak

mendapatkan terapi dan penanganan yang tepat. Hal ini dilihat dari

diagnosa pasien yang tercatat di rekam medis. Dari hasil penelitian tidak

terdapat DRPs kategori indikasi tanpa obat pada pasien pediatri penderita

ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka.

4.2.4.4. DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi

Obat tanpa indikasi terjadi ketika pemberian obat tidak sesuai

dengan diagnosa pasien. Hal ini dilakukan dengan cara melihat data dari

rekam medis pasien kemudian dibandingkan dengan literatur.

Page 134: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

114  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari data hasil penelitian terdapat 4 pasien yang menerima obat

tanpa indikasi. Pasien yang paling banyak mengalami DRPs kategori

obat tanpa indikasi adalah pasien dengan diagnosa bronkhiolitis

sebanyak 3 pasien yaitu 2 pasien diberikan antibiotik Seftriakson dan 1

pasien diberikan Amoksisilin. Berdasarkan Clinical Practice Guideline

dari American Academy Of Pediatri tahun 2014 menyatakan bahwa

penggunaan antibiotik pada pasien penderita bronkiolitis tidak

direkomendasikan karena penyebab utama bronkiolitis adalah virus

bukan bakteri. Respiratory Syncytial Virus (RSV) merupakan 70 %

penyebab terjadinya bronkhiolitis. Di negara maju untuk membedakan

infeksi karena RSV atau bakteri dapat dilakukan dengan cepat yaitu uji

serologis terhadap RSV dan pemeriksaan CRP. Apabila pemeriksaan

serologis terhadap RSV negatif maka tidak diperlukan antibiotik.

(Behrman, 1999). Di Indonesia, penggunaan uji serologis terhadap RSV

belum rutin dikerjakan sehingga kadang-kadang sulit dibedakan dengan

pneumonia bakteri. Masih banyaknya penggunaan antibiotik pada

bronkiolitis yang sebenarnya dapat dihindari (Van Woensel, 2003).

Namun karena sulitnya membedakan dengan bakteri terutama

superinfeksi oleh bakteri, maka masih digunakan antibiotik, meskipun

sebenarnya kurang tepat. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan

untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan intubasi dan ventilasi

mekanik untuk mencegah gagal napas (Ralston S.L., et al. 2014).

Antibiotik yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun untuk

Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan Eritromisin (WHO, 2005).

Pemberian antibiotik pada pasien pediatri di instalasi rawat inap

salah satu rumah sakit daerah Bangka dapat dikatakan tidak tepat karena

peneliti hanya melihat data yang tercantum didalam rekam medis pasien

kemudian dibandingkan dengan literatur dan peneliti tidak

mengobservasi keadaan pasien secara langsung untuk melihat gejala

klinis pada pasien karena data penelitian ini bersifat retrospektif.

Page 135: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

115  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2.4.5. DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat

Identifikasi drug related problems untuk kategori potensi interaksi

obat didasarkan pada pemakaian obat yang bersamaan dalam 1 hari

selama pasien dirawat di rumah sakit. Interaksi obat terjadi bila dua atau

lebih obat berinteraksi sehingga toksisitasnya dan keefektifitasnya

berubah (Fradgley, 2003). Pada penelitian ini, interaksi obat dianalisis

dengan buku standar yaitu Drug Interaction (Stockley et al, 2003), Drug

Interaction Facts (Tatro, 2001) serta literatur-literatur terkait interaksi

obat yang kemudian ditemukan adanya beberapa interaksi obat pada

pasien ISPA.

Pada penelitian ini terdapat 45 pasien yang mengalami DRPs

kategori potensi interaksi obat. Potensi interaksi obat terbagi menjadi 3

level tingkat keparahan yaitu major, moderate dan minor. Potensi

interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah potensi interaksi dengan

tingkat keparahan moderate yaitu sebanyak 99 kali. Salah satu contoh

obat yang paling banyak berpotensi mengalami interaksi adalah

salbutamol dengan pseudoefedrin dengan frekuensi sebanyak 20 kali.

Berdasarkan literatur salbutamol dan pseudoefedrin keduanya

menurunkan sedasi serta meningkatkan efek simpatis (adrenergik),

termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Meskipun

pemberian obat ini secara bersamaan berpotensi interaksi obat, namun

efek interaksi ini tidak terjadi pada pasien jika dilihat dari data rekam

medik pasien.

4.2.4.6. DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan keadaan dimana pasien

telah diresepkan obat yang tidak efektif, pasien alergi atau kontraindikasi

dengan obat yang diberikan, pasien menerima obat yang sama efektifnya

dengan terapi tunggal.

Pada penelitian ini terdapat 3 pasien yang mengalami DRPs kategori

ketidaktepatan pemilihan obat. Ketidaktepatan pemilihan obat yang

terjadi adalah ketidaktepatan pemilihan antibiotik dimana terdapat 2

pasien pneumonia yang diberikan Sefiksim dan Seftriakson.

Page 136: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

116  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sefiksim dan Seftriakson merupakan antibiotik golongan

sefalosporin generasi ke 3 yang berspektrum luas. Mekanisme kerja

keduanya sama yaitu bersifat bakterisidal dengan menghambat sintesis

peptidoglikan yang diperlukan bakteri sehingga sel mengalami lisis dan

sel bakteri akan mati. Pemberian secara bersamaan kedua obat yang

memiliki efek yang sama tentu akan menyebabkan meningkatnya efek

samping dari kedua obat, sehingga pada pasien ini sebaiknya diberikan

salah satu dari obat ini.

4.3. Keterbatasan Penelitian

4.3.1. Kendala

- Data hasil laboratorium untuk pemeriksaan bakteri yang menjadi

pemeriksaan penunjang untuk diagnosa ISPA tidak dilakukan,

sehingga sulit untuk menentukan ketepatan pemberian antibiotik

pada pasien.

4.3.2. Kelemahan

Penelitian ini memiliki kekurangan, diantaranya:

1. Penelitian deskriptif retrospektif

Pada penelitian deskriptif hanya dapat menggambarkan demografi

berupa hasil analisis ketepatan penggunaan obat untuk mengetahui

DRPs pada terapi yang digunakan oleh pasien. Dengan metode

retrospektif peneliti tidak dapat dilakukan observasi secara langsung

pada pasien hanya dapat melihat data dari rekam medis pasien.

2. Terdapat sediaan obat racikan yang tidak diketahui kekuatan sediaan

dan komposisinya.

4.4. Kekuatan Penelitian

Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di salah satu rumah

sakit daerah Bangka, diharapkan penelitian ini dapat menjadi refrensi dan

gambaran Drug Related Problems pada pasien rawat inap.

Page 137: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

  117  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta   

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Profil penggunaan obat pada pasien terdapat 13 kelas terapi yang

diberikan pada pasien. Kelas terapi yang paling banyak digunakan

pada pemberian injeksi adalah antibiotik, kemudian untuk pemberian

oral yang paling banyak adalah obat saluran pernapasan. Obat inhalasi

yang paling banyak digunakan adalah obat antiasma dan obat luar

untuk rute topikal adalah antiinflamasi dan antipuritik sedangkan

untuk rute rektal yaitu analgesik dan antipiretik.

2. Jenis Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien pediatri

di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka adalah

kategori dosis rendah, dosis tinggi, obat tanpa indikasi, potensi

interaksi obat dan ketidaktepatan pemilihan obat. Namun pada hasil

penelitian tidak ditemukannya jenis Drug Related Problems (DRPs)

kategori indikasi tanpa obat.

3. Jumlah dan persentase Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi

adalah DRPs kategori dosis rendah sebanyak 60 %, dosis tinggi

sebanyak 12,5 %, obat tanpa indikasi sebanyak 5 %, ketidaktepatan

pemilihan obat sebanyak 2,5 % dan potensi interaksi obat sebanyak

56,3 %, serta tidak terdapat DRPs kategori indikasi tanpa obat.

5.2. Saran

1. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter,

apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas

pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada pasien, sehingga

didapatkan terapi yang tepat, efektif, dan aman.

2. Perlu adanya peran yang maksimal atau optimal dari farmasi klinik

untuk memonitoring dan mengevaluasi penggunaan obat pasien agar

tidak terjadinya DRPs.

Page 138: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

118  

Uin Syarif Hidayatullah Jakarta   

3. Perlu adanya pemeriksaan mikrobiologi terhadap pasien ISPA pediatri

khususnya pada pasien penderita ISPA yang berat, agar pemberian

antibiotik tepat indikasi sehingga meminimalisir adanya resistensi

antibiotik.

Page 139: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

  

  119  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

DAFTAR PUSTAKA

Adam, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A. (1989) Diseases Of The Nasopharynx

And Oropharynx. In: Boies Fundamentals Of Otolaryngology, A Text Book

Of Ear, Nose And Throat Diseases, 6th Edition. W.B. Saunders. Philadelphia.

pp. 332-369.

Amarudin, T., A. Christanto, dan E. Samodra. (2007). Kajian Manfaat

Tonsilektomi. Oto Rhinol Laryngol Ind 37 (1): 20-31.

Anonim. (2009). British National Formulary, 58th ed. BMJ Group and RPS

Publishing. London.

__________. (2016). MIMS Referensi Obat Informasi Ringkas Produk Obat

Bahasa Indonesia Edisi 2016. PT. Buana Ilmu Populer. Jakarta.

Akib, A.A.P,et al. (2010). Alergi-Imunologi Anak Edisi ke-2. Badan Penerbit IDAI.

Jakarta.

Arguedas, A.G., Stutman, H.R., dan Marks, M.I. Bacterial Pneumonias. Dalam:

Wilmott, R.W., et al. (1990). Kendig’s Disorders of the respiratory tract in

children 5th Edition. Elsevier Saunders. Philadelphia: 371-94.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Metode Penelitian: Prosedur Penelitian Suatu

Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.

Bailie, G.R., et al. (2004). Medfacts Pocket Guide of Drug Interaction. Second

Edition. Bone Care International, Nephrology Pharmacy Associated Inc.

Middleton.

Behrman, R. E. (1999). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 1 Edisi 15. EGC.

Jakarta

Bisno, A.L. (2001). Acute Pharyngitis: Primary Care. The New England Journal of

Medicine 344 (3): 205-211.

Page 140: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

120  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C. (1998). Pharmaceutical Care

Practice. The Mc Graw Hills Companies. New York.

__________. (2004). Pharmaceutical Care Practice: The Clinican’s Guide, 2nd

edition. New York: The McGraw Hill Co.

Cody, D.T.R., et al. (1993). Penyakit Hidung, Telinga Dan Tenggorok. Jakarta.

EGC.

Croft, J., Norman, H. dan Fred, M. (2002). Tuberkulosis Klinik. Edisi 2. Penerbit

Widya Medik. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Pedoman Pemberantasan

Penyakit Saluran Pernafasan Akut. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

__________. (2005). Pharmaceutical Care untuk Infeksi Penyakit Saluran

Pernafasan. Direktorat Bina Komunitas dan Klinik Dirjen Bina Kefarmasian

dan Alat Kesehatan. Jakarta.

__________. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis.

Direktorat Bina Komunitas dan Klinik Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan. Jakarta.

__________. (2012). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Jakarta.

__________. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 dalam Laporan

Nasional 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Desai, S., et al., (2008). Disease of the Respiratory Tract. In: Greenberg, M.S., M.

Glick, dan Jonathan A S. (2008). Burket’s Oral Medicine. BC Decker Inc.

Hamilton, Ontario. pp. 305 - 306.

Page 141: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

121  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Dewi, D. A. (2012). Studi Prevalensi Drug Related Problem (DRPS) Terapi

Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Periode Januari-Desember 2010. Skripsi. UII

Yogyakarta. Yogyakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tengah. (2014). Profil Kesehatan Kabupaten

Bangka Tengah Tahun 2014. Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tengah.

Bangka Tengah.

Dwiprahasto, Iwan. (2005). Drug Use Study for Acute Respiratory Infection in

Children Under 10 Years of Age. Berkala Ilmu Kedokteran 37 (4): 204-211.

Flaherty, J. F. (2002). Respiratory Tract Infection Therapeutics. University of

California San Francisco. San Fransisco. pp. 61-86.

Grouzard, V., et al. (2016). Clinical Guidelines; Diagnosis and Treatment Manual

2016 Edition. Medecins Sans Frontieres. Swiss.

Haidar, S.H., et al. (2008). Evaluation of a Scaling Approach for the

Bioequivalence of Highly Variable Drugs. American Association of

Pharmaceutical Scientists Journal 10 (3): 450-454.

Herawati S. dan S. Rukmini. (2003). Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. EGC.

Jakarta.  

Istikomah. (2013). Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Anak

Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2012. Skripsi. Universitas

Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. 

IONI. (2008). Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan POM RI.

Kemenkes RI. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

269/MenKes/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis. Jakarta.

Page 142: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

122  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

__________. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

Tentang Rumah Sakit. Jakarta.

__________. (2011). Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik.

Direktorat Bina Komunitas dan Klinik Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan. Jakarta.

__________. (2013). Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

__________. (2013). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

328/Menkes/SK/VIII/2013 Tentang Formularium Nasional. Jakarta.

__________. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58

Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.

Jakarta.

__________. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Primer. Jakarta

__________. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Mahmoud, A. M. (2008). Drug Therapy Problems and Quality of Life in Patients

with Chronic Kidney Disease. Thesis. University Sains Malaysia. Malaysia.

Mansbach, J.M. dan C.A. Camargo. (2009). Respiratory Viruses In Bronchiolitis

And Their Link To Recurrent Wheezing And Asthma. Clin Lab Med 29(4):

741–55.

Mansjoer, A., Suprohaita, W.K. Wardhani,W. Setiowulan. (2000). Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Mayfield S., et al. (2014). High-Flow Nasal Cannula Oxygen Therapy For Infants

With Bronchioltis: Pilot Study. Journal Paediatrics and Child Health 50(5):

373-8. doi: 10.1111/jpc.12509.

Page 143: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

123  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Ministry Of Tanzania. (2013). Standard Treatment Guidelines And Essential

Medicines List. Fourth Ed. Ministry Of Health And Social Welfare. The

United Republic of Tanzania.

Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Balita,

Orang Dewasa, Usia Lanjut. Pustaka Obor Populer. Jakarta.

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Pernafasan. Salemba Medika. Jakarta.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. EGC. Jakarta.

Nori, D.O., Tavga A.A., dan Saad A.H. (2014). Drug Related Problems in

Sulaimani Pediatric Teaching Hospital, Iraq. World Journal of

Pharmaceutical Sciences 2 (6): 534-538.

Notoatmojo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta.

Jakarta.

PCNE. (2010). PCNE Classification for Drug Related Problems. Pharmaceutical

Care Network Europe Foundation.V6.2 revised 14-01-2010vm: 1-9.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia Komuniti: Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Piscitelli, S. C., dan K. A. Rodvold. (2005). Drug Interaction in Infection Disease.

Second Edition. Humana Press. New Jersey.

Plint, A.C., et al. (2009). Epinephrine and Dexamethasone in Children with

Bronchiolitis. The New England Journal of Medicine 360 (20): 2079-89. doi:

10.1056/NEJMoa0900544

Prest, M. (2003). Penggunaan Obat Pada Anak, dalam: Aslam, M., Tan, C.K.,

Prayitno, A., Farmasi Klinis : Menuju Pengobatan Rasional dan penghargaan

Pilihan Pasien. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.

pp. 191-192.

Page 144: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

124  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Ralston, S.L., et al. (2014). Clinical Practice Guideline: The Diagnosis,

Management, And Prevention Of Bronchiolitis. American Academy of

Pediatrics 134(5): 1474-502.

Rashed, A. N., A. Neubert,., dan S. Tomlin (2012). Epidemiology and potential

associated risk factors of drug-related problems in hospitalised children in the

United Kingdom and Saudi Arabia. Euoropen Journal 68 (12): 1657-1666.

Rashed, A.N., et al. (2013). Epidemiology and potential risk factors of drug-related

problems in Hong Kong paediatric wards. British Journal of Clinical

Pharmacology 77(5): 873-879.

Reeves, C. J., G. Roux, dan R. Lockhart. (1999). Medical Surgical Nursing. The

McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. Terjemahan: dr. J.

Setyono. (2001). Keperawatan Medikal Bedah, (Edisi 1). Salemba Medika.

Jakarta.

Rovers, J.P., et al. (2003). A Practical Guide To Pharmaceutical Care, Second

Edition. American Pharmaceutical Association. Washington DC.

Rudan, Igor, et al. (2008). Epidemiology And Etiology Of Childhood Pneumonia.

Bulletin of the World Health Organization 86: 408–416.

Setiawati, A. (2007). Interaksi obat, dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi lima.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Gaya Baru. Jakarta.

Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, Edisi 2. EGC. Jakarta.

Shutman, et al. (2012). IDSA Guideline: Clinical Practice Guideline for the

Diagnosis and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis: 2012

Update by the Infectious Diseases Society of America. Oxford University

Press. Amerika.

Siregar, C.J.P. Lia Amalia. (2003). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. pp. 7-18.

Page 145: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

125  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Smeltzer, C.S., dan Brenda G.B. (2002). Terjemahan A. Waluyo, et al. (2002).

Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8th.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Soepardi, E. A., et al. (2002). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan.

Pharmaceutical Press. Great Britain.

Strand, L.M., et al. (1990). Drug Related Problems: Their Structure and Function.

Departemen of Pharmacy Practice. Amerika Serikat.

Sugiyono. (2012). Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &D.

Alfabetha. Bandung.

Supriyatno, B. (2006). Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Sari Pediatri

8 (2): 100-106.

Takata, G.S., et al. (2008). Development, Testing, and Findings of a Pediatric-

Focused Trigger Tool to Identify Medication-Related Harm in US Children’s

Hospitals. Pediatrics 121 (4). Retrieved from:

http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/121/4/e927 [Accessed April 18,

2016]

Takemoto, C.K., Jane H.H., dan Donna M.K. (2003). Pediatric Dosage Handbook

9th Edition. Lexi Comp, Inc. Canada.

Thompson, L.D.R. Pharyngitis. In:.; Bailey, B.J., Johnson, J.T., dan Newlands,

S.D. (2006). Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 4th Edition.

Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, PA. pp. 601-614.

Welliver RC. Bronchiolitis And Infectious Asthma. In: Feigin RD, et al. Feigin

Textbook of Pediatric Infectious Disease. 6th ed. (2009). WB Saunders.

Philadelphia. pp. 277-85

Page 146: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

126  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

WHO. (2003). Penanganan ISPA pada Anak Rumah Sakit Kecil Negara

Berkembang. Pedoman untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

__________. (2005). Technical updates of the guidelines on the Integrated

Management of Childhood Illness (IMCI): Evidence and recommendations

for further adaptations. WHO Press. Geneva.

__________. (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut yang cenderung menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

__________. (2013). Pocket Book Of Hospital Care For Children: Guidelines For

The Management Of Common Childhood Illnesses. 2nd Ed. WHO Press.

Geneva.

Wong, D.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric Volume 2. EGC. Jakarta.

Yasin, N.M., Joko S., dan Eri S. (2009). Drug Related Problem (DRP) of Dengue

Hemorragic Fever (DHF) medication in pediatric patient. Majalah Farmasi

Indonesia 20 (1): 27 – 34.

Page 147: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

  127  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta   

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Pengambilan Data dan Penetian Dari Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 148: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

128  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 2. Surat Persetujuan Izin Penelitan dan Pengambilan Data Dari

Rumah Sakit Umum Daerah Bangka Tengah

Page 149: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

129  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 3. Rekapitulasi 5 Data Pasien dari 80 Sampel Penelitian

Keterangan : Jumlah Sampel 80 Pasien (*Data Tidak Dapat Ditampilkan Semua)

No L/P

Usia BB Kg

Tanggal Dirawat

Diagnosa Dirawat/Penyakit

Penyerta

Obat yang Digunakan

Nama Generik

Ket Rute Dosis Obat

Dosis Literatur Waktu

Penggunaan Status Pasien

1 P 5 Th

21 29/12/2014 -

03/01/2015

Pneumonia Lasal Salbutamol Bronkhodilator

Oral 3 x ½ cth

2-6 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, 3 x/hari (*)

30/12/2014 –

03/01/2015 (5 hari)

Sembuh

Sanmol Parasetamol Anti-piretik

Oral 3 x 2 cth

4-5 tahun (36-47 pon) 240 mg (*) 2-6 tahun 5-10 ml 3-4x/hari (**)

Ambroxol Ambroxol Mukolitik Oral 2 x ½ cth

2-6 tahun 2,5 ml, 3x/hari (**)

Interzink Zink Suplemen Oral 1 x 1 cth

6 bulan-5 tahun, 1 cth 1x/hari (**)

Nebu Combivent

Ipratropium Bromida & Salbutamol sulfat

Bronkhodilator

Inhalasi 3 x 1 UDV

1 UDV, 2-3x/hari (****)

Page 150: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

130  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Ceftriaxon Ceftriaxon Antibiotik Injeksi 2 x 750 mg

1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari (*)

2 L 1,9Th

10 11/02/2015 –

13/02/2015

Rhinofaringitis Sanmol Syr Parasetamol Anti-piretik

Oral 3 x 1 cth

1-2 tahun (18-23 pon) 120 mg (*) 1-2 tahun 5 ml 3-4x/hari (**)

11/02/2015 –

13/02/2015 (3 hari)

Sembuh

Lasal Salbutamol Bronkhodilator

Oral 3 x ½ cth

< 6 tahun 2,5-5 ml 2-3x/hari (**)

Psidii - Suplemen Oral 2 x 1 cth

1-2 cth 3x/hari

Cefixime Cefixime Antibiotik Oral 2 x ½ cth

6 bulan – 12 tahun 8 mg/kg BB, 1x/hari atau 4 mg/kg BB,2x/hari, dosis maks 400 mg/hari (*)

Page 151: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

131  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

3 P 2,2 11 16/05/2015 -

20/05/2015

Nasofaringitis Akut, Kejang

Parasetamol Parasetamol Anti-piretik

Oral 3x1 cth

2-3 tahun (24-35 pon), 160 mg (*) 2-6 tahun , 5-10 ml, 3-4 x/hari (**)

16/05/2015 -

20/05/2015 (5 hari)

Sembuh

Mucera Ambroxol Mukolitik Oral 3x1/3 cth

2-5 tahun,

½ cth 3 x/hari (****)

Cefixime Cefixime Antibiotik Oral 2 x ½ cth

6 bulan – 12 tahun 8 mg/kg BB, 1x/hari atau 4 mg/kg BB, 2x/hari, dosis maksimal 400 mg/hari (*)

Diazepam Diazepam Anti-kejang

Oral 2 mg 3 x 1 pulv

Anak-anak 1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 8 jam (*)

Elkana - Vitamin Oral 1 x ½ cth

< 6 tahun, 2,5 ml, 2 x/hari

19/05/2015 -

20/05/2015 (2 hari)

Page 152: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

132  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Cetirizine Cetirizine Anti-histamin

Oral 1 x ½ cth

2-6 tahun, 2,5 ml 1x/hari atau 5 ml 1x/hari (*)

Lasal Salbutamol Bronkhodilator

Oral 3 x ½ cth

< 12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, 3 x/hari (*)

Trilac Triamsinolon Anti-inflamasi

Oral 3 x 1,5 mg

Anak-anak < 12 tahun 416 µg-1,7 mg/kg BB/hari(**)

Nebu Combivent

Ipratropium Bromida & Salbutamol sulfat

Bronkhodilator

Inhalasi 3 x 1 UDV

1 UDV, 2-3x/hari (****)   

18/05/2015 -

20/05/2015 (3 hari)

4 P 3 Th

10,4 28/12/2015 -

31/12/2015

Rhinofaringitis, Demam Berdarah,

Hipertermia

Asedas - Vitamin Oral 1 x 1 cth

< 6 tahun, ½-1 C, 2x/hari (**)

28/12/2015 -

31/12/2015 (4 hari)

Sembuh

Sanmol Parasetamol Anti-piretik

Oral 3 x 1 cth

4-5 tahun (36-47 pon) 240 mg (*) 2-6 tahun 5-10 ml 3-4x/hari (**)

Lasal Salbutamol Bronkhodilator

Oral 3 x 2,5 ml

< 12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, 3 x/hari (*)

29/12/2015 -

Page 153: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

133  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Rhinos Pseudoephe-drine HCl 15 mg, Chlorpheniramine Maleate 1 mg

Deko-ngestan

Oral 3 x 1 ml

2-5 tahun, 2,5 ml 3x/hari (**)

31/12/2015 (3 hari)

Sanmol Suppos

Parasetamol Anti-piretik

Rektal 125 mg

10-20 mg/kg BB, setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan (*)

28/12/2015 (1 hari)

5 P 13 Th

38 26/08/2015 -

31/08/2015

Demam Berdarah, Tonsilitis

Imudator - Suple-men

Oral 1 x 1 cth

>12 tahun 2 C, 1-3x/hari (**)

27/08/2015 -

30/08/2015 (4 hari)

Sembuh

Parasetamol Parasetamol Anti-piretik

Oral 3 x 500 mg

>12 tahun dan dewasa 325-650mg maksimal 1g, 3-4x/hari (*)

26/08/2015 -

28/08/2015 (3 hari)

dilanjutkan 30/08/2015

(1 hari)

Psidii - Suplemen Oral 3 x 1 cth

1-2 cth 3x/hari 27/08/2015 -

31/08/2015 (5 hari)

Trilac Triamsinolon Anti-

inflamasi Oral 3 x ½

tab

Anak-anak > 12 tahun

29/08/2015 (1 hari)

Page 154: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

134  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

4-48 mg/hari, 3xhari (**)

Ancla Amoksisilin dan Asam Klavulanat

Antibiotik Oral 3 x 1 ½ cth

> 12 tahun < 40 kg 20-40 mg (amoksisi-lin)/kg BB/hari,3x/hari (*)

29/08/2015 -

31/08/2015 (3 hari)

Keterangan:

* : Pediatric Dosage Handbook 9th Edition, 2002

** : MIMS, 2016

*** : Juknis Manajemen TB, 2013

**** : Drugs.com

***** : Pedoman TB Nasional, 2014

****** : Guidelines For The Management Of Common Childhood Illnesses Second edition, WHO, 2013

Page 155: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

135  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Dosis Rendah dan Dosis Tinggi yang Paling Banyak (*Data Tidak Dapat Ditampilkan Semua)

Nomor Pasien

Penyakit / Nama Obat Yang Tidak

Tepat Dosis / Usia / BB

Kekuatan Sediaan

Dosis Literatur

Jenis DRPs Ketepatan Durasi Pemberian Antibiotik

Kategori Dosis

Dosis Rendah Dosis Tinggi Tepat Durasi Tidak Tepat Durasi

4

Hipertermia, Rhinofaringitis Demam Berdarah Rhinos 3 x 1 ml

Rhinos 5 ml Pseudoephe-drine HCl 15 mg, Chlorpheniramine Maleate 1 mg 

Rhinos Pseudoefedrin < 2 tahun 4 mg/kgBB/hari Klofeniramin < 12 tahun 0,35 mg/kgBB/hari

Rhinos dosisnya kurang seharusnya

41,6 mg = 13,86 ml (minimal

13,86 x 80%= 11,08 ml) yang diberikan 3

ml

- - -

10

Pneumonia Asma Bronkhial 5 Tahun

16,5 Kg

Sanmol 3 x ½ cth Ceftriaxon 2 x 800 mg

Sanmol 120mg/5ml Ceftriaxon Inj 1 g/ vial 1 UDV, 2.5ml

Sanmol 4-5 tahun (36-47 pon) 240 mg Ceftriaxon 1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari

Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10

Sanmol kurang dosisi (dosis lazim

240 mg= 2 cth, 80 % = 192 mg, yang

diberikan 180mg)

- - Ceftriaxon diberikan 4

hari

Page 156: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

136  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

hari bahkan bisa sampai 14 hari

11

Pneumonia

2,7 Tahun

13 Kg

Rhinos 3 x 1 ml Lasal 3 x ½ cth Ambroxol 2 x 1/3 cth

Ambroxol 15mg/5ml Lasal 2mg/5ml Rhinos / 5 ml Pseudoephe-drine HCl 15 mg, Chlorpheniramine Maleate 1 mg

Lasal Anak-anak <12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, maksimum 5 mg, Ambroxol Anak-anak 1,2-1,6 mg/kgBB/hari Rhinos 2-5 tahun, 2,5 ml 3x/hari

Lasal kurang dosis seharusnya 1,3 mg=

3,25 ml (minimal 3,25 ml x 80 % = 2,6 ml) diberikan 2,5 ml

Rhinos dosis kurang seharusnya 2,5 ml,

(minimal 2,5 ml x 80 %= 2 ml, diberikan 1 ml

Ambroxol dosis

kurang seharusnya 15,6 mg (minimal 15,6 mg x 80 %= 12,48 mg) yang

diberikan 10,02 mg

- - -

17

Pneumonia

8 Bulan

6,3 Kg

Rhinos 3 x 1.8 ml

Rhinos / 5 ml Pseudoephe-drine HCl 15 mg, Chlorpheniramine Maleate 1 mg

Rhinos Pseudoefedrin < 2 tahun 4 mg/kgBB/hari Klofeniramin < 12 tahun 0,35 mg/kgBB/hari

Rhinos dosis kurrang seharusnya

25,2 mg = 8,4 ml dosis pseudoefedrin

(minimal 8,4 ml x 80%= 6,72 ml),diberikan 5,4 ml

- - -

Page 157: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

137  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

22

Pneumonia

1, 5 Tahun

9 Bulan

Ceftriaxon 2 x 450 mg Rhinos 3 x ½ cth

Ceftriaxon Inj 1 g/ vial 1 UDV, 2.5ml Rhinos 5 ml Pseudoephe-drine HCl 15 mg, Chlorpheniramine Maleate 1 mg

Rhinos Pseudoefedrin < 2 tahun 4 mg/kgBB/hari Klofeniramin < 12 tahun 0,35 mg/kgBB/hari Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

Rhinos dosis rendah dilihat dari dosis pseudoefedrin 36

mg/hari (minimal

36 mg x 80%= 28,8 mg) diberikan 22,5

mg

- - Ceftriaxon diberikan 4

hari

25

Pneumonia 7 Bulan

9,1 Kg

Alco 3 x 0,8 cc Metil Prednisolon 3 x 1 mg pulv

Alco drop 7,5 mg/0,8 ml

Alco Anak-anak < 2 tahun 4 mg/kg BB/hari, 4x/hari Metil Prednisolon 0,5 – 1,7 mg/kg BB/hari Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dengan durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

Alco dosis kurang,

seharusnya 3,8 ml (minimal

3,8 ml x 80 % = 3,04 ml/hari)

diberikan 2,4 ml/hari

Metil Prednisolon kurang dosis, seharusnya

4,55 mg (minimal

4,55 mg x 80 % = 3,64 mg)

diberikan 3 mg/hari

- -

Cefixime diberikan 1 hari

Ceftriaxon diberikan 3

hari

(Diberikan pada hari yang berbeda)

Page 158: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

138  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

26

Pneumonia

3 Tahun

15 Kg

Lasal

3 x ½ cth Rhinos 3 x 1 ml Ceftriaxon 2 x 650 mg Trilac 3 x 1,5 mg

Lasal 2mg/5ml Ceftriaxon Inj 1 g/ vial Trilac 4 mg/tab Rhinos / 5 ml Pseudoephe-drine HCl 15 mg, Chlorpheniramine Maleate 1 mg

Lasal Anak-anak <12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, maksimum 5 mg, Rhinos 2-5 tahun, 2,5 ml 3x/hari Trilac Anak-anak < 12 tahun 416 µg-1,7 mg/kg BB/hariCeftriaxon 1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

Rhinos kurang dosis seharusnya 2,5 ml

(minimal 2,5 ml x 80 %= 2

ml), diberikan 3 ml

Trilac dosis kurang

seharusnya 6,24 mg, (minimal

6,24 mg x 80% = 4,992 mg/hari)

diberikan 4,5 mg

Lasal kurang dosis berdasarkan BB

seharusnya 1,5 mg = 3,75 ml

(minimal 3,75 ml x 80% = 3

ml) diberikan 2,5 ml

- - Ceftriaxon diberikan 4

hari

32

Pneumonia Down Syndrom 2,5 Tahun

3,6 Kg

Interzink

1 x ½ cth

Interzink 20 mg/5 ml Deksametason 5mg/ml

Interzink 6 bulan-5 tahun, 1 cth 1x/hari Deksametason Anak-anak 0,08-0,3 mg/kg BB/hari 2-4 x/hari

Interzink dosis kurang, seharusnya

diberikan 1 cth 5 ml

(minimal 5 ml x 80 % = 4 ml), diberikan

hanya 2,5 ml

Deksametason dosis tinggi seharusnya

diberikan 1,08 mg

(maksimal 1,08 mg x 125 % =

1,35 /hari) diberikan

¼ amp =

- -

Page 159: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

139  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Deksametason

3 x ¼ amp

1,25 mg x 3 = 3,75 mg/hari

34

Pneumonia Anemia Defek Septum Atrium

9 Bulan

8,5 Kg

Lasal 3 x 1,5 cc Vectrin 1 x 1 cth Lasix Inj 1 x 4 mg

Lasal 2mg/5ml Vectrin 175 mg/5 ml Lasix Inj 10 mg/ml

Lasal Anak-anak <12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, maksimum 5 mg Lasix 1 bulan – 1 tahun 1-6 mg/kgBB/hari setiap 6-12 jam Vectrin Dewasa dan anak-anak > 30 kg 10 ml 2x/hari Anak-anak 20-30 kg 5 ml 3x/hari Anak-anak 15-19 kg 5 ml 2x/hari

Lasal dosis kurang seharusnya diberikan 0,85 mg = 2,125 ml

(minimal 2,125 ml x 80% =

1,7 ml), yang diberikan 1,5 ml

Lasix dosis kurang

seharusnya diberikan 8,5 mg, (minimal 8,5 mg x 80%= 6,8 mg), yang diberikan 4 mg

Vectrin dosis tinggi seharusnya dihitung

dengan menggunakan rumus clarck

8,5 x 2,2 pon = 18,7 pon

18,7/150 x 10 ml = 1,25 ml

(maksimal 1,25 ml x 125 % =

1,56 ml) yang diberikan 5 ml

- -

37

Pneumonia Wheezing infant

10 Bulan

9,2 Kg

Lasal 3 x 2 cth

Lasal 2mg/5ml Ceftriaxon Inj 1 g/ vial 1 UDV, 2.5ml Azitromisin 200mg/5ml

Lasal Anak-anak <12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, maksimum 5 mg Azitromisin Anak-anak, 5mg/kg BB 1x/hari, maksimal 250mg/hari Ceftriaxon 1 bulan – anak-anak 50-

-

Lasal dosis tinggi seharusnya diberikan 1,84 mg

(maksimal 1,84 mg x 125%= 2,3 mg diberikan 4

mg

Ceftriaxon diberikan 3 hari

Azitromisin diberikan

3 hari

(diberikan pada hari yang sama)

Page 160: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

140  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Azitromisin 1 x ½ cth

Ceftriaxon 2 x 450 mg

75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

41

Pneumonia Wheezing Infant

2 Bulan

6,4 Kg

Rinocet 1 x 0,2 cc Alco 3 x 0,5 cc Ceftriaxon 2 x 300 mg

Ceftriaxon Inj 1 g/ vial 1 UDV, 2.5ml Alco drop 7,5 mg/0,8 ml Rinocet 5 mg/ 5 ml

Rinocet Anak-anak < 2 tahun 0,25 mg/kgBB/hari 1x/hari Alco Anak-anak < 2 tahun 4 mg/kg BB/hari, 4x/hari Ceftriaxon 1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari

Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

Rinocet dosis

kurang, seharusnya diberikan 1,6 mg =

1,6 ml, (minimal

1,6 ml x 80 %= 1,28 ml, diberikn 0,2 ml

Alco

dosis kurang, seharusnya diberikan

25,6 mg = 2,7 ml/hari, (minimal 2,7 ml x 80 %= 2,16 ml), yang

diberikan 1,5 ml/hari

- -

Ceftriaxon diberikan 4 hari

Page 161: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

141  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

44

Pneumonia

7 Bulan

7,6 Kg

Azitromisin 1 x 1,8 cc Ceftriaxon 2 x 350 mg Puyer Batuk 3 x 1 pulv

Ceftriaxon Inj 1 g/ vial 1 UDV, 2.5ml Azitromisin 200mg/5ml Puyer batuk Trilac 0,75 mg Salbutamol 0,6 mgAmbroxol 2,5 mg

Azitromisin Anak-anak, 5mg/kg BB 1x/hari, maksimal 250mg/hari Ceftriaxon 1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari Maksimal 2-4 g/hari Puyer batuk Salbutamol: Anak-anak <12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, maksimum 5 mg, Trilac: Anak-anak < 12 tahun 416 µg-1,7 mg/kg BB/hari Ambroxol: Anak-anak 1,2-1,6 mg/kgBB/hari Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

Trilac pada puyer

batuk dosis kurang seharusnya

3,16 mg/hari (minimal

3,16 ml x 80%= 2,5 mg/hari) diberikan

2,25 mg/hari

Ceftriaxon diberikan 4 hari

Azitromisin diberikan

2 hari

(Diberikan pada hari yang sama)

49

Pneumonia

7,6 Tahun

Lasal 2mg/5ml Rhinos 5 ml Pseudoephe-drine HCl 15 mg,

Lasal Anak-anak <12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, maksimum 5 mg Rhinos

Lasal dosis kurang, seharusnya diberikan

2,3 mg (minimal

2,3 mg x 80% =

- - -

Page 162: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

143  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

3 x 0,6 cc Mucos 2 x 0,2 ml Ceftriaxon 2 x 350 mg

Ceftriaxon 1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari

Durasi Pemberian :

Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

Alco kurang dosis seharusnya diberikan

30 mg/hari, (minimal

30 mg x 80 %= 24 mg/hari= 2,56 ml), yang diberikan 1,8

ml/hari

Mucos kurang dosis berdasarkan BB 7,5

kg, 9 mg = 0,6 ml

(minimal 0,6 ml x 80 %= 0,48 ml) diberikan 0,4 ml

65

Pneumonia Konjungtivitis 7 Bulan

6,2 Kg

Alco 3 x 0,4 Ceftriaxon 2 x 300 mg

Ceftriaxon Inj 1 g/ vial 1 UDV, 2.5ml

Alco drop 7,5 mg/0,8 ml

Alco Anak-anak < 2 tahun 4 mg/kgBB/hari, 4x/hari Ceftriaxon 1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

Alco kurang dosis

seharusnya diberikan 24,8 mg =

2,6 ml (minimal 2,6 ml x 80% = 2,04 ml) yang diberikan

1,2 ml

- -

Ceftriaxone diberikan 4 hari

Page 163: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

144  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

67

Pneumonia Kejang Demam Kompleks 2,2 Tahun

15 Kg

Praxion

3 x ¾ cth Lasal

3 x ½ cth Vectrin 2 x 1 cth

Praxion 120 mg/5 ml Lasal 2mg/5ml Vectrin 175 mg/5 ml

Praxion 2-6 tahun 5-10 ml 3-4x/hari Lasal Anak-anak < 12 tahun 0,1-0,2 mg/kg BB, 3x/hari Vectrin Dewasa dan anak-anak > 30 kg 10 ml 2x/hari Anak-anak 20-30 kg 5 ml 3x/hari Anak-anak 15-19 kg 5 ml 2x/hari

Praxion (PCT) dosis kurang seharusnya 150 mg = 6,25 ml

(minimal 6,25 ml x 80 % = 5 ml) yang diberikan

3,75 ml

Lasal dosis kurang seharusnya 1,5 mg =

3,75 ml (minimal 3,75 ml x 80% = 3 ml) yang diberikan

2,5 ml

Vectrin dosis tinggi seharusnya

33 pon/150 x 10 ml = 2,2 ml (maksimal 2,2 ml x 125 % =

2,75 ml) yang diberikan 5 ml

- -

72

Pneumonia Penyakit Jantung Kongenital Asianotik 2 Bulan 3,6 Kg Rinocet 1 x 0,2 cc Deksametason 3 x 1 amp

Deksametason 5mg/ml Rinocet (cetirizin) 5 mg/ 5 ml

Rinocet Anak-anak < 2 tahun 0,25 mg/kgBB/hari 1x/hari Deksametason Anak-anak 0,08-0,3 mg/kg BB/hari 2-4 x/hari

Rinocet dosis kurang seharusnya

0,25mg/kg x 3,6 kg= 0,9 ml (minimal

0,9 ml x 80 % 0,72 ml diberikan 0,2 ml

Deksametason seharusnya 0,3 x 3,6

= 1,08 mg (maksimal

1,08 mg x 125%= 1,35 mg)

diberikan 5 mg

-

76

Pneumonia

5 Tahun

Ceftriaxon Inj 1 g/ vial 1 UDV, 2.5ml

Deksametason Anak-anak 0,08-0,3 mg/kg BB/hari 2-4 x/hari Ceftriaxon

Aminofilin dosis maintenance

seharusnya 14 mg x 12 jam = 168 mg

(minimal

Deksametason dosis tinggi seharusnya 0,3 x 14 = 4,2 mg

(maksimal 4,2 mg x 125 %=

-

Ceftriaxon diberikan 4

hari

Page 164: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

145  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

14 Kg

Deksametason 3 x 2 mg Ceftriaxon 2 x 350 mg Aminofilin Loa-ding dose 84 mg + 20 cc D5 % dalam 15 menit, 80 cc/jam 120 mg / 12 jam aminofilin + D5 % 48 cc 4 cc/jam habis 12 jam

Deksametason 5mg/ml Aminofilin 24mg/ml

1 bulan – anak-anak 50-75 mg/kg BB/hari, 1-2x/hari Loading dose anak-anak 6 mg/kgBB/hari Selanjutnya dosis maintenance anak-anak 1-9 tahun 1-1,2 mg/kgBB/jam Durasi Pemberian : Menurut PC penyakit ISPA 2005 antibiotik untuk pneumonia diberikan dg durasi 5-10 hari bahkan bisa sampai 14 hari

168 mg x 80%= 134,4 mg) diberikan

120 mg

5,25 mg/hari) diberikan 6 mg/hari

78

TB Paru dalam terapi OAT 1 bulan Pneumonia Asma Bronkial 5 Tahun 10 Kg Vectrin 1 x 1 cth Trilac 3 x 1 mg Ondansetron

Trilac 4 mg/tab Vectrin 175 mg/5 ml Ondansetron 2 mg/ml Ceftazidim 1 g/vial

Vectrin Dewasa dan anak-anak > 30 kg 10 ml 2x/hari Anak-anak 20-30 kg 5 ml 3x/hari Anak-anak 15-19 kg 5 ml 2x/hari Trilac Anak-anak < 12 tahun 416 µg-1,7 mg/kg BB/hari Ondansetron Anak-anak 0,15 mg/kg BB, dosis maksimal 8 mg

Trilac dosis kurang seharusnya 4,16 mg

(minimal 4,16 mg x 80 % =

3,3 mg) yang diberikan 3 mg

Ondansetron dosis kurang seharusnya 1,5 mg (minimal

1,5 mg x 80%= 1,2 mg) yang diberikan

1 mg

Vectrin dosis tinggi seharusnya

22 pon/150 x 10 ml = 1,47 ml (maksimal

1,47 ml x 125 % = 1,8 ml), yang

diberikan 5 ml

- -

Page 165: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

146  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

2 x 1 mg Ceftazidim 3 x 250 mg

Ceftazidim Anak-anak 1 bulan – 12 tahun 100-150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam, maksimal 6 g/hari

Ceftazidim kurang dosis seharusnya

1000 mg (minimal 1000 mg x 80 %=

800 mg) yang diberikan 750 mg

Page 166: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

147  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi

Nomor Pasien Penyakit / Keluhan pasien

Nama Obat yang Dipakai

Waktu Pemberian Hasil Laboratorium

(Jika Ada)

Jenis DRPs

Obat Tanpa Indikasi

7

Bronkhiolitis

KU:

Batuk, Sesak, Demam, Muntah

TTV (Awal Masuk): RR: 66 x/menit T: 37,4 ⁰C HR: 160 x/menit Rh: -/- Wh: +/-

Mucera 01/01/2015-06/01/2015

-

Berdasarkan Clinical Practice Guideline dari American Academy Of Pediatri tahun 2014 menyatakan bahwa penggunaan antibiotik pada pasien penderita bronkhiolitis tidak direkomendasi-kan karena penyebab utama bronkhiolitis adalah virus bukan bakteri

Cefixime 05/01/2015-06/01/2015

Lasal

01/01/2015-06/01/2015

Ceftriaxon Inj 01/01/2015-06/01/2015

Zinc 05/01/2015-06/01/2015

Domperidon 01/01/2015-06/01/2015

Cefixime 01/01/2015-06/01/2015

Metil Prednisolon 01/01/2015-06/01/2015

19

Bronkhiolitis

KU: Batuk, Sesak, Demam, Muntah

Ceftriaxon Inj 12/10/2015-15/10/2015

-

Berdasarkan Clinical Practice Guideline dari American Academy Of Pediatri tahun 2014 menyatakan bahwa penggunaan antibiotik pada pasien penderita bronkhiolitis tidak direkomendasikan

Lasal 12/10/2015-15/10/2015

Trilac 12/10/2015-15/10/2015

Sanmol 15/10/2015

Page 167: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

148  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

TTV (Awal Masuk): RR: 50 x/menit T: 37,2 ⁰C HR: 150 x/menit Rh: -/- ; Wh: -/-

Ondansetron 12/10/2015-13/10/2015 karena penyebab utama bronkhiolitis adalah virus bukan bakteri Nebu Ventolin 12/10/2015-15/10/2015

Rhinos 12/10/2015-15/10/2015

51

Pneumonia

KU:

Demam, Sesak, Batuk Pilek, Muntah, Sesak

TTV (Awal Masuk):

RR: 60 x/menit T: 38 ⁰C HR: 108 x/menit Rh: +/+ Wh: -/-

Ceftriaxon Inj 09/05/2015-15/05/2015

-

Kandistin digunakan untuk pasien candidiasis atau terinfeksi jamur candida namun pada pasien tidak terda-pat riwayat infeksi candida

Sanmol drops 09/05/2015-16/05/2015

Azitromisin 12/05/2015-16/05/2015

Cetirizine 12/05/2015-16/05/2015

Mucos 13/05/2015-16/05/2015

Lasal 09/05/2015-16/05/2015

Cefixime 15/05/2015-16/05/2015

Nebu Combivent 09/05/2015-16/05/2015

Kandistin 14/05/2015-16/05/2015

Zirkum 15/05/2015-16/05/2015

L-Bio 15/05/2015-16/05/2015

Puyer Batuk 09/05/2015-16/05/2015

Page 168: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

149  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

57

Bronkhiolitis

KU:

Batuk pilek (1 hari), Sesak, Demam (2 hari) TTV (Awal Masuk): RR: 55 x/menit T: 37,8 ⁰C HR: 140 x/menit Rh: -/- Wh: -/-

Nebu Ventolin 13/11/2015-14/11/2015

-

Berdasarkan Clinical Practice Guideline dari American Academy Of Pediatri tahun 2014 menyatakan bahwa penggunaan antibiotik pada pasien penderita bronkhiolitis tidak direkomendasi-kan karena penyebab utama bronkhiolitis adalah virus bukan bakteri

Sanmol drops  

13/11/2015-14/11/2015

Opimox  

13/11/2015-14/11/2015

Alco drop 13/11/2015-14/11/2015

Puyer Batuk 13/11/2015-14/11/2015

Page 169: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

150  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Potensi Interaksi yang Paling Banyak (*Data Tidak Dapat Ditampilkan Semua)

Nomor Pasien

Nama Obat Yang

Berpotensi Interaksi

Waktu Pemberian

Tingkat Keparahan Mekanisme

Interaksi Managemen

Major Moderate Minor

4

Lasal (Salbutamol)

+ Rhinos

(Klorfenira-min,

Pseudoefe-drin)

29/12/2015 -

31/12/2015 -

Klorfeniramin meningkatkan dan salbutamol menurunkan sedasi

- Tidak

Diketahui Perhatian dan monitoring

Lasal (Salbutamol)

+ Rhinos

(Klorfenira-min,

Pseudoefe-drin)

29/12/2015 -

31/12/2015 -

Salbutamol dan pseudoefedrin keduanya menurunkan sedasi serta meningkatkan efek simpatis (adrenergik) , termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut jantung

- Sinergis

Perhatian disarankan jika agonis adrenergik beta-2 digunakan bersamaan dengan agen lain adrenergik, terutama pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler seperti insufisiensi koroner, aritmia jantung, hipertrofik cardiomyopathy obstruktif atau hipertensi. Tekanan darah dan denyut

Page 170: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

151  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

jantung harus diawasi secara ketat

25

Alco (Pseudoefe-

drin) +

Lasal (Salbutamol)

06/02/2015 -

09/02/2015 -

Salbutamol dan pseudoefedrin keduanya menurunkan sedasi serta meningkatkan efek simpatis (adrenergik) , termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut jantung

- Sinergis

Perhatian disarankan jika agonis adrenergik beta-2 digunakan bersamaan dengan agen lain adrenergik, terutama pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler seperti insufisiensi koroner, aritmia jantung, hipertrofik cardiomyopathy obstruktif atau hipertensi. Tekanan darah dan denyut jantung harus diawasi secara ketat

40

Nebu

Combivent (Salbutamol, Ipratropium

Sulfat) +

Gentamisin

18/06/2015 -

22/06/2015 -

Salbutamol dan gentamisin keduanya dapat mengurangi kalium serum

- - -

Page 171: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

152  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Nebu Combivent (Salbutamol, Ipratropium

Sulfat) +

Alco (Pseudoefe-

drin)

18/06/2015 -

22/06/2015 -

Salbutamol dan pseudoefedrin keduanya menurunkan sedasi serta meningkatkan efek simpatis (adrenergik) , termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut jantung

- Sinergis

Perhatian disarankan jika agonis adrenergik beta-2 digunakan bersamaan dengan agen lain adrenergik, terutama pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler seperti insufisiensi koroner, aritmia jantung, hipertrofik cardiomyopathy obstruktif atau hipertensi. Tekanan darah dan denyut jantung harus diawasi secara ketat

41

Alco

(Pseudoefe-drin)

+ Nebu

Combivent (Salbutamol, Ipratropium

Sulfat)

10/08/2015 -

13/08/2015 -

Salbutamol dan pseudoefedrin keduanya menurunkan sedasi serta meningkatkan efek simpatis (adrenergik) , termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut jantung

- Sinergis

Perhatian disarankan jika agonis adrenergik beta-2 digunakan bersamaan dengan agen lain adrenergik, terutama pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler seperti insufisiensi koroner, aritmia jantung, hipertrofik cardiomyopathy obstruktif atau hipertensi. Tekanan darah dan denyut

Page 172: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

153  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

jantung harus diawasi secara ketat

54 Gentamisin

+ Furosemid

08/10/2015

- 11/10/2015 (Gentami-

sin)

09/10/2015 -

11/10/2015 (Furosemid)

Pemberian antibiotik aminoglikosida parenteral, inhalasi atau oral yang dikombinasi dengan diuretik loop dapat berpotensi ototoksisitas dan nefrotoksisitas karena efek farmakologis sinergis obat ini dan dapat mengubah kadar aminoglikosida di darah dan jaringan

- - Efek

sinergis

Penggunaan antibiotik aminoglikosida dalam kombinasi dengan diuretik loop atau manitol intravena umumnya harus dihindari

57

Alco (Pseudoefe-

drin) +

Nebu Ventolin

(Salbutamol)

13/11/2015 -

14/11/2015 -

Salbutamol dan pseudoefedrin keduanya menurunkan sedasi serta meningkatkan efek simpatis (adrenergik) , termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut jantung

- Sinergis

Perhatian disarankan jika agonis adrenergik beta-2 digunakan bersamaan dengan agen lain adrenergik, terutama pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler seperti insufisiensi koroner, aritmia jantung, hipertrofik cardiomyopathy obstruktif atau hipertensi. Tekanan darah dan denyut jantung harus diawasi secara ketat

Page 173: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

154  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

60

Sanmol (Parasetamol)

+ Diazepam

03/12/2015

- 06/12/2015

- -

Asetaminofen menurunkan ekskresi diazepam

Tidak diketahui -

72 Furosemide

+ Gentamisin

27/05/2015 -

29/06/2015 (Gentami-

sin)

26/05/2015 -

01/06/2015 (Furosemid)

Furosemide , gentamisin keduanya meningkatkan toksisitas satu sama lain. Peningkatan risiko ototoxicity dan nefrotoksisitas

- - Sinergisme farmakodi-

namik

Hindari atau gunakan alternatif obat

Page 174: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

155  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 7. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Nomor Pasien Penyakit / Keluhan pasien

Nama Obat yang Dipakai

Waktu Pemberian Hasil Laboratorium

(Jika Ada)

Jenis DRPs Ketidaktepatan Pemilihan

Obat

33

Pneumonia

Jenis Kelamin: Laki-laki

Usia: 10 Bulan

KU:

Batuk pilek, Sesak, Demam ± 5 hari, Muntah

Parasetamol 03/08/2015-04/08/2015 

Hb: 11,0 gr/dl Leukosit: 30100/l Eritrosit: 5,41 jt/l Trombosit: 53700 mm/l Hematokrit: 33 % MCV: 61 fl MCH: 20 pg MCHC: 33 % Limfosit: 25 % Monosit: 13 % Granulosit: 62 %

Pemilihan penggunaan antibiotik kurang tepat, pada pasien diberikan 2 antibiotik yaitu cefixime dan ceftriaxon dalam waktu yang bersamaan, dimana kedua antibiotik tsb merupakan antibiotik golongan sefalosprin generasi ke 3 dan spektrum luas sehingga seharusnya pasien cukup diberikan 1 antibiotik saja untuk meminimalisir efek samping yang terjadi

Ambroxol 03/08/2015-07/08/2015 

Lasal 04/08/2015-07/08/2015 

Trilac 03/08/2015-04/08/2015 

Diazepam 04/08/2015

Cefixime 06/08/2015-07/08/2015

Ceftriaxon 04/08/2015-07/08/2015

Nebu Combivent 04/08/2015-07/08/2015

53

Pneumonia

Jenis Kelamin: Laki-laki

Usia: 1,4 Th

KU: Batuk, Sesak, Demam ±4 hari, Menggigil, Muntah,

Sanmol Syr 10/09/2015-15/09/2015 Hb: 10,8 gr/dl Leukosit: 5400/l Eritrosit: 4,86 jt/l Trombosit: 139000mm/l Hematokrit: 32 % MCV: 67 fl MCH: 22 pg MCHC: 33 % Limfosit: 39 %

Pemilihan penggunaan antibiotik kurang tepat, pada pasien diberikan 2 antibiotik yaitu cefixime dan ceftriaxon dalam waktu yang bersamaa, dimana kedua antibiotik tsb merupakan antibiotik golongan sefalosprin generasi ke 3 dan spektrum luas

Lasal 10/09/2015-15/09/2015

Domperidon 10/09/2015-15/09/2015

Zinkid Sirup 10/09/2015-15/09/2015

Asedas 10/09/2015-15/09/2015

Page 175: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

156  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Dahak sulit keluar, Mencret 1 x

Puyer Batuk 12/09/2015-15/09/2015 Mix (Mon, Eos,Bas): 15 % Neutrofil: 46 %

sehingga seharusnya pasien cukup diberikan 1 antibiotik saja untuk meminimalisir efek samping yang terjadi

Kandistin 14/09/2015-15/09/2015

Cefixime 14/09/2015-15/09/2015

Nebu Combivent 12/09/2015-15/09/2015

Ceftriaxon 12/09/2015-15/09/2015

Asedas 29/07/2015-05/08/2015

Ambroxol 29/07/2015-01/08/2015

Interzink 31/07/2015-05/08/2015

Vectrin 01/07/2015-05/08/2015

KDT Dewasa 29/07/2015-05/08/2015

Prednisone 29/07/2015-05/08/2015

Vitamin B6 01/07/2015-05/08/2015

Kandistin 03/07/2015-05/08/2015

Nebu Combivent 31/07/2015-05/08/2015

Ceftriaxon 29/07/2015-05/08/2015

Gentamisin 29/07/2015-05/08/2015

Page 176: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

157  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 8. Data Koding Pasien Berdasarkan Kategori DRPs

Nomor Pasien

Jenis Kategori DRPs Dosis

Rendah Dosis

Tinggi Obat Tanpa

Indikasi Indikasi Tanpa

Obat Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Potensi Interaksi

Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Major Moderate Minor

1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 0 0 0 0 1 0 0 1 4 1 0 0 0 0 1 0 1 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 1 0 1 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 1 0 0 0 0 0 0 0 0 11 1 0 0 0 0 1 0 1 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 1 0 0 0 0 0 0 0 0 14 1 0 0 0 0 1 0 1 0 15 1 0 0 0 0 1 0 1 0 16 1 1 0 0 0 0 0 0 0 17 1 0 0 0 0 1 0 1 0 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19 1 0 1 0 0 1 0 1 0 20 0 0 0 0 0 1 0 1 1 21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 22 1 0 0 0 0 1 0 1 0 23 0 0 0 0 0 1 0 1 0 24 0 0 0 0 0 1 0 1 0 25 1 0 0 0 0 1 0 1 0 26 1 0 0 0 0 1 0 1 0

Page 177: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

158  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 28 0 0 0 0 0 0 0 0 0 29 0 1 0 0 0 1 0 1 0 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 31 1 0 0 0 0 1 0 1 0 32 1 1 0 0 0 0 0 0 0 33 1 0 0 0 1 1 0 0 1 34 1 1 0 0 0 1 0 1 1 35 0 0 0 0 0 1 0 1 0 36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 37 0 1 0 0 0 0 0 0 0 38 0 0 0 0 0 0 0 0 0 39 0 0 0 0 0 1 0 1 0 40 1 0 0 0 0 1 0 1 0 41 1 0 0 0 0 1 0 1 0 42 0 0 0 0 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 44 1 0 0 0 0 0 0 0 0 45 0 0 0 0 0 1 0 1 0 46 1 0 0 0 0 0 0 0 0 47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 48 0 0 0 0 0 1 0 1 0 49 1 0 0 0 0 1 0 1 0 50 1 0 0 0 0 1 0 1 0 51 1 0 1 0 0 0 0 0 0 52 0 0 0 0 0 0 0 0 0 53 0 0 0 0 1 0 0 0 0 54 1 0 0 0 0 1 1 1 1 55 1 1 0 0 0 1 0 1 0 56 1 0 0 0 0 1 0 0 1 57 1 0 1 0 0 1 0 1 0

Page 178: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

159  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

58 0 0 0 0 0 1 0 1 1 59 1 0 0 0 0 1 0 1 0 60 1 0 0 0 0 1 0 0 1 61 1 0 0 0 0 0 0 0 0 62 1 0 0 0 0 1 0 1 0 63 1 0 0 0 0 0 0 0 0 64 0 0 0 0 0 0 0 0 0 65 1 0 0 0 0 1 0 1 0 66 1 0 0 0 0 0 0 0 0 67 1 1 0 0 0 1 0 1 1 68 0 0 0 0 0 1 0 1 0 69 1 0 0 0 0 1 0 1 0 70 1 0 0 0 0 1 0 1 0 71 1 0 0 0 0 0 0 0 0 72 1 1 0 0 0 1 1 1 0 73 0 0 0 0 0 1 0 1 1 74 1 0 0 0 0 1 0 1 1 75 1 0 0 0 0 1 0 1 0 76 1 1 0 0 0 1 0 1 0 77 0 0 0 0 0 0 0 0 0 78 1 1 0 0 0 1 0 1 1 79 1 0 0 0 0 1 0 1 0 80 1 0 0 0 0 0 0 0 0

Keterangan:

0 : Tidak Ada 1 : Ada

Page 179: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

160  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Lampiran 9. Hasil Analisis SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) 22.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Laki-laki 43 53,8 53,8 53,8

Perempuan 37 46,3 46,3 100,0

Total 80 100,0 100,0

Dosis Rendah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Tidak ada 32 40,0 40,0 40,0

Ada 48 60,0 60,0 100,0

Total 80 100,0 100,0

Usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Neonatus 3 3,8 3,8 3,8

Bayi 45 56,3 56,3 60,0

Anak-anak 29 36,3 36,3 96,3

Remaja 3 3,8 3,8 100,0

Total 80 100,0 100,0

Dosis Tinggi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Tidak ada 70 97,5 97,5 97,5

Ada 10 12,5 12,5 100,0

Total 80 100,0 100,0

Page 180: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

161  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Indikasi Tanpa Obat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Tidak ada 80 100,0 100,0 100,0

Potensi Interaksi Obat

Frequency Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid Tidak ada 35 43,8 43,8 43,8

Ada 45 56,3 56,3 100,0

Total 80 100,0 100,0

Obat Tanpa Indikasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Tidak ada 76 95,0 95,0 95,0

Ada 4 5,0 5,0 100,0

Total 80 100,0 100,0

DRPs Per Pasien

Frequency Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid tidak ada 19 23,8 23,8 23,8

ada 61 76,3 76,3 100,0

Total 80 100,0 100,0 Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Tidak ada 78 97,5 97,5 97,5

Ada 2 2,5 2,5 100,0

Total 80 100,0 100,0

Page 181: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34198/1/GADIS... · ii UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) INFEKSI SALURAN

162  

  

  

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta