yg ini

6
3. Apa yang menyebabkan pasien menampilkan sikap denial terhadap permasalahan ? Jawaban : Pasien yang menampilkan sikap denial merupakan salah satu mekanisme pertahanan dalam diri pasien untuk menangani kecemasan atau gejala yang dia rasakan dalam dirinya. Ada banyak macam mekanisme pertahanan diri seperti represi, supresi, proyeksi, sublimasi dll, dan salah satunya daniel (penyangkalan). Mekanisme pertahanan ini paling sederhana dan primitive. Penyangkalan berusaha untuk melindungi diri sendiri terhadap kenyataan yang tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan cara melarikan diri dari kenyataan atau kesibukan dengan hal-hal lain. Penghindaran penyangkalan aspek yang menyakitkan dari kenyataan dengan menghilangkan data sensoris. Penyangkalan dapat digunakan dalam keadaan normal maupun patologis. Pada kondisi pasien, pasien menyangkal beberapa hal seperti riwayat merokok pada dirinya, namun sebenarnya dia memiliki kebiasaan merokok. Sadock B J, Sadock V A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2010. Gangguan Cemas Menyeluruh

Upload: ihwaan-ukhrawii-alii

Post on 02-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

TET

TRANSCRIPT

Page 1: yg ini

3. Apa yang menyebabkan pasien menampilkan sikap denial terhadap permasalahan ?

Jawaban :

Pasien yang menampilkan sikap denial merupakan salah satu mekanisme pertahanan dalam

diri pasien untuk menangani kecemasan atau gejala yang dia rasakan dalam dirinya. Ada

banyak macam mekanisme pertahanan diri seperti represi, supresi, proyeksi, sublimasi dll,

dan salah satunya daniel (penyangkalan). Mekanisme pertahanan ini paling sederhana dan

primitive. Penyangkalan berusaha untuk melindungi diri sendiri terhadap kenyataan yang

tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan cara melarikan diri dari kenyataan atau

kesibukan dengan hal-hal lain. Penghindaran penyangkalan aspek yang menyakitkan dari

kenyataan dengan menghilangkan data sensoris. Penyangkalan dapat digunakan dalam

keadaan normal maupun patologis.

Pada kondisi pasien, pasien menyangkal beberapa hal seperti riwayat merokok pada dirinya,

namun sebenarnya dia memiliki kebiasaan merokok.

Sadock B J, Sadock V A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Penerbit Buku

Kedokteran EGC: Jakarta; 2010.

Gangguan Cemas Menyeluruh

a. Penjelasan

Gangguan cemas merupakan gangguan yang sering dijumpai pada klinik

psikiatrik. Kondisi ini terjadi sebagai akibat interaksi faktor-faktor biopsikososial,

termasuk kerentanan genetik yang berinteraksi dengan kondisi tertentu, stress atau

trauma yang menimbulkan sindroma klinis bermakna. (1)

Dalam praktek sehari-hari, baik pada praktek umum maupun praktek

spesialis, sebagian besar pasien datang dengan keluhan fisik. Pasien yang datang ke

tempat praktek, seringkali tidak didapatkan kelainan organik yang bermakna,

sehingga dokter membuat diagnosis sesuai dengan keluhan pasien. Dokter biasanya

Page 2: yg ini

baru menyadari adanya gangguan psikiatri setelah dilakukan berbagai macam

pemeriksaan dan pengobatan tanpa hasil yang memuaskan. Bila sejak awal sudah

dilakukan pendekatan psikosomatik pada setiap pasien yang datang berobat, baik

dengan penyakit organik atau tanpa adanya penyakit organik, hal ini tidak akan

terjadi.(2)

Gangguan psikiatri terutama cemas dan depresi banyak dilaporkan terjadi

pada gangguan gastrointestinal fungsional, paling sering pada kasus dispepsia dan

Irritable Bowel Syndrome (IBS). Peranan faktor psikologis cukup besar pada

perjalanan penyakit ini, walaupun sulit untuk dikatakan sebagai hubungan kausatif.(2)

Gangguan ansietas memiliki dua komponen: kesadaran akan sensasi

fisiologis (seperti palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran bahwa ia gugup atau

ketakutan. Selain pengaruh viseral dan motorik, ansietas memengaruhi pikiran,

persepsi, dan pembelajaran. Aspek penting emosi adalah efeknya pada selektivitas

perhatian. Orang yang mengalami ansietas cenderung memperhatikan hal tertentu

di dalam lingkarannya dan mengabaikan hal lain dalam upaya untuk membuktikan

bahwa mereka dibenarkan untuk menganggap situasi tersebut menakutkan. Jika

keliru dalam membenarkan rasa takutnya, mereka akan meningkatkan ansietas

dengan respons yang selektif dan membentuk lingkaran setan ansietas, persepsi

yang mengalami distorsi, dan ansietas yang meningkat.(4)

Ada banyak sekali teori mengenai penyebab ansietas diantaranya berasal

dari kontribusi ilmu psikologi dan dari ilmu biologis. Teori perilaku-kognitif,

ansietas adalah respon yang dipelajari terhadap stimulus lingkungan spesifik.

Pasien dengan gangguan ansietas cenderung memperkirakan secara berlebihan

derajat bahaya dan kemungkinan kerusakan pada situasi tertentu serta cenderung

meremehkan kemampuan mereka dalam menghadapi ancaman yang dirasakan

pada kesejahteraan fisik atau psikologis mereka.(4)

Teori eksistensial ansietas memberikan model untuk gangguan ansietas

menyeluruh, tanpa adanya stimulus spesifik yang dapat diidentifikasi untuk

perasaan cemas kronisnya. Konsep pusat teori eksistensial adalah bahwa orang

menyadari rasa kosong yang mendalam di dalam hidup mereka, perasaan yang

Page 3: yg ini

mungkin bahkan lebih membuat tidak nyaman daripada penerimaan terhadap

kematian yang tidak dapat dielakkan.(4)

Menurut ilmu biologis, satu kutub pemikiran meyakini bahwa perubahan

biologis yang dapat diukur pada pasien dengan gangguan ansietas mencerminkan

hasil konflik psikologi; sedangkan kutub yang lain meyakini bahwa peristiwa

biologis mendahului konflik psikologis. Misalnya stimulasi sistem saraf otonom

menimbulkan gejala tertentu seperti takikardi (kardiovaskular), sakit kepala

(muskular), diare dan nyeri ulu hati (gastrointestinal), dll. Selain itu, terdapat tiga

neurotransmiter utama yang mengalami disregulasi yang terkait dengan ansietas

yaitu peningkatan norepineprin, peningkatan serotonin, dan penurunan aktivitas

GABA.(4)

b. Terapi

Gangguan ansietas menyeluruh, gangguan penyesuaian dengan ansietas dan

keadaan ansietas lainnya merupakan penerapan klinis utama untuk benzodiazepin

di dalam psikiatri dan praktik medis umum. Sebagian besa pasien sebaiknya

diterapi untuk suatu periode yang relatif singkat, spesifik, dan sebelumnya telah

ditentukan. Klinisi mungkin lebih cenderung memberikan terapi berdasarkan gejala

yang timbul, keparahannya, dan tingkat pengalaman klinisi tersebut dengan

berbagai modalitas terapi.(2)

Benzodiazepin pada penggunaan klinis memiliki kapasitas untuk menguatkan

ikatan neurotransmiter inhibitori utama asam gamma-aminobutirat (GABA) pada

reseptor GABAA, sehingga mempercepat arus ionik terinduksi-GABA melalui

saluran ini. Semua efek benzodiazepin dihasilkan oleh kerjanya pada sistem saraf

pusat (SSP). Efek-efek ini yang paling dominan adalah sedasi, hipnosis, penurunan

ansietas; relaksasi otot, amnesia anterograde, dan aktivitas antikonvulsan.(3)

Selain itu, serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) adalah sertraline dan

paroxetin merupakan pilihan yang lebih baik daripada fluoksetin. Pemberian

fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI sefektif terutama untuk pasien

GAD dengan riwayat depresi.(1)

Terapi kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi

kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gelaja somatik secara langsung.

Page 4: yg ini

Teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan

biofeedback. Pasien dapat juga diberikan terapi suporatif berupa pemberian

reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan belum tampak,

didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan

pekerjaannya. (1)

1. Utama H (ed). Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2014

2. Noerhidajati E, Izzudin, Djagat H. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Amplifikasi Somatosensori Pada Penderita dengan Keluhan Nyeri Ulu Hati.

Sains Medika Jurnal Kesehatan, 2010: 2 (2); 178-192.

3. Maslim R (ed). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan

DSM-5. Jakarta: Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya;

2013

4. Sadock B J, Sadock V A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.

Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2010.