xa.yimg.com file · web viewterdapat beberapa tes yang dapat digunakan oleh ahli...

77
Fungsi kognitif, Evaluasi Neuropsikologis, dan Sindroma-Sindroma Gangguan Kognitif Dalam bab ini akan dijelaskan secara singkat berbagai domain dari fungsi kognitif, evaluasi neuropsikologisnya, dan berbagai sindroma gangguan kognitif. Hal tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan praktik klinis neurolog, bukannya untuk kepentingan neuropsikolog akademisi. Dengan tanpa harus membahas konsep modular fungsi serebral secara eksplisit, secara spesifik, otak dapat dibagi menjadi beberapa domain kognitif atau sistem fungsional (bayangkan otak sebagai sebuah kongres dari berbagai badan fungsional), yakni, perhatian, memori, bahasa, persepsi, praksis, dan fungsi eksekutif. Berbagai subdivisi tersebut, keseluruhannya (diharapkan) berfungsi dan berkerja dalam keteraturan, tidak terisolasi, guna menghasilkan keluaran yang kita kenal sebagai kesadaran, selanjutnya keberadaan hal tersebut mengarahkan para klinisi menuju sebuah pendekatan terstruktur yang dapat digunakan untuk mengetahui penilaian klinis atas fungsi kognitif. Sekarang ini, berkembang sebuah model yang menjelaskan terdapatnya jejaring neural yang didistribusikan dan diperagakan dengan menggunakan titik-titik nodal yang memiliki kecenderungan untuk membentuk fungsi tertentu

Upload: hathu

Post on 06-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Fungsi kognitif, Evaluasi Neuropsikologis, dan Sindroma-

Sindroma Gangguan Kognitif

Dalam bab ini akan dijelaskan secara singkat berbagai domain dari fungsi

kognitif, evaluasi neuropsikologisnya, dan berbagai sindroma gangguan kognitif.

Hal tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan praktik klinis neurolog, bukannya

untuk kepentingan neuropsikolog akademisi.

Dengan tanpa harus membahas konsep modular fungsi serebral secara

eksplisit, secara spesifik, otak dapat dibagi menjadi beberapa domain kognitif atau

sistem fungsional (bayangkan otak sebagai sebuah kongres dari berbagai badan

fungsional), yakni, perhatian, memori, bahasa, persepsi, praksis, dan fungsi

eksekutif. Berbagai subdivisi tersebut, keseluruhannya (diharapkan) berfungsi dan

berkerja dalam keteraturan, tidak terisolasi, guna menghasilkan keluaran yang kita

kenal sebagai kesadaran, selanjutnya keberadaan hal tersebut mengarahkan para

klinisi menuju sebuah pendekatan terstruktur yang dapat digunakan untuk

mengetahui penilaian klinis atas fungsi kognitif. Sekarang ini, berkembang sebuah

model yang menjelaskan terdapatnya jejaring neural yang didistribusikan dan

diperagakan dengan menggunakan titik-titik nodal yang memiliki kecenderungan

untuk membentuk fungsi tertentu otak yang lebih terspesialisasi, pemikiran

tersebut menelurkan gagasan yang menyatakan terdapatnya berbagai pusat dalam

otak yang mengatur fungsi-fungsi tertentu (Mesulam, 1990).

Domain-domain neurokognitif tersebut dapat dideskripsikan menjadi

domain-domain yang bersifat terlokalisir (localized), dimana hal tersebut

mengimplikasikan lateralisasi menuju salah satu bagian hemisfer yang

bersangkutan, terjadinya kerusakan fokal pada regio/area tersebut dapat

mengakibatkan gangguan fungsi spesifik; dan domain-domain yang bersifat

terdistribusi (distributed), dimana hal tersebut mengimplikasikan keberadaan

sebuah fungsi yang tak terlokalisir (non-localized function), yang umumnya

melibatkan keterlibatan dari kedua hemisfer dan/atau berbagai struktur

subhemisferik (ganglia basalis, batang otak), dimana kerusakan yang terjadi

secara masif biasanya baru dapat menimbulkan terjadinya gangguan berbagai

fungsi tersebut (Hodges, 1994). Lebih lanjut, domain-domain tersebut akan dibagi

menjadi ke dalam subdivisi yang lebih detail, atau terbagi dalam sejumlah

subsistem atau fungsi-fungsi spesifik yang selanjutnya ketika terjadi kerusakan

tertentu dapat mengalami gangguan secara selektif, dimana hal tersebut

menunjukkan keberadaan substrat-substrat neuropsikologis yang dengan eksplisit

terbagi secara fungsional. Terdapat beberapa tes yang dapat digunakan oleh ahli

neuropsikolog dalam mengevaluasi fungsi kognitif pasien, baik fungsinya secara

global maupun fungsi dari berbagai domain secara individual (Lezak et al., 2004;

Mitrushina et al., 2005, Strauss et al., 2006). Keragaman berbagai tes tersebut

mungkin membingungkan bagi para klinisi non spesialis neurologi. Lebih-lebih,

keragaman berbagai pilihan atas instrumen-instrumen tes yang digunakan dalam

studi-studi yang berbeda dapat mengakibatkan terjadinya kesulitan untuk

dilakukannya perbandingan langsung. Selain itu, tentu saja, harus diperhatikan

bahwa tes neuropsikologis apapun agar dapat memberikan hasil yang valid harus

disesuaikan dengan kondisi sensori, motorik, perseptual, dan kognitif dari pasien

yang akan diperiksa.

Para neuropsikolog menegaskan bahwa diperlukan keberadaan pelatihan bagi para

klinisi umum terkait peresepan dan interpretasi dari berbagai uji neuropsikologis

tersebut. Selain itu, para klinisi neurolog tersebut memiliki dependensi yang tinggi

kepada kolega neuropsikolog lainnya terkait pelaksanaan dan interpretasi dari

berbagai tes formal tersebut

Selain itu terdapat beberapa bentuk tes neuropsikologis yang sering dikenal

sebagai uji neurolopsikologis yang dilakukan pada tatanan rawat tirah baring

‘bedside neuropsychological tests’ dimana pelaksanaannya harus dibedakan

dengan uji formal dan dari sini dapat diperoleh manfaat diagnostik (Griffiths &

Welch, 2003). Lebih lanjut, terbagai berbagai test batteries yang dapat dilakukan

dalam jangka waktu 10-30 menit, yang tidak hanya mencakup penilaian atas

fungsi kognitif saja, melainkan juga mencakup penilaian fungsional, behavioral,

dan global (Burns et al., 1999, 2004). Meskipun keringkasan berbagai uji tersebut

membuat mereka secara klinis dapat diaplikasikan, terdapat beberapa kekurangan

yang harus diketahui dan diperhatikan oleh para klinisi dan neurolog: skor mentah

yang diturunkan dari beberapa uji bukan menunjukkan diagnosis atas suatu

kondisi, meskipun keberadaannya dapat meningkatkan kemungkinan ke arah

diagnosis dari penyakit tertentu. Selain itu, juga diketahui dan ditemukan

terjadinya inkongruensi atau anomali dalam bidang medikolegal dalam

pelaksanaan uji-uji tersebut (Trimble, 2004).

Yang juga perlu diperhatikan bahwa ketika dilakukan evaluasi terhadap kelainan

kognitif, terutama yang melibatkan gangguan memori, berupa keberadaan

anamnesis riwayat kolateral yang adekuat yang diperoleh dari keluarga, teman,

atau perawat menjadi salah satu subyek yang vital dalam evaluasi tersebut

(Tierney et al., 1996; Jorm, 1997; Carr et al., 2000; Shulman &Feinstein, 2003),

bahkan pada stadium awitan terjadinya penyakit (Isella et al., 2006). Bahkan

observasi sederhana seperti pasien yang mendatangi klinik dengan sendirinya

padahal telah diinstruksikan untuk diantar dan ditemani oleh seorang anggota

keluarga atau teman memiliki relevansi diagnostik, yang menandakan terjadinya

suatu derajat kelainan kognitif pada pasien (Larner, 2005).

1.1 Perhatian (attention)

Tampaknya sedikit berlebihan untuk mengedepankan bahwa sebelum dibuat

penilaian fungsi kognitif yang lebih tinggi (higher cognitive function), maka

sebelumnya fungsi kognitif yang lebih rendah (lower cognitive function) harus

dipastikan masih intak, dimana dalam hal tersebut diasumsikan bahwa sistem

saraf berkerja sesuai dengan hierarkinya. Guna mencapai kondisi reductio ad

absurdum, tidak diharapkan bahwa pasien koma atau pasien yang sedang tidur

untuk dapat menjalani uji memori dengan baik, meskipun terdapat fungsi memori

yang intak atau mengalami gangguan saat perbaikan dari kondisi koma atau

bangun dari tidur. Sifat alamiah dari kesadaran sendiri telah menjadi perhatian dan

obyek penelitian baik bagi para ahli neurologi maupun para filsuf (e.g. Dennett,

1993; Penrose, 1995; Zeman, 2001, 2002; Libet, 2004). Disosiasi antara

pengaturan kesadaran dan ketiadaan fungsi kognitif dapat terjadi pada beberapa

kondisi, sebagai contoh, sebagaimana yang dijumpai pada pasien-pasien yang

berada dalam status vegetatif (Jennett, 2002).

Gangguan kesadaran yang terjadi memiliki baik dimensi kuantitatif

maupun kualitatif. Sehingga ketika seorang klinisi berbicara mengenai derajat

kesadaran, maka klinisi tersebut dapat saja sedang berbicara terkait keterjagaan

(arousal), kewaspadaan (alertness),atau kesiagaan (vigilance), sehingga terdapat

derajat yang berkesinambungan antara koma dengan compos mentis; dan

intensitas atau kualitas dari kesadaran tersebut, terkait derajat kewaspadaan

subyek terhadap lingkungan, dan kemampuan untuk fokus, mempertahankan, atau

berganti atensi/perhatian. Koma secara sederhana menandakan sebuah derajat

ketidakresponsifan dari seorang pasien yang tidak dapat dirangsang baik dengan

menggunakan stimuli verbal maupun mekanis. Derajat gangguan kesadaran yang

lebih ringan, secara klinis sering dikenal sebagai stupor, torpor, atau obtundation

(meskipun berbagai istilah tersebut tidak memiliki batasan yang jelas, definisi

antar istilah tersebut sering bervariasi antara 1 observer dengan yang lainnya) juga

dapat berpengaruh terhadap penilaian fungsi kognitif yang dilakukan. Terdapat

sejumlah penyebab koma (Plum & Posner, 1980; Young et al., 1998).Terjadinya

derajat gangguan kesadaran tersebut (koma) dapat dengan mudah dikenali secara

klinis, yakni ditandai dengan terjadinya mengantuk, atau kesulitan dalam

perangsangan pasien, meskipun dapat juga sebaliknya, yang dapat termanifestasi

sebagai peningkatan distrakbilitas. Pemahaman terhadap derajat gangguan

kesadaran ini memiliki peranan penting dalam diagnosis delirium (lihat Bagian

1.10), sebagaimana yang tercantum dalam kriteria diagnostik dalam DSM-IV dan

ICD10, meskipun berbagai defisit tersebut terjadi dalam derajat yang lemah dan

tidak dapat diketahui dengan segera pada tatanan tirah baring, sehingga kurang

adekuat untuk mengganggu mekanisme fungsi atensi/perhatian. Defisit atensional

tersebut diperkirakan bertanggung jawab atas gangguan fungsi kognitif yang

terjadi yang kebetulan juga menjadi salah satu varian/fitur diagnosis dari delirium

(Burns et al., 2004; Larner 2004; Inouye,2006).

Atensi (perhatian), atau konsentrasi merupakan bagian dari fungsi kognitif

yang tak seragam dan terdistribusi pada berbagai regio otak. Atensi sering

didefinisikan sebagai komponen kesadaran yang membangkitkan kewaspadaan

tubuh terhadap stimuli sensorik tertentu. Dari sekian jumlah (ratusan) stimuli yang

merangsang domain-domain sensorik, hanya beberapa stimuli saja yang dapat

disadari oleh tubuh manusia, sedangkan sebgaian besar sisanya direspons oleh

tubuh dengan tanpa disadari. Perhatian/atensi manusia bersifat dipaksakan,

selektif dan dihubungkan erat dengan intensi/kesengajaan. Terdapat beberapa

perbedaan antara beberapa tipe mekanisme atensional yang terjadi atas

keberadaan suatu stimuli tertentu; atensi selektif (selective attention) merupakan

sumber atensional yang mengarahkan suatu stimulus tertentu dari berbagai stimuli

yang ada untuk disadari dan direspons oleh tubuh (‘cocktail party phenomenon’);

divided attention mengimplikasikan terjadinya atensi yang diakibatkan oleh

keberadaan stimuli yang berkompetisi. Keberadaan dan peran berbagai struktur

neuroanatomi diperkirakan memiliki peranan penting dalam memediasi terjadinya

atensi tubuh terhadap berbagai stimuli, diantaranya berupa keberadaan reticular

activating system dalam batang otak, thalamus, dan korteks prefrontalis serebri

dari multimodal association type, yang utamanya berlokasi pada hemisfer kanan,

karena kerusakan yang terjadi pada area-area tersebut dapat mengakibatkan

terjadinya gangguan atensi. Jaras-jaras dopaminergik dan kolinergik diperkirakan

menjadi neurotransmiter-neurotransmiter yang berperan penting dalam memediasi

terjadinya atensi (Perry et al., 2002).

The Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan salah satu instrumen yang

paling umum digunakan untuk memonitor derajat kesadaran (Teasdale & Jennett,

1974). Pertamanya GCS diperkenalkan untuk menilai derajat keparahan cedera

kepala, dimana selanjutnya dapat digunakan untuk berbagai situasi klinis lainnya

(seperti, delirium, stroke, dsb), meskipun validitas penggunaannya pada beberapa

kondisi perlu dikonfirmasi kembali. Pada pasien individual, penggunaan

komponen-komponen individual dari GCS (response eye, verbal, motor, EVM)

seringkali lebih berguna dibandingkan dengan skor hasil penjumlahannya (nilai

maksimal 15). Skor GCS 15/15 tidak menjamin keberadaan atensi/perhatian yang

intak/utuh, karena defisit-defisit yang terjadi dapat terjadi dengan tidak terlalu

kentara, sehingga kedepannya masih diperlukan pelaksanaan tes yang digunakan

untuk menilai fungsi atensi yang dilakukan sebelum pelaksanaan pemeriksaan

dengan menggunakan instrumen-instrumen neuropsikologis lainnya.

Terdapat sejumlah tes yang digunakan untuk menilai atensi/perhatian

(Strauss et al., 2006), seperti the Trail Making Test, the Continuous Performance

Test, the Paced Auditory Serial Addition Test (PASAT: Gronwall, 1977), dan the

Symbol Digit Modalities Test. Selain itu, terdapat beberapa tes sederhana yang

dapat dilakukan dalam tatanan tirah baring guna menilai mekanisme atensi pasien,

diantaranya meliputi aspek orientasi tempat dan waktu, hitung deret angka;

penjumlahan dan/atau pengurangan kelipatan angka (juga WAIS-R Digit Span

subtest), meminta pasien untuk menyebutkan bulan atau hari apakah 3 hari yang

lalu, atau menghitung mundur dari 30 hingga 1. Dalam pelaksanaannya perlu

diperhatikan kontrol dari faktor-faktor yang dapat memecah perhatian pasien

(distraktor). Pada tes the Mini-Mental State Examination (lihat Bagian 1.8),

meminta pasien untuk berhitung mundur dengan kelipatan 7 (pengurangan

kelipatan 7 dari 100 – 93, 86, 79, 72, 65, dst) atau mengeja kata WORLD secara

terbalik merupakan aspek-aspek tes yang digunakan untuk menilai atensi atau

konsentrasi pasien, akan tetapi juga perlu diperhatikan bahwa kegagalan dalam

melaksanakan tugas dalam tes tersebut perlu dipertimbangkan apakah terdapat

faktor lain yang berperan selain keberadaan gangguan atensi saja (misal,pada

pasien-pasien yang memiliki kemampuan aritmetika yang buruk dalam aspek

pengurangan kelipatan 7).

1.2 Intelegensi Umum, IQ

Penilaian neuropsikologis formal yang sering dilakukan seringkali menyertakan

pemeriksaan atas intelegensi umum, yang dilakukan sebelum dilakukannya

penilaian spesifik atas domain-domain individual dari fungsi kognitif. Hal tersebut

diperlukan karena faktor intelegensi umum menyumbang proporsi yang signifikan

atas perbedaan individual (individual differences) diantara skor tes yang diperoleh

pada sekelompok orang (Deary,2001). Fungsi intelektual umum paling sering

dinilai dan diukur dengan menggunakan salah satu dari beberapa the Wechsler

Intelligence Scales, yang paling sering digunakan adalah the Wechsler Adult

Intelligence Scale–Revised (WAIS-R: Wechsler,1981) atau Wechsler Adult

Intelligence Scale–III (WAIS-III: Wechsler, 1997). (Untuk pasien-pasien anak

tersedia sebuah skala khusus yang dikenal dengan the Wechsler Intelligence Scale

for Children, WISC.) Penilaian ulang dengan menggunakan uji ini perlu

dilakukan secara periodik karena terdapat perubahan kemampuan dari kelompok

normatif yang berasal dari skor terstandar yang diperoleh (Deary, 2001).

Pelaksanaan berbagai tes tersebut dapat berlangsung dalam durasi 2 jam

atau lebih, kadang dapat dilakukan tes yang terbagi dalam beberapa sesi, hal

tersebut dilakukan untuk menghindari kelelahan pada pasien. Subtes yang

dilakukan pada uji ini terbagi dalam 2 kategori, yakni verbal dan aksi

(performans), kategori verbal meliputi pengetahuan umum, perbendaharaan kata,

pemahaman, dan pikiran abstrak verbal (seperti, rentang bilangan, aritmetika,

persamaan), sedangkan kategori aksi meliputi uji yang dilakukan untuk menilai

kemampuan organisasi perseptual, fungsi visuospasial kompleks, dan kecepatan

psikomotorik (seperti, simbol angka, melengkapi dan menyusun gambar, desain

kubus dan balok, penyusunan obyek). Subtes-subtes tersebut dapat memberikan

pemeriksa indeks intelegensi verbal, verbal IQ (VIQ), dan intelegensi performans,

performance IQ (PIQ), dan dapat digunakan sebagai indikator atas keseluruhan

IQ/overall full-scale IQ (FSIQ). Berdasarkan data normatif ekstensif yang

diperoleh dari individu-individu sehat yang bertempat tinggal di Amerika Utara

dan Eropa, pengukuran-pengukuran tersebut memiliki skor rerata 100 dengan

deviasi standar sebesar 15, sehingga 95% individu dari populasi akan dapat

memperoleh kisaran skor dalam jangkauan 70-130. Secara umum, terdapat

korelasi antara VIQ-PIQ, akan tetapi kadang-kadang dijumpai diskrepansi yang

terjadi pada beberapa individu normal. Teori yang menyatakan bahwa VIQ–PIQ

split dapat digunakan untuk menilai lateralisasi patologi yang terjadi pada otak

(VIQ seringkali ditemukan lebih buruk pada lesi-lesi yang terjadi pada hemisfer

kiri, sedangkan PIQ lebih sering memburuk pada lesi-lesi yang terjadi pada

hemisfer kanan) harus dikaji ulang dengan penuh kehati-hatian (Iverson et al.,

2004).

Untuk penilaian yang dilakukan terhadap individu-individu yang

mengeluhkan terjadinya gangguan kognitif, terutama gangguan memori, penilaian

yang dilakukan dengan menggunakan skor IQ saja tampaknya tidak cukup.

Perubahan skor IQ yang terjadi dapat saja menandakan terjadinya penurunan

kemampuan kognitif, dimana keberadaan skor IQ tersebut berguna untuk menilai

kondisi pasien, hanya saja, terkadang masih jarang pasien-pasien yang memiliki

hasil tes IQ sebelumnya yang dapat digunakan sebagai pembanding. Riwayat

pendidikan dan pekerjaan sebelumnya dapat memberikan petunjuk atas

keberadaan intelegensi premorbid yang telah terjadi sebelumnya, juga dapat

digunakan sebagai prediksi atas subtes verbal yang dilakukan dalam tes WAIS.

Kesulitan tersebut juga diperkirakan dapat dihindari melalui peresepan sebuah tes

yang secara spesifik didesain untuk memperkirakan dan mengetahui besarnya

kemampuan intelektual premorbid; seperti the National Adult Reading Test

(NART: Nelson & Willison, 1991), karena dijumpainya keberadaan overlearned

ability dalam pembacaan serangkaian kata yang memiliki suara pengucapan yang

ireguler atau tidak biasa biasanya dihubungkan dan sering ditemukan terjadi pada

beberapa penyakit neurodegeneratif (terdapat sejumlah pengecualian, diantaranya

pada degenerasi yang terjadi pada lobus frontotemporalis dapat menyebabkan

terjadinya sindroma linguistik, bagian 2.2.2 and 2.2.3). Selanjutnya setelah tes

NART IQ yang dilakukan akan dibandingkan dengan Wechsler FSIQ guna

mengetahui ditemukannya indikasi terjadinya penurunan fungsi intelektual umum

atau masih stabil. Ditemukannya perbedaan skor sebesar 20 poin diperkirakan

signifikan, sedangkan 40 poin tentu saja lebih signifikan lagi.

Terdapat beberapa uji non verbal yang menjadi bagian dalam intelektual

umum, diantaranya the Progressive Matrices yang disampaikan oleh Raven (1938,

1958). Selain itu, terdapat beberapa tes lain yang dapat digunakan untuk menilai

fungsi kognitif umum berupa beberapa neuropsychological batteries penilaian

yang dilakukan atas tingkatan intelegensi premorbid pasien (Strauss et al., 2006).

1.3 Memori

Memori merupakan suatu bagian dari fungsi kognitif yang terdistribusi dan tidak

seragam. Dalam kata lain, pembagian subdivisi dari fungsi memori dapat

diketahui dengan jelas, dimana dalam pembagian tersebut turut melibatkan

berbagai struktur dan substrat anatomis.

Taksonomi memori terkini utamanya menunjukkan pembagian memori

menjadi 2 kelompok utama, yakni memori deklaratif (dikenal sebagai memori

eksplisit atau memori sadar) dan memori non deklaratif (memori implisit,

prosedural, tak sadar). Memori deklaratif atau eksplisit merupakan rekoleksi

pengalaman sebelumnya yang intensional (disengaja) atau terjadi ketika sadar.

Lebih lanjut, memori deklaratif dibagi menjadi memori episodik dan memori

semantik. Memori episodik umumnya berupa memori terkait pengalaman-

pengalaman pribadi, kadang berupa memori autobiografis, terapat keterangan

waktu dan tempat yang spesifik (konteks yang spesifik), sedangkan memori

semantik umumnya berupa fakta, pengetahuan independen dengan berbagai

konteks spesifik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam kehidupan

pasien (Schacter&Tulving, 1994; Hodges&Greene, 1995). Terdapat beberapa tes

yang dapat digunakan untuk menilai bagian spesifik dari memori episodik dan

memori semantik jangka panjang. Yang juga perlu diperhatikan adalah

keberadaan memori anterograde, yang singkatnya disebut sebagai memori baru,

dan memori retrograde, berupa penyimpanan memori sebelum-sebelumnya

(Kapur, 1993, 1997).

Berbeda halnya dengan memori eksplisit, memori implisit umumnya

berupa koleksi dari serangkaian unit memori yang heterogen, diantaranya

kemampuan untuk belajar, meniru, dan mengkondisikan, yang tidak dijumpai

dalam pikiran sadar (Schacter et al., 1993). Dalam praktik klinis, umumnya tidak

lagi dilakukan pemeriksaan atas memori klinis.

Dalam tatanan praktik klinis, observator dan klinisi seringkali menegaskan

permasalahan melalui penggunaan istilah “memori jangka pendek” dan “memori

jangka panjang”, dimana kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut

berbagai materi yang baru saja dipelajari atau yang telah lama diketahui oleh

pasien. Pembagian divisi serupa juga masih dijumpai dalam terminologi

profesional, meskipun terdapat pengertian yang berbeda atas kedua istilah tersebut

dalam 2 tatanan yang berbeda tersebut. Pengertian memori jangka pendek dalam

kalangan profesional beranalogi dengan pengertian dari memori kerja (working

memory), dan dikonseptualisasikan sebagai salah satu bagian dari fungsi atensi

(attentional function) (lihat Bagian 1.1). Memori jangka pendek sendiri faktanya

merupakan salah satu bagian dari memori jangka panjang, yang secara spesifik

bertugas dalam mempelajari informasi-informasi baru. Amnesia meupakan sebuah

sindroma berupa gangguan memori dan pembelajaran hal-hal yang baru, yang

biasanya ditandai dengan terjadinya gangguan pada memori anterograde atau

retrograde, akut/transien atau kronis/persisten.

Amnesia anterograde secara klinis bermanifestasi sebagai timbulnya pertanyaan

atas kehidupan sehari-hari yang berulang-ulang, ketidakmampuan dalam

melaksanakan sejumlah tugas sederhana, atau mengulang informasi serupa yang

telah diberikan. Istilah yang dapat digunakan lebih baik untuk menyebutnya

adalah “recent and remote memory”

Dalam perkembangannya, telah diketahui beberapa substrat anatomis yang

turut terlibat dalam fungsi memori eksplisit, berdasarkan sejumlah studi

eksperimental pada hewan uji dan pasien yang mengalami gangguan memori

akibat terjadinya lesi fokal pada otak yang dapat diketahui melalui pemeriksaan

neuropsikologi dan pencitraan neurologis. Literatur menyebutkan bahwa substrat

anatomis tersebut meliputi kerusakan yang terjadi pada area hipokampus,

diensefalon, frontalis, dan bagian basal otak depan. Beberapa struktur yang

terdapat pada lobus temporalis medial, hipokampus sentral, dan diensefalon yang

melingkupi ventrikel ke-3 diperkirakan memiliki peranan krusial dalam

menyebabkan terjadinya gangguan memori episodik (O’Keefe &Nadel, 1978;

Cohen &Eichenbaum, 1993; Zola-Morgan & Squire, 1993). Lesi-lesi yang terjadi

di sepanjang sirkuit tersebut, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Papez (area

entorhinal dari girus parahippokampal, perforant and alvear pathways,

hippokampus, fimbria dan forniks, badan mamiliaris, traktus mamilotalamikus,

nuklei thalamikus anterior, kapsula interna, girus cinguli, dan cingulum) dapat

menyebabkan terjadinya baik amnesia anterograde maupun retrograde.

Pengalaman yang terjadi pada seorang pasien yang berinisial HM merupakan

salah satu indikator kunci atas peranan vital yang dimiliki oleh stuktur-struktur

tersebut. Karena epilepsi refrakter yang dialaminya, HM menjalani lobektomi

lobus temporalis media bilateral, yang meliputi pengangkatan amygdala, korteks

entorhinal, gyrus dentatus anterior, hippokampus, dan subikulum, paska operasi

HM mengalami amnesia anterograde, dan amnesia retrograde terkait ingatannya

10 tahun sebelum dilakukannya operasi (Scoville & Milner, 1957). Pasien HM

tersebut selanjutnya di-follow-up selama beberapa tahun kedepan, dimana selama

periode tersebut tidak dijumpai terjadinya perbaikan dari berbagai defisit

neuropsikologis yang dialaminya (Ogden,2005). Hasil serupa juga ditemukan

terjadi pada operasi serupa tapi hanya dilakukan secara unilateral saja (Kapur &

Prevett, 2003). Lesi yang terjadi pada hipokampus dihubungkan dengan terjadinya

amnesia retrograde (Cipolotti et al., 2001). Risiko terjadinya amnesia

dideskripsikan memliki asosiasi dengan lesi-lesi yang terjadi pada basal otak

bagian depan (Damasio et al.,1985) dan yang terjadi pada bagian frontal otak,

yang mana lesi-lesi yang terjadi pada bagian frontal tersebut juga mengakibatkan

terjadinya defek pada memory encoding (Parkin, 1997a).

Terdapat beberapa hal yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya

gangguan memori (Kapur,1994; Baddeley et al., 1995; Hodges & Greene,1995;

Parkin, 1997b; Kopelman, 2002; Mega, 2003; Papanicolaou, 2006). Gangguan

memori episodik merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling umum

ditemukan terjadi pada pasien-pasien Alzheimer Disease (AD: lihat Bagian 2.1),

meskipun kadang gangguan memori yang terjadi tersebut tidak selalu tampak,

selain itu juga terdapat berbagai defisit lain yang dapat ditemukan melalui

penilaian klinis atau neuropsikologis yang dilakukan. Untuk alasan tersebut, dan

karena AD merupakan penyebab paling umum dari demensia, penggunaan tes-tes

neuropsikologis (neuropsychological test batteries), terutama‘bedside’ tests,

sering diragukan sebagai salah satu modalitas yang digunakan untuk penilaian

memori karena terdapatnya ekslusi relatif dari berbagai domain kognitif yang lain,

seperti fungsi eksekutif, yang menyebabkan kesulitan dalam proses identifikasi

berbagai gangguan neurokognitif lainnya dimana memori bukan merupakan

domain utama yang mengalami defek. Amnesia anterogade juga dapat terjadi

sebagai konsekuensi atas kejadian baik cedera kepala terbuka maupun tertutup

(amnesia post traumatik), sindroma Wernicke– Korsakoff (lihat Bagian 8.3.1),

ensefalitis yang disebabkan oleh HSV (Bagian 9.11), ensefalitis limbik yang

disebabkan oleh proses paraneoplastik atau non-paraneoplastik (Bagian 6.12.1 dan

6.12.2), infark otak pada area tertentu (Bagian 3.4), dan tindakan pembedahan

yang dilakukan untuk mengangkat lesi-lesi yang terjadi pada lobus temporalis

atau ventrikel ketiga (bagian 7.2.3). Amnesia transien dapat disebabkan dari

kondisi epileptik (amnesia epileptik transien: Bagian 4.3.1) atau, pada kasus

amnesia global transien yang diperkirakan terjadi akibat etiologi vaskuler (Bagian

3.7.3). Amnesia psikogenik juga dapat dimasukkan sebagai salah satu dari

diagnosis diferensial dari amnesia transien (Pujol &Kopelman, 2003; Butler &

Zeman, 2006). Gradien temporal dari amnesia retrograde juga dapat dijumpai

terjadi pada beberapa kondisi-kondisi ini, tetapi juga dijumpai sejumlah kecil

kasus amnesia retrograde fokal yang disertai dengan terjadinya gangguan memori

berupa amnesia anterograde relatif, kadang terjadi paska cedera kepala atau

ensefalitis (Stuss & Guzman, 1988; Kapur, 1993; Hunkin, 1997; Mackenzie-Ross,

2000; Larner et al., 2004).

Terdapat banyak jenis tes yang dapat digunakan untuk penilaian memori

(Strauss et al., 2006). The Wechsler Memory Scale, yang sekarang ini telah

diterbitkan dalam edisi ke-3 (WMS-III), merupakan sebuah battery testing yang

digunakan untuk menguji dan menilai memori deklaratif auditorik dan visual dan

memori kerja. Beberapa tes spesifik lainnya yang digunakan untuk menilai

memori episodik diantaranya berupa the Buschke Selective Reminding Test

(Buschke & Fuld, 1974), the California Verbal Learning Test (Delis et al., 2000),

the Hopkins Verbal Learning Test (Brandt, 1991; Shapiro et al., 1999), the

Camden Recognition Memory Test and the Topographical Recognition Memory

Test (Warrington, 1984, 1996), dan the Rey Auditory Verbal Learning Test.

Metode recall of the Rey–Osterrieth Complex Figure juga dapat digunakan

sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui status memori visual. Memori

retrograde dapat diperiksa dengan menggunakan the Autobiographical Memory

Interview (Kopelman et al., 1989), yang didalamnya terdapat komponen informasi

semantik personal dan peristiwa-peristiwa autobiografis yang dapat ditanyakan

pada pasien, meskipun sebenarnya penggunaannya sendiri dapat mengaburkan

derajat dan perluasan amnesia retrograde yang sebenarnya terjadi, pola missing

‘islands’ of memory loss yang terjadi pada pasien-pasien ini umumnya berbeda-

beda antar tiap pasien. Pemeriksaan berupa the Famous Faces Test dapat

digunakan untuk mempelajari dan menilai remote memory (Hodges et al., 1993).

Integritas jejaring semantik, termasuk memori semantik dapat diperiksa dengan

menggunakan tes yang dikenal sebagai category/semantic) fluency tests (lihat

Bagian 1.7). Pembacaan daftar kata yang memiliki pengucapan yang ireguler yang

berhubungan dengan pengejaan dapat menyebabkan munculnya disleksia (surface

dyslexia/regularization errors) pada pasien-pasien yang mengalami gangguan

akses atau kerusakan pada jejaring semantik. Beberapa tes lain yang digunakan

untuk menilai jejaring semantik asosiatif berupa the Pyramids and Palm Trees

Test (Howard & Patterson, 1992). Terdapat sebuah semantic memory test battery

yang didalamnya menyertakan subtes yang ditujukan untuk menilai kategori

kelancaran, penamaan, penamaan hingga deskripsi, dan mencocokkan gambar

dengan kata sebagai respons dari kata yang telah diucapkan (Hodges et al.,

1992a,b).

Dari sekian instrumen tes neuropsikologis ‘bedside’ yang sering

digunakan (lihat Bagian 1.8), the Mini-Mental State Examination merupakan

salah satu pemeriksaan fungsi memori yang memiliki sifat perfunctory (dimana

pasien diminta menyebutkan 3 nama obyek, seperti, bola, bendera, pohon, dan

setelah beberapa saat pasien diminta kembali mengingat dan menyebutkan nama

ketiga benda yang telah disebutkan tadi. Daftar kata-kata yang lebih panjang

(supraspan) digunakan dalam the DemTect dan the Hopkins Verbal Learning Test,

dimana pada tes yang terakhir disebutkan tersebut, didalamnya turut disertakan

baik aspek recall dan rekognisi (recognition paradigm) yang digunakan untuk

memastikan apakah gangguan yang terjadi disebabkan oleh encoding atau

retrieval defects. Dalam the Addenbrooke’s Cognitive Examination (ACE) dan

revisinya(ACE-R) ditambahkan 17 nama dan alamat dalam aspek recall, dan

sebuah aspek recognition paradigm pada the ACE-R, dan sebuah aspek

pemeriksaan yang digunakan untuk menilai kelancaran kategori (category

fluency). The Queen Square Screening Test for Cognitive Deficits merupakan

sebuah qualitative story recall test, dan didalamnya juga disertakan gambar-

gambar yang digunakan untuk memeriksa memori visual.

1.4 Bahasa

Berdasarkan sejarahnya, gangguan bahasa menunjukkan keberadaan bukti

unekuivokal yang menyatakan bahwa rusaknya atau hilangnya fungsi otak yang

lebih tinggi (higher brain function) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada

regio otak tertentu, hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan dari hasil kerja

Broca, dan juga Marc Dax yang dilakukan pada pertengahan abad ke-19 (Schiller,

1993). Studi yang dilakukan oleh Wernicke juga memiliki peranan dalam

menentukan substrat-substrat neural yang turut berperan dalam fungsi bahasa,

dimana dari studi tersebut diketahui bahwa bahasa merupakan salah satu fungsi

yang terlokalisir. Setiap mahasiswa kedokteran sekarang ini selayaknya

mengetahui bahwa baik pada sebagian besar manusia, baik pada individu-individu

yang kidal maupun tidak kidal memiliki hemisfer yang dominan, meskipun

terdapat sekitar 30% individu-individu yang kidal dan < 1 % individu yang tidak

kidal memiliki pusat bahasa yang terletak dalam hemisfer non dominannya.

Afasia, merupakan salah satu bentuk gangguan bahasa primer, dan dimana

proses lokalisasi klinis tersebut seringkali hampir serupa dengan beberapa defek

lain yang terjadi, diantaranya dengan defek pada kemampuan membaca (aleksia)

dan menulis (agrafia), dimana semua defek tersebut masih bersifat reversibel,

dapat diperbaiki sesuai dengan batasan tertentu dan derajat kerusakan yang terjadi

(Willmes & Poeck, 1993). Sebagai tambahan atas tipe afasia Broca (ketidak

lancaran, anterior, motorik, ekspresif) dan Wernicke (lancar, posterior, sensorik,

reseptif), terdapat bebarapa perbedaan klinis yang dapat dibedakan dari afasia

konduksi/conduction aphasia (impaired repetition) dan afasia

transkortikal/transcortical aphasias (preserved repetition). Dalam

perkembangannya juga terdapat sebuah klasifikasi afasia yang membagi afasia ke

dalam afasia perisilvian (Broca, Wernicke, konduksi) dan ekstrasilvian.Terdapat

sejumlah buku teks dan perorangan yang mempelajari afasia dan klasifikasinya

(dianataranya, Benson & Ardila, 1996; Brown & Hagoort, 2000; Basso, 2003;

Caplan, 2003; Spreen & Risser, 2003).

Perlu diperhatikan bahwa sebelum dilakukan pemeriksaan neuropsikologis

fungsi bahasa, pasien sebaiknya menjalani pemeriksaan pendengaran (auditorik)

terlebih dahulu, sebagai contoh dengan menggunakan the Token Test (De Renzi &

Faglioni, 1978). Penguasaan terhadap kalimat dapat diketahui dan dinilai dengan

menggunakan the Test for the Reception of Grammar (Bishop, 1983). Afasia

Wernicke umumnya ditandai dengan terjadinya gangguan pada penguasaan

bahasa, meskipun pasien umumnya masih dapat dengan lancar berbicara,

meskipun dalam bicaranya tersebut pasien mengalami kemiskinan isi

pembicaraan, kadang hanya mengeluarkan sekumpulan bunyi dan kata dan frase

yang tidak memiliki arti (afasia jargon). Meskipun afasia tipe Broca seringkali

dicirikan dengan masih terdapatnya penguasaan akan bahasa, faktanya pada afasia

tipe ini tetap terjadi defek sintaks yang kompleks.

Terdapat beberapa tes bahasa yang tersedia (Lezak et al., 2004; Strauss et

al., 2006). Diantaranya terdapat sejumlah Comprehensive Batteries tests, seperti

the Boston Diagnostic Aphasia Examination (BDAE: Goodglass & Kaplan,

1983), the Western Aphasia Battery (WAB: Shewan & Kertesz, 1980), the

Psycholinguistic Assessment of Language Processing in Aphasia (PALPA: Kay et

al., 1992), dan the Comprehensive Aphasia Test (Swinburn et al., 2004). Beberapa

tes yang lebih spesifik, berupa the Graded Naming Test (McKenna &Warrington,

1980, 1983) dan the Boston NamingTest (Kaplan et al., 2001).

Dalam tatanan perawatan tirah baring, pengamatan yang dilakukan klinisi

terhadap keluaran pembicaraan pasien dapat digunakan untuk menentukan

klasifikasi afasia yang terjadi pada pasien secara sederhana, lancar atau tidak

lancar, dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya parafasia (fonemik

atau semantik) dan neologisme. Klinisi dapat bertanya atau menginstruksikan

pasien untuk bercerita atau melakukan hal-hal tertentu selama anamnesis riwayat

dan melakukan pemeriksaan fisik, sehingga diharapkan tipe afasia yang dialami

oleh pasien dapat diketahui dengan lebih jelas. Penilaian yang dilakukan atas

kemampuan pasien dalam mengulang (repetisi) dapat digunakan untuk

mendiferensiasikan tipe afasia yang terjadi, dimana kemampuan repetisi relatif

tetap baik pada afasia transkortikal atau terganggu pada afasia konduksi.

Kemampuan dalam penamaan memiliki nilai signifikansi yang lebih kecil dalam

menentukan lokalisasi yang terjadi, meskipun terjadinya anomia selayaknya dapat

menjadi penanda atas terjadinya kelainan yang terjadi pada jejaring semantik, baik

berupa degradasi atau keintakan akses jejaring semantik. Selain itu, juga harus

dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi membaca dan menulis, bahkan ketika

fungsi bahasa pasien terkesan masih baik dan intak (Benson & Ardila, 1996;

Saver, 2002; Leff, 2004; Larner 2006). Densitas ide yang dijumpai pada hasil

tulisan pasien mencerminkan kemampuan pemrosesan bahasa pasien pada saat itu.

Dari sekian jumlah instrumen tes neuropsikologis ‘bedside’ yang sering

digunakan (lihat Bagian 1.8), sebagian besar diantaranya juga menitikberatkan

kepada fungsi bahasa, seperti yang dijumpai pada pasien-pasien yang mengalami

gangguan linguistik primer (seperti, demensia semantik, Alzheimer yang disertai

dengan afasia) umumnya mengalami kesulitan atau kemustahilan untuk

menyelesaikan tes tersebut.

1.5 Persepsi

Defisit yang terjadi pada tingkatan pemrosesan sensorik yang lebih tinggi (higher-

order deficits of sensory processing) yang tidak dapat digolongkan ke dalam

gangguan perhatian, penurunan intelektual, atau kegagalan dalam pengenalan

stimulus (anomia), dikenal dengan istilah agnosia, yakni sebuah istilah yang

pertama kali dicetuskan penggunaannya oleh Sigmund Freud (1891) dimana

makna sebenarnya dari istilah tersebut adalah “tidak tahu” atau “ketidaktahuan”.

Lissauer (1890; diterjemahkan oleh Shallice & Jackson, 1988), speaking of

Seelenblindheit, menyatakan bahwa arti dari istilah tersebut sebagai ‘soul-

blindness’ atau secara teknis memiliki arti sebagai ‘psychic blindness’, temuan

tersebut memberikan penjelasan atas perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara

defisit aperseptif (apperceptive deficits) dan dan defisit asosiatif (associative

deficits): dimana pada jenis gangguan yang pertama terjadi sebuah defek pada

pemrosesan perseptual kompleks yang memiliki tingkatan lebih tinggi (defect of

higher-order complex perceptual processing), sedangkan pada kelainan yang

selanjutnya (defisit asosiatif) ditemukan keutuhan/persepsi yang masih intak,

meskipun dijumpai terjadinya defek pada kemampuan. Beberapa deskripsi

terdahulu melaporkan terjadinya defek agnosik pada beberapa kasus (Meyer,

1974). Perdebatan terus berlanjut terutama mengenai jenis-jenis agnosia,

meskipun secara klinis dapat dibedakan menjadi agnosia aperseptif atau asosiatif

(Farah, 1995).

Meskipun juga dijelaskan atas keberadaan agnosia auditorik dan taktil,

keduanya tampaknya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan kasus agnosia

visual, yang mana telah dipelajari dan diobservasi dengan lebih ekstensif oleh

berbagai ahli (Farah, 1995; Bauer &Demery, 2003; Ghadiali, 2004). Agnosia

visual yang terjadi umumnya relatif bersifat selektif, sebagai contoh

ketidakmampuan seseorang dalam mengenali wajah-wajah manusia yang telah

dikenalnya sebelumnya atau ketidak mampuan dalam mengenali stimuli yang

ekuivalen, dikenal dengan istilah prosopagnosia. Gangguan tersebut dapat terjadi

saat perkembangan/developmental (Nunn et al., 2001; Larner et al., 2003) atau

terjadi secara akuisita, dimana prosopagnosia akuisita terjadi akibat konsekuensi

dari penyakit serebrovaskuler yang mengakibatkan terbentuknya lesi-lesi yang

terdapat pada regio oksipitotemporalis bilateral, akan tetapi, dalam okurensi yang

lebih sedikit, prosopagnosia dapat terjadi sebagai salah satu gejala bawaan dari

penyakit neurodegeneratif yang diderita, kadang isolasi relatif yang terjadi

dihubungkan dengan terjadinya atrofi fokal pada lobus temporalis kanan

(prosopagnosia progresif: Evans et al., 1995). Aleksia murni (pure alexia)

merupakan salah satu agnosia pada kata-kata dimana terjadi gangguan berupa

upaya membaca yang susah payah huruf per huruf hingga dicapai satu identitas

kata, yang terkonseptualisasikan sebagai salah satu konsekuensi atas terjadinya

kerusakan pada regio otak yang mengatur rekognisi keseluruhan kata, yang

diperkirakan berlokasi pada medial lobus oksipitalis kiri dan girus fusiformis

posterior (Leff et al., 2006). Sebuah sindroma yang lebih jarang ditemukan terjadi

berupa pure word deafness yang diperkirakan sebagai salah satu bentuk dari

agnosia auditorik. Agnosia jemari (finger agnosia) merupakan sebuah

ketidakmampuan untuk mengidentifikasikan jari-jari mana sajakah yang telah

disentuh, dimana penderitanya umumnya hanya mengetahui terdapat sebuah jari

saja yang tersentuh tanpa mengetahui jari yang manakah yang disentuh tersebut,

gangguan ini merupakan salah satu bentuk dari agnosia taktil, yang merupakan

salah satu bagian dari sindroma Gertsman (Della Sala & Spinnler, 1994). Hampir

serupa, aleksia Braille yang terjadi dapat merupakan salah satu bentuk dari

agnosia taktil (Larner, 2007).

Keberadaan teori yang menyatakan terdapatnya 2 jalur pemrosesan visual

di dalam otak pertama kali diungkapkan oleh Ungerlieder dan Mishkin (1982),

yakni berupa jaras pemrosesan visual oksipital dorsolateral dan oksipitotemporal

ventromedial (occipitoparietal dorsolateral [‘where’] and occipitotemporal

ventromedial [‘what’] stream). Pada sejumlah kasus yang jarang ditemukan

terjadi, jaras-jaras tersebut akan terpengaruh secara selektif: seperti pada

gangguan jaras sentral, dengan lebih spesifik pada area oksipitalis lateral yang

ditemukan terjadi pada seorang pasien kenamaan yang menderita agnosia visual

yang diakibatkan oleh keracunan karbon monoksida. Pada pasien tersebut

mengalami hilangnya kemampuan identifikasi perseptual atas bentuk dan rupa,

meskipun pasien tersebut masih dapat mengetahui dan mampu membedakan

warna dan detail kecil yang terdapat pada berbagai permukaan (tekstur visual),

dan kemampuan visuomotornya (‘vision for action’) biasanya masih berada dalam

kondisi yang baik/intak (Milner & Goodale, 1995; Goodale &Milner, 2004).

Ataksia optik (optic ataxia) merupakan bentuk gangguan volunter dalam

mempresentasikan target yang telah ditunjuk secara visual, umumnya berupa

misdireksi atau dismetria, temuan tersebut merupakan penanda atas terjadinya lesi

pada jaras dorsal. Mekanisme kerja sistem kontrol visuomotorik tersebut tidak

dapat diketahui selama dalam keadaan sadar (‘unconscious vision’), yang berbeda

dengan identifikasi visual obyek.

Gangguan spesifik berupa ketidakmampuan seseorang dalam melihat

obyek-obyek yang bergerak, akinetopsia atau kasus cerebral visual motion

blindness, dimana pada kasus ini persepsi terhadap atribut visual lainnya, seperti,

warna, bentuk, dan kedalaman masih intak/baik dan kondisi tersebut dihubungkan

dengan terjadinya lesi-lesi selektif yang terjadi pada area V pada korteks visual

(Zihl et al., 1983; Zeki, 1991). Meskipun sangat jarang ditemukan terjadi, kasus-

kasus yang baru disebutkan merupakan penanda atas terdapatnya perbedaan

terkait substrat neuroanatomis pada movement vision, sebagaimana halnya dengan

motion vision yang secara selektif dapat tidak mencapai area skotomatosa

(Riddoch’s syndrome: Zeki &ffytche, 1998). Terjadinya bentuk kelainan berupa

visual neglect dipertimbangkan sebagai salah satu gangguan perhatian (lihat

Bagian 1.1).

Terdapat beberapa kasus agnosia visual yang dikemukakan oleh De Renzi

(1986). Benson et al. (1988) mengungkapkan sebuah temuan yang menarik

perhatian para klinisi berupa seorang pasien yang mengalami aleksia, agrafia,

agnosia visual, dengan kehadiran atau ketiadaan komponen-komponen yang

ditemukan terjadi pada sindroma Gerstmann, afasia sensorik transkortikal, yang

menariknya fungsi memori pada pasien tersebut masih intak hingga mendekati

akhir kehidupannya, kelainan tersebut disebut sebagai posterior cortical atrophy

(PCA) meskipun dengan ketiadaan data-data neuropsikologis. Hingga sekarang

ini diyakini bahwa sebagian besar dari kasus-kasus tersebut memiliki proses

patologi yang serupa dengan patologi yang terjadi pada penyakit Alzheimer,

sehingga kasus-kasus tersebut diatas sering dikenal sebagai “varian aspek visual

dari penyakit Alzheimer” (Levine et al., 1993, MCI: Larner, 2004). Terdapat

beberapa proses patologis yang ditemukan pada beberapa kasus PCA (Pantel &

Schroeder, 1996). Kriteria diagnostik untuk PCA juga telah dikembangkan

sekarang ini (Mendezet al., 2002). Gangguan agnosik visual merupakan sebuah

temuan yang sering dijumpai terjadi pada penyakit Alzheimer, meskipun

intensitasnya sendiri tidak lebih kentara dari permasalahan mnemonik (mnemonic

difficulties) yang terjadi pada pasien-pasien tersebut. Berbagai kelainan yang

terjadi pada jalur pemrosesan visual dapat ditemukan terjadi pada pasien-pasien

AD (Cronin-Golomb & Hof, 2004).

Terdapat sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji

perseptual visual dan fungsi visokonstruktif secara spesifik (visual perceptual and

visuoconstructive functions) (Strauss et al., 2006). Diantaranya berupa Judgment

of Line Orientation (digunakan untuk mengetahui fungsi lobus oksipitalis kanan);

copy of the Rey–Osterrieth Complex Figure (Rey, 1941; Osterrieth,1944;

diterjemahkan oleh Corwin & Bylsma, 1993) atau the Taylor Figure (Taylor,

1969); decoding embedded (Poppelreuter) figures; beberapa test batteries, seperti

the WAIS-R Block Design (konstruksi visuospasial) atau sejumlah dedicated

batteries, seperti the Visual Object and Space Perception Battery

(VOSP:Warrington & James, 1991).

Dari sekian jumlah instrumen yang digunakan dalam tatanan

neuropsikologis (lihat Bagian 1.8), the Mini-Mental State Examination merupakan

salah satu tes yang didalamnya terdapat aspek fungsi visuospasial, dimana dalam

pelaksanaannya pasien diharapkan dapat menyalin sebuah gambar yang terdiri

dari pentagon-pentagon yang berpotongan. Menggambar jam (clock drawing)

sebagai bagian dari penilaian visuospasial juga memerlukan kemampuan otak

yang lebih kompleks. The Queen Square Screening Test for Cognitive Deficits

calls berisi segmen pemeriksaan dimana pasien diminta untuk mengidentifikasi

surat-surat dan gambar-gambar yang terfragmentasi. The Addenbrooke’s

Cognitive Examination (ACE) juga menambahkan sejumlah aspek dalam

pemeriksaan tersebut berupa wire cube dan clock drawing, sedangkan ACE-R

menambahkan counting dots dan identifikasi terhadap huruf-huruf yang

bersebaran. DemTect spesifik pada tes visuoperseptal dibandingkan dengan tes

transcoding angka.

1.6 Praksis

Apraxia, gangguan yang terjadi pada praksis, merupakan gangguan yang terjadi

pada kontrol motorik (higher-level motor control) akuisita yang menyebabkan

terjadinya gangguan pada kemampuan motorik volunter (Grafton,2003; Heilman

& Gonzalez Rothi, 2003; Leiguarda,2005), dimana istilah apraksia didefinisikan

dan dihubungkan dengan lesi-lesi yang terjadi pada hemisfer kiri oleh Liepmann

(1900). Gangguan ini seharusnya tidak dijelaskan dengan menggunakan beberapa

istilah yang ditemukan pada lower-motordeficits, seperti piramidal,

ekstrapiramidal, serebelar, atau disfungsi sensoris. Sebagai contoh, sebuah defisit

yang dikenal sebagai apraksia kontruksional (‘constructional apraxia’ atau

‘dressing apraxia’ akan jelas lebih baik apabila ditetapkan sebagai defisit

visuoperseptal dan/atau defisit visuospasial.

Secara tradisional, terdapat sebuah perbedaan yang dapat ditarik dari

apraksia ideasional dan ideomotorik (ideational and ideomotor apraxias),

meskipun keduanya sering ditemukan terjadi pada kasus-kasus kerusakan yang

terjadi pada hemisfer kiri (De Renzi et al., 1968). Apraksia ideomotorik

(ideomotor apraxia) yang terjadi bersamaan dengan afasia Broca dapat

dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari sindroma diskoneksi (disconnection

syndrome) (lihat Bagian 1.12).

Terdapat sejumlah kasus apraksia progresif yang dipelajari dan

dipresentasikan oleh De Renzi (1986). Apraksia dapat menjadi salah satu

fitur/temuan yang terjadi pada pasien-pasien yang menderita penyakit

neurodegeneratif, terutama degenerasi kortikobasalis (lihat Bagian 2.4.3),

meskipun sebenarnya penyakit Alzheimer dapat juga terjadi dengan disertai

terjadinya fenotip yang serupa (atrofi biparietal: Bagian 2.1), bahkan dapat pula

disertai dengan terjadinya alien limb behaviour pada pasien-pasiennya.

Permasalahan praksis dapat diketahui dan dinilai melalui berbagai cara

(Crutch, 2005), diantaranya berupa gesture naming, keputusan dan rekognisi;

gesture to verbal command, to visual or tactile tool; hingga imitation of real atau

nonsense gestures; dan pemilihan peralatan. Selain itu, terdapat sejumlah test

batteries, diantaranya berupa the Florida Apraxia Screening Test-Revised (FAST-

R: Gonzalez Rothiet al., 1997).

1.7 Fungsi Eksekutif, ‘Fungsi Frontal’

Istilah ‘fungsi eksekutif’ digunakan untuk mencakup berbagai kemampuan,

termasuk perumusan tujuan; organisasi, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring

dari urutan tindakan; pemecahan masalah dan pemikiran abstrak. Hal ini juga

tumpang tindih dengan perhatian yang berkelanjutan. Istilah ‘dysexecutive

syndrome’ dapat digunakan untuk menggambarkan disfungsi pada salah satu atau

semua bidang ini, yang paling sering dikaitkan dengan proses patologis di lobus

frontalis (Filley, 2000; Chayer & Freedman, 2001; Miller & Cummings, 2007).

Karena heterogenitas dari fungsi-fungsi ini, beberapa penulis tidak menyukai

istilah payung dari ‘fungsi eksekutif’ dan lebih memilih untuk menggambarkan

fungsi spesifik terganggu. Selain itu, kerusakan lobus frontal dapat menyebabkan

fenotipe klinis, dimana perubahan perilaku sering merupakan gambaran yang

paling menonjol. Cedera orbitofrontal dapat menyebabkan disinhibisi, seperti

yang gambarkan oleh Phineas Gage, salah satu pasien yang paling terkenal dalam

sejarah neuropsikologi klinis, yang menunjukkan perubahan perilaku setelah

mengalami cedera lobus frontal (Damasio et al., 1994; Macmillan, 2000; Larner &

Leach, 2002), meskipun pola klinis lainnya dan perubahan kognitif dapat diamati

pada cedera lobus frontal (Loring & Meador, 2006): misalnya sindrom seperti;

apatis (frontal konveksitas) dan rigiditas (frontal medial) juga dijelaskan (Trimble,

1996).

Karena sifat menyeluruh dari konstruksi ‘fungsi eksekutif’, tidak ada tes

tunggal yang memadai untuk menilai secara keseluruhan (Goldberg & Bougakov,

2005). Berbagai macam tes yang diketahui sensitif terhadap aspek dari disfungsi

eksekutif juga tersedia. Pada bedside atau di klinik, tes Go-No Go mungkin

diterapkan untuk menilai kegagalan dari hambatan respon atau pembatasan

rangsangan, misalnya meminta pasien untuk menepuk 2 kali sebagai respon dari 1

tepukan yang diberikan oleh pemeriksa, dan 1 kali sebagai respon dari 2 tepukan.

Mengulangi urutan bergantian, misalnya dari gerakan tangan (kepalan-buka

tangan) atau menulis (m n m n m n), dapat digunakan untuk tujuan yang sama.

Tes The Trails A dan B juga memerlukan urutan, huruf atau angka yang harus

diikuti. Interpretasi peribahasa adalah tes bedside yang populer, ‘nyata’

menunjukkan masalah lobus frontal. Tes lisan kefasihan verbal atau controlled

oral word association tests (COWAT), dapat dibagi menjadi menguji fonologi,

huruf, atau kefasihan leksikal, seperti FAS tes (dalam 1 menit menyebutkan

sebanyak-banyaknya kata-kata yang berawalan dengan huruf F, lalu menit

berikutnya menyebutkan kata-kata yang berawalan dengan huruf A, menit

berikutnya menyebutkan kata-kata yang berawalan dengan huruf S), dan menguji

semantik atau kategori kefasihan (dalam 1 menit menyebutkan sebanyak-

banyaknya nama binatang, buah-buahan, alat musik, atau kategori apapun dapat

dipilih, selama memungkinkan. Kefasihan huruf telah dicirikan sebagai tes

fleksibilitas mental menilai fungsi eksekutif, yang sangat terganggu (‘contoh

cacat’: Critchley, 1979) pada lesi frontal kiri (tanpa afasia), sedangkan kategori

kefasihan memeriksa integritas jejaring semantik. Desain kefasihan, suatu visual

analog dari kefasihan lisan, mungkin lebih terganggu pada lesi frontal kanan

(Jones-Gotman & Milner, 1977), kefasihan tugas lisan menarik karena singkat (1

menit masing-masing) dan tidak memerlukan peralatan khusus, tetapi

pertimbangan mungkin perlu dilihat dari usia dan pendidikan pasien ketika

mempertimbangkan norma-norma tes (Mathuranath et al, 20030. Tes kefasihan

lisan yang disatukan ke dalam tes baterai seperti Dementia Rating Scale dan

CERAD Battery, seperti Addenbrooke’s Cognitive Examination, dan mungkin

fasilitas diagnostik pada penyakit Alzheimer dan dementia vaskuler (Cerhan et al.,

2002; Duff Canning et al., 2004).

Mungkin tes yang paling sering digunakan untuk menyelidiki fungsi

eksekutif adalah Stroop Test (Stroop, 1935) dan the Wisconsin Card Sorting Test

(WCST) dan Modified Wisconsin Card Sorting Test (MWCST: Nelson, 1976).

Pada Stroop Test, pasien diminta untuk membaca daftar nama dari warna, dicetak

dalam warna yang berbeda dengan namanya, diikuti dengan menyebutkan warna

dimana setiap nama dicetak, sehingga memiliki hambatan dalam membaca dari

tiap nama warna (yaitu penundaan dari jawaban yang tidak tepat). MWCST

menggunakan 1 set kartu ditandai dengan simbol-simbol bentuk yang berbeda,

warnam dan angka yang mungkin diurutkan dalam berbagai cara. Aturan urutan

diubah oleh pemeriksa tanpa memberitahukan subyek, membutuhkan kemampuan

memecahkan masalah. Kesulitan perubahan kategori adalah khas dari kerusakan

lobus frontal, yang mengarah ke perseverasi dari kategori sebelumnya. Jelas

MWCST, tidak seperti Stroop Test, memancing untuk jawaban baru. MWCST

mungkin tidak spesifik untuk disfungsi lobus frontal, karena pasien dengan lesi

hipokampal mungkin melakukan kesalah perseveratif (Corcoran & Upton, 1993).

Ada banyak tes-tes lainnya menggali fungsi eksekutif, terkadang

bersamaan dengan domain lainnya (Strauss et al, 2006). Ini termasuk Raven’s

Progressive Matrices, the Porteus Mazes, the Tower of London Test (Shallice,

1982), the Tower of Hanoi Test, the Trail Making Test (terutama bagian B), the

Halstead-Reitan Category Test, the Weigl Colour Form Sorting Test (Wigl, 1941),

the Cognitive Estimates Test (Shallice & Evans, 1978), dan the Verbal Switching

Test (Warrington, 2000). The Hayling and Brixton Tests untuk melengkapi

kalimat dan antisipasi spasial adalah aturan tes yang mengikuti dan penekanan

lisan dari sebuah jawaban yang lazim (Burgess & Shallice, 1996, 1997). Subtes

WAIS-R tertentu sensitif terhadap aspek eksekutif / fungsi lobus frontalis, seperti

the Similarities tes dari abstraksi lisan dan the Digit Symbol tes dari kecepatan

psikomotor. Tes pengambilan keputusan dan risiko, kemampuan yang mungkin

juga akan mencakup di bawah rubrik fungsi eksekutif (Lehto & Elorinne, 2003)

dan dimediasi oleh korteks prefrontal dan amygdala, termasuk the Iowa Gambling

Test (Bechara et al., 1994) dan the Cambridge Gamble Task (Rogers et al., 1999).

Ada juga tes-tes baterai seperti the Behavioural Assessment of the

Dysexecutive Syndrome (BADS: Wilson et al., 1996) dan the Delis-Kaplan

Executive Function System (D-KEFS: Delis et al., 2001), tapi karena ini

memakan waktu lama untuk dikelola, mereka yang terbaik disediakan untuk

penyelidikan khusus masalah lobus frontal. The Frontal Lobe Personality Change

Questionnaire (FLOPS) dapat digunakan untuk menilai perubahan perilaku dan

termasuk versi penjaga, berguna untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan.

Karena sebagian besar tes fungsi eksekutif menggali perencanaan dan

strategi, dimediasi oleh kortek prefrontal dorsolateral, beberapa pasien dengan

kerusakan eksklusif orbitofrontal, misalnya pada frontal varian frontotemporal

dementia, mungkin dapat menyelesaikan tes ini tanpa kesalahan mencolok.

Dari ‘bedside’ instrumen tes neuropsikologikal (lihat bagian 1.8), the

Mini-Mental State Examination telah dikritik karena kurangnya penilaian fungsi

eksekutif, satu kekurangan dimana the Addenbrooke’s Cognitive Examination

berusaha untuk mengatasi dengan menggunakan kata dan kategori tes kefasihan

lisan. Selain itu, subscore tes, the VLOM ratio, telah dilaporkan untuk

membedakan demensia frontotemporal dari penyakit Alzheimer (Mathuranath et

al., 2000), meskipun bukti sebaliknya telah disajikan untuk beberapa parameter ini

(Bier et al., 2004; Larner, 2005; Castiglioni et al., 2006). Baterai lainnya yang

melibatkan fungsi eksekutif termasuk the Frontal Assessment Battery (Dubois et

al., 2000; Slachevsky et al., 2004). The Frontal Behavioural Inventory (Kertesz et

al., 2000), dan the Middelheim Frontality Score (De deyn et al., 2005).

Menggambar jam juga dapat membedakan FTD dari AD, lebih banyak kesalahan

yang dibuat di bagian kedua (Blair et al., 2006).

1.8 ‘Bedside’ neuropsychological test instruments

Bagaimana klinisi yang masih dalam tahap belajar, yang mungkin tidak terbiasa

atau tidak pernah mendapat pelatihan neuropsikologis, dan dalam jangka waktu

yang terbatas dapat menilai fungsi kognitif pasien ketika sedang di bangsal,

disamping pasien tirah baring yang dirinya dan/atau keluarganya mengeluhkan

kemungkinan terjadinya gangguan kognitif. Para praktisioner yang bergerak

dalam tatanan pelayanan kesehatan primer dapat menggunakan observasi klinis

sederhana guna mengetahui, atau setidaknya mencurigai diagnosis ke arah

terjadinya demensia: usia pasien dan anamnesis riwayat penyakit pasien juga

merupakan beberapa faktor yang penting dalam diagnosis demensia (Fisher &

Larner, 2006). Para praktisioner yang bergerak pada tatanan pelayanan kesehatan

sekunder dapat menggunakan tes-tes sederhana yang digunakan untuk penilaian

awal kondisi pasien-pasien tirah baring yang mengeluhkan terjadinya keluhan

terkait gangguan kognitif. (Tatanan tirah baring atau ‘bedside’ tests sebenarnya

merupakan bukan merupakan lokasi yang ideal untuk dilakukannya tes-tes

neuropsikologis, yang disebabkan oleh faktor keramaian di bangsal, pengunjung,

dan kemungkinan interupsi yang berasal dari berbagai faktor lain). Terdapat

sejumlah instrumen (Burns et al., 1999, 2006), beberapa diantaranya telah

digunakan secara luas dan didiskusikan secara singkat dalam bab ini. Berbagai tes

tersebut dapat dikategorikan sebagai uji sederhana ‘simple’ atau kompleks

‘complex’; atau sebagai versi ‘mini’, implikasi kondisi dan performans pasien

dalam waktu 10 menit atau kurang, atau ‘midi’, yang rata-rata dapat dilakukan

dengan baik dalam kisaran waktu 15-30 menit saja. Battery tests yang

memerlukan waktu pelaksanaan hingga 45-60 menit atau lebih tidak akan

didiskusikan dalam bab ini, karena penggunaannya yang kurang sesuai dengan

kondisi yang terjadi pada tatanan praktis klinis dan lebih sesuai bila dilakukan

dalam ruangan klinik neurolog dan keterbatasan waktu yang dimiliki. Berbagai uji

diatas umumnya menitik beratkan pada kejadian penyakit Alzheimer (AD), karena

penyakit ini merupakan penyebab terjadinya demensia yang paling umum, selain

itu berbagai tes tersebut juga menitikberatkan terhadap deteksi defisit memori.

Sehingga, berbagai instrumen tes tersebut mungkin bersifat suboptimal apabila

digunakan untuk mendeteksi berbagai gangguan yang memiliki gejala-gejala

gangguan kognitif non memori yang kentara dan/atau gangguan behavioral.

Metodologi standar yang digunakan untuk mengevaluasi skrining dan uji

diagnostik untuk demensia telah disusun secara spesifik sesuai dengan reliabilitas

dan validitas yang dimiliki masing-masing tes (Gifford & Cummings, 1999), dan

tetap sesuai dan memperhatikan kaidah-kaidah kedokteran evidence-based

diagnosis (Qizilbash, 2002). Sensitivitas dan spesifitas tes yang digunakan

setidaknya > 0,8 dan besaran nilai prediktif positif (positive predictive value)

harus mendekati 0,9, dengan kriteria rekomendasi untuk penanda biologis

molekuler (molecular biomarkers) untuk AD (Ronald and Nancy Reagan

Research Institute of the Alzheimer’s Association dan the National Institute on

Aging, 1998), tampaknya telah menjadi atribut/syarat minimal yang sesuai untuk

penilaian demensia yang dilakukan dalam tatanan tirah baring. Likelihood ratios,

the ratio of pretestto post-test odds dan nilai ‘diagnostic gain’, hendaknya

mendekati kisaran > 10 atau < 0,1, dimana apabila diperoleh nilai yang mendekati

kisaran tersebut, maka uji yang bersangkutan memiliki nilai diagnostic gain yang

besar (Deeks & Altman, 2004). Plot kurva receiver operating characteristic

(ROC) yang dibuat juga tidak buruk (Hanley &McNeil, 1982, 1983), dengan area

under the curve (AUC); merupakan salah satu pengukuran yang digunakan untuk

mengetahui keakuratan diagnostik, >0,80, sedangkan nilai AUC = 0,5

mengindikasikan bahwa tes tersebut tidak memiliki informasi added information

dan AUC + 1 mengindikasikan bahwa tes tersebut dapat memberikan diskriminasi

yang baik. Diagnostic odds ratio, yang merupakan salah satu indikator

pengukuran (summary measure) dari test diagnostic performance, harus berada

dalam kisaran yang cukup besar.

Terdapat sejumlah tes neuropsikologis ‘bedside’, dimana masing-masing

tes tersebut memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Sesuai dengan

pedoman yang telah diterbitkan, dalam tatanan perawatan primer

direkomendasikan penggunaan tes kognitif yang formal, selain itu juga dapat

digunakan beberapa clinical judgment (Eccles et al., 1998). Skrining yang

dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, diantaranya berupa the Abbreviated

Mental Test Score (AMTS: Hodkinson, 1972), the 6 Item Cognitive Impairment

Test (6CIT, juga dikenal sebagai the Kingshill Test: Brooke & Bullock, 1999),

GPCOG (Brodaty et al., 2002), Memory Alteration Test (Rami et al., 2007), atau

beberapa bentuk dari clock drawing task juga dapat digunakan. Meskipun

demikian dalam sebuah survey terkini menunjukkan bahwa instrumen-instrumen

uji kognitif diatas jarang digunakan oleh para dokter umum (c. 20%) karena

diakibatkan oleh perujukan pasien-pasien tersebut menuju ke klinik fungsi

kognitif yang memiliki kualitas baik, dan the Mini-Mental State Examination

(MMSE) merupakan instrumen tes neuropsikologis yang paling sering digunakan

(Fisher & Larner, 2007). Meskipun demikian, dalam tatanan pelayanan kesehatan

primer, Wind et al.(1997) mengungkapkan bahwa MMSE memiliki keterbatasan

nilai (limited value) dalam penegakan diagnosis demensia (sensitivitas 0,65,

spesivitas 0,93).

Baik AMTS maupun 6CIT diturunkan dari the Blessed Information

Memory Concentration Test (BIMC:Blessed et al., 1968), berikut terdapat

sejumlah tes yang dapat digunakan, diantaranya:

Cognitive Capacity Screening Examination(CCSE: Jacobs et al., 1977)

Telephone Interview for Cognitive Status (TICS:Brandt et al., 1988)

Short Test of Mental Status (Kokmen et al., 1991)

Wawancara terstruktur atas diagnosis demensia yang disebabkan oleh

penyakit Alzheimer, demensia multi infark, dan demensia yang

diakibatkan oleh berbagai etiologi lainnya

Cognitive Abilities Screening Instrument (CASI:Teng et al., 1994)

Hasegawa Dementia Scale–Revised (HDS-R: Imai& Hasegawa, 1994;

Kim et al., 2005)

Cambridge Cognitive Examination (CAMCOG:Huppert et al., 1995)

7-minute screen (Solomon et al., 1998)

Memory Impairment Screen (Buschke et al., 1999)

Mini-Cog (Borson et al., 2000)

Visual Association Test (Lindeboom et al., 2002)

Kingston Standardized Cognitive Assessment(Hopkins et al., 2004)

TE4D-Cog (Mahoney et al., 2005).

Untuk kasus demensia yang telah berprogresi menuju stadium yang lebih

berat, dapat digunakan sejumlah instrumen berikut:

Severe Impairment Battery (SIB: Saxton & Swihart,1989)

Middlesex Elderly Assessment of Mental State(MEAMS: Golding, 1989)

Severe MMSE (Harrell et al., 2000)

mini-SIB (Qazi et al., 2005).

Selain itu juga tersedia sejumlah tes yang telah terkomputerisasi

(computerized test batteries), seperti the Cambridge Neuropsychological Test

Automated Battery, from which the Paired Associates Learning test (CANTAB-

PAL) dapat bermanfaat dalam deteksi dini dan penegakan diagnosis demensia

(Swainson et al., 2001).

Beberapa tes yang digunakan untuk menilai dan mengukur fungsi global,

behavioral, dan kegiatan sehari-hari (activities of daily living; ADL) dapat

digunakan dalam penilaian gangguan kognitif pasien (Burns et al., 1999, 2006;

McKeith, 1999). Meskipun tidak dibahas secara lebih lanjut, terdapat beberapa tes

yang paling sering digunakan untuk mengukur fungsi global, diantaranya the

Functional Assessment Staging (FAST: Reisberg, 1988) dan the Clinicians

Interview-Based Impression of Change (CIBIC, atau CIBICþif Bila turut

disertakan input yang diperoleh dari perawat pasien). The Neuropsychiatric

Inventory (NPI) diperkirakan menjadi salah satu modalitas pengukuran fungsi

behavioral yang paling sering digunakan pada pasien-pasien demensia

(Cummings et al., 1994). Berikut sejumlah skala pengukuran ADL yang paling

popular: the Alzheimer’s Disease Cooperative Study Activities of Daily Living

Scale (ADCS-ADL), the Instrumental Activities of Daily Living (IADL) Scale

(Lawton &Brody, 1969), the Functional Activities Questionnaire (FAQ: Pfeffer et

al., 1982), the Bristol Activitiesof Daily Living Scale (Bucks et al., 1996), dan the

Activities of Daily Living Questionnaire (Johnson et al., 2004). Inklusi

(penyertaan) pengukuran fungsi global, behavioral, dan skala pengukuran ADL

merupakan hal yang wajib dalam pelaksanaan tial klinis obat (clinical drug trials)

pada kasus-kasus demensia, sedangkan penilaian farmakoekonomik dan skala

pengukuran kualitas hidup juga direkomendasikan pelaksanaannya.

Informant questionnaires juga dapat digunakan untuk memperoleh

informasi dan riwayat yang tidak tercantum dalam rekam medis pasien (pasien

yang datang sendiri ke klinik tanpa disertai dengan keberadaan keluarga,

pengantar, atau teman merupakan salah satu indikator yang menandakan

terjadinya absens akibat demensia yang dialaminya: Larner, 2004, 2005), terutama

guna mengetahui kondisi fungsional premorbid pasien (Jorm, 1997). The

Informant Questionnaire on Cognitive Decline in the Elderly (IQCODE: Jorm

&Jacomb, 1989) merupakan salah satu contoh instrumen tersebut dan juga

dilaporkan bermanfaat dalam penegakan diagnosis MCI (Isella et al., 2006).

1.8.1 Mini-Mental State Examination (MMSE)/ Pemeriksaan kondisi mental

Mini-Mental State Examination (MMSE) pada awalnya didesain untuk

membedakan gangguan organik dari gangguan fungsional pada praktek psikiatri,

dan sebagai ukuran kuantitatif dari gangguan fungsi kognitif yang berguna untuk

memonitor perubahan yang terjadi, namun bukan sebagai alat diagnosis utama

(Folstein et al., 1975). Namun, alat tersebut telah terbukti dapat diterima dan

berguna dalam penilaian status kognitif dalam kedokteran umum dan pasien

dengan keluhan neurologis (Dick et al., 1984; Tangalos et al., 1996) dan telah

menjadi penilaian kognitif yang paling banyak dipakai secara luas. MMSE

memiliki reliabilitas dan konsistensi internal yang baik, meskipun terdapat

perdebatan mengenai skor cut off yang sesuai (Tombaugh & McIntyre, 1992).

Terdapat 2 pengaruh yang dapat ditunjukkan pada skor MMSE yaitu usia pasien

dan usia pendidikan, yang merupakan standar yang dapat menjadi faktor dari cut

off (Crum et al., 1993). MMSE dapat berguna dalam melacak penurunan kognitif

pada demensia Alzheimer (Han et al., 2000), dengan penurunan nilai rata-rata 3

poin tiap tahun, meskipun terdapat variabilitas, beberapa pasien tetap stabil dan

beberapa mengalami perbaikan (Holmes & Lovestone, 2003), yang berarti bahwa

MMSE belum menjadi instrumen ideal untuk menjadi dasar keputusan sebuah

terapi yang akan diberikan, sebagai contoh dalam efikasi tentang inhibitor

kolinesterase (terlepas dari faktor keresahan pasien yang telah diperkirakan

sebagai penyebabnya, maka ‘Sindrom Godot’ sendiri dapat mempengaruhi

performa dari tes tersebut: Larner & Doran, 2002). Hal lain yang sering

dikeluhkan yaitu waktu yang diperlukan untuk melakukan MMSE terlalu lama

(Tangalos et al., 1996). Baik versi yang diperpanjang (MMSE terstandarisasi

[SMMSE]; MMSE modifikasi [3MSE]) maupun diperpendek telah berkembang

sebagaimana juga versi untuk jenis penyakit yang berat (Harrell et al., 2000).

Salah satu kesulitan dari MMSE yaitu dalam menentukan letak cut off . Untuk

nilai cut off < 24, Kukull et al. (1994) memperoleh sensitivitas senilai 0,63 dan

spesifisitas senilai 0,96 untuk diagnosis demensia Alzheimer pada penelitian

kohort terhadap 133 pasien (80 mengalami demensia, 53 tanpa demensia); dimana

nilai sensitivitas meningkat pada skor cut off yang lebih tinggi, yang secara

mengejutkan menyebabkan munculnya rekomendasi bahwa skor MMSE senilai

26 atau 27 sebaiknya digunakan pada populasi yang menunjukkan adanya gejala

jika tujuannya adalah untuk melewatkan beberapa kasus yang sebenarnya terjadi.

Tangalos et al. (1996) menemukan sensitivitas senilai 0,69 dan spesifisitas senilai

0,99 untuk nilai cut off sebesar ≤ 23. Penggunaan skor cut off usia dan pendidikan

secara spesifik memperbaiki sensitivitas menjadi 0,82 dengan spesifisitas yang

tetap. Pada klinik peneliti, 154 pasien secara berurutan, 51% diantaranya memiliki

sindrom demensia, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas untuk skor cut off

MMSE sebesar 27 dan 24 yaitu 0,91, dan 0,70 serta 0,73 dan 0,86 secara

berurutan, sehingga menghasilkan rasio kemungkinan yang bernilai positif dan

negatif yang berurutan, yaitu sebesar 3.04 (2.14–4.31) dan 0.13 (0.09–0.18), dan

5.09 (2.90–8.95) dan 0.32 (0.18–0.56), (dengan 95% confidence intervals,

metode log). Dalam kasus tersebut, nilai pertengahan untuk MMSE > 27 akan

mengeksklusikan diagnosa demensia dan nilai MMSE < 24 akan menegakkan

diagnosa demensia (Larner, 2005). Nilai odss ratio diagnostik yang merupakan

sebuah ringkasan pengukuran dari performa diagnostik untuk cut off MMSE

sebesar 27 adalah sebesar 23,5.

Sebuah subskor dari MMSE telah terbukti berguna dalam menegakkan

diagnosa banding demensia, khususnya demensia tipe Alzheimer dari demensia

tipe Lewy bodies, berdasarkan kerusakan yang lebih berat pada fungsi

atensi/perhatian dan visuospasial serta memori yang relatif lebih baik pada tipe

Lewy bodies, yang dihitung dengan persamaan ([atensi] – [5/3 memori] x

[memori] x [kosntruksi]). Subskor dengan nilai < 5 dilaporkan terjadi dalam

penelitian restrospektif kecil dari kasus demensia Alzheimer dan Lewy bodies

dengan sensitivitas sebesar 0,82 dan spesifisitas 0,81 khusus untuk demensia lewy

bodies (Ala et a.l, 2002). Dalam hal ini, rasio kemungkinan positif yaitu ¼ x 45

(kecil) dan rasio kemungkinan negatif yaitu ¼ x 0,22 (kecil). Subskor tersebut

belum dirasakan berguna untuk menegakkan diagnosa banding dalam sebuah

penelitian prospektif dengan sampel besar (n ¼ 285) yang terdiagnosa secara

klinis dengan penelitian kohort (Larner,2003,2004).

1.8.2. Clock drawing (Tes Menggambar Jam)

Menggambar jam memiliki sejarah panjang sebagai tes untuk kerusakan

fungsi kognitif dan masih tetap populer hingga saat ini (Freedman et al., 1994;

Shulman & Feinstein, 2003). Tes tersebut bermanfaat karena bersifat cepat dan

sederhana, dan dapat menguji cakupan yang luas dari domain kognitif seseorang

(tes penapisan difus) meliputi komprehensi auditori, memori, kemampuan

membuat rencana, kemampuan visuospasial, serta kemampuan motoris. Namun,

masalah berada pada bagian interpretasi dan pemberian skor pada hasil gambaran

jam, untuk dapat memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif. Kebanyakan sistem

pemberian skor dilaporkan dapat mencapai sensitivitas dan spesifisitas sekitar

0,85. Tes menggambar jam telah diintegrasikan ke dalam penapisan dini lain dan

tes diagnostik seperti CERAD (Morris et al., 1989), CAMCOG (Huppert et al.,

1995), Mini-Cog (Borson et al., 2000), dan ACE (Mathuranath et al., 2000) dan

ACE-R (Mioshi et al., 2006). Tes tersebut dapat mengenali adanya defisiensi pada

banyak tes kognitif lain yang lebih bagus melalui kemampuannya dalam

menginvestigasi fungsi eksekutif (Royall et al., 1998), namun tes tersebut

memiliki keterbatasan dalam mendeteksi demensia ringan. Tes jam berjalan

mundur, dengan menggunakan gambar cerminan dari jam analog normal, dimana

pasien diminta membaca deretan waktu pada jam yang ditunjukkan secara mundur

atau maju. Tes tersebut berfungsi sebagai tes difus, yang membedakan pasien

dengan defisit kognitif fokal dari pasien dengan kerusakan global (demensia:

Larner, 2007).

1.8.3 Queen Square Screening Tests for Cognitive Deficits

Untuk pelatihan neurologikal dari generasi ke generasi di Rumah Sakit Nasional

untuk Neurologi dan Bedah Syaraf di London, the Queen Square Screening Tests

for Cognitive Deficits (QSSTCD), lebih dikenal dengan the ‘green book’ telah

menjadi standar instrumen tes neuropsikologis tirah baring (Warrington, 1989).

Walaupun secara keseluruhan bersifat kualitatif, ini berguna dalam memberikan

petunjuk untuk menetukan lokasi dari berbagai defisit kognitif.

1.8.4. Addenbrooke’s Cognitive Examination (ACE) dan Addenbrooke’s

Cognitive Examination–Revised (ACE-R)/ Pemeriksaan kognitif

Addenbrooke’s dan Versi revisi pemeriksaan Addenbrooke’s

Tes tersebut merupakan bentuk perkembangan dari MMSE yang

mengintegrasikan lebih banyak materi untuk mengenali ke-28 fungsi kognitif

sebagai bentuk pengakuan akan kelemahan MMSE, terutama dalam menguji

fungsi memori, visuospasial dan eksekutif (Mathuranath et al., 2000; Nestor &

Hodges, 2001). ACE secara luas telah diterima dan diterjemahkan ke dalam

berbagai bahasa (Mathuranath et al., 2004; Bier et al., 2005; Larner, 2005, 2006,

2007a; Garcia- Caballero et al., 2006). ACE juga dilaporkan bermanfaat dalam

mendeteksi karakteristik kognitif dari sindrom parkinson atipikal (Bak et al.,

2005a,b) dan dalam membedakan demensia dari gangguan afektif (Dudas et al.,

2005).

Untuk skor cut off ACE dengan nilai 88, dilaporkan nilai sensitivitas

sebesar 0,93 dan spesifisitas sebesar 0,71, sedangkan untuk nilai cut off 83,

sensitivitas bernilai 0,82 dan spesifisitas bernilai 0,96. Hasil tersebut dirangkum

dari penelitian kohort yang meliputi 139 pasien (Mathuranath et al., 2000).

Penelitian oleh Bier et al. (2004) juga mendapatkan hasil sensitivitas tinggi (1,0

dan 0,9 untuk nilai cut off 88 dan 83, secara berurutan) namun spesifisitas yang

lebih rendah (0,46 dan 0,64). Pada klinik yang dimiliki peneliti, dari 154 pasien

yang datang berurutan, 51% diantaranya memiliki sindrom demensia, dengan

sensitivitas dan spesifisitas untuk nilai cut off ACE sebesar 88 adalah 0,97 serta

0,47, dengan 0,92 dan 0,62 untuk nilai cut off ACE sebesar 83, sehingga

memberikan kemungkinan rasio positif dan negatif sebesar 1,83 (1,48-2,26) dan

0,06 (0,05-0,07) serta 2.45 (1.82–3.29) dan 0.13 (0.10–0.17), secara berurutan

(dengan 95% confidence interval, metode log). Pada hasil tersebut, nilai ACE

yang > 88 akan mengeksklusikan demensia (Larner, 2005). Odds ratio diagnostik

untuk nilai cut off ACE sebesar 88 adalah 32,9.

Selain terbukti berguna untuk diagnosis awal dari demensia, sebuah

subskor yang diambil dari ACE, yaitu VLOM rasio, dapat dihitung dari skor

subset dengan formula [kefasihan berbahasa verbal]/[orientasi atau keterlambatan

mengingat], dengan tujuan membedakan Demensia Alzheimer (VLOM rasio>3.2)

dengan demensia frontotemporal (VLOM ratio<2.2). Dalam penelitian oleh

(Mathuranath et al., 2000), VLOM rasio>3.2 menunjukkan sensitivitas sebesar

0,75 dan spesifisitas sebesar 0,84 untuk mendiagnosa demensia Alzheimer.

Penguunaan VLOM rasio > 3,2 sebagai penentu diagnosis dari demensia

Alzheimer dikonfirmasi dalam sebuah penelitian kohort namun penelitian tersebut

juga menemukan sensitivitas yang rendah untuk VLOM rasio < 2,2 yang dipakai

menegakkan diagnosa demensia frontotemporal (Bier et al., 2004; Larner, 2005,

2007a).

Baru-baru ini, sebuah versi revisi dari ACE, ACE-R, telah dipublikasikan

(Mioshi et al., 2006), dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik yang

menggunakan populasi dari sebuah rumah sakit terpilih. Hasil tersebut telah

direplikasi dalam sebuah penelitian pragmatis pada populasi klinis yang tidak

terpilih (AUC [area under curve]¼0.95; 95% CI 0.90–0.99), namun dengan saran

untuk memakai nilai cut off yang lebih rendah, karena dalam praktik klinis

keseharian diperbolehkan tidak memakai kriteria eksklusi dan tidak memiliki

populasi yang sebelumnya dipilih sebagai populasi normal (Larner, 2007b).

1.8.5 DemTect

DemTect merupakan tes untuk demensia yang terdiri dari 5 subset yaitu:

repetisi dari 10 daftar kata, transkode angka, uji kefasihan berbicara semantik,

menghitung mundur, dan keterlambatan mengingat 10 daftar kata sebelumnya.

Skor mentah ditransformasi untuk mendapatkan skor akhir, dengan nilai

maksimum 18, yang tidak bergantung pada usia dan tingkat pendidikan, dengan

klasifikasi yaitu: ‘suspek demensia’ (skor 8); ‘kerusakan kognitif ringan’ (9-12),

dan ‘sesuai dengan umur’ (13-18) (Kalbet eta al., 2004). Dalam penelitian indeks

mengenai sensitivitas dan spesifisitas dari demensia Alzheimer dilaporkan

memiliki nilai sebesar 100% dan 92% secara berurutan, dan dalam sebuah studi

validasi (n ¼ 38) dengan memakai gambaran 18FDG-PET memiliki nilai area

dibawah kurva ROC (AUC) sebesar 0,85 (95% CI 0.73–0.97: Scheurich et al.,

2005). Dalam klinik yang dimiliki peneliti, sebuah penelitian pada 111 pasien

yang dirujuk, 52% diantaranya menunjukkan sindrom demensia, dengan

sensitivitas dan spesifisitas untuk demensia sebesar 85% dan 72%, nilai AUC

sebesar 0,87 (95% CI 0.80–0.93: Larner 2006, 2007). Penggunaan DemTect juga

telah dilaporkan dalam CADASIL, sebuah demensia subkorteks (Hennerici et al.,

2006).

1.8.6. Dementia Rating Scale ( DRS)/ Skala Laju Demensia

The Mattis Dementia Rating Scale (DRS: Mattis, 1976, 1992) dan

suksesornya yaitu DRS-2, terdiri atas beberapa macam subset (perhatian/atensi,

inisiasi, konstruksi, konseptualisasi, memori) untuk memberikan pengukuran

global bagi demensia (dengan skor 0-144) dan memerlukan waktu sebanyak 30

menit. Data normatif tersedia (Lucas et al., 1998). DRS berguna untuk mendeteksi

kerusakan kognitif dan bersifat sensitif untuk demensia tahap awal. Penilaian

terhadap rentang kemampuan kognitif menunjukkan bahwa DRS dapat

bermanfaat dalam pelacakan longitudinal terhadap perubahan kognitif. Lebih

lanjut lagi, DRS didesain untuk membantu dalam menegakkan diagnosa banding

sindrom demensia (e.g. Rosser & Hodges, 1994; Donnelly & Grohman, 1999;

Lukatela et al., 2000). Uji tersebut dilaporkan dapat membedakan penyakit

subkorteks dari demensia Alzheimer (Bak et al., 2005).

1.8.7 ADAS-Cog/ Skala penilaian penyakit Alzheimer-Bagian kognitif

The Alzheimer’s Disease Assessment Scale–Cognitive Section (ADAS-

Cog: Rosen et al., 1984) telah menjadi referensi pengukuran yang secara luas

digunakan, sebagai contoh sebagai alat ukur penentu efikasi obat dalam uji klinis.

Memori, atensi, proses belajar, dan orientasi merupakan salah satu diantara

domain yang diperiksa, dengan skor akhir (0-70) yang akan bertambah tinggi

dengan kerusakan yang makin berat. Karena ADAS-Cog membutuhkan waktu

lama untuk dilakukan dibanding dengan MMSE (selama 30-45 menit) sehingga

tidak praktis untuk dipakai dalam praktek klinis sehari-hari.

Sebuah kalkulator untuk mengkonversi skor MMSE ke dalam skor

ADAS-Cog telah tersedia, yang menunjukkan hubungan kuat antara skor ADAS-

Cog dengan MMSE (Doraiswamy et al., 1997).

1.8.8. CERAD Battery/ Konsorsium untuk menegakkan pencatatan penyakit

Alzheimer

The Consortium to Establish a Registry for Alzheimer’s Disease

(CERAD) battery (Morris et al., 1989) memadukan MMSE dan subset lain seperti

memori, proses menamai, dan kefasihan verbal.

1.8.9 Clinical Dementia Rating (CDR)/ Skala klinis demensia

Meskipun merupakan tahapan pengukuran global,dan bukan instrumen

murni untuk tes neuropsikologis (Hughes et al., 1982; Morris, 1993), instrumen

tersebut dimasukkan karena terkenal dengan kegunaannya dalam mendefinisikan

kerusakan kognitif ringan (MCI). Instrumen tersebut didasarkan pada penilaian

pasien dan wawancara dengan perawat, skala memori, orientasi, penilaian dan

kemampuan memecahkan masalah, hubungan dalam komunitas, rumah dan hobi,

serta kepedulian personal. Sekitar 40 menit diperlukan untuk mengumpulkan

informasi yang diperlukan. Skala terentang dalam nilai 0 hingga 3. Skor CDR

dengan nilai 0,5 diduga berhubungan dengan kerusakan kognitif ringan (MCI).

Skor CDR sebesar 1 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam

mendeteksi demensia (Juva et al., 1995).

1.8.10 Global Deterioration Scale (GDS)/ Skala deteriorasi global.

Sebagaimana CDR, the Global Deterioration Scale (GDS) merupakan

instrumen penilaian untuk kapasitas kognitif dan fungsional meliputi 7 skala poin

(Reisberg et al., 1982). Skor GDS dengan nilai 3 dipakai pada beberapa pusat

kesehatan untuk menegakkan adanya kerusakan kognitif ringan (MCI).

1.8.11 Instrumental Activities of Daily Living (IADL) Scale/ Skala

instrumental untuk aktivitas kehidupan sehari-hari

Semenjak definisi resmi dari demensia tak hanya meliputi kerusakan

kognitif namun juga kerusakan fungsi sosial dan okupasional sebagai akibat

penurunan kognitif, terbentuk suatu perdebatan bahwa skala ADL dapat bertindak

sebagai tes diagnostik independen bagi demensia yang setara dengan tes kognitif

lain. Dalam penelitian epidemiologi, hilangnya aktivitas instrumental tertentu dari

kegitan sehari-hari (seperti penggunaan telepon secara mandiri, kemampuan untuk

bepergian dengan transportasi pribadi maupun umum dan tanggungjawab untuk

masalah pengobatan dan keuangan) telah terbukti bernilai prediktif untuk

tegaknya diagnosa demensia (Barberger- Gateau et al., 1992; De Lepeleire et al.,

2004). Dalam penelitian dengan populasi berbasis klinis, penggunaan

pemeliharaan kesehatan fisik oleh seseorang dan aktivitas instrumental yang

tercantum dalam skala kehidupan sehari-hari dari Lawton and Brody (1969)

memiliki akurasi diagnostik rendah untuk menegakkan demensia (AUC¼0.75),

secara mendasar disebabkan banyak orang yang melakukan penilaian demensia

memakai kriteria DSM-IV yang berada pada batas tertinggi dari skala tersebut

(Hancock& Larner, 2007).

1.9 Normal aging /Proses penuaan yang normal

Berbagai perubahan pada fungsi neurologi terjadi seiring dengan

peningkatan usia, fungsi motoris, fungsi sensoris, dan kognitif (Larner, 2006;

Peters, 2006). Belum dapat dipastikan bagaimana penurunan keseluruhan poses

tersebut menjelaskan apakah masih berada pada proses penuaan yang normal atau

sudah menceminkan terjadinya penyakit neurologis yang terkait usia. Sebagai

akibatnya, perubahan fisiologis yang tidak dapat dielakkan tersebut, sukar

dibedakan dengan tahap awal gangguan otak patologis yang menyebabkan

kerusakan kognitif.

Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan anatra pengamatan pada

intelegensi yang dimiliki seseorang (crystallized intelligence), yang ditandai

dengan kemampuan praktis untuk memecahkan permasalahan, pengetahuan yang

diperoleh dari pengalaman, dan kosa kata dengan fluid intelligence, yang ditandai

dengan kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan informasi baru,

sebagaimana yang diukur dari kemampuan untuk mencari solusi atas masalah

abstrak dan performa yang cepat (Horn & Cattell, 1967). Crystallized intelligence

dianggap bersifat kumulatif: sebagai contoh yaitu studi longitudinal mengenai

kosa kata, yang tidak menunjukkan penurunan meski pada usia tua. Sebaliknya,

fluid intelligence benar-benar mengalami perubahan seiring dengan usia,

ditunjukkan dengan performa pada tes Raven’s Progressive Matrices and Digit

Symbol Substitution yang mengalami penurunan menjelang usia 40 tahun dan

seterusnya secara cepat (Salthouse, 1982).

Terdapat konsensus umum yang mengatakan bahwa penuaan

kemampuan kognitif secara khas meliputi hilangnya kemampuan memproses

kecepatan, fleksibilitas kognitif, dan efisiensi pada memori kerja (perhatian yang

tetap dipertahankan). Dengan kata lain, seseorang akan membutuhkan waktu yang

lebih lama untuk mempelajari sesuatu yang baru. Domain kognitif seperti akses ke

informasi yang baru saja dipelajari, termasuk jaringan semantik, dan kemampuan

mengingat kembali informasi baru yang tersimpan akan menurun dengan adanya

penuaan yang khas tersebut. Hal tersebut dapat menjadi alasan untuk melakukan

uji pada ke-32 domain fungsi kognitif untuk dipakai sebagai indikator sensitif dari

proses terjadinya sebuah penyakit (Smith & Ivnik, 2003). Kemungkinan untuk

terjadinya penurunan fungsi memori pada proses penuaan normal menempati

urutan kedua setelah penurunan pada kecepatan untuk memproses informasi dan

efisiensi, karena kontrol untuk melakukan pemrosesan kecepatan dapat

meningkatkan atau justru mengeliminasi perbedaan terkait usia dalam performa

memori seseorang, yang berbeda dengan kasus kerusakan memori pada demensia

(Sliwinski et al., 2003).

Penelitian longitudinal mengenai fungsi neuropsikologis pada penduduk

amerika usia tua menunjukkan bahwa terdapat variabilitas pada orang tua dewasa

yang normal antar berbagai kemampuan yang berbeda, dan konsistensi antar

domain yang berbeda yang kurang penting untuk diamati (Smith & Ivnik, 2003).

Perubahan tersebut harus dipertimbangkan dengan baik saat melakukan penilaian

tentang penurunan fungsi kognitif yang didapat, apakah perubahan tersebut

bersifat normal ataukah patologis. Dengan cara seperti itulah standar

neuropsikologis untuk penuaan didefinisikan. Lebih lanjut lagi, standar untuk IQ

semakin meningkat seiring waktu (Deary, 2001). Sepertinya, standar yang

ditetapkan perlu menitikberatkan pada usia untuk mendeteksi adanya kerusakan

kognitif yang terkait dengan penyakit Alzheimer (Sliwinski et al., 2003), dimana

prevalensinya meningkat secara eksponensial seiring denga penambahan usia.

Banyak pengaruh situasional lain juga dapat mempengaruhi hasil tes kognitif,

seperti kelelahan, status emosi, pengobatan yang dilakukan, rasa sakit (Nicholson

et al., 2001), dan stres. Hal tersebut juga perlu diperhitungkan saat

mempertimbangkan hasil dari tes kognitif, karena banyak faktor seperti

pengalaman pendidikan dan latar belakang. Banyak standard juga menitik

beratkan pada budaya. Standar penetapan mengenai sindrom kerusakan kognitif

bila terjadi penurunan fungsi kognitif melebihi usia seseorang, yang merupakan

tanda untuk terjadinya penurunan fungsi kognitif progresif dan merupakan fase

prodromal dari gangguan neurodegeneratif.

1.10 Demensia, Delirium, Depresi

Diagnosa demensia baru-baru ini didasarkan pada dipenuhinya kriteria

diagnosa klinis, sebagai contoh yaitu kriteria klinis yang ada pada Diagnostic and

Statistical Manual (DSM), the International Classification of Diseases (ICD) atau

dedicated criteria for specific dementia subtypes. Sebagai contoh untuk

penegakan diagnosis demensia berdasar DSM-IV (American Psychiatric

Association, 1994), memerlukan dipenuhinya kriteria yang meliputi

perkembangan defisit kognitif multipel, onset bertahap dan progresif, dan bersifat

cukup berat dalam menyebabkan terjadinya kerusakan di bidang pekerjaan dan

fungsi sosial, yang tidak memenuhi kriteria diagnosa penyakit lain. Namun,

penerapan dari kriteria semacam itu pada penelitian kohort dari pasien

menghasilkan beragam perbedaan klasifikasi demensia dari pasien tersebut

dengan perbedaan hingga 10 buah (Erkinjuntti et al., 1997).

Sebuah alasan yang diusulkan untuk variabilitas tersebut yaitu karena

banyak dari kriteria tersebut menitkberatkan pada kerusakan memori saja. Karena

kerusakan memori merupakan karakteristik yang sukar terpisah dari penyakit

Alzheimer, yang merupakan penyebab terbesar dari demensia, sehingga banyak

kriteria diagnostik lain, sebagai contoh untuk demensia vaskular, lebih

menitikberatkan usia sebagai kriteriaanya dibanding tanda klinis lainnya (Bowler

& Hachinski, 2003).

Demensia tipe ke-2 yang berbeda dengan demensia tipe-1 tidak memiliki

tanda kerusakan korteks seperti pada amnesia, dimana munculnya kerusakan

fungsi kontrol kemampuan eksekutif saja sudah cukup untuk menimbulkan

disabilitas/kecacatan (Royall, 2006). Kriteria diagnosa lain yang membingungkan

yaitu kriteria untuk sindrom dengan pelabelan demensia, seperti pada diagnosa

demensia frontotemporal, yang memang tidak memenuhi kriteria demensia pada

tahap awal, karena perubahan yang terjadi melibatkan disfungsi korteks frontal

(fungsi eksekutif) dan merupakan perubahan perilaku yang bersifat non-kognitif

(Mendez et al., 2006). Kebingungan juga dapat terjadi dalam membedakan

demensia dengan kerusakan kognitif ringan (MCI).

Diagnosis lain juga bisa dirancukan dengan demensia, sehingga perlu

untuk mempertimbangkan diagnosa banding dari demensia, yang kebanyakan

merupakan delirium dan depresi. Defisit kognitif, terutama yang bersifat akut

pada orang tua, sebaiknya tidak langsung didiagnosa sebagai demensia kecuali

delirium memang telah disingkirkan, karena kemungkinan kembalinya defisit

kognitif masih memungkinkan dengan koreksi faktor yang mencetuskan

terjadinya delirium. Gejala penurunan kesadaran yang merupakan tanda khas pada

delirium kemungkinan tidak bisa diidentifikasi dengan cukup jelas. Lebih lanjut

lagi, delirium dapat menjadi tanda adanya sindrom demensia (Robertsson et al.,

1998; Rockwood et al., 1999). Dengan kata lain, demensia dapat menjadi faktor

predisposisi untuk delirium, kemungkinan akibat berkurangnya kemampuan otak

dan oleh karenanya otak menjadi kurang adaptif dalam merespon faktor

presipitasi,dimana biasanya disebabkan oleh adanya infeksi dan gangguan

metabolik (Lindesay et al., 2002; Larner, 2004). Sebuah penelitian menemukan

bahwa sekitar ¼ pasien demensia pernah mengalami episode demensia selama

perjalanan penyakitnya (Baker et al., 1999). Pedoman untuk pencegahan, diagnosa

dan terapi delirium telah dipublikasikan (sebagai contoh oleh Royal College of

Physicians, 2006).

Beberapa hal perlu dicermati karena demensia dapat dipahami sebagai

sebuah sindrom yang didapat yang meliputi kerusakan pada fungsi kognitif,

sehingga dapat dibayangkan bahwa mekanisme perhatian/atensi dalam demensia

masih normal, yang menjadi pembeda yang jelas antara demensia dan delirium.

Namun mekanisme atensi tersebut kadang tidak normal pada sindrom demensia

(sebagai contoh atensi terbagi dan selektif pada penyakit Alzheimer). Namun,

pada beberapa tipe demensia, perubahan atensi merupakan kunci untuk

menegakkan diagnosa (sebagai contoh pada demensia Lewy bodies).

Gangguan afektif, dalam bentuk depresi, dapat terkait dengan kerusakan

fungsi kognitif. Istilah yang dipakai untuk mendefinisikan entitas klinis tersebut

meliputi pseudodemensia, sindrom depresi demensia, dan depresi terkait disfungsi

kognitif (Kiloh, 1961;Wells, 1979; Roose & Devanand, 1999; Shanmugham &

Alexopoulos, 2005). Untuk lebih meyakinkan apakah manifestasi tertentu

merupakan penurunan kognitif, yang diakibatkan depresi atau berasal dari

gangguan neurodegeneratif yang merupakan tantangan terberat yang dihadapi

para dokter yang berkutat dalam ranah klinis memori (Christensen et al., 1997).

Depresi dapat menjadi bagian integral dari banyak gangguan neurologis, termasuk

sindrom demensia, dan bukan sekedar reaksi dari sebuah diagnosis dan kerusakan

neurologis (Kanner, 2005). Hasil uji neurofisiologis mungkin tidak dapat

membedakannya, meskipun beberapa tes diklaim mampu melakukan pembedaan

(e.g. ACE: Dudas et al., 2005; CANTAB-PAL: Swainson et al., 2001). Sebuah uji

coba empiris mengenai pengobatan dengan antidepresan telah dicoba, namun

perbaikan klinis belum tentu dapat menegakkan diagnosisnya, sehingga monitor

lanjut diperlukan. Penurunan fungsi kognitif yang progresif mungkin juga dapat

menjadi tanda dari schizofrenia (Almeida & Howard, 2005; Al-Uzri et al., 2006;

Morrison et al., 2006).

1.11 Perbandingan Demensia Korteks dan Subkorteks, Demensia Thalamus

Albert et al. (1974), pertama kali menggunakan istilah demensia

subkorteks untuk mendeskripsikan kerusakan fungsi kognitif yang terlihat dalam

kelumpuhan progresif supranuklear yang meliputi: lupa, keterlambatan proses

pikir (bradifrenia), perubahan kepribadian dengan tanda apatis dan depresi, dan

hilangnya kemampuan untuk memanipulasi pengetahuan yang didapatkan. Defisit

tersebut dirasakan peneliti berbeda dari yang terlihat pada kasus demensia korteks,

yaitu penyakit Alzheimer yang meliputi adanya kerusakan fungsi bahasa (afasia),

memori (amnesia), persepsi (agnosia), dan kemampuan memperlajari gerakan

terampil (apraksia). Istilah demensia limbik beberapa kali dipakai untuk sindrom

yang ditandai dengan amnesia dan bukti patologis di sistem limbik seperti pada

penyakit Alzheimer.

Pada tes mengingat memori untuk demensia subkorteks terdapat

ketidakefektifan dalam fungsi mengingat kembali namun kemampuan

mengkonversi bahasa masih baik. Pada demensia korteks kemampuan mengingat

kembali dan mengkonversi informasi yang di dapat keduanya tidak efektif lagi.

Istilah subkorteks dipilih karena kemiripan dari defisit yang terjadi dengan

penyakit lobus bifrontal, juga tercermin dalam defisit emosi dan pergerakan dalam

2 bentuk yaitu: demensia subkorteks yang cenderung berkaitan dengan apatis dan

depresi serta gangguan yang jelas pada tonus otot, postur dan gait, sedangkan

demensia korteks lebih pada terjadinya anosognia kognitif dan disinhibisi tanpa

adanya gangguan pergerakan (Cummings, 1990). Prototipe dari demensia

subkorteks tampaknya terjadi pada penyakit Huntington’s (McHugh & Folstein,

dan penyakit Parkinson (Starkstein & Merello). Telah dihipotesiskan bahwa

ganglia basalis, selain memiliki peran sebagai pengatur gerakan, juga menunjang

mekanisme atensi/perhatian dasar, memfasilitasi sinkronisasi aktivitas korteks

dalam hal seleksi dan promulgasi urutan pikiran seseorang; perhatian yang

terfokus tersebut berbeda dari hasrat, dan kewaspadaan. Kerusakan ganglia basalis

menyebabkan kegagalan sinkronisasi yang bermanifestasi pada abulia dan

bradifrenia (Brown & Marsden, 1998). Demensia yang terkait dengan substansi

putih otak juga dilaporkan terjadi, sebagai contoh. Pada beberapa pasien dengan

sklerosis multipel yang memiliki tanda neuropsikologis yang serupa (Rao, 1996).

Kerusakan kognitif substansi putih telah dicatat secara luas oleh Filley (2001).

Sebuah entitas yang disebut dengan demensia thalamus juga pernah disebutkan

dalam literatur (Stern, 1939), yang merujuk pada kerusakan fungsi kognitif pada

keadaan dengan kerusakan talamus yang selektif. Paling umum akibat lesi

vaskular atau neoplasia, namun kerusakan thalamus yang relatif selektif juga

pernah dilaporkan terjadi. Kemungkinan akibat penyakit prion (Petersen et al.,

1992), seperti insomnia familial yang fatal (Gallassi et al., 1996), meskipun kasus

degenerasi selektif thalamus dengan patologi pada atrofi sistem multipel (Petersen

et al., 1992) atau penyakit motorneuron (Deymeer et al., 1989), atau tanpa bukti

terjadinya penyakit prion (Janssen et al., 2000) telah berhasil dilaporkan. Tanda

neuropsikologis yang muncul dapat meliputi lupa, apatis, dan hipersomnia.

Kerusakan fungsi kognitif juga dapat terjadi pada pasien dengan lesi batang otak

terisolasi akibat proses kerusakan vaskular, inflamasi, infeksi, metabolik (Garrard

et al., 2002).

Bukti mengenai dikotomi antara korteks dan subkorteks telah ramai

diperdebatkan (Brown & Marsden, 1988), dan muncul keberatan terhadap adanya

konsep demensia subkorteks. Area korteks dan subkorteks tidak berfungsi secara

independen namun saling tumpang tindih. Karena substansi putih memiliki fungsi

integratif yang esensial, dimana secara timbal-balik menghubungkan struktur

korteks dan subkorteks, sehingga patologi pada substansi putih dianggap sebagai

akibat diskoneksi fungsional area otak, dan adanya gangguan fungsi otak di lokasi

yang jauh dari lesi (diaschisis) merupakan fenomena yang sepenuhnya diketahui.

Hal tersebut dapat dilihat pada disfungsi lobus frontalis dalam sklerosis multipel

(Foong et al., 1997) dan diduga terjadi pada adrenoleukodistrofi yang terkait gen-

X (Larner, 2003a). Fenotipe klinis yang identik atau serupa dapat berasal dari

patologi yang mempengaruhi baik substansi abu-abu atau substansi putih di

dekatnya (sebagai contoh afasia subkorteks: Benson & Ardila, 1996). Terhadap

argumen tersebut, terdapat sebuah penelitian yang menemukan bahwa lokalisasi

yang salah dari tanda neurologis biasanya menunjukkan adanya kerusakan fungsi

kognitif yang lebih tinggi (misalnya agnosia, dan apatis) namun jarang dilaporkan

(Larner, 2003b, 2005). Apapun hubungan fisiologis yang tepat, tampaknya

terminologi korteks dan subkorteks masih memberikan manfaat klinis dalam

membedakan diagnosa sindrom demensia (Neary & Snowden, 2002; Bak et al.,

2005).

1.12 Sindrom Diskoneksi

Sindrom diskoneksi dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terdapat

interupsi pada inter dan intra traktus hemisfer otak. Konsep tersebut awalnya

berkembang pada tahun 1890an, namun dimunculkan kembali dan dikembangkan

oleh Norman Geschwind di tahun 1960an (Geschwind, 1965; Absher & Benson,

1993; Catani & ffytche, 2005). Sindrom diskoneksi pada dasarnya merupakan

akibat interupsi pada hubungan dalam corpus callosum atau komisura (sindrom

diskoneksi interhemisfer), atau hubungan di dalam hemisfer (sindrom diskoneksi

intrahemisfer). Bentuk yang lebih awal lebih dapat digambarkan pada pasien yang

telah menjalani pembedahan komisurotomi untuk masalah gangguan kejang yang

sulit dikendalikan dengan pengobatan (Sperry, 1982; Zaidel et al., 2003),

sedangkan bentuk yang kedua dapat digambarkan dalam domain bahasa.

Meskipun lesi yang luas dan iatrogenik (karena pembedahan) merupakan

penyebab jelas dari adanya diskoneksi, diskoneksi fungsional juga dapat berasal

dari gangguan inflamasi dari substansi putih. Demensia callosum juga telah

dirumuskan, yang ditandai dengan diskoneksi pada callosum, sindrom Balint,

gaze apraksia, dan tanda neurobehavioural seperti apatis alternat dan agitasi

(Ghika Schmid et al., 1999).

Dengan adanya diskoneksi interhemisferik yang lengkap, sebagai contoh

dengan adanya tumor atau yang mengikuti pembedahan dari corpus callosum,

pasien yang ditutup matanya dapat menamai objek yang diletakkan pada tangan

sebelah kanannya, namun hal serupa tidak terjadi bila benda tersebut diletakkan di

tangan kiri, dan objek pada lapang pandang sebelah kiri tidak dapat dinamai atau

dicocokkan terhadap objek yang sama di lapang pandang sebelah kanan. Dengan

irisan pada splenium bagian callosum posterior, sebagai contoh pada saat terjadi

oklusi arteri serebri posterior sebelah kiri, pasien tidak mampu membaca atau

menyebutkan warna, karena informasi tidak bisa lewat menuju area bahasa di

belahan otak sebelah kiri. Kemampuan mengkopi kata-kata dan menulis, baik

secara spontan dan didiktekan masih baik, karena informasi dapat melewati

bagian belahan otak kiri depan dari lokasi terjadinya kerusakan (afasia tanpa

agrafia).

Berbagai macam sindrom diskoneksi intrahemisfer telah berhasil

dideskripsikan. Pada afasia konduksi, pasien masih memiliki kemampuan

berbicara dan menulis yang fasih namun parafasik, dengan kerusakan kemampuan

untuk melakukan repetisi disamping kemampuan komprehensi yang relatif normal

terhadap kata yang diucapkan maupun ditulis. Hal tersebut telah dijelaskan secara

tradisional akibat lesi pada fasikulus arkuata/ gyrus supramarginal yang

memutuskan hubungan antara area bahasa sensoris (Wernicke) dengan area

bahasa motoris (Broca). Ideomotor yang terjadi pada afasia Broca merupakan

apraksia pada pergerakan tangan kiri untuk melakukan sesuatu, dihubungkan

dnegan lesi yang memutuskan hubungan antara area korteks motorik di sebelah

anterior dari area korteks primer. Dalam kasus tuli nada murni, pasien mampu

mendengarkan dan mengidentifikasi bunyi non-verbal namun tidak mampu

memahami bahasa pembicaraan, akibat lesi pada substansi putih di bagian lobus

temporalis kiri yang mengakibatkan isolasi area Wernicke dari area korteks

auditori.

Penyakit Alzheimer dapat dilihat sebagai bentuk sindrom diskoneksi

(Lakmache et al., 1998; Delbeuck et al., 2003). Patologi yang terjadi pada

demensia Alzheimer mengisolasi hipokampus dari korteks asosiasi, otak depan

bagian basal, thalamus dan hipotalamus (Hyman et al., 1984). Diskoneksi dari

regio korteks disebabkan oleh lesi pada substansi putih dan atrofi serebri akibat

oklusi pada arteri carotis interna (Yamauchi etal., 1996). Spekulasi mengenai

sindrom delusi yang kemungkinan mewakili sindrom diskoneksi telah dilaporkan

(sebagai contoh Capgras’, Cotard’s).

Tambahan

Pada bab selanjutnya, defisit pada berbagai domain kognitif yang telah

didiskusikan pada bab ini yang berhasil diamati dari gangguan neurologis, akan

dibicarakan. Defisit tersebut dapat bersifat lokal ataupun tersebar, atau bagian dari

jenis kerusakan yang lebih luas yang semakin mendekat ke arah diagnosis

demensia. Banyak keluhan mengenai memori klinis yang terjadi di klinik, namun

setelah dilakukan evaluasi yang hati-hati secara klinis dan neuropsikologis serta

berdasarkan gambaran pada foto, ternyata tidak membuktikan adanya gangguan

neurologis yang mendasari. Individu seperti dalam kasus tersebut, memenuhi

persentase sekitar 50% dari pasien yang berhasil ditemukan pada praktik klinik

(Larner, 2005), terkadang disebut sebagai kerusakan memori yang bersifat

subjektif murni, yang menimbulkan tantangan diagnostik. Beberapa, dapat

mencerminkan adanya misdiagnosa dari penyakit neurodegeneratif yang insipien

(kerusakan kognitif ringan / MCI); sementara itu, pasien lainnya kemungkinan

memang memiliki gangguan afektif primer, gangguan terkait tidur, masalah

dengan penyalahgunaan obat-obatan, atau kombinasi dari kesemuanya. Kasus lain

mungkin berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif terkait fisiologis usia.

Jika keraguan masih tetap dirasakan, pasien tersebut sebaiknya dimonitor untuk

penilaian yang bersifat longitudinal.