repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/.../handle/123456789/395/skripsi.docx · web...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dimensi perubahan masyarakat dapat dimaknai sebagai perubahan dalam
hubungan antara desa dan kota. Desa senantiasa berfungsi sebagai sarana
penyedia bahan primer untuk kepentingan kegiatan industri kota, sebaliknya kota
menjadi kekuatan perubahan sebuah desa melalui penyediaan industri untuk
mendorong pembangunan di desa. Menurut Chenery, peranan sektor pertanian
secara presentase terhadap pembentukan produk nasional memang akan
cenderung menurun (Nuhung, 2007). Fenomena tersebut muncul karena adanya
serangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian,
sehingga menyebabkan terjadinya transformasi struktural dari ekonomi tradisional
ke sistem ekonomi modern (Todaro, 2006).
Hubungan desa-kota secara fungsional menjadi dasar terciptanya penyediaan
lapangan kerja di desa dan kota secara seimbang. Hubungan desa-kota lebih lanjut
akan mengalami perubahan ketika kekuatan pertumbuhan industri di kota
mengalami peningkatan dan memberikan peluang lapangan kerja yang tinggi.
Proses tersebut ditandai dengan meningkatnya arus urbanisasi penduduk desa ke
kota untuk memenuhi permintaan tenaga kerja di kota tersebut. Akan tetapi
konsep hubungan tersebut tidak selamanya terjadi di beberapa negara berkembang
termasuk Indonesia atau pada beberapa kota di Indonesia.
1
Tekanan terhadap sektor primer (pertanian) di desa semakin lama semakin
terdegredasi, baik sebagai akibat semakin mengikisnya lahan-lahan pertanian
maupun akibat sarana dan prasarana desa-kota yang semakin meningkat akhirnya
terjadi dorongan mobilitas penduduk desa kota semakin meningkat pula.
Sebagaimana dikatakan Goldthorpe (1992) bahwa banyak tenaga buruh
berdatangan, seringkali karena terdesak dari tanah garapannya oleh kemajuan
pertanian sedangkan di tempat yang baru, mereka hidup dalam keadaan melarat
dan jorok, karena tidak memiliki modal maupun pengetahuan untuk mendapatkan
tempat tinggal yang layak dan sehat. Jadi bukannya karena faktor pertumbuhan
industri di kota yang menyebabkan dorongan penduduk desa ke kota.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kate Young dalam satu penelitiannya di
Meksiko menunjukkan bahwa hancurnya pertanian tradisional sebagai akibat
komersialisasi menyebabkan kaum perepmuan, yang sebelumnya banyak bekerja
di pertanian, bermigrasi keluar ke kota Meksiko (Saptari dan Holzner. 1997:266).
Gejala perubahan demikian umumnya merupakan fenomena yang terjadi
hubungan antara desa-kota di Indonesia. Akibat lanjut dari fenomena tersebut
menimbulkan apa yang disebut gejala involusi perkotaan. Tekanan arus penduduk
dari desa ke kota setiap tahun semakin meningkat, dilain pihak kota tidak mampu
menyediakan tenaga kerja. Hal tersebut disebabkan pula karena umumnya orang-
orang yang masuk ke kota tidak dipersiapkan dengan pendidikan dan
keterampilan yang memadai, akibatnya pengangguran tidak terdidik dan tidak
terampil tidak bisa dihindari dan menjadi beban hidup pemerintah kota.
2
Di lain pihak hubungan desa-kota melalui arus urbanisasi terus mengalami
peningkatan, sementara itu sektor industri kota semakin terdesak dengan arus
perdagangan global. Banyak sektor industri tidak mampu bertahan dengan
persaingan sistem perdagangan global, akibatnya mendorong terjadinya
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami kehilangan
pekerjaan adalah kelompok perempuan dengan tingkat pendidikan menengah ke
bawah dan keterampilan seadanya. Akan tetapi desakan yang dialami oleh sektor
industri tersebut di lain pihak terjadi peningkatan di sekor perdagangan dan jasa.
Hampir semua kota-kota di Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi melalui
peranan sektor ini. Tidak kalah pentingnya adalah semakin pentingnya peranan
sektor perdagangan dan jasa tersebut dalam menyediakan lapangan kerja level
pendidikan menengah ke bawah dan kemampuan keterampilan yang rendah.
Gejala umum yang terjadi dari aspek ketenagakerjaan adalah semakin besarnya
peluang bagi tenaga kerja perempuan.
Keterlibatan wanita dalam pasar tenaga kerja ditinjau dari perspektif Karl
Marx erat kaitannya dengan perkembangan sistem kapitalis. Pada dasarnya
perkembangan kapitalis sangat tergantung pada akumulasi modal dengan
demikian kedudukan buruh dalam sistem ini hanya merupakan komoditi yang
dinilai dengan nilai tukar di pasar bebas (Dalam Sudarwati, 2003)
Perkembangan sektor perdagangan dan jasa pada umunya membutuhkan
tenaga kerja keterampilan menengah akan tetapi membutuhkan ketelitian dan
kelincahan yang tinggi. Karakteristik tenaga kerja demikian yang dianggap sesuai
3
adalah tenaga kerja perempuan. Fenomena pekerja perempuan yang membanjiri
dunia perkotaan melalui berbagai lapangan pekerjaan khususnya sektor
perdagangan dan jasa dari aspek ketenagakerjaan menarik untuk diteliti.
Relevan dengan hal tersebut Kota Makassar sebagai salah satu kota besar di
Indonesia khususnya di kawasan Indonesia Timur telah memperlihatkan
perkembangannya dalam kurun waktu kurang lebih sepuluh tahun terakhir yaitu
sekitar tahun 2000. Perkembangan tersebut selain disebabkan oleh
berkembangnya arus mobilitas penduduk baik berasal dari daerah-daerah disekitar
Sulawesi Selatan maupun dari luar Sulawesi selatan, juga tidak lepas dari semakin
berperannya Kota Makassar sebagai pusat pertumbuhan perekonomian di kawasan
Indonesia Timur. Gejala perkembangan Kota Makassar turut mendorong
terjadinya pertumbuhan permintaan tenaga kerja termasuk tenaga kerja
perempuan.
Permintaan terhadap tenaga kerja perempuan terus bertambah seiring dengan
terjadinya pertumbuhan di sektor jasa perdagangan dan pusat-pusat perbelanjaan
berskala besar dan membutuhkan tenaga kerja massal seperti supermarket dan
mall, termasuk diantaranya mall Ramayana. Mall Ramayana termasuk salah satu
perusahaan yang berpusat di Jakarta dan mengembangkan usahanya di Kota
Makassar dan bahkan mampu menyaingi mall yang telah ada sebelumnya. Mall
Ramayana turut menghiasi beberapa pusat perbelanjaan di Kota Makassar seperti
kawasan perdagangan Panakkukang, dan kawasan perdagangan Tamalanrea. Mall
Ramayana kini telah dikenal oleh masyarakat Kota Makassar mulai lapisan
masyarakat bawah sampai lapisan masyarakat atas, hal tersebut disebabkan sistem
4
manajemen yang diterapkan yang mampu menjangkau seluruh lapisan
masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang sebagaimana dikemukakan sebelumnya maka sebagai
permasalahan dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut : “Bagaimana struktur hubungan kerja yang terdapat
dalam perdagangan (Mall) Ramayana?”
C. SKEMA KERANGKA PIKIR
Salah satu sektor perdagangan yang memiliki prospek perkembangan yang
cukup pesat diperkotaan adalah apa yang disebut pasar modern (mall). Sektor ini
termasuk sektor perdagangan yang secara ekonomi memiliki nilai peredaran uang
dan barang yang cukup tinggi dalam skala harian. Karakteristik pekerjaan pada
sektor ini diantaranya dibangun berdasarkan pengerahan tenaga kerja secara
massal dengan tujuan memberikan pelayanan kepada konsumen secara efektif
atau dengan pelayanan prima. Dengan demikian keberhasilan sektor perdagangan
(mall) diantaranya ditentukan sejauhmana para pekerja tersebut memiliki
kemampuan berkomunikasi dalam memperkenalkan perusahaan yang mereka
perkenalkan. Faktor lain adalah para pekerja diharuskan memiliki keterampilan
dalam penguasaan tugas pekerjaan mereka serta menjaga kepercayaan baik
terhadap sesama pekerja serta terhadap majikan.
5
Dalam membangun saling kepercayaan antara tugas yang diberikan kepada
para pekerja dengan majikan menimbulkan tidak saja dapat dilihat sebagai sebuah
hubungan kerja secara ekonomi semata,akan tetapi memiliki dimensi-dimensi
hubungan sosial melalui mana terbangun seperangkat norma atau aturan-aturan
yang harus disepakati sehingga pada dasarnya terbentuk apa yang disebut stuktur
hubungan kerja.
Selanjutnya keberadaan para pekerja khususnya pekerja perempuan dengan
berbagai karakteristik sosial yang dimiliki senantiasa berupaya membangun
strategi-strategi tertentu dalam mempertahankan keberaadaan mereka sebagai
pekerja. Hal tersebut dikarenakan secara ekonomi, bahwa tingginya permintaah
terhadap tenaga kerjaa disektor perdagangan mall memungkinkan pihak
perusahaan sewaktu-waktu dapat memutuskan hubungan kerja terhadap mereka.
Sehingga dengan pihak pekerja senantiasa berupaya melakukan strategi-strategi
tertentu untuk bisa tetap eksis bekerja ditempatnya.
Dengan demikian, sektor perdagangan (mall) sebagai sebuah lembaga
ekonomi memiliki karakteristik sosial yang menarik untuk dikaji dari aspek
struktur dan dinamikanya. Bahwa hubungan-hubungan sosial yang terjadi di
dalamnya memiliki dimensi-dimensi hubungan yang bisa bersifat atau memiliki
pola ketergantungan yang seimbang ataukan tidak seimbang.
Atas dasar tersebut maka dalam kaitan dengan rumusan permasalahan yang
dikemukakan sebelumnya, peneliti mencoba membingkai dalam sebuah skema
kerangka pikir sebagai berikut:
6
Gambar Skema Kerangka Pikir
D. TUJUAN PENELITIAN
Sebagaimana dijelaskan pada latar belakang dan rumusan permasalahan serta
kerangka pikir di atas, maka sebagai tujuan dari penelitian ini ialah :
1. Mendeskripsikan struktur hubungan sosial formal pekerja perempuan yang
terjadi dalam sistem perdagangan (mall) di Kota Makassar.
2. Mendeskripsikan struktur hubungan sosial informal pekerja yang terjadi
dalam sistem perdagangan (mall) di Kota Makassar.
7
Struktur Sosial Hubungan Kerja
Perdagangan Mall
Pekerja Perempuan
Hubungan Sosial Formal:
- Hubungan kerja didasarkan UU No. 13/2003
- Hubungan dengan atasan/ bawahan
- Hubungan tidak seimbang/ketergantungan tinggi
Hubungan Sosial Informal:
- Sesama pekerja pada saat jam kerja dan diluar jam kerja
- Ketergantungan atasan/bawahan
- Serikat pekerja Indonesia
E. KEGUNAAN PENELITIAN
Adapun kegunaan dari penelitian yaitu :
1. Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperluas/mengambangkan wawasan pemahaman konsep dalam bidang
ilmu-ilmu sosial terutama sosiologi, sehubungan dengan konsep struktur
hubungan sosial formal dan struktur hubungan sosial informal pekerjadalam
sistem perdagangan khususnya mall.
2. Secara praktis yaitu dari aspek kebijakan, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi pertimbangan rumusan kebijakan terkait dengaan
pengembangan sumber daya manusia ketenagakerjaan pada umumnya serta
khususnya pemibinaan pekerja perempuan pada sektor perdagangan mall.
F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar dengan mengambil lokasi pada
sektor perdagangan mall khususnya Mall Ramayana. Pemilihan perdagangan mall
dengan pertimbangan bahwa sektor ini cukup memiliki prospek kerja bagi kaum
perempuan dilihat dari aspek jenis pekerjaan atau kegiatan. Sedangkan pemilihan
lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa salah satu sektor yang cukup
berkembang dalam penyerapan tenaga kerja perkotaan adalah sektor perdagangan
mall. Penyerapan tenaga kerja khususnya perempuan secara tidak langsung
8
diharapkan menjadi alternatif pemecahan masalah ketenagakerjaan khususnya
perempuan yang diasumsikan merupakan arus tenaga kerja dari pedesaan.
2. Tipe dan Dasar Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, yaitu penelitian yang
menggambarkan karakteristik dari fenomena yang terdapat pada keberadaan
pekerja perempuan dalam konteks hubungan-hubungan kerja yang terjadi dalam
sektor perdagangan mall. Sedangkan dasar penelitian ialah studi kasus yaitu
mencoba menggambarkan secara utuh tentang keberadaan pekerja perempuan
dalam suatu jaringan hubungan sosial pada perusahaan perdagangan Mall
Ramayana.
3. Pemilihan Informan
Informan terdiri dari pekerja perempuan yang dipilih secara purposive, serta
informan yaitu unsur pimpinan yang memiliki hubungan langsung dengan
pekerjaan pekerja perempuan bersangkutan. Pemilihan informan di lakukan secara
purposive yaitu pemilihan secara sengaja dengan maksud menggali informasi
tentang hubungan sosial yang ada di Mall Ramayana khususnya yang dialami oleh
pekerja. Adapun kriteria dari informan adalah para pekerja perempuan yang telah
bekerja di sektor ini kurang lebih selama 2-3 tahun,mereka itu bekerja baik
sebagai pekerja tetap dan tidak tetap (kontrak) dan berasal dari daerah diluar
Makassar.
9
Para informan ini terdiri dari:
- Supervesor 2 (dua) orang. Tujuannya adalah terutama digunakan dalam
rangka klarifikasi dan konfirmasi informasi atau data dari responden
pekerja perempuan.
- Pekerja perempuan 3 (tiga) orang.
4. Sumber dan jenis data
Data yang akan dijaring dalam penelitian ini ialah data yang bersumber
langsung dari responden dan informan atau yang disebut data primer. Di samping
data sekunder yaitu data yang bersumber dari dokumen-dokumen yang terkait
dengan kebutuhan penelitian.
5. Teknik pengumpulan data
- Wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara langsung kepada
responden dan informan dengan menggunakan depth interview (pedoman
yang berisi pokok-pokok wawancara).
- Observasi langsung, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung
terhadap beberapa aktivitas yang berkaitan dengan karakteristik
pekerjaan. Setiap fenomena yang menjadi fokus perhatian dicatat pada
dokumen catatan yang telah dipersiapkan.
6. Analisis data
Seluruh data yang telah diperoleh dianalisis melalui beberapa tahapan yaitu
dimulai tahap pemeriksaan catatan-catatan/dokumen, kemudian tahapan
10
pengklasifikasian data, selanjutnya tahapan deskripsi yang berupaya
menggambarkan fenomena struktur dan dinamika hubungan kerja pada sektor
perdagangan mall.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DAN TEORI STRUKTUR SOSIAL
Istilah struktur sosial bermula diperkenalkan dalam studi antropologi sosial
yang seringkali dipergunakan sebagai sinonim dari organisasi sosial, dan terutama
dipergunakan dalam analisa terhadap masalah kekerabatan, lembaga politik dan
lembaga hukum dari masyarakat sederhana. Seperti dikemukakan Firth bahwa
struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental
yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas
pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan secara organisatoris seperti lembaga-
lembaga, kelompok, situasi, proses dan posisi sosial (Brown dalam Soekanto,
1983:108).
Sementara itu Redeliffe Brown mengartikan struktur sosial mencakup semua
hubungan sosial antara individu-individu pada saat tertentu. Suatu struktur sosial
merupakan aspek non-prosessual dari sistem sosial, isinya adalah keadaan statis
dari sistem sosial yang bersangkutan (Brown dalam Soekanto, 1983:109).
Dalam perkembangannya konsep struktur sosial lebih banyak dipergunakan
dalam sosiologi. Struktur sosial kadang dipergunakan untuk menggambarkan
keteraturan sosial, untuk menunjuk pada perilaku yang diulang-ulang dengan
bentuk atau cara yang sama. Sebagaiman D.C. Marsh dalam Soekanto,
menggunakan konsep struktur sosial untuk menggambarkan keteraturan elemen-
elemen atau unit-unit masyarakat, kadang-kadang dengan tekanan pada statistik,
12
kadang-kadang konsep tersebut diartikan sama dengan konsep psikologi tentang
struktur kelompok yang diterapkan terhadap kelompok-kelompok kecil yang
artifisial (Soekanto, 1983:111-112).
Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam konsep struktur sosial dalam sosiologi
dianggap sebagai inti pendekatan struktural fungsional. Bahwa struktur sosial
diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara
peranan-peranan. Dengan kata lain dalam sistem sosial, konsep struktur sosial
secara terperinci menjabarkan manusia yang menempati posisi-posisi dan
melaksanakan peranannya (Soekanto, 1983:112).
Dari beberapa konsep tersebut di atas maka struktur sosial dapat
diklasifikasikan atas empat dimensi struktur sosial. Dimensi pertama, merupakan
kedudukan sosial (“social status”) yang didasarkan pada usia dalam keluarga,
kekayaan, derajat pengaruh atau tradisi. Dimensi kedua, yang mencakup lembaga-
lembaga (sosial), di mana tercakup pola perilaku yang terorganisasikan ke dalam
lembaga-lembaga politik, ekonomi, agama, pendidikan, keluarga dan juga
kelompok-kelompok formal dan informal. Dimensi ketiga, mencakup derajat
konformitas terhadap perilaku yang pantas atau yang dikehendaki oleh
masyarakat. Konformitas mencakup titik paling patut sampai pada penyimpangan
serta penyelewengan. Dimensi keempat, mencakup kelompok-kelompok sosial
(Soekanto, 1983:115).
13
B. KEDUDUKAN (STATUS), DAN PERAN
Konsep yang terkait dengan struktur sosial ialah kedudukan, status dan peran.
Konsep kedudukan dalam penelitian ini dibedakan dengan konsep kedudukan
sosial yang senantiasa diartikan sebagai tempat seseorang secara umum dalam
masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya, hak-hak, dan kewajiban.
Sedangkan kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut,
atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di
dalam kelompok yang lebih besar lagi (Sutinah & Siti Norma dalam Narwoko dan
Suyanto,2010:156). Pengertian serupa sebagaimana dikemukakan oleh Horton
dan Hunt (1993:118), bahwa kedudukan (status) yaitu sebagai suatu peringkat
atau posisi seorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam
hubungannya dengan kelompok lainnya.
Dalam konteks penelitian ini maka yang dimaksudkan kedudukan ialah posisi
kelompok pekerja perempuan sehubungan dengan orang lain seperti kelompok
pengawas pekerja(supervisor) dan kelompok majikan atau sehubungan dengan
perusahaan mall lebih luas.
Peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Artinya,
seseorang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan
kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran. Peran
mengatur perikelakuan seseorang (Sutinah & Siti Norma dalam Narwoko dan
Suyanto,2010:159).
14
Selanjutnya dikatakan bahwa, peran paling sedikit mencakup 3 (tiga) hal
yaitu: 1) peran meliputi norma-norma yang dihubungan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat, 2) peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat
dilakukan oleh individu dalam masyarakat, dan 3) peran dapat dikatakan sebagai
perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Sutinah & Siti
Norma dalam Narwoko dan Suyanto,2010:159). Sedangkan Horton dan Hunt
(1993:118) mengartikan peran sebagai perilaku yang diharapkan dari seseorang
yang mempunyai suatu status.
Bilamana dikaitkan dengan penelitian ini maka konsep peran yang
dimaksudkan disini adalah bagaimana peran pekerja perempuan telah
menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukannya
sebagai pekerja dalam perusahaan/perdagangan mall meliputi aturan-aturan
perusahaan yang diterapkan kepadanya, apa yang harus dilakukan para pekerja
perempuan dalam perusahaan mall, serta perilaku pekerja perempuan sehubungan
dengan stuktur hubungan dalam perusahaan tersebut.
C. HUBUNGAN SOSIAL PEKERJA
Hubungan Sosial adalah suatu kegiatan yang menghubungkan kepentingan
antar individu, individu dengan kelompok atau antar kelompok yang secara
langsung ataupun tidak langsung dapat menciptakan rasa saling pengertian dan
kerja sama yang cukup tinggi, keakraban, keramahan, serta menunjang tinggi
persatuan dan kesatuan bangsa.
15
Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial menurut Soekanto (1983:33) dapat berupa :
1. Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok sosial : Paguyuban,
Patembayan.
2. Bentuk hubungan sosial berdasarkan klasifikasi Antar kelompok : Fisiologis
dan kebudayaan.
3. Bentuk hubungan sosial berdasarkan dimensi antar kelompok : demografi dan
sikap.
4. Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok mayoritas dan minoritas.
5. Bentuk-bentuk hubungan sosial berdasarkan ras, rasisme, dan rasialisme : ras
& rasisme.
6. Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok etnik.
7. Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok dimensi sejarah :
Etnosentrisme & persaingan
8. Bentuk hubungan sosial berdasarkan pola hubungan sosial antar kelompok :
Akulturasi.
9. Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok sosial : Prasangka & Institusi.
Dalam hal konsep hubungan sosial pekerja selama ini baru dikenal dalam
kajian-kajian tentang hubungan kerja di sektor industri sebagai bagian dari
analisis terkait dengan sosiologi industri, sedangkan dalam kajian-kajian di sektor
perusahaan perdagangan mall hampir belum ditemukan. Relevan dengan hal
tersebut maka dalam mengamati hubungan sosial pekerja pada perusahaan
perdagangan mall, akan diadopsi konsep yang terdapat dalam sosiologi industri.
16
Sebagaimana halnya pada sektor industri hubungan kerja diistilahkan dengan
hubungan buruh dengan majikan sehingga ditemukan dua jenis hubungan yaitu
hubungan sosial formal dan hubungan sosial informal (Schneider, 1986:217).
Hubungan sosial formal dimaksudkan sebagai hubungan sosial yang khusus
dengan majikan, buruh adalah suatu komoditi dalam proses produksi, ia
menyediakan satu unsur yang penting bagi produksi yaitu tenaga kerjanya, buruh
menerima sebagai imbalannya sejumlah uang, yang memungkinkannya untuk
mendapatkan kebutuhan hidup (hubungan sosial antara manajemen dan buruh
diikat dengan ikatan uang).
Hubungan sosial para buruh juga secara langsung dibentuk oleh sifat
birokrasi industri, di mana buruh diperintah atau dikelola oleh hierarki birokratis
artinya fungsinya ialah melaksanakan perintah (yang datang dari atas) dalam
lingkungan terbatas. Sebagai akibatnya secara sosial buruh itu berhubungan
dengan para atasan dan sesama rekannya dalam pola-pola tertentu, dengan kata
lain kontak dengan atasannya sangat dibatasi, yaitu melalui mandor atau
asietennya yang langsung membawahi buruh (Schneider, 1986:219).
Relevan dengan penelitian pada perusahaan perdagangan mall, maka
hubungan formal yang dimaksudkan ialah hubungan antara pekerja perempuan
terkait dengan birokratis yang terdapat dalam perusahaan tersebut. Secara umum
pada perusahaan perdagangan mall terdiri atas pimpinan perusahaan, supervisor,
dan pekerja. Dengan demikian hal yang penting dipahami adalah bagaimana pola
hubungan diantara unsur tersebut lalu kemudian menimbulkan hirarki kerja
dengan tanggung jawab serta pendapatan yang berbeda. Apakah yang menjadi
17
dasar atas perbedaan tersebut, berkaitan dengan kemampuan keterampilan ataukan
jenis pekerjaan, serta apakah memiliki dasar kontrak kerja yang jelas terkait
dengan masa kerja dan jaminan pendapatan.
Selanjutnya yang dimaksudkan hubungan sosial informal di tempat kerja
ialah merupakan sebuah penyimpangan dari situasi formal seperti berbicara
sewaktu bekerja, istirahat tradisional pada waktu-waktu tertentu, senda gurau,
berjudi, saling bertukarpekerjaan. Hubungan-hubungan informal ini bukan timbul
hanya dari ketidakaturan buruh, atau dari kecenderungan untuk tidak taat. Akan
tetapi hubungan sosial informal harus dijelaskan dari segi situasi peran dan
kepribadian dasar buruh. Ada dua situasi utama yang biasanya timbul dalam
hubungan sosial informal yaitu pertama, hubungan informal cenderung terbentuk
berdasarkan hubungan ideal misalnya, perasaa “informal” tertentu seperti tertarik,
antipati, rasa permusuhan, prasangka, identifikasi, proyeksi dan sebagainya bisa
timbul dalam jangwa waktu tertentu. Jika sikap mandor terhadap buruh misalnya
bersifat impersonal, dingin dan kasar, maka tidak mengherankan jika sikap buruh
terhadap mandor itu bersifat agresif sera bermusuhan (Schneider, 1986:232).
Hubungan sosial informal lainnya timbul dalam industri seluruhnya
merupakan hubungan baru yang mempunyai sedikit saja hubungan atau tidak
mempunyai hubungan sama sekali dengan struktur formal dalam industri.
Hubungan informal ini timbul, pertama-tama, bila hubungan formal sangat kurang
dan dibatasi misalnya, bila hubungan formal terlalu sedikit, atau para buruh saling
tidak cocok, atau pergantian tenaga kerja terlalu tinggi. Dalam suasana seperti ini
hubungan persahabatan, hubungan “berkelakar”, atau jenis interaksi sosial
18
lainnya, bisa timbul antara orang-orang yang tidak mempunyai hubungan
langsung dalam sistem sosial formal dalam industri.
Sebagaimana hubungannya dengan pekerjaan pada perusahaan perdagangan
mall, tedapat pola kegiatan atau sistem kerja yang mengatur tentang pembagian
waktu tugas dalam satuan waktu tertentu, terdapat pula jenis kegiatan yang
sifatnya monoton, serta terjadi hubungan pengawasan atau pengendalian secara
hierarki, di samping terjadi perbedaan tanggung jawab yang dapat menimbulkan
kecumburuan di antara sesama pekerja. Pemahaman seperti ini akan menjadi
pertimbangan dalam sebuah perusahaan untuk melakukan pembinaan-pembinaan
terhadap para pekerja.
D. HUBUNGAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
Perdebatan mengenai hubungan antara perdesaan dan perkotaan (pertanian
dan industri) menjadi hal yang mengemuka dalam teori ekonomi pembangunan.
Sebelum tahun 1960 teori ekonomi pembangunan pada umumnya memandang
inferior peranan sektor pertanian. Pandangan inferior terhadap sector ini membuat
sektor pertanian tidak berkembang sebagaimana mestinya, dan keadaan seperti ini
mengakibatkan adanya kekurangan produksi pangan domestik yang tiada
hentinya, yang diikuti dengan krisis neraca pembayaran dan instabilitas politik di
banyak negara berkembang.
Sejalan dengan debat peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi,
model peranan perkotaan diawali dengan model pembangunan ekonomi Lewis
yang meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dan modernisasi bisa mentrasfer
19
surplus dari sector pertanian ke sektor industri perkotaan, yang sekaligus pula
akan terjadi transfer alokasi sumber-sumber perdesaan, tenaga kerja dan modal
perkotaan dalam pembangunan nasional jangka panjang.
Dalam perkembangannya pertentangan antar pro dan kontra perdesaan dan
perkotaan, maka berkembang pemikiran baru bahwa dalam hubungan antara
perdesaan dan perkotaan harus memperhatikan aspek fungsi dan peranan
perkotaan terhadap perdesaan yang akan menghasilkan hubungan saling
ketergantungan. Dengan kata lain hubungan antara perdesaan dan perkotaan harus
dilihat sebagai one-way urban-to-rural.
E. PEKERJA PEREMPUAN DALAM EKONOMI PERKOTAAN
Jalur usaha yang turut menentukan keberhasilan permbangunan ekonomi
pada umunya adalah pemanfaatan sumber daya manusia. Jumlah penduduk
Indonesia lebih kurang 200 juta dengan separoh diantaranya adalah kaum wanita,
merupakan salah satu modal dasar pembangunan yang harus didayagunakan
semaksimal mungkin. Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat ditandai dengan
tumbuhnya industri-industri baru yang menimbulkan peluang bagi angkatan kerja
pria maupun wanita. Sebagian besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat
organisasi yang rendah yang tidak membutuhkan ketrampilan yang khusus lebih
banyak memberi peluang bagi tenaga kerja wanita. Tuntutan ekonomi yang
mendesak, dan berkurangnya peluang serta penghasilan di bidang pertanian yang
tidak memberikan suatu hasil yang tepat dan rutin, dan adanya kesempatan untuk
bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik yang kuat bagi tenaga
20
kerja wanita. Tidak hanya pada tenaga kerja wanita yang sudah dewasa yang
sudah dapat di golongkan pada angkatan kerja. Tetapi sering juga wanita yang
belum dewasa yang selayaknya masih harus belajar di bangku sekolah. Bagi
tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda dengan
yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum dari
kondisi objektif tidak ada perbedaan-perbedaan.
Beberapa pertanyaan mendasar terkait dengan keberadaan perempuan
dalam kegiatan ekonomi perkotaan ialah faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi jenis dan kondisi kerja perempuan di perkotaan? Apakah faktor
tersebut lebih ditentukan oleh keadaan di tempat kerja, posisi rumah tangga
perempuan di daerah asalnya, atau posisi dalam rumahtangga? Apakah bekerjanya
perempuan di kota merupakan perbaikan hidup terhadap posisinya baik secara
ekonomis maupun politisnya? (Saptari dan Holzner. 1997:348). Bilamana
pertanyaan ini dikembangkan lagi maka dalam penelitian ini suatu kecenderungan
pekerja perempuan yang belum dipertanyakan selama ini dan belum terjawab
ialah bagaimana realitas hubungan sosial pekerja perempuan dalam sebuah
perusahaan perdagangan mall yang memiliki perkembangan pesat dalam arus
perekonomian perkotaan saat ini.
Dalam hubungan ini maka secara teori dikatakan bahwa ada dua
pebedaan dasar antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan berkaitan
dengan derajat keterlibatan di pasar tenaga kerja. Pertama bahwa untuk separuh
atau seluruh hidupnya, kum perempuan sering dikategorikan sebagai “pekerja
rumah tangga yang tidak aktif secara ekonomis”. Kedua ialah bahwa pada saat
21
memasuki pasar tenaga kerja, biasanya mereka terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan
yang dianggap kurang terampil, kurang stabil (mudah mengalami penusutan
tenaga kerja), berupah relatif lebih rendah daripada kaum laki-laki, dan
kemungkinan naik jenjang kecil (Saptari dan Holzner. 1997:351-352).
Secara sosiologis bahwa salah satu untuk menjelaskan mengapa terjadi
segmentasi pasar tenaga kerja (labour market segmentation) sebagaimana
dikatakan Barron dan Norris dalam teorinya tentang Teori pasar tenaga kerja
dualistis. Bahwa pasar tenaga kerja pada dasarnya terbagi dalam dua segmen atau
sektor, yaitu sektor primer yang memberi penghasilan yang relatif besar, jaminan
sosial dan kondisi kerja cukup baik, kestabilan kerja yang lebih besar, dan
kemungkinan untuk naik pangkat. Sektor sekunder memberi penghasilan yang
relatif rendah, jaminan sosial dan kondisi kerja yang rendah, dan
ketidakmungkinan untuk naik dalam jenjaang hierarki yang ada. Menurut barron
dan Norris, dualisme ini terjadi karena pengusaha atau majikan membutuhkan
suatu kelompok pekerja inti yang stabil dan mempunyai keterampilan yang tinggi.
Mereka pun membutuhkan suatu kelompok pekerja yang sewaktu-waktu bisa
diberhentikan pada saat produksi atau pekerjaan sedang menyusut, dan diangkat
kembali pada saat produksi atau pekerjaan sedang meningkat (Holzner.
1997:352).
Dalam konteks ini maka menurut Barron dan Norris mengapa kaum
buruh perempuan dapat diposisikan pada sektor tenga kerja sekunder karena
menurutnya mereka memiliki lima atribut yaitu: a) mereka mudah di “lepas”-kan
dari pekerjaannya, b) mereka bisa dibedakan dari pekerja sektor primer atas dasar
22
ukuran-ukuran sosial yang konvensional, c) mereka tidak mempunyai kemauan
untuk memperoleh latihan dan pengalaman yang berharga, d) mereka tidak
menilai tinggi imbalan-imbalan ekonomi, e) mereka tidak akan mengembangkan
hubungan solidaritas dengan rekan kerja mereka (Saptari dan Holzner. 1997:352-
353).
Temuan Deni Friawan & Carlos manyongsong dalam Tindaon dan
Yusuf, bahwa kelompok pekerja perempuan dan kelompok pekerja di pedesaan
secara terus menerus mendapatakan pendapatan yang lebih kecil dibanding
pendapatan kelompok pekerja laki-laki dan pekerja di perkotaan. Perkerja
perempuan dan pekerja di pedesaan menerima pendapatan 70% lebih rendah
dibanding pekerja laki-laki dan pekerja di perkotaan, dan pekerja perempuan
terus-menerus mendapatkan tingkat pendapatan yang paling rendah pada periode
1982-2000. Meskipun demikian, ketiga, tingkat pendapatan riil pekerja
perempuan meningkat lebih besar dibandingkan pekerja laki-laki dan pekerja
dipedesaan menerima peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dibanding
pekerja diperkotaan, sehingga menurunkan gap pendapatan pekerja laki-laki dan
perempuan dan gap pendapatan pekerja di perkotaan dan di pedesaan. Selama
periode 1990 dan 2000, tingkat pendapatan pekerja perempuan relative terhadap
pekerja laki-laki meningkat dari 51% menjadi 56% pada sektor pertanian dan dari
47% menjadi 63% pada sektor manufaktur.
23
F. PEKERJA PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
Oleh karena dalam perusahaan mall seperti Ramayana umumnya
ditemukan para pekerja perempuan maka perlu dikemukakan sejauhmana pekerja
perempuan diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan terkait dengan
perlindungan selaku tenaga kerja di Indoensia.
Secara umum hak dan kewajiban bagi tenaga kerja laki – laki maupun
wanita adalah sama, seperti halnya:
a. pengaturan jam kerja / lembur
b. waktu kerja dan istirahat
c. peraturan tentang istirahat / cuti tahunan serta
d. jaminan sosial, pengupahan dan sebagainya.
1. Pengaturan Jam Kerja / Kerja Lembur
Didalam Undang – Undang nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan
berlakunya Undang – Undang Nomor 12 tahun 1948 pasal 10 ayat 1
mengatakan : “ Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam
sehari dan 40 jam seminggu “. Ini berarti bahwa waktu kerja dibatasi hanya
dalam jangka waktu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kenyataannya
banyak perusahaan yang memperkerjakan pekerjaannya melebihi ketentuan
tersebut diatas. Hal tersebut diperbolehkan asal ada izin dari Departemen
Tenaga Kerja sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 peraturan pemerintah
No 4 tahun 1951 pasal II sub pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Dengan
izin dari kepala jawatan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya, bagi
24
perusahaan yang penting untuk penbangunan negara, majikan dapat
mengadukan aturan waktu kerja yang menyompang dari pasal 10 ayat 1,
kalimat pertama ayat dua dan tiga Undang – Undang kerja tahun 1948.
Didalam surat keputusan izin penyimpangan waktu kerja dan waktu
istirahat dicantumkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh pihak
pengusaha. Pengaturan tentang kerja lembur tersebut diatur dalam keputusan
Menteri Tenaga Kerja No.KEP. 608/MEN/1989 tentang : “ Pemberian izin
penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat bagi perusahaan – perusahaan
yang memperkerjakan pekerjaan 9 jam sehatri dan 54 jam seminggu “.
2. Waktu Kerja dan Waktu Istirahat
Pengaturan jam kerja diatur dalam Undang - Undang No. 1 tahun 1951,
pasal 10 ayat dan ayat 3 :
- “Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus diadakan waktu istirahat yang sedikit–dikitnya ½ jam lamanya diadakan waktu istirahat tidak termasuk waktu jam bekerja.”
- “Untuk tiap-tiap minggu harus diadakan sedikitnya satu hari istirahat.”
Hal ini dimaksudkan agar para pekerja setelah menjalankan pekerjaan
didalam batas waktu tertentu setelah mendapat istirahat agar dapat segera
menghadapi pekerjaan selanjutnya, dan diharapkan produktivitas kerja akan
naik dengan terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja.
25
3. Pengaturan Istirahat / Cuti Tahunan
Bagi tenaga kerja yang sudah memiliki masa kerja 12 bulan berturut–
turut berhak untuk mendapat istirahat / cuti tahunan. Hal ini diatur dalam
Undang–Undang No. 1 tahun 1951 pasal 14 peraturan pemerintah No. 21/54
dan diperluas dengan surat keputusan menteri tenaga kerja dan Tranmigrasi
No. 69/MEN/80 tentang perluasan lingkungan istirahat tahunan bagi buruh.
Dalam pasal 14 disebutkan bahwa:
- Setelah waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13 buruh
menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari suatu
organisasi harus diberi izin untuk beristirahat sedikit-dikitnya dua minggu
tiap-tiap tahun
- Pemberian waktu istirahat tersebut disesuakan dengan jumlah hari masuk
kerja selama 1 tahun.
4. Jaminan Sosial dan Pangupahan
Agar para pekerja dapat menjalankan pekerjaanya dengan semangat dan
bergairah, masalah jaminan sosial dan pengupahan perlu diperlukan oleh
perusahaan. Jaminan sosial yang dimaksud antara lain jaminan sakit ,hari tua,
jaminan kaesehatan, jaminan perumahan, jaminan kematian dan sebangainya.
Mengenai jaminan sosial ini sudah diatur secara normatip didalam
perundangan, sehingga bagi perusahaan yang belum atau tidak memenuhi
standard yang sudah ditetapkan dapat dikenakan sangsi. Perihal perlindungan
upah diatur dalam peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981, antara lain
26
mengatur tentang upah yang diterima oleh para pekerja apabila pekerja sakit,
halangan atau kesusahan. Disamping itu diatur pula tentang larangan
diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita didalam hal
menetapkan upah untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Sedangkan perlindungan yang sifatnya khusus untuk tenaga kerja wanita:
1. Kerja malam
Kebutuhan dari beberapa sektor industri menuntut tegara kerja wanita
bekerja malam hari. Berdasarkan peraturan perundangan pada prinsipnya
tenaga kerja wanita dilarang untuk bekerja pada malam hari, akan tetapi
mengingat berbagai alasan, maka tenaga kerja wanita diizinkan untuk bekerja
pada malam hari antara lain : a. alasan sosial, b. alasan teknis, c. alasan
ekonomis.
Ketentuan yang mengatur kerja malam tenaga kerja wanita pada pasal 7
ayat 1 UU No. 12 tahun 1984 yang menetapkan : “ Orang wanita tidak boleh
menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu
menurut sifat , tempat, dan keadaan seharusnya dijalanka oleh wanita”. Tata
cara mempekerjakan tenaga kerja wanita pada malam hari telah dikeluarkan
dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I./ No. Per.04/MEN/1989 yang
terdiri dari lima pasal, antara lain, harus ada izin dari Depnaker setempat
dengan dengan syarat yang harus dipenuhi, misalnya : mutu produksi harus
lebih baik bila memepekerjakan wanita, pengusaha harus menjaga
keselamatan, kesehatan dan kesusilaan (tidak boleh mempekerjakan wanita
dalam keadaan hamil, ada angkutan antar jemput dan sebagainya),
27
penyediaan makanan ringan, ada izin dari orang tua / suami dan lain–lain.
Namun Kenyataan masih banyak perusahaan yang belum melaksanakan
peraturan tersebut misalnya tenaga kerja wanita tidak disediakan angkutan
antar jemput malainkan datang sendiri ke tempat kerja.
2. Cuti hamil, melahirkan dan gugur kandungan
Bagi tenaga kerja wanita yang hamil, dilindungi oleh UU dalam pasal 13
ayat 2 dan ayat 3 yang menyatakan :
- Buruh wanita harus diberi istirahat selama saru setengah bulan sebelum
saatnya ia melahirkan menurut perhitungan dan satu setengah bulan
setelah melahirkan anak atau gugur kandungan. Ketentuan tersebut
dinyatakan berlaku dengan peraturan pemerintahan No. 4 tahun 1951 pasal
1 sub pasal 1 yang berbunyi : bagi tenaga kerja yang akan menggunakan
hak cutinya diwajibkan :
- Mengajukan permohonan yang dilampiri surat keterangna dokter, bidan
atau keduanya tidak ada, dapat dari pegawai pamong praja atau
sederajatnya camat.
- Permohonan diajukan selambatnya 10 hari sebelum waktu cuti mulai.
Cuti sebelum saatnya melahirkan dimungkinkan untuk diperpanjang
apabila ada keterangan dokter yang menerangkan bahwa yang
bersangkutan perlu mendapatkan istirahat untuk menjaga
kehamilannya.Perpanjangan waktu istirahat sebelum melahirkan
memungkinkan sampai selama – lamanya tiga bulan.
28
3. Kesempatan menyusukan anak
Bagi tenaga kerja wanita yang masih menyusukan anak.Harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anak.Didalam penjelaskan pasal
13 ayat 4 tersebut ditentukan bahwa dipikirkan oleh pemerintah kemungkinan
mengadakan tempat penitipan anak.
4. Penghapusan perbedaan perlakuan terhadap tenaga kerja wanita
Peningkatan perlindungan bagi tenaga kerja wanita, dapat dilihat pula
dengan adanya beberapa ketentuan yang menghapuskan adanya pebedaan
perlakuan terhadap tenaga kerja wanita. Adapun ketentuan tersebut adalah :
UU No. 80 tahun 1957 tentang retifikasi konvensi ILO No. 100
tahun 1954 mengenai upah yang sama antara laki–laki dan wanita
untuk pekerjaan yang sama nilainya. Dalam prakteknya benyak
sekali keluhan dari para pekerja wanita tersebut, misalnya :
a. Tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
tambahan atas beban perusahaan
b. Adanya distriminasi atas pengupahan yang sama untuk masa
kerja yang sama dan oekerjaan yang sama nilainya, dan
sebagainya.
Peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah
yang menyatakan adanya pemberian sanksi terhadap pelanggaran
ketentuan yang telah ditetapkan tersebut.
29
Peraturan menteri tenaga kerja No. per. 04/MEN/1989 tentang
larangan PHK bagi tenaga kerja wanita karena hamil atau
melahirkan.
Peraturan menteri ini memuat bahwa pengusaha tidak boleh mengurangi
hak–hak tenaga kerja wanita yang karena hamil dan karena fisik dan jenis
pekerjaan tersebut tidak memungkin dikerjakan olehnya. Artinya walaupun
pekerja tersebut cuti dan tugasnya dialihkan kepada orang lain, namun haknya
untuk mendapatkan upah tetapa tiap bulan dan jika ia sudah dapat bekerja lagi
maka upah tersebut harus diterima kembali. Apabila perusahaan tidak
memungkinkan untuk melaksakan peraturan tersebut, pengusaha wajib
memberikan cuti diluar tanggungan perusahaan sampai timbul hak cuti hamil
seperti yang telah ditatapkan oleh pasal 13 UU No. 1 tahun 1951. Apabila
perusahaan melanggar ketentuan yang telah disebutkan diatas pengusaha
dapat diancam atua didenda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah sesuai
dengan pasal 17 UU No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok
mengenai tenaga kerja pada pasal 6 peraturan mentei No. 03/MEN/1989.
F. MALL, KONSEP, SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DI
INDONESIA
1. Evolusi Dari Konsep Bazaar Terbuka Hingga Konsep Indoor Mall
Konsep modern shopping mall’ atau banyak disingkat dengan ’mall’
yang mencirikan bangunan tertutup multilantai yang diisi oleh berbagai jenis unit
retail dalam satu struktur yang kompak, sehingga para pengunjung mudah
mengakses dari satu unit ke unit retail yang lain. Untuk alasan sustainability,
30
maka sebuah mall biasanya memiliki penghuni utama yang disebut anchor stores
yakni took serba-ada (department store) serta pusat jajanan/makanan (food court).
Singkatnya, konsep yang digunakan adalah ’one-stop shopping’.
Konsep penyatuan tempat berjualan di satu kompleks sendiri
sesungguhnya telah dipraktekkan jauh sebelumnya di Teheran, Iran (sejak abad
ke-10) dan Istanbul, Turki (abad ke-15) yang disebut dengan ‘grand bazaar’. Kala
itu, para pedagang membangun kios-kiosnya di plaza terbuka atau koridor jalan
yang saling berdekatan. Lalu pada abad ke-18 berkembang konsep ’shopping
center’ dan ’shopping arcade’ dengan bentuk kompleks retail yang terbuka (open-
air retailcomplex) yang mulai menawarkan kenyamanan bagi para pengunjung.
Konsep ini banyak digunakan di Australia dan Eropa (misal Galleria Vittorio
Emmanuelle di Milan yang dibangun pada 1860-an).
Berbeda dengan konsep sebelumnya, maka mall sebagai kompleks retail
dengan struktur tertutup pertama kali diperkenalkan di Amerika Utara pada tahun
1915-an di Minnesota. Konsep indoor mall semakin populer pasca perang dunia
ke-2 (1950-an), misalnya Northgate Mall di Seattle dan Southdale Center di
Minnesota.Dalam perkembangan selanjutnya konsep mall dengan struktur tertutup
ini lebih diterima di negara-negara tropis seperti Singapura, Malaysia dan
Indonesia.
Kota-kota Indonesia sendiri mulai mengadopsi konsep indoormall sejak
akhir tahun 1970-an, seperti Ratu Plaza dan Aldiron Plaza di Jakarta, Medan Plaza
di Medan, dan Tunjungan Plaza di Surabaya, dan terus berlanjut hingga kini. Pada
era otonomi daerah dewasa ini, multiplikasi pembangunan mall cukup
31
mencengangkan, dimana hampir setiap kota menengah dan besar di tanah air
memiliki plaza, mall, townsquare dan sejenisnya sebagai simbol modernisme
sebuah kota.
2. Mall di Indonesia : Antara Kebutuhan Nyata Masyarakat dan Kritik
Para Urbanis
Sejak awal era 1970-an, secara perlahan Indonesia mentransformasi
sistem perekonomiannya menjadi neo-liberalis sehingga sangat ramah terhadap
investasi asing. Upaya ini tampak semakin jelas setelah dikeluarkannya berbagai
kebijakan deregulasi ekonomi antara 1980 hingga pertengahan 1990-an dimana,
pada masa keemasan tersebut, investor diberikan keleluasaan besar untuk
menguasai lahan-lahan perkotaan dan mengalihkannya menjadi lahan-lahan
industri dan real estate (khususnya mall, apartemen, dan perkantoran di kawasan
Jabodetabek) (Santoso, 2007 ; Cowherd, 2005).
Krisis moneter 1997/1998 hanya menghentikan sementara laju
pertumbuhan real estate (short stagnation), termasuk didalamnya mall. Hingga
kini, jumlah mall telah bertambah pesat di kota-kota yang secara tradisional
merupakan tulang punggung perekonomian nasional, seperti Jakarta yang
memiliki 39 mall, Bandung (28), Surabaya (16), Medan (8), Semarang (6),
Manado (8), dan Denpasar (5). Namun pada era otonomi daerah, fenomena
menjamurnya pembangunan mall pun menjadi trend di berbagai kawasan
perkotaan ’baru’, seperti Depok (8 mall), Bekasi (9), Cimahi (2), bahkan di
Jatinangor – Kab. Bandung (1).
32
Bagi masyarakat perkotaan Indonesia, mall di satu sisi mencerminkan
adanya kebutuhan nyata masyarakat perkotaan atas ruang-ruang publik (public
space) untuk kegiatan rekreatif maupun kegiatan sosial, sebagai bagian dari gaya
hidup modern. Akibat semakin terbatasnya ruang-ruang publik, maka mall
menjadi pilihan yang logis untuk beberapa alasan seperti kenyamanan
(menghindari sengatan udara tropis dan guyuran hujan), kepraktisan dan efisiensi
(mengurangi pergerakan didalam kota), keamanan (memenuhi kebutuhan
psikologis untuk rasa aman) serta kepastian (menghindari praktek penipuan
produk sebagaimana lazim terjadi pada pasar tradisional). Tidak heran keberadaan
banyak mall merupakan ciri-ciri kota “sakit” ,karena sebagai ruang publicia tidak
memenuhi tujuansocial dan lingkungandan bupati berlombalomba untuk
membangun mall, menjadikannya sebagai landmark alias simbol dari kemajuan
wilayah dan keberhasilan dalam mandat elektoralnya.
Keberadaan mall sebagai kompleks retail yang mendorong konsumsi
masyarakat semenjak krisis ekonomi 1998 dianggap banyak membantu
pertumbuhan sektor ekonomi riil.Namun demikian, disisi lain, kritik kerap
dikemukakan olehpara urbanis kepada para pengambil keputusan mengenai
pembangunan mall tersebut. Pertama, mall merupakan ruang publik artifi sial
yang bersifat ekslusif.Keputusan miskin yang hanya bisa menikmati mall dari
luar (outdoor) saja. Kedua, para pedagang kecil sulit untuk mampu
bersaingdengan pedagang menengah ke atas dalam membeli/ menyewa unit retail
di dalam mall (indoor unit) seperti kios/ toko dan lain lain. Kritik ketiga adalah
penyeragaman terhadap bentuk arsitektur kota-kota Indonesia, dimana mall di
33
beberapa saat ini telah menjelma menjadi landmark kota yang baru yang
benderang, sementara kawasan kota tua dibiarkan redup. Penyeragaman bentuk
arsitektur kota tentunya sangat bertolakbelakang dengan keragaman budaya yang
dimiliki Indonesia. Kritik terakhir berkaitan dengan pemborosan energi yang
dilepaskan dari pendingin udara, penerangan gedung dan seringkali kemacetan
yang ditimbulkan di sekitar mall. Keberadaan banyak mall merupakan ciri-ciri
kota ”sakit”, karena sebagai ruang publik ia tidak memenuhi tujuan sosial dan
lingkungan.
3. Dampak Keberadaan Mall
Mall memberikan peningkatan pendapatan negara dalam bentuk pajak,
karena adanya aktivitas ekonomi disitu. Aktivitas ekonomi yang terjadi juga
bukanlah main-main karena faktor penggerak transaksi kaum urban yang datang
ke mall sudah tentu didominasi kalangan menengah ke atas. Sejatinya mereka bisa
mengeluarkan lebih dari seratus ribu rupiah untuk setiap kedatangan mereka ke
pusat perbelanjaan (akumulasi dari parkir, belanja, makan dan minum, atau
kegiatan lain seperti nonton bioskop).Ini adalah hal yang sangat menggiurkan
terutama untuk pemerintah kita sebagai pendapatan negara.Meningkatnya jumlah
orang kaya di tahun 2010 ini dan memboomingnya industri kreatif dapat turut
mendongkrak psikologis manusia untuk berbelanja.Berbelanja hal-hal yang
mungkin tidak terlalu mereka butuhkan.
Setiap pendirian mall berarti penyerapan tenaga kerja baru. Setiap
pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak
34
250.000 - 300.000 orang tenaga kerja.Masih belum bisa menutupi angka jumlah
pengangguran sebanyak 10 juta orang lebih di Indonesia. Pertanyaannya adalah,
tenaga kerja manakah yang akan diserap oleh Mall? Tenaga kerja penduduk
dengan KTP DKI Jakarta? Ataukah tenaga kerja Bodetabek yang notabene akan
menambah jumlah komuter ke Ibukota?Mall adalah sebuah lambang
pengakuan.Pengakuan dari pihak-pihak; terutama tenant (terlebih jika tenant
berasal dari luar negeri) bahwa iklim investasi di Indonesia baik.Menurut indeks
investasi dunia, Indonesia masuk dalam peringkat 17 negara yang dapat dijadikan
tempat berinvestati.Menyusul kenaikan harga IHSG yang nyaris menembus angka
3000, adalah indikasi-indikasi lain yang menunjukkan bahwa secara makro,
negara ini memiliki fundamental ekonomi yang kuat.mall juga memberikan
fasilitas dan menampung seluruh kebutuhan masyarakat kota pada umumnya
sehingga mall menjadi bangunan wajib yang ada di hampir seluruh pusat kota di
Indonesia
Pembangunan mall akhir-akhir ini semakin meningkat, seiring
pertumbuhan pembangunan di kotaJakarta, ada dampak positif tapi lebih banyak
negatifnya dari pertumbuhan mall tersebut.Banyaknya mall akan juga melahirkan
jurang perbedaan yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Sehingga si miskin
makin tidak akan merasa nyaman.
Selain itu dampak lain pembangunan mall adalah warga akan semakin
sulit mendapatkan ruang terbuka, seperti daerah resapan air atau taman sehingga
pada gilirannya akan menyebabkan banjir. Dampak sosial dari pembangunan mall
adalah warga akan terbius menjadi warga yang konsumtif dan menghabiskan
35
waktunya dimall, kalau sang warga punya kemampuan finansial yang baik untuk
belanja di mall mungkin tidak terlalu masalah, akan tetapi jika sang warga tak
punya uang yang cukup, maka yang akan terjadi adalah angka kriminalitas yang
akan semakin tinggi. Seperti pencopetan, penjambretan, perampokan dan lain-
lain.
Dalam konsep teori pembangunan perkotaan, yang seharusnya menjadi
tempat berkumpul warga kota adalah taman atau area terbuka, namun karena
keterbatasan dana dari pemerintah daerah untuk membangun taman baru dan
perawatan taman yang telah ada maka mereka sulit mendapatkan taman atau lahan
yang enak dikunjungi. Warga kota merasakan taman yang tidak terawat, kotor,
kumuh. Ada hal menarik di balik pertumbuhan mall yang meningkat yaitu karena
warga kota kehilangan tempat untuk sekedar berkumpul maka mal-mall jadi satu-
satunya tempat untuk ajang berkumpul dan interaksi antar warga kota.
Satu lagi dampak negatif dari pertumbuhan mall adalah tersingkirnya satu persatu
pasar tradisional yang pada gilirannya mematikan aktifitas pedagang tradisional
pribumi.Jumlah pedagang tradisional semakin hari semakin berkurang akibat
kalah bersaing dengan pasar modern yang memberi kenyamanan yang lebih.
Sebagai catatan dari 37 pasar tradisional yang ada di kota bandung hanya ada dua
pasar yang tingkat huniannya diatas 75%, sisanya hanya mempunyai tingkat
hunian dibawah 50%.
Menurut survei yang dilakukan di kota Bandung, saat ini jumlah
pedagang tradisional yang masih giat beraktifitas adalah sekitar 9800 pedagang,
jauh dibawah perkiraan tahun 2007 yang masih sekitar 13000 pedagang yang
36
masih aktif, berbanding terbalik dengan pertumbuhan mall. Sepanjang tahun 2009
berdasarkan survei, jumlah pertumbuhan mall di kota bandung sekitar 31,4% .
Perkembangan jumlah mall yang tak terkendali menyebabkan penurunan jumlah
pasar tradisional. Perbandingan setiap satu mall berdiri maka 100 pedagang dan
warung akan gulung tikar.
Hasil penelusuran pada beberapa wilayah pusat perdagangan di Kota
Makassar tidak berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia.Perkembangan
pusat perdagangan retail seperti mall di dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh
pesat dan hampir tidak ada ruang peruntukan yang jelas antara kawasan
perumahan, perkantoran dan perdagangan, semua bercampur baur dalam sebuah
kawasan.Mulai dari tingkatan jalan menengah (jalan daerah) sampai jalan besar
(jalan propinsi) telah ditumbuhi pusat perdagangan.
Di lain sisi pertumbuhan tersebut oleh pengamat perkotaan dianggap
sudah jauh menyimpang dari tata ruang perkotaan sehingga mengacaukan pola
interaksi antara berbagai kepentingan sosial ekonomi seperti kebutuhan
persekolahan, perkantoran dan perbelanjaan. Akan tetapi dari sisi lain
pertumbuhan pusat-pusat pedagangan atau perbelanjaan seperti mall memiliki
dampak positif terhadap kebutuhan warga kota akan lapangan pekerjaan terutama
bagi kaum berpendidikan rendah yang cenderung semakin meningkat selama
sepuluh terakhir tersebut.
37
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR
A. Geografis
Kota Makassar terletak di bagian selatan Sulawesi Selatan dengan posisi
119024’17’38” Bujur Timur dan 508’6’19” Lintang Selatan. Sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Maros, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Maros, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan sebelah barat
berbatasan dengan selat Makassar. Dalam perkembangannya, kota Makassar
bagian utara mengalami perluasan yang sebelumnya sebagian merupakan wilayah
Kabupaten Maros.
Sebagai pintu utama trans Sulawesi menjadikan Kota Makassar
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dan bahkan sebagian besar wilayah
kabupaten di Sulawesi Selatan berada pada sebelah utara sehingga menjadikan
arus perkembangan penduduk dan arus perdagangan cukup tinggi. Berbeda
dengan wilayah sebelah selatan yang relative sedikit menghubungkan dengan
kebupaten lain di Sulawesi Selatan sehingga pengaruh terhadap perkembangan
penduduk dan ekonomi juga relative rendah.
Luas wilayah Kota Makassar adalah sekitar 175.77 km2 yang terdiri dari
14 kecamatan dengan 143 desa/kelurahan, 943 RW dan 4.544 RT (BPS, 2009).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 1 sebagai berikut :
38
Tabel 1 Luas Wilayah Kota Makassar Menurut Kecamatan
KecamatanLuas Area
(Km2)Persentase Terhadap Luas Kota Makassar
Mariso 1,82 1,04Mamajang 2,25 1,28Tamalate 20,21 12,07Rappocini 9,23 5,25Makassar 2,52 1,43Ujung Pandang 2,63 1,50Wajo 1,99 1,13Bontoala 2,10 1,19Ujung Tanah 5,94 3,38Tallo 5,83 3,32Panakkukang 17,05 9,70Manggala 24,14 13,73Biringkanaya 48,22 27,43Tamalanrea 31,84 18,11
Sumber BPS: Makassar Dalam Angka, Tahun 2009
Dari tabel 1 tersebut dapat dikemukakan bahwa terdapat lima wilayah kecamatan
terluas, yaitu masing-masing kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, Panakkukang,
Manggala dan Tamalate. Secara historis ke lima kecamatan tersebut merupakan
wilayah-wilayah hinterland bagi Kota Makassar untuk bagian utara seperti
Biringkanaya, Tamalanrea dan Manggala, sedangkan kecamatan Tamalate
merupakan wilayah hinterland bagi Kota Makassar terutama bagian selatan. Ke
lima wilayah kecamatan tersebut selama sepuluh tahun taerakhir menunjukkan
perkembangan yang semakin pesat baik sebagai wilayah perubahan serta wilayah
perdagangan dan bahkan perkantoran.
39
Sedangkan wilayah kecamatan lainnya merupakan wilayah perkotaan
lama dari Kota Makassar.
B. Penduduk dan Tenaga Kerja
Masalah kependudukan yang dihadapi oleh Negara sedang brkembang
senantiasa diperhadapkan pada pertumbuhan penduduk yang terlalu tinggi
sehingga secara langsung bermasalah terhadap upaya peningkatan
kesejahteraannya.Tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin cepat
menyebabkan proporsi penduduk yang belum dewasa menjadi bertambah tinggi
dan jumlah anggota keluarga bertambah besar. Sementara itu, bilamana
pertumbuhan penduduk tersebut disertai pula pertambahan penduduk struktur usia
muda akan merupakan beban tanggungan penduduk yang bekerja. Di samping itu
besarnya golongan umur anak-anak merupakan factor penghambat pembangunan
ekonomi, karena sebagian pendapatan yang diperoleh yang sebenarnya harus
ditabung yang kemudian diinvestasikan untuk pembangunan ekonomi, terpaksa
harus dikeluarkan untuk keperluan sandang dan pangan bagi mereka yang
merupakan beban tanggungan penduduk ini.
Masalah kependudukan yang mempengaruhi pelaksanaan dan pencapaian
tujuan pembangunan seperti di Indoensia adalah pola penyebaran penduduk dan
mobilitas tenaga kerja yang kurang seimbang, baik dilihat dari sisi antar daerah,
maupun antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan, serta antar sektor.
Dalam hubungan ini, kaitannya dengan Kota Makassar, maka penduduk
Kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak 1.253.656 jiwa yang terdiri dari
601.304 laki-laki dan 652.352 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk Kota
40
Makassar tahun 2007 tercatat sebanyak 1.235.239 jiwa. Dengan demikian dari
aspek kependudukan menggambarkan, bahwa Kota Makassar dilihat dari
komposisi penduduk menurut jenis kelamin memiliki rasio jenis kelamin
penduduk yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita
terdapat 92 penduduk laki-laki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 2 sebagai
berikut :
Tabel 2
Penduduk Kota Makassar Tahun 2008
Tahun Laki-laki Perempuan Total
2008 601.304 652.352 1.253.656 Sumber BPS: Makassar Dalam Angka, Tahun 2008
Sedangkan dari aspek penyebaran penduduk dirinci menurut kecamatan,
menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi diwilayah kecamatan
Tamalate, yaitu sebanyak 152.197 atau sekitar 12,14 persen dari total penduduk,
disusul kecamatan Rappocini sebanyak 142.958 jiwa (11,40persen). Kecamatan
Panakkukang sebanyak 134.548 jiwa (10,72 persen), dan yang terendah adalah
kecamatan Ujungpandang sebanyak 28.637 jiwa (2,28 persen). Kondisi tersebut
sebagai akibat wilayah ketiga kecamatan ini merupakan wilayah pemekaran
pertama Kota Makassar sejak tahun 1970-an disamping pengaruh dari
terkonsentrasinya beberapa perguruan tinggi utama. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat tabel 3 sebagai berikut.
41
Tabel 3
Distribusi Penduduk Kota Makassar Menurut Kecamatan
Kecamatan Jumlah %
Mariso 54.616 0.45Mamajang 60.394 4.82Tamalate 152.197 12.14Rappocini 142.958 11.40Makassar 82.907 6.61Ujung Pandang 28.637 2.28Wajo 35.011 2.79Bontoala 61.809 4.93Ujung Tanah 48.382 3.86Tallo 135.315 10.79Panakkukang 134.548 10.73Manggala 99.008 7.90Biringkanaya 128.731 10.27Tamalanrea 89.143 7.11T o t a l 1.253.656 100
Sumber BPS: Makassar Dalam Angka, Tahun 2009
Ditinjau dari kepadatan penduduk ternyata bahwa, kecamatan Makassar
adalah terpadat yaitu 32.900 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso
(30.009 jiwa per km persegi), kecamatan Bontoala (29.433 jiwa per km persegi).
Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan kepadatan
penduduk terendah yaitu sekitar 2.670 jiwa per km persegi, kemudian kecamatan
Tamalanrea 2.800 jiwa per km persegi, Manggala (4.101 jiwa per km persegi),
kecamatan Ujung Tanah (8.145 jiwa per km persegi), kecamatan Panakkukang
7.891 jiwa per km persegi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 4 sebagai
berikut :
42
Tabel 4
Distribusi Penduduk Kota Makassar Menurut Tingkat Kepadatan
Kecamatan Penduduk/km2
Makassar 32.900Mariso 30.009Bontoala 29.433Biringkanaya 2.670Tamalanrea 2.800Manggala 4.101Ujung Tanah 8.145Panakkukang 7.891
Sumber BPS: Makassar Dalam Angka, Tahun 2009
Wilayah-wilayah yang kepadatan penduduknya masih rendah tersebut
masih memungkinkan untuk pengembangan daerah pemukiman terutama di 3
(tiga) kecamatan yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, Manggala. Namun demikian
dalam perkembangannya sekitar tahun 1980-an kecamatan ini menjadi pusat
pertumbuhan industri dengan berdirinya Kawasan Industri Makassar (KIMA).
Dampak lanjut dari perkembangan ini mendorong terjadinya arah pergerakan
pemukiman penduduk terutama bagi golongan penduduk pekerja menengah ke
bawah.Memasuki tahun 1990-an, kedua kecamatan yaitu Kecamatan Biringjanaya
dan Tamalanrea semakin mengarah ke perkembangan perdagangan dan pusat-
pusat perkantoran dan jasa.
43
Tabel 5Distribusi Penduduk Menurut Kecamatan Di Kota Makassar Tahun
2007 dan 2008
KecamatanPenduduk Laju
Pertumbuhan Penduduk2007 2008
Mariso 53.825 54.616 0,86Mamajang 59.533 60.394 0,32Tamalate 150.014 152.197 2,16Rappocini 140.822 142.958 1,64Makassar 81.645 82.907 0,43Ujung Pandang 28.206 28.637 0,39Wajo 34.504 35.011 0,32Bontoala 60.850 61.809 1,05Ujung Tanah 47.723 48.382 1,18Tallo 133.426 135.315 2,00Panakkukang 132.479 134.548 1,21Manggala 97.556 99.008 2,91Biringkanaya 126.839 128.731 3,45Tamalanrea 87.817 89.143 1,55T o t a l 1.235.239 1.253.656 1,65
Sumber BPS: Makassar Dalam Angka, Tahun 2009
Menarik pula dilihat adalah tentang pencari kerja di Kota Makassar.Pada
tahun 2008 pencari kerja yang tercatat sebanyak 10.999 orang yang terdiri dari
laki-laki sebanyak 5.726 orang dan perempuan 5.273 orang. Dari jumlah tersebut
dapat dilihat bahwa pencari kerja menurut tingkat pendidikan SMA yang
menempati peringkat pertama yaitu sekitar 50.87 persen disusul tingkat
pendidikan Sarjana sekitar 30,51 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel
6.
44
Tabel 6Distribusi Jumlah Pencari Kerja Yang Terdaftar Menurut Tingkat
Pendidikan Dan Jenis Kelamin Di Kota Makassar
Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
SD 31 1 32 0,29SLTP 137 29 166 1,51SLTA 3.514 2.081 5.595 50,87D1, D2 86 144 230 2,09Sarjana Muda 432 1.188 1.620 14,73Sarjana 1.526 1.830 3.356 30,51Jumlah 2008 5.726 5.273 10.999 100,00 2007 31.079 36.211 67.290 100,00 2006 25.674 30.535 56.209 100,00 2005 10.824 15.495 26.319 100,00
Sumber BPS: Makassar Dalam Angka, Tahun 2009
C. Sekilas Sejarah Singkat Mall Ramayana
PT. Ramayana Lestari Sentosa, berdiri pada tahun 1978 yang di dirikan
oleh Bapak Paulus dan Paulus Tumewu. Toko pertama yang didirikan adalah “ R
01” Jl. H. Agus Salim (SABANG) “Ramayana Fasion Store”. PT. Ramayana
Lestari Sentosa melakukan penawaran saham perdana pada tahun 1996 untuk
menjadikan sebagai peritel terbesar untuk kelas bawah dan menengah bawah dan
menyediakan beragam produk fasion,mainan,accessories dan barang-barang
kebutuhan sehari-hari. Di akhir tahun 2006 PT. Ramayana Lestari Sentosa telah
memiliki 92 gerai yang terbesar di 41 kota di Indonesia.
PT. Ramayana Lestari Sentosa mempunyai visi untuk menetapkan
posisinya sebagai perusahaan ritel terbesar dan paling menguntungkan di sektor
45
ritel dengan mengandalkan biaya,meningkatkan pelayanan
konsumen,mengembangkan sumber daya manusia, serta memelihara hubungan
yang saling menguntungkan dengan para pemasok dan rekan bisnis. Tujuan akhir
kami adalah untuk memaksimalkan nilai saham perseroan bagi para pemegang
saham sedangkan misi PT. Ramayana Lestari Sentosa adalah sebagai perusahaan
ritel yang memiliki komitmen untuk melayani kebutuhan kelompok menengah ke
bawah dengan menyediakan serangkaian barang-barang berkualitas dan bernilai,
di sertai layanan konsumen yang baik.
PT. Ramayana Lestari Sentosa mempunyai 3 prinsip dasar, yaitu sebagai
berikut:
1. Kita selalu menyediakan produk berkualitas tinggi dengan harga
terjangkau.
2. Kita selalu mengutamakan pelayanan yang terbaik kepada
pelanggan dan membina baik dengan mitra usaha.
3. Kita bersama-sama meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
sehingga Ramayana berpartisipasi dalam membangun Negara kita
dan menciptakan kesejahteraan seluruh karyawan.
Strategi-strategi yang di lakukan PT. Ramayana Lestari Sentosa adalah
sebagai berikut:
Mencari alternatif produk-produk yang berkualitas dengan
harga yang murah.
46
Menekan biaya operasional sehingga tidak melebihi 16% dari
penjualan
Mengadakan evaluasi kinerja gerai secara berkala.
Menutup took yang kurang menguntungkan untuk mengurangi
kerugikan.
Pengembangan untuk ekspansi toko di masa mendatang.
Prospek usaha PT. Ramayana Lestari Sentosa adalah utuk mencapai target
pasar yang luas lebih kurang 70% dari populasi adalah kelas bawah dan menengah
bawah. Selain itu juga melakukan ekspansi ke daerah-daerah berpotensi di luar
jawa, seperti: Sumatra,Kalimantan dan Sulawesi.
BAB IV
47
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembahasan bab ini di dasarkan pada seluruh data yang berhasil dihimpun
pada saat penulis melakukan penelitian di perdagangan Mall Ramayana. Data
yang di maksud dalam hal ini merupakan data primer yang bersumber dari
jawaban para responden dengan menggunakan pedoman wawancara atau
wawancara secara langsung sebagai media pengumpulan data atau instrumen yang
dipakai untuk keperluan tersebut.
Dari data ini diperoleh beberapa jawaban menyangkut kehidupan para
pekerja di Mall Ramayana, termasuk struktur hubungan sosial pekerja di
perdagangan Mall Ramayana serta kendala-kendala yang mereka hadapi selama
berkerja di Mall Ramayana tersebut. Adapun profil informan, sebagai berikut:
A. Profil Informan
1. FRH (22 tahun)
FRH seorang gadis yang berasal dari Maros dengan status belum
menikah merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Sejak sekolah di bangku
SLTA sudah memiliki cita-cita untuk menjadi wanita karier sebagaimana teman-
teman yang dikenalnya, walaupun ia merasa ketinggalan mata pelajaran dibanding
teman sekelasnya tetapi keinginan orang tua adalah agar bisa meraih pendidikan
setinggi-tingginya. Tetapi harapan itu sirna karena keterbatasan biaya, setamatnya
dia dari SLTA, ia meninggalkan kampung halaman dan orangtuanya. Di
Makassar ia pun menggeluti wiraswasta kecil-kecilan.
48
Tertarik untuk bekerja setelah menamatkan bangku sekolah, diapun
mendapat tawaran dari temannya untuk bekerja di sebuah Mall (Ramayana)
Makassar. Keputusan yang diambilnya sendiri ternyata tidak mendapat halangan
dari orangtuanya. Bekerja di Mall dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu
membutuhkan keterampilan sebagaimana informasi awal yang diperoleh dari
teman-temannya, kecuali keuletan dan kejujuran. Bidang pekerjaan yang ditekuni
sekarang adalah pelayanan kasir. Pekerjaan ini cukup bergengsi dibanding bekerja
sebagai penjaga stan pakaian, serta memiliki pendapatan sedikit lebih dari
pekerjaan lainnya, karena mengandung resiko yang lebih tinggi.
Keterampilan menghitung uang dan kepercayaan yang dapat
diperlihatkan, membuat dia dapat bertahan selama dua tahun di tempat ia bekerja.
Hal itu merupakan modal yang tinggi untuk tetap dipercaya di perusahaan. Oleh
karena itu, FRH dengan jabatan sebagai kasir mendapatkan gaji sekaligus
tunjangan kurang lebih Rp. 1.200.000 perbulan. Akan tetapi selama dua tahun
bekerja sebagai penjaga kasir serta pendapatan yang relatif cukup menghidupi
kebutuhan peribadinya, tetap masih memiliki cita-cita untuk mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaannya sekarang.
2. IM (24 tahun)
Pekerja IM berasal dari Gowa telah berkeluarga dan dikaruniai dua orang
anak. Dilihat dari latar belakang orangtua IM berasal dari keluarga mampu karena
memiliki latar belakang pendidikan sarjana dan bekerja sebagai guru. Akan tetapi
keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tidak dapat
diwujudkan karena panggilan untuk berkeluarga tidak dapat dielakkan. Memiliki
49
suami yang juga hanya tamat SMA dan bekerja sebagai wiraswasta, rupanya
dianggap kurang mampu menopang ekonomi rumah tangga.
Setelah beberapa tahun mengarungi kehidupan rumah tangga dan telah
dikaruniai dua orang anak, IM merasa terpanggil untuk bekerja. Berbekal ijazah
SLTA dan tidak dibekali keterampilan khusus, memaksanya hanya bisa melamar
pekerjaan sebagai pekerja Mall Ramayana. Informasi yang diperolehnya melalui
koran dimanfaatkan untuk mengajukan lamaran pekerjaan. IM telah menggeluti
pekerjaan ini selama 4 tahun dengan penghasilan Rp. 1.400.000 perbulan.
Pengalaman IM selama bekerja mampu memberikan kepercayaan kepada
pimpinan sehingga saat ini IM menempati posisi sebagai pengawas kasir. Dia
termasuk agak beruntung dibanding lainnya karena telah memiliki status sebagai
karyawan tetap, yaitu sebagai pengawas kasir.
3. TN (25 tahun)
Karyawan TN berasal dari Kabupaten Sidrap. Pendidikan TN hanya
sampai tingkat SLTA dan dia terpaksa tidak mampu melanjutkan ke jenjang
perguruan tinggi karena keterbatasan biaya orang tua yang hanya sebagai
wiraswasta (jual-jualan). Sebenarnya cita-cita TN adalah menjadi pegawai Bank,
akan tetapi semua sirna oleh karena tidak dibekali dengan latar belakang
pendidikan dan keterampilan teknis pembukuan sehingga TN mengurungkan
niatnya untuk mengajukan lamaran pekerjaan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di SLTA, ia dipersunting oleh
seorang lelaki sebaya sesama tamatan SLTA. Walaupun belum memiliki anak,
akan tetapi status pekerjaan suami sebagai wiraswasta, menantangnya untuk
mencari pekerjaan tambahan untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga dan
50
TN mendapat dukungan dari suami. Informasi pekerjaan ini diperoleh dari teman-
teman TN yang telah bekerja sebelumnya. Selain itu informasi diperoleh dari
berbagai media yang selalu memberitakan seputar lowongan pekerjaan dan TN
pun melamar sebagai karyawan Mall Ramayana dengan posisi sebagai SPG.
Hingga saat ini TN telah bekerja selama 2 tahun dengan penghasilan kurang lebih
Rp.1.000.000 perbulan.
4. AL (25 tahun)
Karyawan AL dengan latar belakang pendidikan sarjana berasal dari
Barru. Keinginannya sejak dibangku kuliah ialah menjadi seorang wiraswasta
yang sukses. Walaupun latar belakang ayah AL adalah seorang pegawai negeri
sipil ia tidak pernah bercita-cita mengikuti jejak profesi ayahnya. Akan tetapi,
merintis usaha yang dicita-citakan tidaklah mudah baginya karena memerlukan
biaya dan koneksi yang luas. Melalui informasi yang diperoleh dari teman-teman
yang telah bekerja sebelumnya serta melalui berbagai media yang didapatkan,
akhirnya AL bekerja sebagai karyawan Mall Ramayana. Oleh karena kejujuran
dan keuletan dalam bekerja AL mendapat tunjangan sebagai jabatan pengawas
kasir sehingga mendapat gaji kurang lebih Rp. 1.400.000 perbulan. Selama tiga
tahun bekerja sebagai pengawas kasir dengan pendapatan yang relatif, sudah
cukup menghidupi kebutuhannya. Tetapi AL masih memiliki cita-cita untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaannya sekarang.
5. LY (20 tahun)
51
Karyawan LY dengan latar belakang pendidikan SLTA berasal dari
Sungguminasa. Jenjang pendidikan lebih tinggi tidak bisa diperoleh akibat
ketidakmampuan orangtua LY yang hanya sebagai wiraswasta (jual-jualan)
dengan tanggungan enam orang anak. Ketidak mampuan melanjutkan ke
perguruan tinggi, mendorong LY untuk mencari pekerjaan dengan harapan dapat
meringankan beban orangtua.
Dalam pandangan LY, hanya pekerjaan sebagai Sales Promotion Girl
(selanjutnya disingkat SPG) yang sesuai dengan pendidikan yang ia punya.
Dengan bantuan teman-teman yang sudah lebih awal bekerja di Mall Ramayana,
maka LY mencoba melamar dan akhirnya diterima. Sampai sekarang LY telah
bekerja selama kurang lebih satu tahun, dengan honor Rp. 900.000 per bulan serta
sistem kontrak bulanan.
B. Hubungan Sosial Perempuan Pekerja di Ramayana Departement Store
1. Hubungan Sosial Formal
Hubungan sosial sebagaimana di Bab II dikemukakan sebelumnya adalah
suatu kegiatan yang menghubungkan kepentingan antar individu, individu dengan
kelompok atau antarkelompok yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat
menciptakan rasa saling pengertian dan kerja sama yang cukup tinggi, keakraban,
keramahan, serta menunjang tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.
Relevan dengan hal tersebut, maka yang dimaksudkan dengan hubungan
sosial formal dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai hubungan yang dibangun
berdasarkan struktur hubungan yang ada dalam perusahaan Ramayana. Struktur
52
menggambarkan adanya seperangkat aturan yang mengatur tatanan hubungan
antara karyawan dengan pemilik perusahaan dan antarkaryawan sesama pekerja di
Ramayana. Sebagaimana dikatakan oleh seorang supervisor IM (24 tahun)
mangatakan bahwa,
“…Mall Ramayana merupakan sebuah perusahaan multinasional yang terdapat di beberapa kota besar di Indonesia termasuk salah satunya di Kota Makassar. Perusahaan ini memiliki manajemen dengan pengendalian utama di pusat manajemen Jakarta dan memiliki prinsip aturan yang berlaku secara umum, baik berhubungan dengan bidang penjualan serta aturan-aturan berkaitan dengan ketenagakerjaan (karyawan)…” (Wawancara 21 maret 2011).
Dari penuturan informan IM dapat disimpulkan bahwa Ramayana sangat
memperhatikan struktur dalam mengembangkan perusahaan untuk tetap eksis di
masa yang akan datang. Dilihat dari aturan-aturan ketenagakerjaan yang selalu
diperhatikan dan diikuti oleh pihak Ramayana sebagaimana dikatakan oleh
informan, yaitu berupa jam kerja, rotasi kerja, honor, tunjangan, cuti, serta sanksi
kerja yang tertuang dalam bentuk kontrak kerja. Sebagaimana yang dituangkan
dalam UU No. 13 Tahun 2003.
Hubungan formal yang digambarkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 1
(14) mengatakan bahwa, perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja.
53
Dalam hubungan dengan hubungan ketenagakerjaan, salah satu perjanjian
yang mungkin ada adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut umumnya
memuat kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan. Perjanjian kerja harus
dipenuhi 3 unsur, yaitu 1) ada orang diperintah orang lain, 2) Penuaian kerja, dan
3) adanya upah.
Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan pemilik modal
Ramayana, pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban
para pihak. Sebagai suatu UU yang tujuannya antara lain untuk memberikan
perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja dan
keluarga, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 memberikan panduan mengenai
perjanjian kerja tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Seorang penjaga kasir Mall Ramayana yang keberadaannya juga diatur
sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku. Sebagai penjaga kasir yang
bertanggung jawab melayani customer dalam bertransaksi dia harus dibawa
kendali ofiice cassa dalam hal ini kepala kasir. Pertama kali masuk ditempat kerja
harus melapor ke office cassa untuk mengambil uang, selanjutnya ke tempat
melayani costumer. Setelah masa tugas selesai, diapun kembali ke office cassa
melaporkan dan menghitung jumlah uang yang diperolehnya hari itu, selesai. FRH
(21 tahun) adalah seorang kasir yang berasal dari Gowa, ia menuturkan bahwa:
“…Kalau ada kasir yang salah kasih kembali uang, diganti dengan gajinya yang dipotong. Jumlahnya sama dengan yang dia hilangkan…”(Wawancara 20 Maret 2011)
Sesuai dengan penuturan informan di atas bahwa jika terjadi kesalahan seperti
ketidaksesuaian nilai uang dan jumlah barang maka sanksi yang diperolehnya
54
adalah pemotongan gaji, bilamana nilai uang sangat jauh perbedaan nilainya akan
dinilai kelalaian besar sehingga seseorang bisa dikeluarkan atau dipecat.
Semuanya ini telah diketahuinya dengan baik karena telah dicntumkan dalam
kontrak kerja. Sehingga pemberian sanksi tetap sesuai dengan ketentuan kerja.
Dengan kemampuan yang dimiliki maka FRH (21 tahun) berusaha
mencari pengalaman di bidang bisnis. Berbagai informasi yang dilacak untuk
menemukan tempat kerja yang bisa mendukung keinginannya nanti, maka suatu
waktu ditemukannya sebuah perusahaan Mall membutuhkan karyawan yaitu Mall
Ramayana. Dengan bekerja di mall, maka akan menjadi pengalaman pertama
baginya untuk menemukan kiat-kiat menjadi pengusaha. Perhatian terhadap
berapa gaji yang diperolehnya tidak terlalu menjadi masalah baginya, karena
masih menumpang bersama orangtuanya serta belum mempunyai tanggung jawab
istri, sehingga pengeluaran tidak terlalu besar. Seperti yang diungkapkan oleh
informan FRH (21 tahun) yang mengatakan bahwa:
“…Saya termasuk cukup lamami bekerja sebagai kasir sudah dua tahun. Sebelum bertugas sebagai penjaga kasir saya di uji keterampilan menghitung uang dengan cepat dan tepat, cuma itu keterampilanku yang dinilai, disamping saya berusaha memperlihatkan kejujuran…” (Wawancara tgl 20 maret 2011).
Dari pernyataan informan di atas, ia sudah bekerja cukup lama. Kecepatan dalam
menghitung uang sudah tidak diragukan lagi sehingga di tempatkan di kasir untuk
memberikan pelayanan yang lebih maksimal agar costumer mendapatkan
pelayanan yang prima. Kejujuran selalu di tanamkan kepada para kasir sehingga
semua costumer mendapatkan pelayanan yang baik.
55
Seorang informan yang bekerja sebagai supervisor berinisial IM (24
tahun) juga menjelaskan tentang pekerjaannya yang ia lakoni setiap hari, berikut
penuturannya:
“… Saya berusaha menjaga kepercayaan dan tangungjawab yang di bebankan pada saya dapat di lakukan dengan baik. Saya selalu membina pegawai kassa, melakukan kontrol secara berkala dan harus cepat bila terjadi kesalahan di kassa. Kesalahan yang terjadi pada petugas kasir di bawahku, dia juga harus bertangung jawab dan harus mendapat sanksi yang biasa di terima seperti pemotongan gaji…” (Wawancara 21 Maret 2011).
Dari penuturan informan bisa dilihat bahwa kepercayaan dan tanggungjawab
dalam membina pegawai kasir harus terjalin dengan baik, sehingga tidak terjadi
adanya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh staf pegawai yang ada
dibawahnya. Hal ini demi kelancaran dan pemberian pelayanan yang lebih
maksimal. Apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh penjaga kassa, maka
individu tersebut yang mendapatkan sanksi seperti dalam hal pemotongan gaji.
Pemberian pelayanan dalam hal ini interaksi serta kerjasama antara supervisor
dengan pelayanan kasir terjalin sangat baik sehingga para pelayanan dibagian
kassa menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagaimana yang diharapkan para
costumer.
Sebagai pegawai kontrak, TN (25 tahun) memperoleh pendapatan kurang
lebih Rp.1.500.000 perbulan ditambah dengan tunjangan jabatan dengan
pekerjaan sebagai SPG. Dari pendapatan yang diperolehnya sebenarnya dianggap
turut membantu ekonomi rumahtangga, akan tetapi keinginan untuk beralih ke
pekerjaan lain senantiasa terpikirkan juga, sebagaimana dikatakan TN bahwa :
“…Saya selama bekerja kurang lebih dua tahunmi di Mall Ramayana ini sebenarnya cukup membantu kebutuhan keluargaku apalagi belum
56
punya anak, tetapi itukan suatu waktu kebutuhan kita juga bertambah, barang-barang naik harganya apalagi kenaikan gaji disini sangat susah. Jadi kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik apalagi sebagai pegawai negeri tentunya masih lebih lagi…” (Wawancara 20 Maret 2011).
Informan TN mengutarakan bahwa pekerjaan yang Ia jalankan selama dua tahun
sebagai karyawan di mall Ramayana sangat mendukung terutama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi pekerjaan yang informan jalankan
tidak menutupi kemungkinan akan menjadi jaminan di akhir hidupnya, lain halnya
pegawai negeri yang mempunyai kedudukan tetap dan penghasilan yang lebih
memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagaimana pekerjaan yang menjadi tanggungjawab TN ialah melayani
pertanyaan-pertanyaan costumer tentang produk-produk yang dijual dengan penuh
kesabaran dan ketelatenan. Setiap hari secara rutin masuk ke office dengan sistem
shift dua kali sehari (pagi dan malam). Tidak ada latihan khusus kecuali bahwa
sebelum menempati pekerjaan didahului dengan penyampaian teknis dan cara
memberikan pelayanan kepada costumer dengan ramah dan sabar, hal itu
disampaikan oleh bagian Sumber Daya Manusia (selanjutnya disebut SDM).
Setiap kelalaian yang dilakukan oleh karyawan senantiasa diberikan sanksi dalam
bentuk pemotongan gaji sampai diberhentikan.
Senada dengan yang dikatakan oleh informan TN (25 tahun), informan
LY (20 tahun) sesama SPG juga mengeluhkan tentang gaji yang didapat.
Besarnya gaji dan sistem kontrak demikian menurutnya sebenarnya tidak terlalu
memuaskan, akan tetapi dicoba dipertahankan, sebagaimana dituturkan LY (20
tahun) bahwa:
57
“…Saya ini sudah satu tahunmi bekerja di Ramayana, tapi sampai sekarang saya hanya dikontrak setiap bulan, lagi pula gajiku termasuk sedikit hanya Rp. 900.000. Maklum karena hanya menjaga stan pakaian, tapi ada juga yang digaji lebih tinggi dari saya dan kontraknya setiap tahun. Saya juga diam-diami ji saja daripada protes tapi nantinya dikeluarkan…” (Wawancara 20 Maret 2011).
Informan LY sudah satu tahun bekerja di Ramayana tapi sampai sekarang dia
hanya dikontrak perbulan dan setiap bulannya memperpanjang kontrak. Gaji yang
LY peroleh hanya Rp. 900.000 perbulan, lebih sedikit dibanding gaji informan TN
karena yang LY kerjakan hanya menjaga stan pakaian. Lingkungan kerja yang
dihadapi LY sebagaimana dituturkan membuatnya kelak berkeinginan untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Kemampuan merubah nasib melalui Mall Ramayana tidak pernah
terpikirkan akan terjadi, kecuali bahwa mereka terus menjaga kepercayaan serta
menjalin hubungan yang baik sesama karyawan dan kepada pengawas, hanya
dengan harapan masih bisa bekerja selama belum memperoleh pekerjaan lain. LY
tidak pernah memperhatikan bagaimana struktur dan hubungan-hubungan yang
ada di Mall Ramayana kecuali sebatas kepada bidang supervisor dan pimpinan
SDM itupun sebatas hubungan pekerjaan.
Dalam perusahan Mall seperti Ramayana sebagaimana dialami oleh para
karyawan, walaupun diantara mereka senantiasa merasakan terjadi ketidakpuasan
dari upah yang diperolehnya, akan tetapi pengakuan mereka bahwa tidak pernah
terorganisir untuk melakukan protes terhadap pihak perusahaan, informan LY (20
tahun) juga menambahkan:
“… Biarpun upah yang saya dapatkan tidak sesuai dengan harapan, tapi tetap saya lakukan karena tugas dan tanggung jawab saya sebagai
58
karyawan di Mall tersebut, tapi teman-teman kami tidak pernah menuntut terlalu banyak kepada atasan…”(Wawancara 21 Maret 2011)
Dari pernyataan diatas LY harapan dan keinginannya sebagai karyawan swasta
tetap dia jalankan semaksimal mungkin karena merupakan tanggung jawab dan
tugas untuk menjalankan semuanya sebagai karyawan di Mall Ramayana.
Nilai yang menjadi patokan bersama dalam perusahaan Mall Ramayana
ialah memberikan rasa kepuasan, kenyamanan dan keamanan terhadap konsumen.
Dalam menjaga nilai semacam itu, maka pihak perusahaan memberikan
penekanan kepada setiap karyawan untuk bekerja secara profesional melalui
aturan-aturan tentang mekanisme waktu kerja, batasan tanggung jawab sesuai
posisi tertentu, serta mekanisme sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi.
Pihak perusahaan menerapkan batasan hubungan langsung dengan
pimpinan perusahaan kecuali hanya terbatas pada pimpinan unit masing-masing.
Hubungan ini mengindikasikan bahwa pihak perusahaan tidak memberikan
kemungkinan terjadinya tuntutan langsung kepada pimpinan utama dalam hal
terjadinya permasalahan atau keluhan-keluhan pada karyawan. Pembatasan
terhadap kemungkinan terjadinya tuntutan yang kuat dari pihak karyawan, maka
pihak perusahaan Ramayana melakukan kontrak kerja kepada setiap karyawan
dalam bentuk jangka pendek, yaitu antara enam bulan sampai satu tahun.
Mekanisme kontrak seperti yang dijalankan oleh pihak Ramayana akan
memberi keuntungan pihak perusahaan dalam tuntutan pesangon bila karena
sesuatu hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan.
Sebagaimana yang diatur dalam mekanisme perusahaan bahwa tuntutan pesangon
59
dan sejenisnya akan diperoleh pihak karyawan bagi karyawan yang telah bekerja
sekurang-kurangnya dua tahun.
Dalam hal mekanisme kontrak dan struktur kerja yang ada pada mall
Ramayana, umumnya tidak terlalu dimengerti oleh para karyawan. Seperti yang
dikemukakan oleh TN (25 tahun) bahwa:
“…Saya juga kurang mengerti bagaimana, tapi daripada dipecat karena terlalu banyak ka bertanya lebih baik diam-diam saja. Yang penting jawab saja pertanyaannya costumer terus dapat gaji akhir bulan buat makan dan lain-lain, sudahmi. Teman-temanku juga begituji semua karena sering ka juga cerita-cerita sama mereka…”(Wawancara, 20 Maret 2011)
TN tidak terlalu mengerti mekanisme secara luas, kecuali bahwa dia hanya
senantiasa harus berhubungan dengan pimpinan bagian SDM. Sebagai SPG, dia
hanya senantiasa berhubungan sesama SPG baik hal-hal yang bersifat teknis dan
pengalaman lapangan serta keluh-kesah yang tidak terlalu prinsipil.
Hubungan atasan dan bawahan
Hubungan atasan dan bawahan pada dasarnya harmonis jika mereka
mampu menjaga hubungan tersebut tetapi tidak bisa di pungkiri bahwa konflik
akan datang sewaktu-waktu. Konflik tersebut dipicu oleh dominasi-dominasi yang
ada antara atasan dan bawahan. Seperti yang pernah Marx kemukakan bahwa
keterasingan yang dialami oleh para pekerja dalam masyarakat yang di dominasi
oleh hak pilih pribadi. Keterasingan dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana
manusia didominasi oleh kekuatan yang dia ciptakan sendiri, yang
menghadirkannya sebagai sesuatu yang asing bagi dirinya. Singkatnya manusia
terasing dan objek yang dia hasilkan, dari proses-proses produksi dan dirinya
sendiri dan komunitasnya. Dalam A Contribution to the Critique of Political
60
Economy (Dalam Damsar, 2009:21). Seorang Sosiolog Jerman, Emile Durkheim
berpandangan bahwa pembagian kerja mempunyai fungsi yang lebih luas.
Pembagian kerja merupakan sarana utama bagi penciptaan kohesi dan solidaritas
dalam masyarakat modern. Tingginya tingkat pembagian kerja dan peranan yang
berbeda pada setiap orang menyebabkan orang menggantikan basis ikatan
(penyatuan) atas dasar kesamaan (solidaritas mekanis) dengan dasar
ketidaksamaan (solidaritas organis). Mereka tergantung satu sama lain karena
mereka mempunyai tugas yang berbeda, dan oleh sebab itu mereka saling
membutuhkan untuk kesejahteraan mereka sendiri.
Dalam masyarakat modern, hak dan kewajiban berkembang di sekitar
saling ketergantungan yang di hasilkan oleh pembagian kerja. Hak dan kewajiban
inilah, bukan pertukaran atau juga bukan struktur pasar yang mengikat
masyarakat. Dalam masyarakat modern, saling ketergantungan direfleksikan pada
moralitas dan mentalitas kemanusiaan serta dalam kenyataan solidaritas organis
itu sendiri. Masyarakat yang berlandaskan solidaritas organis menjunjung tinggi
nilai-nilai kesamaan, kebebasan, dan hukum. Kontrak dalam masyarakat seperti
ini menjadi lebih penting.
Berdasarkan hubungan antara karyawan dengan pemilik perusahaan,
berbeda dengan karakteristik yang terdapat dalam sebuah perusahaan. Perusahan
industri memiliki ketergantungan terhadap sumber bahan baku dan sistem pasar
bebas sehingga hubungan antara karyawan dan pemilik perusahaan sangat
tergantung pada efektifitas dan efisiensi nilai produksi dan upah karyawan.
Bilamana nilai produksi mengalami peningkatan maka akan berpengaruh
61
terhadap upah karyawan sehingga rentan mengalami penurunan upah karyawan
bahkan biasa terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam kondisi demikian maka
bisa mengganggu hubungan antara karyawan dengan pemilik produksi dalam
bentuk protes sampai mogok kerja.
Dalam perusahaan perdagangan (mall) seperti Ramayana, efektivitas dan
efisiensi perusahaan tidak terlalu dipengaruhi oleh sumber bahan baku dan nilai
produksi karena tidak dalam posisi mengolah bahan baku menjadi barang jadi.
Dengan kata lain maju mundurnya sebuah perusahaan seperti Mall Ramayana
adalah merupakan tanggung jawab bersama antara pemilik perusahaan dan
karyawan. Dengan demikian tingkat kohesivitas atau kestabilan dalam perusahaan
(Mall) seperti Ramayana lebih dapat terjamin, hal tersebut tercermin ketika
karyawan Ramayana selama ini dapat dikatakan tidak pernah terjadi aktivitas
yang mengarah kepada bentuk-bentuk protes atau pemogokan kerja. Secara
sosiologis dikatakan bahwa tingkat kohesivitas dalam sebuah masyarakat
ditentukan sejauh mana anggota tersebut memiliki komitmen bersama untuk
senantiasa taat dan patuh terhadap aturan yang dibangun bersama.
Selanjutnya di lain pihak keberadaan Mall Ramayana dapat
memanfaatkan hukum permintaan dalam sistem ketenagakerjaan. Standar
penerimaan karyawan tidak mengharuskan level keterampilan tertentu
sebagaimana umumnya terjadi pada perusahaan. Seorang informan TN (25 tahun)
mengatakan bahwa:
“…saya dapat informasi tentang pekerjaan ini di Koran, kebetulan waktu itu mau ka cari kerja juga jadi kasih masuk lamaran ma’ juga di Ramayana. Alhamdulillah saya diterima disini dan sampe saat ini masih
62
kerja disini. Mungkin gajinya kecil tapi saya syukuri saja…” (Wawancara 23 Maret 2011)
Dari keterangan TN, dapat disimpulkan bahwa Ramayana menjaring
pekerja melalui berbagai media cetak. Seperti yang biasa dilihat dalam beberapa
Koran terdapat beberapa persyaratan yang senantiasa ditemukan dalam
pengumuman penerimaan karyawan mall seperti :
- “Dibutuhkan untuk tenaga Chieft Engineering dengan kualifikasi laki-
laki, pendidikan minimal D3 / S1 Segala jurusan Mampu berkomunikasi,
bernegoisasi dengan daik, berjwa dinamis dan menyukai tantangan,
berpengalaman lebih diutamakan”.
- Segera!! dicari spg / sales assistant untuk produk baju2 wanita di mall2
terkemuka syarat: pendidikan minimal sma / sederajat, wanita usia
maximal 25 tahun, berpenampilan menarik, bertanggung jawab, mampu
bekerja sebagai tim dan bekerja keras, fasilitas: gaji, tunjangan harian dan
komisi penjualan.
- Membutuhkan banyak tenaga muda yang penuh dengan semangat dan
agresif untuk mencapai kesuksesan bersama: pria dan wanita, usia
maximum 30 tahun, pendidikan min SMA / SMK, menyukai bidang
marketing dan sales, memiliki komunikasi yang baik, berpenampilan
menarik, rapih dan bersih, memiliki sikap disiplin yang tinggi, rajin, jujur
dan mau bekerja keras, mampu bekerja secara individu maupun tim
- Kami membutuhkan Supervisor Counter untuk ditempatkan di Mall
dengan syarat: pria atau wanita, pendidikan DIII-S1, bisa memimpin
63
kelompok kecil (3-4 orang), bisa memberi semangat kerja bagi
kelompoknya, bisa, mengarahkan kelompoknya untuk bekerja dengan
benar, target oriented, rajin dan jujur, usia 18 - 24 tahun , tinggi minimal
159 dan 160 ke atas tidak. Berkacamata.
Kecenderungan semakin meningkatnya ketersediaan tenaga kerja yang
membanjiri daerah perkotaan menjadi keuntungan bagi sebuah perusahaan yang
tidak terlalu membutuhkan keterampilan khusus. Sebaliknya para pencari kerja
yang kurang terampil dapat memanfaatkan peluang kerja tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh para karyawan, yaitu bahwa mereka tertarik bekerja karena
tidak terlalu dibutuhkan keterampilan khusus disamping karena alasan-alasan
seperti sekedar membantu ekonomi rumah tangga.
Informan AL adalah seorang pengawas kasir di Ramayana yang berlatar
pendidikan sarjana. Walaupun sudah menjadi seorang pengawas kasir, AL masih
mengharapkan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaannya saat ini.
Seperti petikan wawancara dengan AL (25 tahun) di bawah ini:
“…Saya sebenarnya punya cita-cita jadi wirausahawan tetapi karena tidak punya modal dan diterima di Ramayana, ahirnya saya kerja dsinimi. Tapi masih mau lagi cari pekerjaan yang lebih baik, apalagi saya pernahji kuliah…” (Wawancara 22 Maret 2011).
Sambil menunggu pekerjaan yang baik dan pekerjaan tetap AL tetap bertahan
untuk bekerja di Mall Ramayana untuk terhindar dari tuntutan-tuntutan ekonomi
yang semakin lama semakin banyak. Dalam hal ini maka dapat dikatakan bahwa
hubungan yang terjadi dalam Mall Ramayana tidak semata ditentukaan oleh
64
kepatuhan atau ketaatan bersama terhadap aturan akan tetapi juga adanya
ketergantungan yang cukup tinggi antara karyawan terhadap perusahaan.
Fenomena hubungan pemilik modal dan karyawan sebagaimana
digambarkan, diatas tidak menutup kemungkinan akan terjadi ketergantungan
yang tinggi buruh terhadap pemilik perusahaan seringkali berada pada posisi yang
lebih lemah daripada sang buruh. Buruh dianggap bukanlah mitra yang sejajar
bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk melaksanakan
kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan dengan upah yang relatif kecil
karena, hal tersebut disebabkan bahwa untuk konteks Indonesia, banyaknya
tenaga kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang
tersedia. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan kadang-kadang terpaksa
untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi
buruh itu sendiri.
Hubungan fungsional yang terjadi sebagaimana digambarkan dari kelima
kasus tersebut menunjukkan pula bahwa, pengendalian ke bawah dilakukan
berdasarkan bidang teknis dengan tanggungjawab utama terdapat pada bidang
SDM. Bidang SDM memiliki kekuatan sebagai penggerak utama perusahaan
terutama berkaitan perekrutan karyawan, pembinaan karyawan, dan penetapan
sanksi karyawan.
Dengan demikian karyawan yang memiliki posisi sebagai bawahan
memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap pengendalian yang dijalankan
oleh bidang SDM. Hubungan semacam ini dikatakaan pula sebagai hubungan
65
yang bersifat organik, yaitu sebuah hubungan yang didasarkan atas perbedaan
posisi seseorang dalam sebuah masyarakat maju akan tetapi memiliki tujuan
bersama. Dalam hal ini Lawang (1985:68-69) mengatakan bahwa solidaritas yang
muncul dalam soilidaritas organik adalah karena adanya taanggungjawab bersama
dan kepentingan bersama di antara para anggotanya, bukan karena mereka sama,
melainkan karena mereka berbeda, yaitu perbedaan dalam bidang tanggungjawab
atas bagiannya sendiri, dalam suatu hubungan dengan keseluruhan, sehingga hasil
akhir bukan dilihat dalam bagian itu sendiri saja, tetapi keseluruhan.
Berdasarkan penjelasan diatas, pekerja di Mall Ramayana yang diikat
oleh aturan perusahaan terbagi atas 2, yaitu karyawan tetap dan karyawan kontrak.
Informan TN (25 tahun) adalah seorang SPG yang berasal dari Gowa menuturkan
bahwa:
“…gaji saya cuma Rp 1.000.000 dan tiap bulannya di perpanjang kontrakku, untung suami saya kerja juga walaupun tidak pasti pendapatan perbulannya, yang jelas bisa meringankan beban dalam rumah. Belumpi juga punya anak jadi kebutuhan masih sedikit. Tapi hidup di kota kayak Makassar uang Rp 1.000.000 apaji artinya. Tidak cukup setengah bulan habismi. Pintar-pintar saja atur uang…” (Wawancara 21 Maret 2011)
Dari penjelasan informan TN dapat disimpulkan bahwa kehidupan sebagai SPG
dengan gaji Rp 1.000.000 sangat memprihatinkan. Jika tidak mampu mengelola
keuangan dengan cerdas dapat jatuh dalam lubang hutang sana-sini. Setiap
bulannya, kontrak kerja TN di perpanjang dengan begitu dapat sewaktu-waktu di
putuskan. Hal ini sangat membuat risau TN tapi ia yakin bahwa rejeki tidak akan
kemana jika masih berusaha.
66
Kehidupan karyawan tetap setidaknya lebih baik dibanding karyawan
kontrak seperti TN. Informan AL (25 tahun) adalah seorang pengawas kasir yang
telah bekerja di Ramayana selama 3 tahun mengemukakan bahwa:
“…bekerja sebagai pengawas kasir ada enaknya ada tidak enaknya. Enaknya kalo biasanya dapat tunjangan lebih jadi bisa beli barang yang disuka. Tidak enaknya karena tanggung jawab dari beberapa kasir yang saya awasi juga berat. Tapi di bawa enjoy saja karena maumi di apa, tanggung jawab pekerjaan yah beginimi…” (Wawancara 22 Maret 2011)
Dari penjelasan informan TN (25 tahun) dan AL (25 tahun) dapatlah disimpulkan
bahwa kehidupan karyawan kontrak dan karyawan tetap sangat jauh berbeda.
Bukan hanya dilihat dari segi pendapatan saja tetapi dari kekhawatiran akan
hubungan kerja dengan pihak Ramayana dimana karyawan kontrak sewaktu-
waktu bisa diputuskan hubungan kerjanya.
2. Hubungan Sosial Informal
Hubungan sosial informal ialah hubungan yang terjadi di luar struktur
organisasi atau tidak resmi. Dalam masyarakat pedesaan atau masyarakat
tradisional diidentikkan sebagai sebuah hubungan yang bersifat mekanik, yaitu
suatu hubungan yang diikat melalui prinsip-prinsip kebersamaan dan berlangsung
secara sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai moral tradisional. Dalam hal ini
Durkheim mengatakan sebagai sebuah solidaritas karena adanya saling percaya,
kesatuan, atau hubungan persahabatan yang ada antara para anggota masyarakat
muncul karena adanya persamaan dalam semua hal yang berhubungan pikiran,
perasaan, tindakan dalam (dalam Lawang, 1985: 65).
67
Hubungan yang bersifat mekanik tersebut, bilamana diantara anggota
masyarakat muncul perasaan ketidaknyamanan dan merasa akan mengganggu
kelangsungan hidup maka akan mudah muncul permufakatan diantara para
anggota untuk melakukan bentuk-bentuk perlawanan.
Dalam organisasi industri, sebuah hubungan yang bersifat tidak formal
ialah hubungan yang berlangsung dalam sebuah ikatan organisasi karyawan
(perburuhan). Pada awalnya diantara karyawan sering melakukan pertukaran
informasi terkait pengalaman-pengalaman kerja, keluhan-keluhan yang diperoleh
sebagai akibat adanya rasa ketidakpuasan antara pekerjaan yang dihadapi dengan
upah yang diperoleh seperti jam kerja yang berlebihan, perlindungan/jaminan
kerja. Ketika kondisi seperti ini berlangsung lama, akhirnya diantara karyawan
membentuk persekutuan dan diorganisir oleh seseorang diantara mereka.
Persekutuan tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah perkumpulan yang
lebih terorganisir yaitu yang disebut organisasi buruh.
Mencermati mekanisme kerja pada perusahaan Ramayana tersebut maka
keberadaan pihak karyawan berada pada posisi yang lemah dan ketergantungan
yang cukup tinggi. Hal tersebut karena adanya ketakutan untuk melakukan
tuntutan yang berlebihan terhadap pihak perusahaan karena resiko pemecatan
(PHK) sewaktu-waktu dapat terjadi.
Aktifitas Sebelum Dan Sesudah Bekerja
Ketentuan yang menjadi perhatian IM (24 tahun) sebagai pengawas kasir
di tempat kerja ialah menjaga shift yaitu, 8 jam kerja dan 1 jam istirahat, dengan
sistem shift per minggu pagi dan malam. Hampir dikatakan tidak terjadi konflik
68
dengan sesama teman sekerja di tempat kasir karena masing-masing memiliki
tanggung jawab, demikian terhadap pegawai kasir. Seperti penuturan IM yang
mengatakan bahwa :
“… Saya bekerja kurang lebih 4 tahun dan barusan diangkat jadi pengawas kasir. Mereka baik dan selama saya kerja disini, Alhamdulillah tidak ada konflik yang terjadi. Kalo ada juga masih bisa diselesaikan karena para karyawan masih mauji berdamai. (Wawancara 20 Maret 2011).
Ungkapan informan diatas menunjukkan bahwa hubungan IM dengan teman-
teman karyawan Ramayana sangat baik sehingga hal ini membuat IM nyaman
bekerja di sana. Belum ada konflik yang berarti selama IM bekerja di Ramayana.
Konflik merupakan hal yang tidak bisa dihilangkan dari struktur yang ada,
demikian pula pada pekerja perempuan di Mall Ramayana. Sesuai dengan
penuturan TN (24 tahun) :
“…Tidak pernahji ada yang bertengkar karena semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kalaupun ada yang tidak disuka masalah pekerjaan akan langsung dibicarakan dengan supervisor dan selama saya bekerja tidak adaji yang dibawa masalahnya keluar…” (Wawancara 21 Maret 2011)
Pada dasarnya, TN lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melayani para
costumer dan mengambil barang yang diinginkan oleh para costumernya. Hampir
dikatakan tidak terjadi konflik dengan teman sesama SPG maupun kasir karena
masing-masing memiliki tanggung jawab untuk menjaga stan-stan yang
dipercayakan kepada mereka. Sedangkan terhadap penanggung jawab Mall
Ramayana tidak memiliki hubungan tanggung jawab langsung sehingga kendali
diberikan kepada supervisor masing-masing.
69
Ini membuktikan bahwa peran karyawan dalam menjalankan fungsi dan
perannya didalam hubungan kerja antarkaryawan sangat intensif dalam hal
pembagian kerja yang terorganisir dan tertata, telaten dan bisa dipertanggung
jawabkan bila terjadi kesalahan yang tanpa disengaja oleh karyawan.
Umumnya tempat tinggal para karyawan perempuan Ramayana di tempat
yang sama. Misalnya saja FRH (22 tahun) dan AL (25 tahun) yang menempati
tempat tinggal yang sama, tidak hanya mereka berdua saja tetapi seperti halnya
dengan teman-teman mereka yang lain. Berdasarkan penuturan informan FRH (22
tahun) bahwa:
“…saya tinggal sama teman-temanku yang kerja juga di Ramayana. Karena satu tempat tinggal makanya kita kayak keluargami. Suka duka ditanggung sama-sama. Apalagi kalo tidak punya uang, pinjam sama temanku saja…”(Wawancara 22 Maret 2011).
Pada saat jam istirahat, para karyawan biasanya makan siang di warung dekat
Ramayana. Moment makan siang ini dimanfaatkan oleh para karyawan untuk
bertukar informasi atau sekedar bersenda gurau. Hal ini biasanya terjadi dan
akhirnya membuat para karyawan semakin akrab. Seperti yang dikemukakan oleh
informan LY (20 tahun) :
“…selalu ka makan siang sama yang lain di warung belakang karena murah dan lumayan enak. Tapi kalo mau lebih hemat biasanya juga saya bawa makan siang dari rumah. Kalo ada gaji lebih, sekali-sekali juga saya makan di foodcourt, masa hanya bisa liat orang makan di sana tapi kita yang kerja tidak pernah rasa masakan disana…”(Wawancara 23 Maret 2011).
Nilai-nilai kekeluargaan juga tercermin dari hubungan antarkaryawan perempuan
Ramayana. Pada saat adanya acara-acara seperti syukuran, rekreasi, pernikahan,
ulang tahun, aqikah dari salah satu karyawan, maka disini terlihat solidaritas
70
mereka dengan menghadiri acara tersebut. Misalnya, pada saat informan IM (24
tahun) melahirkan anak keduanya, para karyawan Ramayana juga menghadiri
acara tersebut. Sesuai penuturan IM berikut ini:
“…Waktu aqikahnya anak keduaku, datangji teman-teman dari Ramayana. Semua itu karena kita semua kayak keluargami. Kalo ada juga acaranya yang lain pasti saya usahakan datang, yahhh…namanya juga balas budi…”(Wawancara 23 Maret 2011).
Hubungan mereka bukan hanya di tempat bekerja tetapi di luar pekerjaan mereka
tetap memelihara tali silaturahmi yang telah terjalin di tempat bekerja. Hubungan
formal dan informal telah terjadi antara pekerja wanita di Ramayana Department
Store.
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan berupa hasil pembahasan dari
data dan informasi yang diperoleh dliokasi penelitian, maka disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pekerja perempuan di Mall Ramayana dalam menjalankan tugasnya memiliki
struktur hubungan oleh UU ketenagakerjaan peraturan kerja di Mall.
Hubungan-hubungan yang bersifat formal cenderung karyawan diorganisir
terbatas dalam hubungan berdasarkan spesifikasi sebagai upaya efektifitas
mengontrol karyawan melalui supervisor. Hubungan sosial demikian secara
sosiologis bahwa: hubungan karyawan dengan karyawan, serta karyawan
dengan supervisor dibatasi berdasarkan fungsi dan peranan masing-masing
melalui aturan kedisiplinan dan sanksi. Individu (karyawan) dalam hal ini
tidak memiliki kekuatan dalam melakukan protes langsung terhadap
perusahaan.
2. Seperti halnya dalam hubungan yang bersifat tidak formal, di mana karyawan
dalam melakukan hubungan dengan sesama karyawan, cenderung tidak
pernah mempermasalahkan persoalan-persoalan terkait dengan posisi sebagai
karyawan. Hal tersebut secara sosiologis dapat dikatakan bahwa
72
kemungkinan terjadinya kegiatan-kegiatan terorganisir dalam melakukan
tuntutan terhadap perusahaan Ramayana relatif tidak akan terjadi.
Oleh karena itu mengapa hubungan karyawan dengan perusahaan Mall
Ramayana selama ini dapat dikatakan tidak pernah terlihat suatu gerakan
yang mengarah pada upaya protes atau mogok kerja dan sejenisnya,
sebagaimana umumnya terjadi pada sektor industri. Walaupun demikian
bahwa kemungkinan terjadinya bentuk eksploitasi pada mall Ramayana dapat
saja terjadi, seperti jaminan kesehatan, hari libur/cuti, cuti hamil dan cuti
nikah yang belum diabaikan. Kontrak jangka pendek yang mungkin bentuk
eksploitatif yang tidak disadari oleh karyawan.
3. Struktur hubungan pekerja perempuan dalam hubungan formal telah diatur
UU No.13 Tahun 2003 yang diterapkan dalam peraturan-peraturan di Mall
Ramayana. Peraturan-peraturan tersebut mengatur tentang hubungan antara
atasan dan bawahan, mengatur tentang struktur kerja karyawan Ramayana,
serta sanksi-sanksi jika melanggar peraturan tersebut. Sedangkan hubungan
pekerja perempuan dalam hubungan informal berasaskan kekeluargaan yang
sangat akrab dan dekat.
B. SARAN-SARAN
Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian maka dibawah ini penulis memberikan
saran pada semua pekerja ialah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan perdagangan seperti berbagai mall termasuk Ramayana, perlu
diikuti kontrol kelembagaan yang berfungsi mengontrol struktur hubungan
73
kerja seperti kontrak kerja yang kemungkinan merugikan secara sepihak para
karyawan.
2. Hubungan antar karyawan dalam hubungan informal harus diperkuat, hal ini
untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalisir konflik. Bila hubungan
informal sudah bagus maka bisa dijamin hubungan formal juga akan terjaga
dengan baik selain itu hubungan tersebut akan menciptakan lingkungan kerja
yang sehat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik.
Cetakan kedelapan. Jakarta: Rineka Cipta.
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Faisal, Sanapiah. 1989. Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan
Aplikasi. Cetakan pertama. Jakarta: CV Rajawali.
Goldthorpe, J.E. 1992. Sosiologi Dunia Ketiga, Kesenjangan Dan Pembangunan.
Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Horton, Paul B; Hunt, Cherter L. 1993.Sosiologi.Jilid 1.Edisi keenam.Cetakan
ketiga. Jakarta: Erlangga.
Lawang, Robert M.Z. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Modul 1 – 5. Jakarta:
Karunika Universitas Terbuka.
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte.1997. Perempuan Kerja Dan Perubahan
Sosial.Cetakan pertama. Jakarta: Grafiti.
Schneider, Eugene V. 1986. Sosiologi Industri. Cetakan pertama. Jakarta: Aksara
Persada.
Soekanto, Soerjono, Dr, SH, MA.1983. Beberapa Teori Sosiologi tentang
Struktur Masyarakat. Edisi Pertama. Jakarta: CV Rajawali.
Sutinah & Norma, Siti. 2010. “Stratifikasi Sosial: Unsur, Sifat, & Perspektif”.
Dalam Narwoko, J Dwi; Suyanto, Bagong. (editor). 2010. Sosiologi Teks
Pengantar Dan Terapan. Edisi Ketiga. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
75
Sumber dari internet
Anonim, Teori Hubungan Industrial.Diakses tanggal 12 Maret 2011.
http://elearning.gunadarma.ac.id/.
Tindaon, Ostinasia dan Yusuf, H.Edy AG. Tanpa Tahun. Analisis Penyerapan
Tenaga Kerja Sektoral Di Jawa Tengah (Pendekatan Demometrik).
Diakses tanggal 25 April 2011. http//epriants.undip.ac.id/26351/2/jurnal
ostinasia tindaon c2b006048
Anonim, Sejarah Mall Indonesia. Diakses tanggal 18 April 2011.
http//id.wikipedia.org
Anonim, Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Diakses
tanggal15Juli2011 http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU%20No
13 Ketenagakerjaan.pdf
76