pendidikankwnsurya14.files.wordpress.com  · web viewkata pengantar. puji syukur kepada tuhan yang...

38
KETERGANTUNGAN IMPOR BERAS SEBAGAI DAMPAK BERAKHIRNYA SWASEMBADA BERAS PADA MASA ORDE BARU TERHADAP PEMANFAATAN PANGAN LOKAL ASLI BANTEN DI DAERAH GADING SERPONG Nama Kelompok : Integritas Anggota Kelompok : Devi Natalia 1401010007 Janice Michaela 1401010009 Dessy Mentari 1401010010 Evlyn Laurenthia 1401010024 Agnes Erlinda 1401010025 Natalia Santoso 1401010037 Nilai Presentasi : 88,41 Program Studi Teknologi Pangan

Upload: others

Post on 23-Feb-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KETERGANTUNGAN IMPOR BERAS SEBAGAI DAMPAK BERAKHIRNYA SWASEMBADA BERAS PADA MASA ORDE BARU TERHADAP PEMANFAATAN PANGAN LOKAL ASLI BANTEN

DI DAERAH GADING SERPONG

Nama Kelompok : Integritas

Anggota Kelompok :

Devi Natalia1401010007

Janice Michaela1401010009

Dessy Mentari1401010010

Evlyn Laurenthia1401010024

Agnes Erlinda1401010025

Natalia Santoso1401010037

Nilai Presentasi : 88,41

Program Studi Teknologi Pangan

Fakultas Ilmu Hayati

Universitas Surya

Tangerang

2015

2

Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul “Ketergantungan Impor Beras sebagai Dampak Berakhirnya Swasembada Beras pada Masa Orde Baru terhadap Pemanfaatan Pangan Lokal Asli Banten di Daerah Gading Serpong” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Aryaning Arya Kresna selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai ketergantungan impor beras sebagai dampak berakhirnya swasembada beras pada masa orde baru terhadap pemanfaatan pangan lokal asli Banten di daerah Gading Serpong. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan sehingga diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini di masa mendatang.

Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca.

Tangerang, Juli 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .........................................................................................................i

Daftar Isi ...................................................................................................................ii

1. Pendahuluan ...............................................................................................1

1.1Latar Belakang ...................................................................................1

1.2Rumusan Masalah .............................................................................3

1.3Tujuan Penelitian …............................................................................3

1.4Manfaat Penelitian ............................................................................3

1.5Batasan Penelitian .............................................................................4

1.6Sasaran Penelitian .............................................................................4

1.7Hipotesis ............................................................................................4

1.8Tinjauan Pustaka ...............................................................................4

1.9Metode Penelitian .............................................................................9

2. Isi ................................................................................................................10

2.1Hasil Kuesioner .................................................................................10

2.2Analisis ..............................................................................................11

3. Penutup ......................................................................................................18

3.1Simpulan ...........................................................................................18

3.2Saran .................................................................................................18

Daftar Pustaka .........................................................................................................19

Lampiran ..................................................................................................................20

i

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia dikatakan sebagai negara agraris penghasil komoditas pangan khususnya beras karena dikelilingi oleh gunung berapi yang masih aktif sehingga Indonesia memiliki tanah yang subur. Kondisi seperti ini mendukung banyak masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan dalam bidang pertanian, sehingga banyak masyarakat yang memilih untuk bertani sebagai mata pencahariannya.

Menurut Supriatna, Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Soeharto di Indonesia yang berlangsung selama 32 tahun, dari 1966 sampai 1998. Selama 32 tahun masa kepemimpinannya, Indonesia mengalami masa-masa yang menurut masyarakat secara umum merupakan masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru menghasilkan beberapa hal positif, yaitu pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta perkembangan sektor pertanian. Selain itu, prestasi luar biasa yang dapat diperoleh dari perkembangan sektor pertanian adalah Indonesia dapat mengubah status diri dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Rangkuti, 2011).

Menurut Bustanul Arifin, terdapat 3 fase pertanian Indonesia pada masa Orde Baru. Fase pertama atau fase konsolidasi terjadi pada tahun 1967-1978 yang merupakan fase peletakkan fondasi yang kokoh bagi pertanian Indonesia untuk mencapai swasembada beras. Pada fase ini, sektor pertanian tumbuh sekitar 3,19, dengan produksi beras mencapai lebih dari dua juta ton dan produktivitas pertanian telah mencapai 2,5 ton per hektar. Selain itu, pada fase kedua atau fase tumbuh tinggi yang terjadi pada tahun 1978-1986, sektor pertanian tumbuh lebih dari 5,7% karena strategi pembangunan yang dilakukan telah berbasis pertanian. Pada tahun 1984, produksi beras mencapai posisi tertinggi, yaitu lebih dari 26,5 juta ton beras karena adanya program Revolusi Hijau. Sementara itu, fase terakhir adalah fase dekonstruksi pada tahun 1986-1997. Tetapi, keberhasilan swasembada beras hanya berlangsung selama 5 tahun saja, yaitu tahun 1984-1989. Hal ini dikarenakan setelah tahun 1989, produksi padi nasional mengalami penurunan. Keadaan tersebut berlangsung hingga akhir kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Periode 1986-1997 inilah yang kemudian disebut fase dekonstruksi (Anggraeni 2013, 5-7).

Swasembada beras yang berhasil diterapkan Presiden Soeharto sejak tahun 1980-an mengakibatkan masyarakat Indonesia menjadi sangat tergantung untuk mengonsumsi beras setiap hari. Selain itu, terhitung tahun 1997, pihak swasta mulai terlibat dalam pengadaan beras, sehingga Indonesia mulai banyak mengimpor beras. Menurut Khudori, pada tahun 1998 total impor beras Indonesia mencapai 7,1 juta ton beras atau setara dengan 22,8% dari total suplai beras nasional (Anggraeni 2013, 8).

Selain itu, dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah dan tersebar di banyak pulau, maka ketergantungan akan impor menyebabkan rentannya ketahanan pangan sehingga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik.

Melihat kondisi ketergantungan impor beras di Indonesia yang cukup tinggi, diperlukan satu strategi besar dengan memperhitungkan sumber daya alam (SDA) di lingkungan regional (geostrategi) dalam rangka mengembangkan sistem ketahanan pangan baik di tingkat nasional maupun di tingkat masyarakat. Namun, bukanlah hal yang sederhana untuk membangun ketahanan pangan tersebut. Menurut Smil, hal kecil yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pangan ini adalah melalui perubahan budaya, khususnya dalam kebiasaan makan, dengan melepaskan ketergantungan masyarakat dalam mengkonsumsi satu atau dua jenis tanaman saja (Herm, 2012).

Akan tetapi, banyak masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa beras adalah satu-satunya makanan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Di sinilah makna ketahanan pangan yang utama, yaitu bagaimana kita bisa mentransformasi sesuatu yang telah membudaya, yaitu kebiasaan atau habit dari sebagian besar masyarakat kita yang sangat tergantung kepada beras dalam memaknai sumber utama pangan kita, ke arah pola pangan yang bukan hanya hemat, tetapi juga bersumber dari keanekaragaman pangan yang telah disediakan oleh alam di sekitar kita (Herm, 2012) .

Di sisi lain, terdapat komoditas lokal Banten yang belum banyak dikembangkan namun memiliki potensi besar sebagai alternatif pengganti beras, yaitu Talas Beneng. Talas Beneng ini asli dari Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dan dijadikan salah satu komoditi bahan pangan pokok di Provinsi Banten selain komoditi beras dan ubi-ubian yang lain. Talas Beneng memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai sumber pangan lokal. Ukurannya yang besar dengan kadar protein yang tinggi serta warna kuning yang menarik adalah kelebihan yang dimiliki Talas Beneng yang menjadi ciri khas yang tidak dimiliki talas jenis lain (Nurcahyati, 2010).

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan adalah :

1. Bagaimana pengaruh berakhirnya swasembada beras pada masa Orde Baru terhadap jumlah impor beras saat ini?

2. Bagaimana konsumsi pangan lokal di daerah Gading Serpong saat ini?

3. Bagaimana strategi yang tepat untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal di daerah Gading Serpong guna mengurangi ketergantungan impor beras saat ini?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui tanggapan masyarakat terhadap strategi One Day No Rice untuk mengurangi dan menekan besarnya impor beras. Selain tujuan tersebut, adapun tujuan lain yaitu sebagai berikut.

1. Menganalisis pengaruh berakhirnya swasembada beras pada masa Orde Baru terhadap jumlah impor beras saat ini.

2. Menganalisis konsumsi pangan lokal di daerah Gading Serpong saat ini.

3. Mencari strategi yang tepat untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal di daerah Gading Serpong guna mengurangi ketergantungan impor beras saat ini.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai keadaan impor beras saat ini dan mengetahui berbagai macam komoditas lokal Banten yang belum diketahui oleh banyak masyarakat.

1.4.2Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat mengarahkan masyarakat menjadi sadar akan penggunaan beras yang begitu tinggi saat ini, serta dapat menciptakan suatu gerakan untuk mengurangi tingginya impor beras saat ini.

1.5Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi hanya tertuju pada talas beneng sebagai komoditas lokal Banten meskipun masih terdapat banyak pangan lokal asli Banten seperti ubi jalar, bengkoang, nanas, tebu, dan kelapa. Konteks diluar hal ini tidak dibahas agar pencarian data dan penulisan laporan tidak bias. Responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 100 orang dengan latar belakang yang berbeda yang dapat mewakili masyarakat berdomisili di Gading Serpong.

1.6Sasaran Penelitian

Penelitian ini didasari oleh rasa ingin tahu akan tanggapan masyarakat terhadap besarnya impor beras sebagai dampak swasembada beras pada masa orde baru serta kesediaan mereka untuk mengikuti strategi One Day No Rice maupun strategi lainnya. Sasaran penelitian ini adalah 100 orang penduduk yang berdomisili di Gading Serpong yang terdiri dari pelajar SMA, mahasiswa/i, pekerja/profesional muda, ibu serta bapak yang sudah berumah tangga.

1.7Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah masyarakat bersedia mengikuti strategi One Day No Rice sebagai tindakan nyata untuk mengurangi dan menekan besarnya impor beras Indonesia.

1.8Tinjauan Pustaka

1.8.1Geopolitik dan Geostrategi

Kata geopolitik berasal dari kata geo dan politik. Kata geo berarti bumi. Kata politik dalam Bahasa Inggris yaitu politics berarti suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan arti kata geopolitik adalah pengetahuan mengenai konstalasi geografi (bentuk, luas, posisi, iklim, dan sumber daya alam) untuk digunakan mencapai tujuan bersama warga suatu negara (Kresna, 2010).

Geostrategi adalah suatu strategi dalam memanfaatkan kondisi lingkungan dalam upaya mewujudkan cita-cita proklamasi dan tujuan nasional. Sedangkan, geostrategi Indonesia adalah strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara Indonesia untuk menentukan kebijakan, tujuan dan sarana-sarana untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia (Anonim, 2005).

Geostrategi Indonesia sebagai pelaksanaan geopolitik Indonesia memiliki dua sifat pokok (Anonim, 2005):

1. Bersifat daya tangkal. Dalam kedudukannya sebagai konsepsi penangkalan geostrategi Indonesia ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap identitas, integritas, bangsa dan negara Indoesia.

2. Bersifat developmental atau pengembangan, yaitu pengembangan potensi kekuatan bangsa dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam sehingga tercapai kesejahteraan rakyat.

1.8.2Swasembada Beras pada Masa Orde Baru

Orde Baru merupakan masa setelah turunnya Presiden Soekarno dan digantikan oleh Presiden Soeharto. Indonesia mengalami masa pembangunan ekonomi selama pemerintahan Presiden Soeharto yang berlangsung lebih dari 30 tahun. Kemajuan pembangunan ekonomi ini dirasakan sangat signifikan oleh masyarakat karena sebelumnya pada tahun 1966, Indonesia mengalami gejolak ekonomi yang luar biasa dimana inflasi mencapai 650%. Adapun beberapa hal positif yang didapatkan dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru antara lain: pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta perkembangan sektor pertanian yang mengubah status Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-an (Rangkuti, 2011).

Pada tahun 1960 impor beras Indonesia mencapai 0,6 juta ton. Di tahun-tahun berikutnya, impor beras Indonesia terus meningkat hingga puncaknya pada tahun 1980 mencapai 2 juta ton. Namun, pada tahun 1981 hingga 1984 jumlah impor beras Indonesia mulai menurun. Indonesia pernah memproduksi beras sebanyak 11,666 juta ton pada tahun 1968 karena mendapat perhatian serius sejak Pelita I tahun 1969 atau 1970. Akhirnya pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras dan dapat memproduksi beras sebesar 25,835 juta ton (Prasetiyo 2002, 7).

Keberhasilan swasembada beras Indonesia bisa dikatakan merupakan peran dari Presiden Soeharto sebagai seorang militer yang tentu melaksanakan pemerintahannya dengan gaya militer juga. Pemerintah memutuskan jenis benih yang akan ditanam, jenis pupuk, pembasmi hama, waktu tanam, dan hal lain yang berkaitan dengan penanaman. Petani tinggal melaksanakan apa yang diinstruksikan oleh Pemerintah setelah mendapatkan penyuluhan dari Departemen Pertanian. Bila petani tidak melaksanakan instruksi dari Pemerintah, maka mereka akan berurusan dengan aparat keamanan. Hasil produksi pertanian juga merupakan wewenang dari Pemerintah (Rangkuti, 2011).

Selain mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penanaman, Pemerintah juga menyediakan sarana produksi, akses bantuan modal, dan membeli gabah dari petani lewat Koperasi Unit Desa (KUD) yang juga diawasi dengan ketat seperti pengawasan terhadap petani dalam menjalankan instruksi dari Pemerintah. Dengan langkah-langkah inilah Presiden Soeharto berhasil mencapai swasembada beras Indonesia (Rangkuti, 2011).

1.8.3Keterbatasan Stok Beras di Indonesia

Menurut Lubis, undang-undang RI nomor 7 tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan (food security) yaitu suatu keadaan dimana terpenuhinya pangan untuk rumah tangga yang dilihat dari pangan yang cukup, baik dari jumlah, mutunya, aman, merata, dan harga yang terjangkau (Hasyim, 2005).

Sibuea menyatakan bahwa Indonesia mengalami kekurangan stok beras karena kebijakan ”berasisasi”. Bagi 60 persen penduduk Indonesia di pedesaan, kebutuhan pangan berbasis sumber daya lokal. Kearifan lokal ini berperan sebagai mitigasi kerawanan pangan. Namun belakangan, kearifan lokal acap dilupakan karena pemerintah secara tidak langsung menggiring pola konsumsi penduduk berbasis beras (nasi). Muaranya, muncul persepsi bias pangan menjadi identik beras saja karena dianggap makanan pokok. Dalam kata lain, jika Indonesia dikatakan mengalami krisis pangan, kekurangan stok beras adalah hal yang sebenarnya dimaksud tetapi belum tentu kekurangan stok pangan lainnya seperti umbi-umbian (Afrianto, 2010).

Ada empat masalah yang berkaitan dengan kondisi perberasan di Indonesia, pertama rata-rata luas garapan petani hanya 0,3 hektar. Kedua, sekitar 70% petani padi termasuk golongan masyarakat miskin dan berpendapatan rendah. Ketiga, hampir seluruh petani padi adalah net consumer beras. Keempat, rata-rata pendapatan dari usaha tani padi hanya sebesar 30% dari total pendapatan keluarga. Dengan kondisi ini pemerintah selalu dihadapkan pada posisi sulit, disatu sisi pemerintah harus menyediakan beras dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, dan di sisi lain pemerintah harus melindungi petani produsen dan menjaga ketersediaan secara cukup (Afrianto, 2010).

Produktivitas tanaman padi Indonesia lebih tinggi 20 persen dibandingkan produktivitas negara-negara ASEAN lain. Indonesia memberi kontribusi 30 persen terhadap produksi beras ASEAN. Akan tetapi dalam kenyataannya, Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan beras masih bergantung pada impor beras dari negara lain. Karena populasi masyarakat Indonesia yang terus bertambah yang tidak terkontrol setiap tahun tanpa adanya peningkatan sarana produksi tanaman padi, maka Indonesia tetap belum dapat memenuhi kebutuhan beras untuk masyarakat (Suprapto & Nurlaila, 2009).

1.8.4Talas Beneng

Talas beneng memiliki nama latin Xantoshoma undipes K. Koch dan kata beneng yang berarti “besar” dan koneng yang berarti berukuran “besar dan berwarna kuning”. Menurut Ara & Hasan, klasifikasi talas beneng adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

Sub Kelas : Arecidae

Ordo : Arales

Famili : Araceae (suku talas-talasan)

Genus : Xanthosoma

Spesies : Xanthosoma undipes

Talas Beneng merupakan tanaman umbi-umbian asli Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten yang telah dibudidayakan oleh Badan Ketahanan Pangan Daerah (BKPD) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk dijadikan sebagai komoditi bahan pangan pokok Provinsi Banten selain beras. Kandungan nutrisi yang dimiliki talas ini cukup baik, yaitu karbohidrat 18,30%, protein sebesar 2,01%, lemak 0,27%, pati 15,21%, dan kalori sebesar 83,7 kkal (Alim, 2015).

Karakteristik yang dimiliki Talas Beneng berbeda dengan talas dari daerah lain. Selain Talas Beneng memiliki warna kuning yang menarik, tanaman ini juga tumbuh liar di lereng gunung, memiliki batang yang besar dan panjang yang merupakan bagian utama yang dapat dimakan serta pada bagian akarnya terdapat umbi-umbi kecil (kimpul) yang bergerombol. Panjangnya dapat mencapai 120 cm dengan berat 42 kg dan ukuran lingkaran luar 50 cm. Umbi itu dihasilkan dari pohon setinggi 2-2,5 m dengan daun raksasa sepanjang 1 meter (Alim, 2015).

Gambar 2.1 Ukuran Talas Beneng

Talas Beneng memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai sumber pangan lokal. Ukurannya yang besar dengan kadar protein yang tinggi serta warna kuning yang menarik adalah kelebihan yang dimiliki Talas Beneng yang menjadi ciri khas yang tidak dimiliki talas jenis lain.

1.9Metode Penelitian

1.9.1Rancangan Penelitian

Metode yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah studi literatur dan survei. Penelitian diawali dengan studi literatur yang berupa kajian-kajian teoritis dan empiris untuk memperoleh informasi awal sebagai dasar melakukan survei. Studi literatur dilakukan untuk mengetahui jumlah impor beras setelah masa Orde Baru, ketergantungan masyarakat Gading Serpong dalam mengonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok akibat berakhirnya swasembada beras, dan melihat potensi pangan lokal asli yang terdapat di Banten. Selain melakukan studi literatur, survei dilakukan dengan penyebaran angket kepada masyarakat Gading Serpong dari berbagai kalangan. Survei dilakukan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Gading Serpong memenuhi kebutuhan pangan harian mereka dan apakah mereka akan berperan aktif terhadap gerakan pengembangan pangan lokal asli Banten untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras.

1.9.2Jenis Data

1. Data Primer

Data yang diperoleh dari sumber pertama baik individu maupun kelompok. Dalam penelitian ini, data primer dilakukan dengan melakukan survei langsung kepada sumber pertama. Lalu data primer tersebut diolah lebih lanjut menjadi bentuk-bentuk seperti tabel, grafik, diagram, gambar, dan sebagainya sehingga lebih jelas dalam membaca dan menganalisis data-data yang diberikan.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, atau bahan yang bersifat teoritis yang relevan dengan penelitian-penelitian buku, majalah, internet dan media lainnya.

BAB II

ISI

2.1Hasil Kuesioner

Pada penelitian ini telah disebarkan 100 kuesioner kepada masyarakat di daerah Gading Serpong yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu pelajar SMA, mahasiswa, pekerja muda, dan para ibu dan bapak yang sudah berumah tangga diperoleh data sebagai berikut.

Jumlah Responden

Kategori

Jumlah

Persentase

Pelajar SMA

17

18,5%

Mahasiswa

19

20,7%

Pekerja Muda

20

21,8%

Ibu-ibu

18

19,5%

Bapak-bapak

18

19,5%

Total

92

100%

Jumlah tidak valid : 8 responden (3 pelajar SMA, 1 mahasiswa, 2 ibu-ibu, dan 2 bapak-bapak).

2.2Analisis

Berikut ini adalah hasil analisis deskriptif dari setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner yang telah disebarkan.

1. Seberapa sering Anda makan nasi?

Analisis: Berdasarkan hasil data kuesioner kepada 92 responden, sebanyak 92% responden makan nasi lebih dari sama dengan 2 kali sehari sedangkan hanya terdapat 8% responden yang makan nasi kurang dari 2 kali sehari. Ini menunjukkan bahwa mayoritas responden lebih memilih untuk makan nasi untuk pemenuhan kebutuhan energi harian mereka. Masyarakat Indonesia telah menanamkan pola pikir bahwa dalam satu hari harus makan nasi lebih dari dua kali yaitu saat sarapan, makan siang, dan makan malam, bahkan ada beberapa orang menyatakan bahwa mereka makan nasi hingga 4 kali sehari yaitu sarapan, makan siang, makan sore, dan makan malam. Di sisi lain, ada masyarakat yang memilih untuk makan nasi kurang dari 2 kali sehari karena permasalahan ekonomi keluarga serta pengaruh budaya luar negeri.

2. Mengapa Anda tidak sering mengonsumsi nasi?

Analisis: dari 7 responden yang memilih makan nasi kurang dari 2 kali sehari, 43% responden mengatakan bahwa mereka sedang diet, 14% responden makan nasi kurang dari 2 kali sehari karena kebiasaan sejak kecil, dan 43% responden memberi pendapat lain, seperti: lebih suka makan western food atau makanan luar negeri lain karena pengaruh budaya luar negeri. Makanan western food dianggap sebagai trend yang masuk ke Indonesia seperti makan roti atau sereal ketika sarapan, adanya pola diet yang menganjurkan makan nasi dengan jumlah yang sedikit atau mengganti nasi dengan makanan lainnya.

3. Makanan apa yang biasa Anda konsumsi selain nasi?

Analisis: 7 responden yang mengonsumsi nasi kurang dari dua kali sehari punya beberapa pilihan makanan lain untuk menggantikan nasi. Ketujuh responden ini juga cenderung mengonsumsi makanan non lokal seperti roti dan sereal dibandingkan makanan lokal. Tidak ada responden yang memilih makanan lokal. Responden yang memilih roti sebanyak 14%, sereal sebanyak 43%, dan pilihan lain seperti: mie instan, mie ramen, spaghtetti, pizza, dsb. sebanyak 43%. Hasil ini menunjukkan bahwa responden lebih menyukai makanan non lokal (western food) untuk menggantikan nasi.

4. Jika nanti produksi beras menipis, apa yang akan Anda konsumsi?

Analisis: Berdasarkan data hasil kuesioner kepada 92 responden, diperoleh 37 responden (40%) memilih makanan lokal. Responden yang memilih roti sebanyak 35 orang (38%), sedangkan 13 responden (14%) memilih sereal, dan 7 responden (8%) memilih makanan lain. Sebagian besar responden memilih makanan lokal sebagai alternatif beras karena makanan lokal memiliki cita rasa yang lebih cocok dengan selera mereka. Anak SMA memilih untuk memakan makanan lokal sebagai pengganti nasi karena mereka memiliki waktu yang cukup untuk melakukan beberapa percobaan modifikasi makanan untuk memenuhi rasa penasaran mereka. Mahasiswa lebih memilih roti sebagai pengganti nasi karena lebih praktis, mudah ditemukan, dan dapat langsung dikonsumsi. Pekerja muda lebih ingin makan makanan lokal sebagai pengganti nasi karena mereka memiliki waktu yang cukup untuk mengolah makanan lokal setelah pulang kerja dan lebih ekonomis. Ibu-ibu memilih makanan lokal sebagai pengganti nasi karena lebih mudah diolah menjadi berbagai macam makanan seperti direbus, digoreng, dan berbagai macam teknik pengolahan makanan lainnya. Bapak-bapak lebih memilih roti untuk pengganti nasi karena roti lebih praktis, dapat langsung dikonsumsi, dan kebanyakan mereka tidak dapat masak sendiri untuk mengolah makanan lokal.

5. Apakah Anda tahu Talas Beneng adalah pangan lokal asli Banten?

`

Analisis: Berdasarkan data hasil kuesioner kepada 92 responden, terdapat 30 orang yang mengetahui Talas Beneng sebagai pangan lokal asli Banten yang terdiri dari 1 orang mahasiswa, 11 orang pekerja muda, 9 orang ibu, dan 10 orang bapak, sedangkan tidak ada satu pun anak SMA yang tahu Talas Beneng sebagai pangan lokal asli Banten. Mayoritas pekerja muda bekerja sebagai pedagang sedangkan bapak-bapak berasal dari perkampungan yang bekerja sebagai petani sehingga mereka yang paling banyak mengetahui Talas Beneng. Selain itu, ketidaktahuan masyarakat disebabkan karena masih minimnya sosialisasi pengenalan Talas Beneng kepada masyarakat sebagai pangan lokal asli Banten.

6. Jika diadakan Gerakan Sehari Tanpa Nasi (one day no rice), apakah Anda mau mencoba mengonsumsi produk olahan dari Talas Beneng sebagai pengganti nasi?

Analisis: Dari 92 orang yang disurvei, sebanyak 73 orang setuju untuk diadakannya Gerakan Sehari Tanpa Nasi (one day no rice) dan sebanyak 19 orang yang tidak setuju untuk diadakannya gerakan satu hari tanpa nasi. Dari 73 orang yang setuju ini, terdiri dari 13 orang anak SMA, 16 orang mahasiswa, 15 orang pekerja muda, 15 orang ibu, dan 14 orang bapak. Selain itu, 19 orang menjawab tidak setuju karena ketidaktahuan mengenai Talas Beneng itu sendiri dan mereka belum bisa membayangkan secara jelas bagaimana mekanisme dari gerakan tersebut. Namun, sebagian besar responden memilih setuju untuk diadakannya gerakan ini sehingga bisa dikatakan bahwa gerakan One Day No Rice mempunyai peluang besar untuk diselenggarakan.

7. Menurut Anda, strategi atau saran apa yang dapat mengurangi dan menekan jumlah impor beras?

Berikut merupakan beberapa saran dari para responden yang telah dirangkum:

· Pemerintah harus lebih memperhatikan para petani dan apa saja yang mereka butuhkan untuk meningkatkan produksi padi di Indonesia seperti: meningkatkan sarana produksi padi yakni pupuk subsidi, bibit berkualitas, teknologi yang modern (contoh: traktor dan pemanfaatan bioteknologi), serta mengupayakan perluasan lahan pertanian padi dengan agar dapat menghasilkan beras dengan jumlah yang besar dalam waktu yang singkat.

· Membuka peluang bagi perusahaan swasta untuk ikut serta dalam hal ketersediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

· Tidak mengalih-fungsikan lahan pertanian yang sudah ada menjadi gedung atau pabrik.

· Meningkatkan harga jual beras impor sehingga ketergantungan masyarakat untuk mengonsumsi beras dapat berkurang dan mulai mengonsumsi makanan lain sebagai makanan pokok.

· Mulai mengurangi kebiasaan memakan nasi sebagai makanan pokok menjadi mie, daging, sayur, buah, maupun makanan lokal lain khususnya Talas Beneng.

BAB III

PENUTUP

3.1Simpulan

Adapun simpulan dari penelitian ini adalah:

1. Swasembada beras yang diterapkan pada masa Orde Baru mengharuskan masyarakat untuk mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah impor beras ke Indonesia saat ini. Kondisi seperti ini dikarenakan semakin bertambahnya jumlah populasi penduduk Indonesia tanpa adanya peningkatan sarana dan prasarana produksi beras seperti: bibit unggul, pupuk subsidi, teknologi modern, serta perluasan lahan.

2. Masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Banten pada umumnya masih tergantung pada nasi sebagai makanan pokok dan sebagian kecil masyarakat tidak ingin mengganti nasi menjadi makanan lain.

3. Gerakan One Day One Rice dengan mengganti nasi menjadi produk olahan Talas Beneng dapat diterapkan guna meningkatkan konsumsi pangan lokal serta mengatasi permasalahan ketergantungan masyarakat pada beras dan menekan jumlah impor beras.

3.2Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah mengajak mahasiswa beserta keluarganya untuk mulai melakukan kegiatan one day no rice dan mengadakan penyuluhan serta sosialisasi kepada masyarakat untuk mulai mengonsumsi pangan selain nasi untuk mengurangi ketergantungan impor beras di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, D. (2010). Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-rata Produksi, dan Jumlah Konsumsi Beras terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah. Semarang: Universitas Diponegoro.

Alim, T. (2015, April 29). Talas Beneng (Xanthosoma undipes K. Koch) asal Juhut Pandeglang Banten. Retrieved from Biologi-sel.com: http://www.biologi-sel.com/2015/04/talas-beneng-xanthosoma-undipes-k-koch.html

Anggraeni, R. (2013). Politik Beras di Indonesia pada Masa Orde Baru. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Anonim. (2005). Geostrategi Indonesia. 152.

Hasyim, H. (2007). Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Herm. (2012, Agustus 1). Implementasi Konsepsi Wawasan Nusantara dalam Kebijakan Sentra Pertanian dan Agrobisnis Dapat Meningkatkan Ketahanan Pangan. Retrieved Juni 17, 2015, from https://www.scribd.com/doc/104038077/Implementasi-Konsepsi-Wawasan-Nusantara-Dalam-Kebijakan-Sentra-Pertanian-Dan-Agrobisnis-Dapat-Meningkatkan-Ketahanan-Pangan#download

Kresna, A. A. (2010). Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan. Tangerang: Universitas Pelita Harapan.

Nurcahyati, E. (2010, Juni 2). Banten Kembangkan Talas Beneng sebagai Potensi Pangan Lokal. Retrieved Juni 13, 2015, from http://banten.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=232&Itemid=12

Rangkuti, K. (2011, April 12). Sejarah. Retrieved Mei 17, 2015, from http://www.kompasiana.com/nisarangkuti/swasembada-beras-pada-masa-orde-baru-sebuah-perspektif-dari-sisi-enforcement-negara_5500ae248133116619fa7b90

Suprapto, H., & Nurlaila, A. (2009, Maret 3). Produksi Beras Indonesia Tertinggi di ASEAN. Retrieved from Viva.co.id: http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/35619-produksi_beras_indonesia_tertinggi_di_asean

Supriatna, N. (2006). Sejarah. Bandung: Grafindo Media Pratama. Y.T.Prasetiyo. (2002). Budi Daya Padi Sawah TOT (Tanpa Olah Tanah). Yogyakarta: Kanisius.

LAMPIRAN

FOTO

KETERANGAN

Foto diambil saat menyebarkan kuesioner ke pekerja muda

Foto ini diambil saat menyebarkan kuesioner ke pekerja muda

Foto ini diambil saat menyebarkan kuesioner ke Karyawan Bank Papua di kawasan Ruko Bolsena

Foto ini diambil saat menyebarkan kuesioner ke Bapak dan Ibu di Curug Sangereng

Foto ini diambil saat menyebarkan kuesioner ke mahasiswa di UMN

CONTOH KUESIONER

1