noviyaningsih.files.wordpress.com · web viewdi kalangan jumhur ulama terdapat keyakinan bahwa...
TRANSCRIPT
MAKALAH
USHUL FIQH TENTANG QIYASMakalah ini diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “ Ushul Fiqh”
Dosen Pengampu : Homaidi, S.Ag., M.Ag
Disusun Oleh:
WAHYU DWI ARIANTI 20130720011
MUNIKA SULISTYA NINGRUM 20130720021
NOVIYANINGSIH 20130720032
TITA KASWATI 20130720040
MUTHIAH ALIBAS 20130720044
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSUTAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
1
PENDAHULUAN
Di kalangan jumhur ulama terdapat keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan
Allah SWT hukumnya. Hanya saja, hukum tersebut ada yang telah ditegaskan secara jelas
oleh Allah, baik melalui Al-Qur’an maupun sunnah tetapi sebagian yang lain ada yang
ketentuan hukunnya tersembunyi di dalan nash itu sendiri. Manusialah yang harus berupaya
menemukan hukum yang tersembunyi itu, melalui nalar mereka.
Menurut Jumhur, pada dasarnya ada dua cara penetapan hukum syara’.
Pertama, melelui nash secara langsung. Sedangkan kedua melalui penalaran terhadap nash,
baik Al-Qur’an maupun sunnah. Meskipun hakikatnya kedua cara penetapan hukum syara’
tersebut sama-sama tidak dapat menghadirkan menggunaan nalar, namun penggunaan nalar
pada kedua cara tersebut dapat dibedakan. Apabila pada cara yang pertama penggunaan nalar
sebatas memahami kandungan makna yang dimaksudkan dari suatu teks nash itu sendiri,
maka penggunaan nalar pada cara yang kedua adalah menemukan motif dari suatu nash
dalam menentukan hukum tertentu, kemudian motif ini dijadiksn dasar dalam menetapkan
hukum lain yang tidak ada nash tertentu yang mengaturnya, karena adanya kesamaan motf
pada kasus hukum tersebut. Inilah sesungguhnya yang dimaksudkan penetapan hukum
melalui qiyas.
2
PEMBAHASAN
1. Pengertian QiyasKata qiyas sacara termologis berarti qadr (ukuran, bandingan), adapun secara
termologis, terdapat beberapa definisi qiyas yang dirumuskan ulama, diantaranua adalah;
Menurut Ibnu as-Subki, qiyas adalah menyamakan hukum dengan sesuatu yang lain
karena adanya kesamaam ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.
Menurut al-Amidi qiyas adalah keserupaan antara cabang dan asal pada ‘‘illah hukum
asal menurut pandangan mujtahid dari segi kepastian terdapatnya hukum asal tersebut pada
cabang.
Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas adalah menghubungkan suatu masalah
yang tidak terdapat nashsh syara tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat
nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘‘illah hukum.1
Adapun pengertian dari buku lain bahwa qiyas adalah menyamakan ketentuan hukun
suatu kasus yang tidak disebutkan dalam nash, dengan ketentuan hukum suatu kasus yang
disebutkan dalam nash, kerana keduanya memiliki ‘‘illah atau kuasa hukum yang sama.2
Atau qiyas dalam istilah ushul yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya
dalam peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya, dalam hal hukum yang terdapat nash
untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini.3
Qiyas menurut bahasa arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur,
seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama,
bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas berarti juga mengukur,
seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur lainnya. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaanya.
Menurut para ulama Ushul Fiqh (Ushul al-Fiqh), ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau perisriwa yang tidak ada dasar nash (teks)nya dengan cara membandingkan
kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.4
1 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010, hlm 162.2Homaidi Hamid, Ushul Fiqh, 2013, hlm 97.3 Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, 1990, hlm 584 Muhsin Hariyanto, Bahan Ajar Kuliah Ushul Fikih , 2013hlm 68.
3
Sebagai contoh al-Qur’an menetapkan keharaman meminum khamer, karena khamer
itu memabukan, sebagaimana dalam Q.S. al-Maidah ayat 90.
2. Dalil kehujjahan QiyasJumhur ulama menerima qiyas sebagai dalil hukum syara’. Mereka menggunakan qiyas
dalam hal- hal yang tidak terdapat hukumnya di dalam Al- qur’an dan as- sunnah dan dalam
ijma’ ulama. Dalam menggunakan qiyas mereka menggunakanya secara wajar dan tidak
berlebihan.
Jumhur ulama menerima qiyas dengan dalil- dalil yang kuat. Dalil yang digunakan
jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’ terdapat dalam Al- qur’an dan as-
sunnah, juga fatwa sahabat dengan alasan rasional.
a. Al-Qur’an
Ayat Al- qur’an yang memberikan petunjuk tentang qiyas yaitu terdapat dalam Q.S.
Yasin: 78- 79
قل رميم وهي العظام يحى من قال خلقه ونسى مثلا لنا وضرب
عليم خلق بكل وهو ة مر أنشأهآأول ذي ال يحييها“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia
berkata:"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang hancur telah luluh?"
Katakanlah:"Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan
Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk”.
Dalam ayat ini Allah SWT menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang
belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuannya dalam menciptakan
tulang belulang pertama kali. Disini dapat diketahui bahwa Allah SWT menyamakan
menghidupkan tulang belulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.
Ayat kedua yang dijadikan dalil qiyas oleh jumhur ulama yaitu:
الحشر لأول ديارهم من الكتاب أهل من كفروا ذين ال أخرج ذي ال هو
الله فأتاهم الله من حصونهم مانعتهم هم أن وا وظن يخرجوا أن ماظننتم
بأيديهم بيوتهم يخربون عب الر قلوبهم في وقذف يحتسبوا لم حيث من
الأبصار يآأولى فاعتبروا المؤمنين وأيدي“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
merekap ada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka
4
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat
mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan
ke dalam hati mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang beriman. Maka
amb’illah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”.(Q.S. al-Hasyr 59:2)
Jumhur ulama memahami kalimat فاعتبروا sebagai perintah menggunakan qiyas.
Karena perintah untuk mengambil pelajaran berarti pengakuan terhadap sunnatullah atau
hokum alam, yaitu kejadian yang terjadi pada suatu akan terjadi pula pada yang serupa. Apa
yang menimpa ahlikitab (Yahudi Bani Nadlir) yang diusir dari Madinah dapat menimpa
kelompok lain jika melakukan hal yang sama. Firman Allah SWT yaitu:
منكم الأمر وأولى سول الر وأطيعوا الله أطيعوا ءامنوا ذين ال ها ياأيبالله تؤمنون كنتم إن سول والر الله إلى فردوه شىء في تنازعتم فإن
تأويلا وأحسن خير ذلك الأخر واليوم“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q.S. An-Nisa’ {4}:59)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang- orang beriman jika berselisih tentang
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam ketentuan Allah, Rasulullah, dan ulil Amri
untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah SWT dan Rasulullah. Mengembalikan sesuatu
kepada Allah dan Rasulullah mencakup semua perbuatan yang layak disebut
mengembalikannya pada Allah dan Rasulullah. Menyamakan ketentuan hukum suatu kasus
yang tidak disebutkan dalam nash, dengan ketentuan hukum yang disebutkan dalm nash,
karena kedua kasus memiliki ‘‘illah yang sama, termasuk mengembalikan masalah kepada
Allah dan Rasulullah.
b. Al-Hadist
Sedangkan dalil sunnah yang dijadikan dasar qiyas yaitu
“Dari kelompok penduduk Himsha dari teman- teman Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah
ketika hendak mengurus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya:” Bagaimana engkau
5
menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara?” Mu’adz menjawab,”
saya akan menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah. Nabi bertanya lagi: Bila engkau tidak
menemukan dalam kitab Allah?” Jawab Mu’adz,” dengan sunnah Rasulullah SAW,” Nabi
bertanya lagi,” kalau dalam sunnah engkau juga tidak menemukannya?” Mu’adz menjawab,”
saya akan menggukan ijtihad dengan nalar( ra’yu) saya. Nabi bersabda: segala puji bagi Allah
yang telah memberikan tuafik kepada utusan Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh
Rasulullah”. (H.R. Abu Daud).
Menurut jumhur ulama hadist tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat tentang
kedudukan qiyas sebagai dalil syara’. Sebab qiyas merupakan salah satu metode ijtihad.
Rasullah mencontohkan penggunaan qiyas dalam menetapkan hukum islam. Misalnya
ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang apakah seorang anak harus meng-qadla’
puasa ibunya yang telah meninggal dunia sebagaimana dalam hadist berikut ini
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
فقالت م وسل عليه الله صلى بي الن إلى امرأةجاءت أن اس عب ابن عن
دين أمك على لوكان عنهافقال شهرأفأقضيه أمهاصوم على كان ه إن
يقضى أن أحق فدينالله قال نعم قالت قاضيته أكنت
“Dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita menghadap Rasulullah dan bertanya tentang
kewajiban puasa ibunya selama sebulan yang belum ditunaikan ibunya itu: “Apakah saya
dapat melaksanakannya atas namanya? Maka Rasulullah balik bertanya: “Jika Ibumu
mempunyai utang, apakah anda akan membayarnya?” Wahai wanita itu menjawab:
“Benar” Rasulullah bersabda: “Utang kepada Allah lebih berhak dilunasi”.
Menurut ulama ushul fiqh, dalam hadis ini Rasulullah meng-qiyas-kan hukum hutang
kepada Allah pada hutang terhadap manusia, yaitu sama- sama wajib dilunasi.
c. Atsar ash-Shahabi
Adapun mengenai dalil Qiyas yang berasal dari atsar ash-shahabi, antara lain, ialah
sebagai berikut:
1. Pengangkatan Abu Bakr, menjadi Khalifah pertama dalam Islam.
Ketika hendak membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, salah seorang sahabat
mengatakan:” Rasulullah menyetujui Abu Bakar dalam urusan agama kita,
apakah kita tak menyetujuinya dalam urusan dunia kita?
6
Dalam hal ini sahabat meng-qiyas-kan khalifah pada imam dalam shalat. Yaitu semasa
hidup nabi, nabi menyetujui Abu Bakar menjadi imam shalat, menggantikan beliau yang
sedang sakit. Jika dalam urusan agama saja nabi menyetujui Abu Bakar sebagai pemimpin,
adalah aneh jika umat islam tidak menyetujui Abu Bakar menjadi pemimpin dalam urusan
dunia, yaitu sebagai khalifah.
2. Surat Umar kepada Abu Musa
Kitab Abu Musa asy-Asy’ari diangkat oleh Khalifah kedua, Umar bin al-
Khaththab, menjadi hakim di Yaman, Umar memberikan arahan kepadanya
tentang langkah-langkah yang perlu diambil dalam memutuskan perkara-
perkara yang diajukan kepadanya, terutama perkara-perkara yang tidak
terdapat ketentuan nashsh yang mengaturnya secara jelas. Dalam hal ini Umar
berkirim Surat, yang isinya antara lain:
القران فى يبلغك ممالم صدرك فى فيمايغتلج الفهم الفهم
واعمد الأمورعندذلك قس ثم والأشباه الأمثال ةاعرف ن والس
وأشبههافيماترى الله هاإلى أحب إلى“Pahamilah sebaik-baik maslah-masalah yang membuat hatimu ragu dan
gelisah karena masalah tersebut tidak sampai informasinya kepadmu (tidak
engkau temukan), baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah.Kenalilah sebaik-
baik masalah-masalah yang serupa dan mirip dengan ketentuan yang telah ada,
kemudian qiyas-kanlah (kepadanya) masalah yang engkau hadapi.Kemudian
tetapkanlah hukum berdasarkan yang paling disukai Allah dan yang paling
mirip dengannya diantara pendapatmu yang ada”.
Surat Umar diatas menegaskan perintah kepada Abu Musa Al-Asy’ari, ketika ia tidak
menemukan aturan nashsh dari suatu masalah hukum yang dihadapinya, untuk meng-
qiyaskan hukum masalah tersebut kepada hukum masalah serupa yang terdapat dalam nashsh
Al-Qur’an ataupun Sunnah yang mengaturnya, karena kesamaan ‘Illah antara keduanya.
d. Logika
Ada dalil al-qiyas yang berasal dari logika, setidak-tidaknya dapt diuraikan dari dua
sisi sebagai berikut:
Pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan Allah selalu rasional, dapat
dipahami tujuannya, dan didasarkan pada ‘illah untuk mencapai kemashalatan.Tidak ada satu
hukum pun dalam Islam yang tidak terdapat kemashalatan manusia didalamnya, baik
kemashalatan di dunia maupun diakhirat.
7
Kedua, sebagai orang pertama yang secara sistematis menguraikan kedudukan qiyas
sebagai dalil hukum, menegaskan bahwa di dalam Islam, semua peristiwa ada
hukumnya.Sebab, syariat Islam bersifat umum, mencakup dan mengatur semua peristiwa ada
hukum, baik peristiwa itu sesuatu yang baik maupun yang buruk, yang dilarang maupun yang
diperbolehkan.
Dengan cara Qiyas lah syariat Islam menjadi tetap relavan pada setiap waktu dan
tempat, dapat memenuhi semua kebutuhan dan kemaslahatan hukum manusia. Menolak
Qiyas sebagi dalil hukum sama artinya dengan menuduh Islam sebagai syariat yang stagnan
dan jumud, serta mencela Islam sebagai agama yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
manusia terhadap hukum.
3. Alasan Golongan Yang Tidak Menerima QiyasAda segolongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang
mereka kemukakan, ialah:
1. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan
‘‘illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT
melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasarkan firman Allah
SWT:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggung jawabannya.” (Q.S AL-Isra’: 36)
2. Sebagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata
berdasarkan akal, pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khatab:
فقالوا ها انيحثو الحاديث اليتهم السنن اعداء فانهم الراي واصحاب اياكمواضلوا فضلوا بالراي
“Jauhilah oleh kamu golongan rasionalis. Karena mereka adalah musuh ahli
sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghafal hadis- hadis, lalu mereka
menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan
orang.”( syarah tahqih al- fushul, juz II, 113)
Jika diperhatikan alasan- alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar
hujjah akan terdapat hal- hal yang perlu diperhatikan dalam surat As- Isra’, tidak
8
berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin
memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat- ayat sebelumnya
diterangkan hal- hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan
sukatan, perintah allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh allah
melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain.
Sedang penegasan Umar bin Khattab berlawanan dengan isi suratnya kepada Mu’adz bin
Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan umar diatas memperingatkan
orang- orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari
nash- nash yang ada dan tidak menjadikan al- qur’an dan hadis sebagai pedoman rasionya di
dalam proses dan menetapkan hukum atas masalah- masalah hukum yang baru.
Golongan rasionalis yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang
menomor satukan rasio, terlepas dari Al- Qur’an dan Hadis, sehingga kedudukan Al- Qur’an
bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampingkannya sama sekali.
Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan rasional (Ahl Al- Ra’y) yang dikecam umar
bin khattab tersebut tidak berfikir secara islami. Apalagi kaum nasionalis tersebut tidak
melepaskan diri dari subjektifitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat umar
kepada mu’adz membolehkan untuk melakukan qiyas, jika tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
4. Rukun-Rukun dan Syarat-syarat Qiyasa. Rukun-rukun Qiyas
Rukun-rukun qiyas ada 4, yaitu:
1) Al-Ashlu ) ( yaituالأصل kasus yang ketentuan hukumnya disebutkan dalam nash.
Misalnya khamer (minuman memabukkan terbuat dari perasan anggur). Istilah lain
yaitu عليه المقيس2) Al-Far’u ( الفرع )yaitu kasus yang ketentuan hukumnya tidak diatur dalam nash, dan
hendak di-qiyas-kan pada al-ashlu. Misalnya bir, wiski, dan lain-lain. Istilah lain yaitu
المقيس3) Hukum al-ashli ( الأصل yaitu hukum yang ditetapkan nash terhadap(حكم al-ashlu,
seperti haramnya khamer.
4) ‘llah yaitu sifat yang menjadi landasan penetapan hukum syar’I, seperti sifat(العلة)
memabukkan pada khamer.5
5Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60.
9
b. Syarat-syarat Qiyas
Syarat-syarat qiyas terkait dengan masing-masing rukun.
1) Syarat al-ashlu) ( الأصلSyarat al-ashlu hanya satu, yaitu berupa kasus yang ketentuan hukumnya telah
ditetapkan oleh nash.
2) Syarat al-far’u
Syarat al-far’u juga satu, yaitu berupa kasus yang ketentuan hukumnya tidak
ditetapkan oleh nash, dan hendak diberi ketentuan hukum sama dengan kasus yang
ditetapkan oleh nash. Kasus yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash tidak boleh
di-qiyas-kan pada kasus lain.
3) Syarat-syarat hukm al-asli ( الأصل (حكم
Syarat-syarat hukm al-asli agar dapat diperluas jangkauannya pada al-far’u adalah
sebagai berikut:
a) Berupa hukum syar’at amaliah (yang mengatur perbuatan manusia) yang
ditetapkan oleh nash atau ijmak. Hukum yang ditetapkan dengan qiyas tidak
boleh diberlakukan pada kasus lain yang tidak diatur dalam nash. Misalnya
khamer hukumnya haram berdasarkan nash. Keharaman khamer dapat
diberlakukan pada kasusu lain yang memabukkan, misalnya wiski. Keharaman
wiski tidak boleh diberlakukan pada vodka. Dengan kata lain vodka tidak
boleh diqiyaskan pada wiski, tapi harus di-qiyas-kan pada kasus yang
ditetapkan berdasarkan nash, yaitu khamer.
b) Berupa hukum yang ma’qul al-ma’na/ta’aqquli (‘‘illah-nya bisa dijangkau
olah akal fikiran). Dengan demikian qiyas tidak belaku pada hukum yang
‘‘illah-nya tidak bis dijangkau olah akal fikiran (ta’abbudi). Hukum ta’abbudi
mencakup ibadah mahdlah dan muamalah muqaddarat. Qiyas berlaku di luar
hukum ta’abbudi.
c) Hukumnya tidak berlaku khusus untuk al-ashlu. Hal ini karena dalam qiyas,
hukum yang terdapat pada al-ashlu hendak diberlakukan pada kasus lain yang
tidak diatur dalam nash. Hukm al-ashli menjadi terbatas karena dua alasan.
Pertama, ‘‘illah dari hukm al-ashli tidak tergambar adanya di luar al-ashlu.
Misalnya rukhshah qasar salat bagi musafir.6 Ini ta’aqquli karena dapat
menolak kesulitan. Tetapi ‘‘illah-nya yaitu safar/bepergian tidak 6Berdasarkan ayat :
10
tergambarkan selain menempuh jarak. Kedua, ada dalil yang menunjukkan
bahwa hukm al-ashli itu berlaku khusus. Misalnya adanya dalil bahwa hukum
itu berlaku khusus pada nabi seperti memiliki lebih dari 4 isteri dalam waktu
bersamaan, juga isteri-isteri nabi tidak boleh dinikahi siapapun setelah
wafatnya beliau.7
Syarat-syarat ‘‘illah
Syarat-syarat ‘‘illah adalah sebagai berikut:
a) Berupa sifat yang konkrit, tidak abstrak. Maksudnya, ‘‘illah itu harus berupa
sifat yang bisa diamati panca indera. Misalnya ‘‘illah terjadinya perpindahan
hak milik dalam akad jual beli adalah terjadinya akad ijab qabul, bukan
kerelaan di hati kedua belah pihak.
b) Berupapat sifat yang memiliki ukuran yang pasti sehingga keberadaannya
dalam far’u dipastikan dapat diketahui oleh banyak orang. Misalnya ‘illah
bolehnya membatalkan puasa bagi seorang musafir adalah perjalannanya
(safar), bukan untuk menolak kesulitan.
c) Berupa sifat yang mengandung munasabah (efektifitas hukum): Artinya ‘‘illah
itu berupa sifat yang menjadi indicator (mazhinnah) untuk mewujudkan
hikmah hukum. Misalnya ‘‘illah diharamkannya khamer adalah karena
khamer itu memabukkan. Sesuatu yang memabukkan diharamkan, hikmahnya
adalah untuk memelihara akal pikiran.
d) Sifatnya tidak terbatas pada al ashlu. Misalnya khamer haram bukan karena
terbuat dari anggur. Karena jika ‘‘illah-nya terbuat dari anggur, tak bisa
diberlakukan pada miras diluar anggur.8
أن خفتم إن الصلاة من تقصروا أن جناح عليكم فليس الأرض في ضربتم وإذا
مبينا عدو لكم كانوا الكافرين إن كفروا ذين ال يفتنكم“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu”.(Q.S An-
Nisa’: 101)
7Berdasarkan ayat:رسول تؤذوا أن لكم أبدا وماكان بعده من أزواجه تنكحوا ولآأن الله ... …
Artinya:…”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat”. (Q.S Al-Ahzab: 53)
8Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, 61-67.
11
5. Masalik al-‘‘illahMasalik al-‘‘illah ( العلة adalah(مسالك metode untuk menentukan ‘‘illah hukum
syar’i. Ada tiga metode untuk menentukan ‘‘illah hukum, yaitu:
a. Nash, maksudnya nash/teks (Quran/hadis) sendiri telah menentukan ‘‘illah
suatu hukum syar’I, baik secara tersurat atau tersirat.
1) Nash tersurat maksudnya, nash secara bahasa, telah menetapkan
‘‘illah hukum, baik secara qat’I (pasti) atau zhanni (dugaan kuat).
a) Tersurat qat’i, maksudnya bunyi lafal menetapkan ‘illah
hukum secara pasti, tidak bisa diberi arti lain.
b) Tersurat zhanni, maksudnya nash menetapkan ‘‘illah hukum
tertentu, tetapi menggunakan lafal yang mengandung
kemungkinan makna lain selain ‘‘illah.
2) Nash tersirat, maksudnya nash menetapkan ‘illah hukum tidak
menggunakan lafal atau huruf yang berarti ‘‘illah, tetapi ‘‘illah itu
bisa dipahami dari konteksnya. Contoh:
لدارقطني شيئارواه لقاتل ا يرث لا عا مرفو اس عب ابن حديثHadis marfu’ riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda:
pembunuh tidak mendapatkan harta warisan sedikurpun. (H.R. ad-
Daruquthnni).
‘‘illah dari terhalangnya pembunuh menerima warisan dipahami dari
konteksnya, yaitu terburu-buru untuk mendapatkan warisan sebelum
waktunya, maka dihukum dengan tidak mendapatkannya.
b. Ijmak, maksudnya ‘‘illah hukum ditetapkan berdasarkan ijmak. Misalnya
telah terjadi ijmak ulama bahwa ‘‘illah perwalian terhadap harta anak
perempuan adalah karena kekanak-kanakannya, bukan karena perempuan
atau karena gadis. Karena itu, menurut Hanafiyah, perwalian nikah
diberlakukan pada anak-anak dikiaskan pada perwalian terhadap hartanya.
Hanya saja klaim ijmak ini dapat dipertanyakan, bagaimana mungkin terjadi
ijmak tentang ‘‘illah hukum sementara kiasnya sendiri tidak disepakati
kehujjahannya, yaitu ditolak oleh kalangan Zhahiriyah.
c. As-sibru wat-taqsim (السبروالتقسيم)As-sibru artinya menguji sifat-sifat yang ada dengan empat kriteria
‘‘illah, dengan cara menyisihkan yang tidak sesuai dan mempertahankan
12
yang sesuai. Sedangkan At-taqsim artinya membatasi sifat-sifat yang ada
pasa al-sshlu yang layak untuk menjadi ‘ollah hukum. Dalam prakteknya, at-
taqsim didahulukan daripada as-sibru. Jadi As-aibru wa-taqsim adalah
membatasi sifat-sifat yang ada pasa al-ashlu yang layak untuk menjadi ‘‘illah
hukukm kemudian menguji sifat-sifat yang ada dengan empat kriteria ‘‘illah,
dengan cara menyisihkan yang tidak sesuai dan mempertahankan yang
sesuai.
Contoh: Nash Al-Qur’an mengharamkan khamer tanpa menyebut
‘‘illahnya, maka ‘‘illah hukumnya ditetapkan dengan as-sibru wat-taqsim.At-
taqsim: yaitu membatasi sifat-sifat khamer yang mungkin menjadi ‘‘illah,
yaitu: karena terbuat dari anggur atau kurma, karena cair, atau karena
memabukan.
As-sibru: yaitu menguji sifat-sifat tersebut dengan empat kriteria
‘‘illah. Sifat pertama (terbuat dari anggur/kurma) ditolak karena hukum jadi
terbatas tidak bisa diperluas jangkauannya, padahal tujuan qiyas untuk
memperluas jangkauan hukum nash pada kasus di luar nash. Lagi pila makan
anggur dan korma halal, tidak logis jika khamer diharamkan karena terbuat
dari dua jenis buah tersebut. Sifat kedua karena cair, juga di tolak karena
tidak memiliki munasabah (efektifitas hukum), tak ada hubungan logis antar
cair dengan pengharaman. Pengharaman benda cair tidak dapat mewujudkan
hikmah hukum apapun. Lagi pula banyak benda cair dihalalkan, maka tinggal
sifat ketiga yaitu memabukan. Sifat memabukan ini diterima sebagai ‘illah
karena telah memiliki empat kriteria ‘‘illah yaitu konkrit, pasti dan terukur.
Memiliki munasabah, dan tidak terbatas pada ashlu.
6. Macam-Macam Qiyas Macam-macam qiyas dapat dilihat dari dua segi, yaitu; qiyas dari segi perbandingan
kekuatan antara ‘‘illah yang terdapat pada ashl (pokok) dengan yang terdapat pada far’u
(cabang), dibagi menjadi qiyas aula, qiyas musawi, qiyas adna.
a. Qiyas aula, yaitu qiyas dimana ‘‘illah yang terdapat pada far’u lebih dari pada
‘‘illah yang terdapat pada ashl. sebagai contoh, firman Allah pada surah Al-Isra’
(17):22:
13
عندك إمايبلخن إحسنا وبالولدين ه إيا واإلا تعبد ألا ك رب وقضى
ولاتنهرهماوقل أف هما ل تقل الكبرأحدهماأوكلاهمافلا
هماقولاكريما ل“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada Ibu Bapakmu dengan sebaik-
naiknya. Apabila salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur laanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
‘Illah larangan mengatakan “ah” kepada kedua orang tua yang terdapat pada
ayat diatas, yang kedudukannya sebagai al-ashl adalah menyakiti. Sebagai Al-
Far’u, memukul orang tua juga menyakiti, bahkan sifatnya lebih kuat dan lebih
besar dari pada sifat menyakiti yang terdapat pada al-ashl. Oleh karena itu,
hukum larangan menyakiti lebih utama diterapkan pada al-Far’u.
b. Qiyas musawi, yaitu dimana ‘‘illah terdapat pada far’u sederajat dengan ‘‘illah
yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman Allah pada surah An-Nisa’ (4):10
بتونهم فى مايأكلون ظلماإن اليتمى أمرل يأكلون ذين ال إن
سعيرا ناراوسيصلون“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
‘Illah larangan memakan harta anak yatim sebagia al-ashl pada ayat di atas
ialah, karena perbuatan itu merugikan anak yatim. Sebagai Al-Far’u juga
melahirkan dampak yang sama, yaitu merugikan anak yatim. Oleh karena itu,
perbuatan membakar atau merusak harta anak yatim juga dilarang, karena
‘‘illahnya sama, yaitu sama-sama merugikan anak yatim.
c. Qiyas adna, yaitu qiyas dimana ‘‘illah yang terdapat pada far’u lebih rendah padi
pada ‘‘illah yang terdeapat pada ashl. Misalnya mengqiyaskan hukum meminum
bir pada hukum meminum khamer, karena memabukan. Sebab sifat memabukan
bir lebih rendah daripada khamer.
14
Qiyas ditinjau dari segi jelas tidaknya ‘‘illah, dibagi menjadi dua; qiyas Jali, qiyas
khafi.
a. Qiyas jali, yaitu qiyas yang ‘‘illahnya ditetapkan oleh nash, atau tidak ditetapkan
oleh nash, tapi dipastikan tidak ada perbedaan antara ‘illha yang terdapat pada ashl
dan far’u. Mencakup qiyas aula dam qiyas musawi.
Contohnya suatu qiyas yang ‘‘illah hukumnya bersifat nyata karena ditetapkan
oleh nash Al-Qur’an memerintahkan berbuat baik kepada kedua orang tua dan
jangan mengatakan”ah” kepada keduanya. Hukum memukul kedua orang tua di
Qiyaskan kepada larangan tersebut karena adanya kesamaan ‘‘illah yaitu, sama-
sama menyakiti, bahkan memukul lebih utama (awla) untuk dilarang dari pada
menyatakan ah.
Contoh suatu qiyas yang ‘‘illahnya tidak ditetapkan didalam nashsh, tetapi tidak
ada kebersamaan untuk mengetahui persamaan ‘‘illah itu didalam al-ashl dan al-
far’umengQiyaskan bolehnya meng-Qashr shalat bagi wanita yang sedang dalam
perjalanan, sebagai al-far’u, kepada bolehnya laki-laki meng-Qashr shalat sebagai
al-ashl. Tidak ada kesamaran untuk mengetahui bahwa ‘‘illah qashr shalat adalah
karena dalam perjalanan, bukan karena jenis kelamin. Karena itu tidak ada
kesamaran untuk meng-Qiyas kan bolehnya wanita melakukaknnya kepada
bolehnya laki-laki meng-Qashr shalat.
b. Qiyas khafi, yaitu qiyas dimana kesamaan antara ‘‘illah yang terdapat pada far’u
dan ashl tidak bisa dipastikan, karena ‘‘illahnya digali dari hukum ashl. Misalnya
pengenaah hukum kisas terhadap pembunuhan dengan benda berat diqiyaskan pada
pembunuhan dengan benda tajam, kerana sama-sama pembunuhan sengaja dan
permusuhan, demikian pendapat jumhur. Menurut Abu Hanifah pembunuhan
dengan benda berat tidak dikenai qisas.9
PENUTUP Kesimpulan
Menurut para ulama Ushul Fiqh (Ushul al-Fiqh), qiyas ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau perisriwa yang tidak ada dasar nash (teks)nya dengan cara membandingkan
kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Maka qiyas
9Homaidi Hamid, Ushul Fiqh, 2013, hlm 108.
15
merupakan dalil syar’i yang dapat mencakup peristiwa-peristiwa lain yang tidak tercakup
oleh nash.
Daftar Pustaka
Dahlan, Abd Rahmah, 2010. Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah
Hamaid, Homaidi, 2013. Ushul Fiqh, Yogyakarta: Qmedia
Hariyanto, Muhsin, 2013. Bahan Ajar Mata Kuliah Ushul Fiqh, Yogyakarta:-
16
Khalaf, Abdul Wahab, 1990. Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta
17