sejarah tasbih dan hukumnya

25
Sejarah Tasbih Dan Hukumnya SEJARAH TASBIH DAN HUKUMNYA Oleh Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin Dzikrullah, merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya, dan diperintahkan untuk melakukannya sebanyak-banyaknya, sebagaimana firmanNya, artinya: Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. [Al Ahzab : 41] Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: َ انَ ك ُ ّ يِ بَ ّ لن ا يَ ّ لَ صُ َ ّ اِ هْ يَ لَ عَ مَ ّ لَ سَ وُ رُ كْ " ذَ يَ َ ّ ا يَ لَ عِ ّ لُ كِ هِ انَ يْ حَ ) ا"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya". [HR Bukhari dan Muslim]. Dzikir dibagi menjadi dua. Pertama, dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang tidak terkait dengan waktu, jumlah, tempat dan keadaan. Semua perbuatan dan perkataan yang bisa mengingatkan seseorang kepada Allah Jalla Jalaluhu, termasuk dalam dzikir jenis ini, seperti: membaca Al Qur’an, menuntut ilmu, dan lainnya. Seseorang bisa melakukan dzikir kapan saja, berapapun jumlahnya selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan dalam agama. Kedua, dzikir muqayyad. Yaitu dzikir yang terikat dengan tempat, seperti: dzikir di Arafah, di Multazam, ketika masuk dan keluar masjid, kamar mandi dan lainnya. Atau terikat dengan jumlah, waktu

Upload: aini-lutfi

Post on 08-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

SEJARAH TASBIH DAN HUKUMNYA

OlehUstadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin

Dzikrullah, merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya, dan diperintahkan untuk melakukannya sebanyak-banyaknya, sebagaimana firmanNya, artinya: Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. [Al Ahzab : 41]

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

�ان� �ي� ك ب ه� ص�لى الن �ه� الل �ي م� ع�ل ل �ر� و�س� �ذ�ك ه� ي �ل� ع�ل�ى الل �ه� ك �ان ي �ح� أ

"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya". [HR Bukhari dan Muslim].

Dzikir dibagi menjadi dua. Pertama, dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang tidak terkait dengan waktu, jumlah, tempat dan keadaan. Semua perbuatan dan perkataan yang bisa mengingatkan seseorang kepada Allah Jalla Jalaluhu, termasuk dalam dzikir jenis ini, seperti: membaca Al Qur’an, menuntut ilmu, dan lainnya. Seseorang bisa melakukan dzikir kapan saja, berapapun jumlahnya selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan dalam agama. Kedua, dzikir muqayyad. Yaitu dzikir yang terikat dengan tempat, seperti: dzikir di Arafah, di Multazam, ketika masuk dan keluar masjid, kamar mandi dan lainnya. Atau terikat dengan jumlah, waktu dan cara. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya juga terikat dengan tata cara yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara contoh dzikir yang terikat dengan jumlah, waktu dan cara, misalnya sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ح� م�ن� ب ه� س� �ر� ف�ي الل �ل� د�ب ة' ك *ا ص�ال� ث �ال� �ين� ث ث �ال� ه� و�ح�م�د� و�ث *ا الل ث �ال� �ين� ث ث �ال� ر� و�ث �ب ه� و�ك *ا الل ث �ال� �ين� ث ث �ال� �ل�ك� و�ث ع�ة0 ف�ت �س� ت

ع�ون� �س� �م�ام� و�ق�ال� و�ت �ة� ت �م�ائ �ه� ال� ال �ل �ال إ ه� إ ر�يك� ال� و�ح�د�ه� الل �ه� ش� �ه� ل �م�ل�ك� ل �ه� ال �ح�م�د� و�ل �ل� ع�ل�ى و�ه�و� ال ء' ك ي� ش�

ت� ق�د�ير0 �اه� غ�ف�ر� �ن� خ�ط�اي �ت� و�إ �ان �ل� ك �د� م�ث ب �ح�ر� ز� �ب ال

"Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, “alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la kulli syai-

Page 2: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

in qadir” ( �ه� ال� �ل �ال إ ه� إ ر�يك� ال� و�ح�د�ه� الل �ه� ش� �ه� ل �م�ل�ك� ل �ه� ال �ح�م�د� و�ل �ل� ع�ل�ى و�ه�و� ال ء' ك ي� ق�د�ير0 ش� ), akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan" [HR Muslim dari Abu Hurairah].

BAGAIMANA CARA RASULULLAH SHALALLLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENGHITUNG DZIKIR (SUBHAANALLAH, ALHAMDULILLAH DAN ALLAHU AKBAR) TERSEBUT? Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, salah satu anggota Majelis Kibaar Ulama di Saudi Arabia, ketika membahas masalah ini menyebutkan: Sudah tsabit (jelas dan ada) petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan keputusan (taqrir), bahwa beliau menghitung dzikir dengan jari tangannya, tidak pernah dengan yang lainnya. Demikian itulah yang diamalkan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari ini. Dan termasuk perbuatan yang secara turun-temurun dipraktikkan di kalangan umat, sebagai wujud iqtida’ (percontohan) mereka kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah cara yang sesuai dengan ruh Islam, yaitu menghendaki kemudahan dan bisa diamalkan oleh semua orang, kapan saja dan di mana pun tempatnya.[1]

Syaikh Athiyah Muhammad Salim, salah seorang mudarris (guru) di Masjid Nabawi, ketika membahas cara RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih tersebut, mencontohkannya dengan menggunakan tangan kanan dan menyatakan: Setiap jari tangan kita memiliki tiga ruas. Apabila setiap ruas mendapatkan satu tasbih, tahmid dan takbir, kemudian dikalikan lima, maka akan berjumlah lima belas dan diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga puluh, kemudian ditambah dengan satu jari hingga berjumlah tigapuluh tiga kali. Dan ini, selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

�ح� �ص�ب �ل� ع�ل�ى ي م�ى ك ال� �م� م�ن� س� �ح�د�ك �ل� ص�د�ق�ة0 أ �يح�ة' ف�ك ب �س� �ل� ص�د�ق�ة0 ت �ح�م�يد�ة' و�ك �ل� ص�د�ق�ة0 ت �ة' و�ك �يل �ه�ل ص�د�ق�ة0 ت �ل� ة' و�ك �ير� �ب �ك م�ر0 ص�د�ق�ة0 ت

� وف� و�أ �م�ع�ر� �ال �ه�ي0 ص�د�ق�ة0 ب �ر� ع�ن� و�ن �ك �م�ن �ج�ز�ئ� ص�د�ق�ة0 ال �ان� ذ�ل�ك� م�ن� و�ي �ع�ت ك �ع�ه�م�ا ر� ك �ر� م�ن� ي .الض�ح�ى

"Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha". [HR Bukhari dan Muslim].

Beliau (Syaikh Athiyah) tidak menyebutkan dalilnya harus dengan ruas jari [2]. Yang pasti, menurut beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung dzikirnya dengan jari tangannya, sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Umar, beliau berkata:

�ت� �ي أ س�ول� ر� ه� ر� ه� ص�لى الل �ه� الل �ي م� ع�ل ل �ع�ق�د� و�س� �يح� ي ب س� �ن� ق�ال� الت �ه� ق�د�ام�ة� اب �م�ين �ي ب .

"Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya". [3]

Saat sekarang ini, kita sering melihat -khususnya selesai shalat-, orang menghitung dzikirnya dengan menggunakan alat tasbih, yaitu semacam biji-bijian terbuat dari kayu, tulang atau lainnya yang dirangkai dengan benang atau tali, yang jumlahnya biasanya seratus biji. Orang Arab menyebutnya subhah, misbahah, tasaabih, nizaam, atau alat. Sementara orang-orang sufi menyebutnya al

Page 3: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), raabitatul qulub (pengikat hati), hablul washl atau sauth asy syaithan (cambuk syaitan). Karena dzikir merupakan bagian dari ibadah atau dianggap sebagai ibadah, maka kita harus mengetahui hukumnya, agar benar dalam mengamalkannya. Bagaimana hukum menggunakan alat-alat tersebut?

Sebenarnya, sudah banyak ulama yang menulis dan membahas hukum penggunaan alat tasbih untuk menghitung dzikir [4]. Menurut Syaikh Bakr Abu Dzaid, dari ulama yang terdahulu ataupun yang sekarang (kontemporer), yang pendapatnya bisa dijadikan sebagai hujjah, menunjukkan kesimpulan, bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang membolehkan menggunakan selain jari tangan untuk menghitung dzikir.

Terhitung ada tiga hadits yang sering dijadikan dalil bolehnya menggunakan alat tasbih untuk menghitung dzikir, diantaranya sebagai berikut:

Pertama: Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang berbunyi:

�ة� ع�ن� �ان �ن ة� م�و�ل�ى ك م�ع�ت� ق�ال ص�ف�ي ة� س� �ق�ول� ص�ف�ي س�ول� ع�ل�ي د�خ�ل� ت ه� ر� ه� ص�لى الل �ه� الل �ي م� ع�ل ل �ن� و�س� �ي �د�ي و�ب ي �ع�ة� ب ر�

� ف� أ �و�اة' آال� �ح� ن ب س�� �ه�ا أ �ق�د� ف�ق�ال� ب ح�ت� ل ب �ه�ذ�ه� س� �ال� ب �م�ك� أ �ع�ل �ر� أ �ث ك

� �أ ح�ت� م�ما ب ب �ه� س� �ل�ى ف�ق�ل�ت� ب �ي ب �م�ن ع�ل �ح�ان� ق�ول�ي ف�ق�ال� ب ه� س� �ق�ه� ع�د�د� الل ل �و ق�ال� خ� �ب �ع�ر�ف�ه� ال� غ�ر�يب0 ح�د�يث0 ه�ذ�ا ع�يس�ى أ ة� ح�د�يث� م�ن� ن �ال ص�ف�ي م�ن� إ �و�ج�ه� ه�ذ�ا � ح�د�يث� م�ن� ال �ن� ه�اش�م ع�يد' ب �وف�ي� س� �ك �س� ال �ي �اد�ه� و�ل ن �س� وف' إ �م�ع�ر� �اب و�ف�ي ب �ب �ن� ع�ن� ال اس' اب ع�ب

"Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian korma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah :

ان� �ح� ب ه� س� �ق�ه� ع�د�د� الل ل خ� . (Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu).” [5]

Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:

ه� ن� س�ول� م�ع� د�خ�ل� أ ه� ر� ه� ص�لى الل �ه� الل �ي م� ع�ل ل �ة' ع�ل�ى و�س� أ �ن� ام�ر� �ي �ه�ا و�ب �د�ي �و*ى ي و� ن

� �ح� ح�ص*ى ق�ال� أ ب �س� �ه� ت ف�ق�ال� ب �ال� ك� أ �ر� ب خ�

� �م�ا أ ر� ه�و� ب �س� �ي �ك� أ �ي و� ه�ذ�ا م�ن� ع�ل� �ف�ض�ل� أ �ح�ان� أ ب ه� س� م�اء� ف�ي خ�ل�ق� م�ا ع�د�د� الل �ح�ان� الس ب ه� و�س� ع�د�د� الل

ر�ض� ف�ي خ�ل�ق� م�ا� �ح�ان� األ� ب ه� و�س� �ن� م�ا ع�د�د� الل �ي �ح�ان� ذ�ل�ك� ب ب ه� و�س� ال�ق0 ه�و� م�ا ع�د�د� الل ه� خ� �ر� و�الل �ب ك

� �ل� أ ذ�ل�ك� م�ث

�ح�م�د� ه� و�ال �ل �ل� ل �ال ق�وة� و�ال� ح�و�ل� و�ال� ذ�ل�ك� م�ث ه� إ �الل �ل� ب �و ق�ال� ذ�ل�ك� م�ث �ب م�ن� غ�ر�يب0 ح�س�ن0 ح�د�يث0 و�ه�ذ�ا ع�يس�ى أ

ع�د' ح�د�يث� س� .

"Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: ه� �ر� الل �ب ك

� أ seperti itu, � �ح�م�د� ه� ال �ل ل

seperti itu, dan �ال ق�وة� و�ال� ح�و�ل� ال� ه� إ �الل ب seperti itu.” [6]

Ketiga : Hadits Abu Hurairah, ia berkata:

Page 4: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

�ان� ه� ص�لى ك �ه� الل �ي م� ع�ل ل �ح� و�س� ب �س� �ح�ص�ى ي �ال ب

"Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil." [7]

Jawaban dan bantahan terhadap ketiga riwayat di atas:Hadits Abu Hurairah sudah disepakati kepalsuannya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits Shafiyah dan riwayat Sa’id bin Abi Waqqash, seandainya dianggap shahih sanadnya dan bisa diterima, tetapi apakah kedua hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai tasbih untuk menghitung dzikir?.

Pada hadits Shafiyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempertanyakan perbuatan Shafiyah yang mengumpulkan biji-bijian di tangannya. Hal ini menunjukkan pengingkaran dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena ia melakukan perbuatan yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain. Itulah sebabnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkannya sesuatu yang lebih baik, yaitu lafadz tasbih yang benar. Karena, jika tindakan Shafiyah yang mengumpulkan bijian itu benar, mestinya tidak akan diingkari, bahkan ia akan dimotivasi untuk melanjutkannya atau paling tidak dibiarkan tetap melakukannya. Dengan demikian, sesungguhnya hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan dalil bolehnya menggunakan tasbih atau kerikil untuk menghitung dzikir.

Adapun hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang menyebutkan beliau melihat wanita yang memegang bijian untuk bertasbih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan sesuatu yang lebih mudah, yang akan dijarkan kepadanya dan lebih afdhal. Lafadz “afdhal” atau “aisar” (lebih mudah), bukan berarti yang lainnya itu baik atau mudah juga. Ushlub (metode) seperti ini sering dipakai dalam bahasa Arab, sebagaimana firman Allah :

ص�ح�اب�� ة� أ ن �ج� �ذ' ال �و�م�ئ �ر0 ي ي ا خ� dق�ر� ت ن� م�س� �ح�س� * و�أ م�ق�يال

"Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahatnya". [Al Furqon : 24].

Syaikh Abdurraman As Sa’di menyatakan,”Sesungguhnya, penggunaan isim tafdhil (menunjukkan yang lebih baik) pada sesuatu yang tidak terdapat pada yang kedua. Karena tidak ada kebaikan pada ahli neraka dan tempat tinggalnya, dibandingkan dengan neraka.” [8]

Contoh lainnya, juga sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.

�ر0 ء�آالله� ي ما خ�� �ون� أ ر�ك �ش� ي

"Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?" [An Naml : 59].

Apakah bisa disamakan kebaikan yang ada pada Allah, dengan yang ada pada sekutu-sekutuNya? Ini suatu kemustahilan.

BAGAIMANA SEJARAH MUNCULNYA ALAT TASBIH? DAN BAGAIMANA ALAT TERSEBUT BISA MASUK

Page 5: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

KE DUNIA ISLAM, HINGGA KEMUDIAN MENJADI BAGIAN DARI RITUAL IBADAH KAUM MUSLIMIN? Alat tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang [9]. Syaikh Bakr Abu Dzaid menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157, ringkasannya sebagai berikut:

Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil.

Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.

Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.

Ketika pada akhir masa tabi’in ada orang yang menghitung dzikirnya dengan kerikil atau biji korma (tanpa dirangkai), maka para sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud mengingkari dan melarangnya dengan keras; menganggapnya melakukan perbuatan bid’ah yang besar. Begitu pula yang dilakukan oleh Ibrahim An Nakhai, seorang tabi’in senior, telah melarang puterinya melakukan perbuatan seperti itu, sebagaimana sebelumnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingkari Shafiyah dan memberitahukannya perbuatan yang lebih baik dan afdhal

Banyak atsar sahabat dan tabi’in yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Diantara atsar tersebut ialah:

- Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat seorang wanita dari Bani Kulaib yang menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata,”Mana jarimu?” [10]

Page 6: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

- Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari Ibrahim berkata:

�ان� �د� ك ه� الله� ع�ب �ر� �ك �ق�و�ل� الع�د ي �م�ن� و�ي �ي �ه� الله� ع�ل�ى أ �ات ن ح�س�

Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadaan Allah?” [11]

- Atsar dari Ash Shalat bin Bahram, berkata: Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya. Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian memukulnya dengan kakinya dan berkata,”Kamu telah mendahului (Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para sahabatnya.” [12]

- Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantong mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata,”Kamu telah melakukan bid’ah yang zhalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi.” [13]

- Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan bertahlil dengan kerikil. [14]

Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras [15]. Sehingga, sampai sekarang hampir semua kelompok-kelompok thariqat dan pengikut tasawuf menjadikan alat tasbih ini sebagai bagian dari ibadah mereka. Bahkan, tidak jarang pula mengalungkan tasbih di leher, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Hindu, Budha dan Pendeta Kristen; menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk mengobati orang sakit atau hajat lainnya dengan membasuhnya dan meminum airnya, na’uzubillah. Dapat dipastikan, bahwa kelompok-kelompok yang menjadikan thariqat atau tasawuf sebagai landasan manhajnya, akan menjadikan alat tasbih ini sebagai syiar ibadah mereka.

Ada juga orang yang menggunakannya dengan alasan karena dzikirnya banyak, dan sering lupa atau keliru jumlahnya kalau tidak menggunakan alat tasbih.

Seorang tokoh sufi Al Bannan dalam kitabnya Minhah Ahlul Futuhat Wal Zauq menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh orang-orang yang dzikirnya sedikit, yaitu seratus atau yang kurang dari itu. Adapun ahlu dzikir wal aurad (istilah untuk mereka yang “banyak dzikirnya” di kalangan sufi dan tharikat), kalau mereka menggunakan jarinya untuk menghitung dzikirnya yang banyak, pasti banyak salahnya dan disibukkan dengan jarinya. Dan inilah hikmah penggunaan tasbih.

Subhanallah. Adakah ketentuan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dzikir muqayyad (terikat dengan waktu, tempat dan jumlah) yang lebih dari seratus? Perintah Allah Jalla Jalaluhu seperti

Page 7: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

dalam Al Qur’an, artinya: Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak. (Al Ahzab:35) dan lainnya, tidak menentukan bentuk dan jumlah tertentu untuk berdzikir.

Jumlah dzikir seperti seratus atau yang kurang dari itu, merupakan ta’abbudiyah (ketentuan dari Rasulullah) yang wajib dipatuhi oleh orang yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah. Ibnu Mas’ud menasihatkan, bahwa sedikit dalam sunnah jauh lebih baik daripada banyak namun bid’ah.

Perlulah diingat, janganlah hanya dzikir (kebaikan) yang kita hitung, namun kesalahan yang pernah dilakukan juga perlu dipikirkan, sebagaimana nasihat Umar bin Khattab : Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab”.[16] Artinya, yang harus dihisab (dihitung) ialah semua yang telah kita lakukan, baik berupa kebaikan maupun kejelekan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ق� ار�م� ات �م�ح� �ن� ال �ك �د� ت �ع�ب اس� أ الن

"Jauhilah yang diharamkan. Engkau akan menjadi orang yang paling baik" [17].

Orang yang melakukan perbuatan bid’ah sering berdalih, bahwa tidak semua yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya dianggap bid’ah. Misalnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memakai tasbih, bukan berarti itu tidak boleh menggunakannya. Karena mungkin tasbih waktu itu belum ada, atau menggunakan tasbih hanya sebuah sarana agar lebih khusyu’ dalam berdzikir.

Untuk menjawab masalah ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, salah satu murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menulis bab tersendiri dalam kitabnya Ushul Al Bida’ yang kesimpulannya, bahwa semua ibadah yang tidak pernah disyari’atkan oleh Rasulullah, baik dengan perkataannya dan tidak pernah beliau lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu adalah bertentangan dengan sunnah. Karena sunnah itu ada yang fi’liyah (dilakukan) dan ada yang tarkiyah (yang tidak dilakukan oleh Rasulullah). Dengan demikian, ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk sunnah yang harus ditinggalkan.

Ketika salah satu dari tiga orang sahabat berjanji untuk melakukan shalat semalam suntuk dan tidak akan tidur, yang lainnya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka, dan yang terakhir tidak mau menikah, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingkarinya dan bersabda, "Demi Allah, sayalah (orang) yang paling takut diantara kalian kepada Allah, dan paling bertaqwa kepadaNya; tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur dan menikahi wanita. Barangsiapa yang benci kepada sunnahku, maka bukan termasuk golonganku." [HR Bukhari Muslim dari Anas bin Malik].

Pada prinsipnya, tiga sahabat tadi melakukan perbuatan yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti: berpuasa, iffah (menjaga diri) dan shalat malam, namun dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga beliau mengingkarinya. Hadits di atas sekaligus membantah, bahwa niat yang baik, kalau tidak sesuai dengan sunnah (praktik) Rasulullah, maka tidak akan menjadi sebab suatu amal perbuatan itu diterima di sisi Allah. Ibnu Rajab, dalam kitab Fadl Ilmu Salaf, hlm. 31 menyebutkan, apa yang telah

Page 8: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

disepakati oleh Salaf untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan; karena mereka tidak meninggalkan sesuatu, kecuali atas dasar ilmu bila sesuatu hal dimaksud tidak boleh diamalkan.

KESIMPULAN Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah menggunakan alat tasbih dalam menghitung dzikirnya; dan ini merupakan sunnah yang harus diikuti. Seandainya menggunakan tasbih merupakan kebaikan, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan yang pertama sekali melakukannya.

Oleh sebab itu, orang yang paham dan berakal tidak akan menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung dzikir dengan jari tangannya, menggantinya dengan hal-hal yang bid’ah, yaitu menghitung dzikir dengan tasbih atau alat penghitung lainnya. Inilah yang disepakati oleh seluruh ulama pengikut madzhab, seperti yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [18]

Alangkah indah pesan Imam Asy Syafi’i rahimahullah ,”Kami akan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam melakukan suatu ibadah atau dalam meninggalkannya.” Abdullah bin Umar menambahkan,”Semua bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik.” [19]

Bagaimana hukum biji tasbih? Apakah diperbolehkan berdzikir dengan menggunakan biji tasbih? Rincian yang baik mengenai hukum biji tasbih, dibolehkan jika ada kebutuhan untuk menggunakannya. Sedangkan jika tujuan menggunakannya untuk memamerkan amalan, maka hukumnya haram karena itu termasuk riya’ atau memamerkan amalan.

Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.

Kesimpulannya, jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.

Adapun memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang yang riya’ tanpa ada kebutuhan.

Jika benar kemungkinan pertama maka hukum perbuatan tersebut adalah haram.

Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh.

Page 9: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Sesungguhnya memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca Al Qur’an kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar”. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 506)

Berdzikir Memakai Tasbih

Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah" 33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

ف�ي ل�ق� م�اخ� ع�د�د� الله� �ح�ان� ب س� ق�و�ل�ي� ف�ق�ال� أف�ض�ل� أو� ه�ذ�ا م�ن� �ك� �ي ع�ل ر� �س� �ي أ ه�و� �م�ا ب ك� �ر� ب خ�� أ

الله �ح�ان� ب س� ، ذ�ل�ك� �ن� �ي م�اب ع�د�د� الله� �ح�ان� ب س� األر�ض�، ف�ي ل�ق� م�اخ� ع�د�د� الله� �ح�ان� ب س� م�اء�، الس ‘ �ل� م�ث الله� إال إله� و�ال� ، ذ�ل�ك� �ل� م�ث gه� �ل �ح�م�د ل و�ال ذ�ل�ك� �ل� م�ث �ر� �ب أك و�الله� ال�ق0، خ� م�اه�و� ع�د�د�

�ك�‘ ذ�ل �ل� م�ث � �م �ع�ظ�ي ال ��ع�ل�ي ال �لله� با إال ق�وة� و�ال� ح�و�ل� و�ال� ذ�ل�ك�

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Page 10: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.

KH Muhyiddin AbdushomadPengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

Page 11: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Hukum Mengunakan Tasbih Ketika Berdzikir Kebanyakan orang-orang menganggap bahwa termasuk ciri khas seorang muslim yang taat kepada Allah adalah selalu berdzikir dengan tasbih di tangan. Gambaran ini semakin kuat dengan gambar tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi Islam tampil dengan busana muslim lengkap dengan tasbihnya yang sengaja dibuat dan dijual untuk keuntungan duniawi seperti gambar-gambar wali songo dan lainnya, ditambah lagi tayangan sinetron religi yang sarat dengan kebatilan, apabila menampilkan tokoh agama, hampir dipastikan ada tasbih di tangannya.

Ada di antara mereka yang selalu terlihat menjalankan tasbih di

tangannya walaupun sedang mengobrol dengan rekannya, padahal

terkadang pembicaraannya bertolak belakang dengan dzikir. Yang lebih

merasa kurang puas, ada yang menggantungkan tasbihnya di leher

walaupun mulutnya tidak terlihat berdzikir, tetapi—anehnya—orang

menganggap dia selalu berdzikir (mengingat Allah).

Sebagian lagi meyakini bahwa tasbih yang digantungkan di leher adalah

ciri khas para malaikat yang sedang berdzikir. Ada pula yang

mengatakan bahwa termasuk peninggalan (warisan) Nabi SAW adalah

tasbih. Ada lagi yang menjadikannya sebagai sarana pengobatan

alternatif, dan masih banyak tujuan lain digunakannya biji tasbih ini dan

tidak mungkin kami sampaikan semuanya.

Page 12: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Hal-hal di atas terjadi tidak lain karena makin jauhnya kaum muslimin

dari agamanya. Oleh karena itu, para ulama yang cemburu akan

agamanya segera bangkit menjelaskan hakikat  tasbih ini. Mereka

menulis tentang asal-usul dan hukum tasbih dalam agama Islam yang

mulia ini. Dan tulisan ini sekadar menyadur dari tulisan mereka. Mudah-

mudahan Allah melapangkan hati kita untuk menerima setiap kebenaran.

Para ulama menyatakan bahwa berdzikir dengan menggunakan tasbih

hukumnya boleh berdasarkan hadits-hadits berikut:

1. Hadits riwayat Sa’d ibn Abi Waqqash bahwa dia bersama Rasulullah

melihat seorang perempuan sedang berdzikir. Di depan perempuan

tersebut terdapat biji-bijian atau kerikil yang ia digunakan untuk

menghitung dzikirnya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya:

“Aku beritahu kamu cara yang lebih mudah dari ini atau lebih afdlal.

Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi as-Sama’, Subhanallah

‘Adada Ma Khalaqa Fi al-Ardl, Subhanallah ‘Adada Ma Baina Dzalika,

Subhanallah ‘Adada Ma Huwa Khaliq”, (Subhanallah -maha suci Allah-

sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di langit, Subhanallah sebanyak

makhluk yang Dia ciptakan di bumi, Subhanallah sebanyak makhluk yang

Dia ciptakan di antara langit dan bumi, Subhanallah sebanyak semua

makhluk yang Dia ciptakan). Kemudian baca “Allahu Akbar” seperti itu.

Lalu baca “Alhamdulillah” seperti itu. Dan baca “La Ilaha Illallah” seperti

itu. Serta baca “La Hawla Wala Quwwata Illa Billah” seperti itu.  (HR. at-

Tirmidzi dan dinilainya Hasan. Dinyatakan Shahih oleh Ibn Hibban dan

al-Hakim. Serta dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-

Adzkar).

2. Hadits diriwayatkan dari Umm al-Mukminin, salah seorang istri

Rasulullah, bernama Shafiyyah. Bahwa beliau (Shafiyyah) berkata:

Page 13: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

“Suatu ketika Rasulullah menemuiku dan ketika itu ada di hadapanku

empat ribu biji-bijian yang aku gunakan untuk berdzikir. Lalu Rasulullah

berkata: Kamu telah bertasbih dengan biji-bijian ini?! Maukah kamu aku

ajari yang lebih banyak dari ini? Shafiyyah menjawab: Iya, ajarkanlah

kepadaku. Lalu Rasulullah bersabda: “Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma

Khalaqa Min Sya’i” (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan

lainnya, dan dihasankan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab Nata-ij al-

Afkar Fi Takhrij al-Adzkar).

Dzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk

Nabi SAW yang paling sempurna, yang telah diamalkan oleh generasi

terbaik umat ini. Dalam ibadah agama Islam tidak pernah mengenalkan

tasbih kepada pemeluknya. Oleh karena itu, Rasulullah dan para

sahabatnya tidak menggunakannya dalam beribadah. kemudian sebagian

orang setelah generasi terbaik ini, bersusah payah ingin ibadahnya lebih

banyak dan lebih mantap menurut pikiran mereka, lalu mereka meniru

kebiasaan orang Buddha, Hindu, dan para pendeta Nasrani dalam

ibadahnya, dan tatkala para sahabat mengetahui hal baru ini mereka

segera mengingkarinya, untuk menjaga kemurnian agama Islam ini, lalu

selanjutnya para ulama kemudian juga mengikuti jalan para salafush

sholih dalam berdzikir dan mengingkari hal-hal yang baru dalam agama

ini. 

Page 14: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Tidak ada Larangan (Bukan Bid’ah) Dzikir dengan   Tasbih

Sering yang kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulallah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !

‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.

Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.

Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya  untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah swt. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.

A.  Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir

Page 15: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:

“Rasulallah saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”.

Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata:

“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .

Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!

2. Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).

3.   Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan:

“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :

‘Subhanallahi ‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanallahi  ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.

Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.

Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia

Page 16: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !

Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan mereka.

Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!

4. Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah;  ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.

5. Abu Dawud meriwayatkan;

‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.

6. Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan;

‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.

7. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.

8. Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.

9. Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.

10. Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan;  “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia

Page 17: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.

11. Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.

B.  Tidak ada Larangan terhadap penggunaan Tasbih dalam Dzikir

Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).

Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!

Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.

Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw.. itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.

Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?

Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.

Page 18: Sejarah Tasbih Dan Hukumnya

Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.

Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.

Semoga dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Allah bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita.