resiko medis dan perlindungan hukumnya

119
MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN TESIS Diajukan Guna Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 2 Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Oleh : Nama : Andry NIM : 06.93.0214 PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM KESEHATAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2008

Upload: aulia-mursyida

Post on 28-Dec-2015

134 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 2 Magister Hukum

Konsentrasi Hukum Kesehatan

Oleh :

Nama : Andry NIM : 06.93.0214

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM KESEHATAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG 2008

Page 2: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

2

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa di dalam tesis ini tidak terdapat

karya yang pernah digunakan orang lain untuk memperoleh gelar kemagisteran

di suatu perguruan tinggi, dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan orang lain; kecuali yang secara sengaja tertulis

dan diacu dalam naskah tesis ini serta disebut dalam daftar pustaka. Apabila

terdapat karya yang ditulis orang lain, maka saya saya bersedia untuk

mengulangnya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk

kepentingan pernyataan keaslian (originalitas) tesis yang saya buat.

Hormat saya,

Andry

Page 3: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

3

HALAMAN PERSETUJUAN

NAMA : ANDRY NIM : 06.93.0214 PROGRAM STUDI : MAGISTER HUKUM BIDANG KONSENTRASI : HUKUM KESEHATAN JUDUL TESIS : MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

Disetujui Oleh :

Pembimbing Utama : _____________________________________

Prof. Dr. Wila Chandrawila Supriadi, SH,CN

Pembimbing pendamping : _____________________________________

DR.dr. Agus Rahim SpOT. Spine FICS, MEpid.,MHkes

Page 4: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

4

ABSTRAK

Rumah sakit adalah salah satu tempat dimana masyarakat datang dengan masalah kesehatan. Pengelolaan rumah sakit sangat komplek dan syarat masalah, karena rumah sakit merupakan sebuah institusi besar yang sarat dengan peralatan berteknologi canggih, yang dioperasionalkan oleh sekumpulan orang dengan keahlian seperti dokter, perawat dan profesional lainnya dalam melakukan aktifitas profesionalnya,namun tidak dapat memastikan bahwa tindakan medik yang dilakukan bebas dari risiko. Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien, melindungi tenaga kesehatan, melindungi masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan lain - lain. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit tidak hanya efficacious tetapi juga harus aman. Penulis melakukan penelitian denganmetode pendekatan yuridis normatif dan mencari sebab akibat dari suatu masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis sesuai dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu hubungan antara Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien.

Majemen risiko medik merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya, sistim, fasilitas untuk mencapai pelayanan medik yang baik dan diberikan secara efektif, efesien, memperhatikan kemungkinan timbulnya risiko dan melakukan tindakan segera apabila risiko itu terjadi, dengan melakukan penerapan Standar Operasional Prosedur, Program Peningkatan Mutu Rumah Sakit, Menetapkan Strategi Pencegahan,menerapkan Peraturan Internal Rumah Sakit dan Persetujuan Tindakan Medik. Perlindungan hukum adalah suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang dan tertib. Hak pasien merupakan kewajiban dari rumah sakit. Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup jelas di UUD !945, UU No 23 Tahun 1992, UU No 39 Tahun 1999,UUNo.29/2004,KUHPerd.,Kepmenkes631/Menkes/SK/IV/2005,Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002, Permenkes No.585 tahun 1989 dan SK Dirjen. Yan.Med.No YM.02.04.3.5.2504. Risiko Medik tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalisasi. Dengan melakukan manajemen risiko medik maka akan memicu para dokter untuk dapat bekerja sesuai dengan SOP dan peraturan yang berlaku yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kinerja dan kualitas pelayanan dokter yang akan semakin baik, pasien merasa aman, nyaman dan tidak ada keragu-raguan terhadap pelayanan di rumah sakit serta akan mengunjungi rumah sakit apabila membutuhkan pengobatan. Rumah sakit akan menjadi tempat yang aman, nyaman untuk pasien dan kepuasan pasien akan dapat dicapai. Sehingga jelas bahwa dengan melakukan manajemen risiko medik maka perlindungan hukum pasien akan terpenuhi.

Page 5: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

5

ABSTRACT

A hospital is a place where people come with their health problem. Hospital management is very complex and problematic since hospital is a big institution equipped with high technology, operated by group of people with their expertise, namely, doctors, nurses, and other professionals in performing their activity professional, nevertheless, it cannot be ensured that their medical procedure is free from any risk.Hospital has to have various regulations to protect patients, medical staff, and society from impact of hospital’s environment, to control the hospital’s function toward the right direction, to increase hospital’s quality, to synchronize Hospital’s service with government program in health and etc. Health service which is implemented in hospital is not only efficacious but it also has to be safe. The writer carried out research with juridical normative approach method and looked for caused and result of a problem and describe it consistently, systematically, and logic according problem formulation which became the focus of this research, namely, relations between Medical Risk Management and Patient Legal Protection.

Medical risk management is a planning, organization, coordination, and

control of resources, system, facilities to achieve good medical service and it is given effectively, efficiently, put attention on possibility of risk and perform immediate action id the risk occur by implementing Standard Operational Procedure, Hospital Quality Improvement Program, implement Prevention Strategy, Hospital Internal Program and Medical Procedure Approval.

Legal Protection is an effort from authorized party to give guarantee and facility in order to assist every citizen to actualize their rights and obligations optimally accordingly. Patient’s right is hospital’s obligation. Patient legal protection is clearly stated in ‘UUD 1945’, Regulation No. 23 Year 1992, Regulation No. 39 Year 1999, Regulation No.29/ 2004, KUHPerd.,Kepmenkes631/Menkes/SK/IV/2005,Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002, Permenkes No.585 tahun 1989 dan SK Dirjen. Yan.Med.No YM.02.04.3.5.2504. Medical risk cannot be avoided but it can be minimized. By implementing medical risk management, it will motivate doctors to work according to applicable SOP and regulation which in the end it will give impact to the doctor’s performance and quality which will be improved, patient feels safe, comfortable and has no doubt in hospital service and they will come to the hospital when the need medication. Hospital will become a safe and comfortable place, and patient’s satisfaction can be achieved. Surely, by implementing medical risk management the patient legal protection can be achieved.

Page 6: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

6

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha kasih, karena telah memberikan

ilmu dan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis dalam

memenuhi sebagian syarat memperoleh derajat sarjana strata dua program studi

hukum konsentrasi hokum kesehatan yang berjudul “Manajemen Risiko Medik

dan Perlindungan Hukum pasien” yang merupakan tinjauan yuridis berdasarkan

Undang Undang No 23/1992 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 39

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang Undang No 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran , Kepmenkes 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang

Peraturan internal staf medik di rumah sakit , KepmenkesNo

772//Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman peraturan internal rumah sakit

(Hospital bylaws). Secara umum tesis ini membahas Manajemen Risiko Medik

dikaitkan dengan Perlindungan Hukum Pasien .

Dengan diterapkan Manajemen Risiko Medik di rumah sakit diharapkan

Perlindungan Hukum Pasien akan terpenuhi, sehingga akan menghindarkan

terjadinya konflik, juga diharapkan dapat dan akan selalu menimbulkan suasana

yang harmonis bagi semua pihak. Ucapan terima kasih disampaikan kepada

yang terhormat Prof. Dr. Agnes Widanti SH., CN., sebagai Ketua Program Studi

Pasca Sarjana Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Fakultas Hukum

Universitas Katholik Soegijopranata Semarang yang telah memberi peluang bagi

penulis guna mengikuti perkuliahan di Pasca Sarjana Hukum Kesehatan

Universitas Katholik Soegijopranata Semarang. Kepada Prof. Dr. Wila

Chandrawila Supardi SH., CN. sebagai pembimbing utama dan penguji, saya

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bimbingan dan motivasi

beliau dari sejak awal perkuliahan sampai selesai penyusunan tesis ini dengan

sabar beliau membimbing dan menerangkan kepentingannya hukum kesehatan

Page 7: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

7

untuk dokter. Kepada Dr.dr.Agus Rahim SpOT Spine FICS MEpid., MHkes ,

sebagai pembimbing saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, beliau

telah memberikan arahan dan petunjuk kepada saya dalam penyusunan tesis ini.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Johnny Wirgho SH.,

CN.,MH. yang telah memberikan saran-saran perbaikan dalam penyempurnaan

tesis ini

Kepada Endang Wahyati SH. MH penulis mengucapkan terima kasih

yang tak terhingga atas segala bimbingannya yang bijaksana dan penuh

perhatian serta pertolongan selama penulis menjalani pendidikan, terutama

dalam memberikan arahan, petunjuk dan saran-sarannya. Kepada seluruh

pengajar Magister Hukum Kesehatan Universitas Soegijopranata Semarang dan

pengajar lainnya yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu, ucapan terima

kasih tak terhingga dalam membantu penulis memahami aspek hukum

kesehatan. Pada kesempatan ini, juga disampaikan terima kasih kepada seluruh

teman-teman sejawat Program kelas Paralel Pascasarjana Magister Hukum

Kesehatan Universitas Soegijopranata di Jakarta, khususnya angkatan 1 tahun

2006, atas bantuan dan kerjasamanya selama menempuh studi pada Magister

Hukum Kesehatan pada Program Pascasarjana UNIKA Soegijopranata. Kepada

para staf sekretariat, Universitas Katholik Soegijopranata di Jakarta khususnya

bapak Pamuji, penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih atas bantuan,

dukungan dan kerjasamanya. Kepada istri dan anak-anak tercinta , ucapan

terima kasih tak terhingga saya sampaikan, dengan penuh pengertian

mengizinkan saya mengambil Magister Hukum Kesehatan dan membantu dalam

penyelesaian tugas-tugas maupun penyusunan tesis dengan dialog dan diskusi

yang membuka pikiran saya sebagai dokter dalam memahami kepentingan

pasien ditinjau dari aspek hukum kesehatan sehingga tesis ini dapat selesai.

Kiranya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Page 8: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

8

Jakarta, 16 Oktober 2008

Penulis,

Andry

Page 9: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

9

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ I

PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... Ii

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... Iii

ABSTRACT .................................................................................................. Iv

KATA PENGANTAR ..................................................................................... V

DAFTAR ISI .................................................................................................. Viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian ……………………………………………………. 1

B. Perumusan Masalah Penelitian ...…………………………………………… 6

C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6

D Metode Penelitian ...................................................................................... 7

E. Sistematika Penelitian ............................................................................... 12

BAB II MANAJEMEN RISIKO MEDIK

A. Pengantar ................................................................................................... 14

B. Manjemen ................................................................................................... 15

1. Risiko…………… ………………………………………………………… 16

2. Medik ……………………………………………………………………… 17

3. Risiko Medik ……………………………………………………………… 19

C. Manajemen Risiko Medik ………… ………………………………………….. 23

D. Penutup ...................................................................................................... 41

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN A. Pengantar ................................................................................................... 44

B. Hukum ............................................................................................... 45

C. Tujuan Hukum …………………….. ………………………………………….. 52

D. Pasien 59

E. Perlindungan Hukum .................................................................................. 64

Page 10: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

10

F. Perlindungan Hukum Pasien 66

G. Penutup 75

BAB IV MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

A. Pengantar ................................................................................................ 78

B. Manajemen Risiko Medik ................................. ....................................... 80

C. Perlindungan Hukum Pasien .......... ........................................................ 84

D. Analisa Hubungan Antara Manajemen Risiko Medik Dan Perlindungan Hukum Pasien ....................................................................................

90

E. Penutup ................................................................................................... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .............................................................................................. 102

B. Saran ....................................................................................................... 104 Daftar Pustaka ................................................................................................. 106

Page 11: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran untuk

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelayanan

kesehatan, derajat kesehatan yang optimal adalah suatu tahap yang diberikan

sesuai dengan usaha-usaha terbaik yang dapat dilakukan agar masyarakat

mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan harapannya. Oleh

karena itu pelayanan kesehatan yang dilakukan tidak hanya efficacious tetapi

juga harus aman. Terlebih lagi bila tindakan tersebut dilakukan di rumah sakit

yang merupakan tempat masyarakat datang dengan masalah kesehatan mulai

dari yang ringan sampai dengan yang kompleks. Karena kesehatan adalah salah

satu kebutuhan pokok manusia di samping sandang pangan dan papan. Tanpa

hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit,

manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik.

Rumah sakit adalah tempat dimana masyarakat datang dengan masalah

kesehatan. Rumah sakit merupakan sebuah institusi besar yang sarat dengan

peralatan berteknologi canggih, yang dioperasionalkan oleh sekumpulan orang

dengan keahlian seperti dokter, perawat dan profesional lainnya dalam

melakukan aktifitas profesionalnya. Rumah sakit juga digunakan sebagai tempat

dilaksanakan pendidikan dan riset di bidang kesehatan. Dengan struktur

organisasi yang komplek dan sangat unik serta dibatasi oleh peraturan, regulasi

maupun prosedur yang sesuai kebutuhan birokrasi dan kebutuhan hukum. Sistim

yang dilakukan sangat dinamis dan adatif sebagai akibat berinteraksi terus

Page 12: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

12

menerus dengan lingkungan eksternal, sosial dan lingkungan organisasi.

Pengelolaan rumah sakit sangat komplek dan syarat masalah. Rumah sakit

merupakan sebuah institusi besar yang sarat dengan peralatan berteknologi

canggih, yang dioperasionalkan oleh sekumpulan orang dengan keahlian dan

terstruktur dengan baik,namun tidak dapat memastikan bahwa tindakan medik

yang dilakukan bebas dari risiko.

Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait

dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu

hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya

merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan

khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan

kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan

kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu

diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam

melaksanakan hubungan antar pihak. Peraturan-peraturan ini dituangkan dalam

hukum kesehatan.Pelayanan kesehatan melayani kegiatan kesehatan

masyarakat dan individu yang disebut pelayanan kesehatan masyarakat dan

pelayanan kesehatan individu. Hukum yang mengatur pelayanan kesehatan

masyarakat disebut hukum kesehatan (Public health law) dan hukum yang

mengatur pelayanan kesehatan individu disebut hukum kedokteran (medical

law). Hubungan dokter dan pasien, hubungan dokter dan rumah sakit dan

hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari hubungan hukumnya

merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan

pengobatan yang dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya

perikatan yang digunakan sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan

ikhtiar (inspanning verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk

mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan

Page 13: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

13

perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk melindungi pasien dan masyarakat

yang membutuhkan pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian

terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan

malpraktik dokter, para dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum kesehatan,

hukum hak asasi manusia serta peraturan-peraturan yang mengatur praktik

kedokteran.

Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien

dari praktek rumah sakit yang tidak layak beroperasi, melindungi tenaga

kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh rumah sakit, melindungi

masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah

sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan

layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan

lain - lain. Jaminan akan keamanan ini sering sulit diungkapkan secara faktual.

Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja derajatnya

bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik) hingga yang berat

(memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau bahkan kematian).

Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap kemungkinan risiko dan

manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur yang akan dijalaninya.

Namun demikian hal ini juga tidak selalu mudah, karena sebagian pasien justru

akan menolak dilakukan tindakan medik apabila mengetahui segala risikonya

secara rinci. Lain pula halnya dengan dokter, meskipun sebelum operasi setiap

pasien telah dijelaskan mengenai prosedur yang akan dilaksanakan, tetapi

sangat jarang dokter mendiskusikan kemungkinan terjadinya risiko akibat

kesalahan dalam sistem (system fault). Sebagai contoh adalah infeksi pasca

operasi atau infeksi nosokomial yang umumnya terjadi akibat kesalahan dalam

sistem (keperawatan, tidak adanya risk management, dan tidak terdeteksinya

Page 14: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

14

bakteri yang resisten (misalnya MRSA-methycillin resistant Staphylococcus

aureus, ataupun VRE-vancomycin resistant enterococcus).

Untuk itu diperlukan informasi kepada masyarakat bahwa setiap tindakan

medik yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Risiko medik

dapat terjadi pada siapapun yang mengalami tindakan medik, dapat terjadi

kapanpun walaupun ditangan dokter yang paling pandai sekalipun.Jadi disini

jelas bahwa risiko medik tidak dapat diduga. Satu-satunya jalan menghindari

risiko adalah tidak berbuat sama sekali. Kalimat diatas adalah merupakan salah

satu ungkapan yang perlu kita renungkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak

akan pernah lepas dari ketidaksengajaan atau kesalahan yang tidak

dikehendakinya dalam menjalankan profesinya. Oleh karena sebab itu untuk

mencegah terjadinya risiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus

selalu berpikir cermat dan hati-hati sebelum melakukan tindakan medik serta

bertindak cepat apabila risiko medik tersebut telah terjadi.

Begitu pula bagi seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik

terhadap pasiennya. Pada hakekatnya, dokter akan selalu dituntut untuk lebih

mengutamakan rasa puas pasien (patient satisfaction), yaitu dengan

bertanggung jawab dalam upaya penyembuhan pasien. Sejak dulu telah dikenal

salah satu prinsip tradisional dari etika kedokteran adalah primum non nocere,

artinya yang penting adalah tidak merugikan.

Sekali lagi yang harus selalu diingat dan tidak boleh diabaikan bagi dokter

yang berkewajiban memberikan pertolongan kepada pasiennya haruslah

memenuhi standar profesinya sebagai pedoman yang harus dipergunakan dalam

menjalankan profesinya secara baik. Karena hal ini memang merupakan hak

pasien yang harus kita penuhi dan merupakan kewajiban dokter untuk

melakukannya, sehingga kerugian yang terjadi pada pasien karena risiko medik

yang terjadi sudah dapat dipahami dengan memberikan informasi tentang

Page 15: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

15

kemungkinan risiko medik yang akan terjadi, menyiapkan standar operasional

prosedur yang baik sehingga kemungkinan risiko yang terjadi dapat dikurangi,

memastikan fasilitas sesuai dengan standar yang benar serta apabila telah

terjadi risiko medik bagaimana mengatasinya. karena apabila hal yang memang

mungkin terjadi ini tidak diketahui pasien, akan mengakibatkan pasien menuntut

rumah sakit secara hukum. Jadi dengan melakukan manajemen risiko medik

yang merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan

pengontrolan dari sumber daya, sistim, fasilitas dan sebagainya untuk mencapai

sasaran secara efektif dan efesien dalam pelayanan dan penanganan risiko

medik yang mungkin dapat terjadi, karena tanpa adanya manajemen risiko medik

yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang

berobat maupun yang akan mendapat penanganan tertentu. Jika sudah

dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi

dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya.

Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang

cukup jelas seperti tertera pada Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya UUD

!945), Undang Undang No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan (selanjutnya UU

No 23/1992), Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

(selanjutnya UU No 39/1999), Undang Undang No 29 tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran (selanjutnya UUNo.29/2004), Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata( selanjutnya KUHPerd.), Keputusan Menteri Kesehatan ( selanjutnya

Kepmenkes) 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan internal staf medis (

Medical Staff bylaws) di Rumah sakit , Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002

tentang Pedoman peraturan internal rumah sakit (Hospital bylaws), dan

Peraturan Menteri Kesehatan ( selanjutnya Permenkes) No.585 tahun 1989

tentang Persetujuan Tindakan Medik serta SK.Dirjen.Yan.Med.No

YM.02.04.3.5.2504 tentang hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit .

Page 16: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

16

Oleh karena begitu kompleknya permasalahan yang ada di rumah sakit

maka sangat diperlukan penerapan manajemen risiko medik di rumah sakit,

sehingga diharapkan dengan diharapakan dengan melakukan manajemen risiko

medik baik dengan cara melakukan tindakan pencegahan maupun melalui

tatalaksana pelayanan kesehatan yang benar dan dapat dipertanggung

jawabkan maupun tindakan penanganan yang akan segera dilakukan apabila

risiko medik itu terjadi akan dapat memenuhi perlindungan hukum pasien. Hal ini

juga akan memicu para dokter untuk dapat bekerja sesuai dengan SOP dan

peraturan yang berlaku. Dengan demikian derajat kesehatan masyarakat yang

optimal dapat dicapai serta perlindungan hukum dimasyrakat dapat terlaksana

dengan baik.

B. PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN

Apakah dengan diterapkannya Manajemen Risiko Medik dapat memenuhi

Perlindungan Hukum Pasien?

1. Apakah yang dimaksud manajemen risiko medik di rumah sakit?

2. Apakah yang dimaksud dengan perlindungan hukum pasien?

3. Apakah penerapan manajemen risiko medik di rumah sakit dapat memenuhi

perlindungan hukum pasien?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mendapat gambaran manajemen risiko medik di rumah sakit.

2. Untuk mendapat gambaran mengenai perlindungan hukum pasien di rumah

Sakit.

3. Untuk mendapat gambaran mengenai penerapan Manajemen risiko medik

dan kaitannya dengan perlindungan hukum pasien di rumah sakit.

Page 17: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

17

D. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

metode pendekatan yuridis normatif, yang berarti suatu penyelidikan atau

penelitian yang berlangsung menurut suatu rencana atau cara tertentu dengan

bentuk sistematis yang khusus dari seluruh pemikiran dan telaah reflektif yang

memiliki sifat/karakteristik khusus atau kekhasan, yaitu sebagai suatu

norma/kaidah yang mempedomani atau sebagai patokan perilaku manusia

dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dengan demikian, pendekatan yuridis

normatif berarti suatu usaha yang mendekati atau mendekatkan suatu masalah

yang diteliti melalui pemikiran dan telaah reflektif terhadap sifat/ karakteristik

khusus atau kekhasan hukum yang normatif.

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu cara meneliti dalam

penelitian hukum yang dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder

belaka dan dengan menggunakan metode berpikir deduktif serta kriterium

kebenaran koheren. 1

Yang dimaksud dengan metode berpikir deduktif adalah cara berpikir

dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang

sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu

yang sifatnya khusus.2 Sedangkan yang dimaksud dengan kebenaran koheren

(the coherence theory of truth), adalah suatu pengetahuan, teori, pernyataan,

proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan,

1Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Metode Penelitian (tidak dipublikasikan) dalam Materi

Kuliah Metode Penelitian Hukum Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijipranata, Semarang, 2006, hal. 8;

2Lihat Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, MetodologiPenelitian, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 23.

Page 18: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

18

teori, pernyataan, proposisi, atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu

meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap

benar.3

2. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini, spesifikasi penelitian yang digunakan adalah

deskriptif analitis. Yang dimaksud dengan spesifikasi penelitian adalah

sifat/karakteristik khusus atau kekhasan dari suatu penelitian, dalam hal ini yaitu

penelitian hukum. Dalam penelitian hukum, hukum memiliki sifat/karakteristik

khusus atau kekhasan, yaitu sebagai suatu norma/kaidah yang mempedomani

atau sebagai patokan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya.

Pada penelitian hukum ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa

penelitian hukum normatif atau doktrinal adalah penelitian atas hukum yang

dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut oleh pengkonsep

dan atau pengembangnya, yakni metode kajian hukum dengan hukum yang

dikonsepkan sebagai asas keadilan dalam sistem hukum moral menuruti doktrin

aliran hukum alam, metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan

sebagai kaidah perundang-undangan menuruti doktrin aliran positivisme dalam

ilmu hukum, dan metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan

sebagai keputusan hakim in concreto menuruti doktrin fungsionalisme kaum

realis dalam ilmu hukum.4 Sedangkan yang dimaksud yang dengan deskriptif

analitis, yaitu membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antar fenomena atau gejala yang

3Lihat A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis),

Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 68. 4Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma Metode dan Dinamika

Masalahnya) Editor Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002, hlm. 147-160.

Page 19: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

19

diteliti sambil menganalisisnya, yaitu dengan mencari sebab akibat dari suatu hal

dan menguraikannya secara konsisten dan sistematis serta logis.5

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa spesifikasi penelitian

deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan secara

menyeluruh permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu

Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien yang berdasarkan

kerangka pemikiran atau tinjauan pustaka yang telah teruji keabsahannya.

Selanjutnya, spesifikasi penelitian deskriptif analitis ini juga digunakan pula untuk

menganalisis, yaitu mencari sebab akibat dari suatu permasalahan yang

terdapat pada perumusan masalah dan menguraikannya secara konsisten,

sistematis dan logis sesuai dengan perumusan masalah yang menjadi fokus

dalam penelitian ini, yaitu hubungan Manajemen risiko medik dan Perlindungan

Hukum Pasien.

3. Jenis Data

Data dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat data dan sumber data.

Berdasarkan sifatnya dan mempunyai ciri-ciri khusus, data dapat diklasifikasikan

menjadi data kualitaif dan data kuantitatif. Sedangkan berdasarkan sumbernya

(tempat diperoleh atau diambilnya), data dapat diklasifikasikan menjadi data

primer dan data sekunder. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu

berdasarkan sumbernya adalah data sekunder dan yang berdasarkan sifatnya

adalah data kualitatif. Yang dimaksud dengan data sekunder yaitu data yang

diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan

hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk

5Lihat Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 63, 72, 405,

406 & 427; Lihat pula Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 98.

Page 20: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

20

buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan umum

atau perpustakaan milik pribadi.6 Sedangkan yang dimaksud dengan data

kualitatif, yaitu data yang menunjukan cirri-ciri dan sifat serta mutu atau kualitas

dari suatu hal berupa keadaan, proses, peristiwa yang dinyatakan dalam bentuk

bukan angka.7 Di dalam penelitian hukum, data sekunder tersebut meliputi bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum

primer adalah bahan hukum yang terdapat dalam suatu aturan hukum atau teks

otoritatif seperti peraturan perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak,

keputusan tata usaha negara. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam

penelitian ini terdiri dari UUD 1945, UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ,

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran, Kepmenkes 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang

Peraturan internal staf medis (Medical Staff bylaws) di rumah sakit, Kepmenkes

No 772//Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman peraturan internal rumah sakit

(Hospital bylaws), dan Permenkes No.585 tahun 1989 Tentang Persetujuan

Tindakan Medik serta SK.Dirjen.Yan.Med.NO YM.02.04.3.5.2504 tentang hak

dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit .

Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh

dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,

serta simposium-simposium yang dilakukan para pakar hukum mengenai

Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien. Selain itu, dalam

penelitian ini dipergunakan pula bahan hukum tersier. Bahan hukum tersier

6Lihat Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu

Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 65. 7Lihat H. Hadari Nawawi & H.M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,

Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta, 1995, hal. 48-49; 7Lihat H. Hadari Nawawi & H.M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial

Lihat pula Taliziduhu Ndraha, Research (Teori Metodologi Administrasi), Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 60-61.

Page 21: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

21

adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

ensiklopedia, dan lain-lain. Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder diinventarisasi berdasarkan fokus permasalahan yang telah

dirumuskan dalam perumusan masalah dan diklasifikasi menurut bidang

kajiannya, agar memudahkan untuk menganalisisnya.

4. Metode pengumpulan Data

Oleh karena data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang bersifat kualitatif, maka metode pengumpulan data yang

dipergunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu

kegiatan untuk mengumpulkan, dan mempelajari, serta memahami data yang

berupa hasil pengolahan orang lain, dalam bentuk teks otoritatif (peraturan

perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak, keputusan tata usaha

negara, kebijakan publik, dan lainnya), literatur atau buku teks, jurnal, artikel,

arsip atau dokumen, kamus, ensiklopedi dan lainnya yang bersifat publik maupun

privat.

5. Metode Analisis data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif normatif. Karena penelitian ini tidak menggunakan konsep-konsep yang

diukur/dinyatakan dengan angka atau rumusan statistik, maka analisis terhadap

data sekunder dilakukan dengan cara berpedoman atau berdasarkan norma /

kaidah hukum (dalam arti luas, yaitu yang terdiri dari nilai hukum, asas hukum,

kaidah hukum dalam arti yang sempit dan teks otoritatif atau aturan hukum),

konsep hukum ataupun doktrin hukum yang terdapat pada kerangka pemikiran

Page 22: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

22

atau tinjauan pustaka yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian ini. Dalam menganalisis data sekunder tersebut, penguraian data

disajikan dalam bentuk kalimat yang konsisten, logis dan efektif serta sistematis

sehingga memudahkan untuk interpretasi data dan konstruksi data serta

pemahaman akan analisis yang dihasilkan, yaitu mencari sebab akibat dari suatu

masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis sesuai

dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu

hubungan antara Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan penelitian ini tediri dari lima bab dan masing-

masing bab mempunyai sub bab sendiri-sendiri. Bab pertama berisi pendahuluan

yang terdiri dari enam sub bab. Sub bab pertama berisi latar belakang penelitian

yang menggambarkan kenapa penelitian ini perlu dilakukan, pada sub bab kedua

terdapat perumusan masalah,sub bab ketiga mengenai tujuan penelitian dibahas

mengenai tujuan dari penelitian, sub bab keempat mengenai metodologi

penelitian ditulis tentang metode yang dipakai. Pada sub bab kelima ditulis

sistematika dari penelitian ini.

Pada bab dua dibahas tentang manajemen risiko yang merupakan

penelusuran terhadap kepustakaan baik berupa buku maupun jurnal yang

berhubungan dengan penelitian. Bab ini terdiri dari empat sub bab yaitu

pengantar, manajemen, manajemen risiko medik dan penutup . Pada pengantar

berisi berbagai hal yang akan dibahas dalam bab ini. Pada manajemen risiko

medik dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan manajemen, risiko dan

risiko medik.

Dalam bab tiga dibahas tentang perlindungan hukum pasien terdiri dari

tujuh sub bab yaitu tentang yang terdiri dari pengantar, hukum, tujuan

Page 23: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

23

hukum,pasien, perlindungan hukum, perlindungan hukum pasien dan penutup.

Bab empat membahas tentang hubungan antara unsur-unsur yang

berhubungan dengan manajemen risiko medik dan perlindungan hukum pasien.

Pada bab terakhir yaitu bab lima akan dibuat kesimpulan dari penelitian

ini dan juga akan dibuat beberapa saran.

Page 24: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

24

BAB II

MANAJEMEN RISIKO MEDIK

A.PENGANTAR

Dalam melakukan tugasnya seorang dokter ingin memberikan

penanganan medik yang sebaik-baiknya sesuai dengan kompetensi dan standar

prosedur yang dimilikinya, namun demikian keberhasilan penanganan medik

tidak hanya tergantung dari kompetensi dan standar prosedur yang

dijalankannya, karena ada kemungkinan timbul akibat dari penanganan medik

yang tidak diharapkan oleh dokter maupun pasien lain yang tak terduga. Akibat

yang tak terduga ini dapat terjadi pada siapapun (walaupun tindakan medik

tersebut dilakukan oleh dokter yang paling pandai/ pasien hanya dilakukan

tindakan medik yang sederhana) ,kapanpun (risiko dapat terjadi pada waktu

tindakan medik atau setelah tindakan dilakukan) dan dimana saja ( tindakan

dikamar operasi, unit gawat darurat dansebagainya). Akibat yang merugikan

tersebut dikatakan sebagai risiko medik.

Oleh karena itu , untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak

diharapkan, seorang dokter harus selalu berpikir cermat dan hati-hati dalam

bertindak agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin dapat terjadi serta

bagaimana dapat dengan segera mengatasi risiko medik yang telah terjadi

sehinggah kemungkinan dampak yang lebih merugikan pada pasien dapat

segera dilakukan .

Begitu pula bagi seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik

terhadap pasiennya. Pada hakekatnya, dokter akan selalu dituntut untuk lebih

mengutamakan rasa puas pasien (patient satisfaction), yaitu dengan

bertanggung jawab dalam upaya penyembuhan pasien. Sebaliknya karena

dalam setiap tindakan medik ada kemungkinan terjadinya risiko yang dapat

Page 25: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

25

membahayakan pasien, maka sebelum melakukan tindakan medik, dokter harus

menghormati hak pasien, meminta persetujuan dan menginformasikan kepada

pasien tentang efek samping yang mungkin terjadi dari tindakan yang

dilakukannya, memeriksa dengan teliti faktor-faktor yang dapat mendukung

terjadinya risiko.

Sekali lagi yang harus selalu diingat dan tidak boleh diabaikan, dokter

yang berkewajiban memberikan pertolongan kepada pasiennya haruslah

memenuhi standar profesinya sebagai pedoman yang harus dipergunakan dalam

menjalankan profesinya secara baik. Hal ini untuk menghindari kerugian pada

orang lain sebagai resiko dari tindakan medis yang dilakukan, yang seringkali

justru mengakibatkan pasien menuntut secara hukum. Sejak dulu telah dikenal

salah satu prinsip tradisional dari etika kedokteran adalah primum non nocere,

artinya yang penting adalah tidak merugikan.

B. MANAJEMEN

Kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno ménagement, yang

memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki

definisi yang mapan dan diterima secara universal. Marry Parker Vollet misalnya,

mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang

lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan

mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin

mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan,

pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk

mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.

Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan,

sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar,

Page 26: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

26

terorganisir, dan sesuai dengan jadwal. 8 Sumber lain juga mengatakan bahwa

manajemen mencakup ilmu dan kesenian menggerakan dan mengelolah

kesatuan organik manusia dan fungsi-fungsinya, agar tercapai maksud dan

tujuannya seefisien dan seefektif mungkin.9 Dalam pelayanan kesehatan di

rumah sakit peran manajemen merupakan salah satu hal yang sangat penting

dan perlu dilakukan secara terus menerus, karena dengan manajemen yang baik

maka pemilihan dan penggunaan sumber daya menjadi lebih efisien dan efektif

dalam memenuhi kebutuhan klien. Pelayanan kesehatan tidak akan bermutu

tinggi apabila tidak memenuhi arahan hukum, etika, kewajiban akibat hubungan

kontraktual dan persyaratan lainnya dan semuanya itu harus ditata dengan

manajemen yang baik.

Diharapkan dengan manajemen yang dilakukan maka pengelolaan

rumah sakit yang komplek dan syarat masalah dapat tetap memberikan

pelayanan yang bermutu yang diharapkan oleh masyarakat yang

membutuhkannya sehingga pelayanan kesehatan yang aman dan dapat

dipercaya bisa diperolehnya.10

1. Risiko

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, risiko didefinisikan sebagai

sesuatu yang terjadi dari suatu tindakan atau tindakan. Sedangkan menurut

Endarmoko risiko adalah ancaman, bahaya, kerawanan.11 Sedangkan definisi

lain risiko adalah ketidak pastian hasil di masa depan.12 Jadi berdasarkan

8 Lihat Wikipedia Indonesia,ensiklopedi bebas berbahasa Indonesia 9 Lihat B.N. Marbun,Konsep Manajemen Indonesia ,Jakarta,PPM,Cet l, 1980,hal 29 10 Lihat Besrterfield,Total Quality Management, 4 th.Ed.Englewoods Cliffs,NJ,Prentice Hall International 1994. 12 Lihat E Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2006, hal. 606 Lihat Carrol R, Risk Management Handbook or Health Care Organization, Jossey Bass, San Fransisco,2004,hal.179

Page 27: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

27

beberapa refrensi maka penulis mencoba mendefinisikan risiko sebagai bahaya

yang mungkin terjadi akibat sebuah proses tindakan yang sedang berlangsung

atau kejadian yang akan datang. Risiko dapat diartikan sebagai suatu

ketidakpastian hasil dari sebuah tindakan yang tidak terduga,dapat terjadi

walaupun dilakukan oleh seorang yang sangat ahli, dalam situasi dan kondisi

apapun dengan hasil yang tidak diharapkan oleh orang yang mengalami

maupun oleh pelaku dan dapat menimbulkan kerugian. Setelah memperhatikan

beberapa sumber tersebut, maka penulis mendefinisikan bahwa risiko adalah

segalah sesuatu hasil berbahaya yang tidak terduga, tidak diingini dan terjadi

akibat suatu tindakan serta dapat menimbulkan kerugian.

2. Medik

Istilah Medik diambil penulis dari kata Medical yang secara umum berarti

berhubungan dengan pengobatan. Hermien Hadiati Koeswadji mengartikan

‘medik’ sebagai ‘kedokteran’ dalam bukunya yang berjudul Hukum Kedokteran.

Dijelaskan dalam bukunya bahwa : “Hukum Kedokteran atau Hukum Medik

sebagai terjemahan dari “Medical Law” jadi menurut beliau arti “medik” adalah

“kedokteran.” 13 Hukum kedokteran adalah kumpulan peraturan yang mengatur

mengenai kesehatan individu, termasuk pengaturan tentang hubungan rumah

sakit dengan dokter, rumah sakit dengan pasien dan dokter dengan pasien.14

Dunia ilmu sudah lama merintis disiplin baru sebagai cabang dalam imu hukum,

yaitu hukum kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari “medical

law” untuk membedakannya dengan hukum kesehatan atau “health law.” 15

Menurut W.B.Van Der Mijn, hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang

13 Lihat Hermien Hadiaty, Hukum Kedokteran, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal.12 14 Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Hukum kedokteran, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 7. 15 Lihat Hermien Hadiaty, Beberapa Permasalahan hukum dan Medik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 1

Page 28: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

28

berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi penerapan

langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi penerapan perangkat hukum

perdata, pidana dan tata usaha negara. Sedangkan Leenen mendefinisikan

hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktifitas juridis dan peraturan hukum di

bidang kesehatan serta studi ilmiahnya. Ringkasnya, hukum kesehatan (Health

Law) dan hukum kedokteran (Medical Law) hanyalah terletak pada ruang

lingkupnya saja. Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang

berkaitan dengan kesehatan, sedangkan ruang lingkup hukum kedokteran hanya

pada masalah-masalah yang berkaitan dengan profesi kedokteran, Karena

masalah kedokteran juga termasuk dalam ruang lingkup kesehatan maka hukum

kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan. 16 Jadi pengertian medik ini

adalah mengenai pelayanan kesehatan oleh dokter pasien.

Sejak masa Hippocrates ilmu kedokteran dilaksanakan di dalam suasana

sosial, disesuaikan dengan kondisi hidup rakyat dan bagaimana mereka bersikap

merupakan sesuatu yang penting didalam pelayanan kedokteran. Sejak

beberapa dasawarsa kita telah menyaksikan kemajuan luar biasa telah terjadi

dalam teknologi kedokteran yang mempunyai dampak yang amat besar pada

pelayanan kedokteran. Bidang kedokteran telah menjadi begitu terspesialisasi,

dan dokter dokter pada masa sekarang makin lama semakin maju, mereka terus

belajar mengembangkan diri dan berorientasi ke teknologi yang semakin

berkembang dan maju. Tidak dapat kita ingkari bahwa kemajuan ilmu dan

teknologi telah membuahkan hasil yang luar biasa dalam hal penyembuhan

pasien secara individual dan hal ini akan berlangsung secara terus , kita dapat

melihat bahwa kegiatan pelayanan-pelayanan kesehatan bagi suatu masyarakat

juga banyak bergantung pada keadaan dan sikap sosial. Namun perbaikan

16 Lihat Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, rambu-rambu bagi profesi dokter, edisi 3, tahun 2005, hal. 1

Page 29: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

29

pelayanan kesehatan tidak dapat dicapai dengan hanya mengandalkan

kemajuan-kemajuan di bidang teknologi, para pekerja di bidang kesehatan harus

sadar akan lingkungan sosial tempat mereka bekerja. Mereka harus turut

bertanggung jawab dalam melaksanakan perbaikan terhadap lingkungan

sehingga akan diperoleh dampak yang baik terhadap kesehatan.

3. Risiko medik

Risiko medik adalah suatu peristiwa yang tak terduga yang timbul akibat

tindakan seorang tenaga kesehatan yang diberikan sesuai dengan standart

prosedur medis, kompetensi dan etika yang berlaku. Semua tindakan medik

mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu mengandung apa

yang yang dinamakan risiko. 17 Risiko medik tidak dapat dipersalahkan dan tidak

dapat diminta tanggungjawabnya, asalkan risiko ini merupakan risiko murni, di

mana tidak ada unsur kelalaiannya.

Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait

dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu

hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya

merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan

khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan

kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan

kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu

diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam

melaksanakan hubungan antar pihak. Hubungan dokter dan pasien, hubungan

dokter dan rumah sakit dan hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari

hubungan hukumnya merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam

17 Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung,2001, hal.30

Page 30: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

30

melaksanakan pengobatan yang dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada

umumnya perikatan yang digunakan sebagai hubungan hukum diatas

merupakan perikatan ikhtiar (inspanning verbentenis) yang merupakan upaya

seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang

diobati, bukan merupakan perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk

melindungi pasien dan masyarakat yang membutuhkan pengobatan dan dalam

menghindari pelanggaran, kelalaian terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter

yang dapat menimbulkan kegiatan malpraktik dokter, para dokter dibekali kode

etik kedokteran, hukum kesehatan, hukum hak asasi manusia serta peraturan-

peraturan yang mengatur praktik kedokteran.

Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien

dari praktek rumah sakit yang tidak layak beroperasi, melindungi tenaga

kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh rumah sakit, melindungi

masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah

sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan

layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan

lain - lain. Jaminan akan keamanan ini sering sulit diungkapkan secara faktual.

Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja derajatnya

bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik) hingga yang berat

(memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau bahkan kematian).

Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap kemungkinan risiko dan

manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur yang akan dijalaninya.

Namun demikian hal ini juga tidak selalu mudah, karena sebagian pasien justru

akan menolak dilakukan tindakan medik apabila mengetahui segala risikonya

secara rinci. Lain pula halnya dengan dokter, meskipun sebelum operasi setiap

pasien telah dijelaskan mengenai prosedur yang akan dilaksanakan, tetapi

sangat jarang dokter mendiskusikan kemungkinan terjadinya risiko akibat

Page 31: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

31

kesalahan dalam sistem (system fault). Sebagai contoh adalah infeksi pasca

operasi atau infeksi nosokomial yang umumnya terjadi akibat kesalahan dalam

sistem (keperawatan, tidak adanya risk management, dan tidak terdeteksinya

bakteri yang resisten (misalnya MRSA-methycillin resistant Staphylococcus

aureus, ataupun VRE-vancomycin resistant enterococcus).

Hal ini disebabkan karena di dalam Hukum Medis yang terpenting

bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadi akibat itu, bagaimana

tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting untuk diketahui. Namun

tentunya tidaklah semua ”tindakan yang tak disengaja” termasuk perumusan

risiko medik, karena tindakan kelalaian pun dilakukan tidak dengan sengaja.

Peristiwa yang terjadi itu selain tak terduga, pun merupakan sesuatu yang

tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan men”celakakan” dan dapat membawa

malapetaka. Setiap tindakan medik tentunya mempunyai manfaat yang kita

dapatkan, namun juga selalu ada risiko yang harus dihadapi. Risiko yang terjadi

pada pelayanan medik ataupun tindakan medik yang dilakukan oleh dokter

kepada pasien adalah sebagai berikut :

a. Reaksi Alergik, reaksi alergik adalah reaksi berlebihan dari tubuh seseorang

karena alergi yang timbulnya secara tiba-tiba dan yang tidak dapat diprediksi

terlebih dahulu. 15% populasi di US mempunyai risiko anafilaktik shock dan

frekuensi ini akan cenderung meningkat dari tahun ketahun. Angka kejadian

anafilaktik shock di US 1000 / tahun. Sedangkan angka terjadinya reaksi

anafilaksis shock pada penyuntikan penisilin 1 dalam 100 penyuntikan yang

dilakukan. Reaksi terhadap sensitivitas obat yang dapat menyebabkan

kematian ini juga dilaporkan oleh the medical defence union sebanyak 37%

dari 5% (39 dari 750 kasus) Oleh karenanya jika reaksi alergik demikian timbul

sehingga pasiennya mengalami anafilaktik shok, maka dokternya tidak dapat

Page 32: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

32

dipersalahkan. 18 Tentunya sewaktu terjadi anafilaktik shock, dokter itu harus

segera mengatasi shok tersebut dengan memberikan penanganan

sebagaimana mestinya.

b. Komplikasi dalam tubuh pasien, komplikasi yang timbul secara tiba-tiba pada

diri pasien itu sendiri yang tidak bisa diketahui atau diduga sebelumnya

seperti perdarahan, perluasan operasi sehinggah diangkatnya organ tertentu (

pengangkatan rahim pada operasi Caesar ),timbulnya emboli Paru yang dapat

membuat pasien meninggal dunia. Diperkirakan 40% orang dewasa yang

menjalani operasi di USA mempunya risiko gangguan jantung koroner

(Stoelting & Miller, 2000). Pemeriksaan pra operasi termasuk anamnesa

tentang kondisi pasien dan pemeriksan fisik, radiologi, laboratorium dan

sebagainya akan membuat ahli anastesi dapat mengetahui status kondisi

jantung pasien lebih baik sehinggah penanganan selama operasi lebih

optimal.Kira2 5% orang dewasa di US mempunyai gangguan ginjal yang

dapat meningkat risikonya pada waktu operasi menjadi gangguan ginjal akut

(Hurford, Bailin, Davison, Haspel, & Rosow, 1998). Angka kematian yang

berhubungan dengan gangguan ginjal lebih besar 30% pada waktu

operasi.(Hurford, et al., 1998) . Sedangkan spinal anastesi yang dianggap

merupakan salah satu pilihan yang lebih baik daripada nanastesi umum juga

mempunyai risiko sakit kepala 1-2%. Anastesi umum mempunya risiko

kematian 1 dalam 250,.000 tindakan. Malignant Hypertermia suatu risiko

medik yang sangat jarang terjadi dan dapat berakibat fatal pada pasien yang

menjalani tindakan anastesi dan biasanya terjadi pada ras negro dg risiko 1

dalam 50.000. Vacanti dkk, melaporkan pasien dengan status fisik ASA 1 pun

18 Lihat S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi,Surabaya,hal. 149

Page 33: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

33

masih mungkin mengalami kematian dengan angka statistik 8 dari 1000

tindakan pembiusan. 19

Walaupun risiko medik tidak terduga, namun kemungkinan timbulnya

risiko itu harus dibuat seminimal mungkin dengan melakukan tindakan

pencegahan maupun tindakan penanganan bila risiko medik tersebut telah

terjadi. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak

diharapkan, seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan hati-hati

dalam bertindak agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin bisa terjadi. 20

C. MANAJEMEN RISIKO MEDIK

Majemen risiko medik merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian,

pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya, sistim, fasilitas dan sebagainya

untuk mencapai pelayanan medik yang baik dan diberikan secara efektif dan

efesien dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya risiko dan melakukan

tindakan segera apabila risiko itu terjadi.Karena tanpa adanya manajemen risiko

medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang

berobat maupun yang akan mendapat penaganan medik tertentu. Jika tenaga

kesehatan sudah dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi

masih juga terjadi dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan

kepada dokternya. Karena hal tersebut termasuk risiko yang harus ditanggung

oleh pasien. 21 Selain itu pengemban profesi sepatutnya harus berusaha

menjalankan tugas yang diembannya dengan memberikan pelayanan yang terbaik

bagi pasien sehinggah dapat mengurangi kemungkinan terjadinya sesuatu yang

19 Lihat S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi,Surabaya,hal. 1 20Lihat J.Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

2005,hal. 106. 21 Lihat J.Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

2005,hal. 104.

Page 34: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

34

tidak diduga dan sangat tidak diharapkan oleh kedua belah pihak, baik dokter

maupun pasien. 22 Oleh karena itu sudah seharusnya rumah sakit mempunyai

tujuan pelayanan untuk melindungi pasien dari praktek rumah sakit yang tidak laik

beroperasi, melindungi tenaga kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh

rumah sakit,melindungi masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit danlain-

lain.

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang sangat berbeda dengan

organisasi-organisasi lainnya. Organisasi rumah sakit sangat rumit dan unik,

dikarenakan mengatur semua kebijakan dan kegiatan yang berbeda namun harus

bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Jadi untuk itu sangat perlu dilakukan manajemen risiko medik agar dapat

dipastikan bahwa dalam melakukan tindakan seorang dokter tidak melakukan

kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tindakan medik dan dokter

melaksanakan profesinya dengan berpedoman kepada standar pelayanan medis

yang telah digariskan oleh ikatan profesi dalam bidang keahliannya. 23 Selain itu,

khusus di dalam pelayanan kesehatan, kelalaian juga dikaitkan dengan pelayanan

yang tidak memenuhi (di bawah) standar profesi (standar pelayanan medis) yang

dakam prakteknya juga perlu digunakan untuk membedakan antara risiko medik

dan malpraktek medik. Kalau terhadap pasien telah dilakukan tindakan oleh

seorang dokter yang kompeten dan prosedur sesuai dengan standar pelayanan

medis, tetapi pasien akhirnya luka berat atau mati, ini merupakan risiko medis.

Sedangkan bagi pasien yang mengalami luka berat maupun kematian sebagai

akibat dokter yang tidak kompeten dan atau pelayanan kesehatan yang diberikan

di bawah standar medis, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai malpraktek.

22 Lihat Anny Isfandyarie,Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2005,hal.39 23 Lihat Anny Isfandyarie,Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2005,hal.124

Page 35: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

35

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam Manajemen Risiko Medik sebagai

berikut :

1. Standar Operasional Prosedur ( SOP ) dan menetapkan standard kinerja

(performance standards) untuk keamanan pasien.

Menyusun Standar Operasional Prosedur ( SOP ) sesuai dengan

standar profesinalisme yang berlaku, maksudnya penyusunan prosedur melibatkan

seluruh bagian terkait dengan memperhitungkan situasi dan kondisi di lapangan

termasuk standar fisik bangunan,fasilitas, kelengkapan peralatan dan sebagainya.

Penyusunan Standar Operasional Prosedur ini harus melibatkan semua pihak di

rumah sakit sesuai dengan bidangnya masing-masing, karena pelayanan terhadap

pasien tidak dapat dikotak-kotakan.Sebagai contoh, pasien yang datang untuk

operasi seksio sesaria, maka standar prosedur yang akan dilakukan terhadap

pasien tersebut bukan hanya dari standar operasional dokter saja, namun juga

standar prosedur administrasi sewaktu pasien datang mendaftar, standar prosedur

keperawatan sewaktu pasien dirawat di kamar, standar operasional laboratorium

apabila pasien akan dilakukan pemeriksaan darah untuk persiapan operasi

danseterusnya. Standar operasional yang dibuat berdasarkan alur pelayanan yang

disusun berdasarkan kebutuhan pasien. Semua profesional dalam melaksanakan

pekerjaannya harus sesuai dengan apa yang dinamakan standar profesi. Jadi

bukan hanya tenaga kesehatan yang harus bekerja sesuai dengan standar profesi

medik, pengemban profesi yang lain pun mempunyai standar profesi. Namun saat

ini standar profesi dari pengemban profesi yang lain, tidak atau belum begitu

dikenal atau dipermasalahkan, dibandingkan dengan standar profesi medik. 24

24 Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung,2001, hal. 49

Page 36: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

36

W.B. Van der Mijn berpendapat bahwa dalam melaksanakan profesinya,

seorang tenaga kesehatan perlu berpegang kepada tiga ukuran umum yaitu

kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian yang umum.

Kewenangan adalah kewenangan hukum yang dipunyai oleh seorang

tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Kewenangan ini

memberikan hak kepada tenaga kesehatan untuk bekerja sesuai dengan

bidangnya. Kewenangan tidak lain adalah kemampuan untuk mempengaruhi

pihak lain yang disahkan oleh yang berhak mensahkan. Di Indonesia,

kewenangan menjalankan profesi tenaga kesehatan didapat dai Departemen

Kesehatan. Syarat administratif ini, memberikan kepada dokter kewenangan

untuk melaksanakan profesi tenaga kesehatan. Bila seorang tenaga kesehatan

melaksanakan pekerjaan tanpa kewenangan, maka tenaga kesehatan tersebut

melanggar salah satu standard profesi tenaga kesehatan. Pemberian

kewenangan oleh yang berhak mensahkan yaitu Departemen Kesehatan,

menyebabkan seorang professional mempunyai apa yang dikenal sebagai

kewenangan professional dalam melakukan pekerjaannya.

Untuk mengukur atau menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga

kesehatan sangat sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhi penentuan itu.

Sebagai misal, seorang tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tentunya

tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang

telah menjalankan pekerjaan di bidang kesehatan selama dua puluh tahun. Di

lain pihak, seorang tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjaan selama

dua puluh tahun, harus mempunyai kemampuan seperti tenaga kesehatan yang

telah berpengalaman selama dua puluh tahun. Masalah tambahan bagi

Indonesia untuk menilai kemampuan tenaga kesehatan rata-rata, adalah tidak

meratanya keadaan dari tiap daerah. Selain itu apakah kemampuan tenaga

kesehatan di kota kecil dengan keterbatasan peralatan dan informasi, dapat

Page 37: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

37

disamakan dengan kemampuan tenaga kesehatan yang bekerja di kota besar

yang tentunya sangat mudah memperoleh informasi dan dikelilingi oleh peralatan

canggih? Karena itu penentuan tentang kemampuan rata-rata seorang tenaga

kesehatan tergantung dari situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan. Di

negara maju hal ini tidak menjadi masalah lagi, dikarenakan pemerataan dalam

segala bidang. Begitu pula dalam sidang pengadilan, seorang tenaga kesehatan

tertentu yang sedang diadili akan diukur kemampuannya dengan kemampuan

dari saksi ahli dengan kategori kemampuan rata-rata yang sama dalam bidang

yang sama dengan tertuduh.

Ukuran keseksamaan atau ketelitian yang umum, ialah ketelitian yang

akan dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaan

yang sama. Dengan perkataan lain, tidak dapat seorang tenaga kesehatan yang

dapat dikatakan perfeksionis menjadi ukuran bagi ketelitian dari tenaga

kesehatan yang lain. Penilaian yang umum di sini, adalah bila sekelompok

tenaga kesehatan akan melakukan ketelitian yang sama dalam situasi dan

kondisi yang sama, maka ukuran ketelitian itulah yang diambil. Penentuan

standar profesi tenaga kesehatan mengenai ketelitian ini pun sangat sulit, sebab

itu hakim yang akan menilai ketelitian umum seorang professional harus obyektif.

Ukuran ketelitian yang pasti tidak ada, sebab dalam setiap tindakan medik

terdapat ukuran umum tersendiri, yang akan berlainan dengan ukuran dari

tindakan medik yang lain. Jadi penilaian ketelitian umum inipun sangat relatif.

Keseksamaan ini, menjadi ukuran apakah seorang tenaga kesehatan telah

bekerja dengan seksama, atau telah melakukan kesalahan/ kelalaian. Ukuran

keseksamaan seperti ini dituliskan di atas sangat sulit ditentukan, karena itu,

ditentukan kalau dokter telah bekerja dengan seksama dalam arti tidak

melakukan kesalahan/ kelalaian, maka kalau terjadi sesuatu pada pasien, di

Page 38: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

38

mana tidak ditemukan kesalahan/ kelalaian dokter, maka dokter tidak dapat

dimintakan tanggungjawabnya baik secara perdata maupun secara pidana. 25

Brotowasisto Ketua Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran,

menjelaskan bahwa IDI sudah memprakarsai penerbitan standar profesi yang

baru memuat 3 macam standar sebagai berikut:

a. Standar pelayanan medik yang berisi hal-hal yang harus dilakukan dokter

ketika berpraktek

b. Standar kompetensi yang menyangkut kemampuan dokter

c. Standart of conduc atau standar etik yang mengatur perilaku dokter terhadap

pasien, sejawat dan terhadap dirinya.

Sedangkan Menurut Veronica, standar selalu berubah dan berkembang

seiring dengan perkembangan teknologi, bidang spesialisasi, fasilitas dan

sumber daya yang ada termasuk standar pelayanan medis di rumah sakit. 26

Leenen menjelaskan bahwa standar medis seorang dokter hendaknya

mengacu kepada kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama untuk

menggunakan upaya yang wajar, guna mencapai tujuan perawatan yang konkrit,

pada saat menghadapi masalah dengan situasi kondisi yang sama. Dari

beberapa pendapat tersebut di atas, dapat diartikan bahwa pada waktu dokter

melakukan praktek, dokter harus selalu berpedoman kepada standar operasional

prosedur. Standar ini harus dibuat oleh masing-masing bidang keahlian, dan

selalu disesuaikan dengan fasilitas, sumber daya manuasia dan kemajuan

teknologi yang ada pada saat itu serta diharapkan dengan perkembangan dan

tersedianya standar-standar untuk keperluan patient safety yang diberikan

kepada pasien antara lain bertujuan untuk:

25Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung,2001, hal. 52-54 26 Lihat Veronica D Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam transaksi Teraupetik,Citra Aditya Bakti,Bandung, 2002,hal. 178

Page 39: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

39

a. Sebagai standard minimum kinerja yang harus dilaksanakan oleh setiap

petugas untuk meminimalkan terjadinya risiko.

b. Standard kinerja juga dimaksudkan untuk menjamin konsistensi dan

keseragaman prosedur bagi setiap petugas kesehatan dalam melakukan

upaya medik, sehingga kalaupun tetap terjadi error, maka harus ditelusuri

kembali apakah standard yang ditetapkan adekuat.

c. Menjamin bahwa pelaksanaan standar (yang merepresentasikan

kesepakatan seluruh petugas yang ada) adalah dalam kerangka

profesionalisme dan akuntabilitas.

2. Program Peningkatan Mutu Rumah Sakit Dan Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain

adalah pengumpulan data, identifikasi masalah, prioritaskan masalah, lakukan

evaluasi dan monitoring terhadap outcome spesifik yang menjadi salah satu

target potensial untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko medik. Hal ini

sebenarnya dapat dilakukan secara rutin dengan disiplin yang tinggi dan terus

menerus yang melibatkan berbagai pihak terkait di tingkat rumah sakit .Selain itu

dapat pula dikembangkan audit medik,program risk management atau istilah

lainnya adalah disease management atau outcome management. Salah satu

tujuan dari risk management ini adalah untuk mencegah terjadinya risiko akibat

tindakan medik. Namun demikian, apabila ternyata risiko tidak dapat dicegah

maka upaya pengatasan masalah harus dilakukan secara adekuat. Contoh untuk

ini adalah menyiapkan obat suntik adrenalin dan kortison untuk mengatasi risiko

syok anafilaksi akibat pemberian obat per injeksi. Program-program

pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan bentuk lain dari

pengukuran kinerja dan sekaligus menyediakan instrumen untuk mencegah hal

tersebut. infeksi pasca operasi atau infeksi nosokomial yang umumnya terjadi

Page 40: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

40

akibat kesalahan dalam sistem (keperawatan, tidak adanya risk management,

dan tidak terdeteksinya bakteri yang resisten (misalnya MRSA-methycillin

resistant Staphylococcus aureus, ataupun VRE-vancomycin resistant

enterococcus). Untuk itu diperlukan informasi kepada masyarakat bahwa setiap

tindakan medik yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi.

Program peningkatan mutu Pelayanan Rumah Sakit harus menjadi kebijakan

yang terus dilakukan dan dievaluasi oleh seluruh staf di rumah sakit termasuk

dokter, perawat dan staf lain yang terkait termasuk staf maintenance. 27

Dibidang pelayan medik, program ini sangat penting karena program ini

harus dapat memastikan apakah para tenaga medis telah melakukan

pemeriksaan pasien dengan baik dan benar, misalnya pemeriksaan sebelum

tindakan bedah telah sesuai dengan SOP, termasuk pemeriksaan pendahuluan,

anamnese yang teliti, atau pemeriksaan laboratorium tambahan, jika dalam

pemeriksaan dicurigai ada hal-hal yang perlu dipastikan terlebih dahulu, misalnya

pasien diabetes perlu diperiksakan kadar gulanya, pemeriksaan jantung pada

pasien usia lanjut, tes faal paru-paru pada pasien perokok berat, dan sebagainya

pada pasien yang diperkirakan akan timbul pendarahan banyak, memasang

monitor-monitor pada pasien jantung seperti xymetry, dan lain-lain. serta

memastikan fungsi peralatan, fasitas dan kondisi fisik bangunan yang

berhubungan dalam pelayanan yan diberika kepada pasien dalam keaadaan

baik. Selain itu program peningkatan mutu ini juga akan memastikan pelayanan

yang diberikan telah sesuai dengan standar operasional prosedur melibatkan

seluruh bagian- bagian yang terkait. 28

27 Lihat Robert J Taylor, The AUPHA Manual of Health Services Management, Aspen Publisher,Maryland,1994,hal.53 28 Lihat S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi,Surabaya,hal. 27

Page 41: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

41

3. Menetapkan Strategi Pencegahan Berbasis Pada Fakta.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko medik

yang mungkin terjadi pada pasien sbb. :

a. Mengidentifikasi dan memantau kemungkinan terjadinya risiko yang dapat

terjadi pada sekelompok pasien dengan risiko tinggi serta memahami

bagaimana risiko bisa terjadi, khususnya untuk yang sifatnya dapat diketahui

dari awal dan dapat dicegah (preventable). Melakukan analisis, interpretasi

dan mendiseminasikan data yang ada ke para klinisi maupun stakeholders.

Lebih dari 92% infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit karena campur

tangan petugas kesehatan. Namun dokter umumnya kurang menyadari bahwa

infeksi nosokomial yang terjadi karena keterlibatan tenaga kesehatan dan

menganggap hal itu sebagai konsekuensi logis suatu tindakan medik. Hal ini

tentunya merupakan kekeliruan yang harus diperbaiki, karena meskipun

tindakan medik umumnya dapat menimbulkan risiko, hal itu masih

memungkinkan dapat dicegah jika dilakukan upaya pencegahan yang

adekuat. Kecilnya angka nosokomial yang biasanya dilaporkan biasanya

justru mengaburkan besarnya masalah. Rumah sakit perlu mengumpulkan

data secara akurat dan mendiseminasikannya kepada segenap dokter dan

petugas untuk meningkatkan awareness terhadap masalah ini.

b. Jika diperlukan dapat diundang para ahli dalam bidang klinis, epidemiologi

klinis, atau management training untuk melakukan eksplorasi dan sekaligus

memformulasi-kan solusi pemecahan.

c.Jika langkah-langkat tersebut telah dilakukan maka tahap berikutnya adalah

melakukan evaluasi dampak program terhadap keamanan pasien.

Page 42: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

42

4. Peraturan Internal Rumah Sakit

Organisasi rumah sakit sangatlah unik dan kompleks. Keberadaan pusat

kekuasaan atau otoritas di rumah sakit juga unik dan sukar ditemukan

persamaannya pada organisasi atau institusi lain. Di rumah sakit kepemimpinan

puncak terdiri dari tiga satuan atau organ fungsional yang berbeda kewenangan,

tugas dan tanggung jawab masing-masing, namun semua harus bekerja sama.

Secara integratif dalam menjalankan misi rumah sakit. Ke tiga kepemimpinan

puncak adalah :

a. Pemilik atau yang mewakili pemilik,

b. Direksi

c. Staf medis.

Pemilik atau yang mewakili pemilik sebagai otoritas steering, Direksi atau

Pimpinan Rumah Sakit mempunyai fungsi sebagai motor penggerak dan staff

medis adalah pelaku utama core business rumah sakit. Tidak satupun dari tiga

kekuasaan itu akan berfungsi, jika tidak ada dua yang lain. Mereka

sesungguhnya adalah tritunggal yang bersama-sama secara fungsional

memimpin rumah sakit dan bertanggung jawab bersama tentang layanan kepada

masyarakat (shared acountability). Diharapkan jabatan ketiga piminan puncak

tersebut tidak dirangkap, karena akan mempengaruhi keputusan yang akan

diambil. Sebagai contoh, seandainya seorang pemilik rumah sakit swasta yang

kebetulan seorang dokter merangkap sebagai direktur dan juga praktik, maka

apabila pemilik rumah sakit tersebut membeli peralatan, mungkin penggunaan

peralatan tersebut akan sulit dikendalikan dan munkin saja akan terjadi over

procedure dari peralatan tersebut. Tidak ada yang mengatur, tidak ada yang

mengawasi oleh karena itu sangat perlu dipertimbangkan apabila posisi jabatab

tersebut bila dirangkap. Dalam rangka menuju “Good Governance” rumah sakit

Page 43: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

43

telah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

772/Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit

(Hospital by Laws). Dalam pedoman tersebut diuraikan bahwa Hospital bylaws

terdiri dari Corporate by Laws dan Medical staff bylaws . Namun Peraturan

tersebut kurang rinci dan terlalu umum sehingga perlu diperbaiki dan diatur

dalam peraturan tersendiri. Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 631/MENKES/SK/IV/2005 Tentang

Pedoman PeraturanInternal Staf Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit

dengan pertimbangan bahwa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan medis di

rumah sakit perlu pengaturan internal yang mengatur peran dan fungsi pemilik,

pengelola dan staf medis dan dalam rangka rumah sakit menyusun Medical staff

bylaws. Dalam Kep.Men.Kes. ini setiap rumah sakit diwajibkan menyusun

Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws) di rumah sakit untuk

meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.Dalam

penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws ) di rumah

sakit mengacu pada pedoman yang dibuat dalam bentuk 2 lampiran yaitu,

a. Tata cara penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws)

di rumah sakit.

b. Pengorganisasian staf medis dan komite medis.

Pedoman Internal staf medis (Medical Staff bylaws ) di rumah sakit

merupakan acuan setiap rumah sakit dalam menyusun Peraturan

iInternalRumah Sakit (Medical Staff bylaws ) yang disesuaikan dengan

situasi, kondisi dan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Penyusunan dan

pelaksanaan pedoman ini akan di monitoring dan evaluasi oleh Direktur

jendral pelayanan medis, Dinas kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

Page 44: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

44

Dengan adanya Kep.Men.Kes ini maka Kep.men.Kes Nomor

772/MENKES/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah sakit

(Hospital bylaws )mengenai Peraturan Internal staf medis( medical staff bylaws )

dinyatakan tidak berlaku lagi. Salah satu materi dan substansi Peraturan internal

Staf medis (Medical staff bylaws) adalah membuat kerangka tugas dan

kewajiban Komite medis yang secara umum yaitu :

a. Menyusun, mengevaluasi dan jika perlu mengusulkan perubahan pada

Medical staff bylaws.

b. Menetapkan standar pelayanan medis yang dibuat oleh kelompok staf

medis.

c. Menentukan kebijakan umum dalam melaksanakan pelayanan medis

secara profesional.

d. Mengusulkan rencana pengembangan sumber daya manusia dan teknologi

untuk profesi medis. Kita sadari organisasi staf medis saat ini semakin

berkembang, jumlah dan jenis spesialisasi di rumah sakit semakin

bertambah. Karena itu rumah sakit diharapkan dapat menyusun Medical

Staff by Laws dengan mengacu pada pedoman ini.

Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam rangka peningkatan mutu

pelayanan medik maka perlu ada Medical staff bylaws yang berisi tentang

konsep dan prinsip, contoh atau modelformat, substansi dan langkah-langkah

penyusunannya.Tujuan dibuatnya by laws ini agar dokter yang bergabung di

rumah sakit sudah dapat dipastikan kompetensinya serta telah memenuhi aturan

dan ijin dari ikatan profesi maupun dari Dinas Kesehatan . Dalam by laws ini

akan diatur proses Credentialing, Previleging,Patient Care rules and monitoring

sehinggah dengan dilaluinya proses tersebut maka rumah sakit telah mempunyai

saringan yang baik untuk dokter-dokter yang akan bergabung dan mereka akan

Page 45: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

45

mempunyai pemahaman yangg baik dalam melakukan pelayanan kepada

pasien. 29 Suatu medical staff bylaws rumah sakit terbentuk atas perjanjian antara

rumah sakit dengan staf medis dan membentuk aturan keanggotaan staf medis

termasuk kriteria staf medis yang merefleksikan kepada misi rumah sakit untuk

pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian. Yang dimaksud dengan staf

medis dalam Medical staff bylaws adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan

dokter gigi spesialis. Bylaws dapat diadaptasi dari aturan rumah sakit atau

peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu ada beberapa tujuan yang

cukup penting dengan dibentuknya Medical Staff by Laws ini :

a. Untuk memastikan agar semua pasien yang masuk atau yang dirawat di

setiap fasilitas pelayanan rumah sakit memperoleh layanan kesehatan dengan

mutu tinggi dan aman (safety) tanpa membedakan ras, agama, warna kulit,

keturunan, status ekonomi, latar belakang pendidikan, status perkawinan,

ketidakmampuan, jenis kelamin, umur, orientasi sex, kebangsaan atau sumber

pembayaran.

b. Untuk mengatur agar pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penelitian

dapat dilaksanakan dengan tetap mempertahankan mutu layanan

kesehatan dan martabat untuk semua pasien.

c. Untuk mengembangkan dan melestarikan berbagai peraturan bagi staf

medik yang dapat menjamin kualitas profesional di rumah sakit.

d. Untuk menyediakan forum diskusi tentang permasalahan staf medik.

e. Untuk mengawasi dan menjamin adanya kesesuaian antara bylaws, rule and

regulation of medical staff dengan kebijakan rumah sakit.

29 Lihat Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, rambu-rambu bagi profesi dokter, edisi 3, tahun 2005, hal. 54

Page 46: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

46

Aturan staf medis merupakan kewajiban staf medis dalam pelayanan kesehatan

di rumah sakit yang berupa :

1) Kewajiban staf medis untuk mematuhi ketentuan dalam pelaksanaan

praktik kedokteran.

2) Kewajiban staf medis untuk mematuhi standar profesi.

3) Kewajiban staf medis untuk mematuhi standar pelayanan kesehatan dan

standar prosedur operasional.

4) Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang rekam

medis.

5) Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang informed

concent.

6) Ketentuan untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang rahasia

kedokteran.

7) Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang obat dan

formularium rumah sakit.

Diharapkan dengan penerapan Peraturan Internal Rumah Sakit,

pelayanan yang diberikan kepada pasien dapat lebih baik dan pasien

mendapatkan hak-haknya dan rumah sakit juga melakukan kewajiban

sebagaimana mestinya.

5. Persetujuan Tindakan Medik

Persetujuan tindakan medik atau Informed consent adalah persetujuan

yang diberikan setelah orang yang bersangkutan informed atau telah diberi

informasi. Dapat dikatakan informed consent adalah persetujuan berdasarkan

informasi dan pada dasarnya informed consent merupakan suatu kehormatan

terhadap hak-hak pasien sehingga dijalankan dengan penuh kesadaran dan

bukan hanya untuk mematuhi peraturan yang ada, karena para dokter

Page 47: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

47

diharapkan untuk secara lengkap memberikan informasi kepada pasien tentang

bentuk tindakan yang akan/perlu dilaksanakan dan juga risikonya. 30 Seringkali

dikemukakan bahwa masyarakat di negara berkembang kurang dapat

memutuskan apa yang baik diri mereka sehingga cenderung untuk menyerahkan

keputusan tersebut pada dokter. Sebenarnya dokter berkewajiban untuk

menyampaikan informasi yang lengkap dan benar tersebut dengan bahasa yang

dapat dimengerti oleh pasien.

Pada masyarakat maju atau masyarakat yang sedang berkembang tetap

saja pasienlah yang paling berhak untuk memutuskan apa yang terbaik bagi

dirinya. Tingallah kita bertanya pada diri sendiri sudah mampukah kita

memberikan informasi yang baik bagi pasien sesuai dengan tingkat pendidikan

dan sosial budaya pasien? Setiap tindakan medik ada kemungkinan terjadinya

resiko yang dapat membahayakan pasien, maka sebelum melakukan tindakan

medik, dokter harus menginformasikan kepada pasien tentang efek samping

yang mungkin terjadi dari tindakan yang dilakukannya. Sehingga dalam

penyampaian informasi harus ada kesamaan bahasa atau setidaknya ada

pendekatan dalam pengertian dari orang yang menerima informasi .Bila terdapat

kesenjangan yang besar antara bahasa pemberi informasi dan bahasa penerima

informasi, maka usaha pemberian informasi bukan saja tidak mencapai tujuan,

bahkan dapat mengarah kesalah pengertian. Seperti diketahui bahasa

kedokteran tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang

kedokteran. Pemberian informasi dengan penggunaan bahasa kedokteran tidak

akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Informasi

yang diberikan adalah informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu informasi yang

adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan dan risiko yang

30 Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Hukum kedokteran, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.62.

Page 48: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

48

dapat ditimbulkannya. Informasi yang harus diberikan adalah tentang

keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilaksanakan, baik

diagnostic maupun terapeutik. Sebaiknya isi minimal dari informasi dirinci

.Leenen memberikan pendapat tentang isi dari informasi yaitu diagnosa, terapi

dengan kemungkinan alternative terapi, tentang cara kerja dan pengalaman

dokter, risiko, kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lainnya, keuntungan

terapi dan prognose. Sebagai contoh misalnya: seorang pasien karena

penyakitnya diberikan antibiotik, maka sebelum dokter memberikan obat atau

resep, dokter sebaiknya memberikan pesan bahwa obat yang diberikan olehnya,

mungkin dapat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki. Penjelasan

yang diberikan haruslah dipahami oleh pasien. Kita tidak mungkin memberitahu

pasien bahwa efek samping obat dalam bahasa kedokteran. Bahasa yang

mungkin dapat dimengerti pasien adalah dengan mengatakan bahwa ”Bila nanti

timbul gelembung seperti terbakar, obat jangan diteruskan lagi, kemungkinan

Anda tidak tahan obat dan segeralah hubungi saya.” menjadi tolak ukur yang

juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam menentukan ada atau

tidaknya malpraktek. 31

Namun demikian harus diingat bahwa ilmu kedokteran tidak matematis,

artinya belum tentu seseorang pasien demam bereaksi sama dengan orang lain

yang demam pada saat diberikan obat demam yang sama demikian disampaikan

oleh Husein karbala seorang pakar hukum kesehatan dari unversitas Indonesia.

Jika efek samping bisa diketahui sebelumnya, maka dokter tersebut harus

memberikan informasi terlebih dahulu, satu dan lain untuk mencegah penuntutan

hukum. Adalah kewajiban dokternya untuk memberikan informasi atau

penjelasan kepada pasiennya jika ada risiko semacam ini dalam memperoleh

31 Anny Isfandyarie,Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2005,hal 41

Page 49: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

49

persetujuan tindakan medis (Informed Consent). Dokter dan pasien memerlukan

perlindungan hukum yang seadil-adilnya. Membiarkan opini masyarakat yang

negatif terhadap akibat tindakan medik hilangnya nyawa sebagai malpraktek

berarti dapat pula menimbulkan dampak negatif bagi dokter dalam menjalankan

profesinya. Oleh karena itu masyarakat perlu mengerti bahwa di dalam tindakan

medik, terkadang ada resiko medik yang justru dapat membahayakan jiwa

pasien yang mencari kesembuhan. Dalam menetapkan dan melaksanakan

kebijakan dan prosedur tentang Informed Consent harus memperhatikan

ketentuan-ketentuan dibawah ini:

a. Pengaturan Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medik harus dalam bentuk

kebijakan dan prosedur (Standard operating procedure) dan ditetapkan

tertulis oleh pimpinan rumah sakit.

b. Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya

memberikan informasi dan penjelasan adalah kewajiban dokter.

c. Pelaksanaan Informed Consent dianggap benar jika memenuhi ketentuan

dibawah ini persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis diberikan untuk

tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik, persetujuan atau Penolakan

Tindakan medis diberikan tanpa paksaan, persetujuan atau Penolakan

Tindakan Medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan

yang memang berhakmemberikannya dari segi hukum, persetujuan atau

Penolakan Tindakan Medis diberikan setelah diberikan cukup informasi dan

penjelasan yang diperlukan.

d. Isi informasi dan penjelasan.

Yang harus diberikan Informasi dan penjelasan (adekuat) jika paling sedikit

enam hal pokok dibawah ini disampaikan dalam memberikan informasi dan

penjelasan,yaitu informasi dan penjelasan tentang persetujuan dan prospek

keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan (purpose of medical

Page 50: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

50

procedure ). Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang

akan dilakukan (contemplated medical procedures), informasi dan penjelasan

tentang dan komplikasi yang mungkin terjadi, informasi dan penjelasan

tentang alternatif tindakan medis yang lain yang tersedia serta resiko

masing-masing (alternatif medical procedure and risk), informasi dan

penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut

dilakukan (prognosis with and without medical procedure) dan diagnosis.

e. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.

Dokter yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab

utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila

berhalangan, informasi dan penjelasan yang diberikan dapat diwakilkan

kepada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan.

f. Cara menyampaikan informasi dan penjelasan.

Informasi dan penjelasan disampaikan secara lisan. Informasi dan

Penjelasan secara tulisan dilakukan hanya sebagai pelengkap penjelasan

yang telah disampaikan secara lisan.

g. Pihak yang berhak menyatakan persetujuan adalah pasien sendiri, yaitu

apabila pasien telah berumur 21 tahun atau telah menikah

h. Cara menyatakan persetujuan

Cara pasien menyatakan persetujuan dapat secara tertulis (expres) maupun

lisan.Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang

mengandung risiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan

pada tindakan medis yang tidak mengandung risiko tinggi.

i. Semua jenis tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus disertai

Informed Consent. Jenis tindakan medis yang memerlukan Informed

Consent disusun oleh Komite Medik dan kemudian ditetapkan oleh pimpinan

rumah sakit. Bagi rumah sakit yang belum mempunyai Komite Medis atau

Page 51: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

51

keberadaan Komite Medis belum lengkap, maka dapat mengacu pada jenis

medis yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit lain yang fungsi dan kelasnya

sama.

j. Perluasan tindakan medis selain tindakan medis yang telah disetujui tidak

dibenarkan dilakukan dengan alasan apapun juga,kecuali apabila perluasan

tindakan medis tersebut terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan jiwa

pasien.

k. Pelaksanaan Informed Consent untuk tindakan medis tertentu, misalnya

tubektomi atau vasectomi yang berkaitan dengan program keluarga

berencana, harus ketentuan lain melalui konsultasi dengan perhimpunan

profesi yang terkait.

D. PENUTUP

Majemen risiko medik merupakan suatu cara yang sangat penting dalam

pelayanan kedokteran di rumah sakit, karena tanpa adanya manajemen risiko

medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien

yang berobat maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika sudah

dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi

dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya.

Termasuk risiko yang harus ditanggung oleh pasien. Di dalam kasus-kasus

inilah seiring terjadi perbedaan pendapat dan penafsiran lainnya. Risiko itu bisa

timbul, bisa juga tidak. Jika dokternya sudah bertindak dengan hati-hati, teliti dan

berdasarkan manajemen risiko medik yang telah diuraikan diatas seperti

melakukan tindakan sesuai dengan standar operasional prosedur, mempunyai

program peningkatan mutu rumah sakit serta melakukan evaluasi secara rutin,

menyelenggarakan medical staff by laws dan memberikan penjelasan kepada

Page 52: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

52

pasien tentang kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada tindakan medik dan

langkah-langkah yang akan diambil bila risiko tersebut terjadi.

Risiko medik mangandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan

(verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarbeid) dan terjadinya tidak

dapat diduga sebelumnya. Dokter sama sekali tidak memberikan jaminan akan

penyembuhannya. Hal ini memang juga tidak mungkin mengingat banyaknya

variasi yang terdapat di dalam diri pasien,seperti: sifat dan macam penyakit,

usianya, komplikasinya, taraf tingkat penyakit yang berbeda- beda dan hal-hal

yang meliputi daya-tahan tubuh. Kesemuanya ini tidaklah sama. Setiap orang

mempunyai ciri khusus tersendiri dan dapat dikatakan bahwa dalam ilmu medis

hampir tidak ada dua kasus yang persis sama.

Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait

dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu

hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya

merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan

khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan

kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan

kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu

diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam

melaksanakan hubungan antar pihak. Hubungan dokter dan pasien, hubungan

dokter dan rumah sakit dan hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari

hubungan hukumnya merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam

melaksanakan pengobatan yang dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada

umumnya perikatan yang digunakan sebagai hubungan hukum diatas

merupakan perikatan ikhtiar (inspanning verbentenis) yang merupakan upaya

seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang

diobati, bukan merupakan perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk

Page 53: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

53

melindungi pasien dan masyarakat yang membutuhkan pengobatan dan dalam

menghindari pelanggaran, kelalaian terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter

yang dapat menimbulkan kegiatan malpraktik dokter, para dokter dibekali kode

etik kedokteran, hukum kesehatan, hukum hak asasi manusia serta peraturan-

peraturan yang mengatur praktik kedokteran.

Rumah sakit harus mempunyai berbagai aturan dalam melindungi pasien

dari praktek rumah sakit yang tidak layak beroperasi, melindungi tenaga

kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan oleh rumah sakit, melindungi

masyarakat dari dampak lingkungan rumah sakit, mengendalikan fungsi rumah

sakit kearah yang benar, meningkatkan mutu rumah sakit, menselaraskan

layanan di rumah sakit dengan program pemerintah dalam bidang kesehatan dan

lain - lain. Jaminan akan keamanan ini sering sulit diungkapkan secara faktual.

Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja derajatnya

bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik) hingga yang berat

(memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau bahkan kematian).

Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap kemungkinan risiko dan

manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur yang akan dijalaninya.

Page 54: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

54

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

A.PENGANTAR

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Negara yang

berlandaskan hukum maka sudah selayaknya jika hukum dijadikan supremasi, di

mana semua orang diharapkan tunduk dan patuh kepadanya tanpa kecuali.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan peraturan yang dapat

memberikan perlindungan dan mempertahankan serta meningkatkan mutu

pelayanan medis yang diberikan oleh dokter serta memberikan kepastian hukum

kepada masyarakat. Hal tersebut sangat dimengerti karena kebanyakan seorang

pasien memposisikan dirinya sebagai seorang penderita cenderung bersifat pasif

yang artinya bila menerima pelayanan medik hanya berkewajiban untuk

menerima pelayanan yang diberikan termasuk segalah kemungkinanan-

kemungkinan yang dapat terjadi pada dirinya walaupun belum memahami secara

mendalam penjelasan yang diberikan oleh seorang dokter. Aspek hukum

diperlukan juga untuk melindungi pasien, karena pada masa lampau ada

anggapan kuat bahwa kedudukan hukum pasien saat itu dianggap sebagai ahli

yang maha tahu sehingga pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan

perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi

pasien semakin tinggi, oleh karena itu dalam hubungan antara dokter dengan

pasien, misalnya, terdapat kesederajatan maka pasien pun memerlukan

perlindungan hukum dikaitkan dengan kemungkinan tenaga medis melakukan

Page 55: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

55

malapraktek. Aspek Hukum yang harus dimiliki oleh para ahli kesehatan juga

tidak kalah pentingnya karena para ahli kesehatan dalam melakukan tugasnya

adalah selalu penuh risiko, kalau para ahli kesehatan tersebut dalam melakukan

tugasnya sudah melalui prosedur yang benar,derajat kompetensi yang jelas dan

maka tentu saja akan mendapatkan perlindungan hukum. Aspek hukum untuk

pihak ketiga dan kepentingan umum juga sangat dibutuhkan, tidak mustahil

kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi dengan kepentingan masyarakat

atau kepentingan umum, artinya apa yang diharapkan masyarakat tidak sesuai

dengan kenyataan yang terjadi. Mengingat hal tersebut, maka sangatlah

diperlukan perlindungan hukum kepada pasien sehinggah pasien dapat

memperoleh hak nya.

B. HUKUM

Manusia mempunyai kecenderungan dan kebutuhan pada ketertiban dan

keadilan. Karena itu, dinamika kehidupan bermasyarakat telah memunculkan

hukum, berupa berbagai perangkat aturan hukum yang tertata secara sistemik

sebagai ungkapan rasa keadilan masyarakat dan sarana untuk mewujudkan

ketertiban berkeadilan. Sebagai demikian, hukum tersebut mempunyai banyak

aspek, dimensi dan faset yang menyebabkan hukum menjadi gejala yang sangat

mejemuk. Hukum tersebut berakar dan terbentuk dalam proses interaksi

berbagai aspek kemasyarakatan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya,

teknologi, keagamaan, ideologi dan sebagainya. Dalam dinamikanya, hukum

tersebut dibentuk dan ikut membentuk sistem masyarakat. Bentuk dan berbagai

sifatnya ditentukan oleh masyarakat namun sekaligus ikut menentukan bentuk

dan sifat-sifat masyarakat itu sendiri. Jadi, hukum tersebut dikondisi dan

mengkondisi masyarakat. Hukum tersebut bertujuan untuk mewujudakan

Page 56: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

56

ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat, maka hukum disatu

pihak memperlihatkan kecenderungan konservatif, yaitu berupaya memelihara

dan mempertahankan apa yang sudah tercapai. Namun di lain pihak juga

memperlihatkan kecenderungan modernisme, yaitu berupaya mendorong,

meneruskan atau menyalurkan dan mengarahkan perubahan masyarakat.32

Masyarakat itu sesungguhnya terdiri dari manusia, baik sebagai

perorangan (individu) atau kelompok-kelompok manusia yang telah berhimpun

untuk berbagai keperluan atau tujuan. Pergaulan atau hubungan masyarakat

adalah interaksi antara manusia dan kelompok manusia yang saling

membutuhkan dan ketergantungan. Agar hubungan ini dapat berjalan dengan

baik, maka dibutuhkan aturan yang berdasarkannya orang akan melindungi

kepentingannya dan menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai

dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh aturan (hukum) tersebut. Untuk

mengatur segala hubungan antar manusia, baik hubungan antar individu,

maupun antara individu dengan kelompok-kelompok, begitu pula hubungan

antara individu atau kelompok dengan pemerintah (negara) diperlukan hukum.33

Masyarakat betapapun sederhananya, selalu memerlukan penataan dan

pengaturan perilaku di dalam masyarakat yang kepatuhan dan penegakannya

tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada kemauan bebas masing-masing.

Karena itu, di dalam masyarakat dengan sendirinya timbul sistem pengendalian

sosial (social control) terhadap perilaku para masyarakatnya yang dalam

perkembangannya, sistem pengendalian sosial ini telah mengalami perubahan

dan memunculkan apa yang sekarang disebut dengan tatanan hukum, yang

kepatuhan dan penegakannya tersebut tidak dapat diserahkan sepenuhnya 32B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia dalam “Percikan Gagasan Tentang

Hukum Ke-III” editor: Wila Chandrawila Supriadi, Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 9. 33 Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,

Bandung, 2001, hlm. 16-17.

Page 57: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

57

kepada kemauan bebas masing-masing warga mayarakat, melainkan dapat

dipaksakan secara terorganisasi oleh masyarakat sebagai keseluruhan, yaitu

oleh masyarakat hukum yang terorganisasi secara politikal berbentuk badan

hukum publik yang disebut negara.34

Dengan demikian, hukum merupakan suatu prasyarat agar interaksi

sesama manusia dapat berjalan tertib dan teratur. Hukum adalah alat untuk

mengatur manusia, akan tetapi hukum bukan satu-satunya alat untuk mengatur

manusia dalam masyarakat. Jadi, hukum itu tidak berawal dari hukum sendiri,

melainkan dari manusia dan kemanusiaan di dalam pergaulan masyarakat.35

Interaksi manusia dalam masyarakat tersebut dengan sendirinya akan

menciptakan suatu tatanan hukum yang sedemikian rupa sehingga para anggota

masyarakat dapat hidup bersama dalam suasana solidaritas yang wajar dan

saling menghargai sebagai sesama manusia.36 Sebagai demikian, hukum

tersebut mempunyai sifat normatif, yaitu mewajibkan para anggota masyarakat

untuk mentaatinya

Menurut Reinhold Zippelius, melalui hukum manusia hendak mencapai

ketertiban umum. Meskipun demikian, harus disadari bahwa ketertiban umum

yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan

secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses sosial.

Dalam hubungan ini bahwa proses sosial itu sendiri adalah fenomen yang

dinamis. Melalui proses sosial penyelenggaraan hukum itu akan memperoleh

34 Lihat B. Arief Sidharta, Disiplin Hukum (Tentang Hubungan Antara Ilmu Hukum, Teori

Hukum dan Filsafat Hukum) dalam “Pro Justitia” Tahun XX - Nomor 3 - Juli 2002, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan bekerja sama dengan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 3.

35 Lihat Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia editor: Karolus Kopong Medan & Frans J. Rengka, Kompas, Jakarta, 2003, hal. 34 & 120;

36 Lihat Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 18, 29, 30, 35, 52 & 61;

Lihat pula... B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 187.

Page 58: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

58

kepercayaan dari masyarakat sebagai memang akan memberikan ketertiban

umum kepada kehidupan bersama. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri

harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila

penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi.

Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat

mau mengandalkannya sebagai perangkat kaidah yang mengatur kehidupan

bersama. Konsistensi dalam penyelenggaraan hukum itulah yang disebut

kepastian hukum. Konsistensi itu diperlukan sebagai acuan bagi perilaku

manusia sehari-hari dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Acuan

perilaku itu diperlukan, karena manusia tidak hidup berdasarkan naluri yang

alamiah, melainkan terutama berdasarkan akal yang membuat keputusan melalui

kehendak yang bebas. Kendati demikian, konsistensi dalam penyelenggaraan

hukum itu bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sehingga terdapat

risiko bahwa penyelenggaraan hukum itu menjadi tidak konsisten. 37

Demi tercapainya suatu kondisi pergaulan hidup yang tertib, manusia

membutuhkan suatu pedoman atau patokan mengenai berperilaku yang

sedemikian rupa, sehingga dia dapat mengharapkan respon dari manusia lain

dengan siapa dia berhubungan, yang kurang lebih merupakan respons yang

dapat dianggapnya sebagai "masuk akal". Jika manusia tidak mempunyai

patokan perilaku, dan karenanya juga tidak bisa memperkirakan respons yang

"masuk akal" yang akan diterimanya dari manusia lain, maka setiap kali dia

melakukan suatu tindakan tertentu, dia tidak akan dapat membayangkan,

perilaku manakah atau seperti apakah yang dapat diterima secara umum, dan

perilaku manakah atau seperti apakah yang akan ditentang atau ditolak oleh

para warga masyarakat. Dalam keadaan tanpa patokan sedemikian itu, akan

37 Lihat Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil (Problematik Fisafat Hukum),

Grasindo, Jakarta, 1999, hal. 150-151.

Page 59: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

59

sukar bagi warga masyarakat untuk membayangkan bahwa kehidupan

masyarakat bisa berlangsung dengan tertib, damai, dan adil. Fungsi dari

kepastian hukum adalah untuk memberikan patokan yang sedemikian rupa bagi

perilaku warga masyarakat untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat

bisa berlangsung dengan tertib dan tentram. Selanjutnya, agar kepastian hukum

itu dapat diwujudkan dan sungguh menampilkan diri di hadapan masyarakat,

maka kepastian hukum itu harus memiliki bobot yang formal maupun yang

material. Karena memang sudah kodratnya bahwa kepastian hukum itu akan

selalu mempunyai kinerjanya yang selalu akan sangat mudah untuk diamati oleh

masyarakat. Kinerja yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan

cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang

dari norma hukum. Berbeda dengan kepastian hukum formal yang diperoleh

terutama melalui kinerjanya, kepastian hukum yang material dihasilkan oleh rasa

keadilan yang proporsional yang mengemuka manakala perilaku yang

menyimpang dari norma hukum dengan bobot yang berbeda-beda memperoleh

penilaian. Kepastian hukum yang formal tidak bisa dibilang sebagai ada, jika

setahun yang lalu tindakan korupsi dikenai hukuman pidana, sedangkan sebulan

yang lalu menjadi tindakan yang dikenai sanksi perdata. Kepastian hukum yang

material juga tidak bisa dibilang sebagai ada, jika suatu peristiwa hukum yang

terjadi adalah berbeda namun diberikan akibat hukum yang sama. Karena

manusia tidak dibimbing oleh nalurinya, melainkan (seharusnya) terutama oleh

akalnya, patokan bagi perilakunya itu juga dijaga oleh suatu substansi yang

merupakan produk dari akal, yang dalam zaman modern disebut negara.

Konsekuensinya adalah negara bertanggung jawab untuk mengurus tertib hukum

(order), keandalan hukum (legal reliability) dan kesinambungan hukum (legal

continuity). 38 38 Lihat Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil (Problematik Fisafat Hukum),

Page 60: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

60

Sendi-sendi ketertiban, keadilan dan kebahagiaan yang terwujud dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari akan dapat tercipta dengan kepastian dalam

hukum baik kepastian tentang hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung

jawab maupun kepastian tentang berbagai hubungan hidup bermasyarakat.

Kepastian hukum itu harus diartikan suatu kepastian keadaan oleh karena

hukum dan kepastian dalam hukumnya sendiri, sebab hukum tidaklah harus

berupa peraturan-peraturan (regel) belaka akan tetapi juga berupa keputusan

pejabat yang berwenang. Dalam pendapat ini dapat ditafsirkan mengenai

keadilan justru dapat tercapai atas dasar kepastian hukum yang diterapkan

terhadap peristiwa tertentu, sekalipun sebaliknya kadang-kadang suatu

kepastian hukum tercapai atas dasar keadilan.39

Hukum di ruang pengembanannya harus diarahkan dalam rangka

menjamin terselenggaranya zona "prediktabilitas" dan "stabilitas" dalam

yurisdiksinya yang harus pula menampilkan karakter yang "definitif" (pasti) di

tiap-tiap level pengembanannya (menjawab masalah-masalah yuridis).

Perkataan "definitif" tersebut dimaksudkan, bahwa penerapan hukum selalu

menuntut tegaknya kepastian hukum. Atribut "definitif" ini sedemikian pentingnya

bagi hukum, bahkan keseluruhan gagasan tentang sistem hukum pun semata-

mata diarahkan dalam rangka menjamin tegaknya ihwal kepastian hukum ini.

Dengan adanya kepastian semacam ini, pada galibnya masyarakat akan

terhindar dari sirkumstansi-sirkumstansi penerapan hukum yang mengarah pada

'onzekerheid' (ketidakpastian hukum). Dengan kepastian ini pula, zona

prediktabilitas dan stabilitas (suasana tertib) di masyarakat, diharapkan akan

terselenggara secara mantap dan konsisten. Karenanyalah dikatakan, bahwa

Grasindo, Jakarta, 1999, hal. 152-158.

39 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori–Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 10-12.

Page 61: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

61

hukum tidak bisa bertolak dari kekhawatiran-kekhawatiran, hukum harus

memulai kiprahnya di tataran penerapan dari sebuah situasi yang pasti

(kepastian hukum). Hal ini berarti bahwa orang butuh sesuatu yang pasti

menyangkut hak dan kewajiban, mengenai apa yang boleh dan apa yang

dilarang menurut hukum dalam situasi konkret tertentu. Dengan kata lain,

bermodalkan corak yang "berkepastian" itu, hukum akan mengeksplisitkan hak-

hak dan kewajiban-kewajiban dari seseorang, terhadap siapa, berkenaan dengan

apa, dan dalam situasi apa. Dalam situasi (konkret) itu, hukum akan tampil

menetapkan apa yang menjadi hak baginya dan apa yang menjadi kewajiban

baginya.

Jadi akibat-akibat dari suatu tindakan yang dilakukannya dapat diramalkan

atau diduga. Dalam konteks penegakkan hukum, jika hakim berhadapan dengan

kasus serupa, maka harus menghasilkan pertimbangan dan putusan serupa

adalah sesuai dengan maksud dan tujuan keterdugaan dari perbuatan hukum

dalam konteks pemikiran kepastian hukum.40 Menurut Satjipto Rahardjo,

kepastian hukum menyangkut masalah "law being written down" bukan tentang

keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum itu tidak ada hubungannya dengan

"die Sicherkeit durch das Recht," seperti memastikan, bahwa pencurian,

pembunuhan, menurut hukum merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah

"Sicherkeit des Rechts selbst”. (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat

hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. (1), bahwa hukum itu

positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). (2),

bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan ten-

tang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti "kemauan baik",

40 Lihat Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia

diterjemahkan oleh: Tristam P. Moeliono, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlal. 208-210.

Page 62: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

62

"kesopanan". (3), bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas

sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah

dijalankan. (4), hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Lebih lanjut

menurutnya, kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol”

(subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan

dengan faktor di luar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian, maka

seperti dikatakan Gustav Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari

adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).41

Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah suatu

jaminan yang diberikan oleh otoritas tertentu, terhadap hak dan kewajiban dari

setiap subyek hukum beserta akibatnya, melalui suatu teks otoritatif (peraturan

perundang-undangan, perjanjian, kebijakan publik, putusan hakim, penetapan

hakim, penetapan pejabat publik, dan lainnya) yang di dalamnya tidak terdapat

keterangan-keterangan yang saling bertentangan (kontradiksi atau

inkonsistensi), baik secara vertikal maupun horisontal (tata hukum) dan tidak

pula terdapat pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dapat diartikan

secara berlainan, sehingga setiap subyek hukum akan memperoleh (dapat

diprediksi) akibat hukum (baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki)

dalam suatu peristiwa hukum tertentu yang pada galibnya akan terhindar dari

tindakan sewenang-wenang.

C. TUJUAN HUKUM

Tujuan hukum sebenarnya sudah terkandung dalam batasan pengertian

atau definisinya. Jika dikatakan bahwa hukum itu adalah perangkat kaidah-

41 Lihat... Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hal. 135-136.

Page 63: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

63

kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,

maka dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi yang terpenting dari hukum

adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat.

Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian,

artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam

kehidupan bermasyarakat karena ia dapat mengadakan perhitungan tentang apa

yang akan terjadi atau apa yang bisa ia harapkan. Keteraturan yang intinya

kepastian ini, apabila dihubungkan dengan kepentingan penjagaan keamanan

diri maupun harta milik dapat juga dinamakan ketertiban.42

Namun fungsi hukum untuk menjamin ketertiban ini, hanya merupakan

salah satu tugas hukum dalam mewujudkan tujuannya. Sedangkan tujuan hukum

itu merupakan landasan dari keberadaan hukum sebagai pengaturan perilaku

manusia dalam pergaulan hidupnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa

tujuan akhir hukum adalah keadilan43 dan ada pula yang mengatakan bahwa

tujuan hukum itu adalah penataan masyarakat yang berkedamaian dan

berkeadilan44. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa

keadilan adalah tujuan dari hukum.

Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus

diarahkan untuk menemukan sebuah sistem (tatanan) hukum yang paling cocok

dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan,

yang dengan kata lain adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang

hukum. Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena

42 Lihat Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,

Bandung, 2000, hal. 49-50. 43 Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2006, hal. 54. 44 Lihat J.E. Spruit, Tujuan Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta dalam Tim

Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995, hal. 142.

Page 64: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

64

hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya

manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya

secara adil.45

Tentang tujuan hukum tersebut, seperti juga tentang pelbagi aspek lain

dari hukum, terdapat banyak pendapat atau teori. Namun, dalam pelbagai

pendapat atau teori tentang tujuan hukum itu dapat ditemukan adanya dua teori

dasar tentang tujuan hukum yang melandasi pelbagai teori atau pendapat yang

dimaksud tadi, yakni teori etis dan teori utilitas. Teori-teori yang lainnya itu

merupakan varian atau kombinasi dari teori etis dan/atau teori utilitas.46

1.Teori Etis

Teori etis berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan

keadilan (rechtsvaardigheid atau gerechtigheid, justice). Yang pertama

mengemukakan teori etis adalah Aristoteles dalam buku "Ethica Nicomachea"

dan "Rhetorica". Menurut Arisioteles, keadilan berarti memberikan kepada setiap

orang apa yang menjadi bagian atau haknya (ius suum quique tribuere). Bagian

atau hak setiap orang itu tidak selalu sama. Jadi keadilan tidak selalu berarti

bahwa tiap orang memperoleh hak atau bagian yang sama. Aristoteles

membedakan adanya dua jenis keadilan, yakni keadilan distributif dan keadilan

komutatif. 47

Secara umum dikatakan, bahwa keadilan berarti dengan sukarela secara

tetap dan mantap terus menerus memberikan kepada tiap orang apa yang

memang sudah menjadi bagiannya atau haknya (Iustitia est constans et perpetua

45 Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2006, hal. 54. 46 Lihat O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia,

Jakarta, tanpa tahun, hal. 45-46. 47 Lihat Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995, hal. 36.

Page 65: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

65

voluntas ius suum cuique tribuere). Berdasarkan rumusan tadi, pengertian

keadilan dapat dibedakan dalam beberapa aspek berikut ini. Keadilan Distributif

(iustitia distributive) adalah keadilan yang berupa kewajiban pimpinan

masyarakat untuk memberikan kepada para warga masyarakat beban sosial,

fungsi-fungsi, balas jasa dan kehormatan secara proporsional (seimbang)

dengan kecakapan dan jasa masing-masing. Dengan demikian keadilan

distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang bagian atau jatah

yang sesuai dengan jasanya. Yang menjadi asas pada keadilan distributif

bukanlah persarnaan bagian, melainkan kesebandingan. Keadilan distributif

adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga masyarakat

dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Keadilan Komutatif (iustitia

commutativa) adalah kadilan yang berupa kesenilaian antara prestasi dan

kontra-prestasi, antara jasa dan balas jasa dalam hubungan-hubungan antar-

warga, atau, dilihat dari sudut pemerintah memberikan kepada setiap warga

secara sama tanpa menghiraukan perbedaan-perbedaan keadaan pribadi

ataupun jasanya. Jadi, keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan

kepada tiap orang bagian yang sama banyak tanpa memperhatikan jasanya.

Yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan. Keadilan

komutatif adalah asas yang menguasai atau melandasi hubungan antar warga

masyarakat secara perseorangan, misalnya dalam hubungan jual-beli atau tukar

menukar. Keadilan Vindikatif (iustitia vindicativa) adalah keadilan yang berupa

memberikan ganjaran (hukuman) sesuai dengan kesalahan yang bersangkutan.

Keadilan Protektif (iustitia protectiva) adalah keadilan berupa perlindungan yang

diberikan kepada setiap manusia, sehingga tak seorangpun akan mendapat

perlakuan sewenang-wenang. Rumusan-rumusan tentang keadilan tadi adalah

rumusan yang abstrak. Isi dari rumusan-rumusan tadi akan ditentukan oleh

kondisi yang di dalamnya keadilan hendak diwujudkan. Yang pasti adalah,

Page 66: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

66

bahwa keadilan menuntut bahwa setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk

bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum

(pengertian hukum di sini tidak selalu berarti hukum positif).48

2. Teori Utilitas

Menurut teori utilitas, nilai kedayagunaan atau kemanfaatan ini merupakan

tujuan hukum yang paling penting dan utama. Teori utilitas ini dilandasi oleh

aliran (pemikiran) utilitarianisme yang meyakini bahwa tujuan hukum satu-

satunya adalah untuk mencapai kedayagunaan atau kemanfaatan. Hukum yang

baik adalah hukum yang membawa kedayagunaan bagi sebanyak-banyaknya

manusia.

Teori ini dikemukan oleh Jeremy Bentham49 pada abad ke-18 (kedelapan

belas) yang merupakan reaksi terhadap ciri metafisis dan abstrak dari filsafat

politik dan filsafat hukum. Filsafat hukum dari Bentham adalah individualisme.

Individualismenya telah mengilhami usaha-usaha di bidang legislatif yang banyak

dan penuh semangat, yang semuanya ditujukan terhadap emansipasi individu

dari banyak kekangan-kekangan konstitusional dan ketidakadilan-ketidakadilan

yang merintangi.

Apa yang cocok digunakan oleh, atau cocok untuk kepentingan individu,

adalah apa yang cenderung untuk memperbanyak kesenangannya. Apa yang

cocok untuk digunakan oleh, atau cocok untuk kepentingan masyarakat, adalah

apa yang cenderung untuk menambah kesenangan individu-individu yang

merupakan anggota-anggota masyarakat itu. Oleh karena itu, agar hal-hal yang

menuju kepada bertambahnya kesenangan dapat terjamin dan terwujud, maka

48 Lihat B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila (tidak dipublikasikan), Program

Pascasarjana Universitas Parahyangan, Bandung, tanpa tahun, hal. 8-9. 49 Lihat Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan diterjemahkan

oleh: Ilzamudin Ma`mur & Mufti Ali, Murai Kencana, Jakarta, 2001, hal. 138.

Page 67: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

67

diperlukanlah suatu aturan perilaku terhadap individu-individu tersebut yang

mempunyai daya pemaksa yang disebut dengan hukum. Sehingga karenanya,

hukum memiliki tugas untuk memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan,

yang pada akhirnya yang dituju oleh hukum adalah untuk memelihara

kedayagunaan atau kemanfaatan.

Dengan demikian kedayagunaan (doelmatigheid) atau kemanfaatan dalam

hukum menurutnya adalah bahwa hukum itu bertujuan menjamin adanya

kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada sebanyak mungkin orang. Oleh karena

itu, baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan

oleh penerapan hukum itu, yaitu suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik,

jika akibat yang dihasilkan dari penerapan hukum tersebut adalah bertambahnya

kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Jadi, baik

buruknya suatu hukum, akan bergantung pada apakah akibat dari penerapan

dan pelaksanaan hukum tersebut dapat memberikan dan menambah jumlah

kebahagiaan atau tidaknya bagi individu-individu dalam pergaulan hidupnya,

yang hanya dalam ketertiban saja setiap orang akan mendapatkan kesempatan

untuk mewujudkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya itu. Oleh karenanya, teori

utilitas ini sangat memerlukan dan mengandalkan kepastian hukum yang

memerlukan adanya peraturan-peraturan yang dirumuskan secara definitif dan

berlaku umum.

Kedua teori tersebut di atas mengandung kelemahan yang sama, yakni

terlalu berat sebelah. Kelemahan teori etis, yaitu mengabaikan kepastian hukum

dan sangat mementingkan keadilan. Hal ini dikarenakan jika kepastian hukum

diabaikan, maka ketertiban terganggu. Padahal hanya dalam ketertiban, keadilan

dapat diwujudkan dengan baik. Dengan demikian, jika tujuan hukum hanya

didasarkan pada teori etis semata, maka akan berlaku ungkapan "summum ius

Page 68: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

68

summa inuria" (Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi), karena

dengan menerapkan keadilan pada semua orang itu berarti memperlakukan

setiap orang sesuai dengan haknya, yang untuk mewujudkan hal tersebut, maka

tidak akan ada aturan hukum positif yang diberlakukan secara umum. Sehingga

dengan demikian hal ini akan menyebabkan tidak adanya prediktabilitas bagi

orang-orang lainnya yang pada akhirnya akan menimbulkan kekacauan atau

ketidaktertiban dalam pergaulan hidup manusia, karena tiap-tiap manusia akan

mematuhi aturan hukumnya masing-masing demi kepentingannya sendiri, yang

padahal adakalanya saling berbenturan. Begitupun juga dengan teori utilitas

yang mengabaikan keadilan. Jika keadilan diabaikan, maka hukum akan identik

dengan kekuasaan.50

3. Teori Pengayoman

Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian,

serta keadilan dapat dirumuskan dengan satu istilah, yakni Pengayoman

(Perlindungan). Jadi, secara singkat padat, tujuan hukum adalah untuk

mengayomi manusia. Tetapi, mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi

manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang

dan pelanggaran hak saja. Melainkan, juga meliputi pengertian melindungi

secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong

manusia untuk selalu memanusiakan diri terus menerus. Jadi, tujuan hukum

adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sedemikian sehingga

memungkinkan proses sosial berlangsung secara wajar, di mana secara adil

setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk

mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Selain dari itu,

50 Lihat L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum diterjemahkan oleh: Oetarid Sadino,

Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 17.

Page 69: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

69

hukum juga secara langsung melalui peraturan-peraturannya mendorong setiap

manusia untuk memanusiakan diri. Hukum bertujuan untuk memberikan

pengayoman atau untuk mengayomi manusia, yang berarti melindungi manusia

dalam arti pasif dan aktif. Usaha mewujudkan pengayoman itu mencakup usaha

mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian sejati (kedamaian yang

berketentraman), keadilan, kesejahteraan dan keadilan sosial, pemeliharaan dan

pengembangan akhklak (budi pekerti dan cita-cita moral yang luhur) berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.51

D. PASIEN

Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dalam

bahasa inggris. Patient diturunkan dari bahasa latin yaitu patiens yang memiliki

kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya menderita. Jadi pengertian

pasien adalah seorang penderita yang menerima perawatan medis untuk

memulihkannya52. Pasien dalam menerima pelayanan medis mempunyai hak,

yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta

pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis,

menolak tindakan medis dan mendapatkan isi rekam medis. Pada umumnya

pasien datang ke dokter untuk berkonsultasi dengan motivasi untuk sembuh

(menyelesaikan masalah kesehatannya) dan percaya dokter karena

pendidikannya mampu untuk membantunya dan menyelesaikan masalah

kesehatannya. Pada kasus ini pasien juga merasa percaya bahwa ia dapat

berkomunikasi mengenai masalah kesehatan yang dihadapinya yang masih

dirahasiakannya dari orang lain termasuk keluarganya. Dia percaya dokter akan

51 B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila (tidak dipublikasikan), Program

Pascasarjana Universitas Parahyangan, Bandung, Makalah tanpa tahun, hal. 9. 52 Wikipedia Indonesia,ensiklopedi bebas berbahasa Indonesia

Page 70: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

70

dapat menyimpan rahasia pasien yang merupakan kewajiban yang harus

dilakukan dokter dan merupakan salah satu hak pasien. Berbicara tentang Hak

Pasien yang dihubungkan dengan meliharaan kesehatan, maka hak utama dari

pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the

right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang

memenuhi kriteria tertentu,yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan,

sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang memenuhi standar

pelayanan kesehatan yang optimal53. Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan

pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal

antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, hak untuk

dirahasiakan penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua. Di

Indonesia usaha untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memadai, yaitu

memenuhi standar pelayanan kesehatan, telah diusahakan dan tertera dalam

kebjaksanaan pemerintah yang intinya mengusahakan pembangunan kesehatan

agar terwujud derajat kesehatan yang optimal yang dituangkan di dalam Undang-

undang tentang Kesehatan.

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat

kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya

manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional

yang pada hakekatnya adalah pembagunan manusia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Selain mempunyai hak, pasien

juga mempunyai kewajiban seperti kewajiban memberikan informasi yang

lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan

petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan

kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Apabila

53 Lihat Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal 12-13

Page 71: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

71

terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien atau

penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya, yang dilanggar

oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan

dokter/tenaga kesehatan. Hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik

secara perlahan telah merubah menjadi mitra yang setara, bersama menghadapi

masalah kesehatan yang timbul. Masyarakat tetap menghormati dokter sebagai

orang yang terdidik di bidang kedokteran namun sebelum pengetahuan dan

ketrampilannya diterapkan dalam asuhan pasien, pasien ingin mengetahui apa

yang akan terjadi dengan tubuhnya serta ingin dilibatkan dalam pengambilan

keputusan. Pada hakekatnya memang pasienlah yang paling berhak

memutuskan tindakan yang terbaik bagi dirinya setelah mendapatkan penjelasan

yang lengkap dan benar.

Komunikasi Dokter-Pasien merupakan landasan yang penting dalam

proses diagnosis, terapi mapun pencegahan penyakit. Supaya terjalin dengan

baik komunikasi Dokter-Pasien harus dijaga dan dipelihara oleh kedua belah

pihak. Cukup lama hubungan ini dianggap merupakan hubungan yang

menempatkan dokter sebagai pihak yang aktif dan pasien sebagai penerima

tindakan (pasif). Bentuk hubungan ini berdasarkan pada anggapan bahwa

dokter merupakan orang yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang

diperlukan, bekerja sesuai dengan tuntutan profesi dan mempunyai keinginan

kuat untuk menyembuhkan pasien. Sedangkan pasien ditempatkan sebagai

orang sakit yang seharusnya berusaha untuk mencari pertolongan (pada dokter)

dan percaya penuh serta mentaati perintah dokter

Pada dekade 1950 mulai banyak perhatian pada hubungan dokter-pasien

di antaranya Szasz yang menggolongkan hubungan dokter-pasien dalam aktif-

pasif, petunjuk – kerjasama untuk melaksanakan petunjuk dan peran bersama.

Pada hubungan aktif-pasif, pasien melaksanakan perintah dokter, jika tidak

Page 72: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

72

diperintahkan dia tidak melakukan apa-apa. Pemahaman mengenai keadaan

penyakitnya amat terbatas dan dia menyerahkan seluruh masalah kesehatannya

pada dokternya.

Sesuai dengan perkembangan pendidikan dan gencarnya informasi maka

pengetahuan pasien tentang kesehatan meningkatkan begitu pula pemahaman

mengenai hak-hak pasien. Sehingga berkembanglah hubungan yang lebih

meningkatkan peran pasien ke kedudukan yang setara dengan dokter. Bahkan

dalam pemilihan alternatif pengobatan dialah yang paling berhak menentukan

sesuai (setelah mendapat informasi yang lengkap dan benar dari dokter). Pasien

akan berkonsultasi dengan dokter karena keinginannya untuk sembuh atau

bebas dari gejala penyakit. Dia memilih dokter yang dipercayainya baikatas

pertimbangan kemampuan dokter tersebut maupun kesediaan dokter untuk

mencegah rahasia. Acapkali pasien menyampaikan kepada dokter hal yang

amat pribadi yang tak akan disampaikannya kepada keluarga dekat sekalipun.

Dia bersedia menyampaikan hal yang bersifat pribadi tersebut kepada dokter

agar dokter dapat memahami permasalahannya secara menyeluruh dan dapat

membantunya dalam menyelesaikan masalah kesehatannya. Kepercayaan

pasien kepada dokter bersifat pribadi, sehingga jika pasien tersebut tidak

menemui dokter yang ditujunya dia mungkin akan membatalkan konsultasi meski

ada dokter pengganti yang mempunyai kemampuan yang sama. Bahkan

acapkali kita saksikan seorang pasien rela berobat ke dokter yang amat jauh dari

rumahnya padahal di dekat rumahnya juga ada dokter yang mempunyai

kualifikasi yang sama. Komunikasi dokter-pasien akan terbuka jika dokter

bersedia mendengarkan secara aktif keluhan pasien serta bersikap empati

terhadap pasien. Dokter yang menunjukkan kepedulian yang besar terhadap

keluhan pasien dan bersikap empati akan membuika pintu yang lebar untuk

keluhan pasien dan pasien akan semakin terbuka untuk menyampaikan

Page 73: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

73

perasaannya. Hubungan dokter-pasien dapat dimulai secara sederhana.

Misalnya seorang pasien datang ke praktek dokter, sang dokter menerimanya

dan memberikan pertolongan. Jelas saat pasien bertemu dokter hubungan

dokter-pasien dimulai. Namun menurut Gunadi tidak semua kontak dokter-

pasien merupakan hubungan dokter-pasien, seperti Kontak pasien-dokter dalam

pemeriksaan sebelum masuk kerja. Meski dokter melakukan anamnesis,

pemeriksaan jasmani, pemerikaan penunjang untuk menentukan apakah orang

yang diperiksanya sehat untuk pekerjaan tertentu namun hubungan tersebut

tidak dikelompokkan sebagai hubungan dokter-pasien.

Pasien merupakan manusia yang sedang sakit namun keadaan sakitnya

hendaklah tidak menurunkan harkatnya sebagai manusia. Itulah sebabnya

pasien harus dihargai sebagai manusia. Mengenai hak dan kewajiban pasien

secara ringkas sesuai dengan Deklarasi Lisabon 1981 adalah:

1. Pasien berhak memilih dokternya secara bebas.

2. Pasien berhak untuk menerima atau menolak tindakan pengobatannya

sesudah ia memperoleh informasi yang jelas.

3. Pasien berhak untuk mengakhiri atau memutuskan hubungan dengan dokter

yang merawatnya dan bebas untuk memilih atau menggantinya dengan

dokter lain.

4. Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat

klinis dan pendapat etisnya tanpa melibatkan campur tangan dari pihak luar.

5. Pasien berhak atas privacy yang harus dilindungi, iapun berhak atas

kerahasiaan data-data medik yang dimilikinya.

6. Pasien berhak mati secara bermartabat dan terhormat.

7. Pasien berhak menerima/ menolak bimbingan moril ataupun spiritual.

8. Pasien berhak mengadukan dan berhak atas penyelidikan pengaduannya

serta berhak diberi tahu hasilnya.

Page 74: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

74

Selain mempunyai hak tentunya pasien mempunyai kewajiban, adapun

kewajiban pasien antara lain :

1. Kewajiban untuk memberikan informasi yang benar kepada dokter.

2. Kewajiban memenuhi petunjuk atas nasehat dokter.

3. Kewajiban memberikan honorarium/ imbalan yang pantas. 54

E. PERLINDUNGAN HUKUM

Yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah (secara garis besar)

suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat

melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya

sebagai subyek hukum. Lebih lanjut menurut Koerniatmanto Soetoprawiro

perlindungan hukum itu pada hakekatnya adalah suatu upaya dari pihak yang

berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa

sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat

mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang

dan tertib.55 Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur yang

terkandung di dalam pengertian Perlindungan Hukum, yaitu :

a. Suatu jaminan yang diberikan oleh negara;

Jaminan tersebut diberikan oleh negara (yang dalam hal ini adalah

Pemerintahan Republik Indonesia) dalam bentuk Peraturan Perundang-

Undangan yaitu UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, UU No 29 Tahun

2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU Hak Asasi manusi No 39 Tahun 1999,

KUHPerdata, dan Peraturan Pemerintah .

54 Lihat Ratna Suprapti Samil,Etika Kedokteran Indonesia,Yayasan Bina Pustaka,Jakarta, 2001,hal 35-37 55 Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, Pengaturan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak-anak dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX Nomor 3 Juli 2002, FH UNPAR, Bandung, hal. 20.

Page 75: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

75

b. Kepada semua pihak;

Yang dimaksud dengan semua pihak disini (dalam penulisan makalah ini)

adalah pasien dan pemberi pelayanan, yang berkepentingan sehubungan

dengan hal-hal yang harus diperolehnya, misalnya dalam hal terjadinya

pelayanan yang tidak sesuai prosedur, tidak adanya persetujuan tindakan

medik sebelum dilakukan tindakan dsb.

c. Untuk dapat melaksanakan Hak dan Kepentingan Hukum yang dimilikinya;

Yang dimaksud dengan Hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu

karena telah ditentukan oleh undang-undang dan peraturan lain.56 Pengertian

kekuasaan disini diartikan sebagai kewenangan untuk melakukan suatu

perbuatan hukum57 Hukum dalam mengemban hak dan kewajiban

berdasarkan hukum.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Perlindungan Hukum

adalah suatu jaminan yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia

dalam bentuk peraturan perundang-undangan kepada pasien, pemberi

pelayanan kesehatan untuk dapat melaksanakan suatu kewenangan

melakukan perbuatan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang

sengaja dikehendaki dan kepentingan yang diatur oleh hukum .

Didalam kehidupan sehari-hari hampir tidak ada bidang kehidupan

masyarakat yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai kaidah maupun

sikap tindak manusia yang teratur dan yang unik. Hal ini terutama disebabkan

karena pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan

tetapi, keteraturan bagi seseorang belum tentu sama dengan keteraturan bagi

56 Lihat Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 154. 57 LihatSudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta,

1995, hal 51.

Page 76: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

76

orang lain. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan

manusia agar kepentingan–kepentingannya tidak bertentangan dengan

kepentingan sesama warga masyrakat. Salah satu kaidah yang diperlukan

manusia adalah kaidah hukum yang mengatur hubungan anatara manusia

untuk mencapai kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dan

ketentraman. Walaupun manusia senantiasa agar hukum dapat mengatur

kehidupan dengan baik sehingga tercapai kedamaian dalam masyarakat,

tidaklah mustahil bahwa hasilnya malahan sebaliknya. Oleh karena faktor-

faktor tertentu yang semestinya dapat diperhitungkan sejak semula, hukum

malahan dapat mengakibatkan terjadinya sikap tindak yang tidak serasi dengan

hukum itu sendiri. Dalam kebanyakan hal warga masyarakat mematuhi hukum,

tetapi dilain pihak mungkin ada warga masyarakat yang menentangnya secara

terang-terangan, tidak mengacuhkannya atau berusaha untuk menghindarinya.

Kalau hukum dipatuhi warga masyarakat, maka biasanya dikatakan bahwa

hukum itu efektif karena tujuan hukum tercapai. Walaupun kepatuhan hukum

mengenal derajat-derajat terntentu, adanya kepatuhan dapat diartikan sebagai

keadaan dimana hukum berlaku secara efektif.Apabila hal itu yang terjadi ,

maka dapat pula dikatakan bahwa hukum mempunyai pengaruh positif karena

mempunyai pengaruh yang baik. Akan tetapi, kalau hukum tidak mencapai

tujuannya karena tidak mendapat dukungan sosial, maka hukum mempunyai

dampak negatif terhadap masyarakat.

F. PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN.

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping

sandang pangan dan papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi

tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit, manusia tidak mungkin dapat melakukan

Page 77: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

77

kegiatan sehari-hari dengan baik. 58 Selain itu orang yang sedang sakit ,yang

tidak dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya, tidak ada pilihan lain

selain meminta pertolongan dari orang yang dapat menyembuhkan penyakitnya,

yakni meminta pertolongan dari tenaga kesehatan yang dapat menyembuhkan

penyakitnya. Merujuk kepada kalimat diatas maka perlu diupayakan

Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup jelas

seperti tertera pada UUPK No. 29/2004 yang mengatakan bahwa pembangunan

kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan

yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana

dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti

dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus

dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi,

keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan

mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi,

lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan

praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada

penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan

mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran. Pengaturan praktik kedokteran

bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan

meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter serta

memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter. Jadi pada pasal

ini jelas bahwa masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan medis

58Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal 35

Page 78: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

78

yang bermutu seperti tertulis pada pasal 3 UUPK No 29 Tahun 2004. Pada pasal

27- 28 dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran

gigi, untuk memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan

sesuai dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang

diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh

organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi sesuai dengan standar yang

ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Sehinggah

diharapkan dengan melakukan pelatihan dan peningkatan pengetahuan maka

dokter tersebut menjadi semakin kompeten dan dapat memberikan pelayanan

yang lebih optimal. Pasien juga mempunyai hak untuk kepastian mutu pelayanan

yang diberikan seperti yang tertulis pada pasal 49 UUPK no 29 / 2004 :

1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteranatau

kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.

2. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diselenggarakan audit medis.

3. Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh organisasi profesi.

Pasal 51 UUPK No 29 /2004 menjelaskan tentang kewajiban dokter untuk :

1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau

kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan atau pengobatan

3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan

juga setelah pasien itu meninggal dunia

Page 79: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

79

4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia

yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

Sedangkan mengenai Hak dan Kewajiban Pasien diuraikan dengan jelas pada

pasal 52 UUPK No 29/2004 :

1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

4. Menolak tindakan medis; dan

5. Mendapatkan isi rekam medis.

UUPK No.29/2004 juga menyatakan tentang Perlindungan hukum pasien

mengenai pelayanan kesehatan yang dianggap merugikan pasien yang

tercantum pada pasal 66 UUPK No.29/2004 yang berbunyi: Setiap orang yang

mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi

dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada

Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Apabila memang

dokter dinyatakan bersalah, maka dokter dapat dikenakan sanksi disiplin mulai

dari peringatan sampai dengan sanksi mengikuti training . Pasal 72 menjelaskan

tentang pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud diarahkan untuk :

a. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter

dan dokter gigi.

b. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan

dokter gigi

Page 80: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

80

c. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi paling

lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memeni

kewajiban .

Perlindungan hukum pasien juga terdapat dalam Hak Asasi Manusia

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia nomor 39 tahun

1999 salah satunya pasal 9 yaitu :

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan

meningkatkan taraf kehidupannya.

2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,

sejahtera, lahir dan batiin.

3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

Dengan mengacu pada pasal tersebut jelas bahwa kehidupan yang

sehat adalah merupakan hak setiap orang, begitupun hak untuk mendapatkan

pengobatan dari seorang dokter ataupun balai pengobatan,bagaimana seorang

pasien mendapat kan suatu yang menjadi haknya.

UU No. 23/1992 Pasal 1 Ayat 1, memberikan batasan mengenai

kesehatan, menentukan sebagai berikut: Kesehatan adalah keadaan sejahtera

dari badan, jiwa dan sosial yang kemungkinkan setiap orang hidup produktif

secara sosial dan ekomis. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan

atau masyarakat yang terdiri dari tenaga Kesehatan dan sarana

Kesehatan.Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui

pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

Page 81: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

81

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sarana Kesehatan adalah

tempat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan.Mengenai

kewajiban tenaga kesehatan pada pasal 53 Ayat 2 UU No. 23/92 beserta

penjelasannya, menentukan sebagai berikut:

1. Tenaga Kesehatan yang melakukan tugasnya berkewajiban untuk

memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

2. Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk

dalam menjalankan profesi secara baik.

Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat,

dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien, yang dimaksud

dengan hak pasien ialah: hak atas informasi; hak atas persetujuan, hak atas

rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinion).Dalam

memberikan pelayanan tenaga kesehatan mempunyai kewajiban yaitu:

a. Menghormati hak pasien

b. Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien

c.Memeberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan

dilakukan.

d. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan

e. Membuat dan memelihara rekam medis.

Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai

dengan standar profesi kedokteran dan tidak sesuai prosedur tindakan medik

dikatakan telah melakukan kesalahan/kelalaian.

Dalam UU No. 23 tahun 1992 pasal 54, menentukan bahwa tenaga kesehatan

yang diduga membuat kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan pekerjaannnya,

dapat dikenakan tindakan disiplin setelah dapat dibuktikan oleh Majelis

Page 82: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

82

Kehormatan Disiplin Kedokteran, dan yang memberikan sanksi disiplin tentunya

adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan .

1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam

melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

3. Ketentuan mengenai tugas, fungsi dan tata kerja majelis diplin tenaga

kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Kemudian pasal 55 UU No.23 /92 menentukan sebagaiberikut :

1. Setiap orang berhak atas gantirugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan

2. Gantirugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesua

denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan terhadap pasien juga diatur dalam pasal 1365 KUHP yang

berbunyi sebagai berikut : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Namun jelas untuk

KUHPerd harus ada pelanggaran dan atau kelalaian yang dilakukan. Pasal 1320

KUHPerd mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, dikatakan untuk sahnya

perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengingatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Page 83: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

83

Syarat pertama dari pasal 1320 KUHPerd. Mensyaratkan adanya sepakat

para pihak yang mengingatkan diri. Yang dimaksudkan dengan sepakat para

pihak dalam pekerjaan jasa pelayanan kesehatan adalah persetujuan dari dokter

untuk melakukan tindakan medik dan persetujuan dari pasien untuk dilakukan

tindakan medik atas dirinya.Jadi consent yang diberikan pasien adalah syarat

agar perjanjian pelaksanaan jasa pelayanan medik menjadi sah menurut hukum

dan memberikan hak kepada dokter untuk melakukan tindakan medik. Selain

pengaturan hukum dalam KUHPerd., terdapat pula peraturan khusus mengenai

consent, yaitu Permenkes No.585/89, tentan Persetujuan Tindakan Medik.

Menurut Permenkes No. 585/89 consent yang diberikan oleh pasien harus

berdasarkan informasi yang diterima oleh pasien mengenai beberapa hal yang

menyangkut tindakan medik dan informasi yang diberikan oleh dokter harus

dimengerti oleh pasien.

Perlindungan Hukum Pasien juga mendapat perhatian dari Pemerintah

dengan dikeluarkannya Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman

PeraturanInternal Staf Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit

denganpertimbangan bahwa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan medis di

rumah sakit perlu pengaturan internal yang mengatur peran dan fungsi pemilik,

pengelola dan staf medis dan dalam rangka rumah sakit menyusun Medical staff

bylaws. Dalam Kepmenkes. ini setiap rumah sakit diwajibkan menyusun

Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws) di rumah sakit untuk

meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.Dalam

penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws ) di rumah

sakit mengacu pada pedoman yang dibuat dalam bentuk 2 lampiran yaitu :

a. Tata cara penyusunan Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff

bylaws) di rumah sakit.

b. Pengorganisasian staf medis dan komite medis.

Page 84: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

84

Pedoman Internal staf medis (Medical Staff bylaws ) di rumah sakit

merupakan acuan setiap rumah sakit dalam menyusun Peraturan

InternalRumah Sakit (Medical Staff bylaws ) yang disesuaikan dengan situasi,

kondisi dan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Penyusunan dan

pelaksanaan pedoman ini akan di monitoring dan evaluasi oleh Direktur jendral

pelayanan medis, Dinas kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Dengan adanya

Kep.Men.Kes ini maka Kep.men.Kes Nomor 772/MENKES/SK/VI/2002 tentang

Pedoman Peraturan Internal Rumah sakit ( Hospital bylaws ) mengenai

Peraturan Internal staf medis ( medical staff bylaws ) dinyatakan tidak berlaku

lagi. Salah satu materi dan substansi Peraturan internal Staf medis (Medical staff

bylaws) adalah membuat kerangka tugas dan kewajiban Komite medis yang

secara umum yaitu :

a. Menyusun, mengevaluasi dan jika perlu mengusulkan perubahan pada

Medical staff bylaws.

b. Menetapkan standar pelayanan medis yang dibuat oleh kelompok staf

medis.

c. Menentukan kebijakan umum dalam melaksanakan pelayanan medis

secara profesional.

d. Mengusulkan rencana pengembangan sumber daya manusia dan teknologi

untuk profesi medis. Kita sadari organisasi staf medis saat ini semakin

berkembang, jumlah dan jenis spesialisasi di rumah sakit semakin bertambah.

Karena itu rumah sakit diharapkan dapat menyusun medical staff bylaws

dengan mengacu pada pedoman ini.

Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam rangka peningkatan mutu layanan

medik maka perlu ada Medical staff bylaws yang berisi tentang konsep dan

prinsip, contoh atau modelformat, substansi dan langkah-langkah

Page 85: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

85

Penyusunannya. Tujuan dibuatnya by laws ini agar dokter yang bergabung di

rumah sakit sudah dapat dipastikan kompetensinya serta telah memenuhi aturan

dan ijin dari ikatan profesi maupun dari Dinas Kesehatan .

Dari uraian diatas nampak perlindungan hukum pasien telah mendapat

perhatianyang cukup jelas seperti yang tertulis UUD 1945 UU No 23 /1992 UU

No 29 /2004,UU HAM, KUHP,KUHperd.Kepmenkes dan Permenkes serta,

dimana perlindungan terhadap hak- hak pasien telah jelas dan kewajiban dokter

untuk memenuhi hak pasien harus ditaati, sebab apabila tidak dilakukan maka

tenaga medis tersebut akan mendapatkan sanksi.

G. PENUTUP

Hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara

konkret dalam masyarakat, maka hukum disatu pihak memperlihatkan

kecenderungan konservatif, yaitu berupaya memelihara dan mempertahankan

apa yang sudah tercapai. Namun di lain pihak juga memperlihatkan

kecenderungan modernisme, yaitu berupaya mendorong, meneruskan atau

menyalurkan dan mengarahkan perubahan masyarakat . Agar hubungan ini

dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan aturan yang berdasarkannya

orang akan melindungi kepentingannya dan menghormati kepentingan dan hak

orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh aturan

(hukum) tersebut. Untuk mengatur segala hubungan antar manusia, baik

hubungan antar individu, maupun antara individu dengan kelompok-kelompok,

begitu pula hubungan antara individu atau kelompok dengan pemerintah

(negara) diperlukan hukum .

Dengan demikian, hukum merupakan suatu prasyarat agar interaksi

sesama manusia dapat berjalan tertib dan teratur. Hukum adalah alat untuk

Page 86: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

86

mengatur manusia, akan tetapi hukum bukan satu-satunya alat untuk mengatur

manusia dalam masyarakat. Jadi, hukum itu tidak berawal dari hukum sendiri,

melainkan dari manusia dan kemanusiaan di dalam pergaulan masyarakat.

Interaksi manusia alam masyarakat tersebut dengan sendirinya akan

menciptakan suatu tatanan hukum yang sedemikian rupa sehingga para anggota

masyarakat dapat hidup bersama dalam suasana solidaritas yang wajar dan

saling menghargai sebagai sesama manusia. Sebagai demikian, hukum tersebut

mempunyai sifat normatif, yaitu mewajibkan para anggota masyarakat untuk

mentaatinya, sehingga dapat tercapai keteraturan dalam kehidupan manusia di

dalam masyarakat. Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup

dengan berkepastian, artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang

diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat karena ia dapat mengadakan

perhitungan tentang apa yang akan terjadi atau apa yang bisa ia harapkan.

Keteraturan yang intinya kepastian ini.

Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara

kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum

yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum. mengayomi

manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya

mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan,

juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk

menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri

terus menerus, menciptakan kondisi sosial yang manusiawi mana secara adil

setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk

mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Selain dari itu,

hukum juga secara langsung melalui peraturan-peraturannya mendorong setiap

manusia untuk memanusiakan diri.

Page 87: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

87

Perlindungan hukum pasien telah mendapat perhatian yang cukup jelas

seperti yang tertulis dari UUD 1945,UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ,

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No 29

Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran , KUHPerd, Kepmenkes

631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan internal staf medis ( Medical Staff

bylaws) di Rumah sakit , Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002 tentang

Pedoman peraturan internal rumah sakit (Hospital bylaws), dan Permenkes

No.585 tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan, serta SK.Dirjen.Yan.Med.No

YM.02.04.3.5.2504 tentang hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit

Medik, dimana perlindungan terhadap hak- hak pasien telah jelas dan kewajiban

dokter untuk memenuhi hak pasien harus ditaati, sebab apabila tidak dilakukan

maka tenaga medis tersebut akan mendapatkan sanksi.

Page 88: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

88

BAB IV

MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

A. PENGANTAR

Majemen risiko medik merupakan suatu cara yang sangat penting dalam

pelayanan kedokteran di rumah sakit, karena tanpa adanya manajemen risiko

medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang

berobat maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika sudah dilakukan

tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi dan hasilnya

negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya. Termasuk risiko

yang harus ditanggung oleh pasien. Di dalam kasus-kasus inilah seiring terjadi

perbedaan pendapat dan penafsiran lainnya. Risiko itu bisa timbul, bisa juga tidak.

Jika dokternya sudah bertindak dengan hati-hati, teliti dan berdasarkan manajemen

risiko medik yang telah diuraikan diatas seperti melakukan tindakan sesuai dengan

standar operasional prosedur, mempunyai program peningkatan mutu rumah sakit

serta melakukan evaluasi secara rutin, menyelenggarakan medical staff by laws dan

memberikan penjelasan kepada pasien tentang kemungkinan risiko yang dapat

terjadi pada tindakan medik dan langkah-langkah yang akan diambil bila risiko

tersebut terjadi.

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Negara yang berlandaskan

hukum maka sudah selayaknya jika hukum dijadikan supremasi, di mana semua

orang diharapkan tunduk dan patuh kepadanya tanpa kecuali.

Page 89: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

89

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan peraturan yang dapat

memberikan perlindungan dan mempertahankan serta meningkatkan mutu

pelayanan medis yang diberikan oleh dokter serta memberikan kepastian hukum

kepada masyarakat. Hal tersebut sangat dimengerti karena kebanyakan seorang

pasien memposisikan dirinya sebagai seorang penderita cenderung bersifat pasif

yang artinya bila menerima pelayanan medik hanya berkewajiban untuk menerima

pelayanan yang diberikan termasuk segalah kemungkinanan-kemungkinan yang

dapat terjadi pada dirinya walaupun belum memahami secara mendalam

penjelasan yang diberikan oleh seorang dokter. Aspek hukum diperlukan juga

untuk melindungi pasien, karena pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa

kedudukan hukum pasien saat itu dianggap sebagai ahli yang maha tahu sehingga

pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi

kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi pasien semakin tinggi, oleh karena itu

dalam hubungan antara dokter dengan pasien, misalnya, terdapat kesederajatan

maka pasien pun memerlukan perlindungan hukum dikaitkan dengan kemungkinan

tenaga medis melakukan malapraktek. Aspek Hukum yang harus dimiliki oleh para

ahli kesehatan juga tidak kalah pentingnya karena para ahli kesehatan dalam

melakukan tugasnya adalah selalu penuh risiko, kalau para ahli kesehatan tersebut

dalam melakukan tugasnya sudah melalui prosedur yang benar,derajat kompetensi

yang jelas dan maka tentu saja akan mendapatkan perlindungan hukum. Aspek

hukum untuk pihak ketiga dan kepentingan umum juga sangat dibutuhkan, tidak

mustahil kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi dengan kepentingan

masyarakat atau kepentingan umum, artinya apa yang diharapkan masyarakat tidak

sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Mengingat hal tersebut, maka sangatlah

diperlukan perlindungan hukum kepada pasien sehinggah pasien dapat

memperoleh hak nya.

Page 90: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

90

B. MANAJEMEN RISIKO MEDIK

Risiko medik adalah suatu hasil berbahaya yang tidak terduga dan tidak

diingini serta menimbulkan kerugian yang terjadi akibat suatu tindakan seorang

tenaga kesehatan yang diberikan sesuai dengan standar prosedur medis dan etika

yang berlaku. Namun demikian perlu kita cermati bahwa semua tindakan medik

mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu mengandung apa

yang yang dinamakan risiko. Risiko medik tidak dapat dipersalahkan, asalkan risiko

ini merupakan risiko murni, di mana tidak ada unsur kelalaiannya. Hal ini

disebabkan karena di dalam hukum medik yang terpenting bukanlah akibatnya,

tetapi cara bagaimana sampai terjadi akibat itu, bagaimana tindakan itu dilakukan.

Inilah yang paling penting untuk diketahui.

Hubungan dokter dan pasien, hubungan dokter dan rumah sakit dan

hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari hubungan hukumnya merupakan

saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan yang

dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya perikatan yang digunakan

sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan ikhtiar (inspanning

verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan

kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan perikatan hasil (resultaat

verbentenis). Untuk melindungi pasien dan masyarakat yang membutuhkan

pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian terhadap kewajiban

pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan malpraktik dokter, para

dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum kesehatan, hukum hak asasi manusia

serta peraturan-peraturan yang mengatur praktik kedokteran.

Namun tentunya tidaklah semua ”tindakan yang tak disengaja” termasuk

perumusan risiko medik, karena apabila seorang dokter melakukan tindakan

kelalaianpun tentunya tidak dilakukan dengan sengaja.

Page 91: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

91

Ada beberapa risiko yang dapat terjadi pada pelayanan medik ataupun tindakan

medik yang dilakukan oleh dokter kepada pasien seperti reaksi alergik, reaksi

alergik adalah reaksi berlebihan dari tubuh seseorang karena alergi yang timbulnya

secara tiba-tiba dan yang tidak dapat diprediksi terlebih dahulu. Reaksi alergik berat

dapat menimbulkan kejadian anafilaktik shock. Risiko lainnya yaitu perdarahan,

perluasan operasi sehinggah diangkatnya organ tertentu ( pengangkatan rahim

pada operasi Caesar ), timbulnya emboli Paru yang dapat membuat pasien

meninggal dunia. risiko gangguan jantung koroner dan gangguan ginjal pada orang

dewasa yang menjalani operasi. Sedangkan spinal anastesi yang dianggap

merupakan salah satu pilihan yang lebih baik daripada anastesi umum juga

mempunyai risiko sakit kepala, risiko juga dapat terjadi pada anastesi umum yang

dapat mengakibatkan kematian. Untuk meminimalisasi risko yang dapat terjadi,

seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan hati-hati dalam bertindak agar

dapat mengantisipasi risiko yang mungkin bisa terjadi dan bila telah terjadi risiko

bagaimana mengatasinya sehinggah bahaya yang akan terjadi dapat diminimalkan.

Agar semua hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan

manajemen risiko medik yang merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian,

pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya, sistim, fasilitas dan sebagainya

untuk mencapai sasaran) secara efektif dan efesien dalam pelayanan dan

penanganan risiko medik yang mungkin dapat terjadi , karena tanpa adanya

manajemen risiko medik yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik

bagi pasien yang berobat maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika

sudah dilakukan tindakan-tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga

terjadi dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada

dokternya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam Manajemen Risiko Medik

yaitu menyusun Standar Operasional Prosedur ( SOP ) sesuai dengan bidangnya

masing-masing di rumah sakit, standar profesi medik dan menetapkan standard

Page 92: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

92

kinerja (performance standards) untuk keamanan pasien. Penyusunan prosedur

melibatkan seluruh bagian terkait dengan memperhitungkan situasi dan kondisi di

lapangan termasuk standar fisik bangunan,fasilitas, kelengkapan peralatan dan

sebagainya serta mengikuti standar profesi pelayanan medik, kompeten dan etika.

Pengembangan dan tersedianya standar-standar juga untuk keperluan

patient safety antara lain bertujuan untuk sebagai standar minimum kinerja yang

harus dilaksanakan oleh setiap petugas untuk meminimalkan terjadinya risiko,

menjamin konsistensi dan keseragaman prosedur bagi setiap petugas kesehatan

dalam melakukan upaya medik, menjamin bahwa pelaksanaan standard (yang

merepresentasikan kesepakatan seluruh petugas yang ada) adalah dalam kerangka

profesionalisme dan akuntabilitas. Program Peningkatan Mutu rumah sakit dan

Pengukuran kinerja juga merupakan hal penting yang harus terus diperhatikan

karena dengan program ini pengumpulan data dan monitoring terhadap outcome

spesifik yang menjadi salah satu target potensial untuk mengurangi kemungkinan

terjadinya risiko medik. Contohnya adalah menyiapkan obat suntik adrenalin dan

kortison untuk mengatasi risiko syok anafilaksi akibat pemberian obat per injeksi

yang dapat timbul pada pasien tanpa bisa diduga sebelumnya. Program-program

pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan bentuk lain dari

pengukuran kinerja dan sekaligus menyediakan instrumen untuk mencegah hal

tersebut. Program peningkatan mutu Pelayanan Rumah Sakit harus menjadi

kebijakan yang terus dilakukan dan dievaluasi oleh seluruh staf di rumah sakit

termasuk dokter, perawat dan staf lain yang terkait termasuk staf maintenance.

Dibidang pelayan medik, program ini sangat penting karena program ini harus

memastikan apakah para tenaga medis telah melakukan pemeriksaan pasien.

Menetapkan strategi pencegahan berbasis pada untuk mengidentifikasi dan

memantau kemungkinan terjadinya risiko pada sekelompok pasien dengan risiko

tinggi serta memahami bagaimana risiko bisa terjadi, khususnya untuk yang sifatnya

Page 93: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

93

preventable. Melakukan analisis, interpretasi dan mendiseminasikan data yang ada

ke para klinisi maupun stakeholders. Mengingat Organisasi rumah sakit sangatlah

unik dan kompleks. Keberadaan pusat pusatkekuasaan atau otoritas di rumah sakit

juga unik dan sukar ditemukan persamaannya pada organisasi atau institusi lain.

Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam rangka peningkatan mutu pelayanan medik

maka perlu ada Pedoman Peraturan Internal Staf Medis (Medical staff bylaws )

yang berisi tentang konsep dan prinsip, contoh atau model format, substansi dan

langkah-langkah penyusunannya. Tujuan dibuatnya by laws ini agar dokter yang

bergabung di rumah sakit sudah dapat dipastikan kompetensinya serta telah

memenuhi aturan dan ijin dari ikatan profesi maupun dari Dinas Kesehatan . Dalam

by laws ini akan diatur proses Credentialing, Previleging,Patient Care rules and

monitoring sehingga dengan dilaluinya proses tersebut maka rumah sakit telah

mempunyai saringan yang baik untuk mendapatkan dokter-dokter yang akan

bergabung dan mereka akan mempunyai pemahaman yangg baik dalam

melakukan pelayanan kepada pasien. Setiap tindakan medik ada kemungkinan

terjadinya resiko yang dapat membahayakan pasien, maka sebelum melakukan

tindakan medik, dokter harus menginformasikan kepada pasien tentang efek

samping yang mungkin terjadi dari tindakan yang dilakukannya. Sebagai contoh

misalnya: seorang pasien karena penyakitnya diberikan antibiotik, maka sebelum

dokter memberikan obat atau resep, dokter sebaiknya memberikan pesan bahwa

obat yang diberikan olehnya, mungkin dapat menimbulkan efek samping yang tidak

dikehendaki. Penjelasan yang diberikan haruslah dipahami oleh pasien. Kita tidak

mungkin memberitahu pasien bahwa efek samping obat dalam bahasa kedokteran.

Selain itu penting sekali bagi seorang dokter untuk melakukan penanganan pasien

sesuai dengan standar pelayanan medik yang dibuat dan disepakati bersama.

Namun demikian harus diingat bahwa ilmu kedokteran tidak matematis, artinya

belum tentu seseorang pasien demam bereaksi sama dengan orang lain yang

Page 94: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

94

demam pada saat diberikan obat demam yang sama. Jika efek samping bisa

diketahui sebelumnya, maka dokter tersebut harus memberikan informasi terlebih

dahulu, satu dan lain untuk mencegah penuntutan hukum. Adalah kewajiban

dokternya untuk memberikan informasi atau penjelasan kepada pasiennya jika ada

risiko semacam ini dalam memperoleh persetujuan tindakan medis (Informed

Consent). ]

C.PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

Perlindungan hukum terhadap pasien mendapatkan perhatian yang

cukup jelas seperti tertera pada UUPK No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran yang mengatakan bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah

satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa

penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan

dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter

gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang

secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan

berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan

pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk memberikan

perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter,

dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik

kedokteran.

Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk memberikan perlindungan

kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang

Page 95: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

95

diberikan sesuai dengan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan

sesuai dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang

diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh

organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran atau kedokteran gigi sesuai dengan standar yang ditetapkan

oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Sehinggah diharapkan

dengan melakukan pelatihan dan peningkatan pengetahuan maka dokter tersebut

menjadi semakin kompeten dan dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal.

oleh dokter serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.

Beberapa perlindungan Hukum Pasien yang tertera di UUPK No.29/2004 :

1. Setiap dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib

menyelenggarakankendali mutu dan kendali biaya, serta menyelenggarakan audit

medis yang dilaksanakan oleh organisasi profesi.

2 . Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

3. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian

atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan atau pengobatan.

4. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentangpasien,bahkan juga

setelah pasien itu meninggal dunia.

5. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia

yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

6. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran.

7. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan Medis, meminta

pendapat dokter,mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan

medis,menolak tindakan medis dan mendapatkan isi rekam medis.

Page 96: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

96

8. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas

tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat

mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia. Apabila memang dokter dinyatakan bersalah,maka

dokterdapat dikenakan sanksi

9. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dengan memberikan

sanksi pada dokter yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban

paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00,-

Perlindungan hukum pasien juga terdapat dalam Hak Asasi Manusia

sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undan Undang 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia yaitu :

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan

meningkatkan taraf kehidupannya.

2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,

sejahtera, lahir dan batiin.

3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan memberikan batasan

mengenai kesehatan, menentukan sebagai berikut: Kesehatan adalah keadaan

sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang kemungkinkan setiap orang hidup

produktif secara sosial dan ekomis. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau

masyarakat yang terdiri dari tenaga Kesehatan dan sarana Kesehatan.Tenaga

Kesehatan yang melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi

dan menghormati hak pasien,melakukan standar profesi sebagai petunjuk dalam

menjalankan profesi secara baik.

Page 97: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

97

Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan

perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien, yang

dimaksud dengan hak pasien ialah: hak atas informasi; hak atas persetujuan, hak

atas rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinión).

Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan

standar profesi kedokteran dan tidak sesuai prosedur tindakan medik dikatakan telah

melakukan kesalahan/kelalaian. kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh seorang

tenaga kesehatan, dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal pasien

menderita kerugian. Dalam pasal 54 UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,

menentukan bahwa tenaga kesehatan yang diduga membuat kesalahan/kelalaian

dalam melaksanakan pekerjaannnya, dapat dikenakan tindakan disiplin setelah

dapat dibuktikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran, dan yang

memberikan sanksi disiplin tentunya adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan .

1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam

melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

3. Ketentuan mengenai tugas, fungsi dan tata kerja majelis diplin tenaga

kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Kemudian pasal 55 UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menentukan

Sebagai berikut :

1. Setiap orang berhak atas gantirugi akibat kesalahan atau kelalaian

yang dilakukan tenaga kesehatan

2. Gantirugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai

denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 98: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

98

Perlindungan terhadap pasien juga diatur dalam pasal 1365 KUHP yang

berbunyi sebagai berikut : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Namun jelas untuk KUHP

harus ada pelanggaran dan atau kelalaian yang dilakukan. Pasal 1320 KUHPerd

mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, dikatakan untuk sahnya perjanjian

diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengingatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Selain pengaturan hukum dalam KUHPerd., terdapat pula peraturan khusus

mengenai consent, yaitu Permenkes No.585/89, tentan Persetujuan Tindakan Medik.

Menurut Permenkes No. 585/89 consent yang diberikan oleh pasien harus

berdasarkan informasi yang diterima oleh pasien mengenai beberapa hal yang

menyangkut tindakan medik dan informasi yang diberikan oleh dokter harus

dimengerti oleh pasien. Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter)

dengan penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal yang

bertolak pada hubungan peternalisme. Hubungan vertickl tersebut adalah hubungan

antara dokter dan pasien tidak lagi sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum

inspaning verbintenis antara dua subjek hukum (dokter dan pasien), hubungan

hukum ini tidak menjanjikan suatu kesembuhan / kematian, karena obyek dari

hubungan hukum itu adalah berupaya secara maksimal yang dilakukan secara hati-

hati dan cermat sesuai dengan surat persetujuan tindakan medik berdasarkan ilmu

pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.

Page 99: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

99

Tanpa disadari keadaan seperti diatas membawa perubahan pola pikir

sebelumnya hubungan layanan kesehatan yaitu hubungan vertikal menuju kearah

pola hubungan horizontal, termasuk konsekuensinya, dimana kedudukan antara

dokter dan pasien sama dan sederajat walau peranan dokter lebih penting daripada

pasien. Bila antara dua pihak telah disepakati untuk dilaksanakan langkah-langkah

yang berupaya secara optimal untuk melakukan tindakan medis tertentu tetapi tidak

tercapai karena dokter tidak hati-hati dan cermat dalam prosedur yang ditempuh

melalui proses komunikasi (informed consent), maka salah satu pihak dapat

melakukan upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut tertulis di UU No 23

tahun 1992 sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas

suatu akibat yang timbul (fisik/non fisik) karena kesalahan / kelalaian yang telah

dilaksanakan oleh dokter.

Perlindungan Hukum Pasien juga mendapat perhatian dari Pemerintah

dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

631/MENKES/SK/IV/2005 Tentang Pedoman Peraturan Internal Staf Medis (Medical

Staff bylaws) di Rumah Sakit denganpertimbangan bahwa meningkatkan mutu

pelayanan kesehatan medis di rumah sakit perlu pengaturan internal yang mengatur

peran dan fungsi pemilik, pengelola dan staf medis dan dalam rangka rumah sakit

menyusun Medical staff bylaws. Dalam Kepmenkes. ini setiap rumah sakit

diwajibkan menyusun Peraturan Internal Rumah Sakit (Medical Staff bylaws) di

rumah sakit untuk meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.

Dari uraian diatas nampak perlindungan hukum pasien telah mendapat

perhatian yang cukup jelas seperti yang tertulis pada UUD 1945,UU No 23 Tahun

1992 Tentang Kesehatan, UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU

No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, ,KUHperd.Kepmenkes dan

Permenkes, serta SK.Dirjen.Yan.Med.NO YM.02.04.3.5.2504 tentang hak dan

kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit dimana perlindungan terhadap hak- hak

Page 100: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

100

pasien telah jelas dan kewajiban dokter untuk memenuhi hak pasien harus ditaati,

sebab apabila tidak dilakukan maka tenaga medis tersebut akan mendapatkan

sanksi.

D. ANALISA HUBUNGAN ANTARA MANAJEMEN RISIKO MEDIK DAN

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

Majemen risiko medik merupakan suatu cara yang sangat penting dalam

pelayanan kedokteran di rumah sakit, karena tanpa adanya manajemen risiko medik

yang baik maka akan dapat berdampak sangat tidak baik bagi pasien yang berobat

maupun yang akan mendapat penaganan tertentu. Jika sudah dilakukan tindakan-

tindakan pencegahan dan antisipasi, tetapi masih juga terjadi dan hasilnya negatif,

maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya. Termasuk risiko yang

harus ditanggung oleh pasien. Di dalam kasus-kasus inilah seiring terjadi perbedaan

pendapat dan penafsiran lainnya. Risiko itu bisa timbul, bisa juga tidak. Jika

dokternya sudah bertindak dengan hati-hati, teliti dan berdasarkan manajemen risiko

medik yang telah diuraikan diatas seperti melakukan tindakan sesuai dengan standar

operasional prosedur, mempunyai program peningkatan mutu rumah sakit serta

melakukan evaluasi secara rutin, menyelenggarakan medical staff by laws dan

memberikan penjelasan kepada pasien tentang kemungkinan risiko yang dapat

terjadi pada tindakan medik dan langkah-langkah yang akan diambil bila risiko

tersebut terjadi, maka ia tidak dapat dipersalahkan jika timbul suatu akibat yang tidak

diduga dan tidak diinginkan. Hal ini disebabkan karena hubungan antara dokter-

pasien adalah suatu kontrak terapetik, suatu perjanjian berusaha

(inspanningsverbintenis). Di dalam kontrak atau perjanjian semacam ini dokternya

tidak menjamin akan selalu keberhasilan dalam pemberian pengobatannya, asalkan

tentunya tindakannya sudah dilakukan berdasarkan lege artis.

Page 101: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

101

Diharapkan dengan penerapan manajemen risiko medik yang baik maka

perlindungan hukum pasien rumah sakit dapat dipenuhi sesuai dengan harapan,

kebutuhan pasien berdasarkan Undang Undang dan peraturan yang berlaku.. Dalam

hal pasien menolak memberikan persertujuan, setelah dokter memberikan informasi

yang cukup. Jelas hal ini adalah hak asasi dari pasien untuk menolak tindakan

medik yang akan dilaksanakan atas dirinya. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah

apakah dokter dapat melaksanakan tindakan medik tanpa persetujuan pasien?

Dokter dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien, yang

dimaksud dengan hak pasien ialah: hak atas informasi; hak atas persetujuan, hak

atas rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinion). Menurut

Hukum Perdata dokter dapat digugat telah melakukan bersalah melanggar hak

pasien untuk memberikan persetujuan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan

melawan hukum. Dalam hal ini pasien menolak memberikan persetujuan Tindakan

Medik, maka dokter harus menghormati hak pasien untuk menetukan diri sendiri,

dalam arti dokter tidak boleh memaksa pasien agar dilakukan tindakan medik.

Akankah dokter berusaha untuk mendapatkan persetujuan melalui jalur hukum,

sebab dokter yakin dengan tindakan medik yang akan dilaksanakan akan membuat

pasien sembuh? Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan

tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan

kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat

menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter

berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan

yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian

terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat gantirugi.

Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima

tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan

keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit

Page 102: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

102

dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada

konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau

konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap dokter/tenaga kesehatan

dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.

Ketika pasien merasa di rugikan, pasien sebagai penerima jasa pelayanan

kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam

bidang keperawatan kesehatan. Maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum,

perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dan

rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai

dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan.

Dari beberapa peraturan di atas telah dijelaskan begitu rinci tentang

perlindungan hukum pasien, namun demikian untuk menentukan bahwa akibat yang

terjadi merupakan risiko medik secara tersirat harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

1. Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan telah sesuai dengan

standar profesi dan melakukannya dengan menghormati hak pasien.

2. Tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian yang ditentukan oleh Majelis

Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK).

Kedua syarat tersebut di atas juga telah tertuang dalam Yurisprudensi tetap

Mahkamah Agung (MA) Indonesia dalam kasus yang melibatkan dokter sebagai

salah satu pihak, yang tertulis oleh Hermien dalam bukunya Hukum Kedokteran

(Studi tentang Hubungan Hukum dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak).

Yurisprudensi MA tersebut menyatakan bahwa MA Indonesia telah menggunakan 3

sumber hukum dalam putusannya yang membatalkan putusan PN tingkat pertama

yang telah menjatuhkan hukuman bagi dokter tersebut. Yaitu didasarkan pada

alasan:

a. Dokter sudah mengupayakan secara sungguh-sungguh dan hati-hati untuk

Page 103: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

103

kesembuhan pasien sebagaimana layaknya praktek rata-rata dokter yang baik

dalam kondisi dan kemampuan serta lingkungan yang sama (ajaran ilmu

pengetahuan);

b. Tindakan medis (tertentu) yang dilakukan oleh dokter sebagai salah satu alternatif

terapi dalam mengupayakan kesembuhan pasien telah disetujui oleh pasien

”informed consent”, yaitu persetujuan tindakan medik yang diatur oleh Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989);

c. Prosedur penanganan pasien telah dilakukan dan direkam dalam Rekam Medik

sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 7491/Menkes/Per/III/1979.

W.B. van der Mijn, seorang Profesor dalam hukum Kedokteran dari Erasmus

Universitas Rótterdam Negeri belanda, yang mengemukakan tentang tiga ukuran

dari profesi dokter, yaitu:

a. Kewenangan.

b. Kemampuan rata-rata.

c. Keseksamaan.

Yang dimaksud dengan kewenangan adalah kewenangan dari tenaga

kesehatan untuk melaksanakan pekerjaan,yang dikenal dengan kewenangan

profesional. Di Indonesia yang berhak memberi kewenangan seorang tenaga

kesehatan bekerja seseuai dengan profesi adalah Departemen Kesehatan, dalam

bentuk Surat Ijin Praktek (SIP)

Dimaksud dengan kemampuan rata-rata adalah kemampuan minimal yang

harus dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya dan

usuran dari kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan adalah kemampuan

yang diukur dengan kemampuan dari tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai

keahlian di bidang yang sama, pengalaman yang sama dan di tempat yang sama.

Page 104: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

104

Sedangkan ukuran keseksamaan adalah ketelitian yang umum dari setiap

tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai profesional.

Ketelitiannya tidak diukur secara ekstrem, tetapi yang umum dilakukan oleh para

tenaga kesehatan dengan bidang keahlian di bidang yang sama, pengalaman yang

sama dan tempat yang sama.

Seorang tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya, selalu dituntut

untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi yang minimal di atas

dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tindakan medik . Dari uraian di

atas, terlihat bahwa dengan melakukan manajeme risiko medik yang baik maka

perlindungan hukum pasien akan dapat dipenuhi sehinggah hak-hak pasien sebagai

warga negara Indonesia yang telah diatur melalui Undang-Undang dapat terlaksana

sehinggah tujuan dari pemerintah dalam pelaksanaan pemeliharaan kesehatan

untuk mencapai derajat kesehatan baik individu maupun masyarakat secara optimal

dapat tercapai.

Dokter dan pasien memerlukan perlindungan hukum yang seadil-adilnya. Dan

diharapkan dengan adanya diaksanakannya manejemen risiko medik yang baik

pelayanan kesehatan akan terus meningkat, sehingga mutu pelayanan akan

terjamin, bila semua pihak memahami dan menjalankan hak, kewenangan dan

tanggung jawabnya sesuai dengan aturan yang telah dibuat dan disepakati. Apabila

semua hal diatas dapat dilaksanakan didalam manajemen risiko medik, maka dapat

dibayangkan orang dapat masuk rumah sakit dengan tenang, tanpa rasa khawatir

akan ketidak pastian pelayanan yang akan dialaminya sehingga akan membuat

pasien merasa lebih baik dari penyakitnya, apalagi setelah mendapat perawatan dari

dokter yang berwenang,berketerampilan profesional, ramah tidak takut akan

terjadinya malpraktek, karena dokter juga mengobati pasien dengan cara-cara yang

umum dilakukan oleh semua dokter dengan mengikuti prosedur yang seharusnya

dilakukan oleh seorang dokter.

Page 105: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

105

Jadi jika penerapan manajemen risiko medik dapat dilakukan dengan baik dan

benar, maka perlindungan hukum pasien akan dapat terpenuhi hal ini tampak jelas

dalam beberapa uraian dibawah ini :

1. Standart Operasional Prosedur ( SOP) dan menetapkan Standart kinerja untuk

keamanan pasien, memenuhi :

a. Pasal 50 ayat (1) UU Kesehatan No 23 Tahun 1992 mengatakan bahwa

tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan

kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga

kesehatan yang bersangkutan.Rumah sakit sebagai institusi pelayanan

kesehatan berkewajiban untuk menyusun standart pelayanan sesuai dengan

keahlian dan kewenangan masing-masing setiap tenaga kesehatan.

Penyusunan ini harus melibatkan seluruh pihak yang terkait , kompeten serta

memahami ruang lingkup dan tanggung jawab diarea masing-masing. Hal ini

untuk menjamin pelayanan yang diberikan lebih baik dan benar.

b. Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan No 23 Tahun 1992 menyebutkan, tenaga

kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar

profesi dan menghormati hak pasien. Tentunya yang dimaksud standar profesi

adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam

menjalankan profesi secara baik.

c. Pasal 9 ayat (3) UU HAM NO 39 Tahun 1999 mengatakan setiap orang berhak

atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

d. Pasal 51 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004 menjelaskan tentang kewajiban

dokter untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

e.Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf

Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit, dikatakan penetapkan standar

Page 106: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

106

pelayanan medis dibuat oleh kelompok staf medis dan harus menentukan

kebijakan umum dalam melaksanakan pelayanan medis secara profesional.

2. Progran Peningkatan Mutu Rumah Sakit dan Peningkatan Kinerja, memenuhi :

a. Pasal 51 ayat (1) UU Kesehatan No 23 tahun 1992, dikatakan pengadaan

tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan antara lain

melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan atau

masyarakat. Rumah sakit berkewajiban memberikan pelatihan kepada seluruh

staf dan tentunya tidak hanya terhadap staf yang baru saja.

b. Pasal 28 ayat (1) UUPK No 29 Tahun2004 yang menyebutkan bahwa setiap

dokter dan dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan

pelatihan kedokteran dan kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan

oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi

profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran atau kedokteran gigi

c. Pasal 49 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004, mengatakan Setiap dokter atau

dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib

menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.

d. Pasal 51 ayat (5) UUPK No 29 Tahun 2004 menjelaskan. Bahwa setiap dokter

wajib menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu .

e.Pasal 72 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004, mengatakan perlunya

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter

gigi.

e. Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf

Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit , dikatan setiap rumah sakit wajib

meningkatkan mutu profesi medis dan mutu pelayanan medis.

Page 107: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

107

3. Menetapkan Strategi Pencegahan Berbasis Pada Fakta, memenuhi :

a. Pasal 49 ayat (2) UUPK No 29 Tahun 2004, Dalam rangka pelaksanaan

kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit

medis.

b. Pasal 51ayat (2) UUPK No 29 Tahun 2004, disebutkan merujuk pasien ke

dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang

lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan.

c. Pasal 52 ayat (2) UUPK No 29 Tahun 2004, meminta pendapat dokter atau

dokter gigi lain, jadi apabila memang dokter kurang memahami atau

mengalami kesulitan dalam melakukan diagnosa atau penanganan suatu

penyakit, makadiwajibkan untuk meminta pendapat dokter lain.

4. Peraturan Internal Rumah sakit , memenuhi:

Kepmenkes No631/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal

Staf Medis (Medical Staff bylaws) di Rumah Sakit, dikatakan beberapa tujuan

yang cukup penting dengan dibentuknya Medical Staff by Laws ini :

a.Untuk memastikan agar semua pasien yang berada di rumah sakit

memperoleh layanan kesehatan dengan mutu tinggi dan aman (safety) tanpa

membedakan ras, agama, warna kulit, keturunan, status ekonomi, latar

belakang pendidikan, status perkawinan, ketidakmampuan, jenis kelamin,

umur, orientasi sex, kebangsaan atau sumber pembayaran.

b. Untuk mengatur agar pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penelitian

dapat dilaksanakan dengan tetap mempertahankan mutu layanan

kesehatan dan martabat untuk semua pasien.

c. Untuk mengembangkan dan melestarikan berbagai peraturan bagi staf

Page 108: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

108

medik yang dapat menjamin kualitas profesional di rumah sakit.

d. Untuk menyediakan forum diskusi tentang permasalahan staf medik.

e. Untuk mengawasi dan menjamin adanya kesesuaian antara bylaws, rule

and regulation of medical staff dengan kebijakan rumah sakit.

5. Persetujuan Tindakan Medik, memenuhi ;

a. Pasal 52 ayat (1) UUPK No 29 Tahun 2004, dikatakan pasien berhak untuk

mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis.

b. Pasal 52 ayat (4) UUPK No 29 Tahun 2004, pasien berhak untuk menolak

tindakan medis.

c. Pasal 53 ayat (2) UU No 23 Tahun 1992, Tenaga kesehatan yang berhadapan

dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya

harus menghormati hak pasien, yang dimaksud dengan hak pasien ialah: hak

atas informasi; hak atas persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, hak atas

pendapat kedua (second opinion).

d. Pasal 1320 KUHPerd mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, dikatakan

untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:

1). Sepakat mereka yang mengingatkan diri.

2) . Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3). Suatu hal tertentu.

4). Suatu sebab yang halal.

e.Permenkes No.585 Tahun 1989, tentan Persetujuan Tindakan Medik. Menurut

Permenkes No. 585/89 consent yang diberikan oleh pasien harus berdasarkan

informasi yang diterima oleh pasien mengenai beberapa hal yang menyangkut

tindakan medik dan informasi yang diberikan oleh dokter harus dimengerti oleh

pasien.

Page 109: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

109

Setelah melihat analisa hubungan manajemen risiko medik dan

perlindungan hukum pasien, maka terlihat dengan menerapkan manajemenen

risiko medik, maka perlindungan hukum pasien terpenuhi.

E. PENUTUP

Dalam melakukan pekerjaannya dokter harus selalu mempunyai

kewenangan, sehingga memberinya kepadanya apa yang dikenal sebagai

kewenangan professional. Kewenangan professional ini sangat diperlukan,

sebab pekerjaan dokter adalah pekerjaan yang selalu berhubungan dengan

tubuh pasien, melakukan tindakan medik tanpa kewenangan professional adalah

perbuatan yang melanggar hukum. Tanpa kewenangan professional, maka

tenaga kesehatan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai tenaga kesehatan,

seperti yang dimaksud oleh UU No. 23/92 tentang Kesehatan. Para tenaga

kesehatan, harus selalu berupaya mengikuti perkembangan dalam bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran, sehingga tidak tertinggal

kemampuannya dengan profesional yang sebidang. Tenaga kesehatan yang

tidak berupaya untuk meningkatkan pengetahuannya, sehingga tertinggal

dibandingkan dengan kemampuan tenaga kesehatan yang lainnya telah

melanggar salah satu unsur dari standar profesi medik. Selain itu yang paling

utama, seorang tenaga kesehatan dituntut untuk menjalankan pekerjaannya

dengan seksama, sebab tenaga kesehatan yang ceroboh dalam melakukan

pekerjaan, taruhanya adalah kesehatan pasien, dan atau kadang-kadang nyawa

pasien.

Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait

dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiga unsur ini membentuk suatu

hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan yang dibentuk umumnya

merupakan objek pemeliharaan kesehatan umumnya dan pelayanan kesehatan

Page 110: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

110

khususnya. Dokter dan rumah sakit berperan sebagai pemberi jasa pelayanan

kesehatan, sedangkan pasien berperan sebagai penerima jasa pelayanan

kesehatan. Pelaksanaan hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit selalu

diatur dengan peraturan-peraturan tertentu supaya terjadi keharmonisan dalam

melaksanakan hubungan antar pihak. Sebagaimana kita ketahui bahwa

hubungan dokter dan pasien, hubungan dokter dan rumah sakit dan hubungan

pasien dengan rumah sakit, dilihat dari hubungan hukumnya merupakan saling

sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan yang dikenal

sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya perikatan yang digunakan

sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan ikhtiar (inspanning

verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk mencapai

pelayanan kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan perikatan hasil

(resultaat verbentenis). Untuk melindungi pasien dan masyarakat yang

membutuhkan pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian

terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan

malpraktik dokter, para dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum kesehatan,

hukum hak asasi manusia serta peraturan-peraturan yang mengatur praktik

kedokteran. Pekerjaan yang selalu berhubungan dengan kesehatan dan

keselamatan jiwa pasien, memerlukan seorang tenaga kesehatan yang sangat

berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, atau dengan seksama melakukan

tugas.

Pelanggaran terhadap standar profesi medik, selain dapat mengakibatkan

pelanggar digugat secara perdata untuk membayar ganti rugi, dalam hal pasien

menderita kerugian. Selain itu, juga dapat dituntut secara pidana, dalam hal

memenuhi unsur-unsur pidana, karena kesalahan/ kelalaian dokter pasien cacat

atau meninggal dunia. Menyalahi prosedur tindakan medik, dapat pula

dinamakan sebagai pelanggaran terhadap standar profesi medik. Selain itu,

Page 111: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

111

pelanggaran terhadap standar profesi medik dapat pula dikenakan sanksi

administratif. Sanksi administrati yang paling berat adalah pencabutan ijin

praktek dokter, dalam arti tidak mempunyai kewenangan untuk bekerja sebagai

tenaga kesehatan, dan sanksi yang ringan, hanya mendapatkan teguran.

Perlindungan hukum pasien merupakan hak yang harus diperoleh oleh

masyarakat, dimana hal ini sudah diatur oleh Undang-Undang dan diharapkan

dengan adanya perlindungan hukum pasien maka derajat kesehatan yang

optimal dan pengertian tentang hukum kesehatan dimasyrakat dapat terlaksana

dengan baik.

Dengan melakukan manajemen risiko medik, baik dengan cara

pencegahan maupun tindakan penaganan apabila risiko medik itu terjadi akan

dapat memenuhi perlindungan hukum pasien dan juga memicu para dokter

untuk dapat bekerja sesuai dengan SOP dan peraturan yang berlaku.

Page 112: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

112

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN.

Dari hasil analisa hubungan Manajemen risiko medik dan Perlindungan

hukum pasien, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Hubungan dokter dengan pasien, dilihat dari hubungan hukumnya merupakan

saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan yang

dikenal sebagai perikatan (Verbentenis). Pada umumnya perikatan yang

digunakan sebagai hubungan hukum diatas merupakan perikatan ikhtiar

(inspanning verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk

mencapai pelayanan kesehatan bagi pasien yang diobati, bukan merupakan

perikatan hasil (resultaat verbentenis). Untuk melindungi masyarakat yang

membutuhkan pengobatan dan dalam menghindari pelanggaran, kelalaian

terhadap kewajiban pelayanan oleh dokter yang dapat menimbulkan kegiatan

malpraktik dokter, para dokter dibekali kode etik kedokteran, hukum

kesehatan, hukum hak asasi manusia serta peraturan-peraturan yang

mengatur praktik kedokteran.

2.Perlindungan Hukum Pasien akan dapat membuat pasien tinggal dengan

nyaman di rumah sakit, mereka tidak akan merasa khwatir dengan

pelayanan yang diperolehnya. Pasien akan mendapatkan pelayanan

sesuai dengan hak- haknya sebagaimana yang telah tertulis dari UU No. 23

Tahun 1992 Tentang Kesehatan , Undang-undang No. 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia, UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Page 113: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

113

Kedokteran , KUHPerd, Kepmenkes 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang

Peraturan internal staf medis ( Medical Staff bylaws) di Rumah sakit ,

Kepmenkes No 772//Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman peraturan internal

rumah sakit (Hospital bylaws), Permenkes No.585 tahun 1989 Tentang

Persetujuan Tindakan Medik dan SK.Dirjen.Yan.Med.No YM.02.04.3.5.2504

tentang hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit , dimana

perlindungan terhadap hak- hak pasien telah jelas dan kewajiban dokter

untuk memenuhi hak pasien harus ditaati.

3. Dengan penerapan Majemen Risiko Medik yang baik dan benar dalam

pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka Pelindungan Hukum Pasien akan

terpenuhi. Namun demikian perlu dicermati, walaupun pelayanan telah

diberikan sesuai dengan Manajemen Risiko Medik, kemungkinan risiko medik

masih mungkin terjadi.,karena tidak semua risiko medik dapat dihindari,

namun dapat diminimalisasi.

4. Dengan diterapkannya Manajemen Risiko Medik, maka Perlindungan Hukum

Pasien akan terpenuhi sehinggah akan terjadi hubungan pasien dokter dan

pasien rumah sakit yang lebih harmonis, saling percaya dan pada akhirnya

akan berdampak terhadap:

a. Kinerja dan kualitas pelayanan dokter yang akan semakin baik karena dokter

dalam melaksanakan kewajibannya akan menerapkan sistim manajemen

risiko medik yang telah disepakati.

b.Pasien merasa aman, nyaman dan tidak ada keragu-raguan terhadap

pelayanan di rumah sakit serta akan mengunjungi rumah sakit apabila

membutuhkan pengobatan. Pasien yang puas tentunya akan menjadi

Page 114: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

114

penyambung lidah pada pasien-pasien lainnya, sehingga akan semakin

banyak pasien yang mempercayakan kesehatan dirinya terhadap rumah sakit

tersebut.

c. Rumah sakit akan menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk pasien dan

dokter, sehingga selain pasien menjadi lebih percaya dengan pelayanan di

rumah sakit, diharapkan juga akan banyak dokter-dokter yang akan

bergabung dengan rumah sakit tersebut karena dokter merasakan adanya

kenyamanan, keamanan dan kejelasan dalam bekerja. Para dokter akan

bekerja sesuai dengan standar operasional prosedur, mereka akan terus

belajar dengan mengikuti pelatihan-pelatihan, terus mengupayakan pelayanan

dengan meningkatkan kualitas pelayanan yang dilakukannya, selalu berusaha

mencari penyebab dari permasalahan yang dihadapinya dan mencari solusi

pemecahannya serta melaksanakan manajemen pelayanan medik lainnya

B. SARAN

1. Agar manajemen risiko medik dapat diterapkan dan terus ditingkatkan sesuai

dengan kebutuhan yang ada di rumah sakit serta harapan pasien dan dapat

diterapkan di setiap rumah sakit sehingga membuat pasien akan merasa

nyaman dan tidak ada keragu-raguan untuk berobat ke rumah sakit manapun

di Indonesia atau diobati oleh dokter manapun. walaupun dokternya berbeda,

namun pasien mendapatkan pelayanan yang sama baik mulai dari standar

operasional prosedur sampai dengan kejelasan informasi yang diperoleh dari

dokter tersebut. Dengan demikian akan menghilangkan image bahwa rumah

sakit yang satu akan lebih baik dari yang lain, atau seorang dokter akan lebih

mampu dari dokter yang lainnya. Diharapkan dengan melaksanakan

manajemen risiko medik akan menghilangkan kesenjangan dalam kualitas

Page 115: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

115

pelayanan, sehingga akan mengakibatkan pasien- pasien di Indonesia

mempercayai dokter dan rumah sakit di negeri ini.

2. Agar Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sebagai organisasi yang

mempunyai wewenang untuk memastikan kualitas pelayanan yang diberikan

oleh rumah sakit perlu lebih giat lagi memperhatikan manajemen risiko medik,

dengan membuat parameter- parameter penilaian manajemen risiko medik

yang dapat diimplementasikan oleh setiap rumah sakit, sehingga rumah sakit

tersebut dapat mengetahui kekurangannya dan segera melakukan usaha-

usaha perbaikan. Dengan demikian rumah sakit di Indonesia dapat bersaing

dengan rumah sakit di luar negeri dan diharapkan pasien Indonesia yang

berobat ke luar negeri akan menurun sehingga akan menyelamatkan devisa

negara yang jumlahnya sangat besar yang mengalir keluar negeri. Dan

diharapkan suatu ketika Indonesia juga dapat menjadi tempat tujuan wisata

medik bagi negara-negara lain, karena pelayanan yang diberikan telah

memenuhi kebutuhan dan harapan pasien.

3. Agar pemerintah (Departemen Kesehatan) juga turut serta secara langsung

melakukan pengawasan terhadap manajemen risiko medik di rumah sakit. Hal

tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk

memastikan apakah manajemen risiko medik telah dilakukan atau belum.

Pelaksanaan majamen risiko medik ini dapat dikaitkan dengan pengurusan

ijin operasional rumah sakit baru atau ijin operasional perpanjangan rumah

sakit. Rumah sakit baru sebaiknya dapat menunjukan dokumentasi tentang

rencana penerapan manajemen risiko medik, sedangkan untuk rumah sakit

yang akan memperpanjang ijin operasional dapat menunjukan dokumentasi

dan aktifitas penerapan manajemen risiko medik yang telah dilakukan.

Page 116: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

116

DAFTAR PUSTAKA

Anny Isfandyarie, Malpraktek & Resiko Medik, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2006.

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2006.

Bambang Sunggono , Metodologi Penelitian Hukum. PT Rajagrafindo Persada

Jakarta,1996.

Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori–Asas Umum Hukum Acara Pidana

dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993.

B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia dalam “Percikan Gagasan

Tentang Hukum Ke-III” editor: Wila Chandrawila Supriadi, Mandar Maju,

Bandung.

B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung, 2000.

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil (Problematik Fisafat Hukum),

Grasindo, Jakarta, 1999.

B.N. Marbun,Konsep Manajemen Indonesia, Jakarta, PPM, 1980.

Carrol R, Risk Management Handbook or Health Care Organization,

Jossey Bass, San Fransisco, 2004.

E Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2006.

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, PT Grafikatama Jaya,

Jakarta, 1991.

Fuady Munir, Sumpah Hippocrates ( Aspek Hukum Malpraktek Dokter).

PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005.

H. Hadari Nawawi & H.M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,

Page 117: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

117

Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta, 1995.

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia

diterjemahkan oleh: Tristam P. Moeliono, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2006.

Hermien Hadiaty, Hukum Kedokteran, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Hermien Hadiaty, Beberapa Permasalahan hukum dan Medik,

Bandung: Citra Aditya Bakti,1992.

Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu

Hukum, Mandar Maju, Bandung,1995.

J.E. Spruit, Tujuan Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta dalam Tim

Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995.

J.Guwandi, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta, 2005.

Laksono Trisnantoro, Manajemen Rumah Sakit, Gajah Mada University,

Jogjakarta, 2004.

Lynne Cunningham, Integrating Patient Satisfaction And Risk Management,

JBBass Publisher,San Fransisco,1991.

Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,

Bandung, 2000.

Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia,

Jakarta, tanpa tahun.

Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum diterjemahkan oleh: B. Arief Sidharta,

Alumni, Bandung, 2000.

Pusat Bahasa DpDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3,

Balai Pustaka, Jakarta, 2001.

Page 118: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

118

Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka,

Jakarta, 2001.

Robert J Taylor, The AUPHA Manual of Health Services Management,

Aspen Maryland, 1994.

Robert J Taylor, The AUPHA Manual of Health Services Management, Aspen

Publisher,Maryland,1994.

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia editor: Karolus

Kopong Medan & Frans J. Rengka, Kompas, Jakarta, 2003.

Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006.

Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, Mandar Maju,

Bandung, 2002.

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma Metode dan Dinamika

Masalahnya) Editor Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002.

Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, rambu-rambu bagi profesi dokter,

Edisi 3, tahun 2005.

Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis),

Kanisius, Yogyakarta, 2001.

Sorjono Soekanto, Sri Mamudji, Suatu Tinjauan Singkat Penelitian Hukum

Normatif, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, 2005.

S.Sunatrio, Kecelakaan Mayor Dalam Anastesi, Surabaya.

Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Pengantar Ilmu

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 1995.

Veronica D Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi

Page 119: Resiko Medis Dan Perlindungan Hukumnya

119

Teraupetik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi Bebas Berbahasa Indonesia.

Willa Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Penerbit Mandar

Maju, Bandung, 2001.

Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Medan,1999.