ardialmathor.files.wordpress.com · web viewdakwah seperti inilah yang disebut sebagai dakwah...

64
TANTANGAN DAKWAH MUHAMMADIYAH MAKALAH KELOMPOK Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “Studi Islam II” Dosen : Drs. Makhful, M.Ag Disusun oleh : Kelas 4F Kelompok 11 1. Zamkhoironi (1201100263) 2. Ifan Abdullatif (1201100272) 3. Hutomo Pramu N (1201100280) 4. Yulis Pramono (1201100301) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR i

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TANTANGAN DAKWAH MUHAMMADIYAH

MAKALAH KELOMPOK

Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah “Studi Islam II”

Dosen : Drs. Makhful, M.Ag

Disusun oleh :

Kelas 4F

Kelompok 11

1. Zamkhoironi

(1201100263)

2. Ifan Abdullatif

(1201100272)

3. Hutomo Pramu N

(1201100280)

4. Yulis Pramono

(1201100301)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2014

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami selaku tim penyusun diberi kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang bertemam“Tantangan Dakwah Muhammadiyah”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Islam II. Ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terutama kepada :

1. Drs. Makhful, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Islam II.

2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi dan doa.

3. Teman-teman yang telah memberikan banyak dukungan.

Semoga amal baik yang telah diberikan oleh semua pihak mendapatkan imbalan pahala dari Allah SWT. Kami berharap semoga apa yang ditulis dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Makalah ini masih sangatlah jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian agar makalah ini lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Purwokerto, Juni 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

i

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1

B. Rumusan Masalah

2

C. Tujuan

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Tantangan Modernitas dan Industrialisasi dalam dakwah Muhammadiyah………………………………………………….

3

B. Peta Dakwah Muhammadiyah…………………………………..

8

C. Strategi Dakwah Muhammadiyah………………………………

11

D. Konsep Dakwah Kultural Muhammadiyah………………………

17

BAB III PENUTUP

A. Simpulan

37

B. Saran……………………………………………………………...37

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muhammadiyah adalah organisasi pembaharu Islam yang pada waktu itu telah Islam mengalami pendangkalan makna dan banyak dicampuri tradisi Hindu-Budha. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah adalah seorang mubaligh muda yang dalam setiap berdakwah untuk menyampaikan ide-ide purifikasi islam banyak mengalami tantangan, bahkan dari keluarganya sendiri. Tentunya hal ini menjadi lumrah karena pada saat itu masih dalam era penjajahan dan banyaknya tokoh-tokoh Islam yang menanamkan pemikiran memusuhi setiap perkembangan apalagi yang berkaitan dengan kaum penjajah.

Muhammadiyah sejak lahir menjadikan dirinya sebagai organisasi atau Persyarikatan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian maka keseluruhan dari kegiatan Muhammadiyah adalah dakwah Islamiyah, sesuai dengan bidang masing-masing bagian atau lembaga dalam Muhammadiyah.Adapun Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus merupakan salah satu bagian penting menjalankan dakwah Islam dari Muhammadiyah, yang mengkhususkan pada dakwah yang lebih bersifat tabligh atau menyeru/menyampaikan risalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Pelaksanaan sifat tabligh ini lebih cenderung melalui lisan, tulisan, audio, audio visual, internet dan sebagainya. Oleh karena itu, Muhammadiyah sangat perlu memiliki mubaligh yang handal dan menguasai medan serta peralatan tabligh lainnya. Hal ini sudah merupakan kewajiban bagi Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus memiliki korps-Daerah, Wilayah, Nasional dan dakwah di tingkat Internasional.

Meskipun Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus punya tugas khusus menangani bidang tabligh, namun tidaklah kaku pada pembatasan bidang tugas ini. Para Mubaligh Muhammadiyah perlu juga diberikan tambahan kemampuan dalam bidang-bidang yang lain, misalnya dalam dakwah bil hall, dan dakwah bits tsaqofah.

Dengan demikian antara sumberdaya mubaligh dan sarana serta prasarananya dapat berjalan seimbang. Selain itu antara umat yang membutuhkan mubaligh dan jumlah mubalighnya juga dapat dipenuhi. Perlu difikirkan pula tantangan dakwah di masa yang akan datang dalam menghadapi arus global di era post-modernis yang memasuki dunia kita. Karena jika kita membaca sejarah awal berdirinya Muhammadiyah, tentunya kita akan berfikir bahwa akan semakin banyak pula tantangan yang akan kita hadapi dan mestinya akan lebih kompleks dari apa yang dihadapi oleh K.H. Ahmad Dahlan ini tentunya menjadi tantangan bagi semua kader Muhammadiyah untuk selalu mendakwahkan ajaran Islam yang sebenar-benarnya melalui organisasi Muhammadiyah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tantangan Modernitas dan Industrialisasi dalam dakwah Muhammadiyah ?

2. Bagaimana Peta Dakwah Muhammadiyah ?

3. Apa Strategi Dakwah Muhammadiyah ?

4. Bagaimana Konsep Dakwah Kultural Muhammadiyah ?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini diharapkan agar mahasiswa:

1. Mengetahui tantangan Modernitas dan Industrialisasi dalam dakwah Muhammadiyah

2. Mengetahui Peta Dakwah Muhammadiyah

3. Mengetahui Strategi Dakwah Muhammadiyah

4. Mengetahui Konsep Dakwah Kultural Muhammadiyah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tantangan Modernitas dan industrialisasi dalam Dakwah Muhammadiyah

Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan berimplikasi pada perubahan tantangan sosial dan intelektual, karena dibarengi oleh masuknya budaya impor ke dalam masyarakat tersebut. Menurut Boeke, ketika budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi dan digantikan oleh unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur impor. Biasanya, unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh masyarakat tradisional.

Selain masuknya budaya asing, globalisasi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan sekularisasi. Globalisasi dan sekularisasi seakan-akan merupakan satu paket yang terjadi di dunia Barat dan Timur. Konsekuensinya, ajaran dan dogmatisme agama, termasuk Islam, yang semula sakral sedikit demi sedikit mulai dibongkar oleh pemeluknya, yang pandangannya telah mengalami perkembangan mengikuti realitas zaman. Agama pada dataran itu pun akhirnya menjadi profan, sehingga sangat tepat jika munculnya modernisasi seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah perubahan penting dari struktur sosial (pola-pola perilaku dan interaksi sosial).

Perubahan itu berbentuk, antara lain; perubahan tantangan hubungan tradisional antara masyarakat, pemerintah dan Agama, di mana masyarakat sakral-integralis, yang sebelumnya diatur oleh sistem-sistem religio-politik, bergerak menuju transformasi baru sebagai masyarakat pluralis non-sakral.

Dari kenyataan seperti itu, dalam era modern umat Islam sering dihadapkan pada sebuah tantangan, di antaranya adalah menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi modernisasi dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran.

Clifford Geertz menyatakan bahwa dalam menghadapi dunia modern, sikap orang bisa bermacam-macam. Ada yang kehilangan sensibilitas mereka, ada yang menyatu ke dalam ideologi penjajah atau sekedar mengadopsi kreasi impor, ada yang mengambil jarak dengan penuh waspada atau menjadikan beberapa tradisi bentuk yang lebih efektif, ada yang membagi dirinya menjadi dua dunia, hidup secara spiritual sesuai dengan keyakinan lama dan hidup secara fisik sesuai dengan kekinian, ada pula yang mencoba mengekspresikan keberagamaan mereka dalam aktivitas-aktivitas sekular. Sikap semacam inilah yang terjadi pada umat Islam, di mana mereka tidak memiliki kesepakatan sikap dalam memahami ajaran agamanya di tengah kehidupan publik yang modern.

Perbedaan sikap di atas karena Islam sebagai agama yang diturunkan di tengah bangsa Arab kemudian diadopsi oleh masyarakat non-Arab dengan kultur yang berbeda, sehingga dalam memahami ajaran Islam mereka pun akhirnya memiliki perbedaan. Dari itu muncul banyak corak Islam, ada Islam Iran, ada Islam Indonesia, ada Islam Afrika, yang masing-masing varian merepresentasikan dimensi budayanya.

Nabi Muhammad sendiri tidak menuntut pengikutnya untuk menjadi masyarakat yang harus merealisasikan semua ide Islam secara tepat, persis dengan yang ia lakukan. Jadi wajar jika terdapat perbedaan bentuk, antara Islam sekarang dengan Islam di masa lampau. Hal semacam ini mendapatkan pengakuan dari Hallaq, yang menyatakan bahwa dalam bidang fikih misalnya, ajaran Islam tumbuh dan berkembang dalam bentuk yang berbeda dalam komunitas yang beragam. Itu artinya, meskipun Islam tumbuh dalam tradisi dan masyarakat bangsa Arab, setiap muslim tidak harus menterjemahkan Islam sesuai dengan yang diterapkan oleh bangsa Arab, akan tetapi menformulasikannya sesuai dengan kondisi sosial mereka.

Dari itulah dalam merespon modernisasi, umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang merespon secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti modernisme dan pada akhirnya anti Barat. Ada yang menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dalam masa depan dan bahkan untuk way of life mereka. Kelompok ini memandang bahwa konsepsi tradisional memiliki kelemahan dalam menghadapi modernisasi. Ada lagi kelompok ketiga yang bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti modernisasi dan anti Barat. Di mata kelompok yang disebutkan terakhir ini, modernisasi dimodifikasi sekiranya tidak bertentangan dengan hal-hal yang dianggap prinsip oleh mereka. Kelompok ketiga ini menganggap Barat tidak secara otomatis sebagai musuh, dan dalam waktu bersamaan tidak pula mengganggap Barat sebagai role model yang hebat dalam segalanya dan harus ditiru. Bagi mereka, Barat mengandung unsur kebaikan, sehingga mereka tidak berkeberatan untuk menerimanya selama tidak harus mengorbankan agamanya. Dalam waktu bersamaan mereka juga sadar bahwa Barat harus disikapi dengan kritis, bahkan dalam batas tertentu harus ditolak.

Semua perbedaan sikap di atas, terjadi karena terjadi perbedaan antara ajaran ideal Islam dengan praktik yang terjadi di lapangan. Kedua permasalahan tersebut (the ideal and the practical) akhirnya menjadi sumber konflik di antara umat Islam di dunia ini. Sebagai contoh adalah bentuk ajaran dan konsep bernegara di Madinah pada masa Rasulullah, yang selalu menjadi utopia di kalangan umat Islam.

Dari cara pandang yang berbeda tersebut, di dunia Islam muncul berbagai macam bentuk pemikiran ideologis, antara kelompok yang memandang Islam sebagai model dari sebuah realitas (models of reality) dan kelompok yang memandang Islam sebagai model untuk sebuah realitas (models for reality). Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.

Lalu sikap manakah yang paling tepat untuk menghadapi dunia yang serba modern ini? Apakah harus seperti yang dikatakan oleh salah seorang orientalis Jerman bahwa masa depan Islam hanya bisa eksis jika mau beradaptasi dengan kehidupan intelektual Eropa?

Jawabannya adalah bahwa kita tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra modern yang konservatif. Betapapun kerasnya kita berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi Agama pada masa keemasannya, kita memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis dan empiris. Baik konservatisme maupun modernisme, bukanlah pilihan yang tepat. Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya. Artinya, semua tipologi pemikiran di atas tidak perlu ada yang disalahkan.

Apapun respon umat Islam terhadap modernisasi, yang jelas dalam dunia modern ini budaya Eropa Barat yang bersifat industrial sangat dominan, sementara budaya Islam menjadi terdominasi karena masih bersifat pre-industrial, sehingga banyak hal baru yang masuk ke dalam masyarakat Islam dan menimbulkan kecemasan, karena dampaknya pada kehidupan yang materialistis, unmoralis, dan sekuler. Maka manusia modern sekarang ini mulai merasakan kehampaan spiritual dan ingin kembali kepada agama. Seperti yang ditulis oleh Thoureau, bahwa kini banyak sekali orang yang hidup dalam keputus asaan.

Dalam kecemasan itu, umat beragama seringkali kemudian mencari bentuk format ajaran agamanya yang merujuk pada masa lampau untuk mendapatkan otentisitas keberagamaannya. Dalam tubuh umat Islam sendiri terjadi kekecewaan terhadap Islam yang menekankan aspek esoteris, yang hanya memuaskan segi kognitif, Islam yang mengenyirkan kening. Orang sekarang mencari Islam yang menyentuh secara afektif, Islam yang meneteskan air mata.

Akan tetapi manusia dan masyarakat tetap berjalan terus ke masa depan, dan di depan mereka dihadapkan pada kemajuan sains, wacana-wacana intelektual dan transaksi-transaksi rasional, yang semua itu harus disikapi dengan perubahan, sehingga terjadilah perdebatan panjang dalam masyarakat beragama, antara keinginan untuk kembali kepada masa lampau dengan keinginan untuk melakukan perubahan, antara keinginan untuk tetap mempertahankan tradisi masa lampau dengan keinginan untuk menyongsong masa depan.

Memahami Makna Modernisasi

Istilah modern secara bahasa berarti baru, kekinian, akhir, up-todate atau semacamnya. Bisa dikatakan sebagai kebalikan dari lama, kolot atau semacamnya. Esensi modernisasi, menurut sebagian ahli, adalah sejenis tatanan sosial modern atau yang sedang berada dalam proses menjadi modern. Bagi ahli lain, esensi modernisasi ditemukan dalam kepribadian individual. Istilah modern juga bisa berkaitan dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern ini bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk yang lainnya.

Modernisasi memang sangat luas artinya, mencakup proses memperoleh citra (images) baru seperti citra tentang arah perubahan atau citra tentang kemungkinan perkembangan. Batasan-batasan modernisasi seringkali hanya ditekankan pada aspek-aspek perubahan di bidang teknologi dan ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Manfred Halpern, revolusi modernisasi sebenarnya melibatkan transformasi semua sistem yang berlaku sebelumnya dalam masyarakat, baik sistem politik, sosial, ekonomi, intelektual, keagamaan maupun psikologi.

Modernisasi, Globalisasi, Industrialisasi, Urbanisasi, Sekularisasi

Sejarah modern oleh Aziz al Azmeh dikarakteristikkan dengan globalisasi kekuasaan Barat. HYPERLINK "http://pesantren-iainsa.blogspot.com/2009/02/normal-0-false-false-false.html" \l "_ftn21" \o "" Globalisasi menunjukkan perkembangan yang cepat di bidang komunikasi, teknologi, transportasi dan informasi, yang menjadikan dunia semakin sempit karena segala sesuatu semakin mudah dicapai. Proses globalisasi juga terbentuk oleh pertukaran informasi dan budaya

Kaitannya dengan dunia Barat, ada beberapa teori mengenai modernisasi. Daniel Lerner misalnya, beranggapan bahwa modernisasi identik dengan westernisasi, sekularisasi, demokratisasi dan pada akhirnya liberalisasi. Tetapi, ada yang membuat dikotomi antara modernisasi dan westernisasi, di mana modernisasi lebih bersifat teknologis, sementara Westernisasi lebih berorientasi pada nilai. Akan tetapi, dikotomi ini dalam beberapa hal tidak tepat. Sebagai contoh, pesawat terbang dan bioskop, adalah sama-sama ciptaan Barat, akan tetapi kita bisa menerima pesawat terbang dan tidak menerima bioskop.

Selain itu, di dalam beberapa studi tentang sosiologi dikatakan bahwa di beberapa wilayah, industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi. Artinya, modernisasi berimplikasi pada munculnya industrialisasi. Akan tetapi di beberapa negara lain terjadi sebaliknya, di mana industrialisasi berimplikasi pada modernisasi,sehingga ada yang menyebut abad modern terjadi karena adanya revolusi industri.

Secara historis, sebenarnya kedua istilah di atas berkaitan erat, tetapi tidak sama artinya. Modernisasi adalah istilah yang lebih inklusif, karena modernisasi dapat terjadi terlepas dari industrialisasi. Seperti dikemukakan oleh Apter, bahwa modernisasi di Barat didahului oleh komersialisasi dan industrialisasi, sedangkan di negara non-Barat, modernisasi didahului oleh komersialisasi dan birokrasi, sehingga Bendix mendefinisikan modernisasi sebagai seluruh perubahan sosial dan politik yang menyertai industrialisasi di kebanykan negara yang menganut peradaban Barat. Jadi modernisasi dapat dilihat terlepas dari industrialisasi.

Yang jelas, modernisasi telah membentuk sebuah perubahan yang mendasar tentang tingkah laku dan keyakinan di bidang ekonomi, politik, organisasi sosial dan bentuk pemikiran. Di bidang ekonomi, perubahan bisa dilihat dalam wujud industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, munculnya kebutuhan-kebutuhan kapital dalam jumlah besar, pertumbuhan sains dan munculnya kelas-kelas baru dan mobilisasi sosial. Di bidang politik, ditandai oleh munculnya partai-partai politik, kesatuan-kesatuan dan kelompok-kelompok kepemudaan. Di bidang dimensi sosial, terjadinya perubahan hubungan antar lawan jenis, komunikasi masa, dan urbanisasi. Modernisasi juga menimbulkan difusi norma-norma sekuler-rasional dalam kebudayaan.

B. Peta dakwah Muhammadiyah

Dakwah berdasarkan data

Akan selalu dipertanyakan efektivitas dakwah yang dilaksanakan sporadis dengan tanpa referensi data. Bukankah hingga kini Muhammadiyah belum memiliki berapa banyak orang warganya yang kaya, orang kelas menengah dan dhua’afa dan bagaimana kecenderungan corak kebermuhammadiyahan semua kelas itu?  Jika misalnya pagi ini pemerintah menghibahkan 1 milyar untuk dikucurkan kepada kaum du’afa guna merangsang hidupnya usaha kecil dan menengah, apakah Muhammadiyah memiliki data?

Jika semua level Muhammadiyah ditandai dengan kewajiban memakmurkan pengajian rutin, apakah semuanya dilaksanakan dengan pemrograman kajian secara sistimatis dan dengan perumusan materi yang jelas serta dengan asuhan guru-guru jama’ah yang kompeten? Jika setiap level kepengurusan diwajibkan memiliki rumah ibadah (langgar dan mesjid Taqwa), apakah pernah diketahui secara pasti berapa orang yang hadir untuk setiap waktu shalat?

Kuntowijoyo pernah memberi ralat atas pernyataannya yang mengatakan bahwa Muhammadiyah itu cenderung sebagai gejala kekotaan dan sebaliknya NU adalah gejala kedesaan. Namun jika diperhatikan jarak dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penguasaan terhadapnya, maka Kuntowijoyo sendiri membenarkan bahwa Muhammadiyah itu sungguh sebuah noktah ketertinggalan yang amat perlu dipikirkan. 

Tahun 1980-an Wakil Ketua PP Muhammadiyah Bidang Urusan Luar Negeri Lukman Harun berhasil membawa sejumlah uang dari negara donor untuk membangun Islamic Centre yang salah satunya didirikan di Kabanjahe. Nama mentereng (Islamic Centre) tentu mengingatkan jenis-jenis institusi yang sama yang demikian penting di negara-negara maju seperti Amerika, Inggeris dan lainnya. Tetapi Islamic Centre Muhammadiyah di Kabajahe hanyalah sebuah perkantoran dengan lembaga pendidikan dasar yang dilengkapi dengan sebuah gedung rumah ibadah. Tidak berbeda dengan kompleks perguruan Muhammadiyah yang ada di Tanjungsari, Kampung Durian, atau Mutiara Kisaran. Lalu mengapa namanya Islamic Centre?

Semua itu memerlukan pendataan dan konsepsi yang kuat hingga kelak membantu untuk membangun sebuah peta dakwah. Dengan memiliki peta dakwah yangup to date, insyaa Allah gerakan dakwah akan lebih terjamin efektivitasnya.

Selain itu amat terasa pentingnya bagi Muhammadiyah untuk memperkuat sistem pengembangan ketajdidan otonom bagi semua warganya. Jika seorang warga Muhammadiyah hanya mampu menyebut bahwa dalam Muhammadiyah diajarkan status hukum sesuatu masalah dengan mengatakan bahwa ”itu adalah ajaran ustaz kami”, kurang lebih itu hanyalah bentuk taqlid  (mengikut tanpa dasar) juga. Bagaimana washilah (sistim perantara) seperti itu bisa bersemi di sebuah organisasi yang mengklaim diri sebagai gerakan tajdid?

Dalam kitab Himpunan Putusan Tarjih aneka kontroversi pemahaman hukum diselesaikan dengan sebuah solusi. Kita tidak memaksudkan pensakralan buku itu. Tetapi rujukan itu dapat menuntun setiap warga Muhammadiyah untuk berada pada pemahaman yang benar atas posisi hukum dan konsekuensi sebuah pilihan dalil dalam mengamalkan Islam. Artinya, tidak Cuma para pengurus Majlis Tarjih yang mesti menelaah kitab itu, melainkan juga para da’i dan guru jama’ah, serta segenap warga Muhammadiyah.

Pemanfaatan GIS dalam Dakwah Muhammadiyah

GIS ialah sistem infomasi berbasis komputer yang menggabungkan antara unsur peta (geografis) dan yang dirancang untuk mendapatkan, mengolah, memanipulasi, informasinya tentang peta tersebut (data atribut) analisa, memperagakan dan menampilkan data spasial untuk menyelesaikan perencanaan, mengolah dan meneliti permasalahan.

Dengan menggunakan GIS, Muhammadiyah memungkinkan untuk melihat informasi dakwah secara keseluruhan dengan cara pandang baru, melalui basis pemetaan, dan menemukan hubungan yang selama ini sama sekali tidak terungkap. Apalagi dalam konteks Indonesia yang multicultural. 

GIS juga memungkinkan bagi Muhammadiyah untuk lebih meningkatkan integrasi organisasi. Artinya dengan database (dalam GIS) ini, seluruh komponen dalam Persyarikatan bisa memamfaatkan. Karena Muhammadiyah memiliki banyak organisasi otonom, amal usaha dan sayap pergerakan lainnya. Contoh, disamping mengentry data untuk dakwah, juga bisa dimasukkan data tentang perempuan, tentang jumlah amal usaha Muhammadiyah, dan banyak informasi lain yang sekiranya dibutuhkan oleh persyarikatan.

Dengan demikian, Muhammadiyah akan lebih sempurna dalam mengambil keputusan-keputusan strategis dan berdampak luas. Misalnya di wilayah Banten, Muhammadiyah akan menerjunkan da’i. Pimpinan Persyarikatan bisa melihat GIS, titik koordinat yang menjadi daerah sasaran dakwah dimana. Terus bagaimana sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik. Berapa orang da’i yang dibutuhkan beserta kualifikasinya. Data-data tersebut akan tersedia dalam GIS yang akan disusun.

Cara Mewujudkan Gagasan GIS

Pertama, tentu Pimpinan Persyarikatan harus memutuskan akan menyusun peta dakwah berbasis GIS. Kedua, menentukan tim leader sebagai pimpinan proyek. Tim leader inilah yang akan mendiskusikan kebutuhan database dakwah, setelah kebutuhan tersusun lalu membentuk tim survey. Tim survey ini untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan. Biar lebih efisien, bisa digunakan jaringan Muhammadiyah di wilayah, baik itu pimpinan wilayah atau perguruan tinggi Muhammadiyah.

Ketiga, tunjuklah PTM sebagai laboratorium yang menjadi resource centre basis data GIS ini. Misalnya, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang memiliki fakultas geografi. Data-data yang dikumpulkan tadi lalu dibawa ke UMS untuk di imput ke komputer dengan program arcinfo, arcview atau arcgis. Disamping membantu Persyarikatan, kegiatan ini bisa menjadi wadah bagi mahasiswa fakultas geografi UMS untuk mengembangkan keterampilan dan keahliannya dalam GIS.

Keempat, bagaimana pun bekarja dengan banyak orang tentu membutuhkan koordinasi yang baik. Oleh karena itu, tim yang ditunjuk oleh persyarikatan harus mampu mengkoordinasikan kegiatan ini dengan pihak-pihak internal Muhammadiyah, baik itu majelis, lembaga dan organisasi otonomnya.

C. Strategi dakwah Muhammadiyah

Strategi secara etimologis berasal dari kata majemuk bahasa Yunani: stratos, yang berarti pasukan dan agein yang berarti memimpin. Jadi strategi berarti memimpin pasukan. Ilmu strategi adalah ilmu tentang memimpin pasukan. Ilmu tentang perang. Kadang-kadang dikatakan orang sebagai ilmunya para jendral, ilmunya para komandan.

Pengertian tersebut selanjutnya berkembang. Strategi tidak hanya diperlukan pada saat-saat terjadi peperangan, tetapi juga pada saat-saat damai. Strategi tidak saja dipergunakan dikalangan militer, tetapi juga dikalangan lainnya. Kita mengenal istilah strategi politik, strategi ekonomi, strategi sosial, strategi budaya dan juga strategi dakwah.

Sesuai perkembangan tersebut, menurut istilah, strategi mempunyai arti yang lebih luas. Ali Moertopo, seorang tokoh orde baru mengartikan strategi sebagai hal-hal yang berkenaan dengan cara dan usaha menguasai dan mendayagunakan sumber daya suatu masyarakat, suatu bangsa, untuk mencapai tujuannya. Seorang ahli Administrasi, Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA, dalam bukunya Manajemen Stratejik, mendefinisikan strategi dengan rencana berskala besar berorientasi jangkauan masa depan yang jauh serta ditetapkan sedemikian rupa, sehingga memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya dalam kondisi persaingan yang kesemuanya diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. Di bagian lainnya pada buku yang sama, Siagian menegaskan bahwa strategi adalah suatu keputusan dasar yang diambil untuk menentukan dalam bidang apa organisasi akan bergerak sekarang dan dalam bidang apa di masa depan. Berbeda dengan Siagian, Fred R. David, dalam bukunya Manajemen Stratejis, melihat strategi sebagai sebuah methoda. Ia merumuskan strategi sebagai cara untuk mencapai sasaran jangka panjang.

Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa strategi adalah merupakan aktivitas menentukan CARA bertindak atau RENCANA kegiatan jangka panjang atau PEMILIHAN BIDANG kegiatan yang akan dilakukan. Disamping itu, dari pengertian tersebut juga dapat diidentifikasikan beberapa ciri strategi sebagai berikut: pertama, strategi selalu menfokuskan perhatian pada tujuan yang ingin dicapai; kedua, strategi memusatkan perhatian pada gerak dan langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut; ketiga, strategi sangat memperhatikan analisis gerak, analisis aksi, analisis dinamik; keempat, strategi sangat memperhatikan faktor lingkungan, baik eksternal maupun internal; kelima, strategi sangat mempertimbangkan faktor waktu; keenam, strategi berusaha menemukan masalah yang dihadapi, kemudian mengadakan analisis mengenai berbagai kemungkinan yang akan timbul serta menetapkan pilihan-pilihan dan langkah-langkah dalam rangka mencapai tujuan; ketujuh, strategi memusatkan perhatian pada kekuatan yang dimiliki.

MANFAAT STRATEGI

Strategi mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi setiap organisasi dalam rangka mencapai tujuannya. Beberapa manfaat dari strategi, pertama, organisasi lebih proaktif dalam menatap masa depan; kedua, strategi memberikan arah jangka panjang yang akan dituju; ketiga, strategi membantu organisasi dalam beradaptasi dengan lingkungan dan perubahan yang terjadi; keempat, organisasi lebih efektif dan efisien dalam melakukan usahanya; kelima, membantu organisasi mampu mengidentifikasi peluang, hambatan, kekuatan dan kelemahan yang dihadapi; keenam, strategi memudahkan proses manajemen yang dilakukan pimpinan organisasi; ketujuh, strategi dapat mengintegrasikan kegiatan para anggota menuju pada sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Dalam merumuskan sebuah strategi, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, agar strategi itu benar-benar dapat mengantarkan organisasi ke arah tujuan yang telah ditentukan. Diantara faktor yang perlu dipertimbangkan itu adalah : pertama, ideologi; kedua, visi; ketiga, misi; keempat, usaha atau pola tugas; kelima, lingkungan, baik eksternal maupun internal.

STRATEGI MUHAMMADIYAH

Sesuai pengertian strategi sebagaimana telah dikemukakan di muka, strategi Muhammadiyah dalam tradisi Persyarikatan acapkali disebut khittah perjuangan, dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama, dalam bentuk CARA atau METHODE; kedua, dalam bentuk RENCANA KEGIATAN; dan ketiga dalam bentuk PEMILIHAN BIDANG KEGIATAN.

Strategi dalam bentuk pertama dapat dilihat pada amal usaha yang dilakukan Muhammadiyah dalam berbagai macam bidang kehidupan. Boleh dikatakan berbagai amal usaha tersebut adalah merupakan strategi bentuk ini. Penyelanggaraan pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai tingkat perguruan tinggi adalah merupakan cara dakwah Muhammadiyah melalui bidang pendidikan. Demikian pula pembangunan Balai Pengobatan, Poliklinik, Rumah Bersalin dan Rumah Sakit adalah merupakan cara Muhammadiyah dalam berdakwah melalui bidang kesehatan. Sedang keberadaan strategi Panti, apakah itu Panti Asuhan Anak Yatim, Panti Wreda, Panti Asuhan Orang-orang Miskin dan sebagainya merupakan kiat dakwah Muhammadiyah di bidang sosial. Begitu pula berbagai amal usaha di bidang tabligh, bidang ekonomi, bahkan di bidang politik dan bidang-bidang kehidupan yang lain, pada dasarnya adalah merupakan methode Muhammadiyah untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan ajaran Islam melalui bidang-bidang tersebut. Termasuk cara atau model Muhammadiyah seperti Gerakan Dakwah Jamaah, Dakwah Kultural dan Dakwah Bil Hal. Dakwah Jamaah misalnya, adalah merupakan strategi dakwah Muhammadiyah, yang menjadikan sekelompok somah atau keluarga yang tinggal di sebuah lingkungan tempat tinggal seperti R. T. atau Dusun misalnya, sebagai ajang sasaran dakwah. Dalam dakwah model ini, anggota Muhammadiyah yang tinggal bersama sebagai warga kelompok somah atau keluarga tadi, menempatkan diri seagai subjek gerakan. Sebagai subjek gerakan, dia menggerakan kelompoknya untuk bersama-sama memikirkan dan mencari pemecahan dan jalan keluar dari berbagai permasalahan dan kesulitan yang dihadapi. Kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok somah atau keluarga yang dimotori oleh anggota Muhammadiyah untuk meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin, inilah yang disebut Dakwah Jamaah. Sedang kelompok somah atau keluarga, dimana anggota Muhammadiyah menempatkan dirinya sebagai subjek gerakan, inilah yang disebut Jamaah. Dari uraian tersebut kiranya jelas bahwa Dakwah Jamaah itu merupakan sebuah cara atau methode Muhammadiyah dalam mengoprasionalkan misi dan usahanya dalam rangka pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat.

Strategi dalam bentuk kedua berupa rencana kegiatan atau langkah-langkah yang akan dilakukan, rencana kegiatan dan langkah-langkah mana sengaja dirumuskan sebagai penjabaran lebih lanjut dari misi dan usaha Persyarikatan dalam rangka mencapai tujuannya, yaitu terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Strategi dalam bentuk ini dapat dilihat pada berbagai langkah yang pernah dirumuskan dan Program Persyarikatan yang pernah ditetapkan. Diantara langkah-langkah yang telah dirumuskan itu, misalnya Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940 yang lebih dikenal dengan langkah Dua Belas. Juga langkah Muhammadiyah 1956-1959 yang terkenal dengan sebutan khittah Palembang. Sedang Program Persyarikatan, misalnya Program Persyarikatan Periode 1995-2000. Langkah-langkah dan Program Persyarikatan tersebut merupakan strategi yang sifatnya mendasar, yang harus diupayakan pelaksanaannya, sehingga cita-cita dan tujuan Persyarikatan benar-benar dapat diwujudkan. Sebagai contoh, misalnya Khittah Palembang. Dalam rangka mewujudkan tujuan Persyarikatan, yaitu terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, ditetapkan beberapa langkah atau kebijakan yang harus dilakukan oleh semua komponen Persyarikatan di seluruh lini organisasi, baik di Pusat maupun di Daerah. Langkah-langkah dalam Khittah Palembang itu adalah sebagai berikut; langkah pertama adalah menjiwai pribadi para anggota, terutama yang menduduki posisi sebagai pimpinan, dengan keyakinan tauhid, ibadah khusyu’ dan tawadhu, akhlak yang sempurna serta ilmu pengetahuan yang tinggi, di samping komitmen bersedia menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab, hanya mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan umat. Langkah kedua dan seterusnya adalah melaksanakan uswatun hasanah, mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi, memperbanyak dan mempertinggi mutu amal, mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader, mempererat ukhuwah serta menuntun penghidupan.

Adapun strategi dalam bentuk ketiga berupa pemilihan bidang kegiatan. Pada strategi bentuk ini, secara tegas dan pasti ditentukan diantara berbagai bidang, bidang mana yang dipilih sebagai wahana gerakan Muhammadiyah. Strategi bentuk ini dapat dilihat misalnya pada Khittah Perjuangan Muhammadiyah yang diputuskan oleh Sidang Tanwir di Ponorogo tahun 1969, yang lebih dikenal dengan sebutan Khittah Ponorogo. Dalam khittah ini antara lain ditegaskan bahwa Muhammadiyah berjuang untuk mencapai/ mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup, yang bersumber ajaran Islam. Dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Muhammad Rasulullah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan tersebut. Dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar seperti yang dimaksud, harus dilakukan melalui dua saluran/ bidang secara simultan yaitu; saluran politik kenegaraan (politik praktis) dan saluran masyarakat. Untuk melakukan perjuangan dakwah dan amar makruf nahi munkar seperti yang dimaksud di atas, dibuat alatnya masing-masing yang berupa organisasi untuk saluran/ bidang politik kenegaraan (politik parktis) dengan organisasi politik (partai) dan untuk saluran/ bidang masyarakat dengan organisasi non partai. Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang masyarakat. Sedangkan untuk alat perjuangan dalam bidang politik kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah membentuk satu Partai Politik di luar organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut merupakan obyek dan wajib membinanya. Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi mempunyai hubungan ideologis. Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri, tetap dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang satu. Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan, terutama jabatan pimpinan antara keduanya, demi tertibnya pembagian pekerjaan (spesialisasi). Dari penegasan tersebut terlihat, bahwa pemilihan bidang masyarakat sebagai wahana perjuangan Muhammadiyah secara kelembagaan, adalah merupakan sebuah strategi.

PELAKSANAAN

Strategi sifatnya masih makro dan berskala jangka panjang. Agar strategi terwujud menjadi kenyataan, perlu ditindak lanjuti dengan pelaksanaan. Pada tataran ini, beberapa aktivitas perlu mendapatkan penekanan, antara lain: pertama, menetapkan tujuan jangka pendek; kedua, menetapkan kebijakan; ketiga, menetapkan struktur organisasi yang efektif; keempat, merekrut dan memotivasi SDM yang diperlukan; kelima, mengembangkan budaya yang mendukung; keenam, mendayagunakan sistem informasi.

D. Konsep dakwah Kultural Muhammadiyah

Dakwah Kultural : Strategi Perubahan Berbasis Tradisi Lokal

Dakwah kultural merupakan penajaman atau penegasan secara konseptual atas praktik dakwah yang selama ini berlangsung. Penegasan dan penajaman tersebut didasari atas pertimbangan tentang pengalaman dakwah dalam sejarah islam maupun sejarah Muhammadiyah yang hampir berusia satu abad. Pada satu sisi, gerakan ini dapat dipandang berhasil mengembangkan berbagai bidang amal usaha yang ikut mewarnai model kerja keberagaman di tanah air. Di sisi lain, cita-cita besar Muhammadiyah dalam mengembangkan tata kehidupan manusia yang berakhlak mulia, berkemakmuran, dan berkeadilan tampak belum menunjukan pertanda yang sungguh menggembirakan.

Berdasarkan pemahaman dan kesadaran di atas, maka disusunlah konsep dakwah yang memungkinkan tumbuhnya kembali suatu etika (etos dan semangat) baru yang mampu menggerakkan seluruh unsur dan elemen masyarakat yang luas bagi pencapaian tujuan-tujuan universal persyarikatan. Dakwah seperti inilah yang disebut sebagai dakwah kultural, yang sesungguhnya bukanlah konsep yang sama sekali baru, melainkan penajaman dan penegasan atas praktik dakwah yang selama ini berlangsung.

Penegasan dan penajaman tersebut dipandang perlu, dengan maksud agar gerakan dan kegiatan dakwah dapat lebih produktif dan mencapai hasil yang optimal secara bertahap. Dakwah kultural didasari pula suatu kesadaran bahwa dakwah adalah bagian kehidupan yang terus berlangsung dan tidak pernah selesai. Dalam konteks ini, Muhammadiyah sungguh menyadari bahwa pengalaman kerja selama hampir satu abad menjadikan gerakan tersebut mempunyai peran besar untuk menumbuhkan suatu tradisi keberagamaan di tanah air.

Sampai sejauh ini, tidak ada lagi keluarga muslim yang menolak adanya pendidikan modern. Pengelolaan secara rasional dengan tata pikir modern sudah pula menjadi tradisi publik. Mulai dari masjid, kurban , zakat, haji, ramadhan hingga tahlilan dan slametan, haruslah diakui sebagai bagian dari peran sosial Muhammadiyah. Namun, seluruhnya ternyata belum mampu menjadi fondasi tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang sekurangnya berkembang ke arah pencapaian cita-cita besar tersebut di atas. Kesadaran kolektif pemeluk islam, sebagai mayoritas penduduk Indonesia, ternyata belum tumbuh sebagai energi. Sehingga hal tersebut berfungsi untuk memberi arah perubahan tata kehidupan negeri ini menuju cita-cita besar Islam sebagaimana rumusan persyarikatan.

Basis dan akar pertumbuhan masyarakat Indonesia baru yang didukung peletakan infrastruktur dan etos gerakan warga Muhammadiyah bersama elemen gerakan lainnya merupakan suatu pandangan yang cukup strategis. Tanpa harus meleburkan semua bentuk keragaman budaya dan tradisi setiap kelompok penduduk dan pemeluk Islam, dakwah kultural menempatkan warga persyarikatan bersama elemen sosial lainnya sebagai penggerak dinamis perubahan sosial di negeri ini. Strategi ini sebenarnya dapat dibaca kembali dalam konsep Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ) yang muncul pada tahun 1970-an.

Konsep dakwah kultural didasari oleh pandangan bahwa kehidupan seseorang atau masyarakat senantiasa terus berubah dan berkembang. Dakwah kultural juga didasari oleh asumsi bahwa setiap orang dan masyarakat memiliki pengalaman hidup berbeda serta terus berubah dari, dan, dengan cara yang berbeda pula. Persoalannya adalah, bagaimana cara mendorong setiap perubahan dari masing-masing orang dan masyarakat tersebut ke arah cita-cita Islam dan persyarikatan ?

Sesuai pengalaman hidup, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, dan status sosial ekonominya, setiap orang dan masyarakat memiliki cita-cita serta tradisi ritual keagamaan yang berbeda-beda. Sementara, komunikasi merupakan tahap paling awal dari setiap kegiatan dakwah. Dakwah kultural memandang bahwa kegiatan dakwah perlu dilakukan melalui model komunikasi yang berbeda-beda, sesuai cita-cita dan tradisi ritual masing-masing orang dan kelompok masyarakat. Karena itu pula, kegiatan dakwah dikembangkan sebagai aksi komunikasi dan dialog yang menempatkan sasaran dakwah bukan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek perubahan itu sendiri. Dari sini, dakwah kultural hendak menempatkan gerakan persyarikatan sebagai fasilitator berlangsungnya suatu proses perubahan setiap orang dan kelompok masyarakat secara bertahap ke arah cita-cita ideal Islam tersebut.

Pengalaman sosial menunjukan bahwa masyarakat yang hidup dalam situasi krisis akibat kemiskinan dan ketidakamanan lebih cenderung menjadikan praktik ritual yang kaya dimensi spiritual sebagai bagian terpenting kehidupannya. Hal ini dapat dilihat melalui fakta bahwa tradisi ritual yang dikembangkan Muhammadiyah cenderung lebih rasional. Artinya, gagasan tersebut selalu didasari sumber teks yang shahih, lebih banyak diapresiasi masyarakat kota dan pedagang, daripada kaum buruh dan masyarakat pedesaan. Ketika kaum buruh dan masyarakat desa sebagai mayoritas penduduk, maka cita-cita besar persyarikatan akan sulit direalisasikan secara bertahap tanpa peran serta sebagian masyarakat dengan tradisi ritual spiritualistik.

Dalam hubungan inilah, dakwah kultural membagi masyarakat ke dalam dua kelompok besar, yaitu: umat ijabah dan umat dakwah. Kedua kelompok tersebut juga terbedakan kedalam beragam kelompok sesuai pemahaman teks ajaran dan ke dalam beragam tradisi lokal yang amat kompleks. Dengan demikian , muncullah kategorisasi santri modernis dan santri tradisionalis, abangan kiri dan abangan kanan atau tengah, selain tradisi keagamaan lokal lainnya. Walaupun kategorisasi semacam ini tidak seluruhnya mencerminkan keseluruhan fakta sosial dan keberagamaan, namun hal itu bisa dijadikan titik awal yang lebih baik dan semakin mendekati cita-cita serta nilai akhlakul karimah.

Strategi dakwah kultural merupakan jawaban atas suatu pertanyaan tentang bagaimana gerakan persyarikatan mampu menggerakkan semua kelompok masyarakat tersebut dalam pencapaian tujuan ideal Islam. Pencapaian tujuan ideal dimaksudkan agar setiap orang dan kelompok masyarakat dapat melakukan kegiatan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan sosial-ekonomi, politik dan budaya yang berdasarkan ajaran Islam. Upaya demikian itu tidak mungkin dapat tercapai apabila tidak dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan kondisi obyektif setiap kelompok. Strategi dasar dakwah kultural ialah bagaimana menggerakan perubahan semua elemen tersebut ke arah cita-cita Islam dengan kekuatan yang ada di dalam setiap elemen itu sendiri.

Sebagian besar masyarakat lebih mudah dimobilisasi melalui media komunikasi yang bernuansa spiritual, seperti dapat dilihat dalam praktik dzikir kalimat thabiyyah yang dilantunkan secara berirama, daripada media komunikasi verbal, walaupun dikemas secara sistematis, efisien, dan produktif. Melalui suatu model komunikasi yang bernuansa spiritual, maka dakwah kultural merancang sebuah kerja keagamaan yang lebih berguna bagi penyelesaian persoalan riil kehidupan umat beragama. Selanjutnya, dapat dikembangkan tradisi keagamaan yang lebih shahih dan sekaligus fungsional atau berguna secara praktis bagi pemecahan berbagai persoalan kehidupan umat manusia. Inilah sesungguhnya suatu perubahan secara bertahap ke arah cita-cita ideal Islam sebagaimana rumusan persyarikatan yang hendak dilakukan melaui dan dengan dakwah kultural.

ISLAM JAWA DAN DAKWAH KULTURAL

Dalam sidang Tanwirnya di Denpasar, Bali, tahun 2002, salah satu organisasi mainstream dan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, mengeluarkan suatu konsep baru yang disebut dengan dakwah kultural. Agaknya, dakwah kultural tersebut dimaksudkan untuk memecahkan masalah trikotomi yang pernah diungkapkan oleh seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz. Pada masa itu, Geertz mengajukan tesis tentang tiga varian budaya umat Islam, yaitu; budaya priyayi, santri, dan abangan. Ketiga varian tersebut sesungguhnya mencerminkan adanya stratifikasi sosial masyarakat yang terdiri dari; lapisan atas, menengah, dan bawah. Walaupun tesis yang disebut Geertz hanya berlaku untuk wilayah Jawa, lebih khusus lagi Jawa Timur, dengan sampel desa Mojokuto, dekat Kediri, namun gejala tersebut berlaku juga untuk daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di Aceh misalnya, golongan priyayi disebut dengan ulubelang.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara menghilangkan trikotomi atau dikotomi itu ? Secara umum, jawaban tersebut hanya dapat dilakukan menjadi dakwah. Saifuddin Zuhri mengungkapkan, terdapat strategi kultural dan juga dakwah politik yang dapat dilakukan dalam memecahkan dikotomi tersebut. Namun, di antara keduanya, manakah yang lebih efektif? Boleh jadi, dengan konsep dakwah kultural tersebut Muhammadiyah agaknya ingin memecahkan masalah umat dengan suatu integrasi budaya berdasarkan ajaran Islam otentik tapi sekaligus mengakomodasi unsur-unsur budaya tradisional. Di samping itu, sebenarnya banyak pihak juga yang berpendapat bahwa dakwah politik lebih efektif dalam menghilangkan masalah tersebut di atas.

Salah seorang sarjana Amerika, Marshal Hodgan, sebagai penulis buku “The Venture of Islam”. Pernah mengemukakan sebuah pertanyaan. Mengapa proses Islamisasi di Jawa berhasil begitu sempurna? Pertanyaan Marshal tersebut dijawab secara elok oleh Mark Woorward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta”. Menurutnya, Islam yang dibawa oleh para penyebarnya., khususnya Wali Sanga, telah berhasil dianut oleh warga Kraton di Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya. Akan tetapi, diterima dan dianutnya Ajaran Islam oleh kalangan Kraton tidak terjadi melalui peperangan. Kondisi demikian tentunya tidak seperti halnya Islam di Asia Selatan. Di wilayah itu, penyebaran Islam mengalami hambatan karena faktor politik yang disebabkan oleh ajaran Islam membawa faham egilitarian yang bertentangan dengan sistem kasta. Hal itu merupakan hambatan bagi para elit politik untuk bisa menerima egilitarianisme Islam.

Namun, kesuksesan Islamisasi atas Tanah Jawa itu mengandung masalah. Islam berkembang di Indonesia memang melalui cara – cara damai, tapi usaha itu dilakukan dengan jalan mistisisme atau tasawuf. Islam mistik pada umunya dipertentangkan dengan Islam syari’ah. Padahal, Islam mistik tersebut dianggap sebagai sumber kelemahan Islam. Islam mistik juga mendorong sekularisasi di Turki yang secara habis-habisan memberantas mistisisme. Dengan demikian, di Indonesia pula timbul paham yang menentang Islam mistik. Dalam pandangan saya, penentangan terhadap islam mistik itu muncul melalui dua aliran utama, yakni: pertama, dari umat Islam yang berfaham modernisme. Kedua, dari aliran puritanisme yang berasal dari ajaran Ibn Taimiyah dan Muhammad Abdul Wahab, yang selanjutnya melahirkan dan dikenal melalui faham Wahabi, atau kombinasi dari keduanya.

Pada awal tahun 1950-an, Clifford Geertz mempopulerkan istilah “Agama Jawa”. Menurut pendapatnya, Islam Jawa memiliki keunikan tersendiri dan merupakan tradisi intelektual serta spiritual yang paling dinamis dan kreatif dengan memberikan sumbangan besar terhadap pemikiran Islam. Akan tetapi, Islam Jawa tersebut adalah salah satu varian dari tradisi mistik Islam, yaitu sufisme dan tasawuf. Kendati demikian, Islam Jawa juga telah mengakomodasi aliran Islam fiqh. Islam Jawa merupakan hasil dari penaklukan Islam terhadap agama dan budaya sebelumnya, termasuk juga Hindu-Budha, dan kepercayaan tradisional yang pada pokok ajarannya adalah animisme dan dinamisme.

Dengan terbentuknya Islam Jawa, kemudian Woorward seolah-olah meniadakan kepercayaan Jawa yang lain. Tentunya, pendapat itu ditentang secara langsung oleh seorang ahli kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat. Menurutnya, disamping terdapat Islam Jawa, masih ada juga paham atau kepercayaan “Islam Jawi” yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, yang otentik Jawa dan membedakan dirinya dari Islam Jawa. Dengan demikian, di samping tiga varian Islam Jawa menurut Geertz, masih ada lagi kepercayaan lainnya, yakni; Islam Jawi.

Dalam kaitannya dengan dakwah kultural, timbul pertanyaan, bagaimanakah sikap Muhammadiyah terhadap “Agama Jawa”, sebagaimana dilukiskan oleh Mark Woorward di atas? Apabila konsep Woorward tersebut dapat diterima, maka sudah selesailah masalahnya. Karena Islam Jawa merupakan paham yang “selesai” dan merupakan hasil yang kompromi, baik antara Islam tasawuf dan Islam fiqh (Islam puritan) maupun antara Islam secara keseluruhan dengan agama-agama dan kepercayaan lain. Islam Jawa masih merupakan suatu paham yang terbuka terhadap paham-paham lainnya. Islam Jawa mengandaikan munculnya dialog-dialog antar agama di masa depan.

Apabila Islam Jawa telah diakui sebagai sebuah varian Islam yang “sah” model orang Jawa atau masyarakat Indonesia (mengingat 70% penduduk negeri ini adalah penduduk Jawa), maka para tokoh-tokoh seperti Yasdipura, Ronggowarsito atau Mangkunegoro IV dapat digolongkan sebagai ulama-ulama. Buku-buku yang mereka tulis, seperti: Serat Wulang Reh, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Wedhatama (Serat Centini), juga dapat dikategorikan sebagai “Kitab Kuning” yang bisa dipelajari, diajarkan, dan setidak-tidaknya dibaca di pesantren-pesantren.

Tentu banyak faham Islam Jawa yang dilukiskan oleh Woorward, khusunya tentang faham Islam Jawa Kraton. Kendati demikian, faham Islam Jawa Kraton masih dan tetap akan sulit diterima oleh kalangan Islam puritan ataupun Islam modernis. Bahkan, mereka akan setuju dengan penilaian W. S. Rendra, bahwa kebudayaan Kraton Mataram adalah sebuah kebudayaan “Kasur Tua”, Rendra juga pernah menulis bahwa sistem pemerintahan Islam yang benar hanyalah terjadi di masa pemerintahan kerajaan Demak, di mana penguasa tunduk kepada hukum (syari’ah), sedangkan di masa Mataram, hukum telah diletakkan di bawah penguasa. Karena itu, jika organisasi semacam Muhammadiyah memang ingin melakukan dakwah kultural, paling tidak, persyarikatan harus bersedia mempelajari apa yang disebut dengan “Islam Jawa” itu.

Muhammadiyah, Dakwah Kultural dan Kearifan Lokal

Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H di kampung Kauman Yogyakarta. Tokoh pendiri Muhammadiyah yang bernama kecil Muhammad Darwisy ini berasal dari keluarga bangsawan keagamaan. Ayahnya bernama Kiai Haji Abu Bakar Ibn Kiai Haji Sulaiman yang menjabat sebagai seorang khatib masjid. Khatib adalah jabatan abdi dalem urusan agama yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan shalat jumat di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta.

Latar belakang persyarikatan Muhammadiyah yang menjadi bagian dari gerakan pembaharuan Islam modern ini dapat ditelusuri dari perjalanan ibadah haji K.H. Ahmad Dahlan ke Mekkah (entah yang pertama pada tahun 1980, atau yang kedua tahun 1903). Dalam perjalanan ibadah haji tersebut, beliau mulai berkenalan langsung dengan gagasan pembaharuan islam pra-modern maupun modern. Pembaharuan islam pra-modern dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab, sementara pembaharuan Islam modern dibawa oleh Sayyid Jamuludin al-Afghani, Syeikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.

Kuntowijoyo dalam Shihab (1998) menyatakan jika didirikannya Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan mewakili sebuah kesadaran teo-sentrik, yakni kesadaran baru terhadap nilai-nilai keagamaan (Islam). Kesadaran ini terbentuk pada diri K.H. Ahmad Dahlan setelah mengalami pergulatan pemikiran dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islam. Selain itu, ikhtiar pendirian Muhammadiyah juga ditopang oleh keprihatinan K.H. Ahmad Dahlan terhadap kondisi obyektif umat muslim Indonesia yang ditandai oleh pengalaman ritual keagamaan yang tercampur-baur dengan praktik takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Takhayul adalah hasil dari produk pergumulan islam sinkretis dengan budaya jawa, sementara bid’ah dan khurafat adalah produk dari Islam-Tradisionalis.

Tantangan yang dihadapi oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam rangka dakwah amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan garis pemikiran para tokoh pembaharu Islam tentu tidaklah ringan. Dalam berdakwah, beliau sering dituduh sebagai orang kafir, ingkar sunnah, pengikut mu’tazilah, wahabi, khawarij, dan lain sebagainya (Ma’arif, 1997). Sehubungan dengan hal itu, sungguh ironis apabila pada saat sekarang terdapat warga Muhammadiyah yang dengan tega menuduh orang muslim lainnya, apabila sesama warga perserikatan sebagai kafir, ingkar sunnah dan lain sejenisnya.

Gerakan langkah perserikatan sebagai gerakan kultural tercermin dalam empat karakter yang selanjutnya dapat dipandang dan sekaligus menjadi strategi perjuangan Muhammadiyah. Empat karakter tersebut, sebagaimana dilansir Amien Abdullah (1995) dalam keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-43 adalah: pertama, dimensi ijtihad dan tajdid yang berlandaskan Al-qur’an dan as-Sunnah. Dengan karakter ini, Muhammadiyah berwatak non-madzab. Kedua, aktualisasi cita-cita perjuangan melalui organisasi. Pendekatan sistematik dalam suatu mekanisme organisasi telah menjadikan Muhammadiyah mampu untuk mengangkat segala kepentingan dan keselamatan pribadi ke wilayah kepentingan dan keselamatan sosial. Ketiga, karakter Muhammadiyah yang cenderung anti kemapanan terhadap lembaga keagamaan yang bersifat kaku. Dalam hal ini, Muhammadiyah lebih memusatkan pemikiran keagamaannya pada wilayah praktis sosial. Keempat, Muhammadiyah selalu adaptif terhadap segala tuntutan perubahan zaman. Karakter ini telah membuat Muhammadiyah menjadi lincah saat memperjuangkan aspirasi dan mempertahankan prinsip dasar perjuangan dalam berbagai era perubahan sosial di Indonesia.

Sebagai gerakan pembaharuan Islam modern, kontribusi Muhammadiyah dapat dirasakan sangat besar bagi kemajuan umat muslim di Indonesia. Di bidang teologi, Muhammadiyah telah bekerja keras dalam membebaskan umat muslim dari belenggu praktik pengamalan keagamaan yang tercampur-baur dengan TBC, menuju amal peribadatan Islam yang murni (otentik) sesuai tuntutan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah berusaha sekuat tenaga untuk mencerahkan umat melalui pendirian sekolah dan madrasah tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Dalam bidang sosial, Muhammadiyah mendirikan panti asuhan anak yatim dan orang jompo, bidang kesehatan melalui balai pengobatan dan rumah sakit (PKU) dan lain-lain.

Di antara beberapa bidang tersebut di atas, tentunya masih terdapat sektor-sektor lainnya yang digarap Muhammadiyah. Kerja-kerja sosial keagamaan yang dilakukan Muhammadiyah selama ini bukan sekedar untuk mengentaskan umat muslim dari jeratan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Tetapi, kerja-kerja demikian juga sebagai bagian dari tanggungjawab sejarah yang diemban persyarikatan terhadap masa depan bangsa Indonesia.

Dakwah Kultural

“Dakwah kultural untuk pencerahan bangsa” merupakan tema sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, pada bulan Januari 2002. Ketua pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2000-2005, Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam majalah Suara Muhammadiyah edisi No. 2/Th.ke-87/16-31 januari 2002, mengungkapkan bahwa tema tersebut merupakan paradigma baru dan komitmen Muhammadiyah sebagai bagian dari anak bangsa guna membantu dan mengatasi kondisi bangsa Indonesia yang tengah tercabik-cabik oleh krisis multidimensi.

Lebih jauh, Syafi’i Ma’arif menuturkkan bahwa dakwah kultural dapat dipahami sebagai dakwah dengan mengikuti filsafat garam, bukan gincu. Dengan mengikuti filsafat garam berarti muhammadiyah lebih menonjolkan corak dan warna substansial dari nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan, bila mengikuti filsafat gincu, Muhammadiyah terlalu menonjolkan bentuk sementara substansinya belum tentu islami. Dalam pandangan Muhammadiyah, bentuk itu penting, tetapi substansi (isi) jauh lebih penting. Berangkat dari pemahaman tersebut, sudah sewajarnya apabila Muhammadiyah melalui strategi dakwah kultural mulai memperhatikan dan memperhatikan semangat untuk membangkitkan kembali budaya lokal, terutama yang menurut Muhammadiyah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam, khususnya persoalan akidah.

Setelah pencanangan strategi dakwah kultural, memang muncul kesan cukup kuat sebagian warga dan aktivitas persyarikatan mengenai pandangan Muhammadiyah yang mulai agak longgar terhadap budaya lokal. Muhammadiyah bersikap lebih toleran, lapang dada, mau menerima, dan menghargai adanya budaya lokal.

Setidaknya terdapat tiga sikap warga persyarikatan berkaitaan dengan tradisi slametan kematian. Pertama, warga Muhammadiyah yang sama sekali menolak dan tidak mau melaksanakan tradisi slametan kematian. Kedua, warga Muhammadiyah yang mau menerima dan ikut-ikutan melaksanakan slametan sebagai bagian dari tradisi leluhur yang perlu dilestarikan. Ketiga, warga Muhammadiyah yang mau menerima dan ikut dan melaksanakan tradisi tersebut namun dengan melakukan beberapa modifikasi atau inovasi baru. Modifikasi atau inovasi yang dimaksud misalnya: mereka melaksanakan tradisi slametan kematian hanya cukup dibatasi sampai hari ke-7 dengan tanpa membaca tahlil, tetapi membaca al-qur’an dan disertai dengan pengajian (tausiyah).

Terkait dengan persoalan di ranting Muhammadiyah, setidaknya kelompok pertama merupakan kalangan Islam murni yang mampu bersikap tegas dalam menolak tradisi slametan kematian. Mereka berhasil membangun sebuah komunitas di lingkungan rukun tetangga yang mayoritas adalah warga Muhammadiyah. Kelompok kedua yang larut dengan tradisi masyarakat sekitar tergolong sebagai Muhammadiyah-Nahdlatul Ulama (Mu-Nu). Terdapatnya kelompok ini lebih disebabkan karena mereka tinggal di lingkungan warga muslim yang sebagian besar termasuk dalam kultural abangan dan Nahdliyin.

Di samping itu, terdapat juga seorang tokoh mubaligh Muhammadiyah dari wilayah banyumas yang terkenal dengan profesinya sebagai dalang wayang kulit. Sebagai seorang dalang, dia cukup kreatif dan inovatif dalam menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Pesan-pesan keagamaan mengalir dengan lancar, baik melalui gubahan tembang melalui lagu shalawatan dan qasidahan, maupun lewat humor segar.

Muhammadiyah dan Kearifan Lokal

Bahwa Muhammadiyah agak mengabaikan orientasi dakwah yang bersifat pembebasan dan kerakyatan yang memihak kaum lemah dan tertindas, telah diakui secara langsung oleh Haedar Nashir. Menurutnya, keadaan tersebut disebabkan karena selama masa kekuasaan presiden Soeharto, orientasi dakwah Muhammadiyah cenderung elitis dan tersedot ke dalam birokratisme kekuasaan Orde Baru. Dengan demikian, tidaklah heran apabila muncul kesan bahwa langkah-langkah dakwah dan amal usaha Muhammadiyah lebih bersifat pragmatis dan memihak kelompok atas, serta cenderung mempertahankan status-quo. Pernyataan tersebut juga mengandung makna secara tersirat bahwa Muhammadiyah kurang memperhatikan budaya lokal, termasuk kearifan lokal yang biasanya terkandung di dalam budaya lokal.

Salah seorang dosen yang berprofesi sebagai dosen di program studi sejarah, telah dikenal sangat concern dengan Babat Banyumasan. Bahkan, dia termasuk ahli dalam soal warisan tertulis rakyat Banyumas yang tergolong ke dalam genre sastra sejarah tersebut. Di dalam cerita Babad Banyumas memang terdapat beberapa hal yang bersifat irrasional dan magis. Tetapi, dalam cerita tersebut juga terkandung kearifan lokal yang tidak sedikit, misalnya: menyangkut karakter kepribadian “wong banyumas” seperti Cablaka (suka berterus terang dan apa adanya).

Sejatinya masih cukup banyak lagi kearifan lokal yang dapat dipetik dan digali dari lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Namun demikian, kita perlu memiliki sikap kehati-hatian dalam menyaring dan menyeleksi banyaknya kearifan lokal tersebut. Kecermatan dan kecerdasan dalam menyeleksi kearifan lokal dimaksudkan agar kita tidak terjerumus dalam arus budaya TBC, yang pada akhirnya menuju pada perbuatan syirik.

Berangkat dari munculnya fenomena persoalan masyarakat, sudah saatnya jika organisasi Islam seperti Muhammadiyah segera memiliki media elektronik (televisi) yang bukan sekedar memberikan hiburan kepada umat. Televisi Muhammadiyah dapat dijadikan sebagai sarana dakwah amar ma’ruf nahi munkar, media pendidikan bagi nilai-nilai keislaman, dan sebagai wahana pemberdayaan serta pembebasan umat dari kondisi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Strategi Dakwah Kultural dalam Bidang Seni

Sebagai gerakan tajdid, persyarikatan Muhammadiyah selalu menggunakan nilai-nilai islam yag diyakininya sebagai satu-satunya pedoman dalam melihat segala persoalan, termasuk dalam memahami dan bersikap terhadap kesenian. Sikap tersebut tidak hanya sekedar memahami, tetapi juga mengapresiasi dan berekspresi dalam wilayah kesenian. Persyarikatan Muhammadiyah juga menyadari akan tantangan aktual yang berkembang dinamis, termasuk di wilayah kesenian.

Persyarikatan Muhammadiyah menganggap bahwa seni merupakan manifestasi atas perasaan keindahan yang dibawa sejak lahir oleh setiap manusia sebagai karunia dan anugerah Illahi. Oleh karenanya, seni merupakan fitrah yang harus dijaga dan disalurkan dengan cara ma’ruf dalam setiap kehidupan manusia. Seni sebagai media dakwah adalah seni yang dapat memperdengarkan atau mempertontonkan segala bentuk keindahan, kehalusan kreasi, inovasi, dan kreativitas melalui suara, gerak anggota badan, gerak goresan tangan, untaian syair dan kata-kata. Di samping itu, latar seni juga mampu menyentuh ke dalam jiwa manusia, menyejukkan hati, merangsang nurani, serta membangkitkan rasa rindu seorang hamba kepada Alloh.

Disisi lain, seni juga sangat berpengaruh terhadap pergeseran nilai dalam ruang kehidupan masyarakat. Apalagi jika pengaruh tersebut mendapat dukungan publikasi media massa. Fenomena perbenturan nilai yang sedemikian dahsyat lewat pengatasnamaan kebebasan berekspresi dengan memperlihatkan sikap masyarakat yang permisif dan liberal dalam hal pornografi. Ukuran moral dan hukum positif yang senjang menjadi peluang bagi diterimanya kemungkaran atas nama seni dan estetika.

Pada saat ini tabligh (dakwah) dan kaderisasi Muhammadiyah sedang menghadapi tantangan cukup berat dari gelombang informasi yang merasuk lewat media massa ke umat muslim. Sementara, kita belum punya semangat yang tinggi untuk menghadirkan tontonan alternatif dan perangkat medianya. Pada sisi lain, Muhammadiyah dinilai masih kurang apresiatif terhadap budaya dan tradisi masyarakat lokal, sehingga posisi persyarikatan saat ini berada di batas kegelisahan.

Di tengah kegelisahan itu, Muhammadiyah menyadari arti penting membangun strategi dakwah kultural umat islam, sehingga dakwahnya lebih efektif. Di dalam dakwah kultural, persinggungan antara gerakan dengan objek dakwah menjadi lebih luas dan intensif, format dakwah juga semakin aplikatif. Di tengah kesadaran ini, kehadiran kesenian menjadi penting dalam membangun basis kultural umat. Sebab, seni juga sangat bermanfaat untuk menanamkan kesadaran multikultural dalam masyarakat plural.

Di samping itu, seni juga dapat membantu masyarakat dalam memahami keragaman sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak sehingga pemahaman keragaman dapat membawa pengaruh positif bagi lahirnya sikap toleran, harmoni sosial dan saling menghargai, menjadi sarana kritik sosial, politik maupun ekonomi. Budaya yang berfungsi untuk melakukan transformasi lebih besar dan memelihara masyarakat pendukungnya juga dapat mendorong berlangsungnya proses transmisi seni terus menerus. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, seni juga dapat menciptakan semacam filter dari pengaruh negative budaya pop yang dibawa oleh arus globalisasi, serta membuka peluang bagi terciptanya aktivitas dan kreativitas yang orisinal.

Kehadiran seni di lingkugan Muhammadiyah harus diletakkan pada wilayah proporsional. Menjadi tidak mustahil apabila suatu saaat Muhammadiyah dapat melahirkan suatu kesenian yang berkualitas tinggi. Karena itu, fokus muhammadiyah perlu diutamakan pada bidang apresiasi. Pada tahap ini, persyarikatan dalam berbagai hal seyogyanya memberi ruang ekspresi kesenian. Dengan menghadirkan berbagai bentuk karya seni di tengah aktivitasnya, maka warga Muhammdiyah dapat mulai mencoba menghapus citra persyarikatan sebagai sebuah gerakan yang berjarak dengan kesenian.

Apresiasi kesenian semacam ini harus dipandu dengan tuntunan yang memadai sehingga warga tidak gampang gamang, dapat memilih dan memilah mana yang baik dan buruk, jika dilihat dari kaca mata islam. Pada tahap apresiasi, Muhammadiyah dapat belajar memahami nilai-nilai yang dipelihara agar tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang terungkap dalam karya seni. Dengan pengetahuan tentang kesenian dan substansinya, Muhammadiyah dapat lebih cerdas dalam mengemas pesan-pesan dakwah.

Seiring dengan kegiatan apresiasi seni, maka tidak kalah pentingnya apabila Muhammadiyah mulai memikirkan kembali pendidikan formal tentang kesenian. Mengingat bahwa di bidang kesenian sejatinya memiliki sisi-sisi ilmiah, terutama pada wilayah teori yang erat hubungannya dengan konsep-konsep kesenian. Sedangkan pada tahap berekspresi dalam bidang kesenian merupakan bagian terakhir setelah tradisi mengapresiasi dan pendidikan dalam bidang kesenian sudah berjalan sebagaiman diharapkan.

Dalam rangka pencarian bibit-bibit baru serta untuk berekspresi dalam kesenian, perlu didirikan organisasi otonom khusus para seniman. Hal itu dimaksudkan agar organisasi otonom khusus dapat melahirkan sejumlah seniman-seniman profesional dengan karyanya yang berkualitas tinggi sesuai dengan nama besar persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, dalam bidang tayangan maupun karya seni yang merusak, Muhammadiyah dapat berfungsi sebagai polisi yang melindungi publik pemirsa atau konsumen seni (terutama publik muslim). Banyak tugas sosial kemasyarakatan yang bertujuan untuk kemaslahatan umat yang belum tertangani oleh Muhammadiyah, terutama di bidang kesenian.

Hakikat Dakwah, Kultur, dan Musik

Pengertian dakwah yang dimaksud ini adalah sebuah seruan/ajakan kepada umat untuk berkehidupan yang lebih baik menurut tuntunan islam. Pernyataan tersebut sejatinya sesuai dengan seruan Al Qur’an, yang artinya: “serulah/ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan jalan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah (berdiskusilah) dengan mereka melalui jalan yang baik” (Q.S An-Nahl: 125). Perlu disadari bahwa pengertian dakwah berisi pula makna untuk mengajarkan kebaikan sekaligus mendidik sikap moral dan berakhlak mulia. Secara lebih luas, berdakwah esungguhnya menyangkut masalah “ajakan” dan “ajaran” serta “didikan”.

Ada beberapa komponen dalam berdakwah yang perlu dicermati secara seksama. Komponen yang pertama adalah menyimak makna dari perintah Q.S An-Nahl di atas yang ditujukan untuk semua umat islam. Dengan demikian, berarti tugas dan kewajiban berdakwah ditujukan bagi semua umat muslim, baik mereka yang berprofesi sebagai seorang da’i maupun yang bukan sehingga setiap kegiatan dakwah dapat dilaksanakan sesuai dengan bidang profesinya masing-masing.

Kedua, sasaran dakwah adalah semua lapisan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Ketiga, tujuan dakwah ialah membina kualitas manusia yang memiliki akhlak mulia dan mampu membangun masyarakat adil sejahtera sesuai dengan ajaran islam. Keempat, materi yang berkaitan dengan ajaran dan ajakan yang hendak disampaikan kepada umat haruslah bersumber dati Al Qur’an dan Al Hadist yang mengandung perintah, seruan, peringatan, penerangan, serta ketauladanan yang diaktualisasikan sesuai dengan keadaan zaman dan peristiwa terkini. Kelima, pelaksanaan dakwah harus menggunakan kiat-kiat yang dihalalkan oleh islam, diselaraskan dengan kondisi budaya masyarakat dan lingkungan, baik secara fisik maupun psikis, serta kemajuan teknologi, baik dalam penerapan cara (metode) maupun pemanfaatan sarana dan wahana (media).

Sebagaiman diketahui, bahwa manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah yang memliki potensi unggul berupa akal dan pikiran. Melalui akal budinya, manusia dapat melahirkan sejumlah karya-karya dan sarana untuk mencukupi kebutuhan, kemudahan serta kepuasan dalam berkehidupan di dunia. Hasil dari buah budi daya manusia inilah yang kemudian disebut dengan budaya (kultur). Kenyataan menunujukan bahwa dorongan untuk melahirkan suatu budaya tersebut muncul dari desakan kebutuhan yang menyangkut pemenuhan kesejahteraan jasmani dan rohani, pemenuhan kepuasan diri dan kepuasan kaum, pemenuhan hasrat pengenalan dan dan pemahaman akan alam semesta serta penciptanya. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni adalah hasil budaya yang senantiasa berkembang sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hidup manusia dalam menghadapi semakin kompleksnya tantangan zaman.

Musik sebagai salah satu cabang seni merupakan bagian dari hasil budaya manusia. Ditinjau dari aspek kelahirannya, musik berfungsi untuk memenuhi kepuasan batin manusia. Seni musik, baik yang dibawakan secara instrumental maupun lewat vokal (nyanyian), merupakan hasil karya dan daya guna yang diolah melalui bunyi/suara yang mengungkapkan sebuah nilai keindahan sehingga seni musik dapat memberikan keharuan kepada pelakunya maupun pendengarnya. Lewat susunan rangkaian nada yang dimainkan dengan keteraturan irama akan melahirkan keselarasan keindahan yang dapat menghanyutka perasaan dan pikiran pelaku dan penikmatnya. Sementara, syair (lirik) lagu yang diungkapkan sesuai dengan alunan nada dan irama akan membawa kandungan pesan yang dapat memberi makna bagi kehidupan umat.

Eksistensi musik dalam kehidupan umat

Kehadiran musik dalam rentan kehidupan sudah bertitik tolak mulai masa manusia masih primitif. Dalam bentuk yang masih bersahaja, musik di masa itu sudah dimanfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan spiritual dalm upaya memetik keuntungan dari sumber alam bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pada masa itu, musik juga dijadikan sebagai sarana penghubung diri mereka dengan penguasa dan pencipta alam semesta. Penyajian musik di kala itu sangat erat kaitannya dengan upacara ritual, yang sudah barang tentu selaras dengan perkembangan akal dan masih berbau mistis.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah dikenal ilmu jawa, musik sebagai hasil karya manusia telah dikategorikan sebagai perwujudan dari peramuan unsur-unsur pendukungnya (komposisi) yang dikomunikasikan kepada khalayak agar dapat dinikmati dan dipahami. Kemudian, musik ditata dan diolah secara cerdas sehingga dapat dimanfaatkan untuk membawakan pesan penciptanya, peramunya. Musik juga dijadikan sebagai sarana penyampai pesan dari suatu kaum yang ditujukan kepada khalayak agar dinikmati, dipahami, diikuti, serta dilaksankan dalam berkehidupan bersama untuk berbagai kebutuhan.

Dengan adanya kemajuan teknologi, maka melalui media komunikasi elektronika sekarang ini, perkembangan seni musik sungguh luar biasa. Aspek perkembangannya dapat dicermati dari bentuk dan model penyajiannya, alat perlengkapannya, struktur dan arransemennya, isi kandungan dan misi yang yang dibawakannya, serta kiat-kiat pemanfaatannya. Semakin mudah dan meluasnya jangkauan penyiaran musik dewasa ini, maka semakin sensitiflah penikmatnya.

Musik Sebagai Produk Karya Cipta

Musik sebagai produk karya cipta manusia yang biasa disebut dengan komposisi merupakan hasil olah pikir dan rasa, baik melalui peramuan melodi dan liriknya, maupun lewat komponen pendukung lainnya. Terwujudnya musik sebagai karya cipta pasti telah melalui suatu proses yang dapat terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang maupun sesaat. Hal ini dikarenakan dengan adanya desakan dan tuntutan inspirasi diri secara murni maupun tuntutan visi dan misi pemesannya.

Kemampuan seseorang untuk menjadikan dirinya sebagai penggubah atau pencipta musik/lagu (komponis) dapat diperolehnya melalui perjalanan yang cukup panjang. Kemampuan tersebut dapat diperolehnya melalui pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya dan dilandasi kepekaan rasa, kecerdasan pikir, serta hikmah perolehan ilham (inspirasi) yang datangnya dari luar dirinya. Di samping itu, selain karena munculnya ilham, pengalaman serta pengetahuan yang luas, pencipta musik/lagu juga dimotivasi oleh rasa kepedulian terhadap kehidupan dan keadaan lingkungan serta tuntutan umat.

Musik sebagai karya cipta manusia mengandung muatan yang sangat kompleks, sehingga dapat dirasa dan dimengerti oleh penikmatnya. Suatu karya musik apabila disajikan dapat dinikmati keindahannya melalui keharuan rasa yang dibawakan oleh alunan irama dan melodinya, kesyahduan harmonisasinya dan semangat gejolak dinamikanya. Musik dapat pula dipahami dengan cara menangkap ungkapan liriknya, nuansa penyajiannya gaya da pembawaannya.

Musik Sebagai Media Berinteraksi

Musik memiliki potensi luar biasa sebagi perantara atau media berkomunikasi manusia. Pada masa prasejarah musik semula digunakan sebagi sarana untuk berkomunikasi dengan roh nenek moyang, dengan alam, dengan enguasa alam semesta yang biasanya dipadukan dengan gerak gerik tubuh secara ritmis untuk kepentingan ritual.

Pada masa sekarang, ketika penikmat musik tidak semata-mata menerima alunan suara/bunyi dari perilaku maupun alat musik yang didengarnya secara pasif, maka kemungkinan suatu proses interaksi akan terjadi. Secara tidak sadar saat mengikuti lantunan irama dengan gerakan tubuhnya atau mengikuti senandung suaranya maka pada saat itu proses interaksi terjadi. Proses komunikasi dan interaksi tersebut tentunya dapat dimanfaatkan sebagai langkah untuk melakukan kegiatan dakwah.

Suatu kearifan apabila kita semua dengan penuh kesadaran mampu memanfaatkan musik sebagai media dakwah sesuai dengan lahannya masing-masing. Kearifan yang dmikian telah menunjukan pada kirta bahwa semua manusia secara fitrah telah dianugerahi potensi rasa untuk menikmati keindahan bunyi/suara. Dengan potensi kecerdasan untuk memahami atau menterjemahkan rangsangan yang berasal dari luar dirinya merupakan wujud dari respon dari hasil interaksinya terhadap musik seperti saat kita mendengar dan mengikuti irama musik genderang (drum band) pada sebuah parade, maka jantung di dalam dada kita akan ikut berdetak kuat. Ketika jantung berdetak kuat maka akan mengikuti semangat selaras dengan hentakan yang selaras dengan bunyi dan derap langkah kaki yg sesuai dengan irama musiknya. Selain itu, para penyaksinya juga akan merespn dengan penuh rasa kebanggaan maupun rasa ikut memilikinnya. Hal tersebut menunjukan bahwa penyajian musik sangat efektif untuk membangkitan respon para penikmatnya. Untuk itu, jika penyajian musik dapat mempertimbangkan nilai dan pengaruh positifnya, maka pesan yang terkandungdi dalamnya akan sampai secara tepat pada target sasarannya.

Musik dan Perkembangan Jiwa

Perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor usia, lingkungan alam, budaya, sosial, dan keadaan keluarga. Musik sebagai suatu aktivitas jiwa dan raga dalam aktifitasnya selalu tergantung oleh faktor tersebut. Respon tingkat dasar adalah respon yang dilakukan secara sederhana dan spontan tergerak oleh reaksi sesaat terhadap irama musik yang ditangkapnya.

Semakin muda seseorang maka akan semakin spontan mereka bereaksi atau merespon sesuatu dikarenakan sangat dipengaruhi faktor emosi. Dalam merespon musik yang didengarnya, orang dewasa telah menggunakan pertimbangan rasional untuk menangkap jiwa dan pesan yang terkandung dalam suatu melodi atau lirik lagu. Pengaruh lingkungan dan latar belakang sosial budaya juga sangat mempengaruhi kecerdasan seseorang dalam menangkap makna musik yang didengarnya. Dalam memilih musik/lagu untuk disajikan pada masyarakat dan anak-anak agar sesuai dengan perkembangan jiwanya kita harus memperhatikan atau mempertimbangkan: pertama, tema musik mengandung unsur kebermaknaan yang terbaca dari judul dan liriknya. Kedua, bentuk dan struktur lag yang dilihat dari kerumitan dan susunan kalimatnya, frase atau pemenggalannya, motif dan perulangannya. Ketiga, Ambitusnya, kemampuan jangkauan nada yang sesuai dengan perkembangan usia dan pengalaman. Keempat, keselarasan apresiasi yaitu, latar belakang kesukaan, kebiasaan, gaya, corak lokal yang terlihat dari susunan melodi dan iramadan dialekbahasa melalui struktur kalimat dan diksinya.

Pengaruh Musik dalam Kehidupan Masyarakat

“Budaya adalah cerminan Pribadi Bangsa” bertolak dari kata mutiara tersebut maka musik bisa disebut cermin dari budaya. Mengapa? karena, musik merupakan salah satu cabang seni, dan seni adalah bagian dari budaya. Dengan demikian, seni musik juga dapat mencerminkan kepribadian suatu bangsa. Indikator lainnya juga dapat dilihat lewat model gaya dan cara menyajikannya, serta taraf kearifan berapresiasi bagi kaum dan bangsa tersebut. Kondisi sesungguhnya dapat terptret dari contoh misalnya saja lagu ‘cucak rawa’ yang digemari oleh seluruh lapisan masyarakat dari nak kecil sampai orang tua. Hal tersebut menunjukan bahwa rga tersebut tingkat kemampuan apresiasinya baru sebatas menggemari tindakan pelecehan dan berbau pornografi yang dalam kesehariannya dijadikan sebagai keisengan yang sebenarnya menjerumuskan moral. Begitu juga dengan pentas dangdut dimanapun berada selalu menjadi sorotan terlebih lagi jika para artis penyanyi lagu dangdut memakai baju yang vulgar dan erotis maka orang akan semakin suka. Akibat lain yaitu adanya kecenderungan umum bahwa tontonan musik akibatnya sudah merasuki orang tua, contohnya saja ada orang tua yang cenderung senang saat melihat anaknya mahir bergoyang dangdut misalkan gooyang ngebor dan lain lain. Dari contoh tersebut menunjukan bahwa peranan musik memang sangat besar bagi kehidupan masyarakat.

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Tantangan-tantangan yang kami jelaskan di atas hanyalah sebagian kecil dari ratusan bahkan ribuan tantangan yang akan dihadapi oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu, sebaiknya Muhammadiyah semakin menata berbagai hal untuk menanggulanginya. Selama 1 abad ini tentunya banyak pula kader Muhammadiyah yang berkecimpung di berbagai sektor dakwah Muhammadiyah, baik di amal usaha maupun di berbagai jama’ah-jama’ah pengajian.

B. SARAN

Kalau strategi dakwah Muhammadiyah bertujuan hendak menggarami kehidupan budaya bangsa dengan nilai nilai Islam yang handal dan berkualitas tinggi, maka saatnya sudah teramat tinggi bagi kita sekarang untuk melakukan kaji ulang terhadap keberadaan, kiprah dan cara pandang dari gerakan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini. Posisi sebagai wong cilik tidak pernah efektif menentukan nasib masa depan suatu bangsa. Bagaimana mengubah posisi demikian itu agar menjadi posisi yang berwibawa dalam sejarah merupakan kerja dakwah dalam makna yang benar dan kemprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

iii