eprintseprints.unpam.ac.id/1835/9/jurnal.doc · web viewbahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum...

32
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT EFISIENSI DALAM PERUSAHAAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Oleh: PARIS PANJAITAN NIM. 2014020227 ABSTRAK Paris Panjaitan, NIM. 2014020227, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT EFISIENSI DALAM PERUSAHAAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014)Bagi Pekerja masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan masalah yang kompleks, karena mempunyai hubungan dengan masalah ekonomi maupun psikologi. Masalah ekonomi karena PHK akan menyebabkan hilangnya pendapatan, sedangkan masalah psikologi yang berkaitan dengan hilangnya status seseorang. Dalam skala yang lebih luas, dapat merambat kedalam masalah pengangguran dan kriminalitas. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar 1945. Pasal 27 menyebutkan “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi sudah ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mengetahui argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014. Dalam menulis skripsi ini digunakan metode deskriptif yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder. Hasil penelitian Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan tidak diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

Upload: others

Post on 02-Dec-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT EFISIENSI DALAM PERUSAHAAN DITINJAU DARI UNDANG-

UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAANOleh:

PARIS PANJAITANNIM. 2014020227

ABSTRAK

Paris Panjaitan, NIM. 2014020227, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN

KERJA AKIBAT EFISIENSI DALAM PERUSAHAAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG

KETENAGAKERJAAN (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014)Bagi Pekerja masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan

masalah yang kompleks, karena mempunyai hubungan dengan masalah ekonomi maupun psikologi. Masalah ekonomi karena PHK akan menyebabkan hilangnya

pendapatan, sedangkan masalah psikologi yang berkaitan dengan hilangnya status seseorang. Dalam skala yang lebih luas, dapat merambat kedalam masalah

pengangguran dan kriminalitas.Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar 1945. Pasal 27 menyebutkan “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi sudah ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mengetahui argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014. Dalam menulis skripsi ini digunakan metode deskriptif yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder. Hasil penelitian Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan tidak diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, hanya diatur penyelesaian perselisihan PHK secara umum. Pada asasnya penyelesaian PHK khususnya PHK dengan alasan efisiensi terlebih dahulu diselesaikan melalui proses musywarah untuk mufakat antara kedua belah pihak tanpa campur tangan pihak ketiga (tripartie), jika gagal dilanjutkan dengan cara mediasi. Untuk selanjutnya proses dilanjutkan melalui mediasi. Apablia penyelesaian bipartie dan mediasi juga gagal maka akan dilanjukan konsoliasi. Jika dalam hal ini juga tidak menemukan hasil, maka prosesnya akan dilanjutkan dengan melalui proses litigasi. Perlindungan hukum hak-hak pekerja/buruh sebaga kompensasi PHK, harus dibayar oleh pengusaha berdasarkan jenis dari PHK yang terjadi pada pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika kita melihat kasus pada Keputusan MA Nomor 27 K/PHI/2006. Bahwa telah terjadi pemutusan hubungan kerja di PT Newmount Nusa Tenggara dimana dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial maupun dalam putusan Mahkamah Agung, memberikan putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku. Dimana Hakim Agung memberikan putusan uang pesangon sebanyak dua kali lipat yang mana itu hanya berlaku bagi pekrja/buruh yang di PHK diakibatkan

Page 2: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

Perusahaan tutup dengan alasan efisiensi. Namun pada kenyataannya perusahaan itu tidak tutup, maka seharusnya pembayaran uang pesangon itu mengacu pada Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahSetiap orang selalu

membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja pada negara yang selanjutnya disebut dengan pegawai atau bekerja pada orang lain (swasta) yang disebut dengan buruh atau pekerja.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang merupakan kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja/buruh yang masih aktif bekerja. Hal ini karena kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyaknya industri yang gulung tikar dan tentu saja berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu ini selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaannya yang menjadi penopang hidup keluarganya.

Pada kenyataannya, jangankan untuk memperoleh kehidupan yang layak. Untuk memperoleh pekerjaan, jaminan hidup ataupun perlindungan masih jauh dari harapan. Malahan, buruh atau pekerja yang sudah memiliki

pekerjaan (walau ala kadarnya) dalam prakteknya sangat mudah kehilangan pekerjaan dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Tetapi tidak jarang dapat kita temukan banyak pekerja/buruh setelah mereka terkena PHK, pekerja/buruh kadang meminta kepada pihak pengusaha/perusahaan untuk dibayarkan hak-hak mereka melebihi apa yang diatur dalam ketentuan yang berlaku. Dengan kondisi inilah yang membuat persoalan penyelesaian perselisihan PHK sulit diselesaikan.

Maka dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai Perlindungan Hukum Terhadap hak-hak pekerja/buruh yang terkena PHK akibat efisiensi dalam perusahaan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014)

B. Identifikasi MasalahSuatu kegiatan penelitian/penulisan untuk menfokuskan permasalahan yang akan dikaji diperlukan rumusan masalah. Sebab dengan adanya rumusan masalah akan memudahkan peneliti untuk melakukan pembahasan searah dengan tujuan yang ditetapkan. Adapun identifikasi masalah dalam skripsi ini adalah:1. Apakah proses penyelesaian

PHK dengan alasan efisiensi sudah ditentukan diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

ii

Page 3: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

2. Apakah argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014?

C. Perumusan MasalahPerumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:1. Bagaimana proses penyelesaian

PHK dengan alasan efisiensi sudah ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

2. Bagaimana argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:a. Untuk mengetahui proses

penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi sudah ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

b. Untuk mengetahui argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014.

2. Manfaat Penulisana. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat memperoleh penjelasan tentang Perlindungan hukum bagi buruh/tenaga kerja yang terkena PHK akibat efisiensi perusahaan. Selain itu penulis berharap pembahasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis dalam bidang hukum perburuhan.

b. Manfaat PraktisSecara praktis, kegunaaan dari pembahasan ini adalah sebagai tambahan bahan kajian bagi perusahaan sehingga dapat memperluas ilmu pengetahuan, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh . Selain itu juga bermanfaat bagi pekerja/buruh pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya yang ingin menegetahui dan mendalami masalah-masalah ketengakerjaan Indonesia.

E. Kerangka TeoriMenurut H. Zainal Asikin

pemutusan hubungan kerja antara buruh dengan majikan (pengusaha) lazimnya dikenal dengan istilah PHK atau pengakiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjiakn sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan buruh dan majikan, meninggalnya buruh atau karena terjadi sebab lainnya. 1

1 H. Zainal Asikin, H. Agusfian Waahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhadie , Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 173

iii

Page 4: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

Beberapa literatur hukum perburuhan tidak satupun kita jumpai rumusan ataupun defenisi tentang Pemutusan hubungan kerja, namun dari uraian diatas dapat diartikan bahwa, pemutusan hubungan kerja adalah langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan (pengusaha) yang disebabkan karena keaadaan tertentu.

Dalam praktik, pemutusn hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak menimbullan permasalahan kedua belah pihak (buruh maupun majikan) karena pihak- pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut, sehingga masing-masing telah berupaya telah mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya dengan pemutusan yang telah nterjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih bagi buruh yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha.

Menurut Ridwan Halim Karena pemutusan hubungan kerja bagi pihak buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial sebab :a. Dengan adanya pemutusan

hubungan kerja, bagi buruh telah kehilangan mata pencaharian.

b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan disamping biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan lamaran dan

fotocopi surat-surat lainya.)c. Kehilangan biaya hidup untuk

diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan baru sebagai penggantinya.

d. Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya pemutusan hubungan kerja itu khususnya bagi buruh dan keluarganya. Karena itulah pemutusan hubungan kerja ini harus dihindari terjadinya bahkan jika mungkin ditiadakan sama sekali.2

Sejak bergulirnya tuntutan demokrasi, maka pemerintah telah melakukan reformasi peratura perundang-undangan ketenagakerjaan sebagai dasar hukum pemutusan hubungan kerja yaitu; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969, tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, telah diganti dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan perburuhan di Perusahaan Swasta, telah diganti dengan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial yang selanjutnya disebut dengan UU PPHI. Disamping peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pemutusan Hubungan Kerja, juga dapat diatur di Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).Dengan lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

2Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 45

iv

Page 5: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

Hubungan Industrial , maka tidak ada lagi pembatasan atau diskrimnasi antara perusahaan swasta dengan perusahaan milik negara, karena perusahaan dalam undang-undang ini meliputi :a. Badan Usaha yang berbadan

hukum atau tidak,b. Milik orang perseorangan, milik

persekutuan atau milik badan hukum milik swasta atau milik negara.

c. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dalam mempekerjakan orang lain dengan membayar upah ayau imbalan dalam bentuk lain.3

Dr. Payaman J. Simanjuntak APU: hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa disuatu perusahaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang aman dan harmonis anatar pihak-pihak tersebut, sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha. Dengan demikian pembinaan hubungan industrial merupakan bagian atau salah satu aspek dari manajemen sumber daya manusia.4

Drs. Yunus Shamad, M.M., bahwa hubungan industrial dapat diartikan sebagai suatu corak atau sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang terbentuk di antara para pelaku proses produksi barang dan jasa,

3Mitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses tanggal 23 Juli 2017.

4Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hal. 3

yaitu pekerja, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.5

Menurut Soepomo regulasi yang banyak mendapat sorotan adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun Undang-Undang tersebut sebagian besar merupakan pembaharuan atau perpanjangan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lama, namun karena memuat beberapa ketentuan baru banyak mengundang perdebatan menyangkut kepentingan buruh dan pengusaha. Masalah ketenagakerjaan ini tak kalah penting karena merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi dan selalu menarik untuk dibahas karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih kurang 50 % penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar diantaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labour force).6

Antara majikan/pengusaha dengan pekerja/buruh membuat suatu perjanjian kerja yang mana perjanjian ini mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini disadari karena dengan perjanjian kerja yang dibuat dan ditaati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu ketenangan

5Soepomo, Iman. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1975, hal. 55

6Sehat Damanik, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003Tentang Ketenagakerjaan sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, DSS Publishing, Jakarta, 2007, hal.1

v

Page 6: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

kerja dan memberikan jaminan kepastian hak serta kewajiban bagi para pihak. Pada dasarnya setiap perjanjian harus memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halalMuzni Tambuzai, menyatakan bahwa hubungan industrial pada intinya merupakan pola hubungan interaktif yang terbentuk di antara para pelaku proses produksi barang dan jasa (pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah) dalam suatu hubungan kerja.7

Hakim memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan. terlebih dahulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya dapat diketahui dari proses pembuktian. Setelah suatu peristiwa dinyatakan terbukti, menemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan8

F. Metode Penulisan1. Metode Penulisan

Dalam menulis skripsi ini digunakan metode deskriptif yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder.9

2. Data yang DigunakanData sekunder adalah data-data

7 G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 202

8 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di Luar Pengadilan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 26

9 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media, Malang, 2007

lain yang berhubungan dengan penulisan , berupa bahan-bahan pustaka. Fungsi data sekunder untuk mendukung data primer. Data sekunder yang berkaitan dengan penulisan meliputi:a. Bahan Hukum Primer yaitu

bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang N0. 2 Tahun 2004.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-undang, hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.

c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan DataDalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara Library Research (Penelitian Kepustakaan). Library Research adalah penelitian melalui perpustakaan dengan cara membaca, menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari buku- buku, makalah-makalah seminar, Peraturan-peraturan dan bahan perkuliahan penulis memiliki keterkaitan untuk mendukung terlaksananya penulisan skripsi ini.

4. Metode Analisis DataMetode yang dipergunakan

vi

Page 7: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasasn masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

A. PHK dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan efisiensi diatur secara rinci dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan: ”Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Banyak pihak yang menafsirkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya adalah karena “melakukan efisiensi”. Padahal, sebenarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri tidak pernah mengenal alasan PHK karena melakukan efisiensi. Kesalahan penafsiran tersebut mungkin terjadi karena banyak pihak yang kurang cermat membaca

redaksional pada ketentuan yang ada (hanya sepenggal-sepenggal).10

Dengan kondisi ini sering sekali dijadikan celah oleh pihak perusahaan untuk menghilangkan hak warga negara untuk bekerja sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab, pekerja dapat setiap saat di-PHK dengan dalih efisiensi meski tanpa kesalahan dan kondisi perusahaan dalam keadaan baik sekalipun. “Karena itu, Pasal 164 ayat (3) inkonstitusional.”11

Tanggapan lain menyatakan bahwa tujuan perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi dilatarbelakangi oleh tujuan untung mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja, pengusaha tidak perlu khawatir melakukan PHK karena efisiensi sebab ada alasan hukum Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.12

Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam UU PPHI Dengan berlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi.

10 http://boedexx.blogspot.com/2009/08/phk-karena-wfisiensi.html, diunduh pada tanggal 20 April 2017

11 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d7a30ce95bca/aturan-phk-alasan-efisiensi-dinilai- inkonstitusional-

12 Ferianton dan Darmanto, Op.cit, hal. 263

vii

Page 8: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU PPHI.13

Undang-Undang PPHI, istilah sengketa yang digunakan adalah perselisihan atau perselisihan hubungan industrial. UU PPHI Pasal 1 angka 1 menyatakan: “Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

B. Alasan-alasan Terjadinya PHKAda sepuluh alasan bagi perusahaan untuk mem-PHK Anda dengan mengacu kepada Undang-Undang No. 13 tahun 2003.1. Pekerja/buruh melakukan

Kesalahan BeratSetelah Mahkamah

Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini,

13 http://requestartikel.com/pengertian-dan-pengaturan-pemutusan-hubungan-kerja- 201104727.html, diunduh pada tanggal 20 April 2017.

Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.14

Pasal 158, ayat 1 berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:a. melakukan penipuan,

pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan; dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik

14 Industrial Relation, Artikel Kasus PHK menjadi Kasus Terpopuler di akses dari situs http://beritahr.wordpress.com/category/industrial-relation/ di unduh tanggal 10 April 2017.

viii

Page 9: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; ata

i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."

Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam PP/PKB, tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat (dalam PP/PKB) tersebut, harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang. Demikian juga sebelum melakukan PHK, harus terlebih dahulu melalui mekanisme yang ditentukan, misalnya dengan memberi surat peringatan (baik berturut- turut, atau surat peringatan pertama dan terakhir) untuk jenis kesalahan berat yang ditentukan PP/PKB. 15

Namun, perlu kita ketahui bahwa alasan PHK berupa kesalahan berat yang dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti misalnya:1) pekerja/buruh tertangkap

tangan;2) ada pengakuan dari

pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

15Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.74

3) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

2. Pekerja/buruh Melakukan Diduga Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari kata istilah yang dikenal dalam Hukum Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.16

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Pasal 160, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, "

3. Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang

16Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.67

ix

Page 10: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

diatur dalam Perjanjian KerjaPasal 161, ayat 1

menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut." Bila Anda tidak mengindahkan peraturan perusahaan dan Anda tidak mengindahkan surat peringatan yang diberikan oleh perusahaan kepada Anda- ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja.

C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya PHK1. Pemutusan Hubungan Kerja

Oleh PerusahaanPada umumnya

kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai menjalin kerja bersama. Dengan adanya keterikatan bersama antara para tenaga kerja berarti masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Demikian pula sebaliknya, apablia terjadi PHK berarti manajer tenaga kerja dituntut untuk memenuhi hak dna kewajiban terhadap tenaga kerja sesuai dengan kondisi pada saat terjadi kontrak kerja.

17

Bagi setiap pekerja/buruh, pengakhiran atau PHK bisa sejauh mimpi buruk. Setiap pekerja/buruh sedapat mungin mengupayakan agar dirinya tidak sampai kehilangan pekerjaan. PHK dapat berarti awal dari sebuah penderitaan. Namun demikian, suka atau tidak suka, pengakhiran hubungan kerja sesungguhnya adalah sesuatu yang cukup dekat dan sangat mungkin serta wajar terjadi dalam konteks hubungan kerja, hubungan antara majikan (pengusaha) dengan pekerja/buruh.

Seseorang pengusaha dalam mengembangkan usahanya selalu berkeinginan agar perusahaan yang dimlikinya dapat berjalan dengan baik dan sukses, hal ini bdapat terlaksana apabila produksi barang-barang yang dihasilkan dapat diminati dan laku terjual dipasaran dengan harga relatif murah dan kualitas baik. Salah satu keberhasilan yang didapat adalah adanya kerjasama yang baik antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Kondisi demikian tidak mudah terlaksana terus-menerus karena setiap pekerja/buruh ada yang patuh dan taat pada pemimpin dan ada juga yang tidak mematuhi perintah yang diberikan.18

17B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga kerja Indonesia, Pendekatan Administratif dan Operasional, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005 hal.1

18Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Panduan

x

Page 11: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

Setiap orang mempunyai tujuan dan motivasi yang berbeda dalam melakukan pekerjaan. Bagi mereka yang tidak patuh atau menentang perusahaan dapat diberikan teguran atau sanksi balikan yang lebih tegas diputuskn hubungan kerjanya.

A. Kompensasi PHK Dengan Alasan Efisiensi menurut Peraturan Perundang-undangan

Mengenai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi diatur dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan khususnya pihak pengadilan hubungan industrial dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara yang menyangkut PHK dengan alasan efisiensi ini yaitu masalah hak pekerja/buruh yang mendapat uang pesangon sebanyak dua kali lipat dari ketentuan yang berlaku. Mengingat dampak PHK dengan alasan efisiensi ini sangat berdampak besar bagi pekerja/buruh.

Masalah kompensasi selain sensitif, karena menjadi pendorong seseorang untuk bekerja juga berpengaruh terhadap moral dan disiplin tenaga kerja. Oleh karena itu, setiap perusahaan atau organisasi manapun seharusnya dapatmemberikan kompensasi yang

bagi Pegusaha, Pekerja, dan Calon Pekerja, Cetakan I, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2008, hal.106

seimbang dengan beban kerja yang dipikul tenaga kerja. Dengan demikian, tujuan pembinaan tenaga kerja adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang berdaya guna daan berhasil dapat tewujud. 19

1. Batasan KompensasiPemahaman mengenai

kompensasi disini tidak sama dengan upah. Upah merupakan salah satu perwujudan real dari pemberian kompensasi. Bagi suatu perusahaan, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang paling besar diberikan kepada tenaga kerja. Pengertian kompensasi selain terdiri atas upah, dapat berupa tunjangan in natura, fasilitas perumahan, fasilitas kendaraan, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, pakaian seragam (tunjangan pakaian), dan sebagainya yang dapat dinilai dengan uang serta cenderung diberikan secara tetap. Jadi, kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada para tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Salah satu perwujudan dari kompensasi adalah gaji dan upah. Penentuan besarnya gaji dan upah berkaitan dengan kualitas pegawai yang dimiliki perusahaan, sebab ada anggapan bahwa erat antara besar – kecilnya penghasilan yang diperoleh pegawai dengan kualitas pegawai tersebut.20

Disamping kualitas pegawai,

19 B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Op.cit, hal.181

xi

Page 12: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

pemberian gaji atau upah berkaitan juga dengan rasa keadilan antara para pegawai didalam suatu perusahaan maupun antar pegawai didalam beberapa perusahaan.

Pandangan lama menyatakan bahwa kenaikan gaji atau upah secara otomatis akan dibarengi dengan kenaikan produktivitas. Kenyataannya tidak demikian, kadang terjadi kenaikan produktivitas karena adanya kenaikan gaji atau upah, akan tetapi terkadang juga hal itu tidak terjadi. Gaji atau upah bukan satu- satunya faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Tingkat keterampilan karyawan dan teknologi yang digunakan merupakan 2 (dua) faktor penting lain yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Faktor-faktor lain seperti sikap manajemen, cara memperlakukan pekerja/buruh, lingkungan fisik dan psikologis serta aspek-aspek lain dari budaya perusahaan juga mempengaruhi produktivitas pekerja/buruh.21

B. Analisis Hukum Terhadap Kasus putusan 518 K/Pdt.Sus-PHI/20141. Pemahaman tentang PHK

karena EfisiensiMelihat kasus diatas

bahwa penulis melihat bahwa pemahaman tentang Perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja alasan efisiensi terdapat dua pandangan saat ini. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 164 UU Nomor 13 Tahun

20F. Winami dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah, Widyatama, Yogyakarta, 2006, hal.7

21 Ibid, hal.8

2003, yang berbunyi “1) Pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

xii

Page 13: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

Jika dicermati kembali, penekanan harus diberikan pada klausul “perusahaan tutup”, karena Pasal 164 ini sebenarnya mengatur alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan tutup, bukan karena alasan lainnya. Berikut akan coba dipenggal satu persatu kalimat yang terdapat pada ayat-ayat di atas :

Ayat (1)a. Pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (mengisyaratkan bahwa sebenarnya PHK dibenarkan oleh UUK, namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk dapat melakukan PHK tersebut).

b. karena perusahaan tutup, (merupakan alasan untuk melakukan PHK)

c. yang disebabkan karena ;1) perusahaan mengalami

kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; atau

2) keadaan memaksa (force majeur) (merupakan sebab-sebab mengapa

perusahaan tutup, dan secara terminologi sebab tersebut menjadi dasar munculnya mengapa uang pesangon dan penghargaan masa kerja yang menjadi hak pekerja hanya 1 kali ketentuan Pasal 156 UUK)

d. dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (hak pekerja atas PHK yang dilakukan perusahaan

ayat (3)a. pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (mengisyaratkan bahwa sebenarnya PHK dibenarkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk

xiii

Page 14: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

dapat melakukan PHK tersebut.)

b. karena perusahaan tutup (merupakan alasan untuk melakukan PHK)

c. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja ;1) bukan karena

perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; atau

2) bukan karena keadaan memaksa (force majeur)

3) tetapi perusahaan melakukan efisiensi

Butir 1) dan 2) bukanlah sebab-sebab perusahaan tutup, tetapi merupakan klausul pengecualian untuk membedakan dengan sebab-sebab pada ayat (1). Yang menjadi penyebab perusahaan tutup adalah butir 3), yaitu untuk melakukan efisiensi. Dan secara terminologi sebab tersebut menjadi dasar munculnya mengapa uang pesangon dan penghargaan masa kerja yang menjadi hak pekerja menjadi 2 kali ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan

d. Dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (hak pekerja atas PHK yang dilakukan perusahaan)

Dari penggalan kedua ayat

yang terdapat pada Pasal 164 ayat (1) dan (3) di atas terlihat bahwa :a. butir b : alasan untuk

melakukan PHK, yaitu tutupnya perusahaan

b. butir c : penyebab mengapa perusahaan tutup, dan menjadi dasar untuk menentukan besarnya hak pekerja karena terjadinya PHK

Tutupnya perusahaan karena rugi dan force majeur, pesangon dan penghargaan masa kerjanya hanya 1 kali ketentuan Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan, sedangkan apabila tutupnya perusahaan karena melakukan efisiensi pesangon dan penghargaan masa kerjanya hanya 2 kali ketentuan Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan.

Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaaan tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga “Mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK pekerja yang ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain "Pengusaha melakukan efisiensi, caranya dengan menutup perusahaan". Di Pasal tersebut disebutkan kata "pengusaha", bisa saja pengusaha memiliki suatu perusahaan holding dengan beberapa perusahaan anak. Dengan adanya suatu hal tertentu pengusaha merasa harus melakukan efisiensi dengan cara menutup salah satu perusahaan

xiv

Page 15: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

anak.Jika perusahaan tersebut

tutup, maka "pengusaha dapat melakukan PHK atas tenaga kerjanya".22Selanjutnya jika penutupan perusahaan tersebut disebabkan oleh kerugian selama 2 tahun berturut-turut atau force majeur, maka diterapkan ketentuan Pasal 164 ayat (1). Namun jika penutupan perusahaan untuk kepentingan efisiensi maka diterapkan Pasal 164 ayat (3).

Dilihat dari kasus tersebut, maka seharusnya Pengadilan Hubungan Industrial memutuskan perkara tersebut harus melihat alasan yang diajukan pihak pengusaha, bahwa mereka melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan penutupan perusahaan yang mana usahanya mereka merugi sejak tahun 2000. Dan kedua pihak pekerja yang mengajukan gugatan dengan alasan efisiensi. Namum seperti yang telah kita lihat penjelasan diatas maka dapat dilihat disini bahwa pemahaman oleh kedua pekerja tersebut belum mengerti maksud dari efisiensi.

Sedangkan dalam Pasal 164 ayat (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi. Dan bila kita lihat dalam kasus ini maka seharusnya pihak Pengadilan

22 http://boedexx.blogspot.com/2009/08/phk-karena-wfisiensi.html diunduh pada tanggal 15 Maret 2017

Hubungan Industrial memutus perkara tersebut harus dengan pertimbangan bahwa Perusahaan tersebut tutup dengan alasan penutupan perusahaan disebabkan merugi selama 2 tahun berturut- turut. Maka dalam putusan pemberian uang pesangon terhadap karyawan juga harus mengacu pada Pasal 156 ayat (2), dimana kedua pekerja tersebut mempunyai hak yang sama dengan 26 karyawan lainnya yaitu sebesar 9 (sembilan) bulan upah, karena sudah lebih dari 8 tahun masa kerja mereka.

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial juga memutuskan pemberian upah lebih dari apa yang dituntut dan yang ada dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

2. Besarnya Uang Pesangon yang Seharusnya diterima oleh Pekerja Dilihat dari Kasus Yusniari, Marthen Lempang, Dwi Yantoro dan Suryadi

Berdasarkan kasus diatas kita banyak menemukan kesalahan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut khusus yang terlihat dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam putusan PHI memutuskan bahwa dalam pembayaran uang pesangon, PHI memutus lebih yang dari dituntut oleh penggugat (pekerja/buruh), yaitu masalah pembayaran uang pesangon, penghargaan masa kerja, pengobatan dan perumahan, upah selama skorsing dan cuti yang belum diambil.

Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian

xv

Page 16: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.Ultra petita sendiri banyak dipelajari di bidang hukum perdata dengan keberadaan peradilan perdata yang lebih tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan kehakiman di Indonesia.23

Melihat kasus yang terjadi Yusniari, Marthen Lempang, Dwi Yantoro dan Suryadi tersebut, pihak pekerja melakukan upaya hukum yaitu kasasi ke MA. Ada beberapa pertimbangan yang menarik diperhatikan dilakukan oleh pihak pengusaha yaitu ;

1. Bahwa pertimbangan PHI yang dalam menafsirkan pengurangan tersebut hanya mirip efisiensi adalah pertimbangan yang kurang mendalam dan kurang luas serta sangat formil, ini akibat disebabkan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan sama sekali alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi. ;

2. Bahwa dengan besarnya uang kewajiban Pemohon Kasasi terhadap Para Termohon Kasasi sangat memukul manajemen Pemohon Kasasi sebab usaha Pemohon Kasasi adalah usaha padat karya (tambang minerba) bukan padat modal sehingga nilai tersebut sangat membebani.

3. Bahwa setelah mendapatkan saran maupun petunjuk dari beberapa pihak seperti tersebut

23 Miftakhul Huda, http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian- undang.html diunduh pada tanggal 20 Maret 2017

diatas maka Pemohon Kasasi lalu mengadakan musyawarah kembali dengan para buruh yang mana begitu alot dan panjang, namun akhirnya tercapai kesepakatan antara Pemohon Kasasi dengan pihak buruh/ALBUM yaitu dilakukan PHK ke 4 buruh dan pemberian pesangon 1 X dan usaha Pemohon Kasasi tidak dilakukan penutupan. (merupakan jalan keluar yang paling akhir dan baik) ;

4. Bahwa Para Termohon Kasasi tidak menerima hasil musyawarah lalu melakukan perlawanan terhadap kesepakatan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja Nusa Tenggara yang semata-mata hanya ingin mendapat hak yang lebih dari pada teman-teman yang lainnya (ke 4 buruh) tanpa memperdulikan maupun mempertimbangkan komitmen, rasa hormat dan solidaritas sesama buruh dan juga tidak mau tahu dengan kondisi keuangan Pemohon Kasasi atau saran-saran dari Serikat Pekerja maupun Tokoh Masyarakat Sumbawa (lingkungan Pabrik) ;

Pendapat penulis Setelah diajukannya

kasasi ke Mahkamah Agung menolak tersebut dengan pertimbangan dan alasan bahwa tidak dapat dibenarkan bahwa alasan Judex Factienya tidak salah menerapkan hukum.

Dalam kasus tersebut sama sekali hakim dalam putusannya tidak melihat alasan-alasan dari pihak pemohon kasasi dalam hal ini pihak Pengusaha. Bahwa sejak mulanya pengusaha ingin melakukan penutupan

xvi

Page 17: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

perusahaan, namun berdasarkan pertimbangan pemerintah dan adanya musywarah dengan organisasi buruh setempat maka perusahaan ini dinyatakan tetap berlanjut, maka dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa Perusahaan melakukan PHK bukan alasan penutupan melainkan pengurangan pekerja/buruh.

Maka dalam hal ini seharusnya Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara ini, khususnya dalam pemberian uang pesangon hanya 9 bulan bukan 16 bulan.

Perusahaan seharusnya tak boleh lagi melakukan PHK terhadap pegawainya bila PHK itu hanya berdalih embel-embel demi efisiensi perusahaan. Hal ini sesuai dengan penilaian Mahkamah Konstitusi yang menilai bahwa pemutusan hubungan kerja dengan dalih reorganisasi dan efisiensi merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 yang membatalkan bunyi Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara pasal 164 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur seputar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa PHK hanya sah dilakukan setelah perusahaan tutup secara permanen dan sebelumnya perusahaan melakukan sejumlah langkah terlebih dahulu dalam rangka efisiensi.

Dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (Force Majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (4).” Perusahaan harus memberi tahu karyawan sebelum PHK dilakukan dan alasan PHK. Pada perusahaan tertentu, pemberitahuan ini dilakukan 30 hari sebelum PHK.

Walaupun PHK merupakan pilihan terakhir perusahaan sebagai upaya efisiensi, seharusnya perusahaan menempuh dulu beberapa upaya dalam rangka efisiensi tersebut. Upaya-upaya tersebut termaktub dalam putusan MK, seperti diantaranya mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, mengurangi shift, mengurangi jam kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu, dan lain-lain.

A. Kesimpulan1. Penyelesaian Pemutusan

Hubungan Kerja dengan alasan tidak diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, hanya diatur penyelesaian perselisihan

xvii

Page 18: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

PHK secara umum. Pada asasnya penyelesaian PHK khususnya PHK dengan alasan efisiensi terlebih dahulu diselesaikan melalui proses musyawarah untuk mufakat antara kedua belah pihak tanpa campur tangan pihak ketiga (tripartie), jika gagal dilanjutkan dengan cara mediasi. Untuk selanjutnya proses dilanjutkan melalui mediasi. Apablia penyelesaian bipartie dan mediasi juga gagal maka akan dilanjukan konsoliasi. Jika dalam hal ini juga tidak menemukan hasil, maka prosesnya akan dilanjutkan dengan melalui proses litigasi.

2. Perlindungan hukum hak-hak pekerja/buruh sebaga kompensasi PHK, harus dibayar oleh pengusaha berdasarkan jenis dari PHK yang terjadi pada pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika kita melihat kasus pada Keputusan MA Nomor 27 K/PHI/2006. Bahwa telah terjadi pemutusan hubungan kerja di PT Newmount Nusa Tenggara dimana dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial maupun dalam putusan Mahkamah Agung, memberikan putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku. Dimana Hakim Agung memberikan putusan uang pesangon sebanyak dua kali lipat yang mana itu hanya berlaku bagi pekrja/buruh yang di PHK diakibatkan Perusahaan tutup dengan alasan efisiensi. Namun pada kenyataannya perusahaan itu tidak tutup, maka seharusnya pembayaran uang pesangon itu mengacu pada

Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2004

_____________, Hukum Perusahaan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010

Aloewic Tjepi F. Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial. cetakan sebelas. BPHN, Jakarta, 1996

Chatamarrasjid, Menyikapi Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Citra Aditya, Bandung, 2000

F.X Djumadi dan Widodo Soejono, Perjanjian Kerja, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2003

Flippo,E.B, Personnel Management.5th edition.McGraw-Hill International Book Company, Sydney, 1984.

Hartono, Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, 1992

I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Kesaint Blanc, Jakarta, 2006

__________, Hukum Perusahaan dan Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaan di Bidang Usaha. KBI, Jakarta, 2000

xviii

90

Page 19: EPrintseprints.unpam.ac.id/1835/9/JURNAL.doc · Web viewBahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang

__________, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1987

Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1987

Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010

Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1988

Mutiara S. Panggabean, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indah, Bogor Selatan, 2004

Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988

Soedjono Dirjosisworo, HukumPerusahaan Mengenai Bentuk-bentuk Perusahaan (badan usaha) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999

Sutantyo R. Hadikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1991

Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Organisasi public dan bisnis, Alfabeta, Bandung, 2012

Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Griya Media, Salatiga, 2011

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007

Zainal Asikin,dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993

xix