headymathic.files.wordpress.com€¦ · web viewanalisis metapedadidaktik kemampuan penalaran...
TRANSCRIPT
1
ANALISIS METAPEDADIDAKTIK KEMAMPUAN PENALARAN
MATEMATIK MAHASISWA PGSD FKIP UHAMKA, DITINJAU DARI
ASPEK PEMBELAJARAN METODE LABORATORIUM
Wahidin, 2009, komunitas matematika kreatif UHAMKA, [email protected]
A. Latar Belakang
Matematika memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, baik sebagai alat bantu dalam penerapan ilmu lain
maupun dalam pengembangan matematika itu sendiri. Semua upaya yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan matematik siswa, tidak hanya
berguna untuk memperoleh hasil belajar matematika yang tinggi, lebih dari itu
sebagai bekal bagi siswa untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Inilah
konsep kehidupan matematika dan matematika untuk kehidupan. Seperti yang
ditulis Turmudi (2008) bahwa mengetahui matematika mungkin menjadi
kepuasan personal, bahkan suatu digdaya, yang menopang kehidupan sehari-
hari secara meningkat umumnya bersifat matematika dan teknologi.
Penguasaan materi matematika oleh siswa (mahasiswa) menjadi suatu
keharusan yang tidak bisa ditawar lagi di dalam penataan nalar dan
pengambilan keputusan dalam era persaingan yang semakin kompetitif.
Namun sayangnya, pencapaian prestasi belajar matematika belum begitu
memuaskan. Hal ini pun menjadi penting, ketika yang disorot adalah
mahasiswa calon guru sekolah dasar (PGSD) yang akan meletakkan pondasi
awal matematika kepada anak didik. Dapat dibayangkan, kemampuan
matematik siswa di masa mendatang, apabila kemampuan matematik calon
gurunya tidak dimantapkan saat ini.
Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran 45
menit secara tidak efektif, rutinitas, hal ini dapat membosankan,
membahayakan, dan merusak seluruh minat siswa (Sobel dan Maletsky,
2004). Sementara itu, komitmen peningkatan kualitas dan profesionalisme
guru (program sertifikasi guru) yang dilaksanakan pemerintah bagi sekitar 2,8
2
juta guru yang mesti selesai pada tahun 2015 dianggap masih terjebak
formalitas. Padahal yang dibutuhkan pendidik adalah adanya pendidikan dan
pelatihan yang berkelanjutan (Napitupulu, 2009). Betapapun pemerintah
berupaya untuk membenahi kualitas guru (inservice teacher training), sulit
untuk memperbaiki pembelajaran matematika yang tengah berlangsung saat
ini yang terus mengokohkan pradigma konvensional, jika calon guru
(preservice teacher) tidak turut sesegera mungkin untuk dibekali dengan
didaktik metodik matematika yang berlandaskan paradigma baru.
Selama ini pelaksanaan pembelajaran hanya terbatas oleh dinding-
dinding kelas, dan guru mengambil peran utama sebagai subyek belajar,
sementara siswa hanya sebagai obyek semata. Pembelajaran sebagai upaya
membuat siswa belajar belum sepenuhnya dipahami oleh kebanyakan guru,
nampak di lapangan adanya dominasi guru yang membuat aktivitas siswa
menjadi rendah (pasif). Sehingga mereka menganggap guru sebagai satu-
satunya sumber belajar, yang semestinya dapat memanfaatkan lingkungan
sebagai laboratorium belajar. Inilah gambaran sebuah situasi kelas tradisional
yang dikritik oleh Ernest, bahwa tugas-tugas kelas mengajarkan siswa untuk
melakukan prosedur simbolik tertentu, bekerja tetapi bukan untuk berfikir,
hanya untuk menjadi automatons. Hal serupa disampaikan Silver bahwa
aktivitas siswa sehari-hari terdiri atas menonton gurunya menyelesaikan soal-
soal di papan tulis, kemudian meminta siswa bekerja sendiri dalam buku teks
atau LKS yang disediakan (Turmudi, 2008).Pembelajaran matematika di
sekolah masih menggunakan cara konvensional, masih banyak guru yang
melaksanakan proses belajar mengajar secara monoton. Metode yang kerap
mereka gunakan adalah metode ceramah dengan media chalk and talk.
Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, ternyata hingga saat ini belum
menjadi pelajaran yang difavoritkan. Rasa takut terhadap pelajaran
matematika (fobia matematika) sering kali menghinggapi perasaan siswa dari
tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan tinggi (Fathani,
2007). Bagi banyak orang, nama matematika menimbulkan kenangan masa
sekolah yang merupakan beban berat, bahkan Piaget mengungkapkan bahwa,
3
siswa cerdas sekalipun secara sistematis menemui kegagalan dalam pelajaran
matematika (Maier, 1985). Hal ini nampak dari rendahnya hasil belajar
matematika yang diperoleh siswa. Lebih dari itu suasana belajar menjadi tidak
menarik, cenderung membosankan dan rutinitas belaka (Asyhadi, 2005).
Matematika masih merupakan salah satu bidang studi yang sulit dan
anggapan bahwa matematika tidak disenangi atau bahkan paling dibenci,
masih saja melekat pada kebanyakan siswa yang mempelajarinya (Ruseffendi,
1984). Hal tersebut menjadi tugas pengajar untuk memperbaiki anggapan
tersebut agar menjadi baik. Anggapan negatif terhadap matematika tersebut
menular di perkuliahan matematika mahasiswa di Pendidikan Guru Sekolah
Dasar (PGSD). Matematika masih dianggap sebagai mata kuliah yang sulit
dan banyak mahasiswa yang merasa takut jika mengontrak mata kuliah
matematika. Anggapan tersebut berdampak pada hasil UTS dan UAS
mahasiswa PGSD yang selalu kurang memuaskan (Supriadi, 2009).
Mereka hanya dituntut menghafal informasi, mengingat informasi dan
mengumpulkannya tanpa dituntut memahami informasi yang diperolehnya.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan Supriadi (2009) selama beberapa
semester terhadap mahasiswa D2 PGSD, S1 PGSD yang berasal dari SMA,
SMK, MA dan SPG, dengan program studi IPA dan Non-IPA, ternyata kurang
memuaskan dengan diperolehnya rerata kurang dari 50% dari skor maksimal
untuk kedua kelompok tersebut. Mahasiswa masih kesulitan memahami
matematika yang dipandangnya matakuliah yang paling sulit dan tidak
menyenangkan. Ekspresi, komunikasi dan kemampuan berpikir matematika
diantara mahasiswa masih kurang. Kemudian didukung oleh penelitian
Tiurlina (dalam Supriadi, 2009) bahwa pemahaman konsep mahasiswa PGSD
masih lemah dan dibawah 50%. Karakter mahasiswa PGSD berdasarkan
pengamatan Supriadi (2009) adalah pertama, mahasiswa PGSD cenderung
menyenangi soal-soal yang berbentuk rutin sehingga saat diberikan soal-soal
yang bersifat tidak rutin mereka cenderung kesulitan. Kedua, pada umumnya
kemampuan mahasiswa PGSD dalam penyelesaian permasalahan matematika
dapat dikatakan sedang dan rendah, jarang sekali mahasiswa yang
DosenMaha siswa
Dosen
MahasiswaDosen
Mahasiswa
Gbr. 1 Gbr. 2 Gbr. 3
4
berkemampuan tinggi. Ketiga, suasana kegiatan belajar mengajar mahasiswa
PGSD cenderung tidak terlalu aktif.
Fenomena sikap negatif terhadap matematika juga menghinggapi
mahasiswa S1-PGSD FKIP UHAMKA Jakarta, di mana mereka yang sedang
duduk di semester III tahun akademik 2009-2010, mengambil mata kuliah
Pendidikan Matematika III yang silabusnya berisi tentang Geometri Datar,
termasuk di dalamnya materi segitiga. Oleh karena itu, penulis (sekaligus
pengajar) merancang sebuah penelitian untuk melihat kemampuan penalaran
matematik mahasiswa PGSD tersebut.
B. Kajian Teori
1. Situasi Didaktis
Mengadopsi konsep metapedadidaktik dari Suryadi (2009) bahwa
pemikiran seorang pengajar (dosen) dan mahasiswa berkenaan dengan
konsep matematika (jumlah sudut dalam suatu segitiga) dapat digambarkan
sebagai berikut:
Dari gambar 1, diinterpretasikan bahwa pemikiran seorang dosen
yang menyajikan materi sejalan dengan pemikiran mahasiswa. Ini adalah
suatu situasi didaktis yang diharapkan, di mana mahasiswa dapat menyerap
secara keseluruhan apa yang disampaikan dosen. Untuk gambar 2, situasi
yang muncul adalah hanya sebagian pemikiran seorang dosen yang bisa
diserap siswa. Sebagian dari mahasiswa mempunyai pemikiran lain
berkenaan dengan konsep matematika. Berati di sini ada situasi didaktis
dan ada situasi a-didaktis. Sedangkan gambar 3, menjelaskan bahwa
pemikiran dosen berbeda sama sekali dengan pemikiran mahasiswa, terjadi
situasi a-didaktis.
OTORITASMAHASISWA
OTORITASDOSEN
GARISFLEKSIBILITAS
5
Ketiga situasi ini harus dipahami oleh seorang dosen, sehingga
mereka dapat mendesain bahan ajar maupun penggunaan ragam metode
dan media untuk menjembatani antara pemikiran dosen dengan pemikiran
mahasiswa. A Situation is a-didactical if the teacher's specific intentions
are successfully hidden from the students and the student can function
without the teacher's intervention (Warfield, 2006). Situasi a-didaktis boleh
jadi sesuatu kecemerlangan yang diraih mahasiswa, manakala mereka
mampu mengembangkan daya matematiknya tanpa intervensi (bantuan)
dosen.
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tentang belief guru (dosen)
untuk membenahi situasi pembelajaran matematika. Artzt dalam Suryadi
(2009) menuliskan bahwa Teachers’ beliefs adalah sistem pandangan
personal terintegrasi tentang hakekat materi ajar, siswa, belajar dan
pembelajaran. Sistem beliefs guru (dosen) merefleksikan pandangan
personal tentang hakekat pengetahuan yang berpengaruh pada cara
pengambilan keputusan dosen mengenai kurikulum dan pendekatan
pembelajaran. lebih dari itu ia menyangkut keterampilan dosen dalam
penggunaan ragam media pembelajaran matematika. Belief ini pun turut
mempengaruhi dosen dalam menggeser otoritas mereka secara peralahan
kepada otoritas siswa dalam memperoleh pengetahuan secara mandiri.
Karena itu kehadiran segitiga didaktik dapat menjadi model yang
mudah untuk memahami problematika pembelajaran matematika saat ini.
Before Teaching While Teaching
Teachers’ Thinking
After Teaching
Prospective Analysis Metapedadidaktik Retrospective Analysis
RecontextualizedRepersonalized
Analisis tentang apayang dipikirkan sebelum pembelajaran dengan kenyataan pembelajaran
6
HD : Hubungan DidaktisHP : Hubungan PedagogisADP : Antisipasi Didaktis-Pedagogis
Didactical Design Research (DDR)
2. Metode Laboratorium
A. Diesterweg said “What counts is not memorising, but
understanding, not watching, but searching, not receiving, but seizing, not
learning, but practising“ (Wittmann, 2004).
Seorang Filosof Cina Confucius mengatakan bahwa saya dengar maka
saya lupa, saya lihat maka saya ingat, dan saya alami maka saya paham.
Bila berpedoman kepada persentase banyaknya yang dapat diingat,
maka metode laboratorium ini merupakan metode yang sangat penting.
Johnson dan Rising dalam Ruseffendi (2006) mengatakan “bahwa belajar
dapat mengingat sekitar seperlimanya dari yang didengar, setengahnya dari
yang dilihat, dan tigaperempatnya dari yang diperbuat”. Untuk itu
manipulasi benda-benda konkrit dalam belajar matematika sangat penting.
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Sedapat mungkin guru mengerjakan
kegiatan matematika untuk anak, bukan lebih dominan mengajarkan
matematika. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi
terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat dalam jangka pendek (short
7
term memory), tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah
kehidupan jangka panjang.
Matematika mempunyai objek abstrak berupa fakta, konsep, operasi
serta prinsip dan asas yang abstrak. Objek tersebut diusahakan agar mudah
dipahami oleh siswa, dengan cara menyajikannya melalui benda-benda
konkrit. Menurut Suherman dkk. (2003) hal inilah yang dilakukan dalam
laboratorium pembelajaran matematika, sebagai suatu lingkungan di mana
siswa belajar matematika dengan mengeksplorasi konsep matematika,
menemukan prinsip matematika dalam situasi konkrit. Aktivitas eksplorasi
ini dapat dibawakan oleh guru atau dengan demonstrasi siswa, individu
atau kelompok, dengan metode inkuiri, discovery, atau aktivitas problem
solving.
Semua hasil kerja yang telah diperoleh Piaget, Bruner dan Dienes
mendukung pernyataan bahwa, manipulasi benda-benda konkrit merupakan
aktivitas penting dalam pembelajaran matematika. Dalam laboratorium
matematika, siswa memecahkan masalah, mengekplorasi konsep
matematika, merumuskan dan bereksperimen dengan prinsip-prinsip
matematika, dan membuat penemuan matematika (mathematical
discoveries) melalui manipulasi benda konkrit yang merepresentasikan ide-
ide abstrak matematika (Bell, 1978).
Jika diterapkan dengan benar, pembelajaran laboratorium dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan pendekatan
heuristik dalam problem solving. Untuk mewujudkan hal tersebut, guru
harus memiliki akses kepada beragam alat bantu pembelajaran (Wahyudin,
2008).
Laboratorium matematika adalah suatu ruang (bisa berupa kelas
biasa) yang dilengkapi dengan alat peraga matematika sehingga
memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri dalam mengekspresikan
konsep matematika. Aktivitas ini mencakup pengkajian konsep, pengujian
hipotesis, analisis masalah, induksi melalui inkuiri berbagai konsep, teori,
ide, dan fakta dengan bantuan benda-benda konkrit, model matematika,
sesuatu yang dimanipulasi. Aktivitas laboratorium membimbing siswa
8
menemukan fakta matematika didasarkan atas prinsip belajar dengan
berbuat, belajar dengan pengamatan yang berlanjut dari yang konkrit
menuju abstrak (Anitah dkk, 2007).
Prinsip metode laboratorium adalah belajar sambil berbuat,
mengobservasi, dan memulai dari yang konkrit ke yang abstrak, ia sejalan
dengan metode induktif. Siswa belajar dengan objek-objek yang kemudian
digeneralisasikan. Metode ini khusus untuk mengabaikan keabstrakan
hakikat matematika. Namun dapat menarik minat peserta didik terhadap
matematika yang abstrak. Menurut Ernest dalam Turmudi (2008) bahwa
belajar matematika adalah pertama dan paling utama adalah aktif, dengan
siswa belajar melalui permainan, kegiatan, penyelidikan, proyek, diskusi,
eksplorasi, dan penemuan. Cara melaksanakan metode ini bermacam-
macam, antara lain dengan bermain dan menggunakan kartu (Hudoyo,
1985).
Dengan metode laboratorium siswa dapat belajar fakta, keterampilan,
konsep, dalil, atau teori melalui manipulasi benda-benda kongkrit, model
matematika, atau permainan. Ia dapat meningkatkan keinginan belajar,
belajar melalui berbuat, menghayati dan menghargai metode ilmiah,
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, membuat analisis, dan
evaluasi (Ruseffendi, 2006).
3. Penalaran Matematik
Penalaran dan pembuktian matematika menawarkan suatu cara untuk
mengembangkan wawasan siswa tentang fenomena. Orang yang nalar dan
berpikirnya analitik cenderung mencatat pola, struktur, dan keteraturan
dalam situasi nyata (real-word) dan benda-benda simbolik (Turmudi,
2008). Permasalahan dalam dunia matematika adalah bagaimana
menghasilkan suatu konsep dari konsep yang sudah diketahui, hal ini bisa
dipecahkan, dibutuhkan kemampuan penalaran yang memadai sehingga
langkah demi langkah penyelesaiannya akan terarah dan sistematis.
Keraf dalam Shadiq (2004) menyatakan bahwa penalaran sebagai
proses berpikir yang menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju
kepada suatu kesimpulan. Sebagai contoh, dari pengetahuan tentang besar
9
dua sudut dalam suatu segitiga yaitu 30o dan 45o, maka dapat disimpulkan
atau dibuat pernyataan bahwa sudut yang ketiga dalam segitiga tersebut
besarnya adalah 105o. Pada intinya penalaran merupakan suatu kegiatan,
suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan
atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa
pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan
sebelumnya. Menurut Schonfeld dalam Sumarmo (2004), matematika
merupakan proses yang aktif, dinamik, generatif dan eksploratif. Berarti
bahwa proses matematika dalam penarikan kesimpulan merupakan
kegiatan yang membutuhkan pemikiran dan penalaran tingkat tinggi.
Beberapa indikator penalaran matematik (Sumarmo, 2004) dalam
pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat: 1) Menarik kesimpulan
logik, 2) Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan
hubungan, 3) Memperkirakan jawaban dan proses solusi, 4) Mengunakan
pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, 5) Menyusun dan
menguji konjektur, 6) Merumuskan lawan contoh (counter example), 7)
Mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen, 8) Menyusun
argumen yang valid, 9) Menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan
menggunakan induksi matematik.
Depdiknas (2002) menyatakan bahwa materi matematika dan
penalaran matematika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
materi matematika dipahami melalaui penalaran dan penalaran dipahami
dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Penalaran ini tidak hanya
dibutuhkan oleh siswa dalam mempelajari matematika ataupun ilmu-ilmu
lainnya, lebih dari itu, penalaran menjadi penting untuk memecahkan
masalah kehidupan nyata yang dihadapinya (Shadiq, 2004).
Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran yaitu penalaran
induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan proses
berfikir berupa penarikan kesimpulan yang umum (berlaku untuk
semua/banyak) atas dasar pengetahuan tentang hal yang khusus yang
dimulai dari sekumpulan fakta yang ada dengan berproses dari hal-hal yang
bersifat konkrit ke yang bersifat abstrak. Untuk menemukan suatu formula
10
siswa terlibat aktif dalam mengobservasi, berpikir, dan bereksprimen.
Lebih lanjut dikatakan bahwa penalaran deduktif terjadi ketika siswa
bernalar dari pernyataan-pernyataan umum kemudian diturunkan menjadi
kesimpulan-kesimpulan khusus.
C. Metodologi
Tulisan ini merupakan laporan dari penelitian singkat yang mengadopsi
Didactical Design Research, yang bertujuan untuk melihat kemampuan
penalaran mahasiswa S1-PGSD FKIP UHAMKA terhadap soal yang
menggunakan konsep sudut dalam segitiga. Sebanyak Sembilan orang
mahasiswa semester III tahun akademik 2009-2010, yang tengah mengikuti
mata kuliah Pendidikan Matematika III (Geometri Datar) dijadikan sampel.
Responden diberikan satu soal pembuktian sudut dalam segitiga untuk dilihat
cara penyelesaiannya (apa yang menjadi pikiran mahasiswa) kemudian
dibandingkan dengan cara penyelesaian yang disediakan ataupun yang
diprediksi oleh dosen (apa yang menjadi pikiran dosen).
Desain bahan ajar yang disajikan kepada mahasiswa juga dilihat
kesesuaianya dengan gaya belajar mahasiswa, sehingga penyampaian materi
ajar melalui metode laboratorium dapat menjadi alternatif solusi untuk
membenahi kemampuan penalaran matematik mahasiswa PGSD.
D. Permasalahan
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “bagaimana kemampuan
penalaran mahasiswa S1-PGSD FKIP UHAMKA setelah mendapatkan
pembelajaran geometri datar melalaui metode laboratorium?” Juga dilihat
bagaimana kecenderungan mahasiswa terhadap pembelajaran dengan metode
laboratorium.
Tulisan ini mengetengahkan analisis singkat terhadap kemampuan
mahasiswa S1-PGSD dalam menjawab soal non rutin, berkenaan dengan
materi sudut dalam segitiga. Diberikan satu soal kepada mahasiswa, soal ini
menuntut kemampuan penalaran mahasiswa yaitu pada aspek membuktikan.
Menurut Polya (1973), terdapat dua macam masalah, yaitu problem to
i a b
e
f
g
c
h
d
11
construction dan problem to prove. Masalah untuk membuktikan adalah untuk
menunjukan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah atau tidak kedua-
duanya. Harus menjawab pertanyaan: “Apakah pernyataan itu benar atau
salah?” Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari
suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Selama pembelajaran matematika berlangsung, soal-soal matematika
dapat dibedakan menjadi dua bagian:1) Soal rutin, yang mencakup aplikasi
suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru
dipelajari. Ia hanya bersifat berlatih agar terampil menggunakan konsep
matematika. 2) Soal tidak-rutin, untuk sampai pada jawaban dari soal ini
diperlukan pemikiran yang mendalam, menghendaki siswa untuk
menggunakan sintesis atau analisis. Pengetahuan, fakta, keterampilan, dan
pemahaman yang telah diperoleh (dikuasai) siswa dappat diterapkan pada
situasi baru. Namun secara umum, suatu masalah adalah situasi yang
memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Situasi tersebut menunjukan adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan.
b. Situasi tersebut membangkitkan motivasi bagi orang tersebut untuk
berupaya menemukan jalan keluarnya.
c. Tidak tersedia secara ”instant” alat yang dapat digunakan untuk
mewujudkan keinginan orang tersebut untuk menemukan jalan keluarnya.
Soal:
Semua segitiga berikut adalah sebangun. Tentukan besar penjumlahan
sudut d, e, f, g, h, dan i pada gambar berikut!
i a b
e
f
g
c
h
d
12
Alternatif Penyelesaian:
Cara 1
a = d = i ; konsep sudut-sudut sehadap
b = e = f
c = g = h +
180o = 180o = 180o
Jadi d + e + f + g + h + i = 180o + 180o
= 360o
Cara 2
h + i + b = 180o
d + e + c = 180o
f + g + a = 180 o +
h + i + b + d + e + c + f + g + a = 540o
d + e + f + g + h + i + ( a + b + c) = 540o
d + e + f + g + h + i = 540o – ( a + b + c)
Karena a + b + c = 180o, maka
d + e + f + g + h + i = 540o – 180o
= 360o
Cara 3
Karena terdapat empat segitiga yang sebangun yaitu hib, dec, fga,
dan abc. Berarti jumlah keseluruhan sudut adalah 720o. Karena sudut-sudut
a, b, dan c terulang sebanyak dua kali, maka dikurangi 2 180o. Sehingga
besar penjumlahan sudut d, e, f, g, h, dan i adalah 360o.
Cara 4
Jadi jumlah sudut d, e, f, g, h, dan i adalah 3 180o – 180o = 360o
13
E. Hasil
Dari Sembilan orang mahasiswa yang diberikan soal, maka diperoleh
beragam jawaban yang dapat terkategorikan sebagai berikut:
Cara 1
14
Cara 2
Cara 4
15
Cara yang berbeda
DosenMahasiswa
66,67%
33,33%
16
Berdasarkan hasil jawaban mahasiswa S1-PGSD FKIP UHAMKA,
maka dapat dianalisis bahwa sebanyak 66,67% mahasiswa yang memiliki
kesamaan pikiran dengan apa yang dipikirkan oleh dosen. Sementara itu
terdapat 33,33% mahasiswa yang berbeda dengan apa yang dipikirkan dosen.
Hal tersebut dapat dilihat pada diagram berikut:
Kesamaan pikiran antara dosen dengan mahasiswa sebatas pad aide
penyelesaian soal, sedangkan prosedur pengerjaan aljabar dan aritmetikanya,
menunjukkan ada mahasiswa yang memiliki kemampuan algebraic sense
maupun number sense. Sehingga situasi didaktis yang muncul tidak murni
lagi. Untuk yang 33,33% menunjukkan situasi adidaktis, oleh karena itu perlu
diakomodir tentang ide-ide mahasiswa sebagai masukan bagi upaya
pembenahan masalah didaktis. Terdapat pula cara yang dipikirkan dosen, yang
tidak mampu dipikirkan oleh mahasiswa, yaitu cara 3
F. Analisis Bahan Ajar
Bahan ajar yang disajikan menggunakan worksheet, sementara
penyampaian materi ajar dengan memanfaatkan metode laboratorium, yaitu
dengan permainan, alat peraga, dan praktikum, sampai kepada penggunaan
software Geometer Sketcpad. Pada sajian bahan ajar ini untuk mengajak
mahasiswa menemukan bahwa jumlah sudut dalam segitiga adalah 180o.
Kemudian mahasiswa membuat dugaan (conjecture) tentang hal tersebut,
inilah proses penalaran induktif yang dilakukan oleh mahasiswa. Setelah
meyakini bahwa jumlah sudut dalam segitiga adalah 180o, maka mereka
diarahkan untuk dapat secara analitis membuktikannya, sebagai bentuk
penalaran deduktif. Jadi kerja laboratorium adalah bagaimana menemukan
suatu konsep secara induktif, sehingga menghasilkan suatu conjecture,
P
QR
A
B
C
17
kemudian membuktikannya secara deduktif. Semua ini dilakukan dengan
praktikum dan manipulasi benda-benda konkrit.
WORKSHEET
Mata Kuliah Pend. Matematika III (Geometri Datar)
Hari, tanggalNama Mahasiswa
Indikator : Menemukan dan membuktikan jumlah sudut dalam segitiga
Pengajar Wahidin, S.Pd.Maksud :Membangun konsep lewat praktikum
1. Pengukuran
1.1. Guntinglah kertas menjadi bangun daerah segitiga, beri nama dengan segitiga PQR. Ukurlah besar sudut-sudutnya dengan busur derajat. Kemudian jumlahkan ketiga sudut tersebut
P = ..... Q = ..... R = ..... + = ......
Disajikan beberapa bangun daerah segitiga yang berbeda, kemudian mahasiswa diminta untuk menginvestigasinya. Kesimpulan: ………………………………………………………..…………………………..
………………………………………………………..…………………………..
1.2. Gambarlah segitiga sembarang, beri nama dengan segitiga ABC. Ukurlah sudut-sudutnya dengan busur derajat. Kemudian jumlahkan ketiga sudut tersebut!
A = ..... B = ..... C = ..... + = ......
Disajiikan beberapa gambar segitiga yang berbeda, kemudian mahasiswa diminta untuk menginvestigasinya.Kesimpulan: ………………………………………………………..…………………………..
………………………………………………………..…………………………..
1.3. Aplikasi Geometer Sketcpad
Guru dapat mendemonstrasikan pengunaan komputer, atau kalau memungkinkan mahasiswa dapat secara individual mengunakan komputer yang dilengkapi dengan software Geometer Sketcpad.
Berikut contoh hasil investigasi dan eksplorasi dengan software
18
2. Gunting dan Lipat
Perlu diperagakan oleh dosen, kemudian mahasiswa mengikuti.2.1. Guntinglah kertas menjadi bangun daerah segitiga, lipatlah salah satu sudutnya
sehingga menyentuh sisi di hadapannya dan bentuk lipatannya tersebut sejajar dengan sisi di hadapan sudut (akan membentuk bangun trapesium). Kemudian sudut-sudut lainnya dilipat ke dalam sehingga berimpit, maka akan terbentuk persegipanjang dan ketiga sudut yang diimpitkan tadi akan membentuk sudut lurus
Mahasiswa dapat mencoba praktikum di atas dengan beberapa bagun daerah segitiga yang berbeda.Kesimpulan: ………………………………………………………..…………………………..
………………………………………………………..…………………………..
2.2. Tumpuklah tiga lembar kertas, kemudian guntinglah menjadi bangun daerah segitiga, sehingga didapat tiga buah segitiga yang sama. Beri nama masing-masing sudutnya, yaitu , , .
(Koeno Gravemeijer, Freudental Institut, p.9)
Nampak bahwa sudut , , dan membentuk sudut lurus.
E F
G
1 2 3
19
2.3. Guntinglah kertas menjadi bangun daerah segitiga, potonglah atau sobeklah ketiga sisinya seperti gambar berikut:
Aturlah potongan-potongan itu sedemikian rupa sehingga setiap sudut berimpit, seperti gambar di samping.
Kesimpulan:………………..…………………………………..
Untuk yang berikut ini, dapat menggunakan alat peraga dari bahan keramik, mika, triples, ataupun kardus bekas, sehingga mudah untuk dimanipulasi dengan tangan.
Kesimpulan: ………………………………………………………..………………………………..
3. Analitis
3.1. Pada EFG, buatlah garis melalui titik F sejajar sisi EGmaka: E = F3 (sudut sehadap)
G = F2 (sudut berseberangan)
E + G = F3 + F2
F3 + F2 + F1 = 180o
Jadi E + G + F1 = 180o
3.2. Pada ABC, buatlah garis melalui titik C sejajar sisi ABmaka: A = C1 (sudut berseberangan)
B = C3 (sudut berseberangan)
A + B = C1 + B3
C1 + C2 + C3 = 180o
Jadi A + B + C2 = 180oA B
C1 2 3
A B
CD
21
12 berseberangan
A B
CDD
A B
20
4. Pendekatan jumlah sudut persegi panjang
4.1. Bangun daerah persegi panjang yang digunting menurut salah satu diagonalnya, sehingga didapat dua buah segitiga siku-siku. Kemudian kedua segitiga tersebut didempetkan menurut daerahnya, maka mereka kongruen.
Jumlah sudut persegi panjang = 360o
Jumlah sudut 2 segitiga = Jumlah sudut persegi panjangJumlah sudut segitiga = ½ Jumlah sudut persegi panjang
= 180o
4.2. Gambar persegi panjang yang memanfaatkan konsep kesejajaran garis
A1 = C1
A2 = C2
B = D ; siku-siku
A + B + C + D = 360o
A2 + B + C1 + C2 + D + A1 = 360o
2A2 + 2B + 2C1 = 360o
2(A2 + B + C1) = 360o
A2 + B + C1 = 180o
5. Pendekatan jumlah sudut persegi
5.1. Konsep garis bagidiagonal BD merupakan garis bagi sudut B dan D, sehingga pada segitiga ABD didapat:A = 90o
B = 45o
D = 45o
A + B + C = 180o
Bahan ajar di atas sedikit banyak mampu mengakomodir beragam gaya
belajar mahasiswa, baik secara individual, kelompok, maupun klasikal. Apa
yang dipikirkan dosen dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan akan menjadi
pikiran mahasiswa juga. Sehingga situasi didaktis maupun a-didaktis yang
muncul selalu bernilai positif. Pembelajaran dengan metode laboratorium
mampu melayani keinginan mahasiswa dari konkrit hingga abstrak. Metode
ini cocok untuk mengajarkan matematika kepada mahasiswa PGSD yang
21
secara latar belakang mereka lemah terhadap kemampuan matematika, bahkan
di antara mereka bersikap negative terhadap matematika.
G. Kesimpulan
Ketika mahasiswa S1-PGSD FKIP UHAMKA Jakarta diberikan masalah
non-rutin berkenaan dengan konsep sudut dalam segitiga, mahasiswa
memberikan respon yang beragam dalam hal penyelesaian dari soal tersebut.
Bahwa dalam penyelesaian masalah pun terjadi situasi didaktis dan situasi
adidaktis.
Untuk mengatasi keberagaman respon mahasiswa guna melayani
perbedaan individual dalam pembelajaran matematika, maka penyajian bahan
ajar yang kreatif mampu menjawab hal tersebut. Bagaimana learning
sequence nampak pada setiap pembelajaran yang dialami anak didik. Inilah
upaya pengembangan bahan ajar berbasis riset.
Metode laboratorium mampu melayani keragaman belajar individual
mulai dari yang konkrit sampai kepada abstrak. Juga mampu membangun
kemampuan penalaran mahasiswa, sehingga mahasiswa PGSD mulai terbiasa
dengan soal-soal pembuktian walaupun masih tergolong sederhana. Kelas pun
menjadi aktif, karena mahasiswa belajar sambil bekerja (learning by doing).
Referensi
Anitah, S.W., Manoy, JT., dan Susanah. 2007. Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: UT Depdiknas
Asyhadi, A. (2005). Pengenalan Laboratorium Matematika di Sekolah. IHT Media Bagi Staf LPMP Pengelola Laboratorium Matematika Tanggal 5 s.d. 11 September 2005 di PPPG Matematika Yogyakarta.
Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (the secondary schools). USA: Wm. C. Brown Company Publisher.
Depdiknas. 2002. Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas.Hudojo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
JICA. Universitas Negeri Malang.Maier, H. (1985). Kompendium Didaktik Matematika. Bandung: CV Remaja
Karya.Napitupulu, E.L. (2009). Standar Pendidikan Belum Menasional. Jakarta: Artikel
Kompas terbitan tanggal 23 Desember 2009.
22
Polya, G. (1973). How to Solve It, a New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princeton University Press.
Ruseffendi, ET. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Shadiq, Fajar. 2004. Penalaran, Pemecahan Masalah, dan Komunikasi Dalam Pembelajaran Matematika. Disajikan pada Diklat Instruktur Matematika SMP Jenjang Dasar, 10–23 Oktober 2004. Dirjen Dikdasmen PPPG Matematika Jogjakarta.
Sobel, MA. dan Maletsky, EM, terj. Dr. Suyono, M.Sc. (2004). Mengajar Matematika. Ed. 3. Jakarta: Erlangga.
Suherman, E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Depdiknas-JICA-UPI.
Supriadi. (2009). Analisis Proses Berpikir Matematika antara Dosen, Mahasiswa (Guru SD & Non Guru SD) PGSD dan Siswa SD dalam Pembelajaran Matematika di Propinsi Banten. Bandung: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, 19 Desember 2009 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.
Suryadi, D. (2008). Metapedadidaktik dalam Pembelajaran Matematika: Suatu Strategi Pengembangan Diri Menuju Guru Matematika Profesional. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Pendidikan Matematika FPMIPA UPI 22 Oktober 2008. Tidak diterbitkan.
__________. (2009). Teachers’ Beliefs dan Pembelajaran. Bahan Kuliah Analisis Kurikulum Pendidikan Matematika SPS UPI.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (berparadigma Eksploratif dan Investigasi). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran: Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Bandung: Diktat Perkuliahan UPI. Belum diterbitkan.
Warfield, V.M. (2006). Invitation to Didactique. Seattle: University of Washington.
Wittmann, E.C. (2004). Developing Mathematics Education in a Systemic Process. In Proceedings of the Ninth International Congress on Mathematical Education. 75-90.