web viewselanjutnya penulis mengucapkan trima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen selaku...

24
PENGANTAR FIQIH DAN USHUL FIQIH HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I DOSEN PENGAMPU : Drs.M.Rahmatullah,M.Ag DISUSUN OLEH : 1. Ratna Sari 2. Erdom Rahmadi 3. Surahman JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

Upload: vantuyen

Post on 18-Mar-2018

226 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

PENGANTAR FIQIH DAN USHUL FIQIH

HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I

DOSEN PENGAMPU : Drs.M.Rahmatullah,M.Ag

DISUSUN OLEH :

1. Ratna Sari

2. Erdom Rahmadi

3. Surahman

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK (IAIN)

2015

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayahnya

terutama nikmat dan kesehatan. Kemudian shalawat serta salam kita sampaikan

kepada nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup Al-

Qur’an dan Sunah untuk keselamatan umat dunia

Makalah ini merupakan salah satu tugas makalah pengantar fiqih dan ushul

fiqih fakultas tarbiyah pada institut agama islm negri pontianak. Selanjutnya penulis

mengucapkan trima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen selaku pembimbing

pengantar fiqih dan ushul fiqih dan kepada segenap pihak yang telah memberikan

bimbingan serta arahan penulisan makalah ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam penulisan

makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif

dari pembaca dmi kesempurnaan makalah ini.

BAB IPENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Pembahasan tentang hukumsyara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian Ushul

Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum

syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam

pembahasan ini, maka lebih dulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu sendiri serta

berbagai macamnya.

Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syari’at Islam. Berbicara

tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan

dengannya, seperti pembicaraan tentang pembagian hukum syar’i yaitu hukum taklifi dan

hukum wadh’i. Serta pembicaraan tentang hakim, al-mahkum fih, dan tentang al-mahkum

‘alaih. Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal

tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hukum

Istilah hukum syara’ bermakana hukum-hukum yang digali dari syari’at islam. Hukum

syara’ melibatkan pembicaaraan tentang pembagian hukum syara’, hakim (pembuat hukum),

al-mahkum fih (perbuatan manusia), dan tentang al-mahkum ‘alaih (mukalaf).

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “ mencegah” atau “memutuskan”.

Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti:

Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla

(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir

(kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau

Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]).

Ayat-ayat atau hadis-hadishukum dapat dikatagorikan kepada beberapa macam;

a.     Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu

sifatnya wajib.

b.    Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatya haram.

c.    Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan peebuatan yang dianjurakan untuk dilakukan

itu sifatnya mandub.

d.    Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan

itu sifatnya makruh.

e.    Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan

yang diberi pilih untuk dilakukan atu ditinggalkan itu sifatnya mubah.

f.     Menetapkan sesuatu sebagai sebab.

g.    Menetapkan sesuatu sebagai syarat.

h.     Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang).

i.      Menetapkan sesuatu sebagaikriteria sah dan fasad/batal.

j.      Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhsah.

B.       Pembagian Hukum Syara’

Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu

hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah:

Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan

orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran

untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau

tidak berbuat.

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah:

Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang

menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi.

Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:

a.         Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan

terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu

peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajub

dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir

di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.

b.        Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuanseorang

mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang di luar kemampuan manusia dan

bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya seperrti dalam contoh di atas tadi, keadaan

tergelincir matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan

aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya

(tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat zuhur.

Pembagianhukumsyara’ sebagaiberikut:

1)    Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau

ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan

ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya atau tidak melakukannya

atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat.

Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim

(haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).

1) Ijab (wajib) adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan

tuntutan pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang

ruku’.”

2) Nadb (sunah)adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan

perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya,

firman Allah surat Al-Baqarah [2]:282:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai

tentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”

3) Tahrim (haram) adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu

perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah

ayat 3:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.”

4) Karahah (makruh) adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu

perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak

berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:

enanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya

menyusahkanmu.”

5) Ibahah (mubah) adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam

surat Al-Baqarah ayat 235:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.”

Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu dengan membagi

firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian,

yaitu fardhu dan ijab.

Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dengan dalil yang qath’i, seperti

dalil Al-Quran dan hadis mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan

itu berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila

larangan itu berdasarkan dalil zhanny, maka ia disebut karahah tahrim.

Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada

fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.

Sekalipun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian,

tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti yang

telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan

mukalaf dan efek itulah yang dinamakn al-hakam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib,

haram, mandub, makruh, dan mubah.

1.   Wajib

a). PengertianWajib

Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:

“Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ k epada mukallaf untuk

memperbuatnya dalam tuntutan keras.”

Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala

dan jika ditinggalkan akan berdosa.

Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang

ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman Allah:

Artinya: “... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14)

Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang

menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ....” (QS. Al-Baqarah: 183)

b).  PembagianWajib

Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:

1)      Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,wajib dapat dibagi

dua:

a.       Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca

fatihah dalam shalat.

b.      Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang

telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif, memberi makan

sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan

budak.

2)      Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mengerjakan yang

diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam:

a.   Wajib muwassa’, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas

atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang

tersedia untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang

terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan

pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika wajib muwassa’

ingin dikerjakan pada pertengahan atau akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah

berniat setelah tiba waktunya (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang

diinginkan karena kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan

waktu.

b.   Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan

waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri

menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat

ditunda dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya.

3)      Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:

a.       Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap

mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat,

puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.

b.      Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika ada salah

seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak

ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti

amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain

sebagainya.

4)      Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:

a.       Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara’ bentuk perbuatan yang dituntut dan

mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum melaksanakan seperti yang

telah dituntut oleh syara’ atau dengan kata lain adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar

atau jumlahnya. Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah

ditetapkan waktunya, jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan jenis

benda yang wajib dizakati dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau

tidak dilaksanakan maka menjadi hutang dan boleh diambil dengan paksa.

b.      Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang tidak ditentukan

cara pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya,

seperti infak fi sabilillah, memberi bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong,

dan lain sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang

dan tidak boleh dipaksa.

2.    Mandub

a).   PengertianMandub

Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah:

“ Yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf namun tnututannya tidak

begitu keras.”

Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi

bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa atau dosa (‘iqab).

Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti

dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan” atau dibawakan dalam bentuk amar

namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri.

Seperti dalam firman Allah:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (hutang

piutang) tidak secara tunai hendaklah kamu menulisnya ....” (QS. Al-Baqarah 282)

Dalam ayat lain diterangkan:

Artinya: “... maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya....” (QS. Al-

Baqarah 282)

Ayat yang kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub

(sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar yang

mempunyai arti wajib ke arti mandub melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih

dan mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

b).   PembagianMandub

Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi menyamakn arti sunat dan nafal dengan

mandub, mandub menurut mereka ada tiga macam:

1)      Sunat Hadyi ialah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk menyempurnakan perbuatan

wajib seperti azan dan shalat berjamaah. Orang yang meninggalkan perbuatan yang seperti

ini dikatakan tersesat dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung bersepakat

meninggalkannya maka mereka dapat diperangi.

2)      Sunat Zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagia sifat terpuji

bagi mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai manusia biasa seperti dalam makan,

minum, tidur dan sebagainya dan kalau perbuatan itu dilakukan menjadi kebaikan bagi

mukallaf dan kalau ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.

3)      Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagai pelengkap dari perbuatan

wajib dan sunat seperti shalat sunat. Perbuatan yang seperti itu kalau diperbuat akan

memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak akan mendapat siksa dan tidak pula dicela.

Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:

a)      Sunat ‘ain, ialah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk

dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.

b)      Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah

seorang saja dari suatu kelompok, seperti mengucapkan salam, mendoakan orang bersin, dan

lain sebagainya.

Para ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i membagi mandub menjadi dua macam ialah:

1)      Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan

siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang menjadi

pelengkap perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan

akikah, karena perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW. hanya

sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun

digemari oleh beliau.

2)      Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak

dicela meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata

lain yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul,.

3.   Haram

a).  Pengertian Haram

Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:

“apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.”

Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa

dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.

Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal nash seperti dalam firman Allah:

Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang

disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-Maidah 3)

b).   Pembagian Haram

Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:

1)      Haram li zatihi, ialah haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram

seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya

membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.

2)      Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena

faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah

menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa

Ramadhan yang semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa

itu akan menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya.

Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang

dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:

1)      Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir

dan Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ini sebagi kebalikan fardhu. Contohnya

seperti larangan berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra’.

2)      Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti

ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti

larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang diterangkan

dalam hadis ahad yang diantaranya:

“kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin

Thalib)

4.   Makruh

a).  PengertianMakruh

Makruh menurut para ahli ushul ialah:

“apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.”

Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau

dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap,

dan lain sebagainya.

b).  PembagianMakruh

Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:

1)      Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada

mengerjakan.

2)      Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu

zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular

(menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).

5.   Mubah

a.   PengertianMubah

Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah:

“apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih anatara

memperbuat atau meninggalkannya.”

b.   PembagianMubah

Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:

Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak

memperbuat

1)      Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan akan dapat memberi

kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya

2)      Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang seperti inui kembali

pada kaidah bara’tul ashliyah.

2)   Hukum Wadh’i

Seperti yang telah disebutka di atas, hukum wadh’i adalah ketentuan syari’at dalam

bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan mani’. Dengan demikian hukum wadh’i

terbagi kepada tiga macam, yaitu:

1.    Sebab

a.     Pengertian sebab

Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada

sesuatu yang lain”. Dengan lantaran adanya sebab, wajib adanya akibat. Sebaliknya,

ketiadaan sebab menyebabkan ketiadaan akibat. Menurut istilah ushul fiqh, sepeti yang

dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, sebab berarti:

“Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya

sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”

b.    Macam-macam sebab

1)        “Sebab”, kadang-kadang menjadi sebab pada hukum Taklifi. Misalnya waktu, yang

menjadi sebab kewajiban mendirikan shalat, karena firman Allah SWT yang artinya:

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS.al-Isra:78)

Menyaksikan hilal Ramadhan, menjadi sebab kewajiban berpuasa, sebagaimana firman Allah

SWT yang artinya:

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,

maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu”. (QS.al-Baqarah:185)

2)        Kadang-kadang “sebab” itu menjadi sebab untuk menetapkan kepemilikan, kehalalan atau

emnghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan

menghilangkan kepemilikan, memerdekakan budak dan wakaf untuk menggugurkan

kepemilikan, atau akad perkawinan untuk menetapkan kehalalan.

3)        Kadang-kadang “sebab” itu berupa perbuatan yang mampu dilakukan mukalaf, seperti ia

membunuh secara sengaja menjadi sebab kewajiban qishash. Akad jual beli, perkawinan,

atau lainnya menjadi sebab adanya hukum atas perbuatan-perbuatan tersebut.

4)        Kadang-kadang “sebab” berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan mukallaf. Seperti

masuk waktu yang menjadikan sebab kewajiban shalat. Hubungan kerabat menjadi sebab

adanya hak waris dan pewaris. Sifat kecil menjadi sebab keharusan perwallian atas si kecil

tersebut.

2.    Syarat

a.     Pengertian Syarat

Menurut bahasa kata syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang

lain” atau “sebagai tanda”. Tidak adanya syarat menjadikan tidak adanya yang disyaratkan,

tetapi adanya syarat belum tentu menjadikan adanya yang disyaratkan. Menurut istilah Ushul

Fiqh, seperti yang dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, syarat adalah:

“Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat

sesuatu itu”.

Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat

tergantung adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian

dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya

akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun.

b.    Pembagian Syarat

Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:

1)        Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri. Misalnya, keadaan

rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi

seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta

miliknya kepadanya

2)        Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Misalnya,

seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah

talakmu satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk

membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar hutangnya.

3.    Mani’

a.    Pengertian Mani’

Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi,

seperti dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, kata mani’ berarti:

Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang

bagi berfungsinya suatu sebab.

Misalnya, seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya, tetapi terhalang untuk

dilakukan qishash, karena si pembunuh adalah ayah korban itu sendiri.

b.     Pembagian mani

Para ahli Ushul Fiqh membagi mani’ kepada dua macam:

1)        Mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya

hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ bagi kecakapan

wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu

haid.

2)        Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai pengahalang bagi

berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat

hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta satu nisab, menjadi sebab seseorang

mengeluarkan zakat. Namun, karena orang tersebut dalam keadaan berhutang di mana hutang

itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fikih hutang itu

menjadi mani’ bagi wajib zakat harta itu.

4.   Rukhsah dan ‘Azimah

a.   Pengertian Rukhsah

Secara bahasa rukhsah berarti kemudahan dan kelapangan. Secara istilah rukhsah

adalah ketentuan yang di syari’atkan oleh Allah sebagai keringanan untuk orang mukallaf

dalam hal-hal yang khusus atau kondisi-kondisi tertentu. Dengan demikian, rukhsah terjadi

pada saat seorang mukallaf mengalami masa-masa yang sulit dan darurat yang dikehendaki

adanya kemudahan dari Allah Swt.

b.   Pembagian Rukhsah

Rukhsah itu adabebrapa macam antara lain:

1)      Membolehkan hal-hal yang haram disebabkan kondisi darurat. Misalnya membolehkan

memakan bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya kaena dalam keadaan kelaparan

dan tidak ada makanan lain kecuali bangkai itu.

2)      Membolehkan meninggalkan suatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya diperbolehkan

tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena ada uzur seperti sakit atau dalam keadaan

bepergian.

3)      Memberikan pengecualian sebagian perikatan karena di hajat dalam lalu lintas mu’amalah.

Misalya salam, yakni perikatan jual beli barang yang belum ada wujudnya saat perikatan

dilakukan, tetapi harganya telah dibayar terlebih dahulu. Perikatan itu sah, secara rukhsah.

4)      Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syari’at terdahulu. Misalnya mencuci

pakaian yang kena najis dengan air yang suci,sebagai rukhsah terhadap tata cara mensucikan

pakaian yang kena najis menurut syari’at sebelum islam, yakni dengan memotong bagian

pakaian yang kena najis itudan melakukan taubat sebagai rukhsah terhadap tata cara diri

menyatakan penyesalan diri dari suatu maksiatdengan membunuh diri, sebagaimana

dilakukan oleh umat terdahulu.

Segala macam rukhsah sebagaimana tersebut diatas sebenarnya hanya kembali kepada

kaidah-kaidah yang berbunyi: ad-dharurat tubihul mahdhurat (kemudharatan itu

menghalalkan yang terlarang).

c.   Pengertian ‘Azimah

Adapun Azimah secara bahasa berarti tekad yang kuat. Secara istilah ulama Ushul Fiqh

mendefinisikannya dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah Swt kepada semua hamba-

Nya sejak semula. Ia merupakan peraturan syara’ yang asli yang berlaku umum. Artinya dia

di syariatkan sebagai aturan umum bagi seluruh mukallaf dalam keadaan normal. Misalnya

bangkai, menurut asli adalah haram dimakan oleh semua mukallaf. Akan tetapi bagi yang

keadaan terpaksa, diperkenankan memakannya, asal tidak berlebih-lebihan. Haramnya

bangkai adalah azimah,sedangkan boleh memakannya dalam keadaan terpaksa adalah

rukhsah.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

  Dari uraian makalah di atas dapat di simpulkan bahwa hukum taklifi merupakan

firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau

memilih antara berbuat/meninggalkan sehingga menurut jumhur ulama’ ushul fiqih ada lima,

yaitu: ijab, Nadb,ibahah,karahah, karahah tanzihiyah, karahah tahrimiyah,tahrim. Hukum

wadh’I merupakan firman Allah yang menuntut untuk mnjadikan sesuatu yang sebab , syarat,

atau penghalang dari yang lain . sebab sendiri memiliki pengertian seuatu yang oleh pembuat

hukum (syar’i) di jadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadikan akibatnya .

syarat, sesuatu yang beraada di luar hukum syara’, tetapi bergantung padanya.

Daftar Pustaka

 Thoha Chabib , MA, fiqih, CV.Gani &Son, semarang,2004

Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh,PT. LOGOS Wacana Ilmu.jakarta,1997.

Syafe’i Rachmat,MA. Ilmu Ushul Fiqih,.Pustaka Setia, Bandung,2007,

Wahab khalaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah, Perss,Bandung,1996.