v. hasil penelitian dan pembahasan - repository.ipb.ac.id v... · v. hasil penelitian dan...

116
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Indentifikasi Faktor Pendorong Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB 5.1.1. Proses Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB terbentuk pada tanggal 28 Juni 2003 berdasarkan Keputusan Bersama Bupati Banjarnegara, Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap, dan Bupati Kebumen, Nomor: 130.A Tahun 2003; Nomor: 4 Tahun 2003; Nomor: 36 Tahun 2003; Nomor: 48 Tahun 2003 dan Nomor: 16 tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional Marketing Antar Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Pemerintah Kabupaten Purbalingga, Pemerintah Kabupaten Banyumas, Pemerintah Kabupaten Cilacap dan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Terbentuknya lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB sebenarnya melalui proses yang cukup panjang. Berawal dari pelaksanaan Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergi Daya Saing dalam Globalisasi dan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan oleh Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, di Semarang tanggal 4 April 2002, yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah, konsep Regional Management dan Regional Marketing mulai diperkenalkan kepada beberapa daerah yang berpotensi untuk melakukan regionalisasi (Abdurahman, 2009). Berdasarkan dukungan akademik tersebut, apresiasi pembentukan lembaga kerjasama antar daerah muncul dari Ketua APKASI (Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia) Koordinator Wilayah Jawa Tengah yang juga menjabat sebagai Bupati Purbalingga. Pada kegiatan Rakor APKASI Koordinator Wilayah Jawa Tengah pada tanggal 19 Oktober 2002 bertempat di “Café Maharani” Purwokerto, dengan didampingi Tim UNDIP, melakukan diskusi intensif dengan Bupati Banjarnegara, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen sebagai “aktor regional potensial” untuk membentuk regionalisasi di wilayah “banyumasan” (Abdurahman, 2009).

Upload: doanthuan

Post on 05-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Indentifikasi Faktor Pendorong Terbentuknya Lembaga Kerjasama

Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

5.1.1. Proses Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB terbentuk pada

tanggal 28 Juni 2003 berdasarkan Keputusan Bersama Bupati Banjarnegara,

Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap, dan Bupati Kebumen,

Nomor: 130.A Tahun 2003; Nomor: 4 Tahun 2003; Nomor: 36 Tahun 2003;

Nomor: 48 Tahun 2003 dan Nomor: 16 tahun 2003 Tentang Pembentukan

Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional Marketing Antar

Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Pemerintah Kabupaten Purbalingga,

Pemerintah Kabupaten Banyumas, Pemerintah Kabupaten Cilacap dan Pemerintah

Kabupaten Kebumen. Terbentuknya lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB sebenarnya melalui proses yang cukup panjang. Berawal

dari pelaksanaan Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergi Daya Saing dalam

Globalisasi dan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan oleh Magister

Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, di Semarang tanggal 4

April 2002, yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah kabupaten/kota di Jawa

Tengah, konsep Regional Management dan Regional Marketing mulai

diperkenalkan kepada beberapa daerah yang berpotensi untuk melakukan

regionalisasi (Abdurahman, 2009).

Berdasarkan dukungan akademik tersebut, apresiasi pembentukan lembaga

kerjasama antar daerah muncul dari Ketua APKASI (Asosiasi Pemerintahan

Kabupaten Seluruh Indonesia) Koordinator Wilayah Jawa Tengah yang juga

menjabat sebagai Bupati Purbalingga. Pada kegiatan Rakor APKASI Koordinator

Wilayah Jawa Tengah pada tanggal 19 Oktober 2002 bertempat di “Café

Maharani” Purwokerto, dengan didampingi Tim UNDIP, melakukan diskusi

intensif dengan Bupati Banjarnegara, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan

Bupati Kebumen sebagai “aktor regional potensial” untuk membentuk

regionalisasi di wilayah “banyumasan” (Abdurahman, 2009).

100

Dalam kegiatan diskusi ini berkembang kesadaran, kemauan politik

(political will) dan upaya nyata kabupaten terkait di wilayah ini dalam

mensinergikan berbagai potensi dan kekuatan lokal secara bersama. Krisis

ekonomi yang berkelanjutan dan implikasi pelaksanaan otonomi daerah memberi

dorongan bagi beberapa daerah di wilayah selatan Jawa Tengah ini untuk

melakukan konsolidasi dan kebijakan strategis yang bersifat regional. Tumbuhnya

kesadaran untuk mensinergikan berbagai potensi dan kekuatan lokal secara

bersama, ditindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi kepada para pejabat teknis

di tingkat kabupaten mengenai pentingnya kegiatan kerjasama antar daerah dalam

bentuk Regional Management pada tanggal 11 November 2002. Pada kegiatan ini

disepakati perlunya membentuk “Tim Persiapan” pembentukan lembaga

kerjasama antara daerah “BARLINGMASCAKEB”. Nama ini diambil dari

akronim lima kabupaten yang bersepakat melakukan kerjasama antar daerah yaitu

Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas,

Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kebumen. Anggota dari “Tim Persiapan”

adalah para kepala Bappeda atau pejabat lain yang ditunjuk yang berasal dari

perwakilan lima kabupaten di wilayah “banyumasan’. Dalam kegiatan ini juga

disepakati perlunya landasan hukum bagi pelaksanaan kerjasama antar daerah.

Untuk itu perlu dibuat suatu letter of Agreement dalam bentuk kesepakatan

bersama lima bupati untuk melakukan kerjasama antar daerah dan Memorandum

of Understanding (MoU) berupa keputusan bersama lima bupati tentang

pembentukan lembaga kerjasama antar daerah. Pembuatan draf kesepakatan

bersama dan keputusan bersama ini menjadi tugas dari ‘Tim Persiapan” tersebut.

Embrio kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB ini kemudian

terwujud setelah dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama antar lima

bupati di wilayah “banyumasan” untuk melakukan kerjasama antar daerah melalui

penerapan konsep Regional Management yang diorientasikan pada kegiatan

Regional Marketing. Penandatanganan Kesepakatan Bersama (letter of

Agreement) lima bupati dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2002 bertempat

di Gedung Graha Bhakti Praja BAKORLIN Wilayah III Purwokerto. Dalam

kegiatan ini sekaligus dilakukan kegiatan sosialisasi konsep dimaksud kepada

jajaran legislatif dan stakeholders yang lain.

101

Kemauan bersama untuk membentuk wadah kerjasama antar daerah dalam

kerangka pembangunan regional lima kabupaten pada akhirnya terwujud melalui

penandatanganan Keputusan Bersama Bupati (KBB) Banjarnegara, Purbalingga,

Banyumas, Cilacap, dan Kebumen, Nomor 130.A Tahun 2003; Nomor 4 Tahun

2003; Nomor 36 Tahun 2003; Nomor 48 Tahun 2003 dan Nomor 16 Tahun 2003

tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional

Marketing Antar Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Pemerintah Kabupaten

Purbalingga, Pemerintah Kabupaten Banyumas, Pemerintah Kabupaten Cilacap

dan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Penandatanganan Keputusan Bersama

Bupati ini dilakukan di Hotel Queen Garden Baturaden pada tanggal 28 Juni 2003

setelah mendapat persetujuan dari DPRD masing-masing kabupaten sebagai

wujud dukungan lembaga legislatif sebagaimana diatur dalam peraturan

perundangan.

Penandatanganan Keputusan Bersama lima bupati tersebut telah menjadi

dasar operasionalisasi kegiatan dari lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB. Atas dasar hal tersebut, pada tanggal yang sama para

bupati sebagai anggota Forum Regional langsung melaksanakan rapat

membentuk Dewan Eksekutif sebagai pelaksana operasional dalam menjabarkan

kebijakan-kebijakan Forum Regional. Dalam rapat tersebut disepakati Bupati

Purbalingga sebagai Ketua Dewan Eksekutif sedangkan Sekretaris Dewan

Eksekutif dijabat oleh Kepala Badan Koordinasi Pembangunan Lintas

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah wilayah III.

Untuk menunjang keberlangsungan aktivitas Regional Management

BARLINGMASCAKEB, pada tanggal 13 Agustus 2003 Forum Regional

kembali melakukan pertemuan dengan agenda menetapkan kelengkapan

perangkat kelembagaan yang diperlukan bagi organisasi kerjasama antar daerah

tersebut agar bisa berjalan. Dari kegiatan pertemuan tersebut disepakati hal-hal

sebagai berikut; (1) menyetujui Logo, Stempel, dan Kop Surat Lembaga

kerjasama Regional Management BARLINGMASCAKEB; (2) memerintahkan

kepada Dewan Eksekutif untuk melakukan rekruitmen bagi calon Regional

Manager; (3) mengangkat caretaker Regional Manager untuk menjalankan tugas

102

operasional harian lembaga kerjasama sampai terpilihnya Regional Manager yang

definitif.

Meskipun kelengkapan perangkat kelembagaan organisasi sebagaimana

tercermin dari hasil kesepakatan rapat Forum Regional Regional Management

BARLINGMASCAKEB menjadi persyaratan bagi berlangsungnya aktivitas

lembaga kerjasama antar daerah namun, efektivitas kelembagaan dari lembaga

tersebut sangat tergantung dari struktur kelembagaan yang dibentuknya. Struktur

kelembagaan Regional Management (RM) BARLINGMASCAKEB sebagaimana

tertuang dalam Keputusan Bersama lima bupati dikelompokkan menjadi tiga

bagian yaitu:

1. Forum Regional. Struktur ini memiliki fungsi sebagai pemegang kewenangan

tertinggi dalam menentukan semua kebijakan RM BARLINGMASCAKEB.

Anggota dari Forum Regional adalah para bupati dari lima kabupaten anggota.

2. Dewan Eksekutif. Struktur ini memiliki fungsi sebagai pembantu dalam

menjabarkan kebijakan-kebijakan umum yang telah dibuat oleh Forum

Regional agar menjadi lebih operasional. Susunan organisasi Dewan eksekutif

terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris dan anggota. Ketua Dewan

Eksekutif dijabat oleh salah satu bupati secara bergiliran dalam jangka waktu

1 (satu) tahun. Sekretaris Dewan Eksekutif tidak merangkap anggota dijabat

oleh Kepala Badan Koordinasi Pembangunan Lintas Kabupaten/Kota Privinsi

Jawa Tengah Wilayah III, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh

bendahara dan seorang tenaga administrasi. Anggota Dewan Eksekutif terdiri

dari perwakilan daerah yang masing-masing daerah diwakili oleh 1 (satu)

orang.

3. Regional Manager. Struktur ini memiliki fungsi sebagai pelaksana operasional

kegiatan dari RM BARLINGMASCAKEB. Dalam menjalankan aktivitasnya

Regional Manager dibantu oleh seorang sekretaris dan masing-masing satu

orang analis perekonomian dan investasi dan analis pemasaran

Adapun Bagan Struktur Organisasi dari lembaga Regional Management

BARLINGMASCAKEB sebagaimana terdapat dalam lampiran Surat Keputusan

Bersama lima bupati adalah sebagai berikut:

103

Sumber: RM. BARLINGMASCAKEB, 2011

Gambar 13 Bagan Struktur Organisasi Regional Management BARLINGMASCAKEB 5.1.2. Motif Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah

BARLINGMASCAKEB Dalam prosesnya, kerjasama antar daerah ini dapat berjalan dengan baik.

Hal ini karena didukung oleh beberapa faktor (Abdurahman 2009). Pertama,

adanya kesamaan aspek sosio kultural. Salah satu alasan mengapa kelima

kabupaten mau bergabung dalam lembaga kerjasama antar daerah karena adanya

kesamaan budaya, khususnya budaya banyumasan yang telah mengakar di

masyarakat. Aspek kultur-historis yang mewariskan ‘ikatan kekeluargaan’ ini

mendukung suatu iklim komunikasi yang kondusif di antara aktor regional terkait

dalam membentuk platform kerja sama.

Kedua, adanya berbagai potensi & produk unggulan yang berasal dari

sektor pertanian. Mayoritas kegiatan ekonomi masyarakat dan kontribusi PDRB

terbesar di lima daerah terkait ini berbasis pada sektor pertanian. Luasnya lahan

pertanian yang dimiliki membentuk karakteristik masyarakat yang relatif seragam.

FORUM REGIONAL

DEWAN EKSEKUTIF (KETUA & 5 ANGGOTA SEBAGAI WAKIL KABUPATEN)

SEKRETARIAT DEWAN EKSEKUTIF:

SEKRETARIS BENDAHARA TENAGA ADMINSTRASI

REGIONAL MANAGER SEKRETARIS

ANALIS PEREKONOMIAN &

INVESTASI

ANALIS PEMASARAN

F O R U M

M U L T Y S T A K E H O L D E R S

F A S I L I T A T O R P E M P U S & P R O P

BUPATI BANJARNE

GARA

BUPATI PURBALING

GA

BUPATI BANYUMAS

BUPATI KEBUMEN

BUPATI CILACAP

104

Hal ini merupakan modal besar sekaligus tantangan untuk mengarahkan

pengembangan produk-produk pertanian agar menjadi lebih inovatif, integratif,

dan kompetitif.

Ketiga, adanya sarana dan prasarana yang saling melengkapi. Prasarana

perhubungan jalan telah menghubungkan kelima daerah sehingga mobilitas

manusia, barang dan jasa, serta informasi dapat berjalan lancar. Sarana ini juga

telah memperlancar aliran perdagangan di antara kelima daerah menjadi lebih

intensif dan semakin kuat dari waktu ke waktu. Hanya saja, fakta di lapangan

menunjukkan bahwa di beberapa lokasi terdapat kondisi sistem transportasi yang

buruk dan belum menjangkau desa-desa yang terisolir, khususnya di desa-desa

tertinggal. Kondisi ini justru menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi kelima daerah

melalui regional management untuk mencari terobosan-terobosan baru guna

mengaitkan potensi desa-desa tersebut ke dalam sistem perdagangan antar

wilayah. Apabila potensi-potensi tersebut sudah saling terkait maka peran

pelabuhan udara dan laut yang terdapat di wilayah ini menjadi sangat penting

untuk memasarkan produk unggulan tersebut ke dalam sistem perdagangan yang

lebih luas

Berbagai faktor pendukung tersebut menggambarkan bahwa keterbatasan

potensi sumberdaya ekonomi di suatu daerah sebenarnya akan dapat lebih mudah

untuk dikembangkan apabila pengelolaannya dilakukan dengan cara bekerjasama

dengan daerah lain. Pengelolaan potensi sumberdaya ekonomi yang dilakukan

sendiri oleh masing-masing daerah dapat menciptakan inefisiensi. Inefisiensi

dapat terjadi antara lain karena kecilnya potensi ekonomi yang harus dikelola atau

adanya keterbatasan kemampuan daerah dalam pengelolaannya baik dari segi

pendanaan maupun kemampuan aparatnya. Dengan bekerjasama antar daerah

akan dapat menumbuhkan sinergi yang lebih besar dalam mengelola potensi

sumberdaya ekonomi secara bersama. Atas dasar alasan itulah para aktor regional

di wilayah ”banyumasan” membentuk lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah

dalam mengelola potensi sumberdaya ekonomi daerah melalui konsep regional

marketing untuk kepentingan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain,

motif pembentukan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

105

adalah untuk melakukan pemasaran bersama potensi ekonomi di masing-masing

daerah yang terbatas serta melakukan kerjasama dan sinergi antar daerah untuk

meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah. Adanya kegiatan pemasaran

potensi ekonomi di tingkat regional diharapkan dapat mendorong masuknya

investasi di berbagai sektor sehingga berdampak pada peningkatan kegiatan

ekonomi di daerah. Adanya peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor ini

akan berakibat pada penguatan skala ekonomi daerah yang pada gilirannya akan

berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Adanya motif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah dari

para pembuat kebijakan dalam pembentukan lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB tertuang dalam berbagai dokumen pembentukan dari

lembaga tersebut. Dalam Kesepakatan Bersama Bupati Banjarnegara, Bupati

Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen Dalam

Rangka Pembentukan Regional Management BARLINGMASCAKEB yang

ditandatangani pada tanggal 16 Desember 2002, pada poin ketiga secara tegas

dijelaskan bahwa salah satu kendala utama daerah dalam menghadapi otonomi

daerah adalah adanya keterbatasan potensi sumberdaya. Sedangkan kesepakatan

pada poin kelima dijelaskan bahwa dalam upaya meningkatkan efisiensi

pemanfaatan sumberdaya yang terbatas ketersediaannya bagi pembangunan

daerah dibutuhkan komunikasi, kerjasama dan sinergi antar daerah dalam bentuk

Regional Management dan Regional Marketing. Berikut kutipan lengkap poin 3

(tiga) dan poin 5 (lima) kesepakatan lima bupati dimaksud:

” 2. ............. 3. Bahwa keterbatasan kapasitas dan potensi sumberdaya merupakan

salah satu permasalahan dan kendala utama yang dihadapi daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.

4 ............ 5. bahwa untuk semakin meningkatkan efektivitas penyelenggaraan

pembangunan dan efisiensi pemanfaatan potensi sumberdaya yang terbatas ketersediaannya bagi pembangunan daerah, serta untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu mengakses pasar nasional maupun internasional dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini diperlukan komunikasi, kerjasama dan sinergi antar daerah dalam bentuk Regional Management dan Regional Marketing.”

106

(Kesepakatan Bersama Bupati Banjarnegara, Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen Dalam Rangka Pembentukan Regional Management BARLINGMASCAKEB)

Maksud dari butir kesepakatan di atas adalah bahwa untuk mengatasi

keterbatasan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah sumberdaya ekonomi yang

dimiliki oleh masing-masing daerah perlu diupayakan dengan melakukan

komunikasi, kerjasama dan sinergi antar daerah dalam bentuk platform kerjasama

antar daerah. Motif pembentukan lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB sebagai upaya penguatan skala ekonomi daerah

dipertegas dalam isi dokumen Keputusan Bersama lima bupati tentang

pembentukan lembaga kerjasama Regional Management dan Regional Marketing

sebagaimana tertuang dalam pasal 4 sebagai berikut:

”Pasal 4 Tujuan diselenggarakannya kerjasama ini adalah untuk: 1. Mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar daerah

dan dalam pengelolaan serta pemanfaatan potensi daerah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya pembangunan

2. Sinkronisasi dalam penyusunan peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi dan investasi

3. Menghindari persaingan yang tidak sehat antar daerah 4. Memperkuat posisi tawar dan meningkatkan posisi daya saing daerah

agar mampu mengakses pasar nasional dan internasional dalam era globalisasi ekonomi

5. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam promosi potensi daerah 6. Membangun kemitraan antar daerah, antar pemerintah kabupaten

dengan pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dunia usaha serta dengan lembaga non pemerintah di tingkat nasional maupun internasional”

(Keputusan Bersama Bupati Banjarnegara, Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen Tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional Marketing Antar Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Pemerintah Kabupaten Purbalingga, Pemerintah Kabupaten Banyumas, Pemerintah Kabupaten Cilacap dan Pemerintah Kabupaten Kebumen). Isi pasal 4 dari Keputusan Bersama lima bupati di atas menjadi landasan

kerja bagi Dewan Eksekutif maupun Regional Manager dalam menjalankan tugas-

tugasnya. Dengan mengacu pada isi pasal 4 di atas, dalam melakukan pemasaran

potensi wilayah di lima kabupaten, dengan bekerjasama dengan SKPD terkait,

Dewan Eksekutif dan Regional Manager memfokuskan pada kegiatan

107

memfasilitasi masuknya investor di lima kabupaten anggota, pemasaran produk-

produk daerah melalui kegiatan perdagangan dan kegiatan pengembangan wisata

regional. Dengan fokus pada tiga kegiatan tersebut diharapkan aktivitas ekonomi

wilayah menjadi meningkat sehingga berdampak pada penguatan skala ekonomi

daerah.

5.1.3. Skala Ekonomi Daerah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

Pemberian otonomi pada daerah kabupaten/kota di Indonesia berimplikasi

pada terjadinya pengkotak-kotakan wilayah berdasarkan batas-batas wilayah

administratifnya. Otonomi tidak hanya berupa pemberian kewenangan

pengelolaan pemerintahan kepada daerah, namun juga pemberian kewenangan

pengelolaan potensi ekonomi daerah oleh masing-masing pemerintah daerah.

Dengan terbaginya wilayah Indonesia ke dalam wilayah-wilayah administratif

kabupaten/kota, potensi ekonominya pun juga ikut terbagi berdasarkan

keberadaan potensi ekonomi tersebut pada masing-masing wilayah

kabupaten/kota. Terbatasnya potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing

daerah kabupaten/kota sebagai akibat dari penerapan otonomi daerah

menyebabkan skala ekonomi daerah di masing-masing kabupaten/kota menjadi

rendah.

Tingkat skala ekonomi daerah sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya

aktivitas ekonomi yang terjadi di daerah tersebut. Sedangkan besar kecilnya

aktivitas ekonomi sangat dipengaruhi oleh penggunaan faktor produksi seperti

besarnya investasi, penggunaan tenaga kerja dan pemanfaatan potensi sumberdaya

alam untuk kegiatan ekonomi di masing-masing daerah. Berikut dijelaskan

pemanfaatan faktor produksi ekonomi yang dapat menggambarkan kondisi skala

ekonomi di lima kabupaten sebelum terbentuknya lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB.

1. Investasi Daerah

Masuknya investasi di daerah menjadi salah satu faktor penentu besar

kecilnya skala ekonomi daerah. Dengan masuknya investasi dapat digunakan

untuk membiayai pembangunan di berbagai sektor sehingga kegiatan ekonomi

108

daerah akan menjadi berkembang. Tabel berikut menggambarkan besarnya

investasi yang masuk di lima kabupaten dari tahun 2000 sampai dengan tahun

2003.

Tabel 22 Jumlah Investasi Yang Masuk di Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Kabupaten Lain di Provinsi Jawa Tengah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (Rupiah)

Kabupaten /Provinsi

Tahun 2000 2001 2002 2003

Banjarnegara

48,440,550,300

48,347,555,320 48,877,405,213 53,367,996,960

Purbalingga

28,201,000,000

28,394,000,000

28,519,000,000

76,192,218,890

Banyumas

41,096,692,000

43,202,319,000

43,835,798,000

45,471,043,000

Cilacap

1,369,813,068,000

1,372,866,539,000

1,373,467,819,000

1,373,889,106,000

Kebumen

209,457,500,000

209,770,000,000

214,177,500,000

217,155,000,000 Rata-Rata Kabupaten di Jawa Tengah 555,539,714,286 614,738,400,000 696,914,914,286 790,634,742,857

Sumber:Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah, LPJ Tahunan Bupati Banjarnegara, Puralingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen.

Dari tabel di atas terlihat bahwa pada tahun 2003 Kabupaten Cilacap

menduduki peringkat tertinggi dalam penyerapan investasi daerah yang mencapai

lebih dari 1,4 trilyun rupiah. Kabupaten Kebumen hanya pada kisaran 217,15

milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas

hanya pada kisaran antara 31,5 milyar rupiah sampai dengan 53,36 milyar rupiah.

Apabila dilihat dari sarana dan prasarana wilayah yang tersedia,

Kabupaten Cilacap memang memungkinkan untuk dapat menyerap investasi

daerah lebih tinggi dibandingkan dengan lima kabupaten lainnya. Dengan

memiliki infrastruktur perhubungan yang memadahi seperti adanya pelabuhan

samudera dan pelabuhan udara serta akses jalan darat yang mudah baik dari

Jakarta, Bandung, Yogyakarta maupun Semarang, menjadikan Kabupaten Cilacap

menjadi tempat yang ideal sebagai daerah kawasan industri sehingga lebih

memudahkan untuk menarik investor di kabupaten tersebut.

Besarnya investasi yang masuk ke suatu daerah menggambarkan

penggunaaan faktor produksi modal bagi kegiatan perekonomian di daerah

109

tersebut. Dari Tabel 22 di atas terlihat bahwa pemanfaatan modal (investasi)

dalam kegiatan perekonomian di lima kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB, kecuali untuk Kabupaten Cilacap, relatif rendah jika

dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Tengah. Pemanfaatan faktor

produksi modal dalam kegiatan perekonomian Kabupaten Cilacap lebih tinggi

dibandingkan dengan rata-rata pemanfaatan modal di kabupaten lainnya di Jawa

Tengah karena karakteristik Kabupaten Cilacap sebagai kawasan industri

sehingga lebih mudah untuk menarik investasi ke wilayah ini.

Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa skala ekonomi kabupaten di

wilayah BARLINGMASCAKEB, kecuali untuk Kabupaten Cilacap, dilihat dari

sisi penggunaan faktor produksi modal masih kecil. Untuk itu diperlukan upaya

penguatan skala ekonomi daerah dengan mendorong masuknya investasi ke

wilayah ini. Dengan bekerjasama antar daerah upaya ini akan dapat lebih mudah

untuk dilakukan. Dengan memanfaatkan kesamaan potensi daerah secara bersama,

misalnya produksi hasil pertanian, dapat membuka peluang masuknya investor

pada kegiatan agro industri berbasis kawasan. Dengan bekerjasama promosi

potensi ekonomi daerah dapat dilakukan secara bersama sehingga efisiensi

pembangunan akan dapat dicapai. Kerjasama antar daerah juga dapat dilakukan

dengan memanfaatkan keragaman potensi wilayah yang ada. Sebagai contoh

Kabupaten Banjarnegara sebagai penghasil komoditas pertanian buah salak dapat

mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian tersebut sedangkan

pemasarannya dapat dilakukan di Kabupaten Banyumas yang memiliki sarana dan

prasarana perdagangan yang lebih baik. Pada intinya apabila masuknya investasi

dapat digunakan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian di tingkat wilayah

maka aktivitas ekonomi daerah akan meningkat sehingga berdampak pada

penguatan skala ekonomi daerah.

2. Penyerapan Tenaga Kerja

Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur besar kecilnya

tingkat skala ekonomi daerah adalah tingkat penyerapan tenaga kerja pada pasar

kerja. Sebagai contoh, apabila suatu perekonomian dapat mencapai kondisi full

employment, hal ini memberikan arti bahwa faktor produksi tenaga kerja dalam

perekonomian tersebut dapat digunakan secara optimal. Penggunaan faktor

110

produksi tenaga kerja yang optimal dalam suatu aktivitas perekonomian

memberikan makna bahwa perekonomian di wilayah tersebut memiliki skala yang

cukup karena dapat mendayagunakan semua tenaga kerja yang ada ke dalam pasar

kerja yang tersedia.

Dalam kenyataannya kondisi full employment dalam perekonomian suatu

wilayah sangatlah sulit untuk dicapai. Hal ini bisa disebabkan karena lapangan

pekerjaan yang tersedia tidak sebanyak jumlah tenaga kerja yang ada, atau tenaga

kerja tidak mau masuk dalam pasar tenaga kerja karena pekerjaan yang ada tidak

sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Di negara berkembang, seperti halnya

di Indonesia, apabila terjadi situasi perekonomian tidak tercapai kondisi full

employment lebih disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja yang tersedia

sehingga tidak semua tenaga kerja bisa masuk dalam pasar kerja. Kondisi tidak

terserapnya tenaga kerja dalam pasar tenaga kerja yang tersedia juga terjadi di

Indonesia, khususnya di wilayah BARLINGMASCAKEB sebagaimana dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 23 Jumlah Penduduk Bekerja, Pencari Kerja dan Angkatan Kerja di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan di Prov. Jawa Tengah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah

No. Kabupaten/

Provinsi Status

Ketenagakerjaan Tahun

2001 2002 2003 1 Banjarnegara Angkatan Kerja 370,927 398,928 424,919

Bekerja 357,731 383,451 402,976 Mencari Kerja 13,196 15,477 21,943

2 Purbalingga Angkatan Kerja 381,252 374,739 404,477 Bekerja 366,709 356,175 389,681 Mencari Kerja 14,543 18,564 14,796

3 Banyumas Angkatan Kerja 683,588 682,975 714,020 Bekerja 658,244 646,789 676,640 Mencari Kerja 25,344 36,186 37,560

4 Cilacap Angkatan Kerja 381,901 378,278 353,074 Bekerja 358,188 362,887 345,543 Mencari Kerja 23,715 15,391 17,531

5 Kebumen Angkatan Kerja 643,166 648,320 649,632 Bekerja 608,308 613,215 613,846 Mencari Kerja 34,858 35,105 35,786

6 Jawa Tengah Angkatan Kerja 15,644,337 16,236,550 16,257,270 Bekerja 15,065,387 15,654,856 15,724,082 Mencari Kerja 578,949 581,694 533,188

Sumber: Kabupaten dan Provinsi dalam angka tahun 2001 – 2003.

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2001 sampai dengan tahun

2003 pada saat kerjasama antar daerah belum dilakukan, di Kabupaten

111

Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen, pasar tenaga kerja

selalu tidak mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang tersedia. Bahkan tingkat

pengangguran atau tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan cenderung

meningkat.

96.19

94.70

95.93

97.87

96.3096.72

94.84

96.1296.44

96.3495.05

94.74

96.29

93.79

94.59 94.5594.58

96.42

91.0092.0093.0094.0095.0096.0097.0098.0099.00

2001 2002 2003

Tahun

Pers

enta

se

Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen Jawa Tengah

Sumber: Kabupaten dan Provinsi dalam angka tahun 2001 – 2003.

Gambar 14 Proporsi Penduduk Bekerja Terhadap Angkatan Kerja Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya

Lembaga Kerjasama Antar Daerah. .

Apabila dilihat dari tingkat proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap

angkatan kerja, persentase di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Banyumas

cenderung menurun. Kondisi ini memberikan arti bahwa dari sisi tingkat

penyerapan tenaga kerja, skala perekonomian di kedua kabupaten melemah

karena aktivitas perekonomiannya tidak mampu menyerap jumlah tenaga kerja

yang tersedia. Bahkan setiap tahunnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap

dalam pasar kerja semakin meningkat. Kondisi sebaliknya terjadi di Kabupaten

Cilacap. Proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap angkatan kerja di kabupaten

ini selalu meningkat. Hal ini dapat dimaknai bahwa tingkat skala ekonomi di

Kabupaten Cilacap pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 dilihat dari

indikator penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan.

Kondisi pasang surut penguatan skala ekonomi dari indikator tingkat

penyerapan tenaga kerja terjadi di Kabupaten Purbalingga. Hal ini ditunjukkan

dari penurunan persentase proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap angkatan

kerja di kabupaten tersebut pada tahun 2002, namun kembali naik seperti kondisi

semula pada tahun berikutnya. Di Kabupaten Kebumen, selama periode tahun

112

2001 sampai dengan 2003 proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap angkatan

kerja relatif tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan

perekonomian di Kabupaten Kebumen pada periode tahun tersebut relatif stabil

tetapi dengan tingkat skala ekonomi yang rendah jika dibandingkan dengan

kabupaten lainnya. Hal ini ditunjukkan bahwa pada periode tiga tahun dari mulai

tahun 2001 sampai dengan 2003 proporsi jumlah penduduk berkerja terhadap

angkatan kerja menunjukkan tingkatan yang paling rendah dengan rata-rata

sebesar 94,57 persen.

Untuk mengetahui secara umum apakah di lima kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB telah memiliki skala ekonomi yang cukup sebelum

terbentuknya lembaga kerjasama antar daerah berdasarkan indikator penyerapan

tenaga kerja maka perlu dilakukan perbandingan terhadap kondisi di Provinsi

Jawa Tengah berdasarkan indikator yang sama.

Tabel 24 Proporsi Jumlah Penduduk Bekerja Terhadap Angkatan Kerja di Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (%)

No. Kabupaten/

Provinsi Tahun Rata-Rata

2001 2002 2003 1 Banjarnegara 96.44 96.12 94.84 95.80 2 Purbalingga 96.19 95.05 96.34 95.86 3 Banyumas 96.29 94.70 94.74 95.24 4 Cilacap 93.79 95.93 97.87 95.86 5 Kebumen 94.58 94.59 94.55 94.57 6 Jawa Tengah 96.30 96.42 96.72 96.48

Sumber: Kabupaten dan Provinsi dalam angka tahun 2001 – 2003.

Tabel di atas menunjukkan bahwa secara parsial pada tahun-tahun tertentu

ada kabupaten yang persentase proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap

angkatan kerjanya lebih tinggi dari proporsi yang sama di Provinsi Jawa Tengah.

Namun, secara umum apabila diperbandingkan rata-rata proporsi jumlah

penduduk bekerja terhadap angkatan kerja dilima kabupaten dengan Provinsi Jawa

Tengah dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 rata-rata proporsi jumlah

penduduk bekerja terhadap angkatan kerja di wilayah Provinsi Jawa Tengah lebih

tinggi dibandingkan dengan proporsi yang sama di kelima kabupaten. Data ini

menunjukkan bahwa skala ekonomi daerah di kelima kabupaten sebelum adanya

113

lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB berdasarkan indikator

penyerapan tenaga kerja menunjukkan tingkatan yang rendah.

3. Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Alam

Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh daerah dapat menjadi faktor

produksi perekonomian di daerah tersebut. Dari sisi ekonomi, pemanfaatan

sumberdaya alam dapat meningkatkan output perekonomian daerah. Oleh karena

itu, pemanfaatan potensi sumberdaya alam di daerah dapat berpengaruh terhadap

peningkatan skala ekonomi daerah tersebut. Pemanfaatan potensi sumberdaya

alam agar dapat menghasilkan nilai ekonomi dapat dilakukan dengan dua cara.

Pertama, pemanfaatan sumberdaya alam agar bisa memberikan nilai tambah

ekonomi dengan cara secara apa adanya, seperti untuk kegiatan pariwisata. Kedua,

pemanfaatan sumberdaya alam dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi

dengan cara melakukan pengambilan atau pengolahan dari sumberdaya alam

tersebut, seperti kegiatan usaha pertambangan dan penggalian tambang. Pada

bagian ini akan dijelaskan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dalam

memberikan nilai tambah ekonomi di lima kabupaten sebelum pembentukan

lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB.

3.1. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Untuk Pariwisata

Potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan

pariwisata di Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan

Kebumen cukup melimpah. Kekayaan alam di wilayah ini terlihat dari banyaknya

ragam potensi obyek wisata yang dapat dikembangkan untuk dapat menghasilkan

nilai ekonomi. Potensi ini berupa: (1) potensi wisata alam seperti pemandangan

alam pegunungan, sentra produksi pertanian yang dapat dijadikan kawasan

agrowisata, sumber air panas, kawasan gua-gua kapur, batu-batuan geologi,

sampai hamparan pantai Pulau Jawa bagian selatan yang memanjang sepanjang

batas selatan Kabupaten Cilacap hingga Kabupaten Kebumen; (2) potensi wisata

buatan seperti waduk pembangkit tenaga listrik, kolam pemandian dan arena

bermain anak; (3) potensi wisata religi seperti petilasan dan peninggalan sejarah,

serta (4) potensi wisata budaya berupa produk budaya khas dari daerah masing-

masing seperti musik dan tarian khas daerah, sentra produksi batik dengan corak

khas daerah.

114

Untuk mengetahui tinggi rendahnya skala ekonomi daerah dilihat dari

pemanfaatan potensi sumberdaya alam untuk kegiatan pariwisata dapat dilihat dari

banyaknya obyek wisata yang telah memberikan manfaat ekonomi bagi daerah.

Tabel berikut menggambarkan perbandingan banyaknya obyek wisata yang telah

memberikan manfaat ekonomi di wilayah BARLINGMASCAKEB dengan

kabupaten lain di Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 25 Banyaknya Obyek Wisata Yang Telah Memberikan Nilai Ekonomi di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Kabupaten lain di Jawa Tengah

Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah

No. Kabupaten Obyek Wisata Yang Telah Memberi Nilai Ekonomi 2000 2001 2002 2003

1 Banjarnegara 4 6 6 5 2 Purbalingga 4 4 4 8 3 Banyumas 10 10 10 11 4 Cilacap 8 8 8 8 5 Kebumen 7 8 8 8 6 Rata-rata Kabupaten di

Jawa Tengah 6 6 6 7

Sumber: Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten dan Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka.

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk Kabupaten Banyumas, Cilacap dan

Kebumen jumlah obyek wisata yang telah memberikan nilai ekonomi bagi daerah

lebih banyak jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah obyek wisata di

kabupaten lain di Jawa Tengah. Sehingga dapat dikatakan bahwa skala ekonomi

dari indikator pemanfaatan sumberdaya alam untuk kegiatan pariwisata cukup

tinggi. Sedangkan untuk Kabupaten Banjarnegara dan Purbalingga secara relatif

skala ekonomi daerah berdasarkan indikator pemanfaatan sumberdaya alam untuk

kegiatan pariwisata masih rendah.

Meskipun secara relatif jumlah obyek wisata yang telah memberikan

manfaat ekonomi di wilayah BARLINGMASCAKEB lebih banyak jika

dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Tengah, bukan berarti bahwa

pemanfaatan potensi obyek wisata yang ada tidak perlu dikembangkan agar bisa

memberikan manfaat ekonomi baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.

Kecilnya jumlah potensi wisata yang telah dapat dikembangkan dan memberikan

manfaat ekonomi bagi daerah menunjukkan bahwa pengelolaan potensi tersebut

bagi upaya peningkatan skala ekonomi daerah belumlah optimal. Melalui

115

kerjasama antar daerah pengoptimalan pemanfaatan potensi wisata daerah agar

bisa memberikan manfaat ekonomi bisa dilakukan.

Data tahun 2000 hingga 2003 menunjukkan bahwa Kabupaten

Banjarnegara dengan jumlah potensi wisata yang telah teridentifikasi sebanyak 18

baru dapat dimanfaatkan secara optimal dan telah memberikan manfaat ekonomi

antara empat sampai enam obyek wisata saja. Kabupaten Purbalingga dengan

potensi wisata yang sama baru mampu memanfaatkannya sebanyak empat obyek

wisata saja dan meningkat menjadi delapan pada tahun 2003. Kabupaten

Banyumas dengan potensi wisata sebanyak 31 obyek baru mampu memanfaatkan

antara 10 sampai 11 obyek wisata saja. Kabupaten Cilacap dengan potensi wisata

sebanyak 21 baru dimanfaatkan sebanyak delapan obyek saja, dan Kabupaten

Kebumen dengan potensi obyek wisata sebanyak 25 buah baru dapat di

kembangkan sebanyak delapan obyek saja.

Tabel 26 Banyaknya Potensi dan Obyek Wisata Yang Telah Memberikan Nilai Ekonomi di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah

No. Kabupaten Jumlah

Potensi Wisata

Obyek Wisata Yang Telah Memberi Nilai Ekonomi

2000 2001 2002 2003 1 Banjarnegara 18 4 6 6 5 2 Purbalingga 18 4 4 4 8 3 Banyumas 31 10 10 10 11 4 Cilacap 21 8 8 8 8 5 Kebumen 25 7 8 8 8

Sumber: Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten.

Meskipun kemampuan daerah dalam mengelola potensi wisata yang ada

sangat terbatas, namun penerimaan daerah dari sektor wisata dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan. Tabel 27 menggambarkan kondisi tersebut. Pengelolaan

sumberdaya pariwisata daerah sebenarnya tidak hanya menguntungkan bagi

pemerintah daerah dalam bentuk penerimaan retribusi pariwisata, namun juga

memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar obyek wisata. Berkembangnya suatu

kawasan wisata biasanya akan memberikan dampak bagi usaha ekonomi

masyarakat sekitarnya. Banyak lapangan usaha yang bisa diciptakan dengan

tumbuhnya suatu kawasan wisata. Dengan demikian, adanya kemampuan dari

pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi wisata yang ada akan

berdampak pada peningkatan skala ekonomi daerah.

116

Tabel 27 Pendapatan Sektor Pariwisata Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (Rupiah)

No. Kabupaten Tahun

2000 2001 2002 2003 1 Banjarnegara 202,646,830 603,877,550 820,336,500 1,145,528,700 2 Purbalingga 32,027,940 57,585,450 178,257,500 341,664,500 3 Banyumas 535,754,550 1,454,246,890 1,462,481,450 1,580,156,400 4 Cilacap 241,473,190 515,957,100 526,852,700 673,346,600 5 Kebumen 210,215,170 604,308,790 309,816,000 735,751,000

Sumber: Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten.

Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003, penerimaan daerah

dari sektor pariwisata di Kabupaten Banjarnegara meningkat sebesar 465,28

persen, yaitu sebanyak 202,65 juta rupiah pada tahun 2000 meningkat menjadi

1,15 milyar rupiah pada tahun 2003. Di Kabupaten Purbalingga pada periode yang

sama peningkatan penerimaan daerah dari sektor pariwisata menunjukkan angka

yang cukup fantastis yaitu sebesar 966,77 persen, atau naik hampir sepuluh kali

lipat dari tahun 2000 yang semula hanya sebesar 32,02 juta menjadi 341,67 juta

pada tahun 2003. Kenaikan yang sama juga terjadi di Kabupaten Banyumas,

Cilacap dan Kebumen. Di Kabupaten Banyumas terjadi kenaikan sebesar 194,94

persen, dari penerimaan pada tahun 2000 sebesar 535,75 juta meningkat menjadi

1,59 milyar pada tahun 2003. Di Kabupaten Cilacap penerimaan pada tahun 2000

sebesar 241,47 juta meningkat menjadi 673,35 juta pada tahun 2003, atau naik

sebesar 178,85 persen. Sedangkan di Kabupaten Kebumen peningkatan

penerimaan pendapat daerah dari sektor pariwisata meningkat sebesar 250 persen

dari penerimaan semula sebesar 210,22 juta pada tahun 2000 meningkat menjadi

735,75 juta pada tahun 2003.

Penerimaan pendapatan daerah dari sektor pariwisata yang cukup besar di

wilayah ini mengindikasikan bahwa potensi ekonomi dari sektor tersebut

memiliki peluang yang cukup besar untuk terus dikembangkan. Apalagi

mengingat potensi sektor ini di masing-masing kabupaten masih cukup besar.

Pengelolaan yang serius dari sektor ini akan mampu menjadi daya ungkit

berkembangnya perekonomian di daerah. Meskipun penerimaan daerah dari

sektor pariwisata menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun, kontribusi

117

penerimaan sektor ini terhadap pendapatan asli daerah (PAD) ternyata masih

sangat rendah. Tabel berikut memberi gambaran kondisi tersebut.

Tabel 28 Persentase Kontribusi Sektor Pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (%)

No. Kabupaten/

Provinsi Tahun Rata-Rata

2000 - 2003 2000

2001 2002 2003

1 Banjarnegara 3.49 10.39 3.74 4.53 5.54 2 Purbalingga 0.28 0.51 0.76 1.21 0.69 3 Banyumas 3.03 8.23 3.90 3.51 4.67 4 Cilacap 0.92 1.97 1.12 2.77 1.70 5 Kebumen 2.68 7.69 1.16 2.47 3.50

Sumber: Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten.

Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 rata-rata persentase

kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayah

BARLINGMASCAKEB masih sangat rendah. Di Kabupaten Banjarnegara rata-

rata konribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya sebesar 5,54 persen, dengan

kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 10,39 persen. Di

Kabupaten Banyumas rata-rata kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya

sebesar 4,67 persen, namun sektor ini pernah memberi kontribusi yang relatif

besar pada tahun 2001 yaitu sebesar 8,23 persen. Di Kabupaten Kebumen rata-rata

kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya sebesar 3,50 persen, namun

pada tahun 2001 kontribusi sektor pariwisata pernah mencapai 7,69 persen.

Sementara itu, di Kabupaten Cilacap besarnya rata-rata kontribusi sektor

pariwisata terhadap PAD sangat kecil yaitu hanya 1,70 persen. Sedangkan di

Kabupaten Purbalingga kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya sebesar

0, 69 persen.

Dari ilustrasi di atas menunjukkan bahwa skala ekonomi daerah di wilayah

BARLINGMASCAKEB dilihat dari indikator pemanfaatan potensi sumberdaya

alam untuk kegiatan pariwisata sudah cukup baik. Namun, mengingat potensi

pariwisata yang dimiliki wilayah ini sangat banyak, maka upaya pengembangan

potensi tersebut agar bisa memberikan manfaat ekonomi dengan menggunakan

platform kerjasama regional mungkin dapat lebih menguntungkan.

118

3.2. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Bahan Tambang dan Galian

Potensi sumberdaya alam bahan tambang dan galian di wilayah

BARLINGMASCAKEB sebenarnya tidak terlalu besar. Potensinya hanya sebesar

6,14 persen dari potensi pada sektor yang sama yang dimiliki wilayah Provinsi

Jawa Tengah. Namun demikian, apabila dilihat dari volume cadangan bahan

tambang yang dimiliki di masing-masing kabupaten, potensi tersebut cukup besar

apabila dapat diolah dan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan

daerah.

Dari tabel 29 di bawah terlihat bahwa dari lima kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB, Kabupaten Kebumen memiliki volume potensi bahan

tambang dan galian paling besar yaitu sebanyak 9,832,317,690 3M , sedangkan

kabupaten yang memiliki volume potensi bahan tambang dan galian terkecil

adalah Kabupaten Purbalingga yaitu hanya sebanyak 60,522,000 3M . Dari

besarnya volume potensi tersebut sebagian besar belum dimanfaatkan secara

ekonomi. Pemanfaatan sumberdaya pertambangan dan galian di Kabupaten

Banjarnegara pada tahun 2003 baru sebesar 1.90 persen dari total potensi yang

ada. Di Kabupaten Banyumas produksi sumberdaya tambang dan galian baru

mencapai 1.36 persen dari total potensi yang tersedia. Keadaan yang sama juga

terjadi di Kabupaten Cilacap, dimana pemanfaatan sumberdaya tambang dan

galian baru sebesar 1.37 persen. Sementara di Kabupaten Purbalingga

pemanfaatannya jauh lebih rendah lagi yaitu hanya sebesar 0.33 persen.

Sedangkan di Kabupaten Kebumen yang memiliki potensi sumberdaya tambang

terbesar di wilayah ini pemanfaatannya hanya kurang dari 0.01 persen.

Tabel 29 Proporsi Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Provinsi Jawa Tengah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah

No. Kabupaten/

Provinsi Potensi Sumber Daya Tambang (M3)

Produksi Sumberdaya Tambang (M3)

Persentase

1 Banjarnegara 717,035,112 13,632,191 1.90 2 Purbalingga 60,522,000 196,808 0.33 3 Banyumas 754,226,932 10,268,476 1.36 4 Cilacap 586,824,423 8,042,098 1.37 5 Kebumen 9,832,317,690 3,750 0.00 6 Jawa Tengah 194,599,572,000 439,512,883 0.23

Sumber: Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Kabupaten dan Provinsi.

119

1.90

0.000.23

0.33

1.36 1.37

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

Banjarnegara 1.90

Purbalingga 0.33

Banyumas 1.36

Cilacap 1.37

Kebumen 0.00

Jawa Tengah 0.23

Persentase

Sumber: Data sekunder diolah

Gambar 15 Persentase Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga

Kerjasama Antar Daerah.

Randahnya pemanfaatan potensi sumberdaya tambang dan galian di

wilayah ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, berbagai potensi sumberdaya

alam berupa tambang mineral logam dan tambang mineral bukan logam tersebar

di banyak wilayah dengan kapasitas volume yang kecil sehingga tidak banyak

perusahaan pertambangan yang berani menanamkan modalnya untuk melakukan

eksploitasi karena secara ekonomis tidak memberikan keuntungan. Kedua,

selektifnya pemerintah daerah dalam mengeluarkan Surat Ijin Pertambangan

Daerah (SIPD) untuk pengelolaan bahan tambang jenis batuan dengan

pertimbangan meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan. Sedikitnya SIPD

yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebagai bukti kecilnya pemberian

izin pengelolaan sumberdaya tambang secara resmi oleh pemerintah daerah

kepada perusahaan pertambangan menunjukkan bahwa potensi pertambangan di

wilayah ini belum secara optimal dikelola agar dapat memberikan manfaat

ekonomi bagi masyarakat

120

Tabel 30 Banyaknya Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) yang Dikeluarkan Pemerintah Daerah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah

No. Kabupaten Tahun

2000 2001 2002 2003 1 Banjarnegara 22 13 1 3 2 Purbalingga 14 58 0 5 3 Banyumas 105 87 80 71 4 Cilacap 27 163 36 45 5 Kebumen 16 0 1 1

Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.

Meskipun secara rata-rata persentase pemanfaatan sumberdaya tambang

terhadap potensi yang ada di wilayah BARLINGMASCAKEB lebih tinggi jika

dibandingkan dengan persentase yang sama di wilayah provinsi, namun melihat

kecilnya pemanfaatan potensi tambang yang ada di wilayah ini menggambarkan

bahwa tingkat skala ekonomi dari aktivitas kegiatan pertambangan masih sangat

rendah. Dengan adanya kerjasama antar daerah pengelolaan potensi pertambangan

di daerah ini diharapkan dapat lebih meningkat untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat tanpa harus mengorbankan aspek kerusakan lingkungan.

5.1.4. Kondisi Tipologi dan Hierarkhi Wilayah

Deskripsi tipologi wilayah dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi

wilayah di lima kabupaten secara umum pada saat kabupaten tersebut belum

melakukan kerjasama antar daerah serta posisi masing-masing kabupaten terhadap

daerah lainnya. Penggambaran tipologi wilayah akan dideskripsikan berdasarkan

pada; (1) output perekonomian wilayah, seperti persentase sumbangan sektor

perekonomian terhadap PDRB dan besaran PAD yang diterima pemerintah daerah

sebagai indikator kemampuan daerah dalam mengelola potensi daerah menjadi

penerimaan daerah; (2) sarana dan prasarana wilayah, terutama sarana dan

prasarana pertanian, perdagangan dan industri.

Perekonomian daerah di lima kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB sebelum tergabung dalam lembaga kerjasama antar

daerah lebih banyak disumbang dari sektor pertanian. Data tahun 2002

menunjukkan bahwa sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Banjarnegara sebasar 39,60 persen,

121

Kabupaten Purbalingga sebesar 30,90 persen, Kabupaten Banyumas sebesar 25,

10 persen, di Kabupaten Cilacap sebesar 36,25, dan bahkan di Kabupaten

Kebumen sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB mencapai 42,01 persen.

Di samping sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar terhadap

PDRB, secara umum sektor industri, perdagangan dan jasa juga memberi

sumbangan terhadap PDRB secara signifikan. Rata-rata sumbangan ketiga sektor

tersebut terhadap PDRB persentasenya mencapai dua digit, kecuali sektor jasa di

Kabupaten Cilacap yang hanya sebesar 8,06 persen. Kondisi ini menggambarkan

bahwa pertumbuhan perekonomian di lima kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB ditopang dari sektor pertanian, namun sektor industri,

perdagangan, dan jasa di wilayah tersebut mulai berkembang.

Tabel 31 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas di Wilayah BARLINGMASCAKEB Tahun 2002 (Persen) Sektor/Lapangan Usaha 2002

Banjarnegara Purbaligga Banyumas Cilacap Kebumen 1. Pertanian 39.60 30.90 25.10 36.25 42.01 2. Pertambangan dan Penggalian 0.53 0.34 1.66 2.67 5.79 3, Industri 15.35 11.66 18.83 19.26 10.71 4. Listrik, Gas & Air Minum 0.41 0.89 1.56 0.87 0.70 5. Bangunan 6.87 4.82 3.61 4.32 4.48 6. Perdagangan 13.60 17.81 14.34 19.60 10.29 7. Angkutan/Komunikasi 3.79 6.19 9.48 4.34 4.07 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4.70 4.37 8.17 4.64 5.41 9. Jasa-Jasa 15.15 23.04 16.71 8.06 16.54 PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.

Meskipun aktivitas perekonomian di wilayah ini memiliki banyak

kesamaan sebagaimana telah dijelaskan di atas, namun masing-masing pemerintah

daerah dalam mengelola potensi daerah yang ada menunjukan kemampuan yang

berbeda. Dilihat dari penerimaan PAD sebagai indikator kemampuan daerah

dalam mengelola potensi daerah menjadi sumber penerimaan daerah, Kabupaten

Banyumas dan Kabupaten Cilacap memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan

dengan tiga kabupaten lainnya. Data tahun 2000 sampai dengan tahun 2003

menunjukkan bahwa penerimaan PAD di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten

122

Cilacap rata-rata mencapai dua kali lipat dari penerimaan PAD di ketiga

kabupaten yang lain.

Kondisi ini bisa saja disebabkan karena adanya keterbatasan kemampuan

sumberdaya manusia (SDM) di ketiga daerah tersebut, namun juga bisa

disebabkan karena keterbatasan potensi daerah yang dimiliki atau kondisi letak

geografis yang kurang menguntungan dibandingkan dengan kondisi yang sama di

Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap sehingga ketiga daerah tersebut

tidak mampu mengelola potensi daerah yang ada secara optimal. Namun

demikian, mengingat adanya kesamaan struktur perekonomian daerah di wilayah

ini, dengan bergabungnya ke lima kabupaten tersebut ke dalam lembaga

kerjasama antar daerah dapat dijadikan sarana bagi daerah yang memiliki kinerja

perekonomian lebih rendah untuk melakukan benchmarking pada daerah lain yang

memiliki kinerja perekonomian lebih baik.

Tabel 32 Besarnya Nilai PAD Kabupaten Di Wilayah BARLINGMASCAKEB

No. Kabupaten Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2000 2001 2002 2003

1 Banjarnegara 4,769,553,000 11,552,077,000 16,273,668,000 22,410,000,0002 Purbalingga 6,010,601,000 11,731,681,000 17,567,588,000 28,080,087,0003 Banyumas 15,240,136,000 29,541,431,000 37,449,524,000 51,113,126,0004 Cilacap 16,958,979,000 27,456,673,000 48,137,769,000 48,301,124,0005 Kebumen 6,310,219,000 14,216,177,000 22,760,200,000 29,807,202,000

Sumber: Data sekunder diolah

Perbedaan kemampuan dari masing-masing daerah dalam mengolah

potensi perekonomian yang ada menjadi output perekonomian salah satunya juga

disebabkan ketersedianya sarana dan prasarana wilayah. Perbedaan ketersediaan

sarana dan prasarana wilayah tersebut dapat digambarkan berdasarkan hierarkhi

wilayah. Semakin tinggi hierarkhi wilayah di suatu daerah menggambarkan

semakin baik potensi wilayah di daerah tersebut. Berikut digambarkan hierarkhi

wilayah kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB berdasarkan indikator

hirarkhi wilayah pertanian dan indikator hirarkhi wilayah perdagangan dan

industri.

123

Tabel 33 Indikator Hirarkhi Wilayah Pertanian Kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB tahun 2002

No. Indikator Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 1 Luas lahan tanaman

pangan (Ha) 68,710 56,360 88,724 149,831 107,338

2 luas lahan holtikultura (Ha)

6,441 2,114 1,569 4,206 857

3 Luas lahan perkebunan (Ha)

22,709 21,811 21,555 44,157 1,198

4 Jumlah RPH Milik pemerintah

4 2 9 6 4

5 Jumlah RPH Non Pemerintah

0 0 4 4 2

6 Jumlah Kelompok ternak

196 143 179 136 109

7 Jumlah kelompok tani 1,621 1,513 1,853 577 432 8 Jumlah pasar hewan 2 2 7 2 2 9 Jumlah Pos IB 0 0 7 0 2

10 Jumlah kelompok petani ikan

162 121 188 60 138

11 Jumlah balai benih ikan

1 3 3 2 4

12 Luas kolam pendederan 0 18 71 0 0

13 Luas kolam pembenihan (Ha)

47 23 43 4 0

14 Luas kolam pembesaran (Ha)

245 320 403 623 0

15 Luas penangkapan ikan di rawa (Ha) 0 0 0 271 72

16 Luas penangkapan ikan di sungai ()Ha 531 950 1,337

990 943

17 Luas penangkapan ikan di tambak (Ha) 0 0 0 0 28

18 Luas pengkapan ikan di genangan (Ha) 0 0 0 0 909

19 Luas penangkapan ikan di cekdam (Ha) 1,250 593 325

849 270

Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.

Berdasarkan indikator hierarkhi wilayah pertanian sebagaimana

ditampilkan pada tabel di atas maka tingkatan hirarkhi wilayah pertanian di lima

kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB dapat dilihat pada gambar berikut.

124

Gambar 16 Hirarkhi Wilayah Pertanian Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB TAHUN 2002

Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Banyumas berada

pada posisi hierarkhi I berdasarkan hierarkhi wilayah pertanian, disusul

Kabupaten Cilacap dan Banjarnegara pada posisi hierarkhi II, sedangkan

Kabupaten Purbalingga dan Kebumen berada pada posisi hierarkhi III. Posisi

hierarkhi ini pada dasarnya menggambarkan perbedaan kondisi sarana dan

prasarana pertanian di kelima kabupaten baik dari sisi kelengkapan maupun

jumlahnya.

125

Tabel 34 Indikator Hierarkhi Wilayah Perdagangan dan Industri Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB tahun 2002

No. Indikator Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 1 Jumlah Departemen

Store 0 0 0 0 1 2 Jumlah Pasar

Swalayan 20 9 15 42 2 3 Jumlah Pusat

Perbelanjaan 0 0 0 1 1 4 Jumlah Pasar

Tradisional 20 34 86 30 35 5 Jumlah Tempat

Pelelangan Ikan (TPI) 0 0 0 5 4

6 Jumlah Bank Umum 27 25 84 28 26 7 Jumkah Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) 34 31 33 16 20

8 Jumlah KUD 18 16 25 23 23 9 Jumlah Koperasi

Non KUD 121 196 374 431 330 10 Panjang Jalan

Kabupaten (Km) 711 710 805 1010 603 11 Panjang Jalan

Provinsi (Km) 84 43 32 62 90 12 Panjang Jalan

Nasional (Km) 58 30 181 83 61 13 Panjang jalan aspal

(Km) 815 430 665 876 518

14 Panjang jalan dengan kondisi baik (Km)

372 380 314 524 455

15 Panjang jalan dengan kondisi sedang (Km)

128 231 211 173 72

16 Jumlah Stasiun Kereta

0 0

1 2

3

17 Jumlah Terminal Bis 2 2 3 2 3 18 Jumlah Pelabuhan

Laut 0

0 0

1 0

19 Jumlah Lapangan Terbang

0 0

0 1

0

20 Jumlah Hotel 9 6 140 42 25 Sumber: Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.

Dari indikator hierarkhi wilayah perdagangan dan industri, Kabupaten

Banyumas dan Cilacap berada pada posisi hierarkhi wilayah I, Kabupaten

Kebumen pada posisi hierarkhi wilayah II, sedangkan Kabupaten Banjarnegara

dan Kabupaten Purbalingga berada pada posisi hierarkhi wilayah III. Posisi

hierarkhi wilayah perdagangan dan industri ini menggambarkan perbedaan sarana

dan prasarana perdagangan dan industri dari masing-masing kabupaten.

126

Gambar 17 Hierarkhi Wilayah Perdagangan dan Industri Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB TAHUN 2002

.Keberadaan Kabupaten Banyumas dan Cilacap pada posisi hierarkhi

wilayah I dalam kegiatan perdagangan dan industri menunjukkan bahwa sarana

dan prasarana kegiatan perdagangan dan industri di wilayah tersebut lebih baik

jika dibandingkan dengan ketiga kabupaten yang lainnya. Di samping karena

adanya kemauan dan kemampuan dari masing-masing daerah untuk memenuhi

ketersediaan sarana dan prasarana ini, faktor letak geografis daerah tersebut

terhadap kemudahan akses pada daerah sekitar terutama kota-kota besar yang

dianggap menjadi pusat-pusat pertumbuhan sangat berpengaruh terhadap

ketersediaan infrastruktur ini.

Dari peta infrastruktur wilayah terlihat bahwa Kabupaten Banyumas

menjadi daerah simpul penghubung keempat kabupaten lainnya. Kabupaten

Banyumas juga menjadi simpul jalur darat utama, baik menggunakan jalur jalan

raya maupun kereta api di Jawa Tengah selatan bagian barat. Semua akses menuju

Kota Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta apabila melalui jalur selatan

Pulau Jawa pasti melewati Kabupaten Banyumas. Kondisi ini memungkinkan

apabila sarana dan prasarana perdagangan dan industri secara cepat tumbuh di

wilayah ini.

127

Gambar 18 Peta Infrastruktur Kabupaten di WilayahBARLINGMASCAKEB

Kabupaten Cilacap secara geografis sebenarnya merupakan wilayah yang

kurang menguntungkan. Wilayah ini terletak di ujung barat bagian selatan Provisi

Jawa Tengah. Akses dengan menggunakan jalan raya ke daerah ini akan berhenti

di Kota Cilacap. Namun, karena Kota Cilacap terletak di sebelah utara Pulau

Nusakambangan, kota ini memiliki pelabuhan samudera satu-satunya di wilayah

selatan Pulau Jawa. Kabupaten Cilacap juga memiliki sarana perhubungan udara

berupa lapangan terbang meskipun hanya bisa digunakan oleh jenis pesawat

dengan kapasitas penumpang yang kecil. Kedua sarana berhubungan laut dan

udara tersebut menjadi keunggulan dari Kabupaten Cilacap dibandingkan dengan

keempat kabupaten lainnya. Dengan keunggulan ini maka sangat memungkinkan

apabila sarana dan prasarana perdagangan dan industri penunjang lainnya di

kabupaten ini menjadi cepat berkembang.

Kabupaten Kebumen terletak di sebelah timur Kabupaten Banyumas dan

Kabupaten Cilacap. Kabupaten Kebumen merupakan kota kecil yang berada di

jalur darat utama Jawa Tengah bagian selatan. Karena letaknya yang strategis

sebagai penghubung jalur antara Yogyakarta ke arah Jakarta maupun ke arah

128

Bandung maka sarana dan prasarana perdagangan dan industri di wilayah ini

cukup dapat berkembang dengan baik.

Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara terletak di sebelah timur dari

Kabupaten Banyumas. Kedua kabupaten ini berada pada jalur darat bagian tengah

Provinsi Jawa Tengah ke arah Semarang. Karena secara geografis letak kedua

kabupaten ini berada di daerah pegunungan maka pengembangan jalur

perhubungan darat di wilayah ini hanya dikembangkan sebagai jalur alternatif

perdagangan. Oleh karena itu, menjadi sangat bisa dipahami apabila

pengembangan sarana dan prasarana perdagangan dan industri di kedua wilayah

ini menjadi sangat terbatas.

Dari gambaran tipologi dan hierarkhi wilayah di atas menunjukan bahwa

potensi ekonomi dan kemampuan sumberdaya manusia di masing-masing daerah

di kelima kabupaten yang tergabung dalam lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Dari

struktur ekonomi daerah, ke lima kabupaten lebih banyak ditopang dari sektor

pertanian. Namun sebenarnya masing-masing daerah memiliki karakteristik

potensi yang berbeda-beda. Adanya kesamaan maupun keragaman tipologi

wilayah ini dapat menjadi peluang untuk melakukan pengembangan potensi

wilayah dengan cara bekerjasama diantara mereka. Untuk meningkatkan nilai

tambah hasil pertanian misalnya, dapat dilakukan dengan membangun industri

hasil pertanian di tingkat kawasan. Tempat lokasi industri dapat dipilih

berdasarkan daerah yang memiliki potensi terbesar dari jenis hasil pertanian yang

akan diolah atau berdasarkan kemudahan lokasi dari sisi sarana transportasinya.

Sedangkan kabupaten lain yang tidak dipilih sebagai lokasi industri tetap

mendapatkan keuntungan dengan cara memberikan support berupa kontribusi

pasokan bahan baku maupun tenaga kerja. Kerjasama semacam ini akan dapat

menggerakkan aktivitas sektor pertanian lebih cepat karena adanya jaminan

serapan pasar hasil produksi pertanian yang lebih pasti. Dari contoh di atas, secara

umum dari berbagai potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah dapat

dibuka peluang untuk dilakukan kerjasama dalam upaya pengembangannya.

Kerjasama antar daerah tidak harus selalu diartikan bahwa masing-masing daerah

harus mendapatkan sesuatu yang sama dengan daerah lainnya, misalnya apabila di

129

suatu daerah dibangun sebuah pabrik maka daerah lainya juga harus dibangun

sebuah pabrik pula. Apabila hal ini dilakukan maka yang terjadi bukannya sebuah

sinergi melainkan justru kompetisi diantara para anggota.

Berdasar pada ilustrasi di atas, maka upaya pengembangan potensi

ekonomi di masing-masing daerah dalam konteks kerjasama antar daerah harus

dilakukan berdasarkan potensi dan karakteristik dari masing-masing kabupaten

dengan melihat keuntungan letak geografis dan ketersediaan sarana infrastruktur

pendukungnya. Atas dasar hal tersebut, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten

Purbalingga ditinjau dari letak geografis dan potensi yang dimiliki lebih dominan

sebagai daerah pertanian. Sehingga apabila akan dikembangkan lebih tepat

apabila kedua kabupaten tersebut dikembangkan sebagai kawasan agro industri.

Kabupaten Banyumas karena letaknya berada pada simpul jalur tranportasi baik

jalan raya maupun kereta api maka sarana perdagangan dan jasa dapat tumbuh

dengan cepat. Oleh karena itu Kabupaten Banyumas lebih cocok dikembangkan

sebagai kawasan perdagangan dan jasa. Di Kabupaten Cilacap dengan dimilikinya

sarana dan prasarana transportasi laut dan udara maka daerah ini lebih tepat

dikembangkan sebagai kawasan perdagangan dan industri. Sedangkan Kabupaten

Kebumen dengan memiliki potensi pertanian yang baik dengan posisi geografis

yang berada di jalur transportasi Jawa Tengah bagian selatan lebih tepat

dikembangkan sebagai daerah kawasan agro industri atau perdagangan.

5.2. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

Sejak awal pembentukannya, lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB lebih diarahkan pada kegiatan regional marketing.

Regional marketing adalah konsep kerjasama antar daerah dalam memasarkan

potensi-potensi yang dimiliki masing-masing daerah guna meningkatkan kapasitas

dan daya saing daerah untuk dapat mengakses pasar regional, nasional dan

internasional.

Lembaga kerjasama antar daerah ini memiliki visi: ”menjadikan

BARLINGMASCAKEB sebagai wilayah yang terkemuka dengan masyarakat

sejahtera dan tata pemerintahan yang baik (good governance)”. Untuk mencapai

130

visi tersebut, lembaga ini berusaha mewujudkannya dengan menjalankan misi

sebagai berikut; (1) terciptanya iklim investasi yang kondusif dan ramah

lingkungan; (2) terbangunnya jaringan kelembagaan ke pasar regional, nasional

dan internasional; (3) meningkatnya daya beli masyarakat dan indeks

pembangunan manusia.

Dalam menjalankan misi untuk mencapai visi yang telah ditetapkan,

Regional Manager (RM) memfokuskan aktivitasnya pada tiga inti kegiatan yaitu

invesment, trade and regional tourism. Yang dimaksud dengan investment adalah

melakukan kegiatan pemasaran potensi daerah dengan sasaran masuknya investor

di wilayah BARLINGMASCAKEB. Trade adalah kegiatan pemasaran potensi

wilayah dengan tujuan akhir dapat memasarkan produk-produk daerah melalui

kegiatan perdagangan antar wilayah. Sedangkan regional tourism adalah upaya

melakukan pemasaran potensi pariwisata daerah secara bersama dengan tujuan

agar pariwisata regional di wilayah BARLINGMASCAKEB dapat berkembang.

5.2.1. Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil. Dengan demikian, yang dimaksud

dengan kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB adalah

hasil-hasil yang telah dicapai oleh organisasi tersebut dalam menjalankan misi

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam penelitian ini, kinerja

lembaga yang dievaluasi adalah tingkat pencapaian hasil kegiatan yang dilakukan

oleh lembaga kerjasama antar daerah BARLINGASCAKEB dari tahun 2003

sampai dengan tahun 2009.

Selama periode sejak berdirinya lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 berbagai

aktivitas kegiatan telah dilakukan oleh lembaga tersebut guna mewujudkan tujuan

yang telah ditetapkan. Berbagai aktivitas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penguatan Kelembagaan BARLINGMASCAKEB

Sebagai lembaga baru langkah pertama yang dilakukan oleh lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB agar bisa eksis yaitu dengan

melakukan penguatan kelembagaan. Berbagai aktivitas telah dilakukan dalam

kegiatan penguatan kelembagaan berupa: (1) sosialisasi kelembagaan, (2)

131

penggalian sumber-sumber pendanaan, (3) pengisian tenaga pelaksana, dan (4)

pembuatan perencanaan program secara terpadu.

Kegiatan sosialisasi kelembagaan merupakan langkah pertama yang

dilakukan dengan maksud agar keberadaan lembaga bisa dikenal dan diterima

baik di kalangan birokrasi pemerintah daerah maupun di kalangan masyarakat

calon pengguna. Untuk itu telah dilakukan kegiatan sosialisasi internal ke dalam

birokrasi pemerintahan di lima kabupaten sebagai anggota dari lembaga kerjasama

antar daerah ini. Sosialisasi dilakukan dengan menyelenggarakan pertemuan dan

dialog dengan bupati dan jajaran birokrasi pemerintah daerah dengan maksud

memperkenalkan keberadaan lembaga kerjasama antar daerah ini agar mereka

memberikan dukungan terhadap keberadaan dan berbagai program kerja yang

akan dilakukan. Untuk memperkenalkan keberadaan lembaga kerjasama antar

daerah ini juga telah dilakukan kegiatan sosialisasi kepada pihak eksternal sebagai

calon pengguna melalui berbagai media informasi seperti surat kabar, radio dan

televisi.

Kegiatan sosialisasi ini telah cukup memberikan hasil seperti yang

diharapkan. Istilah BARLINGMASCAKEB yang diperkenalkan sebagai kawasan

pembangunan regional mulai dikenal dan bisa diterima oleh berbagai fihak.

Berbagai promosi produk dan pembentukan asosiasi yang melibatkan aktivitas di

lima kabupaten banyak yang mulai menggunakan istilah

”BARLINGMASCAKEB” meskipun kegiatan tersebut tidak berkait dengan

aktivitas lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, seperti

pembentukan ”paguyuban seniman BARLINGMASCAKEB” dan berbagai

produk iklan bisnis yang menyebut ”kawasan BARLINGMASCAKEB” sebagai

cakupan pemasarannya. Intinya nama BARLINGMASCAKEB telah menjadi

”branding” nama kawasan di wilayah Jawa Tengah selatan bagian barat.

Aktivitas lain dalam kegiatan penguatan kelembagaan adalah melakukan

penggalian sumber-sumber pendanaan organisasi. Eksistensi suatu lembaga salah

satunya sangat ditentukan oleh sumber pendanaan yang menopang berbagai

aktivitas dari lembaga tersebut. Sejak mulai pembentukannya pada tahun 2003

hingga saat ini, sumber pendanaan lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB lebih mengandalkan dari dana iuran pemerintah

132

kabupaten anggota. Pernah diupayakan menggali sumber pendanaan dari bantuan

pemerintah pusat maupun provinsi melalui kegiatan semiloka nasional

”Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Kerjasama Antar Daerah”, namun usaha

tersebut hingga saat ini belum memberikan hasil. Penggalian sumber pendanaan

juga pernah dilakukan melalui bantuan lembaga donor. Kegiatan ini mampu

memberikan hasil dengan mendapat bantuan pendanaan sebesar 1,5 milyar rupiah

dari lembaga Partnership for Government Reform In Indonesia (PGRI) pada tahun

2004. Sayangnya pemberian bantuan ini hanya dalam bentuk bantuan proyek

kerjasama kegiatan, sehingga pendanaan yang diberikan tidak bersifat kontinyu.

Aktivitas penguatan kelembagaan lain yang tidak kalah penting adalah

melakukan pengisian personel Regional Management BARLINGMASCAKEB.

Pengisian personel sebagai tenaga pelaksana dari organisasi sangat penting

dilakukan karena tanpa personel yang lengkap dan handal maka kegiatan

organisasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Pengisian personel pada

lembaga ini direkrut dari tenaga profesional. Mereka yang direkrut adalah regional

manager, sekretaris regional manager, analis pemasaran, analis perekonomian

dan investasi serta bendahara.

Kegiatan penguatan kelembagaan yang terakhir yang dilakukan lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB yaitu dengan melakukan

perencanaan program pembangunan secara terpadu. Kegiatan ini dilakukan

dengan membentuk pokja-pokja sektoral yang berada di SKPD masing-masing

kabupaten. Pokja ini bertugas membantu Regional Management melakukan

sinkronisasi kegiatan agar kegiatan yang diprogramkan di level lembaga

kerjasama dapat sejalan dengan program kegiatan di tingkat SKPD. Adapun pokja

yang dibentuk meliputi; (1) Pokja I: Bidang pariwisata; (2) Pokja II: Bidang

pertanian; (3) Pokja III : Bidang perdagangan, dan (4) Pokja IV: Bidang

infrastruktur. Aktivitas lain dari kegiatan perencanaan program pembangunan

secara terpadu yaitu dengan menyusun perencanaan program pembangunan lintas

kabupaten secara terpadu melalui kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan

(Musrenbang) BARLINGMASCAKEB. Kegiatan ini mencoba mengidentifikasi

berbagai program kegiatan pembangunan lintas kabupaten, kemudian mencoba

mengalokasikan sumber pendanaan mana saja yang harus didanai dari APBD

133

kabupaten, mana yang perlu diusulkan untuk didanai dari APBD provinsi dan

sumber pendanaan dari APBN. Kegiatan musrenbang ini sekali dilakukan pada

tahun 2006, kemudian tidak pernah lagi dilakukan. Hal ini disebabkan tidak ada

dasar hukum yang mengatur kegiatan musrenbang di tingkat regional, serta

kurangnya komitmen dari masing-masing kabupaten dalam penyusunan

perencanaan program pembangunan secara terpadu.

2. Penyusunan Rumusan Kebijakan Pengembangan Regional

Dengan bergabungnya lima kabupaten dalam lembaga kerjasama antar

daerah, idealnya perencanaan pembangunan yang dilakukan tidak dilakukan

secara parsial dengan hanya semata-mata mendasarkan pada potensi ekonomi

yang dimiliki dari masing-masing daerah. Dengan bekerjasama, perencanaan

pengembangan daerah semestinya lebih memperhatikan pengembangan kawasan

dengan melakukan sinergi antar daerah. Menyadari pentingnya hal tersebut,

dengan diawali kegiatan pemetaan potensi daerah, Forum Regional (FR)

BARLINGMASCAKEB yang beranggotakan para bupati di wilayah

BARLINGMASCAKEB bersepakat menetapkan perencanaan pembangunan

berbasis kawasan dengan mendasarkan pada potensi ekonomi yang dimiliki oleh

masing-masing anggota. Hasil kesepakatan tersebut merekomendasikan

pengembangan BARLINGMASCAKEB menjadi kawasan yang berorientasi pada

agro industri dan pariwisata, meskipun masing-masing kabupaten dapat

dikembangkan sesuai dengan karakteristik kabupaten diantaranya: (1) Kabupaten

Banjarnegara diproyeksikan sebagai daerah pertambangan; (2) Kabupaten

Purbalingga diproyeksikan sebagai daerah agribisnis dan industri; (3) Kabupaten

Banyumas diproyeksikan sebagai daerah perdagangan dan pendidikan; (4)

Kabupaten Cilacap diproyeksikan sebgai daerah industri; dan (5) Kabupaten

Kebumen diproyeksikan sebagai daerah pertambangan. Namun demikian, gagasan

ideal tersebut nampaknya masih sulit dilaksanakan. Kendala utama yang

menghambat gagasan tersebut adalah kurangnya komitmen dari masing-masing

daerah yang disebabkan karena adanya ego daerah. Justru faktor-faktor seperti

inilah yang timbul sebagai ekses negatif dari otonomi daerah yang perlu

dihilangkan dengan melakukan kerjasama antar daerah.

134

3. Fasilitasi Investasi Daerah

Aktivitas yang dilakukan pada kegiatan fasilitasi investasi daerah adalah

melakukan pemasaran berbagai potensi daerah yang dimiliki oleh masing-masing

kabupaten di kawasan BARLINGMASCAKEB kepada para calon investor.

Tujuannya adalah agar investasi yang masuk di lima kabupaten anggota lembaga

kerjasama antar daerah ini meningkat. Dengan meningkatnya investasi akan dapat

menggerakkan kegiatan ekonomi daerah di berbagai sektor. Dengan

meningkatnya kegiatan ekonomi maka akan dapat meningkatkan skala ekonomi

daerah. Kegiatan pemasaran dilakukan baik dengan cara mendatangi pada calon

investor maupun dengan cara mendatangkan calon investor untuk hadir di

BARLINGMASCAKEB.

Negosiasi investasi dan koordinasi dengan lembaga terkait bagi pemasaran

potensi wilayah yang telah difasilitasi oleh lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB adalah sebagai berikut:

a. Rencana pembangunan pabrik gula kelapa BARLINGMASCAKEB di

Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas oleh Pemerintah Kanada.

b. PT. Telekomunikasi Indonesia dan PT Industri Telekomunikasi Indonesia

(INTI) untuk pengembangan jaringan telekomunikasi.

c. PT Galuh Bio Kencana untuk investasi pabrik pupuk organik.

d. PT. Merpati Nusantara Airlines untu membuka jalur penerbangan di Bandara

Tunggul Wulung Cilacap.

e. PT. Indohage Multi Guna dari Belanda untuk investasi pabrik pengolahan

nanas di Kabupaten Banjarnegara.

f. PT. Carrefour Indonesia Tbk, untuk investasi usaha ritel di Purwokerto.

g. Turnto Company dari China untuk investasi pabrik minyak atsiri di

BARLINGMASCAKEB.

h. PT Bali Grain Company untuk investasi jagung beserta infrastruktur di

BARLINGMASCAKEB.

i. James Lyle Larsen (The Fifteen Trust-America) dalam investasi penanaman

jagung 100.000 Ha di BARLINGMASCAKEB.

135

j. Islamic Development Bank dan perbankan di wilayah

BARLINGMASCAKEB untuk membantu pendanaan bagi pemerintah di

bidang infrastruktur, dan pengusaha eksportir serta UKM.

k. PT. Meko Budi Pratama untuk investasi pengembangan sarana hiburan di

Monumen Soedirman Karanglewas Kabupaten Banyumas.

l. Politeknik Manufacture Astra dan Yayasan Wiyata untuk pengembangan

SDM dan industri otomotif di Kabupaten Purbalingga.

m. Yayasan Gramedia untuk investasi Pengembangan Pariwisata (resort) di

Karangreja Kabupaten Purbalingga.

n. PT.Apac Inti untuk investasi pengolahan minyak dan gas di Kabupaten

Kebumen.

o. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Tengah untuk pengembangan

produk pertanian.

p. Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah untuk pengembangan

investasi di BARLINGMASCAKEB.

q. Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan untuk mendapatkan bahan baku industri

mebel/furniture di BARLINGMASCAKEB berupa kayu pinus.

Dari berbagai negosiasi investasi tersebut beberapa investor telah

membuat komitmen secara tertulis untuk menanamkan investasinya di wilayah

BARLINGMASCAKEB dalam bentuk:

a. MoU (Memoradum of Understanding), yaitu PT Galuh Bio Kencana dengan

Bupati Purbalingga selaku ketua Dewan Eksekutif dalam investasi

pembangunan pabrik pengolahan sampah organik di wilayah

BARLINGMASCAKEB

b. LoA ( Letter of Acceptance) yaitu James Lyle Larsen (The Fifteen Trust-

Amerika) dengan RM dalam investasi penanaman Jagung 100.000 Ha di

wilayah BARLINGMASCAKEB

c. Perjanjian Kerjasama (PKS) Yaitu perjanjian kerjasama antara PT Merpati

Nusantara Airlines dengan Bupati Cilacap selaku anggota FR dalam uji coba

penerbangan Halim-Cilacap selama satu bulan dengan sistem insentif

d. Persetujuan Bupati Banjarnegara kepada PT. Indaho Multi Guna untuk

investasi pabrik pengolahan nanas beserta perkebunan inti dan plasma

136

e. MoU dengan Politeknik Manufacture ASTRA untuk pengembangan SDM dan

otomotif di Kabupaten Purbalingga.

Di samping melakukan negosiasi secara langsung kepada calon investor,

upaya lain yang dilakukan untuk memfasilitasi masuknya investor di wilayah

BARLINGMASCAKEB dilakukan dengan mencoba membuat peraturan yang

dapat menjamin suasana kondusif bagi masuknya investor di wilayah ini. Dalam

rangka menciptakan kondisi tersebut telah dilakukan sinkronisasi kebijakan publik

di bidang pelayanan perijinan dengan membuat prototipe kebijakan regional

tentang penyelenggaraan perijinan berupa rancangan perda perijinan yang

diharapkan dapat berlaku di lima kabupaten anggota. Meskipun rancangan perda

ini kemudian tidak dapat diberlakukan di masing-masing kabupaten, namun

pembuatan prototipe perda tentang perijinan investasi ini telah mengilhami

lahirnya perda-perda tentang perijinan di masing-masing daerah yang kemudian

melahirkan kebijakan mengenai “one stop service” yaitu kebijakan satu pintu

bagi pelayanan perijinan investasi di masing-masing daerah.

Promosi potensi daerah juga dilakukan dalam rangka memfasilitasi

masuknya investor di wilayah ini. Promosi dilakukan dengan menggunakan alat

media promosi seperti brosur, pembuatan film dalam bentuk VCD dan pembuatan

website BARLINGMASCAKEB dengan alamat

http://www.barlingmascakeb.com. Promosi potensi daerah juga dilakukan dengan

cara mengikuti berbagai kegiatan pameran/expo baik di dalam wilayah maupun di

luar wilayah BARLINGMASCAKEB, serta melakukan kegiatan misi dagang di

beberapa negara antara lain; di Italia dengan melakukan kerja sama technical

asistence furnitur dan order product; di Spanyol untuk melakukan persiapan

pameran di Valencia Spanyol; di Jerman dengan melakukan kerja sama

peningkatan SDM dan perencanaan tata kota; di Mesir dalam rangka pemasaran

produk kerajinan, dan di Yordania dalam rangka membuka toko dan pemasaran

kerajinan tangan di Amman Yordania.

4. Pengembangan Perdagangan Produk Daerah

Peningkatan perdagangan produk daerah juga menjadi ”prioritas” program

kerja dari Regional Management BARLINGMASCAKEB. Kegiatan perdagangan

pada dasarnya merupakan aktivitas hilir dari suatu kegiatan perekonomian.

137

Problem utama yang sering terjadi dalam suatu kegiatan ekonomi adalah masalah

kemampuan memasarkan produk yang telah dihasilkan. Dalam banyak kasus

sering terjadi, suatu kegiatan ekonomi mampu menghasilkan suatu produk

tertentu, namun setelah produk dihasilkan masalah muncul berkaitan dengan

bagaimana memasarkan produk tersebut. Suatu produk yang telah dihasilkan

tetapi tidak dapat dipasarkan tidak akan mampu memberi manfaat ekonomi baik

bagi produsen maupun masyarakat sebagai pengguna.

Menimbang pentingnya masalah pemasaran produk daerah bagi aktivitas

perekonomian daerah, maka salah satu fokus kegiatan dari lembaga kerjasama

antar daerah BARLINGMASCAKEB adalah mendorong peningkatan

perdagangan produk daerah. Memfokuskan perhatian pada kegiatan pemasaran

produk pada dasarnya juga memfokuskan perhatian pada kegiatan produksi

sebagai aktivitas hulunya. Suatu produk akan sulit untuk dipasarkan apabila

kualitas produk tersebut tidak memenuhi standar pengguna (konsumen). Salah

satu cara yang dilakukan untuk memasarkan produk daerah yaitu dapat dilakukan

dalam kegiatan pasar lelang.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dalam mensukseskan program nasional, khususnya program institusi pasar yang berkaitan dengan upaya meningkatkan pemasaran, daya saing, pendapatan petani dan ketahanan pangan, telah mengembangkan pasar lelang komoditi agro, baik pasar lelang spot (penyerahan segera setelah transaksi) maupun pasar lelang forward (penyerahan kemudian), yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sampai saat ini sudah ada 17 pasar lelang, terdiri dari 11 pasar lelang spot dan 6 pasar lelang forward. Pasar lelang spot telah dikembangkan di Sumatera Utara untuk komoditas kakao, Jambi untuk komoditas karet dan di Sumatera Barat untuk komoditas agro. Sedangkan pasar lelang forward telah dikembangkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara.

Peranan pasar lelang, termasuk pasar lelang agro, antara lain memberikan

kepastian pasokan komoditi, meningkatkan transparansi pembentukan harga,

pengadaan sumber informasi harga, memperluas akses pangan, meningkatkan

mutu dan nilai tukar produk, memperkuat posisi tawar petani, menciptakan harga

pasar yang wajar dan efisien, serta pembinaan pelaku program untuk mengatasi

pasar global. Dalam penyelenggaraan pasar lelang dengan sistem forward

138

(penyerahan kemudian), para penjual cukup hanya membawa contoh/sampel yang

dilengkapi dengan spesifikasi dari komoditas yang akan di jual, dan bertemu

dengan pembeli yang membayarnya di kemudian hari saat penerimaan barang,

pada harga yang telah disepakati dalam pasar lelang.

Dengan mengacu pada berbagai keuntungan di atas Regional Management

BARLINGMASCAKEB dalam upaya membantu melakukan pemasaran produk

daerah telah menyelenggarakan kegiatan pasar lelang komoditi agro dengan

sistem forward, dengan harapan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi

perbaikan tingkat perekonomian masyarakat di wilayah BARLINGMASCAKEB.

Tabel 35 Rekapitulasi Transaksi Pasar Lelang BARLINGMASCAKEB

No. Tahun Jumlah Kegiatan

Pasar Lelang

Komoditi Yang Dijual Nilai Transaksi (Rupiah)

1 2004 7 Beras, Kentang, Salak, Pala, The Hijau, Gula Merah, Semangka, Melon, Gaplek dan Jagung

18,175,300,000

2 2006 2 Beras, Cengkeh, kelapa Lokal, Gula Merah, Coco Fiber, Kentang Kubis, Pinang, Cabe, Duku, Jagung, Jamur, Kencur, Kopra, Manggis, Minyak Nilam, Onggok Pres, Salak Pondoh, Sapi Potong, Tomat dan Wortel.

56,026,350,000

3 2007 2 Gula Merah, Cegkeh, Coco Peat, Kopra, Coco Dust, Bengkoang, Beras, Gula Pasir, Sapi, Kelapa, Cabe, Kambing, Abon, Bungkil Kopra, Jagung, Jambu, Tomat, Jahe, Salak, Belimbing, Dedak, Emping Mlinjo, Pinang, Kapulogo, Kentang, Kunyit dan Labu.

63,833,250,000

4 2008 3 Arang, Beras, Strawbery, Cabe, Cengkeh, Gula Merah, Kemiri, Kentang, Mangga, Minyak Nilam, Rumput Laut, Sapi Potong, The Rosela, Tepung Tapioka, Bekatul, Buncis, Emping Mlinjo, Jagung, Gula Semut, Jeruk, Kacang Hijau, Singkong, Mahkota Dewa, Tomat, Empon-empon, Gaplek, Jahe, Petai, Sukun dan Tapioka

115,416,000,000

5 2009 3 Beras, Cabe, Cengkeh, Ikab Bawal, Gurameh, Patin, Jagung, Kacang Tanah, Kencur, Kentang, Kopi, Kumis Kucing, Rosela, Gabah, Kemiri, Lada, Minyak Goreng Lokal, Tepung Tapioka, Tomat, Vanili, Jahe, dan Kencur

31,453,900,000

Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB.

139

Kegiatan pasar lelang telah dilaksanakan sejak tahun 2004 hingga tahun

2009, dengan jumlah kegiatan sebanyak 17 kali dengan nilai total transaksi

mencapai 284,9 milyar rupiah. Perincian kegiatan pasar lelang tiap tahun dapat

dilihat pada tabel 35 di atas. Dalam rangka mengembangkan kegiatan pasar lelang

ini, Regioanl Management BARLINGMASCAKEB telah bekerjasama dengan

Badan Pengawaas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Kementerian

Perdagangan RI. Adapun bantuan yang diperoleh berupa dua unit komputer dan

satu printer serta dana pengembangan sebesar 40 juta rupiah pada tahun 2004 dan

sebesar 200 juta rupiah pada tahun 2005.

Keberhasilan pemasaran produk daerah juga sangat ditentukan oleh

kualitas dari produk yang diperdagangkan. Menyadari akan hal tersebut, Regional

Management BARLINGMASCAKEB dalam membantu memasarkan produk-

produk daerah juga mencoba memperhatikan aspek kualitas produk. Untuk

menjaga kualitas produk agar mudah untuk dipasarkan lembaga kerjasama antar

daerah ini menyelenggarakan kegitan fasilitasi bantuan pengadaan mesin produksi

untuk usaha kecil dan menengah (UKM) di wilayah BARLINGMASCAKEB.

Beberapa kegiatan yang telah berhasil dilakukan antara lain: (1) Bantuan mesin

pengemas/packaging dari Pusat Dagang Kecil dan Menengah (PDKM)

Departemen Perdagangan RI untuk Kabupaten Banjarnegara; (2) Bantuan

pengadaan mesin produksi pengolahan serabut kelapa dari Direktorat Jenderal

Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI untuk UKM orientasi

ekspor di Kabupaten Kebumen, dan (3) Bantuan pengadaan mesin produksi

kerajinan kayu dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen

Perdagangan RI untuk UKM orientasi ekspor di Kabupaten Purbalingga.

Kegiatan ini diharapkan dapat membantu pelaku usaha di wilayah

BARLINGMASCAKEB untuk bisa lebih meningkatkan kualitas produk yang

dihasilkan agar bisa memenuhi standar konsumen yang membutuhkan.

Tidak hanya memfasilitasi pemberian bantuan alat produksi, dalam rangka

meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, Regional Management

BARLINGMASCAKEB juga memfasilitasi kegiatan pelatihan untuk

meningkatkan ketrampilan pelaku usaha dalam meningkatkan kreasi sehingga

produk usaha yang dihasilkan lebih memenuhi tuntutan pasar. Kegiatan pelatihan

140

yang telah dilakukan yaitu pelatihan desain batik yang diselenggarakan oleh

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, untuk UKM Batik se

BARLINGMASCAKEB di Hotel Green Valley Baturaden pada tahun 2010.

5. Pengembangan Pariwisata Regional

Kegiatan lain yang dilakukan oleh Regional Management

BARLINGMASCAKEB dalam upaya meningkatkan skala ekonomi daerah

adalah dengan melakukan pengembangan pariwisata regional. Sektor pariwisata

dipilih untuk dikembangkan karena wilayah BARLINGMASCAKEB memiliki

potensi wisata yang beragam. Oleh karena itu, apabila sektor ini dikembangkan

dengan menggunakan pendekatan kerjasama regional akan dapat menghasilkan

sinergi yang lebih besar jika dibandingkan dengan apabila potensi pariwisata

tersebut dikembangkan secara parsial oleh masing-masing daerah.

Pilihan sektor pariwisata untuk dikembangkan tidak hanya didasarkan atas

pertimbangan bahwa pengembangan suatu kawasan pariwisata akan berdampak

pada peningkatan pendapatan daerah, tetapi juga akan memberikan pengaruh pada

peningkatan pendapatan masyarakat. Suatu kawasan yang berkembang karena

adanya aktivitas ekonomi, seperti adanya obyek wisata dapat memberikan dampak

pada pengembangan kegiatan ekonomi yang lainnya seperti kegiatan

perdagangan, perhotelan, rumah makan dan sebagainya. Pengembangan kegiatan

ekonomi semacam ini kemudian membuka peluang usaha bagi masyarakat.

Dengan kata lain pengembangan pariwisata regional akan dapat mendorong

peningkatan skala ekonomi daerah.

Dalam rangka melakukan pengembangan pariwisata regional, beberapa

langkah telah dilakukan oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB

yaitu dengan melakukan; (1) pemetaan potensi pariwisata; (2) pembuatan alat

promosi wisata; dan (3) pemasaran pariwisata. Hasil dari kegiatan pemetaan

potensi wisata yaitu tersusunnya profil pariwisata BARLINGMASCAKEB. Dari

hasil pemetaan potensi pariwisata inilah akan menjadi dasar bagi penyusunan

kebijakan pengembangan pariwisata ke depan. Pembuatan alat promosi pariwisata

juga penting untuk dilakukan. Dengan promosi, potensi wisata di wilayah

BARLINGMASCAKEB akan menjadi dikenal oleh para wisatawan. Hal ini akan

memberikan dampak pada bertambahnya wisatawan yang berkunjung di wilayah

141

BARLINGMASCAKEB. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kesiapan dari

para pelaku wisata agar dapar memberikan pelayanan terbaik bagi para wisatawan

yang datang. Kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan

pelayanan wisata yaitu dengan membentuk Paguyuban Pariwisata

BARLINGMASCAKEB (PPB). Anggota dari paguyuban ini terdiri dari

perwakilan SKPD pariwisata, pengusaha hotel, pengusaha biro perjalanan

pariwisata, dan himpunan pramuwisata Indonesia dari perwakilan masing-

masing kabupaten. Dalam rangka mengembangkan pariwisata regional di wilayah

BARLINGMASCAKEB juga telah dibuat paket-paket wisata di masing-masing

kabupaten. Dengan paket wisata ini diharapkan akan dapat lebih mengenalkan

kawasan BARLINGMASCAKEB dari sisi potensi wisatanya.

Dari berbagai aktivitas yang telah dilakukan oleh Regional Management

BARLINGMASCAKEB sebagimana telah dijelaskan di atas dapat diringkas ke

dalam satu tabel kegiatan sebagai berikut:

142

Tabel 36 Daftar Kegiatan dan Hasil yang Dicapai Oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB

No. Kegiatan Sub Kegiatan Hasil

1. Penguatan Kelembagaan

Sosialisasi BARLINGMASCAKEB

Sosialisasi BARLINGMASCAKEB melalui: 1. Surat kabar: Suara Merdeka, Radar

Banyumas, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Republika;

2. Media elektronik: Bms TV, Ratih TV, TVRI, RCTI, SCTV, Dian Swara FM, Tara valeria FM, RRI Purwokerto, dan Mafasa FM.

3. Kunjungan ke masing-masing kabupaten untuk melakukan dialog dengan para bupati dan jajarannya.

Penggalian sumber pendanaan

1. Kegiatan Semiloka Nasional Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Kerjasama Antar Daerah

2. Melakukan Kerjasama dengan Partnership for Government Reform In Indonesia (PGRI) mendapatkan dana pendampingan sebesar 1,5 milyar rupiah

Pengisian tenaga pelaksana

Penetapan regional manager (RM), sekretaris, analis pemasaran dan analis perekonomian dan investasi

Perencanaan program pembangunan secara terpadu

1. Pelaksanaan kegiatan Musrenbang BARLINGMASCAKEB

2. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) sektoral BARLINGMASCAKEB meliputi: Pokja I : Bidang pariwisata Pokja II: Bidang pertanian Pokja III : Bidang perdagangan Pokja IV: Bidang infrastruktur

2. Penyusunan Rumusan Kebijakan

Pemetaan potensi wilayah

Rekomendasi pengembangan BARLINGMASCAKEB menjadi kawasan yang berorientasi pada agro industri dan Pariwisata, meskipun masing-masing kabupaten dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristik kabupaten diantaranya: 1. Kabupaten Banjarnegara diproyeksikan

sebagai daerah pertambangan 2. Kabupaten Purbalingga diproyeksikan

sebagai daerah agribisnis dan industri 3. Kabupaten Banyumas diproyeksikan

sebagai daerah perdagangan dan pendidikan

4. Kabupaten Cilacap diproyeksikan sebagai daerah industri

5. Kabupaten Kebumen diproyeksikan sebagai daerah pertambangan

Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB.

143

Tabel 36 Lanjutan

No. Kegiatan Sub Kegiatan Hasil 3. Fasilitasi

investasi daerah

Mengundang calon investor untuk berinvestasi di BARLINGMASCAKEB

Beberapa Investor yang difasilitasi oleh RM BARLINGMASCAKEB telah membuat komitmen Tertulis dalam bentuk: 1. MoU (Memoradum of Understanding), yaitu

PT Galuh Bio Kencana dengan Bupati Purbalingga selaku ketua Dewan Eksekutif dalam investasi pembangunan pabrik pengolahan sampah organik di wilayah BARLINGMASCAKEB

2. LoA ( Letter of Acceptance) yaitu James Lyle Larsen (The Fifteen Trust-Amerika) dengan RM dalam investasi penanaman Jagung 100.000 Ha di wilayah BARLINGMASCAKEB

3. Perjanjian Kerjasama (PKS) Yaitu perjanjian kerjasama antara PT Merpati Nusantara Airlines dengan Bupati Cilacap selaku anggota FR dalam uji coba penerbangan Halim-Cilacap selama satu bulan dengan sistem insentif

4. Persetujuan Bupati Banjarnegara kepada Indaho Multi Guna untuk investasi pabrik pengolahan nanas beserta perkebunan inti dan plasma

5. MoU dengan Politeknik Manufacture ASTRA untuk pengembangan SDM dan otomotif di Kabupaten Purbalingga

Sinkronisasi kebijakan publik di bidang pelayanan perijinan

Prototype kebijakan regional tentang penyelenggaraan perijinan (Prototype Perda 5 kabupaten)

Pembuatan alat promosi

1. Brusur/leaflet tentang pasar lelang komoditi agro, pelayanan penerbangan Jakarta - Cilacap

2. VCD potensi BARLINGMASCAKEB Website: http://www.barlingmascakeb.com

Kegiatan promosi potensi wilayah

1. Keikutsertaan BARLINGMASCAKEB dalam berbagai pameran/ expo antara lain: Purbalingga Expo 2004, Banjarnegara Expo 2004, Java Trade Centre 2006 di Semarang, Kebumen Expo. Pameran Pangan Nusa 2009 di Jakarta. Pameran luar negeri ”Malaysia Fresh Fruits And Indo Extravagansa” di Singapura.

2. melakukan kegiatan misi dagang di beberapa negara antara lain: a. Italia: Melakukan Kerja sama Technical

Asistence Furniture dan Order Product b. Spanyol: Persiapan Pameran di Valencia

Spanyol c. Jerman: Kerja sama peningkatan SDM dan

Perencanaan Tata Kota d. Mesir: Pemasaran produk kerajinan e.Yordania: Membuka Outlet dan Pemasaran

Handycraft di Amman Yordania Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB.

144

Tabel 36 Lanjutan

No. Kegiatan Sub Kegiatan Hasil 4. Perdagangan

Produk Daerah

Kegiatan Pasar Lelang forward komoditas agro

Dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 telah terselenggara kegiatan pasar lelang sebanyak 17 kali dengan nilai total transaksi sebesar Rp. 284,904,800,000,-

Fasilitasi bantuan pengadaan mesin produksi untuk usaha kecil dan menengah (UKM)

1. Bantuan mesin pengemas/packaging dari Pusat Dagang Kecil dan Menengah (PDKM) Departemen Perdagangan RI untuk Kabupaten Banjarnegara.

2. Bantuan pengadaan mesin produksi pengolahan serabut kelapa dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI untuk UKM orientasi ekspor di Kabupaten Kebumen.

3. Bantuan pengadaan mesin produksi kerajinan kayu dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI untuk UKM orientasi ekspor di Kabupaten Purbalingga

Kegiatan Pelatihan

Pelatihan desain batik yang diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM untuk UKM Batik se BARLINGMASCAKEB di Hotel Green Valley Baturaden 2010.

Kerjasama dengan lembaga lain

Bantuan dari Badan Pengawaas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Deperindag RI untuk pengembangan pasar lelang forword komoditi agro berupa dua unit kmputer dan satu printer serta dana 40 jt tahun 2004 dan 200 juta tahun 2005.

5. Pengembangan Pariwisata Regional

Pemetaan potensi pariwisata

Tersusunnya profil wisata BARLINGMASCAKEB

Pembuatan alat promosi wisata

1. Leaflet pariwisata BARLINGMASCAKEB 2. Web pariwisata BARLINGMASCAKEB

Pemasaran Pariwisata

1. Pembentukan paguyuban pariwisata BARLINGMASCAKEB di masing-masing kabupaten

2. Pembentukan paket wisata BARLINGMASCAKEB

Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB. 5.2.2. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah Dari Sisi Output

Setelah mendeskripsikan berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh

Regional Management BARLINGMASCAKEB, subbagian ini akan

mendeskripsikan evaluasi kinerja lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB dari sisi output. Untuk mengukur capaian kinerja dari

sisi output (keluaran), dilakukan dengan; (1) membandingkan antara realisasi

capaian terhadap target capaian yang ditetapkan dalam program kerja lembaga

145

tersebut; (2) menghitung efisiensi biaya (cost-efficiency) aktivitas lembaga dalam

menghasilkan output (keluaran).

1. Pengukuran Kinerja dari Sisi Output Berdasar Perbandingan Realisasi Capaian Terhadap Target Capaian Program Kerja Lembaga KSAD

Output adalah hasil langsung dari suatu proses kegiatan. Pengukuran

output adalah pengukuran keluaran langsung suatu proses kegiatan. Ukuran output

menunjukkan hasil implementasi program atau aktivitas. Untuk mengukur kinerja

organisasi dalam bentuk keluaran langsung hanya bisa dilakukan apabila

organisasi tersebut mampu membandingkan antara realisasi dengan target yang

hendak dicapai yang telah ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, target kinerja

harus ditentukan. Setelah target ditentukan, dalam tahap berikutnya organisasi

membuat indikator kinerja. Indikator kinerja ini berfungsi sebagai tonggak yang

menandai sejauh mana organisasi telah mencapai tujuan dan target yang telah

ditetapkan (Mahmudi, 2005).

Aktivitas utama lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu; memfasilitasi masuknya

investasi ke daerah, mendorong frekuensi kegiatan perdagangan produk daerah ke

pasar regional, nasional atau bahkan ke internasional, dan melakukan

pengembangan pariwisata regional.

Kegiatan fasilitasi masuknya investasi ke daerah dilakukan dengan

memasarkan potensi ekonomi daerah kepada calon investor. Mendorong kegiatan

perdagangan produk daerah dilakukan dengan menyelenggarakan kegiatan pasar

lelang. Sedangkan kegiatan pengembangan pariwisata regional dilakukan dengan

membentuk paguyuban pariwisata dan penetapan paket-paket wisata di masing-

masing kabupaten anggota. Dari berbagai aktivitas tersebut, untuk mengetahui

bagaimana kinerja organisasi dilihat dari keluaran langsung (output) yang

dihasilkan dapat diukur dengan membandingkan antara realisasi output yang

dicapai dengan target output yang diharapkan, sebagaimana dapat dilihat pada

tabel di bawah.

146

Tabel 37 Indikator Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB Berdasar Perbandingan Target Dan Realisasi Program Kerja

No. Aktivitas Kegiatan Indikator Kinerja Pengukuran Kinerja 1. Fasilitasi Investasi

Daerah Jumlah nilai investasi yang masuk

Perbandingan realisasi terhadap target

2. Perdagangan Produk Daerah

1. Jumlah nilai transaksi dalam kegiatan lelang 2. Jumlah peserta lelang

Perbandingan realisasi terhadap target

3. Pengembangan Pariwisata Regional

Jumlah obyek wisata yang dikembangkan

Perbandingan realisasi terhadap target

Untuk mengetahui berapa target capaian yang diharapkan, dapat dilihat

pada dokumen perencanaan program yang dibuat oleh setiap organisasi pada awal

tahun kegiatan. Sedangkan untuk mengetahui berapa realisasi capaian kegiatan

dapat dilihat dari dokumen laporan pertanggungjawaban kegiatan yang dibuat

pada akhir tahun kegiatan atau selambat-lambatnya pada awal tahun kegiatan pada

tahun berikutnya. Berdasarkan kedua dokumen tersebut, diketahui bahwa

Regional Management BARLINGMASCAKEB tidak pernah membuat target-

target kegiatan yang harus dicapai dalam melaksanakan program kegiatannya.

Setiap tahun organisasi memiliki serangkaian program kerja yang harus

dilaksanakan agar tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat dicapai. Namun,

karena target pencapaian tujuan tahunannya tidak pernah ditetapkan maka kinerja

organisasi tidak pernah bisa diukur. Pencapaian kinerja organisasi dari sisi output

atau keluaran langsung setidaknya dapat dijadikan bahan evaluasi bagi organisasi

apakah program kerja yang dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan

organisasi telah sesuai pada jalur yang benar.

Berdasarkan penggalian data di lapangan, dari hasil wawancara dengan

Sekretaris Regional Manager BARLINGMASCAKEB, diperoleh informasi

bahwa evaluasi program tahunan tidak pernah dilakukan. Alasan yang diberikan

adalah bahwa setiap tahun Regional Manager membuat rencana program kegiatan

yang diajukan kepada Dewan Eksekutif untuk mendapat persetujuan sebagai dasar

rencana program tersebut dapat dilaksanakan. Pada akhir tahun kegiatan, Regional

Manager juga membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan yang perlu

dimintakan pengesahan dari Dewan Eksekutif sebagai bukti bahwa kegiatan

selama satu tahun berjalan telah dapat diterima pertanggungjawabannya. Dalam

147

kenyataannya, kedua dokumen tersebut yaitu dokumen rencana program kegiatan

dan dokumen laporan pertanggungjawaban kegiatan yang dibuat oleh Regional

Manager selalu mendapat persetujuan dan pengesahan dari Dewan Eksekutif.

Atas dasar hal tersebut mereka menganggap bahwa tidak ada yang salah berkaitan

dengan rencana program yang disusun dan capaian hasil yang diperoleh dari

kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB selama ini. Sehingga

evaluasi program kegiatan tahunan tidak pernah dilakukan.

Dari temuan ini, evaluasi awal yang harus dilakukan untuk membenahi

kinerja kelembagaan dari lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB haruslah dimulai dari aktivitas pembuatan dokumen

rencana kegiatan yang harus berisi mengenai; (1) visi, misi, tujuan, sasaran dan

target; (2) penentuan indikator input, output, dan outcome. Apabila dokumen

perencanaan telah berisi dua hal tersebut maka kinerja organisasi akan dapat

diukur, dan apabila kinerja organisasi belum dapat mencapai sebagaimana yang

diharapkan maka evaluasi terhadap proses pencapaian hasil akan lebih mudah

untuk dilakukan.

2. Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasar Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency)

Efisiensi merupakan perbandingan antar output dengan input atau dengan

istilah lain output per unit input. Efisiensi terkait hubungan antara output berupa

barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumberdaya yang digunakan untuk

menghasilkan output tersebut. Suatu organisasi dikatakan efisien apabila mampu

menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya, atau dengan input

tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya. Jadi efisiensi merupakan

rasio antara besarnya output yang dihasilkan dengan besarnya input yang

digunakan untuk menghasilkan output tersebut.

Untuk mengukur kinerja lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB berdasarkan penghitungan efisiensi biaya (cost-

efficiency) dilakukan dengan membandingkan output yang dihasilkan dari

organisasi tersebut berupa keuntungan yang diperoleh pemerintah daerah maupun

masyarakat sebagai akibat dari aktivitas kerjasama yang dilakukan dengan

besarnya input yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut.

148

Ada tiga kegiatan utama yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar

daerah ini agar tujuan yang diharapkan berupa peningkatan skala ekonomi daerah

dapat dicapai, yaitu; (1) melakukan kegiatan fasilitasi investasi daerah, (2)

melakukan perdagangan produk daerah, dan (3) pengembangan pariwisata

regional. Pengukuran kinerja dari sisi efisiensi biaya dilakukan dengan

membandingkan antara input dengan output yang dihasilkan dari ketiga kegiatan

tersebut.

Sumber pendanaan dari lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB berasal dari iuran lima kabupaten anggota. Pada tahun

pertama dan kedua masing-masing anggota bersepakat berkontribusi sebesar 100

juta rupiah untuk membiayai kegiatan operasional lembaga. Pada tahun ketiga

kontribusi dinaikkan menjadi masing-masing sebesar 150 juta rupiah.

Penggunaan anggaran operasional kegiatan pada dasarnya dibagi menjadi

dua. Pertama, belanja tidak langsung yaitu alokasi dana yang digunakan untuk

membayar gaji personel (pegawai) dan biaya tetap lainnya seperti biaya listrik,

telpon, air PAM, dan pemeliharan peralatan kantor lainnya. Kedua, belanja

langsung yaitu alokasi pendanaan yang digunakan untuk membiayai berbagai

kegiatan yang dilakukan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Alokasi belanja langsung inilah yang digunakan untuk membiayai kegiatan

fasilitasi investasi daerah, perdagangan produk daerah dan pengembangan

pariwisata daerah. Besarnya alokasi anggaran dari masing-masing kegiatan tiap

tahunnya terlihat pada kolom input dari masing-masing tabel pengukuran kinerja.

Tabel 38 Alokasi Anggaran Kegiatan Lembaga KSAD BARLINGMASCAKEB Tahun 2003 -2009

Tahun Belanja Langsung (Rp.)

Belanja Tidak langsung (Rp.)

Jumlah (Rp.)

2003 216,056,264 258,500,000 474,556,264 2004 196,799,336 212,000,000 408,799,336 2005 535,026,571 212,000,000 747,026,571 2006 511,573,342 212,000,000 723,573,342 2007 478,794,696 295,350,000 774,144,696 2008 202,760,722 295,350,000 498,110,722 2009 454,650,000 295,350,000 750,000,000

Sumber: Data sekunder diolah.

149

2.1. Kegiatan Fasilitasi Investasi Daerah

Kegiatan fasilitasi investasi daerah ini dilakukan oleh lembaga kerjasama

antar daerah BARLINGMASCAKEB untuk mendatangkan calon investor agar

mau menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB. Berbagai

kegiatan telah dilakukan untuk mendatangkan para calon investor tersebut agar

bersedia menanamkan investasinya di wilayah ini. Aktivitas pertama yang

dilakukan adalah melakukan kegiatan promosi potensi ekonomi daerah dengan

sistem on-line dengan cara membangun website BARLINGMASCAKEB guna

membangun jaringan informasi dan komunikasi kepada calon investor. Di

samping itu promosi potensi juga dilakukan dengan mengikuti berbagai kegiatan

pameran pembangunan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Agar para calon investor bersedia menanamkan investasinya di wilayah ini

perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif di wilayah

BARLINGMASCAKEB. Untuk itu telah dilakukan sinkronisasi kebijakan publik

di bidang pelayanan perijinan agar masyarakat dunia usaha dan investor mendapat

perlakuan yang sama dalam pengurusan perijinan usaha di lima kabupaten

anggota dengan prinsip ”mudah, murah, cepat, transparan, dan akuntabel”, dengan

membuat prototipe Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan perijinan di lima

kabupaten anggota. Untuk mempermudah akses masuknya investor ke wilayah ini

lembaga kerjasama antar daerah bekerjasama dengan PT Merpati Nusantara

Airlines, Tbk. membuka jalur penerbangan Jakarta – Cilacap dengan sistem

insentif.

Dalam rangka mendatangkan para investor di wilayah ini, di samping

melakukan kegiatan promosi dan mempersiapkan iklim kondusif bagi masuknya

investasi, regional manager secara aktif juga mengundang para calon investor

untuk berinvestasi di wilayah ini serta melakukan road show ke berbagai

perusahaan yang menggunakan bahan baku produk yang dihasilkan di wilayah

BARLINGMASCAKEB seperti PT Indofood, ABC Indonesia, dan Industri Kecap

Bango yang berpotensi sebagai investor. Untuk mendukung berbagai kegiatan

tersebut dilakukan kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah yang bergerak

di bidang investasi dan penanaman modal seperti Badan Koordinasi Penanaman

Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan dan Perindustrian.

150

Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan di atas adalah masuknya

investor yang menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB.

Selama periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 jumlah investasi baru yang

masuk di kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB adalah sebagaimana

terlihat pada tabel berikut.

Tabel 39 Investasi Baru yang Masuk di Kabupaten di Wilayah Barlingmascakeb

Tahun Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 2003 4,490,591,747 47,673,218,890 1,635,245,000 421,287,000 2,977,500,000 2004 16,788,682,377 0 2,372,201,000 -1,022,567,000 740,000,000 2005 3,664,708,893 -19,651,743,890 55,832,158,000 601,280,000 -2,965,000,000 2006 17,290,690,634 86,169,224,000 77,444,598,000 30,421,287,000 102,500,000 2007 84,003,043,226 -80,335,163,000 -21,780,000,000 3,104,602,000 1,480,000,000 2008 -100,564,642,990 -27,913,589,558 162,000,000,000 128,961,724,000 922,500,000 2009 65,449,520,900 33,994,200,558 -109,990,000,000 -1,263,838,000 537,500,000

Rata-rata 2003 - 2009 13,017,513,541 5,705,163,857 23,930,600,286 23,031,967,857 542,142,857

Sumber: Data sekunder diolah

Untuk mengukur indikator kinerja output dapat dilakukan dengan melihat

jumlah investasi baru yang masuk di wilayah ini yang difasilitasi oleh lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Untuk mengukur efisiensi biaya

dari kegiatan ini dilakukan dengan menghitung rasio rata-rata investasi baru yang

masuk di kabupaten dikurangi biaya mendatangakan invesatsi ketika tidak

kerjasama dengan rata-rata investasi baru yang masuk di kabupaten dikurangi

biaya mendatangakan investasi ketika kerjasama. Besarnya nilai efisiensi biaya

dari kegiatan ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 40 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency) Untuk Kegiatan Fasilitasi Investasi Daerah (Rupiah)

Kabupaten Tahun Tidak kerjasama Kerjasama Cost-

Effisiency Rata-Rata Investasi Baru yang Masuk di Kabupaten

Biaya yang dialokasikan untuk mendatangkan investor

Rata-Rata Investasi Baru yang Masuk di Kabupaten

Biaya yang dialokasikan untuk mendatangkan investor

Banjarnegara 2003 - 2009 13,017,513,541 691,914,663 13,017,513,541 821,169,044 0.990 Purbalingga 2003 - 2009 5,705,163,857 667,158,833 5,705,163,857 796,413,214 0.974 Banyumas 2003 - 2009 23,930,600,286 1,105,799,770 24,380,600,286 1,235,054,151 1.014 Cilacap 2003 - 2009 23,031,967,857 1,180,196,240 23,031,967,857 1,309,450,621 0.994 Kebumen 2003 - 2009 542,142,857 276,356,295 542,142,857 405,610,676 0.514

Sumber: Data sekunder diolah

151

Dari tabel di atas diketahui bahwa hanya di Kabupaten Banyumas yang

menunjukkan bahwa efisiensi biaya dari kegiatan mendatangkan investasi

memiliki nilai lebih besar dari satu (>1). Sedangkan di empat kabupaten lain

yaitu Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen nilai efisiensi biayanya

lebih kecil dari satu (<1). Hal ini memberikan arti bahwa pada kegitan fasilitasi

invesatsi daerah yang dilakukan oleh pengelola lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB hanya memberikan manfaat bagi Pemerintah Kabupaten

Banyumas berupa tambahan masuknya investasi baru sebagai akibat dari kegiatan

yang dilakukan oleh lembaga KSAD. Sedangkan di ke empat kabupaten lain

kegiatan fasilitasi investasi daerah tidak memberikan manfaat apa-apa.

Dari hasil penggalian data di lapangan dengan melakukan wawancara

dengan Sekretaris Dewan Eksekutif, Regional Manager, Analis Pemasaran dan

pejabat birokrasi setingkat Kepala Bidang di SKPD terkait, di masing-masing

pemerintah daerah diperoleh informasi bahwa berbagai kegagalan lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB disebabkan oleh berbagai hal

antara lain; kurangnya komitmen kepala daerah, tidak selektifnya pengelola

lembaga kerjasama antar daerah dalam mendatangkan calon investor, dan

kurangnya kesiapan masyarakat untuk menerima investasi yang masuk di daerah.

Kurangnya komitmen kepala daerah juga menjadi salah satu penyebab

rendahnya kinerja dari kegiatan ini. Tugas dari Regional Management

BARLINGMASCAKEB dalam kegiatan fasilitasi investasi daerah adalah

mendatangkan calon investor agar bersedia menanamkan investasinya di wilayah

BARLINGMASCAKEB. Setelah calon investor datang, mereka diperkenalkan

kepada pimpinan daerah sebagai calon pengguna untuk bernegosiasi mengenai

kelayakan investasi yang akan ditanamkan. Kepastian investor untuk

menanamkan investasi sangat bergantung pada keberhasilan negosiasi mereka

dengan pemerintah daerah dimana mereka mau menanamkan investasinya. Dalam

suatu kasus, negosiasi pernah gagal disebabkan karena komitmen kepala daerah

untuk menerima investasi yang masuk di daerahnya kurang, sebagai contoh PT

Carrefour Tbk. yang bergerak di bidang usaha ritel bermaksud untuk menanamkan

usahanya di Kabupaten Banyumas. Karena bidang usaha dari perusahaan ini

bergerak di usaha perdagangan, mereka berharap mendapatkan lokasi usaha di

152

wilayah Kota Purwokerto. Mereka menginginkan lokasi usaha di tanah pemda

atau ditempat lain dengan sistem sewa, namun untuk memudahkan urusan

adminitrasi pertanahannya lokasi minta disediakan oleh pemerintah daerah. Atas

permintaan tersebut negosiasi tidak mencapai kesepakatan karena pemerintah

daerah tidak mengijinkan tanah pemda digunakan sebagai lokasi usaha.

Pemerintah daerah juga tidak bersedia untuk mencarikan lokasi pengganti serta

membantu mengurus administrasi pertanahannya. Atas penolakan ini, mereka

sebenarnya sudah berusaha untuk mencari lokasi sendiri namun, karena dirasa

kurang sesuai dan harganya juga terlalu tinggi akhirnya mereka mengurungkan

niatnya berinvestasi di Kabupaten Banyumas

Kendala lain yang menjadi penyebab gagalnya investor menanamkan

investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB adalah kurang selektifnya

pengelola lembaga kerjasama antar daerah dalam mendatangkan calon investor.

Ada kesan pengelola (dalam hal ini Regional Manager) menjadikan terjadinya

”proses negosiasi” dengan calon investor sebagai ukuran keberhasilan dari

kegiatan fasilitasi investasi daerah. Hal ini menyebabkan selektifitas untuk

mendatangkan calon investor yang layak untuk berinvestasi di wilayah

BARLINGMASCAKEB menjadi sedikit terabaikan. Beberapa catatan yang perlu

diberikan kepada pengelola berkaitan dengan kurangnya selektifitas ini adalah:

1. Beberapa investor yang akan menanamkan investasinya di wilayah

BARLINGMASCAKEB masih diragukan kemampuannya terutama dalam

bidang keuangan. Hal ini didasarkan atas perlunya dana pendamping yang

harus disediakan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang tidak sedikit.

Ketidaksediaan pemerintah daerah dalam menyediakan dana pendamping

menyebabkan kegagalan mereka untuk berinvestasi.

2. Beberapa investor sebenarnya dapat dianggap kurang pas untuk menanamkan

investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB karena persyaratan teknis

yang dibutuhkan cukup berat untuk dipenuhi bagi pemerintah daerah di

wilayah BARLINGMASCAKEB. Sebagai contoh, investor pada tanaman

jagung dan pendirian pabrik nanas di Kabupaten Banjarnegara. Mereka

membutuhkan lahan 100 ribu Ha dengan sistem kontrak selama 30 tahun.

Pertanyaannya apakah pemerintah daerah di lima kabupaten mampu

153

menyediakan lahan seluas itu. Apakah tidak terjadi trade off dengan kegiatan

ekonomi yang sudah ada, apalagi jika ternyata aktivitas ekonomi yang telah

dijalani lebih menguntungkan. Contoh lain adalah rencana pendirian pabrik

gula kelapa. Sudah menjadi rahasia umum, selama ini antara pengrajin gula

kelapa dan para tengkulak terjadi saling ketergantungan yang sangat erat.

Kondisi ini sangat sulit untuk diurai. Apabila kondisi ini tidak dapat diperbaiki

problem input akan muncul bagi pendirian pabrik gula kelapa yang

direncanakan. Solusinya adalah melakukan penanaman pohon kelapa baru

sebagai penyupai bahan baku gula kelapa yang akan diolah. Pertanyaannya

adalah butuh berapa lama untuk melakukan penanaman pohon baru untuk

sampai bisa berproduksi. Kemudian, kalau yang menanam pohon tersebut

adalah para pengrajin lama, mereka sudah terikat dengan para tengkulak dan

bukannya kepada pabrik gula.

Pada intinya kegagalan realisasi penanaman investasi di wilayah

BARLINGMASCAKEB yang telah diupayakan oleh Regional Management

BARLINGMASCAKEB karena ketidaklayakan jenis usaha yang akan

diinvestasikan. Hal ini disebabkan karena kurangnya kehati-hatian dari pengelola

lembaga kerjasama antar daerah dalam memilih calon investor untuk

menanamkan investasinya di wilayah ini.

Ketidaksiapan masyarakat terhadap masuknya investasi di daerah juga

menjadi salah satu kendala sulitnya calon investor untuk menanamkan

investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB. Banyak pemerintah daerah yang

mengkampanyekan bahwa wilayahnya merupakan daerah yang pro investasi.

Untuk menyandang predikat tersebut dibuat berbagai peraturan yang

mempermudah investor untuk masuk, misalnya dengan menyederhanakan

prosedur perijinan dan membebaskan biaya perijinan untuk penanaman investasi.

Namun demikian, berbagai kemudahan perijinan untuk kegiatan investasi menjadi

kurang berarti apabila masyarakat tidak disiapkan untuk menerima program

tersebut. Salah satu contoh dari gagalnya kegiatan fasilitasi investasi daerah yang

dilakukan oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB berkaitan dengan

masalah tersebut. Kasus gagalnya PT. Carrefour Tbk. menanamkan investasinya

di Kabupaten Banyumas dikarenakan kesulitan untuk mencari lokasi yang cocok

154

dengan harga yang wajar. Masyarakat pemilik tanah yang lokasinya diminati oleh

perusahaan tersebut dengan tiba-tiba menaikkan harga jual tanah mereka untuk

dibeli atau disewa di luar batas kewajaran ketika tahu yang menginginkan tanah

mereka adalah investor dari luar. Kenaikan harga tanah mereka bisa mencapai

sepuluh kali lipat dari harga yang sewajarnya. Pemilik tanah hanya melihat bahwa

investor adalah orang yang memiliki banyak uang dan akan menanamkan

investasinya untuk mendapatkan keuntungan. Masyarakat kurang menyadari

bahwa dengan masuknya investasi di daerah akan dapat membuka lapangan

pekerjaan baru dan hal ini dapat membantu masyarakat lainnya yang sedang

membutuhkan pekerjaan. Ketidaksiapan masyarakat terhadap masuknya investor

dengan mencari keuntungan sendiri menjadi salah satu penyebab gagalnya

kegiatan fasilitasi investasi daerah.

2.2. Pengembangan Perdagangan Produk Daerah

Kegiatan pengembangan perdagangan produk daerah yang dilakukan

dalam bentuk penyelenggaraan pasar lelang forward komoditi agro. Selama

penyelenggaraan kegiatan pasar lelang sejak tahun 2003 sampai dengan tahun

2009 telah dilakukan kegiatan sebanyak 17 kali dengan melibatkan jumlah

pedagang sebanyak 133 orang yang berasal dari wilayah

BARLINGMASCAKEB. Untuk mengetahui manfaat dari kegiatan pasar lelang

ini telah dilakukan pengambilan sampel secara proporsional kepada 30 orang

pedagang yang terlibat dalam kegiatan lelang tersebut. Berdasarkan hasil

wawancara dengan mereka, semuanya menganggap bahwa adanya kegiatan pasar

lelang yang diselenggarakan oleh lembaga kerjasama antar daerah telah

memberikan manfaat bagi mereka karena kegiatan tersebut telah memberikan

alternatif baru bagi mereka untuk melakukan kegiatan transaksi perdagangan di

luar tempat transaksi perdagangan yang biasa mereka lakukan.

Dengan terlibat dalam kegiatan pasar lelang nilai omset perdagangan

mereka akan meningkat karena jumlah komoditas yang diperdagangkan

bertambah. Berdasarkan pengakuan mereka, keuntungan yang diperoleh per

satuan barang yang dijual pada kegiatan pasar lelang sama dengan apabila dijual

pada tempat lain. Artinya dengan mengikuti kegiatan pasar lelang mereka tidak

mendapatkan keuntungan lebih untuk masing-masing satuan komoditas yang

155

dijualnya. Keuntungan diperoleh karena dengan mengikuti kegiatan pasar lelang

mereka akan menambah jumlah omset penjualan. Karena omset penjualan

bertambah maka keuntungan pedagang akan bertambah. Sebaliknya bagi

pedagang yang tidak terlibat dalam kegiatan pasar lelang maka mereka tidak akan

mendapat tambahan keuntungan karena tidak adanya penambahan omset

perdagangan mereka. Dengan kata lain kegiatan pengembanagn perdagangan

produk daerah melalui kegiatan pasar lelang dapat memberikan manfaat berupa

penambahan keuntungan bagi para pedagang khususnya yang terlibat dalam

kegiatan pasar lelang tersebut.

Untuk mengukur kinerja kegiatan perdagangan produk daerah berdasarkan

perhitungan efisiensi biaya dilakukan dengan membandingan rasio besaran nilai

input yaitu besarnya keuntungan pedagang ketika tidak ada pasar lelang dengan

keuntungan pedagang ketika ada pasar lelang dikurangi biaya lelang. Tabel

berikut menggambarkan besaran nilai biaya efisiensi dari kegiatan perdagangan

produk daerah.

Tabel 41 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency) Untuk Kegiatan Perdagangan Produk

Daerah

Kabupaten Tahun Tidak kerjasama Kerjasama Cost-Effisien cy Keuntungan

pedagang Biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pasar lelang.

Keuntungan Pedagang

Biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pasar lelang.

Banjarnegara 2003 - 2009 62,787,945,945 0 69,764,384,384 172,014,344 1.108 Purbalingga 2003 - 2009 25,388,525,194 0 26,724,763,362 172,014,344 1.046 Banyumas 2003 - 2009 89,711,618,590 0 92,486,204,732 172,014,344 1.029 Cilacap 2003 - 2009 25,615,600,936 0 26,963,790,459 172,014,344 1.046 Kebumen 2003 - 2009 45,218,528,021 0 47,598,450,548 172,014,344 1.049

Sumber: Data primer dan sekunder diolah

Tabel di atas menunjukkan bahwa rasio keuntungan pedagang pada saat

terlibat dalam kegiatan pasar lelang yang diselenggarakan lembaga KSAD dengan

pada saat tidak terlibat dalam kegiatan pasar lelang nilainya lebih besar dari satu

(> 1). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pasar lelang yang diselenggarakan

oleh KSAD menguntungakan bagi pedagang di lima kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB.

156

Meskipun kegiatan pasar lelang secara umum telah memberikan manfaat

bagi pedagang berupa tambahan keuntungan bagi mereka, namun berdasarkan

penggalian data dari para responden pedagang penyelenggaraan pasar lelang

dengan menggunakan sistem forward (perdagangan berjangka) seringkali masih

memunculkan banyak masalah. Hal ini ditunjukkan dari munculnya beberapa

ketidakpuasan dari pelaku transaksi, terutama dari para produsen. Dengan sistem

forward jaminan legalitas transaksi masih lemah sehingga muncul tawar menawar

kedua ketika realisasi pengiriman barang terjadi. Keadaan ini menunjukkan bahwa

posisi tawar terutama pihak produsen masih lemah.

Tidak tercapainya kondisi ideal dalam kegiatan pasar lelang disebabkan

karena lemahnya aturan main dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut, seperti;

(1) tidak adanya persyaratan yang pasti terhadap peserta lelang, baik penjual

maupun pembeli, (2) Jangka waktu pelaksanaan lelang dengan realisasi

penyerahan barang terlalu panjang, (3) masih adanya informasi yang asimetris

(asimetris information) mengenai standarisai produk. Adanya berbagai kendala

tersebut menyebabkan kesepakatan nilai transaksi yang terjadi pada saat lelang

tidak selalu sama dengan pada saat penyerahan barang. Kondisi ini berakibat pada

naik turunnya keuntungan yang diperoleh para pedagang.

2.3. Pengembangan Pariwisata Regional

Aktivitas ketiga yang dipilih sebagai fokus kegiatan oleh Regional

Management BARLIGMASCAKEB untuk meningkatkan skala ekonomi wilayah

adalah kegiatan pengembangan pariwisata regional. Pilihan ini didasarkan atas

pertimbangan bahwa potensi pariwisata sebagai sumberdaya ekonomi yang

dimiliki oleh masing-masing daerah cukup beragam dan memiliki kekhasan

masing-masing sehingga sangat potensial untuk dikembangkan pada skala

regional. Pariwisata sebagai sumberdaya ekonomi potensial bagi daerah dapat

ditunjukkan dari besaran penerimaan pendapatan daerah dari sektor ini dari tahun

ke tahun yang cenderung meningkat. Selama periode tahun 2003 sampai dengan

tahun 2009 penerimaan daerah dalam bentuk retribusi pariwisata dapat dilihat

pada tabel berikut.

157

Tabel 42 Retribusi Pariwisata Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB

Tahun Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 2003 1,000,572,312 335,760,000 1,647,145,905 487,959,705 859,114,800 2004 1,115,021,400 310,400,500 1,632,688,234 506,882,140 859,114,800 2005 1,101,986,062 325,500,000 1,514,679,917 416,957,675 859,114,800 2006 1,409,485,172 344,247,000 1,437,369,390 351,573,680 692,173,490 2007 1,541,532,031 348,198,500 1,632,333,220 407,459,220 1,005,472,053 2008 1,772,043,124 385,029,550 2,794,003,207 464,726,395 1,278,598,632 2009 2,342,286,780 421,304,000 2,914,959,976 1,987,871,775 1,488,341,838

Rata-Rata 1,468,989,554 352,919,936 1,939,025,693 660,490,084 1,005,990,059

Sumber: Data sekunder diolah Untuk mengukur kinerja lembaga kerjasama antar daerah dari aspek

efisiensi biaya pada kegiatan pengembangan pariwisata regional dapat dilakukan

dengan menghitung rasio rata-rata penerimaan retribusi pariwisata dikurangi biaya

pengembangan obyek wisata ketika tidak kerjasama dengan rata-rata penerimaan

retribusi pariwista dikurangi biaya pengembangan obyek wisata ketika ada

kerjasama. Tabel 43 menggambarkan rasio efisiensi biaya dari kegiatan

pengembangan pariwisata regional di wilayah BARLINGMASCAKEB.

Tabel 43 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Effisiency) Untuk Kegiatan Pengembangan

Pariwisata Regional

Kabupaten Tahun Tidak Kerjasama Kerjasama Cost-Effisiency

Rata-Rata Penerimaan Retribusi obyek wisata

biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pengembang an pariwisata

Rata-rata PenerimaaanRetribusi obyek wisata

biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pengembang an pariwisata

Banjarnegara 2003 - 2009 1,468,989,554 892,935,819 1,468,989,554 947,189,324 0.906 Purbalingga 2003 - 2009 352,919,936 259,352,856 352,919,936 313,606,362 0.420 Banyumas 2003 - 2009 1,939,025,693 1,750,628,070 1,939,025,693 1,804,881,576 0.712 Cilacap 2003 - 2009 660,490,084 528,638,889 660,490,084 582,892,394 0.589 Kebumen 2003 - 2009 1,005,990,059 820,869,764 1,005,990,059 875,123,270 0.707 Sumber: Data sekunder diolah

Dari tabel di atas diketahui bahwa rasio penerimaan retribusi pariwisata

ketika bekerjasama dengan ketika tidak bekerjasama di kelima kabupaten

menunjukkan nilai lebih kecil dari satu (< 1). Artinya pengembangan pariwisata

regional melalui kegiatan kerjasama antar daerah tidak efisien. Dengan kata lain

kegiatan yang dilakukan oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB

dengan membentuk Paguyuban Pariwisata BARLINGMASCAKEB dan

158

pembentukan paket-paket wisata di masing-masing kabupaten anggota tidak

memberikan hasil bagi upaya pengembangan pariwisata regional.

Kegiatan pembentukan paguyuban pariwisata BARLINGMASCAKEB

dimaksudkan untuk mewadahi para pelaku usaha pariwisata seperti pemilik hotel

dan restoran, pemilik travel biro pariwisata dan pramuwisata agar bersinergi

dalam mempromosikan potensi wisata di daerah masing-masing.

Permasalahannya, setelah paguyuban dibentuk siapa yang melakukan pembinaan

dan pengawasan terhadap kegiatan paguyuban tersebut. Regional Management

tidak bisa melakukan pembinan dan pengawasan terhadap paguyuban pariwisata

yang dibentuk karena mereka tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal

tersebut. Akibatnya setelah paguyuban terbentuk, aktivitas dari paguyuban

tersebut tidak pernah terpantau dan hasil kegiatannya tidak terlihat memberikan

manfaat bagi pengembangan pariwisata regional.

Realisasi pelaksanaan dari pembentukan paket-paket wisata di masing-

masing daerah juga tidak dapat berjalan dengan baik. Agar bisa berjalan dengan

baik kegiatan ini harus melibatkan SKPD di masing-masing daerah yang

membidangi kegiatan kepariwisataan. Dalam kenyataannya pengelola lembaga

kerjasama antar daerah tidak pernah berkoordinasi dan bekerjasama dengan

Dinas Pariwisata kabupaten untuk menjalankan kegiatan yang telah

direncanakannya. Dengan kata lain kegiatan yang telah diprogramkan tidak

memberikan dampak bagi pengembangan pariwisata regional karena kegiatan

yang telah diprogramkan hanya berhenti sampai pada tingkat perencanaan saja.

5.2.3. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah dari Sisi Outcome

Outcome adalah hasil yang dicapai dari suatu program atau aktivitas

dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Outcome mengukur apa yang telah

dicapai. Hasil yang diharapkan bisa berupa target kinerja yang diharapkan,

sedangkan outcome adalah hasil nyata yang dicapai. Pengukuran outcome

merupakan hal yang penting dalam organisasi sektor publik. Pengukuran

outcome di sektor publik adalah mengukur dampak atas aktivitas atau pelayanan

yang diberikan oleh organisasi sektor publik terhadap masyarakat.

159

Alasan perlunya penilaian outcome pada organisasi sektor publik adalah

bahwa pembuatan kebijakan sektor publik perlu melakukan perencanaan dan

pengendalian atas pelayanan yang menjadi tanggungjawabnya. Mereka perlu

membuat pertimbangan mengenai kinerja program sektor publik di masa lalu

dan mengalokasikan sumberdaya di masa yang akan datang. Untuk melakukan

pengendalian, pengukuran outcome memiliki dua peran, yaitu pengendalian

masa lalu (retrospective) dan pengendalian masa depan (prospective) (Mahmudi,

2005). Sebagai alat pengendalian masa lalu, pengukuran outcome dapat

digunakan untuk menentukan apakah manfaat yang diharapkan dari suatu

program telah tercapai. Sedangkan sebagai pengendali masa depan, pengukuran

outcome digunakan untuk memberikan arahan dalam melakukan keputusan

alokasi sumberdaya publik.

Untuk mengukur outcome (hasil yang telah dicapai) dari lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, harus dilihat kembali untuk

tujuan apa lembaga ini dibentuk. Mengacu pada pasal 4 ayat (1) dan (2)

Keputusan Bersama Bupati tentang pembentukan lembaga kerja sama antar

daerah BARLINGMASCAKEB, menyebutkan bahwa tujuan

diselenggarakannya kerjasama adalah untuk (1) mewujudkan sinergi dalam

pelaksanaan pembangunan antar daerah dengan menekankan pada pemanfaatan

potensi daerah secara bersama, (2) melakukan sinkronisasi dalam penyusunan

peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi

dan investasi. Kedua tujuan tersebut sebenarnya mengarah kepada kegiatan

melakukan pembangunan ekonomi daerah tetapi dengan memanfaatkan potensi

ekonomi secara bersama pada tingkat regional karena menyadari masing-masing

daerah memiliki kekurangan. Melakukan kegiatan pembangunan ekonomi daerah

secara bersama dapat diartikan sebagai melakukan kegiatan peningkatan skala

ekonomi daerah yang terbatas secara bersama.

Untuk mengetahui kinerja outcome pengukurannya didasarkan pada

indikator sebagai berikut; (1) Nilai investasi, diukur dari indikator kontribusi

masuknya investasi baru yang difasilitasi lembaga KSAD terhadap total investasi

baru di kabupaten; (2) Penyerapan tenaga kerja, diukur dari indikator kontribusi

tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan yang pembentukannya difasilitasi oleh

160

lembaga KSAD terhadap total tenaga kerja di kabupaten; (3) Pemanfaatan potensi

sumberdaya alam diukur dari indikator (a) jumlah perusahaan pertambangan dan

penggalian yang pembentukannya difasilitasi oleh lembaga KSAD terhadap total

perusahaan pertambangan dan penggalian di kabupaten dan (b) jumlah obyek

wisata yang telah memberikan manfaat ekonomi yang pengembangannya

difasilitasi oleh lembaga KSAD terhadap total obyek wisata yang telah

memberikan manfaat ekonomi di kabupaten. Dengan mendasarkan berbagai

indikator tersebut outcome yang diperoleh adalah sebagai berikut:

1. Investasi Daerah

Masuknya investasi di lima kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB

baik sebelum maupun sesudah ada lembaga kerjasam antar daerah secara umum

menunjukkan peningkatan. Tabel 44 menunjukkan kondisi tersebut.

Dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Kabupaten Cilacap merupakan daerah

yang unggul dalam hal kemampuan menarik investasi di wilayah ini. Keunggulan

ini disebabkan karena Kabupaten Cilacap memiliki kelengkapan sarana dan

prasarana infrastruktur transportasi wilayah yang lebih baik seperti tersedianya

pelabuhan samudera, bandar udara dan sarana transportasi jalan yang cukup baik

sehingga kabupaten Cilacap menjadi wilayah yang diminati oleh para investor

untu menanamkan invesatsinya.

Tabel 44 Nilai Investasi yang Masuk di Kabupaten Sebelum dan Sesudah adanya Lembaga KSAD di Wilayah Barlingmascakeb

Tahun Kabupaten Keterang

an Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 2000 48,440,550,300 28,201,000,000 41,096,692,000 1,369,813,068,000 209,457,500,000 sebelum

adanya lembaga KSAD

2001 48,347,555,320 28,394,000,000 43,202,319,000 1,372,866,539,000 209,770,000,0002002 48,877,405,213 28,519,000,000 43,835,798,000 1,373,467,819,000 214,177,500,0002003 53,367,996,960 76,192,218,890 45,471,043,000 1,373,889,106,000 217,155,000,0002004 70,156,679,337 76,192,218,890 47,843,244,000 1,372,866,539,000 217,895,000,000 Sesudah

adanya lembaga KSAD

2005 73,821,388,230 56,540,475,000 103,675,402,000 1,373,467,819,000 214,930,000,0002006 91,112,078,864 142,709,699,000 181,120,000,000 1,403,889,106,000 215,032,500,0002007 175,115,122,090 62,374,536,000 159,340,000,000 1,406,993,708,000 216,512,500,0002008 74,550,479,100 34,460,946,442 321,340,000,000 1,535,955,432,000 217,435,000,0002009 140,000,000,000 68,455,147,000 211,350,000,000 1,534,691,594,000 217,972,500,000

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah, LPJ Tahunan Bupati Banjarnegara, Puralingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen.

Meskipun secara rata-rata terjadi kenaikan besaran nilai investasi yang

masuk di kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB tidak berarti bahwa hal

161

tersebut disebabkan karena kinerja dari lembaga KSAD. Dari hasil analisis kinerja

outcome dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

berdasarkan indikator masuknya investasi baru di tingkat kabupaten menunjukkan

tingkatan yang sangat rendah. Aktivitas fasilitasi investasi daerah yang dilakukan

oleh lembaga KSAD dengan tujuan untuk mendatangkan invesatsi di daerah

belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Tabel 45 di bawah

memberikan gambaran tersebut.

Tabel 45 Kontribusi Besarnya Investasi Yang Masuk di Kabupaten yang Difasilitasi Oleh Lembaga Kerjasama Antar Daerah

Kabupaten Tahun Rata-Rata

Investasi baru yang Masuk di Kabupaten (Rp.)

Jumlah investasi baru yang masuk yang difasilitasi oleh lembaga KSAD di kabupaten (Rp)

Persentase Sumbangan lembaga KSAD terhadap masuknya investasi baru di kabupaten

Banjarnegara 2003 - 2009 13,017,513,541 0 0.00

Purbalingga 2003 - 2009 5,705,163,857 0 0.00

Banyumas 2003 - 2009 23,930,600,286 450,000,000 1.88

Cilacap 2003 - 2009 23,031,967,857 0 0.00

Kebumen 2003 - 2009 542,142,857 0 0.00

Sumber: Data Sekunder diolah

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa kontribusi masuknya investasi di

lima kabupaten sebagai akibat adanya kerjasama antar daerah belum menunjukkan

hasil. Kegiatan fasilitasi investasi daerah dari lembaga KSAD yang dimaksudkan

untuk mendorong masuknya investasi ke daerah belum mampu membuat para

investor tertarik unuk menanamkan investasinya ke kabupaten anggota. Selama

tujuh tahun periode pelaksanaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

baru bisa menghadirkan satu investor yang menanamkan investasinya di

Kabupaten Banyumas, itu pun dengan kontribusi nilai investasi yang sangat kecil

yaitu hanya sebesar 1.88 persen dari rata-rata total investasi baru yang masuk di

kabupaten pada periode 2003 – 2009.

2. Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja

Dari indikator tingkat penyerapan tenaga kerja, kinerja outcome dari

lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB juga menunjukkan hasil

yang tidak menggembirakan. Buruknya kinerja outcome dari indikator ini sangat

162

berkaitan erat dengan kinerja outcome dari indikator masuknya investasi di

daerah. Karena lembaga kerjasama antar daerah hanya mampu memfasilitasi

masuknya satu investor, apalagi dengan besaran nilai investasi yang relatif kecil

dan hanya mampu merekrut tenaga kerja sebanyak 25 orang, maka kinerja

outcome dari lembaga ini juga sangat rendah. Tabel berikut menggambarkan

capaian kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dari sisi

outcome berdasarkan indikator penyerapan tenaga kerja.

Tabel 46 Kontribusi Tenaga Kerja Yang Bekerja di Perusahaan di Kabupaten yang Keberadaannya Di Fasilitasi Lembaga Kerjasama Antar Daerah

Kabupaten Tahun Rata-Rata

Tenaga Kerja Yang Bekerja di Perusahaan (orang)

Jumlah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan yang Difasilitasi oleh lembaga KSAD

Kontribusi Tenaga Kerja Yang Bekerja di Perusahaan dari Lembaga KSAD ( %)

Jenis Perusahaan

Banjarnegara 2003 - 2009 8,259 0 0 Besar dan sedang

Purbalingga 2003 - 2009 20,014 0 0 Besar dan sedang

Banyumas

2003 - 2009

89,531

25

0.03

Besar, sedang dan kecil

Cilacap 2003 - 2009 8,014 0 0 Besar dan sedang

Kebumen 2003 - 2009 89,251 0 0 Besar, sedang dan kecil

Sumber: Data Sekunder diolah

Dari kinerja outcome, kontribusi lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB pada penyerapan tenaga kerja di daerah hanya sebesar

0.03 persen di Kabupaten Banyumas. Kontribusi ini hampir tidak ada artinya jika

dibandingkan dengan besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan di

Kabupaten Banyumas yang mencapai 89.531 orang. Sementara di empat

kabupaten lainnya kontribusi tersebut sama sekali tidak ada.

3. Pemanfaatan Sumberdaya Alam

Pada indikator pemanfaatan sumberdaya alam kinerja outcome dari

lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB menunjukkan hasil

yang lebih buruk. Apabila pada dua indikator sebelumnya, meskipun dengan hasil

yang kurang baik, keberadaan lembaga kerjasama antar daerah masih dapat

memfasilitasi masuknya investor ke daerah dan berkontribusi terhadap

163

penambahan penyerapan tenaga kerja walaupun dengan hasil yang tidak

signifikan. Pada indikator pemanfaatan sumberdaya alam kinerja outcome dari

lembaga ini sama sekali tidak memberikan hasil. Dua tabel berikut

menggambarkan kondisi tersebut.

Tabel 47 Kontribusi Pengelolaan Perusahaan Pertambangan dan Penggalian di Kabupaten yang Keberadaannya di Fasilitasi Oleh Lembaga Kerjasama Antar Daerah

Kabupaten Tahun Rata-Rata Jumlah

Perusahaan Pertambangan dan Galian

Persentase Jumlah Usaha Pertambangan dan Galian Yang Difasilitasi Lembaga KSAD (%)

Banjarnegara 2003 - 2009 13 0 Purbalingga 2003 - 2009 32 0 Banyumas 2003 - 2009 83 0 Cilacap 2003 - 2009 27 0 Kebumen 2003 - 2009 19 0 Sumber: Data Sekunder diolah Tabel 48 Kontribusi Jumlah Obyek Wisata yang Telah Memberikan Manfaat

Ekonomi di Kabupaten yang Keberadaannya di Fasilitasi Oleh Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

Kabupaten Tahun Rata-Rata Obyek Wisata Yang

Telah Memberikan Manfaat Ekonomi

Jumlah Obyek Wisata Yang Difasilitasi Lembaga KSAD (%)

Banjarnegara 2003 - 2009 5 0 Purbalingga 2003 - 2009 9 0 Banyumas 2003 - 2009 11 0 Cilacap 2003 - 2009 7 0 Kebumen 2003 - 2009 8 0

Sumber: Data Sekunder diolah

Dari deskripsi di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa keberadaan

lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB yang dibentuk dengan

tujuan dapat mendorong pembangunan ekonomi secara regional dalam bentuk

penguatan skala ekonomi daerah belum dapat memberikan hasil sebagaimana

yang diharapkan.

5.2.4 Identifikasi Penyebab Rendahnya Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

Dari hasil penggalian data di lapangan, kegagalan lembaga kerjasama

antar daerah BARLINGMASCAKEB dalam mewujudkan tujuannya dapat

diidentifikasi faktor penyebabnya karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama,

164

faktor eksternal yaitu kurangnya dukungan dari pemerintah baik pusat maupun

provinsi. Kedua, faktor internal yaitu kurangnya komitmen dari pimpinan daerah

dan lemahnya aspek pengelolaan kegiatan dari lembaga kerjasama antar daerah.

Berikut deskripsi faktor penyebab rendahnya kinerja lembaga kerjasama antar

daerah BARLINGMASCAKEB.

1. Kurangnya Dukungan Dari Pemerintah

Kurangnya dukungan dari pemerintah baik pusat maupun provinsi

terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah juga menjadi faktor kendala

tidak optimalnya lembaga tersebut dalam menjalankan aktivitasnya. Dukungan

pemerintah baik pusat maupun provinsi dapat berupa dukungan pembuatan

peraturan perundangan sebagai dasar legal formal bahwa keberadaan lembaga

kerjasama antar daerah memang diatur dalam peraturan perundangan. Dukungan

juga dapat diberikan dalam bentuk pengawasan dan pembinaan maupun

pemberian bantuan pendanaan.

Secara formal memang telah banyak dibuat peraturan perundangan

mengenai lembaga kerjasam antar daerah. Namun, isi dari berbagai peraturan

tersebut terkadang tidak sejalan bahkan saling meniadakan. Seperti peraturan

perundangan yang mengatur sumber pembiayaan dari lembaga kerjasama antar

daerah sangat rancu dan membingungkan. Padahal pembiayaan bagi suatu

lembaga seperti lembaga kerjasama antar daerah sangat penting untuk menjaga

eksistensinya. Namun pembuat peraturan nampaknya tidak memahami sehingga

ketika membuat peraturan turunannya sumber pendanaan dari lembaga kerjasama

antar daerah ini menjadi tidak jelas. Berikut disampaikan kronologis urutan

peraturan perundangan yang mengatur mengenai keberadaan lembaga kerjasama

antar daerah dan sumber pendanaannya.

Dasar pembentukan lembaga kerjasama antar daerah adalah Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 195 ayat (1)

sampai dengan (4) yang berbunyi:

(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur

165

dengan keputusan bersama. (3) Dalam penyediaan pelayanan pubik, daerah dapat bekerja sama

dengan pihak ketiga. (4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang

membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.

Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah sebagaimana diatur dalam

undang-undang tersebut dibuat peraturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah

(PP) No. 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar

Daerah. Dalam pasal 24 dan pasal 25 ayat (2) dari Peraturan Pemerintah tersebut

mengatur mengenai pembentukan badan kerjasama dan sumber pembiayaan dari

keberadaan badan kerjasama tersebut.

Pasal 24 (1) Dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerja sama dengan

daerah lain yang dilakukan secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, kepala daerah dapat membentuk badan kerja sama.

Pasal 25 (2) Biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas badan kerja sama

menjadi tanggung jawab bersama kepala daerah yang melakukan kerja sama.

Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2007 pembiayaan lembaga kerjasama antar

daerah menjadi tanggungjawab kepala daerah. Melalui Permendagri Nomor 22

Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah Tahun Anggaran 2012 diperjelas bahwa yang dimaksud tanggungjawab

kepala daerah dalam pembiayaan lembaga kerjasama antar daerah berupa

pemberian alokasi anggaran dari APBD melalui pos belanja hibah, sebagaimana

tercantum dalam Point 5 (lima) Lampiran Permendagri No. 22 Tahun 2011.

Dalam penyelenggaraan pembangunan yang melibatkan beberapa daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efisien, pemerintah daerah dapat menganggarkan program dan kegiatan melalui pola kerjasama antar daerah dengan mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila pemerintah daerah membentuk badan kerjasama, maka masing-masing pemerintah daerah menganggarkan dalam APBD dalam bentuk belanja hibah kepada badan kerjasama.

Sampai pada tahap ini, isi dari peraturan perundangan yang mengatur

mengenai lembaga kerjasama antar daerah masih konsisten. Namun dengan

166

keluarnya Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah

dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah,

dana belanja hibah tidak lagi dapat diberikan kepada lembaga kerjasama antar

daerah. Pada pasal 5 Permendagri tersebut mengatur pemberian belanja hibah

hanya boleh diberikan kepada siapa saja dan pada pasal 6 menjelaskan secara rinci

kriteria dari penerima hibah tersebut.

Pasal 5 Hibah dapat diberikan kepada: a. pemerintah; b. pemerintah daerah lainnya; c. perusahaan daerah; d. masyarakat; dan/atau e. organisasi kemasyarakatan.

Pasal 6 1) Hibah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf

a diberikan kepada satuan kerja dari kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang wilayah kerjanya berada dalam daerah yang bersangkutan.

2) Hibah kepada pemerintah daerah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b diberikan kepada daerah otonom baru hasil pemekaran daerah sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan.

3) Hibah kepada perusahaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka penerusan hibah yang diterima pemerintah daerah dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

4) Hibah kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d diberikan kepada kelompok orang yang memiliki kegiatan tertentu dalam bidang perekonomian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, kesenian, adat istiadat, dan keolahragaan non-profesional.

(5) Hibah kepada organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Permendagri tersebut sama sekali tidak membuka ruang bagi lembaga

kerjasama antar daerah untuk dapat menerima kucuran dana APBD untuk

membiayai kegiatannya. Dengan keluarnya peraturan ini “lonceng kematian”

sudah dibunyikan oleh pemerintah sendiri terhadap eksistensi lembaga kerjasama

antar daerah. Ada dugaan keluarnya Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah, hanya bentuk “kecelakaan konstitusi” terhadap

keberadaan lembaga kerjasama antar daerah. Karena dasar pembentukan lembaga

167

kerjasama antar daerah bersumber dari undang-undang. Oleh karena itu, apabila

pemerintah ingin menghapuskan keberadaan lembaga kerjasama antar daerah juga

harus melalui undang-undang bukan peraturan di bawahnya. Bisa jadi terbitnya

permendagri tersebut karena ketidakpahaman dari pembuat peraturan tersebut

terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah. Namun terlepas dari

berbagai latar belakang yang mendasarinya, keluarnya peraturan tersebut dapat

menjadi bukti kurangnya dukungan pemerintah terhadap keberadaan lembaga

kerjasama antar daerah. Kondisi ini menjadi salah satu kendala tidak optimalnya

kinerja lembaga kerjasama antar daerah dalam menjalankan program kerjanya.

Kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap lembaga kerjasama antar

daerah juga dapat dilihat dari kurangnya peran pemerintah provinsi dalam

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga kerjasama antar daerah.

Berdasarkan Permendagri No. 23 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pembinaan dan

Pengawasan Kerjasama Antar Daerah, pasal 3 menyebutkan gubernur melakukan

pembinaan dan pengawasan atas kerjasama antar daerah kabupaten/kota di

wilayahnya. Namun dalam prakteknya peran tersebut tidak pernah dijalankan.

Masing-masing lembaga kerjasama antar daerah berjalan dan berkreasi sendiri

tanpa arahan dari pemerintah provinsi.

2. Kurangnya Komitmen Pimpinan Daerah.

Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

merupakan kesepakatan bersama dari lima bupati (Bupati Banjarnegara,

Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) yang dituangkan dalam bentuk

kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut muncul tentunya karena adanya

kesepahaman untuk membentuk lembaga sebagai wadah kerjasama di antara lima

kabupaten. Karena dasarnya adalah kesepakatan bersama, komitmen dari lima

bupati pada awal pembentukan lembaga ini tidak diragukan lagi. Namun, dalam

perjalanannya komitmen ini dapat berubah, misalnya ketika operasional dari

kesepakatan tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan atau ketika terjadi

pergantian kepala daerah (bupati) di salah satu kabupaten anggota.

Dalam realitanya fenomena itu benar terjadi. Pada saat ini, kepala daerah

dilima kabupaten anggota telah mengalami beberapa pergantian. Artinya kepala

daerah yang sekarang memimpin di lima kabupaten yang bekerjasama bukan lagi

168

bupati yang menandatangani kesepakatan bersama tersebut. Meskipun mereka

tetap bersepakat untuk melanjutkan kerjasama antar daerah yang sudah ada

namun, melemahnya komitmen di antara mereka telah menunjukkan tanda-tanda.

Pada awal pembentukannya, Forum Regional yang beranggotakan para

bupati bersepakat untuk menyelenggarakan rapat Forum Regional dengan agenda

membuat kebijakan umum dan mengevaluasi kinerja dari Dewan Eksekutif.

Dalam prakteknya komitmen untuk selalu menghadiri rapat Forum Regional

mulai menurun. Dengan alasan kesibukan kerja, rapat Forum Regional tidak lagi

selalu dapat diselenggarakan sekali dalam setahun namun bisa menjadi sekali

dalam dua tahun.

Pada level yang lebih rendah, Dewan Eksekutif yang beranggotakan para

Kepala Bappeda di masing-masing kabupaten dengan ketua salah satu bupati yang

ditunjuk oleh Forum Regional, dalam menyelenggarakan agenda rapat tidak selalu

dapat dihadiri oleh para anggotanya. Ketua Dewan Eksekutif tidak pernah

menghadiri rapat Dewan Eksekutif, dan para anggota Dewan Eksekutif lebih

sering mewakilkan kehadirannya pada kegiatan rapat-rapat Dewan Eksekutif.

Dalam banyak kasus Rapat Dewan Eksekutif tidak dapat membuat keputusan

karena ketidakhadiran dari para anggotanya.

Kesibukan kerja memang dapat menjadi alasan ketidakhadiran mereka

dalam kegiatan rapat yang menjadi agenda kegiatan lembaga kerjasama antar

daerah. Namun, dengan komitmen yang tinggi, dengan pemahaman bahwa

kegiatan kerjasama antar daerah sangat perlu untuk mendapat perhatian, mereka

pasti dapat meluangkan waktu untuk menghadirinya. Jadi komitmen yang menjadi

kata kunci, dan bukannya kesibukan kerja, yang menjadikan mereka bisa hadir

atau tidak dalam setiap kegiatan yang menyangkut kerjasama antar daerah.

Secara fisik ketidakhadiran pimpinan daerah dalam setiap agenda kerja

lembaga kerjasama antar daerah tidak terlalu bepengaruh karena mereka selalu

mengirimkan wakil dalam mengadiri berbagai kegiatan tersebut. Namun secara

psikologis ketidakhadiran mereka dapat menurunkan semangat kerja Regional

Manager dan perangkatnya dalam menjalankan aktivitasnya. Menurunnya

semangat kerja ini dapat berakibat pada kurang optimalnya pekerjaan mereka

sehingga berakibat pada tidak tercapainya tujuan organisasi.

169

Menurunnya komitmen pimpinan daerah juga terlihat dari arah program

pembangunan di masing-masing kabupaten. Kesepakatan bersama yang dibuat

oleh para bupati bahwa dibentuknya lembaga kerjasama antar daerah bertujuan

untuk mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar daerah

dengan menekankan pada pemanfaatan potensi daerah secara bersama. Namun,

dengan berjalannya waktu, ada gejala pengembangan potensi sumberdaya

ekonomi daerah justru mengarah pada kompetisi antar daerah. Sebagai contoh, di

Kabupaten Cilacap saat ini telah memiliki pelabuhan udara meskipun baru bisa di

darati oleh pesawat terbang dengan kapasitas yang kecil sehingga diperlukan

upaya pengembangan agar bisa melayani pesawat komersial dengan jenis yang

lebih besar dengan cakupan layanan pengguna di tingkat regional. Namun saat ini

ada wacana di kabupaten lain untuk melakukan pembangunan lapangan terbang di

wilayah mereka dengan memanfaatkan infrstruktur yang telah tersedia yang

dimiliki oleh militer. Contoh lain misalnya, keberhasilan suatu daerah dalam

mengembangkan suatu potensi wisata ditangkap oleh daerah lain sebagai sumber

inspirasi untuk melakukan hal yang sama di daerah masing-masing.

Adanya gejala pemanfaatan potensi sumberdaya ekonomi daerah yang

mengarah pada kompetisi antar daerah menjadi bukti melemahnya komitmen

pimpinan daerah terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah yang telah

dibentuknya sendiri. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab mengapa kinerja

lembaga tersebut tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan

3. Lemahnya Aspek Pengelolaan Kegiatan Lembaga Kerjasama Antar Daerah

Faktor kendala lain yang menyebabkan kinerja outcome dari lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB tidak optimal karena lemahnya

aspek pengelolaan dari lembaga kerjasama antar daerah itu sendiri. Sebagaimana

telah dijelaskan pada sub bab terdahulu bahwa kegagalan kinerja lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dalam mencapai tujuan yang

telah ditetapkan diantaranya disebabkan karena ketidaktepatan pengelola dalam

memilih calon investor yang memungkinkan untuk menanamkan investasinya di

wilayah BARLINGMASCAKEB. Dalam upaya melakukan pengembangan

pariwisata regional misalnya ketidaktepatan memilih sasaran program dan jenis

170

kegiatan menjadi penyumbang rendahnya kinerja dari sisi outcome. Pembentukan

paguyuban pariwisata dan paket wisata di masing-masing daerah tidak

menghasilkan sinergi tetapi justru menimbulkan potensi terjadinya kompetisi

antar daerah.

Tidak terintegrasinya kegiatan yang dilakukan oleh Regional Management

dengan kegiatan yang dilakukan oleh SKPD di masing-masing daerah juga

menjadi faktor penyumbang penting rendahnya kinerja lembaga kerjasama antar

daerah. Untuk bisa menghasilkan kinerja outcome sebagaimana yang diharapkan,

peran SKPD terkait sangat penting karena merekalah yang memiliki sumberdaya

manusia dan sumberdaya keuangan untuk bisa menjalankan fungsi pembangunan.

Dalam konteks pembangunan regional, tujuan pembangunan bisa dicapai apabila

SKPD terkait dari masing-masing kabupaten bekerjasama untuk menyelesaikan

permasalahan yang menyangkut bidang mereka namun berskala lintas daerah.

Selama ini agenda program kegiatan dari lembaga kerjasama antar daerah hanya

dilakukan oleh regional manager tanpa melibatkan SKPD dari masing-masing

daerah. Dengan kata lain aktivitas yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar

daerah belum mampu menumbuhkan aktivitas ”aksi bersama” (collective action)

bagi penyelesaian masalah pembangunan pada tingkatan regional.

5.2.5 Analisis Kritis Dimensi Kelembagaan Sebagai Pengaruh Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

Kelemahan dari sisi pengelolaan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB sebenarnya tidak terlepas dari

dimensi kelembagaan yang dipilih untuk menjalankan organisasi tersebut.

Mengapa kelemahan pengelolaan kegiatan bisa terjadi, karena ketidakjelasan

aturan main yang dibuat untuk menjalankan organisasi tersebut.

Kelembagaan sebagai serangkaian peraturan yang membangun struktur

interaksi antar anggota mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap capain

kinerja dalam suatu organisasi. Serangkaian aturan main yang disepakati dapat

menyangkut kewenangan yang dimiliki, pola relasi antar anggota yang terlibat,

struktur organisasi, kerangka regulasi dan sumber pendanaan. Semua dimensi ini

memberi kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

171

Sebagai contoh, organisasi yang dibentuk dengan kewenangan hanya melakukan

sharing informasi diantara para anggotanya maka organisasi tersebut tidak

mungkin dituntut untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapai

oleh anggota secara bersama.

Pada subbagian ini akan dideskripsikan hasil analisis faktor yang

mempengaruhi kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

dari aspek kelembagaan. Variabel yang akan dianalisis meliputi; format

kerjasama, pengelolaan kerjasama, struktur organisasi, kerangka regulasi, sumber

pendanaan dan sistem pendukung.

1. Format Kerjasama

Ada beberapa alternatif pola kelembagaan sebagai basis pengembangan

kerjasama antar daerah di Indonesia seperti: “Lembaga Kerjasama”, “Forum

Koordinasi”, “Forum Koordinasi Monitoring dan Evaluasi” dan “Badan Usaha

Bersama”. Perbedaan dari masing-masing format kerjasama tersebut terletak pada

dimensi kewenangan, lingkup otoritas dan pola relasi antara lembaga kerjasama

dengan anggota-anggotanya.

Pilihan pola kelembagaan dari lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB yang dilakukan oleh para penggagasnya adalah dalam

bentuk “Lembaga Kerjasama”. Pilihan ini sudah tepat, mengingat ada dua tujuan

yang hendak dicapai yaitu (1) tujuan pembangunan, dengan penekanan pada

sinkronisasi dan pensinergian program pembangunan ekonomi antar daerah; (2)

tujuan pemasaran, yang lebih menekankan pada pemasaran produk-produk lokal.

Pencapaian dua tujuan ini sangat membutuhkan format kelembagaan dalam

bentuk Lembaga Kerjasama, karena format ini memiliki kewenangan, lingkup

otoritas dan pola relasi antar anggota yang dapat mendukung pencapaian tujuan

tersebut.

Namun demikian, di dalam prakteknya format kelembagaan lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dalam bentuk “Lembaga

Kerjasama” ini tidak bisa berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan. Hal ini

disebabkan “Lembaga Kerjasama” tidak menjalankan kewenangan yang

dimilikinya secara penuh, hanya memiliki lingkup otoritas yang terbatas serta pola

relasi antar anggota yang sangat cair.

172

Ada empat kewenangan yang seharusnya dijalankan kelembagaan

kerjasama antar daerah dalam bentuk “Lembaga Kerjasama”, yaitu; (1)

Information networks: forum yang berfungsi sebagai pertukaran informasi

mengenai kebijakan dan program, teknologi dan solusi potensial atas masalah-

masalah bersama; (2) Developmental networks: Adanya keterlibatan anggota yang

lebih tinggi, tidak hanya sekedar pertukaran informasi tetapi dikombinasikan

dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas

informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing persoalannya;

(3) outreach networks: jaringan antar daerah lebih solid dengan adanya program

strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan di daerah

lain; dan (4) action networks: daerah-daerah secara bersama-sama membuat

serangkaian program aksi bersama-sama yang dijalankan oleh masing-masing

daerah sesuai dengan proporsi dan kemampuannya masing-masing. “Lembaga

Kerjasama” BARLINGMASCAKEB seharusnya menjalankan kewenangan

tersebut sampai pada tahapan action networks, namun dalam kenyataannya

kewenangan yang dijalankan hanya pada tahapan Information networks,

Developmental networks dan outreach networks saja.

“Lembaga Kerjasama” seharusnya juga memiliki lingkup otoritas yang

kuat dalam bentuk pengaturan yang ketat terhadap anggota dengan sanksi yang

tegas bagi yang melanggar kesepakatan. Dalam prakteknya, pengaturan yang ketat

terhadap anggota tidak pernah dibuat dan setiap ada pelanggaran kesepakatan

selalu diselesaikan dengan cara-cara persuasif dengan semangat kemitraan.

“Lembaga Kerjasama” juga menuntut adanya pola relasi dalam bentuk

pelibatan anggota yang tinggi dalam upaya memecahkan permasalahan bersama.

Namun, dalam prakteknya aktivitas ini tidak pernah dilakukan. Semua kegiatan

dijalankan oleh Regional Manager sementara masing-masing pemerintah daerah

tinggal menunggu hasilnya. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa dari aspek

format kerja sama, lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

memiliki struktur dalam bentuk “Lembaga Kerjasama“ namun fungsi yang

dijalankan tidak sebagaimana yang dipersyaratkan. Kondisi ini menjadi faktor

penyumbang rendahnya kinerja dari lembaga kerjasama antar daerah tersebut.

173

2. Pengelolaan Kerjasama

Pada umumnya pengelolaan kerjasama antar daerah baik di Indonesia

maupun di beberapa negara terbagi kedalam dua pola yaitu pengelolaan oleh

tenaga profesional dan pengelolaan yang terintegrasi pada pemerintahan daerah.

Pada pengelolaan profesional, pengeloaaan lembaga kerjasama dilimpahkan

kepada kelompok profesional yang direkrut secara khusus untuk mengelola

aktivitas kerjasama. Dalam beberapa kasus model ini sangat mempercepat

terjadinya proses kerjasama antar daerah karena kepercayaan anggota terhadap

pengelola cukup tinggi karena mereka dianggap independen tidak memihak

kepada salah satu anggota. Kelemahannya, aktivitas yang dilakukan oleh lembaga

kerjasama ini sulit terintegrasi dengan unit-unit kerja di pemerintah daerah.

Pengelolaan oleh pemerintah daerah adalah pengelolaan kerjasama antar

daerah yang sepenuhnya melekat dalam unit-unit reguler pemerintah tanpa

melibatkan tenaga profesional. Model ini tidak terlalu mempercepat terjadinya

proses kerjasama antar daerah karena sangat berpeluang terjebak dalam logika

birokrasi dalam proses pengembangan kerjasama antar daerah. Di samping itu,

tingkat kepercayaan angota rendah terhadap pelaksana karena dianggap tidak

netral terhadap salah satu anggota. Hanya saja dalam model ini mempunyai

kekuatan yaitu tingginya tingkat integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah

dengan unit-unti kerja di pemerintah daerah karena pengelolaannya memang di

bawah pemerintah daerah.

Pengelola lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

dilakukan oleh tenaga profesional yaitu oleh Regional Manager beserta jajarannya

yang dipilih melalui mekanisme fit and proper test. Pada awalnya kepercayaan

anggota terhadap kinerja pengelola cukup tinggi. Namun sebagaimana kelemahan

dari pengelolaan oleh tenaga profesional, aktivitas yang dilakukan oleh lembaga

kerjasama antar daerah ini tidak terintegrasi dengan unit kerja di pemerintah

daerah. Hal ini menyebabkan kinerja yang dicapai tidak sesuai sebagaimana yang

diharapkan. Akibatnya kepercayaan anggota terhadap kinerja pengelola menjadi

rendah.

Pada kasus pengelolaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

sebaiknya dilakukan dengan menggabungkan antara pengelolaan oleh tenaga

174

profesional dengan pengelolaan oleh birokrasi pemerintah. Pada kegiatan tujuan

pemasaran potensi wilayah, kegiatan ini lebih cocok dilakukan oleh tenaga

profesional karena kegiatan pemasaran lebih membutuhkan adanya kemampuan

marketing yang mengadopsi nilai-nilai interpreneurship dari lembaga bisnis, dan

kalangan tenaga profesional biasanya memiliki kemampuan tersebut. Sedangkan

pada kegiatan tujuan pembangunan dengan penekanan pada sinkronisasi dan

pensinergian program pembangunan ekonomi antar daerah sebaiknya dilakukan

oleh para birokrat di level SKPD terkait sesuai dengan bidang pembangunan yang

dikerjasamakan. Misalnya apabila disepakati melakukan kerjasama di bidang

kesehatan, maka yang melaksanakan kerjasama tersebut adalah para birokrat di

jajaran SKPD yang membidangi masalah kesehatan di masing-masing kabupaten.

Hasil ini diharapkan akan menjadi lebih efektif karena merekalah yang

sebenarnya mengetahui berbagai permasalahan serta memiliki sumberdaya yang

cukup guna menyelesaikan hal tersebut. Dengan melakukan pembagian tugas

semacam ini kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

diharapkan menjadi lebih optimal.

3. Struktur Organisasi

Struktur organisasi pada lembaga kerjasama antar daerah melihat

kesetaraan anggota dengan mengandalkan mekanisme kerja yang bersifat

networking atau hierarkhis. Mekanisme kerja yang bersifat networking

memandang anggota memiliki tingkat kesetaraan yang sama. Keputusan

didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah, yang masing-masing

daerah bersifat bebas dan mandiri untuk melakukan relasi satu sama lain. Dalam

struktur ini tidak ada struktur kewenangan sentral dan tujuan dari kerjasama

tersebut merupakan hasil dari kesepakatan bersama dari para anggotanya.

Mekanisme kerja yang bersifat hierarkhis menganggap ada hubungan yang

bersifat hierarkhis antar anggota. Proses pembuatan keputusan bersifat top-down

dan tidak melibatkan anggota.

Struktur organisasi dari lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB mengacu pada bentuk struktur organisasi yang bersifat

networking, karena adanya kesetaraan di antara anggotanya. Pengambilan

keputusan dalam lembaga kerjasama ini dibuat secara bersama melalui rapat

175

Forum Regional yang beranggotakan para bupati dari masing-masing kabupaten

anggota. Struktur organisasi semacam ini memiliki kelemahan karena tidak

adanya struktur kewenangan sentral dalam organisasi. Akibatnya tidak ada

jaminan ketaatan anggota terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Untuk

mengatasi kendala tersebut intensitas komunikasi antar anggota harus sering

dilakukan dengan jalan melakukan berbagai pertemuan. Untuk menjamin adanya

ketaatan anggota terhadap keputusan yang telah dibuat bersama, dapat dilakukan

dengan membuat mekanisme kontrol melalui sanksi yang ketat bagi para

anggotanya jika mereka melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Sayangnya

kedua hal tersebut tidak dilakukan pada lembaga kerjasama antar daerah ini.

4. Kerangka Regulasi

Dalam melakukan kerjasama antar daerah perlu disepakati apakah hanya

akan mengatur pelaksanaan perjanjian induk atau sampai mengatur hal-hal yang

bersifat teknis. Kerangka regulasi ini menjadi penting untuk diperhatikan karena

semakin teknis hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerjasama maka semakin

jelas tujuan yang hendak dicapai.

Kerangka regulasi dari lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB hanya mengatur perjanjian induk dalam bentuk

Keputusan Bersama Bupati lima kabupaten yang bersepakat untuk bekerjasama.

Dalam perjanjian induk tersebut tujuan yang hendak dicapai juga sangat bersifat

umum sebagaimana tercantum dalam pasal 4 sebagai berikut:

Tujuan diselenggarakannya kerjasama ini adalah untuk: 1. Mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar

daerah dan dalam pengelolaan serta pemanfaatan potensi daerah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya pembangunan

2. Sinkronisasi dalam penyusunan peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi dan investasi

3. Menghindari persaingan yang tidak sehat antar daerah 4. Memperkuat posisi tawar dan meningkatkan posisi daya saing

daerah agar mampu mengakses pasar nasional dan internasional dalam era globalisasi ekonomi

5. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam promosi potensi daerah

6. Membangun kemitraan antar daerah, antar pemerintah kabupaten dengan pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dunia usaha serta

176

dengan lembaga non pemerintah di tingkat nasional maupun internasional”

Tujuan yang bersifat umum tersebut secara umum dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu; (1) tujuan pembangunan dengan penekanan pada sinkronisasi

dan pensinergian program pembangunan ekonomi antar wilayah; dan (2) tujuan

pemasaran dengan penekanan pada pemasaran potensi dan produk-produk lokal.

Agar bisa mengarah pada tujuan yang lebih spesifik maka perlu dibuat suatu

kerangka regulasi yang mengatur perjanjian kerjasama pada bidang-bidang

pembangunan yang disepakati yang memuat apa bidang yang dikerjasamakan,

siapa pelaku kerjasama, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang

bekerjasama, mekanisme sanksi bagi yang melanggar perjanjian, alokasi sumber

pendanaan dan batas waktu perjanjian dilangsungkan. Dengan kerangka regulasi

semacam ini maka akan dapat menjamin adanya kepastian kegiatan kerjasama

serta hasil-hasil yang akan dicapainya.

Pada kasus kerjasama antara daerah BARLINGMASCAKEB kerangka

regulasi hanya mengatur perjanjian induk. Namun perjanjian induk ini perlu

ditindaklanjuti dengan membuat kerangka regulasi yang mengatur hal-hal yang

lebih bersifat teknis berupa perjanjian kerjasama untuk menyelesaikan persoalan

yang lebih spesifik antar SKPD di masing-masing kabupaten anggota.

5. Sumber Pendanaan

Sebagaimana organisasi lain, pendanaan menjadi masalah krusial bagi

keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB.

Selama ini dalam menjalankan aktivitasnya lembaga ini hanya mengandalkan

dana iuran dari kabupatan anggota. Besarnya iuran pada tahun 2003 dan tahun

2004 sebesar 100 juta tiap kabupaten, namun pada tahun 2005 besarnya iuran

disepakati untuk dinaikkan menjadi 150 juta tiap anggota. Karena tidak ada aturan

perundangan yang mengatur, masing-masing daerah mengalokasikan dana iuran

tersebut melalui APBD pada pos-pos yang berbeda. Ada yang melalui alokasi

belanja hibah atau belanja bantuan sosial. Sejak keluarnya Permendagri No. 37

Tahun 2010 dan Permendagri No. 22 tahun 2011 tentang Pedoman Tata Cara

Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah semua daerah

anggota mengalokasikan iuran daerah melalui pos belanja hibah.

177

Namun, dengan keluarnya Permendagri No. 32 Tahun 2011 Tentang

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah, dana belanja hibah tidak lagi dapat diberikan kepada

lembaga kerjasama antar daerah. Pada saat ini terjadi kebingungan bagi daerah

yang memiliki lembaga kerjasama antar daerah. Mereka tidak lagi dapat

mengalokasikan iuran daerah untuk kegiatan kerjasama antar daerah yang mereka

lakukan.

Idealnya lembaga kerjasama antar daerah memiliki sumber-sumber

pendanaan di luar dari iuran anggota melalui APBD. Sumber pendanaan bisa

berasal dari bantuan pemerintah baik pusat maupun provinsi, atau lembaga

kerjasama antar daerah menggalang dana dari organisasi non pemerintah (NGO)

seperti lembaga donor. Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

pernah mendapatkan bantuan pendanaan dari NGO sebesar 1,5 milyar untuk

kegiatan operasional yang berasal dari Partnership For Governance Reform In

Indonesia (PGRI). Namun, karena sifatnya hanya berupa bantuan proyek maka

bantuan pendanaan ini tidak bersifat kontinu. Belajar dari pengalaman ini

mestinya pengelola lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

selalu menjalin hubungan dengan berbagai organisasi kemasyarakatan yang lain

terutama yang potensial dapat memberikan bantuan pendanaan bagi kegiatan

operasional organisasi.

Sumber pendanaan juga dapat berasal dari bantuan (subsidi) pemerintah

baik pusat maupun provinsi. Aspek pembiayaan dapat menjadi salah satu faktor

pendukung yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat dalam mendorong

inisiatif kerjasama regional, sehingga penyediaan anggaran untuk kegiatan

kerjasama antar daerah dapat didukung oleh pemerintah pusat melalui berbagai

bentuk skim. Namun, kemauan politik (political will) pemerintah ke arah sana

nampaknya belum ada. Pemerintah pusat nampaknya belum menaruh perhatian

terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah yang telah banyak dilakukan

oleh pemerintah daerah di Indonesia. Pemerintah pusat lebih merespon terhadap

gejala tumbuhnya pemekaran wilayah di berbagai daerah dengan memberikan

subsidi sebagai daerah otonom baru, meskipun pemekaran wilayah berdampak

pada mengecilnya skala ekonomi daerah. Sementara gejala tumbuhnya kerjasama

178

antar daerah yang dapat memberikan potensi pada penguatan skala ekonomi

daerah justru tidak diperhatikan.

Peluang sumber pendanaan bagi lembaga kerjasama antar daerah dapat

berasal dari pemerintah provinsi. Dengan keluarnya Permendagri No. 32 Tahun

2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber

Dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, peluang itu semakin nyata. Dalam

peraturan ini disebutkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun

kabupaten/kota dapat memberikan dana hibah kepada pemerintah daerah yang

lainnya yang berada dalam wilayah adminstratifnya. Peraturan ini

mengakomodasi bahwa pemerintah provinsi dapat memberikan dana hibah kepada

pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kegiatan penyelenggaraan kerjasama

antar daerah. Namun, lagi-lagi tidak adanya kemauan politik dari pemerintah

dalam hal ini provinsi menjadikan peluang bagi lembaga kerjasama antar daerah

untuk mendapatkan sumber pendanaan menjadi hilang. Tidak adanya kepastian

sumber pendanaan bagi lembaga kerjasama antar daerah tidak hanya berpengaruh

terhadap capaian kinerja dari lembaga tersebut, namun lebih dari itu dapat

berpengaruh terhadap eksistensi dari lembaga tersebut.

6. Sistem Pendukung

Untuk bisa dapat tetap eksis, lembaga kerjasama antar daerah harus

memiliki jaringan yang kuat baik kepada lembaga pemerintah maupun kepada

lembaga non pemerintah yang lainnya. Jaringan ini mutlak diperlukan agar

eksistensi lembaga dapat terjaga. Beberapa lembaga yang perlu dibangun

jaringannya sebagai sistem pendukung dari lembaga kerjasama antar daerah

adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, lembaga donor, dan sesama

lembaga kerjasama antar daerah yang lain.

Peran dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan lembaga donor telah

dibahas pada subbab di atas. Subbagian ini akan membahas pentingnya

membangun jaringan dengan sesama lembaga kerjama antar daerah.

Terkoneksinya hubungan antar lembaga kerjasama antar daerah sangat membantu

keberlangsungan dari lembaga tersebut. Inter-koneksi dapat dilakukan dengan

komunikasi melalui telepon atau surat menyurat antar pengelola. Namun dalam

era teknologi sekarang ini inter-koneksi lebih afdol apabila dilakukan dengan

179

membuka situs resmi internet yang saling terhubung diantara lembaga kerjasama

antar daerah.

Banyak manfaat yang dapat diperoleh apabila inter-koneksi ini terjalin.

Antar lembaga kerjasama dapat melakukan brainstorming (curah pendapat)

mengenai berbagai permasalahan sejenis yang dihadapi oleh para pengelola.

Mereka juga sekaligus dapat melakukan benchmarking (mencontoh) terhadap

kegiatan baik (best practice) yang telah dilakukan oleh lembaga kerjasama antar

daerah yang lainnya. Dalam kadar tertentu terjalinnya koneksi antar lembaga ini

dapat menciptakan kohesifitas di antara mereka sehingga keberadaan sesama

lembaga ini dapat menjadi kelompok penekan (preasure group) bagi pemerintah

pusat dalam memperjuangkan berbagai kepentingan lembaga mereka, seperti

misalnya perlunya pemberian subsidi oleh pemerintah pusat kepada lembaga

kerjasama antar daerah.

Keberadaan sistem pendukung pada Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB nampaknya belum menjadi perhatian oleh para pengelolanya. Lembaga ini memang telah memiliki situs resmi www.barlingmascakeb.com , namun situs mereka tidak terkoneksi dengan sesama situs lembaga kerjasama antar daerah lainnya. Dalam menjalankan aktivitasnya Regional Management BARLINGMASCAKEB hanya berkomunikasi dengan kabupaten anggota dan hampir tidak pernah melakukan komunikasi dengan sesama lembaga kerjasama antar daerah yang lain. Dalam menjalin hubungan dengan sistem pendukung yang lainya seperti pemerintah provinsi dan pusat, pengelola nampaknya tidak memiliki bargaining yang kuat, sehingga berbagai kemudahan yang sebenarnya dapat diperoleh apabila memiliki jaringan yang kuat dengan aktor-aktor pendukung tadi tidak pernah didapat.

Dari analisis aspek kelembagaan di atas diketahui bahwa lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB tidak memiliki format

kelembagaan yang jelas, dalam arti tidak ada aturan main yang pasti, seperti siapa

berbuat apa dan mendapatkan apa dari para anggotanya ketika mereka bergabung

dalam suatu lembaga kerjasama antar daerah. Dari format kelembagaan, lembaga

kerjasama antar daerah ini tidak memiliki lingkup otoritas yang jelas. Tidak ada

aturan main yang mengatur mekanisme sanksi bagi para anggota yang melanggar

kesepakatan yang telah dibuat. Lembaga ini juga tidak mengatur bagaimana

180

mekanisme pelibatan anggota dalam setiap aktivitas kerjasama yang telah

disepakati bersama. Idealnya suatu lembaga kerjasama antar daerah harus

mengatur mekanisme keterlibatan anggota dalam bentuk siapa berbuat apa dan

mereka mendapatkan apa dalam setiap aktivitas yang dikerjasamakan.

Aturan main dalam pemberian kontribusi pendanaan juga tidak jelas.

Lembaga kerjasama ini hanya menetapkan besarnya jumlah uang yang harus

dikontribusikan untuk kegiatan operasional lembaga dalam jumlah yang sama.

Mekanisme ini menimbulkan kemungkinan munculnya penunggang bebas (free-

riders) diantara para anggota, karena dalam bekerjasama setiap anggota pasti tidak

akan mendapat manfaat (keuntungan) yang sama besar dengan anggota yang

lainnya. Oleh karena itu, kontribusi pendanaan dari masing-masing anggota

kepada lembaga harus dibedakan berdasarkan manfaat yang diterima oleh anggota

dari keberadaan lembaga kerjasama antar daerah tersebut. Namun demikian, pada

intinya lemahnya aspek kelembagaan dari lembaga kerjasama antara daerah ini

lebih disebabkan karena tidak adanya kewenangan otoritas yang bersifat sentral.

Lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk dari bawah biasanya lebih

mengandalkan penggunaan strukutur organisasi yang bersifat networking

(jaringan kerja), hal ini dikarenakan masing-masing anggota memiliki posisi yang

setara. Namun, penggunaan struktur organisasi yang bersifat networking dalam

suatu organisasi memiliki kelemahan tidak adanya pusat kendali dalam

pengambilan keputusan organisasi. Struktur organisasi yang bersifat networking

efektifitasnya sangat tergantung dari adanya komitmen dari masing-masing

anggota untuk tetap mentaati setiap keputusan yang telah dibuat bersama.

Pengingkaran dari setiap kesepakatan yang telah dibuat akan berdampak pada

gagalnya pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan secara bersama,

karena setiap pengingkaran dari kesepakatan yang telah dibuat oleh masing-

masing anggota biasanya juga tanpa dibuatkan aturan main bagaimana cara

menegakkan pelaksanaan dari kesepakatan tersebut.

181

5.3. Analisis Kebijakan Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Sebagai Strategi Penguatan Skala Ekonomi Daerah.

5.3.1. Analisis Efektivitas Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah

Di era otonomi daerah sekarang ini, setiap pemerintah daerah memiliki

kewenangan dan tanggungjawab yang cukup besar untuk mengelola potensi

sumberdaya ekonomi yang dimiliki untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan

masyarakat di wilayah masing-masing. Namun, pelaksanaan otonomi daerah

menjadi kurang bermakna ketika otonomi yang terjadi hanya pada tataran politik

dan administratif tetapi tidak disertai dengan adanya otonomi di bidang ekonomi.

Secara faktual meskipun dari sisi politik setiap daerah mempunyai kewenangan

dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, namun dari sisi

ekonomi (keuangan) sebagian besar pemerintah daerah masih bergantung pada

anggaran yang berasal dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan baik

dalam bentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum atau dana alokasi khusus.

Ketergantungan anggaran daerah pada pemerintah pusat disebabkan

karena kemampuan keuangan daerah yang sangat terbatas. Keterbatasan

kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendanaan asli daerah

disebabkan karena terbatasnya kondisi skala ekonomi di masing-masing daerah.

Oleh karena itu, penguatan skala ekonomi daerah menjadi hal yang wajib

dilakukan oleh setiap pemerintah daerah apabila ingin meningkatkan sumber

pendanaan bagi pembangunan daerah sehingga dapat memberikan dampak bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan

untuk meningkatkan skala ekonomi daerah adalah dengan melakukan kerjasama

antar daerah. Dengan membentuk lembaga kerjasama antar daerah masing-masing

daerah dapat bekerjasama dalam mengelola potensi sumberdaya ekonomi secara

bersama sehingga pengelolaan anggaran pembangunan dapat menjadi lebih

efisien.

Alat analisis yang digunakan untuk menilai ketepatan strategi yang

digunakan untuk penguatan skala ekonomi daerah adalah analisis teori permainan

(game theory analisys). Game adalah suatu situasi strategis dimana terdapat

keterkaitan antar dua atau lebih pelaku yang membuat keputusan. Masing-masing

pelaku memperoleh penghargaan (reward) atas keputusannya dimana nilai dari

182

penghargaan (reward) yang diperoleh bergantung pada keputusan yang dibuat

oleh pihak lain (Kimbrough, dalam Vipriyanti, 2007).

Ada dua strategi yang dapat dipilih oleh pemerintah daerah dalam

meningkatkan skala ekonomi daerah, yaitu strategi: (1) tidak bekerjasama; atau

(2) bekerjasama. Apabila tidak bekerjasama maka masing-masing pemerintah

daerah akan bekerja sendiri dan akan menanggung seluruh biaya yang harus

dikeluarkan dalam upaya meningkatkan skala ekonomi daerah masing-masing

berupa belanja langsung dari kegiatan pengembangan pariwisata, perdagangan,

pertambangan dan investasi. Sebaliknya masing-masing daerah juga akan

memperoleh penerimaan sebagai akibat dari pengembangan dari berbagai bidang

tersebut dalam bentuk retribusi pariwisata, PDRB perdagangan, penerimaan pajak

pertambangan daerah dan nilai investasi yang masuk ke daerah.

Apabila memilih bekerjasama berarti masing-masing pemerintah daerah

harus bersedia saling membantu dalam upaya meningkatkan skala ekonomi

daerah. Konsekuensi yang harus ditanggung oleh masing-masing daerah apabila

mereka bersedia untuk bekerjasama adalah adanya tambahan biaya yang harus

dikeluarkan berupa iuran bersama untuk kegiatan promosi potensi ekonomi daerah

secara bersama. Namun demikian, mereka juga akan menerima keuntungan

berupa berkurangnya biaya transaksi sebagai akibat dari adanya kerjasama antar

daerah. Di samping itu, akibat dari adanya sinergi dari kerjasama antar daerah

maka pendapatan dari masing-masing daerah dalam bentuk retribusi pariwisata,

PDRB perdagangan, penerimaan pajak pertambangan daerah dan nilai investasi

yang masuk ke daerah juga akan meningkat.

Dari perhitungan apa yang akan diperoleh oleh masing-masing daerah

apabila mereka memilih tidak bekerjasama atau memilih bekerjasama, maka dapat

ditentukan pay off kerjasama antar daerah di masing-masing kabupaten. Pay off

adalah penalti yang harus ditanggung atau reward yang diperoleh masing-masing

aktor atau pelaku dalam analisis permainan tersebut. Pay off masing-masing

pelaku dalam analisis permainan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

ditunjukkan pada tabel berikut.

183

Tabel 49 Pay off dari Masing-Masing Pelaku KSAD BARLINGMASCAKEB Tahun 2009 (dalam milyar rupiah)

Kabupaten Bekerjasama Tidak Bekerjasama

Banjarnegara 148,336 133,831 Purbalingga 74,631 67,478 Banyumas 226,850 205,236 Cilacap 291,273 263,972 Kebumen 239,926 217,486

Sumber: Data sekunder diolah.

Analisis game yang dilakukan dalam kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB adalah “Permainan Berbentuk Normal” (Normal Form

of Games) yang sifatnya statik (Anwar, 2002). Hasil analisis game menunjukkan

bahwa terdapat keseimbangan Nash (Nash Equilibrium) dalam setiap interaksi

antar pemerintah kabupaten. Nash Equilibrium adalah keadaan dimana setiap

peserta dalam permainan memilih strategi terbaik bilamana strategi pihak lain

diketahui (Anwar, 2002). Secara lebih spesifik dapat dinyatakan bahwa Nash

Equilibrium adalah suatu keseimbangan dimana setiap pemain tidak dapat lagi

merubah strategi permainannya dengan tujuan untuk meningkatkan

keuntungannya. Keseimbangan tersebut tercapai apabila pemerintah kabupaten

memilih strategi untuk bekerjasama dengan kabupaten yang lainnya dalam

meningkatkan skala ekonomi daerahnya.

Tabel 50 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Banjarnegara dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam

milyar rupiah)

Pemain/ Strategi Empat Kabupaten

Bekerjasama Tidak Bekerjasama

Banjarnegara

Bekerjasama

148,336 ; 832,682

133,831 ; 754,174

Tidak

Bekerjasama

133,831 ; 754,174

133,831 ; 754,174

Sumber: Data sekunder diolah.

Tabel di atas menunjukkan bahwa Nash Equilibrium dalam meningkatkan

skala ekonomi daerah antara kabupaten Banjarnegara dengan empat kabupaten

lainnya (Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) terjadi apabila mereka

saling melakukan kerjasama. Apabila pemerintah Kabupaten Banjarnegara

184

memilih bekerjasama dengan empat kabupaten lain (Purbalingga, Banyumas,

Cilacap dan Kebumen) maka pay off yang diperoleh sebesar 148,336 milyar

rupiah yaitu berupa selisih keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh

pemerintah Kabupaten Banjarnegara sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi

daerah yang diusahakan secara bersama dengan biaya yang dikeluarkan untuk

membiayai peningkatan skala ekonomi daerah tersebut secara bersama. Namun,

apabila Kabupaten Banjarnegera memilih tidak bekerjasama dengan empat

kabupaten lainnya dalam meningkatkan skala ekonomi daerah nilai pay off yang

diterima hanya sebesar 133,831 milyar rupiah yang berasal dari selisih

keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh pemerintah Kabupaten

Banjarnegara sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi daerah yang

diusahakan sendiri dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai peningkatan

skala ekonomi daerah secara mandiri.

Untuk keempat kabupaten lainnya (Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan

Kebumen) dengan bekerjasama dengan Kabupaten Banjarnegara akan

mendapatkan pay off sebesar 832,682 milyar rupiah, berupa selisih keuntungan

dari pendapatan yang diterima oleh empat kabupaten tersebut sebagai akibat

meningkatnya skala ekonomi daerah yang diusahakan secara bersama dengan

biaya yang dikeluarkan untuk membiaya peningkatan skala ekonomi daerah

tersebut secara bersama. Namun apabila empat kabupaten tersebut tidak

bekerjasama dengan Kabupaten Banjarnegara nilai pay off yang terima hanya

sebesar 754,174 milyar rupiah yang berasal dari selisih keuntungan dari

pendapatan yang diterima oleh empat kabupaten tersebut sebagai akibat dari

peningkatan skala ekonomi daerah yang diusahakan sendiri-sendiri dengan biaya

yang dikeluarkan untuk membiaya peningkatan skala ekonomi daerah secara

sendiri-sendiri.

Apabila Kabupaten Banjarnegara memilih bekerjasama namun empat

kabupaten memilih tidak bekerjasama dengan Kabupaten Banjarnegara atau

sebaliknya empat kebupaten memilih bekerjasama dengan Kabupaten

Banjarnegara namun Kabupaten Banjarnegara memilih tidak bekerjasama maka

nilai pay off yang diterima oleh kabupaten Banjarnegara maupun empat kabupaten

lainnya adalah seperti apabila masing-masing kabupaten tidak bekerjasama. Dari

185

gambaran di atas menunjukkan bahwa Nash equilibrium interaksi antara

Kabupaten Banjarnegara dengan empat kabupaten lainya yang tergabung dalam

lembaga kerjasama antar daerah adalah saling bekerjasama. Artinya saling

bekerjasama antara ke lima kabupaten tersebut lebih menguntungkan jika

dibandingkan dengan tidak bekerjasama dalam upaya meningkatkan skala

ekonomi daerah.

Tabel 51 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Purbalingga dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam

milyar rupiah)

Pemain/Strategi Empat Kabupaten

Bekerjasama Tidak Bekerjasama

Purbalingga

Bekerjasama 74,631 ; 906,386 67,478 ; 820,527

Tidak

Bekerjasama

67,478 ; 820,527

67,478 ; 820,527

Sumber: Data sekunder diolah.

Strategi Pemerintah Kabupaten Purbalingga untuk bekerjasama dengan ke

empat kabupaten lainnya (Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) dalam

upaya meningkatkan skala ekonomi daerah menghasilkan pay off sebesar 74,631

milyar rupiah berupa selisih keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh

pemerintah Kabupaten Purbalingga sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi

daerah yang diusahakan secara bersama dengan biaya yang dikeluarkan untuk

membiayai peningkatan skala ekonomi daerah tersebut secara bersama. Namun,

apabila Kabupaten Purbalingga memilih strategi untuk tidak bekerjasama dengan

empat kabupaten lainnya dalam meningkatkan skala ekonomi daerah nilai pay off

yang diterima hanya sebesar 67,478 milyar rupiah yang berasal dari selisih

keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh pemerintah Kabupaten

Purbalingga sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi daerah yang diusahakan

sendiri dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai peningkatan skala

ekonomi daerah secara mandiri.

Sedangkan keempat kabupaten lainnya (Banjarnegara, Banyumas, Cilacap

dan Kebumen), apabila mereka memilih strategi bekerjasama dengan Kabupaten

Purbalingga maka mereka akan mendapatkan nilai pay off sebesar 906,386 milyar

rupiah. Namun, apabila mereka memilih strategi untuk tidak bekerjasama dengan

186

Kabupaten Purbalingga mereka hanya akan mendapatkan nilai pay off sebesar

820,527 milyar rupiah.

Apabila Kabupaten Purbalingga memilih bekerjasama namun empat

kabupaten memilih tidak bekerjasama dengan Kabupaten Purbalingga atau

sebaliknya empat kebupaten memilih bekerjasama dengan Kabupaten Purbalingga

namun Kabupaten Purbalingga memilih tidak bekerjasama maka nilai pay off

yang diterima oleh kabupaten Purbalingga maupun empat kabupaten lainnya

adalah seperti apabila masing-masing kabupaten tidak bekerjasama. Dari

gambaran di atas menunjukkan bahwa Nash equilibrium interaksi antara

Kabupaten Purbalingga dengan empat kabupaten lainya yang tergabung dalam

lembaga kerjasama antar daerah adalah saling bekerjasama. Dengan demikian,

bekerajasama bagi Kabupaten Purbalingga dengan ke empat kabupaten lainnya

lebih menguntungkan apabila ingin meningkatkan skala ekonomi daerahnya.

Tabel 52 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Banyumas dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam

milyar rupiah) Pemain/Strategi Empat Kabupaten

Bekerjasama Tidak Bekerjasama Banyumas

Bekerjasama

226,850 ; 754,167

205,236 ; 682,769

Tidak

Bekerjasama

205,236 ; 682,769

205,236 ; 682,769

Sumber: Data sekunder diolah.

Strategi dominan dari Kabupaten Banyumas dalam meningkatkan skala

ekonomi daerah adalah bekerjasama dengan empat kabupaten lainnya

(Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen). Dengan bekerjasama nilai

pay off yang diterima sebesar 226,850 milyar rupiah. Sedangkan apabila tidak

bekerjasama nilai pay off yang diterima hanya sebesar 205,236 milyar rupiah.

Untuk empat kabupaten lainnya (Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan

Kebumen) strategi dominan dalam meningkatkan skala ekonomi daerah juga

dengan bekerjasama dengan Kabupaten Banyumas. Dengan bekerjasama, secara

kumulatif keempat kabupaten mendapatkan nilai pay off sebesar 754,167 milyar

rupiah, sedangkan kalau tidak bekerjasama nilai pay off yang diterima hanya

sebesar 682,769 milyar rupiah.

187

Tabel 52 menunjukkan bahwa Nash equilibrium interaksi antara

Kabupaten Banyumas dengan empat kabupaten lainya yang tergabung dalam

lembaga kerjasama antar daerah adalah saling bekerjasama. Dengan demikian,

bekerjasama bagi Kabupaten Banyumas dengan keempat kabupaten lainnya lebih

menguntungkan apabila ingin meningkatkan skala ekonomi daerah.

Tabel 53 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Cilacap dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam milyar rupiah)

Pemain/Strategi Empat Kabupaten

Bekerjasama Tidak Bekerjasama Cilacap

Bekerjasama

291,273 ; 689,745

263,972 ; 624,033

Tidak

Bekerjasama

263,972 ; 624,033

263,972 ; 624,033

Sumber: Data sekunder diolah.

Untuk Kabupaten Cilacap Nash Equilibrium dalam meningkatkan skala

ekonomi daerah adalah bekerjasama dengan empat kabupaten lain (Banjarnegara,

Purbalingga, Banyumas dan Kebumen). Dengan bekerjasama dalam

meningkatkan skala ekonomi daerah Kabupaten Cilacap akan menerima pay off

sebesar 291,273 milyar rupiah, sedangkan apabila tidak bekerjasama hanya

mendapatkan nilai pay off sebesar 263,972 milyar rupiah. Demikian juga dengan

keempat kabupaten lainnya, dalam meningkatkan skala ekonomi daerah Nash

Equilibriumnya adalah bekerjasama dengan Kabupaten Cilacap. Dengan

bekerjasama dengan Kabupaten Cilacap secara kumulatif keempat kabupaten

tersebut akan mendapatkan nilai pay off sebesar 689,745 milyar rupiah.

Sedangkan apabila tidak bekerjasama hanya mendapatkan nilai pay off sebesar

624,033 milyar rupiah.

188

Tabel 54 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Kebumen dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam

milyar rupiah)

Pemain/Strategi Empat Kabupaten Bekerjasama Tidak Bekerjasama

Kebumen

Bekerjasama

239,926 ; 741,092

217,486 ; 670,520

Tidak

Bekerjasama

217,486 ; 670,520

217,486 ; 670,520

Sumber: Data sekunder diolah.

Nilai pay off yang diterima oleh Kabupaten Kebumen apabila bekerjasama

dengan empat kabupaten lain (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan

Cilacap) adalah sebesar 239,926 milyar rupiah. Nilai pay off ini merupakan

kondisi Nash Equilibrium karena nilai tersebut merupakan keuntungan tertinggi

yang bisa diperoleh bagi Kabupaten Kebumen dalam upaya meningkatkan skala

ekonomi daerah. Apabila tidak bekerjasama dengan daerah lain Kabupaten

Kebumen hanya mendapatkan nilai pay off sebesar 217,486 milyar rupiah. Artinya

bekerjasama dengan kabupaten lain bagi Kabupaten Kebumen jauh lebih

menguntungkan dari pada tidak bekerjasama dalam upaya meningkatkan skala

ekonomi daerahnya.

Demikian juga sebaliknya, bagi keempat kabupaten lainnya

(Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap) dalam upaya meningkatkan

skala ekonomi daerahnya, bekerjasama dengan Kabupaten Kebumen jauh lebih

menguntungkan karena akan memperoleh nilai pay off sebesar 741,092 milyar

rupiah jika dibandingkan dengan apabila tidak bekerjasama dengan Kabupaten

Kebumen karena hanya akan mendapatkan nilai pay off sebesar 670,520 milyar

rupiah.

Dari uraian di atas, secara keseluruhan hasil analisis game menunjukkan

bahwa bekerjasama adalah strategi terbaik yang harus dipilih oleh masing-masing

kabupaten apabila ingin meningkatkan skala ekonomi daerah. Hasil ini

memberikan implikasi bahwa egoisme antar daerah dan semangat berkompetisi

antar daerah sebagai ekses dari pelaksanaan otonomi daerah harus dihilangkan.

Sebagai gantinya perlu ditumbuhkan adanya semangat berkolaborasi antar daerah

189

dan adanya kemauan untuk bekerjasama dalam memanfaatkan potensi

sumberdaya ekonomi daerah yang terbatas untuk kepentingan bersama.

5.3.2. Analisis Efisiensi Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah

Sebagaimana dikemukakan oleh Schluter dan Hanisch (1999)

pembentukan kelembagaan baru, seperti munculnya lembaga kerjasama antar

daerah, dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dengan cara

meminimalkan biaya transaksi (transaction cost) yang mungkin timbul.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk mengukur efisien tidaknya desain

kelembagaan kerjasama antar daerah digunakan alat analisis ekonomi biaya

transaksi (transaction cost economics). Hipotesis dari analisis ini adalah semakin

tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi, berarti kian tidak

efisien kelembagaan yang didesain; demikian sebaliknya (Yustika, 2008). Atas

dasar asumsi tersebut, untuk menguji efisien tidaknya desain kelembagaan

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dilakukan dengan mengukur

keberadaan indikator dari variabel biaya transaksi pada aktivitas penguatan skala

ekonomi daerah sebelum lembaga kerjasama antar daerah terbentuk dan sesudah

adanya lembaga kerjasama antar daerah.

Peningkatan skala ekonomi daerah dapat terjadi apabila ada peningkatan

aktivitas ekonomi di daerah. Aktivitas ekonomi akan meningkat apabila jumlah

investasi yang masuk ke daerah meningkat, angkatan kerja yang ada bisa terserap

pada pasar kerja yang tersedia, dan potensi sumberdaya ekonomi daerah dapat

ditingkatkan pengelolaannya agar bisa memberikan manfaat ekonomi bagi

masyarakat seperti pengelolaan potensi pariwisata dan pengelolaan potensi

sumberdaya alam pada kegiatan pertambangan. Berikut akan dijelaskan potensi

timbulnya biaya transaksi pada berbagai kegiatan tersebut.

1. Kegiatan Fasilitasi Investasi Daerah

Ada empat aktivitas yang berpotensi menimbulkan biaya transaksi pada

kegiatan fasilitasi investasi daerah yaitu kegiatan promosi potensi daerah,

pembuatan rencana program kegiatan dan biaya melakukan monitoring dan

evaluasi kegiatan.

190

-

100,000,000

200,000,000

300,000,000

400,000,000

500,000,000

Biay

a Tr

ansa

ksi

Banjarnegara 237,500,000 100,000,000

Purbalingga 56,660,000 20,000,000

Banyumas 409,851,250 201,666,667

Cilacap 333,800,000 198,333,333

Kebumen 187,500,000 75,000,000

Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah.

Gambar 19 Biaya Transaksi Promosi Potensi Daerah untuk Mendatangkan Investasi

Untuk bersedia menanamkan investasinya di daerah, investor harus

mengetahui potensi apa saja yang dimiliki oleh daerah dan apakah iklim investasi

di daerah tersebut kondusif untuk menanamkan modalnya. Untuk mengetahui

informasi tersebut ada dua hal yang bisa terjadi. Pertama, calon investor yang

aktif mencari informasi dimana daerah yang cocok untuk menanamkan

investasinya. Kedua, daerah yang aktif menawarkan potensi sumberdayanya

kepada calon investor melalui kegiatan promosi potensi daerah agar calon investor

mau menanamkan investasinya di daerah mereka. Kedua kegiatan ini sama-sama

berpotensi menimbulkan biaya transaksi. Bagi investor dibutuhkan biaya untuk

mencari informasi bagi kepentingan penanaman modal mereka dan bagi daerah

biaya transaksi muncul berupa biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan promosi

potensi daerah.

Gambar di atas menunjukkan bahwa pada saat sebelum adanya kegiatan

kerjasama antar daerah dan sesudah adanya kegiatan kerjasama antar daerah,

kelima kabupaten anggota semuanya mengalokasikan biaya untuk melakukan

promosi potensi daerahnya agar para investor bersedia menanamkan investasinya

ke daerah masing-masing. Kabupaten Banyumas dan Cilacap terlihat paling

gencar melakukan kegiatan promosi ini dilihat dari besaran nilai rupiah yang

dialokasikan untuk kegiatan tersebut. Namun, besaran nilai rupiah yang

191

dialokasikan untuk kegiatan promosi potensi daerah menurun di semua kabupaten

setelah adanya program kerja sama antar daerah. Hal ini disebabkan pertama,

salah satu dari kegiatan lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk

memfokuskan pada kegiatan promosi potensi daerah sehingga aktivitas ini dapat

membantu kegiatan di masing-masing daerah dalam mempromosikan potensi

daerahnya. Kedua, dengan berkembangnya teknologi informasi maka masing-

masing daerah dapat melakukan promosi potensi daerahnya melalui dunia maya

dengan teknologi internet, sehingga dapat menekan biaya promosi jika

dibandingkan apabila kegiatan tersebut dilakukan secara konvensional.

Dalam kegiatan pembuatan rencana kegiatan pada SKPD yang menangani

bidang investasi, hampir semua kabupaten tidak mengalokasikan anggaran untuk

kegiatan tersebut baik pada saat sebelum adanya kegiatan kerjasama maupun

sesudah adanya kegiatan kerjasama, kecuali untuk Kabupaten Purbalingga. Tidak

dialokasikan anggaran pada kegiatan pembuatan rencana program karena

dianggap bahwa kegiatan tersebut telah masuk ke dalam tupoksi dari salah satu

bidang sehingga kegiatannya tidak diperlukan anggaran tambahan. Munculnya

anggaran pada kegiatan ini merupakan biaya transaksi. Meskipun di Kabupaten

Purbalingga masih ada alokasi anggaran untuk kegiatan pembuatan rencana

program namun jumlahnya menjadi menurun setelah adanya kegiatan kerjasama

antar daerah. Artinya ada penurunan biaya transaksi pada kegiatan pembuatan

rencana program sesudah adanya kegiatan kerjasama antar daerah.

0

2000000

4000000

6000000

8000000

10000000

12000000

Bia

ya T

rans

aksi

Banjarnegara 0 0

Purbalingga 10,612,000 5,000,000

Banyumas 0 0

Cilacap 0 0

Kebumen 0 0

Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah.

Gambar 20 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Program Mendatangkan Investasi di Daerah.

192

Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi pada kegiatan fasilitasi investasi

daerah, pada kondisi sebelum adanya kerjasama antar daerah semua kabupaten

mengalokasikan anggaran tersebut meskipun dengan nilai yang bervariasi.

Kabupaten Cilacap mengalokasikan anggaran untuk kegiatan monitoring dan

evaluasi (monev) paling besar dibandingkan dengan daerah lain. Seharusnya

kegiatan monev telah masuk dalam tupoksi salah satu bidang di masing-masing

SKPD, namun anggaran kegiatan monev tetap dialokasikan dengan alasan

kegiatan tersebut harus dilakukan di lapangan sehingga diperlukan anggaran

tambahan bagi yang melaksanakannya. Dengan alasan yang sama ditambah

dengan cakupan wilayah yang sangat luas maka di Kabupaten Cilacap biaya

monev dianggarkan dengan jumlah yang cukup besar.

Setelah adanya kegiatan kerjasama antar daerah, anggaran untuk kegiatan

monev tidak lagi dialokasikan di empat kabupaten, namun untuk Kabupaten

Cilacap alokasi anggaran untuk kegiatan monev masih tetap disediakan tetapi

dengan jumlah yang sudah jauh berkurang dibandingkan pada saat kondisi

sebelum adanya kerjasama.

-

20,000,000

40,000,000

60,000,000

80,000,000

100,000,000

Biay

a Tr

ansa

ksi

Banjarnegara 4,000,000 0

Purbalingga 5,000,000 0

Banyumas 2,000,000 0

Cilacap 80,000,000 41,666,667

Kebumen 32,500,000 0

Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah.

Gambar 21 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Mendatangkan Investasi di Daerah.

Biaya mengurus perijinan juga merupakan biaya transaksi yang

berpeluang muncul dalam kegiatan fasilitasi investasi. Pada waktu sebelum ada

193

kegiatan kerjasama antar daerah pengurusan perijinan dilakukan di banyak SKPD

disesuaikan dengan bidang tugas dari lembaga tersebut dengan jenis perijinan

yang diminta. Karena banyaknya jenis perijinan yang dikelola dengan tempat

yang berbeda-beda menjadikan sangat sulit untuk memperoleh data mengenai

biaya perijinan sebelum kegiatan kerjasama antar daerah dilaksanakan. Sesudah

adanya kegiatan kerjasama antar daerah di semua kabupaten pengurusan perijinan

investasi dikelola oleh SKPD khusus meskipun dengan nama yang berbeda-beda

di masing-masing kabupaten. Dari hasil penggalian data di lapangan diperoleh

informasi bahwa setelah terbentuknya lembaga pelayanan satu pintu (one stop

service) untuk kegiatan perijinan investasi bahwa dalam rangka menumbuhkan

iklim investasi yang kondusif di semua kabupaten membebaskan semua biaya

perijinan yang berkaitan dengan penanaman investasi kecuali untuk pemberian

ijin yang menyangkut masalah keamanan, pengawasan dan gangguan seperti ijin

keramaian, IMB dan HO. Karena data mengenai biaya perijinan sebelum

berlangsungnya kegiatan kerjasama antar daerah tidak diperoleh maka tidak dapat

ditampilkan perbandingan biaya pengurusan perijinan pada saat kondisi sebelum

kerjasama dan sesudah kerjasama.

Dari deskripsi di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam

kegiatan fasilitasi investasi daerah, biaya transaksi pada kegiatan ini masih terjadi

di lima kabupten di wilayah BARLINGMASCAKEB, namun setelah adanya

kerjasama antar daerah biaya transaksi pada kegiatan ini dapat lebih dikurangi.

2. Kegiatan Ketenagakerjaan

Pada kegiatan ketenagakerjaan, aktivitas yang berpeluang memunculkan

biaya transaksi adalah kegiatan pembuatan rencana kegiatan, monitoring dan

evaluasi program serta akses informasi mengenai lowongan pekerjaan. Dalam

aktivitas pembuatan rencana kegiatan pada SKPD yang terkait dengan masalah

ketenagakerjaan, empat kabupaten tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan

ini baik sebelum ada kerjasama antar daerah maupun sesudah ada kerjasama antar

daerah. Hanya Kabupaten Purbalingga yang masih mengalokasikannya meskipun

dengan jumlah yang relatif kecil.

Sama seperti dengan SKPD yang membidangi masalah investasi, alasan

tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pembuatan rencana kegiatan di

194

bidang ketenagakerjaan karena mereka menganggap bahwa aktivitas tersebut

merupakan tupoksi dari salah satu bagian dari SKPD tersebut sehingga kegiatan

ini dianggap sebagai kegiatan rutin yang tidak harus diberi alokasi anggaran

khusus dalam mengerjakannya. Meskipun Kabupaten Purbalingga masih

menganggarkan dana untuk kegiatan pembuatan rencana kegiatan, namun

semakin tahun jumlahnya juga semakin berkurang, yang semula rata-rata 6 juta

rupiah berkurang menjadi rata-rata 5 juta rupiah setalah ada kegiatan kerjasama

antar daerah. Dengan demikian ada penurunan biaya transaksi pada aktivitas ini

setelah ada kerjasama antar daerah.

0

2000000

4000000

6000000

8000000

Biay

a Tr

ansa

ksi

Banjarnegara 0 0

Purbalingga 6,000,000 5,000,000

Banyumas 0 0

Cilacap 0 0

Kebumen 0 0

Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah.

Gambar 22 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Kegiatan Bidang Ketenagakerjaan

Pada kegiatan monitoring dan evaluasi bidang ketenagakerjaan, empat

kabupaten tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan ini. Dengan alasan yang

sama kegiatan ini telah menjadi tupoksi dari salah satu bagian sehingga telah

menjadi pekerjaan rutin organisasi yang tidak memerlukan alokasi anggaran

khusus. Namun, di Kabupaten Banyumas alokasi anggaran untuk kegiatan

monitoring masih tetap dilakukan baik sebelum adanya kegiatan kerjasama

maupun sesudah adanya kegiatan kerjasama dengan jumlah yang tetap meskipun

dengan nilai yang relatif kecil.

195

0

500000

10000001500000

2000000

2500000

3000000

Biay

a Tr

ansa

ksi

Banjarnegara 0 0

Purbalingga 0 0

Banyumas 2,500,000 2,500,000

Cilacap 0 0

Kebumen 0 0

Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah.

Gambar 23 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Ketenagakerjaan.

Dalam kegiatan mengakses lowongan pekerjaan yang dilakukan oleh para

pencari kerja, biaya transaksi tidak timbul karena baik sebelum maupun sesudah

adanya kegiatan kerjasama antar daerah SKPD yang menangani masalah

ketenagakerjaan di semua kabupaten membebaskan semua biaya yang berkaitan

dengan urusan mengakses lowongan pekerjaan. Aktivitas ini mencakup kegiatan

pembuatan kartu calon tenaga kerja (kartu kuning) dan pendaftaran calon tenaga

kerja di perusahaan yang melimpahkan perekrutan calon tenaga kerjanya pada

Dinas Tenaga Kerja.

Dari berbagai gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada

kegiatan pengelolaan ketenagakerjaan di kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB masih menimbulkan biaya transaksi, namun dengan

adanya kerjasama antar daerah biaya transaksi ini meskipun sedikit telah dapat

dikurangi.

3. Kegiatan Pengelolaan Pertambangan

Dalam kegiatan pengelolaan pertambangan, SKPD yang

bertanggungjawab untuk menangani bidang ini tidak mengalokasikan anggaran

secara khusus baik untuk kegiatan pembuatan rencana program maupun pada

kegiatan promosi potensi pertambangan yang ada di daerahnya masing-masing.

Hal ini menunjukkan bahwa kedua kegiatan tersebut oleh SKPD yang

menanganinya dianggap sebagai kegiatan rutin yang tidak memerlukan alokasi

196

anggaran khusus untuk melakukannya, sehingga pada dua kegiatan tersebut tidak

timbul biaya transaksi yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi pada

kegiatan pengelolaan pertambangan daerah.

Pada kegiatan monitoring dan evaluasi dari pengelolaan pertambangan,

tiga kabupaten yaitu Purbalingga, Banyumas dan Cilacap masih menganggap

perlunya alokasi pendanaan untuk kegiatan monev, sedangkan di dua kabupaten

yaitu Banjarnegara dan Kebumen tidak lagi menganggap perlu. Alasan dianggap

perlunya alokasi anggaran kegiatan monev karena kegiatan ini harus dilakukan di

lapangan dengan lokasi yang tersebar dan berjauhan sehingga diperlukan

tambahan pendanaan untuk melaksanakannya. Meskipun alokasi pendanaan untuk

kegiatan monev tetap dianggarkan, tetapi rata-rata besaran anggaran tersebut

mengalami penurunan pada tahun-tahun setelah kegiatan kerjasama antar daerah

dilakukan. Penurunan besaran anggaran tersebut dapat dilihat pada gambar

berikut.

0

10000000

20000000

30000000

40000000

50000000

Bia

ya T

rans

aksi

Banjarnegara 0 0

Purbalingga 45,000,000 26,666,667

Banyumas 32,500,000 24,000,000

Cilacap 30,000,000 30,000,000

Kebumen 0 0

Rata-Rata Sebelum program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah.

Gambar 24 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pengolahan Pertambangan

Adaya penurunan anggaran dari kegiatan monev ini menunjukkan bahwa

telah terjadi penurunan biaya transaksi dari kegiatan tersebut. Dengan demikian,

secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam kegiatan pengeloalan

petambangan di daerah telah menimbulkan biaya transaksi, namun dengan adanya

197

kegiatan kerjasama antar daerah telah dapat menurunkan besaran biaya transaksi

tersebut.

4. Kegiatan Pengembangan Pariwisata

Kegiatan promosi potensi pariwisata pada tahun-tahun sebelum kegiatan

kerjasama antar daerah dilakukan selalu dianggarkan oleh lima kabupaten di

wilayah BARLINGMASCAKEB. Besarnya anggaran kegiatan untuk promosi

pariwisata dapat dilihat pada gambar di bawah. Kabupaten Cilacap dan Kebumen

adalah dua kabupaten yang mengalokasikan anggaran promosi pariwisatanya

cukup besar dibandingan dengan daerah lain. Sedangkan Kabupaten Banjarnegara

merupakan kabupaten yang mengalokasikan anggaran untuk promosi pariwisata

paling kecil.

-

200,000,000

400,000,000

600,000,000

800,000,000

Biay

a Tr

ansa

ksi

Banjarnegara 17,500,000 0

Purbalingga 40,000,000 13,283,667

Banyumas 77,161,000 75,000,000

Cilacap 670,000,000 322,583,333

Kebumen 436,986,000 163,216,469

Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah. Gambar 25 Biaya Transaksi Kegiatan Promosi Potensi Pariwisata

Dengan bergabungnya kelima kabupaten tersebut ke dalam lembaga

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, dimana salah satu kegiatannya

adalah melakukan kegiatan promosi wisata secara bersama, telah memberikan

pengaruh pada berkurangnya alokasi anggaran untuk kegiatan promosi wisata

yang dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing kabupaten. Bahkan

untuk Kabupaten Banjarnegara setelah bergabung ke dalam lembaga kerjasama

antar daerah BARLINGMASCAKEB tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk

kegiatan promosi potensi wisata. Gambaran di atas menunjukkan bahwa meskipun

198

biaya transaksi masih cukup besar pada kegiatan promosi potensi wisata namun,

adanya kerjasama antar daerah telah mampu menurunkan besarnya biaya transaksi

tersebut jika dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan kerjasama antar

daerah.

Pada aktivitas pembuatan rencana kegiatan pengembangan periwisata di

masing-masing SKPD terkait sebelum adanya kegiatan kerjasama antar daerah,

Kabupaten Banjarnegara, Banyumas dan Kebumen masih mengalokasikan

anggaran untuk kegiatan tersebut. Sedangkan Kabupaten Purbalingga dan Cilacap

aktivitas pembuatan rencana kegiatan pengembangan pariwisata tidak lagi

dianggarkan secara khusus. Namun setelah adanya kegiatan kerjasama antar

daerah, Kabupaten Banjarnegara dan Kebumen telah mengurangi alokasi

anggaran untuk kegiatan pembuatan perencanaan pengembangan pariwisata.

Sedangkan di Kabupaten Banyumas anggaran untuk kegiatan tersebut telah

dihilangkan. Artinya dengan adanya kegiatan kerjasama antar daerah telah dapat

mengurangi biaya transaksi yang ditimbulkan dari kegiatan pembuatan rencana

pengembangan pariwisata.

-

50,000,000

100,000,000

150,000,000

Biay

a Tr

ansa

ksi

Banjarnegara 125,000,000 66,666,667

Purbalingga 0 0

Banyumas 24,806,400 0

Cilacap 0 0

Kebumen 18,750,000 13,333,333

Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program

Sumber: Data sekunder diolah.

Gambar 26 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Kegiatan Pengembangan Pariwisata

Pada kegiatan monitoring dan evaluasi program di kelima kabupaten baik

sebelum adanya kerjasama antar daerah maupun sesudah adanya kerja sama antar

daerah tidak mengalokasikan anggaran untuk kegitan tersebut. Mereka

199

menganggap bahwa kegiatan monev merupakan kegiatan rutin sebagai bagian dari

tupoksi mereka sehingga kegiatan tersebut tidak diperlukan alokasi anggaran

khusus untuk menjalankannya.

Dari berbagai deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa adanya kegiatan

kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB telah dapat mengurangi biaya

transaksi dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah

daerah, khususnya pada kegiatan fasilitasi investasi daerah, pengelolaan

ketenagakerjaan, pengelolaan pertambangan daerah dan pengembangan pariwisata

daerah. Dengan berkurangnya biaya transaksi sebagai akibat dari adanya lembaga

kerjasama antar daerah ini maka keberadaan lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB secara kelembagaan dapat dianggap efisien.

5.4. Format Kelembagaan Yang Tepat Bagi Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB 5.4.1. Tahap Dekomposisi

Hasil analisis kinerja kelembagaan kerjasama antar daerah menunjukkan bahwa dari sisi output maupun outcome belum menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Namun, dari hasil analisis efektivitas dan efisiensi kelembagaan menunjukkan bahwa pembentukan lembaga kerjasama antar daerah dapat dipandang sebagai strategi yang tepat dalam upaya meningkatkan skala ekonomi daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan lembaga kerjasama antar daerah yang telah dibentuk. Kesalahan pengelolaan lembaga ini sangat terkait dengan aspek kelembagaan berupa aturan main yang ditetapkan sehingga berpengaruh terhadap kemampuan pengelolaan dari lembaga tersebut. Untuk memperbaikinya diperlukan adanya perubahan format kelembagaan baru dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB agar dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.

Perubahan format kelembagaan dimaksudkan agar lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dapat meningkatkan fungsinya sehingga dapat bekerja dengan optimal dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Merumuskan format kelembagaan baru merupakan permasalahan yang kompleks karena menyangkut berbagai pilihan siapa pelaku yang tepat untuk mengelola lembaga kerjasama antar daerah, prioritas tujuan mana yang hendak

200

dicapai serta pilihan strategi berupa bentuk lembaga seperti apa yang hendak dipilih untuk mewadahi kegiatan kerjasama antar daerah.

Dengan menggunakan metode AHP masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat disederhanakan dalam bentuk hierarkhi. Dalam upaya merumuskan format kelembagaan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dapat disederhanakan dalam bentuk hirarkhi dengan struktur sebagaimana dapat dilihat pada gambar 6 (lihat Bab III Metode Penelitian).

Rumusan format kelembagaan kerjasama antar daerah tersebut didasarkan

pada kenyataan bahwa kelembagaan kerjasama antar daerah kurang berfungsi

dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Agar tujuan di atas dapat

dicapai maka dibutuhkan pelaku yang tepat dalam menjalankan roda organisasi

lembaga kerjasama antar daerah. Ada tiga kelompok yang dianggap relevan

sebagai pelaku yang menjalankan kelembagaan kerjasama antar daerah yaitu

birokrasi pemerintah, tenaga profesional, dan campuran dari tenaga profesional

dan birokrasi pemerintah.

Berdasarkan tiga kelompok pelaku tersebut, dirumuskan beberapa kriteria

berupa tujuan yang hendak dicapai dari peningkatan kelembagaan kerjasama antar

daerah. Berbagai tujuan tersebut adalah mengurangi terjadinya eksternalitas,

meningkatkan efisiensi pembiayaan pembangunan, meningkatkan kegiatan

pelayanan publik dan yang terakhir adalah hanya untuk kepentingan politik

semata. Dari berbagai kriteria tersebut maka dapat dirumuskan beberapa alternatif

strategi kebijakan pembentukan lembaga kerjasama antar daerah yang dapat

berupa antara lain: lembaga forum koordinasi antar daerah, lembaga sekretariat

bersama, lembaga kerjasama antar daerah yang bersifat otonom, dan lembaga

badan usaha bersama.

5.4.2. Tahap Comparative Judgement

Untuk memperoleh matriks perbandingan berpasangan dilakukan dengan

menanyakan kepada para responden pakar untuk menilai pengaruh relatif setiap

elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria pada hirarkhi yang telah

ditetapkan berdasarkan skala intensitas yang telah ditentukan.

201

Penelitian ini menggunakan 16 (enam belas) responden pakar yang

dianggap mengetahui format kelembagaan yang ideal dari lembaga kerjasama

antar daerah BARLINGMASCAKEB, yaitu (1) Anggota Dewan Eksekutif

BARLINGMASCAKEB dari masing-masing kabupaten anggota yang diwakili

oleh para kepala Bappeda sebanyak lima orang, (2) Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) komisi A Bidang Pemerintahan di masing-masing

kabupaten anggota sebanyak lima orang, (3) Para pengusaha di lima kabupaten

anggota yang tergabung di dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Daerah

(Kadinda) sebanyak lima orang, dan (4) seorang ahli di Bidang Pemerintahan

Daerah dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Berdasarkan hasil kompilasi dari seluruh responden diperoleh matrik

pairwise comparison (perbandingan berpasangan) sebagai berikut:

5.4.2.1. Level Pelaku

Tabel 55 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Pelaku Berdasarkan Fungsi Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah

Pelaku Birokrasi Profesional Campuran

Birokrasi dan Profesional

Birokrasi 1.000 (2.77765) (4.56059)

Profesional (2.50864)

Campuran Birokrasi dan Profesional 1.000

Sumber: Data primer diolah.

5.4.2.2.Level Kriteria/Tujuan Tabel 56 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan

Pelaku Birokrasi Kriteria/Tujuan Eksternalitas Efisiensi Pelayanan

Publik Kepentingan Politik

Eksternalitas 1.000 (3.71428) (3.34439) 3.01982

Efisiensi 1.000 1.35877 4.94936

Pelayanan Publik 1.000 4.88698

Kepentingan Politik 1.000 Sumber: Data primer diolah.

202

Tabel 57 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan Pelaku Tenaga Profesional

Kriteria/Tujuan Eksternalitas Efisiensi Pelayanan

Publik Kepentingan Politik

Eksternalitas 1.000 (4.50075) (3.64708) 2.62359

Efisiensi 1.000 1.7263 6.1998

Pelayanan Publik 1.000 5.22918

Kepentingan Politik 1.000

Sumber: Data primer diolah.

Tabel 58 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan Pelaku Campuran Antara Birokrasi dan Tenaga Profesional

Kriteria/Tujuan Eksternalitas Efisiensi Pelayanan

Publik Kepentingan Politik

Eksternalitas 1.000 (4.53626) (3.68897) 3.26898

Efisiensi 1.000 1.79726 7.44238

Pelayanan Publik 1.000 6.62371

Kepentingan Politik 1.000

Sumber: Data primer diolah.

5.4.2.3. Level Strategi

Tabel 59 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Mengurangi Terjadinya Ekternalitas

Strategi Forum

Koordinasi Sekretariat Bersama

Lembaga Otonom KSAD

Badan Usaha Bersama

Forum Koordinasi 1.000 (2.978) (5.84881) (1.73773)

Sekretariat Bersama 1.000 (3.97128) (1.13477)

Lembaga Otonom KSAD 1.000 4.13654

Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.

203

Tabel 60 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Peningkatan Efisiensi

Strategi Forum

Koordinasi Sekretariat Bersama

Lembaga Otonom KSAD

Badan Usaha Bersama

Forum Koordinasi 1.000 (3.25812) (7.36172) (1.81338)

Sekretariat Bersama 1.000 (4.54073) (1.10386)

Lembaga Otonom KSAD 1.000 4.81583

Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.

Tabel 61 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan

Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Peningkatan Pelayanan Publik

Strategi Forum

Koordinasi Sekretariat Bersama

Lembaga Otonom KSAD

Badan Usaha Bersama

Forum Koordinasi 1.000 (3.00979) (6.47571) (1.47581)

Sekretariat Bersama 1.000 (4.48263) 1.08667

Lembaga Otonom KSAD 1.000 5.05945

Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.

Tabel 62 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan

Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Kepentingan Politik

Strategi Forum

Koordinasi Sekretariat Bersama

Lembaga Otonom KSAD

Badan Usaha Bersama

Forum Koordinasi 1.000 (2.48389) (4.18069) (1.45051)

Sekretariat Bersama 1.000 (2.73762) 1.08251

Lembaga Otonom KSAD 1.000 3.2607

Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan sofware expert

choice 2000, matrik pairwise comparison (perbandingan berpasangan) gabungan

semua responden pada masing-masing level sebagaimana terlihat pada tabel 54

sampai dengan tabel 61 di atas menunjukkan nilai indeks inconsistency kurang

dari 0.10. Hal ini berarti jawaban responden terhadap pertanyaan yang diajukan

204

cukup konsisten sehingga data yang diperoleh dapat dilanjutkan pada tahapan

analisis.

5.4.3. Tahap Synthesis of Priority

Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan software expert choice

2000, diketahui pilihan prioritas (bobot) dari semua responden pada setiap unsur

hirarakhi yang telah ditentukan sebagai berikut:

Gambar 27 Bobot Prioritas dari Pencapaian Tujuan Peningkatan Fungsi

Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB

5.4.3.1. Pelaku

Terdapat tiga pelaku yang harus diperhatikan untuk dapat mencapai

strategi yang optimal dalam meningkatkan fungsi kelembagaan kerjasama antar

daerah BARLINGMASCAKEB, yaitu; (1) Birokrasi Pemerintah, (2) Tenaga

Profesional, dan (3) Campuran Birokrasi Pemerintah dan Tenaga Profesional.

Berdasarkan hasil analisis dari berbagai pendapat para exspert kelompok pelaku

yang dapat memberikan kontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai terlihat

pada tabel berikut:

Tabel 63 Skala Prioritas Pelaku

No. Pelaku Bobot Prioritas

1. Birokrasi Pemerintah 0,115 3

2. Tenaga Profesional 0,278 2

3. Campuran Birokrasi Pemerintah dengan Tenaga Profesional

0,606 1

Sumber: Data Primer diolah.

205

Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk meningkatkan fungsi

kelembagaan kerjasama antar daerah BARLLINGMASCAKEB pilihan para

pelaku yang terlibat dalam menjalankan organisasi tersebut menurut para

responden paling utama harus dilakukan oleh tenaga campuran dari birokrasi

pemerintah dan tenaga profesional. Dari hasil wawancara mendalam (dept

interview) dengan para responden ada berbagai pertimbangan mengapa mereka

lebih memilih tenaga campuran birokrasi pemerintah dengan tenaga profesional

sebagai pelaku yang menjalankan lembaga kerjasama antara daerah sebagaimana

tergambar pada deskripsi berikut.

Mereka beranggapan apabila tenaga birokrasi pemerintah sebagai

pelakunya, maka banyak kelemahan yang akan muncul sehingga berpotensi

membuat organisasi tidak akan dapat mencapai tujuan secara optimal. Berbagai

kelemahan tersebut antara lain organisasi akan terjebak pada berbagai aturan yang

bersifat rigid dan berbelit-belit sebagaimana ciri khas aturan main dari lembaga

birokrasi. Padahal keberadaan lembaga kerjasama antar daerah ini diharapkan

mampu melakukan berbagai terobosan dengan melakukan lobi-lobi ke berbagai

stakeholdres seperti; pemerintah pusat, pemerintah provinsi, para pengusaha dan

berbagai asosiasi yang ada di masyarakat guna menunjang pencapaian tujuan yang

telah ditetapkan. Kelemahan birokrasi pemerintah yang cenderung bersifat lambat

dalam merespon berbagai perubahan yang ada, bahkan ada yang menganggap

birokrasi cenderung korup dianggap tidak mampu membawa perubahan yang

lebih baik apabila diserahi untuk mengelola lembaga kerjasama antar daerah.

Namun demikian, ada sisi baik dari birokasi pemerintah ini apabila mereka

mengelola lembaga kerjasama antar daerah, yaitu mereka memiliki sumberdaya

manusia (SDM) yang mumpuni secara teknis serta memiliki sumberdaya

keuangan yang cukup dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan

di daerah sebagaimana yang telah mereka hadapi sehari-hari.

Sementara itu, apabila pelaku diserahkan kepada tenaga profesional,

mereka dipandang memiliki kemampuan lobi ke berbagai stakeholders yang

dibutuhkan sebagaimana gerak langka organisasi perusahaan yang lebih

mementingkan keuntungan sebagai pencapaian tujuannya. Namun, pelaku dari

tenaga profesional ini memiliki kekurangan berupa; (1) keterbatasan sumberdaya

206

manusia yang memiliki kemampuan teknis dalam menyelesaikan berbagai

persoalan pembangunan antar daerah, (2) ketidakmampuan melakukan koordinasi

dengan perangkat daerah di kabupaten anggota dalam menjalankan berbagai

kegiatannya.

Menimbang berbagai kekuatan dan kelemahan pelaku dari birokrasi

pemerintah dan tenaga profesional di atas, sebagian besar responden lebih

memilih pelaku dari tenaga campuran antara birokrasi pemerintah dengan tenaga

profesional sebagai pilihan utama pelaku yang menjalankan organisasi lembaga

kerjasama antar daerah. Pilihan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa lembaga

kerjasama antar daerah diharapkan dapat bertindak gesit sebagaimana organisasi

perusahaan dalam melakukan lobi-lobi ke berbagai stakeholders yang diperlukan

serta mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang mungkin terjadi pada

lingkungannya. Di samping itu, lembaga kerjasama antar daerah juga diharapkan

memiliki pelaku yang secara teknis menguasai berbagai permasalahan

pembangunan antar daerah serta memiliki kemampuan melakukan koordinasi

dengan pemerintah daerah kabupaten anggota dalam menjalankan program

kegiatannya.

5.4.3.2. Kriteria

Hasil penilaian bobot kriteria/tujuan tidak ditunjukkan oleh software

expert choice secara langsung. Expert choice hanya menampilkan bobot

kriteria/tujuan per matriks aktor. Bobot kriteria/tujuan diintegrasikan dengan cara

mengalikan matriks nilai eigen dari kriteria/tujuan dengan matrik bobot aktor.

Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 64 Penghitungan Nilai Bobot Kriteria dan Skala Prioritas Kriteria

Kriteria/pelaku Birokrasi Profesional Campuran Kriteria

Terbobot Priori

tas 0.115 0.278 0.606 Mengurangi Eksternalitas 0.139 0.118 0.118 0.120 3 Meningkatkan Efisiensi 0.434 0.485 0.493 0.483 1 Meningkatkan Pelayanan Publik 0.360 0.336 0.339 0.340 2 Kepentingan Politik 0.067 0.061 0.050 0.055 4

Sumber: Data Primer diolah.

207

Tujuan dari peningkatan fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB adalah: (1) mengurangi terjadinya eksternalitas antar

kabupaten anggota, (2) meningkatkan efisiensi pembangunan, (3) meningkatkan

pelayanan publik bagi masyarakat, dan (4) untuk kepentingan politik. Berdasarkan

hasil analisis sebagaimana terlihat pada tabel di atas diketahui bahwa responden

lebih menganggap penting bahwa tujuan meningkatkan efisiensi pembangunan

lebih diutamakan, kemudian tujuan meningkatkan pelayanan publik, setelah itu

tujuan mengurangi terjadinya eksternalitas, dan terakhir baru tujuan untuk

kepentingan politik.

Pilihan prioritas pertama berupa tujuan meningkatkan efisiensi didasarkan

atas pertimbangan bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa tujuan

pembentukan lembaga kerjasama antar daerah dimaksudkan untuk meningkatkan

skala ekonomi daerah. Sementara itu, masing-masing daerah yang bekerjasama

memiliki keterbatasan sumberdaya ekonomi maupun biaya sehingga dengan

bekerjasama masing-masing daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi

biaya pembangunan yang harus dikeluarkan. Dengan demikian, dengan

mengeluarkan besaran biaya pembangunan yang sama di masing-masing daerah

apabila bekerjasama akan dapat menghasilkan output pembangunan yang lebih

besar jika dibandingkan dengan apabila mereka tidak saling bekerjasama.

Tujuan meningkatkan pelayanan publik menjadi prioritas ke dua yang

dipilih oleh para responden. Tujuan ini tidak menjadi isu utama yang harus

dicapai dalam konteks kerjasama antar daerah karena sebagian responden

menganggap bahwa aspek pelayanan publik yang menyangkut lintas batas

wilayah kabupaten/kota bukan menjadi bidang tugas dari lembaga kerjasama antar

daerah tetapi seharusnya menjadi bidang tugas dari lembaga Badan Koordinasi

Pembangunan Lintas Wilayah Kabupaten/Kota (Bakorlin) di tingkat provinsi.

Mengurangi eksternalitas menjadi tujuan peningkatan fungsi kelembagaan

kerjasama antar daerah pada prioritas ke tiga. Hal ini disebabkan karena peluang

terjadinya eksternalitas di antara kabupaten anggota tidak terlalu menonjol

sehingga mengurangi terjadinya eksternalitas tidak dipandang sebagai prioritas

utama tujuan dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB.

208

Sedangkan tujuan kepentingan politik menjadi prioritas ke empat dari

peningkatan fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah. Tujuan ini relatif tidak

dianggap penting dan menjadi pilihan dari responden karena mereka menganggap

bahwa tidak ada kepentingan politik apapun yang perlu dicapai melalui kerjasama

antar daerah. Kerjasama antar daerah menurut mereka dibentuk atas dasar untuk

kepentingan meningkatkan pertumbuhan dan skala ekonomi daerah.

5.4.3.3. Strategi

Ada empat strategi pembentukan format kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan fungsi

kelembagaan kerjasama antar daerah, yaitu; (1) Membentuk Lembaga Forum

Koordinasi Antar Daerah, (2) Membentuk Lembaga Sekretariat Bersama Antar

Daerah, (3) Membentuk Lembaga Otonom Kerjasama Antar Daerah, dan (4)

Membentuk Badan Usaha Bersama Antar Daerah.

Dari hasil analisis, menurut berbagai pendapat expert strategi

pembentukan format kerjasama antar daerah yang dianggap dapat lebih

meningkatkan fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 65 Skala Prioritas Strategi

No. Strategi Pembentukan Lembaga KSAD Bobot Prioritas

1. Forum Koordinasi 0,076 4

2. Sekretariat Bersama 0,168 2

3. Lembaga Otonom 0,615 1

4. Badan Usaha Bersama 0,141 3

Sumber: Data Primer diolah.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pembentukan format kerjasama

antar daerah dalam bentuk lembaga otonom kerjasama antar daerah menjadi

strategi utama yang dipilih oleh para expert untuk meningkatkan fungsi

kelembagaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Lembaga otonom

kerjasama antar daerah adalah badan yang dibentuk secara khusus untuk

mengelola kegiatan kerjasama antar daerah. Lembaga ini berdiri sendiri dan tidak

melekat pada struktur birokrasi pemerintah daerah. Lembaga ini juga bukan

merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di tingkat pemerintah

209

kabupaten anggota. Sebagai lembaga yang bersifat otonom badan ini haruslah

bersifat quasi eksekutif, quasi legislatif dan quasi yudikatif. Artinya lembaga ini

harus dapat membuat peraturan, melaksanakan peraturan dan dapat menyelesaikan

perselisihan internal pada tingkat pertama. Lembaga kerjasama antar daerah yang

bersifat otonom struktur organisasinya harus mengandalkan pada mekanisme

kerja yang bersifat hierarkhis. Meskipun antar kabupaten anggota memiliki

kesetaraan, namun agar lembaga kerjasam antar daerah yang dibentuk dapat

menjalankan fungsinya secara optimal dibutuhkan kerelaan dari para pimpinan

daerah kabupaten anggota untuk mendelegasikan kewenangannya secara penuh

kepada pengelola lembaga kerjasama antar daerah ini agar dapat merumuskan

tujuan kerjasama secara lebih spesifik berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat,

membuat aturan main kerjasama dengan jelas, misalnya masing-masing kabupaten

harus berbuat apa dan mendapatkan apa, serta dapat menetapkan mekanisme

pemberian sanksi bagi anggota yang melanggar kesepakatan. Tanpa adanya

kewenangan yang bersifat hierarkhis semacam ini maka lembaga kerjasama antar

daerah tersebut tidak akan dapat bekerja secara optimal.

Secara konseptual keberadaan lembaga kerjasama antar daerah yang

bersifat otonom akan mudah untuk dibentuk apabila kewenangan otonomi daerah

ada pada tingkat provinsi dan bukan pada tingkat kabupaten/kota. Pemberian

otonomi pada tingkat kabupaten/kota berarti memberikan kewenangan kepada

para bupati dan walikota untuk mengelola potensi sumberdaya ekonomi di daerah

masing-masing. Akibatnya ketika antar kabupaten/kota harus bekerjasama untuk

mengelola potensi sumberdaya ekonomi tersebut secara bersama, kewenangan

tersebut akan akan sulit untuk didelegasikan kepada pihak lain dalam

mengelolanya. Oleh karena itu, apabila otonomi daerah berada pada tingkat

kabupaten/kota maka efektivitas lembaga kerjasama antar daerah akan sulit untuk

dapat dicapai.

Idealnya pemberian otonomi daerah berada pada tingkat provinsi. Jika hal

ini dilakukan maka pemerintahan kabupaten/kota berada di bawah kendali

pemerintah provinsi atau gubernur. Apabila otonomi ada ditingkat provinsi maka

pengelolaan potensi sumberdaya ekonomi yang ada di wilayah kabupaten/kota

tidak sepenuhnya berada di bawah kewenangan bupati/walikota, tetapi gubernur

210

sebagai kepala daerah provinsi juga memiliki kewenangan untuk ikut mengatur

pengelolaan potensi sumberdaya ekonomi tersebut. Oleh karena itu, apabila ada

kerjasama antar daerah yang dibentuk dengan tujuan untuk mengelola potensi

sumberdaya ekonomi secara bersama yang keberadaannya di wilayah

kabupaten/kota, pengelolaannya akan jauh lebih mudah unutk dilakukan, karena

lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk akan dapat menggunakan struktur

organisasi yang bersifat hierarkhi dengan otoritas sentral berada pada tangan

gubernur. Dengan kata lain, penerapan lembaga kerjasama antar daerah yang

bersifat otonom akan lebih mudah untuk dilakukan apabila pemberian otonomi

daerah berada pada tingkat pemerintah provinsi dari pada di tingkat pemerintah

kabupaten/kota.

Pilihan format lembaga otonom kerjasama antar daerah apabila dapat

dijalankan dengan benar akan dapat memberikan implikasi pada peningkatan

fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Hal ini

disebabkan karena format kerjasama dalam bentuk lembaga otonom kerjasama

antar daerah memiliki kewenangan, lingkup otoritas dan pola relasi yang dapat

mendorong peningkatan kinerja dari lembaga tersebut.

Ada empat kewenangan yang seharusnya dijalankan kelembagaan

kerjasama antar daerah dalam bentuk “Lembaga Otonom Kerjasama Antar

Daerah”, berupa; (1) information networks; yaitu forum yang berfungsi sebagai

pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi potensial atas masalah-

masalah bersama, (2) developmental networks; yaitu adanya keterlibatan anggota

yang lebih tinggi, tidak hanya sekedar pertukaran informasi tetapi dikombinasikan

dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas

informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing persoalannya,

(3) outreach networks; yaitu jaringan antar daerah lebih solid dengan adanya

program strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan di

daerah lain, dan (4) action networks; yaitu daerah secara bersama-sama membuat

serangkaian program aksi bersama yang dijalankan oleh masing-masing daerah

sesuai dengan proporsi dan kemampuannya masing-masing. Dengan empat

kewenangan ini maka lembaga otonom kerjasama antar daerah mampu melakukan

211

aksi bersama antar anggota dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi

oleh anggotanya.

Regional Management (RM) BARLINGMASCAKEB sebagai lembaga

pelaksana dari kerjasama antar daerah secara struktur memiliki bentuk sebagai

lembaga otonom, namun secara fungsi tidak menjalankan ke empat kewenangan

yang seharusnya dimiliki oleh lembaga kerjasama dalam bentuk lembaga otonom.

RM BARLINGMASCAKEB sebagai pelaksana dari lembaga kerjasama antar

daerah seharusnya bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan fungsi information

networks, developmental networks, outreach networks, dan action networks dari

para anggotanya. Namun dalam kenyataannya kewenangan yang dijalankan tidak

sampai pada pelaksanaan fungsi action networks.

Regional Management sebagai lembaga tempat berkumpulnya para bupati

dari lima kabupaten lebih sering hanya dijadikan tempat untuk melakukan sharing

informasi mengenai permasalahan daerah yang dapat dikerjasamakan. Sedangkan

tindak lanjut dari kegiatan sharing informasi dengan melakukan pengembangan

kapasitas aparat di daerah masing-masing untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan yang ada serta melakukan benchmarking ke sesama kabupaten

anggota dengan mencontoh cara penyelesaian permasalahan yang pernah muncul

di kabupaten lain beberapa kali pernah dilakukan tetapi dengan intensitas yang

sangat kurang. Sedangkan tahapan aktivitas melakukan aksi bersama (collective

action) dari para anggota untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi

secara bersama tidak pernah dilakukan. Upaya penyelesaian berbagai

permasalahan bersama yang dilakukan oleh Regional Manager melalui berbagai

progam kerja yang telah ditetapkan dilakukan tanpa melibatkan aparat pemerintah

di kabupaten anggota. Hasilnya menjadi tidak efektif karena berbagai program

kerja yang dilaksanakan oleh Regional Manager tidak sejalan dengan program

kerja yang ada di SKPD di masing-masing kabupaten anggota.

Dengan format kelembagaan baru dalam bentuk lembaga otonom dengan

pelaku berasal dari tenaga campuran antara birokrasi pemerintah dengan tenaga

profesional diharapkan lembaga otonom ini dapat menjalankan ke empat

kewenangan sebagaimana disebut di atas. Kinerja lembaga kerjasama diharapkan

akan bisa efektif karena pelaksana teknis dari kegiatan kerjasama antar daerah

212

dilakukan dengan melibatkan SKPD terkait yang relevan. Sedangkan lembaga

otonom kerjasama antar daerah lebih berfungsi sebagai lembaga supporting dan

lembaga tink tank untuk membantu kabupaten anggota dalam menyelesaikan

berbagai persoalan yang dikerjasamakan.

Format kelembagaan dalam bentuk lembaga otonom kerjasama antar

daerah juga memiliki lingkup otoritas yang kuat dalam bentuk pengaturan yang

ketat terhadap anggota dengan sanksi yang tegas bagi yang melanggar

kesepakatan. Adanya lingkup otoritas yang demikian akan membuat

keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah akan lebih terjaga. Dengan

lingkup otoritas yang kuat akan mendorong masing-masing daerah terutama para

pimpinan daerahnya untuk lebih memiliki komitmen yang kuat terhadap

keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuknya.

Pada saat ini lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

tidak memiliki lingkup otoritas yang kuat. Ketidaktaatan anggota terhadap

kesepakatan yang dibuat tidak pernah diselesaikan dengan penegakan aturan

karena memang aturan mengenai sanksi bagi anggota yang melanggar

kesepakatan tidak pernah dibuat. Dengan format kelembagaan yang baru perlu

dibuat aturan main yang jelas berkaitan dengan hak dan kewajiban serta aturan

sanksi yang tegas bagi anggota yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat.

Menegakkan lingkup otoritas yang kuat memang sulit untuk dilakukan. Tetapi

apabila lembaga kerjasama antar daerah telah memiliki kinerja yang baik dan

semua anggota telah dapat merasakan manfaat dari adanya lembaga kerjasama

antar daerah tersebut maka penegakan otoritas tidak akan sulit untuk dilakukan.

Lembaga kerjasama antar daerah dalam bentuk lembaga yang otonom

mensyaratkan adanya pola relasi dalam bentuk pelibatan anggota yang tinggi

dalam upaya memecahkan permasalahan bersama. Dengan pola relasi yang seperti

ini memungkinkan semua kabupaten anggota akan terlibat di dalam setiap

kegiatan yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar daerah. Keterlibatan di

dalam setiap aktivitas kerjasama dapat digunakan untuk menilai apakah aktivitas

yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar daerah telah mengarah pada upaya

penyelesaian masalah yang dihadapi secara bersama serta apakah masing-masing

213

daerah anggota telah merasakan manfaat secara bersama dari adanya lembaga

kerjasama antar daerah tersebut.

Dalam prakteknya lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB tidak memiliki pola relasi yang tinggi antar anggotanya.

Tidak terintegrasinya program kerja yang dijalankan oleh lembaga kerjasama

antar daerah dengan program kerja yang ada di tingkat SKPD menunjukkan

bahwa pelibatan anggota dalam pencapaian tujuan kerjasama sangat rendah.

Aparat pemerintah daerah di masing-masing kabupaten anggota tidak pernah

merasa beranggapan bahwa tujuan kerjasama akan dapat dicapai apabila mereka

terlibat di dalamnya. Ketika kinerja dari lembaga kerjasama antar daerah tidak

tercapai sebagaimana yang diharapkan, mereka justru melakukan kritik terhadap

pengelola lembaga kerjasama dan menganggap pengelola tidak dapat bekerja

dengan baik.

Dengan adanya format kelembagaan yang baru dalam bentuk lembaga

otonom, pelibatan anggota terhadap berbagai aktivitas kerjasama akan menjadi

tinggi. Pilihan pelaku dari lembaga kerjasama yang berasal dari tenaga campuran

antara birokrasi pemerintah dan tenaga profesional diharapkan dapat menjamin

pola relasi yang tinggi dari para anggota terhadap kegiatan dan keberlangsungan

dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Dengan adanya

kewenangan, lingkup otoritas dan pola relasi sebagaimana yang telah dijelaskan di

atas penerapan format kelembgaan kerjasama antar daerah dalam bentuk lembaga

otonom diharapkan dapat meningkatkan fungsi kelembagaan kerjasama antar

daerah BARLINGMASCAKEB dimasa yang akan datang.