v. analisis usahatani padi untuk mendukung … · 2015-08-28 · analisis ekonomi usahatani padi...
TRANSCRIPT
V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG
PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM
5.1. Pendahuluan
Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan membawa dampak yang sangat
merugikan bagi petani khususnya pada usahatani berbasis padi. Hasil penelitian
Boer (2008b) memperlihatkan areal pertanaman padi yang terkena kekeringan
meningkat secara signifikan selama El-Nino. Areal yang terkena kekeringan
dengan luasan lebih dari 2000 Ha banyak tersebar terutama di Provinsi Jawa
Barat. Hadi (2000) menyebutkan bahwa kekeringan menempati urutan pertama
sebagai penyebab gagal panen yang menyebabkan akumulasi defisit/hutang dalam
jumlah besar sehingga kebutuhan konsumsi keluarga petani dan kebutuhan
investasi selanjutnya (usahatani, dan lain-lain) terancam tidak terpenuhi secara
normal.
Untuk menghadapi kekeringan maupun bencana lainnya, petani pada
umumnya memiliki cara tersendiri untuk bisa bertahan hidup. Berdasarkan hasil
penelitian Hadi (2000) diketahui bahwa petani telah menerapkan berbagai strategi
walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat
dihilangkan sepenuhnya. Seperti strategi finansial, pemasaran, produksi, kredit
informal dan membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga
asuransi untuk menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan
terjadi. Namun di Indonesia, sistim asuransi pertanian ini belum berkembang
dengan baik. Hal ini disebabkan model asuransi masih bersifat konvensional
sehingga sulit untuk merumuskan pembayaran premi dan masih minimnya
dukungan regulasi. Salah satu model asuransi pertanian yang berpeluang untuk
dikembangkan di Indonesia adalah Asuransi Indeks Iklim.
Asuransi indeks iklim merupakan sistim asuransi yang memberikan
pembayaran pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak
diharapkan yang dinyatakan dengan indeks iklim tanpa harus ada bukti kegagalan
panen. Dalam sistem asuransi indeks iklim yang diasuransikan ialah indeks
iklimnya dan bukan tanamannya. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah
99
indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang
diasuransikan (Boer, 2010c).
Di Indonesia, asuransi indeks iklim yang berbasis usahatani padi belum
dikembangkan. International Finance Corporation (IFC 2009) telah melakukan
studi kelayakan asuransi indeks iklim di Indonesia bagian timur tetapi masih
terbatas pada usahatani jagung. Oleh karena itu penelitian dan pengkajian tentang
asuransi indeks iklim untuk usahatani padi di Indonesia perlu dikembangkan
mengingat padi merupakan tanaman pangan utama bagi sebagian besar rakyat
Indonesia dan rawan terhadap kekeringan.
Terkait dengan sistim asuransi, dalam asuransi indeks iklim diperlukan
suatu indeks berdasarkan parameter iklim yang dipilih yaitu curah hujan. Untuk
membangun indeks iklim diperlukan data dan informasi tentang kelayakan
usahatani padi yang dinyatakan dalam nilai Revenue Cost Ratio (R/C). Hal ini
penting untuk mendapatkan nilai threshold produksi padi sebagai bagian dari
penentuan indeks iklim. Selain itu, dalam sistim asuransi, pembayaran premi
merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh peserta asuransi. Besar
kecilnya premi ditentukan oleh besar kecilnya risiko usahataninya. Semakin besar
risikonya, maka pembayaran premi juga semakin mahal. Data dan informasi ini
diperoleh melalui survey dan wawancara tentang kesediaan membayar
(Willingness to Pay) oleh petani.
Penelitian ini merupakan hasil survey dan wawancara dengan petani dalam
rangka memperoleh data dan informasi yang terkait dengan usahatani padi di
salah satu kabupaten sentra padi di Propinsi Jawa Barat, yaitu di Kabupaten
Indramayu. Selain sebagai sentra produksi padi, Kabupaten Indramayu memiliki
wilayah sangat rentan terhadap anomali iklim, sehingga peluang terjadinya
bencana akibat kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan cukup besar. Kejadian
kekeringan di Kabupaten Indramayu menempati urutan pertama sebagai penyebab
gagal panen di Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2010b).
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1) menentukan tipe usahatani padi, 2)
menghitung ambang batas (threshold) hasil padi (kg/ha) dan 3) menentukan
100
tingkat kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP) oleh petani untuk
mendukung pengembangan asuransi indeks iklim.
5.2. Metodologi
5.2.1. Survey Lapang dan Wawancara
Pengumpulan data dilakukan melalui survey, konsultasi serta diskusi
dengan beberapa instansi terkait, yaitu dengan Dinas Pertanian dan Perikanan,
Dinas PU Pengairan dan Dinas Ketahanan Pangan.
Data usahatani padi diperoleh dari survey dan wawancara petani. Sebagai
panduan dalam wawancara dengan petani dan kelompok tani, maka disusun
quisoner yang memuat berbagai pertanyaan terkait dengan usahatani padi. Pada
tahap pertama dilakukan survey dan wawancara terhadap 150 petani responden di
tiga kecamatan, yaitu : Cikedung, Lelea dan Terisi. Survey tahun pertama
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum karakteristik petani dan
usahatani padi secara umum. Sejumlah 150 orang petani yang diwawancara pada
tahun pertama mewakili 5 tipe irigasi, yaitu : teknis, setengah teknis, swadaya,
sederhana PU dan tadah hujan (Tabel 7).
Tabel 7. Daftar lokasi wawancara petani pada survey pertama
No. Kecamatan Desa Tipe Irigasi
1 Lelea
Langgeng Sari Teknis
Telaga Sari Setengah Teknis
Tempel Kulon Swadaya
Pengauban Sederhana PU
Tunggul Payung Tadah Hujan
2 Cikedung
Cikedung dan Cikedung Lor Teknis
Mundak Jaya Setengah Teknis
Cikedung Lor Swadaya
Amis Sederhana PU
Loyang Tadah Hujan
3 Terisi
Manggungan Teknis
Karang Asam Setengah Teknis
Jati Munggul Swadaya
Manggungan Sederhana PU
Jati Munggul Tadah Hujan
Pada survey kedua dilakukan wawancara terhadap 80 petani responden di
empat kecamatan, yaitu : Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur (Gambar 43)
101
dan mencakup 22 desa (Tabel 8). Lokasi responden dipilih pada lahan yang
mewakili wilayah yang endemik kekeringan yaitu di lahan irigasi ujung dan tadah
hujan. Survey dan wawancara tahap kedua lebih difokuskan untuk analisis
usahatani padi (R/C dan B/C) serta kesediaan membayar (Willingness to Pay).
Kuisoner wawancara selengkapnya disajikan dalam lampiran 5.
Tabel 8. Daftar lokasi wawancara petani pada survey kedua
Nama Kecamatan Nama Desa Jenis Irigasi
1. Cikedung 1. Amis Tadah hujan
2. Loyang Tadah hujan
3. Jatisura Tadah hujan
4. Mundak Jaya Irigasi ujung
2. Kandanghaur 1. Parean girang Irigasi ujung
2. Ilir Irigasi ujung
3. Karang Mulya Irigasi ujung
4. Karang Anyar Irigasi ujung
5. Karang Sinom Irigasi ujung
6. Wira Kanan Irigasi ujung
7. Waira Panjunan Irigasi ujung
3. Lelea 1. Tempel Kulon Irigasi ujung
2. Cempeh Irigasi ujung
3. Pangauban Irigasi ujung
4. Lelea Irigasi ujung
5. Tunggul Payung Tadah hujan
4. Terisi 1. Jati Mulya Tadah hujan
2. Plasa Kerep Irigasi ujung
3. Cikamurang Tadah hujan
4. Manggungan Irigasi ujung
5. Kendayakan Irigasi ujung
6. Jatimunggul Tadah hujan
102
Gambar 43. Lokasi penelitian di kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan
Kandanghaur (Sumber peta : Dinas PU Pengairan Kabupaten
Indramayu 2009)
5.2.2. Analisis Usahatani Padi
Analisis usahatani padi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis
Pendapatan Biaya (Revenue Cost Ratio, C/R), Analisis Keuntungan-Biaya (Benefit
Cost Ratio, B/C) serta kesediaan membayar (Willingness to Pay).
Analisis ekonomi usahatani padi dihitung dengan metode perbandingan
pendapatan dan pengeluaran selama satu musim tanam. Nilai ini diperlukan untuk
mengetahui batas (threshold) produksi padi untuk menentukan indeks iklim.
Untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diterima oleh petani maka
digunakan persamaan sebagai berikut :
Pd = TRi – Tci
Di mana : Pd=Pendapatan petani padi, TRi=Total Revenue atau Total Penerimaan
(Rp), TCi=Total Cost atau Total Biaya (Rp). Nilai total penerimaan kemudian
digunakan untuk menilai kelayakan usahatani. Usahatani dianggap layak secara
finansial maupun secara ekonomi jika nilai Revenue and Cost Ratio (R/C) lebih
dari satu. Formulasi R/C menurut Nurmanaf et al. (2005) adalah :
R/C=TR/TC
Benefit Cost Ratio (B/C) dinyatakan dengan persamaan :
R/C=(TR-TC)/TC
103
dimana : R/C=Revenue and cost Ratio, TR=total penerimaan usahatani padi,
TC=total biaya usahatani padi.
Model ini dihitung berdasarkan data survey kebutuhan dan biaya per
hektar tanaman padi. Komponen yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi
usaha tani adalah biaya input seperti jumlah dan harga benih, pupuk, pestisida,
dan sebagainya. Selain itu juga komponen biaya lainnya yaitu upah untuk
persemaian, gegaleng, penyiangan, penyemprotan, sewa lahan, air, PBB, swadaya,
pengolahan tanah, tanam dan sebagainya.
Ambang batas (threshold) produksi diperoleh ketika petani tidak
mendapat keuntungan maupun tidak rugi dalam usahataninya. Kondisi ini
dicerminkan pada saat nilai R/C=1. Threshold produksi padi ini digunakan
sebagai bagian dalam penentuan indeks iklim. Selain itu, terkait dengan
pengembangan asuransi indeks iklim, dalam penelitian ini dilakukan juga
wawancara petani tentang kesediaan membayar (Willingness to Pay) yang
besarannya dinyatakan dalam bentuk persentase maupun nominal. Quisoner
wawancara untuk menggali informasi tentang kesediaan membayar ini
selengkapnya disajikan dalam Lampiran 5 bagian VIII.
5.3. Hasil dan Pembahasan
5.3.1. Karakteristik Petani dan Usahatani Padi
Usia, Pendidikan dan Pekerjaan Responden
Untuk mengetahui karakteristik petani di lokasi penelitian, maka telah
dilakukan survey pertama dan wawancara petani di Kecamatan Cikedung, Lelea
dan Terisi yang mencakup 13 desa. Tipe lahan yang diusahakan petani responden
mewakili 5 tipe yaitu : irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi PU, swadaya
dan tadah hujan dengan jumlah responden 150 orang.
Usia responden didominasi oleh usia lebih dari 30 tahun. Dari keseluruhan
responden 21.3% berusia 45-49 tahun, 16.7% berusia 35-39 tahun, 16.0% berusia
40-44 tahun, 13.3% berusia 50-54 tahun, 8.7% berusia 30-34 tahun, 6.7% berusia
55-59 dan 2% berusia 25-29 tahun. Dari distribusi ini terlihat bahwa kegiatan
104
pertanian di wilayah studi sebagian besar masih dilakukan oleh petani usia
produktif (15-55 tahun)(Gambar 44a).
Tingkat pendidikan responden bervariasi mulai dari tidak sekolah sampai
dengan Sarjana. Dari keseluruhan responden persentase yang tamat SD adalah
dominan, yaitu 38.4%. Diikuti tidak tamat SD (25.2%), tamat SMP (19.9%),
tamat SMU (9.3%), tidak sekolah (4%), diploma/sarjana (2.6%) dan yang
pendidikan (0.7%) (Gambar 44b).
Pekerjaan Utama responden didominasi sebagai petani (91.4%), meskipun
ada juga yang mempunyai pekerjaan lain seperti wiraswasta (5.3%), pedagang
(2%) dan aparat pemerintah (0.7%) (Gambar 44c).
Gambar 44. Persentase usia (a), pendidikan (b) dan pekerjaan utama (c) responden
Pola Tanam dan Komoditas
Pola tanam yang sebagian besar dilakukan oleh petani adalah padi-padi-
bera yaitu 83.4%. Selain itu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-palawija
(6%), padi-bera (5.3%), padi-palawija-bera (2%), padi-palawija-sayur (1.3%) dan
padi-palawija-padi (0.7%) (Gambar 45). Komoditas yang ditanam selain padi
105
yang merupakan komoditas utama (90.7%) adalah padi-palawija (4%), padi
kacang hijau (2.6%), padi-kacang hijau-timun (0.7%) (Gambar 46).
Gambar 45. Persentase pola tanam yang pada umumnya dilakukan petani
Gambar 46. Persentase jenis komoditas yang umumnya di tanam petani
Varietas dan Luas Lahan
Varietas Ciherang merupakan varietas padi yang paling banyak ditanam
petani baik pada MH (72.7%) maupun MK-1 (76%). Alasannya hasil bagus, tahan
hama wereng, umur pendek, harga jual tinggi dan hemat air. Diskripsi varietas
Ciherang disajikan dalam Lampiran 1. Varietas lain yang biasa ditanam pada MH
adalah IR 64 (1.3%), Kebo (22.7%), Bestari, Merauke dan Inpari, masing-masing
0.7%., sedangkan pada MK-1, selain Bestari dan Inpari, petani juga menanam
kacang hijau dan widas (Gambar 47).
Luas lahan yang dimiliki petani cukup beragam mulai kurang dari 0.5 Ha
hingga lebih dari 5 Ha. Petani memiliki lahan garapan paling banyak adalah untuk
luasan lebih dari 0.5 sampai dengan 1 Ha, yaitu sebanyak 42%. Untuk luasan
garapan ≤ 0,5 Ha dimiliki oleh 22% petani. Berikutnya berturut-turut adalah >1.5-
106
2 Ha (10.7%), >1-1,5 Ha (10%), >2-2,5 Ha (4%), >3-3,5 Ha (4%), >2.5-3 Ha
(3.3%), >3.5-4 Ha (2.7%) dan hanya satu orang petani yang memilik lahan lebih
dari 4 Ha dan 6 Ha (0.7%) (Gambar 48).
Gambar 47. Persentase pilihan varietas yang ditanam petani pada MH dan MK
Gambar 48. Persentase kepemilikan lahan
Produksi Padi
Produksi padi bervariasi sesuai dengan jenis lahan petani. Untuk lahan
irigasi teknis, rata-rata produksi padi yang diperoleh paling tinggi dibandingkan
dengan jenis lahan lainnya, yaitu 5,909 ton/ha. Irigasi setengah teknis 4,862
ton/ha, swadaya 4,857 ton/ha, irigasi PU (SPU) 4,696 ton/ha dan tadah hujan
3,921 ton/ha. Hal ini disebabkan pada lahan irigasi teknis, pasokan air lebih
tersedia dibandingkan lahan yang lain. Selain itu kondisi saluran irigasi relatif
lebih baik, sehingga tidak banyak air yang terbuang. Hal ini sesuai dengan batasan
tentang sawah irigasi teknis, yaitu sawah yang memperoleh pengairan dimana
saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian
107
irigasi dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Jaringan seperti ini
biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier. Saluran induk, sekunder
serta bangunannya dibangun, dikuasai dan dipelihara oleh Pemerintah (Ditjen
Sarana dan Prasarana Pertanian, 2012). Namun dalam distribusi airnya, irigasi ini
masih dibedakan lagi berdasarkan golongannya. Golongan 1 adalah wilayah yang
mendapat pasokan air irigasi pertama dan berlanjut ke golongan 2, 3, 4 dan 5.
Golongan 4 dan 5 ini merupakan wilayah irigasi ujung yang rawan terhadap
kekeringan. Demikian juga dengan lahan sawah tadah hujan dimana sumber
airnya hanya berasal dari curah hujan. Lahan ini juga cukup rawan terhadap
kekeringan. Oleh karena itu pada survey kedua difokuskan pada petani di lahan
irigasi ujung dan tadah hujan.
Berdasarkan hasil survey dan wawancara petani, produksi maksimum yang
bisa dicapai pada MH di lahan irigasi teknis adalah 7,58 ton/ha, SPU 8,5 ton/ha,
swadaya dan setengah teknis 7 ton/ha dan tadah hujan bisa mencapai 6 ton/ha,
sedangkan produksi minimum pada umumnya kurang dari 4 ton/ha (Gambar 49).
Gambar 49. Produksi padi pada setiap tipe lahan pada MH
Hasil survey kedua di 4 kecamatan (Cikedung, Lelea, Terisi dan
Kandanghaur) terhadap 80 responden menghasilkan data dan informasi tentang
produksi padi pada setiap musim pada tipe lahan tadah hujan dan irigasi. Fluktuasi
produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada
lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Pada MK dilahan irigasi ujung produksinya
sekitar 4 ton/ha dan pada tadah hujan 3 ton/ha (Tabel 9).
108
Tabel 9. Produksi padi di 4 kecamatan pada setiap jenis lahan dan musim
(Ton/Ha)
Kecamatan MH MK
Irigasi
Ujung
Tadah
Hujan
Irigasi
Ujung
Tadah
Hujan
Cikedung
Max 6.429 6.500 5.000 5.000
Min 3.800 3.500 2.667 2.000
Rata-rata 5.078 4.683 3.745 3.342
Lelea
Max 7.714 6.300 6.900 4.480
Min 4.000 3.600 2.857 2.000
Rata-rata 5.769 4.733 5.011 3.436
Terisi
Max 7.143 5.714 5.500 4.200
Min 4.200 4.000 2.857 2.500
Rata-rata 5.864 4.903 4.468 3.550
Kandanghaur
Max 7.500 7.000 6.000 4.714
Min 4.375 5.000 1.857 1.071
Rata-rata 5.685 5.686 3.743 3.229
Risiko Pendapatan Petani
Risiko yang harus ditanggung petani yang mengakibatkan gagal panen
pada umumnya disebabkan oleh bencana terkait iklim seperti kekeringan, banjir
dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Berdasarkan hasil survey
dan wawancara petani, maka bencana terkait iklim yang menjadi penyebab utama
gagal panen di Kecamatan Cikedung, Lelea dan Terisi adalah kekeringan, yaitu
79.8%, sedangkan gagal panen akibat serangan OPT 15.6% dan akibat banjir
sekitar 5.6 % (Gambar 50a).
Menurut petani, kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan.
Bulan terparah dengan periode kekeringan yang sangat panjang (8 bulan) dialami
oleh sekitar 1.6% petani responden. Berdasarkan hasil survey, petani mengalami
kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan, yaitu sekitar 32% petani.
Kekeringan selama 3 dan 5 bulan juga cukup banyak dialami petani responden,
yaitu masing-masing 17.2% dan 19.5% (Gambar 50b). Petani mengalami
kekeringan antara 1-8 tahun sekali. Berdasarkan lamanya kejadian kekeringan ini
109
memperlihatkan bahwa lokasi penelitian ini mengalami kekeringan yang cukup
intens. Apabila terjadi kekeringan, petani pada umumnya mengatasinya dengan
pompanisasi, sumur bor dan penggantian tanaman atau ada sebagian yang pasrah
menunggu sampai hujan turun.
Gambar 50. Persentase penyebab gagal panen (a) dan lama kekeringan (b)
Terkait dengan aspek kredit, sebagian besar petani (51%) telah
memanfaatkan fasilitas kredit, sedangkan 37% tidak atau belum melakukan kredit
(Gambar 51a). Sementara sumber kredit yang dominan adalah Bank (65%) yang
meliputi BRI, KUR, dan Bank keliling. Selebihnya berturut-turut adalah
saudara/teman/tetangga (27%), Gapoktan/kelompok tani (5%), koperasi (2%) dan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) (1%) (Gambar 51b). Petani
meminjam uang pada umumnya setiap musim yaitu pada saat mau tanam dan
dikembalikan setelah panen.
65%
27%
2% 5% 1%
Sumber kredit
Bank (BRI, KUR, Keliling) Saudara/teman/tetangga
Koperasi Gapoktan/kelompok tani
PNPM
Gambar 51. Persentase akses terhadap kredit (a) dan sumber kredit (b)
Untuk mengetahui respon dari pihak Bank terhadap model asuransi indeks
iklim, maka dilakukan wawancara terhadap perwakilan dari Bank BNI cabang
110
Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan wawancara diperoleh informasi
bahwa rata-rata petani yang mengajukan kredit setiap tahunnya adalah sekitar
4.2% dengan rata-rata besar kredit per petani 5 juta rupiah. Laju pengembalian
kredit cukup bagus yaitu 93%. Apabila petani tidak dapat mengembalikan kredit
biaanya pihak bank mengadakan restrukturisasi atau penjadwalan kembali jangka
waktu kredit. Sehubungan dengan model asuransi indeks iklim, pihak bank
menyatakan tertarik untuk menawarkan produk ini kepada petani. Mekanisme
pembayaran yang dianggap baik oleh bank adalah individu atau kelompok
tergantung pada sifat kreditnya.
Mengacu pada data Bank Indonesia, nilai penyaluran kredit untuk sektor
pertanian dan kehutanan di Indonesia meningkat signifikan dalam tahun 2010-
2011. Pada tahun 2009, nilai kredit untuk sektor ini mencapai Rp. 7.6 triliun.
Angka tersebut melonjak menjadi Rp. 16.7 triliun tahun 2011. Namun apabila
dibandingkan dengan total kredit, porsi penyaluran kredit di sektor pertanian dan
kehutanan terus menurun. Tahun 2011 kredit di sektor ini hanya menyumbang
5.7% dari total kredit, atau turun dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 23%
(Koran Tempo, 3 Oktober 2012). Hal ini disebabkan tingginya risiko di sektor
pertanian.
5.3.2. Kelayakan Usahatani Padi
Untuk memperoleh informasi tentang usahatani padi, maka dilakukan
survey kedua di Kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur dengan
jumlah responden 80 orang. Petani responden adalah petani yang melakukan
usahataninya di lahan sawah irigasi ujung dan tadah hujan, karena berdasarkan
hasil survey pertama, tipe lahan inilah yang rawan terhadap kekeringan.
Hasil survey karakteristik petani menunjukkan bahwa petani responden
sebagian besar berusia antara 30-60 tahun. Secara rinci berdasarkan
pengelompokkan usia, maka berturut-turut adalah 41-50 tahun (34%), 51-60 tahun
(30%), 31-40 tahun (24%), 61-70 tahun (10%) dan usia 20-30 tahun sebanyak 2%
(Gambar 52a). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pertanian masih didominasi
oleh petani dengan usia produktif (15-55 tahun) yaitu sekitar 71.3%. Pendidikan
responden didominasi oleh tamatan SD (49%), berikutnya berturut-turut adalah
111
SMP (24%), SMA (13%), tidak tamat SD (10%), tidak sekolah (3%) dan ada satu
petani yang tamatan D2 (1%) (Gambar 52b).
Gambar 52. Persentase usia (a) dan pendidikan (b) responden
Dari 80 responden, rata-rata kepemilikan lahannya adalah 1.8 hektar.
Luasan terkecil adalah 0.1 hektar dan terbesar adalah 8.5 hektar. Berdasarkan
klasifikasi luas kepemilikan lahan, maka persentase tertinggi adalah luas lahan
0.5-1 Ha (40%) (Gambar 53a). Berdasarkan persentase luas lahan lahan, maka
sebagian besar responden memiliki lahan yang kurang dari 2 Ha. Berdasarkan
survey dan wawancara, 61% responden atau 49 petani memiliki lahan irigasi
ujung, dan 31 petani atau 39% memiliki jenis lahan tadah hujan. Rata2
kepemilikan lahan pada jenis lahan irigasi ujung adalah 1,9 Ha dengan kisaran
0.4-7 Ha. Sementara untuk lahan tadah hujan, rata-rata luas lahannya adalah 1.7
Ha, dengan kisaran 0.1-8,5 Ha (Gambar 53b).
Gambar 53. Persentase luas kepemilikan lahan (a) dan luas tiap jenis lahan (b)
(a) (b)
112
Klasifikasi Tipe Usahatani Padi
Untuk mengetahui karakteristik usahatani padi, maka dilakukan
pengelompokkan tipe petani berdasarkan besarnya biaya input dan produksinya.
Selanjutnya masing-masing dihitung anomalinya dan diplot masing-masing untuk
MH, MK serta MH dan MK (Gambar 54). Hasil analisis memperlihatkan adanya
4 tipe petani dalam usahatani padi di lokasi penelitian, yaitu : 1) petani dengan
anomali biaya input dan anomali produksi positif, 2) petani dengan anomali biaya
input positif dan anomali produksi negatif, 3) petani dengan anomali biaya input
dan anomali produksi negatif, dan 4) petani dengan anomali biaya input negatif
dan anomali produksi positif.
Pada tipe 1, petani harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi
untuk menghasilkan produksi yang tinggi pula. Pada tipe 2, meskipun petani
mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi tetapi produksinya tidak cukup
tinggi. Pada tipe 3, petani mengeluarkan biaya input yang rendah dan produksi
yang dihasilkan juga rendah. Pada tipe 4, petani mengeluarkan biaya input yang
rendah tapi menghasilkan produksi yang cukup tinggi. Sebagai gambaran
persentase petani tipe 1 pada setiap musim adalah 24% (MH), 30% (MK) dan
23% (MH dan MK). Tipe 2, persentasenya adalah 15% (MH), 13% (MK) dan
18% (MH dan MK). Untuk tipe 3, persentasenya paling tinggi dibandingkan tipe
lainnya, yaitu 35% (MH), 32% (MK) dan 36% (MH dan MK), sedangkan untuk
tipe 4, persentasenya adalah 26% (MH), 25% (MK) dan 24% (MH dan MK)
(Tabel 10). Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian
adalah tipe 3. Pada MH, petani tipe 4 cukup besar (26%). Biaya input yang rendah
tetapi produksi tinggi pada tipe 4 ini sangat dibantu oleh faktor curah hujan,
sedangkan pada MK, tipe 1 persentasenya cukup besar (30%). Hal ini dikarenakan
untuk mengejar produksi yang tinggi sementara ketersediaan air terbatas, petani
harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi. Selain biaya berupa pupuk
dan lain-lain, biaya untuk irigasi juga cukup besar. Proporsi rata-rata biaya, rata-
rata produksi dan anomalinya pada MH dan MK disajikan dalam Gambar 55 dan
56. Klasifikasi ini memberikan gambaran bahwa usahatani padi memberikan
beberapa pilihan untuk mencapai produksi yang tinggi. Untuk mengetahui apakah
113
usahatani padi masih memberikan keuntungan dan layak diusahakan, maka
dilakukan analisis R/C dan B/C.
Gambar 54. Klasifikasi usahatani padi pada MH, MK serta MH dan MK
Tabel 10. Persentase tipe petani berdasarkan biaya input dan produksi
MH MK MH dan MK
Tipe 1 24 % 30 % 23 %
Tipe 2 15 % 13 % 18 %
Tipe 3 35 % 32 % 36 %
Tipe 4 26 % 25 % 24 %
Gambar 55. Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan
anomalinya (b) pada MH
114
Gambar 56. Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan
anomalinya (b) pada MK
Karakteristik Usaha Tani Padi
Analisis usahatani padi di Kabupaten Indramayu dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana nilai ekonomi yang dihasilkan petani terhadap usaha
budidaya tanaman padi nya, apakah sudah memberikan keuntungan atau rugi atau
hanya balik modal saja. Untuk mengetahui hal tersebut, maka digunakan analisis
dengan Revenue Cost Ratio (R/C). R/C merupakan perbandingan antara biaya
input dengan pendapatan yang diperoleh.
Musim Hujan (MH). Pada MH, petani pada umumnya mulai tanam pada
bulan Oktober hingga awal Januari. Pupuk utama yang digunakan adalah Urea
dan TSP dengan dosis rata-rata 1,5 kuintal per hektar, serta Ponska 1 kuintal per
hektar. Pupuk Urea, TSP dan Ponska pada umumnya diberikan dua kali selama
masa tanam yaitu sekitar 15 hari setelah tanam (HST) dan 30 HST. Pada lahan
irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta per
hektar lahan. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan usahatani padi
dari hasil percobaan lapang (demplot) hasil penelitian Impron et al. (2011), yaitu
sebesar Rp. 9.3 juta per hektar. Pada lahan tadah hujan, biaya input sedikit lebih
rendah yaitu Rp. 8.7 juta per hektar. Biaya produksi ini termasuk tinggi
dibandingkan biaya rata-rata sebesar 5-6 juta rupiah/hektar/musim (Pasaribu,
2012). Besarnya biaya ini disebabkan pada lahan irigasi ada penambahan biaya
irigasi sehingga menambah biaya input. Selain itu juga ada biaya sewa lahan.
Pupuk dan obat-obatan yang digunakan petani juga cukup intensif dengan
berbagai jenis produk, sehingga juga menambah biaya produksi. Berdasarkan data
dan informasi dari Dinas Pertanian serta wawancara petani, biaya sewa lahan
115
sawah di Kabupaten Indramayu adalah senilai dengan 3.5 hingga 4 ton gabah per
hektar per tahun. Apabila harga gabah di Kabupaten Indramayu sebesar Rp.
500000 per kuintal (data Bulan Januari 2012), maka biaya sewa lahannya berkisar
antara Rp. 17500000 hingga Rp. 20000000 per hektar per tahun. Produksi padi
pada MH di lahan irigasi ujung berkisar antara 4-7 ton/ha. Sebagai pembanding,
percobaan demplot (Impron et al. 2011) diperoleh hasil sebesar 6.9 ton/ha. Harga
gabah di tingkat petani berkisar antara Rp. 2800-3900/kg, dengan rata-rata Rp.
3300/kg. Untuk panen padi dari demplot (Impron et al. 2011) diperoleh harga
gabah basah pada MH sekitar Rp. 3700/kg dan GKG sekitar Rp. 4000/kg.
Musim Kemarau (MK). Pada MK, petani pada umumnya melakukan
tanam mulai bulan Maret sampai dengan Juni. Pupuk yang digunakan pada MK
sebagian besar sama dengan MH, baik dosis maupun pemberiannya. Pemakaian
pestisida dan obat-obatan sangat intensif, baik pada MH maupun MK. Dari survey
dan wawancara petani, diperoleh data dan informasi bahwa ada berbagai merek
dagang yang digunakan petani yang sebagian besar hanya karena iklan atau ikut
sesama teman yang terlebih dulu menggunakan. Petani bingung dengan begitu
banyaknya produk obat-obatan pembasmi hama. Pengetahuan terhadap khasiat
obat-obatan juga masih terbatas. Selama ini hanya bertanya ke toko/kios penjual
obat-obatan. Harga obat-obatan tersebut juga cukup mahal. Oleh karena itu, biaya
input petani menjadi besar. Biaya input pada MK di lahan irigasi sekitar Rp. 8.9
juta per hektar. Di lahan tadah hujan sekitar Rp. 7.9 juta per hektar. Pada lahan
irigasi ada tambahan biaya untuk pengadaan air irigasi. Produksi padi pada MK di
lahan irigasi ujung sekitar 4.3 ton per hektar dan pada lahan tadah hujan sekitar
3.4 ton per hektar. Untuk harga gabah pada MK relatif lebih tinggi dibandingkan
MH, yaitu Rp. 3000-4500/kg. Sebagai perbandingan dari hasil panen demplot
(Impron et al. 2011) diperoleh harga gabah basah MK sebesar Rp. 4200/kg dan
GKG Rp. 4500/kg. Berdasarkan hasil penelitian Boer et al. (2011) diperoleh
informasi, bahwa harga gabah dalam rentang waktu satu tahun di Kabupaten
Indramayu mengalami fluktuasi yang berpola (selalu terjadi setiap tahunnya),
yaitu pada saat panen raya harga gabah cenderung selalu rendah dibandingkan
harga gabah pada saat musim paceklik. Musim panen raya terjadi pada retang
waktu bulan Febuari s.d April, sedangkan pada musim paceklik terjadi pada
116
rentang waktu bulan September sampai dengan November. Hasil penelitian
Hidayati et al. (2011) berdasarkan wawancara dengan petani menunjukkan
kisaran harga gabah Rp 4700 Oktober-Nopember dan Rp 3000 pada Februari-
Maret.
Baik pada MH maupun MK, petani di Kabupaten Indramayu, pada
umumnya masih menggunakan kearifan lokal, yaitu pranata mangsa untuk
menentukan saat tanam. Berdasarkan pengetahuan tersebut (pranata mangsa), para
petani terutama petani padi mengatur jadwal tanam mereka dalam jangka satu
tahun. Sebagian besar petani merencanakan pola tanam satu tahun dengan pola
padi-padi-palawija (tanam padi 2 kali), namun ada juga yang menanam dengan
pola padi-padi-padi terutama pada tipe golongan irigasi I yang mendapatkan
kepastian distribusi air (stok air selalu tersedia). Variasi komoditas tanam,
sebenarnya tergantung dari keadaan kawasannya, dalam hal ini menyesuaikan tipe
irigasinya. Tipe irigasi I umumnya menggunakan pola padi-padi-padi atau padi-
padi-palawija, tipe irigasi II dan III umumnya menggunakan pola padi-padi-
palawija, sedangkan tipe irigasi IV umumnya menggunakan pola padi-padi-
palawija atau padi-palawija-palawija. Hal ini tergantung dari ketersediaan airnya
atau keadaan iklim tertentu (kemarau/ hujan panjang).
Analisa Pendapatan Biaya (Revenue Cost Ratio, C/R) dan Analisa Manfaat
Biaya (Benefit Cost Ratio, B/C)
Dalam mengusahakan suatu komoditi, seorang petani akan dihadapkan
pada dua pilihan, yaitu apakah komoditas yang akan diusahakan menguntungkan
atau tidak. Dengan adanya dua pilihan tersebut, petani akan semakin selektif
dalam memilih komoditas mana yang akan diusahakannya. Untung rugi komoditi
yang diusahakan dipengaruhi oleh besarnya biaya yang dikeluarkan dan besarnya
penerimaan yang didapatkan. Besarnya biaya produksi tersebut dipengaruhi oleh :
1) Skala usahatani, 2) efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, alat-alat dan
sarana produksi, 3) produktifitas dan 4) cara pemasaran, harga dan sebagainya
(Nurmalinda et al. 1994). Terkait dengan usahatani padi di Kabupaten Indramayu,
untuk mengetahui apakah usahatani padi tersebut memberikan keuntungan dan
117
layak diusahakan atau tidak, maka diperlukan suatu indikator yaitu berupa nilai
R/C dan B/C.
Nilai R/C dan B/C dianalisis berdasarkan komponen biaya dan produksi
serta harga. Biaya meliputi tenaga kerja, sarana dan lain-lain termasuk sewa lahan,
iuran dan sebagainya. Komponen tenaga kerja menyerab biaya yang paling besar
dibandingkan sarana dan komponen lainnya. Persentase masing-masing
komponen pada MH adalah tenaga kerja 62.9%, sarana 27.6%, lain-lain (10.6%),
sedangkan pada MK, tenaga kerja 60.8%, sarana 27.7%, lain-lain (13.5%). Hasil
penelitian Ariani (2009) juga menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja untuk
usahatani padi mencapai lebih dari 60%. Dari komponen tenaga kerja ini, biaya
terbesar adalah untuk panen. Hal ini dikarenakan petani masih menggunakan
sistim bawon dengan perbandingan 5:1 atau 6:1. Untuk biaya sarana yang
meliputi benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan, persentasenya sekitar 27 % dari
total biaya keseluruhan. Sebagai pembanding, biaya usahatani padi untuk sarana
produksi di Kabupaten Banten sekitar 21.2-25% (Ariani et al. 2009) dan di
Kabupaten Karawang tahun 2005 sekitar 22-25% (Andriati dan Sudana 2007).
Revenue Cost Ratio, R/C. Rasio biaya terhadap pendapatan (Revenue Cost
Ratio, R/C) usahatani padi merupakan perbandingan antara pendapatan dengan
biaya input usahatani padi. Parameter ini digunakan untuk menilai apakah
usahatani padi yang dilakukan memberikan keuntungan secara ekonomi dan layak
untuk diusahakan. Jika nilai R/C >1, maka usahatani padi memberikan
keuntungan dan layak diusahakan. Jika R/C < 1, usahatani padi yang dilakukan
belum layak dan belum menguntungkan secara ekonomi. Apabila nilai R/C=1,
maka usahatani padi tersebut impas, artinya tidak untung dan tidak rugi. Nilai
R/C=1 inilah yang akan digunakan untuk menentukan batas ambang (threshold)
produksi padi.
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa nilai R/C petani contoh di
Indramayu pada MH sebagian besar lebih dari 1. Nilai R/C berkisar dari 0.9
hingga 3.4. Artinya ada petani yang secara ekonomi rugi dalam penerimaan,
meskipun secara sosial merasa untung karena masih bisa panen. Petani dengan
R/C<1 ini adalah petani yang sewa lahan dan produksinya tidak terlalu tinggi.
Rata-rata R/C sebesar 2.1. Nilai ini memberi gambaran bahwa untuk setiap biaya
118
yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp. 1000 akan
memperoleh pemasukan atau penerimaan sebesar Rp. 2100 pada akhir kegiatan
usahatani.
Untuk MK, nilai R/C berkisar dari 0.6 hingga 3.2, dengan rata-rata 1.8.
Nilai R/C pada MK relatif lebih kecil dibandingkan dengan MH. Hal ini
disebabkan produksi padi pada MK lebih rendah dibandingkan pada MH.
Meskipun harga gabah lebih tinggi pada MK dibandingkan MH, tetapi belum
dapat meningkatkan pendapatan petani seperti pada MH. Untuk menyiasati situasi
ini, pada umumnya petani mempunyai cara tersendiri untuk memperoleh
keuntungan, yaitu dengan menyimpan sebagian gabah yang dihasilkan pada MH
untuk dijual pada MK dimana harganya lebih tinggi. Dengan mengambil nilai
gabah rata-rata sebesar Rp. 3000 (MH) dan Rp. 3400 (MK), maka secara umum
analisa kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian menghasilkan nlai R/C
sebesar 1.94 pada MH dan 1.70 pada MK (Tabel 11). Sebagai perbandingan, hasil
penelitian usahatani padi sawah pada MH di Kabupaten Karawang nilai R/C nya
1.54-1.70, sedangkan pada MK 1.41 hingga 1.58 (Andriati dan Sudana 2007), dan
di Provinsi Banten pada MH sebesar 1.9 hingga 2.3 (Ariani et al. 2009).
Tabel 11. Analisis kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian
Uraian MH MK
Total biaya 8,370,800 8,067,282
Produksi (ton/ha) 5.4 4.0
Nilai produksi 16,200,000 13,719,000
R/C 1.94 1.70
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata nilai R/C, baik pada MH dan MK
pada umumnya nilainya >1, artinya secara ekonomi usahatani padinya
memberikan keuntungan dan layak untuk diusahakan, meskipun ada juga petani
yang belum memperoleh keuntungan dari usahataninya yang ditunjukkan oleh
nilai R/C kurang dari 1. Ada pula petani yang untung di MH, tetapi kurang untung
di MK. Meskipun demikian karena bertani adalah pilihan hidup (way of life) bagi
petani, maka baik untung maupun rugi tetap berusahatani (Pasaribu 2012).
Persamaan yang menghubungkan produksi padi dan R/C pada MH
menunjukkan trend yang meningkat, demikian juga pada MK (Gambar 57). Trend
119
yang meningkat mengindikasikan bahwa usahatani yang dilakukan di lokasi
penelitian akan semakin menguntungkan seiring dengan meningkatnya produksi
padi. Peningkatan produksi padi pada MK lebih besar pengaruhnya dalam
peningkatan R/C. Hal ini ditunjukkan oleh gradien garis trend yang lebih besar
pada MK dibandingkan pada MH. Batas ambang (threshold) produksi padi
diperoleh pada saat nilai R/C sama dengan 1, yaitu sebesar 4523.9 pada MH dan
2839.3 pada MK. Nilai threshold produksi ini akan digunakan dalam penentuan
indeks curah hujan untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Untuk masing-
masing kecamatan nilai R/C dibedakan untuk MH dan MK (Tabel 12). Nilai
threshold berbeda-beda untuk setiap wilayah dan setiap musim. Hal ini
disebabkan nilai threshold ditentukan oleh nilai R/C yang diperoleh pada wilayah
tersebut pada MH, MK maupun MH dan MK.
Gambar 57. Hubungan produksi padi dan R/C pada MH dan MK
Tabel 12. Nilai threshold produksi padi pada MK dan MH (Kg/Ha)
Kecamatan MK MH
Cikedung 2710.8 4034.5
Lelea 2844.2 4575.2
Terisi 2906.3 5075.5
Kandanghaur 3016.7 4782.7
Benefit Cost Ratio, B/C. Rasio keuntungan terhadap pendapatan (Benefit
Cost Ratio) usahatani padi merupakan suatu parameter yang menunjukkan apakah
usahatani yang dilakukan meningkatkan pendapatan petani atau tidak. Rasio
120
antara selisih pendapatan dan biaya input per pendapatan menghasilkan nilai baik
positip maupun negatip. Nilai negatip bila pendapatan lebih kecil dari biaya input,
sebaliknya nilai positip jika pendapatan lebih besar dari biaya input.
Hasil analisis menunjukkan nilai B/C pada MH berkisar antara -0.07
hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1. Pada MK diperoleh kisaran nilai B/C -0.41
hingga 2.15 dengan rata-rata 0.84. Secara umum nilai B/C pada MK lebih rendah
dari MH. Perbedaan yang sering muncul adalah pada faktor produksi dan harga
gabah. Pada MH produksi tinggi tetapi harga gabah relatif rendah, sedangkan pada
MK, produksi padi rendah tetapi harga gabah cukup tinggi. Sementara luas tanam
relatif sama antara MH dan MK. Selain itu, pada MK biasanya ada penambahan
biaya irigasi untuk lahan yang beririgasi. Namun faktor produksi dan biaya inilah
yang pada umumnya berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pendapatan petani.
Berdasarkan hubungan antara produksi dan B/C diperoleh trend yang
cenderung meningkat baik pada MH maupun MK (Gambar 58). Peningkatan
produksi pada MK berpengaruh lebih besar terhadap nilai B/C dibandingkan pada
MH.
Gambar 58. Hubungan produksi padi dan B/C pada MH dan MK
Walaupun secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian
menguntungkan dan layak diusahakan, namun petani belum terbiasa mengelola
keuangan dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil wawancara yang
121
memperlihatkan bahwa 51% petani tidak terbiasa menyimpan uang dari hasil
panennya. Sementara sekitar 31% petani sudah terbiasa menyimpan uang, dan ada
yang menyimpan dalam bentuk gabah (3%) dan dalam bentuk perhiasan (1%)
(Gambar 59).
Menurut Simatupang dan Rusastra (2004) sebagian besar petani padi
adalah keluarga miskin yang lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok
saat ini daripada masa mendatang, sehingga penggunaan modal untuk membiayai
ongkos usahatani dan investasi bukan merupakan prioritas utama. Meskipun
sebagian besar petani belum mampu menyisihkan hasil panennya untuk ditabung,
dan petani hampir setiap musim atau tahun melakukan kredit (pinjam uang) untuk
usahataninya, namun menurut petani usahatani padi ini masih tetap memberikan
keuntungan dibandingkan komoditas lainnya. Selain itu, petani tidak punya
pilihan lain selain mengusahakan lahannya untuk usahatani padi.
Gambar 59. Persentase kebiasaan petani menyimpan uang dalam usahataninya
5.3.3. Kesediaan Membayar (Willingnes to Pay, WTP)
Kesediaan membayar merupakan hal penting dalam pengembangan
asuransi indeks iklim. Hal ini terkait dengan kemampuan petani dalam
pembayaran premi yang harus dilakukan dalam sistim asuransi.
Terkait dengan finansial petani, untuk melakukan usahataninya, petani
pada umumnya memimjam uang baik setiap musim atau setiap tahun ketika akan
memulai tanam. Hasil survey dan wawancara menunjukkan bahwa sekitar 65%
petani sudah terbiasa dengan fasilitas kredit, 10% tidak melakukan kredit dan
hanya 2% petani yang kadang-kadang melakukan kredit (Gambar 60a). Bank
merupakan tempat yang paling banyak dituju petani (40%) untuk memperoleh
pinjaman uang. Selebihnya petani mendapat pinjaman dari kelompok
122
tani/gapoktan/RT (12.5%), saudara (11.3%), tetangga/teman (7.5%), pegadaian
(1.3%) dan anak (1.3%). Sekitar 26.5% petani tidak melakukan peminjaman
(Gambar 60b). Pengembalian pinjaman biasanya dilakukan setelah panen.
Mekanisme kredit ini dilakukan petani hampir setiap musim atau setiap tahun,
yaitu pada saat akan memulai tanam.
Gambar 60. Persentase akses kredit petani (a) dan sumber kredit (b) dalam
usahatani padi
Hasil wawancara terhadap 80 responden di lokasi penelitian, diperoleh
gambaran bahwa sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar
premi, dengan besaran yang bervariasi. Hanya 7.5% petani yang tidak bersedia
membayar, tergantung yang lain (3.75%) dan yang tidak menjawab (6.25%).
Pembayaran secara musiman paling banyak disanggupi oleh petani setelah mereka
memperoleh hasil panen. Ada beberapa petani juga yang sanggup dengan cara
mencicil tiap bulan dengan kisaran 10000-50000/bulan. Sekitar 8.75% petani
bersedia membayar premi 10% dari nilai input. Data hasil wawancara
memperlihatkan bahwa petani bersedia membayar hingga Rp.500000,-
/Ha/Musim.
Berdasarkan survey kesediaan membayar yang dilakukan di lokasi
penelitian, diperoleh bahwa persentase paling besar (28.4%) petani bersedia
membayar sebesar 200-300 ribu rupiah per musim. Selanjutnya 25.4% bersedia
membayar 100-200 ribu rupiah per musim, 16% bersedia membayar kurang dari
100 ribu rupiah per musim, 13.4% bersedia membayar 300-400 dan 400-500 ribu
rupiah per musim, dan hanya 3% yang tidak bersedia membayar premi.
Berdasarkan plot frekuensi WTP, maka persentase kesediaan membayar yang
paling besar adalah 200-300 ribu rupiah per musim (Gambar 61).
123
Gambar 61. Frekuensi kesediaan membayar premi oleh petani
Prospek tentang asuransi iklim ini juga dikaji dengan melakukan diskusi
dan pengisian quisoner dengan para penyuluh pertanian dalam forum Workshop
“Pendayagunaan Informasi Iklim Untuk Kemandirian Pangan di Kabupaten
Indramayu” yang dilaksanakan di kantor Bapeda Kabupaten Indramayu pada
tanggal 12 Juni 2012. Point yang ditanyakan antara lain tentang prospek asuransi
iklim, kendala utama yang mungkin dihadapi, lembaga apa yang disarankan untuk
mengelola asuransi (koperasi, Bank, kelompok tani, lainnya) serta berapa kira-kira
kemampuan dalam membayar premi. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68%
responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan
menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank
(52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi
dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%) (Gambar 62).
124
Gambar 62. Prospek dan kendala asuransi indeks iklim di Kabupaten Indramayu
5.4. Simpulan
Petani di lokasi penelitian didominasi oleh usia produktif (15-55 tahun)
dalam melaksanakan usahataninya (71.3%). Pendidikan responden sebagian besar
(49%) tamatan SD. Lahan yang dimiliki sebagian besar petani (40%) adalah
seluas 0.5-1 Ha. Pola tanam dominan adalah padi-padi-bera. Fluktuasi produksi
padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan
tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Pada MK dilahan irigasi ujung produksinya sekitar 4
ton/ha dan pada tadah hujan 3 ton/ha.
Tipe petani yang paling banyak dijumpai adalah petani yang masih
mengeluarkan biaya input rendah dan produksi juga relatif rendah (tipe 3).
Pada MH di lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan
petani adalah Rp. 9 juta/Ha (MH) dan Rp. 8.9 juta/Ha (MK). Pada lahan tadah
hujan sebesar Rp. 8.7 juta/Ha (MH) dan Rp. 7.9 juta/Ha (MK). Analisis usahatani
pada MH menghasilkan R/C 0.9 hingga 3.4, dengan rata-rata 2.1, sedangkan pada
125
MK 0.6 hingga 3.2 dengan rata-rata 1.8. Sementara nilai B/C pada MH berkisar
antara -0.07 hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1, dan pada MK diperoleh kisaran
nilai B/C -0.41 hingga 2.15 dengan rata-rata 0.84. Artinya secara ekonomi
usahatani padi di lokasi penelitian masih menguntungkan dan layak untuk
diusahakan. Namun keuntungan ini belum diikuti oleh kebiasaan menabung hasil
panennya.
Untuk melakukan usahataninya, petani pada umumnya memimjam uang
baik setiap musim atau setiap tahun ketika akan memulai tanam. Sekitar 65%
petani sudah terbiasa dengan fasilitas kredit, 10% tidak melakukan kredit dan
hanya 2% petani yang kadang-kadang melakukan kredit. Bank merupakan tempat
yang paling banyak dituju petani (40%) untuk memperoleh pinjaman uang.
Selebihnya petani mendapat pinjaman dari kelompok tani/gapoktan/RT (12.5%),
saudara (11.3%), tetangga/teman (7.5%), pegadaian (1.3%) dan anak (1.3%).
Sekitar 26.5% petani tidak melakukan peminjaman
Pemberian wacana tentang Asuransi Indeks Iklim disambut baik oleh
petani. Sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi,
dengan besaran yang dominan 200-300 ribu rupiah per musim per hektar.
Hasil workshop menunjukkan bahwa 68% responden menyatakan asuransi
iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola
yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang
dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya
sosialisasi (32%).