using janaro and altshuler concept to...

86
USING JANARO AND ALTSHULER CONCEPT TO ANALYZE DICKINSON FANTASY OF DEATH IN HER POETRY SKRIPSI BY EKO BUDI KRISTIANTO NPM 10181001 UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE ENGLISH DEPARTMENT 2014

Upload: phamhanh

Post on 13-Jun-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

USING JANARO AND ALTSHULER CONCEPT TO

ANALYZE

DICKINSON FANTASY OF DEATH IN HER POETRY

SKRIPSI

BY

EKO BUDI KRISTIANTO

NPM 10181001

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA

FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE

ENGLISH DEPARTMENT

2014

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text

USING JANARO AND ALTSHULER CONCEPT TO

ANALYZE

DICKINSON FANTASY OF DEATH IN HER POETRY

SKRIPSI

Submitted in apartial fulfillment of the requirements for the Sarjana

Degree in English Department

BY

EKO BUDI KRISTIANTO

NPM 10181001

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA

FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE

ENGLISH DEPARTMENT

2014

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

1) Ibu Djatiningsih dan Bapak Soeprapto selaku orang tua saya tercinta

dan adik yang saya banggakan (Yauri Teguh Prasetio) yang setia

menemani, memberi doa, motivasi serta dukungan moral selama

proses penyusunan skripsi ini.

2) Bpk Drs. Mas Moeljono sebagai pembimbing yang senantiasa

memberi masukan serta ide baru guna melengkapi terwujudnya skripsi

ini.

3) Ibu Dra.Arjunani, MM selaku dekan fakultas bahasa dan sastra Inggris

yang selalu memberi semangat untuk menjadi lebih baik di masa –

masa datang.

4) Ibu Yeni Probowati, S.Pd yang menjadi ketua jurusan bahasa Inggris

tidak bosan mengingatkan kepada mahasiswa agar dapat menyelesaikan

perkuliahan tepat waktu dengan jalan lebih rajin.

5) Ibu Yulis Setyowati, S.Pd, MM selaku dosen yang selalu mengajak

mahasiswa supaya dapat mengambil manfaat dari setiap ilmu yang

diajarkan para dosen guna bekal masa depan yang besar dimiliki.

6) Bapak serta Ibu dosen yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam

memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis sehingga penulis

mendapatkan wawasan baru serta dorongan untuk semakin maju dan

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
i

berkembang dan bermanfaat bagi kehidupan setelah selesai menjalani

perkuliahan.

7) Teman – teman satu angkatan baik kelas pagi maupun malam,

kebersamaan, pengertian serta kerjasama yang selama ini terjalin

semoga dapat berlangsung setelah selesai perkuliahan ini, saya

berharap kalian dapat menerapkan bekal ilmu yang telah didapat di

masyarakat yang luas.

8) Adindaku Eni Rahmawati yang paling saya sayangi selalu senantiasa

memberikan motivasi dan doa di saat saya kehilangan harapan, timbul

perasaan ingin putus asa, engkau selalu menginginkan supaya tetap

bersemangat dan sabar dengan keadaan yang sedang saya hadapi.

9) Teman – teman satu kantor saya, mereka juga sering memberikan

dorongan supaya saya dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik

dan dapat berguna bagi agama serta masyarakat luas.

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
ii

MOTTO

Berbuat baiklah di manapun engkau berada serta junjunglah segala

kebenaran yang berlaku, niscaya engkau akan disegani dan kemudahan

selalu menyertaimu. Kesabaran serta keikhlasan yang tulus dapat

membawa seseorang mampu menjalani kehidupan ini dengan lebih

indah dan nikmat tanpa adanya keangkuhan dan ketamaan hati yang

senantiasa hadir tanpa di perintah. Tetaplah bersama TuhanMU dan

bersegeralah meraih kasih sayangNYA yang snagat luas tanpa

seorangpun mengetahui rahasia yang akan diberikan olehNYA.

Tetapkanlah tujuan hidupmu dari sekarang, jika mendamba

kesuksesan, kesejahteraan disertai ketenangan maka kerjakanlah hal

tersebut.Setidaknya dapat memberi pedoman yang harus diambil oleh

setiap insan amin.

user
Typewritten Text
iii

APPROVAL SHEET

This thesis entitled Using Janaro Altshuler Concept To Analyze

Dickinson Fantasy Of Death In Her Poetry by Eko Budi Kristianto,

NPM 10181001 has been approved to be presented in thesis examination.

Suprvisor,

Date: 05 Juli 2014

Drs.Mas Moeljono

NIDN.0720063502

Acknoledged by

The Head of Language and Literature Study Program

Yeni Probowati, S.Pd

NIDN.071807701

user
Typewritten Text
iv

APPROVAL SHEET

This thesis entitled USING JANARO ALTSHULER CONCEPT

TO ANALYZE DICKINSON FANTASY OF DEATH IN HER

POETRY by Eko Budi Kristianto, NPM 10181001 has been examined in front

of the board of examiners on August 13th 2014.

Board of Examiners Signature Occupation

Dra. Arjunani, MM …………... First Examiner

NIDN.0715065202

Yulis Setyowati, M.Pd ……………. Second Examiner

NIDN.0714077502

Acknowledged by

The Dean of Faculty of Language and Literature

Dra.Arjunani, MM

NIDN.0715065202

user
Typewritten Text
v

ABSTRAK

Budi, Eko Kristianto.2014. Using Janaro Altshuler Concept To Analyze

Dickinson Fanatsy Of Death In Her Poetry. Skripsi, English Department,

Faculty of Language and Literature. Universitas Wijaya Putra. Advisor:Drs. Mas

Moeljono

Keyword: Janaro and Altshuler Concept Of Death, Dickinson Fantasy Of Death.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran kematian dalam puisi Emily

Dickinson. Penelitian ini difokuskan pada gambaran kematian yang muncul dari

puisi-puisinya. Puisi-puisi yang juga dianalisis untuk melihat perkembangan

gambaran kematian dari tahun-tahun awal untuk tahun akhir tulisannya. Serta hal-

hal yang memberi pengaruh Dickinson dalam penciptaan puisi tentang kematian.

Dalam penelitian ini saya mengambil sebanyak 10 dari puisi Dickinson yang

bertemakan kematian sebagai hal utama. Pertama, kesepuluh puisi tersebut

dikategorikan menurut konsep yang dimiliki oleh Janaro dan Altshuler tentang

kematian. Konsep kematian yang di dapatkan dalam pemikiran Janaro dan

Altshuler memiliki empat kategori. Yang pertama yakni kematian sebagai musuh

setiap orang. Dalam konsep yang pertama saya mengambil tiga buah puisi. Kedua,

kematian sebagai peristiwa penyama rataan kedudukan setiap manusia yang telah

meninggal. Saya menggunakan dua buah puisi. Ketiga kematian sebagai hadiah

ataupun balasan terhadap setiap amalan manusia di akherat kelak. Dalam konsep

ini saya menggunakan tiga buah puisi. Yang terakhir kematian sebagai nasib atau

takdir yang telah ditentukan Tuhan yang harus diterima setiap manusia. Serta

mengetahui perkembangan pemikiran Dickinson dalam beberapa tahun awal

pembuatan hingga di akhir hidupnya. Adanya pendapat serta penelitian dari para

peneliti yang berusaha mengungkap makna dari kumpulan puisi Dickinson

tentang kematian.

user
Typewritten Text
vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdullillahirrabil’ alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas

rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “USING JANARO ALTSHULER CONCEPT TO ANALYISIS

FANTASY DICKINSON OF DEATH IN HER POETRY” dengan baik. Sholawat

serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW,

para kerabat, sahabat dan pengikut beliau yang telah menuntun manusia menuju

jalan kebenaran.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu, mendukung dan memberi masukan sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milih Allah semata,

tetapi manusia harus berusaha dan berdoa untuk mencapai hasil yang terbaik.

Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu, maka dari itu teruslah

berkarya untuk kemajuan umat. Penulis meminta kritik dan saran yang konstruktif

untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Akhir kata, Wassalamualaikum wr.wb

Surabaya, 13 Agustus 2014

Penulis

user
Typewritten Text
vii

DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………........ i

Halaman Persembahan……………………………………………………........ ii

Halaman Motto………………………………………………………………… iii

Halaman Persetujuan Skripsi………………………………………………….. iv

Abstrak……………………………………………………………………......... vi

Kata Pengantar…………………………………………………………………. vii

Daftar Isi……………………………………………………………………….. viii

BAB I

PENDAHULUAN…………………………………………. 1

1. Latar Belakang Penelitian ………………………… 1

2. Rumusan Penelitian………………………………. 4

3. Tujuan Penelitian…………………………………. 4

4. Manfaat Penelitian………………………………… 4

5. Batasan Penelitian……………………….............. 5

6. Definisi Istilah………………………........................ 6

user
Typewritten Text
viii

BAB II LANDASAN TEORI DAN

TINJAUAN PUSTAKA …………………………………... 7

1. Konsep – konsep Janaro dan Altshuler

tentang kematian ………………………………………. 7

2. Fantasi Dickinson tentang Kematian ………………….. 12

3. Tinjauan beberapa peneliti yang berkaitan dengan

penelitian ini ………………………………………….. 15

BAB III METODE PENELITIAN …………………………...20

1. Model Penelitian ……………………………………… 20

2. Jenis Data ……………………………………………... 20

3. Sumber Data …………………………………………... 20

4. Data …………………………………………………….20

5. Teknik Pengumpulan Data ……………………………. 21

6. Prosedur Analisis Data …………………………………22

BAB IV TEMUAN DAN HASIL PEMBAHASAN ……………… 23

1. Penerapan Konsep Janaro dan Alsthuler

tentang kematian ………………………………………. 23

user
Typewritten Text
ix

2. Perkembangan Fantasi Dickinson tentang kematian

dalam puisinya ………………………………………… 42

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………. 54

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN

user
Typewritten Text
x

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang penelitian

Kematian adalah fenomena gaib yang pasti terjadi dan akan mendatangi

jiwa setiap makhluk di seluruh dunia. Kematian merupakan fenomena alamiah

yang terjadi pada siklus hidup manusia. Walaupun diketahui bahwa kematian

merupakan masa tunggu menuju kehidupan berikutnya, mereka masih

menganggap kematian merupakan seseuatu yang kejam dan kurang

menyenangkan bagi kebanyakan orang. Orang takut akan kematian karena

kematian dapat memisahkan mereka dari kelompoknya ataupun kerabat serta

kawan yang di sayanginya. Karena kematian adalah kejadian yang tidak

dikehendaki serta tak dapat dihindari, kematian secara berulang kali di

perbincangkan. Keingintahuan orang tentang kematian utamanya meliputi

kemungkinan datangnya kematian sewaktu-waktu. Frank dan Judith McMahon

menyatakan bahwa “We may have seen death, read about death, or even come

close to death, but We have never died. Thus, we face the ultimate unknown, and

the fact that our society refuses to admit that death is a natural

process.”Psychology: The Hybrid science.5th ed. (413). Berdasarkan alasan

tersebut, orang lebih cenderung menunjukkan berbagai sikap dan pengalaman

mereka guna mendapatkan petunjuk ataupun pedoman tentang kematian.

user
Typewritten Text
1

Beberapa di antara petunjuk tersebut menampilkan maksud negatif sementara yang

lain menunjukkan sisi positif tentang kematian. Pokok pembahasan tentang kematian

sudah sering ditunjukkan dalam karya – karya sastra. Penulis menggunakan kumpulan

novel, cerita dongeng maupun berbagai cerita pendek sebagai media utama dalam

puisi/prosa tentang kematian. Dalam salah satu karya terbaik dan terkenal di awal

perkembangan sastra seperti Epic of Gilgamesh, menceritakan kematian dan kerinduan

akan keabadian menjadi tema utama. Pokok pembahasan tentang kematian telah

dibicarakan berulang kali dalam bentuk puisi. Para penulis puisi hanya menggunakan

beberapa kata dalam menyampaikan berbagai macam gambaran atau kesan kematian,

sementara pembaca menggunakan berbagai macam pengalaman dan pengetahuan

untuk memperkaya diri mereka sendiri dalam menterjemahkan maksud dari puisi

tersebut. Dikarenakan sebagian besar puisi berhubungan dengan peristiwa nyata dalam

kehidupan dan manusia yang alami . Maka dari itu, dari puisi yang ada tersebut

pembaca jangan hanya mengupas menurut pandangan penulis saja, tetapi mereka

juga memperoleh pandangan baru untuk menambah beberapa pengalaman mereka

setelah membaca puisi.

Salah satu penulis yang membuat puisi tentang kematian adalah Dickinson.

Emily Dickinson adalah penulis dari Amerika yang menyumbangkan sebuah karya besar

yang berharga dalam bidang sastra. George dan Barbara Perkins menulis bahwa

Dickinson adalah “Incomparable because her originality sets her apart from all others,

but her poems shed the unmistakable light of greatness” The American Tradition in

Literature. 9th ed.(972). Dengan kebesaran karya – karya sastra Dickinson dapat

user
Typewritten Text
2

dikatakan, bahwa puisi Dickinson mempunyai keunikan yang luar biasa di bidang sastra

dalam sejarah perkembangan sastra di Amerika.

Dalam karyanya, Dickinson menempatkan berbagai tema meliputi

percintaan, alam, Tuhan, bahasa, persahabatan, kegagalan dan kematian. Dan, sebagian

besar dari karyanya khusus bertema tentang kematian. Menurut McMichael George, “The

Major theme of Dickinson’s poetry is concerned with death. She tends to personify it

differently such as a lord, a monarch or a lover. The tone of every poem is varied. Some

reflect joy while others deal with grief” Concise Anthology of American Literature. 5th

ed.(1124). Niscaya, model tersebut berperan penting dalam mempertimbangkan seberapa

menarik hubungan puisi – puisi Dickinson dengan kematian yang sesungguhnya. Conrad

Aiken menyatakan bahwa “ kematian, dan permasalahan berkaitan dengan akherat

diterangkan dalam puisi Dickinson. Dari pernyataan Conrad Aiken tersebut puisi – puisi

Dickinson tentang kematian dan akherat sungguh bervariasi dan besar.

Berkaitan dengan berbagai alasan yang dijelaskan di atas, penelitian ini

diadakan untuk menyelidiki kumpulan puisi Dickinson yang berhubungan dengan

kematian. Guna mendapatkan pemahaman yang jelas tentang berbagai pengertian

kematian menurut pemikiran Dickinson dan pada umumnya. Penelitian ini berfokus

tentang gambaran - gambaran kematian yang Dickinson tampilkan dalam puisinya. Puisi

– puisi tersebut telah diteliti dengan cermat untuk mendapatkan fantasi Dickinson. Serta

bagaimana Dickinson menampilkan fantasi kematian tersebut dalam karyanya. Janaro

dan Altshuler mengkategorikan sikap terhadap kematian dalam “The attitudes toward

death in order to present different concepts of death and to find the ways for people to

overcome to fear of death” The Art of being Human. 4th ed .(385-6). Mereka

user
Typewritten Text
3

mengelompokkan data dari berbagai sumber antara lain pandangan para filosof, ide – ide

para penulis terkenal dan kepercayaan – kepercayaan keagamaan.

Rumusan Penelitian

Penelitian ini memfokuskan pada pernyataan – pernyataan sebagai berikut:

1. Penggunaan konsep Janaro dan Altshuler dalam mengupas serta mengungkap makna

yang terkandung sebagai fantasi Emily Dickinson dalam kumpulan puisi tentang

kematian yang disajikan.

2. Fantasy Dickinson tentang kematian.

Tujuan penelitian

1. Mendeskripsikan penggunaan konsep kematian dari Janaro dan Alsthuler guna

memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat dari fantasi Emily Dickinson

tentang kematian.

2. Memperkaya pengetahuan para pembaca tentang fantasy Dickinson tentang kematian

Manfaat Penelitian

Bagi Penulis

1. Menambah wawasan tentang konsep yang dimilki Janaro dan Altshuler dalam

pengungkapan makna yang terkandung dalam kumpulan puisi Dickinson tentang

kematian.

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
4

2. Mengetahui biografi dan latar belakang dari Emily Dickinson hingga tercipta karya puisi

yang sangat fenomenal.

Bagi Pembaca

Memperkaya wawasan tentang berbagai karya puisi dari Emily Dickinson

mulai dari awal penulisan hingga akhir pembuatan berdasarkan latar belakang yang

mempengaruhi dalam kehidupannya.

Batasan Penelitian

Sepuluh puisi Dickinson tentang kematian menjadi objek dalam penelitian

ini. Setiap puisi itu telah diteliti untuk mendapatkan bagaimana setiap gambaran

kematian dilukiskan. Kemudian, timbul berbagai macam fantasi tentang kematian yang

dikelompokkan menurut pemikiran Janaro dan Altshuler tentang kematian. Kumpulan

puisi tersebut juga telah diselidiki untuk mendapatkan makna pada setiap puisi Dickinson

yang bertemakan kematian. Judul setiap puisi tersebut telah disusun berdasarkan urutan

kronologis seperti berikut ini :

1. A Clock stopped (1861)

2. There is a Languor of the Life (1862)

3. Death is like the insect (1862)

4. I am alive-I guess (1862)

5. The color of the Grave is Green (1862)

6. They dropped like Flakes (1862)

user
Typewritten Text
5

7. Death is potential to that Man (1862)

8. Because I could not stop for Death (1863)

9. I heard, as if I had no Ear (1865)

10. After a hundred years (1869)

Definition Istilah

“Janaro and Altshuler Concept Of Death”

“Dickinson Fantasy Of Death”

user
Typewritten Text
6

BAB II

LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini, penyaji memberikan ulasan lebih rinci dari sumber kepustakaan

yang berkaitan dengan penelitian ini. Pertama, konsep ajaran Kristen tentang

kematian yang ditampilkan berdasaran sudut pandang yang berbeda–beda. Kedua,

sekilas penjelasan tentang perjalanan hidup Emily Dickinson.

1. Konsep – konsep Janaro dan Altshuler tentang kematian

Kematian selalu menjadi salah satu topik yang menarik bagi orang dalam

setiap periode. Karena topik tersebut memungkinkan seseorang berbagi

pengalaman, bahwa seseorang pasti menghadapi kematian di akhir masa hidupnya

di dunia. Dalam karya Anajiel Villanueva yang berjudul Death in Ancient Greece

dikatakan bahwa bangsa Yunani memiliki kepercayaan yang kuat tentang

kehidupan akhirat, tempat bagi mereka yang telah meninggal dunia. Kepercayaan

bangsa Yunani tentang kematian sering mereka tuliskan dan gambarkan dalam

kegiatan-kegiatan dan upacara keagamaan.

Sekelompok peneliti dari The University of Pennsylvania Museum of

Archaeology and Anthropology menulis topic yang mirip yakni: The Greek View

of Death yang menggambarkan bahwa ketika seseorang meninggal dunia jiwa

mereka menjadi sebuah bayangan menakutkan yang meninggalkan raga mereka

user
Typewritten Text
7

menuju alam barzah, bertemu malaikat kematian, Tuhan serta surga.Ketika agama

Kristen datang di negara-negara barat, secara berangsur orang mulai menerima ajaran

agama Kristen. Dan mereka menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dante Alighieri

menjelaskan kepercayaan tentang pembalasan di negeri akherat seperti dalam cerita the

Divine Comedy (Wikipedia) “The story dealt with the torment or agony that sinner

received in their afterlife. The main character Dante and Virgil journeyed to the circles

of Hell and they observed how each sinner was subjected to a punishment that resulted

from his or her sin. Dante also drew on medieval Christian Philosophy to present how

the soul journeyed toward God”. Kiasan tadi memperlihatkan bahwa negeri akherat dan

kematian menjadi menakutkan. Mereka belum dapat menerima kenyataan tentang

datangnya kematian, serta adanya balasan yang akan diterima masing-masing individu

sebagai akibat perilaku yang dikerjakan selama hidup di dunia.

Niti Sithijarinyaporn menulis tentang berbagai konsep tentang kematian

menurut ajaran agama Kristen. Kematian mengandung tiga konsep dalam ajaran

agama Kristen. Konsep yang pertama adalah “sleep” Death is considered as a

short sleep and after that people would become reincarnated once again in the

image of Jesus Christ. Second, Death means “time to take a rest”. Third, death

means “moving” Christians believe that to die is to move from their humam world

to another place that is more calm and peaceful. Dying people would hopefully

stay together in God’s kingdom in their after life.

Janaro dan Altshuler mengelompokkan “the attitudes towards death in

order to present different concepts of death and to find the ways for people to

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
8

overcome the fear of death” (1993 4th;385-6). Mereka mengumpulkan data dari

beberapa sumber yang berbeda-beda seperti dari pandangan para filosof, para

penulis terkenal serta kepercayaa dari ajaran agama. Hasil-hasil yang mereka

peroleh disusun kedalam enam kelompok. Yang pertama menetapkan “that death

is the enemy of all human beings”. Kematian adalah musuh yang secara

keseluruhan tidak menyenangkan dan kurang menguntungkan. Konsep kedua

tentang kematian adalah “that death without self-interest is when dying people

assign an empty value to their lives, and then they may view death as an escape

from this personal void (1993 4th;387-8). Pada konsep ini, gambaran dari reaksi

orang-orang terhadap kematian, konsep ini tidak hanya focus pada gambaran

kematian, tetapi juga untuk mengetahui reaksi dari orang-orang yang akan

mengalami kematian. Ketiga, “death is considered as a leveler that makes every

human being equal. Every life finally ends and turns into dust and this makes life

means nothing. No matter who they are, death is the final destination for all of

them (1993 4th;388-91).

Keempat, “death is as reward or punishment in the afterlife” (1993 4th;392-

3). Kematian dapat bermakna pembalasan terhadap perbuatan yang telah mereka

kerjakan selama hidup di dunia. Balasan tersebut sebagai penghargaan yang

berupa surga serta hukuman yang berupa neraka.

Kelima, “death is seen as predetermined end or fatalism” (1993 4th;393-6).

Kematian sebagai takdir dan nasib pokok bagi seluruh makhluk di dunia.

user
Typewritten Text
9

Keenam, “death is taken as self-punishment” (1993 4th;396-8). Bagi

sebagian orang, menghukum dirinya sendiri dengan kematian adalah cara yang

lebih baik dibandingkan harus berhadapan dengan kekejaman yang secara nyata

terjadi pada kehidupan mereka. Parson menyatakan bahwa seseorang melakukan

tindakan bunuh diri dikarenakan empat alasan yang utama: “to show bereavement,

to preserve honor, to avoid pain and shame, and for the benefit of the state.”

(qtd.in Janaro and Altshuler 1993 4th;396). Dari pendapat tersebut, menunjukkan

bahwa kematian adalah sebagai jalan keluar untuk menghindari rasa malu. Serta

sebagai jalan pintas guna menjauhi kenyataan yang menyakitkan. Akhirnya, ada

empat pemikiran yang utama terhadap kematian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Death as Personal Enemy: Kematian merupakan sebuah sumber

ketakutan besar, oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang ingin

mengatakan tentang kematian. Lebih lanjut kematian membawa

sesuatu yang perasaan sakit serta kejam bagi seseorang yang

mengalami kematian secara luas. Dengan alasan tersebut, konsep

tentang kematian dapat membantu mengetahui ketakutan dalam diri

seseorang karena kematian merupakan suatu hal yang tak dapat

dihindari dan diluar kendali mereka. Serta kematian memisahkan

mereka dengan orang-orang yang dikasihi dan memberikan

kesempatan bagi mereka agar dapat hidup bahagia dalam kehidupan

nanti serta memenuhi tujuan hidupnya. Maka akhirnya, kematian

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
10

selalu mengingatkan kepada mereka sebagai suatu kenyataan yang

tidak pernah diinginkan bagi kebanyakan orang.

2. Death the Leveler: Kematian adalah sebuah penentu bagi setiap

makhluk akan mengalami kematian. Tidak menjadi suatu masalah bagi

mereka jika suatu saat meninggal karena kematian merupakan tujuan

akhir yang pasti datang kepada mereka. Ketakutan akan kematian

membuat seseorang lebih sadar terhadap perbuatan dan kewajiban

yang harus mereka kerjakan selama hidup dalam kehidupan saat ini.

Akibatnya, setiap makhluk akan menjalankan perbuatan baik setiap

saat dalam kehidupannya.

3. Death as Reward or Punishment: The Afterlife: Akherat dipercaya

bahwa ada tahapan kehidupan lain yang memang ada ketika seseorang

dibangkitkan setelah meninggal. Orang percaya bahwa mereka akan

ditempatkan di sisi Tuhan di suatu tempat di mana mereka semua

dikumpulkan guna menunggu saat keputusan peradilan Tuhan datang

kepada mereka. Mereka kemudian percaya bahwa tindakan serta

perilaku seseorang selama dalam kehidupannya memberi penentuan

bagi mereka ketika di akherat kelak. Bagi siapa saja yang melakukan

perbuatan baik dalam kehidupannya maka mereka akan mendapatkan

balasan berupa surga, sedangkan bagi mereka yang dalam

kehidupannya selalu melakukan perbuatan jelek maka mereka akan

mendapat balasan berupa neraka.

user
Typewritten Text
11
user
Typewritten Text

4. Death as Predetermined End: Fatalism: Tuhan memainkan peran

penting dalam hal ini karena mereka percaya bahwa masalah kematian

sudah ditetapkan bagi setiap makhluk oleh Tuhan ketika mereka

dilahirkan. Hanya Tuhan sendiri yang mengetahui siapa saja yang akan

ditempatkan di neraka atau di surga. Tuhan mempunyai kekuasaan dan

berhak menetapkan kematian bagi setiap orang yang hidup. Karena

kematian adalah takdir, kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat

diubah ataupun disesuaikan oleh siapapun serta setiap kekuasaan.

2. Fantasi Dickinson tentang kematian dalam Puisinya

In, "He fumbles at your soul,' kematian digambarkan sangat menakutkan.

Dickinson menggambarkan bentuk kematian sebagai musuh yang berasal dari

mahakuasa yang menyerang orang mati tanpa belas kasihan. Bahwa pembunuh itu

sendiri saja yang mengambil kontrol saat kematia, hal itu menandakan bahwa

kematian memiliki kewenangan untuk mengelola waktu kematian setiap makhluk.

He fumbles at your Soul

As Player at the Keys

Before they drop full Music on -

He stuns you by degrees –

"Dia" dipersonifikasikan sebagai pembunuh yang menyerang jiwa orang mati.

Kata Pria digambrkan sebagai a "Player at the Keys" yang menunjukkan kekuatan

dan kesiapan dalam menjemput kematian. Dengan kata lain, pria siap dan

bersemangat untuk mengambil setiap jiwa yang hidup. Dalam agama Kristen jiwa

user
Typewritten Text
12

dianggap dasar manusia. Selain itu, kata kerja yang digunakan dalam bait ini

berupa kata "fumbles" dan "Stun", yang mencirikan agresivitas dari sang

pembunuh.

Prepares your brittle Nature

For the Ethereal Blow

By fainter Hammers redup – further heard -

The nearer – Then so slow

Your Breath has time to strainghten -

Your Brain – to bubble Cool -

Deals - One - Imperial - Thunderbolt

That scalps your aked Soul –

When Winds take Forests in their Paws -

The Universe – is still –

Citra orang sekarat yang sedang mendapati kematian sangat menakutkan. Pilihan

kata yang digunakan penyair menunjukkan gambaran yang menakutkan, seperti:

"fainter", "to bubble cool", "Thunderbolt", "scalps". Kata "Naked Soul"

memunculkan gambaran orang yang disiksa dan menghadapi kematian karena ia

tampaknya menjadi korban yang tidak bisa membela diri atau lepas terhadap

kematian yang sangat kejam yang pasti akan datang. Hal ini sangat menarik untuk

diteliti, bahwa Dickinson menggunakan kata "blow" yang mungkin berarti bahwa

user
Typewritten Text
13

kematian hanya menggunakan energi minimal untuk menghentikan hidup

seseorang. Oleh karena itu, kekuatan yang dapat menjalankan proses ini haruslah

sesuatu di mana dia adalah ahli. Hal ini membuat kematian menjadi musuh yang

mengerikan yang membawa ketakutan yang besar kepada orang sedang mendapati

proses kematian atau bahkan bagi pembaca puisi Dickinson.

Popularitas Dickinson awal mulanya berasal dari kemampuannya menghadirkan

pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan yang lain. Taggard (qtd. In Somrak

2002;3) menyatakan bahwa “the attitude toward death of Dickinson might be

different from other became she was one of the witnesses in the American Civil

War”. Hal ini membuka betapa kejamnya kenyataan saat perang sipil di Amerika

ketika itu, setelah sebelumnya Dickinson hidup penuh perlindungan serta

kehidupan yang tertutup di dalam rumahnya bersama keluarga yang dicintainya

sehingga membentuk pandangan tentang kematian. Seperti para korban yang

meninggal pada saat perang sipil tersebut Dickinson mengetahuinya dari Amherst

dan lingkungan sekitar yang diketahuinya melalui surat kabar pada kolom berita

tentang kematian, hal ini yang terus membayangi Dickinson dalam melihat

kematian bahkan menjadi hal penting dalam hidupnya.

Another important factor that obviously had an impact on Dickinson was

the death of her 15 year old friend and neighbor, Sophia Holland. At that time

Dickinson was very young and outwardly, she seemed to be unaffected by this

incident. Her diary however, tells a different story. In “Emily Dickinson: An

Interpretive Biography” revealed her feeling that she left totally sorrow for her

friend. On her friend’s dying date, she looked at Holland’s faces as long as she

user
Typewritten Text
14

could because she knew that her friend would not be ale to come back again

(Johnson, 1960;205). Data tersebut dapat menjadi suatu hal utama yang

mempengaruhi secara luas dalam puisi-puisi Dickinson yang memiliki berbagai

pemikiran yang berbeda terhadap kematian. Dickinson berfantasi dengan

kematian serta menyimpan perasaan ketakutan terhadap kematian dalam dirinya

sendiri. Akhirnya, ketika Dickinson mengungkapkan perasaan dan

pengalamannya terhadap kematian kedalam berbagai puisinya, puisi tersebut

cukup indah dan memiliki arti yang mendalam. Johnson sering memberi kritik

pada berbagai puisi Dickinson tentang kematian. Ia menyatakan bahwa “she

views death from every possible angle” (1960;203). Pernyataan ini menyarankan

bahwa dengan adanya pandangan dari berbagai aspek yang ada dalam puisi

Dickinson maka akan lebih menarik untuk mempelajari berbagai puisi Dickinson

tentang kematian. Para pembaca tidak hanya mengungkap gaya penulisan

Dickinson yang mengagumkan tetapi juga memahami pemikiran-pemikiran besar

dari Dickinson tentang tema pada topik bahasan ini.

3. Tinjauan beberapa peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini.

Beberapa peneliti yang memiliki pandangan bahwa dalam puisi Dickinson

mengandung ungkapan-ungkapan khusus, sesuai keadaan phsycologi Dickinson

saat itu. George dan Barbara memuji Dickinson bahwa “She remains

incomparable because her originality sets her apart from all others, but her poems

shed the unmistakable light of greatness” (1999 9th;972). Robert DiYanni

mengungkapkan bagaimana cara memahami kebesaran berbagai puisi Dickinson

bahwa “it requires repeated and careful reading because Dickinson uses indirect

user
Typewritten Text
15

language and special patterns in her poems. She leaves a “gap”, or unfinished

story in each of her poems, allowing the reader to interpret the conveyed

massage” (1994;203). DiYanni lebih lanjut menambahkan bahwa “Dickinson uses

irregular rhytms, inexact rhyme and free grammar. She uses punctuation and

capitalization in order to emphasize emotional and psychological impact”

(1994;203). Carey Garey menunjukkan bahwa “Dickinson’s fame is totally from

her genius styles of writing. To read and understand her poem, one may need to

concentrate and re-read averse because she employs unconventional grammar in

her writing. She uses different diction and different figures of speech than other

poets. Her themes are always about the questions of life and especially death for

which she uses varied tones in her compositions “ (1982;12). Alice fulton

(1999;141) menyatakan bahwa “there are only a small number of poems by

Dickinson that can be read easily. She employs a great deal of metaphor in her

poetry such as household stuff, plants or animal. To compare her poems with

other popular poets, Dickinson alone is the one who can play with the language

interestingly. It is like “ …. All other poems are tress and her poems are birds”.

Dari pernyataan ketiga peneliti tersebut secara tidak langsung memberi gambaran

bahwa dalam puisi-puisi Dickinson berisi ungkapan-ungkapan khusus, sehingga

para pembaca memerlukan kemampuan lebih serta memiliki kepekaan yang tinggi

untuk mendapatkan makna yang tersirat dalam puisi tersebut. Sehingga secara

khusus puisi-puisi sangat sulit untuk dipahami dan diterjemahkan.

Damrosch David menulis bahwa “Dickinson used simple hymnbook

meters. Her poetry was accomplished with good rhyming and was created to leave

user
Typewritten Text
16

the gaps for flexibility. Her use of dashes and peculiar punctuation was also to

create a feeling of uncertainty in her poem” (2004;811). Pendapat tersebut

menyatakan bahwa Dickinson menggunakan gaya penulisan yang unik, sehingga

setiap pembaca dapat menterjemahkan puisi tersebut menurut kemampuan

berbahasa yang dimiliki.

Pendapat yang sama tentang gaya penulisan puisi yang unik juga di tulis

oleh Niti Somrak yang meneliti sebanyak tiga belas puisi Dickinson tentang

kematian dalam penelitiannya A Critical Study of Emily Dickinson’s Literary

Works: Poetic Elements in Poems of Death.” They normally contain both sense

and sound devices which include: simile, metaphor, symbol, personification,

inversion, ellipsis, repetition, rhyme, alliteration and assonance. Most notably,

imagery and alliteration are essential parts in Dickinson’s poems and the theme of

each poem portrays how kind and friendly death is The use of capitalization and

dashes in Dickinson’s writing are to make the poems unique and to catch readers’

attention. Dapat dikatakan bahwa Dickinson menggunakan majas serta rima yang

beraneka ragam, agar terlihat lebih menarik dan berbeda dengan penulis puisi lain.

George Perkins menambahkan bahwa “Dickinson constructs her own

world when she writes. She uses her imagination to portray her ideas and

thoughts” (1999 9th; 971). Maka dengan demikian, gambaran tersebut

menunjukkan bahwa Dickinson menggunakan akalnya dan berbagai gambaran

dari berbagai pengalamannya dalam menulis puisi-puisinya yang unik. Melalui

gambaran berbagai peristiwa, akal serta pengalaman dari kehidupan pribadinya,

Dickinson menghadirkan ke dalam puisi-puisinya.

user
Typewritten Text
17

Menurut McMichael, “Dickinson intends to personify death into various

figures such as a lord, a monarch or a kind lover. Her use of the tone in each poem

is also varied. Some poems reflect joy, while some present the grief of the dying

person” (1993 5th ;1124). Aiken lebih lanjut mengemukakan bahwa “…. It will be

noted;….Deal with death; and it must be observed that the number of poems by

Miss Dickinson on the subject of death is one of the most remarkable things about

her. Death and the problem of life after death obsessed her” (1945;1924). Dalam

puisi-puisi Dickinson dan salah satu karya terakhirnya menerangkan bahwa topic

kematian dan kehidupan akherat selalu ada dalam puisi.

David Lehman memuji Dickinson bahwa “From Dickinson poems, you

might almost suppose that she has died and written them posthumously” (2008;3).

Karya-karya Dickinson dapat menyentuh berbagai aspek tentang kematian.

Dengan alasan tersebut, berbagai aspek tentang kematian yang tersirat

menunjukkan bahwa Dickinson mampu menciptakan gambaran kematian. Hampir

sebagian dari karya itu mempunyai topik tentang kematian. Johnson berpendapat

bahwa “there have been many poets who had written poems about detah, but

Dickinson was different because she did so in unusual manner” (1960;203).

Ditambahkan, “the contents of Dickinson’s poems on death are mainly about the

suffering of the body, the moment when one is dying and also emotional violence.

Each idea is influenced by Dickinson’s personal perception, past experiences and

religious belief” (1960;347). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa gambaran

kematian selalu dihadirkan dalam sebagian besar puisi yang dimiliki Dickinson. Ia

user
Typewritten Text
18

lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada kekejaman serta kesakitan dalam

kematian.

Ren Xiao-chuan meneliti dalam artikelnya “Death and Immortality:the

Everlasting Themes” and concluded that the topics of death and eternity occupies

most of Dickinson’s poems. The survival of the soul after death is another one

crucial question that she deals with in her writing. Dickinson also usually shows

her early doubt about the existence of God and her realization about the afterlife

in her poetry (2011;96-9). Pernyataan tersebut memberikan penjelasan kepada

masyarakat pada saat itu bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi dan

harus dihadapi oleh setiap indiviu.

user
Typewritten Text
19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Model Penelitian

Penelitian ini deskriptif kualitatif dalam pengumpulan data.

3.2. Jenis Data

Data yang dikumpulkan diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat yang

berhubungan dengan fantasi, karakter, sifat, fenomena, atau gejala sesuatu.

3.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan puisi Emily Dickinson

tahun 1961, 1962, 1963, 1965 dan 1969, yang mana telah dikumpulkan dari

berbagai sumber yaitu; buku, internet.

3.4 Data

1) Puisi – puisi Dickinson tentang kematian diperoleh dari The Complete

Poems of Emily Dickinson, yang ditulis oleh Thomas H. Johnson yang

diterbitkan pada tahun 1960. Buku ini diterima sebagai kebenaran pada

keaslian karya puisi Dickinson. Dari karya – karya Dickinson tersebut

sekitar 1,000 puisi yang telah ditulis Dickinson, sekitar 100 puisi

Dickinson berhubungan dengn kematian. Akhirnya, penelitian ini

memfokuskan pada 10 puisi yang akan diteliti menggunakan kriteria

user
Typewritten Text
20

kematian dari Janaro dan Altshuler. Yang mana dikelompokkan dalam 4

kelompok, yang pertama tentang kematian sebagai musuh terdiri dari 3

puisi antara lain: Death is like the insect, A clock stopped, There is a

Languor of the Life. Kedua Kematian sebagai sesuatu yang

menyamaratakan setiap orang yang mati berikut puisi yang termasuk

diantaranya: The Color of the Grave is Green, After a hundred years.

Ketiga Kematian sebagai Hadiah atau Hukuman: di Akhirat terdapat 2

puisi yang diambil antara lain: They dropped like Flakes -. Yang terakhir

Kematian telah ditentukan sebagai takdir: Nasib yang terdiri dari 3 puisi

antara lain: I heard, as if I had no Ear, I am alive –I guess, Because I could

not stop for Death.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan teknik observasi

(pengamatan) dan teknik dokumentasi. Secara rinci teknik observasi dilakukan

dengan cara mengadakan pengamatan terhadap obyek secara tidak langsung

(Indirect Observation), yaitu pengamatan yang dilakukan melalui perantara suatu

alat atau cara, misalnya dengan membaca dan memahami isi yang ada didalam

kumpulan puisi Emily Dickinson khususnya puisi tahun 1861, 1862, 1863, 1865

dan 1869. Sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi

fokus penelitan. Teknik dokumentasi suatu cara pengumpulan data melalui

dokumen-dokumen. Dalam pelaksanaan teknik dokumen ini, penulis

mengumpulkan dokumen-dokumen berupa pengumpulan puisi Emily Dickinson

yang telah beredar dipasaran terutama yang bertemakan tentang kematian.

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
21

kematian dari Janaro dan Altshuler. Yang mana dikelompokkan dalam 4

kelompok, yang pertama tentang kematian sebagai musuh terdiri dari 3

puisi antara lain: Death is like the insect, A clock stopped, There is a

Languor of the Life. Kedua Kematian sebagai sesuatu yang

menyamaratakan setiap orang yang mati berikut puisi yang termasuk

diantaranya: The Color of the Grave is Green, After a hundred years.

Ketiga Kematian sebagai Hadiah atau Hukuman: di Akhirat terdapat 2

puisi yang diambil antara lain: They dropped like Flakes -. Yang terakhir

Kematian telah ditentukan sebagai takdir: Nasib yang terdiri dari 3 puisi

antara lain: I heard, as if I had no Ear, I am alive –I guess, Because I could

not stop for Death.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan teknik observasi

(pengamatan) dan teknik dokumentasi. Secara rinci teknik observasi dilakukan

dengan cara mengadakan pengamatan terhadap obyek secara tidak langsung

(Indirect Observation), yaitu pengamatan yang dilakukan melalui perantara suatu

alat atau cara, misalnya dengan membaca dan memahami isi yang ada didalam

kumpulan puisi Emily Dickinson khususnya puisi tahun 1861, 1862, 1863, 1865

dan 1869. Sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi

fokus penelitan. Teknik dokumentasi suatu cara pengumpulan data melalui

dokumen-dokumen. Dalam pelaksanaan teknik dokumen ini, penulis

mengumpulkan dokumen-dokumen berupa pengumpulan puisi Emily Dickinson

yang telah beredar dipasaran terutama yang bertemakan tentang kematian.

user
Typewritten Text
21
user
Typewritten Text

BAB IV

TEMUAN DAN HASIL DISKUSI HASIL PENELITIAN

1. Penerapan konsep Janaro dan Alsthuler dalam mengupas dan

mengungkap makna yang terkandung sebagai fantasi Dickinson dalam puisi

kematiannya.

Dalam bab ini, fantasi kematian yang ditemukan dalam puisi Dickinson ini

ditunjukkan mengingat oleh gagasan kematian disajikan oleh Janaro dan

Altshuler. Bab ini membahas isi dari setiap puisi dan menunjukkan bagaimana

fantasi-fantasi kematian disajikan kepada pembaca.

1.1. Kematian sebagai Musuh Setiap Orang

Menurut Janaro dan Altshuler, death is considered as a personal enemy. It

is placed on the other side of human being because it is dreadful and

unpredictable; therefore, no one wants to encounter it or wants to be its

companion. Death normally causes pain for dying people; thus, it is compared as

the enemy that is totally cruel. Furthermore, death is something that takes away

human beings’ loved ones and the opportunity to live their lives and fulfill their

goals. Then, the matter of death impacts the great fear in human’ minds because it

is both fearful and undesirable (385-6).

user
Typewritten Text
23

Dalam 'Death is like the insect', (puisi no.1 tahun 1862) penyair

menggunakan pemandangan alam menyiratkan bahwa kematian datang ke

manusia secara alami, seperti halnya serangga yang tertarik di pohon-pohon.

Fantasi kematian yang dituliskan Dickinson dalam puisi ini adalah musuh yang

bermaksud untuk mengeksplorasi dan menghancurkan kehidupan. Serangga

adalah sebuah perubahan menuju kematian sementara pohon sebagai tempat

bernaung dan hidup setiap manusia.

Death is like the insect

Menacing the tree,

Competent to kill it,

But decoyed may be .

Bait it with the balsam,

Seek it with the saw,

Baffle, if it cost you

Everything you are.

Dickinson menggambarkan hidup dan mati pada sisi yang berbeda, dengan

demikian, jelas bahwa penyair menggunakan kata pohon untuk dibandingkan

dengan kehidupan untuk menunjukkan ketidak mampuannya untuk melarikan diri

dari kematian atau melawan kematian. Serangga tersebut merupakan sesuatu yang

selalu menyebabkan pembusukan dan kerusakan pohon. Ini menunjukkan

gambaran tentang kematian selalu mendatangi sesuatu yang hidup. Ini

menciptakan gambaran bahwa kematian seperti perusak serta akan meruntuhan

makhluk hidup lainnya di bumi. Puisi ini menunjukkan bagaimana kematian bisa

menjadi musuh kehidupan yang destruktif dan tidak menguntungkan.

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
24

Dalam 'A Clock stopped', (puisi no.2 tahun 1861) penyair menunjukkan

bagaimana subjek dia menderita pada saat sekarat. Kematian dalam puisi ini

adalah musuh yang kuat yang menyerang korban lemah dan membawanya sakit

parah.

A Clock stopped -

Not the Mantel’s -

Geneva’s farthest skill

Can’t put the puppet bowing -

That just now dangled still –

An awe came on the Trinket!

The figures hunched, with pain -

Then quivered out of Decimals -

Into Degreeless Noon –

Kematian dapat diartikan sabagai hati yang telah berhenti berdetak.

Dickinson menggunakan kata jam sebagai penunjuk waktu dan dapat digunakan

mewakili jantung manusia. Setiap gerakan dari jam digambarkan sebagai detak

jantung. Kemudian, untuk menggunakan jam yang berhenti mewakili jantung

memungkinkan pembaca untuk melihat gambaran yang jelas tentang ketika

jantung telah berhenti berdetak dan kematian itu terjadi. Ini menandakan ketika

fungsi tubuh manusia yang menjadi lambat atau mulai mereda. Ini merupakan

proses kematian dalam tubuh manusia.

Derajat nyeri meningkat dengan berlalunya waktu. Gambar kematian ini

menakutkan karena secara bertahap menyiksa orang yang akan mati dari yang

rendah ke derajat yang lebih tinggi dari rasa sakit. Hal ini disampaikan kepada

pembaca bahwa kematian tidak akan menghentikan serangan menyakitkan sampai

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
25

orang sekarat dan kehilangan napas terakhirnya. Kemudian, ini tampaknya

menjadi salah satu alasan mengapa kematian telah menjadi realitas yang tidak

menyenangkan yang ditakuti kebanyakan orang.

Wayang dalam puisi ini digunakan untuk mewakili orang sekarat yang

tidak mampu bergerak atau perasaan. Wayang menciptakan citra kematian negatif

karena menghancurkan seseorang yang kemampuan dan indera. Wayang tidak

hanya menyajikan kelemahan orang sekarat tetapi juga membuat gambar kematian

benar-benar menyedihkan karena wayang itu sendiri dapat dipindahkan hanya

dengan bantuan orang lain. Pembaca sekarang menyadari bahwa kematian sendiri

memiliki kontrol atas sekarat orang lewat, apakah ingin membuat acara yang

menyakitkan, atau membiarkan dia mati dengan damai.

Dalam, 'There is a Languor of the Life' (puisi no.3 tahun 1862) Dickinson

sekali lagi menggambarkan rasa sakit terhadap fisik orang yang sekarat pada saat

kematian. Narator menyatakan bahwa orang yang sekarat selalu menderita dengan

siksaan pedih. Gambaran kematian itu sangat keji karena memiliki kekuatan untuk

menyiksa orang yang sekarat sampai ia secara bertahap kehilangan kesadaran.

There is a Languor of the Life

More imminent than Pain -

'Tis Pain Successor – When the Soul

Has suffered all it can –

A Drowsiness - diffuses -

A Dimness like a Fog

Envelops Consciousness –

As Mists – obliterate a Crag.

user
Typewritten Text
26

Jiwa yang "Has suffered all it can" menunjukkan sakit parah yang harus kita

terima di saat kematian. Puisi tersebut menggambarkan orang yang sekarat saat

berbaring di ruangan gelap yang memiliki banyak kabut yang menghalangi

sensasi orang yang sekarat itu.

Ruangan ini menunjukkan depresi dan frustrasi bahwa orang sekarat terasa

pada saat kematiannya. "Kabut" dan "awan" digunakan sebagai simbol

kemalangan yang menunjukkan momen menyakitkan ketika orang sekarat.

Mereka tampaknya meningkatkan derajat ketakutan dan frustrasi terhadap

kematian karena mereka memberi kemungkinan serta kesempatan pembaca untuk

membayangkan badai besar, reruntuhan dan kerugian. Penggunaan awan dalam

puisi ini melambangkan kematian yang akan datang, dan ini dapat meningkatkan

ketegangan yang sangat tinggi bagi pembaca. Ketika orang-orang sekarat melihat

awan mendekat, mereka merasa bahwa mereka secara bertahap semakin dekat

dengan kematian mereka.

1.2.Kematian sebagai sesuatu yang menyamaratakan setiap orang yang mati

Menurut Janaro dan Altshuler, death is the life event that makes every

living thing equal. People are born on earth differently. Their lives, conditions and

struggles are not the same. However, death is the final destination of all lives and

no one can ever make an escape. Everyone finally will become the dust. Death

further makes balance for nature otherwise there would be no space for the new

born on earth (388-91). Bagi Dickinson, puisinya tentang topik ini menyatakan

bahwa kematian adalah akhir yang umum terjadi untuk semua makhluk hidup, dan

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
27

bahwa hal itu adalah hak mereka yang semua pasti memiliki. Sangat menarik

bahwa sejumlah puisi menggunakan hewan untuk memperjelas kesetaraan hidup.

Dalam 'The Color of Grave is Green -', (puisi no.1 tahun 1862) kumpulan

warna yaitu hijau dan putih digunakan untuk menunjukkan suasana hati baik

menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang mengelilingi seseorang yang

sedang berhadapan dengan kematian . Warna hijau diperoleh dari sumber hijau

rumput atau ladang di dekatnya, sedangkan sumber putih berupa salju.

Penggunaan warna-warna ini berfungsi untuk mempengaruhi persepsi masing-

masing pembaca yang berbeda-beda terhadap gambaran kematian. Di satu sisi,

hijau mengaktifkan gambaran kematian sebagai hal yang menyenangkan. Penyair

berniat menggunakan hijau, dari rumput untuk melambangkan keaktifan atau

penyegaran kehidupan setelah kematian. Akibatnya, gambaran kematian terbentuk

nilai dalam warna hijau untuk mengajak pembaca tentang konsep kematian yang

damai.

Di sisi lain, bila menggunakan simbol putih salju penyair bermaksud

mengajak pembaca untuk melihat suasana dingin bersama-sama dengan kesepian.

Oleh karena itu, puisinya yang menggunakan simbol putih, untuk

menggambarkan emosi suram dan menyedihkan.

The Color of Grave is Hijau -

The Outer Grave – I mean -

You would not know it from the Field -

Except it own stone –

To help the fond – to find it -

To infinite asleep

To stop and tell them where it is -

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
28

But just a Daisy – deep -

The Color of Grave is White -

The outer Grave – I mean -

You would not know it from Drifts -

In Winter – till the Sun –

Has furrowed out the Aisles -

Then – higher than the Land

The little Dwelling House rise

Where each – has left a friend –

Orang-orang biasanya dapat mengidentifikasi kuburan dengan tanda dan nama

masing-masing pemilik, oleh karena itu bagi mereka yang diluar mungkin

memiliki berbagai perspektif terhadap kematian karena mereka tidak pernah

mengalaminya sendiri. Penekanan penyair tampaknya pada pandangan "outsider"

karena penyair menyatakan, "The outer Grave – I mean -" dua kali. Pada bait

kedua, kata "To" dan "Too" digunakan untuk merangsang emosi pembaca agar

timbul perasaan ingin tahu di mana melihat kuburan secara nyata. Selanjutnya di

bait ketiga dan keempat, gambar kuburan masih belum jelas terlihat bagi pembaca

karena tertutup oleh salju sebab saat itu musim dingin.

Hal ini sekali lagi menekankan pada penampilan yang pasti dari kuburan

bagi orang-orang yang mengamati kuburan, karena pandangan mereka bervariasi

bergantung subjek serta perubahan cuaca atau musimyang terjadi. Selain itu,

penyair menguraikan lebih lanjut tentang warna makam di musim yang berbeda.

The color of the Grave within -

The Duplicate – I mean -

Not all the snows could make it white -

Not all the Summers - Green –

You’ve seen the Color - maybe -

user
Typewritten Text
29

Upon a Bonnet bound -

When that you met it with before-

The Ferret – cannot find –

Penyair menyimpulkan dalam bait kelima bahwa warna dalam setiap kuburan

serupa. Ini menyiratkan bahwa kematian adalah menyamaratakan untuk setiap

orang mati karena mereka semua akhirnya sama di dalam makam mereka. Pada

akhirnya Puisi tersebut menyajikan bahwa kematian adalah satu-satunya hal

tunggal yang menunjukkan tidak ada perbedaan antara orang satu dengan yang

lain.

Dalam 'After a hundred years,’ (puisi no.2 tahun 1869) kematian disajikan

sebagai sesuatu yang banyak dialami orang beberapa kali dalam hidup mereka.

Bila waktu telah datang pada seseorang, maka kematian pada akhirnya hanya

menjadi memori bagi semua orang.

After a hundred years

Nobody knows the Place

Agony that enacted there

Motionless as Peace

Weeds triumphant ranged

Strangers strolled and spelled

At the lone Orthography

Of the Elder Dead

Winds of Summer Fields

Recollect the way -

Instincts picking up the Key

Dropped by memory –

user
Typewritten Text
30

Puisi diatas menjelaskan bahwa "agony"(penderitaan) menghilang dengan

berjalannya waktu pada saat tanaman tumbuh. Kata "place"(tempat) mengacu

pada kuburan karena narator menyatakan bahwa penderitaan berada di sana.

Penyair selanjutnya menggunakan kata "Peace"(Perdamaian) yang berhubungan

dengan kata "Place"( tempat). Hal ini menunjukkan bahwa "Place"(Tempat) yang

menjadi "Peace"(Perdamaian) adalah tanda konotatif yang menyampaikan

perasaan positif terhadap kematian.

Akibatnya, perjalanan kematian digambarkan dalam puisi ini tidak untuk

dijauhi karena disajikan sebagai sebuah insiden yang secara bertahap akan hilang

dari ingatan orang-orang. Frase 'Strangers strolled and spelled' menunjukkan

jumlah orang yang pada akhirnya akan berkumpul dalam tempat. Mereka datang

untuk mengunjungi makam di kuburan itu. Ini menandakan bahwa orang bisa

mempertimbangkan kematian sebagai menyamaratakan, yang membawa mereka

ke tempat yang sama pada makam mereka. Akhirnya, orang-orang pasti

mengalami mati dan berbaring, berkumpul bersama di posisi yang sama dan

kuburan yang sama.

Sebagian besar gambar kematian pada kategori kedua tidak mengerikan

atau sulit. Sekarang disajikan sebagai penentu yang membawa kesetaraan bagi

semua makhluk hidup tanpa pengecualian atau kondisi. Nuansa setiap puisi yang

menggambarkan ketenangan dan kedamaian, ini membuat pembaca menyadari

bahwa kematian hanyalah sifat manusia atau kenyataan hidup bahwa setiap orang

harus menerimanya.

user
Typewritten Text
31

1.3. Kematian sebagai Hadiah atau Hukuman: di Akhirat

Richard dan Janaro mengatakan bahwa “death as a reward or punishment

in the afterlife”(393-6). Ajaran kristen percaya bahwa akan ada dunia spiritual

dalam kehidupan setelah kematian di mana orang yang sekarat dan akhirnya

meninggal dunia pada saatnya nanti akan tinggal bersama-sama dengan yang lain

hingga menunggu hari penghakiman. Di sana, tindakan orang semasa mereka

masih hidup adalah penentu sebab tempat di mana orang-orang telah sekarat dan

pada akhirnya meninggal, mereka akan tinggal di akhirat. Orang yang melakukan

perbuatan baik akan masuk surga sebagai hadiah sementara orang yang

melakukan perbuatan buruk akan pergi ke neraka sebagai hukuman.

Beberapa puisi Dickinson menyajikan kematian sebagai hadiah untuk

orang-orang telah meninggal karena mereka ada di suatu tempat yang damai di

akhirat sementara beberapa puisi menunjukkan kematian sebagai hukuman karena

orang yang meninggal hanya mengalami kebosanan atau kutukan setelah

kematian. Dalam kebanyakan puisi, orang yang sekarat mengalami momen selama

transisi antara hidup dan mati tanpa rasa sakit fisik atau emosional. Setelah

melewati saat itu, mereka tampaknya sekali lagi ada pada tingkat baru kesadaran.

Dalam I heard, as if I had no Ear', ( puisi no.1 tahun 1865) narator menunjukkan

saat ini jiwanya terpisah dari tubuhnya.

Dickinson menggunakan orang pertama sebagai narator untuk menjelaskan

proses transisi dan ini membantu pembaca memahami perasaan sebenarnya

subjek.

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
32

I heard, as if I had no Ear

Until a Vital Word

Came all the way from Life to me

And than I knew I heard.

I saw, as if my Eye were on

Another, till a Thing

And now I know ' twas Light, because

It fitted them, came in

"light" yang digunakan sebagai simbol kehidupan atau kelahiran kembali jiwa. "I"

adalah sebagai suara orang yang sekarat, yang sekarang mendapatkan kembali

kesadaran dan fungsi tubuh, setelah kematiannya dan dia menyatakan bahwa

"And now I know 'twas Light”, because / It fitted them, came in" Dia

menyebutkan tentang cahaya sebagai sensasi yang diaktifkan kembali guna

menunjukkan, bahwa cahaya adalah sinyal pemisahan jiwanya dari tubuh tak

bernyawa itu, kelahiran kembali ke hidup baru setelah dia kematian.

I dwelt, as if Myself were out,

My Body but within

Until a Might detected me

And set my kernel in

And Spirit turned onto the Dust

"Old Friends, thou knowest me,

And Time went out to tel the News

And met Eternity

Narator menyatakan bahwa jiwanya berubah menjadi debu menandakan bahwa

kehidupan fisiknya pasti akhirnya akan berakhir. The "Might" melambangkan

"God", karena ia akhirnya memiliki kuasa atas kematian seseorang. Selain itu,

makna di balik baris tersebut, narator menyatakan bahwa Tuhan menunjukkan

user
Typewritten Text
33

keakrabannya dengan orang yang meninggal karena Tuhan adalah temannya, "Old

Friends" yang "knowest, me." narator percaya bahwa dia telah menjalani

kehidupan yang baik bersama Tuhan, dan telah lama mengetahui dan menerima

kebenaran bahwa Tuhan tahu dia. Dan dia mengetahui bahwa Tuhan adalah orang

yang mengendalikan hidup dan kematian. Penyair akhirnya menggunakan

"eternity" untuk menunjukkan bahwa tugasny. Penyair menggambarkan citra

damai kematian di puisi ini dan dalam puisi ini, kematian digambarkan sebagai

hadiah.

In, "I am alive – I guess -", (puisi no.2 tahun 1862) kematian disajikan

sebagai kebebasan dari komplikasi hidup. Narator bebas dari tanggung jawab,

keputusan, dan kekacauan yang menyulitkan dia dalam kehidupan sehari-hari. Dia

menyebutkan "Morning Glory", sebuah bunga yang indah yang mekar setiap pagi

dan menutup setiap malam, untuk memberikan pembaca perasaan positif tentang

kematian, sebagai awal baru dan karena "glory" biasanya berarti kepuasan bagi

penerimanya.

Selain itu, narator tidak menunjukkan keputusasaan dalam puisi itu, ini

berarti bahwa ia tampaknya senang dengan tempat dia sekarang tinggal.

I am alive - because

I do not own a House -

Entitled to myself - precise -

And fining no one else –

And marked my Girlhood’s name –

So Visitors may know

Which Door is mine – and not

user
Typewritten Text
34

Bait di atas menyajikan adegan dari sebuah makam yang mana sang pembicara

masuk ke dalam, Dia tidak menemui adanya diskusi tentang "fear" atau "teror"

maupun bukti ketidaksenangan. Subjek sekali lagi menyatakan kepuasan dengan

mengatakan bahwa "I am alive" yang menyiratkan bahwa kematian dengan cara

seperti ini mungkin lebih inda. Lain dari hidupnya saat ia masih berada di dunia

dan sekali lagi sangat itu berbeda dari siklus kehidupan sebelumnya. Kematian

dalam puisi ini seperti hadiah untuk orang yang sekarat.

Dalam 'Because I could not stop for Death-', (puisi no.3 tahun 1863)

kematian dipersonifikasikan sebagai seorang pria yang membutuhkan Wanita dan

keabadian dengan dia di keretanya. Penyair menciptakan situasi perjalanan

kemudian mempresentasikan idenya tentang perjalanan ke alam baka. Dia

melambangkan kematian sebagai seorang pria yang murah hati mengambil

seorang wanita dalam perjalanan hidupnya. Gambar kematian di sini disajikan

dengan baik, sopan, dan manusia yang handal.

Because I could not stop for Death -

He kindly stopped for me -

The Carriage held but just Ourselves -

And immortality.

We slowly drove – He knew no haste

And I had put away

My labor and my leisure too,

For His civility –

Bait pertama menunjukkan kesibukan seorang wanita. Dia menyatakan bahwa

"Because I could not stop for Death -/He kindly stopped for me - "Hal ini

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
35

menunjukkan bahwa orang-orang sibuk dengan kehidupan, dan bahwa mereka

tidak tahu kapan kematian mendekat.

Meskipun orang tidak memiliki waktu untuk menatap kematian itu, namun

kematian tidak dipersilahkan berhenti untuk membawa mereka tanpa undangan.

Dalam bait berikutnya, narator membuat jeda puisi dengan memberikan

kesempatan, guna melakukan pengaturan yang berbeda untuk mengaktifkan

pembaca ' mempersepsikan pesan yang disampaikan.

We pased the School, where Children strove

At Recess – in the Ring –

We passed the Fields of Gazing Grain -

We passed the Setting Sun –

Or rather – He passed Us -

The Dews drew quivering and chill -

For only Gossamer, my Gown -

My Tippet - only Tulle –

Pria dan wanita melakukan perjalanan ke banyak tempat. "Children", "Gazing

Grain" dan "Setting Sun "melambangkan perkembangan siklus hidup manusia

dari masa kanak-kanak, melalui dewasa dan kemudian kematian.

Wanita itu lebih lanjut menyatakan bahwa sikapnya yang dingin

disebabkan oleh embun. Ini menggambarkan perasaan dan refleksi dari orang

yang sekarat ketika dia mengalami proses kematian. Penyair menggunakan kata

"passed" untuk menekankan refleksi pada situasi masa lalu yang pernah dialami

dalam hidup mereka.

user
Typewritten Text
36

We paused before a House that seemed

A Swelling of the Ground -

The Roof was scarcely visible -

The Gornice – in the Ground –

Since than - ' tis centuries – and yet

Feels shorter than the Day

I first surmised the Horses' Heads

Were toward Eternity –

Ketika kematian dan wanita berhenti di rumah, perjalanan lebih lambat. Rumah

ini metafora untuk makam wanita. Kematian membawanya untuk beristirahat di

rumah ini. Ini berarti bahwa mereka sekarang mencapai akhir perjalanan karena

penyair menyatakan tidak ada daerah lebih lanjut. Bahwa wanita mengungkapkan

fantasi-nya untuk keabadian, menandakan bahwa jiwanya akan tinggal selamanya

di akhirat untuk selamanya.

Dalam puisi ini, penyair menunjukkan persetujuan bagi wanita untuk pergi

dengan kematian dengan membuat citra kematian menjadi positif. Ini berarti

bahwa jika manusia memahami kebenaran hidup dan berani menghadapi kematian

tanpa rasa takut, mereka tidak akan mengalami depresi yang besar atau ketakutan

pada saat kematian mereka.

Selain itu, bahwa penyair mengungkapkan makam, dimana tubuh fisik

abadi akan berada di lingkungan yang tenang dan damai, untuk orang yang

sekarat, membuat gambaran kematian lebih nyaman. Ini berarti bahwa orang

yang sekarat hanya bergerak dari tempatnya di bumi untuk keberadaan baru di

akhirat yang damai. Kemudian, ini adalah hadiah dari orang yang akan mati di

akhirat bagi dia nantinya, karena orang mati adalah puas dengan tempat baru yang

ia temukan.

user
Typewritten Text
37

1.4.Kematian telah ditentukan sebagai takdir: Nasib

Richard dan Janaro menunjukkan bahwa death is can be viewed as

predetermined end or fatalism. Death is the flexible destiny that is unavoidable.

Human beings cannot determine their own fate because God alone can manage

date and human beings can do nothing to change this fate. God has powerful

strength to control life and death. People comfort themselves that because of the

love of God, they all die. In their afterlife, they will be able to reside with God in

the his kingdom. This makes the matter of death become predetermined and

fatalistic for many people(393-6).

Dalam 'They dropped like Flakes -', ( puisi no.1 tahun 1862) kematian

digambarkan dengan cara yang positif. Kematian dipandang sebagai materi biasa

tapi tetap saja di bawah kendali Tuhan. Kata "they" menunjukkan jumlah orang

sekarat, jadi ini menyiratkan bahwa kematian tidak hanya terkait dengan satu

orang, tetapi itu adalah untuk banyak atau semua.

They dropped like Flakes -

They dropped like Stars -

Like petals from a Rose -

When suddenly across the June

A wind with fingers - goes –

Puisi ini menjelaskan karakter kematian yang berubah seperti serpih, bintang-

bintang, dan bunga. Semua bahan-bahan dari alam ini disajikan untuk menandai

kehidupan yang rapuh dan halus dari seluruh makhluk termasuk manusia.

Dickinson menggunakan unsur-unsur alami untuk mengundang rasa citra bagi

pembaca dan menekankan bahwa kematian secara alamiah merupakan masalah

user
Typewritten Text
38

umum dan dapat diterima. Rumput dan bunga aster digunakan sebagai

perumpamaan kematian.

Dua tanaman ini digunakan dengan harapan dapat membantu untuk

memungkinkan pembaca untuk melihat kematian sebagai hal yang positif. Karena

warna mereka mengundang perasaan damai sementara penampilan mereka

membuat soal kematian biasa dan indah. Rumput dan bunga aster yang digunakan

dalam Puisi Dickinson dalam rangka untuk menandakan bahwa kedua tanaman

tersebut biasanya dapat ditemukan di mana saja. Dan dapat diartikan bahwa

kematian dapat terjadi pada semua orang.

Dengan alasan ini, dua tanaman ini digunakan sebagai dua sumber alami

yang membuat gambar kematian dalam puisi ini umum dan mudah dimengerti.

Kedatangan dua tanaman ini pada bulan Juni yang berarti masa pertumbuhan yang

indah baru, maka akan menggantikan musim gugur. Hal ini menunjukkan

pembaca bahwa kesedihan, kematian akan diganti sekali lagi dengan memulai hal

yang baru. Bait dari puisi berikut yang lebih lanjut berkaitan dengan kepercayaan

Dickinson pada Tuhan.

They perished in the Seamless Grass -

No eye could find the place -

But God can summon every face

On hisRepealless - List.

Tidak ada yang seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi di akhirat

setelah kematian seseorang kecuali Tuhan. Karena hanya Dia yang memiliki

daftar nama setiap orang yang akan sekarat. Sekali lagi Dickinson menggunakan

user
Typewritten Text
39

pemandangan alam untuk menggambarkan kematian dalam hal yang positif. Hal

ini memungkinkan pembaca untuk melihat adegan kematian, dan tidak ditemukan

adanya rasa takut atau ngeri. Karena kematian dibingkai dalam konteks tatanan

hal alam, dan menjadi bagian dari kehidupan, sehingga lebih mudah untuk

diterima bagi pembaca.

Dalam 'Death is potential to that Man' (puisi no.2 tahun 1862) puisi ini

mencerminkan tentang kematian pasti mendatangi dan dialami oleh semua orang

kecuali Tuhan. Penyair berbicara tentang persahabatan antara dua laki-laki yang

akhirnya terpisah oleh kematian.

That is potential to that Man

Who dies – and to his friend -

Beyond that - unconspicuous

To Anyone but God –

Of these two – God remembers

The longest – for the friend -

Is integral – and therefore

Itself dissolved – of God –

Keakraban antara dua laki-laki dan Tuhan serta menunjukkan kuasa Tuhan yang

mengetahui nasib setiap manusia. Puisi berikut 'Tie the Strings to my Life, My

Lord’, menggambarkan kesediaan dari orang yang sedang sekarat untuk

meninggalkan hidupnya dan bersiap menuju ke akherat, dimana Tuhan akan

datang untuk memberi keadilan kepada setiap orang. Narator menyadari bahwa

kematian bukanlah hal yang ditakuti, dan dia tidak menunjukkan rasa takut atau

ragu-ragu untuk menjalani perjalanan hidup ini.

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
40
user
Typewritten Text

Tie the Strings to my Life, My Lord,

Then, I am ready to go!

Just a look at the horses -

Rapid! That will do!

Put me in on the firmest side -

So I shall never fall -

For we must ride to the judgment -

And it’s partly, down Hill –

Ini adalah saat ketika "My Lord" mengambil orang sekarat menuju akhirat, karena

narator menyatakan bahwa keduanya menuju ke "Judgment".

Tuhan di sini dapat menjadi berfungsi sebagai malaikat kematian dan

sebagai Tuhan. Karena narator percaya bahwa Tuhan memiliki kesanggupan

untuk memberi kepad mereka Penghakiman. Ini menegaskan "Lord" memiliki

kekuatan untuk membawa seseorang ke tujuan terakhirnya. Kata "Tie"

menunjukkan kesanggupan seseorang untuk menjalani perjalanan hidup ini

dengan Tuhan, dan dia sekali lagi ingin menunjukkan kesediaan di bait kedua,

ketika dia ingin ditempatkan "on the firmest side". "horse" adalah simbol untuk

kecepatan saat transisi antara hidup dan mati, karena hal tersebut berjalan cepat,

dan narator percaya bahwa hari kiamat adalah "partly, down Hill".

But never I mind the steeper -

And nevr I mind the Sea -

Held fast in Everlasting Race -

By my own Choice, and Thee –

Goodbye to the Life I used to live -

And the World I used to know -

And kiss the Hills, for me, just once -

Then – I am ready to go!

user
Typewritten Text
41

Akhirnya, narator akan menerima bahwa dia akan dipisahkan dari kehidupan

sebelumnya, karena dia mengatakan "Goodbye" untuk itu. Hal ini menunjukkan

bahwa manusia pasti terlepas dari semua hubungan dengan manusia yang lain dan

kewajibannya pada saat kematian mendatangi mereka. Puisi terakhir ini

menggambarkan kematian sebagai nasib bahwa orang-orang tidak punya hak

untuk menolak. Hal ini secara alami dikombinasikan pada Manusia ' takdir sejak

mereka lahir.

2.Perkembangan Puisi Dickinson tentang kematian

Selama masa hidupnya, Dickinson mencurahkan banyak perhatian pada

tema kematian dan akhirat. Sejak kematian teman-temannya di masa kecil, orang

tuanya, yang keponakan tercinta, dan orang-orang dalam Perang Sipil. Dickinson

berusaha melibatkan dirinya dalam usaha untuk memahami kematian dan hal-hal

apa saja yang memengaruhi. Pertanyaan tentang keabadian, dan kekuasaan Tuhan

sepertinya mengobsesi dirinya untuk menuangkan fantasinya melalui puisi. Puisi-

puisi yang ditulis Dickinson dimaksudkan untuk mencerminkan perasaannya,

pengalaman dan keyakinan secara tertulis dan ini membuat gambaran kematian

memiliki banyak tahapan. Bagian ini, puisi kematian Dickinson dianalisis secara

kronologis mengikuti perkembangan puisinya.

Pada periode pertama antara 1860 dan 1861, Dickinson mulai mengupas

permukaan tentang topik kematian. Dia memulai dengan rasa ingin tahu tentang

apa itu kematian dan ini menandakan bahwa kematian masih berupa hal biasa,

bukan sesuatu yang berdampak serius bagi banyak orang. Hal ini tampaknya yang

user
Typewritten Text
42

menjadi penyebab, karena selama bertahun-tahun hidupnya belum mengalami

kematian. Dalam 'Dust is the only secret', tahun 1860 misalnya. Kematian

digambarkan dengan debu yang menandakan bahwa itu berarti bukan berarti apa-

apa. Hal ini jarang dibahas oleh Dickinson dan tampaknya tidak menyebabkan

ketakutan dan bagi warga kota.

Dust is the only secret -

Death, the only One

You cannot find out all about

In his "native town"

Nobody knew "his father"

Never was a Boy -

Hadn’t any playmates,

Or "Early history -"

Industrious! Laconic!

Punctual! Sedate

Bold as a Brigand!

Stiller than a fleet!

Hal ini jelas bahwa penyair menunjukkan perkataan yang membingungkan

tentang kematian. Tidak ada yang tahu siapa dia, dari mana dia atau sejarahnya.

Dengan alasan ini, kematian, dari tulisan-tulisan awal Dickinson, dianggap

sebagai tidak penting dan tidak berharga.

Dickinson menuangkan ide-idenya tentang kematian dalam banyak puisi

dan gambaran kematian pada puisinya tidak mengerikan atau menakutkan.

Sebagian dari fantasi tersebut digambarkan melalui penglihatannya sendiri

terhadap temannya saat sekarat di ranjang dan mendekati kematian, ternyata

proses kematian tidak sangat menyakitkan, seperti di ‘To die-takes just a little

user
Typewritten Text
43

while’ pada tahun 1861. Hanya dibutuhkan beberapa waktu yang singkat untuk

proses sekarat. Penyair juga menunjukkan optimismenya pada akhir puisi itu,

mengungkapkan bahwa waktu yang akan membuat pelayat lupa kesedihan

mereka. Dalam puisi lain yang ditulis pada tahun yang sama, 'Looking at Death, is

Dying', mati itu berarti hanya melepaskan hidup dan menghentikan nafas

kemudian beristirahat untuk selama-lamanya. Demikian pula, dengan 'Tie the

string to my Life, my Lord’, tahun 1861, korban bersedia untuk meninggalkan

barang-barangnya didunia dan melanjutkan perjalanan kematiannya menuju

keabadian bersama Tuhan. Semua puisi ini menunjukkan kematian sebagai

kejadian yang menyenangkan karena disajikan sebagai hal seperti; tidur, istirahat,

atau perjalanan.

Pada tahun-tahun awal, Dickinson menggunakan bahasa yang sederhana.

Dia bermaksud untuk memilih satu atau dua kiasan dalam puisinya seperti

metafora atau simile untuk menampilkan gambaran kematian. Sering

menggunakan sedikit kepintarannya, seperti yang terlihat seperti dalam puisi

berikut;

To die – takes just a little while -

They say it doesn’t hurt -

It’s only fainter - by degrees -

And then – it’s out of sight –

Ia menggunakan sedikit kepintarannya untuk menunjukkan sinyal bagi pembaca,

ketika satu ide selesai dan ketika ide baru dimulai. Selain itu, Dickinson sering

memilih kata-kata yang menyampaikan makna positif dalam puisinya, seperti:

user
Typewritten Text
44

"gay", "pretty sunshine" atau "holiday." Dengan penggunaan kiasan yang rumit

dan struktur kalimat yang sederhana, membuat nyaman bagi pembaca untuk

menafsirkan dan memahami puisi Dickinson tentang kematian menjadi mudah

pada tahun awal penulisannya.

Kemudian, pada tahun 1862, kematian telah menjadi lebih penting untuk

Dickinson karena topik puisi ini sangat kuat. Ada insiden yang menyebabkan

Dickinson menulis banyak puisi tentang kematian pada tahun ini, di antaranya

adalah: kematian gurunya, penderitaannya dari kelumpuhan, dan korban Perang

Saudara yang terjadi selama waktu itu. Dari beberapa insiden tersebut, Dickinson

tidak hanya harus menahan rasa sakit fisik pada dirinya sendiri, tetapi juga

menghadapi penyakit jiwa saat itu. Kemudian, dapat diasumsikan bahwa dia

disibukkan oleh takut sakit dan kesedihan yang berkaitan dengan hal itu. Dengan

alasan ini, semua perasaan ini mengaktifkan kreativitas menulisnya untuk

menghasilkan banyak puisi tentang kematian selama tahun ini.

Beberapa puisi menunjukkan penerimaan bahwa kematian adalah benar

untuk setiap makhluk hidup, dan bahwa itu adalah bagian dari sifat manusia

seperti dalam 'They dropped like Flakes" bahwa mati adalah berakhirnya

kehidupan, karena beberapa tanaman yang memiliki siklus hidup yang pendek.

Kematian disajikan sebagai keharusan atau takdir bagi semua makhluk hidup yang

telah ditetapkan sejak mereka lahir dalam 'A Toad can die of Light." Lebih lanjut

di 'Doom is the House without the Door' penyair menunjukkan ide positif

terhadap makam, bahwa itu adalah seperti rumah lain untuk orang yang mati

dalam kehidupan setelah kematian. Semua puisi ini mengkomunikasikan kepada

user
Typewritten Text
45

pembaca bahwa kematian adalah normal, karena secara alamiah pasti terjadi

dalam siklus hidup manusia. Dan kehidupan setelah kematian adalah tidak sulit

dan menakutkan karena orang yang sekarat tahu penempatan jenazahnya ke

tempat yang damai dan terhormat. Kediamannya sendiri mirip dengan ketika ia

masih hidup.

Pada tahun 1862, Dickinson mengungkapkan ide-ide lain yang lebih segar

tentang kematian, yang memberi kesempatan untuk hidup dari orang yang sekarat.

Ini menandakan bahwa dia tidak hanya menerima nasib kematian tetapi juga

memahami tentang sisi negatif itu. Dalam For death-or rather" kematian

mengambil orang yang sekarat untuk kekekalan. Dalam I’m sorry for the Dead-

Today -' Dickinson berbagi tentang kesedihan dari orang yang sekarat dan

bersimpati bahwa orang tersebut harus menghidupi orang yang dicintai dan

mengisi gairah ketika hidupnya. Pada salah satu puisinya yang terdahulu, dan

yang terakhir disebutkan disana. Puisi-puisi tersebut mengingatkan bagi pembaca

untuk menyadari fakta tentang kehidupan dan memotivasi mereka untuk lebih

peduli tentang tugas dan tanggung jawab.

Selain itu, sangat menarik bahwa Dickinson mulai meratapi hilangnya

kekasihnya yang berhubungan dengan hilangannya gurunya dan orang-orang yang

kehilangan nyawa mereka atau orang-orang yang kehilangan anggota badan saat

berpartisipasi dalam Perang Saudara pada waktu itu. Dalam ‘I knew that He

exists', narator mencoba untuk berpikir positif bahwa perpisahannya dengan orang

dicintai tidak hilang tapi masih ada di suatu tempat tidak dapat dijangkau selama

hidupnya. Demikian juga, dalam 'Death sets a Thing significant', narator berpikir

user
Typewritten Text
46

tentang kenangan bersama temannya, di waktu dan kepentingan ketika mereka

berbagi bersama-sama.

Nada puisi ini benar-benar sedih dan menyedihkan. Selain itu Dickinson

menerima dalam 'Death is potential to that man ' kematian terjadi pada semua

orang kecuali Allah. Ini adalah tahun pertama bahwa penyair menyatakan

keyakinannya pada Allah dalam puisinya, dan ia tampaknya percaya bahwa

kekuasaannya menempatkan Dia di posisi Utama. Baginya, hanya Allah sendiri

yang mengontrol siklus hidup dan proses kematian.

Puisi Dickinson tentang kematian pada tahun 1862 telah menjadi lebih

sulit karena teknik penulisannya yang lebih beragam dan rumit. Pesan kematian

juga lebih kompleks karena penyair tidak hanya menyajikan luaran idenya tentang

kematian. Dia sengaja membuat sesuatu yang lebih dalam dan memaksa pembaca

harus menggunakan pemikiran kritis mereka untuk menganalisis puisi. Puisi

berikut adalah yang paling luar biasa yang juga mencirikan sebagian besar Puisi

Dickinson di tahun ini.

I’m sorry for the Dead - Today -

It’s such congenial times

Old Neighbors have at fences -

It’s time o’ year for Hay.

And Broad - Sunburned Acquaintance

Discourse between the Toil

And laugh, a homely species

That makes the fences smile –

It seems so straight to lie away

From all the noise of Fields -

The Busy Carts – the fragnat Cocks -

The Mower’s Metre - Steals

user
Typewritten Text
47

A Trouble lest they’re homesick -

Those Farmers – and their wives -

Set separates from the Farming -

And all the neighbor’s lives –

A Wonder if the Sepulchre

Don’t feel a lonesome way

When Men - and Boys - dan Carts - and June,

Go down the Fields to "Hay" –

Hal ini jelas bahwa Dickinson menggunakan berbagai kiasan seperti

personifikasi, simbolisme dan metafora yang masing-masing membuat topik

kematian menjadi lebih kompleks dari yang dibayangkan. Dengan menggunakan

struktur gramatikal yang rumit, seperti penggunaan huruf kapital di antara

kalimat, penggunaan tanda baca yang tidak biasa dan jarang, serta pemberian

subjek-kata kerja, itu akan sulit bagi pembaca untuk memahami puisi. Dickinson

lanjut memakai beberapa kata yang dapat ditafsirkan dengan berbagai makna

seperti "the field" yang berarti penyegaran dan remaja, atau "hay" yang berarti

kematian atau usia tua. Dari titik ini, interpretasi akan tergantung banyak pada

pengalaman hidup dan latar belakang pengetahuan pembaca.

Dari antara 1863-1864, Dickinson memberi perhatiannya pada saat transisi

antara hidup dan mati. Ini berarti bahwa penyair menyajikan gambaran ketika

orang sekarat adalah di antara hidup dan mati. Gambar yang disajikan adalah

bahwa orang sekarat perlahan-lahan kehilangan kesadaran dan sekali lagi

merasakan fungsi tubuh reaktif dalam kehidupan setelah kematian. Beberapa puisi

menggambarkan momen transisi sebagai perjalanan seperti di '’Because I could

not stop for Death’ tahun 1863, kematian dipersonifikasikan sebagai seorang pria

user
Typewritten Text
48

yang mengambil perjalanan dan ditakdirkan untuk keabadian dan kekekalan.

Perjalanan ini adalah sebagai perjalanan yang membawa orang sekarat di seluruh

saat transisi antara hidup dan mati. Perjalanan disajikan sebagai hal yang lembut

dan menenangkan perjalanan. Ini menandakan bahwa konsep kematian telah

menjadi lebih nyaman dan menenangkan untuk penyair.

Selama 1863-1864, Dickinson menyebutkan sedikit rasa sakit saat

kematian selama proses sekarat, tapi dia menjadi tertarik pada wilayah dan

karakteristik akhirat sebagai gantinya. Dia menunjukkan keyakinannya bahwa ada

kerajaan lain di akhirat bagi jiwa-jiwa orang-orang mati untuk tinggal di dalamnya

dan dia menyajikan menggunakan adegan yang berbeda. Beberapa tempat yang

menyenangkan bagi orang mati tidak diketahui kecuali menunggu Hari

Penghakiman. Sementara cerita lain tidak menyatakan seperti itu karena orang

sekarat sedang dikendalikan oleh Allah, dan ia tidak memiliki hak untuk

melarikan diri. Dickinson menulis banyak puisi tentang topik ini dan ini

menegaskan keyakinannya tentang tingkat lain dari keberadaan di akhirat.

Berikutnya antara tahun 1865 dan 1866; puisi Dickinson tidak jauh

berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dickinson menyusun beberapa puisi untuk

mengulangi keyakinannya tentang kelangsungan kehidupan setelah kematian

seperti dalam "I’ve dropped my Brain-My soul is numb-‘or’ I heard, as if I had no

Ear.' Tampaknya bahwa orang mati hidup lagi setelah kematiannya. Dickinson

tidak menyebutkan banyak tentang rasa sakit dan penderitaan bagi orang yang

sekarat. Dalam beberapa puisinya, kematian disajikan sebagai bagian dari takdir

user
Typewritten Text
49

manusia karena memang benar dan tidak dapat dihindari sementara beberapa

gambaran kematian diumpamakan sebagai waktu istirahat bagi manusia.

Daripada mengeluh tentang rasa sakit kematian, penyair cenderung untuk

mengeksplorasi lebih lanjut tentang akhirat. Beberapa puisi Dickinson

menyatakan tentang kematian sangat jauh dan tidak terjangkau oleh seseorang,

sementara beberapa orang percaya bahwa kematian itu dekat dan tersembunyi.

Tidak peduli seberapa jauh atau dekat kematian, itu masih sesuatu yang tidak

sepenuhnya dipahami, dan tentu tak terduga. Oleh karena itu, jelas bahwa selama

periode ini, sebagian besar konsentrasi Dickinson adalah tentang mekanisme

kematian dan akhirat. Ketakutan akan kematian menjadi kurang untuk

memengaruhi dia.

Di hampir fase terakhir dari Dickinson menulis yang antara tahun 1867-

1872, yang mana gambaran kematian menjadi kurang menakutkan. Penyair

menyatakan bahwa kesedihan bagi para pelayat karena merasa orang yang dicintai

berpisah dengan mereka bisa berubah dari waktu ke waktu. Ini berarti bahwa

seiring berjalannya waktu secara bertahap dapat membantu pelayat melupakan

kesedihan mereka tentang kematian. Ini menimbulkan perasaan positif karena

kesedihan bisa disembuhkan. Kemudian, mereka mungkin bisa memulihkan

kehidupan dan kebahagiaan mereka sendiri.

Dalam ‘The last night that she Lived’, saat-saat kematian dijelaskan oleh

narator dalam puisi menjadi tidak mengerikan karena orang sekarat diibaratkan

dengan buluh yang pasti diijinkan mati -. Demikian juga 'After a hundred years’ di

tahun 1869, Dickinson menunjukkan idenya bahwa waktu pasti bisa

user
Typewritten Text
50

menyembuhkan hati yang sakit dari para pelayat setelah kematian mengambil

teman-teman yang mereka cintai pergi. Puisi ini adalah seperti sinyal optimis

sikap penyair terhadap kematian karena ia menyatakan tidak ada lagi rasa sakit

tentang kematian proses dalam tahun ini atau tahun-tahun berikut.

Tahun-tahun setelah 1873, Dickinson masih menulis banyak tentang

akhirat. Pada titik ini, Allah tampaknya dihubungkan langsung dengan masalah

kematian, karena Dia sendirilah yang bisa menentukan kematian dan kehidupan.

Kemudian, Tuhan dan keyakinan agama yang sengaja digabungkan dalam banyak

puisinya. Selama bertahun-tahun, untuk menunjukkan kuasa Allah dan hal yang

memengaruhi apa yang bisa dia miliki agar kehidupan mereka lebih berarti.

Wilayah akhirat juga digambarkan dalam berbagai cara seperti pada tahun-tahun

sebelumnya. Itu puisi 'Mereka tidak hidup belum', pada tahun 1879 menunjukkan

penerimaan penyair kematian dan keyakinannya bahwa tidak benar-benar

mengerikan.

Kadang-kadang, kematian mungkin menjadi awal baru bagi sebagian

orang, untuk siapa, saat masih hidup dan saat berduka, mereka akan sembuh. Pada

periode akhir ini, Dickinson tidak berbicara tentang rasa sakit dari proses sekarat

atau kesedihan kematian lagi. Nada sebagian besar puisinya yang lembut, tenang

dan mengundang pemahaman dan penerimaan menuju kematian. Dickinson

menulis tentang topik kematian dan akhirat sampai kematian akhirnya datang

untuk mengambil hidupnya pada tahun 1886.

Kemudian, dapat disimpulkan bahwa fantasi Dickinson tentang kematian

tidak konsisten, karena mereka digambarkan berbeda dari tahun-tahun awal

user
Typewritten Text
user
Typewritten Text
51

hingga tahun-tahun terakhir tulisannya. Namun, pembaca dapat melihat sedikit

perubahan, seperti tema dan nada puisi dalam periode yang berbeda dari

tulisannya. Pertama, kematian tampaknya bukan menjadi hal yang menarik untuk

Dickinson, karena kematian ditampilkan di bagian pertama sebagai hal yang tidak

mengganggu dan jarang dibahas serta tidak memiliki dampak negatif pada

kehidupan. Selain itu, penggunaan kata-kata dalam puisi selama tahun-tahun awal

tampaknya membawa perasaan nyaman terhadap kematian seperti "morning",

"free", "holiday" atau "sleep". Semua kata-kata ini membuat gambaran kematian

benar-benar biasa.

Kemudian dalam kehidupan tengah penyair, gambaran kematian terlihat

lebih produktif dan bervariasi. Subyek kematian selama tahun-tahun ini

diperlakukan cukup berbeda, karena beberapa puisinya menyajikan sikap positif

terhadap kematian, sementara beberapa menunjukkan sisi negatif dari kematian.

Oleh karena itu, foto-foto kematian kadang-kadang berhubungan dengan manfaat

kematian yang membawa vitalitas untuk hidup, sementara kadang-kadang

kematian memberikan kesulitan kepada orang sekarat.

Namun, dapat diasumsikan bahwa penyair adalah di tengah-tengah antara

mengetahui rasa sakit dan kekejaman pada proses sekarat, dan menerima bahwa

kematian dan siksaan yang merupakan bagian dari sifat yang akan diterima

manusia. Selama fase ini, Dickinson menulis menjadi lebih rumit. Ia

menggunakan beberapa alat sastra dan tata bahasa yang tidak biasa untuk

menyajikan sikap ke arah kematian. Hal ini membuat puisinya sedikit lebih keras

untuk dipahami dan ditafsirkan.

user
Typewritten Text
52

Dalam tahun-tahun terakhir Dickinson menulis, ia menghentikan tema

kematian atau rasa sakit yang terkait dengan puisinya. Sebaliknya, ia

berkonsentrasi pada akhirat dan Allah yang memiliki kontrol atas kematian. Nada

setiap puisi cenderung lambat dan tenang dan ini membuat masalah kematian

kurang mengerikan atau takut. Tampaknya Dickinson memandang kematian

sebagai sesuatu yang normal seperti pasti akan terjadi pada setiap kehidupan. Hal

ini tentu menunjukkan bahwa saat kematian mendatanginya, dia akan mendapat

keuntungan, lebih memahami secara menyeluruh dan menerima kematian pada

akhir hidupnya.

user
Typewritten Text
53

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV maka diperoleh

kesimpulan berkaitan dengan konsep Janaro dan Altshuler tentang kematian

yakni:

Pertama, Janaro dan Altshuler memberikan citra kematian sebagai musuh

pribadi, konsep pertama dapat ditemukan pada puisi Dickinson. Dalam puisinya,

kematian digambarkan sebagai pembunuh kejam yang menyerang setiap manusia

(korban) tanpa ampun. Puisi yang dianalisis dalam kategori ini adalah "Death is

like the inset"," A Clock stopped - "," There is a Languor of the Life "

Definisi kedua kematian disajikan sebagai hal yang menyamaratakan bagi

semua orang, dan dapat ditemukan di beberapa puisi Dickinson. Rasanya seperti

penentu yang membuat setiap makhluk hidup mengalami hal yang sama yakni

mengalami kematian. Penyair menggunakan kematian sebagai kendaraan Allah

untuk membawa semua kehidupan termasuk manusia ke surga. Kumpulan puisi

yang sesuai dengan ide ini adalah "The Color of the Grave is Green -" and "After

a hundred years."

Selanjutnya, Janaro dan Altshuler memberikan pandangannya tentang

kematian sebagai akhir yang telah ditentukan atau takdir dan tercermin dalam

beberapa puisi Dickinson. Itu adalah nasib bahwa tidak ada satu manusia pun

yang pernah untuk merubah. Dickinson mengungkapkan keyakinannya tentang

user
Typewritten Text
54

kekuasaan tertinggi dari Tuhan dan bahwa hanya Dialah yang dapat menentukan

kehidupan semua orang. Kematian adalah akhir dari semua makhluk termasuk

manusia kecuali Allah, bahwa hanya dari Dia semua hal tentang kelahiran dan

kematian ditetapkan. Beberapa puisi dalam kategori ini adalah "I heard, as if I had

no Ear- "," I am alive – I guess "," Because I could not stop for Death. "

kategori keempat menjelaskan kematian sebagai hadiah atau hukuman dari

Tuhan, dijelaskan bahwa ada tempat lain sebagai keberadaan manusia setelah

kematiannya, di mana orang yang mati dikumpulkan bersama-sama hingga

menunggu hari penghakiman. Keyakinan ini disajikan dalam beberapa puisi

berikut, "They dropped likes Flakes "," Death is potential to that Man -."

Saya mendapat sedikit ada perubahan yang penting dalam pengungkapan

makna yang ada pada puisi Dickinson. Persepsi dan penggambaran tentang

kematian dalam puisinya berdasarkan urutan perkembangan kronologis. Dalam

Periode pertama dari tulisannya, Dickinson menunjukkan rasa ingin tahunya

terhadap kematian sebagai suatu hal yang tampak serta dari mana asalnya.

Namun, pada tahap kedua, konsentrasinya pada topik kematian jelas dan

pandangannya tentang kematian jelas mulai berubah berdasarkan

pengumpulannya tentang kematian dan kehancuran akibat perang sipil, yang

berdampak pada teman-temannya, keluarga, dan tetangga di masyarakat sekitar.

Dengan alasan ini, puisinya di fase ini terutama mengungkapkan keadaan

ketika seseorang sekarat disiksa oleh proses sekarat. Pada tahun yang sama,

Dickinson tidak hanya menggambarkan sisi negatif dari kematian tetapi juga

aspek-aspek positif itu. Dia menyajikan secara penuh tentang kematian serta

user
Typewritten Text
55

beberapa tulisan puisinya yang menganggap kematian sebagai kejadian alam.

Akibatnya, gambaran kematian selama fase ini bervariasi karena Dickinson

menyajikan baik sebagai hal yang menyenangkan dalam beberapa puisi,

berdasarkan fakta-fakta yang diterima dari kehidupan orang lain.

Menjelang akhir hidupnya, Dickinson kurang memberikan perhatiannya

terhadap orang saat sekarat atau rasa sakit menjelang kematian. Dia menjadi lebih

tertarik pada saat transisi antara hidup dan mati, dan terlebih lagi berkonsentrasi

pada jiwa dan eksistensinya dalam akhirat. Selain itu, dia menyentuh pada topik

surga dan neraka yang merupakan nasib yang ia percaya ditunggu semua orang

meninggal yang pasti mereka dapatkan. Oleh karena itu, gambaran kematian

dalam fase terakhir menghadirkan sesuatu yang tenang dan damai.

Rekomendasi untuk Studi lanjut

1. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mempelajari puisi Dickinson

pada topik lain seperti cinta, persahabatan, alam, bahasa, Tuhan atau keabadian.

2. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mempelajari puisi Dickinson

membandingkan pekerjaannya untuk penulis yang berbeda lainnya, yang

pendekatan untuk menulis puisi bervariasi, atau yang menggunakan perangkat

sastra yang berbeda, gaya penulisan, citra atau tema

\

user
Typewritten Text
56

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Conrad. An Anthology of Famous English and American Poetry.

New York: Random House, 1945. Print.

Benoit, Raymond. Dickinson’s I Died for Beauty and Shakespeare’s The

Phoenix and Turtle ANQ. 19.4 (2006): 31-3. H.W. Wilson. Web.

20 May 2008.

Carey, Gary. Emily Dickinson; Selected Poem. Nebraska: Cliffs Notes,

1982.Print.

Damrosch, David. The Longman Anthology of World Literature. New York:

Pearson Education, 2004. Print.

Di Yanni, Robert. Modern American Poet:Their Voices and Visions.New

York: McGraw, 1994. Print.

Fulton, Alice. The Good Strangeness of Poetry. Minnesota: Graywolf, 1999.

Print.

Janaro, Paul. Richard, and Thelma C. Altshuler. The Art of Being Human.

4th ed. New York: Harper Collins College, 1993. Print.

Johnson, H. Thomas. The Complete Poems of Emily Dickinson.

Toronto: Little Brown, 1960.Print.

Johnson, H. Thomas. Emily Dickinson: An Interpretive biography.

Massachussets: The Belknap, 1955. Print.

Khaangku, Piyakun. Thesis of The Images of Death in Emily Dickinson’s

Poetry.Srinakharinwirot University, October 2011.

McMahon, Frank, and Judith McMahon. Psychology: The Hybrid Science.

5th ed. Chicago: The Dorsey Press, 1986. Print.

McMichael, George. Anthology of American Literature. 5th ed.

New York: Macmillan, 1993. Print.

McMichael, George, et al. Concise Anthology of American Literature.

5th ed. New Jersey: Prentice-Hall, 2001. Print.

Perkins, George, and Barbara Perkins. The American Tradition in Literature.

9th ed. Boston: McGraw, 1999. Print.

Pollak, R. Vivian. Ed. A Historical Guide to Emily Dickinson. New York:

Oxford University Press, 2004. Print.

Sithijarinyaporn, Niti. “Christian Views of Death.” Death and Human Beings.

CCMA, 2006. Web. 28 May 2011.

Somrak, Niti. “A Critical Study of Emily Dickinson’s Literary Works: Poetic

Elements in Poems of Death.” KhonKaen University, 2002. Print.

The University Of Pennsylvania Museum Of Archaeology and Anthropology.

“Religion and Death.” The Ancient Greek World. Pen Press, 2002.

Web. 28 May 2011.

Villanueva, Anajiel. “Death in Ancient Greece.” Darkness Embraced, 3 Jan.

2010. Web. 28 may 2011.

Xiao-Chuan, Ren. “Death and Immortality:The Everlasting Themes.”

Canadian Social Science. 5.5 (2009): 96-9. Proquests. Web. 27 May

2011.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Coding Poems

Group 1: Death as Personal Enemy

1) Death is like the insect

Menacing the tree,

Competent to kill it,

But decoyed may be.

Bait it with the balsam,

Seek it with the saw,

Baffle, if it cost you

Everthing you are.

Then, if it have burrowed,

Out of reach of skill-

Wring the tree and leave it,

‘Tis the vermin’s will.

1862

2) A clock stopped-

Not the Mantel’s-

Geneva’s farthest skill

Can’t put the puppet bowing-

That just now dangled still-

An awe came on the Trinket!

The figures huncled , with pain-

Then quivered out of Decimals-

Into Degreeless Noun.

1861

3) There is a Languor of the Life

More Imminent than Pain-

‘Tis Pain’s Successor-When the Soul

Has suffered all it can-

A Drowsiness-diffuses-

A Dimness like a Fog

Envelops Conciousness-

As Mists-Obliterate a Crag.

1862

Group 2: Death as Leveler

1) The Color of the Grave is Green-

The Outer Grave- I mean-

You would not know it from the Field-

Except it own stone-

To help the fond-to find it-

To infinite asleep

To stop and tell them where it is-

But just a Daisy-deep-

The Color of the Grave is White-

The Outer Grave- I mean-

You would not know it from the Drifts-

In Winter- Till the Sun-

Has furrowed out the Aisles-

Then-higher than the Land-

The Little Dwelling House rise.

Where each-has left a friend-

The color of the Grave is within-

Duplicates-I mean-

Not all the Snows-could make it white-

Not all the Summers-Green-

You’ve seen the Color-maybe-

Upon a Bonnet bound-

When that you met it with before-

The Ferret-cannot find-

1862

2) After a hundred years

No body knows the Place

Agony that enacted there

Motionless as Peace

Weeds triumphant ranged

Strangers strolled and spelled

At the lone Orthography

Of the Elder Death

Winds of Summer Fields

Recollect the way-

Instincts picking up the key

Dropped by memory

1869

Group 3: Death as Predetermined End: Fatalism

1) I heard, as if I had no Ear

Until a Vital Word

Came all the way from Life to me

And than I knew I heard.

I saw, as if my Eye were on

Another, till a thing

And now I know’ twas Light, because

It fitted them, came in.

I dwelt, as if Myself were out,

My Body but within

Until a Might detected me

And set my kernel in.

And Spirit turned onto the Dust

“Old friends, thou knowest me,

And time went out to tell the News

And met Eternity.

1865

2) I am alive –I guess

The Branches on my Hand

Are full of Morning Glory-

And at my finger’s end-

The Carmine-Tingles Warm-

And if I Hold a Glass-

Across my Mouth-it blurs it-

Physician’s-proof of Breath-

I am alive-because

I am not in a Room-

The Parlor-Commonly-it is-

So Visitors may come-

And lean-and view it sidewise-

And add “How cold- it grew”-

And “was it conscious-when it stepped

In Immortality?”

I am alive-because

I do not own a House-

Entilled to myself-precise-

And fitting no one else-

And marked my Girlhood’s name-

So Visitors may know

Which Door is mine-and not

1862

3) Because I could not stop for Death-

He kindly stopped for me-

The Carriage held but just Ourselves-

And Immortality.

We slowly drove-He know no haste

And I had put away

My Labour and my Leisure too,

For His Civility-

We passed the school, Where Children strove

At recess-in the Ring-

We passed the Fields of gazing Grain-

We passed the Setting Sun-

Or rather-He passed Us-

The Dews drew quivering and chill-

For only Gossamer, My Gown-

My Tipped-only Tulle-

We paused before a House that seemed

A swelling of the Ground-

The Roof was scarcely visible-

The Gornice-in the Ground-

Since then-‘tis Centuries-and yet-

Feels shorter than the Day-

I first surmised the Horses’ Heads

We toward Eternity-

The Word-feels Dusty

When we stop to Die-

We want the Dew- than-

Hornors-taste dry-

Flags-vex a Dying face-

But the lest Fan

Strired by a friend’s Hand-

Cools-like the Rain-

Mine be the Ministry

When thy thirst comes-

Dews of Thessaly, to fetch-

And Hybla Balms-

1863

Group 4: Death as Reward or Punishment; The Afterlife

1) They dropped like Flakes-

They dropped like Stars-

Like Petals from a Rose-

When suddenly across the June

A wind with fingers-goes-

They Perished in the Seamless Grass-

No eye could find the place-

But God can summon every face

On his Repealless-List.

1862

2) Death is Potential to that Man

Who dies-and to his friend-

Beyond that-unconpicuous

To anyone but God-

Of these Two-God remember

The longest-for the friend-

Is integral-and therefore

Itself dissolved-of God-

1862

Lampiran 2

Biografi Emily Dickinson

Dickinson was born in Amherst, Massachusetts, on December 10, 1830.

Her family was revered and even admired in the town, because her grandfather

was one of the founders of Amherst College. Furthermore, her father, Edward

Dickinson was a member of the United States Congress. Her mother’s name was

Emily Narcross Dickinson. Dickinson had one brother, Austin and one sister,

Lavinia. Throughout her lifetime, her siblings were good companions for her and

they were the link between Dickinson and the outside world (Bradley & Beatty,

1965;148).

Dickinson lived a reclusive and private life. She once stated that, “I don’t

go from home, unless emergency leads me by hand and then I do it obstinately,

and drew back if I can” (Vivian Pollak, 2004; 23). Dengan alsan tersebut,

Dickinson hanya berkunjung ke beberapa kota seperti Boston, Washington dan

Philadelpia. Walaupun Dickinson membatasi dirinya sendiri berhubungan dengan

komunitas di luar, ia masih sering berkirim surat dengan banyak teman dan lebih

sering membaca di rumah. In 1862, Dickinson wrote to Thomas wentworth

Higginson, a famous scholar/writer and enclosed four poems with her letter

because she wanted to attain Higginson’s opinions about her verse. Since then,

they continually corresponded and Higginson became her close friend. Although

Higginson accepted that Dickinson’s poetry was witty and qualified, only seven of

Dickinson’s poems were published during her lifetime (Bradley & Beatty,

1965;149).

After Dickinson’s death from Bright’s decease in 1886, Lavinia her sister

found a tremendous amount o Dickinson’s writings and manuscripts in her room.

Lavinia contacted some scholars including Higginson asking them to collect and

edited her sister’s work. After that, Dickinson’s poems and letters were printed

and her work became well-known widely in the 20th Century (Bradley & Beatty,

1965;149).