up graft
TRANSCRIPT
PENGARUH PEMBERIAN ASAM HIALURONAT PADA PEMAKAIAN XENOGRAFT
BERBENTUK PASTA TERHADAP KECEPATAN PEMBENTUKAN OSTEOBLAS
TULANG ALVEOLAR POST EKSTRAKSI
(STUDY EKSPERIMENTAL PADA HEWAN COBA)
Disusun oleh:
Gung Putri Wistari
G1G 008 003
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2012
Latar Belakang:
Kerusakan tulang alveolar pasca pencabutan gigi manusia merupakan
permasalahan yang sering ditemukan dalam dunia klinis kedokteran gigi. Berbagai
tindakan ekstraksi gigi sering memberikan respon awal berupa hilangnya jaringan
tulang pembentuk dan penyokong gigi disertai terputusnya perlekatan gingiva dan
ligamentum periodontal. Pencabutan gigi akan menyebabkan tulang luka terbuka
pada rongga mulut. Hal ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan berbagai
komplikasi jika tidak ditangani dengan segera. Perawatan pasca pencabutan gigi
diperlukan agar dapat menurunkan risiko komplikasi pasca tindakan (Steiner,
2008)
Tulang merupakan salah satu jaringan keras dalam tubuh manusia yang
berfungsi sebagai penyokong tubuh dan tempat tambatan bagi otot dan tendo yang
penting untuk daya gerak. Tulang melindungi organ vital serta membungkus unsur
pembentuk darah dari sumsum tulang. Tulang juga menjalankan fungsi
metaboliknya sebagai gudang kalsium yang dapat digunakan sesuai dengan
kebutuhan dalam pengaturan konsentrasi ion penting dalam darah dan cairan
tubuh lain (Fawcett, 2002). Luka merupakan suatu gangguan dari kondisi normal
pada kulit (Taylor, 1997). Menurut Kozier (1995, dalam Ismail 2010 Luka dan
Perawatannya) menyatakan bahwa luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit,
mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Tubuh yang sehat memiliki
kemampuan alami untuk memulihkan dan melindungi diri. Peningkatan aliran
darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing, juga
perkembangan awal selular merupakan bagian dari proses penyembuhan luka.
Merawat luka bertujuan untuk mencegah terjadinya trauma (injury) pada kulit,
membran mukosa, atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma, fraktur,
atau luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. Perawatan luka yang tidak
dilakukan dengan benar dapat menyebabkan komplikasi penyembuhan luka
seperti infeksi dan perdarahan. Kejadian infeksi dalam penyembuhan luka
dikarenakan adanya invasi bakteri pada luka yang terjadi saat trauma, selama
pembedahan, dan setelah pembedahan. Rasa sakit, kemerahan di sekitar luka dan
bengkak merupakan gejala yang sering muncul ketika infeksi.
Ekstraksi gigi merupakan suatu proses pencabutan gigi dari dalam soket dari
tulang alveolar. Ekstraksi gigi adalah tindakan sederhana dalam bedah mulut,
tetapi juga menjadi kegiatan sehari-hari dokter gigi. Walaupun sudah bekerja
sesuai standar operasional prosedur, namun tidak jarang menimbulkan trauma
pada jaringan sekitar seperti jaringan lunak, prosesus alveolaris, tuberositas
maksilaris, dan nervus, trauma pada gigi tetangga. Penyembuhan yang lambat
adalah hal yang paling sering ditemukan pada saat ekstraksi gigi. Oleh karena itu,
perawatan yang tepat sesuai dengan komplikasi yang terjadi adalah tindakan
terbaik untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjutan yang lebih serius lagi
bahkan berakibat fatal (Harahap, 2010).
Komplikasi komplikasi yang muncul setelah pencabutan antara lain terjadi
intraoperatif seperti perdarahan, fraktur, pergeseran mandibula cedera jaringan
lunak, sedangkan komplikasi yang terjadi pasca-operatif berupa rasa sakit yang
berlebihan, edema atau bengkak, perdarahan, dan reaksi alergi terhadap obat.
Penggunaan obat kumur klorheksidin dan larutan povidone iodine sebagai
antiseptik dan desinfektan dapat membantu mempertahankan kebersihan luka.
Proses penyembuhan luka post-ekstraksi memerlukan waktu sekitar 7 hari.
Keadaan luka yang tidak terawatt dengan baik dapat mengganggu proses
penyembuhan luka pada rentang waktu penyembuhan sehingga kemungkinan
terjadi komplikasi seperti infeksi pada luka. Salah satu penyebabnya adalah
karena kurangnya menjaga kebersihan mulut.
Graft adalah suatu bagian jaringan yang diambil dari satu tempat dan
ditransplantasikan ke tempat lain, baik pada individu yang sama maupun yang
berlainan. Secara garis besar terdapat dua fungsi utama graft terhadap tulang
resipien yaitu mendorong terjadinya osteogenesis (pembentukan tulang) dan
memberi dukungan mekanis pada kerangka resipien (mechanical support). Jenis
bone graft terbagi menjadi dua yaitu; jenis bone graft dari tulang murni seperti;
autograft, allograft dan xenograft. Jenis bone graft hasil substitusi seperti;
keramik, polymers, natural material. Sekitar 60% substitusi graft tulang saat ini
tersedia termasuk keramik, baik tersendiri atau dalam kombinasi dengan material
lain.
Asam Hialuronat merupakan glikosaminoglikan yang terbanyak pada jaringan
mamalia dan terdapat dengan konsentrasi inggi dijaringan penghubung seperti
kulit, kartilago, dan jaringan ali pusat.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian asam
hialuronat pada pemakaian xenograft berbentuk pasta terhadap kecepatan
pembentukan osteoblas tulang alveolar pasca pencabutan gigi. Penelitian yang
akan dilakukan merupakan studi eksperimental pada tikus. Pemilihan tikus
sebagai hewan coba atau model uji medis adalah karena genetik mereka,
karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip manusia, dan banyak gejala
kondisi manusia dapat direplikasi pada tikus.
Rumusan Masalah: Apakah ada pengaruh pemberian asam hialuronat pada pemakaian
xenograft berbentuk pasta terhadap kecepatan pembentukan osteoblas tulang
alveolar pasca pencabutan gigi
Tujuan Penelitian:
1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh pemberian asam hialuronat pada pemakaian xenograft
berbentuk pasta terhadap kecepatan pembentukan osteoblas tulang alveolar pasca
pencabutan gigi.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui tahapan dan proses pembentukan osteoblas pasca pencabutan gigi.
b. Mengetahui faktor yang mempercepat proses pembentukan osteoblas.
c. Menganalisis pemberian asam hialuronat pada pemakaian xenograf erhadap
pembentukan osteoblas.
Landasan Teori:
1. Penyembuhan luka
Proses penyembuhan Luka menurut Moya, Morison (2003) proses fisiologis
penyembuhan luka dapat dibagi kedalam 3 fase utama, yaitu:
a. Fase inflamasi ( durasi 0 – 3 hari )
Jaringan yang rusak dan sel mati akan melepaskan histamin dan mediator
lain, sehingga dapat menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling
yang masih utuh serta meningkatnya penyediaan darah sekeliling yang masih
utuh serta meningkatnya penyedian darah ke daerah tersebut, sehingga
menyebabkan tanda merah dan hangat. Permeabilitas kapiler darah meningkat
dan cairan yang kaya akan protein mengalir ke interstitial menyebabkan
oedema local. Polimorfonuklear (PMN) adalah sel pertama yang menuju
tempat terjadinya luka. Jumlahnya akan meningkat dalam waktu 24 - 48 jam.
Sel-sel ini memiliki fungsi utama untuk memfagositosis bakteri. Pada kejadian
penyembuhan luka yang normal, kehadiran sel-sel ini nampaknya tidak begitu
berarti karena luka akan membaik tanpa adanya sel-sel ini. Sel-sel ini bisa
muncul dikarenakan adanya infeksi yang terjadi pada luka, namun apabila
tidak terjadi infeksi dari bakteri maka sel-sel PMN akan berumur pendek dan
jumlahnya akan menurun pada hari ketiga.
Elemen imun seluler lainnya adalah makrofag. Sel ini muncul pada 48 - 96
jam terjadinya luka, dan akan mencapai puncaknya pada hari ketiga. Berbeda
dengan PMN, makrofag memiliki usia yang lebih panjang. Sel ini akan tetap
ada dan menetap sampai penyembuhan luka berjalan sempurna. Sesudah
makrofag akan muncul limfosit T yang hadir pada hari kelima dan jumlahnya
akan mencapai puncak pada hari ketujuh. Berlawanan dari PMN, makrofag
dan limfosit T justru sangat penting peranannya pada proses penyembuhan
luka normal. Makrofag sama halnya seperti netrofil, akan memfagositosis dan
mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa jaringan. Sel ini juga
mampu menghasilkan zat biologis aktif yang disebut sitokin. Sitokin mampu
mempermudah terbentuknya sel inflamasi tambahan yang dapat membantu
makrofag dalam dekontaminasi dan membersihkan sisa-sisa jaringan.
b. Fase destruksi ( 1-6 hari )
Pembersihan terhadap jaringan mati atau yang mengalami devitalisasi
bakteri, PMN dan makrofag. PMN menelan dan menghancurkan bakteri.
Tingkat aktivitas polimorf yang tinggi hidupnya singkat saja dan
penyembuhan dapat berjalan terus tanpa keberadaan sel tersebut.
c. Fase maturasi ( durasi 24-365 hari)
Setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir
luka dan sisa-sisa folikel membelah dan mulai bermigrasi di atas jaringan
granulasi baru. Matriks ekstraseluler akan melakukan reorganisasi. Pada
awalnya matriks ekstraseluler kaya akan fibronektin dan tidak hanya itu,
matriks ini juga menghasilkan penumpukan kolagen oleh fibroblast. Kolagen
akan membentuk bundel-bundel fibril yang secara perlahan akan
menyebabkan kekakuan dan kekuatan ketegangan. Pencapaian kekuatan
tegangan luka berjalan lambat. Dalam kurun waktu 3 minggu kekuatan
penyembuhan luka berjalan sampai dengan 20%. Walaupun begitu, kekuatan
akhir penyembuhan luka tetap tidak akan sebaik kulit yang tidak pernah terjadi
luka, dengan kekuatan maksimalnya hanya 70 % dari kulit utuh.
Setelah mengetahui fase-fase penyembuhan luka, maka selanjutnya
mengetahui proses penyembuhan luka yang akan melalui beberapa intense
penyembuhan, antara lain:
1. Penyembuhan melalui intense pertama ( primary intention)
Luka terjadi dengan pengrusakan jaringan yang minimum, dibuat
secara aseptik, penutupan terjadi dengan baik, jaringan granulasi tidak
tampak, dan pembentukan jaringan parut minimal.
2. Penyembuhan melalui intense kedua ( Granulasi )
Pada luka terjadi pembentukan pus atau tepi luka tidak saling merapat,
proses penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama penyembuhan.
3. Melalui intense ketiga ( secondary suture)
Terjadi pada luka dalam yang belum di jahit atau terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan
disambungkan sehingga akan membentuk jaringan parut yang lebih dalam
dan luas.
3. Osteoblas
Osteoblas adalah sel mononukleat datar yang asalnya dari stem cells
mesenkimal. Osteoblas ini bertanggung jawab terhadap osteogenesis dan
pembentukan matriks tulang baru. Konstituen osteoblas terdiri dari kolagen tipe I, tipe
V dan sejumlah kecil proteoglikan serta beberapa protein nonkolagenous. Osteoblas
menghasilkan berbagai macam sitokin yang membantu regulasi metabolisme sel.
Faktor kunci pada pertumbuhan sel tulang adalah perluasan jumlah faktor
pertumbuhan dari osteoblas, prekursor atau keduanya. Osteoblas menghasilkan
sejumlah bone morphogenetik protein (BMP) superfamily yaitu BMP-2, BMP-7 dan
perubahan pertumbuhan faktor β dengan adanya tambahan insulin-like growth factors
(IGF-1 dan IGF-II), platelet-derived growth factors (PDGF) dan fibroblastic growth
factors (FGF).
Osteoblas merupakan sel jaringan tulang yang berperan mensintesis kolagen
untuk membentuk osteoid sebagai bahan dasar tulang dan mempunyai fungsi utama
mensintesis komponen organik tulang yaitu kolagen dan glikoprotein. Sel ini biasanya
terletak pada permukaan jaringan tulang, berbentuk kuboid atau kolumnar, dengan posisi
saling bersebelahan seperti jaringan epitel. Apabila osteoblas sedang mensintesis matriks
tulang bentuknya kuboid dangan sitoplasma basofilik, sedangkan bila aktivitasnya
menurun bentuknya menjadi lebih fusiformis dengan sitoplasma yang kurang basofilik.
Pada proses penyembuhan kerusakan tulang (remodeling), osteoblas akan
mendisagregasi zat interseluler tulang yang mengandung kolagen untuk sintesis serat
kolagen baru dan membentuk osteoid.
Bahan yang pertama kali dibentuk oleh osteoblas adalah garam anorganik yang
berbentuk amorf, deposisinya terjadi sebelum sintesis bercampur dengan komponen
organik kolagen dan glikoprotein membentuk substansi dasar tulang yang disebut
osteoid. Osteoid merupakan substansi dasar tulang yang mengandung serat osteokolagen.
Osteoblas berdeferensial pada tempat dibentuknya tulang baru dan berfungsi untuk
pertumbuhan tulang maupun mereparasi jaringan tulang yang rusak. Setelah membentuk
osteoid segera terjadi disposisi garam-garam kalsium yang mula-mula membentuk
kristal-kristal berupa pulau-pulau kecil atau spikula kemudian akan membentuk osteon
dengan sistem Harvers (Poedjiastoeti, 1995; Junquerira, 1992). Sewaktu osteoid
terbentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid dan selanjutnya disebut
osteosit (Guyton dan Hall, 1997).
Pembentukan hidroksiapatit pada proses mineralisasi dimulai dari terbentuknya
osteoid oleh osteoblas yang mempunyai kemampuan mengikat mineral tulang.
Osteoid kemudian mengalami kalsifikasi yaitu proses deposisi mineral yaitu kalsium,
fosfat dan ion hidroksi (Vigorita, 1999).
4. Ektraksi gigi
Ekstraksi gigi adalah suatu proses mengeluarkan gigi dari soketnya. Ekstraksi
gigi atau biasa dikenal dengan istilah pencabutan gigi, merupakan proses yang
kompleks yakni tidak hanya melepaskan gigi tapi juga dengan melibatkan jaringan di
sekitarnya. Pencabutan gigi bisa dilakukan dengan cara sederhana, yakni yang tidak
memerlukan pembedahan ataupun dengan cara yang cukup kompleks dengan
melakukan pembedahan minor. Pencabutan gigi dengan pembedahan dilakukan
apabila gigi yang akan dicabut mengalami hambatan atau adanya hubungan dengan
penyakit sistemik yang diderita pasien seperti diabetes mellitus atau tekanan darah
tinggi.
Menurut Pedersen (1996), komplikasi pencabutan gigi dapat dibagi menjadi dua
garis besar. Komplikasi yang pertama adalah komplikasi intraoperatif, yaitu
komplikasi yang terjadi pada saat proses ekstraksi dilakukan. Hal-hal yang bisa terjadi
pada komplikasi ini antara lain perdarahan, fraktur, pergeseran mandibula, dan cedera
jaringan lunak. Perdarahan biasa terjadi pada pasien yang memiliki gangguan pada
sistem pembekuan darah atau pada pasien yang mengalami penyakit hati. Untuk itu
anamnesa yang sangat dalam harus ditekankan di sini agar tidak terjadi perdarahan
yang berlebih pada intraoperatif. Kemudian fraktur, fraktur bisa terjadi misalnya pada
gigi geligi yang mempunyai morfologi abnormal atau gigi yang ankylosis. Kekuatan
pada saat proses pengeluaran gigi bisa menyebabkan fraktur bahkan sampai dengan
komplikasi yang lebih parah seperti pergeseran mandibula. Selain karena kekuatan
yang terlalu berlebih pergeseran mandibula juga bisa terjadi karena tidak adanya
fiksasi oleh tangan operator pada mandibula. Selanjutnya adalah cedera jaringan
lunak. Cedera jaringan lunak yang paling umum adalah lecet dan luka bakar. Lecet
sering diakibatkan oleh retraksi berlebihan pada flap yang kurang besar, sedangkan
luka bakar terjadi akibat tertekannya bibir dalam keadaan teranestesi oleh pegangan
henpis lurus.
Selain komplikasi intraoperatif, komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah
komplikasi pasca-operatif. Pada keadaan ini, komplikasi yang biasanya muncul
adalah berupa rasa sakit yang berlebihan yang dipengaruhi oleh efek anestesi yang
menghilang. Edema atau bengkak juga bisa terjadi, hal ini wajar mengingat adanya
proses inflamasi pada daerah sekitar yang telah dilakukan ekstraksi. Kemudian
komplikasi yang berikutnya adalah perdarahan. Jika ini terjadi biasanya bisa
dilakukan penghentian perdarahan dengan tampon, yaitu kapas yang diberi tetesan
epinefrin kemudian pasien diminta untuk menggigit tampon tersebut selama kurang
lebih 30 menit. Komplikasi yang terakhir adalah reaksi alergi terhadap obat, biasanya
yang sering terjadi adalah rasa mual dan muntah. Selain komplikasi tersebut dapat
juga terjadi infeksi jika luka tidak terkontrol kebersihannya.
5. Graft
Graft adalah suatu bagian jaringan yang diambil dari satu tempat dan
ditransplantasikan ke tempat lain, baik pada individu yang sama maupun yang
berlainan. Secara garis besar terdapat dua fungsi utama graft terhadap tulang resipien
yaitu mendorong terjadinya osteogenesis (pembentukan tulang) dan memberi
dukungan mekanis pada kerangka resipien (mechanical support). Jenis bone graft
terbagi menjadi dua yaitu; jenis bone graft dari tulang murni seperti; autograft,
allograft dan xenograft. Jenis bone graft hasil substitusi seperti; keramik, polymers,
natural material. Sekitar 60% substitusi graft tulang saat ini tersedia termasuk
keramik, baik tersendiri atau dalam kombinasi dengan material lain. Keramik
mempunyai efek toksik yang sangat rendah pada jaringan. Keramik kalsium fosfat,
termasuk didalamnya hydroxyapatite atau Ca10(PO4)6(OH)2 adalah sejenis
komponen mineral alami dari jaringan keras vertebrate. Kalsium fosfat sangat
biocompatible, nonimmunogenik dan nonkarsinogenik. Sedangkan Bioglass adalah
sebuah material keramik yang padat dan merupakan sejenis material yang aktif pada
permukaan tulang, yaitu membentuk hydroxyapatite pada permukaan Bioglass.
Kalsium sulfat merupakan bahan yang aman karena bisa diserap, mudah dimanipulasi,
mudah dimanipulasi dan bisa digunakan sebagai bahan isi atau bahan agglutinant dari
implan tulang lain. Salah satu jenis implan keramik nonreaktif adalah yang terbuat
dari oksida aluminium (Al2O3), keramik ini dapat ditolerir dengan baik oleh tulang
namun tidak bioaktif karena tidak mendorong pembentukan tulang, tidak seperti
keramik kalsium fosfat maupun kaca bioaktif.
Menurut Darwono (2001), secara garis besar terdapat dua fungsi utama graft
terhadap tulang resipien yaitu mendorong terjadinya osteogenesis dan memberi
dukungan mekanis pada kerangka resipien (mechanical support). Fungsi graf dan
tulang untuk mendorong osteogenesis dapat melalui 3 cara, yaitu:
1). Membelah diri. Sel dipermukaan graf dan tulang yang masih hidup pada saat
dipindahkan, kemudian membelah diri dan membentuk tulang baru. Hal ini
dapat terjadi pada cancelous autograft dan fresh cortical graft.
2). Osteoinduksi. Merupakan proses menarik sel pluripotensial dari resipien
yang terdapat disekitar graft dan tulang. Hal ini terjadi karena graf dan
tulang mengandung mediator osteoinduksi, seperti BMP ( Bone
Morphogenic Protein), merupakan matrik tulang sehingga aktifitasnya tidak
dipengaruhi oleh ada tidaknya sel tulang yang hidup, tidak dirusak oleh
proses freezing tetapi rusak oleh proses oktoklaf. BMP terdapat pada
autograf, allograf, dan fresh bone dan osteogenins, merupakan glikoprotein,
dimana protein ini aktif pada demineralized bone matriks.3).
Osteokonduksi. Merupakan proses resorpsi graft, kemudian diganti oleh
tulang baru dari resipien secara bertahap. Kontribusi graft dimulai dengan
proses osteokonduksi yaitu membuat kerangka sebagai matrik tulang di
jaringan resipien. Kemudian dilanjutkan dengan stimulasi pembentukan
tulang sebagai proses osteoinduksi. Penggunaan graft tulang pada
perawatan peridontal sudah diterima secara luas, karena telah diketahui
bahwa graft mempunyai daya osteoinduksi dan osteokonduksi. Daya
osteokonduksi graft berperan sebagai kerangka untuk memacu pertumbuhan
jaringan tulang baru, yang biasanya diletakkan pada jaringan penerima
donor. Sedangkan proses osteoinduksi meliputi growth factor dari jaringan
penerima donor untuk mengadakan regenerasi struktur jaringan yang hilang
(Stephen et al, 1999). Ekstrak demineralized bone graft biasa digunakan
pada praktek klinik karena memiliki kemampuan osteokonduktif dan
osteoinduktif. Banyak penelitian menunjukkan pembentukan tulang baru
yang diinduksi oleh demineralized bone matrix (DBM) in vitro dan pada
implantasi subkutan maupun intramuskular. Pembentukan tulang ektopik
telah diteliti secara biokimia, histologi, dan histokimia untuk mengetahui
proses perbaikan jaringan tulang. DBM graft ternyata berhasil digunakan
untuk memperbaiki kerusakan tulang baik pada hewan maupun manusia
(Toricelli et al, 2002). Proses biologis yang terlibat dalam pembentukan
tulang baru pada penggunaan graft tulang adalah osteogenesis,
osteokonduksi, dan osteoinduksi. Osteokonduksi melibatkan penggantian
graft oleh sel osteoprogenitor dari host, resorpsi tulang terjadi secara
simultan dengan aposisi tulang. Osteoinduksi terjadi saat protein
morphogenic tulang (BMP) diaktivasi. Bagian aktif BMP didapatkan dari
matrix tulang yang didekalsifikasi. Bentukan serbuk meningkatkan interaksi
bahan graft dengan permukaan tulang. Potensi osteoinduksi dari beberapa
jaringan tubuh dan tulang tidak sama pada tiap bagian. Tulang diaphyseal
(humerus, femur, tibia dan fibula), dentin mempunyai potensi osteoinduksi
yang tinggi (Wirjokusumo, 2002).
2. Penyembuhan Cedera Tulang
Penggunaan graft tulang pada perawatan peridontal sudah diterima secara luas,
karena telah diketahui bahwa graft mempunyai daya osteoinduksi dan osteokonduksi.
Daya osteokonduksi graft berperan sebagai kerangka untuk memacu pertumbuhan
jaringan tulang baru, yang biasanya diletakkan pada jaringan penerima donor.
Sedangkan proses osteoinduksi meliputi growth factor dari jaringan penerima donor
untuk mengadakan regenerasi struktur jaringan yang hilang (Stephen et al, 1999).
Ekstrak demineralized bone graft biasa digunakan pada praktek klinik karena
memiliki kemampuan osteokonduktif dan osteoinduktif. Banyak penelitian
menunjukkan pembentukan tulang baru yang diinduksi oleh demineralized bone
matrix (DBM) in vitro dan pada implantasi subkutan maupun intramuskular.
Pembentukan tulang ektopik telah diteliti secara biokimia, histologi, dan histokimia
untuk mengetahui proses perbaikan jaringan tulang. DBM graft ternyata berhasil
digunakan untuk memperbaiki kerusakan tulang baik pada hewan maupun manusia
(Toricelli et al, 2002). Proses biologis yang terlibat dalam pembentukan tulang baru
pada penggunaan graft tulang adalah osteogenesis, osteokonduksi, dan osteoinduksi.
Osteokonduksi melibatkan penggantian graft oleh sel osteoprogenitor dari host,
resorpsi tulang terjadi secara simultan dengan aposisi tulang. Osteoinduksi terjadi saat
protein morphogenic tulang (BMP) diaktivasi. Bagian aktif BMP didapatkan dari
matrix tulang yang didekalsifikasi. Bentukan serbuk meningkatkan interaksi bahan
graft dengan permukaan tulang. Potensi osteoinduksi dari beberapa jaringan tubuh
dan tulang tidak sama pada tiap bagian. Tulang diaphyseal (humerus, femur, tibia dan
fibula), dentin mempunyai potensi osteoinduksi yang tinggi (Wirjokusumo, 2002).
Mengutip pendapat Smeltzer (2002), tahapan penyembuhan tulang terdiri dari:
inflamasi, proliferasi sel, pembentukan kalus, penulangan kalus (osifikasi), dan
remodeling. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang
cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang
mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cidera kemudian
akan diinvasi oleh magrofag (sel darah putih besar), yang akan membersihkan daerah
tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
Pada tahap proliferasi sel, kira-kira lima hari hematom akan mengalami
organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan
osteoklast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan
menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang.
Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak
pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro
minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak
sruktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial
elektronegatif.
Tahap akhir perbaikan patah tulang yaitu remodeling, meliputi pengambilan
jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun – tahun tergantung
beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan pada kasus yang
melibatkan tulang kompak dan kanselus – stres fungsional pada tulang. Tulang
kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat daripada tulang
kortikal kompak, khususnya pada titik kontak langsung. Penyembuhan periodonsium
dapat dibedakan menjadi dua yaitu regeneratif dan reparatif. Sebagai contoh,
penggantian jaringan ikat dengan jaringan ikat adalah proses regeneratif, namun
penggantian tulang dengan jaringan ikat adalah proses reparatif (Carranza, 1996).
Proses pembentukan tulang terutama melibatkan osteoblas sebagai sel utama
penghasil matrik tulang. Osteoblas juga mengatur konsentrasi ion kalsium pada
matrik melalui pelepasan kalsium dari intraseluler. Perkembangan osteoblas dikontrol
antara lain oleh faktor pertumbuhan, sitokin, hormon dan sinyal mekanik (Bostrom,
2000; Manolagas, 2000).
6. Hewan Coba
Memanfaatkan hewan percobaan untuk penelitian kesehatan digunakan prinsip 3R,
yaitu Repalcement, Reduction, Refinement (Hume and Russel, 1957):
1. Ada 2 alternatif untuk replacement, antara lain:
a. Repalcement relatif, adalah tetap melaksanakan hewan percobaan sebagai
donor organ, jaringan, atau sel.
b. Replacement absolut, adalah tidak memerlukan bahan dari hewan, melainkan
memanfaatkan galur sel (cells lines) pada program komputer.
2. Reduction
Mengurangi pemanfaatan hewan percobaan sehingga sedikit mungkin dengan
bantuan ilmu statistik, program komputer, dan teknik-teknik biokimia serta tidak
mengurangi penelitian dengan hewan percobaan apabila tidak perlu.
3. Refinement
Mengurangi ketidaknyamaan hewan percobaan sebelum, selama, dan sesudah
penelitian.
Sebagian penelitian biomedik dapat dilakukan di laboratorium dengan cara kerja in
vitro atau menggunakan bahan hidup. Penelitian yang akan dilakukan merupakan studi
eksperimental pada tikus. Pemilihan tikus sebagai hewan coba atau model uji medis
adalah karena genetik mereka, karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip
manusia, dan banyak gejala kondisi manusia dapat direplikasi pada tikus. Alasan lain
menggunakan tikus sebagai hewan coba atau model uji medis yaitu dapat berkembang
biak dengan cepat dan berumur pendek (2-3 tahun), mudah disimpan dan dipelihara
serta mudah beradaptasi baik dengan lingkungan baru, dan tikus relatif murah juga
dapat dibeli dalam jumlah besar.
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah ekperimental laboratorik. Penelitian ini dilakukan pada
12 tikus putih galur wistar yang tulang mandibula sebelah kanan dan kiri dibuat kavitas
dengan ukuran diameter 3 mm dan kedalaman 3 mm. Kavitas sebelah kanan diisi dengan
kitosan yang dicampur xenograft dan kavitas sebelah kiri diisi hanya xenograft sebagai
kelompok control. Pada hari ke-7 dan hari ke-14 tikus didekapitasi untuk diambil tulang
mandibulanya dan dibuat preparat. Pengecatan dengan Mallory digunakan untuk melihat
jaringan yang tumbuh dari cedera tulang mandibula. Kemudian dilakukan analisis
statistik dengan Uji Mann-Whitney U dan Kruskal-Willis terhadap pembentukan tulang
baru antara kelompok kitosan dicampur xenograft dan kelompok xenograft pada hari ke-
7 maupun hari ke-14.
B. Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Biologi Universitas
Jenderal Soedirman.
C. Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada tanggal Juni-Juli 2012.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Pengaruh
Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah aplikasi xenograft yang diproduksi oleh
BATAN dengan konsentrasi 1%, 0,5% dan 0,25% dengan waktu pengamatan pada
hari ke-3, 5, 7, 14, 28 dan 56 pasca terbentuknya defek tulang.
2. Variabel Terpengaruh
Variabel terpengaruh pada penelitian ini adalah jumlah osteoblas tulang pada hari
ke-3, 5, 7, 28 dan 56 pasca terbentuknya defek tulang.
3. Variabel Terkendali
Variabel terkendali yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Jenis hewan uji, yaitu tikus wistar jantan yang berusia kurang lebih 4 bulan
dengan berat berat badan...
4. Variabel tak terkendali
a. Kondisi defek tulang tikus wistar jantan
b. Kondisi sistemik tikus wistar jantan
E. Teknis Penelitian
1. Persiapan Alat dan Bahan
Dalam penelitian in vitro seluruh alat, bahan dan prosedur kerja harus dijaga
agar tetap steril. Untuk itu sebelum memulai penelitian, alat dan bahan terlebih
dahulu disterilisasi dengan autoclave (120oC) selama 20 menit.
Alat:
1. Timbangan elektrik
2. Gelas beker
3. Pipet
4. pH meter
5. Magnetic stirrer (IKA RCT Basic/,model ETS-D4/ETS-D5)
6. Freeze dryer
7. Autoclave
8. EOG sterilizer
9. Spuit injeksi
10. Eskavator
11. Pinset
12. Jarum bedah
13. Needle holder
14. Blok cetak
15. Mikrotom
16. Waterbath
17. Gelas objek
18. Drying plate
19. Kaca penutup
20. Mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan kamera digital merk Nikon, model
E600W
Bahan:
1. Gelatin (Nitta Gelatin Inc.,G2613P Type B)
2. Kalsium hidroksida
3. Asam fosfat 85%
4. Karbonat Hidroksiapatit
5. Aquadestilata
6. Glutaraldehid 25%
7. Glisin
8. Ketamin hidroklorida
9. Benang jahit (catgut)
10. Povidon iodine
11. Alkohol 70%
12. Formalin 10%
13. Parafin
14. Balsam Canada
15. Bahan Pengecatan Mayer hematoxylin dan iosin (HE)
16. Xylol
F. Jalannya Penelitian
1. Persiapan Pembuatan Kavitas Defek Tulang
Persiapan yang dilakukan sebelum prosedur pembuatan kavitas defek tulang
pada tikus wistar adalah mensterilkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk
prosedur pembuatan kavitas dan aplikasi graft tulang. Peralatan yang digunakan
antara lain ekskavator, pinset, bor tulang, dan needle holder. Sterilisasi dilakukan
dengan menggunakan autoclave pada suhu 121 C selama 30 menit.
2. Pembuatan Kavitas Defek Tulang
Prosedur pembuatan kavitas defek tulang pada hewan coba diawali dengan
pemberian anestesi intramuscular dengan ketamin hidroklorida (Ketamil, 8mg/100g
berat badan). Kavitas dibuat dengan cara mengebor pada bagian femur hewan coba.
Setelah kavitas terbentuk dibersihkan dengan NaCl fisiologis.
3. Aplikasi Graft dan Asam Hialuronat
Graft tulang diaplikasikan ketika hewan coba masih dalam keadaan teranestesi. Graft
tulang diaplikasikan pada defek tulang dengan ekskavator. Kavitas dijahit dengan
mengunakan jarum bedah dan benang jahit, kemudian diolesi larutan povidon iodine
sebagai antiseptik.
4. Pembuatan Preparat Histologis
Penelitian ini menggunakan subjek hewan coba sebanyak 36 ekor. Hewan coba
tersebut dibagi menjadi enam sub kelompok kontrol dan enam sub kelompok
perlakuan, dengan sampel 3 ekor hewan coba pada masing-masing sub kelompok.
Kelompok kontrol dan perlakuan dikorbankan dengan cara dekapitasi masing- masing
3 ekor hewan coba pada hari ke-3, 5, 7, 14, 28, dan 56. Selanjutnya, soket gigi yang
telah diisi graft dan jaringan tulang sekitarnya diambil untuk diproses secara
histologis.
1. Fiksasi, dilakukan dengan memasukkan jaringan tulang yang telah diambil ke
dalam formalin 10% untuk mempertahankan struktur sel.
2. Dekalsifikasi, dilakukan selama 24 jam dengan metode Plank dan Rychlo
menggunakan bahan-bahan: (1) Alumunium klorida 7 gram, (2) HCl 37%
sebanyak 8,5 mL, (3) Asam formiat pekat sejumlah 5,0 mL, dan akuades steril
yang digunakan untuk pengenceran hingga volume mencapai 100 mL.
3. Dehidrasi, yaitu proses untuk mengambil semua air yang terkandung dalam
jaringan dan membersihkan sisa-sisa fiksatif. Dehidrasi dilakukan dalam alkohol
70%, 80%, 95%, dan alkohol absolut masing-masing selama 1,5 jam.
4. Penjernihan, yaitu aplikasi xylol selama 1 jam dan 1,5 jam untuk menghilangkan
alkohol dalam jaringan.
5. Infiltrasi parafin dan pembuatan blok parafin, dilakukan dngan cara memasukkan
jaringan ke dalam parafin cair dengan suhu 57-59 C selama 1,5 jam agar rongga
atau pori-pori jaringan terisi parafin sehingga mudah dipotong. Jaringan
dimasukkan kedalam blok cetakan selama 30 menit sampai parafin mengeras,
kemudian dilepas dari cetakan dan diberi label.
6. Pemotongan jaringan, jaringan yang terdapat dalam blok parafin dipotong
menggunakan mikrotom dengan ketebalan 6μm. Hasil irisan dimasukkan ke dalam
waterbath berisi air dengan suhu 50℃, kemudian diambil menggunakan kaca
objek dan diberi label dengan pensil kaca.
7. Penempelan pada kaca objek, dilakukan dengan meletakkan kaca objek dan irisan
jaringan diatas drying plate bersuhu 40℃ selama 20 menit untuk menguapkan
kandungan air pada kaca objek sehingga jaringan dapat menempel dengan baik.
8. Deparafinisasi dan rehidrasi, dilakukan dengan memasukkan sediaan ke
dalamxylol selama 3 menit, kemudian sediaan dimasukkan ke dalam alkohol
absolut, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70% slama masing-masing 2 menit.
Selanjutnya sediaan dicuci selama 3 menit dengan air mengalir untuk
menghilangkan alkohol. Deparafinisasi dilakukan untuk menghilangkan parafin
agar jaringan dapat diisi air yang selanjutnya dapat dicat dengan yang larut air.
Rehidrasi bertujuan untuk menghilangkan xylol pada sediaan karena xylol tidak
dapat bercampur dengan air.
9. Pengecatan, dilakukan dengan aplikasi cat Mayer- Hematoksilin sebagai initial
stain untuk memberikan warna biru pada inti sl. Sdiaan dimasukkan dalam Mayer-
Hematoksilin selama 7 menit kemudian dilanjutkan pembasuhan dibawah air
mengalir untuk menghilangkan sisa cat. Eosin diaplikasikan sebagai counter stain
untuk memberikan warna merah sebagai kontras pada sitoplasma hingga 15 kali
celupan kemudian dilanjutkan pembasuhan di bawah air mengalir untuk
menghilangkan sisa cat. Tahapan selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan alkohol
bertingkat naik (70%, 80%, 95%, 100%) masing- masing 3 celupan untuk
menghilangkan kandungan air.
10. Penjernihan dan penempelan, dlakukan dengan memasukkan
sediaan ke dalam xylol selama 5 menit, kemudian diteteskan 1 tetes balsam Canada
ditutup dengan kaca penutup serta diberi label.
5. Penghitungan jumlah osteoblas
Parameter yang dipakai untuk mengetahui pengaruh substitusi tulang dengan graft +
asam hialuronat terhadap aktivitas pembentukan jaringan tulang baru adalah sel
osteoblas aktif. Penghitungan jumlah sel osteoblas dilakukan menggunakan mikroskof
cahaya dan kamera dengan pembesaran 400x pada 3 lapang pandang dengan diameter
tiap lapang pandang 065 μm kemudian data dijumlah.
G. Alur Penelitian
Xenograft
Aplikasi As hialuronat-Xenograft pada defect tulang
hewan cobq
Aplikasi Xenograft pada defect tulang hewan coba
Kel A1
Hari ke-3
Pengambilan Jaringan pasca Aplikasi
Pembuatan Preparat Histologis
Pengamatan Jumlah
Analisa Data
Kel A3
Hari ke-7
Kel A4
Hari ke-
Kel A5
Hari ke-
Kel A6
Hari ke-56
Kel A2
Hari ke-5
Kel B1
Hari ke-3
Kel B2
Hari ke-5
Kel A3
Hari ke-7
Kel A4
Hari ke-14
Kel A5
Hari ke-
Kel A6
Hari ke-
Asam Hialuronat -Xenograft