unud-791-1941622100-bab ii

20
14 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian mengenai pariwisata di Kepulauan Nias masih sedikit. Kebanyakan tulisan mengenai pariwisata Nias hanya berupa artikel sehingga sulit disejajarkan dengan karya ilmiah, seperti contoh berikut: 1. Sorake, Surga Selancar di Sudut Pulau Nias, Firman Suci Ananda, Waspada online, 2009. 2. Ketika Pariwisata Nias Terbenam, http://matanews.com , 2010. 3. Pariwisata Nias: Peluang, Ilusi atau Petaka?, Firman Harefa, Niaspost, 2009. 4. Kajian Prioritas Penyediaan Komponen Wisata bagi Pengembangan Pariwisata di Pulau Nias; Tuhoni Zega, Semarang, 2002. Sebagian besar tulisan tersebut di atas hanya bersifat deskriptif dan belum dianalisis secara ilmiah. Hanya tulisan Tuhoni Zega yang bersifat ilmiah dan dianalisis dengan pendekatan Delphi. Penelitian oleh Zega (2002) yang berjudul Kajian Prioritas Penyediaan Komponen Wisata bagi Pengembangan Pariwisata di Pulau Nias, terfokus pada sasaran mengidentifikasi prioritas penyediaan komponen wisata melalui metode analisis delphi dan menentukan prioritas pengembangan komponen wisata berdasarkan asumsi para pakar terhadap kondisi perkembangan pariwisata, jumlah

Upload: hendraaiyub

Post on 17-Nov-2015

16 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

..............

TRANSCRIPT

  • 14

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

    PENELITIAN

    2.1 Kajian Pustaka

    Penelitian mengenai pariwisata di Kepulauan Nias masih sedikit.

    Kebanyakan tulisan mengenai pariwisata Nias hanya berupa artikel sehingga sulit

    disejajarkan dengan karya ilmiah, seperti contoh berikut:

    1. Sorake, Surga Selancar di Sudut Pulau Nias, Firman Suci Ananda, Waspada

    online, 2009.

    2. Ketika Pariwisata Nias Terbenam, http://matanews.com, 2010.

    3. Pariwisata Nias: Peluang, Ilusi atau Petaka?, Firman Harefa, Niaspost,

    2009.

    4. Kajian Prioritas Penyediaan Komponen Wisata bagi Pengembangan

    Pariwisata di Pulau Nias; Tuhoni Zega, Semarang, 2002.

    Sebagian besar tulisan tersebut di atas hanya bersifat deskriptif dan belum

    dianalisis secara ilmiah. Hanya tulisan Tuhoni Zega yang bersifat ilmiah dan

    dianalisis dengan pendekatan Delphi.

    Penelitian oleh Zega (2002) yang berjudul Kajian Prioritas Penyediaan

    Komponen Wisata bagi Pengembangan Pariwisata di Pulau Nias, terfokus pada

    sasaran mengidentifikasi prioritas penyediaan komponen wisata melalui metode

    analisis delphi dan menentukan prioritas pengembangan komponen wisata

    berdasarkan asumsi para pakar terhadap kondisi perkembangan pariwisata, jumlah

  • 15

    kunjungan wisatawan di Pulau Nias dan tinjauan keruangan melalui alat analisis

    deskripsi kualitatif. Penelitian tersebut hanya dapat menambah referensi mengenai

    informasi pariwisata Nias pada umumnya. Sangat berbeda dengan penelitian ini

    yang terfokus pada komodifikasi atraksi hombo batu sebagai daya tarik wisata di

    Desa Bawmataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi

    Sumatera Utara.

    Terdapat beberapa buku yang berkaitan dengan kebudayaan Nias dan

    dibahas juga mengenai kebudayaan Nias Selatan, antara lain:

    1. Nilai Budaya Nias Selatan: Sumane Ba Bw Niorisi yang ditulis oleh

    Bambw Laiya pada tahun 2006 dan diterbitkan oleh Badan Musyawarah dan

    Pergerakan Masyarakat Adat Nias (Yayasan Bamper Madani), Teluk Dalam,

    Nias Selatan. Buku ini yang berisi 94 halaman ini, membahas mengenai dua

    jenis nilai budaya Nias Selatan yakni Sumane dan Bw Niorisi. Makna dari

    Sumane adalah penghargaan terhadap sesuatu atau kepada seseorang yang patut

    dan layak memperoleh penghormatan atau penghargaan. Sedangkan Bw

    Niorisi diartikan sebagai pesan atau titah leluhur mengenai pola atau pedoman

    atau tata krama dan budi pekerti yang baik (Laiya, 2006: 2).

    2. Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, ditulis oleh Ketut Wiradnyana dan

    diterbitkan pada tahun 2010 oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.

    Buku setebal 239 halaman ini, membahas tentang kebudayaan Nias baik di

    daerah utara maupun selatan yang secara budaya dan adat istiadat memiliki

    perbedaan, seperti logat bahasa, rumah adat, tata cara perkawinan, dan beberapa

    perbedaan lainnya, ditinjau dari arkeologi dan antropologi.

  • 16

    3. Tipologi Arsitektur Rumah Adat Nias Selatan & Rumah Adat Nias Utara,

    ditulis oleh Bhakti Alamsyah dan Julaihi Wahid, diterbitkan pada tahun 2012

    oleh Graha Ilmu, Yogyakarta. Buku ini yang terdiri dari 118 halaman ini,

    membahas tentang perbedaan arsitektur rumah adat dan pola perkampungan

    tradisional yang terdapat di Nias Selatan dengan yang ada di Nias Utara.

    Ketiga buku tersebut di atas memiliki topik yang berbeda dengan penelitian

    ini. Laiya membahas tentang Nias Selatan dari segi norma, tradisi dan adat istiadat,

    Wiradnyana dari sudut Arkeolog dan Antropologi dan Alamsyah, et.al. dari sisi

    arsitektur. Sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang komodifikasi hombo

    batu sebagai daya tarik wisata di Nias Selatan.

    Pembahasan yang berkaitan dengan kajian bentuk, fungsi dan makna suatu

    seni budaya diangkat oleh Arnailis (2004) dalam bentuk Tesis yang berjudul

    Kesenian Ilau di Nagari Salayo Sumatera Barat Suatu Kajian Bentuk, Fungsi dan

    Makna. Arnailis mengambil objek penelitian di Jorong Galanggang Tangah

    Kanagarian Salayo Kabupaten Solok. Pada kajiannya, Arnailis menggunakan

    pendekatan kualitatif dengan menelaah bentuk estetika pertunjukan kesenian ilau,

    fungsi dari pertunjukan tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya pada

    masyarakat Salayo di masa sekarang.

    Sebayang (2010) mengangkat topik mengenai Komodifikasi Sigale-gale

    Sebagai Atraksi Wisata di Desa Simanindo, Kecamatan Simanindo, Kabupaten

    Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan

    komodifikasi Sigale-gale, proses komodifikasi Sigale-gale dan dampak yang

  • 17

    ditimbulkan terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat merupakan tujuan

    dari penelitian Sebayang.

    Dua penelitian tersebut di atas jelas memiliki perbedaan dengan penelitian

    ini. Perbedaan pertama terletak pada daerah penelitian. Meskipun Provinsi daerah

    penelitian Sebayang sama dengan Provinsi dalam penelitian ini yakni Sumatera

    Utara, namun objek penelitiannya sangat berbeda jauh yakni Sigale-gale di

    Samosir dengan Hombo batu di Nias Selatan. Sedangkan daerah penelitian Arnailis

    adalah di Nagari Salayo, Sumatera Barat dengan objek penelitian mengenai

    Kesenian Ilau.

    Perbedaan kedua adalah topik yang dikaji atau diteliti. Sebayang hanya

    terfokus pada Komodifikasi Sigale-gale sebagai atraksi wisata di Desa Simanindo,

    Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Dijelaskan

    bahwa komodifikasi Sigale-gale dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal

    yang didasari perkembangan kemampuan intelektual dan kreativitas serta

    keterampilan para praktisi Sigale-gale. Faktor eksternal merupakan hal lainnya

    dimana perkembangan religi masyarakat Batak yang mayoritas beragama Kristen,

    permintaan konsumen (wisatawan) dan perkembangan pariwisata serta kondisi

    ekonomi.

    Sisi kajian budaya dalam bentuk, fungsi dan makna lebih ditonjolkan oleh

    Arnailis dalam penelitiannya mengenai Kesenian Ilau di Nagari Salayo, Sumatera

    Barat. Pada hasil penelitiannya, Arnailis melaporkan bahwa dari sisi fungsi,

    kesenian Ilau mengalami perubahan yang semula berfungsi untuk ritual namun

    sekarang justru mengalami perubahan menjadi fungsi hiburan, fungsi identitas

  • 18

    etnis, fungsi estetis dan simbolis, fungsi penyelamat budaya, fungsi pendidikan dan

    fungsi ekonomi. Dari segi makna, kesenian Ilau sudah mengalami perubahan dari

    makna keseimbangan dunia dan akhirat, dewasa ini berubah menjadi makna

    penentu jati diri, makna estetis dan simbolis, makna perubahan budaya, makna

    keseimbangan, serta makna apresiatif dan reflektif. Perbedaan topik dengan kedua

    penelitian di atas adalah dalam penelitian ini selain mendeskripsikan faktor-faktor

    yang mempengaruhi terjadinya komodifikasi pertunjukan hombo batu sehingga

    menjadi sebuah daya tarik wisata di desa Bawmataluo, juga mencari tahu

    penyebab pergeseran bentuk, fungsi dan makna atraksi hombo batu di desa

    Bawmataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Komponen-

    komponen pariwisata yang saling terkait dan saling mendukung di Nias Selatan

    pada umumnya apakah telah memadai demi mengoptimalkan manfaat dari

    komodifikasi atraksi hombo batu serta pengaruh dari komodifikasi atraksi hombo

    batu bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat setempat dikaji dalam

    penelitian ini. .

    2.2 Deskripsi Konsep

    Konsep yang dinggap penting dan relevan dengan latar belakang, rumusan

    masalah dan tujuan penelitian dipaparkan dalam beberapa istilah berikut ini:

    2.2.1 Konsep Pariwisata dan Destinasi Pariwisata

    Menurut Lundberg (dalam Kusmayadi et al, 2000:4), pariwisata adalah

    konsep umum yang sejarahnya kembali ke masa yang lampau (tahun 1811), atau

    sebelumnya, dan definisinya terus berubah. Istilah tourism atau kepariwisataan

    mencakup orang-orang yang melakukan perjalanan pergi dari rumahnya, dan

  • 19

    perusahaan-perusahaan yang melayani mereka dengan cara memperlancar atau

    mempermudah perjalanan mereka, atau membuatnya lebih menyenangkan. Lebih

    lanjut dikatakan bahwa sebagai suatu konsep, pariwisata dapat dilihat sebagai suatu

    kegiatan melakukan perjalanan dari rumah dengan maksud tidak melakukan usaha

    atau bersantai. Pariwisata juga dapat dilihat sebagai suatu bisnis, yang berhubungan

    dengan penyediaan barang dan jasa bagi wisatawan dan menyangkut setiap

    pengeluaran oleh atau untuk wisatawan/pengunjung dalam perjalanannya.

    (Kusmayadi, 2000: 4).

    Konsep Pariwisata dan Destinasi Pariwisata dalam Undang-Undang

    Kepariwisataan R.I. No. 10/2009 yang dihimpun oleh Tunggal (2009), dijelaskan

    demikian:

    Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. (Hal. 2, Bab I, Pasal 1 Butir 3).

    Daerah tujuan wisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata

    adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. (Hal. 3, butir 6).

    Menurut UNWTO (World Tourism Organization) dan IUOTO

    (International Union of Office Travel Organization), yang dimaksud dengan

    Wisatawan adalah setiap pengunjung yang tinggal paling sedikit 24 jam, akan

    tetapi tidak lebih dari enam bulan di tempat yang dikunjunginya dengan maksud

    kunjungan antara lain:

    1. Berlibur, rekreasi, dan olah raga.

  • 20

    2. Bisnis, mengunjungi teman dan keluarga, misi, menghadiri pertemuan,

    konferensi, kunjungan dengan alasan kesehatan, belajar, atau kegiatan

    keagamaan.

    Dalam buku Pengantar Ilmu Pariwisata, Pitana & Diarta memaparkan

    bahwa destinasi merupakan suatu tempat yang dikunjungi dengan waktu yang

    signifikan selama perjalanan seseorang dibandingkan dengan tempat lain yang

    dilalui selama perjalanan (misalnya daerah transit). Definisi destinasi pariwisata ini

    lebih jauh dijelaskan oleh Ricardson dan Fluker (dalam Pitana dan Diarta, 2009:

    126), sebagai: A significant place visited on a trip, with some form of actual or

    perceived boundary. The basic geographic unit for the production of tourism

    statistics.

    2.2.2 Konsep Pariwisata Budaya

    Seperti telah disinggung pada latar belakang masalah bahwa salah satu

    tipologi pariwisata adalah Cultural Tourism atau Pariwisata Budaya. Definisi

    Pariwisata Budaya diidentifikasi oleh Bonink (dalam Richards, 1997: 22) lewat dua

    pendekatan dasar. Pertama, pendekatan pada situs dan monumen yang terpusat

    pada pendeskripsian tipe daya tarik yang dikunjungi oleh cultural tourists dan jelas

    berhubungan dengan produk yang berbasis budaya. European Centre for

    Traditional and Regional Cultures (ECTARC, 1989) yang dituangkan kembali

    oleh Richards dalam bukunya Cultural Tourism in Europe (1997) menyebutkan

    delapan tipe situs atau atraksi yang dapat digolongkan sebagai daya tarik cultural

    tourists, seperti kutipan berikut ini:

    A typical list of the types of sites or attractions which are considered to attract cultural tourists is provided by ECTARC (1989):

  • 21

    1) archeological sites and museums (situs-situs arkeologi dan museum) 2) architecture: ruins, famous buildings, whole towns (arsitektur) 3) art, sculpture, crafts, galleries, festivals, events (seni, pahatan,

    kerajinan, gedung kesenian, berbagai festival dan perlombaan). 4) music, and dance: classical, folk, contemporary (musik dan tari-tarian) 5) drama: theatre, films, dramatists (drama) 6) language and literatures study, tours, events (bahasa dan studi literatur,

    perjalanan, berbagai kejadian). 7) religious festivals, pilgrimages (berbagai perayaan keagamaan, ziarah) 8) complete (folk or primitive) cultures and sub-cultures.

    Pendekatan kedua, mengutamakan pada pendekatan konseptual.

    Sebagaimana definisi pariwisata pada umumnya, definisi konseptual pariwisata

    budaya mencoba mendesripsikan makna dan motif yang berkaitan dengan kegiatan

    pariwisata budaya.

    ATLAS mendefinisikan pariwisata budaya secara konseptual sebagai The

    movement of persons to cultural attractions away from their normal place of

    residence, with the intention to gather new information and experiences to satisfy

    their cultural needs. (Richards , 2003).

    Gunn (1995) dalam jurnalnya yang berjudul Cultural Tourism Planning

    mengemukakan 5 (lima) komponen pariwisata yang harus dikembangkan oleh

    pihak tuan rumah selaku the supply side of tourism, antara lain: (a) Daya tarik

    wisata/attractions; (b) Transportasi; (c) Pelayanan/service; (d) Informasi; (e)

    Promosi. Dijelaskan bahwa, kelima komponen tersebut merupakan bagian-bagian

    yang terintegrasi dalam sebuah fungsi sistem pariwisata secara menyeluruh. Gunn

    menegaskan, The point is that all are interdependent. Semua komponen tersebut

    saling ketergantungan, saling mempengaruhi satu sama lain. Mengutip pernyataan

    Gunn di bawah ini, menjelaskan bahwa setiap perubahan suatu komponen, akan

    mempengaruhi komponen lainnya.

  • 22

    No matter what your role may be in tourism, you are dependent as much on others as yourself for your success. Any change in any other component influences you. Your establishment, in turn, influences all other components. This fact suggests that much greater cooperation among all actors within tourism is essential. (Gunn, 1995: 5).

    2.2.3 Konsep Komodifikasi

    Menurut Piliang (2003: 18), Komodifikasi adalah sebuah proses

    menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi

    komoditi. Komoditi sendiri diartikan oleh Piliang sebagai segala sesuatu yang

    diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasanya uang, dalam

    rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan. Istilah ini semakin populer di

    berbagai lini kehidupan dewasa ini, termasuk kebudayaan asli pribumi

    (aboriginal/indigenous) di berbagai Negara atau suku tertentu di belahan bumi ini

    di mana cara hidup tradisional mereka yang unik, kebudayaan dan ritual mereka

    disulap menjadi sesuatu yang dapat dipertukarkan dengan uang untuk

    memperoleh keuntungan.1 Kegiatan yang berbau ekonomi ini dengan perpaduan

    kehidupan sosial budaya masyarakat setempat (pribumi) biasa disebut sebagai

    cultural tourism atau pariwisata budaya. Semakin besar peranan pariwisata dalam

    ekonomi global membuat setiap daerah di berbagai belahan dunia mencari peluang

    baru untuk memaksimalkan potensi daerahnya agar dapat saleable dalam industri

    pariwisata termasuk potensi komodifikasi cultural.

    Pang dan Roos (2008) dalam jurnal mereka yang berjudul Commodification

    Of Cultural Diversity: Case study Chinatown, Antwerp and Ghanesh Festival

    menyimpulkan bahwa komodifikasi budaya tidak terjadi karena proses alami tetapi

    1 Beberapa studi kasus dapat dilihat dalam buku Chris Ryan dan Michelle Aicken yang berjudul: INDIGENOUS TOURISM: The Commodification and Management of Culture.

  • 23

    akibat dari kondisi dan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Bahkan

    mereka menambahkan bahwa peranan dan dukungan pemerintah setempat penting

    dalam pengembangan kegiatan-kegiatan seperti festival atau atraksi budaya, seperti

    pernyataan mereka, Important role of the local government: support for

    development of ethnic precinct and cultural/ethnic festivals as part of the local

    policy of fostering social cohesion.

    Dalam era globalisasi yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi

    semakin menggeser nilai esensial suatu budaya seperti yang diungkapkan oleh

    Baudrillard (1988)2. Hal senada dikemukakan oleh Crook et al (dalam Barker,

    2004:111), bahwa dalam suatu proses pascamodernisasi (hiperkomodifikasi dan

    hiperdiferensiasi), seluruh ranah kehidupan dipenetrasi oleh komodifikasi.

    Berangkat dari pemikiran-pemikiran ini, Barker mengartikan komodifikasi sebagai

    proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas dan tanda

    dijadikan sebagai komoditas, di mana komoditas adalah sesuatu yang tujuan

    utamanya adalah untuk dijual di pasar. (Barker, 2004: 408).

    2.2.4 Konsep Hombobatu Sebagai Daya Tarik Wisata

    Hombo batu merupakan dua suku kata dalam bahasa Nias, khususnya

    dialek Nias Selatan. Kata hombo sendiri tidak memiliki makna apa-apa atau tidak

    dapat berdiri sendiri bila tidak terdapat kata imbuhan atau suatu kata yang

    mengikutinya. Sama halnya kata layang dalam bahasa Indonesia yang sulit

    diartikan bila tidak terdapat kata imbuhan seperti melayang yang berarti terbang

    dengan sayap tidak bergerak atau terbang karena dihembus angin.

    2 Pemikiran Baudrillard ini terdapat dalam tulisan Barker dalam buku Cultural Studies: Teori dan Praktik, 2004, hal. 111.

  • 24

    (http://kbbi.web.id/layang). Menurut penulis kamus Li Niha, Apollo Lase3, hombo

    merupakan kata dasar dari mohombo yang artinya terbang. Lase menjelaskan

    bahwa beberapa kata dalam bahasa Nias memang tak bisa sebangun dengan bahasa

    Indonesia. Li Niha (bahasa Nias) selalu atau hampir semua ditandai dengan awalan

    mo-. Misalnya, mofan yang berarti pergi berasal dari kata fan. Kata fan tidak

    memiliki arti dalam bahasa Nias. Demikian juga kata hombo sulit diartikan bila

    tidak terdapat imbuhan atau terdapat kata yang mengikutinya. Sedangkan batu

    merupakan dialek Nias Selatan dari kata kara dalam bahasa Nias Tengah dan Nias

    Utara yang memiliki arti sama dengan bahasa Indonesia yakni batu.

    Menurut kamus Nias-Indonesia yang disusun oleh Sitasi Zagt (2010),

    hombo batu diartikan sebagai olah raga tradisional di Nias, yaitu melompati batu

    bersusun yang tingginya 2,5 meter (Zagt, 2010: 90). Senada dengan apa yang

    dikatakan oleh Lase, kata hombo juga tidak diterangkan oleh Zagt. Dalam

    tulisannya, Zagt hanya memberikan keterangan n (noun atau kata benda) pada

    kata hombo namun tidak menjelaskan artinya. Dari kata hombo, Zagt langsung

    menjelaskan beberapa kata yang berkaitan, seperti hombo batu, homboi (lompati,

    lampaui), fahombo (melompat tinggi), muhombo dalam dialek Nias Selatan sama

    dengan mohombo dalam dialek Nias Tengah dan Nias Utara yang berarti terbang.4

    Menurut Hikayat Mana, budayawan Nias yang sangat dikenal dalam

    pariwisata dan budaya Nias Selatan, latar belakang hombo batu di Maenaml,

    dimulai karena perang sering terjadi antar-desa. Hombo batu didirikan sebagai

    3 Komunikasi melalui BBM (blackberry messenger) pada hari Senin, 01 April 2013. 4 Nias Selatan memiliki dialek bahkan bahasa yang berbeda dengan Nias Utara atau Nias Tengah. Oleh karena itu, kamus Li Niha yang ditulis oleh Apollo Lase lebih condong ke bahasa Nias Utara sedangkan kamus yang ditulis oleh Zagt identik dengan dialek atau bahasa Nias Selatan (Li Niha Raya).

  • 25

    patokan untuk setiap pemuda dalam rangka untuk dipersiapkan sebagai seorang

    patriot untuk dikirim ke medan perang. Pada kesempatan lain, Emanuel Fau

    mengatakan bahwa pada mulanya para pemuda begitu tertarik dan tertantang untuk

    dapat berhasil melompati batu tersebut oleh karena setiap orang yang berhasil

    melompati batu tersebut sebanyak tiga kali akan diberikan penghargaan (fondrak)

    yang disertai pemotongan beberapa ekor babi dan dimahkotai emas (rai anaa)

    oleh Raja atau Bangsawan (Siulu Mbanua) di desa tersebut dan akan dijadikan

    prajurit pilihan di medan perang.

    Dewasa ini hombo batu tidak lagi sebagai ajang latihan ketangkasan prajurit

    perang semata. Mana menuturkan bahwa seiring dengan kesadaran dunia akan

    pentingnya perdamaian yang disertai perkembangan pendidikan, maka perang antar

    suku atau desa mulai memudar. Hombo batu pun mulai beralih fungsi sebagai salah

    satu sarana olah raga bagi para pemuda Nias Selatan. Lebih jauh Mana

    mengatakan bahwa situasi ini sangat kondusif untuk mengundang Sultan

    Hamengkubuwono IX melakukan kunjungan ke Nias pada tahun 1974. Melihat

    potensi pulau Nias dengan budaya yang unik, mendorong Sultan

    Hamengkubuwono IX untuk mempromosikan Nias sebagai tujuan wisata.

    Mana bercerita bahwa pada 1980-an, sering kapal pesiar berhenti di

    pelabuhan Teluk Dalam dan Lagundri. Dalam dekade yang sama, diadakan acara

    yang bernama Pesta Ya'ahowu. Kata pesta diadopsi dari Bahasa Indonesia yang

    berarti perayaan yang di dalamnya dilakukan acara makan dan minum serta hiburan

    (Novia, 2004: 347). Kata Ya'ahowu berasal dari bahasa Nias yang berarti selamat

    datang, terberkatilah atau berkat Tuhan bersamamu (Zagt, 2010: 200). Para

  • 26

    Gambar 2.1 Lompat Batu Pulau Nias pada mata uang Rp. 1000

    pengrajin lokal beserta kerajinan tangan mereka dipamerkan dan dijual di sini.

    Salah satu dari atraksi unik dan menantang pada acara ini meliputi hombo batu,

    yang diperlombakan baik secara individu dan tim dari berbagai desa di Nias

    Selatan.

    Pulau Nias semakin dikenal oleh wisatawan domestik dan wisatawan asing.

    Bahkan peluncuran Visit Indonesia Year 1991 yang dicanangkan oleh Presiden

    Soeharto pada saat itu, menarik perhatian wisatawan dari berbagai negara untuk

    berkunjung ke Nias. Pemerintah dan masyarakat Nias pada umumnya dan terlebih

    masyarakat Nias Selatan sangat gembira dengan kemajuan ini. Hombo batu yang

    merupakan andalan dari pertunjukan dan hanya satu di dunia ini, diabadikan dalam

    nominal Rp. 1000 yang diterbitkan pada tahun 1992.

    2.3 Landasan Teori

    Sebagaimana diungkapkan oleh Denzin & Lincoln (2009), landasan teori

    dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai kenyataan di lapangan.

    Selain itu, Denzin et al menambahkan bahwa landasan teori juga bermanfaat untuk

    memberikan gambaran umum tentang latar belakang penelitian dan sebagai bahan

    pembahasan hasil penelitian. Demikian juga dalam penelitian ini, menggunakan

  • 27

    dua pendekatan teori yang dianggap relevan yakni teori komodifikasi dan teori

    dekonstruksi.

    2.3.1 Teori Komodifikasi

    Teori komodifikasi gejalanya dapat dirujuk dari pemikiran Karl Max dan

    George Simnel (dalam Turner 1992: 115) yang sepakat bahwa akibat ekonomi

    uang yang berdasarkan atas semangat menciptakan keuntungan sebanyak-

    banyaknya mengakitbatkan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor

    kehidupan. Komodifikasi memunculkan budaya populer yang berawal dari

    konsumsi massa, masyarakat konsumenlah sebagai penyebabnya. Baudrillard

    (dalam Barker, 2004: 111) berpendapat bahwa objek dalam masyarakat konsumen

    tidak lagi dibeli demi nilai guna, melainkan sebagai komoditas-tanda dalam suatu

    masyarakat yang ditandai oleh komodifikasi yang semakin meningkat. Pandangan

    Baudrillard ini ditambahkan oleh Barker bahwa bagian konsumsi yang lebih besar

    adalah konsumsi tanda, yang melekat pada pertumbuhan komoditas-kebudayaan,

    pemasaran celah pasar tertentu dan penciptaan gaya hidup.

    Teori komodifikasi diperlukan untuk menganalisis gejala yang terjadi pada

    hombo batu di mana secara fungsi telah bergeser dari fungsinya semula kepada

    perubahan ke arah komoditas. Pergeseran fungsi ini terjadi oleh karena hombo batu

    memiliki daya tarik tersendiri yang menjadi icon pariwisata di Teluk Dalam karena

    atraksi ini sangat unik dan tidak terdapat atraksi sejenis di belahan dunia manapun.

    Beberapa atraksi pendukung seperti ritual dan tari-tarian sering dikemas dalam satu

    paket atraksi budaya di daerah Nias Selatan. Wisatawan domestik dan manca

    negara biasanya disuguhi paket ini bila berkunjung ke salah satu desa adat di sana.

  • 28

    2.3.2 Teori Dekonstruksi

    Menurut Sugiharto (1996: 43-44), istilah dekonstruksi awalnya digunakan

    oleh Heidgger yang mengatakan bahwa konstruksi dalam filsafat itu dengan

    sendirinya harus serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep-konsep tradisional

    dengan cara justru kembali ke tradisi. Namun seperti yang kita ketahui, istilah

    dekonstruksi justru identik dengan karya-karya Jacques Derrida. Kutha Ratna

    (2005: 250) menjelaskan dekonstruksi dari akar kata de + construction (Latin).

    Pada umumnya prefix de berarti: ke bawah, pengurangan, terlepas dari.

    Constructio berarti: bentuk, susunan, hal-hal menyusun, hal mengatur. Dengan

    demikian, Kutha Ratna mengartikan dekonstruksi sebagai pengurangan atau

    penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku.

    Barker (2004: 79-80) juga mengakui bahwa Derrida banyak dihubungkan

    dengan praktik dekonstruksi. Barker menjelaskan sedikit tentang mendekonstruksi

    yang berarti memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan

    asumsi suatu teks. Lebih jauh dikatakan bahwa secara khusus, dekonstruksi

    melibatkan pelucutan oposisi biner hierarkis semisal tuturan/tulisan,

    realitas/kenampakan, alam/kebudayaan, nalar/kegilaan, dan lain-lain, yang

    berfungsi menjamin kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi

    bagian inferior oposisi biner tersebut. Menurut Barker, dekonstruksi Derrida

    berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks, asumsi yang tak diketahui

    dan menjadi landasan kerja mereka, termasuk tempat di mana suatu strategi retoris

    teks melawan logika argumennya sendiri, yaitu ketegangan antara apa yang ingin

    dikatakan suatu teks dengan kendala atas pengungkapan itu. Dicontohkannya,

  • 29

    Saussure mengklaim bahwa hubungan antara penanda dengan petanda bersifat

    arbitrer. Namun, dalam mendekonstruksi tulisan Saussure, Derrida mencoba

    menunjukkan bahwa teks ini beroperasi dengan logika yang berbeda di mana

    tuturan diistimewakan di atas tulisan dan karakter arbitrer tanda secara implisit

    dikesampingkan.

    Paparan Barker di atas menyimpulkan suatu definisi olehnya mengenai

    istilah dekonstruksi sebagai berikut:

    Dekonstruksi: memisahkan, membongkar, untuk menemukan dan menelanjangi berbagai asumsi, strategi retoris dan ruang kosong teks. Pengungkapan oposisi biner hierarkis seperti realitas/penampakan, alam/kebudayaan, nalar/kegilaan, untuk menunjukkan: (a) suatu bagian dari pasangan biner tersebut dipandang tidak penting; (b) bahwa pasangan biner tersebut menjamin kebenaran; (c) bahwa masing-masing bagian dari pasangan biner tersebut saling berdampak. (Barker, 2004: 402-403). Piliang semakin memperkaya keterangan akan istilah dekonstruksi yang

    dikembangkan oleh Derrida ini. Menurut Piliang (2012: 121), dekonstruksi adalah

    sebuah istilah, yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru dalam filsafat,

    strategi intelektual, atau model pemahaman5. Lebih jauh dijelaskan bahwa

    dekonstruksi adalah penyangkalan akan oposisi ucapan/tulisan, ada/tak ada,

    murni/tercemar dan penolakan akan kebenaran dan logos itu sendiri (Piliang, 2003:

    126).

    Teori dekonstruksi ini sangat relevan dengan beberapa istilah dan makna

    secara filosofis yang beredar di dalam masyarakat Nias secara menyeluruh dengan

    makna yang disampaikan dan diartikan oleh penduduk Nias sendiri dan orang-

    5 Buku karya Yasraf Amir Piliang ini berjudul SEMIOTIKA DAN HIPERSEMIOTIKA: Kode, gaya & matinya makna, edisi 4 oleh penerbit Matahari, 2012. Istilah dekonstruksi dapat dijumpai juga pada buku Piliang edisi sebelumnya yang diterbitkan oleh Jalasutra dengan judul HIPERSEMIOTIKA: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, 2003, hal. 125.

  • 30

    orang yang berkunjung ke Nias, utamanya dalam penjelasan makna-makna

    filosofis atraksi hombo batu dan atribut serta atraksi pendukung lainnya yang

    dikemas dalam suatu paket wisata. Contoh makna hombo batu yang begitu

    populer di media seperti yang ditulis oleh Hernasari berikut ini:

    Di Pulau Nias, Sumatera Utara, ada tradisi yang tidak boleh Anda lewatkan jika berlibur ke sana. Saksikanlah hombo batu, tradisi lompat batu setinggi 2 meter untuk para pemuda. Mereka belum boleh menikah, jika belum lulus ujian ini.6

    Tulisan Hernasari ini seolah-olah merupakan kebenaran nyata yang terjadi

    di Nias secara menyeluruh. Apalagi pada paragraf ke enam tulisannya begitu

    meyakinkan pembaca bahwa apa yang disaksikannya adalah benar adanya dengan

    menulis seperti berikut:

    Uniknya, pemuda yang akan menikah diharuskan lulus ujian lompat batu ini. Karena setiap pemuda yang berhasil melompati batu dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik. Jika belum berhasil, maka ia belum dinilai dewasa dan belum diizinkan menikah. Menantang bukan?7

    Cuplikan artikel tersebut, kelihatannya menarik, unik dan menantang.

    Namun, pemaknaan secara filosofis yang sesungguhnya perlu diluruskan. Menurut

    para orang tua di beberapa desa di Maenaml, seperti di Desa Bawmataluo,

    Hilisimaetan, Hiliamaetaniha dan beberapa desa adat lainnya yang dirangkum

    oleh budayawan Nias: Hikayat Mana, bahwa Latar belakang hombo batu di

    Teluk Dalam, dimulai karena perang sering terjadi antar-desa. Lompat batu di

    Teluk Dalam didirikan sebagai patokan untuk setiap orang dalam rangka untuk

    6 Sumber: http://travel.detik.com/read/2011/12/21/141329/1796636/1025/di-nias-tidak-boleh-nikah-kalau-belum-bisa-lompat-batu Hernasari, Putri Rizqi. 2011. Di Nias, Tidak Boleh Nikah Kalau Belum Bisa Lompat Batu. Rabu, 21/12/2011 14:13:29 WIB.

    7 Tulisan yang sama juga diposting dan bias dilihat di http://forum.vivanews.com/aneh-dan-lucu/258104-di-nias-tidak-boleh-nikah-kalau-belum-bisa-lompat-batu.html

  • 31

    dipersiapkan sebagai seorang patriot untuk dikirim ke medan perang." Artinya,

    batu ini sebagai sarana untuk berlatih secara tangkas dalam melompati pagar-pagar

    atau rintangan yang mungkin dialami di medan perang. Dengan latihan secara

    rutin, para pemuda akan semakin kuat secara fisik dan siap menjadi patriot bagi

    desanya bila ada ancaman dari luar atau desa lain.

    2.4 Model Penelitian

    Untuk memudahkan pemahaman terhadap permasalahan dalam penelitian

    ini, maka secara singkat dapat dijelaskan bahwa hombo batu merupakan suatu

    atraksi budaya di daerah Maenamolo, khususnya Desa Bawmataluo. Desa

    Bawomataluo secara administratif terletak di Kecamatan Fanayama, dalam

    pemerintahan daerah Kabupaten Nias Selatan. Keunikan atraksi budaya ini menarik

    perhatian berbagai kalangan, terutama wisatawan baik domestik maupun

    mancanegara, yang tertarik dengan atraksi budaya, sehingga hombo batu ini

    termasuk dalam golongan pariwisata budaya. Ketika ranah budaya dijadikan

    sebagai atraksi wisata, maka terjadi komodifikasi budaya. Hal ini juga terjadi pada

    atraksi hombo batu di Desa Bawmataluo.

    Peneliti berfokus pada empat pokok permasalahan dalam komodifikasi

    atraksi hombo batu di Desa Bawmataluo ini, yakni: Faktor-faktor apa saja

    penyebab terjadinya komodifikasi terhadap pertunjukan hombo batu, adakah

    pergeseran bentuk, fungsi dan makna hombo batu, kondisi komponen-komponen

    pariwisata di Nias Selatan, terutama di Desa Bawmataluo (apakah sudah sesuai

    dengan standar yang seharusnya?), dan dampak dari komodifikasi hombo batu

    terhadap kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya di desa tersebut. Agar

  • 32

    pemahaman terhadap komodifikasi hombo batu lebih jelas, beberapa konsep

    digunakan dalam penelitian ini antara lain, konsep pariwisata dan destinasi wisata,

    konsep pariwisata budaya, konsep komodifikasi dan konsep hombo batu sebagai

    daya tarik wisata.

    Sebagai karya ilmiah, penelitian ini menggunakan landasan teori yang

    relevan dengan topik yang dibahas. Dua landaran teori yang dipergunakan dalam

    penelitian ini, yaitu teori komodifikasi dan teori dekonstruksi. Kedua teori ini

    dipergunakan untuk melandasi beberapa pokok permasalahan yang dibahas,

    sehingga relevan dan terbentuk menjadi karya ilmiah yang utuh. Pokok

    permasalahan yang dikemukakan, dianalisa secara deskriptif kualitatif. Hasil dari

    analisis ini akan direkomendasikan kepada pemerintah kabupaten Nias Selatan

    selaku pembuat kebijakan di daerah destinasi wisata dan kepada pemangku

    kepentingan (stake holders) dalam pariwisata budaya. Diharapkan hasil penelitian

    ini dalam bentuk saran dan rekomendasi, dapat bermanfaat bagi pengembangan

    pariwisata budaya, khususnya di Desa Bawmataluo. Pola dalam penelitian ini

    dapat dilihat pada model gambar berikut:

  • 33

    Gambar 2.2 Model Penelitian

    KOMODIFIKASI ATRAKSI HOMBO BATU DI DESA

    BAWMATALUO

    Masalah: 1. Faktor-Faktor Penyebab Komodifikasi Hombobatu 2. Pergeseran Bentuk, Fungsi dan Makna Hombobatu 3. Komponen-Komponen Pariwisata di Bawmataluo 4. Dampak Komodifikasi terhadap Sosial Ekonomi dan

    Sosial Budaya.

    Teori: 1. KOMODIFIKASI

    2. DEKONSTRUKSI

    ANALISIS DESKRIPSI KUALITATIF

    REKOMENDASI

    Konsep: 1. Pariwisata dan Destinasi Wisata 2. Pariwisata Budaya 3. Komodifikasi 4. Hombo batu sebagai Daya Tarik

    Wisata

    PEMERINTAH KABUPATEN NIAS SELATAN

    PARIWISATA

    BUDAYA