bab ii kajian pustaka 2.1 pelatihan fisik 2.1.1 ... - unud
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pelatihan Fisik
2.1.1 Prinsip-Prinsip Pelatihan Fisik
Prinsip pelatihan adalah suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis,
dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif yang harus ditaati
dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan (Nala, 2011). Tanpa adanya
prinsip dan pedoman yang harus diikuti oleh pelatih dan atlet, baik mulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi, maka akan sulit mencapai hasil
yang maksimal. Selain itu hasil pelatihan juga ditentukan oleh beberapa faktor
lainnya seperti umur, berat badan, jenis kelamin, faktor lingkungan, sosial budaya
dan motivasi ketika berlatih.
Dasar pelatihan fisik mengandung 7 prinsip (Nala, 2011), yaitu :
a. Prinsip Aktif dan Bersungguh-sungguh dalam Mengikuti Pelatihan
Setiap atlet dituntut selalu bertindak secara aktif dan tidak pasif saat
melakukan latihan fisik. Disiplin latihan dengan kseungguhan hati. Bila
ingin menjadi atlet yang berprestasi, maka modal utama adalah kemauan,
disiplin dan pengembangan diri. Tanpa modal ini kita jangan
mengharapkan prestasi yang maksimal dari atlet tersebut.
b. Prinsip Pengembangan Multilateral
Pelatihan pembekalan dasar-dasar kebugaran fisik dan komponen
biometrik harus diberikan pada pembekalan pertama. Sesudah pembekalan
10
ini dipahami dan mampu dilakukan dengan baik barulah dilanjutkan
dengan pembekalan yang spesifik sesuai dengan bidang olahraga yang
disenanginya. Ada sepuluh komponen biomotorik yang dikenal dalam
dunia olahraga, yakni kekuatan otot, daya tahan, kecepatan, kelincahan,
daya ledak, kelentukan, kecepatan, ketepatan, keseimbangan, dan
kordinasi.
c. Prinsip Spesialisasi
Sesudah pelatihan pengembangan multilateral dilatih dan dipahami betul
barulah dilakukan pelatihan pengembangan khusus atau spesialisasi sesuai
dengan cabang olahraga yang disenanginya. Pelatihan spesialisasi baru
dimulai setelah disesuaikan dengan kondisi individu baik umur maupun
antomi yang cocok untuk cabang olahraga yang akan dipilih oleh anak-
anak yang masih memasuki usia pertumbuhan atau atlet prestasi.
d. Prinsip Individualisasi
Setiap orang memiliki kemampuan, potensi, karakter belajar dan
spesifikasi dalam olahraga yang berbeda antara masing-masing individu.
Oleh sebab itu pelatihan yang dilakukan akan berbeda dan tidak mungkin
pelatihan diseragamkan untuk seluruh atlet.
e. Prinsip Variasi atau Keseragaman
Pelatihan yang bersifat monoton akan sangat membosankan. Oleh sebab
itu diperlukan variasi dalam latihan tersebut. Variasi dalam pelatihan harus
tetap mengacu pada tujuan pelatihan karena variasi latihan yang
11
menyimpang dari tujuan pelatihan akan memberikan hasil yang berbeda
dari apa yang diharapkan.
f. Prinsip Menggunakan Model Proses Pelatihan
Prinsip ini adalah dengan menggunakan simulasi, misalnya dengan
mengayunkan kaki seolah-olah akan menendang bola dengan posisi kaki
tertentu ke arah tertentu.
g. Prinsip Peningkatan Beban Progresif dalam Pelatihan
Pada pelatihan beban latihan dimulai dengan beban awal yang ringan yang
kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan atlet
atau diawali dengan gerakan sederhana yang kemudian ditingkatkan
menjadi gerakan yang semakin rumit.
2.1.2 Fase-fase Pelatihan Fisik
a. Fase Pemanasan
Pemanasan dan peregangan harus dilakukan semua orang sebelum
melakukan latihan fisik. Sistem tubuh saat istirahat berada dalam keadaan
tidak begitu aktif. Hal ini menyebabkan tubuh memerlukan waktu
beberapa menit untuk dapat beradaptasi dari sikap pasif menjadi aktif
sebelum saat akan memulai latihan. Tujuan untuk dilakukan pemanasan
adalah untuk mempersiapkan organ tubuh agar dapat bekerja dalam tingkat
efisiensi yang tinggi sewaktu berlatih. Suhu tubuh akan meningkat,
terutama suhu otot skeletal akan meningkat dengan cepat yang juga diikuti
dengan peningkatan aliran darah dan oksigen ke otot skeletal. Selain itu
pemanasan juga akan merangsang aktivitas sistem saraf, hormon, kinerja
12
sel jantung, paru, dan pembuluh darah (Plowman dan Smith, 2008;
Cossabon, 2010; Pangkahila, 2011a; Sharkey, 2011;).
Proses pemanasan ini sebenarnya terjadi berawal dari bagian
korteks otak. Untuk mengantisipasi gerakan waktu pemanasan, saraf
simpatis dirangsang yang menyebabkan terjadi vasodilatasi atau pelebaran
pembuluh darah di seluruh otot skeletal. Sedangkan bila aktivitas
sesungguhnya telah dimulai akan terjadi vasokontriksi pada otot skeletal
yang tidak bekerja dan tetap terjadi vasodilatasi di otot skeletal yang
berkontraksi (Nala, 2011). Lamanya waktu untuk melakukan pemanasan
dan peregangan ini adalah berkisar 10 – 15 menit atau denyut nadi
meningkat antara 30 – 40 kali permenit dibandingkan dengan denyut nadi
istirahat (Pangkahila, 2009; Nala, 2011).
b. Fase Latihan
Pada fase latihan, organ tubuh seperti otot, jantung dan paru sudah
siap untuk melakukan aktivitas fisik yang cukup mulai dari ringan, sedang
sampai berat yaitu mulai dari (65% - 85% ) X Denyut Nadi Maksimal
(DNM=220-umur). Lamanya waktu yang dianjurkan untuk melakukan
latihan olahraga adalah antara 15 – 60 menit untuk semua latihan olahraga
(Nala, 2011). American College of Sport Medicine menganjurkan fase
latihan dilakukan minimum 20 menit dan disesuaikan dengan intensitas
latihan.
13
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
0 5 10 20 30 40
DURATION (MINUTE)
THE PHASES OF AEROBIC TRAINING
(Sharkey, 1977; 2003)
H
E
A
R
T
R
A
T
E W - U TRAINING SESSION C - D
Gambar 2.1
Fase-Fase Pelatihan Erobik berdasarkan Durasi dan Denyut Nadi sesuai
dengan Tahap Pemanasan (WU), Sesi Latihan (training session) dan
Pendinginan (CD) (Sharkey, 2011).
Bila intensitas latihannya berat, maka waktu latihan lebih pendek
dan sebaliknya bila intensitas latihannya ringan, maka waktu latihan lebih
panjang. Lama dan intensitas latihan yang berlebihan akan menyebabkan
14
terjadinya over training (pelatihan berlebih) yang berbahaya terhadap
orang yang melakukan latihan tersebut. Keadaan ini disebabkan karena
pelatihan yang dilakukan telah melampaui kapasitas latihan yang makin
lama akan makin menurun sesuai dengan peningkatan umur. Keadaan
seperti ini tidak jarang dialami juga oleh para pekerja yang mirip dengan
pelatihan berlebih yang dikenal dengan kerja berlebih (over-working)
(Adiputra, 1998 ).
c. Fase Pendinginan
Pendinginan dilakukan setelah selesai melakukan latihan fisik.
Tujuan dilakukan pendinginan adalah untuk menarik kembali darah
secepatnya yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke
peredaran darah sentral. Selain itu pendinginan juga dapat membersihkan
asam laktat yang terdapat dalam otot dan darah. Pada suatu penelitian
menunjukkan bahwa kadar asam laktat akan hilang dari dalam darah
sebanyak 50% setelah 15 menit, 75% setelah 30 menit dan 100% setelah 1
jam (Nala, 2011).
Berdasarkan cepatnya asam laktat diubah maka, lamanya waktu
pendinginan yang diperlukan setelah melakukan latihan adalah 15 menit
sampai 60 menit. Lamanya waktu pendinginan juga tergantung pada
kelembaban, suhu lingkungan, umur, tingkat kebugaran dan berat
ringannya latihan fisik yang dilakukan sebelumnya (Nala, 2011).
Bentuk pendinginan yang biasa dilakukan adalah dengan istirahat
aktif. Atlet tidak duduk atau berdiri pasif, tetapi melakukan gerakan ringan
15
seperti jalan-jalan atau menggerak-gerakkan tubuh serta anggota tubuh
atas dan bawah secara ringan (Nala, 2011).
2.1.3 Pengaruh Pelatihan Fisik terhadap Organ Tubuh
2.1.3.1 Sistem Kardiovaskular
Pelatihan fisik yang dilakukan secara teratur akan mengurangi beban kerja
jantung. Jantung lebih efisien dalam memompa darah karena kemampuan
kontraksi otot jantung dengan pemanfaatan oksigen yang lebih rendah. Setiap kali
memompa darah volume yang dikeluarkan lebih banyak untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan tubuh, sehingga dalam semenit denyut jantung
seorang yang terlatih lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak terlatih
(Pollock dkk., 1984; Sharkey, 2011).
Ukuran jantung pada orang yang terlatih juga lebih besar. Terjadi
peningkatan volume ventrikel kiri yang memungkinkan volume sekuncup yang
lebih besar. Individu yang melakukan latihan beban jangka panjang mungkin
mengalami peningkatan ketebalan otot jantung karena jantung berusaha
memompa darah melawan hambatan otot yang berkontraksi. Jantung yang
membesar adalah konsekuensi alamiah dari olahraga (Sharkey, 2011).
2.1.3.2 Sistem Respirasi
Pelatihan fisik akan meningkatkan efisiensi pernafasan. Volume residu
akan meningkat pada usia lanjut dan pada orang yang pasif yang pada akhirnya
akan menurunkan kapasitas latihan. Latihan akan mengurangi volume residu dan
selanjutnya meningkatkan kapasitas tanpa mengubah ukuran paru-paru.
16
Individu yang tidak terlatih akan memerlukan frekuensi pernafasan lebih
banyak dibandingkan dengan orang yang terlatih. Pernafasan yang lebih lambat
dan dalam lebih efisien karena kemungkinan lebih banyak udara yang mencapai
alveoli paru dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Latihan fisik
akan meningkatkan difusi oksigen dari paru-paru ke dalam darah. Oleh karena itu
maka saat melakukan pelatihan fisik perlu dipantau juga saturasi oksigen di dalam
darah yang normalnya sekitar 95% - 100% (Pulse Oximeter, 2011). Bila saat
melakukan olahraga seharusnya organ tubuh termasuk organ respirasi,
kardiovaskular, neuromuskoskeletal, dan organ lainnya bekerja sesuai dengan
aktivitas tubuh. Sebaliknya aktivitas tubuh harus menyesuaikan dengan
kemampuan tubuh termasuk fungsi organ tubuh termasuk fungsi respirasi. Oleh
karena itu maka saturasi oksigen penting untuk dipantau untuk mengetahui
keseimbangan fungsi respirasi terhadap aktivitas fisik (Pollock dkk., 1984;
Plowman dan Smith, 2008).
2.1.3.3 Otot
Latihan fisik memiliki efek terhadap otot sebagai berikut :
• Latihan fisik meningkatkan konsentrasi enzim yang dibutuhkan
untuk menguraikan metabolisme karbohidrat dan lemak untuk
menghasilkan energi dalam bentuk ATP
• Latihan fisik meningkatkan ukuran dan jumlah mitokondria sebagai
pembangkit tenaga sel untuk menghasilkan energi.
• Latihan fisik meningkatkan kemampuan otot untuk menggunakan
lemak sebagai sumber tenaga
17
• Latihan fisik meningkatkan ukuran serat otot
• Latihan fisik meningkatkan kandungan mioglobin dalam serat
ototyang berguna membawa oksigen dari sel ke mitokondria
• Latihan fisik meningkatkan jumlah pembuluh darah kapiler yang
mengalirkan ke darah ke otot.
2.1.3.4 Sistem Endokrin
Ada beberapa keuntungan yang didapatkan dari latihan fisik secara teratur
dan ternyata ada hubungannya dengan sembilan hormon yaitu hormon
pertumbuhan (Growth Hormone), testosteron, estrogen, tiroksin, epineprin,
insulin, adrenalin, glukagon dan endorfin (Landry, 2002; Safarinejard dkk., 2009).
a. Hormon pertumbuhan atau Growth Hormone (GH)
Hormon ini merangsang sintesis protein (perkembangan dan tonus
otot), kekuatan tulang, tendon, ligamen, dan kartilago. Selain itu hormon GH
juga menurunkan penggunaan glukosa dan meningkatkan penggunaan lemak
sebagai bahan bakar selama melakukan aktivitas fisik termasuk olahraga. Bila
melakukan aktivitas fisik lama, hormon pertumbuhan akan mampu
mengurangi lemak tubuh tanpa menurunkan kadar glukosa dalam darah.
Pengeluaran GH dari hipofise dapat ditingkatkan dengan meningkatkan waktu
latihan erobik tetapi harus intensif antara lain dengan pelatihan interval.
b. Testosteron
Pelatihan fisik memegang peranan penting pada pengaturan
pengeluaran testosteron. Sebaliknya juga testosteron memegang peranan
penting untuk pembentukan tubuh dan semangat pada saat seseorang
18
melakukan aktivitas fisik baik saat olahraga maupun melakukan
pekerjaannya.
Penggunaan testosteron yang salah dan jelas tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmiah dan justru menyesatkan dan dapat menyebabkan efek
yang tidak sehat banyak terjadi di tempat-tempat pelatihan olahraga.
Penggunaan ini dengan tujuan untuk meningkatkan penampilan yang
berotot besar.
Selain itu ada juga penggunaan testosteron di tempat-tempat
tradisional yang menjanjikan dapat meningkatkan potensi seksual dan ini
sudah menyebar di berbagai daerah (Pangkahila, 1992; Pangkahila,
2011b). Keadaan ini sudah jelas tanpa pengawasan dokter yang betul-betul
memahami tentang olahraga, hormone dan penanganan masalah seksual
(Pangkahila, 2010b; Pangkahila, 2011a).
Penggunaan testosteron yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmiah ini dapat mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan hormon.
Ketidak seimbangan ini dapat mengganggu fungsi reproduksi, fungsi
seksual dan mempercepat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2007;
Pangkahila, 2008; Pangkahila, 2009; Pangkahila, 2010a; Pangkahila,
2011c). Keadaan ini tidak sedikit dialami oleh para pria yang melakukan
pelatihan kebugaran fisik di pusat-pusat kebugaran dan pengobatan
tradisional di berbagai daerah di tanah air (Landry, 2002; Jones, 2008;
Pangkahila, 2011a). Kesalahan penanganan seperti ini akan berakibat pada
proses penuaan secara dini sebab terjadi kekacauan hubungan antar
19
hormon di dalam tubuh yang secara alamiah sudah diatur dengan
mekanime hipotalamo-hipofise-organ target.
Testosteron adalah hormon yang penting baik bagi pria maupun
wanita untuk mempertahankan tonus dan volume otot, meningkatkan
basal metabolisme , menurunkan lemak tubuh, dan meningkatkan percaya
diri (self-confidence). Testosteron amat penting untuk meningkatkan
potensi seksual baik pada pria maupun pada wanita.
Penurunan testosteron pada pria dan wanita akan nampak bila
sudah memasuki masa menopause pada wanita dan andropause pada pria.
Namun demikian kadar testosteron akan meningkat selama melakukan
olahraga pada 20 menit pertama dan akan bertahan selama satu sampai tiga
jam sesudah melakukan olahraga. Oleh karena itu maka pengaturan pola
hidup termasuk olahraga yang terprogram dengan benar akan mampu
mengoptimalkan kadar testosteron di dalam tubuh kita (Landry, 2002).
c. Estrogen
Estrogen, 17 beta estradiol berfungsi meningkatkan penghancuran
lemak dari lemak tubuh untuk dijadikan energi, meningkatkan basal
metabolisme, meningkatkan perasaan nyaman dan meningkatkan libido.
Estrogen juga mengoptimalkan jumlah darah pada wanita dan estrogen
menurun pada wanita yang menopause. Pelatihan fisik akan mampu
meningkatkan 17 beta estradiol sesudah 1 sampai 4 jam latihan.
20
d. Tiroksin (Thyroxine) (T4)
Hormon ini diproduksi di kelenjar tiroid. Tiroksin meningkatkan
metabolisme seluruh sel di dalam tubuh dan peningkatan metabolisme ini
akan meningkatkan perasaan energetik dan akibatnya akan mengeluarkan
kalori yang akan menurunkan berat tubuh. Selain itu peningkatan tiroksin
dalam darah akan mencapai 30% selama melakukan latihan fisik dan akan
bertahan selama beberapa jam sesudah melakukan latihan. Bila seseorang
melakukan olahraga secara teratur maka akan meningkatkan tiroksin pada
saat istirahat.
e. Epinefrin
Epinefrin diproduksi oleh kelenjar adrenalis bagian medula
berfungsi meningkatkan pemompaan volume darah oleh jantung sesuai
dengan kebutuhan organ tertentu. Selain itu epinefrin juga merangsang
penghancuran glikogen pada otot-otot yang aktif dan hati untuk
dipergunakan sebagai bahan bakar tubuh. Produksi epinefrin oleh kelenjar
adrenalin sesuai dengan intensitas dan lama latihan.
f. Insulin
Insulin berfungsi untuk mengatur atau menurunkan kadar glukosa
darah dan secara tidak langsung mengatur asam lemak dan asam amino ke
dalam sel. Insulin diproduksi oleh kelenjar pankreas dan sekresinya
dirangsang oleh peningkatan kadar gula darah dan asam amino. Keadaan
ini biasanya terjadi sesudah makan karbohidrat atau gula. Respon insulin
yang berlebihan akan menyebabkan pembentukan asam lemak di dalam
21
sel. Oleh karena itu maka insulin seringkali disebut hormon lemak (fat
hormone). Kebanyakan orang yang kelebihan berat badan mengalami
resisten terhadap insulin sehingga memerlukan insulin tambahan untuk
memberikan efek yang sama. Keadaan ini akan meningkatkan kadar
insulin lebih dari pada normal. Oleh karena itu maka perlu dilakukan
pelatihan erobik yang teratur untuk menurunkan berat badannya. Aktivitas
pelatihan erobik ini dalam waktu 10 menit sampai 70 menit akan
menurunkan kadar insulin darah. Selain itu pelatihan yang dilakukan
secara teratur akan meningkatkan kepekaan sel terhadap insulin saat
istirahat.
g. Glukagon
Glukagon disekresi oleh kelenjar pankreas, tetapi fungsinya
berlawanan dengan insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Bila
kadar gula darah menurun maka hormon glukagon akan meningkatkan
kadar glukosa darah melalui peningkatan glukoneogenesis di hati agar
kadar glukosa darah normal kembali. Selain itu juga menyebabkan
pemecahan lemak untuk bahan bakar. Pelatihan fisik dalam waktu 30
menit mampu merangsang pengeluaran glukagon untuk mengatasi kadar
glukosa yang menurun (Landry, 2002).
2.1.4 Program Pelatihan Fisik Seimbang berdasarkan FITT
Program pelatihan yang sering dilakukan oleh para pelatih di berbagai
bidang olahraga hampir sebagian besar berdasarkan berbagai program, tetapi yang
22
amat menyolok ialah berpola pada pengalaman masa lalu pelatih saat masih
menjadi olahragawan prestasi (Heyward, 2006; Nala, 2011; Pangkahila 2013;).
Yang lebih masalah lagi ialah bila bekas pelatih tersebut menjadi pelatih para
peserta latihan yang bukan untuk prestasi tetapi kelompok yang sekedar hanya
untuk menjaga kesehatan dan kebugaran misalnya untuk para kelompok lansia.
Berbagai pelatihan fisik yang tidak berdasarkan FITT seimbang akan
menimbulkan berbagai dampak bagi kesehatan dan mempercepat proses penuaan.
Oleh karena itu maka perlu dilakukan pelatihan fisik seimbang yang
berdasarkan ilmiah sesuai dengan FITT sebagai berikut (Nala, 2011; Pangkahila,
2011a; Sharkey, 2011):
Persiapan pelatihan:
a. Tubuh harus dalam keadaan sehat, cukup tidur atau istirahat dan tidak
dalam keadaan kepayahan.
b. Sebelum melakukan aktivitas fisik harus dilakukan pemeriksaan
denyut nadi istirahat.
c. Dilakukan pemanasan (warming up) selama 5 menit untuk
meningkatkan denyut nadi minimal 30 denyut dari denyut nadi
istirahat.
d. Frekuensi (frequency) latihan (F): Frekuensi latihan 3 - 6 kali
perminggu, tidak boleh istirahat lebih daripada 48 jam agar kebugaran
fisik selalu siap. Frekuensi 6 kali perminggu dua kali lebih efektif
dibandingkan 3 kali perminggu (Sharkley, 2011).
23
e. Intensitas (intensity) latihan (I): Intensitas latihan berpedoman pada
(65-85%) X Denyut Nadi Maksimal (DNM) sesuai dengan gambar 2.2
ini menurut Fox and Haskell formula (Fox dkk., 1971).
f. Waktu (time) latihan (T): Waktu 30 – 60 menit setiap hari dan tipe
latihan sesuaikan dengan kondisi tubuh (Plowman dan Smith, 2008;
Powers dan Howley, 2009; Nala, 2011 ).
g. Tipe (type) latihan (T): Tipe latihan yang sesuai dengan kondisi dan
situasi pribadi seseorang memang tidak terlalu mudah sebab sebagian
orang melakukan latihan yang disenangi tetapi tidak sesuai dengan
kondisi tubuhnya. Oleh karena itu maka yang pertama diperhatikan
ialah keadaan anatominya, berat badannya dan berbagai abnormalitas
fisik atau cedera sebelumnya. Kemudian pilih macam latihan fisik
yang tidak ada kontraindikasi misalnya untuk orang yang obes tidak
dianjurkan melakukan latihan fisik yang banyak menunjang berat
badan agar tidak membuat cedera lutut (Heyward, 2006; Pangkahila,
2011a).
24
Gambar 2.2
Denyut Nadi berdasarkan Zone latihan (Fox dkk., 1971)
2.1.5 Indeks Aktivitas dikutip dari Tesis Master dari Kasari th 1976
(University of Montana): The Effects of Exercise and Fitness on Serum
Lipids in (Sharkey, 2011)
Aktivitas fisik sehari-hari dapat diukur dengan program Indeks
Aktivitas berdasarkan frekuensi (F), intensitas (I) dan durasi atau lamanya
melakukan aktivitas fisik (T). Aktivitas indeks ini dapat dilihat pada Tabel
2.1. Berdasarkan tabel di bawah ini, maka evaluasi aktivitas fisik dapat
dinilai dengan skor yang sudah ada di tabel ini. Berdasarkan aktivitas
indeks (Index Activity:FITT) ini maka dapat dibentuk evaluasi dan katagori
kebugaran fisik (Evaluation and Fitness Category) yang dibagi menjadi 5
katagori sesuai dengan tabel 2.2. Berdasarkan pada FITT tersebut maka
dapat dievaluasi katagori kebugaran fisik seseorang (fitness category) yang
terdiri nilai 1 (amat pasif) sampai 5 (amat aktif). Sebenarnya dengan
25
mempergunakan kedua tabel tersebut seseorang sudah mampu menilai
secara praktis dan sederhana menentukan katagori kebugaran jasmani
seseorang dengan cepat di lapangan. Kategori kebugaran seseorang
penting diketahui oleh masing-masing individu untuk menentukan langkah
selanjutnya agar tetap mampu mempertahankan kebugarannya sesuai
dengan umur yang makin bertambah (Lunec,1990; American College of
Anti-Aging, 2006; Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2011c).
Ketidakseimbangan pelatihan yang terjadi di lapangan terutama pada
olahraga prestasi menyebabkan pelatihan yang tidak sesuai dengan indeks
aktivitas dan katagori kebugaran. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya
proses penuaan dini dan berumur lebih pendek (Power dan Howley, 2009).
26
Tabel 2.1
Indeks Aktivitas, Kasari 1976 (Sharkey, 2011)
ACTIVITY INDEX
(FITT=FREQUENCY, INTENSITY, TIME, TYPE)
SCORE EVERYDAY ACTIVITY
F
5
4
3
2
1
HAMPIR SETIAP HARI
3 - 5 X/MINGGU
1 - 2 X/MINGGU
BEBERAPA X/BULAN
< 1 X/BULAN
I
5
4
3
2
1
MENGALAMI PERNAPASAN DAN PERSPIRASI BERAT
SEBENTAR – SEBENTAR MENGALAMI PERNAPASAN DAN
PERSPIRASI BERAT
AGAK BERAT
SEDANG
RINGAN
T
4
3
2
1
>30 MENIT
20 - 30 MENIT
10 - 20 MENIT
< 10 MENIT
T
27
Tabel 2.2
EvaIuasi dan katagori indeks kebugaran fisik, Kasari 1976
(Sharkey,2011)
2.2 Kebugaran Fisik
Kebugaran fisik adalah salah satu faktor dari pola hidup yang menentukan
kualitas hidup seseorang dan cepat lambatnya terjadinya proses penuaan.
Kesehatan merupakan suatu kondisi yang harus dimiliki oleh semua orang yaitu
suatu keadaan sehat secara fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tetapi sehat saja
ternyata tidak cukup dalam kehidupan kita sebab untuk menunjang pola hidup
sehat modal dasar kita ialah sehat dan bugar (Pangkahila, 2010a). Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa seseorang yang sehat dan bugar hidup lebih
lama daripada yang hanya sehat tetapi tidak bugar (Sharkey, 2011). Oleh karena
itu maka kondisi sehat dan bugar seyogianya dimiliki oleh semua orang.
Pengertian tentang kebugaran fisik perlu dipahami betul agar tidak terjadi salah
pemahaman.
Ada beberapa pengertian tentang berbagai istilah yang berkaitan dengan
kebugaran fisik dan daya tahan umum. Kebugaran fisik ialah kemampuan tubuh
untuk melakukan suatu tugas rutin dalam jangka waktu cukup lama tanpa
mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki tenaga cadangan untuk
melaksanakan aktivitas yang bersifat mendadak (Physical Fitness, 2010; Nala,
28
2011). Sedangkan daya tahan umum (respiration-cardiovascular endurance) ialah
kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas fisik terus-menerus dalam jangka
waktu yang lama (lebih dari 10 menit) dan dalam keadaan aerobik karena
metabolisme sel otot memerlukan oksigen dari udara luar untuk mendapatkan
tenaga bergerak atau berkontraksi (Bompa, 1993; Nala, 2011). Sesuai dengan
kedua definisi ini maka jelas bahwa kebugaran fisik tidak sama dengan kebugaran
aerobik sebab kebugaran fisik lebih luas pengertiannya (Brooks dkk., 1996;
Arstand dan Rodahl, 1997; Physical Fitness, 2010; Nala, 2011).
Olahraga mempunyai beberapa tujuan yaitu pendidikan, rekreasi,
kebugaran, kesehatan dan prestasi (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). Pada kajian
selanjutnya akan lebih ditujukan pada olahraga untuk kesehatan dan kebugaran.
Suatu hasil penelitian dilaporkan bahwa di dunia ini hanya 9.1% orang
yang mampu melakukan olahraga aktif intensif sedangakn 90.9% tidak aktif
intenif, sehingga diduga kemungkinan hanya 9,1% inilah yang hidup sehat bugar
dan berumur panjang (Sharkey, 2011).
2.2.1 Komponen Kebugaran Fisik
Kebugaran fisik mempunyai 10 komponen yaitu: 1. Daya Tahan
Kardiovaskular (cardio-vascular endurance); 2. Daya tahan Otot (muscular
endurance); 3. Kekuatan Otot (muscle strength); 4. Kelentukan (flexibility); 5.
Komposisi Tubuh (body composition); 6. Kecepatan (speed movement); 7.
Kelincahan (agility); 8. Keseimbangan (balance); 9. Kecepatan Reaksi (Reaction
time), dan 10. Koordinasi (coordination) (Pusat Kesegaran dan Rekreasi, 1978;
Hardinge dan Shryock, 2003; Bompa dan Haff, 2009; Nala, 2011).
29
Gambar 2.3
Latihan Kebugaran aerobik (Nala, 2003)
Pengertian masing-masing komponen adalah sebagai berikut :
a. Daya Tahan Kardiovaskular (cardiovascular endurance): kemampuan tubuh
dalam melakukan aktivitas terus menerus yang berlangsung cukup lama
(lebih daripada 10 menit).
b. Daya Tahan Otot atau Daya Tahan Lokal (muscular endurance): kemampuan
otot skeletal untuk melakukan kontraksi atau gerakan berulang-ulang dalam
jangka waktu yang lama dengan beban tertentu.
30
c. Kekuatan Otot (muscle strength): kemampuan otot skeletal tubuh untuk
melakukan kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima beban
sewaktu melakukan aktivitas. Pengukuran kekuatan otot dilakukan dengan
dinamometer yang dinyatakan dalam kilogram.
d. Kelentukan (flexibility): kesanggupan tubuh atau anggota gerak tubuh
untuk melakukan gerakan pada sebuah atau menempuh beberapa sendi
seluas-luasnya
e. Komposisi Tubuh (body composition) yaitu berat badan tanpa lemak
f. Kecepatan (Speed movement): kemampuan untuk mengerjakan suatu
aktivitas berulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
g. Kelincahan (agility): kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk
mengubah arah gerakan secara mendadak dalam kecepatan yang tinggi.
Tes yang dilakukan untuk mengukur kelincahan ialah tes bolak balik
sejauh 10 meter.
h. Keseimbangan (balance): kemampuan tubuh untuk melakukan reaksi atas
setiap perubahan posisi tubuh, sehingga tubuh tetap stabil dan terkendali.
i. Kecepatan Reaksi (Reaction time): kemampuan tubuh atau anggota tubuh
untuk bereaksi secepat mungkin ketika ada rangsangan yang diterima oleh
reseptor somatik, kinetik, atau vestibular.
j. Koordinasi (coordination): kemampuan tubuh untuk mengintegrasikan
berbagai gerakan yang berbeda menjadi gerakan tunggal yang harmonis
dan efektif.
31
k. Daya ledak (explosive strength, muscular power). Daya ledak adalah
kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan
mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat.
Yang jelas kebugaran fisik terdiri dari dua konsep yaitu :
a) Kebugaran umum (yang berhubungan dengan status kesehatan dan
kesejahteraan)
b) Kebugaran khusus (yang berhubungan dengan kemampuan pada
penampilan aspek khusus dari olahraga tertentu atau pekerjaan
tertentu). Kebugaran fisik secara umum meliputi pelatihan dan nutrisi
yang benar serta cukup istirahat (Physical Fitness, 2012).
Kebugaran fisik sudah pasti ada hubungannya dengan proses
penuaan dan umur seseorang. Suatu penelitian yang dilakukan oleh CDC
(Center for Disease Control and Prevention) ternyata hanya 9,1% subjek
penelitian yang melakukan aktivitas aktif secara teratur dan intensif
(Sharkey, 2011). Bila dilihat dari keteraturan pola hidupnya hanya 40%
yang mampu hidup aktif teratur dan 60% pola hidupnya tidak teratur dan
hanya menikmati kesenangan tanpa memperhatikan kesehatan dan
kebugaran termasuk keluarganya. Sebagian besar dari peserta olahraga
baik olahraga prestasi maupun olahraga kesehatan dan kebugaran saat
melakukan pelatihan tidak sesuai dengan kaidah ilmiah sehingga olahraga
yang dilakukan kurang bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan
kesehatan dan kebugaran fisik. Pada beberapa keadaan malahan
32
menimbulkan cedera yang akan mempercepat proses penuaan dan
memperpendek umur (Pangkahila, 2010a).
Kebugaran fisik pada umumnya merupakan salah satu faktor yang
penting untuk penampilan (performance) sebab penampilan seseorang
ditentukan oleh berbagai faktor antara lain penguasaan pengetahuan
(knowledge), ketrampilan (skill), sikap (attitude), dan kebugaran fisik
(physical fitness). Seseorang yang sehat dan bugar berpenampilan lebih
baik daripada kelompok yang hanya sehat tanpa mempunyai kebugaran
fisik yang baik (Stibich, 2007; Pangkahila, 2010b; Sharkey, 2011).
2.2.2 Pengukuran Kebugaran Fisik
Pengukuran kebugaran erobik dapat dilakukan dengan berbagai cara
mulai yang paling sederhana sampai yang dengan penggunaan teknologi
canggih. Yang paling sederhana ialah mulai dengan lari 2,4 km, naik turun
bangku dengan metode Harvard dan treadmail baik dengan sepeda maupun
lari. Pengukuran kebugaran erobik dengan lari 2,4 km diukur waktu tempuhnya
dalam menit dan disesuaikan dengan tabel yang dikelompokkan berdasarkan
umur (Cooper, 1982; Nala, 2011). Pengukuran kebugaran erobik di atas
bertujuan untuk mengukur kemampuan jantung untuk menghadapi beban
tertentu dan secara tidak langsung untuk mendiagnosis adanya
ketidaknormalan fungsi jantung saat menghadapi beban tertentu. Tes ini juga
baik untuk mengetahui kebugaran dan kemampunan kembali ke keadaan
normal. Bila jantung mampu makin cepat kembali ke keadaan normal maka
kesimpulannya makin bugar.
33
Bila di lapangan mengalami hambatan mempergunakan Harvard Step up
Test sebab pada beberapa orang ada yang tidak mampu melakukan tes naik
turun bangku ini, maka pilihan tes lain yang juga sederhana yaitu tes Cooper
(Cooper, 1982; Nala, 2011).
2.2.2.1 Tes Cooper
Tes ini sering dipakai untuk mengukur tingkat kebugaran fisik
seseorang dan praktis dilakukan di lapangan dan lebih mudah. Penilaian dari
tes kebugaran menurut Cooper ini disesuaikan dengan tabel Cooper (Cooper,
1982). Pengukuran kebugaran jasmani menurut Cooper disesuaikan umur dan
lama lari dengan jarak 2, 4 km yang diukur berdasarkan menit dan kelompok
umur. Dari hasil pengukuran ini menghasilkan variabel dengan kategori ordinal
yaitu: amat kurang (nilai 1), kurang (nilai2), sedang (nilai 3), baik (nilai 4) dan
amat baik (nilai 5).
Tabel 2.3
Skor Penilaian Tes Lari 2,4 Menurut Cooper
(Cooper, 2001)
34
2.2.2.2 Harvard Step
Pengukuran kebugaran erobik dengan metode Harvard dilakukan dengan naik
turun bangku kemudian diukur denyut nadinya dan disesuaikan dengan tabel
(Harvard Step Test, 2012).
Pengukuran Kebugaran Erobik dengan metode Harvard dilakukan sebagai
berikut:
a. Pemanasan selama 10 menit
b. Saat akan mulai diberi aba-aba untuk mulai dan dihitung dengan
stopwatch
c. Naik turun bangku dilakukan setiap 2 detik selama 5 menit (150 step)
d. Sesudah 5 menit dihentikan
e. Sesudah 1 menit istirahat maka segera hitung penghitungan denyut nadi
setiap menit sampai tiga kali yaitu denyut nadi 1 (DN1), denyut nadi 2
(DN2), dan denyut nadi 3 (DN3).
35
Gambar 2.4
Harvard Step Test
(Harvard Step Test, 2012)
Dari hasil tes tersebut maka dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus
sebagai berikut: Kebugaran Fisik = 30.000 : (DN1+DN2+DN3)
Hasil ini disesuaikan dengan tabel di bawah ini (Tabel 2.4).
36
Tabel 2.4
Nilai Kebugaran Fisik berdasarkan Harvard Step Test
(Harvard Step Test, 2012)
Oleh karena itu maka pelatihan erobik maupun cara pengukurannya harus
sesuai dengan prinsip-prinsip pelatihan erobik yang sesuai dengan metode ilmiah
sehingga dapat diukur dengan pasti (Bompa, 2000; Bompa dan Haff, 2009;
Physical Activity and Fitness, 2010; Nala, 2011).
Bila dilakukan pengukuran kebugaran erobik hampir sebagian besar
manusia di dunia tidak mempunyai kebugaran erobik yang baik dan ini sesuai
dengan berbagai laporan di mana sebagian besar manusia di dunia yang
melakukan olahraga aktif intensif hanya 9,1% (Sharkey, 2011). Kemungkinan
besar yang melakukan pelatihan aktif intensif ini adalah olahragawan, tetapi
sebagian dari mereka melakukan pelatihan aktif intensif tetapi fakta menyatakan
Gender Excellent Above Average Average Below Average Poor
Male >90.0 80.0-90.0 65.0-79.9 55.0-64.9 <55
Female >86.0 76.0-86.0 61.0-75.9 50.0-60.9 <50
37
bahwa tidak sedikit para olahragawan melakukan pelatihan yang berlebih. Bila
demikian ini sudah tidak intensif lagi tetapi sudah lepas kontrol disebabkan para
pelatih tidak memahami prinsip-prinsip kesehatan dan kebugaran secara ilmiah.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara proses penuaan
dengan gaya hidup manusia, dimana aktivitas fisik merupakan salah satu faktor
dari gaya hidup (Pangkahila, 2010b; Sharkey, 2011).
2.3 Endorfin
2.3.1 Sejarah Endorfin
Endorfin yang artinya endogenous morphine adalah suatu hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofise pada lobus anterior dan intermediate (Rokade,
2011).
Endorfin disekresi pada beberapa keadaan tertentu antara lain ialah:
1. Saat latihan fisik (Hawkin dkk., 2008; Cossabon, 2010)
2. Saat mengalami kegembiraan (Craft dan Perna, 2004)
3. Saat ada rangsangan nyeri (Thoren dkk., 1990; Sprouse-Blum, 2010; Mayo
Clinic, 2011).
4. Saat bercinta, melakukan aktivitas seksual dan mengalami perasaan
emosional yang menyenangkan (Jonsdottir dkk., 1997).
Endorfin ditemukan pada tahun 1975 oleh dua grup peneliti yang berbeda
yaitu grup John Hughes dan Hans Kosterlitz dari Scotland yang diisolasi dari otak
babi yang disebut enkephalins (berasal dari bahasa Greek) (Hughes, 1975; Woods,
2003; Haruyama, 2011). Tetapi pada saat bersamaan endorfin juga ditemukan dari
38
otak anak sapi oleh Rabi Simantov dan Solomon Snyder dari Amerika Serikat.
Akhirnya Eric Simon menemukan adanya reseptor opium dan menamakan
endorfin yang merupakan singkatan dari endogenous morphine (Simantov dan
Snyder, 1976). Efek endorfin sudah jelas sebagai morfin yang diproduksi secara
normal oleh tubuh dan pada berbagai penelitian terakhir tetap membuktikan
bahwa tubuh manusia dan hewan mampu memproduksi morfin sendiri dari tubuh
(Kream dan Stefano, 2006).
Pada tahun 2008 suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti
Jerman yaitu dengan membandingkan kadar endorfin di otak sebelum dan sesudah
lari (Boecker dkk., 2008). Waktu pengeluaran endorfin amat bervariasi ada yang
melaporkan 10 menit, 30 menit dan malahan ada yang melaporkan 1 jam sesudah
melakukan latihan fisik dan erat kaitannya dengan terjadinya second wind (Farrell,
2000; Landry, 2002; Klosterman, 2005; Cossaboon, 2010; Second Wind, 2013).
Fungsi endrofin ini tidak berbeda dengan morfin yaitu menciptakan kegembiraan
(Klosterman, 2005).
Ada tiga fungsi utama endorfin yaitu :
a. Alpha (α) endorfin tidak beda dengan amfetamin yaitu menciptakan
kegembiraan dan ini sudah dilaporkan pertama kali tahun 1970 (Wilmore
dan Costill, 2004).
b. Beta (β) endrofin berfungsi untuk anti nyeri (analgesik)
c. Gama (γ) endorfin berfungsi mengatur keseimbangan tekanan darah.
Aktivitas fisik amat mempengaruhi pengeluaran endorfin dan dilaporkan
bahwa aktivitas fisik yang aerobik lebih meningkatkan pengeluaran endorfin
39
daripada yang anaerobik dan pengeluaran endorfin terjadi sesudah 20 menit
melakukan latihan fisik setiap hari (Schwarz dan Kindermann, 1990; 1992).
Endorfin ini sudah dikenal sebagai bahan penggembira dan seseorang akan
merasa seperti di surga dan keadaan ini sejak tahun 1931 sudah diperkenalkan
oleh Aldous Huxley (Klosterman, 2005). Endorfin walaupun sudah lama dikenal
tetapi tidak banyak penelitian yang mengungkapkan tentang hubungannya dengan
pelatihan fisik dan proses penuaan. Selain itu tidak banyak juga yang menyadari
bahwa endorfin adalah morfin alami yang memang dibentuk oleh tubuh kita
terutama saat melakukan aktivitas fisik. Peningkatan kadar endorfin saat
melakukan olahraga yang menyenangkan dan masih bisa dilakukan oleh tubuh
yang telah beradaptasi akan menyebabkan kegembiraan luar biasa (Radosevich
dkk., 1989; Golland dkk., 1999; McGovern, 2005; Willet, 2009).
40
Gambar 2.5
Endorfin sebagai hormon penggembira ( Klosterman, 2005)
2.3.2 Struktur Hormon Endorfin
Endorfin adalah neuropeptida yang terdiri dari 20-39 asam amino.
Neuropeptida merupakan molekul peptida yang dihasilkan oleh sistem saraf dan
berfungsi sebagai penghantar rangsang (neurotransmitter) (Eckert, 1998). Ada
tiga macam neuropeptida yang berbeda yakni enkefalin, endorfin dan dynorfin.
Enkefalin terbagi menjadi dua struktur berdasarkan perbedaan asam amino
terminal, yang satu memiliki gugus metionin di bagian terminal dan yang lainnya
memiliki leusin. Sedangkan endorfin adalah senyawa yang lebih besar dengan 30
atau lebih asam amino. Dynorfin memiliki struktur yang mirip dengan leu-
enkefalin.
41
Endorfin sendiri, berdasarkan perbedaan struktur dan fungsinya dibagi
menjadi tiga macam yaitu α-endorfin, β-endorfin dan γ-endorfin. α-endorfin
memiliki rumus kimia C56H95 N13 O21 dan dalam tata nama iupac disebut sebagai
1,4,7,10,13,16-hexaazacycloeicosane. α-endorfin ini juga memiliki nama lain
yakni1-de-l-tyrosine-2-deglycine-3-deglycine-4-de-l-phenylalanine-5-de-l-
methionine-11-l-glutamicacid-16a-l-leucine-, cyclic (11®6)-peptide (9ci). Secara
kimiawi, struktur senyawa α-endorfin adalah sebagai berikut (GuideChem, 2010).
Gambar 2.6
Struktur Kimia α-endorfin (GuideChem, 2010)
Β-endorfin adalah endorfin yang memiliki efek paling besar terhadap
sistem saraf pusat dan tubuh selama latihan fisik dan merupakan salah satu
hormon peptid yang terutama dibentuk oleh asam amino tirosin. Struktur
molekuler dari β-endorfin sangat mirip dengan morfin namun berbeda dalam
komponen kimia (O’Sullivan, 2011). Rumus kimia dari β-endorfin adalah C78H130
N20 O26. Β-endorfin memiliki nama lain seperti 1-de-l-tyrosine-2-deglycine-3-
42
deglycine-4-de-l-phenylalanine-5-de-l-methionine-22-de-l-isoleucine-23-de-l-
isoleucine-24-de-l-lysine-25-de-l-asparagine-26-de-l-alanine-27-de-l-histidine-28-
de-l-lysine-29-de-l-lysine-30-deglycine-31-de-l-glutamine-(9ci).
Gambaran senyawa β-endorfin adalah seperti berikut (GuideChem, 2010).
Gambar 2.7
Struktur Kimia β-endorfin (GuideChem, 2010)
Gamma endorfin (γ-endorfin) memiliki karakteristik kimia yang mirip
dengan α-endorfin, perbedaannya adalah γ-endorfin memiliki 17 asam amino yang
menyusunnya tidak seperti α-endorfin yang hanya terdiri dari 16 asam amino.
Secara rinci urutan asam amino yang menyusun γ-endorfin adalah Tyr-Gly-Gly-
Phe-Met-Thr-Ser-Glu-Lys-Ser-Gln-Thr-Pro-Leu-Val-Thr-Leu dengan rumus
kimia C83H131N19O27S. Rumus bangun dari γ-endorfin dapat dilihat berikut ini
(GuideChem, 2010).
43
Gambar 2.8
Struktur Kimia γ-endorfin (GuideChem, 2010)
2.3.3 Fungsi Hormon Endorfin
Endorfin yang berasal dari kata endogenous morphin memiliki arti bahwa
endorfin merupakan morfin yang dihasilkan secara alami oleh tubuh. Secara
fisiologis, endorfin memiliki kesamaan fungsi dengan morfin. Fungsi utama dari
endorfin ini adalah mengontrol rasa sakit atau nyeri (Hopson dan Wessels, 1990).
Rasa sakit ini berasal dari reseptor rasa sakit yang ada di kulit. Reseptor ini
membangkitkan rangsangan pada saraf sensorik yang mengandung substansi P,
senyawa transmitter yang menghantarkan rasa sakit menuju spinal cord. Endorfin
berfungsi dalam menghambat sekresi substansi P dari saraf sensorik sehingga
mencegah sensasi sakit yang ditimbulkan (Iverson, 1979).
Endorfin memiliki hubungan dengan sistem endokrin tubuh. Penelitian
menunjukan bahwa endorfin yang diberikan baik secara intraventrikular maupun
44
perenteral dapat merangsang sekresi hormon prolaktin, ACTH, anti diuretic
hormon dan growth hormone serta menghambat sekresi LH, FSH dan thyrotropin
(Siegal, 1981). Pada bayi yang baru dilahirkan, endorfin berfungsi untuk melawan
rasa stres yang ditimbulkan akibat proses kelahiran. Plasenta mengandung
senyawa prekursor pro-opiomelanokortin yang merupakan bahan baku β-endorfin,
met-enkefalin dan adrenokortikotropin (Restak, 1988).
Walaupun beberapa penelitian mengenai endorfin masih belum selesai,
endorfin dipercayai mampu menghasilkan empat kunci utama yang berpengaruh
terhadap bodymind yaitu: 1) mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, 2)
menghilangkan rasa sakit, 3) mengurangi stres, dan 4) memperlambat proses
penuaan (O’Sullivan, 2011). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa β-endorfin
dapat mengaktifkan sel Natural Killer (sel NK) yang berperan dalam melawan
penyakit dan membunuh sel kanker. Selain itu endorfin dapat mengurangi nafsu
makan, menciptakan perasaan bahagia dan euphoria serta mengurangi ketegangan
dan kegelisahan (Landry, 2002).
2.4 MDA
2.4.1 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena
mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
yang lain atau melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut untuk
mengembalikan keseimbangan tersebut (Praptiwi dkk., 2006). Radikal bebas
45
dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap
rokok, sinar ultra violet, bahan kimia dan polutan (Dingle, 2004).
Radikal bebas sangat diperlukan pada proses fisiologis tubuh, terutama
untuk transportasi elektron. Tapi radikal bebas yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan makromolekul dalam sel seperti karbohidrat, protein,
DNA dan lipoprotein (Oberley dkk., 2000). Radikal bebas dapat menyebabkan
kerusakan DNA dan selanjutnya menyebabkan pembelahan sel terganggu. Bahkan
dapat terjadi perubahan abnormal yang mengenai gen tertentu dalam tubuh yang
dapat menyebabkan kanker. Asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel juga
sangat rentan terhadap serangan radikal bebas. Struktur dan fungsi membran sel
akan terganggu dan dapat menyebabkan kematian sel. Radikal bebas juga dapat
merusak protein melalui proses oksidasi, contohnya kerusakan protein pada lensa
mata yang menyebabkan katarak. Proses penuaan juga terjadi karena peran dari
radikal bebas, dimana terjadi kerusakan jaringan secara perlahan-lahan tapi pasti.
Kerusakan jaringan secara perlahan ini seperti kehilangan elastisitas jaringan
kolagen dan otot sehingga kulit menjadi keriput (Ardiansyah, 2007).
Sumber radikal bebas bisa berasal dari proses internal dari dalam tubuh
dan eksternal dari luar tubuh. Radikal bebas dari dalam tubuh mencakup
superoksida (O·2), hidroksil (OH·), peroksil(ROO·), hIdrogen peroksida (H2O2),
singlet oksigen(O2), oksida nitrit(N0·) dan peroksi nitrit(ONOO·). Sedangkan
radikal bebas dari luar tubuh berasal dari asap rokok, polusi, radiasi sinar
ultraviolet, obat, pestisida, limbah industri dan ozon. Diantara senyawa reaktif
46
tersebut radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena
mempunyai tingkat reaktivitas sangat tinggi (Favier dkk., 1995; Siswono, 2005).
Pengaturan jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis
tubuh dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogen seperti enzim
Superoksida Dismutase (SOD), katalase dan Glutation Peroksidase (GPx).
Pengukuran radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal
bebas bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran secara
tidak langsung melalui produk turunannya seperti MDA (Nabet, 1996).
2.4.2 Stuktur Molekul MDA
Malondialdehid adalah salah satu turunan aldehid hasil dari peroksidasi lipid
dari asam lemak tidak jenuh (PUFAs). Malondialdehide merupakan aldehid yang
sangat reaktif. Senyawa ini dapat mengakibatkan berbagai pencampuran dan
ikatan silang antara asam-asam amino bebas. Malondialdehide juga dapat bereaksi
dengan basa-basa DNA membentuk berbagai macam senyawa mutagen. Selain
itu, MDA memiliki potensi untuk menginduksi ikatan silang amino-imino-propen
antara rantai komplementer DNA dan dapat membentuk ikatan silang DNA-
protein (Freeman dan Crapo, 1982).
Dalam kondisi fisiologis (pH 7.4), MDA ada dalam bentuk enolate anion
(O—CH=CH—CHO) yang cukup reaktif dengan gugus amina bebas. Namun
dalam kondisi yang lebih basa (pH<4), β-hydroxyacrolein (HO—CH=CH—CHO)
(βHA) adalah bentuk yang lebih dominan (Farmer dan Davoin, 2007). βHA ini
merupakan elektrofil reaktif yang menyebabkan stress toksik di dalam sel (Moore
dan Robert, 1998). Secara umum struktur MDA adalah sebagai berikut :
47
Gambar 2.9
Struktur Malondialdehid (MDA)
2.4.3 MDA sebagai Marker Radikal Bebas
Membran sel mengandung komponen penting seperti fosfolipid, glikolipid
dan kolesterol. Dua komponen pertama mengandung asam lemak tak jenuh (asam-
asam linoleat, linolenat dan arakhidonat). Komponen asam lemak tak jenuh ini
sangat rentan terhadap serangan-serangan radikal bebas terutama radikal hidroksil
(OH•) yang merupakan salah satu produk ROS (Uidjaja, 2010). Radikal Hidroksil
itu sendiri sangat tidak stabil dan dapat bereaksi dengan cepat dan tidak spesifik
pada sebagian besar molekul biologis (Cornelli, 2009).
Radikal Hidroksil akan menyebabkan rantai reaksi peroksidasi lipid pada
membrane sel tersebut. Akibat akhir dari peroksidasi lipid tersebut yaitu
terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik
terhadap sel, antara lain berbagai aldehida, seperti MDA, 9-hidroksi-nonenal serta
bermacam-macam hidrokarbonseperti etana (C2H6) dan pentana (C5H12) (Kelly
dkk., 1998; Suryohudoyo, 2000). Malondialdehide juga bersifat mutagenik jika
bereaksi dengan ikatan basa DNA (Niedernhofer dkk., 2003).
48
Dengan demikian MDA adalah senyawa dialdehid yang merupakan
produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh. Malondialdehide juga merupakan
produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks, pentose dan
heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal
bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk samping biosintesis
prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid membran (Winarsi,
2007).
Oleh karena MDA merupakan produk akhir dari oksidasi asam lemak tak
jenuh oleh radikal bebas dan merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan
oleh radikal bebas, maka konsentrasi MDA yang tinggi menunjukan adanya
proses oksidasi dalam membran sel (Zakaria dkk., 2000; Winarsi dkk., 2003).
Malondialdehide dapat bereaksi dengan komponen nukleofolik atau
elektrofilik. Aktivitas non spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai
molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan aminofosfolipid secara kovalen
(Kusum dkk., 2002). Malondialdehide dapat menghasilkan polimer dalam
berbagai berat molekul dan polaritas (Favier, 1982). Efek negatif senyawa radikal
maupun metabolit elektrolit ini dapat diredam oleh antioksidan, baik yang berupa
zat gizi seperti vitamin A, C, E dan albumin ataupun antioksidan non gizi seperti
flavonoid dan gingerol (Lunec, 1990; Belleville-Nebet, 1996).
2.5 Pengaruh Pelatihan Fisik terhadap Kebugaran Fisik
Pelatihan yang tidak ilmiah dan tidak rasional akan membuat menurunnya
kebugaran fisik dan membuat depresi pasca latihan. Pelatihan yang benar
49
membuat suasana bugar dan rasa senang sebab saat melakukan latihan akan keluar
endorfin dan serotonin yang akan mengurangi depresi (Saxena, 2006). Selain itu
pelatihan fisik yang benar akan meningkatkan kadar testosteron dalam tubuh kita
baik pada pria maupun wanita sehingga membuat tubuh bugar dan segar (Landry,
2002; Saxene 2006; Stibich, 2007). Kenyataan di masyarakat tidak sedikit
pelatihan fisik yang dilakukan baik untuk prestasi maupun untuk kesehatan
masyarakat pada umumnya tidak sesuai dengan syarat kesehatan dan kebugaran
sehingga tujuan utama pelatihan malah mematikan. Dilaporkan bahwa pelatihan
yang tidak ilmiah akan menurunkan sistem imun tubuh dan akan meningkatkan
terbentuknya radikal bebas yang akan menyebabkan penuaan dan kecenderungan
terjadinya kanker (Wilkins, 2010).
2.6 Hubungan antara Pelatihan Fisik dan Endorfin
Pengaruh pelatihan fisik terhadap respon endorfin sampai saat ini masih
menjadi perdebatan. Beberapa penelitian melakukan pengukuran kadar endorfin
sebelum, selama dan setelah latihan, menunjukkan peningkatan kadar endorfin.
sedangkan penelitian lainnya tidak menunjukkan peningkatan kadar endorfin.
Suatu penelitian melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada
latihan selama 8 minggu. Sedangkan pada penelitian lainnya menunjukkan adanya
peningkatan endorfin pada saat melakukan latihan fisik (Leuenberger, 2006).
Pelatihan fisik dapat meningkatkan sensitivitas terhadap opioid, sehingga
pada akhirnya akan menurunkan jumlah endorfin yang dibutuhkan untuk
memberikan efek pada tubuh. Pada pelatihan fisik yang teratur produksi endorfin
50
selama aktivitas fisik akan menurun lebih lambat daripada kondisi sebelum
melakukan latihan fisik (Mc Ardle dkk.,2010).
Beberapa penelitian dengan protokol pelatihan yang sama mendapatkan hasil
yang berbeda dan tidak konsisten. Ada hasil penelitian yang menunjukkan terjadi
peningkatan kadar endorfin. Sedangkan penelitian lain menunjukkan tidak ada
perubahan kadar endorfin dan ada yang menunjukkan penurunan kadar endorfin
(Meyer, 2000).
Pada beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara kadar endorfin dan kadar asam laktat. Pada pelatihan anerobik hanya
memerlukan waktu beberapa detik sampai menit untuk meningkatkan kadar
endorfin dua sampai empat kali. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada
pelatihan anerobik hanya dibutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk
terjadinya peningkatan kadar asam laktat dua belas sampai lima belas kali dan
peningkatan kadar endorfin dua kali normal. Pelatihan yang sifatnya mendadak
atau anerobik sering terjadi peningkatan kadar endorfin yang disebabkan karena
peningkatan kadar asam laktat yang melebihi ambang batas yaitu sekitar 3
mmol/L. Pada pelatihan yang mendadak atau pelatihan anerobik sering terjadi
peningkatan kadar endorfin yang disebabkan karena cepatnya pembentukkan dari
asam laktat. Kondisi ini berbeda pada pelatihan jangka panjang, dimana pada
pelatihan jangka panjang tidak terjadi peningkatan kadar endorfin walaupun
terjadi peningkatan kadar asam laktat. Pada atlet yang terlatih terjadi penurunan
kadar stress-induce lactate sehingga tidak terjadi peningkatan kadar endorfin
51
walaupun terjadi peningkatan kadar asam laktat melebihi kadar ambang batas
(Meyer, 2000).
Pelatihan fisik termasuk pelatihan erobik yang dilakukan dengan benar
akan mengeluarkan endorfin yang akan menyebabkan suasana gembira,
mengurangi stres fisik maupun psikis sehingga meningkatkan imunitas natural
(Goldfarb dan Jamurtas, 1997; Jonsdottir dkk., 1997). Pelatihan fisik yang
dilakukan secara teratur dan ilmiah sesuai dengan FITT akan meningkatkan kadar
endorfin dan peningkatan kadar endorfin ini akan memberikan perasaan yang
nyaman dan gembira (O’Sullivan, 2011).
Hubungan kadar endorfin dengan aktivitas seksual pernah dilaporkan oleh
Candase Pert dari John Hopkins University bahwa ada hubungan antara orgasme
dengan endorfin yaitu terjadi peningkatan kadar endorfin 200% pada akhir
aktivitas seksual. Selain itu peningkatan kemampuan seksual dialami oleh 80%
laki-laki dan 60% perempuan yang melakukan latihan fisik 2-3 kali perminggu
dan juga terjadi pelepasan endorfin (Fabbri dkk,. 1989; Stibich, 2007).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada orang saat melakukan
olahraga dalam waktu 20 - 30 menit merasa gembira dan mempunyai perasaan
segar. Kebanyakan pelari merasa euforia bila sudah mencapai finis dan sebagian
dari mereka merasa tidak beda dengan orgasme. Keadaan seperti ini tidak jarang
dijumpai diberbagai macam olahraga baik olahraga prestasi maupun olahraga
kesehatan dan kebugaran, tetapi sebagian besar tidak menyadari bahwa
kemungkinan perasaan euforia tersebut disebabkan oleh keluarnya endorfin dari
dalam tubuh kita (Sarah, 2009).
52
Olahraga sering kali dipergunakan sebagai terapi untuk pasien-pasien yang
mengalami stres atau depresi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa olahraga
dapat meningkatkan kadar serotonin yang dapat mengurangi depresi. Hipotesis ini
ada benarnya sebab olahraga memang meningkatkan serotonin, tetapi selain itu
juga terjadi peningkatan kadar endorfin (Frayne, 2002). Walaupun endorfin
berfungsi sebagai anti nyeri tetapi kenyataan juga dapat membantu mengurangi
depresi. Pelatihan fisik dapat juga digunakan sebagai psikoterapi untuk mengatasi
kegelisahan dan depresi (Cossaboon, 2010).
Penampilan, percaya diri dan perasaan gembira juga akan meningkat bagi
kelompok yang secara rutin dan terprogram melakukan olahraga atau aktivitas
fisik secara teratur dan terprogram. Pengeluaran endorfin akan terjadi bila
seseorang mampu melakukan aktivitas fisik dengan intensitas mulai dari intensitas
sedang (moderate) ke berat (high) (Klosterman, 2005). Intensitas latihan atau zona
latihan ini dapat diukur berdasarkan denyut nadi maksimal (Klosterman, 2005;
Nala, 2011; Pangkahila, 2011a). Bila olahraga yang dilakukan seseorang tidak
memasuki zona latihan tersebut maka endorfin tidak akan meningkat sehingga
suasana atau berbagai perasan kegembiraan tersebut tidak akan dirasakan.
Dilaporkan bahwa pada saat seseorang lari selama 10 menit akan mengalami
perasaan gembira. Tetapi laporan lainnya menyebutkan bahwa sesudah lari 30
menit dan inilah yang disebut dengan second wind (O’Sullivan, 2011). Selain itu
olahraga lainnya misalnya berenang, erobik, naik sepeda dan olahraga lainnya
akan memproduksi endorfin juga (Endorphin, 2009).
53
Keuntungan psikologis dari pelatihan fisik telah banyak dilaporkan, sehingga
dianjurkan untuk melakukan olahraga sebagai terapi untuk depresi atau
kecemasan (Cossaboon, 2010). Pelatihan fisik atau olahraga selain meningkatkan
endorfin juga meningkatkan perasaan senang dan memperbaiki pemberdayaan diri
pada pria 69% dan wanita 88% sebab ada perbaikan penampilan diri (Stibich,
2007).
2.7 Hubungan antara Pelatihan Fisik dan Malondialdehide
Saat berolahraga tubuh akan memicu aktivitas neuro endokrin yang akan
merangsang produksi katekolamin untuk menghasilkan energi. Pelatihan fisik
memerlukan oksigen melalui pernafasan untuk menghasilkan energi. Oksigen
yang tersedia tidak seluruhnya terpakai oleh tubuh sedangkan sekitar 4 – 5 % akan
membentuk radikal bebas yang akan mengganggu fungsi dan kehidupan sel
(Clarkson dan Thompson, 2000)
Radikal bebas adalah suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Adanya elektron yang tidak
berpasangan ini membuat radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat reaktif.
Sifat reaktif ini terjadi karena elektron yang tidak berpasangan tersebut akan
mencari pasangan elektron dari molekul lainnya agar menjadi stabil (Praptiwi dkk,
2006). Bila reaksi ini berlanjut terus maka akan terjadi stres oksidatif yang
menyebabkan kerusakan sel dan berbagai penyakit seperti kanker, jantung,
katarak, penyakit degeneratif dan penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 2000).
54
Radikal bebas sebenarnya mempunyai efek yang menguntungkan seperti
membantu transportasi sel. Tapi sebaliknya, bila produksi radikal bebas
berlebihan dan produksi antioksidan tidak memadai akan menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan tubuh. Radikal bebas yang berlebihan akan merusak
makromolekul dalam sel seperti karbohidrat, protein, DNA dan lipoprotein
(Oberley dkk., 2000).
Radikal bebas di dalam tubuh dihasilkan dari proses oksidasi sel yang
berlangsung pada waktu bernafas, metabolisme sel, olahraga yang berlebihan,
infeksi dan paparan polusi seperti asap kendaraan, asap rokok, logam berat dan
radiasi matahari (Halliwell dan Gutteridge, 2000; Dingle, 2004).
Pelatihan fisik akan meningkatkan metabolisme sel dan akan terjadi
peningkatan produksi radikal bebas. Peningkatan radikal bebas terjadi melalui dua
mekanisme. Pertama yaitu melalui kebocoran elektron di dalam mitokondria yang
terjadi pada tingkat sitokrom yang selanjutnya menghasilkan radikal superokside.
Kedua yaitu selama perubahan di dalam aliran darah dan suplai oksigen yang
menurun selama pelatihan yang intensif yang diikuti dengan reperfusi yang baik
saat pendinginan yang akan mencetuskan pelepasan radikal bebas. Pada pelatihan
fisik yang seimbang tubuh akan menghasilkan antioksidan alamiah untuk
menekan radikal bebas tersebut (Cooper, 2001). Tubuh akan menghasilkan enzim-
enzim alamiah yang bekerja sebagai antioksidan seperti Superoxide Dismutase
dan Glutathione Peroxidase. Pada individu yang tidak aktif dalam jangka waktu
yang lama juga akan terjadi peningkatan radikal bebas, dimana terjadi pemecahan
protein tubuh dan atrofi otot (McArdle, 2010; Shinya, 2011).
55
Radikal bebas yang terbentuk dari pelatihan fisik yang tidak seimbang
dapat menyebabkan penuaan dan kecenderungan terjadinya kanker. Reactive
Oxygen Species (ROS) yang terbentuk akan bereaksi dengan asam lemak tidak
jenuh pada lapisan fosfolipid membran sel dan akan menghasilkan sejumlah
aldehide seperti MDA (Aksoy dkk., 2003).
Malondialdehide adalah produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan
bersifat toksik terhadap sel. Analisis radikal bebas secara langsung sangat sukar
karena senyawa radikal sangat tidak stabil. Pengukuran radikal bebas secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan mengukur kadar MDA. Konsentrasi MDA
dalam tubuh telah digunakan secara luas sebagai indikator dari kerusakan
oksidatif pada lemak tak jenuh dan juga merupakan indikator keberadaan radikal
bebas (Sunarti dkk., 2008).
Suatu peneltian pada pelatihan yang mendadak dan pelatihan yang
dilakukan secara teratur menunjukkan perbedaan yang bermakna. Pada pelatihan
yang sifatnya mendadak akan terjadi penurunan SOD yang bermakna dan
peningkatan yang bermakna kadar MDA, sedangkan pada pelatihan yang
dilakukan secara teratur selama lima minggu menunjukkan peningkatan kadar
SOD dan penurunan kadar MDA yang bermakna (Aslan dkk., 1998).
2.8 Dampak Pelatihan Fisik yang Tidak Seimbang Terhadap Kesehatan dan
Kebugaran Fisik
Pola hidup yang tidak sehat merupakan sumber utama terjadinya proses
penuaan dan penyebab kematian. Berbagai penelitian telah dilaporkan bahwa
56
penyebab kematian utama ialah pola hidup yang tidak sehat. Pola hidup inilah
yang kemudian dapat menyebabkan ketidakseimbangan tubuh kita dalam
melakukan fungsinya sehingga tubuh mudah diserang penyakit dan kemudian
manusia menderita suatu penyakit sebab daya tahan tubuh kita sudah menurun.
Sebagian besar dari manusia mempunyai pola hidup yang tidak sehat dan
sebagian lagi memang tidak mengetahui bagaimana pola hidup yang sehat itu.
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat
dan akhirnya baru diketahui bahwa berbagai pola hidup kita yang dulunya
dianggap benar untuk mengatur kesehatan kita secara alami ternyata tidak benar
lagi. Tetapi sebagian dari manusia baik yang masih aktif bekerja maupun sudah
memasuki masa pensiun walaupun sudah mengetahui bahwa pola hidupnya tidak
sehat ternyata tidak mudah untuk mengubah pola hidup yang sudah menjadi
kebiasaan dan perilakunya. Justru keadaan inilah yang perlu diantisipasi dengan
baik untuk mengubah pola hidup yang tidak sehat yang dapat mempercepat proses
penuaan Salah satu faktor yang memegang peranan penting ialah saat melakukan
aktivitas sehari-hari yaitu saat melakukan pekerjaan atau aktivitas fisik dan psikis
lainnya. Seringkali saat melakukan aktivitas fisik baik olahraga maupun
melakukan aktivitas fisik lainnya sudah menjadi pola hidup seseorang. Pola hidup
inilah yang akan memegang peranan penting menentukan terjadinya proses
penuaan. Waktu melakukan aktivitas fisik tidak boleh lebih daripada 6 jam
perminggu dengan intensitas memasuki zona latihan (65-85%) x denyut nadi
maksimal, sebab bila lebih maka cenderung mempercepat proses penuaan dan
mempercepat kematian (Thomas dkk., 2008).
57
Gambar 2.10
Mekanisme yang mendasari terjadinya Sindrom Overtraining pada Latihan
Berlebih (McArdle dkk., 2010)
58
Suatu penelitian autopsi yang dilakukan pada tentara Amerika Serikat
yang terbunuh pada perang Korea menunjukkan adanya penyakit koroner sekitar
77% dan ini menunjukkan terjadinya aterosklerosis berkembang pada usia 22
tahun (Sharkey, 2011). Selain itu laporan lain dari Morris dan Crawford (1958)
dalam Sharkey (2011) menunjukkan bahwa pada umur 45 -70 tahun gangguan
koroner lebih kecil 30% pada kelompok orang yang melakukan aktivitas fisik
menengah dan jauh lebih berkurang pada orang yang melakukan aktivitas tinggi.
Selain itu dilaporkan juga bila pelatihan dilakukan lebih daripada 3000 kalori
perminggu juga dapat mempercepat proses penuaan dan mempercepat kematian
(Gambar 2.11) (Pangkahila, 2010a).
Gambar 2.11
Aktivitas Fisik dan Risiko Penyakit Jantung (Sharkey, 2011)
59
Latihan berlebih atau overtraining selalu terjadi di sebagian besar tempat
pelatihan olahraga umumnya di tempat pelatihan olahraga prestasi tetapi tidak
menutup kemungkinan juga di tempat pelatihan olahraga kesehatan dan kebugaran
(Valet dan Gabriel, 2000; Pangkahila, 2011a). Ada beberapa tempat yang rawan
untuk terjadinya pelatihan berlebih ialah di beberapa tempat pendidikan yang
melakukan pelatihan fisik keras, sekolah olahraga prestasi dan di beberapa
universitas saat melakukan POSMA (Pekan Orientasi Mahasiswa). Selain itu ada
laporan dari berbagai negara latihan berlebih terjadi di tempat-tempat pelatihan
militer dan polisi (Sharkey, 2011). Keadaan inilah yang akan menimbulkan
gangguan metabolisme, timbulnya radikal bebas dan kecacatan tubuh yang akan
mengganggu fungsi kehidupan manusia dan mempercepat proses penuaan dan
mempercepat kematian.
Tanda-tanda latihan berlebih ialah sebagai berikut:
a. Psikis : kelelahan umum, konsentrasi menurun, apati, insomnia, mudah
tersinggung, dan depresi (Pinel, 2009).
b. Penampilan (Performance) : penampilan menurun, pemulihan terlambat,
dan tidak toleran terhadap pelatihan
c. Fisiologis : Peningkatan denyut nadi basal, peningkatan rasa nyeri, nyeri
otot yang kronis, penurunan berat badan, mudah infeksi dan menurunnya
nafsu makan (Mirkin, 1995).
Pelatihan fisik berlebih akan mempengaruhi fungsi organ tubuh mulai dari
kardiovaskuler, hormon serta muskuloskeletal sehingga mempengaruhi aktivitas
sehari-hari. Selain itu pelatihan berlebih menurunkan kadar testosteron dan
60
menurunkan gairah seksual (Kandel, 2007; Pangkahila, 2011b). Pemeriksaan
secara mendalam dapat dilakukan pemeriksaan hormon dan radikal bebas. Oleh
karena itu maka pelatihan kebugaran seksual perlu dilakukan berdasarkan kaidah
ilmiah ( O’Relly, 1983; Pangkahila, 1992; Pangkahila, 2011c).
Pengaturan pola hidup untuk menuju pola hidup sehat tidak mudah sebab
penanganan tidak holistik, praktisnya tidak sesuai dengan kaidah ilmiah dan
seringkali sumber daya manusianya kurang berkualitas. Oleh karena itu maka
perlu dilakukan penanganan secara terpadu dari berbagai bidang terkait.
Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan terganggunya pengaturan berat
badan sehingga menjadi obesitas dan penurunan gairah seksual (Pangkahila,
2009)
2.9 Aktivitas Fisik yang tidak Seimbang Mempercepat Proses Penuaan
Proses penuaan akan dialami oleh semua mahluk hidup di dunia termasuk
manusia, Pada manusia sudah jelas proses penuaan ini dapat dilihat prosesnya
sejak lahir dan sampai meninggal dunia. Berbagai pendapat tentang proses
penuaan ini amat bervariasi mulai dari takdir, kutukan dan berbagai mitos yang
tidak jelas dan tidak ilmiah. Akhir-akhir ini berbagai laporan tentang proses
penuaan yang sudah diteliti oleh beberapa ahli bahwa proses penuaan tersebut
dapat diperlambat sesuai dengan pengaturan pola hidup kita (Goldman dan Klatz,
2007). Penyebab kematian sudah banyak dilaporkan antara lain ialah penyakit,
kecelakaan, perang, dan faktor alam. Selain itu seringkali bila tanpa diketahui
penyebabnya maka yang dijadikan penyebab ialah sudah tua dan sudah takdir.
61
969
777
600
250
13070
0
200
400
600
800
1000
1200
METUSALAK LAMEKH NUH CINA CAUCASIA MASA KINI
UMUR MANUSIA
Suatu laporan yang cukup mengejutkan bahwa sebagian besar kematian
yaitu 64% disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat kemudian menderita sakit
dan berakhir dengan kematian (American College of Anti-Aging, 2006; Sharkey,
2011). Tetapi yang sering dijelaskan ialah penyakit terakhir yang didiagnosis
kemudian menghantar ke kematian itulah yang dijadikan penyebabnya. Jarang
sekali kita mencari penyebab utama yang pertama sampai menderita penyakit.
Sebagian besar dari kita mengatakan bahwa kematian atau umur seseorang sudah
takdir atau sudah diatur olah Tuhan. Berbagai perkembangan ilmu akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa penuaan dan kematian dapat dijelaskan dengan berbagai
ilmu pengetahuan disamping takdir.
Gambar 2. 12
Grafik Perkembangan Umur Manusia
(McKague, 1999; Lewis, 2000)
62
Teori terjadinya proses penuaan ada empat teori yang sudah umum dan
ada 16 teori lainnya (Goldman dan Klatz, 2007). Perkembangan umur manusia
masa kini jika dibandingkan dengan masa lalu ada penurunan seperti terlihat pada
grafik di bawah ini (Lewis, 2000)
Empat teori yang umum tentang terjadinya proses penuaan terdiri yaitu :
“The Wear and Tear”, The Neuroendocrine,The Genetic Control,dan The Free-
Radical Theory (Goldman dan Klatz, 2007) sebagai berikut:
a. The “Wear and Tear” Theory
Teori ini diperkenalkan oleh seorang ahli biologi Jerman yang
bernama August Weismann tahun 1882 yaitu sel tubuh akan mengalami
kerusakan akibat penggunaan. Pada saat masih muda penggantian sel
selalu terjadi tetapi dengan bertambahnya umur maka penggantian sel
akan makin berkurang dan tidak mampu lagi untuk mengganti sel yang
rusak.
b. The Neuroendocrine Theory
Teori ini diperkenalkan oleh Vladimir Dilman yang menjelaskan
teori Wear and Tear fokus pada teori sistem neuroendokrin. Peranan
hormon inilah yang akan mengatur keseimbangan fungsi tubuh manusia.
Pada saat masih muda kadar hormon dan respons tubuh terhadap hormon
masih cukup menjaga keseimbangan fungsi tubuh tetapi dengan
bertambahnya umur maka terjadi penurunan kadar hormon dan kepekaan
tubuh terhadap hormon.
63
c. The Genetic Control Theory
Teori perencanaan untuk masa depan yaitu saat dewasa telah
diprogram oleh kode DNA yang menentukan tipe fungsi fisik dan mental
seseorang.
d. The Free-Radical Theory
Sejak tahun 1954 telah dilaporkan suatu penelitian anti-aging (anti
penuaan) tentang radikal bebas (free radical) yang dilakukan oleh
Gerschman kemudian dikembangkan oleh Denham Harman dari Nebraska
College of Medicine University. Radikal bebas sudah ada sejak lahir dan
selama hidup tetap ada di dalam tubuh manusia dan cenderung
menimbulkan kerusakan organ tubuh kita.
Radikal bebas ialah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dan dapat bereaksi dengan
molekul lain dan menimbulkan reaksi berantai yang destruktif (Goldman
dan Klatz, 2007). Radikal bebas mempunyai kemampuan untuk merusak
membran sel, DNA, dan protein. Akibat kerusakan ini maka akan berlanjut
dan menyebabkan dampak lebih parah yaitu menurunnya daya tahan tubuh
dan dilaporkan juga dapat menyebabkan penyakit kanker seperti yang
terjadi pada pelatihan fisik berlebih (Wilkin, 2010).
Selain itu radikal bebas akan meningkatkan konsentrasi MDA yang
akan mengikat protein dan mengganggu fungsi protein dan jelas akan
mempercepat proses penuaan (Pangkahila, 2008; Abubakar, 2010).
64
Sebenarnya radikal bebas ini juga disebabkan oleh pembentukan oksigen
berlebih misalnya pada saat melakukan olahraga berlebih sehingga pada
setiap olahraga atau aktivitas fisik lainnya memerlukan adanya anti
oksidan untuk menetralisir radikal bebas ini. Akibat ketidakseimbangan
antara jumlah anti oksidan dan radikal bebas di mana radikal bebas lebih
banyak daripada antioksidan maka terjadilah kerusakan membran sel,
protein dan DNA. Bila keadaan ini berlangsung terus menerus maka
terjadi penumpukan produk akibat kerusakan oksidatif ini maka terjadilah
kerusakan sel dan jaringan sehingga mengganggu fungsi sel dan
menyebabkan kematian (Bagiada, 2001; Wilkin, 2010).
Teori lainnya yang terdiri dari 16 teori terdiri dari : Waste Accumulation
Theory, Limited Number of Cell Divisions Theory, Hayflick Limit Theory, Death
Hormon Theory, Thymic-Stimulating Theory, Mitochondrial Theory, Errors and
Repairs Theory, Redundant DNA Theory, Cross-Linkage Theory, Autoimmune
Theory, Calorie Restriction Theory, Gene Mutation and DNA Damage Theory,
Rate of Living Theory, Order To Disorder Theory, Telomerase Theory of Aging,
A4M’S Technodemography Theory on Aging.
Proses penuaan disebabkan oleh berbagai faktor yang sebagian sudah
dialami sejak di dalam kandungan malahan sudah dipengaruhi secara genetik
tergantung mulai dari spermatozoa dan sel telurnya. Sesuai dengan laporan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan American College of
Sports Medicine bahwa pola hidup amat berperan sebagai penyebab kematian
terbesar yaitu 64% (Goldman dan Klatz, 2007. Akibat dari pola hidup yang tidak
65
sehat maka terjadi kerusakan berbagai organ tubuh sehingga tidak mampu
berfungsi normal (Sharkey, 2011). Pola hidup dalam hal ini merupakan suatu
perilaku kehidupan yang holistik mulai dari pola makan, tidur, istirahat, bekerja,
olahraga dan perilaku seksual (Pangkahila, 2009; Pangkahila, 2010a; Pangkahila,
2010b). Keadaan ini akan membuat kerusakan sel tubuh akibat gangguan
metabolik dan timbulnya radikal bebas sehingga gangguan fungsi organ mulai
tampak dan bila dibiarkan akan makin parah dan akhirnya berakhir dengan
kematian sel dan inilah yang mempercepat proses penuaan dan kematian. Proses
penuaan umumnya sudah mulai nampak sesudah umur 30 tahun dan akan mulai
jelas pada umur 39 tahun (Sharkey, 2011). Selain itu faktor eksternal atau
lingkungan yang dapat mengganggu sel-sel tubuh kita akan mempercepat
terjadinya penuaan (Kimmel, 1990; Cossabon, 2010).
PENUAAN
GAYA
HIDUPPENYAKIT
PEKERJAAN
INTERAKSI ANTARA GAYA HIDUP,
PENYAKIT DAN PENUAAN BIOLOGIS
WHO 93228 WHO 1996
Gambar 2.13
Interaksi Gaya Hidup, Penyakit dan Penuaan Biologis
(Sharkey, 2011).
66
Berdasarkan beberapa teori tersebut maka terjadinya proses penuaan dapat
dijelaskan secara rasional dan ilmiah, jadi bukan takdir. Justru sudah jelas bahwa
64% penyebab kematian bukan disebabkan oleh takdir tetapi oleh pola hidup yang
tidak sehat (Sharkey, 2011). Bila proses tersebut dapat dicegah sedini mungkin
maka proses penuaan dapat diperlambat sesuai dengan kemampuan tubuh. Oleh
karena itu maka program Anti-Aging Medicine (AAM) atau kedokteran anti
penuaan merupakan suatu usaha untuk mencegah dan memperlambat terjadinya
proses penuaan secara ilmiah dan rasional (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila,
2008). Jadi dalam mengatur kehidupan kita tetap memerlukan perpaduan antara
iman dan aplikasi Iptek.
Selain itu perlu diketahui pula bahwa penyusutan organ tubuh sudah mulai
terjadi sejak dini tergantung dari berbagai faktor terutama pola hidup kita.
Tabel 2.5
Penyusutan Organ Tubuh (Lewis, 2000)
ALAT TUBUH: BERAT WAKTU
DEWASA
(gram)
BERAT DALAM
USIA LANJUT
(gram)
•JANTUNG
•HATI
•PARU-PARU
•OTAK
•GINJAL (KEDUANYA)
•LIMPA
•TIROID
•PANKREAS
•PROSTAT
320
1500
1200
1250
250
200
30
75
8
250
800-1000
900
1000
150
100
18
20
50
PENYUSUTAN ORGAN TUBUH