4. bab ii - unud

23
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Beberapa hasil penelitian yang relevan dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini, yakni yang menyangkut bidang morfologi, sintaksis, dan semantik BI. Tujuannya ialah untuk mendapatkan pemahaman dan signifikansi penelitian ini dengan penelitian yang sejenis, baik dari temuan-temuan yang telah dicapai, seperti model, metode, konsep maupun teori, yang telah dipakai pada pelitian BI yang sudah dilakukan, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik. Akan tetapi, pada kajian pustaka ini yang dikaji lebih lanjut hanya bidang morfologi, sintaksis, dan semantik, yakni kajian yang hanya relevan dengan penelitian ini, terutama penelitian yang terkait dengan derivasi, sistem morfologi, dan sistem pemarkahan verba. Penelitian BI di bidang morfologi, sintaksis/morfosintaksis, dan semantik sudah banyak dilakukan. Berikut adalah beberapa kajian hasil penelitian BI yang sangat erat kaitannya dengan bidang kajian penelitian desertasi ini, yakni bidang morfologi yang terkait dengan proses derivasi. Ermanto (2007) dalam kajiannya berjudul Hierarki Afiksasi pada verba Bahasa Indonesia dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi, temuan dari penelitian tersebut adalah bahwa pada verba afiksasi BI terdapat lima pola hierarki afiksasi. Pola (I) adalah D + PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) hanya memiliki satu afik infleksional meN- atau afiks infleksional di-. Sebagai contoh: protes memprotes, diprotes. Pola (II) adalah (D+PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola 10

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 4. BAB II - UNUD

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,

LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa hasil penelitian yang relevan dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini, yakni

yang menyangkut bidang morfologi, sintaksis, dan semantik BI. Tujuannya ialah untuk

mendapatkan pemahaman dan signifikansi penelitian ini dengan penelitian yang sejenis, baik

dari temuan-temuan yang telah dicapai, seperti model, metode, konsep maupun teori, yang telah

dipakai pada pelitian BI yang sudah dilakukan, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,

maupun semantik. Akan tetapi, pada kajian pustaka ini yang dikaji lebih lanjut hanya bidang

morfologi, sintaksis, dan semantik, yakni kajian yang hanya relevan dengan penelitian ini,

terutama penelitian yang terkait dengan derivasi, sistem morfologi, dan sistem pemarkahan

verba.

Penelitian BI di bidang morfologi, sintaksis/morfosintaksis, dan semantik sudah banyak

dilakukan. Berikut adalah beberapa kajian hasil penelitian BI yang sangat erat kaitannya dengan

bidang kajian penelitian desertasi ini, yakni bidang morfologi yang terkait dengan proses derivasi.

Ermanto (2007) dalam kajiannya berjudul Hierarki Afiksasi pada verba Bahasa

Indonesia dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi, temuan dari penelitian tersebut

adalah bahwa pada verba afiksasi BI terdapat lima pola hierarki afiksasi. Pola (I) adalah D +

PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif)

hanya memiliki satu afik infleksional meN- atau afiks infleksional di-. Sebagai contoh: protes

memprotes, diprotes. Pola (II) adalah (D+PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola

10

Page 2: 4. BAB II - UNUD

hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) selain memiliki afiks

infleksional meN- atau afiks infleksional di- juga memiliki afiks derivasional lain, seperti afiks

–kan, -i, per/-kan, per/-i, per-. Sebagai contoh padat padati memadati, dipadati. Pola (III)

adalah (D+PROSES DERIVASI (1) )+PROSES DERIVASI (2)+PROSES INFLEKSI. Hierarki

afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) selain memiliki afiks infleksional meN-

atau afiks infleksional di- juga memiliki afiks derivasional lain, seperti afiks ber- dan –kan.

Sebagai contoh ajar belajar belajarkan membelajarkan, dibelajarkan. Pola (IV) adalah

(D + PROSES DERIVASI). Hierarki afiksasi ini terdapat pada VKEADAAN, VPROSES,

VPROSES, VAKSI (Vintransitif) yang diturunkan dari DN, DA, DV Keadaan, DV PROSES,

DV AKSI dengan pengimbuhan afiks derivasional meN-, beR-,teR-, ke-/-an, beR-/-an, beR-/-kan.

Sebagai contoh; tetap menetap. Pola (V) adalah D + PROSES INFLEKSI (afiks infleksional

ber-). Pola hierarki afiksasi ini terdapat pada VAKSI atau VKeadaan yang berfitur semantis

aksi mental dengan pengimbuhan afiks infleksional beR-. Sebagai contoh: kerja kerjakan, lari

berlari. Ermanto sudah menjelaskan dengan rinci pembentukan verba derivatif BI serta

mengklasifikasikan semua jenis afiks yang bisa membentuk verba derivatif transitif dan

intransitif BI. Hal yang membedakan analisis yang dilakukan oleh Ermanto dengan yang

dilakukan pada penelitian ini adalah Ermanto mengkaji verba derivatif dengan menggunakan

teori tata bahasa kasus Chafe (1970) dan Fillmoe (1971) dari sudut semantiknya, sedangkan

penelitian ini mengkaji verba derivatif BI dengan menerapkan teori Tipologi. Persamaan dari

kedua penelitian ini terletak pada objek penelitian, yaitu verba derivatif BI. Namun baik kajian,

analisis, maupun tujuan utama dari kedua penelitian ini berbeda.

Verhaar (2006) membedakan pengertian infleksi dan derivasi, yakni infleksi merupakan

perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan,

Page 3: 4. BAB II - UNUD

misalnya dalam bahasa Inggris friend dan friends. Sementara itu derivasi merupakan perubahan

morfemis yang menghasilakan kata dengan identitas morfemis yang lain, misalnya friend

‘teman’(N) dan to be friend ‘berteman’ (V). Tulisan Verhaar dijadikan acuan untuk

membedakan afiks derivasional dan afiks infleksional berdasarkan kategori dan identitas, yakni

Verhaar (2006:144-146) menjelaskan afiks derivasional selalu menyebabkan perubahan kelas

kata, tetapi jika mempertahankan kelas kata, maka afiks tersebut akan mengubah makna.

Subroto (1985) mengkaji derivasi BI dengan penelitiannya berjudul Infleksi dan Derivasi

Kemungkinan Penerapannya dalam Pemerian Morfologi Bahasa Indonesia. Penelitian ini

membahas penerapan morfologi derivasional dan morfologi infleksional bahasa Indonesia.

Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-

kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda); sedangkan infleksi pembentukan kata yang

menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Sebagai contoh,

verba work, otomatis akan dikenali works, worked, working atau worker → workers. Hal ini

berbeda dengan bentukan derivasional dalam kata do → doer: dan have → *haver. Kata have

secara logika seharusnya dapat ditambahkan dengan sufiks –r/-er karena kata do dan have

memiliki kelas yang sama (do dan have adalah verba) sehingga dapat ditambah dengan sufiks –

r/-er. Namun, aturan do + er ini tidaklah berlaku pada kata kerja have karena secara tata bahasa

tidak berterima. Perbedaan kedua kategori tersebut terkait dengan pembentukan kata secara

derivasional dan infleksional. Dari hasil penelitiannya dinyatakan bahwa (1) pembentukan

derivasi termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata), (2)

afiks derivasional jumlahnya jauh lebih beragam bila dibandingkan dengan afiks infleksional, (3)

afiks derivasional dapat mengubah kelas kata, sedangkan afiks infleksional tidak bisa, (4) afiks

derivasional mempunyai distribusi yang sangat terbatas, sedangkan afiks infleksional

Page 4: 4. BAB II - UNUD

mempunyai distribusi yang luas, dan (5) pembentukan derivasi dapat dijadikan dasar bagi

pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksi tidak bisa. Subroto menjelaskan

dalam tulisannya perbedaan antara pembentukan derivasi dan infleksi, termasuk kategori afiks

yang membedakan dalam pembentukan kedua proses morfologis tersebut. Penelitian Subroto

sangat membantu dan memberi konstribusi yang banyak dalam pembentukan derivasi verba

karena dalam tulisan itu dijelaskan dengan lengkap afiks-afiks derivasional. Sebagai

pengematan awal bahwa verba derivatif BI dapat diturnkan dari prakategorial, adjektiva, nomina,

verba intransitif, dan verba transitif. Pembahasan mengenai bentuk dasar dari verba derivatif

merupakan bagian kajian pada disertasi ini.

Ermanto dan Emidar (2011) meneliti tentang Afiks Derivasi Per-/-An dalam Bahasa

Indonesia Tinjauan dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi. Hasil penelitian mereka

menunjukkan bahwa perspektif morfologi derivasi dan infleksi, pengimbuhan afiks derivasi per-

/-an pada verba (baik verba dasar maupun verba turunan) dan pada nomina dapat menurunkan

(1) nomina perbuatan, (2) nomina tindakan, (3) nomina instrumen, (4) nomina lokatif, (5)

nomina proses, (6) nomina kolektif, dan (7) nomina abstrak. Penelitian keduanya tentang afiks

derivasional tersebut bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan alternatif verba turunan afiks

derivasional per-/-an, baik pada verba (verba dasar maupun verba turunan) maupun alternasi

pada nomina turunan. Dari hasil penelitian ini dijelaskan bahwa pengimbuhan afiks derivasional

per-/-an bisa pada verba (baik verba dasar maupun verba turunan) dan juga bisa pada nomina.

Nomina tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa alternasi verba turunan yang dihasilkan

dari nomina tersebut.

Ahya (2013:13) menjelaskan proses derivasi, yaitu proses pembentukan kata yang

menghasilkan leksem baru yang menyebabkan perubahan kelas kata. Walaupun tidak mengubah

Page 5: 4. BAB II - UNUD

kelas kata, proses derivasi mengubah makna (mengubah identitas leksikal) untuk merealisasikan

fungsi tertentu.

Parwati (2000) mengkaji di bidang morfologi dengan judul penelitian Makna Verba

Transitif Melalui Afiksasi –kan dan –i. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa makna verba

transitif yang berafiks –kan, yaitu (1) melakukan, (2) menyebabkan (kausatif), (3) menjadikan,

(4) menempatkan, dan (5)makna benefaktif. Sementara itu, makna verba transitif yang berafiks –

i, yaitu (1) menaruh, (2) makna kausatif, (3) lokatif. Penelitian yang dilakukan oleh Parwati

memberi kontribusi pada penelitian ini dalam mengkaji makna kausatif dan aplikatif yang

dihasilkan oleh verba derivatif yang bersufiks -kan dan –i. Kajian Parwati tersebut tidak

membahas bagaimana struktur argumen dan relasi gramatikal pada klausa yang verbanya

berafiks -kan dan –i yang merupakan bagian kajian desertasi ini.

Mirsa (2013) mengkaji tentang Tipologi Perilaku Gramatikal Adjektiva Bahasa

Indonesia. Dalam analisisnya Mirsa mendeskripsikan perilaku verba selain perilaku adjektiva

dan menjabarkan tujuh rumusan kandungan makna yang dimiliki adjektiva BI, yaitu: (1)

spesifikasi nomina (spesifikasi dari suatu properti/benda) yang berfungsi sebagai penguat makna

(specifier/modifier) dan fungsi pemberi atribut (attributive), (2) spesifikasi verba, (3) waktu, (4)

properti/kepemilikan, (5) kecaraan, (6) keadaan, dan (7) kuantitas. Adjektiva jika dilihat dari

perilaku sintaksis bisa berfungsi sebagai predikat dan adverbial dalam kalimat. Fungsi predikatif

dan adverbial tersebut mengacu ke suatu keadaan. Sebagai contoh: (1) Orang itu sakit dan tidak

tertolong lagi, (2) Ia berhasil dengan baik. Sedangkan untuk verba Mirsa mengklasifikasikannya

berdasarkan kepada 5(lima) kandungan makna semantik, yakni: (1) suatu gerakan/perpindahan

atau perbuatan tanpa gerakan/perpindahan (rest), (2) suatu tindakan yang menimbulakn efek

tertentu, (3) suatu aksi yang menyiratkan perbuatan memberi, (4) suatu aksi yang menyiratkan

Page 6: 4. BAB II - UNUD

perhatian, dan (5) suatu perbuatan terkait aktivitas berbicara. Klasisfikasi adjektiva dan verba

tersebut di atas dimanfaatkan sebagai referensi pada waktu menganalisis pembentukkan verba

derivatif yang diderivasi dari bentuk dasar adjektiva dan verba.

Dari hasil penelitian BI pada bidang morfologi kajian derivasi, yakni Ermanto (2007),

Verhaar (2006), Subroto (1985), Ermanto dan Emidar (2011), Parwati (2000), dan Mirsa (2013)

yang sudah dipaparkan di atas, belum ada yang mengkaji tentang verba derivatif BI yang

berfokus pada: (1) kajian pembentukan verba derivatif, (2) menganalisis struktur konstituen pada

verba derivatif transitif bersufiks -kan dan –i, dan (3) relasi gramatikal dalam klausa pada verba

derivatif transitif bersufiks-kan dan –i.

Penelitian BI di bidang sintaksis, di antaranya Sedeng (2011), dalam hal ini, kajian

morfosintaksis dengan menggunakan teori morfologi yang diperkenalkan oleh Katamba dan

teori sintaksis RRG (Van Valid dan La Pola). Dalam tulisannya berjudul Pembentukan Verba

Bersufiks -kan Bahasa Indonesia Struktur Argumen, Struktur Logis. Sedeng menyatakan bahwa:

(i)Verba sufiks -kan dapat diturunkan dari bentuk dasar: prakategorial, adjektiva, verba

intransitif, bi-intransitif, dan monotransitif. Proses morfosintaksis pembentukkan verba bersufiks

-kan pada perubahan fungsi gramatikal mencakup pengklausatifan, pengaplikatifan dengan

makna benefaktif, lokatif, instrumen, dan proses koorporasi; (ii)Verba bersufiks -kan memiliki

struktur argument, seperti mematikan (X,Y) (agen, pasien), membawakan (X,Y,Z) (afektor,

benefaktor, tema), menempelkan (X,Y),(Z) (afektor, tema) (lokatif); (iii)sufiks -kan BI

mengandung makna memberi, mendapatkan, memindahkan posisi, menempatkan,

menyampaikan, perpindahan kepemilikan dan kausatif. Analisis penelitian Sedeng ini sangat

bermanfaat yang menyatakan bahwa sufiks –kan bisa bergabung dengan bentuk dasar terikat,

kata sifat dan kata kerja (transitif dan intransitif). Selain itu, dijelaskan juga bahwa fungsi sufiks

Page 7: 4. BAB II - UNUD

-kan adalah salah satu afiks yang mampu menaikkan valensi verba melalui proses

pengaplikatifan. Penelitian yang dilakukan oleh Sedeng sangat membantu pada waktu dilakukan

kajian tentang makna yang muncul akibat pelekatan afiks -kan pada bentuk dasar karena afiks -

kan ini merupakan pembentuk verba derivatif transitif yang mengakibatkan argumen dan makna

yang muncul dari verba derivatif tersebut berbeda dengan verba dasarnya.

Artawa (1998) yang melakukan kajian di bidang sintaksis dalam tulisannya Bahasa

Indonesia : Sebuah Kajian Tipologi Sintaksis menyatakan bahwa bahasa Indonesia mempunyai

pivot P/S. Konstruksi dengan verba yang berafiks nasal diperlukan apabila P tidak sama dengan

S, sehingga BI merupakan bahasa yang berperilaku sama dengan bahasa yang ergatif secara

sintaktis, karena perilaku argumennya mewujudkan fungsi gramatikal. Artawa menjelaskan juga

BI secara tipologi tidak dapat digolongkan sebagai bahasa yang bertipe ergatif, dengan alasan

bahwa argumen pasien konstruksi nasal tidak dimarkahi seperti relasi oblik. Serta sistem

keterpilahan dalam verba intransitf menunjukkan bahwa BI mempunyai ciri bahasa aktif. Hasil

penelitian Artawa bermanfaat sebagai pijakan untuk memahami dan menerapkan teori tipologi

serta rujukan untuk memudahkan dalam memahami tipologi sintaksis BI yang cenderung bertipe

ergatif dan bertipe bahasa aktif. Hasil penelitian disertasi ini diharapkan juga untuk melengkapi

dan memperjelas kajian yang telah dilakukan.

Setyawati ( 2009) mengkaji Valensi dan Relasi Sintaksis Bahasa Bima dan Yudha

( 2011) meneliti tentang Struktur dan fungsi gramatikal bahasa Lio. Kedua penelitian ini banyak

membahas tentang relasi gramatikal, yakni perilaku dari relasi subjek, objek, oblik, dan adjung.

Dari hasil penelitian BI pada bidang sintaksis yang sudah dipaparkan di atas, Artawa

(1998), Sedeng (2011), Setyawati ( 2009), dan Yudha (2011) belum menyinggung tentang

Page 8: 4. BAB II - UNUD

struktur konstituen dan relasi gramatikal dari verba derivatif yang menjadi kajian utama

penelitian disertasi ini.

2.2 Konsep

Konsep merupakan penjelasan terminologi untuk memberikan informasi teoretis dan

konseptual dalam menyatukan persepsi atau pandangan dan pemahaman yang terkait dengan

istilah teknis linguistik yang dipergunakan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah

pemaparannya.

2.2.1 Tipologi Linguistik

Tipologi Linguistik merupakan kajian ilmu bahasa bagaimana bahasa-bahasa di dunia

dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri struktur. Pengelompokan bahasa-bahasa ini didasarkan pada

sifat-perilaku (property) yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri (Mallinson dan Blake:1981;

Comrie:1983, Artawa : 2000). Kajian tipologi linguistik bersifat deskriptif-alamiah dan lintas

bahasa, Artawa dan Jufrizal (2018:35). Tipologi linguistik sering diindentikkan dengan tipologi

bahasa, sebetulnya ada perbedaan pengertian antara kedua istilah tersebut. Artawa (2005) dalam

orasi ilmialnya menjelaskan bahwa tipologi linguistik merujuk ke teori atau kerangka teori yang

akan dijadikan dasar pengkajian untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan parameter

tertentu, sedangkan tipologi bahasa merupakan hasil pengkajian berdasarkan teori tipologi

linguistik, pengelompokan bahasa-bahasa yang mempunyai ciri-ciri dan sifat perilaku gramatikal

yang sama.

2.2.2 Klausa

Klausa memiliki struktur dasar dan struktur alternasi atau struktur derivasi versi Teori

Transformasi (Chomsky, 1965). Struktur dasar sangat erat kaitannya dengan istilah klausa dasar.

Page 9: 4. BAB II - UNUD

Dalam hal ini, struktur dasar dipahami sebagai struktur atau konstruksi dasar dari klausa dasar

yang belum mengalami revaluasi struktur. Secara lintas bahasa, struktur dasar klausa terdiri atas

dua unsur, yaitu (1) sebuah argumen inti dan predikat, dan (2) dua atau lebih argumen inti dan

predikat. Sementara itu, struktur alternasi atau struktur derivasi, yaitu struktur yang sudah

mengalami revaluasi. Mekanisme alternasi struktur salah satunya bisa ditandai pada kata kerja BI

dengan kehadiran sufiks -kan atau -i.

Kridalaksana (1993:110) menyatakan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang

berwujud kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan memiliki

potensi untuk menjadi kalimat. Hal ini sejalan dengan pendapat Dixon (2010:6) yang

mengungkapkan bahwa kalimat sederhana adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu klausa

yang bisa saja menjadi kalimat kompleks dengan melibatkan beberapa klausa. Di dalamnya bisa

saja ada klausa induk dan klausa subordinasi, digabung untuk membentuk kalimat kompleks

dengan konjugasi yang bisa menunjukkan alasan, rangkaian temporal, dan lain-lain.

Katamba (1993: 257-258) membagi klausa menjadi dua, yakni (1) klausa intransitif, dan

(2) klausa transitif. Klausa intransitif adalah klausa yang memiliki predikat satu-tempat (one-

place predicates), maksudnya verba intransitif hanya memerlukan satu argumen. Klausa transitif

adalah klausa dengan predikat dua-tempat (two-place predicates), maksudnya verba transitif

menuntut hadirnya dua argumen. Selain itu, ada jenis ketiga verba ditransitif, yaitu verba tiga-

tempat (three-place predicates), verba ditransif menuntut hadirnya tiga argumen.

2.2.3 Predikasi

Jufrizal (2012: 99) menjelaskan istilah predikasi, yaitu konstruksi dalam bentuk klausa

(kalimat sederhana) yang terdiri atas predikat dan argumen. Secara lintas bahasa wujud optimal

sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-

Page 10: 4. BAB II - UNUD

unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements). Bangun (konstruksi) klausa

optimal dapat dilihat pada table di bawah ini:

Tabel 2.1

Struktur Klausa

+ Argumen Bukan Argumen

Sumber Van Valin Jr. dan Lapolla , (2002: 25)

2.2.4 Verba Intransitif

Verba intransitif adalah verba yang memerlukan satu argumen inti (S). Sebagai contoh:

datang, pergi, dll., Artawa dan Jufrizal (2018:107). Verba intransitif tidak menurunkan bentukan

berlawanan aktif dan pasif. Alieva dkk. (1991) menjelaskan bahwa dalam subkelas verba

intransitif terdapat derivatif, yaitu (1) verba tunggal, (2) verba berprefik ber-, ber-kan, (3) verba

berprefik me-, (4) verba berprefik ter-, (5) verba ke-an, dan (6) verba berprefik se-.

2.2.5 Verba Transitif

Verba transitif adalah verba yang memerlukan dua argumen inti (A dan O). Sebagai

contoh: pukul, tusuk dll., Artawa dan Jufrizal (2018:107). Verba transitif mempunyai bentukan

berlawanan aktif dan pasif. Artawa dan Jufrizal membedakan verba transitif dengan istilah

verba ditransitif dan ambitransitif. Verba ditransitif adalah verba yang memerlukan tiga argumen

inti ( A, O dan E (Extended) ). Sebagai contoh: membawakan, menunjukkan, dll. Serta yang

dimaksud verba ambitransitif adalah verba yang bisa memerlukan dua argumen A dan O atau

satu argumen S. Sebagai contoh: makan, minum, dll. Alieva dkk. (1991) menjelaskan bahwa

dasar-dasar kata turunan dari verba transitif dibangun menurut model sebagai berikut: (1)

morfem akar + sufiks –kan, (2) morfem akar + sufiks –i, (3) morfem akar + prefiks per-, dan

Predikat

Page 11: 4. BAB II - UNUD

(4) morfem akar + konfiks per-kan atau per-i. Sedeng (2010) membagi verba transitif menjadi

dua, yakni (1) ekatransitif, dan (2) dwitransitif.

2.2.6 Derivasi

Katamba (2008:92-100) menjelaskan konsep derivasi dan infleksi sebagai berikut.

Infleksi berkaitan dengan kaidah-kaidah sintaksis yang dapat diramalkan (predictable), otomatis

(automatic), sistematik, bersifat konsisten. Sementara itu, derivasi lebih bersifat tidak bisa

diramalkan berdasarkan kaidah sintaksis, bersifat opsional atau sporadik.

Subroto (1985:2) menjelaskan tentang derivasi bahwa (1) pembentukan derivasi termasuk

jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata); (2) secara statistik, afiks

derivasional jumlahnya lebih beragam bila dibandingkan dengan afiks infleksional; (3)

afiks-afiks derivasional dapat mengubah jenis kata, sedangkan afiks-afiks infleksional tidak bisa;

(4) afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang terbatas, sedangkan afiks infleksional

mempunyai distribusi yang luas; dan (5) pembentukan derivasi dapat dijadikan dasar bagi

pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksi tidak bisa.

Verhaar (2006:144-146) menjelaskan bahwa afiks derivasional selalu menyebabkan

perubahan kelas kata, tetapi jika mempertahankan kelas kata, maka akan mengubah identitas

leksikal. Yang dimaksud dengan identitas leksikal adalah adanya suatu ciri kausatif atau

benefaktif pada verba turunan yang tidak ditemukan dalam bentuk dasarnya/sebelumnya.

Sebagai contoh: verba berangkat dan melihat menjadi verba derivatif memberangkatkan dan

memperlihatkan. Pada verba derivatif memberangkatkan mempunyai makna kausatif yang tidak

nampak pada verba sebelumnya berangkat, begitupun verba derivatif memperlihatkan

mempunyai makna benefaktif yang tidak nampak pada verba sebelumnya melihat. Tafsiran ini

oleh Verhaar dinamakan derivasional, karena dasarnya adalah leksikal bukan gramatikal.

Page 12: 4. BAB II - UNUD

Ermanto (2008:26) menjelaskan ada empat tipe afiks derivasional, yakni (1) Featural

derivation (derivasi vitur), (2) functional derivation (derivasi fungsi), (3) transposition

(tranposisi), dan (4) expresive derivation (derivasi ekpresi). Sementara itu Akhmad Saugi Ahya

(2013:13), proses derivasi yaitu proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru yang

menyebabkan perubahan kelas kata. Walaupun tidak mengubah kelas kata, proses derivasi

mengubah makna.

Kroeger (2004:253) menjelaskan kriteria dan ciri spesifik dari proses derivasi, yaitu (1)

kategori sering terjadi perubahan, (2) tidak paradigmatik, (3) produktivitas terbatas dan

bervariasi (khusus secara leksikal), (4) tipe makna sering leksikal, (5) jenis makna sering tidak

terprediksi (konvensional), dan (6) terbatas dan spesifik. Berikut ini contoh derivasi dalam

bahasa Malaysia untuk membedakan derivasi yang mengubah kelas kata dengan derivasi yang

tidak mengubah kelas kata, yaitu:

(1) change in category with no change in meaning

Root Derived Formbaik kebaikan,cantik kecantikan,lahir kelahiran.

Ketiga contoh bentuk derivatif kebaikan, kecantikan dan kelahiran mengalami

perubahan kelas kata dari bentuk asalnya, yakni nomina kebaikan diderivasi dari adjektiva baik,

nomina kecantikan diderivasi dari adjektiva cantik, dan nomina kelahiran diderivasi dari verba

lahir, akan tetapi tidak merubah makna.

(2) change in category with change in meaning : nominalization dan verbalizer

Root Derived Formtulis penulisbantu pembantugali penggalimalas pemalas

Page 13: 4. BAB II - UNUD

besar membesarkuning menguning

Berbeda dengan ketiga contoh pada poin (1), keenam contoh bentuk derivatif penulis,

pembantu, penggali, pemalas, membesar, menguning mengalami perubahan kelas kata dari

bentuk asalnya serta mengalami perubahan makna, yakni nomina penulis, pembantu, penggali

dan pemalas masing-masing diderivasi dari verba tulis, verba bantu, verba gali dan adjektiva

malas. Perubahan ini dinamakan nominalization, sedangkan verba membesar dan menguning

diderivasi dari adjektiva besar dan kuning dinamakan verbalizer. Pembahasan pada Bab 5

pembentukan verba derivatif BI, derivasi dibagi atas dua macam, yakni derivasi secara

morfologis dan derivasi secara sintaktis. Derivasi secara morfologis, yaitu pembentukan kata

yang ada bentuk asal dan bentuk turunannya, sedangkan derivasi secara sintaktis bentuk

turunannya adalah struktur lain.

2.2.7 Struktur Argumen

Argumen merupakan unsur sintaksik dan semantis yang diperlukan oleh verba. Argumen

verba tersebut ada yang berfungsi sebagai argumen inti (core) dan argumen non inti (non core)

yang diberi istilah oblik. Secara umum, ada tiga klasifikasi verba dalam menetapkan argumennya,

yaitu (i) verba berargumen satu, (ii) verba berargumen dua, dan (iii) verba berargumen tiga.

Sejalan dengan pendapat Katamba (1993: 257-258) verba sebagai pengisi predikat dalam klausa

dibedakan atas one-place predicates, two-place predicates, dan three-place predicates. Verba

berargumen satu mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut intransitif, yaitu kalimat yang hanya

terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat, yakni satu-satunya argumen inti pada

klausa intransitif tersebut secara fungsional merupakan S (S=argumen subjek intransitif).

Sementara itu, verba berargumen dua atau tiga mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut

merupakan kalimat transitif, yakni kalimat yang terdiri atas dua atau lebih argumen inti dan

Page 14: 4. BAB II - UNUD

sebuah predikat. Sehubungan dengan pernyataan di atas, Palmer (1994) dan Alsina (1996)

mengungkapkan bahwa struktur argumen adalah hubungan atau kesatuan yang terbentuk antara

satu unit predikat dan unsur-unsur atau fungsi-fungsi gramatikal yang menyertai argumen untuk

mewujudkan kalimat tunggal dasar-utuh, baik melalui ikatan gramatikal maupun semantis.

2.2.8 Kausatif dan Aplikatif

Comrie (1983) menyatakan bahwa kontruksi kausatif menyangkut dua event, yaitu (i) the

causing event ‘kejadian penyebab’, maksudnya suatu kejadian ketika penyebab menyebabkan

atau memberikan inisiatif kepada orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga kejadian lain

terjadi, dan (ii) the caused event (suatu keadaan yang dihasilkan karena suatu sebab), yakni

sesuatu/orang yang dikenai perlakuan itu mengalami pergantian kondisi atau keadaan sebagai

akibat dari aksi/perbuatan yang dilakukan oleh causer. Lyons (1995) menjelaskan bahwa

konstruksi kausatif terbentuk karena proses penaikan valensi verba sehingga verba intransitif

dapat menjadi transitif dan verba transitif dapat menjadi bitransitif.

Aplikatif adalah konstruksi yang di dalam strukturnya mengandung argumen seperti goal,

benefaktif, atau instrumental yang dimarkahi dengan kasus oblik, preposisi atau posposisi

menjadi objek langsung derivatif (Spencer, 1993). Benefaktif adalah konstruksi yang di

dalamnya mengandung konsep melakukan sesuatu untuk orang lain, dan orang lain merasakan

keuntungan (Iwasaki, 1999), atau sesuatu yang menerima manfaat (keuntungan), Artawa dan

Jufrizal (2018:55), contoh: Kue ini dibuat untuk adik bungsu kami.

2.2.9 Relasi Gramatikal

Semua relasi yang sintagmatis dalam gramatika, khususnya relasi yang bersifat sintaktis

tergolong dalam relasi gramatikal. Dalam Tata Bahasa Relasional ada tiga relasi gramatikal yang

murni, yaitu Subjek, Objek langsung, dan Objek Tidak Langsung. Di samping itu, ada relasi

Page 15: 4. BAB II - UNUD

yang bersifat semantis, seperti lokatif, benefaktif, instrumental yang secara kolektif disebut relasi

oblik ( Blake,1991; Palmer, 1994; Matthew, 1997; Artawa, 2000; Djunaidi, 2000). Selain relasi

gramatikal ada istilah fungsi gramatikal, yakni fungsi yang menunjukkan relasi argumen

terhadap verba dalam suatu klausa. Fungsi gramatikal meliputi: Subjek, Objek Langsung, Objek

Tak Langsung, dan Oblik (Blake, 1991; Palmer, 1994). Pada umumnya, Subjek adalah agen atau

pengalam, Objek Langsung adalah pasien, Objek Tak Langsung adalah penerima. Sementara itu,

oblik adalah relasi lain, seperti lokatif, benefaktif, dan instrument (Blake: 1990). Dalam

pandangan tipologi, subjek adalah satu-satunya frasa nominal yang menjadi argumen inti pada

kalimat intransitif dan subjek adalah frasa nominal yang menduduki posisi tertinggi pada

hierarki fungsi gramatikal pada kalimat transitif (Blake, 1990). Objek adalah fungsi gramatikal

selain subjek yang diduduki oleh frasa nominal sebagai argumen inti. Objek merupakan fungsi

gramatikal yang wajib hadir pada klausa transitif (Dixon, 1994). Oblik atau relasi oblik

merupakan relasi gramatikal selain relasi gramatikal utama yang meliputi subjek dan objek.

Artawa (2004) menjelaskan bahwa oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat semantis.

2.2.10 Peran Semantik

Peran semantik adalah peran-peran atau fungsi-fungsi sintaksis yang didasarkan atas

perilaku semantis. Dalam hal ini agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang utama.

Tiga peran lainnya yang mengikuti agen dan pasien adalah lokatif, benefaktif, instrumental

( Blake,1991; Artawa, 2000).

2.2.11 Kelas Kata

Pada bagian ini dijelaskan konsep sifat dan perilaku dari kelas kata (word class; part of

speech) nomina, adjektiva, prekategorial, dan verba sebagai bentuk dasar dari verba derivatif

Page 16: 4. BAB II - UNUD

yang menjadi bahasan utama pada subbab 5.2, dengan tujuan sebagai rujukan supaya ada

pemahaman dan persepsi yang sama terhadap istilah keempat kelas kata tersebut.

Penjelasan mengenai kelas kata sampai sekarang masih menjadi masalah dalam analisis

bahasa, tetapi diakui bahwa setiap bahasa mempunyai kelas kata yang sifat dan perilaku yang

berbeda, baik semantik maupun sintaktis dari masing-masing kelas kata bahasa yang ada di dunia.

Sebagai contoh, dalam BI ditemukan frasa di rumah, besar sekali, tetapi tidak ditemukan *rumah

sekali dan *di besar. Dalam bahasa Jepang ditemukan frase totemo oishii ‘sangat enak’, tidak

ada yang mengatakan *totemo gakusei ‘sangat siswa’, frase amari kirei ja arimasen ‘tidak

begitu cantik’, tidak ditemukan frase *amari gakusei ja arimasen ‘tidak begitu siswa’. Dari

contoh-contoh tersebut, dapat dijelaskan bahwa kata rumah tidak bisa disambung dengan

adverbial sekali, *rumah sekali, atau *di besar. Jadi dalam BI adverbial sekali dapat memberi

keterangan pada adjektiva besar sekali; preposisi di hanya dapat bergabung dengan nomina

rumah. Begitupun dalam bahasa lain, misalnya dalam bahasa Jepang, adverbial totemo ‘sangat’

hanya bisa bergabung dengan adjektiva, contoh totemo oishii ‘ sangat enak’, tidak ditemukan

totemo gakusei, karena gakusei ‘siswa’, tergolong nomina; adverbial amari juga hanya bisa

bergabung dengan adjektiva, contoh amari kirei ja arimasen ‘tidak begitu cantik’, dan tidak

ditemukan *amari gakusei ja arimasen, karena gakusei ‘siswa’ tergolong nomina. Berdasarkan

beberapa contoh frasa tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem suatu bahasa bisa dianalisis, salah

satunya adalah melalui kelas kata. Hal lain yang perlu dicermati bahwa untuk pengelompokan

kelas kata sering terjadi ketumpahtindihan antara nomina, adjektiva tidak kecuali verba.

Meskipun demikian pengelompokan kelas kata nomina, adjektiva dan verba dapat diambil

benang merahnya yaitu, verba adalah kategori yang selalu merujuk pada suatu aksi, perbuatan

atau tindakan apapun makna semantisnya, sedangkan adjektiva selalu merujuk pada pemberian

Page 17: 4. BAB II - UNUD

spesifikasi atau kekhususan suatu benda apapun makna semantisnya. Adapun nomina akan selalu

merujuk pada pelaku perbuatan dan atau objek apapun kandungan makna semantisnya.

Sifat dan perilaku keempat bentuk dasar verba derivatif nomina, adjektiva, prakategorial dan

verba dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Definisi Nomina

Kategori nomina mudah dikenali dari kemampuannya menjadi pelaku dari aksi atau

perbuatan yang dilakukan oleh verba. Sejalan dengan pendapat Givon (1984:56, 63), ciri yang

dimiliki oleh nomina, yaitu sebagai entitas yang bernyawa, konkret, temporal, dan bersifat

human. Selain itu, nomina mempunyai ciri secara sintaktis, yakni nomina dapat mengisi fungsi

dan atau peran Subjek/Agen, Objek/Pasien, datif/resipien, benefaktif, lokatif, waktu, cara, dan

instrumen. Properti lain yang dimiliki nomina (yang melabeli nomina) (Aleva:117, 212), yaitu

(1) nomina tidak dapat diingkarkan kata tidak, melainkan dengan kata bukan. Sebagai contoh:

Ayah saya bukan guru; (2) nomina dapat berangkai dengan kata bilangan: beberapa, sebuah,

seorang, banyak yang fungsinya serupa dengan artikel tak tentu ‘indefinite article’. Sebagai

contoh: seorang guru, sebuah apel, beberapa siswa; (3) Nomina bisa ditandai dengan properti

kata tunjuk pronomina demonstratif berupa atribut pronominal ini, itu. Sebagai contoh: Kota itu

besar sekali, tempat ini sudah ada orang; (4) nomina dapat berangkai dengan dengan preposisi

(ke, di, dari dan seterusnya); (5) nomina dapat berangkai dengan pronominal personal (termasuk

enklitik) : saya, -ku, -mu, -nya yang berfungsi sebagai atribut posesif Sebagai contoh: Pakaian

saya ini tidak mahal, anakku, suratmu, kopernya. 6) nomina umumnya dapat dikuti oleh adjektif,

baik secara langsung maupun dengan diantarai oleh kata yang, Alwi dkk. (2003:213). Sebagai

contoh: buku baru, buku yang baru.

2) Definisi Adjektiva

Page 18: 4. BAB II - UNUD

Secara lintas bahasa, adjektiva mudah dikenali sebagai kategori leksikon dari analisis

tataran kalimat, karena hanya adjektiva satu-satunya kategori yang dapat mengandung makna

semantis tertentu yang spesifik yang tidak dimiliki oleh kategori lain, sehingga mudah dikenali.

Ciri spesifik yang dimaksud yakni adjektiva secara semantis adalah memberikan keterangan

yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat yang berfungsi

sebagai atribut.

Dixon (2010:62) menjelaskan bahwa pada sejumlah bahasa, konsep semantis adjektiva

ditemukan dengan merujuk pada: (i) menyatakan ciri khusus dari suatu properti/benda; (ii)

menyatakan makna semantis perbandingan sifat subjek dalam konstruksi komparatif; (iii)

menyatakan kekhususan/sifat khusus suatu perbuatan yang tersirat pada verba tertentu, dan (iv)

menyatakan makna semantis keterangan waktu sekarang (present) yang menerangkan waktu

terjadinya suatu kejadian.

Menurut Givon, ciri adjektiva adalah memiliki pasangan antonim, seperti good/bad,

long/shor, tall/short, fat/thin. Alwi dkk. (2003:171--173), menjabarkan kandungan makna

adjektiva BI ke dalam 3 (tiga) rumusan, yaitu (1) menyatakan kekhususan benda, (2) menyatakan

perbandingan, dan (3) menyatakan properti khusus. Untuk menyatakan perbedaan tingkatan

digunakan sangat dan agak, sedangkan untuk menyatakan perbedaan dalam membandingkan dua

hal atau lebih dinyatakan dengan lebih dan paling.

Berikut ini bagan pewatas adjektiva dan distribusi yang menyatakan tingkat kualitas.

Tabel 2.2

Distribusi Pewatas Adjektiva

Page 19: 4. BAB II - UNUD

terlaluterlampaukelewat

sungguh

amat

maha-

sangat adjektiva amatsekalibenarbetulsungguh

samasekali

tidaktidaktidak

adjektiva sama sekalisedikit jugasedikit pun

Sebagai contoh pemakaian distribusi pewatas adjektiva, yaitu (1) terlalu amat kaya, (2) amat

sangat membosankan, (3) tidak benar sama sekali, dan (4) sungguh maha besar.

3) Definisi Prakategorial (Dasar Terikat)

Bentuk dasar terikat (berikutnya menggunakan istilah prakategorial) adalah suatu bentuk

yang belum dapat berdiri sendiri, karena kategori sintaksis dan maknanya baru dapat ditentukan

setelah diberi afiks. Jadi sebetulnya setiap kata dalam bahasa apapun mengandung fitur-fitur

semantik yang secara universal melekat pada kata tersebut, termasuk kategori prekategorial pun

mempunyai fitur semantik yang mengandung makna, hanya prekategorial harus diberi dulu afiks,

baru mempunyai makna. Contoh: juang, alir, kena, serah, ledak, dan seterusnya.

4) Definisi Verba

Verba atau yang dikenal dengan kata kerja bisa dikenali dari ciri-cirinya dengan

mengamati, yaitu (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaksis, dan (3) bentuk morfologi. Secara

semantis verba mudah dikenali, karena hanya verba yang mengandung makna semantis suatu

tindakan atau perbuatan atau suatu aksi. Selan itu secara inheren perilaku semantis verba

mengandung makna proses dan keadaan. Verhaar (1996) mengklasifikasi verba utama, yaitu

aksi, keadaan dan proses. Verba aksi merupakan situasi dinamik yang menetapkan bahwa

partisipan dalam konteks ini melakukan suatu perbuatan, seperti verba makan, berkokok,

bernyanyi. Adapun verba keadaan/situasi merupakan statis, non dinamik yang mencakup lokasi

partisipan, seperti verba berada, mencintai, suka. Sedangkan verba proses adalah situasi yang

Page 20: 4. BAB II - UNUD

berkaitan dengan perubahan dan mengambil kurun waktu tertentu, seperti perubahan tempat, di

antaranya verba jatuh, mendidih, belajar, dan memintal. Sementara verba statif adalah

sejumlah verba yang mengandung makna keadaan emosi manusia seperti marah, sedih, kesal.

Verba-verba tersebut apabila muncul sebagai pengisi predikat dalam kalimat, maka menuntut

hadirnya komplemen dan lainnya sebagai partisipan. Jelasnya bahwa perilaku sintaksis dari

verba sebagai pengisi predikat menuntut hadirnya fungsi subjek, objek, komplemen atau oblik,

tergantung dari jenis verba tersebut apakah verba berargumen satu, dua atau tiga.

Properti lain yang dimiliki oleh semantis verba, yakni (1) pada umumnya tidak dapat

bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. Sebagai contoh: tidak

ditemukan *agak belajar, *sangat pergi, *bekerja sekali; (2) Tetapi verba sering

berdampingan aspek dengan modalitas yang ditandai dengan properti : harus, akan, dapat, bisa,

boleh, suka, ingin, mau; (3) Verba perbuatan dapat dipakai dalam bentuk perintah, ( Alwi: 8).

Sebagai contoh larilah!; dan (4) verba keadaan tidak dapat ditandai afiks ter- (afiks ini yang

membedakan dengan adjektiva yang sangat mirip verba. Sebagai contoh verba suka tidak bisa

menjadi *tersuka. Tetapi adjektiva dingin, sulit dapat diberikan afisk ter- menjadi terdingin,

tersulit.

2.3 Landasan Teori

Teori utama yang dipakai untuk menganalisis verba derivatif BI adalah Teori Tipologi

Linguistik. Kajian yang mendasar dari Tipologi linguistik adalah data alami dan sistem struktur

bahasa alami. Prinsip-prinsip kajiannya deskriptif serta bentuk kajiannya memenangkan data

menjadi alur dasar pengkajian tipologi linguistik. Dengan demikian kajian tipologi linguistik

menghendaki lahirnya pendeskripsian bahasa sebagaimana adanya dan membuat penjelasan serta

Page 21: 4. BAB II - UNUD

penafsiran ilmiah berdasarkan data dan informasi yang lazim adanya dalam satu bahasa. Selain

itu kajian tipologi linguistik juga bisa berbentuk kajian perbandingan lintas bahasa untuk

penipologian bahasa. Dari pernyataan di atas, Artawa dan Jufrizal (2018:35) menyimpulkan

bahwa kajian tipologi linguistik adalah bersifat deskriptif-alamiah dan lintas bahasa.

Tipologi linguistik pada dasarnya mengarah kepada kelompok teori yang dikemukakan

oleh para ahli, seperti tipologi tata urutan kata (Greenberg), tipologi linguistik Mallinson dan

Blake, tipologi linguistik Comrie, tipologi linguistik Dixon, dan yang lainnya. Pernyataan

Comrie (1988) tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan

sifat- perilaku struktural bahasa tersebut.

Dalam penelitian ini teori tipologi linguistik dipakai untuk mendeskripsikan secara

alamiah dan lintas bahasa pembentukan verba derivatif BI dilihat dari perspektif tipologi. Tahap

berikutnya dikaji dari struktur argumen dan relasi gramatikalnya. Teori Tipologi linguistik ini

dipakai selain mempunyai tujuan pokoknya untuk menjawab pertanyaan seperti apa bahasa X itu,

juga dapat menjelaskan bahwa 1) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya dan

2) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada, Comrie (1988) ; Artawa (1988).

Karena berupa kajian tipologi, maka penelitian ini dalam analisisnya menghendaki

adanya pembanding. Adapun bahasa yang akan dibandingkan adalah bahasa Jepang (BJp),

dengan alasan karena BI dan BJp mempunyai proses morfologis yang sama yakni melalui

afiksasi. Dalam BJp pun dikenal verba derivatif yaitu verba yang dibentuk dengan cara

menambahkan sufiks derivasi pada bentuk dasar yaitu adjektiva dan nomina verba.

2.4 Model Penelitian

Page 22: 4. BAB II - UNUD

Untuk memudahkan dalam memahami pembahasan serta alur analisis penelitian verba

derivatif BI, berikut akan dijelaskan dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian

i n i . P e n e l i t i a n d i m u l a i d e n g a n m e m p e r s i a p k a n d a t a t e k s , y a i t u n o v e l .

Data novel tersebut di-scan dan dipindahkan dalam bentuk word dengan menggunakan Program

Omni Page. Hasil data tersebut dikumpulkan menjadi satu dalam database. Tahap selanjutnya

adalah pengolahan data dengan memasukkan database ke dalam Program Korpus yang siap

dioperasikan yaitu pertama membuka perintah (file.dir) untuk mencari serta mengumpulkan data

dengan cara mengetik afiks derivasi yang ingin dicari, sebagai contoh mengetik sufiks –kan

dalam kolom search, kemudian tekan start untuk memulai pencarian data. Program korpus

sebagai penyedia data, akan menampilan semua verba yang bersufiks -kan di layar komputer,

dan dilanjutkan menyimpan data verba derivatif bersufiks –kan tersebut berikut klausanya ke

dalam file yang terpisah. Begitu pula untuk afiks-afiks derivasional yang lainnya, yakni -i,

meng-, per-, per-, ber-, ter-, dan seterusnya. Data verba derivatif yang sudah tersimpan di file

terpisah akan diolah berdasarkan tiga masalah yang diajukan. Pertama, pengelompokan data

dilakukan berdasarkan bentuk dasar/asal dari verba derivatif, dilanjutkan dengan pengelompokan

afiks yang dapat bergabung dengan bentuk dasar tersebut. Kedua, pengklasifikasian verba

derivatif transitif bersufiks –kan dan –i, yang berargumen dua atau tiga. Pengelompokan ini

dilakukan untuk memudahkan analisis argumen dari verba derivatif tersebut. Ketiga analisis

dilakukan atas relasi gramatikal klausa verba derivatif transitif bersufiks -kan dan –i.

Langkah-langkah penelitian tersebut dapat digambarkan pada diagram model penelitian

sebagai berikut.

Page 23: 4. BAB II - UNUD

Gambar 2.1 Model Penelitian

DATA

METODEKORPUS

BAHASA INDONESIA

TEMUAN

TEORI :

TIPOLOGILINGUISTIK

RELASI GRAMATIKALVERBA DERIVATIFTRANSITIF :SUFIKS –kan / i

SISTEM PEMBENTUKANVERBA DERIVATIF

STRUKTUR KONSTITUENVERBA DERIVATIFTRANSITIF :SUFIKS –kan / i

METODE :

AGIH