bab ii kajian pustaka - unud

29
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ saluran kemih yang berada dirongga retroperitoneal bagian atas. Secara umum ginjal berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, menjaga keseimbangan asam basa, menghasilkan renin untuk mengontrol tekanan darah dan eritropoietin yang mempengaruhi produksi sel darah merah dan metabolisme kalsium khususnya absorpsi kalsium dengan mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif 1.25- dihhydroxyvitamin D (Anderson and Cadeddu, 2012). Ginjal berbentuk seperti kacang yang terletak dikedua sisi kolum vertebra setinggi T12 sampai L3 dengan bagian cekungnya menghadap sisi medial dimana pada bagian ini terdapat hilus ginjal berupa struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter (Gambar 2.1). Ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepar, masing-masing ginjal memiliki facies anterior dan posterior, margo medialis dan lateralis, ekstremitas inferior dan superior. Ukuran ginjal bervariasi tergantung jenis kelamin dan umur, umumnya pada orang dewasa berwarna merah kecoklatan, ukuran panjang 10 cm sampai 12 cm lebar 5 cm sampai 7 cm dan tebal 3 cm dengan berat 150 gram pada laki-laki dan 135 gram pada perempuan. Sedangkan pada anak-anak ukuran ginjal biasanya lebih besar dan menonjol (Anderson and Cadeddu, 2012; Purnomo, 2011). Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perineal. Disebelah kranial terdapat kelenjar anak ginjal yang disebut glandula adrenal atau suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal, ginjal dan lemak perineal dibungkus oleh fascia gerota yang berfungsi sebagai barier untuk mengahambat meluasnya perdarahan dan ekstravasasi urine saat trauma ginjal, menghambat penyebaran infeksi atau metastase tumor ke organ disekitarnya. Diluar

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan sepasang organ saluran kemih yang berada dirongga retroperitoneal

bagian atas. Secara umum ginjal berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,

menjaga keseimbangan asam basa, menghasilkan renin untuk mengontrol tekanan darah dan

eritropoietin yang mempengaruhi produksi sel darah merah dan metabolisme kalsium

khususnya absorpsi kalsium dengan mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif 1.25-

dihhydroxyvitamin D (Anderson and Cadeddu, 2012).

Ginjal berbentuk seperti kacang yang terletak dikedua sisi kolum vertebra setinggi T12

sampai L3 dengan bagian cekungnya menghadap sisi medial dimana pada bagian ini terdapat

hilus ginjal berupa struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter (Gambar

2.1). Ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepar,

masing-masing ginjal memiliki facies anterior dan posterior, margo medialis dan lateralis,

ekstremitas inferior dan superior. Ukuran ginjal bervariasi tergantung jenis kelamin dan umur,

umumnya pada orang dewasa berwarna merah kecoklatan, ukuran panjang 10 cm sampai 12

cm lebar 5 cm sampai 7 cm dan tebal 3 cm dengan berat 150 gram pada laki-laki dan 135 gram

pada perempuan. Sedangkan pada anak-anak ukuran ginjal biasanya lebih besar dan menonjol

(Anderson and Cadeddu, 2012; Purnomo, 2011).

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa

ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perineal. Disebelah kranial terdapat

kelenjar anak ginjal yang disebut glandula adrenal atau suprarenal yang berwarna kuning.

Kelenjar adrenal, ginjal dan lemak perineal dibungkus oleh fascia gerota yang berfungsi

sebagai barier untuk mengahambat meluasnya perdarahan dan ekstravasasi urine saat trauma

ginjal, menghambat penyebaran infeksi atau metastase tumor ke organ disekitarnya. Diluar

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

fascia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal yang disebut jaringan lemak pararenal.

Bagian posterior ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta costa XI dan XII

sedangkan bagian anterior dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal. Secara anatomis ginjal

terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan medula ginjal, didalam korteks terdapat berjuta-

juta nefron yang merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri dari tubulus

kontortus proksimal, tubulus kontortus distal dan tubulus koligentes, sedangkan didalam

medula terdapat banyak duktuli ginjal (Purnomo, 2011).

Aliran darah ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari

aorta yang masuk ke hilum ginjal diantara pelvis dan terletak diposterior vena renalis yang

bermuara ke vena kava inferior. Arteri renalis bercabang menjadi anterior dan posterior, cabang

posterior menyuplai midsegmen permukaan posterior, cabang anterior menyuplai pole atas dan

bawah permukaan anterior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak

memiliki anastomosis dengan cabang-cabang arteri lainnya, sehingga jika terdapat kerusakan

salah satu cabang arteri akan menimbulkan iskemi atau nekrosis pada daerah yang dilayani.

Arteri renalis memasuki ginjal kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang naik pada

columns of bertin, melengkung sepanjang dasar piramid (arteri arkuarta), naik menjadi arteri

interlobularis dan arteri aeferen yang menuju kapiler glomelurus dimana tempat sejumlah

cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung distal kapiler pada setiap

glomelurus bergabung membentuk arteriol aeferen yang menuju jaringan kapiler kedua yaitu

kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya

kedalam sistem vena, yang berjalan secara pararel dengan pembuluh arteriol yang secara

progresif membentuk vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis

yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter. Aliran limfa ginjal sebagian

besar mengikuti aliran darah melalui column of bertin kemudian membentuk beberapa cabang

limfa pada sinus renal, sistem limfatik ginjal mengalir ke lumbar lymph node. Suplai saraf

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

ginjal berasal dari renal pleksus yang bersamaan dengan pembuluh darah ginjal melalui

parenkim ginjal (Tanagho and Lue, 2013).

2.2 Batu Ginjal

2.2.1 Epidemiologi

Batu saluran kencing sudah ditemukan sejak 4000 tahun sebelum masehi pada makam

mumi orang Mesir dan juga pada makam orang Indians Amerika Utara pada dahun 1500

sampai 1000 sebelum masehi. Bukti terbentuknya batu saluran kencing juga di dokumentasikan

dalam bahasa sansekerta pada tahun 3000 sampai 2000 sebelum masehi (Vijaya et al, 2013).

Penelitian terbaru insiden batu ginjal sekitar 114-720 per 100.000 penduduk dengan prevalensi

1,7-14,8% hampir disemua negara dan angkanya cenderung meningkat, variasinya tergantung

usia, jenis kelamin dan lokasi geografis. Prevalensi di United State sekitar 10%-15% pada akhir

tahun 1970an, data dari National Health and Nutrition Examination Survey Amerika Serikat

menunjukan peningkatan prevalensi batu ginjal dari 3,2 % pada tahun 1976-1980, 5,2% tahun

1988-1994, sampai 8,8% pada tahun 2007-2010 (Pearle and Lotan, 2012; Khan et al, 2016).

Prevalensi batu ginjal di Jepang berdasarkan survei Japanase Urolithiasis Society selama lebih

dari 40 tahun, menunjukan peningkatan insiden kejadian batu ginjal pertama kali dari 54,2 per

100.000 tahun 1965 menjadi 114,3 per 100.000 tahun 2005. Walaupun insiden meningkat pada

semua grup usia laki-laki dan perempuan, namun puncak insiden bergeser pada laki-laki usia

20-49 tahun pada tahun 1965 menjadi usia 30-69 tahun pada 2005 dan pada perempuan usia

20-29 tahun pada 1965 menjadi usia 50-79 tahun pada 2005 (Pearle and Lotan, 2012). Di

Indonesis sendiri berdasarkan data dari departemen kesehatan tahun 2013 diperoleh prevalensi

tertinggi di DI Yogyakarta (1,2%) diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi

Tengah masing-masing 0,8%, lebih sering pada laki-laki (0,8%) dibandingkan perempuan

(0,4%), dan tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun (1,3%) (Trihono, 2013).

Penyakit batu ginjal umumnya dialami oleh laki-laki dewasa dibandingkan perempuan

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

dewasa berdasarkan jumlah pasien rawat inap, rawat jalan, maupun emergensi dengan

perbandingan 2-3 x lebih sering dari pada perempuan. Penelitian Scale dan Colleagues pada

tahun 2005 menemukan pasien pulang dengan diagnosis batu ginjal atau uretra meningkat

1,6% dari tahun 1997 sampai 2002 dengan rincian kepulangan wanita meningkat 17% dan

kepulangan laki-laki menurun 8,1%. Kejadian ini juga menunjukan perubahan rasio

kepulangan laki-laki dan perempuan menurun dari 1,7 pada 1997 menjadi 1,3 pada 2002.

Insiden batu ginjal antara laki-laki dan perempuan juga menurun di Rochester, Minnesota,

USA dari 3,1% menjadi 1,3% antara tahun 1970 dan 2000. Fenomena ini belum dimengerti

dengan jelas namun beberapa spekulasi menyebutkan perubahan gaya hidup dan pola makan

sehingga meningkatkan risiko obesitas pada perempuan yang dianggap sebagai salah satu

faktor risiko terbentuknya batu (Khan, et al, 2013)

Distribusi geografis penyakit batu ginjal disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan

diantaranya prevalaensi lebih tinggi pada daerah panas, gersang atau iklim kering seperti

pegunungan, gurun, arau area tropis. Namun faktor genetik dan pola makan juga akan

mempengaruhi efek geografis ini, Finlayson tahun 1974 menemukan wilayah dengan

prevalensi tinggi penyakit batu diantaranya United State, British, Scandinavian dan negara

Mediterranean, India dan Pakistan utara, Australia bagian utara, Eropa Tengah dan China.

Soucie dkk tahun 1996 menyatakan setelah melakukan kontrol terhadap faktor risiko lain

ditemukan bahwa suhu dan temperatur dihubungkan dengan prevalensi penyakit batu ginjal

(Pearle and Lotan, 2012).

2.2.2 Patofisiologi

Batu ginjal merupakan batu yang mengisi kaliks atau pelvis ginjal, dan bisa menjadi

progresif menjadi persatuan batu di kalik (minimal 2 kaliks) dan pelvis yang disebabkan karena

penambahan garam berlebih yang dikenal dengan batu staghorn (gambar 2.2). Proses

terbentuknya batu ginjal merupakan prosedur komplek dan disebabkan oleh banyak faktor

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

meskipun patofisiologinya belum diketahui pasti namun secara umum disebabkan oleh faktor

kombinasi kecepatan termodinamik abnormal (supersaturasi) dan proses kinetik kristalisasi

beberapa mineral pembentuk batu. Saturasi urin dipengaruhi oleh pH urin, ion-ion, konsentrasi

zat terlarut dan lain-lain (Pearle and Lotan, 2012).

Ukuran batu ginjal bervariasi dari bentuk pasir sampai butiran atau yang lebih besar

tergantung dari komposisinya, berwarna kuning atau coklat dan berbentuk halus atau kasar.

Batu ginjal terdiri dari kristal dan matrik organik yang tidak hanya melapisi kristal tapi juga

berada didalam kristal. Matrik dari batu yang mengapur terdiri dari banyak makromolekuler

termasuk osteopotin, inter alpha inhibitor, fragmen protrombin urin yang normalnya terdapat

pada urin walaupun dalam jumlah sedikit, matrik juga terdiri dari beberapa bentuk lipid yang

menunjukan pengaruh nukleasi kristal. Hubungan antara kristal dan matrik ini memulai

terbentuknya nukleasi kristal dan berlanjut menjadi fase pertumbuhan dan pembentukan batu.

Walaupun beberapa molekul urin dianggap sebagai penghambat kristalisasi, komponen lain

seperti osteopotin dapat menjadi penghambat dan penyebab kristalisasi (Khan, et al, 2016).

Disebutkan beberpa teori pembentukan batu ginjal namun terdapat dua mekanisme

utama dalam proses terbentuknya batu yaitu partikel bebas (dan partikel tetap. Pada

mekanisme partikel bebas kristal nuklei tumbuh dan menyatu dengan urin pada tubulus ginjal,

kristal menyatu dan membentuk partikel besar sehingga tidak bisa melewati lumen tubular dan

tertahan dalam ginjal. Dengan supersaturasi yang tinggi kristal menumpuk dan keluar ke pelvis

renal dan terekspos dengan urin pelvis saat saluran tubular tertutup, kondisi stasis ini dapat

menyebabkan terbentuknya batu kecil dibelakang sumbatan. Mekanisme kedua terbentuknya

batu yaitu partikel tetap dimana pembentuk batu terikat pada plak kalsifikasi pada permukaan

papiler. Pada teori ini bisa disebabkan karena infeksi patogen atau kristal yang terikat pada

epitelium ginjal yang menjadi fokus terbentuknya batu. Salah satu perbedaan antara

mekanisme partikel bebas dan partikel tetap adalah lokasi inisiasi nidus, pada partikel bebas

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

terjadi deposit pada tubular yang umumnya terdiri dari kalsium fosfat dan terus menerus

terkena urine sehingga tumbuh bertahap, sedangkan pada partikel tetap terjadi deposit pada

subepitel yang harus menembus permukaan sebelum massa kristal terekspos urine untuk

pertumbuhan lebih lanjut. Walaupun teori ini mencakup semua kemungkinan bagaimana batu

terbentuk, tidak ada satu teori pun yang dapat mengungkapkan alasan terbentuknya batu pada

semua pasien, banyak faktor lain yang mempengaruhi. Tanpa memperhatikan teori, proses

kimia nukleasi dan pertumbuhan kristal penting dalam inisiasi dan perkembangan semua tipe

batu. Pembentukan batu disebabkan oleh kombinasi faktor abnormal yang mempengaruhi

kecepatan termodinamik (supersaturasi) dan proses kinetik yang melibatkan kristalisasi

berbagai mineral pembentuk batu (Khan, et al, 2016; Bahari et al, 2017).

Teori lain berupa teori hambatan limfatik menjelaskan sistem limfatik ginjal mengaliri

pelvis ginjal dan mencegah akumulasi dan agregasi pengendapan garam pada ginjal, namun

karena kerusakan limfatik ginjal pengendapan garam cenderung tumbuh menjadi gumpalan

padat yang lebih besar selama melewati pembuluh limfa dan terjadi sumbatan pada kalik diluar

collecting system, dimana gumpalan ini mengikis membran sekitarnya menyebabkan

penyerapan urin dan tumbuh menjadi batu ginjal dengan kontak terus menerus dengan garam

dan substansi organik urin lainnya. Teori vaskuler menyebutkan dimana vasa rekta dan kapiler

pada papilari ginjal mengalami perubahan aliran darah dari laminar ke turbulen yang berulang

sehingga suasana hiperosmolar dan hipoksia menyebabkan injuri, plak aterosklerotik pada

papila renal yang diikuti kalsifikasi. Substansi kapur ini dapat mengikis intersisium ginjal dan

papilari saluran Bellini dimana dapat tumbuh menjadi batu besar jika kontak dengan urin terus

menerus. (Bahari, et al, 2017). Teori nukleasi mengatakan bahwa batu berasal dari kristal atau

benda asing di dalam urin yang mengalami supersaturasi. Namun, teori ini dipertanyakan

karena batu tidak selalu terbentuk pada pasien hiperekskretor atau dalam risiko dehidrasi,

bahkan pemeriksaan urin 24 jam pasien-pasien batu cenderung normal. Teori inhibitor kristal

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

menyatakan bahwa batu terbentuk karena tidak adanya atau rendahnya inhibitor batu natural

termasuk magnesium, sitrat, pyrophosphate, dan berbagai macam metal. Teori ini tidak

memiliki validitas absolut karena beberapa orang yang kekurangan inhibitor tersebut bisa tidak

mengalami batu dalam hidupnya, sementara orang dengan inhibitor tersebut justru mengalami

batu (Pearle and Lotan, 2012).

Pembentukan batu ginjal disebabkan oleh peningkatan supersaturasi urin yang

menyebabkan terbentuknya partikel kristal, supersaturasi mempercepat proses klristalisasi

pada urine. Hubungam antara konsentrasi zat terlarut dengan terbentuknya batu cukup jelas,

semakin besar konsentrasi ion kemungkinan ion akan megendap semakin tinggi. Apabila

konsentrasi ion meningkat, ion akan mencapai titik yang disebut solubility product (Ksp). Bila

konsentrasi ion meningkat diatas titik ini maka dimulai proses perkembangan kristal dan

nukleasi. Jika penghambat kristalisasi tidak dapat berperan dengan baik maka terbentuklah

nefrolitiasis (Gambar 2.3) (Anggarwal et al, 2013; Chung et al, 2007; Pearle dan Lotan, 2012).

Gambar 2.3 Tahapan saturasi urin (Dikutip dari: Pearle dan Lotan, 2012)

Nukleasi merupakan tahap pertama kristalisasi dimana terjadi perubahan dari fase cair

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

menjadi padat pada larutan supersaturasi, nukleasi dapat terjadi secara homogen atau

heterogen. Nukleasi homogen memerlukan supersaturasi derajat tinggi kandungan mineral,

nukleasi heterogen merupakan mekanisme inisiasi kristal pada urin yang memerlukan level

supersaturasi yang lebih rendah. Estimasi derajat supersaturasi urin pada setiap mineral

pembentuk batu memerlukan 15 komponen urinari termasuk kristal yang mempercepat

sebelum atau sesudah mengeluarkan urin (Khan, et al, 2016; Anggarwal et al, 2013). Setelah

kristal nukleus dalam ukuran tertentu dan didalam ginjal terekspos dengan urine akan

menimbulkan kerak dan menyebabkan pertubuhan batu yang disebut dengan pertumbuhan

kristal sebagai syarat pembentukan partikel dan batu (Khan, et al 2016). Selanjutnya terjadi

agregasi kristal dimana kristal dalam larutan berkumpul bersama membentuk partikel besar.

Agregasi kristal memiliki peranan penting dalam pembentukan batu karena pertumbuhan

kristal saja jarang akan membentuk partikel besar, melainkan kecepatan agregasi cukup untuk

membetuk partikel ukuran besar (Anggarwal et al 2013; Chung et al, 2007). Mekanisme

interaksi kristal-sel sangat komplek dan banyak yang belum jelas, kristalisasi disebabkan oleh

supersaturasi urin, kristal yang terbentuk terikat pada sel epitel tubular ginjal. Proses ikatan

atau endositosis kristal dan sel tubular ginjal ini disebut dengan interaksi kristal-sel

(Anggarwal, et al, 2013). Sebelumnya disebutkan tentang tahapan nukleus kristal,

pertumbuhan dan aggregasi kristal, namun tidak satupun akan membentuk batu jika kristal

tersebut keluar mengikuti aliran urin, sehingga retensi kristal penting untuk pembentukan batu.

Retensi kristal akan berhasil jika pertumbuhan kristal cukup besar untuk terperangkap dalam

tubulus ginjal atau melekat pada urotelium sebelum ekskresi (Chung et al, 2007)

2.2.3 Jenis Batu Ginjal

Secara garis besar batu ginjal dibagi menjadi emapat tipe dinamai berdasarkan

komponen utama pembentuknya yaitu, batu kalsium, batu asam urat, batu struvit dan batu sistin

(Khan, et al, 2016). Kalsium merupakan komponen terbanyak sebagai kalsium oksalat (CaOx)

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

dan kristal kalsium fosfat (CaP) baik tunggal atau kombinasi. Sebagian besar batu ginjal

sebagian atau seluruhnya terdiri dari kalsium oksalat dalam bentuk monohidrat atau dihidrat.

Kalsium oksalat monohidrat umumnya tipis dan pipih berbentuk ‘dump-bell’ pada sedimen

urin sedangkan kalsium oksalat dihidrat ditandai dengan bentuk tetragonal bipiramid pada

sedimen urin dan batu ginjal. Batu kalsium oksalat umumnya kecil dengan eksterior berkilau

dan umumnya mengandung kristal kalsium oksalat monohidrat dan dihidrat. Batu kalsium

oksalat monohidrat lebih umum dibandingkan batu kalsium oksalat dehidrat murni, namun

pada batu kalsium oksalat campuran komponen dehidrat lebih banyak. Batu Kalsium fosfat

umumnya ditemukan sebagai kalsium fosfat utama (terbanyak), kalsium hidrogen fosfat

dehidrat atau trikalsium fosfat. Faktor risiko meningkat pada hiperkalsiurin, hipositraturia dan

peningkatan pH urin (Khan, et al, 2016; Pearle and Lotan, 2012)

Batu asam urat meliputi 8-10% dari semua batu ginjal dengan prevalensi pembentuk

batu pada orang gemuk dan resisten insulin (dua komponen sindrom metabolik). Keasaman

urin (pH 5,5), ketidak larutan asam urat pada pH urin yang rendah, dehidrasi dan keadaan yang

menyebabkan ekskresi asam urat urin berlebih (hiperuricosuria) dianggap sebagai penyebab

munculnya batu asam urat (Khan, et al, 2016).

Batu struvit juga dikenal dengan batu infeksi meliputi 7-8 % dari semua jenis batu dan

umumnya disebabkan oleh peningkatan produksi amonia akibat infeksi (organisme penghasil

urea) Proteus atau Klebseilla. Alkalin urin menyebabkan terbentuknya kristal magnesium

ammonium fosfat heksahidrat. Struvit dan kristal karbonat apatit dapat tumbuh dengan cepat

menjadi batu besar yang dikenal dengan batu staghorn. Batu struvit juga dihubungkan dengan

dengan sepsis dan infeksi ditangani dengan antibiotik dan intervensi pembedahan (Pearle and

Lotan, 2012).

Batu sistin terbentuk sebagai defek resesif autosomal transporter sistin asam amino

ginjal, kekurangan absorpsi sistin menyebabkan peningkatan ekskresi sistin urin. Pada pH urin

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

normal sistin tidak larut dan membentuk kristal sistin yang dapat berkumpul menjadi batu

ginjal ataupun batu kandung kencing. Batu sistin padat, berwana kekuningan, sedikit buram

dengan interior homogen dan ditandai dengan struktur heksagonal pada kristal sistin (Khan, et

al, 2016).

Batu santin merupakan tipe batu yang jarang timbul, umunya sulit dibedakan dengan

batu asam urat karena keduanya radiolusen. Batu ini terbentuk karena kelainan bawaan yaitu

pada katabolis ensim santin dehidrogenesis (XHD) atau oksidase santin dimana katalis

mengubah santin menjadi asam urat. Santin sulit terlarut dalam urin sehingga akumulasi level

santin yang banyak karena defisiensi XHD menyebabkan terbentuknya batu santin (Khan, et

al, 2016; Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.4 Diagnosis

Dalam mendiagnosis pasien batu ginjal perlu mengetahui riwayat medis, riwayat

keluarga dan pola makan. Riwayat medis berupa penyakit intestinal, kelainan homeostasis

kalsium, infeksi saluran kencing berulang, operasi beriatrik, ataupun terapi obat tertentu yang

menjadi faktor predisposisi nefrolitiasis. Riwayat keluarga dengan penyakit batu ginjal dan diet

memainkan peranan penting dalam pembentukan batu ginjal, diet tinggi garam dan protein,

suplemen tinggi kalsium dan vitamin D meningkatkan risiko terbentuknya batu (Bawari, et al,

2017).

Banyak gejala serta tanda yang dapat menyertai penyakit batu saluran kemih namun

ada juga beberapa batu yang tidak menunjukkan gejala atau tanda khusus tetapi ditemukan

pada hasil pemeriksaan radiologi. Gejala-gejala yang sering timbul pada pasien dapat berupa

nyeri, hematuria, mual, muntah, demam, dan gangguan buang air kecil seperti frekuensi,

urgensi dan disuria. Demam yang berhubungan dengan batu saluran kemih menunjukan

kondisi gawat darurat sebagai salah satu gejala sepsis selain takikardi, hipotensi dan

vasodilatasi. Nyeri merupakan gejala yang paling sering menyertai penyakit batu saluran

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

kemih, mulai dari nyeri sedang sampai nyeri berat yang memerlukan pemberian analgesik.

Nyeri biasanya terjadi pada batu di saluran kemih bagian atas, dengan karakter nyeri

bergantung pada lokasi batu, ukuran batu, derajat obstruksi, dan kondisi anatomis yang setiap

orang yang berbeda-beda. Nyeri yang terjadi dapat berupa kolik maupun nonkolik (Pearle dan

Lotan, 2012). Nyeri kolik pada ginjal biasanya terjadi diakibatkan meregangnya ureter atau

collecting duct akibat adanya obstruksi saluran kemih. Obstruksi juga menyebabkan

meningkatnya tekanan intraluminal, meregangnya ujung-ujung saraf, dan mekanisme lokal

pada lokasi obstruksi seperti inflamasi, edema, hiperperistaltik dan iritasi mukosa yang

berpengaruh pada nyeri yang dialami oleh pasien (Stoller, 2013). Pada obstruksi di renal calyx,

nyeri yang terjadi berupa rasa nyeri yang dalam pada daerah flank atau punggung dengan

intensitas bervariasi. Nyeri dapat muncul pada konsumsi cairan yang berlebihan. Pada

obstruksi renal pelvic dengan diameter batu diatas 1 cm, nyeri akan muncul pada sudut

costovertebra. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri yang redup sampai nyeri yang tajam yang

konstan dan tidak tertahankan, dan dapat merambat ke flank dan daerah kuadran abdomen

ipsilateral (Stoller, 2013).

Setelah menggali riwayat pasien, selanjutnya evaluasi yang dilakukan adalah

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang detail merupakan komponen penting dalam evaluasi

pasien dengan batu saluran kemih. Hal-hal yang dapat dilihat seperti takikardia, berkeringat,

mual, demam, lokasi nyeri dan menyingkirkan kemungkinan kemungkinan kelainan pada

abdomen dan lumbal. (Stoller et al, 2013).

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang, laboratorium diagnosis seperti analisis

urin menjadi langkah awal dalam mendiagnosis adanya batu saluran kencing. Adanya darah

dalam urin, tingkat keasaman urin, tingkat kandungan kalsium, natrium, fospat, oksalat, asam

urat, dan sistin dalam urin dapat menjadi faktor risiko batu saluran kencing. Analisis batu pada

kasus batu saluran kencing berulang dapat mengetahui komponen batu sehingga dapat

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

diketahui penyebabnya dan diberikan terapi yang tepat. Pemeriksaan fungsi ginjal untuk

mengetahui komplikasi batu ginjal terhadap organnya (Khan, et al, 2016).

Pemeriksaan anjuran berikutnya adalah pemeriksaan radiologi yang merupakan alat

diagnostik paling penting dalam mendiagnosis batu ginjal, pemeriksaan ini untuk

mengkonfirmasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium. Pemeriksaan X-ray

KUB (kidney-ureter-bladder) merupakan salah satu pemeriksaan radiologi primer untuk

mengetahai lokasi batu, jumlah, bentuk dan ukuran. Ultrasonografi merupakan modalitas

diagnostik menggunakan frekuensi gelombang suara dan menjadi pilihan diagnostik pada

wanita hamil karena tidak ada ekspos radiasi berfungsi untuk mengetahui lokasi batu ginjal

namun tidak bisa mendeteksi batu urteter, memiliki sensitifitas 70% dan spesifitas 94%.

Pemeriksaan Intravenous Pyelography (IVP) dengan memasukan kontras secara intravena

disaring melalui ginjal dan dikeluarkan dari ureter dan kandung kemih pada fase miksi disertai

serial X-ray ginjal, ureter dan kandung kemih sehingga bisa terlihat struktur dan fungsi saluran

kencing, adanya obstruksi dan batu. Noncontrast computed tomography (NCCT) menjadi

populer belakangan ini karena cepat, akurat dan efisien dalam mendeteksi semua tipe batu

disetiap lokasi tanpa menggunakan kontras (Sakhaee, et al, 2012; Ziemba dan Matlaga, 2015;

Khan, et al 2016; Bawari, et al, 2017).

2.2.5 Terapi

Terapi batu ginjal sesuai dengan ukuran dan lokasi batu, secara umum terdiri dari terapi

konservatif dan intervensi pembedahan. Untuk mengatasi keluhan nyeri pinggang rekomendasi

Europe Association of Urology (EAU) menggunakan NSAID sebagai lini pertama dan narkotik

sebagai lini kedua ditambah dengan obat simptomatis lainnya. Jika keluhan membaik dan tidak

ada kriteria urgensi seperti obstruksi, infeksi, gangguan fungsi ginjal, dilanjutkan dengan

observasi dan terapi obat-obatan. EAU juga merekomendasikan observasi pada asimptomatis

batu ginjal khusunya pada kalik inferior ukuran kurang dari 10 milimeter dengan pengawasan

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

aktif, evaluasi keluhan dan radiologis tiap tahun, jika batu membesar lebih dari 5 milimeter

disarankan untuk melakukan intervensi (Turk, et al, 2017).

Penatalaksanaan konservatif diberikan pada pasien tanpa riwayat batu saluran kemih.

Penatalaksanaan non-farmakologis dapat mengurangi insiden rekuren batu perlima tahun

sampai 60%. Penatalaksanaan konservatif berupa:

1. Konsumsi cairan minimal 8-10 gelas per hari dengan tujuan menjaga volume urin agar

berjumlah lebih dari 2 liter per hari

2. Mengurangi konsumsi protein hewani sekitar 0,8 – 1,0 gram/kgBB/hari untuk

mengurangi insiden pembentukan batu

3. Diet rendah natrium sekitar 2-3 g/hari atau 80-100 mEq/hari efektif untuk mengurangi

eksresi kalsium pada pasien dengan hiperkalsiuria

4. Mencegah penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan pembentukan batu seperti

calcitrol, suplemen kalsium, diuretik kuat dan probenecid

5. Mengurangi makanan yang berkadar oksalat tinggi untuk mengurangi pembentukan

batu. Makanan yang harus dikurangi seperti teh, bayam, coklat, kacang-kacangan dan

lain-lain (Pearle dan Lotan, 2012).

Selama 30 tahun terakhir terapi pembedahan simptomatis batu ginjal telah mengalami

perubahan dari pendekatan operasi konvensional ke minimal invasif endourologi. Indikasi

pengangkatan aktif pada batu ginjal berupa batu yang membesar, batu pada pasien yang

berisiko untuk muncul batu, obstruksi yang disebabkan oleh batu, infeksi, batu dengan gejala

simptomatis, ukuran batu lebih dari 15 mm, pasien dengan komorbid dan kondisi sosial. Tiga

terapi modalitas batu ginjal adalah ekstrakorporeal Shockwave Lithotripsy (SWL), rigid atau

flexible retrograde ureteroscopy (URS) dan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL). Menurut

algoritma EAU (gambar 2.4) terapi batu ginjal berdasarkan lokasi dan ukuran batu, untuk batu

pole atas dan tengah atau pelvis renal dengan ukuran batu kurang dari 20 mm Shockwave

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

Lithotripsy (SWL) menjadi pilihan terapi utama. Untuk batu ukuran lebih dari 20 mm PCNL

merupakan pilihan terapi utama (Turk, et al, 2017; Ziemba and Matlaga, 2015; Khan, et al,

2016).

Gambar 2.4 Algoritma terapi batu ginjal (Turk, et al, 2017)

2.3 Perkutaneus Nefrolitotomi

Perkutaneus nefrolitotomi (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif

dibidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal menggunakan akses perkutan untuk

mencapai sistem pelviokalises. Prosedur ini menjadi pilihan terapi utama pada batu ginjal

ukuran lebih dari 2 cm karena relatif aman, murah, efektif dan memiliki morbiditas yang rendah

dibandingkan operasi terbuka (Karolides, et al, 2012)

Sejak pertama kali diperkenalkan teknik PCNL telah mengalami banyak modifikasi.

Pada tahun 1976 Fernstrom dan Johansson melaporkan tiga pasien yang tidak layak untuk

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

operasi konvensional dan dilakukan pengangkatan batu ginjal melalui teknik perkutaneus.

Nefrostomi dimasukan dengan anastesi lokal dan didilatasi menggunakan kateter Couvelaire

sebelum diganti dengan kateter yang lebih besar. Setelah ukuran kateter tercapai kateter

dibiarkan selama 14 hari dan batu diangkat menggunakan fluroskopi sebagai guiding

intrarenal. Publikasi ini sebagai tanda lahirnya endourologi. PCNL umumnya dikerjakan dalam

posisi prone dengan angka keberhasilan cukup tinggi dan morbiditas yang dapat diterima.

Semakin sering mengerjakan PCNL data menunjukan posisi prone tidak optimal pada semua

pasien khususnya pasien obesitas atau dengan permasalahan kardiorespiratorik. Untuk akses

yang lebih mudah dan nyaman dalam melakukan tindakan endoskopi antegrade dan retrograde

mulai diperkenalkan alternatif posisi PCNL. Pada tahun 1987 Valdavia Uria dkk

memperkenalkan PCNL supine tanpa perlu mengubah posisi prone dan mereka melaporkan

pengalaman klinis pertama pada tahun 1998. Beberapa posisi mungkin tidak diterima oleh

komunitas urologi, namun semuanya berperan dalam proses dinamika perubahan, berikut

kronologis perkembangan posisi PCNL (Gambar 2.4) (Ganpule, et al, 2016; Ghani, et al, 2016;

Celik, et al, 2015).

De Sio dkk membandingkan teknik PCNL posisi supine sebanyak 36 pasien dan prone

39 pasien dengan hasil tidak ada perbedaan signifikan kejadian komplikasi pada kedua

kelompok namun lama operasi lebih pendek pada pasien kelompok supine dibandingkan prone.

Studi lain menyebutkan angka bebas batu sama pada kedua kelompok dan durasi operasi lebih

rendah pada kelompok supine namun dengan angka tranfusi lebih tinggi (Celik, et al, 2015).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

Gambar 2.5 Perkembangan posisi PCNL (Dikutip dari Karaolides, dkk, 2012)

2.3.1 Teknik Perkutaneus Nefrolitotomi

Sebelum dilakukan tindakan PCNL diagnosis harus dipastikan berdasarkan

pemeriksaan radiologi. Adanya infeksi saluran kecing harus diterapi dengan antibiotik yang

tepat, obat-obatan yang mempengaruhi koagulasi seperti NSAID, aspirin harus dihentikan dan

persiapan anastesi sesuai dengan indikasi. Pasien diberikan antibiotik spektrum luas sebelum

tindakan operasi, pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah lengkap, fungsi ginjal,

elektrolit dan kultur urin (Ko, et al, 2007; Skolarikos, 2005; Wolf, 2012).

Tindakan awal sebelum melakukan PCNL adalah pemasangan keteter ureter dalam

posisi litotomi selanjutnya pasien diposisikan sesuai dengan indikasi teknik yang digunakan

baik posisi prone, lateral atau supine. Posisi diatur untuk memudahkan saat melakukan pungsi

perkutan, baik dengan bantuan ultrasonografi, fluoroskopi, CT scan atau pun C-arm. Pungsi

dilakukan dibawah iga 12 menggunakan jarum G18 yang diposisikan sehinggap pangkal jarum,

ujung jarum dan target dalam satu garis dengan target kalik posterior pole bawah sampai

ifundibulum. Ketika jarum mencapai kalik target dan obturator dilepas maka urin akan keluar

dari jarum, kedalaman ditentukan dari target kalik dan posisi batu dapat dikonfirmasi

menggunakan C-arm. Beberapa pertimbangan anatomis secara umum menjadi pedoman dalam

melakukan pungsi ginjal diantaranya kaliks posterior lebih dipilih karena biasanya berada

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

dalam brodel’s line, pungsi harus searah infundibulum untuk mencegah perlukaan terhadap

pembuluh darah serta memudahkan akses dan manuver nefroskop saat memecah batu. Pungsi

sebaiknya dilakukan dibawah iga 12 untuk mengurangi risiko cedera pleura atau bila pungsi

suprakosta diperlukan hendaknya dilakukan saat ekspirasi penuh. Tujuan dari keseluruhan

akses adalah dapat mengangkat batu dengan nefroskop yang rigid, sedangkan untuk batu kaliks

biasanya pungsi diarahkan langsung pada kaliks yang bersangkutan kecuali pada kaliks

anterior karena sudut tajam antara kaliks anterior dan pelvis sehingga batu kalis anterior

biasanya diraih melalui kaliks posterior menggunakan nefroskop fleksibel (Celik, et al, 2015).

Setelah pungsi dipastikan dalam sistem pelviokalises, kemudian dimasukan dua

guidewire melalui jarum yang diinsersi sebelumnya, untuk menghindari kehilangan jalur yang

dibuat. Selanjutnya dilakukan dilatasi menggunakan dilator fasial. Terdapat 3 tipe dilator

fasial yaitu dilator teflon, dilator metal dan dilator balon. Dilatasi dilakukan dengan gerakan

berputar 80% mendorong 20% sampai ukuran 30F dan meninggalkan sheat 34 F sebagai

tampon untuk mengurangi perdarahan dan sebagai saluran untuk memasukan instrumen dan

irigasi cairan. Dilator dimasukan sepanjang guidewire sampai ujungnya masuk kedalam sistem

pelviskalises. Serial dilatasi menggunakan dilator metal lebih baik daripada dilator teflon

karena teknik lebih mudah dan cepat, dan risiko kehilangan jalur lebih kecil. Metode yang

paling cepat dengan menggunakan dilator balon dan tidak memerlukan insersi berulang untuk

menaikan ukuran yang dapat berisiko perforasi pelvis renalis, ekstravasasi urine dan

perdarahan, namun harganya mahal dan tidak bisa menembus jaringan fibrotik (Celik, et al,

2015).

Tahap selanjutnya yaitu memasukan nefroskop melalui sheat ke dalam sistem

pelviokaliks untuk mencapai batu menggunakan nefroskop standar ukuran 26Fr rigid dengan

lensa optik dan memudahkan instrumen rigid lainnya untuk mencapai batu. Irigasi dengan

normal saline hangat diatur untuk mengisi sistem pelviokaliks secara kontinyu melalui

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

endoskop sehingga bisa membersihkan fragmen pecahan batu dan darah dengan cepat dan

menghasilkan visualisasi yang baik. Batu ukuran kecil kurang dari satu sentimeter dapat

dikeluarkan langsung menggunakan forcep Randall melalui sheat sedangkan ukuran batu yang

lebih besar memerlukan fragmentasi dengan menggunakan litotripsi ultrasonik, laser, ataupun

pneumatik. Litotripsi ultrasonik modern cocok untuk batu staghorn khususnya batu degan

konsistensi lunak atau rapuh sedangkan untuk batu yang lebih keras diperlukan litotripsi laser

holmium (Celik, et al, 2015).

Pada akhir operasi setelah batu dikeluarkan dilakukan pemasangan kateter nefrostomi

temporer yang bertujuan untuk memonitor perdarahan, drainase urine jika fungsi ureter belum

berfungsi maksimal karena inflamasi atau sumbatan darah dan untuk akses jika diperlukan

tindakan PCNL lanjutan. Terdapat beberapa selang nefrostomi yang sering digunakan

diantaranya kateter karet, pigtail, kater balon atau kombinasi set nefrostomi. Pemilihannya

tergantung seberapa manipulasi saat operasi, trauma uretelial, banyaknya perdarahan dan

ukuran batu. Wickham dkk pertama kali memperkenalkan tubeless PCNL pada tahun 1984

dimana didapatkan 94% angka bebas batu dengan rata-rata perawatan 2,8 hari dan 6% angka

transfusi. Penelitian lain oleh Bellman dkk menyebutkan dari pada menggunakan nefrostomi

lebih memilih menggunakan DJ stent untuk monitoring degan hasil lama perawatan,

penggunaan anti nyeri, waktu mobilisasi dan pembiayaan lebih rendah secara signifikan

sehingga tubeless PCNL semakin populer. Pada penelitian prospektif acak terbaru oleh Sabnis

dkk mengungkapkan total tubeless PCNL (tanpa nefrostomi dan DJ stent) cukup aman

dikerjakan pada pasien tertentu dengan kriteria tempat akses tunggal, ginjal tanpa obstruksi

dan tidak ada tanda perforasi pada collecting system dan perdarahan (Ganpule, et al, 2016;

Celik, et al, 2015)

2.3.2 Posisi Prone

Posisi standar PCNL adalah posisi prone (gambar 2.6), ketika pertama kali dikenalkan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

tahun 1976 posisi ini dianggap sebagai posisi teraman untuk menghindari kerusakan colon dan

organ viseral lainnya. Teknik standar posisi prone terdiri dari dua tahap, pertama pasien dalam

posisi supine untuk anastesi dan insersi kateter ureter untuk mencapai saluran kencing bagian

atas. Kemudian dilanjutkan dengan posisi prone sebagai bagian utama prosedur dengan

meletakan bantalan dibawah thorak dan abdomen atas atau pada kedua sisi dari bahu sampai

pinggul untuk memfasilitasi ventilasi. Bantalan juga diletakkan pada semua titik tekanan (lutut,

kaki, dahi, mata, siku dan jari-jari), perlu hati-hati dalam memposisikan siku untuk mencegah

injuri pleksus brakialis. Saluran perkutaneus menuju ginjal dilakukan dengan fluoroskopi,

ultrasonografi atau pun C-arm, kemudian dilanjutkan dengan mengangkat batu (Karaolides, et

al, 2012).

Gambar 2.6 PCNL posisi prone (Dikutip dari: Celik, dkk, 2015)

Keuntungan utama posisi prone adalah ekspos lengkap area lumbal yang memberikan

ruang luas bagi ahli bedah untuk melakukan pungsi, menggunakan beberapa jumlah akses dan

cukup tempat untuk manipulasi instrumen. Tusukan pole atas pada posisi prone ideal dan

mudah dikerjakan karena lokasi posteromedial pole atas dimana lebih dekat dengan dinding

abdomen posterior dan dalam satu garis axis ginjal yang memudahkan akses renal pelvis

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

superior, pole bawah dan ureter proximal. Namun banyak operator menghindari akses ini

karena diperlukan pendekatan suprakosta yang meningkatkan risiko pneumothorak. Banyak

operator yang memilih pendekatan subkosta antara batas bawah kosta 12 dan batas atas iliac

crest posterior. Posisi prone memberikan jarak yang cukup pada kedua titik ini yang

meningkatkan angka keberhasilan akses collecting system (Mak, et al, 2016). Selain

keuntungan diatas posisi prone juga memberikan beberapa kerugian diantaranya pasien harus

diposisikan ulang setelah tahap pertama, hal ini menyebabkan waktu operasi meningkat, dapat

menyebabkan injuri pada pasien, merusak akses jalan napas dan sangat sulit atau hampir tidak

mungkin bagi anastesi untuk melakukan emergensi jantung paru. Posisi prone membuat

anastesi kesulitan untuk mengurangi penyesuain paru karena kompresi abdomen dan

pengurangan cardiac ouput. Pasien diposisikan tidak nyaman dengan risiko lesi tekanan, posisi

prone secara umum dihubungkan dengan peningkatan komplikasi mata seperti yang terlihat

pada sebagian besar operasi spinal. Kompresi langsung juga menyebabkan injuri pada orbita

dan abrasi kornea, tekanan intraokuler juga meningkat selama operasi dan dicurigai sebagai

penyebab komplikasi kehilangan visual pasca operasi karena okulopati iskemia (Karaolides,

et al, 2012).

Untuk mempermudah akses retrograde saluran kencing atas selama PCNL

dikembangkan modifikasi posisi prone klasik. Pada tahun 1988 Lehman dan Bagley

melaporkan keberhasilan hasil dengan pendekatan kombinasi pada tiga pasien perempuan.

Berdasarkan deskripsi awal pasien diposisikan prone dengan kaki abduksi pada panggul, paha

dan lutut diposisikan seperti ayunan dan bagian kaudal dari meja operasi diposisikan serendah

mungkin sehingga operator melakukan pendekatan dari ujung meja untuk mencapai akses

uretra, kandung kecing dan ureter dengan instrumen fleksibel. Beberapa kelompok penulis

yang menjelaskan posisi litotomi terbalik, tiga tahun kemudian melaporkan posisi dengan kaki

terbuka untuk memudahkan akses simultan perkutan dan transuretral pada laki-laki dan

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

perempuan. Anastesi dilakukan saat posisi supine kemudian dibalik posisi prone pada meja

endourologi standar dengan posisi kaki terbuka, kaki pasien diganjal dan difiksasi, abduksi

pada panggul tanpa fleksi. Genetalia diposisikan dibawah meja operasi sehingga membuat

ruang untuk akses retrograde, pinggang dan area genetalia disiapkan dan ditutup terpisah.

Digunakan instrumen fleksibel untuk akses kandung kencing dan saluran kencing bagian atas.

Dilaporkan banyak prosedur endourologi yang bisa dikerjakan dengan posisi ini seperti

litotripsi intrakorpoeal. Modifikasi terbaru posisi prone dikombinasikan dengan posisi fleksi

selama prosedur tindakan, setelah pasien berubah posisi prone meja difleksikan 30-40o untuk

membuka ruang antara costa 12 dan puncak iliaka posterior. Posisi fleksi ini mencegah lordosis

anterior berlebihan yang terjadi saat posisi prone klasik, lebih banyak ruang kerja, mengurangi

potensi interfensi dari bokong dengan nefroskop selama nefroskopi rigid melalui pole bawah

dan ginjal bergeser ke inferior retroperitoneum sehingga pungsi bisa dikerjakan lebih caudal

(Karaolides, et al, 2012).

Suatu penelitian meta analisis membandingkan angka bebas batu dan lama perawatan

menunjukkan 83,4% dan 81,6% pada posisi prone dan 84,5% dan 83,5% pada posisi supine.

Hasil berbeda ditunjukan pada penelitian meta analisis Zhang dkk dimana angka bebas batu

posisi prone lebih tinggi dibandingkan supine (77,3% vs 72,9%). Perbedaan hasil ini mungkin

disebabkan karena perbedaan jumlah studi, analisisi dan perbedaan pengertian bebas batu

(Mak, et al, 2016).

2.3.3 Posisi Supine

Valdivia-Uria dkk pada tahun 1987-88 melaporkan akses perkutaneus ke ginjal yang

aman pada pasien posisi supine . Banyak penulis lain juga melaporkan sejumlah kasus pasien

yang ditangani dalam posisi yang sama. Dalam dua tahun kemudian ketertarikan dalam posisi

supine mulai meningkat, studi kelompok endourologi menemukan 80,3% pasien dikerjakan

dalam posisi prone dan 19,7% dikerjakan dalam posisi supine. Dinding abdomen dipungsi

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

diarah lateral jauh dari otot lumbal sehingga pergerakan instrumen endoskopi lebih terbatas

namun arah pungsi langsung memberikan tekanan rendah pada pelvis renalis dan dapat

mengurangi risiko penyerapan cairan dan memungkinkan pembersihan fragmen secara

spontan. Secara studi CT anatomi risiko perforasi colon mungkin lebih rendah dibandingkan

pada pada posisi prone karena usus dapat bebas bergerak pada abdomen yang tidak ditekan

dan tidak didorong kedepan atau kesamping ginjal. Kelemahan utama posisi supine adalah

pinggang tidak terekspos maksimal sehingga akses posteromedial pole atas lebih sulit dan tidak

memungkinkan untuk akses multiple. Selain itu meja operasi dan pinggul pasien juga dapat

menghambat manipulasi instrumen. Tidak adanya kompresi abdomen menyebabkan ginjal

lebih bebas bergerak sehingga pungsi dan dilatasi menjadi suatu tantangan tertentu. Beberapa

kaliks mengumpulkan fragmen selama penghancuran batu, tekanan intrarenal yang rendah

membuat sistem kurang mengembang sehingga nefroskopi dan manipulasi lebih susah. Posisi

original PCNL supine melibatkan posisi supine dengan sisi pinggang ipsilateral elevasi dengan

1-3 liter cairan ditempatkan dibawah fosa lumbal sisi operator dan lengan ipsilateral diletakan

menyilang pada dada (Karaolides et al 2012; Mak, et al, 2015).

Pada posisi supine pemasangan kateter ureter retrograde diperlukan untuk memperoleh

pyelografi retrograde dan sebagai akses pungsi. Tidak diperlukan perubahan posisi

intraoperatif dapat mengurangi waktu operasi dan juga mengurangi risiko komplikasi akibat

posisi prone. Posisi supine juga memberikan keyamanan bagi operator saat prosedur

memanjang yang tidak mungkin dapat dikerjakan pada posisi prone. Suatu meta analisis

menunjukan waktu operasi lebih pendek pada posisi supine dibandingkan posisi prone (Mak,

et al, 2015; Dong Bo, et al, 2015; Lucarelli dan Breda, 2013)

Modifikasi supine diperkenalkan oleh Valdivian dkk untuk memudahkan penggunaan

ureteroskop rigid selama PCNL. Perbedaannya dengan posisi supine original adalah kaki dalam

posisi fleksi dengan kaki ipsilateral lebih elevasi dan kontralateral lebih rendah. Valdivia lebih

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

memilih posisi supine klasik jika menggunakan ureteroskop fleksibel dan penggunaan

modifikasi jika menggunakan uretroskop rigid. Saat ini banyak bagian yang mengerjakan

operasi perkutaneus setelah ginjal dipungsi menggunakan anastesi lokal dan sedasi di bagian

radiologi. Pada tahun 1993 Graso dkk menjelaskan modifikasi posisi flank roll pada pasien

yang telah menggunakan nefrostomi dan mengatakan posisi ini cocok saat diagnosis preopratif.

Hal ini menunjukan prosedur retrograde komplit dan luka perkutaneus hanya akan digunakan

menggunakan instrumen fleksibel jika diperlukan. Pasien dalam posisi standar litotomi,

pinggang dengan nefrostomi diangakat 45o dan diganjal untuk memudahkan akses selang

nefrostomi, ekstremitas atas diletakan menyilang diatas dada, kedua area pinggang dan

genetalia steril dan dibungkus. Keterbatasan ekspos pada pinggang tidak memungkinkan untuk

pungsi primer dan manipulasi dengan nefroskop rigid. Varian original Valdivia dipublikasikan

tahun 2007 dimana kaki ipsilateral menyilang bagian kontralateral dan meletakan bantalan

pada pinggang ipsilateral sehingga membentuk sudut kemiringan 30o, posisi tangan sama

dengan posisi original. Posisi kaki menyilang meningkatkan jarak antara kosta bawah dan

ujung iliak dan mempermudah pungsi kalik dan dilatasi saluran nefrostomi (Mak, et al, 2015).

Posisi modifikasi Galdakao-Valdivia dijelaskan oleh Ibarluzea dkk tahun 2007 dan

mendapat perhatian komunitas urologi karena operasi pada posisi ini aman, praktis dan serba

guna dengan angka keberhasilan yang lebih tinggi dibanding posisi prone. Posisi ini sedikit

lateral dibanding posisi supine Valdivia dengan kaki kontralateral ditekuk dan kaki ipsilateral

diluruskan dengan bantalan pada pinggang untuk mendapatkan posisi modifikasi litotomi.

Posisi ini memeberi keuntungan pada operator dan anastesi karena kemudahan akses retrograde

ke ginjal, cukup ruang untuk manipulasi instrument, pasien hanya sekali drapping dan tidak

perlu mengubah posisi namun kelemahan posisi ini hampir sama dengan posisi supine lainnya

(Karaolides, et al, 2012).

Falahatkar dkk melaporkan PCNL posisi supine komplit tanpa bantalan pada pinggang

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

merupakan teknik yang aman dan dapat diaplikasikan pada semua pasien. Pasien ditempatkan

dalam posisi supine diujung meja dengan posisi kaki ekstensi dan lengan abduksi,

keuntungannya sama dengan posisi supine lainnya. Pinggang tanpa bantalan mencegah

perubahan posisi ginjal sehingga pungsi pada pole atas lebih mudah, untuk memfasilitasi

pungsi digunakan pengembangan paru yang dapat menurunkan posisi ginjal sehingga pada

fluroskopi tidak bertumpuk dengan tulang belakang seperti yang terjadi pada posisi semi supine

(Karaolides, et al, 2012).

Pada tahun 2007 Carmio dkk juga menjelaskan posisi novel untuk melakukan

nefrostomi. Pasien dalam posisi oblique dengan dua bantalan pada bahu dan panggul sehingga

pinggang terekspos, lengan ipsilateral diletakan diatas dada dan lengan kontralateral abduksi.

Posisi ini menunjukan keuntungan pada ekspos pinggang dengan menghilangkan bantalan.

Setelah dalam dua tahun berusaha membuat posisi untuk ekspos pinggang yang lebih baik,

akhirnya menemukan posisi supine modifikasi ‘barts flank free’ (gambar 2.7). Pasien dalam

posisi supine dengan kemiringan 15o pada pinggang ipsilateral menggunakan botol infus

dibawah kosta dan bantalan dibawah pelvis, lengan ipsilateral diletakan menyilang dada. Kaki

dalam posisi litotomi dengan ipsilateral ekstensi dan kontralateral abduksi dengan sedikit

elevasi. Keuntungan posisi ini mengekspos pinggang lebih baik dibandingkan posisi supine

lainnya, memberikan ruang optimal untuk akses dan manipulasi ginjal karena tidak ada

bantalan pada area kerja, pasien nyaman tanpa tekanan pada tulang belakang, gambaran ginjal

pada fluroskopi terlihat jelas dengan sedikit rotasi pada C-arm, tangan operator kurang ekspose

oleh radiasi, ginjal pada posisi netral kurang bebas bergerak sehingga mudah untuk akses dan

dilatasi, posisi ideal untuk akses antegrade dan retrograde, posisi nefrostomi hampir horisontal

sehingga lebih mudah untuk mencuci sisa fragmen dan tekanan intra renal lebih rendah

(Karaolides, et al, 2012).

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

Gambar 2.7 PCNL posisi supine- bart flank free (Dikutip dari: Karaolides, dkk, 2012)

Secara umum disebutkan beberapa keuntungan prosedur PCNL posisi supine

diantaranya tabung fluoroskofi jauh dari ruang kerja, gambaran ginjal dan vertebra pada

fluroskopi tidak tumpang tindih, mengurangi waktu total operasi dan posisi nyaman (duduk)

operator (Falahatkar, et al, 2011). Suatu studi prospektif acak menunjukan waktu operasi

PCNL posisi supine lebih pendek (100+42,8 menit) dibandingkan posisi prone (128+47,6)

begitupula lama perawatan PCNL posisi supine (2,0+1,8 hari) lebih pendek dibandingkan

posisi prone (3,0+2,2 hari) (Balaji, et al, 2017).

2.3.4 Komplikasi Perkutaneus Nefrolitotomi

Komplikasi PCNL secara umum dibagi menjadi dua yaitu komplikasi yang

berhubungan dengan akses perkutaneus dan yang berhubungan dengan pengangkatan batu.

Beberapa sumber komplikasi intraoperatif disebabkan oleh kesalahan pemilihan pasien,

kekurangan persiapan dan peralatan dan kesalahan teknik. Pemilihan pasien sangat penting

dalam semua prosedur endourologi perkutaneus khususnya pada pasien PCNL, pemilihan yang

tidak tepat pada pasien PCNL tidak menyebabkan morbiditas yang tinggi namun prosedur

operasi menjadi lebih lama dan biasanya memerlukan prosedur tambahan lainnya.

Kontraindikasi pasien dilakukan prosedur PCNL seperti pasien dengan koagulopati yang tidak

terkoreksi, infeksi, adanya penyakit penyerta lainnya seperti diabetes, penyakit paru ataupun

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

kardiovaskuler yang menyebabkan hasil PCNL tidak optimal. Pasien obesitas, deformitas

spinal atau kelainan anatomi ginjal meningkatkan kesulitan prosedur operasi dan ukuran batu

yang besar juga meningkatkan risiko komplikasi. Akses yang tepat selama PCNL dipengaruhi

oleh penempatan posisi pasien yang tepat sehingga mengurangi risiko komplikasi intraoperatif.

Posisi selama PCNL bervariasi mulai dari prone mendatar, prone defleksi, prone oblique, dan

supine oblique. Defleksi dapat meningkatkan ruang antara thorakal 12 dan iliaka sehingga area

untuk pungsi lebih luas. Beberapa urologis mengangap posisi supine oblique atau defleksi

mempermudah dalam prosedur PCNL. Di Amerika dan Inggris akses renal dilakukan oleh

radiologis sedangkan di Eropa pungsi dilakukan oleh urologis menggunakan guiding

ultrasonografi atau fluroskopi. Akses biasanya menggunakan pendekatan subkosta walaupun

pendekatan suprakosta lebih dipilih pada beberapa indikasi seperti batu kaliks superior atau

batu staghorn. Komplikasi signifikan pada dada mencapai 5% ketika memilih pendekatan

suprakosta. Sangat penting untuk menghindari perforasi pelvis renal saat memasukan wire

setelah pungsi kaliks. Literatur menyebutkan komplikasi perforasi mencapai 7,2% dan dapat

dihindari dengan menggunakan J wire dengan ujung yang lembut atau wire dengan inner core.

(Mihel, et al, 2007).

Komplikasi yang berhubungan dengan akses berupa perdarahan perenkim dan injuri

organ sedangkan komplikasi yang berhubungan dengan pengankatan batu berupa sepsis,

ekstravasasi dan absorpsi cairan. Sumber perdarahan selama PCNL adalah saluran nefrostomi,

perdarahan dapat dicegah jika ginjal dipungsi dengan keras melalui kaliks dengan angulasi

minimal pada sistem dilatasi dan menggunakan batang nefroskop untuk menghindari angulasi

yang berlebihan, nefroskop fleksibel harus digunakan untuk batu di kaliks yang lain. Jika

perdarahan menggangu gambaran endoskopi prosedur harus dihentikan dan tampon dengan

nefrostomi selama 40-60 menit. Prosedur berikutnya bisa dikerjakan 24 atau 48 jam kemudian

jika perdarahan makros sudah berhenti. Jika perdarahan terus berlanjut harus dikerjakan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

angiografi renal dengan kemungkinan embolisasi selektif, operasi terbuka dengan perbaikan

vaskuler atau nefrektomi mungkin diperlukan jika perdarahan terus berlanjut. Laserasi juga

bisa terjadi selama dilatasi dan pembuangan batu, jika terjadi perdarahan signifkan tube

nefrostomi harus dipasang selama 48 jam kedepan untuk menghentikan perdarahan lebih

lanjut. Lesi pada vaskuler juga dapat menyebabkan perdarahan tertunda akibat pseudoaneurism

atau fistel arterivena yang memerlukan intervensi. Komplikasi ini jarang terjadi namun dapat

terjadi sampai 3 minggu pasca PCNL. Angka tranfusi dilaporkan 0,5-4% dan dapat meningkat

sampai 20%, suatu penelitian menyebutkan perdarahan yang memerlukan transfusi mencapai

6,19% dan 0,47% kasus memerlukan angioembolisasi (Rhamesh, et al, 2016; Camtosun, et al,

2015). Pasien pada posisi supine disebutkan memiliki angka transfusi darah lebih tinggi pada

posisi prone sebanyak 6.1% dibandingkan posisi supine 4.3% (Valdivia, et al, 2011).

Injuri organ akibat pungsi bisa mengenai pleura, duodenum, kolon dan organ

abdominal lainnya. Risiko injuri pada pada pleura dan paru meningkat jika pungsi diatas kosta

12 (10%), pungsi menggunakan ultrasonografi atau setelah menghembuskan napas mungkin

dapat mencegah injuri pleura. Jika pungsi melalui pleura, ekstravasasi cairan irigasi atau udara

harus dicegah dan jika terjadi efusi pleura atau hematothorak harus dilakukan pemasangan

drain thorak. Untuk menghindari hal diatas akses pada kaliks bawah lebih dipilih dikombinasi

dengan nefroskop fleksibel (Camtosun, et al, 2015; Mihel, et al, 2007). Komplikasi mengenai

organ kolon dilaporkan pada lebih dari 30 publikasi kasus, publikasi terbesar pada 5039

prosedur mengidentifikasi beberapa faktor risiko diantaranya prosedur pada sisi kiri, batu

staghorn dan usia tua, risiko perforasi mencapai 1%. Faktor risiko lain kemudian disebutkan

adalah kolon yang inflasi dan pada pasien yang ekstrim kurus, harus lebih berhati-hati pada

pasien dengan riwayat operasi abdomen karena meningkatkan risiko injuri pada duodenum dan

kolon. Jika terjadi perforasi ekstraperitoneal terapi konservatif dengan pemberian antibiotik

bisa diberikan sedangakan jika terjadi perforasi intraperitoneal operasi laparotomi harus

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

dikerjakan segera. Risiko pungsi mengenai kolon bisa dicegah dengan menggunakan

ultrasonografi dan memilih pasien yang tepat. Injuri organ lain seperti spleen jarang terjadi jika

pungsi dibawah kosta 12 namun adanya splenomegali dapat meningkatkan risiko. Injuri pada

spleen bisa dicegah dengan penggunaan ultrasonografi, jika terjadi perdarahan yang bermakna

pada injuri spleen, laparotomi eksplorasi harus segera dikerjakan. Penelitian oleh Skolaris dan

Rossete melaporkan adanya injuri kolon sebesar 0,2-0,8% pasien (Ramesh, O et al, 2016).

Aslzare dkk melaporkan adanya 0,2 % inseden perforasi kolon pada 18 tahun pengalaman

PCNL posisi prone dan penelitian lain pada lebih dari 5000 PCNL posisi prone melaporkan

adanya 0,3% injuri kolon dengan faktor risiko usia tua dan adanya horseshoe kidney.

Sedangkan pada seri PCNL supine tidak dilaporkan adanya perforasi kolon dan organ visera

lainnya (Mak, et al, 2016).

Sepsis bisa terjadi karena infeksi melalui akses ke ginjal atau batu infeksi, demam

merupakan gejala yang sering terjadi pada pasien dengan batu infeksi dibandingkan batu steril

saluran kencing. Gangguan fungsi ginjal, kencing manis dapat meningkatkan risiko sepsis.

Antibiotik profilaksin dan drainase pyonefrosis sebelum prosedur PCNL merupakan suatu

keharusan. Abtibiotik dapat berupa dosis tunggal ataupun protokol profilaksis jangka pendek

tanpa membedakan dengan kasus urin steril. Durasi operasi dan jumlah cairan irigasi

merupakan salah satu faktor risiko demam pasca operasi, selain itu penting untuk mencegah

tekanan tinggi dan menjaga durasi operasi minimum. Dalam literatur kejadian sepsis bervariasi

0,79% sampai 4,7%. Pada kasus sepsis pasien harus menerima perawatan intesif termasuk

diuretik cepat, terapi antibiotik, drainase ginjal yang optimal dan kontrol elektrolit (Ramesh, et

al, 2016; Tylor, et al, 2012).

Ekstravasasi urin dan absorpsi cairan biasanya bersumber dari perforasi pada collecting

system. Untuk mencegah hal tersebut dalam melakukan manipulasi harus dengan kontrol

radiologi dan alat endoskopi menggunakan sistem aliran terbuka atau kontinyu dan

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - UNUD

menggunakan salin normal sebagai cairan irigasi. Ekstravasasi urin pasca PCNL dapat terjadi

karena perforasi berat sistem atau saluran nefrostomi.

Standarisasi komplikasi paska tindakan operasi dengan modifikasi sistem Clavien-

Dindo dalam bidang urologi untuk PCNL dilakukan oleh kelompok Clinical Research Office

of Endourological Society (CROES) yang dikenal dengan CROES Clavien Score (CCS)

(Rosette, et al. 2012). CCS dibagi menjadi empat tingkat (I,II,IIIA, IVA) dan dikelompokan

menjadi dua yaitu komplikasi minor yang terdiri dari CCS grade I dan II, komplikasi mayor

yang terdiri dari CCS grade III dan IV (tabel 3.1)

Tabel 2.1 Komplikasi PCNL Berdasarkan CCS Grade

CCS Grade CCS Grade Komplikasi

Minor I Demam (38O) tanpa mengganti antibiotik Perdarahan tanpa tranfusi atau klem nefrostomi (1X) atau kopmresi kulit/ bebat tekan Kebocoran urine- observasi Perforasi pelvis renal - observasi Obstruksi usus - tanpa dekompresi Hematoma subcapsuler - observasi

II Perdarahan yang memerlukan transfuse Demam (>38 O) dengan penggantian antibiotik Ileus paska operasi – dengan selang dekompresi Odema pulmonum - deuretik

Mayor III A Stent ureter tanpa anatesi umum Perforasi pelvis renal – pertahankan nefrostomi atau pasang stent ureter tanpa pembiusan Hidrothorak – drainase intercostal dengan anastesi lokal

IV A Urosepsis – ICU gagal ginjal akut - ICU Gagal jantun -ICU