bab ii kajian pustaka - unud
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ saluran kemih yang berada dirongga retroperitoneal
bagian atas. Secara umum ginjal berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,
menjaga keseimbangan asam basa, menghasilkan renin untuk mengontrol tekanan darah dan
eritropoietin yang mempengaruhi produksi sel darah merah dan metabolisme kalsium
khususnya absorpsi kalsium dengan mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif 1.25-
dihhydroxyvitamin D (Anderson and Cadeddu, 2012).
Ginjal berbentuk seperti kacang yang terletak dikedua sisi kolum vertebra setinggi T12
sampai L3 dengan bagian cekungnya menghadap sisi medial dimana pada bagian ini terdapat
hilus ginjal berupa struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter (Gambar
2.1). Ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepar,
masing-masing ginjal memiliki facies anterior dan posterior, margo medialis dan lateralis,
ekstremitas inferior dan superior. Ukuran ginjal bervariasi tergantung jenis kelamin dan umur,
umumnya pada orang dewasa berwarna merah kecoklatan, ukuran panjang 10 cm sampai 12
cm lebar 5 cm sampai 7 cm dan tebal 3 cm dengan berat 150 gram pada laki-laki dan 135 gram
pada perempuan. Sedangkan pada anak-anak ukuran ginjal biasanya lebih besar dan menonjol
(Anderson and Cadeddu, 2012; Purnomo, 2011).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa
ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perineal. Disebelah kranial terdapat
kelenjar anak ginjal yang disebut glandula adrenal atau suprarenal yang berwarna kuning.
Kelenjar adrenal, ginjal dan lemak perineal dibungkus oleh fascia gerota yang berfungsi
sebagai barier untuk mengahambat meluasnya perdarahan dan ekstravasasi urine saat trauma
ginjal, menghambat penyebaran infeksi atau metastase tumor ke organ disekitarnya. Diluar
fascia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal yang disebut jaringan lemak pararenal.
Bagian posterior ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta costa XI dan XII
sedangkan bagian anterior dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal. Secara anatomis ginjal
terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan medula ginjal, didalam korteks terdapat berjuta-
juta nefron yang merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri dari tubulus
kontortus proksimal, tubulus kontortus distal dan tubulus koligentes, sedangkan didalam
medula terdapat banyak duktuli ginjal (Purnomo, 2011).
Aliran darah ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari
aorta yang masuk ke hilum ginjal diantara pelvis dan terletak diposterior vena renalis yang
bermuara ke vena kava inferior. Arteri renalis bercabang menjadi anterior dan posterior, cabang
posterior menyuplai midsegmen permukaan posterior, cabang anterior menyuplai pole atas dan
bawah permukaan anterior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak
memiliki anastomosis dengan cabang-cabang arteri lainnya, sehingga jika terdapat kerusakan
salah satu cabang arteri akan menimbulkan iskemi atau nekrosis pada daerah yang dilayani.
Arteri renalis memasuki ginjal kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang naik pada
columns of bertin, melengkung sepanjang dasar piramid (arteri arkuarta), naik menjadi arteri
interlobularis dan arteri aeferen yang menuju kapiler glomelurus dimana tempat sejumlah
cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung distal kapiler pada setiap
glomelurus bergabung membentuk arteriol aeferen yang menuju jaringan kapiler kedua yaitu
kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya
kedalam sistem vena, yang berjalan secara pararel dengan pembuluh arteriol yang secara
progresif membentuk vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis
yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter. Aliran limfa ginjal sebagian
besar mengikuti aliran darah melalui column of bertin kemudian membentuk beberapa cabang
limfa pada sinus renal, sistem limfatik ginjal mengalir ke lumbar lymph node. Suplai saraf
ginjal berasal dari renal pleksus yang bersamaan dengan pembuluh darah ginjal melalui
parenkim ginjal (Tanagho and Lue, 2013).
2.2 Batu Ginjal
2.2.1 Epidemiologi
Batu saluran kencing sudah ditemukan sejak 4000 tahun sebelum masehi pada makam
mumi orang Mesir dan juga pada makam orang Indians Amerika Utara pada dahun 1500
sampai 1000 sebelum masehi. Bukti terbentuknya batu saluran kencing juga di dokumentasikan
dalam bahasa sansekerta pada tahun 3000 sampai 2000 sebelum masehi (Vijaya et al, 2013).
Penelitian terbaru insiden batu ginjal sekitar 114-720 per 100.000 penduduk dengan prevalensi
1,7-14,8% hampir disemua negara dan angkanya cenderung meningkat, variasinya tergantung
usia, jenis kelamin dan lokasi geografis. Prevalensi di United State sekitar 10%-15% pada akhir
tahun 1970an, data dari National Health and Nutrition Examination Survey Amerika Serikat
menunjukan peningkatan prevalensi batu ginjal dari 3,2 % pada tahun 1976-1980, 5,2% tahun
1988-1994, sampai 8,8% pada tahun 2007-2010 (Pearle and Lotan, 2012; Khan et al, 2016).
Prevalensi batu ginjal di Jepang berdasarkan survei Japanase Urolithiasis Society selama lebih
dari 40 tahun, menunjukan peningkatan insiden kejadian batu ginjal pertama kali dari 54,2 per
100.000 tahun 1965 menjadi 114,3 per 100.000 tahun 2005. Walaupun insiden meningkat pada
semua grup usia laki-laki dan perempuan, namun puncak insiden bergeser pada laki-laki usia
20-49 tahun pada tahun 1965 menjadi usia 30-69 tahun pada 2005 dan pada perempuan usia
20-29 tahun pada 1965 menjadi usia 50-79 tahun pada 2005 (Pearle and Lotan, 2012). Di
Indonesis sendiri berdasarkan data dari departemen kesehatan tahun 2013 diperoleh prevalensi
tertinggi di DI Yogyakarta (1,2%) diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi
Tengah masing-masing 0,8%, lebih sering pada laki-laki (0,8%) dibandingkan perempuan
(0,4%), dan tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun (1,3%) (Trihono, 2013).
Penyakit batu ginjal umumnya dialami oleh laki-laki dewasa dibandingkan perempuan
dewasa berdasarkan jumlah pasien rawat inap, rawat jalan, maupun emergensi dengan
perbandingan 2-3 x lebih sering dari pada perempuan. Penelitian Scale dan Colleagues pada
tahun 2005 menemukan pasien pulang dengan diagnosis batu ginjal atau uretra meningkat
1,6% dari tahun 1997 sampai 2002 dengan rincian kepulangan wanita meningkat 17% dan
kepulangan laki-laki menurun 8,1%. Kejadian ini juga menunjukan perubahan rasio
kepulangan laki-laki dan perempuan menurun dari 1,7 pada 1997 menjadi 1,3 pada 2002.
Insiden batu ginjal antara laki-laki dan perempuan juga menurun di Rochester, Minnesota,
USA dari 3,1% menjadi 1,3% antara tahun 1970 dan 2000. Fenomena ini belum dimengerti
dengan jelas namun beberapa spekulasi menyebutkan perubahan gaya hidup dan pola makan
sehingga meningkatkan risiko obesitas pada perempuan yang dianggap sebagai salah satu
faktor risiko terbentuknya batu (Khan, et al, 2013)
Distribusi geografis penyakit batu ginjal disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan
diantaranya prevalaensi lebih tinggi pada daerah panas, gersang atau iklim kering seperti
pegunungan, gurun, arau area tropis. Namun faktor genetik dan pola makan juga akan
mempengaruhi efek geografis ini, Finlayson tahun 1974 menemukan wilayah dengan
prevalensi tinggi penyakit batu diantaranya United State, British, Scandinavian dan negara
Mediterranean, India dan Pakistan utara, Australia bagian utara, Eropa Tengah dan China.
Soucie dkk tahun 1996 menyatakan setelah melakukan kontrol terhadap faktor risiko lain
ditemukan bahwa suhu dan temperatur dihubungkan dengan prevalensi penyakit batu ginjal
(Pearle and Lotan, 2012).
2.2.2 Patofisiologi
Batu ginjal merupakan batu yang mengisi kaliks atau pelvis ginjal, dan bisa menjadi
progresif menjadi persatuan batu di kalik (minimal 2 kaliks) dan pelvis yang disebabkan karena
penambahan garam berlebih yang dikenal dengan batu staghorn (gambar 2.2). Proses
terbentuknya batu ginjal merupakan prosedur komplek dan disebabkan oleh banyak faktor
meskipun patofisiologinya belum diketahui pasti namun secara umum disebabkan oleh faktor
kombinasi kecepatan termodinamik abnormal (supersaturasi) dan proses kinetik kristalisasi
beberapa mineral pembentuk batu. Saturasi urin dipengaruhi oleh pH urin, ion-ion, konsentrasi
zat terlarut dan lain-lain (Pearle and Lotan, 2012).
Ukuran batu ginjal bervariasi dari bentuk pasir sampai butiran atau yang lebih besar
tergantung dari komposisinya, berwarna kuning atau coklat dan berbentuk halus atau kasar.
Batu ginjal terdiri dari kristal dan matrik organik yang tidak hanya melapisi kristal tapi juga
berada didalam kristal. Matrik dari batu yang mengapur terdiri dari banyak makromolekuler
termasuk osteopotin, inter alpha inhibitor, fragmen protrombin urin yang normalnya terdapat
pada urin walaupun dalam jumlah sedikit, matrik juga terdiri dari beberapa bentuk lipid yang
menunjukan pengaruh nukleasi kristal. Hubungan antara kristal dan matrik ini memulai
terbentuknya nukleasi kristal dan berlanjut menjadi fase pertumbuhan dan pembentukan batu.
Walaupun beberapa molekul urin dianggap sebagai penghambat kristalisasi, komponen lain
seperti osteopotin dapat menjadi penghambat dan penyebab kristalisasi (Khan, et al, 2016).
Disebutkan beberpa teori pembentukan batu ginjal namun terdapat dua mekanisme
utama dalam proses terbentuknya batu yaitu partikel bebas (dan partikel tetap. Pada
mekanisme partikel bebas kristal nuklei tumbuh dan menyatu dengan urin pada tubulus ginjal,
kristal menyatu dan membentuk partikel besar sehingga tidak bisa melewati lumen tubular dan
tertahan dalam ginjal. Dengan supersaturasi yang tinggi kristal menumpuk dan keluar ke pelvis
renal dan terekspos dengan urin pelvis saat saluran tubular tertutup, kondisi stasis ini dapat
menyebabkan terbentuknya batu kecil dibelakang sumbatan. Mekanisme kedua terbentuknya
batu yaitu partikel tetap dimana pembentuk batu terikat pada plak kalsifikasi pada permukaan
papiler. Pada teori ini bisa disebabkan karena infeksi patogen atau kristal yang terikat pada
epitelium ginjal yang menjadi fokus terbentuknya batu. Salah satu perbedaan antara
mekanisme partikel bebas dan partikel tetap adalah lokasi inisiasi nidus, pada partikel bebas
terjadi deposit pada tubular yang umumnya terdiri dari kalsium fosfat dan terus menerus
terkena urine sehingga tumbuh bertahap, sedangkan pada partikel tetap terjadi deposit pada
subepitel yang harus menembus permukaan sebelum massa kristal terekspos urine untuk
pertumbuhan lebih lanjut. Walaupun teori ini mencakup semua kemungkinan bagaimana batu
terbentuk, tidak ada satu teori pun yang dapat mengungkapkan alasan terbentuknya batu pada
semua pasien, banyak faktor lain yang mempengaruhi. Tanpa memperhatikan teori, proses
kimia nukleasi dan pertumbuhan kristal penting dalam inisiasi dan perkembangan semua tipe
batu. Pembentukan batu disebabkan oleh kombinasi faktor abnormal yang mempengaruhi
kecepatan termodinamik (supersaturasi) dan proses kinetik yang melibatkan kristalisasi
berbagai mineral pembentuk batu (Khan, et al, 2016; Bahari et al, 2017).
Teori lain berupa teori hambatan limfatik menjelaskan sistem limfatik ginjal mengaliri
pelvis ginjal dan mencegah akumulasi dan agregasi pengendapan garam pada ginjal, namun
karena kerusakan limfatik ginjal pengendapan garam cenderung tumbuh menjadi gumpalan
padat yang lebih besar selama melewati pembuluh limfa dan terjadi sumbatan pada kalik diluar
collecting system, dimana gumpalan ini mengikis membran sekitarnya menyebabkan
penyerapan urin dan tumbuh menjadi batu ginjal dengan kontak terus menerus dengan garam
dan substansi organik urin lainnya. Teori vaskuler menyebutkan dimana vasa rekta dan kapiler
pada papilari ginjal mengalami perubahan aliran darah dari laminar ke turbulen yang berulang
sehingga suasana hiperosmolar dan hipoksia menyebabkan injuri, plak aterosklerotik pada
papila renal yang diikuti kalsifikasi. Substansi kapur ini dapat mengikis intersisium ginjal dan
papilari saluran Bellini dimana dapat tumbuh menjadi batu besar jika kontak dengan urin terus
menerus. (Bahari, et al, 2017). Teori nukleasi mengatakan bahwa batu berasal dari kristal atau
benda asing di dalam urin yang mengalami supersaturasi. Namun, teori ini dipertanyakan
karena batu tidak selalu terbentuk pada pasien hiperekskretor atau dalam risiko dehidrasi,
bahkan pemeriksaan urin 24 jam pasien-pasien batu cenderung normal. Teori inhibitor kristal
menyatakan bahwa batu terbentuk karena tidak adanya atau rendahnya inhibitor batu natural
termasuk magnesium, sitrat, pyrophosphate, dan berbagai macam metal. Teori ini tidak
memiliki validitas absolut karena beberapa orang yang kekurangan inhibitor tersebut bisa tidak
mengalami batu dalam hidupnya, sementara orang dengan inhibitor tersebut justru mengalami
batu (Pearle and Lotan, 2012).
Pembentukan batu ginjal disebabkan oleh peningkatan supersaturasi urin yang
menyebabkan terbentuknya partikel kristal, supersaturasi mempercepat proses klristalisasi
pada urine. Hubungam antara konsentrasi zat terlarut dengan terbentuknya batu cukup jelas,
semakin besar konsentrasi ion kemungkinan ion akan megendap semakin tinggi. Apabila
konsentrasi ion meningkat, ion akan mencapai titik yang disebut solubility product (Ksp). Bila
konsentrasi ion meningkat diatas titik ini maka dimulai proses perkembangan kristal dan
nukleasi. Jika penghambat kristalisasi tidak dapat berperan dengan baik maka terbentuklah
nefrolitiasis (Gambar 2.3) (Anggarwal et al, 2013; Chung et al, 2007; Pearle dan Lotan, 2012).
Gambar 2.3 Tahapan saturasi urin (Dikutip dari: Pearle dan Lotan, 2012)
Nukleasi merupakan tahap pertama kristalisasi dimana terjadi perubahan dari fase cair
menjadi padat pada larutan supersaturasi, nukleasi dapat terjadi secara homogen atau
heterogen. Nukleasi homogen memerlukan supersaturasi derajat tinggi kandungan mineral,
nukleasi heterogen merupakan mekanisme inisiasi kristal pada urin yang memerlukan level
supersaturasi yang lebih rendah. Estimasi derajat supersaturasi urin pada setiap mineral
pembentuk batu memerlukan 15 komponen urinari termasuk kristal yang mempercepat
sebelum atau sesudah mengeluarkan urin (Khan, et al, 2016; Anggarwal et al, 2013). Setelah
kristal nukleus dalam ukuran tertentu dan didalam ginjal terekspos dengan urine akan
menimbulkan kerak dan menyebabkan pertubuhan batu yang disebut dengan pertumbuhan
kristal sebagai syarat pembentukan partikel dan batu (Khan, et al 2016). Selanjutnya terjadi
agregasi kristal dimana kristal dalam larutan berkumpul bersama membentuk partikel besar.
Agregasi kristal memiliki peranan penting dalam pembentukan batu karena pertumbuhan
kristal saja jarang akan membentuk partikel besar, melainkan kecepatan agregasi cukup untuk
membetuk partikel ukuran besar (Anggarwal et al 2013; Chung et al, 2007). Mekanisme
interaksi kristal-sel sangat komplek dan banyak yang belum jelas, kristalisasi disebabkan oleh
supersaturasi urin, kristal yang terbentuk terikat pada sel epitel tubular ginjal. Proses ikatan
atau endositosis kristal dan sel tubular ginjal ini disebut dengan interaksi kristal-sel
(Anggarwal, et al, 2013). Sebelumnya disebutkan tentang tahapan nukleus kristal,
pertumbuhan dan aggregasi kristal, namun tidak satupun akan membentuk batu jika kristal
tersebut keluar mengikuti aliran urin, sehingga retensi kristal penting untuk pembentukan batu.
Retensi kristal akan berhasil jika pertumbuhan kristal cukup besar untuk terperangkap dalam
tubulus ginjal atau melekat pada urotelium sebelum ekskresi (Chung et al, 2007)
2.2.3 Jenis Batu Ginjal
Secara garis besar batu ginjal dibagi menjadi emapat tipe dinamai berdasarkan
komponen utama pembentuknya yaitu, batu kalsium, batu asam urat, batu struvit dan batu sistin
(Khan, et al, 2016). Kalsium merupakan komponen terbanyak sebagai kalsium oksalat (CaOx)
dan kristal kalsium fosfat (CaP) baik tunggal atau kombinasi. Sebagian besar batu ginjal
sebagian atau seluruhnya terdiri dari kalsium oksalat dalam bentuk monohidrat atau dihidrat.
Kalsium oksalat monohidrat umumnya tipis dan pipih berbentuk ‘dump-bell’ pada sedimen
urin sedangkan kalsium oksalat dihidrat ditandai dengan bentuk tetragonal bipiramid pada
sedimen urin dan batu ginjal. Batu kalsium oksalat umumnya kecil dengan eksterior berkilau
dan umumnya mengandung kristal kalsium oksalat monohidrat dan dihidrat. Batu kalsium
oksalat monohidrat lebih umum dibandingkan batu kalsium oksalat dehidrat murni, namun
pada batu kalsium oksalat campuran komponen dehidrat lebih banyak. Batu Kalsium fosfat
umumnya ditemukan sebagai kalsium fosfat utama (terbanyak), kalsium hidrogen fosfat
dehidrat atau trikalsium fosfat. Faktor risiko meningkat pada hiperkalsiurin, hipositraturia dan
peningkatan pH urin (Khan, et al, 2016; Pearle and Lotan, 2012)
Batu asam urat meliputi 8-10% dari semua batu ginjal dengan prevalensi pembentuk
batu pada orang gemuk dan resisten insulin (dua komponen sindrom metabolik). Keasaman
urin (pH 5,5), ketidak larutan asam urat pada pH urin yang rendah, dehidrasi dan keadaan yang
menyebabkan ekskresi asam urat urin berlebih (hiperuricosuria) dianggap sebagai penyebab
munculnya batu asam urat (Khan, et al, 2016).
Batu struvit juga dikenal dengan batu infeksi meliputi 7-8 % dari semua jenis batu dan
umumnya disebabkan oleh peningkatan produksi amonia akibat infeksi (organisme penghasil
urea) Proteus atau Klebseilla. Alkalin urin menyebabkan terbentuknya kristal magnesium
ammonium fosfat heksahidrat. Struvit dan kristal karbonat apatit dapat tumbuh dengan cepat
menjadi batu besar yang dikenal dengan batu staghorn. Batu struvit juga dihubungkan dengan
dengan sepsis dan infeksi ditangani dengan antibiotik dan intervensi pembedahan (Pearle and
Lotan, 2012).
Batu sistin terbentuk sebagai defek resesif autosomal transporter sistin asam amino
ginjal, kekurangan absorpsi sistin menyebabkan peningkatan ekskresi sistin urin. Pada pH urin
normal sistin tidak larut dan membentuk kristal sistin yang dapat berkumpul menjadi batu
ginjal ataupun batu kandung kencing. Batu sistin padat, berwana kekuningan, sedikit buram
dengan interior homogen dan ditandai dengan struktur heksagonal pada kristal sistin (Khan, et
al, 2016).
Batu santin merupakan tipe batu yang jarang timbul, umunya sulit dibedakan dengan
batu asam urat karena keduanya radiolusen. Batu ini terbentuk karena kelainan bawaan yaitu
pada katabolis ensim santin dehidrogenesis (XHD) atau oksidase santin dimana katalis
mengubah santin menjadi asam urat. Santin sulit terlarut dalam urin sehingga akumulasi level
santin yang banyak karena defisiensi XHD menyebabkan terbentuknya batu santin (Khan, et
al, 2016; Pearle dan Lotan, 2012).
2.2.4 Diagnosis
Dalam mendiagnosis pasien batu ginjal perlu mengetahui riwayat medis, riwayat
keluarga dan pola makan. Riwayat medis berupa penyakit intestinal, kelainan homeostasis
kalsium, infeksi saluran kencing berulang, operasi beriatrik, ataupun terapi obat tertentu yang
menjadi faktor predisposisi nefrolitiasis. Riwayat keluarga dengan penyakit batu ginjal dan diet
memainkan peranan penting dalam pembentukan batu ginjal, diet tinggi garam dan protein,
suplemen tinggi kalsium dan vitamin D meningkatkan risiko terbentuknya batu (Bawari, et al,
2017).
Banyak gejala serta tanda yang dapat menyertai penyakit batu saluran kemih namun
ada juga beberapa batu yang tidak menunjukkan gejala atau tanda khusus tetapi ditemukan
pada hasil pemeriksaan radiologi. Gejala-gejala yang sering timbul pada pasien dapat berupa
nyeri, hematuria, mual, muntah, demam, dan gangguan buang air kecil seperti frekuensi,
urgensi dan disuria. Demam yang berhubungan dengan batu saluran kemih menunjukan
kondisi gawat darurat sebagai salah satu gejala sepsis selain takikardi, hipotensi dan
vasodilatasi. Nyeri merupakan gejala yang paling sering menyertai penyakit batu saluran
kemih, mulai dari nyeri sedang sampai nyeri berat yang memerlukan pemberian analgesik.
Nyeri biasanya terjadi pada batu di saluran kemih bagian atas, dengan karakter nyeri
bergantung pada lokasi batu, ukuran batu, derajat obstruksi, dan kondisi anatomis yang setiap
orang yang berbeda-beda. Nyeri yang terjadi dapat berupa kolik maupun nonkolik (Pearle dan
Lotan, 2012). Nyeri kolik pada ginjal biasanya terjadi diakibatkan meregangnya ureter atau
collecting duct akibat adanya obstruksi saluran kemih. Obstruksi juga menyebabkan
meningkatnya tekanan intraluminal, meregangnya ujung-ujung saraf, dan mekanisme lokal
pada lokasi obstruksi seperti inflamasi, edema, hiperperistaltik dan iritasi mukosa yang
berpengaruh pada nyeri yang dialami oleh pasien (Stoller, 2013). Pada obstruksi di renal calyx,
nyeri yang terjadi berupa rasa nyeri yang dalam pada daerah flank atau punggung dengan
intensitas bervariasi. Nyeri dapat muncul pada konsumsi cairan yang berlebihan. Pada
obstruksi renal pelvic dengan diameter batu diatas 1 cm, nyeri akan muncul pada sudut
costovertebra. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri yang redup sampai nyeri yang tajam yang
konstan dan tidak tertahankan, dan dapat merambat ke flank dan daerah kuadran abdomen
ipsilateral (Stoller, 2013).
Setelah menggali riwayat pasien, selanjutnya evaluasi yang dilakukan adalah
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang detail merupakan komponen penting dalam evaluasi
pasien dengan batu saluran kemih. Hal-hal yang dapat dilihat seperti takikardia, berkeringat,
mual, demam, lokasi nyeri dan menyingkirkan kemungkinan kemungkinan kelainan pada
abdomen dan lumbal. (Stoller et al, 2013).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang, laboratorium diagnosis seperti analisis
urin menjadi langkah awal dalam mendiagnosis adanya batu saluran kencing. Adanya darah
dalam urin, tingkat keasaman urin, tingkat kandungan kalsium, natrium, fospat, oksalat, asam
urat, dan sistin dalam urin dapat menjadi faktor risiko batu saluran kencing. Analisis batu pada
kasus batu saluran kencing berulang dapat mengetahui komponen batu sehingga dapat
diketahui penyebabnya dan diberikan terapi yang tepat. Pemeriksaan fungsi ginjal untuk
mengetahui komplikasi batu ginjal terhadap organnya (Khan, et al, 2016).
Pemeriksaan anjuran berikutnya adalah pemeriksaan radiologi yang merupakan alat
diagnostik paling penting dalam mendiagnosis batu ginjal, pemeriksaan ini untuk
mengkonfirmasi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium. Pemeriksaan X-ray
KUB (kidney-ureter-bladder) merupakan salah satu pemeriksaan radiologi primer untuk
mengetahai lokasi batu, jumlah, bentuk dan ukuran. Ultrasonografi merupakan modalitas
diagnostik menggunakan frekuensi gelombang suara dan menjadi pilihan diagnostik pada
wanita hamil karena tidak ada ekspos radiasi berfungsi untuk mengetahui lokasi batu ginjal
namun tidak bisa mendeteksi batu urteter, memiliki sensitifitas 70% dan spesifitas 94%.
Pemeriksaan Intravenous Pyelography (IVP) dengan memasukan kontras secara intravena
disaring melalui ginjal dan dikeluarkan dari ureter dan kandung kemih pada fase miksi disertai
serial X-ray ginjal, ureter dan kandung kemih sehingga bisa terlihat struktur dan fungsi saluran
kencing, adanya obstruksi dan batu. Noncontrast computed tomography (NCCT) menjadi
populer belakangan ini karena cepat, akurat dan efisien dalam mendeteksi semua tipe batu
disetiap lokasi tanpa menggunakan kontras (Sakhaee, et al, 2012; Ziemba dan Matlaga, 2015;
Khan, et al 2016; Bawari, et al, 2017).
2.2.5 Terapi
Terapi batu ginjal sesuai dengan ukuran dan lokasi batu, secara umum terdiri dari terapi
konservatif dan intervensi pembedahan. Untuk mengatasi keluhan nyeri pinggang rekomendasi
Europe Association of Urology (EAU) menggunakan NSAID sebagai lini pertama dan narkotik
sebagai lini kedua ditambah dengan obat simptomatis lainnya. Jika keluhan membaik dan tidak
ada kriteria urgensi seperti obstruksi, infeksi, gangguan fungsi ginjal, dilanjutkan dengan
observasi dan terapi obat-obatan. EAU juga merekomendasikan observasi pada asimptomatis
batu ginjal khusunya pada kalik inferior ukuran kurang dari 10 milimeter dengan pengawasan
aktif, evaluasi keluhan dan radiologis tiap tahun, jika batu membesar lebih dari 5 milimeter
disarankan untuk melakukan intervensi (Turk, et al, 2017).
Penatalaksanaan konservatif diberikan pada pasien tanpa riwayat batu saluran kemih.
Penatalaksanaan non-farmakologis dapat mengurangi insiden rekuren batu perlima tahun
sampai 60%. Penatalaksanaan konservatif berupa:
1. Konsumsi cairan minimal 8-10 gelas per hari dengan tujuan menjaga volume urin agar
berjumlah lebih dari 2 liter per hari
2. Mengurangi konsumsi protein hewani sekitar 0,8 – 1,0 gram/kgBB/hari untuk
mengurangi insiden pembentukan batu
3. Diet rendah natrium sekitar 2-3 g/hari atau 80-100 mEq/hari efektif untuk mengurangi
eksresi kalsium pada pasien dengan hiperkalsiuria
4. Mencegah penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan pembentukan batu seperti
calcitrol, suplemen kalsium, diuretik kuat dan probenecid
5. Mengurangi makanan yang berkadar oksalat tinggi untuk mengurangi pembentukan
batu. Makanan yang harus dikurangi seperti teh, bayam, coklat, kacang-kacangan dan
lain-lain (Pearle dan Lotan, 2012).
Selama 30 tahun terakhir terapi pembedahan simptomatis batu ginjal telah mengalami
perubahan dari pendekatan operasi konvensional ke minimal invasif endourologi. Indikasi
pengangkatan aktif pada batu ginjal berupa batu yang membesar, batu pada pasien yang
berisiko untuk muncul batu, obstruksi yang disebabkan oleh batu, infeksi, batu dengan gejala
simptomatis, ukuran batu lebih dari 15 mm, pasien dengan komorbid dan kondisi sosial. Tiga
terapi modalitas batu ginjal adalah ekstrakorporeal Shockwave Lithotripsy (SWL), rigid atau
flexible retrograde ureteroscopy (URS) dan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL). Menurut
algoritma EAU (gambar 2.4) terapi batu ginjal berdasarkan lokasi dan ukuran batu, untuk batu
pole atas dan tengah atau pelvis renal dengan ukuran batu kurang dari 20 mm Shockwave
Lithotripsy (SWL) menjadi pilihan terapi utama. Untuk batu ukuran lebih dari 20 mm PCNL
merupakan pilihan terapi utama (Turk, et al, 2017; Ziemba and Matlaga, 2015; Khan, et al,
2016).
Gambar 2.4 Algoritma terapi batu ginjal (Turk, et al, 2017)
2.3 Perkutaneus Nefrolitotomi
Perkutaneus nefrolitotomi (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif
dibidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal menggunakan akses perkutan untuk
mencapai sistem pelviokalises. Prosedur ini menjadi pilihan terapi utama pada batu ginjal
ukuran lebih dari 2 cm karena relatif aman, murah, efektif dan memiliki morbiditas yang rendah
dibandingkan operasi terbuka (Karolides, et al, 2012)
Sejak pertama kali diperkenalkan teknik PCNL telah mengalami banyak modifikasi.
Pada tahun 1976 Fernstrom dan Johansson melaporkan tiga pasien yang tidak layak untuk
operasi konvensional dan dilakukan pengangkatan batu ginjal melalui teknik perkutaneus.
Nefrostomi dimasukan dengan anastesi lokal dan didilatasi menggunakan kateter Couvelaire
sebelum diganti dengan kateter yang lebih besar. Setelah ukuran kateter tercapai kateter
dibiarkan selama 14 hari dan batu diangkat menggunakan fluroskopi sebagai guiding
intrarenal. Publikasi ini sebagai tanda lahirnya endourologi. PCNL umumnya dikerjakan dalam
posisi prone dengan angka keberhasilan cukup tinggi dan morbiditas yang dapat diterima.
Semakin sering mengerjakan PCNL data menunjukan posisi prone tidak optimal pada semua
pasien khususnya pasien obesitas atau dengan permasalahan kardiorespiratorik. Untuk akses
yang lebih mudah dan nyaman dalam melakukan tindakan endoskopi antegrade dan retrograde
mulai diperkenalkan alternatif posisi PCNL. Pada tahun 1987 Valdavia Uria dkk
memperkenalkan PCNL supine tanpa perlu mengubah posisi prone dan mereka melaporkan
pengalaman klinis pertama pada tahun 1998. Beberapa posisi mungkin tidak diterima oleh
komunitas urologi, namun semuanya berperan dalam proses dinamika perubahan, berikut
kronologis perkembangan posisi PCNL (Gambar 2.4) (Ganpule, et al, 2016; Ghani, et al, 2016;
Celik, et al, 2015).
De Sio dkk membandingkan teknik PCNL posisi supine sebanyak 36 pasien dan prone
39 pasien dengan hasil tidak ada perbedaan signifikan kejadian komplikasi pada kedua
kelompok namun lama operasi lebih pendek pada pasien kelompok supine dibandingkan prone.
Studi lain menyebutkan angka bebas batu sama pada kedua kelompok dan durasi operasi lebih
rendah pada kelompok supine namun dengan angka tranfusi lebih tinggi (Celik, et al, 2015).
Gambar 2.5 Perkembangan posisi PCNL (Dikutip dari Karaolides, dkk, 2012)
2.3.1 Teknik Perkutaneus Nefrolitotomi
Sebelum dilakukan tindakan PCNL diagnosis harus dipastikan berdasarkan
pemeriksaan radiologi. Adanya infeksi saluran kecing harus diterapi dengan antibiotik yang
tepat, obat-obatan yang mempengaruhi koagulasi seperti NSAID, aspirin harus dihentikan dan
persiapan anastesi sesuai dengan indikasi. Pasien diberikan antibiotik spektrum luas sebelum
tindakan operasi, pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah lengkap, fungsi ginjal,
elektrolit dan kultur urin (Ko, et al, 2007; Skolarikos, 2005; Wolf, 2012).
Tindakan awal sebelum melakukan PCNL adalah pemasangan keteter ureter dalam
posisi litotomi selanjutnya pasien diposisikan sesuai dengan indikasi teknik yang digunakan
baik posisi prone, lateral atau supine. Posisi diatur untuk memudahkan saat melakukan pungsi
perkutan, baik dengan bantuan ultrasonografi, fluoroskopi, CT scan atau pun C-arm. Pungsi
dilakukan dibawah iga 12 menggunakan jarum G18 yang diposisikan sehinggap pangkal jarum,
ujung jarum dan target dalam satu garis dengan target kalik posterior pole bawah sampai
ifundibulum. Ketika jarum mencapai kalik target dan obturator dilepas maka urin akan keluar
dari jarum, kedalaman ditentukan dari target kalik dan posisi batu dapat dikonfirmasi
menggunakan C-arm. Beberapa pertimbangan anatomis secara umum menjadi pedoman dalam
melakukan pungsi ginjal diantaranya kaliks posterior lebih dipilih karena biasanya berada
dalam brodel’s line, pungsi harus searah infundibulum untuk mencegah perlukaan terhadap
pembuluh darah serta memudahkan akses dan manuver nefroskop saat memecah batu. Pungsi
sebaiknya dilakukan dibawah iga 12 untuk mengurangi risiko cedera pleura atau bila pungsi
suprakosta diperlukan hendaknya dilakukan saat ekspirasi penuh. Tujuan dari keseluruhan
akses adalah dapat mengangkat batu dengan nefroskop yang rigid, sedangkan untuk batu kaliks
biasanya pungsi diarahkan langsung pada kaliks yang bersangkutan kecuali pada kaliks
anterior karena sudut tajam antara kaliks anterior dan pelvis sehingga batu kalis anterior
biasanya diraih melalui kaliks posterior menggunakan nefroskop fleksibel (Celik, et al, 2015).
Setelah pungsi dipastikan dalam sistem pelviokalises, kemudian dimasukan dua
guidewire melalui jarum yang diinsersi sebelumnya, untuk menghindari kehilangan jalur yang
dibuat. Selanjutnya dilakukan dilatasi menggunakan dilator fasial. Terdapat 3 tipe dilator
fasial yaitu dilator teflon, dilator metal dan dilator balon. Dilatasi dilakukan dengan gerakan
berputar 80% mendorong 20% sampai ukuran 30F dan meninggalkan sheat 34 F sebagai
tampon untuk mengurangi perdarahan dan sebagai saluran untuk memasukan instrumen dan
irigasi cairan. Dilator dimasukan sepanjang guidewire sampai ujungnya masuk kedalam sistem
pelviskalises. Serial dilatasi menggunakan dilator metal lebih baik daripada dilator teflon
karena teknik lebih mudah dan cepat, dan risiko kehilangan jalur lebih kecil. Metode yang
paling cepat dengan menggunakan dilator balon dan tidak memerlukan insersi berulang untuk
menaikan ukuran yang dapat berisiko perforasi pelvis renalis, ekstravasasi urine dan
perdarahan, namun harganya mahal dan tidak bisa menembus jaringan fibrotik (Celik, et al,
2015).
Tahap selanjutnya yaitu memasukan nefroskop melalui sheat ke dalam sistem
pelviokaliks untuk mencapai batu menggunakan nefroskop standar ukuran 26Fr rigid dengan
lensa optik dan memudahkan instrumen rigid lainnya untuk mencapai batu. Irigasi dengan
normal saline hangat diatur untuk mengisi sistem pelviokaliks secara kontinyu melalui
endoskop sehingga bisa membersihkan fragmen pecahan batu dan darah dengan cepat dan
menghasilkan visualisasi yang baik. Batu ukuran kecil kurang dari satu sentimeter dapat
dikeluarkan langsung menggunakan forcep Randall melalui sheat sedangkan ukuran batu yang
lebih besar memerlukan fragmentasi dengan menggunakan litotripsi ultrasonik, laser, ataupun
pneumatik. Litotripsi ultrasonik modern cocok untuk batu staghorn khususnya batu degan
konsistensi lunak atau rapuh sedangkan untuk batu yang lebih keras diperlukan litotripsi laser
holmium (Celik, et al, 2015).
Pada akhir operasi setelah batu dikeluarkan dilakukan pemasangan kateter nefrostomi
temporer yang bertujuan untuk memonitor perdarahan, drainase urine jika fungsi ureter belum
berfungsi maksimal karena inflamasi atau sumbatan darah dan untuk akses jika diperlukan
tindakan PCNL lanjutan. Terdapat beberapa selang nefrostomi yang sering digunakan
diantaranya kateter karet, pigtail, kater balon atau kombinasi set nefrostomi. Pemilihannya
tergantung seberapa manipulasi saat operasi, trauma uretelial, banyaknya perdarahan dan
ukuran batu. Wickham dkk pertama kali memperkenalkan tubeless PCNL pada tahun 1984
dimana didapatkan 94% angka bebas batu dengan rata-rata perawatan 2,8 hari dan 6% angka
transfusi. Penelitian lain oleh Bellman dkk menyebutkan dari pada menggunakan nefrostomi
lebih memilih menggunakan DJ stent untuk monitoring degan hasil lama perawatan,
penggunaan anti nyeri, waktu mobilisasi dan pembiayaan lebih rendah secara signifikan
sehingga tubeless PCNL semakin populer. Pada penelitian prospektif acak terbaru oleh Sabnis
dkk mengungkapkan total tubeless PCNL (tanpa nefrostomi dan DJ stent) cukup aman
dikerjakan pada pasien tertentu dengan kriteria tempat akses tunggal, ginjal tanpa obstruksi
dan tidak ada tanda perforasi pada collecting system dan perdarahan (Ganpule, et al, 2016;
Celik, et al, 2015)
2.3.2 Posisi Prone
Posisi standar PCNL adalah posisi prone (gambar 2.6), ketika pertama kali dikenalkan
tahun 1976 posisi ini dianggap sebagai posisi teraman untuk menghindari kerusakan colon dan
organ viseral lainnya. Teknik standar posisi prone terdiri dari dua tahap, pertama pasien dalam
posisi supine untuk anastesi dan insersi kateter ureter untuk mencapai saluran kencing bagian
atas. Kemudian dilanjutkan dengan posisi prone sebagai bagian utama prosedur dengan
meletakan bantalan dibawah thorak dan abdomen atas atau pada kedua sisi dari bahu sampai
pinggul untuk memfasilitasi ventilasi. Bantalan juga diletakkan pada semua titik tekanan (lutut,
kaki, dahi, mata, siku dan jari-jari), perlu hati-hati dalam memposisikan siku untuk mencegah
injuri pleksus brakialis. Saluran perkutaneus menuju ginjal dilakukan dengan fluoroskopi,
ultrasonografi atau pun C-arm, kemudian dilanjutkan dengan mengangkat batu (Karaolides, et
al, 2012).
Gambar 2.6 PCNL posisi prone (Dikutip dari: Celik, dkk, 2015)
Keuntungan utama posisi prone adalah ekspos lengkap area lumbal yang memberikan
ruang luas bagi ahli bedah untuk melakukan pungsi, menggunakan beberapa jumlah akses dan
cukup tempat untuk manipulasi instrumen. Tusukan pole atas pada posisi prone ideal dan
mudah dikerjakan karena lokasi posteromedial pole atas dimana lebih dekat dengan dinding
abdomen posterior dan dalam satu garis axis ginjal yang memudahkan akses renal pelvis
superior, pole bawah dan ureter proximal. Namun banyak operator menghindari akses ini
karena diperlukan pendekatan suprakosta yang meningkatkan risiko pneumothorak. Banyak
operator yang memilih pendekatan subkosta antara batas bawah kosta 12 dan batas atas iliac
crest posterior. Posisi prone memberikan jarak yang cukup pada kedua titik ini yang
meningkatkan angka keberhasilan akses collecting system (Mak, et al, 2016). Selain
keuntungan diatas posisi prone juga memberikan beberapa kerugian diantaranya pasien harus
diposisikan ulang setelah tahap pertama, hal ini menyebabkan waktu operasi meningkat, dapat
menyebabkan injuri pada pasien, merusak akses jalan napas dan sangat sulit atau hampir tidak
mungkin bagi anastesi untuk melakukan emergensi jantung paru. Posisi prone membuat
anastesi kesulitan untuk mengurangi penyesuain paru karena kompresi abdomen dan
pengurangan cardiac ouput. Pasien diposisikan tidak nyaman dengan risiko lesi tekanan, posisi
prone secara umum dihubungkan dengan peningkatan komplikasi mata seperti yang terlihat
pada sebagian besar operasi spinal. Kompresi langsung juga menyebabkan injuri pada orbita
dan abrasi kornea, tekanan intraokuler juga meningkat selama operasi dan dicurigai sebagai
penyebab komplikasi kehilangan visual pasca operasi karena okulopati iskemia (Karaolides,
et al, 2012).
Untuk mempermudah akses retrograde saluran kencing atas selama PCNL
dikembangkan modifikasi posisi prone klasik. Pada tahun 1988 Lehman dan Bagley
melaporkan keberhasilan hasil dengan pendekatan kombinasi pada tiga pasien perempuan.
Berdasarkan deskripsi awal pasien diposisikan prone dengan kaki abduksi pada panggul, paha
dan lutut diposisikan seperti ayunan dan bagian kaudal dari meja operasi diposisikan serendah
mungkin sehingga operator melakukan pendekatan dari ujung meja untuk mencapai akses
uretra, kandung kecing dan ureter dengan instrumen fleksibel. Beberapa kelompok penulis
yang menjelaskan posisi litotomi terbalik, tiga tahun kemudian melaporkan posisi dengan kaki
terbuka untuk memudahkan akses simultan perkutan dan transuretral pada laki-laki dan
perempuan. Anastesi dilakukan saat posisi supine kemudian dibalik posisi prone pada meja
endourologi standar dengan posisi kaki terbuka, kaki pasien diganjal dan difiksasi, abduksi
pada panggul tanpa fleksi. Genetalia diposisikan dibawah meja operasi sehingga membuat
ruang untuk akses retrograde, pinggang dan area genetalia disiapkan dan ditutup terpisah.
Digunakan instrumen fleksibel untuk akses kandung kencing dan saluran kencing bagian atas.
Dilaporkan banyak prosedur endourologi yang bisa dikerjakan dengan posisi ini seperti
litotripsi intrakorpoeal. Modifikasi terbaru posisi prone dikombinasikan dengan posisi fleksi
selama prosedur tindakan, setelah pasien berubah posisi prone meja difleksikan 30-40o untuk
membuka ruang antara costa 12 dan puncak iliaka posterior. Posisi fleksi ini mencegah lordosis
anterior berlebihan yang terjadi saat posisi prone klasik, lebih banyak ruang kerja, mengurangi
potensi interfensi dari bokong dengan nefroskop selama nefroskopi rigid melalui pole bawah
dan ginjal bergeser ke inferior retroperitoneum sehingga pungsi bisa dikerjakan lebih caudal
(Karaolides, et al, 2012).
Suatu penelitian meta analisis membandingkan angka bebas batu dan lama perawatan
menunjukkan 83,4% dan 81,6% pada posisi prone dan 84,5% dan 83,5% pada posisi supine.
Hasil berbeda ditunjukan pada penelitian meta analisis Zhang dkk dimana angka bebas batu
posisi prone lebih tinggi dibandingkan supine (77,3% vs 72,9%). Perbedaan hasil ini mungkin
disebabkan karena perbedaan jumlah studi, analisisi dan perbedaan pengertian bebas batu
(Mak, et al, 2016).
2.3.3 Posisi Supine
Valdivia-Uria dkk pada tahun 1987-88 melaporkan akses perkutaneus ke ginjal yang
aman pada pasien posisi supine . Banyak penulis lain juga melaporkan sejumlah kasus pasien
yang ditangani dalam posisi yang sama. Dalam dua tahun kemudian ketertarikan dalam posisi
supine mulai meningkat, studi kelompok endourologi menemukan 80,3% pasien dikerjakan
dalam posisi prone dan 19,7% dikerjakan dalam posisi supine. Dinding abdomen dipungsi
diarah lateral jauh dari otot lumbal sehingga pergerakan instrumen endoskopi lebih terbatas
namun arah pungsi langsung memberikan tekanan rendah pada pelvis renalis dan dapat
mengurangi risiko penyerapan cairan dan memungkinkan pembersihan fragmen secara
spontan. Secara studi CT anatomi risiko perforasi colon mungkin lebih rendah dibandingkan
pada pada posisi prone karena usus dapat bebas bergerak pada abdomen yang tidak ditekan
dan tidak didorong kedepan atau kesamping ginjal. Kelemahan utama posisi supine adalah
pinggang tidak terekspos maksimal sehingga akses posteromedial pole atas lebih sulit dan tidak
memungkinkan untuk akses multiple. Selain itu meja operasi dan pinggul pasien juga dapat
menghambat manipulasi instrumen. Tidak adanya kompresi abdomen menyebabkan ginjal
lebih bebas bergerak sehingga pungsi dan dilatasi menjadi suatu tantangan tertentu. Beberapa
kaliks mengumpulkan fragmen selama penghancuran batu, tekanan intrarenal yang rendah
membuat sistem kurang mengembang sehingga nefroskopi dan manipulasi lebih susah. Posisi
original PCNL supine melibatkan posisi supine dengan sisi pinggang ipsilateral elevasi dengan
1-3 liter cairan ditempatkan dibawah fosa lumbal sisi operator dan lengan ipsilateral diletakan
menyilang pada dada (Karaolides et al 2012; Mak, et al, 2015).
Pada posisi supine pemasangan kateter ureter retrograde diperlukan untuk memperoleh
pyelografi retrograde dan sebagai akses pungsi. Tidak diperlukan perubahan posisi
intraoperatif dapat mengurangi waktu operasi dan juga mengurangi risiko komplikasi akibat
posisi prone. Posisi supine juga memberikan keyamanan bagi operator saat prosedur
memanjang yang tidak mungkin dapat dikerjakan pada posisi prone. Suatu meta analisis
menunjukan waktu operasi lebih pendek pada posisi supine dibandingkan posisi prone (Mak,
et al, 2015; Dong Bo, et al, 2015; Lucarelli dan Breda, 2013)
Modifikasi supine diperkenalkan oleh Valdivian dkk untuk memudahkan penggunaan
ureteroskop rigid selama PCNL. Perbedaannya dengan posisi supine original adalah kaki dalam
posisi fleksi dengan kaki ipsilateral lebih elevasi dan kontralateral lebih rendah. Valdivia lebih
memilih posisi supine klasik jika menggunakan ureteroskop fleksibel dan penggunaan
modifikasi jika menggunakan uretroskop rigid. Saat ini banyak bagian yang mengerjakan
operasi perkutaneus setelah ginjal dipungsi menggunakan anastesi lokal dan sedasi di bagian
radiologi. Pada tahun 1993 Graso dkk menjelaskan modifikasi posisi flank roll pada pasien
yang telah menggunakan nefrostomi dan mengatakan posisi ini cocok saat diagnosis preopratif.
Hal ini menunjukan prosedur retrograde komplit dan luka perkutaneus hanya akan digunakan
menggunakan instrumen fleksibel jika diperlukan. Pasien dalam posisi standar litotomi,
pinggang dengan nefrostomi diangakat 45o dan diganjal untuk memudahkan akses selang
nefrostomi, ekstremitas atas diletakan menyilang diatas dada, kedua area pinggang dan
genetalia steril dan dibungkus. Keterbatasan ekspos pada pinggang tidak memungkinkan untuk
pungsi primer dan manipulasi dengan nefroskop rigid. Varian original Valdivia dipublikasikan
tahun 2007 dimana kaki ipsilateral menyilang bagian kontralateral dan meletakan bantalan
pada pinggang ipsilateral sehingga membentuk sudut kemiringan 30o, posisi tangan sama
dengan posisi original. Posisi kaki menyilang meningkatkan jarak antara kosta bawah dan
ujung iliak dan mempermudah pungsi kalik dan dilatasi saluran nefrostomi (Mak, et al, 2015).
Posisi modifikasi Galdakao-Valdivia dijelaskan oleh Ibarluzea dkk tahun 2007 dan
mendapat perhatian komunitas urologi karena operasi pada posisi ini aman, praktis dan serba
guna dengan angka keberhasilan yang lebih tinggi dibanding posisi prone. Posisi ini sedikit
lateral dibanding posisi supine Valdivia dengan kaki kontralateral ditekuk dan kaki ipsilateral
diluruskan dengan bantalan pada pinggang untuk mendapatkan posisi modifikasi litotomi.
Posisi ini memeberi keuntungan pada operator dan anastesi karena kemudahan akses retrograde
ke ginjal, cukup ruang untuk manipulasi instrument, pasien hanya sekali drapping dan tidak
perlu mengubah posisi namun kelemahan posisi ini hampir sama dengan posisi supine lainnya
(Karaolides, et al, 2012).
Falahatkar dkk melaporkan PCNL posisi supine komplit tanpa bantalan pada pinggang
merupakan teknik yang aman dan dapat diaplikasikan pada semua pasien. Pasien ditempatkan
dalam posisi supine diujung meja dengan posisi kaki ekstensi dan lengan abduksi,
keuntungannya sama dengan posisi supine lainnya. Pinggang tanpa bantalan mencegah
perubahan posisi ginjal sehingga pungsi pada pole atas lebih mudah, untuk memfasilitasi
pungsi digunakan pengembangan paru yang dapat menurunkan posisi ginjal sehingga pada
fluroskopi tidak bertumpuk dengan tulang belakang seperti yang terjadi pada posisi semi supine
(Karaolides, et al, 2012).
Pada tahun 2007 Carmio dkk juga menjelaskan posisi novel untuk melakukan
nefrostomi. Pasien dalam posisi oblique dengan dua bantalan pada bahu dan panggul sehingga
pinggang terekspos, lengan ipsilateral diletakan diatas dada dan lengan kontralateral abduksi.
Posisi ini menunjukan keuntungan pada ekspos pinggang dengan menghilangkan bantalan.
Setelah dalam dua tahun berusaha membuat posisi untuk ekspos pinggang yang lebih baik,
akhirnya menemukan posisi supine modifikasi ‘barts flank free’ (gambar 2.7). Pasien dalam
posisi supine dengan kemiringan 15o pada pinggang ipsilateral menggunakan botol infus
dibawah kosta dan bantalan dibawah pelvis, lengan ipsilateral diletakan menyilang dada. Kaki
dalam posisi litotomi dengan ipsilateral ekstensi dan kontralateral abduksi dengan sedikit
elevasi. Keuntungan posisi ini mengekspos pinggang lebih baik dibandingkan posisi supine
lainnya, memberikan ruang optimal untuk akses dan manipulasi ginjal karena tidak ada
bantalan pada area kerja, pasien nyaman tanpa tekanan pada tulang belakang, gambaran ginjal
pada fluroskopi terlihat jelas dengan sedikit rotasi pada C-arm, tangan operator kurang ekspose
oleh radiasi, ginjal pada posisi netral kurang bebas bergerak sehingga mudah untuk akses dan
dilatasi, posisi ideal untuk akses antegrade dan retrograde, posisi nefrostomi hampir horisontal
sehingga lebih mudah untuk mencuci sisa fragmen dan tekanan intra renal lebih rendah
(Karaolides, et al, 2012).
Gambar 2.7 PCNL posisi supine- bart flank free (Dikutip dari: Karaolides, dkk, 2012)
Secara umum disebutkan beberapa keuntungan prosedur PCNL posisi supine
diantaranya tabung fluoroskofi jauh dari ruang kerja, gambaran ginjal dan vertebra pada
fluroskopi tidak tumpang tindih, mengurangi waktu total operasi dan posisi nyaman (duduk)
operator (Falahatkar, et al, 2011). Suatu studi prospektif acak menunjukan waktu operasi
PCNL posisi supine lebih pendek (100+42,8 menit) dibandingkan posisi prone (128+47,6)
begitupula lama perawatan PCNL posisi supine (2,0+1,8 hari) lebih pendek dibandingkan
posisi prone (3,0+2,2 hari) (Balaji, et al, 2017).
2.3.4 Komplikasi Perkutaneus Nefrolitotomi
Komplikasi PCNL secara umum dibagi menjadi dua yaitu komplikasi yang
berhubungan dengan akses perkutaneus dan yang berhubungan dengan pengangkatan batu.
Beberapa sumber komplikasi intraoperatif disebabkan oleh kesalahan pemilihan pasien,
kekurangan persiapan dan peralatan dan kesalahan teknik. Pemilihan pasien sangat penting
dalam semua prosedur endourologi perkutaneus khususnya pada pasien PCNL, pemilihan yang
tidak tepat pada pasien PCNL tidak menyebabkan morbiditas yang tinggi namun prosedur
operasi menjadi lebih lama dan biasanya memerlukan prosedur tambahan lainnya.
Kontraindikasi pasien dilakukan prosedur PCNL seperti pasien dengan koagulopati yang tidak
terkoreksi, infeksi, adanya penyakit penyerta lainnya seperti diabetes, penyakit paru ataupun
kardiovaskuler yang menyebabkan hasil PCNL tidak optimal. Pasien obesitas, deformitas
spinal atau kelainan anatomi ginjal meningkatkan kesulitan prosedur operasi dan ukuran batu
yang besar juga meningkatkan risiko komplikasi. Akses yang tepat selama PCNL dipengaruhi
oleh penempatan posisi pasien yang tepat sehingga mengurangi risiko komplikasi intraoperatif.
Posisi selama PCNL bervariasi mulai dari prone mendatar, prone defleksi, prone oblique, dan
supine oblique. Defleksi dapat meningkatkan ruang antara thorakal 12 dan iliaka sehingga area
untuk pungsi lebih luas. Beberapa urologis mengangap posisi supine oblique atau defleksi
mempermudah dalam prosedur PCNL. Di Amerika dan Inggris akses renal dilakukan oleh
radiologis sedangkan di Eropa pungsi dilakukan oleh urologis menggunakan guiding
ultrasonografi atau fluroskopi. Akses biasanya menggunakan pendekatan subkosta walaupun
pendekatan suprakosta lebih dipilih pada beberapa indikasi seperti batu kaliks superior atau
batu staghorn. Komplikasi signifikan pada dada mencapai 5% ketika memilih pendekatan
suprakosta. Sangat penting untuk menghindari perforasi pelvis renal saat memasukan wire
setelah pungsi kaliks. Literatur menyebutkan komplikasi perforasi mencapai 7,2% dan dapat
dihindari dengan menggunakan J wire dengan ujung yang lembut atau wire dengan inner core.
(Mihel, et al, 2007).
Komplikasi yang berhubungan dengan akses berupa perdarahan perenkim dan injuri
organ sedangkan komplikasi yang berhubungan dengan pengankatan batu berupa sepsis,
ekstravasasi dan absorpsi cairan. Sumber perdarahan selama PCNL adalah saluran nefrostomi,
perdarahan dapat dicegah jika ginjal dipungsi dengan keras melalui kaliks dengan angulasi
minimal pada sistem dilatasi dan menggunakan batang nefroskop untuk menghindari angulasi
yang berlebihan, nefroskop fleksibel harus digunakan untuk batu di kaliks yang lain. Jika
perdarahan menggangu gambaran endoskopi prosedur harus dihentikan dan tampon dengan
nefrostomi selama 40-60 menit. Prosedur berikutnya bisa dikerjakan 24 atau 48 jam kemudian
jika perdarahan makros sudah berhenti. Jika perdarahan terus berlanjut harus dikerjakan
angiografi renal dengan kemungkinan embolisasi selektif, operasi terbuka dengan perbaikan
vaskuler atau nefrektomi mungkin diperlukan jika perdarahan terus berlanjut. Laserasi juga
bisa terjadi selama dilatasi dan pembuangan batu, jika terjadi perdarahan signifkan tube
nefrostomi harus dipasang selama 48 jam kedepan untuk menghentikan perdarahan lebih
lanjut. Lesi pada vaskuler juga dapat menyebabkan perdarahan tertunda akibat pseudoaneurism
atau fistel arterivena yang memerlukan intervensi. Komplikasi ini jarang terjadi namun dapat
terjadi sampai 3 minggu pasca PCNL. Angka tranfusi dilaporkan 0,5-4% dan dapat meningkat
sampai 20%, suatu penelitian menyebutkan perdarahan yang memerlukan transfusi mencapai
6,19% dan 0,47% kasus memerlukan angioembolisasi (Rhamesh, et al, 2016; Camtosun, et al,
2015). Pasien pada posisi supine disebutkan memiliki angka transfusi darah lebih tinggi pada
posisi prone sebanyak 6.1% dibandingkan posisi supine 4.3% (Valdivia, et al, 2011).
Injuri organ akibat pungsi bisa mengenai pleura, duodenum, kolon dan organ
abdominal lainnya. Risiko injuri pada pada pleura dan paru meningkat jika pungsi diatas kosta
12 (10%), pungsi menggunakan ultrasonografi atau setelah menghembuskan napas mungkin
dapat mencegah injuri pleura. Jika pungsi melalui pleura, ekstravasasi cairan irigasi atau udara
harus dicegah dan jika terjadi efusi pleura atau hematothorak harus dilakukan pemasangan
drain thorak. Untuk menghindari hal diatas akses pada kaliks bawah lebih dipilih dikombinasi
dengan nefroskop fleksibel (Camtosun, et al, 2015; Mihel, et al, 2007). Komplikasi mengenai
organ kolon dilaporkan pada lebih dari 30 publikasi kasus, publikasi terbesar pada 5039
prosedur mengidentifikasi beberapa faktor risiko diantaranya prosedur pada sisi kiri, batu
staghorn dan usia tua, risiko perforasi mencapai 1%. Faktor risiko lain kemudian disebutkan
adalah kolon yang inflasi dan pada pasien yang ekstrim kurus, harus lebih berhati-hati pada
pasien dengan riwayat operasi abdomen karena meningkatkan risiko injuri pada duodenum dan
kolon. Jika terjadi perforasi ekstraperitoneal terapi konservatif dengan pemberian antibiotik
bisa diberikan sedangakan jika terjadi perforasi intraperitoneal operasi laparotomi harus
dikerjakan segera. Risiko pungsi mengenai kolon bisa dicegah dengan menggunakan
ultrasonografi dan memilih pasien yang tepat. Injuri organ lain seperti spleen jarang terjadi jika
pungsi dibawah kosta 12 namun adanya splenomegali dapat meningkatkan risiko. Injuri pada
spleen bisa dicegah dengan penggunaan ultrasonografi, jika terjadi perdarahan yang bermakna
pada injuri spleen, laparotomi eksplorasi harus segera dikerjakan. Penelitian oleh Skolaris dan
Rossete melaporkan adanya injuri kolon sebesar 0,2-0,8% pasien (Ramesh, O et al, 2016).
Aslzare dkk melaporkan adanya 0,2 % inseden perforasi kolon pada 18 tahun pengalaman
PCNL posisi prone dan penelitian lain pada lebih dari 5000 PCNL posisi prone melaporkan
adanya 0,3% injuri kolon dengan faktor risiko usia tua dan adanya horseshoe kidney.
Sedangkan pada seri PCNL supine tidak dilaporkan adanya perforasi kolon dan organ visera
lainnya (Mak, et al, 2016).
Sepsis bisa terjadi karena infeksi melalui akses ke ginjal atau batu infeksi, demam
merupakan gejala yang sering terjadi pada pasien dengan batu infeksi dibandingkan batu steril
saluran kencing. Gangguan fungsi ginjal, kencing manis dapat meningkatkan risiko sepsis.
Antibiotik profilaksin dan drainase pyonefrosis sebelum prosedur PCNL merupakan suatu
keharusan. Abtibiotik dapat berupa dosis tunggal ataupun protokol profilaksis jangka pendek
tanpa membedakan dengan kasus urin steril. Durasi operasi dan jumlah cairan irigasi
merupakan salah satu faktor risiko demam pasca operasi, selain itu penting untuk mencegah
tekanan tinggi dan menjaga durasi operasi minimum. Dalam literatur kejadian sepsis bervariasi
0,79% sampai 4,7%. Pada kasus sepsis pasien harus menerima perawatan intesif termasuk
diuretik cepat, terapi antibiotik, drainase ginjal yang optimal dan kontrol elektrolit (Ramesh, et
al, 2016; Tylor, et al, 2012).
Ekstravasasi urin dan absorpsi cairan biasanya bersumber dari perforasi pada collecting
system. Untuk mencegah hal tersebut dalam melakukan manipulasi harus dengan kontrol
radiologi dan alat endoskopi menggunakan sistem aliran terbuka atau kontinyu dan
menggunakan salin normal sebagai cairan irigasi. Ekstravasasi urin pasca PCNL dapat terjadi
karena perforasi berat sistem atau saluran nefrostomi.
Standarisasi komplikasi paska tindakan operasi dengan modifikasi sistem Clavien-
Dindo dalam bidang urologi untuk PCNL dilakukan oleh kelompok Clinical Research Office
of Endourological Society (CROES) yang dikenal dengan CROES Clavien Score (CCS)
(Rosette, et al. 2012). CCS dibagi menjadi empat tingkat (I,II,IIIA, IVA) dan dikelompokan
menjadi dua yaitu komplikasi minor yang terdiri dari CCS grade I dan II, komplikasi mayor
yang terdiri dari CCS grade III dan IV (tabel 3.1)
Tabel 2.1 Komplikasi PCNL Berdasarkan CCS Grade
CCS Grade CCS Grade Komplikasi
Minor I Demam (38O) tanpa mengganti antibiotik Perdarahan tanpa tranfusi atau klem nefrostomi (1X) atau kopmresi kulit/ bebat tekan Kebocoran urine- observasi Perforasi pelvis renal - observasi Obstruksi usus - tanpa dekompresi Hematoma subcapsuler - observasi
II Perdarahan yang memerlukan transfuse Demam (>38 O) dengan penggantian antibiotik Ileus paska operasi – dengan selang dekompresi Odema pulmonum - deuretik
Mayor III A Stent ureter tanpa anatesi umum Perforasi pelvis renal – pertahankan nefrostomi atau pasang stent ureter tanpa pembiusan Hidrothorak – drainase intercostal dengan anastesi lokal
IV A Urosepsis – ICU gagal ginjal akut - ICU Gagal jantun -ICU