unud-898-1703265396-bab i dab bab ii

Upload: anitaara

Post on 08-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penelitian terhadap suku ende lio, NTT

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Desa Nggela merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Ende

    Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tepatnya Desa Nggela berada di wilayah

    Kecamatan Wolojita dengan jumlah penduduk sesuai perhitungan di tahun 2011

    berjumlah 1120 jiwa (BPS Kabupaten Ende, 2012: 5). Desa ini memiliki

    permukiman adat yang hanya dihuni oleh orang-orang yang memiliki posisi dan

    peran yang penting bagi kehidupan masyarakat Nggela. Pada dasarnya bentuk

    permukiman adat Desa Nggela ini berbentuk linear (Wora, 2008a : viii). Bentuk

    linear yang biasanya berbentuk sebuah garis lurus, namun yang terjadi di Desa

    Nggela adalah berupa lengkungan. Namun hal ini bukan yang menjadi fokus dari

    penelitian ini, tapi penelitian lebih mengarah pada struktur organisasi masyarakat,

    tata zonasi pada permukiman adatnya, peranan dan hubungan antara kedua aspek

    ini dalam permukiman adat di Desa Nggela.

    Dalam pembangunan rumah adat dan perkampungan tradisional pada

    umumnya di Kabupaten Ende, pola pemukimannya ditata secara memusat.

    Sedangkan bentuk rumahnya mengikuti filosofi bentuk perahu (Mochsen, 2003:

    8). Letak pola permukiman adat selalu dilihat dalam hubungan dengan tempat

    asal manusia pertama Suku Ende-Lio yaitu gunung Lepembusu. Berdasarkan

    pertimbangan inilah ujung permukiman adat Suku Ende-Lio selalu mengarah ke

    gunung Lepembusu dan arah berlawanan mengarah ke daerah paling rendah yaitu

    lautan.

  • 2

    Sesuai pertimbangan kosmologis yang mempertahankan keseimbangan

    antara dua titik ekstrim, kaitannya dalam permukiman yaitu ulu (kepala) dan eko

    (hilir). Diantara keduanya terdapat puse (pusat). Ulu dihubungkan dengan

    matahari terbit atau ke arah gunung Lepembusu sedangkan eko ke arah matahari

    terbenam atau berlawanan dengan gunung tempat asal-usul nenek moyang Suku

    Ende (Mbete dkk, 2008: 131). Seperti yang diungkapkan Dewi bahwa orientasi

    dibutuhkan oleh manusia sebagai pengkiblatan diri, dan simetri memberi makna

    keseimbangan hubungan manusia yang paling hakiki sebagai sikap yang

    mengagungkan sesuatu (Dewi, 2003: 29).

    Permukiman adat Desa Nggela terdapat Mosalaki-Mosalaki yang berjumlah

    16 orang dengan 14 rumah adat. Namun dalam wilayah permukiman adat ini

    terdapat juga rumah-rumah adat yang merupakan rumah adat pendukung dari

    rumah adat inti yang biasanya merupakan keturunannya. Ke-16 Mosalaki ini

    merupakan pemimpin-pemimpin adat di Desa Nggela sehingga tempat tinggal

    mereka berada terpisah dari penduduk biasa. Lokasi perumahan bagi para

    Mosalaki ini berada di tengah Desa sebagai wilayah pertama yang dihuni oleh

    nenek moyang mereka dan akhirnya berkembang menjadi sebuah Desa.

    Hal ini seperti yang dikatakan Asyari bahwa penghormatan kepada garis

    keturunan, nenek moyang pertama menata pandangan orang tentang masa lalu

    sebagai proton atau pola bertingkah laku (Asyari, 1990: 100). Dalam hidup

    bermasyarakat dalam suatu desa pada umumnya terintegrasi secara fungsional

    dengan mendasarkan diri pada prinsip tujuan khusus (dalam konteks ini desa

    persawahan dan perkebunan). Hal ini akan nampak adanya kekuasaan tertentu

  • 3

    yang menata tingkah laku masyarakat berdasarkan nilai keahlian dan

    keterampilan khusus. Berdasarkan akan prinsip ini, maka tertanam juga sikap

    menghargai atasan dan rasa ketergantungan kepada atasan atau pimpinan tampak

    sebagai sumber nilai yang menentukan pola tingkah laku dan merupakan nilai

    pedoman yang harus ditaati (Asyari, 1990: 100-101).

    Menurut Robert untuk memahami suatu struktur pemukiman suatu desa perlu

    adanya tiga langkah yaitu: permukiman sebagai refleksi fisik organisasi ruang

    sesuai dengan sejarah, zona sosial-ekonomi serta perkembangannya, dan yang

    terakhir akan memperoleh klasifikasi sistem permukiman secara global (Robert,

    1996: 146). Dalam melihat struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di

    Desa Nggela tentunya sejarah merupakan hal yang perlu ditelusuri sebagai cikal

    bakal terbentuknya Desa Nggela.

    Dalam permukiman adat ini terdapat pembagian kelompok-kelompok zona

    atau adanya pembagian wilayah. Hal inilah yang menarik untuk diteliti dengan

    adanya kelompok-kelompok zona ini dan mencari latar belakang adanya

    pengelompokkan ini, pola yang terbentuk, dan pengaruhnya pada ruang luar.

    Menurut Baja, fungsi dari zonasi membantu pengguna/pengambil keputusan

    ruang untuk dapat mengidentifikasi dan mengenal perbedaan yang ada dalam

    suatu ruang wilayah/kawasan (Baja, 2012: 85).

    Sudikno mengatakan bahwa secara makro, pola permukiman dipengaruhi

    oleh orientasi bangunan yang mengahadap ke jalan utama desa dan berorientasi

    Utara-Selatan; serta tata letak bangunan yang berkaitan dengan sistem

    kekerabatan. Di dalam pola permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau

  • 4

    tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai

    adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar

    dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman adat (Sudikno,

    2011: 95).

    Permukiman adat Desa Nggela sebagai lokasi penelitian ini hanya dihuni

    oleh orang-orang dengan kedudukan dan peran yang penting dalam masyarakat

    atau biasa disebut dengan Mosalaki. Hal ini berkaitan dengan sejarah dan budaya

    yang ada dalam masyarakat Nggela yang sudah diturunkan dari jaman nenek

    moyang dan masih dipertahankan sampai sekarang. Seperti yang dikatakan oleh

    Snyder dan Catanese bahwa dalam masyarakat tradisional yang khususnya pada

    mula terbentuknya suatu hunian, penataannya sering didasarkan pada hal yang

    suci, karena religi dan ritual menjadi pusat (walaupun bagian-bagian lain

    memiliki peranan yang penting juga), sehingga tempat tinggal atupun

    permukiman yang terbentuk dapat menunjukan suatu makna yang berarti (Snyder

    dan Catanese, 1984: 18).

    Dalam melihat pola permukiman adat di Desa Nggela dan juga tata

    zonasinya tentunya didasari oleh budaya setempat. Menurut Koentjaraningrat

    budaya terdiri dari tujuh unsur yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, sistem

    organisasi, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian hidup, sistem religi,

    dan kesenian (Koentjaraningrat, 2009: 165). Namun yang dilihat dalam

    permukiman adat ini hanya struktur organisasi yang lebih khususnya pada

    kedudukan dan peran dari tiap Mosalaki (pimpinan adat) dalam permukiman adat

    ini. Selain kedudukan dan peran dari Mosalaki-Mosalaki ini untuk lebih

  • 5

    memperkuat kedudukan masing-masing Mosalaki ini hal lain yang dilihat adalah

    hubungannya pada tata zonasi dalam permukiman adat di Desa Nggela.

    Dalam sumber yang sama Koentjaraningrat mengatakan bahwa setiap

    kehidupan masyarakat diorganisasikan atau diatur oleh adatistiadat dan aturan-

    aturan/ norma-norma mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan

    tempat individu hidup dan bergaul dan dalam masyarakat desa terbagi dalam

    lapisan-lapisan, maka tiap orang di luar kaum kerabatnya menghadapi lingkungan

    orang-orang yang lebih tinggi dari padanya dan yang sama tingkatnya

    (Koentjaraningrat, 2009: 285). Sedangkan Sanderson mengatakan bahwa sistem

    organisasi berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok

    bertingkat dalam satu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai

    kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise yang tidak sama pula (Sanderson,

    2010: 146).

    Permukiman adat Desa Nggela ini perlu di pertahankan dan dijaga

    keasliannya karena merupakan suatu wujud kebudayaan dari masyarakat setempat

    dan juga sebagai identitas ataupun ciri khas daerah. Perlunya penelitian dilakukan

    agar dapat menemukan konsep dasar dari permukiman adat, sehingga dalam

    perkembangannya dengan adanya kemajuan teknologi tidak akan mengalami

    perubahan. Selain itu dengan adanya penelitian ini dapat memperkaya

    pengetahuan mengenai permukiman tradisional yang ada di Indonesia. Namun

    yang menjadi salah satu kendala adalah tidak semua masyarakat Nggela memiliki

    kesadaran akan pentingnya mempertahankan budaya lokal yang menjadi identitas

    masyarakatnya.

  • 6

    1.2 Rumusan masalah

    Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah diuraikan, maka rumusan

    masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman

    adat di Desa Nggela?

    2. Bagaimanakah peranan dari struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi

    terhadap permukiman adat di Desa Nggela?

    3. Adakah hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi masyarakat

    permukiman di adat di Desa Nggela?

    1.3 Tujuan

    1.3.1 Tujuan Umum

    Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

    mengetahui dan memahami mengenai permukiman adat di Desa Nggela.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah:

    1. Mengetahui struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat

    di Desa Nggela.

    2. Mengetahui peranan dari struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi

    terhadap permukiman adat di Desa Nggela.

    3. Mengetahui hubungan antara tata zonasi dan struktur organisasi masyarakat

    permukiman adat di Desa Nggela.

  • 7

    1.4 Manfaat

    Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis

    dan manfaat teoritis, manfaat penelitian adalah sebagai berikut.

    1.4.1 Manfaat Praktis (manfaat untuk pembaca)

    1. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat untuk

    lebih memahami ciri khas kedaerahan dan memiliki kesadaran untuk tetap

    mempertahankannya agar tidak hilang dan terpengaruh dengan

    perkembangan jaman.

    2. Manfaat lain dari penelitian ini diharapkan agar penelitian ini dapat

    mendukung ke arah penelitian lain dalam menemukan hal-hal baru dalam

    permukiman adat di Desa Nggela yang bisa dilihat dari beberapa aspek.

    3. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi pedoman bagi pemerintah setempat

    untuk dapat lebih memperhatikan dan melindungi kampung-kampung adat

    yang masih ada di Kabupaten Ende.

    1.4.2 Manfaat Teoritis

    Secara akademis, diharapkan penelitian ini dapat menambah data-data

    mengenai hubungan antara ilmu arsitektur khususnya mengenai permukiman

    tradisional yang dapat dijadikan referensi, khususnya sebagai studi kasus terhadap

    tata zonasi dan struktur organisasi dalam permukiman adat di Desa Nggela yang

    tentunya dapat memperkaya pengetahuan dan referensi mengenai permukiman

    tradisional yang ada di Indonesia.

  • 8

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

    DAN MODEL PENELITIAN

    Dalam bab ini terdiri dari kajian pustaka yang berisi tentang penelitian-

    penelitian sebelumnya yang sesuai dengan topik penelitian yang akan dilakukan.

    Kedua adalah konsep yang merupakan batasan-batasan teknis berdasarkan judul

    dan masalah penelitian. Ketiga, berupa landasan teori yang merupakan teori-teori

    yang digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian

    ini. Terakhir adalah model penelitian yang menjelaskan mengenai abstraksi dan

    sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk

    gambar (bagan).

    2.1 Kajian Pustaka

    Kajian pustaka berfungsi untuk mengetahui sejarah masalah penelitian,

    membantu memilih prosedur penyelesaiaan masalah penelitian, memahami latar

    belakang teori masalah penelitian, mengetahui manfaat penelitian sebelumnya,

    menghindari terjadinya duplikasi penelitian, dan memberikan pembenaran alasan

    pemilihan masalah penelitian. Adapun beberapa penelitian sebelumnya yang

    terkait adalah sebagai berikut:

  • 9

    2.1.1 Penelitian struktur organisasi masyarakat dalam permukiman

    tradisional

    Retno Hastijanti (2005) dalam jurnal dimensi teknik arsitektur yang berjudul

    Pengaruh Ritual Carok terhadap permukiman Tradisional Madura mengatakan

    bahwa, ritual Carok merupakan institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat

    Madura dimana para pelaku carok mengekspresikan budi bahasa, oleh karena

    mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk

    menghilangkan nyawa orang-orang yang dianggap musuh.

    Carok, juga dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial

    yang lebih tinggi perasaan terhina sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang

    mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya atau pelecehan harga diri,

    sebagai orang jago (menang dalam Carok) dalam lingkungan komunitas mereka

    atau dalam lingkungan dunia blater (Seseorang yang perilakunya selalu

    cenderung mengarah ke tindakan kriminalitas, seperti berjudi, mabuk-mabukan,

    dan main perempuan). Dengan demikian, Carok dipandang sebagai suatu alat

    untuk memperoleh kekuasaan. Carok juga dipandang sebagai alat untuk

    mengkomunikasikan simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan pada

    lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya.

    Purbadi (2010) dalam disertasinya yang berjudul, Tata Suku Dan Tata

    Spasial Pada Arsitektur Permukiman Suku Dawan Di Desa Kaenbaun Di Pulau

    Timor mengatakan bahwa, tata suku di Kaenbaun mengandung tujuh elemen

    kunci yaitu (1) ada kedudukan yang tetap dan abadi dari setiap suku (Suku Basan

    sebagai suku Raja, dan suku lain sebagai suku penopang); (2) ada tugas abadi

  • 10

    yang diemban oleh setiap suku; (3) warga Kaenbaun terdiri atas suku laki-laki

    (Basan, Timo, Taus dan Foni) dan suku perempuan (Nel, Salu, Sait dan Kaba);

    (4) suku perempuan memiliki kedudukan sejajar dengan suku laki-laki; (5) suku

    perempuan mendapat perlindungan dari suku-suku laki-laki, (6) semua suku

    memiliki otonomi adat untuk melaksanakan tradisi masing-masing suku, dan

    (7) ada upacara adat bersama yang sangat penting yaitu upacara adat siklus

    pertanian yang berpusat di umesuku Basan dan berorientasi ke Bnoko Kaenbaun

    sebagai tempat suci desa Kaenbaun.

    Moh. Ali Topan (2005) dalam jurnal penelitian dan karya ilmiah Lemlit,

    Universitas Trisakti yang berjudul, Morfologi Arsitektur Sumba. Topan

    mengatakan bahwa masyarakat Sumba terdiri dari beberapa suku, dimana

    masing-masing suku mempunyai beberapa kelompok kekerabatan lagi yang

    disebut kabisu. Masing-masing dapat berdiri sendiri ataupun melakukan

    penggabungan sehingga dalam satu kampung adat dapat terdiri dari satu kabisu

    atau lebih yang dapat dilihat dari adanya jumlah natar atau halaman tengah dalam

    satu permukiman atau kampung adat. Secara sosial masyarakat Sumba terdiri dari

    3 golongan strata sosial yaitu Maramba (golongan bangsawan), Kabisu (golongan

    menengah), dan Ata (golongan rendah). Pembentukan strata sosial ini disebabkan

    oleh adanya proses perkembangan suku menjadi kabisu-kabisu yang lebih kecil.

    Sehingga salah satu faktor perwujudan permukiman ataupun rumah di Sumba

    adalah struktur sosial dalam masyarakat.

    Dari ketiga kajian pustaka di atas dapat diambil beberapa aspek yang

    berkaitan dengan struktur organisasi dalam masyarakat tradisional. Struktur

  • 11

    organisasi berkaitan pada adanya status sosial masyarakat, kedudukan, dan tugas

    dalam masyarakat. Dalam memperolehnya di tiap daerah memiliki cara dan

    budaya masing-masing. Ada yang memperolehnya dengan cara kekerasan, dan

    ada yang diperoleh sesuai garis keturunan. Selian itu sifat dari struktur organisasi

    adalah memiliki kedudukan yang tetap dan abadi dalam status maupun tugas dan

    peran masing-masing anggotanya.

    2.1.2 Penelitian mengenai tata zonasi dalam permukiman tradisional

    Tulistyantoro (2005) dalam jurnal dimensi interior dengan judul,Makna

    Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura mengatakan bahwa dalam primordial

    masyarakat ladang makna Utara-Selatan adalah perempuan dan laki-laki. Artinya

    Utara adalah tempat perempuan yang bermakna surgawi atau rohani, dunia atas

    yaitu yang abadi, gelap, terbatasi, tertutup, basah. Selatan bermakna duniawi,

    dunia bawah yang sekarang terang, terbuka, kering dan bebas. Hal ini disebabkan

    oleh masyarakat Madura yang dikelompokan kepada masyarakat yang sebenarnya

    mengikuti pola garis keturunan ibu, atau mengikuti paham matrilineal.

    Dwijendra (2003) dalam jurnal permukiman yang berjudul Perumahan dan

    permukiman tradisional Bali, mengatakan bahwa perumahan Permukiman

    Tradisional Bali merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat yang

    berpola tradisional yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur kahyangan tiga (pura

    desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah) dengan latar

    belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional yang melandasinya. Budaya

    tradisional Bali yang dilandasi agama Hindu, dalam kehidupan sehari-hari yang

  • 12

    berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan Upacara untuk mecapai tujuan

    (Dharma), yaitu Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma, dimana harus

    tercapai hubungan yang harmonis antara alam semesta yang merupakan Bhuana

    agung (makro kosmos) dengan manusia sebagai Bhuana alit (Mikro kosmos).

    Dalam hal ini, perumahan (Bhuana agung) sedangkan manusia (Bhuana alit)

    yang mendirikan dan menempati wadah tersebut. Hubungan antara Bhuana agung

    dengan Bhuana alit yang harmonis dapat tercapai melalui unsur-unsur kehidupan

    yang sama yatu Tri Hita Karana.

    Penerapan konsepsi-konsepsi perumahan tradisional Bali sesuai dengan

    konsep Tri Pramana (Desa, Kala, Patra) yang menjadi landasan taktis

    operasional, mewujudkan pola perumahan yang bervariasi di Bali, namun dapat

    diidentifikasi tiga atribut antara lain: aspek sosial yang menyangkut sistem

    kemasyarakatan yang dikenal desa/banjar (adat), yang memiliki ciri-ciri, seperti:

    adanya legitimasi dan atribut desa adat atau banjar. Aspek simbolik yang

    berkenaan dengan orientasi kosmologis antara lain orientasi arah sakral (kaja-

    kangin) dan Sanga Mandala atau Tri Mandala. Aspek Morfologis yang secara

    morfologis kegiatan-kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan

    menjadi 3 (tiga), yaitu: inti (fasilitas banjar/pura), terbangun (perumahan) dan

    pinggiran (belum terbangun).

    Purbadi (2010) dalam disertasinya yang berjudul, Tata Suku Dan Tata

    Spasial Pada Arsitektur Permukiman Suku Dawan Di Desa Kaenbaun Di Pulau

    Timor mengatakan bahwa, Di desa Kaenbaun terdapat rumah adat yaitu tempat

    suci untuk mengadakan upacara adat. Ada lima buah rumah adat yaitu untuk

  • 13

    empat suku pendiri desa (Basan, Timo, Taus dan Foni) dan satu rumah adat untuk

    suku perempuan (lian feto) (direpresentasikan pada rumah adat suku Nel). Kelima

    rumah adat suku di Kaenbaun tersebut terletak berdekatan dan di area pusat

    permukiman, sehingga sapat dikatakan merupakan pusat lingkungan yang

    bernilai tradisi lokal.

    Dari analisis induktif-kualitatif yang telah dilakukan, diperoleh enam konsep

    yang mendasari tata spasial pada arsitektur permukiman Kaenbaun yaitu (1)

    konsep pertahanan diri; (2) konsep persaudaraan etnis; (3) konsep ketaatan

    tradisi; (4) konsep spiritualitas tradisional; (5) konsep adaptasi budaya; dan (6)

    konsep menyatu dengan alam. Enam konsep tersebut muncul dari induksi dan

    abstraksi atas data pengalaman empiris yang telah dikumpulkan. Atas dasar

    pengamatan lapangan, maka dapat dikatakan bahwa enam konsep tersebut

    sungguh berperan penting dalam kehidupan orang Kaenbaun dan terungkap pada

    tata spasial permukiman. Enam konsep tersebut berada dalam keadaan latent atau

    tersembunyi dan mengendap dalam pikiran orang Kaenbaun serta berperan aktif

    dalam menentukan perilaku sehari-hari.

    Putra B. A. (2006) dalam tesisnya berjudul Pola Permukiman Melayu

    Jambi (studi kasus kawasan Tanjung Pasir Sekoja) mengatakan bahwa, Karakter

    pola permukiman Melayu Jambi di kawasan Tanjung Pasir Sekoja pada dasarnya

    berbentuk linier karena pengaruh unsur alami yang dominan yaitu sungai

    Batanghari. Sungai Batanghari sangat berperan dalam membentuk orientasi

    permukiman karena bagi masyarakat Melayu khususnya pada wilayah Tanjung

    Pasir Sekoja. Pada wilayah darat, dijumpai pola permukiman yang berbentuk

  • 14

    menyebar dan mengelompok. Pola lahan permukiman yang terbentuk terbagi

    menjadi dua, yaitu pola lahan permukiman pinggiran sungai membentuk pola

    linier dan pola lahan permukiman pada kawasan darat berbentuk grid yang

    orientasi permukimannya cenderung mengarah pada jalan lingkungan.

    Dari keempat kajian pustaka di atas dapat disimpulkan bahwa pola

    permukiman tradisional pada umumnya didasari oleh aspek budaya setempat,

    kepercayaan, kosmologi, dan juga kondisi alam untuk menentukan filosofi suatu

    permukiman. Dari aspek-aspek tersebut berpengaruh pada tata zonasi

    permukimannya. Misalnya pada daerah Bali terdapat pengelompokkan wilayah

    secara morfologi kegiatan-kegiatan dalam perumahan tradisional dapat

    dikelompokan menjadi tiga yaitu: inti (fasilitas banjar/pura), terbangun

    (perumahan) dan pinggiran (belum terbangun). Sedangkan di wilayah Tanjung

    Pasir Sekoja pengelompokkan wilayah berdasarkan kondisi alam yang mengikuti

    aliran sungai Batanghari. Selain itu pengelompokkan wilayah juga berdasarkan

    pada sejarah, yaitu adanya pusat permukiman yang terdiri dari rumah-rumah adat

    sebagai perwakilan tiap suku pendiri desa dan juga permukiman untuk penduduk

    biasa.

    2.1.3 Penelitian mengenai peranan struktur organisasi masyarakat dan

    tata zonasi terhadap permukiman tradisional

    Adhiya Harisanti Fitriya, Antariksa, dan Nindya Sari (2010) dalam jurnal tata

    kota dan daerah yang berjudul Pelestarian Pola permukiman di Desa Adat

    Bayan-Lombok Utara yang mengidentifikasi karakteristik pola permukiman.

  • 15

    Dalam penelitian mereka menemukan bahwa pola permukiman yang terbentuk

    dari struktur organisasi masyarakatnnya adalah pola memusat dan mengelompok.

    Adanya hukum adat (awig-awig adat Bayan) yang mengatur pembentukan pola

    perumahan sebagai bagian dari pola bermukim masyarakat. Selain itu terdapat

    pembagian ruang dalam lingkungan tempat tinggal, dan terbentuknya pola ruang

    berdasarkan kegiatan adat yang masih dilaksanakan masyarakat Desa Adat

    Bayan.

    Selain itu Kepercayaan masyarakat terhadap susunan letak rumah dalam satu

    rumpun keluarga berdasarkan senioritas terus diturunkan kepada anak cucu

    mereka. Hal ini didukung dengan keyakinan masyarakat Bayan akan adanya

    sangsi jika tidak mengikuti aturan adat ini. Sanksi yang dipercaya adalah keluarga

    yang melanggar akan terkena musibah penyakit. Selain itu juga, aturan ini

    bertujuan untuk memudahkan dalam melihat silsilah keturunan dalam kelompok

    keluargatersebut.

    Dari penetilian Fitriya dkk peranan struktur organisasi masyarakatnya

    berpengaruh pada pola permukiman dan perumahan di Desa Bayan dengan

    adanya pembagian ruang berdasarkan kegiatan adat. Selain adanya nilai

    kepercayaan dalam pola permukimannya, terdapat nilai fungsional dimana ruang

    yang terbentuk untuk mewadahi kegiatan adat yang dilakukan di Desa Bayan.

    Fathony dkk (2012) dalam jurnal temu ilmiah IPLBI yang berjudul, Konsep

    Spasial Permukiman Suku Madura di Gunung Buring Malang (studi kasus Desa

    Ngigit) mengatakan bahwa terdapat pembagian wilayah dalam permukiman

    sesuai dengan strata sosial. Barat mengandung strata lebih tua semakin ke Timur

  • 16

    merupakan strata lebih muda. Jika kearah Timur lahan tidak cukup, maka rumah

    tinggal generasi anak dan cucu dapat berpindah di Selatan menghadap rumah

    induk diawali anak atau cucu tertua dan selanjutnya kearah Timur yang lebih

    muda. Orientasi kearah Selatan merupakan orientasi yang paling kuat karena

    mengandung nilai kepercayaan yang dianut. Orientasi kearah Timur merupakan

    pantangan karena membelakangi arah sholat ke Qiblat atau Barat.

    Dari penelitian yang dilakukan oleh Fathony dkk, dapat disimpulkan bahwa

    peranan dari adanya pembagian wilayah berdasarkan strata sosial dan kosmologi.

    Hal ini dipengaruhi oleh adanya nilai kepercayaan yang dianut oleh

    masyarakatnya yang beroriantasi pada arah Barat yang merupakan arah Qiblat

    bagi umat Islam.

    2.1.4 Penelitian mengenai hubungan struktur organisasi masyarakat dalam

    permukiman tradisional

    Ibnu Sasongko (2006) dalam disertasi yang berjudul Pembentukan Struktur

    Ruang Permukiman Berbasis Budaya (Studi Kasus: Desa Puyung - Lombok

    Tengah). Dalam jurnal ini Sasongko menyatakan bahwa masyarakat Sasak di

    Pulau Lombok sangat terkait dengan budaya dalam menata ruang

    permukimannya, ataupun pada ritual daur hidup dan berbagai acara keagamaan.

    Perkampungan merupakan satuan permukiman bentuknya memanjang dari

    arah Utara ke Selatan. Letak perkampungan diatur berdasarkan fungsi kerabat

    penghuninya di dalam kehidupan bermasyarakat. Perumahan dalam suatu

    perkampungan ditata sedemikian rupa, sehingga urutan strata penghuninya di

  • 17

    dalam kekerabatannya akan tercermin dengan jelas. Rumah tempat tinggal paling

    Utara mempunyai strata sosial yang tertinggi sedangkan yang paling Selatan

    mempunyai strata sosial sebaliknya. Peran senioritas dalam keluarga juga

    nampak, yakni orang tua ditempatkan pada bagian atas atau Utara, sedangkan

    anak di bawah atau sampingnya.

    Retno Hastijanti (2005) dalam jurnal dimensi teknik arsitektur yang berjudul

    Pengaruh Ritual Carok terhadap permukiman Tradisional Madura dimana pola

    permukiman yang terjadi dipengaruhi oleh tradisi Carok pada masyarakat

    Madura, sehingga pola perkampungan yang terbentuk dilatarbelakangi oleh

    tradisi ini. Metode yang digunakan adalah metode analisis wacana.

    Pola permukiman di Madura dalam penelitian Hastijanti dikatakan

    dipengaruhi ritual Carok. Adanya ritual Carok ini sangat mempengaruhi pola

    permukimannya, sehingga permukiman penduduk yang satu dengan yang lainya

    terisolasi dengan jarak antara kampung bisa sampai 2 km dan yang

    menghubungkan antar kampung ini hanya jalan setapak.

    Pola permukiman penduduknya berpusat pada halaman tengah dan rumah-

    rumah penduduk mengelilinginya sebagai pembatas. Halaman tengah ini

    digunakan untuk ritual Carok. Sehingga terdapat batas ruang yang berlapis-lapis

    pada pola permukiman ini yaitu: lapis pertama adalah bangunan-bangunan rumah

    tinggal musholla dapur; lapis kedua adalah bangunan-bangunan kandang

    halaman belakang rumah; lapis ketiga adalah pagar pembatas (biasanya berupa

    tanaman/pagar hidup).

  • 18

    Dari kedua kajian pustaka di atas, dapat dilihat pengaruh struktur organisasi

    masyarakat dalam suatu pola permukiman. Beberapa aspek ini berkaitan dengan

    adanya aktifitas baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam aktifitas secara

    adat. Pengaruhnya struktur organisasi dalam pola permukiman adat dapat dilihat

    dari elemen-elemen yang terbentuk, misalnya adanya pagar pembatas sebagai

    batas wilayah dan juga untuk keamanan dan pembagian rumah penduduk sesuai

    dengan status sosial dalam masyarakat.

    2.1.5 Penelitian mengenai Desa Nggela

    Kajian pustaka yang dijelaskan di atas merupakan kajian pustaka yang

    berhubungan dengan zona dalam permukiman adat struktur organisasi

    masyarakat. Sedangkan kajian pustaka yang berhubungan dengan kampung

    Nggela yaitu penelitian penelitian yang dilakukan Balai Pengembangan

    Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar dimana fokus dari penelitian ini

    adalah mengkaji kenyamanan termal saja pada salah satu rumah adat yang ada di

    pemukiman adat Nggela.

    Dari penelitian-penelitian yang terkait ini dapat disimpulkan bahwa

    terbentuknya zona dalam pola permukiman dapat dilihat dari lapisan-lapisan

    sosial dalam masyarakat, aspek budaya setempat, kepercayaan, kosmologi, dan

    juga kondisi alam untuk menentukan filosofi suatu permukiman. Sedangkan

    struktur organisasi dalam masyarakat dilatarbelakangi oleh sejarah awal mula dari

    pemukimanya, senioritas, status sosial dalam masyarakat dan juga posisi

    perempuan dalam masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

  • 19

    Tabel 2.1. Kajian Pustaka

    Rumusan masalah Aspek dalam permukiman

    Pertimbangan

    Bentuk struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat.

    Struktur organisasi

    Adanya status sosial masyarakat, kedudukan, dan tugas dalam masyarakat yang bersifat tetap dan abadi.

    Tata zonasi Adanya kepercayaan, kosmologi, dan juga kondisi alam untuk menentukan filosofi suatu permukiman.

    Peranan struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat.

    Struktur organisasi

    Adanya nilai kepercayaan dan fungsional yang berperan dalam permukiman.

    Tata zonasi Adanya nilai kepercayaan berperan dalam permukiman.

    Hubungan antara struktur organisasi masyarakat dan tata zonasi permukiman adat.

    Struktur organisasi

    Adanya kegiatan adat masyarakat yang terstruktur membentuk ruang dan elemen-elemen dalm .permukiman Tata zonasi

    (Analisis penulis, 2013)

    Posisi penelitian ini adalah lebih mengarah pada adanya zona-zona dalam

    permukiman adat di Desa Nggela serta struktur organisasi dalam masyarakat

    sehingga menjadi suatu sistem tetap yang berlaku dalam masyarakat. Dalam

    melihat kedua hal diatas perlu adanya penelusuran pada sejarah dari permukiman

    adat ini dan juga kedudukan serta peran para Mosalaki dalam zona-zona tersebut.

    2.2 Konsep

    Konsep dalam suatu penelitian bertujuan untuk membangun teori, dimana

    teori dapat dibangun apabila telah memahami konsep-konsep dari penelitian.

    Dalam penelititan ini konsep yang dikemukan adalah konsep dari tata zonasi,

    permukiman, dan struktur organisasi.

  • 20

    2.2.1 Struktur organisasi masyarakat

    Dalam suatu masyarakat, agar dapat terjalin kerja sama yang baik perlu

    adanya suatu sistem yang mengatur dan mengorganisasikannya sehingga perlu

    adanya struktur organisasi. Menurut Suparjati dkk, struktur organisasi adalah

    susunan dan hubungan antara komponen atau bagian dalam suatu organisasi.

    Struktur orgnasasi memerincikan pembagian aktivitas kerja dan kaitan satu sama

    lain dan pada tingkat tertentu, dapat menunjukan tingkat spesialis aktivitas kerja

    serta hierarki oerganisasi (Suparjati dkk, 2000: 2).

    Dalam penelitian ini struktur organisasi lebih kepada masyarakat desa.

    Masyarakat desa pada umumnya memiliki struktur organisasi yang lebih

    sederhana dibadingkan dengan masyarakat kota. Dilihat dari jumlah masyarakat

    desa yang tidak sepadat di kota sehingga hubungan antar masyarakatnya lebih

    terjalin secara kekeluargaan dan adanya kerja sama yang dibangun untuk

    membangun desa dan memenuhi kebutuhan individu dan kelompok. Seperti yang

    diungkapkan Sutedjo bahwa kerja sama yang terjalin antara orang perorangan

    ataupun kelompok manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu secara bersama-

    sama (Sutedjo, 1982: 32).

    Dalam segi sejarah desa dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya

    dapat diketahui struktur organisasinya, seperti yang diungkapkan oleh

    Kartohadikoesoemo dalam Asyari (1990: 139-140) bahwa terdapat empat

    kategori masyarakat desa yaitu:

  • 21

    1. Mereka yang berasal dari turunan orang-orang yang mendirikan desa (cikal

    bakal). Mereka adalah pemilik tanah-tanah pertanian yang terbaik di pusat

    desa,

    2. Mereka yang datang kemudian dan membuka lahan yang menjauh tempatnya

    dari pusat desa,

    3. Penduduk yang mempunyai tanah diatas pekarangan orang lain,

    4. Orang-orang yang bertempat tinggal menumpang dalam rumah orang lain.

    Menurut Susilo struktur dalam masyarakat merupakan penyusunan orang-

    orang secara berkelanjutan dari berbagai peranan dan status dalam suatu

    kelompok , yang hubungan-hubungannya dikendalikan oleh norma-norma atau

    pola-pola tingkah laku yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri (Susilo, 2009:

    32-33). Sedangkan menurut Judge dan Robbins struktur organisasi menentukan

    bagaimana pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal

    (Judge dan Robbins, 2004: 214).

    Setiap struktur organisasi dalam masyarakat memiliki bentuk yang berbeda-

    beda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Bentuk struktur organisasi menurut

    suharyadi dkk, ada dua bentuk yaitu unitary (U-form) dan multidivisional (M-

    form). U-Form membagi suatu organisasi berdasarkan fungsi-funsi, sedangkan

    M-form membagi kegiatan ke dalam beberapa divisi (Suharyadi, 2007: 147-148).

    U-form memiliki satu pemimpin yang membawahi beberapa pendukung, dan para

    pendukungnya memiliki bawahan untuk membantunya. Sedangkan M-form

  • 22

    memiliki satu orang pemimpin yang masih dalam pengawasan pusat, dan

    pendukungnya memiliki tugas masing-masing.

    Sedangkan menurut Umar bentuk organisasi ada lima yaitu organisasi garis,

    fungsional, garis dan staf, gabungan , dan organisasi matriks (Umar, 2000: 27).

    Namun sesuai dengan jumlah dari Mosalaki yang ada struktur organisasi

    masyarakat Nggela tidak semua bentuk ini dibahas. Organisasi garis merupakan

    organisasi yang paling sederhana dengan ciri-ciri: jumlah anggota yang relatif

    sedikit, organisasi relatif kecil, anggota saling mengenal secara akrab, dan

    spesialis kerja masih relatif rendah. Sedangkan dalam struktur organisasi

    fungsional , setiap atasan mempunyai wewenang untuk memberikan perintah

    kepada setiap bawahan yang ada sepanjang masih ada hubungannya dengan

    fungsi yang dimiliki atasan (Umar,2000: 67-69).

    Untuk melengkapi bentuk struktur organisasi yang diungkapkan oleh Umar,

    Gaol menambahkan beberapa sifat dari organisasi garis dan organisasi fungsional.

    Organisasi garis memiliki sifat sebagai berikut:

    1. Hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan masih bersifat langsung.

    2. Tingkat spesialisasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pokok dan

    fungsi organisasi masih rendah.

    3. Susunan organisasi atau struktur organisasi belum begitu rumit.

    4. Alat-alat yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka

    mencapai tujuan juga belum beraneka ragam.

  • 23

    Sedangkan organsasi fungsional adalah suatu bentuk organisasi yang

    didalamnya terdapat hubungan yang tidak terlalu menekankan kepada hierarki

    yang struktural, tetapi lebih banyak didasarkan kepada sifat dan jenis fungsi yang

    perlu dijalankan (Gaol, 2008: 2-3).

    Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan struktur organisasi adalah

    adanya susunan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kedudukan yang

    saling berhubungan dalam masyarakat Desa Nggela dan memiliki tugas dan peran

    masing-masing untuk mencapai tujuan bersama demi kesejahteraan secara

    individu maupun seluruh masyarakatnya.

    2.2.2 Tata zonasi

    Zonasi merupakan proses membagi ruang (wilayah/kawasan) menjadi

    beberapa segmen atau sub-zona yang berbeda (Baja, 2012: 81). Pada umumnya

    dalam suatu wilayah dilakukan zonasi untuk membagi beberapa wilayah

    berdasarkan karakteristik lahan dan aktivitas masyarakatnya. Dengan demikian,

    hasil dari bentuk spasial dari zonasi adalah gambaran ruang yang memiliki

    satuan-satuan ruang yang memiliki perbedaan tampilan pada peta yang

    memudahkan pengguna dan pengambil keputusan membedakan satu-satuan ruang

    atau lahan dengan yang lainnya (Baja, 2012: 84).

    Dalam penelitian ini tata zonasi yang dimaksud adalah pembagian wilayah

    dalam kelompok-kelompok zona yang terdapat dalam permukiman adat di Desa

    Nggela.

  • 24

    2.2.3 Permukiman Tradisional

    Permukiman pada dasarnya merupakan suatu wilayah dimana tempat

    manusia bermukim. Heidegger dalam Siregar mengatakan bahwa bermukim

    adalah memelihara serta merawat dunia tempat bermukim untuk dapat

    dipergunakan secara bijaksana dan secukupnya, tidak merusak kontinuitas

    kehidupan umat manusia, sehingga terlaksana suatu kehidupan yang

    berkelanjutan dari generasi ke generasi (Siregar, 2008: 86). Menurut Fathony

    permukiman merupakan suatu tempat dimana manusia berlindung dan melakukan

    aktifitas dengan memanfaatkan suatu wilayah atau tempat secara keseluruhan.

    Permukiman sendiri menjadi tempat tinggal manusia sekaligus tempat kegiatan

    diluar tempat tinggal seperti aktifitas sosial, keagamaan, adat istiadat, serta

    budaya. Permukiman terbentuk sebagai refleksi manusia dari kondisi alam dan

    lingkungan seperti bencana alam (Fathony, 2009: 12).

    Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan adanya proses

    pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas

    manusia serta pengaruh setting dan rona lingkungan baik yang bersifat fisik

    maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola

    kegiatan dan proses perwadahannya (Nuraini, 2004: 11).

    Winarso dengan bertitik tolak pada analisis Doxiadis menunjukkan, bahwa

    untuk mengerti tentang permukiman harus dilihat pada morfologi keruangannya,

    pola-pola dasar yang terkait dengan aktifitas sosial dan tingkah laku manusia,

    juga fungsi dan struktur organisasinya (Winarso, 2012: 6). Dalam sumber yang

  • 25

    sama Winarso menambahkan elemen-elemen dalam suatu permukiman yang

    saling berhubungan untuk kesejahteraan masyarakatnya, yaitu sebagai berikut:

    1 Alam (nature), memberikan pondasi tempat permukiman terbentuk atau

    dibentuk dan kerangka yang di dalamnya suatu permukiman dapat berfungsi;

    2 Manusia (man);

    3 Masyarakat (society);

    4 Naungan (Shells), perumahan;

    5 Jejaring (networks), baik yang alamiah maupun yang buatan yang

    memfasilitasi berfungsinya suatu permukiman (misalnya Jalan, listrik, air)

    (Winarso, 2012: 3).

    Langkah praktis dalam mengklasifikasikan pola permukiman dan

    membedakan dua kategori struktural yang mendasar menurut Robert (1996)

    adalah pola permukiman tidak stabil dan stabil. Tidak stabil dimana terjadi laju

    perubahan yang sedemikian rupa, sehingga pola dapat dilihat mengubah secara

    substantial dalam rentang waktu yang relatif singkat. Sedangkan pola statis atau

    diam yaitu pola yang mengalami sedikit perubahan dalam rentang waktu seumur

    hidup manusia dan tentu saja terdapat tempat tinggal baru yang muncul

    sedangkan yang lama hilang, tapi yang terpenting stabilitas pola permukimannya

    tetap mendominasi (Robert, 2009: 120).

    Permukiman yang terbentuk pada daerah pedesaan cenderung membentuk

    pola permukiman agraris, hal ini berkaitan dengan struktur mata pencaharian dan

    aktifitas penduduknya yang pada umumnya dibidang pertanian sehingga

  • 26

    mempengaruhi pola permukimannya (Fathony, 2009: 12). Berikut ini adalah

    beberapa bentuk pada umumnya dari pola permukiman menurut Lynch (1981:

    373-378) adalah sebagai berikut:

    1. Bentuk bintang.

    Merupakan bentuk memusat dengan satu

    titik pusat yang berada di tengah-tengah dan

    memiliki 4 sampai jalur transportasi utama yang

    menyebar.

    2. Bentuk satelit

    Merupakan bentuk perkembangan dari

    permukiman bentuk bintang. Titik pusat

    permukiman dan jalur ratransportasi

    dipertahankan, dan pertumbuhan permukiman

    ini dipisahkan dari titik pusat serta tidak

    berkembang disekitar jalur transportasi utama.

    3. Bentuk linear

    Merupakan bentuk memanjang atau parallel

    dengan satu jalur transportasi utama atau

    sebagai ruang terbuka .

    4. Bentuk kotak persegi/ persegi panjang

    Merupakan bentuk persegi atau persegi

    panjang yang membagi permukiman ke blok-

  • 27

    blok yang identik dan diperpanjang diberbagai

    arah.

    Dalam penelitian ini permukiman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

    permukiman adat suatu wilayah yang merupakan suatu tempat tinggal

    masyarakat, namun dalam konteks ini adalah para pemimpin secara adat

    masyarakat di Desa Nggela yang menghuni wailayah yang merupakan

    permukiman awal yang sudah ada sejak jaman nenek moyang yang tetap

    dipertahankan sampai sekarang.

    Dari penjabaran konsep-konsep pada penjelasan sebelumnya dapat

    disimpulkan maksud dari judul yang diambil yaitu Struktur Organisasi dan Tata

    Zonasi Permukiman adat di Desa Nggela, Ende-Flores adalah susunan orang-

    orang yang memiliki kekuasaan dan peran dalam masyarakat dan

    pengelompokkan suatu wilayah ke dalam beberapa zona dalam suatu wilayah

    sebagai suatu wadah fungsional yang mewadahi aktifitas masyarakat baik

    individu maupun kelompok.

    2.3 Landasan Teori

    Landasan teori pada dasarnya digunakan sebagai konsep dasar dalam

    membahas suatu peristiwa atau fenomena yang terjadi pada manusia. Dalam

    penelitian ini ada beberapa teori yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan

    penelitian yaitu teori yang berkaitan dengan struktur organisasi dan tata zonasi

    permukiman adat. Adapun beberapa teori yang dipakai adalah sebagai berikut:

  • 28

    2.3.1 Teori semiotika

    Pengertian semiotik atau semiotika berhubungan dengan pengertian semantik

    karena dua pengertian itu meliputi makna dan kemaknaan dalam komunikasi

    antar manusia (Parera, 2004: 41). Dalam sumber yang sama Charles Morris

    mengatakan bahwa bahasa sebagai satu sistem sign dibedakan atas signal dan

    symbol. Akan tetapi, semiotik bukan hanya berhubungan dengan isyarat bahasa,

    melainkan juga berhubungan dengan isyarat-isyarat nonbahasa dalam komunikasi

    antar manusia. Dapat dikatakan bahwa semiotika adalah ilmu isyarat komunikasi

    yang bermakna.

    Kajian mengenai semiotik dipelopori oleh Ferdinand de Saussure dan

    Charles S. Pierce. Menurut Pierce dalam Budiman semiotika tidak lain daripada

    sebuah nama lain dari logika, yaitu: doktrin formal tentang tanda-tanda;

    sementara bagi Ferdinand dalam sumber yang sama mengatakan semiotika

    merupakan ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengakaji kehidupan

    tanda-tanda dalam masyarakat (Budiman, 2011: 1).

    Dalam Eco mempertimbangkan dua jenis tanda yang nampaknya luput dari

    definisi komunikasional yaitu: (1) peristiwa-peristiwa fisik yang lahir dari alam

    dan (2) perilaku manusia yang non intensional (Eco. 2009: 23). Tanda-tanda

    begitu penting terutama memungkinkan manusia berfikir, berkomunikasi dan

    memahami realitas. Dalam realitas terdapat banyak tanda yang dapat digunakan

    untuk kebutuhan sosialitas manusia, dimana salah satu sistem tanda tersebut

    adalah bahasa (Widjojo dan Noorsalim, 2003: 6).

  • 29

    Dalam sumber yang sama Widjojo dan Noorsalim mengatakan bahwa bahasa

    disini tidak hanya dipandang sekedar sabagai teks, tetapi juga struktur dan makna.

    Terdapat dua fakta yang tidak dapat dipisahkan, yaitu antara fakta wacana dengan

    fakta bahasa. Fakta wacana berkaitan dengan posisi pembicaran dan topik yang

    dibicarakan, serta pertukaran makna dengan teksnya, sedangkan fakta bahasa

    berkaitan dengan sintaksis, semantik dan bahasa. Keduanya saling berkaitan

    dalam proses dan pembentukan suatu ideologi.

    Kunci untuk menuju semiotika menurut Stoke adalah mengenai bagaimana

    pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dan bagaimana kita sebagai

    pembaca, mendapatkan maknanya. Bukan berarti pembaca selalu mendapatkan

    makna yang sama dari sesuatu yang ditempatkan oleh penciptanya. Sehingga

    Stoke menyimpulkan bahwa semiotika merupakan salah satu metode yang paling

    interpretatif dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalannya

    sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu

    mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Stoke, 2003: 76).

    Sistem tanda pertama kadang disebut sebagai denotasi atau sistem termilogi,

    sedangkan sistem tanda kedua disebut sebagai konotasi atau sistem retoris atau

    mitologi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk

    membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus

    umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi.

    Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan,

    dan sejarah. Dan dapat dikatakan bahwa ideologi adalah bentuk petanda

    konotasi dan retorika adalah bentuk konotasi (Barthes, 1967:91-92).

  • 30

    Adanya sistem petanda dan petanda Saussure dalam Barthes memberikan

    penekanan pada kandungan mental dari petanda dengan menyebutnya sebagai

    konsep, dan satu-satunya hal yang membedakannya dari penanda adalah bahwa

    penanda merupakan mediator (Barthes, 1994: 36-37). Untuk lebih mengenal

    perbedaan antara penanda dan petanda, Siwalatri dalam Salain (2013: 23)

    menjabarkan penanda dan petanda sebagai berikut:

    1. Penanda dapat berupa bentuk, ruang, permukiman, volume yang memiliki

    kepadatan, tekstur, warna, dan lain-lain.

    2. Petanda dapat berupa makna seperti ide arsitektural, estetika, konsep ruang,

    keyakinan/kepercayaan masyarakat, fungsi, aktifitas, dan sebagainya.

    Teori semiotika ini dapat digunakan untuk melihat pola pemukiman dari

    aspek ruang, bentuk, dan permukimannya secara konsep ruang, keyakinan

    masyarakat, fungsi, dan juga aktivitasnya. Dalam permukiman adat di Desa

    Nggela terdapat rumah-rumah adat dan juga beberapa elemen permukiman yang

    dikeramatkan dan memiliki latar belakang sejarahnya. Namun selain sejarah

    dapat dilihat juga dari perlakuan masyarakat pada elemen-elemen ini, aktivitas,

    dan juga fungsinya yang tentunya memiliki arti tersendiri bagi masyarakat di

    Desa Nggela.

    2.3.2 Teori spasial

    Pengertian spasial setelah disarikan dari berbagai kamus oleh Fathony dkk

    (2012: 2) adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan ruang, di dalamnya

    terkandung pengertian jarak, relasi, atau posisi. Dalam sumber yang sama

  • 31

    Fathony dkk spasial merupakan aspek meruang dalam pengertian bahwa ruang

    dipahami bukan semata-mata bersifat geometris, bebas nilai, atau ruang dalam

    pengertian ruang Euclide (prinsip geometri), melainkan ruang dalam kaitannya

    dengan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya. Ruang memiliki makna, nilai,

    bersifat heterogen, mempunyai pengertian metaforik (bukan matematik), dan erat

    kaitannya dengan aspek-aspek sosial dan kultural (Fathony dkk, 2012: 2).

    Dengan mengutip pendapat dari beberapa sumber (para ahli) dalam Sujarto

    mengungkapkan bahwa:

    1. Di dalam wujud tata ruang terdapat suatu tatanan sistematik yang terdiri dari

    3 unsur pokok, yaitu ruang atau lingkungan yang merupakan wadah, dimana

    berbagai kehidupan dengan kegiatan usahanya berlangsung; aktifitas

    fungsional yang menunjang kegiatan usaha dan kebutuhan penduduk; dan

    kemudian berinteraksi antara kegiatan yang satu dengan yang lainnya secara

    internal maupun eksternal

    2. Kerangka konsepsi tata ruang yang meluas menyangkut suatu wawasan yang

    disebut sebagai wawasan bukan keruangan, dimana pada kenyataannya

    struktur fisik sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor non-fisik seperti

    organisasi fungsional, pola budaya dan nilai kehidupan komunitas serta

    ketentuan-ketentuan normatif.

    Dalam sumber yang sama yang aspek keruangan dan bukan keruangan

    adalah mencakup tinjauan normatif (berkaitan dengan aspek sosial-budaya),

    tinjauan fungsional (berkaitan dengan aspek organisasi dan ekonomis), dan

  • 32

    tinjauan fisik (aspek wadah fisik). Untuk lebih jelasnya, konsepsi ini dapat dilihat

    pada tabel sebagai berikut:

    Tabel 2.2. Konsepsi Spasial

    Dasar Pertimbangan

    Aspek Bukan Keruangan Aspek Keruangan

    Normatif (aspek sosial-budaya)

    Nilai-nila sosial Perangkat kepranataan Peraturan Undang-undang Teknologi

    Distribusi ruang dari pola struktural

    Nilai yang berkaitan langsung dengan pola aktifitas dan lingkungan hidup

    Fungsional (aspek organisasi dan ekonomis)

    Pembagian dan fungsi-fungsi Sistem aktifitas (manusia dan

    kegiatan usaha dalam peran fungsional)

    Pertimbangan efisiensi

    Distribusi tata ruang fungsi-fungsi Hubungan ketataruangan Pola tata ruang kegiatan usaha

    berdasarkan fungsinya

    Fisik (aspek wadah fisik)

    Objek-objek fisik Lingkungan geografis Manusia sebagai wujud fisik Kualitas sumber daya

    Distribusi bentuk fisik bangunan, lahan, jaringan jalan, jaringan utilitas, dan lain-lain

    Tata guna lahan berdasarkan kualitas dan kesesuaian sumber daya alam

    Sumber : Sujarto (1993: 77)

    Dari Tabel 2.2 dapat memberi gambaran bahwa perwujudan fisik ruang dari

    suatu penataan ruang merupakan suatu hasil pertimbangan normatif dan

    fungsional bukan keruangan dan keruangan. Dengan demikian spasial

    merupakan pembagian ruang secara fisik yang sesuai dengan norma-norma

    seperti standar, ketentuan-ketentuan dan fungsi seperti pertimbangan ekonomis,

    efisiensi dan kemanfaatan.

    Dari Tabel 2.2, apabila dikaitkan dengan masalah dari penelitian ini

    khususnya untuk menjawab rumusan masalah mengenai tata zonasi dan hubungan

    antara struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela.

    Beberapa aspek normatif yang menjadi pertimbangan dapat dilihat dari nilai-nilai

    sosial, dan norma-norma yang ada dalam masyarakat di Desa Nggela yang

    diwujudkan dalam permukiman adat dan distribusi ruang pada pola struktural.

  • 33

    Nilai-nilai sosial dalam masyarakat merupakan sebuah sarana pengendalian

    dalam kehidupan bersama dalam suatu masyarakat dan pada umumnya sangat

    mempengaruhi kehidupan dalam masyarakat desa yang masih memegang teguh

    kebersamaan dan sifat kekeluargaan. Seseorang bisa dianggap sebagai orang yang

    patuh ataupun juga menyimpang dari tatanan sosial. Dan nilai tersebut menjadi

    tolak ukurnya.

    Aspek fungsional dilihat dari pembagian ruang dan fungsinya serta aktivitas

    yang dilakukan di dalamnya yang kemudian dikaitkan dengan distribusi tata

    ruang fungsi-fungsi, hubungan ketataruangan. Terakhir aspek fisik yang dilihat

    adalah objek fisik yang dikaitkan dengan distribusi bentuk fisik rumah-rumah

    adat, elemen-elemen dalam permukiman adat yang dikeramatkan, dan ruang luar

    yang terbentuk. Namun aspek-aspek tersebut hanya dikaitkan dengan bentuk dari

    struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela, sehingga

    akan menghasilkan suatu gambaran peta yang menunjukkan hubungan ruang

    terjadi dalam permukiman.

    2.3.3 Teori hermeneutika

    Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,

    hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini sering

    dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas

    menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan

    berarti juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat

    dimengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran.

  • 34

    Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah

    penafsiran atau interpretasi (Saidi, 2008: 376).

    Dalam Muzir mengatakan bahwa, hermeneutika dianggap hanya mengurusi

    pencarian makna yang sebenarnya dan pasti dari sebuah teks, kemudian terlibat

    ke dalam perseteruan epistemologis antara objektivitas dan relativitas (Muzir,

    2008: 19). Dalam sumber yang sama, Schleiermacher mengatakan hermeneutika

    adalah mengisolasi proses pemahaman sehingga muncul metode hermeneutika

    yang independen. Ketika makna sebuah kata sudah ditemukan terlepas apakah

    memang begitu yang dimaksud mengarang/ tidak, maka interpretasi objektif

    sudah dapat dikatakan berhasil. Namun interpretasi ini juga dikatakan negatif,

    karena dia menentukan batas pemahaman itu sendiri. Sebab elemen kritisnya

    hanya diarahkan pada makna kata. Tawarannya adalah interpretasi teknis, artinya

    yang mesti diluar oleh interpretasi adalah subjektivitas dari orang yang berbicara /

    pengarang sedangkan bahasa yang dipakai dapat diabaikan. Tugas utama dari

    hermeneutika adalah menuntaskan interpretasi yang terakhir (Muzir, 2008: 72).

    Diarsa mengatakan bahwa hermeneutika dalam arsitektur memiliki pokok

    bahan spekulasi dan analisa dan bagaimana berspekulasi yang baik dengan

    analisa yang sudah dibuat, sehingga menghasilkan sebuah konsep yang dapat

    bertanggung jawab (Diarsa, 2011: 11-12). Sedangkan Wolf dalam sumber yang

    sama mengatakan bahwa hermeneutika sama dengan interpretasi dimana

    interpretasi ada 3 yaitu: interpretasi gramatikal (bahasa), interpretasi historikal

    (fakta dan waktu), dan intrepretasi (mengontrol kedua interpretasi tersebut)

    (Diarsa, 2011: 12).

  • 35

    Teori hermeneutika digunakan untuk menjawab ketiga rumusan masalah

    karena selain dengan melihat tanda dan petanda, perlu diinterpretasikan agar

    dapat menjawab ketiga rumusan masalah. untuk menjawab ketiga rumusan

    masalah perlu adanya penelusuran sejarah dan waktu sehingga nantinya bisa

    diinterpretasikan.

    2.4 Model Penelitian

    Model penelitian merupakan sintesis dan abstraksi antara teori-teori yang

    dipilih sesuai dengan permasalahan penelitian. Fokus dari penelitian ini adalah

    pembagian zona-zona dalam permukiman adat dan juga kaitannya dengan

    struktur organisasi dalam masyarakat. Pembagian zona-zona dalam permukiman

    adat ini dilihat dari sejarah awal mula terbentuknya pola permukiman adat,

    orientasi, topografi, kondisi alam, dan ruang-ruang luar yang terbentuk.

    Sedangkan struktur organisasi selain dilihat dari kedudukan dan peran dari

    masing-masing anggotanya juga dilihat dari elemen-elemen petunjuk dalam

    rumah adat masing-masing.

  • 36

    Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini ingin

    mencari bentuk struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa

    Nggela dan teori yang digunakan adalah teori semiotika dan juga teori spasial.

    Teori semiotika digunakan dalam menjawab ketiga rumusan masalah yaitu

    untuk melihat tanda dan petanda dalam tata zonasi permukiman adat apabila tidak

    dapat ditelusuri lebih jauh dari sejarah yang ada. Struktur organisasi yang ada

    dalam masyarakat dapat dilihat dari hierarki, kronologi, serta kedudukan serta

    posisi dari tiap anggota dalam struktur organisasi dan peranannya dalam

    Gambar 2.1 Model Penelitian

    Tata zonasi

    Kedudukan dan peran

    Norma-norma Fungsional Religi

    Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Ende-Fores

    Teori Spasial

    Struktur organisasi dan Tata zonasi permukiman adat di

    Desa Nggela

    Peranan struktur organisasi dan Tata zonasi permukiman

    adat di Desa Nggela

    Sejarah Kosmologi dan

    topografi Elemen-elemen

    Teori Semiotika

    Struktur Organisasi

    Hubungan antara Struktur organisasi dan Tata zonasi permukiman adat di Desa

    Nggela

    Permukiman adat di Desa Nggela

    Teori Hermeneutika

  • 37

    permukiman adat. Setelah mendapatkan kedua hal tersebut maka akan dicari

    hubungan diantaranya dengan menggunakan teori ini.

    Teori spasial dalam permukiman adat di Desa Nggela dilihat sejarah, nilai-

    nilai sosial, orientasi, konsep religi yang diimplementasikan ke ruang-ruang

    dalam permukiman adatnya. Teori spasial ini digunakan untuk menjawab

    rumusan masalah yang berhubungan dengan peranan struktur organisasi dan tata

    zonasi dan hubungan diantaranya dalam permukiman adat di Desa Nggela. Dari

    gejala sosial yang terdapat masyarakat kemudian dikaitkan dengan ruang dalam

    permukiman sebagai perwujudannya.

    Sedangkan teori hermeneutika digunakan untuk menginterpretasikan temuan-

    temuan dalam penelitian ini untuk mendapat suatu konsep dasar dari permukiman

    adat ini. Dalam hal ini lebih menginterpretasikan kedudukan Mosalaki dalam

    struktur organisasi dan peranannya terhadap permukiman adat di Desa Nggela.