universitas indonesia analisis praktik residensi...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN KASUS
MIASTENIA GRAVIS MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL
ADAPTASI ROY DI RUMAH SAKIT UMUM CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
DISUSUN OLEH
TRI ANTIKA RIZKI KUSUMA PUTRI
1406523490
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH NEUROLOGI
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
I-IALAMAN PERNYAT AAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya saya sendirio dan sernua sumber baik
yang dikutip maupun dirujuk tclah saya nyatakan dcugan bcnar.
Nama : Tri Antika Rizki Kusuma Putri
NPM : 1406523490
Tanda tangan
~ .
Tanggal
ii
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
HALAMAN PENGESAHAN
Karva Ilmiah Akhir ini diajukan oleh : Nama Tr i Antika Rizki Kusuma Putri NPM 1406523490 Program Studi Spcsialis Ilmu Kepera watun Judul Knrya Ilmiah Analisis Praktik Rcsidensi Kepcrawutan Mcdikal
Bcdah Pada Pasien Gangguan Sistcm Ncurologi Deugau Kasus Miastenia Gravis Menggunakan Pcndckatan Mod e! Adaptasi Roy Di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakart a
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji ujian sidang Karya Ilmiah Akhir dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas llmu Keperawatan, Universitas Indonesia.
DE'VAN PENGUJI
Penguji I
Penguji II
Penguji 11l
: Prof Dr. Ratna Sitorus, S.Kp, M.App.Sc
: I Made Kariasa, S.Kp., MM., M.Kep., Sp.KMB
: MG Enny Mul yatsih, S.Kp. , M.Kep . Sp.KMB
(. ~
( ..~ )
w Penguji IV : Yunisar Gultom, S.Kp., MCIN sg
Ditetapkan di Tanggal
: Depok : 12 Juni 2017
iii
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal tesis dengan judul “Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Miastenia Gravis”.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan dukungan khususnya kepada:
1. Ibu Prof Dr. Ratna Sitorus, S.Kp, M.App.Sc. selaku supervisor utama
yang banyak memberikan masukan, arahan, bimbingan dan motivasi selama
proses bimbingan karya ilmiah akhir ini.
2. Bapak I Made Kariasa, S.Kp., MM., M.Kep., Sp.KMB, selaku supervisor
yang telah memberikan masukan dan bimbingan selama proses penyusunan
karya ilmiah akhir ini.
3. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp, M.App.Sc, PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
4. Ibu Dr. Novy Helena C.D, S.Kp, MSc, selaku Ketua Program Studi Pasca
Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
5. Ibu Yunisar Gultom, S.Kp., MCIN dan Ibu MG Enny Mulyatsih, S.Kp.,
M.Kep. Sp.KMB, selaku pembimbing klinik sekaligus penguji yang telah
membimbing dan memberikan masukan serta saran untuk perbaikan karya
ilmiah akhir ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, khususnya Departemen KMB.
7. Keluarga dan sahabat yang senantiasa memberikan dukungan dan do’anya
kepada penulis.
Peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan yang profesional.
Depok, Juni 2017
Tri Antika Rizki Kusuma Putri
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PlJBLlKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN PUBLIKASI
Sebagai civitas Universitas Indonesia, saya yang bcrtanda tangan eli bawuh ini:
Nama : Tri Antika Rizki Kusurna Putri
NPM : 1406523490
Program Studi : Ners Spesialis Kepcrawatan
Departemen : Keperawatan Medikal Bedah
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, mcnyetujui untuk memberikan kepada Universitas
Indonesia Hak Bebas Royalti NonekskIusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas karya
iImiah saya yang berjuduI :
Analisis Praktek Residensi Keperwatan Medikal Bcdah Pada Pasien Gangguan
Neurologi Dengan Kasus Miastenia Gravis Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi
Roy Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non EkskIusif ini
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formarkan, mcngelola dalam
bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama
mencanturnkan nama saya sebagai penulis/pcncipta clan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan scbenar-benarnya.
Dibuat di : Depok
Pacla Tanggal : 12 Juni 2017
Yang Menyatakan
~ . Tri Antika Rizki Kusuma Putri
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
vi
Universitas Indonesia
NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien
Gangguan Sistem Neurologi dengan Kasus Miastenia Gravis Menggunakan
Pendekatan Model Adaptasi Roy di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Tri Antika Rizki Kusuma Putri
2017
Abstrak
Praktek klinik lanjut selama masa residensi keperawatan pada sistem neurologi
dimaksudkan untuk mampu memberikan asuhan keperawatan, menerapkan
Evidence Based Nursing (EBN) serta mampu berperan sebagai inovator di ruang
perawatan. Peran pemberi asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan
model adaptasi Roy pada pasien dengan miastenia gravis dan 30 pasien lainnya
dengan berbagai gangguan sistem persarafan. Perilaku maladaktif paling banyak
adalah mode adaptasi fisiologi, yaitu risiko ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral. Intervensi keperawatan berupa manajemen edema serebral ditujukan
untuk meningkatkan adaptasi pasien dalam meningkatkan perfusi jaringan
serebral. Penerapan EBN: Functional Oral Intake Scale (FOIS) pada sembilan
pasien disfagia sebagai bentuk evaluasi kemampuan makan pasien
menunjukkan sensitifitas terhadap kejadian aspirasi dan perubahan kemampuan
makan pasien. Program inovasi penerapan format pengkajian tambahan dapat
digunakan sebagai alat bantu bagi perawat dalam menegakan diagnosa
keperawatan.
Kata kunci :
Disfagia, FOIS, Format Pengkajian Tambahan, Gangguan Persarafan, Miastenia
Gravis, Model Adaptasi Roy
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
vii
Universitas Indonesia
NURSE SPECIALIST OF MEDICAL SURGICAL NURSING
FACULTY OF NURSING
UNIVERSITY OF INDONESIA
Analysis of Medical Surgical Nursing Residency Practice on Neurological
System Disorders with Myasthenia Gravis Cases Using Roy Adaptation
Model Approach at Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta
Tri Antika Rizki Kusuma Putri
2017
Abstract
Advanced clinical practice in neurological system during the nursing residency
period is proposed to be able to provide nursing care, implement the Evidence
Based Nursing (EBN) and be able to act as an innovator in the treatment room.
The role of nurse care provider was made using Roy's adaptation model in
patients with myasthenia gravis and 30 other patients with various neural system
disorders. The most maladaptive behavior is the physiological adaptation mode
is the risk of ineffective cerebral tissue perfusion. The nursing management
intervention like cerebral edema is aimed to improve patient adaptation in
enhancing cerebral tissue perfusion. Implementation of EBN: Functional Oral
Intake Scale (FOIS) in nine dysphagia patients as a evaluation form for feeding
ability patients showed a sensitivity to occurrence of aspiration and changes in
the patient's eating ability. Implementation of additional asessment form as a
innovation program can be used as a tool for nurses in determine nursing
diagnoses.
Keywords :
Additional Assessment Form, Dysphagia, FOIS, Myasthenia Gravis, Neurological
Disorders, Roy Adaptation Model
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
viii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. v
ABSTRAK ................................................................................................. vi
ABCTRACT .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR SKEMA ..................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 10
1.2.1 Tujuan Umum .................................................................... 10
1.2.2 Tujuan Khusus ................................................................... 10
1.3 Manfaat ........................................................................................ 10
1.3.1 Pelayanan Keperawatan ..................................................... 10
1.3.2 Pengembangan Keilmuan Keperawatan ............................ 10
2. STUDI PUSTAKA
2.1 Konsep Miastenia Gravis ............................................................ 12
2.1.1 Pengertian ........................................................................... 13
2.1.2 Patofisiologi ........................................................................ 13
2.1.3 Klasifikasi .......................................................................... 16
2.1.4 Tanda dan Gejala ................................................................ 18
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik ..................................................... 20
2.1.6 Komplikasi .......................................................................... 21
2.1.7 Penatalaksanaan .................................................................. 23
2.1.8 Discharge Planning ........................................................... 26
2.2 Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy .................................... 27
2.2.1 Model Adaptasi Roy ........................................................... 27
2.2.2 Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy ........... 32
3. PROSES RESIDENSI
3.1 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Miastenia Gravis ...... 40
3.2 Gambaran 30 Pasien dengan Gangguan Neurologis ................... 53
3.3 Evidence Based Nursing (EBN): Penerapan The Functional
Oral Intake Scale (FOIS) pada Pasien dengan Gangguan
Neurologis ................................................................................... 63
3.3.1 Analisis PICO .................................................................... 63
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
ix
Universitas Indonesia
3.3.2 Kritisi Jurnal ........................................................................ 64
3.4 Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian Keperawatan
Tambahan pada Pasien dengan Gangguan Neurologi .................. 69
3.4.1 Analisis SWOT .................................................................. 69
3.4.2 Studi Pustaka Proyek Inovasi .............................................. 71
4. PEMBAHASAN
4.1 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Miastenia Gravis
dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy ................................... 80
4.2 Analisis Penerapan Model Adaptasi Roy pada Tiga Puluh
Kasus Pasien dengan Gangguan Neurologi ................................ 86
4.3 Analisis Pencapaian Evidence Based Nursing (EBN):
Penerapan The Functional Oral Intake Scale (FOIS) pada
Pasien dengan Gangguan Neurologis .......................................... 94
4.4 Analisis Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian
Keperawatan Tambahan pada Pasien dengan Gangguan
Neurologi ..................................................................................... 95
5. PENUTUP
5.1 Simpulan ..................................................................................... 100
5.2 Saran .............................................................................................. 100
DAFTAR REFERENSI
LAMPIRAN
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
x
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Miastenia Gravis Berdasarkan MGFA .................. 17
Tabel 3.1 Karakteristik 30 Pasien Resume Berdasarkan Usia .................. 54
Tabel 3.2 Karakteristik 30 Pasien Resume Berdasarkan Jenis Kelamin,
Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, dan suku ................................ 56
Tabel 3.3 Karakteristik Pasien Resume Berdasarkan Diagnosa
Keperawatan ............................................................................. 58
Tabel 3.4 Gambaran Diagnosa Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Neurologi ................................................................................. 60
Tabel 3.5 Suber Penelusuran Jurnal ......................................................... 65
Tabel 3.6 Telaah Kritis Jurnal .................................................................. 68
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Pathway Miastenia Gravis ..................................................... 15
Skema 2.2 Proses Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy ........ 28
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Asuhan Keperawatan Lengkap Pada Pasien Miastenia Gravis
Lampiran 2 Format Pengkajian Keperawatan dengan Model Adaptasi Roy
Lampiran 3 Resume Kasus Pasien dengan Gangguan Neurologis Data
Lampiran 4 Format Functional Oral Intake Scale: FOIS
Lampiran 5 Format Pengkajian Tambahan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan program residensi keperawatan di area klinik memberikan
kesempatan untuk berperan sebagai perawat spesialis dengan melakukan beberapa
kompetensi. Kompetensi yang dilakukan diantaranya memberikan asuhan
keperawatan lanjut pada kasus-kasus neurosains dengan menggunakan pendekatan
Model Adaptasi Sr. Callista Roy, melakukan asuhan keperawatan berdasarkan
bukti ilmiah melalui program Evidence Based Nursing Practice (EBN) berupa
penerapan format The Functional Oral Intake Scale (FOIS), serta melakukan
kegiatan inovasi berupa penerapan format pengkajian keperawatan tambahan
dengan harapan memberikan pembaharuan pada praktik keperawatan. Proses
pemberian asuhan keperawatan lanjut pada kasus-kasus neurosains diantaranya
meliputi kasus stroke hemoragik, stroke iskemik, cedera kepala, miastenia gravis,
Chronic Inflamatory Demyelinating Polyneurophaty (CIDP), meningitis,
meningoenshepalitis, toxoenshepalitis, ensepalopati, atrofi serebri, status
epileptikus, Space Occupaying Lession (SOL), tumor medulla spinalis, serta
pasien post pembedahan (kraniektomi).
Pemilihan neurologi sebagai cabang ilmu untuk praktik residensi didasari oleh
kompleksitas yang dimiliki sistem persarafan manusia serta semakin
meningkatnya angka kejadian gangguan neurologi maupun faktor risikonya
seperti gangguan kardiovaskular (WHO, 2014). Pemahaman lanjut terkait
manajemen kasus pada gangguan neurologi merupakan kompetensi yang wajib
dimiliki oleh perawat neurosains (Holtom, Thornton, Doerksen, Stoyles, &
Kelloway, 2008). Praktik residensi yang memungkinkan perawat untuk mengelola
kasus-kasus dengan masalah yang kompleks merupakan salah satu wadah untuk
mengasah kompetensi tersebut.
Perawat spesialis neurosains merupakan perawat yang berkecimpung pada area
neurologi. Berdasarkan standar praktik perawat neurosains yang dikeluarkan oleh
Canadian Association of Neuroscience Nurses (2008) perawatan yang diberikan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
2
Universitas Indonesia
oleh perawat neurosains merupakan perawatan khusus atau terspesialisasikan
terhadap individu dengan atau berisiko memiliki masalah sistem persarafan
berikut dengan perawatan jangka panjang setelah melewati masa akut. Maka dari
itu, perawat spesialis neurosains diharuskan memiliki kemampuan manajemen
pasien dengan gangguan pada otak, tulang belakang, serta saraf tepi (Holtom et
al., 2008). Perawat spesialis neurosains yang juga merupakan seorang perawat
profesional dituntut untuk dapat meningkatkan pengetahuan mengenai masalah-
masalah dan penyakit-penyakit neurologi, serta mampu mengintegrasikan ilmu
pengetahuan dalam ruang lingkup neurosains dengan kondisi pasien.
Kemampuan perawat spesialis neurosains dalam melakukan observasi pada saat
pengkajian merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Observasi yang akurat akan
memberikan pedoman kepada tenaga kesehatan khususnya perawat dalam
memberikan intervensi sesuai kebutuhan pasien. Seorang perawat neurosains
dituntut mampu membuat sebuah formula “database perawat” yang berhubungan
dengan pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan neurologis
(Swift-Bandini, 1982). Hal ini sesuai dengan perkembangan perawat spesialis
yang membutuhkan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan melalui program
residensi keperawatan.
Gangguan pada sistem persarafan atau gangguan neurologi saat ini menjadi salah
satu ancaman dan juga tantangan bagi kesehatan masyarakat dunia. Pasien dengan
gangguan neurologi tidak hanya menunjukkan masalah pada saat terjadinya
serangan atau biasa disebut onset kejadian namun seringkali meninggalkan gejala
sisa setelah keluar dari pusat pelayanan kesehatan yang bersifat sementara
maupun menetap. World Health Organization (WHO) memperkirakan gangguan
neurologi pada saat onset kejadian maupun gejala sisa setelahnya dapat
mempengaruhi sebanyak satu miliar individu di seluruh dunia (Neurological
Disorders Public Health Challenges, 2006). Berdasarkan data statistik di
Indonesia, gangguan neurologi menempati posisi pertama penyebab kematian.
Selain itu hambatan mobilisasi yang merupakan salah satu gejala sisa dari
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
3
Universitas Indonesia
gangguan neurologi masuk ke dalam tiga penyebab utama kecacatan yang dialami
oleh individu di Indonesia (Global Burden Disease: Indonesia, 2010).
Kasus kelolaan utama dalam laporan akhir praktik residensi ini yaitu Miastenia
Gravis. Miastenia Gravis merupakan suatu penyakit autoimun kronis yang
ditandai dengan diserangnya area neuromuscular junction (E. Corwin, 2009).
Seperti halnya penyakit autoimun yang lain, angka prevalensi dari miastenia
gravis lebih rendah dibandingkan penyakit neurologis lainnya seperti kelainan
serebrovaskular maupun keganasan. Akan tetapi, miastenia gravis merupakan
penyakit autoimun terbanyak yang menyerang sistem persarafan terutama di area
neuromuscular junction (Woodward & Mestecky, 2011).
Philips (2003) dalam Hickey (2014) menyebutkan bahwa prevalensi miastenia
gravis mencapai 20 per satu juta penduduk di Amerika Serikat. Angka tersebut
tidak jauh berbeda dengan insidensi miastenia gravis di wilayah Eropa yakni
sebanyak 21-30 per satu juta populasi (Joensen, 2014). Carr AS, Cardwell, Mc
Carron dan Mc Conville (2010) dalam Berrih-aknin dan Panse (2014)
menyebutkan angka prevalensi miastenia gravis yang cukup besar yakni berkisar
antara 15 sampai 179 per satu juta populasi tergantung pada lokasi terjadinya.
Lebih lanjut Joensen (2014) menjelaskan bahwa miastenia gravis dapat terjadi
pada semua jenis kelamin dan berbagai rentang usia.
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang merupakan salah satu lahan
praktik residensi keperawatan merupakan rumah sakit rujukan nasional dalam
penatalaksanaan miastenia gravis. Berdasarkan rekapitulasi jumlah kunjungan
pada bulan Januari 2016 hingga Desember 2016 di ruang rawat inap neurologi
Zona A Gedung A RSCM diketahui bahwa kasus miastenia gravis selalu ada
setiap bulannya dengan presentasi 2-9 persen dari total kunjungan. Apabila
dibandingkan dengan jumlah kunjungan kasus neuroimunologi lainnya seperti
Guillain Bare Syndrome (GBS) maupun multipel skeloris, kasus miastenia gravis
menempati urutan pertama. Selain itu seringkali dampak yang dialami pasien
miastenia gravis seperti sesak, penurunan kemampuan motorik dalam mobilisasi
maupun beraktivitas lainnya seperti melihat dan menelan masih dialami pasien
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
4
Universitas Indonesia
bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit. Hal tersebut melatarbelakangi
pengambilan kasus utama dalam praktik residensi keperawatan ini.
Ciri khas miastenia gravis yaitu adanya penurunan kekuatan otot yang semakin
berat dengan melakukan aktivitas yang seringkali berakibat fatal bagi pasien
namun sebaliknya kekuatan otot dapat mengalami perbaikan setelah istirahat.
Kelemahan fisik, kecemasan, keterbatasan interaksi sosial bahkan kematian
merupakan beberapa dampak yang dapat diakibatkan oleh miastenia gravis
(Mestecky, 2013). Miastenia gravis tergolong ke dalam penyakit neurologi kronis
yang membutuhkan masa rehabilitasi yang lama dan pada beberapa kasus dampak
dari penyakit dapat berlangsung hingga berbulan-bulan bahkan setelah keluar dari
pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, dikarenakan masa perawatan yang relatif
lama dan obat-obatan dengan harga tinggi, estimasi biaya yang dibutuhkan untuk
penatalaksanaan miastenia gravis pun relatif tinggi. Hickey (2014)
memperkirakan besaran biaya pasien dengan miastenia gravis yakni sebesar
15.675 dolar Amerika Serikat atau kurang lebih sebesar 210 juta rupiah.
Pelaksanaan asuhan keperawatan pada praktik residensi keperawatan ini
menggunakan pendekatan model adaptasi milik Sister Callista Roy. Teori maupun
model konseptual keperawatan merupakan dasar dari proses keperawatan yang
berupa konsep inti keperawatan yang tersusun secara ilmiah dengan tujuan untuk
mengarahkan perawat dalam mengumpulkan data, mengidentifikasi perubahan
klinis pasien, serta melakukan intervensi keperawatan dan evaluasi (Costa, Luz,
Bezerra, & Rocha, 2016). Model adaptasi Roy menekankan bahwa setiap individu
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap berbagai stimulus baik berupa
stimulus internal maupun eksternal. Menerima dan menyesuaikan diri terhadap
stimulus merupakan tujuan akhir yang menunjukkan bahwa individu mampu
beradaptasi terhadap stimulus atau tidak (Roy, 2009). Alligood dan Tomey (2010)
dalam bukunya menjelaskan konsep dari model adaptasi Roy merupakan
kemampuan adaptasi dari seorang individu untuk meningkatkan status
kesehatannya dari perilaku kurang adaptif menjadi perilaku yang adaptif. Pada
dasarnya hasil keluaran yang diharapkan dari model Roy yaitu pencapaian status
kesehatan yang optimal bagi manusia melalui koping yang adaptif.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
5
Universitas Indonesia
Penerapan model adaptasi Roy sudah dilakukan secara luas pada pasien dengan
gangguan neurologi. Costa, Luz, Bezerra, dan Rocha (2016) menyebutkan bahwa
model adaptasi Roy dapat diterapkan pada pasien dengan penyakit kronis. Hal
tersebut berhubungan dengan masalah kompleks pada pasien yang membutuhkan
pengkajian serta penatalaksanaan yang holistik. Miastenia gravis merupakan salah
satu penyakit kronis progresif yang semakin lama kondisi pasien akan semakin
memburuk baik secara fisik maupun psikologis (Hickey, 2014). Seringkali onset
kejadian terjadi ketika pasien berada pada rentang usia produktif. Hal tersebut
mengharuskan pasien untuk melawan kondisi sakitnya serta berjuang dari dampak
yang ditimbulkan penyakit dalam kurun waktu yang lama. Pernyataan tersebut
sejalan dengan hasil dari penerapan model adaptasi Roy pada kasus penyakit
kronis yang terbukti berguna dalam proses pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosial
serta meningkat kemampuan koping dari pasien dalam menghadapi masalah-
masalah yang timbul akibat proses penyakit (Rosińczuk, Kołtuniuk, Górska, &
Uchmanowicz, 2015).
Peran perawat spesialis neurosains dalam penerapan model keperawatan adaptasi
Roy yaitu memastikan pasien dengan gangguan neurologi mencapai perilaku
adaptif dengan cara meningkatkan koping adaptif pasien serta mengurangi
stimulus internal maupun eksternal. Hal ini sejalan dengan Holtom et al. (2008)
yang menyebutkan bahwa perawat spesialis neurologi dituntut untuk mampu
mengelola kasus-kasus neurologi dan juga memberikan informasi terkait penyakit.
Sejalan dengan konsep tersebut, dampak dari gangguan neurologi yang
merupakan stimulus bagi pasien diharapkan dapat diminimalisir setelah
pemberian asuhan keperawatan.
Selain itu, pasien dengan gangguan neurologi seringkali keluar dari pusat
pelayanan kesehatan disertai dengan gejala sisa baik berupa gangguan mobilisasi,
gangguan menelan, maupun masalah keperawatan lainnya. Sebagai hasil akhirnya,
pasien dituntut untuk mampu beradaptasi terhadap stimulus yang terjadi.
Pemberian edukasi sebagai salah satu tindakan mandiri perawat merupakan salah
satu bentuk proses koping subsistem kognator yang meliputi proses informasi,
persepsi, penilaian, serta emosi. Hal tersebut diharapkan mampu mengurangi
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
6
Universitas Indonesia
stimulus, meningkatkan koping, serta meningkatkan kemampuan adaptasi pada
pasien dengan gangguan neurologi sehingga pasien kembali mampu melakukan
aktivitas sehari-hari baik dengan atau tanpa gejala sisa.
Pembuktian secara ilmiah melaui penerapan Evidence Based Nursing Practice
(EBN) yang diterapkan dalam praktik residensi keperawatan ini berupa penerapan
format The Functional Oral Intake Scale (FOIS). Dasar pemikiran penerapan
EBN tersebut adalah belum tersedianya format evaluasi kemampuan menelan
serta pentingnya follow up kemampuan menelan pada pasien dengan gangguan
neurologi. Berdasarkan data statistik jumlah kunjungan pasien dari bulan Januari
sampai dengan Maret 2017 diketahui bahwa Bed Occupancy Ratio (BOR) ruang
rawat inap neurologi berkisar antara 86-100% dengan jumlah pasien stroke lebih
dari 50 persen dari total jumlah kunjungan pasien. Ditunjang hasil observasi
selama melakukan praktik ners spesialis di Zona A Lantai V RSCM kurang lebih
6-15 pasien setiap harinya menggunakan selang nasogastric untuk memenuhi
kebutuhan dietnya. Unit perawatan neurologi sudah memiliki format deteksi
disfagia dengan menggunakan Massey Bedside Swallowing Screen akan tetapi
dokumentasi dari evaluasi terhadap penatalaksanaan maupun follow up terhadap
status kemampuan pasien dalam menelan maupun makan masih belum tersedia.
Pasien dengan gangguan neurologi seringkali mengalami penurunan kemampuan
menelan sehingga mempengaruhi kemampuan makan dan berisiko tinggi
mengalami pneumonia akibat aspirasi (Hickey, 2014). Disfagia atau gangguan
menelan terjadi pada 30-50% pada pasien sadar. Meskipun kesulitan menelan
dapat membaik secara bertahap tanpa pengobatan apapun secara cepat namun
pada sekitar kurang lebih 10% pasien stroke, masalah tetap bertahan selama enam
sampai sepuluh bulan setelah waktu kejadian serangan stroke (Takahata,
Tsutsumi, Baba, Nagata, & Yonekura, 2011). Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang menyebutkan kesulitan makan pada pasien stroke di pusat
rehabilitasi mencapai angka 43% dan 66% pasien tetap memiliki kesulitan makan
setelah enam bulan keluar dari pusat layanan kesehatan (n=114). Feeding
dependence atau ketergantungan pada proses makan terjadi pada 36 sampai
dengan 53% pasien stroke.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
7
Universitas Indonesia
Dogget et. al (2001) dalam Westergren (2006) menjelaskan bahwa selain
penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan kesulitan menelan, pengkajian
merupakan hal yang penting dalam menurunkan risiko terjadinya pneumonia
aspirasi. Berdasarkan hasil pencarian jurnal diketahui bahwa The Functional Oral
Intake Scale (FOIS) dapat digunakan sebagai alat evaluasi pasien dengan
gangguan menelan atau disfagia (Crary, Mann, & Groher, 2005). Penerapan
format tersebut bertujuan untuk menentukan jenis diet bagi pasien, kebutuhan
pasien akan penggunaan selang nasogastric, serta mencegah terjadinya
pneumonia aspirasi.
Beberapa penelitian yang menerapkan format FOIS pada pasien neurologi dengan
ganggan menelan menunjukan sensitifitas, reliabilitas, serta nilai inter rater yang
baik dalam menggambarkan kemampuan makan serta mencegah kejadian
pneumonia aspirasi yang merupakan salah satu komplikasi dari disfagia (Crary et
al., 2005; McMicken, Muzzy, & Calahan, 2010; Takahata et al., 2011). Selain itu
FOIS digambarkan sebagai format yang mudah dan sederhana untuk diaplikasikan
di area klinis tanpa perlu adanya alat bantu maupun pelatihan khusus. Berdasarkan
hal tersebut, maka penulis melakukan penerapan Evidence Based mengenai
format The Functional Oral Intake Scale (FOIS) sebagai bentuk evaluasi pada
pasien dengan disfagia.
Kompetensi lain yang dilakukan selama praktik residensi keperawatan yakni
berperan sebagai innovator dengan menjalankan program inovasi berupa
penerapan format pengkajian keperawatan tambahan yang diharapkan dapat
membantu proses penegakan diagnosa keperawatan. Pengkajian merupakan tahap
awal dalam proses keperawatan yang sistematis selama pengumpulan data untuk
mengidentifikasi status kesehatan pasien dan menegakan diagnosa keperawatan
yang tepat. Umumnya format pengkajian keperawatan yang ada saat ini disusun
berdasarkan berbagai pendekatan yaitu head to toe, pengkajian persistem, dan
pengkajian berdasarkan kebutuhan dasar manusia. Format pengkajian ini bersifat
umum dan digunakan oleh semua lingkungan pelayanan tanpa memandang area
kekhususan layanan sehingga diperlukan format pengkajian tambahan pada area
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
8
Universitas Indonesia
kekhususan bagi perawat untuk mengkaji masalah keperawatan misalnya
neurologi, bedah, dan sebagainya.
Format pengkajian awal yang digunakan di ruang rawat neurologi merupakan
format terintegrasi yang digunakan oleh perawat dan dokter. Selain itu juga
terdapat format monitoring harian yang berisikan tanda-tanda vital serta status
neurologis pasien meliputi kekuata otot, refleks cahaya, refleks pupil, serta
Nursing Early Warning System Score (NEWSS). Seperti yang telah disinggung
sebelumnya bahwa sebagian besar kasus neurologi adalah kasus serebrovaskular,
namun pengkajian yang dapat dilakukan pada pasien sangat terbatas. Berdasarkan
hasil wawancara singkat dengan sebagian besar perawat associate serta seluruh
perawat primer diketahui bahwa evaluasi terhadap tingkat keperahan stroke yang
merupakan salah satu indikator keberhasilan pemberian asuhan keperawatan tidak
familiar pada perawat. Selain itu disebutkan pula bahwa format yang telah ada
membutuhkan beberapa penambahan terkait kebutuhan perawat untuk menegakan
diagnosa keperawatan.
Susanti (2015) dalam penelitiannya menggunakan format pengkajian Insomnia
Severity Index (ISI) pada pasien neurologi. Pada penelitiannya tersebut ditemukan
38% pasien neurologi yang mengalami insomnia, sebagian besar berjenis kelamin
perempuan, dan terjadi pada kelompok umur 61-70 tahun. Pada Umumnya faktor
penyebab insomnia pada pasien neurologi adalah nyeri kronis ( p value= 0,031)
dan depresi (p value= 0,00). Dedy (2012) dalam penelitiannya menggunakan
format National Institute Health Stroke Scale (NIHSS) mengkaji kondisi pasien
stroke fase akut menunjukkan ada hubungan bermakna antara nilai nilai NIHSS
dengan diagnosa keperawatan actual (r=0,094, p=0,0005).
Brown (2006) dalam penelitiannya dengan menggunakan kuesioner 3
Incontinence Question (3 IQ) untuk mendeteksi kejadian inkontinensia urin pada
pasien neurologi dan menunjukkan bahwa penggunaan kuesioner 3 IQ relevan
dalam mendeteksi jenis-jenis inkontinensia urin dengan p value < 0.05. Suzanne
(2014) melakukan penelitian dengan menggunakan Berg Balance Scale ( BBS)
dalam mengukur keseimbangan duduk dan berjalan. Hasil penelitian
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
9
Universitas Indonesia
menunjukkan format BBS relevan digunakan pada pasien dengan gangguan
mobilitas fisik (p value=0,0001, r=0,93). Choi (2015) dalam penelitian pada
pasien stroke dengan menggunakan format Frenchay Aphasia Screening Test
(FAST) diketahui dapat mendeteksi kejadian afasia dengan nilai koefisien
korelasinya 0,995 dan p value= 0,0001. Rahu et al (2015) menggunakan
pengkajian nyeri Adult Non Verbal Pain Scale (NVPS) pada pasien yang tidak
dapat berkomunikasi, dibawah pengaruh sedasi, maupun pasien terpasang intubasi
menunjukkan format NVPS relevan digunakan untuk mendeteksi nyeri pada
pasien yang tidak mampu melaporkan nyerinya dengan p<0,01) dan nilai validitas
(r =0,86).
Kelompok menyusun suatu bentuk format pengkajian yang digunakan dalam
mendukung pengkajian keperawatan secara lengkap dengan berorientasi pada
konsep pemenuhan kebutuhan dasar. Format yang diterapkan selama program
inovasi diantaranya meliputi Insomnia Severity Index (ISI), National Institute
Health Stroke Scale (NIHSS), 3 Incontinence Question (3IQ), Berg Balance Scale
(BBS), Frenchay Aphasia Screening Test (FAST), dan Adult Non Verbal Pain
scale (NVPS). Format-format tersebut merupakan screening tools yang dapat
digunakan dalam melihat tingkat keparahan dari penyakit, sebagai alat bantu
dalam menegakan diagnosa keperawatan, serta sebagai bentuk evaluasi dari
pemberian asuhan keperawatan pada pasien. Selain itu, melalui format ini perawat
dapat menilai perubahan pemenuhan kebutuhan dasar yang terjadi pada pasien
sebagai dampak dari kondisi (patofisiologi) penyakitnya.
Karya tulis ilmiah ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan
perawat spesialis. Karya tulis ini menggambarkan pengalaman praktek perawat
spesialis selama satu tahun dalam menerapkan asuhan keperawatan lanjutan
dengan pendekatan Model Adaptasi Roy pada pasien dengan gangguan
neurologis. Selain itu, karya tulis ini akan menggambarkan peran perawat sebagai
peneliti serta inovator melalui program-program yang telah dilakukan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
10
Universitas Indonesia
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Menganalisis pelaksanaan program residensi keperawatan dalam menjalankan
peran perawat spesialis selama pelaksanaan praktik residensi keperawatan
medikal bedah peminatan neurologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Menganalisis peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan
dengan pendekatan menggunakan Model Adaptasi Roy pada pasien dengan
gangguan sistem neurologis di RSCM
b. Menganalisis peran perawat spesialis dalam menerapkan tindakan
keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah atau Evidence Based Nursing
(EBN) pada pasien dengan gangguan sistem neurologis di RSCM
c. Menganalisis peran perawat spesialis dalam melakukan kegiatan inovasi pada
tatanan pelayanan keperawatan neurologis di RSCM
1.3 Manfaat
1.3.1 Pelayanan Keperawatan
a. Memberikan gambaran dan masukan kepada layanan keperawatan dalam
melakukan asuhan keperawatan dengan pendekatan model adaptasi Roy pada
pasien dengan gangguan neurologis.
b. Memberikan informasi dan panduan bagi perawat dalam melakukan tindakan
keperawatan terutama evaluasi kemampuan makan pada pasin dengan disfagia
yang berdasarkan pembuktian ilmiah atau Evidence Based Nursing (EBN)
c. Memberikan panduan bagi perawat dalam melakukan tindakan pengkajian
tambahan meliputi pengkajian nyeri, kemampuan berbahasa, gangguan tidur,
gait/balance, inkontinensia urin, serta tingkat keparahan stroke.
1.3.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan
a. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pelaksanaan asuhan
keperawatan neurologi berdasarkan pendekatan model keperawatan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
11
Universitas Indonesia
b. Laporan ini dapat menjadi gambaran mengenai peran perawat spesialis dalam
memberikan asuhan keperawatan, menerapkan model keperawatan,
melakukan pembuktian ilmiah (EBN) dan membuat sebuah inovasi.
c. Laporan ini dapat menjadi rujukan dalam proses belajar mahasiswa
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan dan mencari
pembuktian-pembuktian ilmiah terhadap tindakan keperawatan yang
dilakukan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
12
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Black dan Hawks (2014) menyebutkan oleh karena dapat mempengaruhi tubuh
baik secara fisiologis maupun psikologis, sistem persarafan merupakan sistem
fungsional dan struktural yang rumit. Neuron sebagai komponen dasar dari
struktur anatomi dan fisiologis sistem persarafan memiliki beberapa fungsi
diantaranya untuk merespons stimulus sensorik maupun kimiawi, menghantarkan
impuls, dan melepaskan chemical regulator tertentu (Hickey, 2014). Dikarenakan
fungsinya tersebut sistem saraf dapat mengatur kemampuan motorik, sensorik,
otonom, kognitif, serta fungsi perilaku dari seorang individu (Black & Hawks,
2014; Hickey, 2014). Koordinasi sistem saraf pusat dan perifer yang
memungkinkan seorang individu untuk bergerak, berbicara, berpikir, dan juga
berespons terhadap stimulus merupakan salah satu cara komunikasi berbagai
bagian tubuh pada seorang individu (Corwin, 2009).
Secara umum sistem persarafan dapat dibagi menjadi dua bagian yakni sistem
saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat meliputi otak dan tulang
belakang (medulla spinalis) yang dilindungi oleh kerangka tulang keras, tiga
lapisan membran (meningen), cairan serebrospinal, dan sawar darah otak.
Masalah yang mungkin muncul pada sistem saraf pusat yaitu gangguan
serebrovaskular, infeksi di lapisan meningen, keganasan di otak maupun tulang
belakang (Hickey, 2014). Sistem saraf tepi terdiri atas 12 pasang saraf kranial dan
31 saraf spinal serta sistem saraf otonom yang terdiri dari sistem saraf simpatis
dan sistem saraf parasimpatis (Black & Hawks, 2014). Criddle et al. (2008)
menyebutkan bahwa individu dengan gangguan pada sistem persarafan tidak
hanya akan mengalami gangguan neurologis saja namun akan berdampak pula
pada sistem tubuh yang lain. Miastenia gravis sendiri merupakan salah satu
masalah pada sistem saraf tepi yang tidak hanya mempengaruhi sistem persarafan
namun juga sistem tubuh lainnya seperti sistem respirasi.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
13
Universitas Indonesia
2.1 Konsep Miastenia Gravis
2.1.1 Pengertian
Miastenia gravis merupakan salah satu kondisi kelainan autoimun yang ditandai
dengan kelemahan otot dan dihubungkan dengan adanya antibodi yang menyerang
reseptor asetilkolin, Muscle-specific Kinase (MUSK), dan Lipoprotein-Related
Protein 4 (LRP4) (Gilhus & Verschuuren, 2015). Miastenia gravis disebabkan
oleh immunoglobulin yang bereaksi terhadap reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction ( elizabeth J. Corwin, 2008). Kelainan ini disebabkan
oleh kegagalan transmisi melewati hubungan myoneural. Miastenia gravis terjadi
hampir selalu bersamaan dengan keterlibatan kelainan bulbar atau mata yaitu
sekitar 40%.
Miastenia gravis merupakan salah satu penyakit yang mematikan dengan
prognosis yang buruk namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
berbagai penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan bagi pasien.
2.1.2 Patofisiologi
Miastenia gravis dapat menyebabkan kelemahan otot yang mengontrol gerakan
mata (miastenia gravis okular) atau dapat memengaruhi otot lain yang berada di
seluruh tubuh (miastenia gravis umum). Perkembangan penyakit bervariasi yang
dapat berkembang lambat, dengan atau tanpa remisi, atau berkembang cepat
hingga menyebabkan kematian akibat paralisis otot pernapasan yang mengarah
pada gagal napas.
Penyebab miastenia gravis tidak diketahui, namun berkaitan dengan
kecenderungan anggota keluarga yang mengalami penyakit autoimun. Kelenjar
timus seringkali mengalami hyperplasia, namun pada masa anak-anak berfungsi
normal. Corwin (2008) menyebutkan bahwa kelainan pada timus dapat
mencetuskan atau melanjutkan respons imun.
Asetilkolin (ACh) merupakan neurotransmitter utama pada area tautan
neuromuskular (neuromuscular junction) (Woodward & Mestecky, 2011). Lebih
lanjut dijelaskan ujung serabut saraf mengeluarkan ACh yang akan berikatan
dengan Nicotinyl Acetylcholine Receptor (n-AChR) di membran otot yang akan
menginisiasi terjadinya kontraksi otot. Selanjutnya, sisa ACh yang tidak berikatan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
14
Universitas Indonesia
dengan reseptor asetilkolin akan dihancurkan oleh ACh esterase (AChE) pada
synaptic space. Kerusakan sistem saraf perifer yang terjadi pada miastenia gravis
ditandai dengan pembentukan auto-antibodi yang menyerang reseptor asetilkolin
di daerah motor end-plate otot rangka. Auto-antibodi IgG secara kompetitif
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) dan mencegah pengikatan
asetilkolin ke reseptor sehingga merusak reseptor serta mencegah terjadinya
kontraksi otot (Corwin, 2008). Pada sebagian besar kasus, antibodi berikatan
dengan Nicotinic Acetylcholine Receptors (nAChR) maupun struktur lain seperti
Muscle Specific Tyrosin Kinase (MuSK). Ikatan antibodi inilah yang menginisiasi
proses imun pada tubuh yang bertujuan untuk menurunkan jumlah dari nAChR
sehingga dapat menurunkan transmisi pada tautan saraf (Musilek et al., 2012).
Terdapat tiga mekanisme menurunnya fungsi dari AChR diantaranya:
1. Antibodi membuat ikatan dan cross-linking pada AChR sehingga
mempercepat degradasi dari AChR
2. Aktivasi sistem komplemen yang berujung pada kerusakan pada lapisan post-
sinaps.
3. Menghalangi lokasi terjadinya ikatan antara asetilkolin dan reseptornya
(Bufler, 1996 dalam Toyka & Gold, 2007).
AChR dapat ditemukan pada permukaan sel-sel otot dan terkonsentrasi pada
sinaps antara sel-sel saraf dan sel-sel otot. AChR terbentuk dari lima jenis rantai
protein (2αβεδ pada dewasa dan 2δβγδ pada fetus). Rantai α (alpha) memiliki
lokasi tempat ACH berikatan dengan AChR pada sisi eksternal dan memiliki area
immunogenic utama yang dapat dikenali oleh anti-AChR. Pada kondisi normal,
ketika ACh berikatan dengan kedua rantai tersebut menyebabkan bentuk pada
keseluruhan reseptor akan berubah. Perubahan ini menghasilkan sebuah saluran
atau jalan yang merupakan konfirmasi untuk terjadinya perubahan muatan ion
dengan cara perpindahan ion melintasi membran, menghasilkan potensial pada
endplate, dan menginisiasi terjadinya kontraksi otot ( elizabeth J. Corwin, 2008).
Toyka dan Gold (2007) juga menyebutkan bahwa timus berperan dalam
menginisiasi respon autoimun terhadap AChR pada miastenia gravis. Timus
berperan dalam proses diferensiasi sel T. Pada kebanyakan kasus miastenia gravis,
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
15
Universitas Indonesia
ditemukan perubahan struktur dan fungsi dari kelenjar timus yakni adanya tumor
(thymoma) maupun tingginya jumlah sel B dalam tubuh (follicular hyperplasia).
Ricciardi et al. (2016) menegaskan bahwa kondisi abnormalnya produksi antibodi
pada pasien miastenia gravis dapat dipicu oleh kelainan pada timus seperti
hyperplasia (65% kasus), thymoma (10-15% kasus), dan artrofi (1-2% kasus).
Pilosso dan Moran (2013) dalam Berrih-aknin & Panse (2014) menyebutkan
bahwa dari 302 pasien dengan thymoma 55% diantaranya merupakan pasien
dengan miastenia gravis dan 39% diketahui mengalami gangguan autoimun.
Skema 2.1 Pathway Miastenia Gravis
Proses autoimun
Timoma
↓reseptor asetilkolin di membran post sinapas
Terganggunya transmisi impuls saraf ke sel otot
Penurunan hubungan saraf dan otot
Kelemahan otot
Otot pernapasan Otot rangka Otot wajah,
laring, faring
Otot-otot okular
Gangguan otot
levator palpebra Terganggu makan
pada fase oral
maupun faringeal Ptosis & dipoplia
Penurunan visus
Risiko jatuh
Gangguan
menelan/disfagia
Risiko aspirasi
Kelemahan otot
anggota gerak
Kelemahan umum
bertambah berat
dengan aktivitas
Intoleransi aktivitas
Ekspansi paru
tidak maksimal
Ketidakefektifan
pola napas
Penanganan lambat
Sesak bertambah
Krisis miastenik
Gangguan pada
diferensiasi sel T
Antibodi berikatan dengan n-AChR atau MUSK
Penatalaksanaan
terapi pemberian
kolinesterase
inhibitor
Berlebihnya
kolinesterase
inhibitor
Krisis kolinergik
ACh tidak dapat berikatan dengan AChR
Ansietas
Sumber: Corwin (2009); Hickey (2014); Woodward dan Mestecky (2011); Gilhus dan Verschuuren (2015)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
16
Universitas Indonesia
2.1.3 Klasifikasi
Terdapat dua target pada membrane end plate yakni reseptor asetilkolin
(mencapai 90%) dan Muscle-Specific Kinase (MuSK, mencapai 5%) (Toyka &
Gold, 2007). Gilhus dan Verschuuren (2015) membedakan miastenia gravis
menjadi beberapa sub-grup, diantaranya:
1. Early Onset Myasthenia Gravis With AChR Antibodies (EOMG)
Kelompok ini biasanya terjadi pada kelompok usia di bawah 50 tahun. Pasien
dengan miastenia gravis jenis ini mengalami proses yang berbeda dikarenakan
jumlah AChR pada tautan neuromuskular berkurang yang berdampak pada
perbedaan muatan ion sehingga potensial di area endplate berkurang dan
kontraksi otot tidak dapat maksimal.
Tingkat keparahan penyakit dihubungkan dengan kehilangan AChR yang
dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi otot. Banyak mekanisme
menurunnya jumlah AChR pada survivals MG salah satunya yaitu rusaknya
membran post-sinaps oleh aktivasi komplemen pada respon imun (Toyka &
Gold, 2007). Gilhus dan Verschuuren (2015) menambahkan bahwa pasien
yang diketahui memiliki timoma pada saat dilakukan pembedahan dikeluarkan
dari sub-grup ini namun berespon terhadap tindakan timektomi.
2. Late Onset Myasthenia Gravis With AChR Antibodies (LOMG)
Pasien miastenia gravis pada kelompok ini terjadi pada usia di atas 50 tahun.
Pada kelompok ini dapat ditemukan serum AChR namun timoma tidak dapat
dibuktikan melalui pemeriksaan diagnostik maupun saat dilakukan
pembedahan. Berbeda dengan kelompok sebelumnya, pasien pada kelompok
ini tidak berespon terhadap tindakan timektomi. Berdasarkan penelitian
retrospektif diketahui bahwa LOMG pada geritatri lebih mudah untuk
mengalami perburukan status kesehatan (Sakai et al., 2016).
3. Thymoma-Associated Myasthenia Gravis
Kondisi timoma ditemukan pada 10-15 % pasien dengan miastenia gravis.
Pada kelompok ini juga seringkali ditemukan serum AChR.
4. MUSK Associated Myasthenia Gravis
MUSK merupakan salah satu jenis protein yang berada di membran post-
sinaps yang secara fisiologis berhubungan serta mempertahankan fungsi dari
AChR. 1-4% pasien miastenia gravis berada pada kelompok ini.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
17
Universitas Indonesia
5. LRP4 associated myasthenia gravis
Sama halnya dengan MUSK, LRP4 dapat ditemukan di area membran post-
sinaps. LRP4 berfungsi sebagai reseptor nerve-derived agrin dan aktivator dari
MUSK yang penting dalam mempertahankan fungsi AChR. LRP4 ditemukan
pada 2-27% pasien miastenia gravis.
6. Antibody- Negative Generalized Myasthenia Gravis
Kelompok ini tidak memiliki AChR, MUSK, dan juga LRP4 dengan titer
antibodi yang sangat rendah. Pasien miastenia gravis sebanyak 20-50% berada
pada kelompok ini.
7. Ocular Myasthenia Gravis
Pada sebagian pasien dengan miastenia gravis, tanda dan gejala terbatas pada
kelemahan pada otot-otot mata. Seorang pasien miastenia gravis dikatakan
memiliki miastenia gravis okular dengan karakteristik miastenia gravis
terbatas pada keluhan di area mata dengan batas waktu 2 tahun ( elizabeth J.
Corwin, 2008). Pasien miastenia gravis yang murni dikelompokan pada
miastenia gravis okular ini memiliki risiko yang tinggi untuk berkembang
menjadi miastenia umum.
Berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, Myasthenia Gravis Foundation of
America (MGFA) mengklasifikan miastenia gravis ke dalam lima kelas
dengan karakteristik yang berbeda tiap kelasnya. Kelas pertama (I) memiliki
karakteristik seperti miastenia gravis okular sedangkan kelas kelima (V)
membutuhkan tindakan intubasi untuk mendukung sistem pernapasan pasien.
Semakin tinggi kelas maka karakteristik yang dimiliki pasien semaki berat.
Tabel 2.1
Klasifikasi Miastenia Gravis Berdasarkan MGFA
KELAS KARAKTERISTIK
I Kelemahan otot okular
Kelemahan pada saat menutup mata
Kekuatan otot lain normal
II Kelemahan ringan pada otot selain otot okular
Peningkatan kelemahan pada otot okular
IIa Kelemahan ringan pada area ekstremitas
Kelemahan ringan mungkin terjadi pada otot orofaringeal
IIb Kelemahan ringan terjadi di area otot orofaringeal dan atau otot
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
18
Universitas Indonesia
KELAS KARAKTERISTIK
pernapasan
Kelemahan ringan pada area ekstremitas
III Kelemahan sedang pada otot selain otot okular
Kelemahan sedang pada otot okular dengan berbagai tingkatan
IIIa Kelemahan sedang pada area ekstremitas
Kelemahan sedang mungkin terjadi pada otot orofaringeal
IIIb Kelemahan sedang terjadi di area otot orofaringeal dan atau otot
pernapasan
Kelemahan sedang pada area ekstremitas
IV Kelemahan berat pada otot selain otot okular
Kelemahan pada otot okular dengan berbagai tingkatan (ringan-berat)
IVa Kelemahan sedang pada area ekstremitas
Kelemahan sedang mungkin terjadi pada otot orofaringeal
IVb Kelemahan sedang terjadi di area otot orofaringeal dan atau otot
pernapasan
Kelemahan sedang pada area ekstremitas
Pasien dengan menggunakan feeding tube tanpa intubasi
V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa penggunaan ventilator
(selain pada managemen rutin pasien post-operatif)
Sumber: Hickey (2014) The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing Seventh
Edition
Pasien pada kelompok miastenia gravis okular juga memiliki kemungkinan yang
tinggi untuk mengalami kelainan autoimun yang bersifat umum, sedangkan pada
pasien miastenia gravis dengan timoma memiliki kemungkinan yang tinggi untuk
mengalami kelainan autoimun pada sistem hematologi (Gilhus & Verschuuren,
2015).
2.1.4 Tanda dan Gejala
Fatigue atau kelemahan merupakan salah satu manifestasi klinis pada miastenia
gravis. Fatigue pada miastenia gravis digambarkan sebagai minimnya kekuatan
untuk mempertahankan aktivitas otot dan lemahnya otot untuk berkontraksi tanpa
adanya kondisi penurunan kesadaran (Cantor, 2010). Gejala awal biasanya berupa
simetris ptosis yang tidak jarang disertai dengan diplopia atau pandangan yang
kabur pada miastenia gravis okular atau lebih luas lagi seperti kesulitan saat
menelan, mengunyah, maupun berbicara yang terjadi pada miastenia umum. Hal
ini sesuai dengan karakteristik miastenia gravis yaitu lemah dan mudah lelahnya
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
19
Universitas Indonesia
otot lurik khususnya yang dipersarafi oleh saraf kranial termasuk pada otot di area
wajah, oral, palatum, juga otot faringeolaringeal. Lebih lanjut lagi Woodward &
Mestecky (2011) dijelaskan pula bahwa dengan adanya keterbatasan dalam fisik
pada pasien miastenia gravis dapat menyebabkan kemandirian yang berkurang,
gangguan citra tubuh, serta berubahnya fungsi sosial.
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien miastenia gravis meliputi:
1. Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis (turunnya kelopak mata).
2. Kelemahan otot wajah, leher, dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan
makan dan menelan.
3. Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan. Pada awalnya terjadi
keletihan ringan dengan pemulihan kekuatan setelah beristirahat. Akhirnya,
kekuatan tidak pulih setelah beristirahat.
4. Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjdai pada 90% kasus. Gangguan
persendian dan suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan laring dan
faring muncul pada sepertiga pasien miastenia gravis. Disfonia juga
memburuk pada pemakaian suara yang lama dan berlebihan.
Aspek fisik yang terganggu pada pasien miastenia gravis merupakan dampak dari
ketidakmampuan otot untuk berkontraksi tergantung lokasi ototnya. Sebagian
besar pasien miastenia gravis mengalami hambatan dalam melakukan mobilisasi,
penurunan kemampuan bicara, perubahan ekspresi wajah, kesulitan menelan,
bahkan sampai distress pernapasan (Twork, Wiesmeth, Klewer, Pöhlau, & Kugler,
2010). Gangguan menelan atau disfagia pada pasien miastenia gravis harus
menjadi salah satu perhatian tenaga kesehatan dikarenakan pasien akan memiliki
risiko tinggi mengalami aspirasi, ketidakadekuatan intake nutrisi dalam periode
waktu yang panjang, hingga malnutrisi sehingga seringkali membutuhkan bantuan
nutrisi seperti percutaneous endoscopic gastrostomy placement (Cereda,
Beltramolli, Pedrolli, & Costa, 2009). Gejala-gejala yang muncul seperti
kelemahan otot dapat pulih kembali setelah istirahat yang dipertegas oleh studi
kasus di Jepang yang menunjukan perbaikan klinis setelah mendapatkan terapi
baik per oral, intra vena, maupun plasmaferesis (Kitamura, Takiyama, Nakamura,
Iizuka, & Nishiyama, 2016; Rosyid, 2008). Sebagai dampak dari kelemahan otot
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
20
Universitas Indonesia
yang terjadi Woodward dan Mestecky (2011) menyebutkan bahwa pasien
miastenia gravis dapat mengalami keterbatasan untuk berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas fisik dan juga kurangnya kepercayaan diri pada pasien.
Manifestasi dari miastenia gravis tidak hanya berfokus pada penurunan kesehatan
fisik pada pasien namun juga aspek psikologis dan sosial pasien sebagai
manifetasi tanda dan gejala fisik yang dialaminya. Ketidakpastian, kecemasan,
denial, keraguan, maupun ketakutan dapat dirasakan oleh pasien dan juga
keluarga. Namun dijelaskan pula bahwa psikoterapi tidak dibutuhkan sampai
muncul gejala psikotik reaktif. Sedangkan kemandirian pasien miastenia gravis
dapat terganggu akibat kelemahan otot yang terjadi dan dapat mempengaruhi
fungsi normal tubuh, basic life style, maupun konsep diri pasien (Woodward &
Mestecky, 2011).
Meskipun miastenia gravis termasuk salah satu penyakit yang mematikan, namun
kondisi pasien dapat mengalami perbaikan dengan pemberian terapi baik dengan
pemberian medikasi maupun operatif sehingga diharapkan dapat mengembalikan
pasien pada kehidupan normalnya. Namun hal ini berbeda bagi setiap individu,
karenanya rencana terapi harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh pasien.
Perawat sebagai pemberi asuhan tetap harus mempertimbangkan aspek etik
dengan mengedepankan keuntungan bagi pasien, meminimalkan risiko dan juga
aspek kualitas hidup pasien.
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Perangkat diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengangkat diagnosa miastenia
gravis diantaranya:
1. Tes farmakologi (Pharmacologic Test). Pada kondisi normal asetilkolin diurai
di tautan neuromuskular oleh enzim asetilkolinerase. Diagnosis klinis
miastenia gravis dapat ditegaskan berdasarkan kembalinya kekuatan otot
setelah pemberian intravena obat yang mencegah aktivitas asetilkolinerase
sehingga memperpanjang waktu paruh asetilkolin. Edrofonium klorida atau
tensilon merupakan kolinesterase inhibitor dengan cara kerja short acting yang
memungkinkan asetilkolin untuk berikatan dengan reseptornya sehingga untuk
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
21
Universitas Indonesia
sementara dapat terjadi kontraksi otot volunteer (Woodward & Mestecky,
2011). Efek tensilon berlangsung beberapa menit, kemudian kelemahan otot
muncul kembali. Dosis yang diberikan biasanya 10 mg, 2 mg, 3 mg, dan 5 mg,
hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya risis koligernik. Miastenia gravis
dapat ditegakan apabila pasien menunjukan perbaikan pada kekuatan otot
(secara signifikan dapat dilihat pada otot okular) . Efek samping dari
pemeriksaan ini adalah penurunan frekuensi nadi pada pasien (Woodward &
Mestecky, 2011). Maka harus disiapkan alat resusitasi apabila terjadi
penurunan kondisi pasien.
2. Pemeriksaan dengan menggunakan es dapat dilakukan. Pasien diminta untuk
memegang ice packs lalu pasien diminta untuk menutup mata selama satu
sampai dengan dua menit dan diobservasi adanya ptosis yang bertambah.
3. Pemeriksaan serum antibodi reseptor asetilkolin. Keberadaan antibodi reseptor
asetilkolin terjadi pada sebagian besar kasus miastenia gravis. Pada miastenia
gravis yang berhubungan dengan timoma, antibodi Muscle-Specific Kinase
(MuSK) lebih sering ditemukan.
4. Pemeriksaan radiografi seperti CT-Scan atau MRI di area mediastinum dapat
dilakukan untuk screening timoma.
5. Pengukuran elektromiografi (EMG) potensial aksi otot rangka
memperlihatkan penurunan amplitudo pada stimulasi neuron motorik.
Pemeriksaan dengan menggunakan EMG dapat mengahsilkan hasil negatif
terutama pada miastenia gravis okular (Cantor, 2010; E. Corwin, 2009;
Hickey, 2014; Nair, Chhablani, Venkatramani, & Gandhi, 2014; Woodward &
Mestecky, 2011).
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis yakni krisis miastenik
dan krisis koligernik. Krisis miastenik memiliki karakteristik sepeti kelemahan
pada otot-otot pernapasan, tidak mampu memenuhi ventilasi yang adekuat
sehingga menyebabkan gagal napas bahkan kematian. Krisis miastenik, yang
ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat
napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh. Krisis
miastenik dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress seperti
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
22
Universitas Indonesia
penyakit, gangguan emosional, pembedahan, tapering off prednisone atau selama
kehamilan (Hickey, 2014).
Meskipun dengan pemberian medikasi, pasien dapat dengan cepat mengalami
perburukan seperti pembengkakan dan kesulitan bernapas sehingga membutuhkan
intubasi dan dukungan ventilator. Kondisi krisis miastenik seringkali
membutuhkan perawatan intensif, observasi ketat, intubasi untuk penggunaan
ventilasi mekanik, dan juga dukungan asupan nutrisi (Cereda et al., 2009).
Berdasarkan hasil studi kohort selama 5 tahun diketahui bahwa perburukan dari
miastenia gravis paling banyak terjadi di tahun pertama dan jenis miastenia gravis
okular memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami perburukan
dibandingkan dengan miastenia gravis umum (Khadilkar et al., 2014).
Krisis koligernik merupakan salah satu kondisi respons toksik yang kadang
dijumpai pada penggunaan obat antikolinerase yang terlalu banyak ( elizabeth J.
Corwin, 2008). Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan
peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, dan bradikardia.Individu dapat
mengalami mual, muntah, berkeringat, dan diare yang akhirnya dapat mengarah
pada kondisi gagal napas. Hickey (2014) mendeskripsikan krisis koligernik
sebagai kejadian pada pasien miastenia gravis dikarenakan efek toksik dari obat-
obatan seperti muscarine dan nicotinic. Efek muscarine bekerja dengan lambat
sedangkan efek nicotinic biasanya diawali dengan keram di area abdomen dan
diare sebelum akhirnya menyebabkan krisis koligernik. Selain obat-obatan
tersebut, pemberian steroid dosis yang tinggi maupun penatalaksanaan yang
inadekuat dapat menginisiasi terjadinya krisis (Thanvi & Lo, 2004).
Pasien miastenia gravis yang mengalami krisis harus menjalani masa rawat di
intensive care unit (ICU) dan mendapatkan bantuan pernapasan dengan
menggunakan ventilator (Toyka & Gold, 2007). Dengan adanya penurunan
kemampuan menelan dan juga pemasangan intubasi pada pasien miastenia gravis,
tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya infeksi di saluran pernapasan akibat
aspirasi (Cereda et al., 2009). Hal ini mengarah pada kejadian VAP (Ventilator
Acquired Pneumonia) maupun pneumonia yang diakibatkan oleh aspirasi. Dalam
tulisannya disebutkan juga apabila pemberian terapi asetilkolinerase tidak
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
23
Universitas Indonesia
menunjukan peningkatan kondisi kesehatan pasien secara bermakna maka pasien
membutuhkan bantuan napas dengan ventilator pada waktu yang lama.
Masa perawatan yang lama mengarah pada kejadian infeksi akibat ventilator
maupun karena hospitalisasi. Pemberian antibiotik dapat diberikan untuk
mencegah komplikasi tersebut. Namun yang harus menjadi pertimbangan tenaga
kesehatan yakni efek merugikan dalam pemberian antibiotik yang pada sebagian
pasien akan memperburuk kondisi kesehatannya (Berkel, Twilla, & England,
2016). Gilhus dan Verschuuren (2015) menyebutkan bahwa pemberian
immunoglobulin secara intra vena dan plasmaferesis dapat menurunkan gejala
penyakit, menurunkan risiko komplikasi dan berkontribusi pada pemulihan yang
lebih dini.
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan diantaranya timektomi, asetikolinerase,
imunosupresan, plasmaferesis, hingga tindakan operatif timektomi. Setiap pasien
memiliki hasil yang berbeda-beda setelah menjalani pengobatan dan masa
perawatan lalu kembali ke rutinitas sehari-hari. Bisa jadi hanya sedikit perubahan
yang muncul dalam kemampuan mereka atau bahkan sampai mengalami
keterbatasan baik secara fisik, kognitif, maupun keduanya.
Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang pasti bagi tiap-tiap pasien
miastenia gravis. Terapi farmakologi yang dapat dikonsumsi oleh pasien pun
terbatas dikarenakan respon alergi yang berbeda-beda untuk masing-masing
individu. Hal ini dipertegas dengan studi kasus pada pasien miastenia gravis
berusia 85 tahun yang mengalami CAP (Community Acquired Pneumonia) dan
penurunan fungsi pernapasan. Pemberian antibiotik untuk meredakan gejala CAP
menjadi faktor pemberat dari miastenia gravisnya akibat proses alergi (Berkel et
al., 2016). Penatalaksanaan pada miastenia gravis dengan terapi konvensional
tidak dapat memberikan hasil akhir kesembuhan pasien secara menyeluruh
sedangkan pemberian immunosupresan pada pasien juga dapat memberikan efek
samping yang berat (Twork et al., 2010). Kondisi ini membuat pemberian terapi
dan pengawasan penatalaksanaan pada pasien miastenia gravis memerlukan
perhatian dari tenaga kesehatan sebagai provider pemberi asuhan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
24
Universitas Indonesia
Penatalaksanaan pada fase akut difokuskan untuk mengurangi titer antibodi yang
ada pada tubuh dengan dilakukannya plasmaferesis, pemberian immunoglobulin
(IVIg), dan pemberian kortikosteroid (Godoy, Mello, Masotti, & Napoli, 2013).
Salah satu penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu therapeutic plasma
exchange atau yang lebih dikenal dengan plasmaferesis. Pada kebanyakan
kelainan neurologi sepeti miastenia gravis, cairan pengganti yang dianjurkan
adalah albumin 5% (McLeod, 2010; Winters, 2008 dalam Dyar, 2013). Setelah
atau pada saat dilakukan plasmaferesis, reaksi vasovagal dapat terjadi yang
ditandai dengan nyeri, diaphoresis, hipotensi, dan bradikardi (frekuensi denyut
nadi dapat menurun hingga 30 kali dalam satu menit).
Penatalaksanaan lain yang dapat diberikan pada pasien miastenia gravis adalah
dilakukannya prosedur timektomi. Meta-analisis yang dilakukan Gronseth dan
Barohn (2000) dalam Schneider-gold dan Toyka (2007) menyatakan bahwa
thymectomy yang dilakukan pada pasien miastenia gravis di bawah usia 45 tahun
menunjukan peningkatan prognosis penyakit. Hasil penelitian tersebut sejalan
dengan Twork, Wiesmeth, Klewer, Pöhlau, dan Kugler (2010) dalam
penelitiannya yang menyebutkan bahwa pasien miastenia gravis yang menjalani
timektomi memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien
yang hanya menjalani pengobatan konservatif. Mendukung penelitian
sebelumnya, Jakubíková et al. (2015) dalam penelitiannya terkait tindakan
timektomi pada pasien miastenia gravis menunjukkan peningkatan yang
signifikan pada jumlah sel imun pasien setelah dilakukannya timektomi yang
dikombinasikan dengan pemberian imunosupresan. Akan tetapi, pemberian
imunosupresan dan tindakan timektomi harus menjadi perhatian tenaga kesehatan
dikarenakan dampaknya yang dapat meningkatkan risiko penyakit dan
menurunkan fungsi kesehatan terutama pada geriatri.
Dalam bukunya Corwin (2008) menjabarkan penatalaksanaan yang dapat
diberikan pada pasien miastenia gravis, meliputi peningkatan periode waktu
istirahat, antikolinerase untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin, anti-
inflamasi untuk membatasi serangan autoimun, atropine (penyekat asetilkolin)
pada krisis koligernik, bantuan napas pada kondisi krisis yang menyebabkan gagal
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
25
Universitas Indonesia
napas, plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran IgG), dan timektomi
(pengangkatan timus melalui pembedahan). Penatalaksaan pada pasien miastenia
gravis seringkali dilakukan dengan hasil jangka panjang yang bervariasi.
Pemberian asetilkolinerase pada pasien miastenia gravis merupakan basic
symptomatic treatment yang pemberiannya harus diperhatikan karena harus
dikonsumsi secara teratur dan berkelanjutan (Gilhus & Verschuuren, 2015; Meyer
& Levy, 2010; Toyka & Gold, 2007). Toyka dan Gold (2007) menambahkan
bahwa pemberian asetilkolinerase memiliki efek samping seperti anoreksia, mual
dan muntah, bronkhokonstriksi, kongesti pada konjungtiva, bradikardi, dan
hipotensi. Bahan pertimbangan lain yang harus menjadi perhatian tenaga
kesehatan yakni pemberian antikolinerase yang harus dibatasi hanya untuk
meredakan gejala miastenik yang muncul agar efek samping obat tidak terjadi.
Pemberian asetilkolinerase pada dosis tinggi dapat membahayakan kondisi pasien
dan menyebabkan krisis koligernik (Ricciardi et al., 2016). Pemberian
asetilkolinerase pada pasien dengan prognosis yang buruk dan semakin
berkurangnya jumlah AChR tidak akan efektif dan harus ditunjang dengan metode
yang lain, salah satunya yakni plasmaferesis.
Pemberian plasmaferesis merupakan manajemen akut dan pada kelemahan otot
yang luas. Pada plasmaferesis, plasma pasien akan terpisah dari darah dan
digantikan dengan saline maupun cairan yang lain. Cairan yang sering digunakan
untuk tindakan plasmaferesi pada pasien miastenia gravis yakni albumin 5%.
Plasmaferesis bertujuan untuk menurunkan jumlah antibodi AChR. Plasmaferesis
yang berulang (5 kali dalam waktu 5-10 hari) dibutuhkan untuk menurunkan titer
antibodi dan total IgG. Plasmaferesis biasanya dilakukan pada kondisi krisis
maupun sebelum dilakukan prosedur pembedahan seperti timektomi maupun
prosedur pembedahan lainnya (Dyar, 2013; Nair et al., 2014).
Miastenia gravis seringkali dihubungkan dengan kondisi timoma sehingga
timektomi menjadi salah satu pilihan penatalaksanaan medis bagi pasien dengan
miastenia gravis. Secara klinis timektomi menunjukan peningkatan kondisi
kesehatan dan menurunkan kesempatan terjadinya komplikasi seperti krisis
miastenik bahkan pada beberapa kasus tidak ditemukan lagi kekambuhan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
26
Universitas Indonesia
(Hammoumi, Arsalane, Fayc¸al El Oueriachi, & Kabiri, 2013; Bykov & Smolin.,
2015; Ricciardi et al., 2016). Gilhus dan Verschuuren (2015) menyebutkan bahwa
tindakan timektomi harus dilakukan sedini mungkin namun tidak menjadi kondisi
emergency. Sejalan pentingnya timektomi pada pasien dengan miastenia gravis,
Ricciardi et al. (2016) yang menyebutkan bahwa pada pasien miastenia gravis,
prosedur timektomi universally recommended dengan kata lain prosedur
timektomi dianjurkan bagi semua tipe miastenia gravis khususnya bagi pasien
dengan miastenia gravis positif antibodi AChR. Pada pasien dengan usia yang
relatif muda dengan tidak terbuktinya terdapat timoma, penatalaksanaan
timektomi membuat manifestasi klinis akibat miastenia gravis dapat terkontrol
(Cantor, 2010).
Pemberian obat-obatan jenis immunosupresan seringkali tidak dapat diterima
dengan baik oleh pasien miastenia gravis dikarenakan efek samping obat dalam
pemberian yang lama dapat menurunkan kondisi imunitas dari pasien (Dalakas,
2013). Pengembangan terapi medikasi berdasarkan evidence based practice pada
kasus miastenia gravis masih terus dilakukan dengan cara clinical trial demi
mendapatkan hasil yang maksimal dalam pemberian terapi (Punga, Kaminski,
Richman, & Benatar, 2015).
2.1.8 Discharge Planning
Proses mewujudkannya praktik keperawatan yang professional, perawat ditunut
untuk mampu memberikan asuhan keperawatan secara professional kepada pasien
dan keluarga. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations
telah menetapkan standar pendidikan kesehatan pada pasien. Selain itu, dari
berbagai studi mencatat fakta bahwa pasien yang dibekali informasi memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mematuhi rencana pengobatan medis dan
mendapatkan cara inovatif untuk mengatasi keterbatasannya, menjadi lebih
mampu mengatasi gejala penyakit, dan kemungkinan mengalami komplikasi lebih
kecil. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk membantu
meningkatkan derajat kesehatan yang optimal.
Hickey (2014) dalam bukunya menyebutkan pendidikan kesehatan bagi pasien
berfokus pada strategi yang memungkinkan pasien beraktivitas senormal
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
27
Universitas Indonesia
mungkin, pasien dan anggota keluarga yang bertanggung jawab harus sudah
terbiasa dengan obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien, selain itu pasien juga
harus diberikan informasi terkait penyakit serta efek samping dari pengobatan.
Lebih lanjut, Hickey (2014) menyantumkan rencana pembelajaran bagi pasien
sebagai berikut:
a. Gunakan gelang tanda atau identifikasi yang menyatakan individu tersebut
telah terdiagnosa MG
b. Konsumsi pyridostigmine bersamaan dengan roti atau cracker untuk
mengurangi risiko mual dan iritasi gaster
c. Konsumsi pyridostigmine 30 sampai 45 menit sebelum makan untuk
memaksimalkan kekuatan otot untuk makan atau menelan
d. Jangan konsumsi obat-obatan diluar izin tim medis untuk mencegah krisis
kolinergik
e. Makan dengan perlahan dan konsistensi makanan yang lembut
f. Tingkatkan periode istirahat ketika siang hari
g. Buat prioritas dan rencana aktivitas untuk mencegah fatigue (clustering
aktivitas dapat dilakukan)
h. Gunakan alas kaki yang sensitive untuk membantu pasien menjaga
keseimbangan
2.2 Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy
2.2.1 Model Adaptasi Roy
Praktik pelaksanaan proses keperawatan pada umumnya telah menerapkan
pendekatan ilmiah lewat pengembangan yang mengacu pada pedoman standar
praktik pelaksanaan asuhan keperawatan serta konsep dari berbagai model
keperawatan. Terdapat banyak model keperawatan yang ada saat ini dengan
berbagai sudut pandang dalam melihat interaksi antara manusia, lingkungan, dan
keperawatan serta kondisi sehat-sakit. Salah satu model yang dapat diterapkan di
lahan pelayanan keperawatan yaitu model adaptasi yang dikembangkan oleh
Sister Callista Roy.
Model keperawatan adaptasi Roy memandang individu sebagai sebuah sistem
adaptif, yaitu seorang individu dapat meningkatkan kesehatannya dari perilaku
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
28
Universitas Indonesia
yang kurang adaptif menjadi perilaku yang adaptif (Tomey & Alligood, 2010).
Adaptasi sendiri berasal dari kata to adapt yang berarti menyesuaikan,
menurunkan, atau membuat sesuatu menjadi lebih mudah dan sesuai untuk
dilakukan seorang individu (Hutcheon, 2006).
Skema 2.2 Proses Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy (Roy, 2009)
Model adaptasi Roy tersusun atas empat konsep utama, yaitu konsep manusia,
lingkungan, sehat, dan keperawatan. Empat konsep tersebut yaitu:
1. Manusia
Manusia sebagai sistem adaptif, sakit atau memiliki potensi sakit. Manusia
berusaha menekan kondisi yang tidak adaptif dan memelihara yang adaptif.
Peningkatan kemampuan adaptasi yang dilakukan oleh individu dapat menekan
stimulus yang ada (Tomey & Alligood, 2010).
2. Lingkungan
Lingkungan digambarkan sebagai segala sesuatu yang mempengaruhi manusia
baik dari dalam maupun luar. Lingkungan merupakan input bagi manusia sebagai
sistem yang adaptif yang dikenal sebagai stimulus internal dan eksternal. Lebih
lanjut stimulus itu dikelompokkan menjadi tiga jenis diantaranya, (1) Stimulus
fokal, yaitu stimulus yang langsung menyebabkan keadaan sakit dan
ketidakseimbangan yang dialami saat ini, contoh, patogen penyebab terjadinya
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
29
Universitas Indonesia
infeksi (2) Stimulus kontekstual, yaitu stimulus yang dapat mendukung terjadinya
kejadian sakit, sebagai contoh yaitu ketika pasien dengan tumor intra kranial
merasakan nyeri kepala hebat yang menjadi stimulus kontekstual yaitu massa
yang berada di intra kranial (3) Sistem residual meliputi sikap, keyakinan, serta
pemahaman individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan sakit,
misalnya, persepsi klien tentang penyakit, gaya hidup, riwayat penyakit. Lebih
luas lagi lingkungan didefinisikan sebagai segala kondisi yang dapat
mempengaruhi keadaan, perkembangan, serta perilaku manusia baik sebagai
individu maupun kelompok (Tomey & Alligood, 2010).
3. Kesehatan
Kesehatan dipandang sebagai keadaan dan proses yang terjadi pada manusia
secara utuh dan terintegrasi secara keseluruhan. Model adaptasi keperawatan
menghubungkan konsep sehat dengan konsep adaptasi yakni manusia dituntut
untuk mampu menunjukan mekanisme koping yang adaptif dalam menghadapi
stressor hingga dapat meningkatkan kondisi kesehatannya. Produk adaptasi adalah
hasil dari proses adaptasi dan digambarkan dalam istilah kondisi yang
meningkatkan tujuan-tujuan manusia yang meliputi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan penguasaan yang disebut integritas. Kondisi akhir ini adalah
kondisi keseimbangan dinamik (Tomey & Alligood, 2010).
4. Keperawatan
Roy menggambarkan keperawatan sebagai disiplin ilmu dan praktik dari
meningkatkan kesehatan secara positif. Sebagai disiplin ilmu, praktik keperawatan
menggunakan pendekatan pengetahuan secara ilmiah untuk menyediakan
pelayanan pada orang-orang. Keperawatan meningkatkan adaptasi manusia baik
sebagai individu maupun kelompok dalam situasi yang berkaitan dengan
kesehatan. Tujuan dari keperawatan sendiri yaitu adalah meningkatkan interaksi
manusia dan lingkungan. Peningkatan adaptasi dalam empat cara menyesuaikan
diri yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan saling ketergantungan.
Dalam interaksinya dengan stimulus lingkungan secara terus menerus, individu
pada akhirnya akan memberikan respon terhadap stimulus tersebut dan proses
adaptasi pun terjadi. Respon individu terhadap stimulus lingkungan dapat berupa
respon adaptif ataupun respon inadaptif. Respon adaptif dapat meningkatkan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
30
Universitas Indonesia
integritas dan membantu individu untuk mencapai tujuan dari adaptasi sendiri,
seperti bertahan hidup, tumbuh, berproduksi, penguasaan dan perubahan pada
individu maupun lingkungan. Tingkatan adaptasi yang ditimbulkan
menggambarkan kondisi dari proses hidup yang dijabarkan dalam tiga tingkatan
yaitu, integrasi, kompensasi dan kompromi. Sebaliknya respon inefektif dapat
menggagalkan atau mengancam tujuan adaptasi (Roy and Heather, 1991; Tomey
and Alligood, 2006; Meleis, 2007; Roy, 2009).
Tingkat adaptasi integrasi, menjelaskan tingkatan adaptasi dimana struktur dan
fungsi tubuh secara keseluruhan bisa memenuhi kebutuhan manusia. Tingkat
adaptasi kompensasi, yaitu tingkat ketika sistem kognator dan regulator telah
diaktifkan untuk melakukan kompensasi. Tingkat adaptasi kompromi, ketika
tingkat adaptasi integrasi dan tingkat adaptasi kompensasi tidak bisa dicapai,
maka menjadi bagian perawat untuk membantu pasien melakukan adaptasi
kompromi terhadap permasalahan yang muncul.
Tingkat adaptasi seseorang dapat berubah-ubah tergantung dari stimulus fokal,
kontekstual dan residual. Roy mengidentifikasi 3 tipe stimulus lingkungan, yaitu
fokal, kontekstual dan residual. Fokal stimulus, merupakan stimulus internal
maupun eksternal yang secara langsung menyebabkan gangguan pada sistem
tubuh. Kontekstual stimulus, merupakan stimulus yang dapat menunjang
terjadinya sakit (faktor presipitasi)/ keadaan tidak sehat, keadaan ini tidak terlihat
langsung pada saat ini, misalnya daya tahan tubuh yang menurun, lingkungan
yang tidak sehat. Residual stimulus adalah sikap, keyakinan dan pemahaman
individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan tidak sehat atau disebut
dengan faktor predisposisi sehingga terjadi kondisi fokal, misalnya persepsi klien
tentang penyakit, perilaku, konsep diri, fungsi peran, saling ketergantungan
(Fawcett, 2009).
Stimulus lingkungan secara langsung berhubungan dengan proses koping, namun
dapat secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan mode
adaptasi. Hubungan langsung antara stimulus lingkungan dengan mode adaptasi
dimediasi oleh proses koping. Individu menggunakan 2 proses koping dalam
menapis stimulus lingkungan, dimana proses tersebut adalah regulator dan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
31
Universitas Indonesia
kognator. Proses koping regulator menekankan pada sistem saraf, kimia dan
endokrin yang memproses stimulus secara otomatis dan tidak disadari. Proses
koping kognator menekankan pada jalur kognitif maupun emosi dalam
memproses stimulus (memproses informasi atau mempersepsikan, belajar,
mempertahankan, dan emosi (Fawcett, 2009).
Roy menjelaskan bahwa proses regulator dan kognator tidak dapat diawasi secara
langsung, akan tetapi respon perilaku dari kedua sistem tersebut dapat diamati
secara langsung melalui 4 mode yang antara lain adalah fisiologis, konsep diri,
fungsi peran, dan saling ketergantungan. Keempat mode adaptasi ini saling
berhubungan melalui persepsi. Adanya respon yang adaptif ataupun respon
inefektif pada satu mode akan mempengaruhi proses adaptasi pada mode lainnya.
Mode adaptasi fisiologi dan fisik, merupakan cara individu berinteraksi dengan
lingkungan melalui proses fisiologis, sehingga individu dapat memenuhi
kebutuhan dasar mereka yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, istirahat tidur,
proteksi, sensasi, cairan dan elektrolit, neurologi, dan endokrin. Pencapaian
integritas fisiologis merupakan respon adaptif pada model adaptasi ini (Tomey &
Alligood, 2010). Mode adaptasi konsep diri, didasari pada kebutuhan fisiologi dan
spiritual, kebutuhan dalam memahami individu sebagai makhluk yang utuh.
Konsep diri merupakan gabungan antara keyakinan dan perasaan terhadap
personal diri individu tersebut. Konsep diri juga terdiri dari 2 komponen yaitu
komponen fisik diri, yang terdiri atas sensasi tubuh dan citra tubuh, dan moral-
etik-spiritual diri. Adanya integritas psikis merupakan tujuan dari mode konsep
diri individu.
Mode perubahan fungsi peran, merupakan salah satu dari dua mode sosial yang
berfokus pada peran seseorang di lingkungan sosial. Peran tersebut ditampilkan
dalam 3 tingkatan yaitu peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer
didefinisikan sebagai perilaku seseorang yang merupakan kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari seperti peran yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin dan
tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan peran yang diartikan oleh
individu untuk memenuhi tugas pada tahap perkembangan dan peran primer.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
32
Universitas Indonesia
Peran tersier berkaitan dengan peran primer dan sekunder dan cara yang
ditampilkan oleh individu untuk memenuhi kewajibannya.
Mode adaptasi terakhir adalah mode interdependensi. Mode ini berfokus pada
hubungan dengan orang lain (individu maupun kelompok), berkaitan dengan
kemampuan untuk memberi cinta, kasih sayang, penghargaan, nilai-nilai,
bimbingan, pengetahuan, skills, komitmen, harta, waktu dan bakat (Tomey &
Alligood, 2010). Semua input stimulus masuk lalu diproses oleh subsistem
regulator dan kognator. Respon-respon subsistem tersebut semua diperlihatkan
pada empat perubahan yang ada pada manusia sebagai sistem adaptif yaitu fungsi
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan saling ketergantungan.
2.2.2 Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy
Proses keperawatan adalah suatu pendekatan pemecahan masalah dengan
mengumpulkan data, mengidentifikasi kapasitasnya dan kebutuhan dari manusia
sebagai sistem adaptive, menyeleksi dan mengiplementasikan pendekatan
keperawatannya, dan mengevaluasi hasil yang diberikan (Roy, 2009; Tomey &
Alligood, 2010).
2.2.2.1 Pengkajian
Pengkajian dalam model adaptasi roy menggunakan dua tahap kegiatan yaitu
pengkajian terhadap perilaku dan pengkajian terhadap stimulus/rangsangan yang
terjadi pada klien.
2.2.2.2 Pengkajian Perilaku
Mengumpulkan data tentang perilaku pasien dan keadaan adaptasi bersama-sama.
Data perilaku meliputi sembilan model adaptasi. Fisiologis, meliputi: oksigenasi,
nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensasi, cairan dan elektrolit,
neurologi, dan endokrin. Konsep diri, meliputi; fisik diri dan personal self. Fungsi
peran, meliputti proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola
penguasaan peran. Interdependensi meliputi pola kesendirian dan strategi koping.
Keterampilan yang digunakan dalam mengumpulkan data meliputi teknik
observasi, pengukuran, serta anamnesa. Setelah dilakukan pengkajian pada
perilaku untuk setiap kebutuhan, perawat dapat mengkategorikan perilaku menjadi
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
33
Universitas Indonesia
perilaku adaptif, maladaptif, maupun potensial maladaptif (Pearson, Vaughan, &
Fitzgeral, 2000; Roy, 2009).
Pada kasus miastenia gravis, data yang seringkali didapatkan ketika pengkajian
perilaku yakni gangguan pada fungsi fisiologi oksigenasi, nutrisi, aktivitas dan
istrirahat, sensasi, dan neurologi. Pada fungsi oksigenasi, pasien seringkali datang
ke pusat layanan kesehatan dengan keluhan sesak napas bahkan dalam kondisi
gagal napas. Selain dikarenakan kelemahan otot pernapasan, masalah oksigenasi
pasien dapat disebabkan kondisi infeksi di saluran pernapasan. Pasien miastenia
gravis seringkali diberikan terapi imunosupresan seperti immuran untuk
menurunkan proses autoimun pada pasien. Kondisi sistem imun yang menurun
pada pasien memudahkan patogen untuk menyerang tubuh dan infeksi pada istem
tubuh dapat terjadi, yang paling sering adalah infeksi pada saluran pernapasan.
Sedangkan dikarenakan kelemahan pada otot orofaring seringkali pasien
mengalami gangguan menelan sehingga asupan nutrisi pasien akan terganggu
bahkan penurunan berat badan secara signifikan terkadang dapat ditemukan pada
pasien. Pada kondisi general myasthenia gravis pasien akan mengalami
kelemahan otot di seluruh bagian tubuh. Hal ini menyebabkan mobilisasi pasien
terbatas bahkan tidak dapat bergerak sama sekali. Kondisi tersebut pulalah yang
meningkatkan nilai risiko jatuh pada pasien.
2.2.2.3 Pengkajian Stimulus
Suatu stimulus didefinisikan sebagai yang memprovokasi sebuah respons.
Stimulus dapat berasal dari internal maupun eksternal manusia yang mencakup
semua kondisi, keadaaan dan mempengaruhi sekeliling dan atau mempengaruhi
perkembangan dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi
adaptasi yaitu, (1) Kultur, status sosial ekonomi, etnis, sistem keyakinan (2)
Keluarga, struktur dan tugas-tugas (3) Tahap perkembangan faktor usia, jenis,
tugas, keturunan, dan genetik (4) Integritas Modes Adaptif, fisiologis (mencakup
patologi penyakit), konsep diri, fungsi peran, saling ketergantungan (5)
Efektivitas kognator, persepsi, pengetahuan, ketrampilan (6) Pertimbangan
lingkungan, perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan medis,
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
34
Universitas Indonesia
menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau (Roy, 2009; Pearson, Vaughan, and
Fitzgerald, 2000).
Terdapat tiga buah stimulus pada setiap segmen pengkajian perilaku model
adaptasi Roy yaitu stimulus fokal, stimulus kontekstual, dan stimulus residual.
Stimulus fokal diartikan sebagai stimulus internal atau eksternal yang secara
langsung mempengaruhi sistem adaptasi seorang individu atau kelompok.
Pengkajian stimulus ini perawat dituntut untuk mampu mencari tahu penyebab
langsung dari perilaku muncul pada pasien. Roy (2009) menjelaskan bahwa satu
stimulus fokal pada pasien dapat mempengaruhi beberapa mode adaptif. Stimulus
kontekstual merupakan semua stimulus internal maupun eksternal yang
berkonstribusi terhadap perilaku yang disebabkan oleh stimulus fokal. Stimulus
kontekstual dapat diartikan sebagai faktor risiko pada kondisi tertentu. Pada model
adaptasi Roy, stimulus residual diartikan sebagai stimulus yang memiliki efek
lanjutan dari perilaku seseorang atau kelompok dalam sistem adaptasi yang
dampaknya tidak dapat divalidasi.
Adapun stimulus umum yang dapat mempengaruhi proses adaptasi pada pasien
diantaranya:
1. Kultur atau budaya meliputi status sosial ekonomi, etnis, sistem keyakinan
2. Keluarga meliputi struktur serta tugas dalam keluarga.
3. Tahap perkembangan meliputi faktor usia, tugas, keturunan, serta faktor
genetik.
4. Integritas mode adaptif fisiologis (mencakup patologi penyakit), konsep diri,
fungsi peran, interdependensi.
5. Efektivitas kognator termasuk di dalamnya persepsi, pengetahuan, dan
ketrampilan yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
6. Pertimbangan faktor lingkungan berupa perubahan lingkungan baik internal
maupun eksternal, pengelolaan medis, penggunaan obat-obat, alkohol, dan
tembakau.
2.2.3 Diagnosa Keperawatan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
35
Universitas Indonesia
Penetapan diagnosa keperawatan dalam kerangka yang diberikan model adaptasi
Roy berkaitan dengan stimulus yang muncul pada pasien. Diagnosa keperawatan
yang hendak ditegakkan dapat bersarkan pernyataan perilaku dalam satu mode
yang sangat relevan dipengaruhi stimulusnya (Roy, 2009; Pearson, Vaughan, and
Fitzgerald, 2000). Adapun lima masalah keperawatan yang seringkali muncul
pada pasien miastenia gravis berdasarkan Hickey (2014) dan NANDA
diantaranya:
1. Intoleransi aktivitas
Diagnosa intoleransi aktivitas pada pasien miastenia gravis dapat muncul
berhubungan dengan kelemahan umum serta kelemahan otot yang dialami pada
pasien (Hickey, 2014). Diagnosa intoleransi aktivitas dapat ditegakkan apabila
pada pasien ditemukan tanda sesak yang semakin bertambah dengan dilakukannya
aktivitas, kelemahan otot anggota gerak, dan perubahan tanda-tanda vital ketika
aktivitas (Herdman, 2014).
2. Ketidakefektifan pola nafas
Diagnosa ketidakefektifan pola napas pasien miastenia gravis dapat muncul
berhubungan dengan perubahan pola, ritme, kualitas pernapasan pada pasien yang
didasari pada kelemahan otot pernapasan terutama pada pasien dengan krisis
miastenik maupun kolinergik (Hickey, 2014). Diagnosa ketidakefektifan pola
napas dapat ditegakkan apabila pada pasien ditemukan tanda sesak, terdapat pola
abnormal (Herdman, 2014).
3. Risiko aspirasi
Diagnosa risiko aspirasi didefinisikan sebagai mudahnya sekresi gastrointestinal
atau orofaringeal baik padat maupun cair untuk melewati jalan tracheobronchial
yang dapat mempengaruhi status kesehatan (Herdman, 2014). Pada kasus
miastenia gravis seringkali ditemukan kelemahan otot faringeal sehingga sulit
untuk mengatur saliva yang disebabkan gangguan menelan pada pasien. Makanan
dimakan secara bertahap dan dalam jangka waktu yang lama serta konsistensi dari
makanan perlu dimodifikasi untuk mencegah aspirasi pada pasien (Hickey, 2014).
4. Risiko jatuh
Diagnosa risiko jatuh yang terjadi pada pasien berhubungan dengan kelemahan
yang dialami oleh pasien (hickey, 2014). Salah satu penilaian risiko jatuh yang
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
36
Universitas Indonesia
digunakan pada layanan kesehatan yaitu skala moorse. Pada penggunaan skala
moorse adanya kelemahan pada otot merupakan salah satu indikator penilaian.
Herdman (2014) menyebutkan bahwa diagnose risiko jatuh memiliki beberapa
faktr risiko diantaranya usia, penggunaan alat bantu atau bantuan orang lain untuk
mobilisasi, penurunan kekuatan pada ekstremitas bawah, kurangnya waktu
istirahat, serta penurunan kemampuan penglihatan pada pasien.
5. Ansietas
Penegakan diagnosa keperawatan ansietas didasari pada perubahan status
kesehatan dan yang terjadi pada pasien dan ditandai dengan adanya ketakutan,
secara subjektif menyatakan adanya kecemasan dan terjadinya perubahan pola
tidur pada pasien (Herdman, 2014).
2.2.4 Nursing Outcome Classification (NOC)
Penetapan tujuan didefinisikan sebagai pembentukan pernyataan dari harapan
yang jelas dari perilaku individu berdasarkan hasil dari proses perawatan. Tujuan
umum dari intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan
meningkatkan perilaku adaptif dan mengubah perilaku yang tidak efektif menjadi
perliaku yang adaptif. Fokus dalam menetapkan tujuan adalah perubahan perilaku
dai individu dan kelompok. Penetapan tujuan harus menunjuk tidak hanya
perilaku yang akan diamati tetapi juga cara perilaku akan berubah (seperti
perilaku yang diamati, diukur, atau laporan subjektif pasien) dan kerangka waktu
sebagai tanda pencapaian tujuan (Roy, 2009).
Adapun tujuan berdasarkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien dengan miastenia gravis disesuaikan (Moorhead, et.al, 2013) dengan
Nursing Outcome Classification (NOC) diantaranya:
a. Toleransi aktifitas. Tujuan ini muncul pada diagnosa keperawatan intoleransi
aktivitas dengan kriteria mampu berpartisipasi dalam aktifitas fisik tanpa
disertai adanya perubahan nilai peningkatan tanda-tanda vital pasien termasuk
frekuensi nafas, nadi, maupun tekanan darah.
b. Status respiratori. Tujuan ini ditetapkan pada diagnose keperawatan
ketidakefektifan pola napas dengan kriteria frekuensi dan ritme pernapasan
serta saturasi oksigen pasien berada pada rentang normal.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
37
Universitas Indonesia
c. Pencegahan Aspirasi. Tujuan pencegahan aspirasi ditemukan pada diagnose
keperawatan risiko aspirasi. Kriteria hasil yang dapat ditetapkan diantaranya
pasien mampu mengidentifikasi faktor risiko dari kemungkinan terjadinya
aspirasi, mempertahankan kebersihan mulut dan gigi, menunjukkan posisi
yang tepat ketika intake makanan atau minuman, mampu melakukan
pemilihan jenis makanan yang tepat sesuai dengan kemampuan menelan
pasien.
d. Perilaku Pencegahan Jatuh dan Kejadian Jatuh. Kedua tujuan tersebut
dapat ditemukan pada diagnosa keperawatan risiko jatuh. Adapun kriteria
hasil yang diharapkan pada pasien diantaranta mengetahui saat membutuhkan
asistensi dalam aktifitas, menggunakan handrails, dan tidak terjadinya
kejadinya jatuh.
e. Tingkat Ansietas dan Koping. Tujuan tersebut merupakan tujuan pada
diagnosa keperawatan ansietas. Kriteria hasil yang diharapakan yaitu pasien
mampu beristirahat sesuai pola istirahat sebelum masuk rumah sakit, secara
verbal menyebutkan cemas berkurang, mampu mengidentifikasi mekanisme
koping yang efektif, serta melaporkan stress berkurang.
2.2.5 Nursing Intervention Classification (NIC)
Berdasarkan penjelasan terhadap model adaptasi Roy pada sistem adaptasi
manusia intervensi diartikan sebagai pemilihan pendekatan dari konsep
keperawatan untuk dapat meningkatkan kemampuan adaptasi manusia dengan
merubah stimulus atau menguatkan proses adaptasi. Intervensi keperawatan dapat
berfokus pada stimulus serta proses koping yang dimiliki oleh individu. Intervensi
mengarah dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ketika fokus dari
tujuan adalah perilaku, sedangkan fokus dari intervensi adalah stimulus yang
mempengaruhi perilaku atau kemampuan untuk mengatasi stimulus, dengan
memodifikasi stimulus yang terjadi pada manusia diharapakan dapat merubah
proses koping untuk berespon secara positif (Roy, 2009).
Intervensi keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada kasus miastenia gravis dan disesuaikan dengan Nursing
Intervention Classification (NIC) (Bulechek, et.al, 2013) diantaranya:
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
38
Universitas Indonesia
1. Intoleransi aktifitas
Terapi Aktivitas. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik untuk
merencanakan program terapi yang tepat bagi pasien, observasi nilai tanda-tanda
vital pasien selama diberikan latihan, bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang
dapat dilakukan oleh pasien, memberikan penguatan positif bagi pasien ketika
melakukan aktivitas, kolaborasi untuk pemberian terapi asetilkolinerase maupun
kortikosteroid. Peningkatan Tidur. Melakukan pengkajian terhadap jumlah jam
istirahat yang dilakukan pasien, dukung pasien untuk memiliki waktu tidur rutin,
dukung pasien untuk dapat meningkatkan waktu istirahat.
2. Ketidakefektifan pola napas
Monitoring Status Respiratori. Melakukan monitoring terhadap frekuensi,
ritme, kedalaman, serta usaha pernapasan pasien, monitoring pola napas pasien,
monitoring adanya ketidaknyamanan, kecemasan, maupun kesulitan bernapas
pada pasien, kaji kemampuan pasien untuk batuk, monitoring hasil laboratorium
seperti nilai analisa gas darah dan kadar hemoglobin, monitor adanya sesak pada
pasien.
3. Risiko aspirasi
Pencegahan aspirasi. Monitoring tingkat kesadaran pasien, refleks batuk, refleks
muntah, dan kemampuan makan pasien, skrining adanya disfagia atau gangguan
menelan, jaga kepatenan jalan napas, monitoring status pernapasan, hindari
pemberian cairan per oral atau gunakan thickening agent, lakukan perawatan
kebersihan mulut dan gigi, posisikan elevasi kepala hingga 30-40 menit setelah
pemberian makan, pastikan posisi selang nasogastric sebelum pemberian
makanan. Enteral tube feeding. Jelaskan prosedur kepada pasien dan keluarga,
pasang selang nasogastric untuk memfasilitasi intake makanan, berikan tanda
kedalaman selang, monitoring bising usus secara berkala, irigasi secara berkala
untuk mengetahui residu makanan, monitoring adanya rasa mual muntah pada
pasien, ganti selang secara berkala, monitoring asupan makanan dan cairan pada
pasien.
4. Risiko jatuh
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
39
Universitas Indonesia
Pencegahan jatuh. Identifikasi fungsi kognitif dan kekurangan fisik pasien yang
mungkin meningkatkan potensial untuk jatuh, kaji ulang riwayat jatuh dengan
kelurga dan pasien, monitoring resiko jatuh pasien, identifikasi karekteristik dari
lingkungan yang mungkin meningkatkan potensi untuk jatuh, pastikan side rails
terpasang dengan baik dan sesuai dengan tubuh pasien.
5. Ansietas
Penurunan ansietas. Dukung keluarga untuk selalu menemani pasien,
mendengarkan keluhan pasien, menemani pasien dan memahami sudut pandang
pasien terhadap situasi stress yang muncul, anjurkan pasien untuk terapi relaksasi.
Support group. Identifikasi kemampuan dukungan dari keluarga secara emosional
maupun finansial, dukung pasien untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial,
menyarankan untuk mengikuti kelompok dukungan (yayasan miastenia gravis).
Selain asuhan keperawatan berdasarkan diagnosis keperawatan yang ditegakan,
perawat berkawajiban untuk memastikan kebutuhan edukasi serta kemampuan
belajar lewat koping kognator. Woodward dan Mestecky (2014) memberikan
penjelasan terkait informasi yang harus diberikan kepada pasien dan keluarga
diantaranya pemenuhan kebutuhan pengobatan pasien (terapi oksigen, chest
fisiotherapy) serta hal yang harus dilakukan apabila gejala sesak bertambah,
menghindari pembicaraan panjang (long conversation), pembatasan aktivitas,
serta peningkatan konsep diri pasien untuk dapat segera pulih.
2.2.6 Evaluasi
Evaluasi digunakan untuk memutuskan keefektifan intervensi keperawatan
berhubungan dengan perilaku individu atau kelompok. perawat perlu mengkaji
perilaku pasien setelah intervensi dilaksanakan. Evaluasi dilakukan seperti
pengkajian awal dimana diperlukan kemampuan dalam melakukan observasi,
intuisi, pengukuran, dan wawancara oleh perawat. Dalam mengevaluasi
keefektifan dari intervensi yang telah kita berikan untuk mencapai tujuan, perawat
berkolaborasi dengan pasien untuk melihat kembali perilaku yang ditunjukkan
oleh pasien (Roy, 2009).
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
40
Universitas Indonesia
BAB 3
PROSES RESIDENSI
Bab ini memaparkan proses residensi yang terdiri dari empat bagian yakni
penjelasan kasus kelolaan pasien dengan miastenia gravis dengan menggunakan
pendekatan model adaptasi Roy, resume 30 kasus pasien dengan gangguan
neurologis, penerapan Evidence Based Nursing (EBN), dan pelaksanaan program
inovasi.
3.1 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Miastenia Gravis
Kasus kelolaan yang akan dibahas pada bagian ini adalah pasien dengan miastenia
gravis yang diawali dengan kondisi krisis miastenik dengan menggunakan
pendekatan Model Adaptasi Roy.
3.1.1 Identitas Pasien
Pasien Tn. D, 59 Tahun, pendidikan S1, pekerjaan karyawan swasta di peruhasaan
transportasi, status menikah dengan dua orang anak, beragama islam, masuk
rumah sakit tanggal 8 April 2017 pukul 06.10 WIB, No. Rekam Medik:
394.05.05, masuk melalui IGD dengan krisis miastenik. Pasien dirawat di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo di Gedung A lantai 5 Zona A Kamar 518 E.
Pengkajian dilakukan pada tanggal 27 April 2017.
3.1.2 Pengkajian Perilaku Stimulus
a. Mode Adaptasi Fisiologis
1) Oksigenasi
Pengkajian Perilaku
Pasien sesak napas sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit yang bertambah
ketika beraktivitas, setelah pindah dari ruang rawat intensif sesak dan batuk
berkurang, tidak ada trauma maupun jejas di bagian wajah, sianosis tidak ada,
konjungtiva tidak anemis, akral teraba hangat, membran mukosa lembab, perkusi
sonor pada semua lapang paru, bunyi nafas vesikuler, tidak ada ronchi, tidak ada
wheezing, saturasi 98-99%. Transportasi gas adekuat ditandai perilaku tekanan
darah 135/75 mmHg, frekuensi nadi 75 kali/menit, perfusi perifer: capillary refill
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
41
Universitas Indonesia
time (CRT) <2 detik, bunyi jantung S1 dan S2 regular, murmur dan gallop tidak
ada, Riwayat infeksi tuberkulosis disangkal, riwayat post timektomi tahun 1982.
Hasil Pemeriksaan Diagnostik:
Pemeriksaan darah rutin: (Tanggal 22 April 2017) Hb: 9,7 g/dl, Hematokrit:
28,1%, leukosit: 22,9 x 10000/uL, trombosit 476 x 1000/uL.
Analisa Gas Darah: (Tanggal 21 April 2017) pH: 7,422, pCO2: 34,9 mmHg,
PaO2: 119,8 mmHg, HCO3: 23,0 mEq/L. BE: -0,5, saturasi 97,2%.
Foto rontgen Thorax: (Tanggal 21 April 2017) infiltrat di lapang bawah paru kiri
dan kanan.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: ekspansi paru tidak maksimal
Stimulus kontekstual: kelemahan otot pernapasan
Stimulus residual: riwayat timoma
2) Nutrisi
Asupan nutrisi pasien menggunakan selang nasogastric (NGT), residu tidak ada.
Tidak ada alergi makanan. Kerusakan membran mukosa mulut tidak ada,
kebersihan rongga mulut baik. Disfagia positif dengan menggunakan skrining
disfagia Massey Bedside Swallowing Screen, kemampuan makan berada pada
level 3 menggunakan The Functional Oral Intake Scale (FOIS). Berat badan
pasien: 50 kg (terdapat penurunan berat badan sebesar 5 Kg dalam waktu 2
minggu), tinggi badan pasien: 170 cm, IMT: 15,8 kg/m2, status gizi malnutrisi
berat. Pasien mengatakan ingin memulai makan per oral.
Hasil Pemeriksaan Diagnostik:
(Tanggal 17 April 2017): Albumin: 3,53 gr% (Tanggal 21 April 2017): GDS: 136
mg/dL, Hb: 9,7g/dL, leukosit: 22,9 x 10000/uL
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: hipermetabolisme, hipoalbuminemia, kemampuan makan pasien
tergantung pada NGT
Stimulus kontekstual: kelemahan otot orofaring
Stimulus residual: riwayat CAP
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
42
Universitas Indonesia
3) Eliminasi
Pengkajian Perilaku
Eliminasi urin spontan dengan menggunakan urinal, produksi urin baik, warna
kuning kurang lebih produksi urine 1300cc/24 jam, diuresis 1,04 cc/kg/jam. Sejak
satu tahun sebelum masuk rumah sakit pasien didiagnosa hyperplasia prostat dan
berobat dengan menggunakan Harnal, nyeri saat berkemih tidak ada. Pasien buang
air besar rutin setiap dua hari sekali. Bising usus 8 kali/menit, tidak ada riwayat
konstipasi maupun diare.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: pembesaran kelenjar prostat
Stimulus kontekstual: riwayat timoma
Stimulus residual:
4) Aktivitas dan Istirahat
Pengkajian Perilaku
Selama pasien pindah dari ruang perawatan intensif pasien tirah baring dengan
mobilisasi minimal di atas tempat tidur. Pasien mengeluh lemas masih terasa di
semua anggota gerak. Sesak muncul terutama saat beraktivitas seperti perubahan
posisi maupun berbicara. Insomnia positif dengan menggunakan pengkajian
Insomnia Severity Index (ISI), pasien kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun.
Status fungsional Barthel Index (3) kategori ketergantungan total. Postur tubuh
pasien Nampak tidak ada kelainan. Tonus otot normal.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: kesulitan tidur, anggota gerak terasa lemas, sesak ketika
beraktivitas
Stimulus kontekstual: lingkungan rumah sakit satu ruangan terdiri dari beberapa
pasien
Stimulus residual: riwayat timoma
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
43
Universitas Indonesia
5) Proteksi
Pengkajian Perilaku
Riwayat alergi dan trauma tidak ada, temperatur kulit hangat suhu 36,30C, turgor
kuilt dalam batas normal, terdapat luka dekubitus grade II di area sacrum dengan
luas kurang lebih 4x5 cm, pus tidak ada (belum pernah dilakukan perawatan luka
dekubitus). Distribusi rambut normal, kondisi kulit kepala bersih, membran
mukosa intak. Terdapat respon peradangan. Pengkajian risiko jatuh pasien
menggunakan Fall Morse Scale (45) yang bermakna risiko jatuh sedang.
Hasil Pemeriksaan Diagnostik:
(Tanggal 21 April 2017): Leukosit: 22,9 x 10000/uL, procalsitonin: 0,53
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: luka gesek di area sakrum
Stimulus kontekstual: tirah baring lama
Stimulus residual: riwayat timoma, riwayat penggunaan imunosupresan
(prednisone)
6) Sensasi
Pengkajian Perilaku
Fungsi pendengaran baik ditunjukkan dengan kemampuan komunikasi pasien
baik, pasien mengeluh kesulitan dalam melihat kembali muncul sejak 3 tahun
sebelum masuk rumah sakit, diplopia berkurang sejak masuk rumah sakit. Pasien
masih dapat membaca dengan baik. Lidah tidak kotor, sensasi rasa pada lidah ada,
tidak ada nyeri. Gigi utuh, penyakit gusi tidak ada. Turgor kulit baik, kebersihan
diri pasien baik.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: penurunan visus
Stimulus kontekstual: kelemahan otot ekstraokular
Stimulus residual: riwayat timoma, riwayat penggunaan imunosupresan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
44
Universitas Indonesia
7) Cairan elektrolit, dan keseimbangan asam basa
Pengkajian Perilaku
Intake cairan pada pasien diberikan melalui NGT dan pemberian cairan intravena
dengan NaCl 500 cc/12 jam, sebelum masuk rumah sakit pasien ada riwayat tersedak.
Balance cairan pasien positif 508cc/24 jam, turgor kulit baik, shifting
dullness tidak ada, ascites tidak ada, tidak ada pitting edema. Tidak tampak ada
oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah.
Hasil Pemeriksaan Diagnostik:
(Tanggal 21 April 2017) Natrium: 133 mEq/L, kalium: 4.8 mEq/L dan clorida: 97
mEq/L. Hasil pemeriksaan elektrolit masih dalam batas normal sehingga tidak
dilakukan koreksi.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: asupan cairan parenteran dan enteral
Stimulus kontekstual: disfagia positif
Stimulus residual: riwayat timoma
8) Neurologi
Pengkajian Perilaku
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas sejak yang bertambah
berat sejak empat hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien didiagnosa
miastenia gravis dan timoma yang selanjutnya dilakukan prosedur timektomi pada
tahun 1982. Pasien menyebutkan sejak dilakukan timektomi gejala dari miastenia
gravis sudah tidak dirasakan. Mulai 3 tahun yang lalu pasien kembali mengeluh
sesak yang bertambah berat apabila beraktivitas, ptosis dirasakan terutama di mata
kanan, dipoplia berkurang. Kelemahan umum ada, pasien diklasifikasikan untuk
memiliki miastenia gravis general. Selama masa perawatan pasien tersedak (+),
screening disfagia (+), kelemahan otot orofaring (+). Kesadaran pasien CM, GCS
E3M6V5, pupil bulat isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya positif kiri kanan, ptosis
positif di mata kanan, dipoplia ada, kesan oftalmoparese dextra, refleks fisiologis
bisep (+2), refleks archiles (+2), refleks patella (+2). Tanda rangsang meningen
negatif.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
45
Universitas Indonesia
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan pada otot orofaring
Stimulus kontekstual: penurunan kemampuan kontraksi otot
Stimulus residual: riwayat timoma
9) Endokrin
Pengkajian Perilaku
Pasien tidak memiliki kelainan fungsi endokrin maupun penyakit terkait fungsi
endokrin seperti Diabetes Mellitus, Gula Darah Sewaktu: 136mg/dL. Tidak ada
gejala pembesaran tiroid.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: fungsi endokrin adaptif
b. Mode Adaptasi Konsep Diri
Pengkajian Perilaku
Pasien berharap untuk segera pulih dan dapat beraktivitas seperti sebelum masuk
rumah sakit. Pasien tidak mengeluhkan tentang perubahan fisik yang terjadi pada
tubuhnya yang diakibatkan oleh proses penyakit. Penampilan pasien rapid an
sesuai. Meskipun pasien nampak tenang namun pasien mengeluhkan merasa tidak
aman diakrenakan proses penyakit yang tidak tentu. Sebelumnya pasien menjalani
prosedur timektomi di luar negeri pada tahun 1982. Selama kurang lebih 32 tahun
pasien tidak merasakan keluhan dari miastenia gravis. Namun gejala mulai
muncul tiga tahun sebelum masuk rumah sakit dan bertambah berat sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Hal ini membuat pasien merasa tidak aman dengan
kondisi kesehatannya.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: perubahan status kesehatan
Stimulus kontekstual: penambahan usia
Stimulus residual: riwayat timoma
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
46
Universitas Indonesia
c. Mode Adaptasi Fungsi Peran
Pengkajian Perilaku
Pasien berusia 59 tahun yang berada pada tahap perkembangan usia dewasa
tengah. Pasien berperan sebagai kepala keluarga, suami, dan ayah dari dua orang
anak yang sudah dewasa. Sebelumnya pasien bekerja di sebuah maskapai
terkemuka di Indonesia namun sejak 2014 pasien berhenti dari pekerjaannya
karena keluhan yang kembali muncul. Saat ini pasien bekerja di sebuah perusahan
transportasi di sebuah terminal. Kedua anak pasien sudah dewasa dan saat ini
bekerja sebagai pilot. Karena kesibukan kedua anaknya, pasien saat ini lebih
sering tinggal bersama istrinya, perannya sebagai pencari nafkah dibantu oleh
kedua anaknya, terutama anak keduanya. Setelah 32 tahun pasien tidak merasakan
keluhan dikarenakan miastenia gravis, pasien saat ini kembali dirawat
dikarenakan kekambuhan penyakitnya.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: fungsi peran adaptif
d. Mode Adaptasi Interdependensi
Pengkajian Perilaku
Support system yang dimiliki oleh pasien adalah keluarga inti pasien. Keluarga
adaptif untuk merawat pasien dan mengikuti proses perawatan. Menurut keluarga,
pasien merupakan sosok yang perhatian dan mau berusaha keras untuk dapat
sembuh. Tidak hanyaitu pasiennya juga dekat dengan anak dan istri serta
kerabatnya. Selama masa perawatan anak dan istri pasien bergantian untuk
menemani pasien dan memenuhi kebutuhan pasien seperti makan dan eliminasi.
Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: proses penyakit
Stimulus kontekstual: penambahan usia
Stimulus residual:
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
47
Universitas Indonesia
3.1.3 Diagnosis Keperawatan
Selama Tn. D menjalani masa perawatan, enam (6) diagnosis keperawatan yang
ditegakkan diantaranya:
a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot dan fatigue yang
ditandai dengan perubahan pola napas ketika beraktifitas dan kelelahan.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik: imobilisasi,
hipoalbuminemia yang ditandai dengan luka dekubitus grade II di area sacrum
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan ingesti makanan ditandai dengan kelemahan otot yang
digunakan dalam proses menelan
d. Risiko aspirasi dengan faktor risiko ketidakmampuan pasien untuk menelan,
kelemahan otot orofaringeal, dan pemasangan NGT
e. Risiko jatuh dengan faktor risiko penurunan kekuatan ekstremitas bawah,
gangguan fungsi penglihatan
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan
ketakutan, perubahan pola istirahat: insomnia
3.1.4 Tujuan
Berdasarkan data hasil pengkajian stimulus dan perilaku serta diagnosa
keperawatan yang ditegakkan pada Pasien maka intervensi yang dilakukan untuk
meningkatkan perilaku adaptif pasien. Adapun tujuan dari intervensi yang
dilakukan diantaranya:
f. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam Pasien
menunjukkan Toleransi aktifitas dengan kriteria mampu berpartisipasi dalam
aktifitas fisik tanda disertai peningkatan tanda-tanda vital: frekuensi nafas.
g. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam Pasien
menunjukkan Penyembuhan Luka: secondary intention dengan kriteria
terbentuk granulasi, tidak ada eksudat purulen, serous, bau, nekrosis,
sloughing, inflamasi luka, serta sedema di sekitar luka Perubahan Posisi
dengan kriteria mampu mobilisasi bertahap mulai dari miring kiri-miring
kanan selama tirah baring.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
48
Universitas Indonesia
h. Setelah dilakukan intervensi dalam waktu 4x24 jam pasien menunjukkan
Status Nutrisi: asupan nutrisi dengan kriteria menunjukkan peningkatan
kemampuan pengecapan dan menelan.
i. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam Pasien
menunjukkan perilaku Pencegahan Aspirasi dengan kriteria mampu
mengidentifikasi faktor risiko, mempertahankan kebersihan mulut dan gigi,
menunjukkan posisi yang tepat ketika makan atau minum, pemilihan jenis
makanan yang tepat sesuai dengan kemampuan menelan pasien.
j. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam Pasien
menunjukkan Perilaku Pencegahan Jatuh dengan kriteria mengetahui saat
membutuhkan asistensi dalam aktifitas, menggunakan handrails Kejadian
Jatuh dengan kriteria tidak terjadinya kejadinya jatuh.
k. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Pasien
menunjukkan Tingkat Ansietas dengan kriteria mampu beristirahat sesuai
pola istirahat sebelum masuk rumah sakit, secara verbal menyebutkan cemas
berkurang Koping dengan kriteria mampu mengidentifikasi mekanisme
koping yang efektif, melaporkan stress berkurang.
3.1.5 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Pasien berdasarkan diagnosa
keperawatan yang ditegakkan selama masa perawatan antara lain:
1. Intoleransi aktifitas
Terapi Aktivitas
Kognator: Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan,
memberikan penguatan positif bagi pasien ketika aktivitas, edukasi terkait tata
cara pemberian obat.
Regulator: Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik untuk merencanakan
program terapi yang tepat (weight shifting tiap dua jam), monitoring tanda-tanda
vital pasien selama latihan, pemberian mestinon 5x60 mg, methyl prednisolone
1x8mg.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
49
Universitas Indonesia
Peningkatan Tidur
Kognator: Dukung pasien untuk memiliki waktu tidur rutin, dukung pasien untuk
dapat meningkatkan waktu istirahat.
Regulator: Kaji jumlah jam tidur pasien
2. Kerusakan integritas kulit
Perawatan Luka
Kognator: Ajarkan kepada pasien dan keluarga untuk melaporkan adanya luka
maupun perubahan sensasi di sekitar luka.
Regulator: Ganti balutan, catat karakteristik dari luka termasuk drainage, warna,
ukuran dan bau, amati dasar luka, bersihkan dengan normal saline, cuci atau
bersihkan dengan sabun anti bakteri sebagai tambahan, gunakan balutan sesuai
kondisi luka pasien, perhatikan penyembuhan luka pada setiap penggantian
balutan, gunakan teknik balutan steril, ganti balutan apabila terdapat peningkatan
jumlah eksudat, pertahankan nutrisi pasien adekuat, amati perubahan pada luka
secara teratur.
Posisi Tubuh
Kognator: Ajarkan pasien dan keluarga pentingnya mobilisasi.
Regulator: Gunakan kasur dekubitus, kaji status oksigenasi sebelum dan setelah
perubahan posisi, posisikan pasien sesuai dengan garis tubuh, rubah posisi pasien
minimal setiap dua jam sekali.
Kontrol Infeksi
Kognator: Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung, gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan, cuci tangan
sebelum dan sesudah tindakan keperawatan, gunakan universal precaution dan
gunakan sarung tangan selama kontak dengan kulit yang tidak utuh, ajari pasien
dan keluarga tanda dan gejala infeksi dan kalau terjadi melaporkan pada perawat.
Regulator: Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain, tingkatkan asupan
nutrisi dan cairan, observasi dan laporkan tanda dan gejala infeksi seperti
kemerahan, panas, nyeri, tumor, catat dan laporkan hasil laboratorium, gunakan
strategi untuk mencegah infeksi nosokomial, istirahat yang adekuat, pemberian
cefoperazone sulbactam 3x12mg
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
50
Universitas Indonesia
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Manajemen Nutrisi
Kognator: Jelaskan prosedur kepada pasien penggunaan nasogastric tube sesuai
protokol anjurkan asupan makanan yang tinggi kadar albumin, anjurkan makanan
tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
Regulator: Kontrol penyerapan makanan dan cairan dan menghitung asupan kalori
harian, pantau ketepatan urutan makanan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
harian, kolaborasi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis zat makanan yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (diit cair 1500 kkal dalam bentuk
makanan cair low lactose milk 6x250 ml), menentukan kebutuhan makanan
saluran nasogastric (berdasarkan pengkajian menggunakan FOIS, pasien berada
pada level 3 dengan kebutuhan penggunaan nasogastric tube (NGT) namun
memiliki sedikit kemampuan menelan per oral), berikan pasien makanan dan
minuman tinggi protein, tinggi kalori, dan bernutrisi yang siap dikonsumsi,
menghentikan penggunaan saluran makanan jika asupan oral dapat dilakukan
tanpa adanya aspirasi, beri pemeliharaan yang diperlukan dalam batas makanan
yang ditentukan, beri perawatan mulut sebelum makan, bantu pasien membentuk
posisi duduk yang benar sebelum makan, monitoring bising usus pasien, tinggikan
kepala 30-45 derajat saat memberikan makan via nasogastric tube, pemberian
vitamin B komplek 3x1 tab, vitamin c 2x50mg, zinc 1x20mg, asam folat 1x1 mg,
omeprazol 1x40mg.
4. Risiko aspirasi
Pencegahan aspirasi
Kognator: Ajarkan pasien dan keluaga untuk menghindari pemberian cairan per
oral atau gunakan thickening agent.
Regulator: Monitoring tingkat kesadaran pasien, refleks batuk, refleks muntah,
dan kemampuan makan pasien, skrining adanya disfagia atau gangguan menelan
(pasien positif disfagia), jaga kepatenan jalan napas (pemberian inhalasi jika
diperlukan), monitoring status pernapasan, lakukan perawatan kebersihan mulut
dan gigi, posisikan elevasi kepala hingga 30-40 menit setelah pemberian makan,
pastikan posisi selang nasogastric sebelum pemberian makanan. (pasien
dilakukan FEES pada tanggal 28 April 2017).
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
51
Universitas Indonesia
Enteral tube feeding
Kognator: Jelaskan prosedur kepada pasien dan keluarga,
Regulator: Pasang selang nasoastric untuk memfasilitasi intake makanan, berikan
tanda kedalaman selang, monitoring bising usus secara berkala, irigasi secara
berkala untuk mengetahui residu makanan, monitoring adanya rasa mual muntah
pada pasien, ganti selang secara berkala sesuai dengan protokol rumah sakit (7
hari), monitoring asupan makanan dan cairan pada pasien.
5. Risiko jatuh
Pencegahan jatuh
Kognator: Identifikasi fungsi kognitif dan kekurangan fisik pasien yang mungkin
meningkatkan potensial untuk jatuh, ajarkan pasien dan keluarga tentang risiko
dan pencegahan jatuh pada pasien.
Regulator: Kaji ulang riwayat jatuh dengan keluraga dan pasien, monitoring
resiko jatuh pasien, identifikasi karekteristik dari lingkungan yang mungkin
meningkatkan potensi untuk jatuh, pastikan side rails terpasang dengan baik dan
sesuai dengan tubuh pasien.
6. Ansietas
Penurunan ansietas
Kognator: Dukung keluarga untuk selalu menemani pasien, mendengarkan
keluhan pasien, menemani pasien dan memahami sudut pandang pasien terhadap
situasi stress yang muncul, anjurkan pasien untuk terapi relaksasi.
Support group
Kognator: Identifikasi kemampuan dukungan dari keluarga secara emosional
maupun finansial, dukung pasien untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial,
menyarankan untuk mengikuti kelompok dukungan (yayasan miastenia gravis).
3.1.6 Evaluasi Keperawatan
Pasien Pasien menjalani masa perawatan selama 25 hari sejak tanggal 8 April
2017 sampai 2 Mei 2017. Pasien masuk lewat IGD pada tanggal 8 April 2017 dan
pada tanggal 27 April 2017 pasien dipindahkan ke ruang rawat neurologi lantai 5
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
52
Universitas Indonesia
Zona A RSCM. Evaluasi keperawatan dari intervensi keperawatan yang telah
dilakukan pada Pasien adalah sebagai berikut:
3.1.6.1 Intoleransi aktifitas
Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik untuk merencanakan program terapi
yang tepat (weight shifting tiap dua jam), monitoring tanda-tanda vital pasien
selama latihan, membantu klien mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan,
memberikan penguatan positif bagi pasien ketika aktivitas, pemberian mestinon
5x60 mg, methyl prednisolone 1x8mg. Pada hari ke-3 pasien mampu melakukan
perubahan posisi tanpa disertai sesak. Tujuan tercapai intervensi dihentikan.
3.1.6.2 Kerusakan integritas kulit berhubungan
Evaluasi pada hari keperawatan ke-4 diketahui bahwa integritas kulit pasien
adaptif pada luka dekubitus. Luka dalam posisi kering dan bersih tanpa disertai
slough. Tanda-tanda infeksi tidak terjadi. Seiring dengan meningkatnya kekuatan
otot pasien mampu untuk mobilisasi sehingga penekanan pada area sakrum dapat
berkurang
3.1.6.3 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Pasien menunjukan perilaku yang adaptif yakni tidak adanya keluhan mual dan
muntah. Selang makan dilepas setelah 5 hari dilakukan evalusi kemampuan
makan. Perilaku adaptif diperlihatkan oleh Pasien dengan menghabiskan 2/3 porsi
makannya dan nilai albumin dalam batas normal.
3.1.6.4 Risiko aspirasi
Tujuan yang ditetapkan yakni tidak terjadinya kejadian aspirasi pada pasien.
Setelah dilakukan intervensi keperawatan, pasien tidak menunjukan adanya tanda-
tanda pneumoni aspirasi seperti demam, wheezing, dan batuk. Pasien dilakukan
pengkajian kemampuan makan. Pada pertama kali dilakukan pengkajian pasien
melaporkan sempat mengalami batuk ketika minum per oral dengan jumlah lebih
dari 50cc. Sehingga pasien belum dapat dilepas NGT dan dilakukan evaluasi
ulang 2 hari kemudian dan kemampuan makan pasien sudah meningkat. 2 hari
kemudian NGT pasien sudah dapat dilepas dan pasien dapat makan dan minum
per oral tanpa ada periode tersedak.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
53
Universitas Indonesia
3.1.6.5 Risiko jatuh
Kejadian jatuh tidak terjadi sampai pasien pulang. Pasien mampu duduk dengan
kemampuan sendiri hal ini menunjukan perbaikan dari kelemahan otot yang
dirasakan oleh pasien. Akan tetapi sesuai dengan program pada pasien dengan
miastenia gravis, pasien disarankan untuk tirah baring dalam waktu yang cukup
lama hingga kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan kondisi sakitnya saat
ini sudah mengalami perbaikan. Hal ini membutuhkan penjagaan tidak hanya
selama di rumah sakit namun lebih penting lagi ketika pasien keluar dari rumah
sakit. Pemberian discharge planning terkait kemampuan mobilisasi dan
pencegahan risiko jatuh diberikan kepada keluarga. Keluarga dan pasien
memahami tentang risiko jatuh pada pasien dan tindakan yang perlu dilakukan
untuk mencegah kejadian jatuh pada pasien.
3.2 Gambaran 30 Pasien Dengan Gangguan Neurologis
Total jumlah kasus yang dikelola selama masa praktik residensi dengan gangguan
neurologis (lampiran 2) berjumlah 30 kasus dengan keterangan lengkap
karakteristik pasien berdasarkan diagnosa medis yang ditegakan pada pasien
dapat dilihat pada tabel 3.1. Pasien dengan gangguan neurologis diambil dari
kasus yang didapatkan di ruang gawat darurat, ruang perawatan intensif, ruang
rawat neurologi, dan ruang rawat bedah saraf. Kasus-kasus tersebut diataranya
adalah stroke hemoragik, stroke iskemik, miastenia gravis, Guillaine Bare
Syndrome (GBS) atau acute inflammatory demyelinating processi (AIDP),
chronic inflammatory demyelinating processi (CIDP), cedera kepala, Space
Occupying Lession (SOL), tumor medulla spinalis, enchepalophaty,
meningoenchepalitis, meningitis, status epileptikus, atrofi serebri, abses serebri,
dan post kraniektomi.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
54
Universitas Indonesia
Tabel 3.1 Karakteristik Pasien Resume Berdasarkan Diagnosa Medis
Diagnosa Medis
Uraian
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Stroke Hemoragik (SH) 3 10
Stroke Iskemik (SI) 10 33.33
Gangguan saraf tepi 5 16.67
Cedera Kepala 3 10
Keganasan 5 16.67
Infeksi 3 10
Bedah Saraf 1 3.33
JUMLAH 30 100
Angka prevalensi stroke di Indonesia diperkirakan sekitar 500.000 penduduk
setiap tahunnya dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya
mengalami cacat ringan atau berat (Yastroki, 2011). Berdasarkan tabel 3.1
diketahui bahwa diagnosa medis terbanyak yaitu kasus stroke iskemik (33.33%)
dan stroke hemoragik (10%) dengan total jumlah gangguan serebrovaskular
sebesar 43.33%. Hasil tersebut selaras dengan rekapitulasi kunjungan pasien di
ruang rawat neurologi Zona A RSCM terhitung selama bulan Januari hingga
bulan Maret 2017 dengan angka kunjungan pasien gangguan serebrovaskular
berkisar di angka 40 hingga 50 persen dari total kunjungan. Pada kasus SI terdapat
pasien yang juga disertai dengan kondisi kejang, atrofi serebri, dan ensepalopati.
Stroke sebagai gangguan serebrovaskular yang paling sering terjadi merupakan
salah satu dari penyebab kematian utama di dunia (Hickey, 2014). WHO juga
mencatat bahwa 15 juta penduduk di seluruh dunia terdiagnosa stroke dan 5 juta
diantaranya meninggal akibat stroke serta 5 juta lainnya mengalami kecacatan dan
menjadi beban bagi keluarga juga masyarakat. Berdasarkan angka statistik yang
dikeluarkan oleh WHO, kematian akibat stroke di Indonesia tercatat lebih dari
seratus ribu kematian dan terhitung sejak tahun 2002, 8 dari 1000 orang
mengalami kecacatan akibat stroke. Semakin meningkatnya faktor risiko seperti
kejadian merokok, angka kejadian Diabetes Mellitus serta gangguan pada sistem
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
55
Universitas Indonesia
kardiovaskular merupakan beberapa penyebab semakin meningkatnya angka
kejadian stroke dan angka burden akibat stroke semakin meningkat (Global
Burden Disease: Indonesia, 2010). Hal ini menjadi perhatian terutama bagi
perawat spesialis neurologi untuk memaksimalkan masa rehabilitasi pasien
sehingga pasien dapat beradaptasi dengan dampak yang ditimbulkan oleh
penyakit sehingga mampu beraktivitas secara optimal.
Diagnosa medis berikutnya adalah gangguan saraf tepi (16.67%) dan keganasan
(16.67%). Gangguan pada saraf tepi yang dikelola meliputi empat kasus miastenia
gravis (13.33%) dan satu kasus CIDP (3.33%). Kedua kasus gangguan saraf tepi
yang dikelola selama proses residensi merupakan gangguan autoimun. Kedua
kasus tersebut juga termasuk penyakit yang mematikan dengan karakter progresif
yaitu semakin lama seiring berjalannya waktu maka dampak yang ditimbulkan
penyakit akan semakin luas. Miastenia gravis sebagai salah satu kasus gangguan
saraf tepi tidak hanya memengaruhi aspek fisik seperti kelemahan pada otot
rangka namun juga mood pasien akan turut mengalami perubahan (Paul, Cohen,
Zawacki, Gilchrist, & Aloia, 2001). Fokus perawat selama masa perawatan
dengan kasus gangguan saraf tepi yakni mencegah terjadinya cedera serta
memaksimalkan kemampuan adaptasi dengan meminimalkan dampak negatif dari
stress fisik dan emosional dan meningkatkan emosi positif seperti harapan dan
juga kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimiliki oleh pasien (Hickey,
2014; Rosińczuk et al., 2015). Harapan bagi keperawatan kedepannya tidak hanya
berfokus pada kondisi fisik dari pasien namun juga memandang pasien sebagai
sistem holistik dengan aspek bio-psiko-sosio-spiritual.
Kasus keganasan meliputi empat kasus SOL (13.33%) dan satu buah kasus tumor
medulla spinalis (3.33%). Kasus keganasan pada sistem persarafan sendiri dapat
dibagi menjadi dua yakni tumor otak dan tumor medulla spinalis baik jinak
maupun malignan. Space Occupying Lession (SOL) sendiri merupakan bentuk
dari tumor otak. The Central Brain Tumor Registry of The United States dalam
Hickey (2014) memperkirakan penambahan jumlah kasus baru serta kematian
akibat tumor otak. Selaras dengan pernyataan tersebut Siegel, Miller, dan Jemal
(2016) memperkirakan peningkatan angka kejadian tumor otak sebesar empat
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
56
Universitas Indonesia
persen serta 4.7 persen kematian akibat tumor otak setiap tahunnya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa kecenderungan penambahan angka kejadian serta kematian
akibat tumor otak dikaitkan dengan perilaku berisiko terjadinya kanker atau
pemaparan terhadap zat-zat karsinogen. Hickey (2014) menyebutkan bahwa
manajemen asuhan keperawatan berfokus pada pemberian informasi yang adekuat
dengan harapan dapat meningkatkan koping adaptif pasien dalam menghadapi
realita dan kondisi sakitnya.
Kasus infeksi yang dikelola meliputi meningitis, meningoensepalitis, dan abses
serebri. Sedangkan kasus bedah saraf yang dikelola merupakan kasus post
kraniektomi yang penyebab awalnya adalah cedera kepala berat akibat kecelakaan
pada saat bekerja. Sedikitnya jumlah kasus infeksi serta bedah saraf tidak dapat
digeneralisir dengan total kunjungan di rumah sakit dikarenakan keterbatasan
penulis dalam pemilihan kasus kelolaan. Pada dasarnya, jumlah kunjungan pasien
dengan infeksi di Zona A Lantai 5 RSCM merupakan terbanyak setelah kasus
gangguan serebrovaskular yang mencapai angka 15-20% dari total kunjungan
setiap bulannya. Angka ini selaras dengan peningkatan kejadian kondisi
penurunan fungsi imun seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
memungkinkan pasien mengalami infeksi di sistem persarafan.
Tabel 3.2 Karakteristik 30 Pasien Resume
Karakteristik
Uraian
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Usia <20
20-29
30-39
40-49
50-59
≥60
1
4
5
8
3
9
3.3
13.3
16.7
26.7
10
30
Jenis Kelamin Laki-Laki
Perempuan
24
6
80
20
Tingkat Pendidikan SD
SMP
SMA
Diploma atau Sarjana
5
5
9
11
16.7
16.7
30
36.7
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
57
Universitas Indonesia
Pekerjaan Tidak Bekerja
Pelajar
Bekerja
9
2
19
30
6.7
63.3
Suku Jawa
Betawi
Sunda
Sumatra
17
7
2
4
56.7
23.3
6.7
13.4
Berdasarkan tabel 3.1 di atas diketahui bahwa dari total 30 kasus resume yang
dikelola selama proses residensi keperawatan sebagian besar merupakan geriatri
(30%) dan pada rentang usia produktif 40-49 tahun (26.7%). Pasien sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki yang mencapai 24 orang (80%) dan perempuan
sebanyak 6 orang (20%). Sebagian besar pasien memiliki status bekerja (63.3%)
baik sebagai karyawan swasta maupun pegawai negeri. Sejumlah pasien tidak
bekerja (30%) dikarenakan lanjut usia maupun tidak memungkinkan bekerja
dikarenakan kondisi penyakitnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pada pasien dengan gangguan neurologi seringkali mengalami gejala fisik
yang menghambat individu tersebut dalam beraktivitas. Hal ini akan berdampak
pada produktivitas dari pasien terutama bagi pasien yang berjenis kelamin laki-
laki dikarenakan kewajibannya dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Maka
dari itu, dibutuhkan suatu sistem yang memungkinkan pasien dalam
mempertahankan produktivitas dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya.
Kemampuan adaptasi pasien dan keluarga terhadap perubahan status kesehatan
merupakan suatu poin yang harus menjadi perhatian perawat.
Tingkat pendidikan pasien sebagian besar adalah pendidikan diploma atau sarjana
(36,7%). Berdasarkan suku bangsa dari pasien, sebagian besar bersuku Jawa
sebanyak 17 pasien (56,7%). Tingginya tingkat pendidikan pasien tentunya
memudahkan perawat khususnya dalam penyampaian edukasi baik terkait
prosedur tindakan maupun kondisi kesehatan pasien. Namun hal tersebut juga
akan menjadi tantangan bagi tim perawat dikarenakan semakin tingginya tingkat
pendidikan seseorang maka pemikiran kritis serta rasa ingin tahu seseorang akan
bertambah. Tantangan tersebut dapat terjadi dikarenakan keberagaman suku
bangsa dari pasien, sehingga perawat dituntut untuk mampu memandang pasien
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
58
Universitas Indonesia
sebagai individu yang unik tanpa membedakan suku bangsa. Selain itu, perawat
diharuskan untuk benar-benar menguasi materi edukasi serta kondisi klinis dari
pasien. Hal ini memerlukan usaha lebih dari tim manajemen dengan melakukan
peningkatan kualitas dari tim keperawatan seperti pemberian pelatihan maupun
sharing informasi lewat program journal reading maupun studi kasus. Selain akan
berguna dalam proses perawatan juga akan meningkatkan kepercayaan diri dari
perawat dalam berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain.
Tabel 3.3 Karakteristik Pasien Resume Berdasarkan Diagnosa Keperawatan No
Kasus
Nomor Diagnosa Keperawatan*
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 x x
2 x x x
3 x x x
4 x x
5 x x x
6 x x x x
7 x x x x x
8 x x x x
9 x x x
10 x x x
11 x x x
12 x x
13 x x x
14 x x
15 x x x x
16 x x
17 x x x
18 x x x
19 x x x
20 x x
21 x x
22 x x
23 x x
24 x x x
25 x x x
26 x x
27 x x
28 x x
29 x x
30 x x
Jumlah 2 9 8 15 2 3 7 6 1 17 3 1 2 1 3 1
*1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas 2) Gangguan pola nafas 3) Resiko Ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral 4) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial 5) Gangguan menelan 6)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
59
Universitas Indonesia
Ketidakseimbangan kadar glukosa dalam darah 7) Kerusakan integritas kulit 8) Nyeri 9) Gangguan
persepsi sensori 10) Kerusakan mobilitas fisik, 11) Resiko jatuh 12) Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh 13) Hipertermia 14) Ketidakseimbangan cairan tubuh 15) Gangguan ventilasi spontan 16)
Gangguan komunikasi verbal
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gangguan neurologi
selama masa perawatan berbeda-beda tergantung pada jenis masalah yang terjadi
serta letak dari masalah. Berdasarkan tabel 3.3 diketahui bahwa 3 diagnosa
keperawatan yang paling sering muncul pada pasien dengan gangguan neurologi
diantaranya kerusakan mobilisasi fisik, penurunan kapasitas adaptif intrakranial,
dan gangguan pola napas. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik (2016) yang telah ditetapkan oleh Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) mendifinisikan diagnosis keperawatan gangguan
mobilitas fisik sebagai keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri. Gangguan mobilitas mungkin hanya terjadi pada salah
satu ekstremitas saja sehingga pasien tidak dapat bergerak yang mengakibatkan
terjadi imobilisasi dan kecacatan (Black & Hawks, 2014).
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa kecacatan tertinggi yang terjadi
di Indonesia pun diakibatkan oleh gangguan mobilisasi yang dialami oleh pasien
(Global Burden Disease: Indonesia, 2010). Spastisitas yang muncul pada
hemiparesis dikaitkan dengan gangguan neuron motorik atas yang mengakibatkan
memburuknya fungsi motorik anggota badan parese, yang lebih lanjut akan
mengarah ke kelemahan motorik, kekakuan, nyeri, dan deformitas anggota badan
yang terkena. Selain itu dapat memicu nyeri yang akan menimbulkan keterbatasan
gerakan, cedera jaringan neurovaskular, tidak dapat menjaga keseimbangan, tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan menurunkan fungsi tangan efektif serta
memperburuk prognosis (Harpreet et al., 2014; McKenzie et al., 2008; Yamada et
al., 2014). Selain spastisitas, pasien dengan gangguan mobilisasi memiliki
kemungkinan yang besar mengalami deformitas, osteoporosis, kontraktur, serta
atrofi otot.
Hickey (2014) dalam bukunya menyebutkan positioning, side-lying position,
balancing, program latihan fisik, serta latihan rentang gerak dapat dilakukan
dalam mengatasi masalah mobilisasi pada pasien dengan gangguan mobilisasi.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
60
Universitas Indonesia
Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan timbulnya komplikasi
seperti ulkus dekubitus dan spastisitas pada pasien dengan tirah baring lama serta
memaksimalkan kemampuan gerak pasien. Selain itu, ambulasi pada pasien
dengan gangguan mobilisasi seperti hemiplegi atau paraplegi membutuhkan
perhatian dari perawat agak tidak mencederai baik pasien, care giver, maupun
tenaga kesehatan yang membantu. Sebagai perencanaan pulang, perawat dituntut
mampu memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pentingnya latihan serta
meningkatkan motivasi pasien selama masa rehabilitasi untuk memaksimalkan
outcome.
Tabel 3.4 Gambaran Diagnosa Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan
Neurologi
Diagnosa Keperawatan Diagnosa Medis*
SOL CK SH SI ME MG
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas x
Gangguan pola nafas x x x
Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral x x
Penurunan kapasitas adaptif intrakranial x x x x x
Gangguan menelan x
Ketidakseimbangan kadar glukosa dalam darah x x x
Kerusakan integritas kulit x x x x x
Nyeri x x x x
Gangguan persepsi sensori x
Kerusakan mobilitas fisik x x x x x
Resiko jatuh x x
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh x
Hipertermia x
Ketidakseimbangan cairan tubuh x
Gangguan ventilasi spontan x
Gangguan komunikasi verbal x
*SOL: Space Occupying Lession (SOL), CK: Cedera Kepala, SH: Stroke Hemoragik, SI: Stroke
Iskemik, ME: Meningitis, MG: Miastenia Gravis
Berdasarkan tabel 3.4 diketahui bahwa pada pasien SOL ditemukan beberapa
diagnosa keperawatan diantaranya: penurunan kapasitas adaptif intracranial,
kerusakan integritas kulit, nyeri, kerusakan mobilitas fisik, nutrisi kurang dari
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
61
Universitas Indonesia
kebutuhan tubuh, hipertermia, dan ketidakseimbangan cairan tubuh. Penurunan
kapasitas adaptif intrakranial merupakan diagnosis keperawatan utama yang
terjadi pada pasien dengan gangguan SOL. Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik (2016) mendifinisikan penurunan
kapasitas adaptif intrakranial sebagai gangguan mekanisme dinamika intrakranial
dalam melakukan kompensasi terhadap stimulus yang dapat menurunkan
kapasitas intrakranial yang ditandai dengan munculnya nyeri kepala. Maka dari
itu, pada pasien dengan SOL seringkali ditemukan diagnosa Nyeri kronis yang
muncul sebagai manifestasi dari penekanan serabut sensorik nyeri akibat tumor di
ruang intra kranial.
Pada kasus trauma kepala diagnosa keperawatan yang muncul diantaranya
penurunan kapasitas adaptif intrakranial, kerusakan integritas kulit, nyeri, dan
gangguan ventilasi spontan. Dua dari tiga kasus cedera kepala yang dikelola
selama program residensi merupakan cedera kepala berat dengan disertai
penurunan kesadaran dan menurunnya kemampuan pasien untuk bernapas
spontan. Berdasarkan kondisi tersebut, dua diagnosis keperawatan utama yang
ditegakan adalah penurunan kapasitas adaptasi intrakranial dan gangguan
ventilasi spontan. Diagnosis gangguan ventilasi spontan ditegakan dikarenakan
munculnya beberapa atau seluruh manifestasi menurunnya fungsi pernapasan
berupa menurunnya volume tidal, PCO2 meningkat, adanya penggunaan otot
bantu napas, PO2 menurun, serta menurunnya saturasi oksigen pada pasien
(Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik,
2016).
Sedangkan pada kasus stroke hemoragik ditemukan diagnosa keperawatan
gangguan pola napas, resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral,
penurunan kapasitas adaptif intrakranial, kerusakan integritas kulit, nyeri, dan
gangguan ventilasi spontan. Pada pasien stroke iskemik ditemukan beberapa
diagnosa keperawatan diantaranya: ketidakefektifan bersihan jalan napas,
gangguan pola napas, resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral,
penurunan kapasitas adaptif intrakranial, gangguan menelan, ketidakseimbangan
kadar glukosa darah, kerusakan integritas kulit, kerusakan mobilitas fisik, dan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
62
Universitas Indonesia
gangguan komunikasi verbal. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus
infeksi (meningitis) diantaranya penurunan kapasitas adaptif intracranial,
ketidakseimbangan kadar gula darah, nyeri, dan risiko jatuh. Sedangkan pada
kasus miastenia gravis diagnosa keperawatan diagnosa keperawatan yang
muncul diantaranya gangguan pola napas, kerusakan integritas kulit, gangguan
persepsi sensori, kerusakan mobilitas fisik, dan risiko jatuh.
Berdasarkan data pada tabel 3.4 juga diketahui bahwa diagnosis keperawatan
penurunan kapasitas adaptif intrakranial, kerusakan mobilitas fisik, serta
kerusakan integritas kulit merupakan merupakan diagnosis yang muncul hampir
pada semua gangguan neurologi. Apabila dilakukan analisis berdasarkan data
yang ada maka ketiga diagnosis keperawatan tersebut dapat diangkat secara
secara berurutan dimulai dari penurunan kapasitas adaptif intrakranial. Pada
umunya pasien dengan diagnosis tersebut akan mengalami peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. Pasien dengan
penurunan akan mengalami hambatan dalam mobilisasi yang mengarah
ditegakannya hambatan mobilitas fisik. Selain dikarenakan penurunan
kesadaran, hambatan mobilitas fisik pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial dapat terjadi dikarenakan rusaknya jaras saraf motorik sehingga
kemampuan mobilisasi pasien akan menurun. Kondisi tersebut disertai
perawatan yang tidak maksimal akan menimbulkan masalah baru yaitu
kerusakan integritas kulit ditandai dengan munculnya ulkus dekubitus pada
pasien.
Maka dari itu, fokus perawatan pada pasien dengan gangguan neurologi yaitu
mempertahankan perfusi serebral yang adekuat dengan tetap mempertahankan
tekanan intrakranial pasien. Outcome yang diharapkan yakni menurunnya tanda-
tanda penurunan tekanan intrakranial pada pasien. Selain itu yang harus menjadi
perhatian dari perawat adalah meminimalisir terjadinya komplikasi pada pasien
neurologi seperti spasme, kontraktur, ulkus dekubitus, serta kejadian aspirasi.
Selama pelaksanaan asuhan keperawatan pada 30 kasus gangguan neurologi
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Berdasarkan keseluruhan kasus,
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
63
Universitas Indonesia
pasien sebagian besar berada pada level adaptasi compromised dan juga beberapa
pasien menunjukan perilaku mal adaptif.
3.3 Evidence Based Nursing (EBN): Penerapan The Functional Oral Intake
Scale (FOIS) pada Pasien dengan Gangguan Neurologis
3.3.1 Analisis PICO
Pada penerapan EBN ini patient problem (P: Problem) yang terjadi adalah pasien
dengan gangguan neurologis yang terpasang mengalami disfagia dan terpasang
NGT belum dilakukan evaluasi kemampuan makan dan belum dilakukan sesuai
evidence. Intervensi (I: Intervention) yang akan dilakukan adalah penggunaan The
Functional Oral Intake Scale (FOIS) untuk mengevaluasi kemampuan makan
pada pasien. Penerapan FOIS akan dibandingkan dengan evaluasi kemampuan
makan pasien yang dilakukan perawat ruangan dengan acuan berdasarkan Massey
Bedside Swallowing Screen (C: Control). Hasil dari penerapan EBN ini
diharapkan dapat mencegah kejadian pneumonia aspirasi. Berdasarkan hal
tersebut, maka penulis ingin melakukan penerapan Evidence Based mengenai
format The Functional Oral Intake Scale (FOIS) sebagai bentuk evaluasi pada
pasien dengan disfagia (O: Outcome).
Pasien dengan gangguan neurologi seringkali mengalami penurunan kemampuan
menelan sehingga mempengaruhi kemampuan makan dan berisiko tinggi
mengalami pneumonia akibat aspirasi. Menelan merupakan proses kompleks
dimulai dari ingesti makanan baik dalam bentuk solid maupun cairan dengan tetap
mempertahankan jalan napas (Hickey, 2014). Disfagia atau gangguan menelan
terjadi pada 30-50% pada pasien sadar. Meskipun kesulitan menelan dapat
membaik secara bertahap tanpa pengobatan apapun secara cepat namun pada
sekitar kurang lebih 10% pasien stroke, masalah tetap bertahan selama enam
sampai sepuluh bulan setelah waktu kejadian serangan stroke. Akan tetapi, pasien
dengan disfagia berat dan menggunakan tubing merupakan salah satu predictor
atau indikator buruknya hasil perawatan dan dapat dihubungkan dengan tingginya
angka kejadian infeksi dada maupun kematian (Takahata et al., 2011). Tanpa
memperhitungkan konsistensi makanan baik padat maupun cair, proteksi dari
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
64
Universitas Indonesia
jalan napas merupakan hal yang penting untuk mencegah komplikasi aspirasi
(Hickey, 2014).
Kesulitan makan pada pasien stroke di pusat rehabilitasi mencapai angka 43% dan
66% pasien tetap memiliki kesulitan makan setelah enam bulan keluar dari pusat
layanan kesehatan (n=114). Feeding dependence atau ketergantungan pada proses
makan terjadi pada 36 sampai dengan 53% pasien stroke. Berdasarkan data
statistik jumlah kunjungan pasien dari bulan Januari sampai dengan Maret 2017
diketahui pasien dengan gangguan serebrovaskular menempati posisi terbanyak
dengan jumlah lebih dari 50 persen dari total jumlah kunjungan. Ditunjang hasil
observasi selama melakukan praktik ners spesialis di Zona A Lantai V RSCM
kurang lebih 6-15 pasien setiap harinya menggunakan selang nasogastric untuk
memenuhi kebutuhan dietnya.
Didukung dengan adanya artikel ilmiah yang menyebutkan pentingnya evaluasi
kemampuan makan pada pasien dengan gangguan neurologi, peneliti melakukan
pencarian jurnal terkait format evaluasi kemampuan makan. Berdasarkan hasil
pencarian jurnal diketahui bahwa The Functional Oral Intake Scale (FOIS) dapat
digunakan sebagai alat evaluasi pasien dengan gangguan menelan atau disfagia.
Penerapan format tersebut bertujuan untuk menentukan jenis diet bagi pasien,
kebutuhan pasien akan penggunaan selang nasogastric, serta mencegah terjadinya
pneumonia aspirasi.
3.3.2 Kritisi Jurnal
Strategi penelusuran yang digunakan yakni dengan menggunakan beberapa
journal database diantaranya proquest, ebscohost, sciencedirect, dan ncbi.
Strategi pencarian menggunakan kata kunci tunggal atau gabungan yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini. Artikel yang ditelusuri merupakan jurnal dalam
bahasa inggris.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
65
Universitas Indonesia
Tabel 3.5 Sumber Penelusuran Jurnal
No. Kata Kunci
Sumber Penelurusan
NCBI Ebscohost Proquest Science Direct
1. Functional
Oral Intake
Scale
Didapatkan 74
jurnal dengan
rentang tahun
2005-2017
Didapatkan 100
jurnal dengan
rentang tahun
2005-2017
Didapatkan 132
jurnal dengan
rentang tahun
1995-2017
Didapatkan 87
jurnal dengan
rentang tahun
2005-2017
2. Functional
Oral Intake
Scale;
dysphagia
Pencarian
dibatasi pada
sampel dewasa
dengan rentang
tahun 2014-
2017. Dilakukan
penyaringan
dengan
menggunakan
AND dysphagia.
Terdapat 2 buah
jurnal yang
relevan dengan
penerapan EBN
Penyaringan
dilakukan
dengan
menambah kata
kunci AND
dysphagia.
Pencarian
dibatasi untuk
sampel dewasa
dengan rentang
tahun 2005-
2017.
Lalu dilakukan
penyaringan
dengan
menggunakan
kata OR eating
difficulties
didapatkan 43
artikel.
Terdapat 5 buah
jurnal yang
relevan dengan
penerapan EBN
Dilakukan
penyaringan
dengan
menggunakan
AND dysphagia.
Pencarian
dibatasi untuk
sampel dewasa
dengan rentang
tahun 2005-
2017.
Terdapat 1 buah
jurnal yang
relevan dengan
penerapan EBN
Penyaringan
dilakukan
dengan
menambah
kata kunci
AND
dysphagia.
Pencarian
dibatasi untuk
sampel
dewasa
dengan
rentang tahun
2005-2017.
Terdapat 1
buah jurnal
yang relevan
dengan
penerapan
EBN
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, dipilih 9 jurnal yang relevan dengan
penerapan EBN. Berikutnya dipilih tiga (3) jurnal yang sesuai denga are EBN
yang akan dilakukan dan lima (5) jurnal pendukung. Kemudian diambil satu
(1) buah jurnal yang dijadikan rujukan utama dalam penerapan EBN sebagai
berikut:
1. “Initial Psychometric Assessment of a Functional Oral Intake Scale for
Dysphagia in Stroke Patients” (Crary et al., 2005), didapatkan dari jurnal
EBSCO pada tanggal 06 April 2017.
2. “Retrospective Ratings of 100 First Time-Documented Stroke Patients
on The Functional Oral Intake Scale” (McMicken et al., 2010),
didapatkan dari jurnal NCBI pada tanggal 06 April 2017.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
66
Universitas Indonesia
3. “Early Intervention to Promote Oral Feeding in Patients With
Intraserebral Hemorrhage: a Retrospective Cohort Study” (Takahata et
al., 2011), didapatkan dari jurnal Proquest pada tanggal 06 April 2017.
Jurnal pendukung:
1. National survey of the prevalence of swallowing difficulty and tube feeding
use as well as implementation of swallowing evaluation in long-term care
settings in Japan (Sugiyama et al., 2014)
2. Achieving eating independence in an acute stroke ward: developing a
collaborative care plan (Payne, Stagnitti, Hooke, & Hitch, 2015)
3. Detection of eating difficulties after stroke : a systematic review.
International Council of Nurses (Westergren, 2006)
4. Reliability and Validity of a Tool to Measure the Severity of Dysphagia:
The Food Intake Level Scale (Kunieda, Ohno, Fujishima, Hojo, & Morita,
2013)
5. Recognizing New Perspectives in Eating Difficulties Following Stroke: a
Concept Analysis (Klinke, Wilson, Hafsteinsdóttir, & Jónsdóttir, 2013)
6. Development of a new scale dor dysphagia in patients with progressive
neuromuscular disease: the neuromuscular disease swallowing status
scale (Wada & Kawakami, 2015)
Jurnal pendukung didapatkan pada jurnal Proquest EBSCO, cara
mendapatkannya dari perpustakaan Universitas Indonesia melalui situs
www.lib.ui.ac.id, kemudian memilih “online database list” dan memilih jurnal
internasional yang akan digunakan.
Artikel yang berjudul “Initial Psychometric Assessment of a Functional Oral
Intake Scale for Dysphagia in Stroke Patients” didapatkan dari jurnal EBSCO
pada tanggal 06 April 2017, yaitu sebuah jurnal yang secara khusus membahas
tentang validitas serta sensitivitas dari penggunaan The Functional Oral
Intake Scale dibandingkan dengan format pengakajian kemampuan makan
lainnya seperti The Functional Intake Level Scale. Artikel ini juga melibatkan
responden dengan jumlah yang cukup besar yakni 302 pasien. Selain itu pada
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
67
Universitas Indonesia
artikel lainnya dijelaskan mengenai penyebab serta hal-hal yang berkaitan
dengan gangguan makan pada pasien dengan stroke. Hal ini juga didukung
dengan penelitian lain pada jurnal yang berjudul Early Intervention to
Promote Oral Feeding in Patients With Intraserebral Hemorrhage: a
Retrospective Cohort Study. Artikel ini menjawab pertanyaan klinis yang
ditemukan peneliti selama melakukan praktik di ruang neurologi Zona A
Lantai V RSCM. Selama ini evaluasi pasien dengan gangguan makan terfokus
pada anamnesa dan observasi dengan panduan Massey Bedside Swallowing
Screen tanpa adanya form monitoring khusus terkait kemampuan makan pada
pasien dengan disfagia. Selama masa praktik ditemukan pasien dengan kondisi
yang kembali dirawat dalam kurun waktu 2 minggu setelah discharge disertai
perburukan dikarenakan pneumonia aspirasi, serta pasien ditemukan tersedak
ketika pemberian makan per oral. Berdasarkan data tersebut, dibutuhkan
format evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam evaluasi kemampuan
makan pada pasien serta membantu dalam kelengkapan dokumentasi perawat
di ruangan yang dapat menjadi salah satu indikator pemulihan pasien.
Penggunaan format evaluasi Functional Oral Intake Scale (FOIS) juga
dipandang sederhana dengan minimal training dan efektif dalam
mengevaluasi kemampuan makan pasien pada hasil penelitian yang berjudul
Retrospective Ratings of 100 First Time-Documented Stroke Patients on The
Functional Oral Intake Scale.
Berdasarkan 9 artikel yang dipilih untuk dimasukkan ke dalam proyek EBN, 3
merupakan penelitian retrospective. Ringkasan dari artikel-artikel yang
digunakan serta penilaian masing-masing jurnal dan penilaian masing-masing
disajikan pada tabel berikut yang menyediakan ringkasan dari penulis, tahun
publikasi, dan temuan kunci yang berkaitan dengan yang diusulkan proyek
EBN.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
68
Universitas Indonesia
3.6 Telaah Kritis Jurnal
Nama Penulis
dan Tahun
Terbit
Validitas Reliabilitas Applicability
Crary et al.
(2005) Melibatkan 302 pasien
stroke akut
Data demografi pasien
dilakukan pengukuran
serta pengukuran FOIS
dilakukan oleh
beberapa jenis tenaga
kesehatan diantaranya
dokter dan perawat
Follow up pasien
dilakukan pada
keseluruhan responden
serta disesuaikan
dengan tingkat
keparahan aspirasi
Kriteria hasil yang
dapat dilihat yakni
tingkat keparahan
aspirasi
Hasil setelah
pengulangan
didapatkan nilai
sentifitas yang baik
dari FOIS serta
format pengkajian
lain
Selain itu, selama
penelitian
berlangsung kejadian
aspirasi tidak terjadi
Penggunaan FOIS
sama dengan yang
akan dilakukan
pada program
EBN
Follow up yang
dilakukan oleh
peneliti selama 1
bulan dan 6 bulan
post stroke akut
Hasil penelitian
dapat diterapkan
di ruang rawat
inap neurologi
Gedung A RSCM
zona A
McMicken et
al. (2010) Melibatkan 100
dokumentasi pasien
dengan gangguan
menelan
Homogenitas data
demografi tidak
tergambarkan
Follow up pasien
dilakukan pada
keseluruhan responden
Kriteria hasil yang
dapat dilihat yakni
perbandingan nilai
inter rater reliability
dengan format
pengkajian The
Functional Assessment
Measure (FAM)
Hasil setelah
pengulangan
didapatkan perubahan
nilai FOIS dan FAM
antara saat pasien
baru masuk dan
setelah pasien
discharge
Selain itu, selama
penelitian
berlangsung kejadian
aspirasi tidak terjadi
Penggunaan FOIS
sama dengan yang
akan dilakukan
pada program
EBN
Follow up yang
dilakukan oleh
peneliti selama
pasien
dilaksanakan
rawat inap
Hasil penelitian
dapat diterapkan
di ruang rawat
inap neurologi
Gedung A RSCM
zona A
Takahata et al.
(2011) Melibatkan 219 pasien
Intracerebral
Hemorrhage (ICH)
Homogenitas data
dilakukan untuk data
demografi seperti usia,
jenis kelamin, tingkat
kesadaran, serta
karakteristik
perdarahan
Follow up pasien
dilakukan pada
keseluruhan responden
Hasil setelah
pengulangan
didapatkan nilai
sentifitas yang baik
dari FOIS
Selain itu, selama
penelitian
berlangsung terjadi 2
kejadian fatal yakni 1
pasien meninggal
dikarenakan
pneumonia dan yang
lainnya meninggal
Penggunaan FOIS
sama dengan yang
akan dilakukan
pada program
EBN
Follow up yang
dilakukan oleh
peneliti selama 3
tahun terhitung
sejak 2004-2007
Hasil penelitian
dapat diterapkan
di ruang rawat
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
69
Universitas Indonesia
serta disesuaikan
dengan status nutrisi
Kriteria hasil yang
dapat dilihat yakni
kejadian aspirasi serta
waktu pasien untuk
memulai diet per oral
dikarenakan rupture
aneurysma
inap neurologi
Gedung A RSCM
zona A namun
dengan
pengawasan
dikarenakan
kejadian pasien
meninggal
dikarenakan
aspirasi (tidak
diketahui akibat
aspirasi atau
bukan)
3.4 Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian Keperawatan Tambahan
pada Pasien dengan Gangguan Neurologi
3.4.1 Analisis SWOT
Program inovasi pengunaan screening tools pada pasien neurologi akan
dilaksanakan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Adapun pendekatan analisis
situasi pada program inovasi pengunaan screening tools pada pasien neurologi ini
menggunakan analisis Strength, Weakness, Oppurtunities, Threats (SWOT)
sebagai berikut:
1. Strength (Kekuatan)
Kekuatan dalam program inovasi yang akan dilaksanakan di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta antara lain:
a. Ruangan neurologi zona A lt. 5 merupakan ruang rawat inap khusus
neurologi dengan sebaran berbagai kasus neurologi meliputi trauma,
infeksi, CVD, onkologi dan autoimun. Dengan demikian ideal luntuk
menerapkan screening tools yang ditujukan pada kasus neurologi.
b. Sumber daya ruangan memiliki jumlah tenaga perawat 28 orang, dengan
perbandingan 1 perawat: 6 orang pasien
c. Screenig tools bersifat sederhana dan mudah digunakan tanpa
mengharuskan keterampilan khusus.
d. Pelayanan keperawatan di RSCM telah memisahkan antara head nurse dan
head officer. Hal ini memudahkan koordinasi dan evaluasi pelayanan
keperawatan yang dilakukan, termasuk dalam hal menerapkan hal-hal baru
dalam pengembangan keperawatan neurologi di ruangan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
70
Universitas Indonesia
e. RS Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit pemerintah rujukan
nasional dengan fasilitas serta sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas se-Indonesia.
f. RS Cipto Mangunkusumo selain sebagai rujukan nasional terkait kasus-
kasus yang kompleks namun juga sebagai rumah sakit pendidikan dan
penelitian, memiliki tenaga ahli dan clinical instructor (CI) yang
kompeten di bidangnya serta fasilitas yang memadai dalam hal
pelaksanaan proses pendidikan dan penelitian.
g. RS Cipto Mangunkusumo secara berkala mengadakan pelatihan in house
training untuk staf pelaksana keperawaran secara rutin, selain itu RS Cipto
Mangunkusumo juga memfasilitasi pengembangan staf melalui event
seminar/workshop baik skala nasional maupun internasional.
h. RS Cipto Mangunkusumo memiliki staf medis dengan level konsultan dan
tenaga perawat neuroscience yang sudah terlatih dan terdaftar dalam
himpunan perawat neuroscience Indonesia (HIPENI).
i. Perawat neuroscience di RS Cipto Mangunkusumo berkonsentrasi dalam
pengembangan neuroscience dengan ikut serta baik sebagai pengisi acara
maupun peserta terkait pelatihan-pelatihan dalam bidang neuroscience.
j. RS Cipto Mangunkusumo memberikan dukungan pada staf keperawatan
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 dan S2.
2. Weakness (Kelemahan)
a. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan diperoleh bahwa
perawat menilai format pengkajian yang ada di ruangan sudah cukup
mewakili kebutuhan pengkajian kasus neurologi.
b. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya
diketahui bahwa perawat menilai tidak ada lagi format pengkajian yang
perlu untuk ditambahkan pada format pengkajian yang sudah ada
c. Format pengkajian yang digunakan ruangan bersifat umum dan tidak
mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada pasien
neurologi.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
71
Universitas Indonesia
d. Sebagian besar perawat baik PP maupun PA (perawat associate) memiliki
jenjang pendidikan D3 (hanya ada 1 orang PA yang lulus ners dan 2 orang
S.Kep).
e. RS Cipto Mangunkusumo belum memiliki ners spesialis neurologis.
3. Oppurtunities (Kesempatan)
a. Mahasiswa residensi keperawatan yang sedang menjalani praktik di RS
Cipto Mangunkusumo memiliki program inovasi keperawatan dalam
kurikulum pendidikan sehingga dapat menerapkan ide-ide baru yang dapat
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.
b. Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan beberapa PP dan PA di
ruang neurologis lantai V gedung A RS Cipto Mangunkusumo, diketahui
bahwa pihak rumah sakit bersedia untuk menerima informasi baru terkait
penerapan screening tools pada kasus-kasus neurologi.
4. Threats (Ancaman)
a. Berbagai rumah sakit di luar RS Cipto Mangunkusumo sudah menjalani
berbagai program akreditasi yang juga dijalani oleh RSCM sehingga akan
mendorong pihak rumah sakit lainnya untuk terus juga meningkatkan
sistem pelayanan termasuk pada kasus neurologi.
3.4.2 Studi Pustaka Proyek Inovasi
3.4.2.1 Pengkajian National Institute Health Stroke Scale (NIHSS)
WHO (2008) mendefenisikan stroke sebagai gangguan saraf yang menetap baik
fokal maupun global (menyeluruh) yang disebabkan gangguan aliran darah diotak,
yang mengakibatkan kerusakan pembuluh darah di otak, yang berlagsung selama
24 jam atau lebih. Pemeriksaan neurologis dalam penanganan kegawatdaruratan,
termasuk kasus stroke iskemik, haruslah cepat, tepat dan menyeluruh. Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan skala atau sistem skoring yang formal
seperti National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS). NIHSS tidak hanya
menilai derajat defisisit neurologis, tetapi juga memfasilitasi komunikasi antar
pasien dan tenaga medis, mengidentifikasi kemungkinan sumbatan pembuluh
darah, menentukan prognosis awal dan komplikasi serta menentukan intervensi
yag diperlukan. Skor NIHSS < 20 mengindikasikan stroke dalam tingkat ringan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
72
Universitas Indonesia
sampai sedang. Skor NIHSS ≥ 20 mengindikasikan stroke dalam tingkat yang
parah. (Adam, dkk., 2003).
Komponen NIHSS berdasarkan uji interrater reliability mendekati sempurna
(r²=0,98, p<0,001) dan NIHSS score juga menunjukkan baik (r²=0,94, p<0,001)
dan tidak menunjukkan adanya bias (Linda S., et al, 2000). Penilaian NIHSS
memiliki korelasi yang baik dengan dalam mengukur atau memprediksi tingkat
keparahan dari stroke. (Yaghi, S., et. All, 2016). NIHSS merupakan predictor
yang kuat untuk menilai disabilitas, dan prediksi untuk angka kematian setelah
perdarahan intracerebral, jika dibandingkan dengan Intracerebral Haemoragic
Score (ICHS) dan GCS. Sehingga diharapkan pengkajian NIHSS rutin dilakukan
dan didokumentasikan untuk melihat perkembangan pasien ICH (Kazaryan S., et
all, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Budiyono (2010) untuk melihat
hubungan derajat berat stroke non hemoragik dengan pecapaian Activity Daily
Living (ADL) menunjukkan subyek penelitian skor NIHSS sangat ringan
mempunyai peluang perbaikan ADL lebih baik dan berbeda bermakna dibanding
skor NIHSS sedang- berat.
3.4.2.2 Pengkajian Keperawatan Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk mekanisme perlindungan ketika terjadinya
kerusakan jaringan yang pada hasil akhirnya menimbulkan stimulus nyeri
(Guyton & Hall, 2006). International Association for the Study of Pain dalam
Usman (2009) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensoris dan emosional
yang tidak menyenangkan dari kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial
dari seorang individu. Nyeri pada pasien tidak hanya disebabkan oleh penyakit
yang diderita maupun status penyakitnya, nyeri dapat pula disebabkan oleh
prosedur lain seperti suctioning maupun perubahan posisi (Rahu et al., 2015).
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) mengklasifikan nyeri
sebagai diagnosa keperawatan aktual yang terbagi menjadi dua yakni nyeri akut
dan nyeri kronik yang dibatasi oleh kondisi klinis tertentu (NANDA, 2014). Pada
pelaksanaan pengkajian nyeri, perawat dituntut untuk mengetahui tiga (3) elemen
diantaranya: kualitas atau gambaran dari nyeri, kuantitas atau tingkat keparahan
nyeri, dan lokasi dari nyeri. Berhubungan dengan nyeri yang merupakan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
73
Universitas Indonesia
pengalaman subjektif dari seorang individu maka cara untuk mengetahui dan
memahami nyeri yang dialami oleh pasien adalah dengan menanyakan langsung
kepada pasien tentang nyeri yang dirasakannya (Woodward & Mestecky, 2011).
Rahu et al (2015) menyebutkan bahwa kemampuan dalam mengkaji dan
mendokumentasikan nyeri pasien berhubungan langsung dengan kemampuan
dalam mengelola nyeri itu sendiri. Sehingga memiliki tools yang valid serta
reliabel dalam mengkaji nyeri tidak hanya pada pasien yang mampu melaporkan
nyerinya namun juga pada pasien-pasien yang mengalami penurunan kesadaran,
terintubasi, maupun yang berada di bawah pengaruh sedasi merupakan hal yang
penting bagi tenaga kesehatan.
Saat ini terdapat berbagai macam tools atau format pengkajian nyeri yang telah
valid dan reliabel untuk digunakan seperti Visual Analog Scale (VAS) dan
Numerical Rating Scale (NRS) (Woodward & Mestecky, 2011). Self-report
merupakan indikator nyeri terbaik yang dapat didapatkan dalam tahap pengkajian,
namun nyeri lebih sulit dikaji pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi,
dibawah pengaruh sedasi, maupun terintubasi sehingga tidak mampu melaporkan
nyeri yang dirasakannya (Rahu et al., 2015).
Pengkajian nyeri terhadap pasien dengan penurunan kesadaran merupakan suatu
kegiatan yang kompleks dikarenakan ketidakmampuan pasien untuk
berkomunikasi (Woodward & Mestecky, 2011). Perawat seringkali berpatokan
pada indikator fisik dan penilaian intuisi dari perawat yang bersangkutan. Hal ini
akan berpengaruh pada tingkat validitas dari data yang dihasilkan pada
pengkajian. Maka dari itu, tools telah dikembangkan untuk memfasilitasi perawat
dalam mengkaji nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran diantaranya
Behavioural Pain Scale (BPS), Critical Care Pain Observation Tool (CCPOT),
dan Non-Verbal Pain Scale (NVPS) (Woodward & Mestecky, 2011). Schafheutle
et al (2004) dalam Woodward dan Mestecky (2011) menyebutkan bahwa perawat
seringkali menganggap ringan masalah nyeri pada pasien sehingga gagal dalam
mengkaji nyeri secara berkala dan menangani nyeri itu sendiri.
Pada penelitian yang membandingkan enam (6) format pengkajian nyeri
diantaranya Adult Non Verbal Pain Scale (ANVPS), BPS, COMFORT Scale,
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
74
Universitas Indonesia
Face, Legs, Activity, Cry, and Consolability (FLACC), Pain Assessment
Behavioural Scale (PABS) didapatkan hasil bahwa ANVPS memiliki nilai
validitas tertinggi dalam mengkaji pasien-pasien yang tidak mampu melaporkan
nyerinya dengan menggunakan NRS (r: 0,86, p<0,01). Pada penelitian tersebut
ANVPS dibandingkan dengan FLACC yang telah dimodifikasi untuk populasi
dewasa dan valid selama periode istirahat, perubahan posisi maupun saat
suctioning (Rahu et al., 2015).
NVPS merupakan hasil adaptasi dari FLACC sehingga dapat digunakan pada
populasi dewasa yang tersusun atas 3 (tiga) domain perilaku (face, movement,
guarding) dan 2 (dua) domain fisik (tanda vital serta pernapasan) (Odhner,
Wegman, Freeland, Steinmetz, & Ingersoll, 2003). NVPS sama dengan NRS
memiliki rentang dari 0-10, semakin tinggi nilai maka semakin tinggi intensitas
nyeri yang dirasakan pasien (Cade, 2008). Pada penelitian yang lain yang
membandingkan 5 buah format pengkajian nyeri pada pasien dengan penyakit
kritis diketahui bahwa NVPS mudah untuk diaplikasikan karena tidak
membutuhkan instruksi maupun alat bantu lain (Pudas-tahka, Axelin, Aantaa,
Lund, & Salantera, 2009).
3.4.2.3 Penggunaan format screening tools gangguan tidur (insomnia)
Insomnia adalah gangguan jumlah dan kualitas tidur yang mengganggu fungsi
tubuh (Black & Hawks, 2014). International Classification of Sleep Disorder
(ICSD) tahun 2001 mengelompokkan insomnia menjadi tiga (3) yaitu ringan,
sedang dan berat. Insomnia ringan menggambarkan suatu kondisi keluhan
gangguan jumlah tidur dan perasaan tidak nyaman saat bangun tidur yang dialami
seseorang yang tidak menimbulkan dampak atau bersifat minimal terhadap fungsi
kerja dan sosialnya. Insomnia sedang menimbulkan dampak yang bersifat ringan
sampai dengan sedang terhadap fungsi kerja dan sosial seseorang. Insomnia berat
menimbulkan dampak kerusakan berat terhadap fungsi kerja dan sosial
seseorang. Dampak yang muncul akibat insomnia meliputi gelisah, cemas,
kelelahan dan kelemahan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
75
Universitas Indonesia
ICSD (2001) mengelompokkan insomnia idiopatik dan insomnia psikofisiologis
ke dalam kategori disomnia dengan gangguan tidur intrinsik. Insomnia idiopatik
merupakan ketidakmampuan jangka panjang mendapatkan tidur adekuat yang
diakibatkan adanya kontrol neurologis abnormal sistem tidur bangun. Insomnia
psikofisiologis merupakan gangguan tidur yang berhubungan dengan tekanan
somatis dan upaya pencegahan tidur sehingga terjadi penurunan fungsi saat
terjaga.
International Classification of Sleep Disorder (2001) menyebutkan insomnia
psikofisiologis dapat dilatarbelakangi oleh dua penyebab yaitu tekanan somatis
(somatized tension) dan upaya pencegahan tidur (learned sleep-preventing
associations). Tekanan somatis berhubungan dengan kecemasan dan kegelisahan
yang dialami seseorang sehingga berdampak terhadap peningkatan kerja saraf
simpatis seperti peningkatan tekanan otot, vasokontriksi dan lain-lain. Sedangkan
learned sleep-preventing associationsberkaitan dengan respon terhadap kognitif
internal dan stimulus eksternal yang dapat mengganggu tidur seseorang. Dengan
kata lain, kondisi learned sleep-preventing associationsmemperberat tekanan
somatis yang dialami seseorang sehingga menyebabkan insomnia.
Berdasarkan waktunya, insomnia dapat bersifat akut dan kronik. Insomnia akut
terjadi bila gangguan tidur terjadi beberapa hari sampai minggu. Bila insomnia
terus berlanjut mencapai bulan maka dikatakan sebagai insomnia kronik.
International Classification of Sleep Disorder/ ICSD (2001) memberikan batas
waktu insomnia akut meliputi beberapa hari sampai empat minggu, insomnia sub
akut meliputi empat minggu sampai kurang dari enam bulan sedangkan insomnia
kronik bila melebihi enam bulan. Kozier and Erb’s (2008) menyebutkan bahwa
istilah insomnia kronik intermiten yang menggambarkan kondisi insomnia yang
terjadi beberapa malam kemudian diikuti tidur adekuat beberapa malam.
Chiu HY et al (2016) menyebutkan pengkajian insomnia bersifat muldidimensi
termasuk evaluasi klinis dan kuesioner self-report. Penggunaan kuesioner yang
sering digunakan antara lain indeks derajat insomnia (The Insomnia Severity
Index), indeks kualitas tidur Pittsburgh (the Pittsburgh Sleep Quality Index) dan
Skala Insomnia Atena (The Athens Insomnia Scale). Indeks derajat insomnia (ISI)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
76
Universitas Indonesia
merupakan instrumen yang yang dirancang untuk mengkaji tingkat atau derajat
insomnia. ISI terdiri dari 7 pertanyaan meliputi sifat, derajat dan dampak
insomnia. Pertanyaan ISI menggunakan skala Likert dengan rentang total skore 0-
28. Hasil jumlah skor merefleksikan derajat insomnia yaitu rentang 0-7
menandakan tidak ada insomnia, 8-14 menandakan insomnia ringan, 15-21
menandakan insomnia sedang dan rentang 22-28 menandakan insomnia
berat.Morin et al (2011) melakukan uji validitas ISI dengan melibatkan 959 orang
partisipan dan medapatkan hasil alpha cronbach 0,90 dan 0,91. Nilai sensitivitas
86,1% dan spesifisitas 87,7% sehingga ISI dinyatakan valid dan reliabel untuk
mendeteksi insomnia.
3.4.2.4 Penggunaan format screening tools gangguan komunikasi (Afasia)
Afasia adalah gangguan bahasa yang mempengaruhi produksi atau pemahaman
bicara dan kemampuan untuk membaca ataupun menulis. Umumnya afasia
terjadi karena adanya cedera otak yang disebabkan oleh stroke, tumor otak,
trauma kepala ataupun infeksi . Pada dasarnya hemisfer kiri pada lobus temporal
atau parietal merupakan pusat pengatur bahasa sehingga adanya kerusakan pada
lobus tersebut yaitu pada area broca, wernicke atau penghubung antara keduanya
menyebabkan terjadinya gangguan berbahasa (Thompson & McKeever, 2014).
Berbagai macam tes afasia dapat digunakan untuk pengkajian awal yang adekuat
untuk mendukung observasi klinis sehingga dapat membantu dalam proses
penegakkan diagnosa keperawatan. Terdapat dua instrumen untuk mendeteksi
afasia yaitu Frenchay Aphasia Screening Test (FAST) dan Uleevaal Screening
Test (UAS). Namun dalam penggunaanya, FAST lebih sering digunakan
dibandingkan dengan UAS. Instrumen FAST terdiri dari 18 item yang mengkaji
empat aspek bahasa yaitu pemahaman, ekspresi verbal, membaca dan menulis
dengan rentang skor 0-30. Pasien dikatakan afasia jika skor yang diperoleh < 27
dengan usia diatas 60 tahun atau < 25 dengan usia dibawah 60 tahun (El Hachioui
et al., 2016; Salter, Jutai, Foley, Hellings, & Teasell, 2006).
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
77
Universitas Indonesia
Berdasarkan systematic review Salter et al (2006), instrumen FAST baik
digunakan untuk mendeteksi afasia ditandai dengan beberapa kelebihan dan
kekurangan yaitu:
a. Kelebihan instrumen FAST
1. Instrumen FAST dapat digunakan dan dikembangkan oleh non spesialis
yaitu staf medikal junior, perawat dan terapis dalam mengidentifikasi
adanya gangguan bahasa
2. Tes menggunakan FAST sangat sederhana, metodenya cepat dan singkat
hanya memerlukan waktu 3-10 menit sehingga sangat tepat digunakan
pada pasien yang tidak bertoleransi dengan waktu pengkajian yang lama
3. Instrumen FAST dapat digunakan untuk mengkaji pasien dalam fase akut
dan pasca akut stroke
4. Instrumen FAST mengkaji aspek bahasa secara holistik yaitu
pemahaman,ekspresi verbal.membaca dan menulis
5. FAST menunjukkan sensivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80%
dibandingkan dengan instrumen UAS. Validitas FAST terhadap
Functional Communication Profile (FCP) adalah baik dengan korelasi
koefisien 0,87 ( p<0,001) dan realibilitas dengan koefisien kendall’s
adalah 0,97.
b. Kekurangan instrumen FAST
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tes FAST menjadi bias yaitu
gangguan lapang pandang, gangguan visual, pasien bingung, dan pasien
kurang konsentrasi.
Beberapa instrumen lain dalam mendeteksi afasia yang juga digunakan di klinik
yaitu token Test (TT) dengan jumlah 21 soal yang memerlukan waktu 20-30
menituntuk mengisi seluruh instrumeen, Boston Diagnostic Aphasia Examination
(BDAE) dengan jumlah 27 soal dan memerlukan satu hingga tiga jam dalam
menyelesaikan pengisian instrumen, Minnesota Test for Differential Diagnosis Of
Aphasia (MTDDA) yang memerlukan 45 menit dalam mengisi instrumen. Rata-
rata tes ini memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 20 menit hingga 3 jam
sehingga tidak tepat untuk digunakan pada pasien yang tidak toleransi dengan
waktu yang lama (Browndyke, 2002)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
78
Universitas Indonesia
3.4.2.5 Penggunaan format screening tools gangguan mobilisasi (kekuatan
otot dan rentang gerak)
Mobilitas adalah kemampuan seseorang untuk bergerak bebas dan teratur untuk
memenuhi kebutuhan sehat menuju kemandirian sedangkan imobilisasi mengacu
pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak bebas (Potter & Perry, 2005).
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, kesehatan, dan
memperlambat proses degeneratif (Mubarak dan Chayatin, 2007).
Terdapat dua jenis mobilisasi menurut Hidayat (2009), yaitu :
a. Mobilisasi sebagian (temporer)
Mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
batasan jelas dan tidak mampu bergeras secara bebas karena dipengaruhi oleh
kerusakan syaraf motorik dan sensorik.
b. Mobilisasi penuh
Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas.
Hidayat (2009) membagi pengkajian mobilitas sebagai berikut :
a. Kemampuan fungsi sensorik dan motorik
Kemampuan sensorik dan motorik anggota gerak kanan dan kiri.
b. Kemampuan Mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas untuk menilai kemampuan otot untuk
bergerak miring ke kiri, ke kanan, duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa
bantuan.
3.4.2.6 Penggunaan format screening tools gangguan eliminasi (Inkontinensia
Urin)
Inkontinensia urin merupakan kondisi keluarnya urin yang tidak terkendali.
Inkontinensia urin ini dikelompokkan lagi menjadi empat (4) tipe (stress, urge,
overflow fungsional). Instrumen yang digunakan untuk mengetahui inkontinensia
urine yang disesuaikan dengan tanda gejala dari tipe inkontinensia urine. Instrumen
yang digunakan adalah The Three Incontinence Questions (3IQ). Alat ukur 3IQ
ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan pilihan jawaban dimana dari masing-
masing pilihan jawaban tersebut merupakan petunjuk dari gejala (symptom)
tipe Inkontinensia urin yang terjadi. 3IQ memiliki nilai sensitivitas 0,75 dan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
79
Universitas Indonesia
spesifisitas itu 0,60, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen tersebut efektif
untuk menilai gangguan inkontinensia urine pada wanita tanpa memiliki
gangguan neurologi (Brown et al, 2006).
Instrumen lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui inkontinensia urine
yang disebabkan neurogenic overbladder pada penderita multiple sklerosis
adalah Actionable bladder symptom screening tools (ABSST). Dengan nilai
vailiditas pada uji rank spearman ≥ 0,78. Adapun nilai realibilitas dengan uji alfa
cronbach ≥ 0,70, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen tersebut efektif
untuk menilai gangguan inkontinensia urine pada pasien multiple sklerosis (Burk
et al, 2003).
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
80
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Miastenia Gravis dengan
Pendekatan Model Adaptasi Roy
Dalam pendekatan Model Model Adaptasi Roy perawat berperan dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan berfokus kepada kemampuan adaptasi
pasien. Selain itu perawat juga berupaya meningkatkan dan mempertahankan
mekanisme koping pasien untuk beradaptasi terhadap stimulus yang terjadi.
Pembahasan mengenai kasus kelolaan utama akan diuraikan menurut masing-
masing mode berdasarkan Model Adaptasi Roy sesuai dengan diagnosis
keperawatan yang muncul.
4.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis
4.1.1.1 Intoleransi Aktivitas
Berdasarkan data pengkajian perilaku, pasien menunjukan kelemahan
umum ditandai oleh ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas
rutin seperti makan, mobilisasi, maupun membaca. Diagnosa medis yang
ditegakan pada pasien adalah miastenia gravis dengan riwayat krisis
miastenik. Sebelumnya pasien telah didiagnosa MG pada tahun 1982 dan
menjalani timoma dan semenjak itu gejala MG pada pasien terkontrol
tanpa meminum asetilkolinerase. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui
sejak 2014, keluhan MG kembali muncul terutama pada area mata dan
juga otot-otot yang berperan dalam bernapas.
Diagnosa intoleransi aktivitas menurut NANDA (2015) adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan energi fisiologis atau psikologis pada individu
untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Ditegakannya diagnosa miastenia
gravis pada pasien mendukung kondisi kelemahan umum yang terjadi
akibat ketidakmampuan ACh untuk berpasangan dengan reseptor ACh
pada motor end plate. Hal ini menyebabkan otot tidak dapat berkontraksi
sehingga pasien merasakan dampak berupa kelemahan tergantung pada
lokasi ACh yang tidak dapat berpindah.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
81
Universitas Indonesia
Penetapan diagnosa intoleransi aktivitas diharapkan untuk merubah
perilaku pasien yang ditetapkan dalam tujuan asuhan keperawatan.
Perilaku yang diamati untuk menetapkan tujuan adalah kemampuan
pasien dalam beraktivitas. Kemampuan aktivitas pasien dikaji
berdasarkan perubahan tanda-tanda vital pasien selama beraktivitas serta
kelemahan otot yang terjadi. Tujuan utama ditegakannya diagnose
intoleransi aktivitas adalah meningkatkan partisipasi pasien dalam
beraktivitas yang ditandai dengan stabilnya tanda-tanda vital pasien
selama melakukan aktivitas.
Aktivitas pasien mengalami beberapa perubahan selama proses perawatan. Pada
awal masuk RS pasien mengalami sesak dengan kebutuhan menggunakan
ventilator untuk bantuan napas. Selain itu, sejak 3 bulan sebelum masuk RS
pasien cenderung merasa cepat lelah dan sesak muncul terutama ketika melakukan
aktivitas. Perubahan kemampuan aktivitas pasien terjadi pada hari rawat ke 11
ditunjukan dengan kemampuan pasien bernapas secara mandiri tanpa bantuan
ventilator. Selain itu, dilaporkan bahwa ptosis yang dialami pasien mulai
berkurang. Pada hari rawat ke 23 pasien menunjukan peningkatan aktivitas
ditandai dengan pasien mampu miring kiri dan miring kanan tanpa danya
peningkatan tanda-tanda vital pasien serta pasien mampu untuk menelan tanpa
tersedak.
Stimulus pada Pasien disebabkan oleh kondisi kelemahan otot akibat
ketidakmampuan otot untuk berkontraksi yang diperparah oleh kondisi infeksi
pada sistem pernapasan pasien. Hal tersebut dikarenakan kerusakan sistem saraf
perifer yang ditandai dengan pembentukan auto-antibodi. Auto-antibodi tersebut
menyerang reseptor ACh di daerah motor-end plate otot rangka sehingga
pengikatan asetilkolin dengan reseptornya tidak terjadi (E. Corwin, 2009).
Asetilkolin merupakan salah satu neurotransmitter pada tubuh manusia yang
pertama kali ditemukan. Neurotransmitter merupakan molekul yang bertanggung
jawab terhadap chemical signaling pada sistem persarafan (Woodward &
Mestecky, 2011).
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
82
Universitas Indonesia
Pada awal masuk RS Pasien berada pada kelas V yakni membutuhkan bantuan
napas dengan intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik (Hickey, 2014).
Sedangkan pada saat pengkajian dilakukan pasien berada pada kelas IVb yakni
terjadinya kelemahan sedang di area otot orofaringeal dan pernapasan, kelemahan
sedang pada area ekstremitas, dan penggunaaan feeding tube untuk intake nutrisi.
Pada kondisi miastenia gravis, kelemahan umum yang dirasakan oleh pasien
terutama dirasakan setelah melakukan aktivitas (Woodward & Mestecky, 2011).
Sehingga pasien akan bertambah merasakan kelemahan dengan aktivitas. Maka
dari itu dibutuhkan program terapi yang tepat bagi pasien untuk dapat
meningkatkan aktivitas tanpa memperburuk kondisi klinis pasien. Berdasarkan
kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik, terapi aktivitas yang dapat dilakukan
oleh Pasien yakni pengangkatan beban (weight shifting) tiap 2 jam. Latihan beban
diharapkan mampu meningkatkan toleransi pasien terhadap aktivitas terutama
pada otot-otot di area ekstremitas. Pengkajian terhadap tanda-tanda vital pasien
harus dilakukan sebelum dan sesudah latihan. Hal tersebut menjadi salah satu
indikator kemampuan pasien beradaptasi dengan latihan dan beban yang
diberikan.
Terapi farmakologi berupa asetilkolinerase dan kortikosteroid diberikan pada
pasien untuk meringankan gejala kelemahan otot pada pasien. Asetilkolinerase
(mestinon) meringankan gejala yang muncul dengan meningkatkan transmisi
neuromuskular akan tetapi tidak menyembuhkan masalah autoimun (Woodward
& Mestecky, 2011). Pemberian kortikosteroid diharapkan dapat menekan kerja
proses autoimun (Hickey, 2014).
Selain latihan fisik serta pemberian terapi farmakologi pada pasien, pola aktivitas
istirahat pasien perlu dikaji. Pada Pasien ditemukan masalah insomnia yang
ditandai dengan sulitnya pasine untuk tidur namun mudah terbangun. Pengaturan
jam tidur serta aromaterapi diberikan untuk memaksimalkan waktu istirahat
pasien. Setelah pemberian aromaterapi pasien merasakan lebih nyaman terutama
setelah pasien tidak menggunakan terapi oksigen maupun selang makan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
83
Universitas Indonesia
Berdasarkan data-data tesebut diketahui bahwa Pasien berada pada level adaptasi
compensatory. Hal tersebut bermakna bahwa Pasien mampu beradaptasi dengan
kondisi sakitnya dengan menunjukan perilaku yang efektif untuk berpartisipasi
dalam melakukan aktivitas.
4.1.1.2 Kerusakan integritas kulit
Kerusakan integritas kulit diangkat pada psaien ini menunjukkan perilaku pada
fungsi proteksi dimana pasien menunjukkan luka dekubitus akibata tirah baring
lama di area sakrum. Hal ini diakibatkan oleh faktor mekanik yang disebabkan
ketika pasien tirah baring lama tanpa disertai mobilisasi yang adekuat sehingga
peredaran darah di area sakrum tidak lancar disertai dan menimbulkan luka
dekubitus. Dalam diagnosis ini tujuan yang dilakukan adalah penyembuhan luka.
Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah perawatan luka dan kontrol
terhadap infeksi. Pada luka dekubitus Pasien pada hari ke 2 setelah dilakukan
perawatan luka, kondisi luka mongering dan tidak tampak slough maupun pus.
Selama masa perawatan luka pasien dilakuan perawatan dengan menggunakan
normal saline selama 4 hari kemudian diberikan dressing berupa hydrocolloid
untuk menjaga integritas kulit tidak hanya di area luka namun juga di daerah
sekitar luka. Pada dasarnya semua luka terdapat bakteri didalamnya tetapi ketika
sistem imun tidak dapat menjaga proliferasi bakteri maka penyembuhan luka tidak
terjadi. Tanda klinis luka mengalami infeksi adalah adanya nyeri atau nyeri yang
meningkat, peningkatan atau produksi berlebih serous exudat, kemerahan,
penyembuhan yang lambat dan dapat ditemukan demam (Wang et al., 2016). Pada
luka Pasien proses infeksi tidak terjadi dan kondisi luka baik.
4.1.1.3 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Pada pasien Pasien masalah nutrisi berfokus pada tidak adekuatnya asupan
nutrisi. Kebutuhan nutrisi awal pasien sebesar 1820 kkal dengan protein 70 gram
yang disajikan dalam bentuk makanan blenderized 3x300ml, MC formula susu
formula dengan low lactose milk 3x300 ml, dan putih telur yang dicampur dalam
MC formula. Saat nasogastric tube dilepas pasien secraa bertahap makan dari
konsistensi yang lebih kental seperti bubur sumsum hingga bias makan nasi dan
minum tanpa adanya kejadian tersedak atau batuk. Pasien mampu menghabiskan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
84
Universitas Indonesia
½-1 porsi.
4.1.1.4 Risiko aspirasi
Perumusan diagnosa keperawatan ini dapat dikategorikan pada mode adaptasi
fisiologi perilaku oksigenasi (Roy dan Andres, 1999). Diagnosa aspirasi timbul
karena pentingnya mempertahankan jalan napas bagi pasien terutama dengan
ganggguan neurologi (Hickey, 2014). Black dan Hawks (2009) menjelaskan
bahwa diagnosis ini dapat dipertimbangkan muncul jika ada penyebab diantaranya
gangguan menelan, penekanan pusat batuk dan refleks muntah, serta penurunan
kesadaran. Roy (1999) menyebutkan diagnosa keperawatan dapat
menggambarkan adaptasi dan perilaku pada pasien.
Risiko aspirasi pada Pasien berhubungan dengan penurunan fungsi menelan
diakibatkan kelemahan otot orofaring yang berperan dalam proses makan. Tujuan
keperawatan yang ditegakan yakni tidak terjadinya kejadian aspirasi pada pasien.
Intervensi keperawatan yang dilakukan yakni tindakan-tindakan yang diharapkan
mampu merubah stimulus dan meningkatkan kemampuan adaptasi pasien.
Monitoring status pernapasan meliputi frekuensi pernapasan, kedalaman, dan
usaha napas merupakan tindakan yang dapat dilakukan. Selain dilihat
menggunakan pemeriksaan diagnostik seperti foto thoraks, aspirasi dapat
menimbulkan beberapa tanda seperti sesak, batuk, sianosis, wheezing, dan demam
atau tidak menunjukkan tanda dan gejala sama sekali (silent aspiration). Lebih
lanjut disebutkan bahwa aspirasi sebaiknya diketahui lebih cepat dengan harapan
outcome yang lebih baik bagi pasien. Pada pasien sadar dilakukan skrining atau
deteksi dini dari fungsi menelan pasien. Cek menelan penting dilakukan karena
klien dapat mengalami aspirasi walaupun dengan reflek muntah (Wieseke &
Siktberg, 2008).
Pada kasus Pasien hasil deteksi dini fungsi menelan pasien menunjukan hasil
positif yang manandakan bahwa pasien mengalami disfagia atau gangguan
menelan. Seperti yang tertera pada Nursing Intervention Classification (NIC),
penentuan jenis makan sesuai kemampuan makan pasien perlu dilakukan pada
pasien dengan gangguan menelan. Pengkajian kemampuan menelan pasien
dengan menggunakan FOIS menunjukan kemampuan makan per oral pada pasien
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
85
Universitas Indonesia
namun masih membutuhkan selang NGT untuk intake nutrisi dikarenakan pasien
sempat tersedak ketika minum dalam jumlah lebih dari 50cc. 2 hari setelah
dilakukan skrining, dilakukan lagi pengkajian ulang kemampuan makan pasien
dan hasilnya menunjukan pasien sudah layak untuk makan per oral dan diberikan
makan per oral. 2 hari setelahnya pasien sudah mampu makan per oral porsi
makan habis 1 porsi dan NGT dapat dilepas. Hal tersebut sejalan dengan
meningkatnya kekuatan otot pasien.
4.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri
Berkaitan dengan konsep diri pada pasien berhubungan dengan kondisi kesehatan
pasien yang kembali memburuk sejak 3 tahun yang lali. Pasien beranggapan
bahwa setelah menjalani tindakan timektomi pasien tidak akan mengalami lagi
tanda dan gejala miastenia gravis. Dikarenakan konsep inilah pasien
mengungkapkan kecemasannya terkait status kesehatannya saat ini dan masa
yang akan datang mengingat Pasien didiagnosa memiliki BPH dan juga memiliki
riwayat infeksi sistem pernapasan yang memberat kondisi kesehatannya.
4.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran
Masalah keperawatan yang dapat ditegakkan pada mode adaptasi fungsi peran
yakni ketidakefektifan performa peran. Diagnosa keperawatan ini dapat diangkat
dengan perilaku pasien yang menunjukan terhambatnya fungsi peran dalam hal
ini adalah peran Pasien sebagai seorang kepala keluarga, ayah, suami, serta
pencari nafkah di keluarganya. Pasien tidak mengalami gangguan pada fungsi
perannya ditandai dengan bisnisnya yang masih dapat berjalan, selain itu kedua
anaknya sudah dewasa dan dapat menggantikan posisi ayahnya dalam mencari
nafkah.
4.1.4 Mode Adaptasi Interdependensi
Fungsi interdependensi merupakan fungsi dimana adanya kenyamanan hubungan
dengan lingkungan sekitar. Fungsi ini dinilai dari interaksi seseorang dengan
orang lain dan lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada Pasiendiketahui
bahwa interaksi pasien dengan keluarganya berjalan lancar, selain itu interaksi
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
86
Universitas Indonesia
dengan sesame pasien di ruangan dan juga tenaga kesehatan yang bertugas di
ruangan tersebut terbilang baik.
4.2 Analisis Penerapan Model Adaptasi Roy pada Tiga Puluh Kasus Pasien
dengan Gangguan Neurologi
4.2.1 Mode Adaptasi Fisiologi
Selama menjalani proses residensi kasus stroke yang terdiri dari stroke iskemik
dan hemoragik merupakan kasus terbanyak. Berdasarkan usia rata-rata pasien
stroke yang berusia 57,1 tahun dengan usia minimal 32 tahun dan maksimal 78
tahun. Jenis kelamin pasien stroke yang paling banyak dirawat adalah laki-laki
dan pendidikan sebagian besar adalah SMA. Dari total semua pasien stroke 6 dari
13 pasien menunjukan usia di atas 60 tahun. Hal ini sesuai dengan kondisi yang
terjadi di Indonesia dimana pasien stroke banyak terjadi pada usia lansia.
Berdasarkan riwayat pasien masuk, semua pasien datang ke rumah sakit telah
melebihi golden time yakni 6 jam dari onset kejadian. Hal ini dapat dikaitkan
dengan kondisi pengetahuan pasien terkait tanda dan gejala stroke serta demografi
dari tempat tinggal pasien.
Berdasarkan pengalaman dalam merawat pasien stroke selama menjalani proses
residensi sebagian besar pasien mengalami gangguan pada fungsi oksigenasi hal
ini ditandai dengan pasien sebagian besar menunjukkan perilaku penurunan
kesadaran akibat sumbatan atau perdarahan dalam otak. Diagnosa yang muncul
pada mode ini adalah ketidakefektifan bersihan jalan napas, gangguan pola nafas,
resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, serta penurunan kapasitas adaptif
intrakranial. Pada pasien stroke iskemik ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
diakibatkan adanya penurunan aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan
hipoksemia area otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai dengan kematian
sel-sel otak dan unsur pendukungnya. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam
waktu singkat jika tidak ada usaha untuk mengembalikan perfusi jaringan
(reperfusi). Pada pasien yang melewati golden periode maka penatalaksanaan
berfokus pada mempertahankan area sekitar yang belum mengalami kematian
jaringan, area ini dikenal dengan istilah penumbra.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
87
Universitas Indonesia
Pada pasien dengan stroke hemoragik terjadi karena kerusakan sel akibat proses
hemolisis yang merembes ke massa otak. Penambahan masa ini mengakibatkan
adanya peningkatan tekanan intrakranial. Diagnosis yang muncul pada kondisi ini
adalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial (Rasyid.SpS &
Soertidewi.Sp.S(K).M.Epid, 2007). Intervensi untuk mempertahankan perfusi
jaringan serebral adalah dengan menejemen edema serebral. Intervensi ini
memungkinkan pasien mempertahankan perfusi ke jaringan serebral dengan cara
menghindari vaslsava maneuver atau dengan memposisikan pasien sesuai dengan
posisi neurologis pasien.
Fungsi kedua yang sering mengalami gangguan adalah nutrisi. Hal ini
berhubungan dengan kondisi gangguan menelan serta penurunan kesadaran pada
pasien. Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan koordinasi otot, kelemahan otot,
atau tonus otot orofaring yang berperan dalam proses menelan. Selain itu,
kelemahan otot orofaring dapat dihubungkan dengan gangguan fungsi hemisfer,
nuclear dari serabut saraf otak yang mempersarafi dan otot-otot pengunyah.
Disfagia biasanya membaik pada beberapa minggu. Pada pasien yang pernah
dikelola ditemukan beberapa pasien mengalami perbaikan fungsi menelan selama
dirawat dan sebagian besar tidak mampu menelan sampai pasien pulang.
Intervensi yang dilakukan pada diagnosa ini adalah dengan pemasangan
nasogastric tube, manajemen nutrisi, serta pencegahan aspirasi.
Gangguan lain pada pasien stroke yang ditemukan adalah pada fungsi aktifitas
dan istrahat. Kelemahan ekstremitas merupakan perilaku yang paling banyak
muncul pada pasien stroke. Kelemahan terjadi akibat sumbatan pada pembuluh
darah otak yang menyebabkan kematian sel otak dan menyebabkan gangguan
motorik yang berada pada area motorik primer yaitu broadman. Diagnosa
keperawatan yang muncul adalah kerusakan mobilitas fisik. Diagnosa
keperawatan tersebut memiliki tujuan berupa mencegah adanya kentraktur dan
meningkatkan fungsi otot pada pasien.
Diagnosis lain yang muncul adalah adanya kerusakan integritas kulit yang
diakibatkan oleh luka tekan pada pasien yang tidak termobilisasi dengan baik.
Beberapa pasien memiliki penyakit penyerta berupa diabetes melitus sehingga
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
88
Universitas Indonesia
ketika dirawat pasien mengalami ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah.
Selain itu ditemukan gangguan komunikasi verbal pada beberapa pasien yang
menganggu dalam kegiatan sehari-hari. Gangguan tersebut dapat mengalami
perbaikan selama masa perawatan atau masih pasien rasakan setelah keluar dari
pusat layanan kesehatan.
Jumlah kasus infeksi pada sistem persarafan yang dirawat selama proses residensi
adalah 3 kasus. Rata-rata pasien berusia 41 tahun dengan usia terendah 29 tahun
dan tertua 61 tahun. Diagnosa medis yang ditegakan beraneka ragam diantaranya
meningitis, meningoensepalitis, dan abses serebri. Penyakit penyerta pada pasien
kasus infeksi beraneka macam seperti tuberculosis yang menyerang sistem
pernapasan maupun penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh seperti
Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Systemyc Lupus Erythematosus
(SLE). Hal tersebut sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa kondisi
penurunan sistem kekebalan tubuh merupakan penyebab utama pada kasus infeksi
sistem persarafan (Black & Hawks, 2014).
Masalah yang terjadi pada kasus infeksi pada sistem persarafan yaitu pada fungsi
adaptasi fisiologis neurologi, oksigenasi, serta proteksi dan perlindungan. Hal
tersebut didukung dengan diagnosis keperawatan yang muncul pada kasus yaitu
penurunan kapasitas adaptif intrakranial, risiko jatuh, dan nyeri. Pada satu orang
pasien ditemukan penyakit penyerta yaitu ketidakstabilan kadar glukosa dalam
darah. Gangguan neurologi yang terjadi pada pasien ditandai dengan riwayat
penurunan kesadaran pada pasien. Masuknya patogen ke dalam lapisan meningen
menimbulkan reaksi peradangan sehingga membentuk eksudat pada lapisan
meningen. Hal tersebut menyebabkan bertambah tebalnya lapisan meningen
pasien sehingga aliran cairan serebrospinal akan terganggu. Terganggunya
penyerapan cairan serebrospinal di area meningen oleh villi arachnoid dapat
menimbulkan hiprosepalus komunikan dan mengarah pada peningkatan tekanan
intra cranial pada pasien.
Selain dikarenakan kondisi hidrosepalus, peningkatan tekanan intra kranial dapat
terjadi dikarenakan inflamasi pada arteri yang menyuplai rongga subarachnoid
yang parah sehingga menyebabkan ruptur atau trimbosis pada arteri tersebut. Hal
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
89
Universitas Indonesia
tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada otak dan menimbulkan kondisi edema
serebral dan tekanan intra kranial pun meningkat. Intervensi keperawatan pada
kasus infeksi yaitu berfokus pada manajemen edema serebral dan perfusi serebral
yang diharapkan dapat meningkatkan perfusi ke serebral dan mencegah
bertambahnya tekanan intra kranial pasien. Masalah lain yang muncul seperti
nyeri dan risiko jatuh merupakan perilaku dampak dari stimulus peningkatan
tekanan intra kranial yang terjadi pada pasien.
Kasus keganasan pada sistem persarafan yang dirawat selama praktik residensi
sebanyak lima kasus. Empat kasus merupakan Space Occupying Lession (SOL)
dan satu kasus lainnya adalah tumor medulla spinalis. Rata-rata pasien berusia 44
tahun dengan usia termuda 24 tahun dan usia tertua 58 tahun. Tiga dari lima
pasien berjenis kelamin laki-laki. Seluruh pasien melaporkan adanya perilaku
nyeri baik itu nyeri kepala maupun nyeri pada area tulang belakang pada kasus
tumor medulla spinalis.
Berbagai mekanisme yang dapat menimbulkan tanda gejala pada tumor otak
adalah adanya infiltrasi langsung pada jaringan otak yang menyebabkan lesi di
area otak dan menyebabkan edema serebral. Penambahan masa di kepala akibat
masa tumor serta edema serebral menyebabkan penekanan pada area otak yang
dapat menghambat aliran cairan serebrospinal. Sebagai mekanis dari peningkatan
tekanan intra kranial pasien akan merasakan nyeri yang hebat disertai dengan
penurunan neurologis yang simptomatik tergantung area terjadinya tumor. Gejala
awal yang dialami oleh pasien tumor otak sebagian besar menunjukkan
peritumoral edema yaitu tumor akibat pembengkakan white matter di area sekitar
massa tumor akibat terganggunya sawar darah otak. Edema serebri tersebut dapat
memperburuk fungsi neurologis, meningkatkan tekanan intrakranial,
menyebabkan hidrosefalus non komunikan yang dapat dilihat lewat gejala nyeri
kepala.
Penambahan massa pada otak akan mempengaruhi hukum Monro Kellie yang
menyebabkan terganggunya aliran darah di otak dan menyebabkan kondisi
iskemik serebri. Terdapat beberapa gejala unik pada kebanyakan populasi tumor
otak yaitu adanya gejala neurologis fokal, kejang dan nyeri kepala. Pada semua
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
90
Universitas Indonesia
pasien tumor otak nyeri kepala dilaporkan terjadi pada 33%-77% pasien dan
berhubungan dengan edema dan adanya penekanan pada jaringan otak (Lovely,
2014). Hal ini sesuai dengan gejala yang muncul pada dua dari lima pasien yang
mengalami nyeri kepala dan penurunan kesadaran. Pada mode fisiologis ini fungsi
neurologi yang paling banyak terganggu adalah fungsi neurologi dengan
penurunan kapasitas adaptif intrakranial akibat adanya penekanan pada otak.
Berdasarkan pengalaman selam praktik residensi keperawatan sebagian besar
pasien mendapatkan terapi kortikosteroid dengan tujuan untuk mengontrol adanya
kondisi edema serebral dan penekanan area otak akibat massa tumor.
Kortikosteroid bekerja dengan cara menembus membran sel sehingga akan
terbentuk suatu kompleks steroid-protein reseptor. Di dalam inti sel, kompleks
steroid-protein reseptor ini akan berikatan dengan kromatin DNA dan
menstimulasi transkripsi mRNA yang merupakan bagian dari proses sintesa
protein. Sebagai anti inflamasi, obat ini menekan migrasi neutrofil, mengurangi
produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator inflamasi), dan
menyebabkan dilatasi kapiler. Hal ini akan mengurangi respon tubuh terhadap
kondisi peradangan akibat penekanan massa otak.
Pada pasien dengan kasus keganasan beberapa gangguan fungsi fisiologis lain
yang terjadi adalah kerusakan mobilitas fisik akibat adanya penurunan kesadaran
pasien maupun ketidakseimbangan yang dirasakan pasien dikarenakan gejala
nyeri kepala. Salah satu pasien mengalami ketidakstabilan glukosa darah karena
riwayat diabetes melitus yang dimiliki pasien dan setelah masa perawatan, kadar
gula pasien dapat dikontrol tanpa pemberian insulin tambahan. Dua dari lima
pasien mengalami kerusakan integritas kulit akibat immobilisasi selama pasien
menjalani masa perawatan. Keruskaan integritas kulit pasien bertambah parah
dengan kondisi penurunan fungsi pengaturan suhu serta kondisi sepsis pada pasien
yang membuat kulit pasien semakin lembab. Adanya kondisi penurunan
kesadaran membuat asupan nutrisi pasien berkurang disertai serta luka terbuka
membuat kadar albumin pasien semakin berkurang dan kondisi penyembuhan
luka pada pasien semakin terhambat.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
91
Universitas Indonesia
Selama masa praktik residensi terdapat total lima pasien dengan gangguan saraf
tepi yang dirawat. Satu diantaranya merupakan kasus Chronic Inflammatory
Demyelinating Process (CIDP) yang merupakan kondisi kronik dari GBS. Lima
lainnya adalah kasus miastenia gravis baik disertai krisis miastenik atau kolinergik
maupun tidak disertasi kondisi krisis sebelumnya. Rata –rata usia pasien adalah 38
tahun dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 60 tahun. Tiga dari lima
pasien berjenis kelamin laki-laki.
Perilaku kurang adaptif yang muncul pada pasien biasanya pada fungsi fisiologis
yaitu gangguan mobilisasi dan sesak napas pada fungsi oksigenasi. Pada kasus
CIDP terjadi degenerasi pada selabung mielin saraf tepi. Sedangkan pada kasus
miastenia gravis hambatan mobilisasi dikarenakan kerusakan pada area
neuromuscular junction yang menyebabkan terhambatkanya kontraksi otot.
Seluruh pasien menjalani masa rawat kurang lebih selama 3-4 minggu. Hal ini
sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa 90% kasus kelemahan berkurang
pada 4 minggu.
CIDP merupakan kondisi kronik dari GBS yang juga merupakan penyakit
autoimun meskipun penyebabnya masih belum jelas, campylobacter jejuni
merupakan organisme yang paling sering terlibat. C. jejuni mentargetkan
selubung mielin dimana makrofag menembus lamina basal di sekitar akson,
menggantikan sel schawann dari selubung mielin dan memfagosit lamella myelin.
Sedangkan miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang menyerang
resptor asetilkolin di area tautan neuromuskular. Hal tersebut menyebabkan
asetilkolin yang merupakan salah satu neurotransmitter dalam tubuh tidak dapat
berpindah dan kontraksi otot tidak dapat terjadi. Sejalan dengan pernyataan
tersebut, kondisi pasien mengalami kelemahan dan semua pasien miastenia gravis
awalnya mengalami, pandangan ganda, kelopak mata turun, lalu sesak yang
bertambah berat dengan aktivitas.
Seluruh pasien menjalani plasmaferesis atau proses penggantian plasma. Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan antibodi yang bersirkulasi atau mielinotoksi lain
atau faktor imunopatogenik. Fokus perawatan pada kedua pasien adalah
pencegahan komplikasi akibat kelemahan seperti pencegahan aspirasi,
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
92
Universitas Indonesia
pencegahan jatuh, pencegahan luka dekubitus, serta pneumonia akibat tirah baring
lama. Selain itu, perawat juga berfokus pada persiapan pulang pasien agar dapat
beradaptasi dengan kondisi sakitnya. Pasien miastenia gravis seringkali pulang
masih dengan konsumsi asetilkolinerase dan juga kortikosteroid. Selain tata cara
minum obat, pasien juga dituntut mampu untuk mengenali tanda dan gejala
penyakit sehingga pasien mampu mengidentifikasi saat pasien membutuhkan
pelayanan kesehatan.
Pasien dengan kasus trauma maupun post pembedahan berjumlah 4 dari total 30
kasus neurologi yang dirawat selama praktik residensi. Rerata usia pasien yang
mengalami cedera kepala adalah 34 tahun dengan usis termuda 21 tahun dan
tertua 51 tahun. Hickey (2014) menyebutkan bahwa kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama dari kejadian cedera kepala. Lebih lanjut
disebutkan bahwa kejadian cedera kepala banyak ditemukan pada pria usia 30
tahun ke bawah dengan faktor penggunaan alkohol yang merupakan faktor risiko
terjadinya cedera kepala. Sejalan dengan hal tersebut semua pasien berjenis
kelamin laki-laki dan tiga diantaranya mengalami cedera kepala dikarenakan
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan bermotor. Sedangkan satu kasus
disebabkan kecelakaan pada tempat kerja (ledakan APAR: Alat Pemadam Api
Ringan).
Pada kasus cedera kepala, fungsi adaptasi fisiologi yang seringkali mengalami
gangguan adalah fungsi oksigenasi serta fungsi neurologi. Diagnosis yang muncul
adalah jalan nafas tidak efektif dan penurunan kasitas adaptif intrakranial. Jalan
nafas tidak efektif disebabkan oleh stimulus penurunan kesadaran pada pasien dan
terjadi pada fase akut. Pada penurunan kapasitas adaptif intrakranial diakibatkan
karena adanya stimulus perdarahan atau edema pada serebral yang menambah
masa pada otak. Diagnosis lain pada fungsi ini adalah penurunan perfusi jaringan
serebral karena kerusakan pembuluh darah di dalam otak menurunkan aliran darah
pada otak.
Kerusakan otak dimulai dari kondisi iskemik pada otak setelah cedera kepala
berat. Gangguan aliran darah otak selama 48 jam atau lebih setelah trauma dapat
mencapai 18 ml/100g/menit (Mc.Lernon, 2011). Jaringan otak merupakan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
93
Universitas Indonesia
jaringan yang hipersensitif terhadap penurunan aliran darah ke otak. Otak
membutuhkan jumlah oksigen dan glukosa yang cukup banyak dalam
mempertahankan kondisi hemostatis. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang
menyebutkan bahwa pasien dengan cedera kepala membutuhkan nutrisi yang
lebih untuk mempertahankan hemostatisnya (West et al., 2011). Selain aliran
darah otak yang terhambat, kondisi edema serebri dapat terjadi akibat peningkatan
volume di dalam kepala. Peningkatan volume dalam kepala dapat terjadi secara
lokal atau global sebagai dampak dari peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
yang dapat menimbulkan sindrom herniasi. Peningkatan TIK dapat memicu
disorientasi neurologis dan koma, dan menghasilkan outcome yang buruk
(McLernon, 2011b). Penyebab secara umum adalah peningkatan volume darah
dalam otak (kongestif) atau peningkatan cairan dalam otak (edema).
Gangguan lain yang muncul pada pasien adalah fungsi aktifitas dimana terjadi
gangguan mobilitas fisik akibat fraktur, fungsi proteksi dengan diagnosis
kerusakan integritas kulit akibat adanya luka pasca trauma. Pada fungsi neurologis
dengan penurunan kesadaran. Pada pasien yang dikelola 2 pasien menunjukan
perilaku maladaptif dan meninggal. Kedua pasien merupakan korban kecelakaan
lalu lintas melibatkan kendaraan bermotor. Kurang lebih pada hari rawat ke 5-7
keluarga pasien memutuskan untuk menetapkan status Do Not Rescutitation
(DNR) dan akhirnya meninggal dunia di Instalasi Gawat Darurat. Kedua pasien
menunjukan prognosis penyakit yang buruk dan memiliki gambaran herniasi
jaringan otak. Dua orang pasien pulang dengan kesadaran kompos mentis. Satu
diantaranya masih mobilisasi terbatas di tempat tidur sedang kan satu pasien
lainnya dapat mobilisasi aktif dengan menggunakan alat bantu berjalan.
4.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri
Diagnosa keperawatan pada mode ini dirumuskan oleh Ackley dan Ladwig
(2011) dan sesuai dengan NANDA adalah gangguan gambaran diri, berduka
antisipatori (disfungsional) serta cemas. Sedangkan yang dirumuskan oleh Roy
dan Andrews (2009) serta disepakati NANDA adalah gangguan harga diri dan
distress spiritual. Pada mode ini penulis tidak menemukan diagnosa keperawatan
tersebut pada kasus yang dikelola. Faktor usia serta perbedaan kondisi fisik
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
94
Universitas Indonesia
sebelum dan setelah sakit dapat mempengaruhi fungsi konsep diri ini karena
sebagian besar berusia pada usia produktif sehingga masalah fisik maupun
kognitif pada pasien akan berdampak pada konsep diri pasien.
4.2.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran
Roy dan Andrews (2009) merumuskan empat diagnosa keperawatan yang
disesuaikan dengan NANDA yaitu ketegangan peran pengasuh, ketidak efektifan
managemen kesehatan individu, perubahan penampilan peran, serta ketidak
efektifan managemen keluarga. Pada fungsi peran sebagian besar pasien yang
mengalami gangguan neurologis akan menganggu peran pasien. Sebagian besar
pasien berjenis kelamin laki-laki yang berada pada usia produktif dan berperan
pasien sebagai kepala keluarga. Sebagian besar pasien yang pulang dari rumah
sakit membawa gejala sisa baik kelemahan atau kesadaran yang belum utuh
sepenuhnya. Hal ini membuat pasien tidak dapat langsung menjalankan perannya
dengan baik ketika pasien pulang. Namun sebagian kasus, peran pasien sebagai
pencari nafkah dalam keluarga dapat digantikan oleh anggota keluarga yang lain
sehingga dampat dari perubahan peran yang terjadi tidak signifikan.
4.2.4 Mode Adaptasi Interdependensi
Kerusakan interaksi sosial, koping individu tidak efektif, perubahan proses
dalam keluarga dan kerusakan pemeliharaan rumah merupakan diagnosa
keperawatan yang dapat terjadi pada mode adaptasi interdependensi (Roy &
Andrews, 2009; Ackley & Ladwig, 2011). Pada 30 kasus tidak ditemukan
masalah keperawatan pada mode adaptasi interdependensi. mode ini penulis
tidak menemukan diagnosa keperawatan terkait.
4.3 Analisis Pencapaian Evidence Based Nursing (EBN): Penerapan The
Functional Oral Intake Scale (FOIS) pada Pasien dengan Gangguan
Neurologis
Pelaksanaan program EBN yaitu selama 5 hari. Pemilihan pasien dilakukan
dengan melakukan screening disfagia menggunakan Massey Bedside Swallowing
Screen, setelah pasien dinyatakan positif disfagia maka akan dilakukan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
95
Universitas Indonesia
perhitungan level kemampuan makan dengan menggunakan FOIS. Dua hari
kemudian pasien akan dilakukan evaluasi kemampuan makannya dengan
menggunakan format yang sama.
Berdasarkan hasil penerapan EBN terhitung tanggal 28 April hingga 01 Mei 2017
didapatkan 9 responden yang dilakukan evaluasi kemampuan makan
menggunakan The Functional Oral Intake Scale (FOIS). Karakteristik pada pasien
berdasarkan jenis kelamin yaitu sebanyak 6 pasien (66,7%). Berdasarkan
distribusi usia yaitu sebanyak 7 pasien (77,78%) berusia di bawah 60 tahun.
Sebagian besar pasien ditegakan diagnosa medis sebanyak 4 pasien (44,44%).
Sensitifitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran positif
pada orang yang benar-benar sakit. Berdasarkan hasil perhitungan nilai sensitifitas
dari fromat evaluasi FOIS ini yaitu sebesar 77%. Spesifisitas yaitu kemampuan
suatu tes untuk memberikan gambaran negatif bila subjek yang dilakukan.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai spesifisitas yang didapatkan yaitu sebesar
66,67%.
Kekurangan yang dimiliki FOIS yakni kurangnya penjelasan didalamnya sehingga
dibutuhkan penjelasan pada beberapa item untuk memperjelas makna dari setiap
level. Hal itu mengarah pada pentingnya sosialisasi sebelum penerapan format
evaluasi tersebut di ruangan. Sedangkan kelebihan yang dimiliki FOIS yakni
belum adanya format monitoring kemampuan makan di ruangan neurologi
sehingga format tersebut dapat digunakan sebagai alternatif media dokumentasi
asuhan keperawatan khususnya untuk mengevaluasi kemampuan makan pasien
selama proses feeding management.
4.4 Analisis Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian
Keperawatan Tambahan pada Pasien dengan Gangguan
Neurologi
Pasien stroke yang dirawat di Ruang Neurologi zona A lt 5 RSCM sejak tanggal
28 April-3 Mei 2017 sebanyak 8 orang pasien. Adapun karakteristik pasien
berdasarkan jenis kelamin diketahui 3 orang pasien (37,5%) yang berjenis
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
96
Universitas Indonesia
kelamin laki-laki dan 5 orang pasien (62,5%) yang berjenis kelamin perempuan.
Rerata usia pasien stroke di ruang neurologi yaitu 58,8 tahun dengan usia minium
27 tahun dan usia maksimum 74 tahun. Pasien yang terdiagnosa stroke iskemik
sebanyak 6 orang pasien (75%) dan hanya 2 orang pasien (25%) yang terdiagnosa
stroke hemoragik.
Skrining yang dilakukan pada pasien stroke meliputi skrining NIHSS, skrining
BBS, skrining 3 IQ dan skrining FAST. Dari hasil skrining NIHSS diketahui
bahwa pasien yang mengalami defisit neurologis berat sebanyak 6 orang pasien
(75%) dan yang mengalami defisit neurologis sedang serta defisit neurologis
ringan masing-masing 1 orang pasien (12,5%). Sedangkan hasil skrining BBS
menggambarkan bahwa pasien stroke yang membutuhkan kursi roda untuk
mobilisasi sebanyak 4 orang pasien (50%) sedangkan mobilisasi dengan bantuan
untuk berjalan dan mobilisasi mandiri masing-masing 2 orang pasien (25%).
Sementara dari hasil skrining 3IQ diketahui pasien stroke yang mengalami
inkontinensi sebanyak 3 orang pasien yang terdiri dari 2 orang pasien (25%) yang
mengalami inkontinensia urgensi dan 1 orang pasien (12,5%) yang mengalami
inkontinensi fungsional sedangkan yang tidak mengalami inkontinensia sebanyak
5 orang pasien (65,5%). Selain itu hasil skrining FAST untuk pasien stroke
menunjukkan bahwa dari 8 orang pasien stroke hanya 3 orang pasien stroke
(37,5%) yang mengalami afasia dan 5 orang pasien (62,5%) yang tidak
mengalami afasia.
Pelaksanaan skrining insomnia severity index melibatkan 19 orang pasien
neurologi yang terdiri dari 10 orang (52,6%) perempuan dan 9 orang (47,4%) laki-
laki. Usia pasien berada dalam rentang 25 tahun sampai dengan 68 tahun. Kasus
neurologi diantara 19 orang pasien meliputi stroke iskemik (4 orang), stroke
hemoragik (2 orang), miastenia gravis (3 orang), SOL (7 orang), fraktur spinal (1
orang), tumor spinal (1 orang) dan epidural hematom ( 1 orang).
Deskripsi data responden terdiri dari gambaran jenis kelamin, usia, diagnosa
media, penyebab pasien non-communicable, serta kategori nyeri pasien
berdasarkan Adult Non Verbal Pain Scale (ANVPS). Hasil analisis data pasien
yang terlibat dalam pelaksanaan pengkajian nyeri menggunakan ANVPS yang
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
97
Universitas Indonesia
melibatkan 11 pasien dengan gangguan neurologi yang tidak dapat dilakukan
pengkajian nyeri menggunakan Visual Analog Scale (VAS) menunjukan bahwa
sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 7 pasien (63,6%)
sedangkan pasien berjenis kelamin perempuan berjumlah 4 orang (36,4%). Usia
pasien berada dalam rentang 18 hingga 77 tahun yang sebagian besar berusia
kurang dari 60 tahun yakni sebanyak 6 orang (54,54%). Diagnosa medis
terbanyak yang ditegakan pada pasien yaitu stroke ischaemic sebanyak 4
responden (36,4%).
Penerapan ANVPS dilakukan pada pasien non-communicable atau tidak mampu
berkomunikasi baik disebabkan oleh penurunan kesadaran, gangguan komunikasi
seperti afasia, maupun terintubasi. Pada saat penerepan format pengakajian
ANVPS 5 pasien (45,5) tidak mampu berkomunikasi diakibatkan oleh penurunan
kesadaran sehingga tidak mampu melaporkan secara subjektif skala nyeri yang
dirasakannya.
Hasil pengkajian diketahui bahwa 8 pasien (72,7%) tidak merasakan nyeri dan 3
pasien (27,3%) terlaporkan mengalami nyeri dengan skala nyeri sedang. Selama
proses pelaksanaan tidak ditemukan hambatan dalam mengaplikasikan format
pengkajian dan bila dibandingkan dengan format pengkajian nyeri FLACC,
berdasarkan uji statistik dengan menggunakan independent t test diketahui bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan format ANVPS dan
FLACC (p value: 0,021).
Kegiatan inovasi mahasiswa residensi terkait screening tools pada pasien yang
mengalami gangguan neurologi di ruang perawatan neurologi zona A lt.5 RSCM
memiliki kelebihan dan kekurangan baik dari isi skrining maupun saat
pelaksaannya. Adapun kelebihan dan kelemahan dari tiap screening tools adalah:
1. Kelebihan proyek inovasi
a. Mendapatkan kemudahan dalam mengkaji insomnia dengan menggunakan
skrining insomnia severity index karena format yang sederhana dan terdiri dari
7 pertanyaan tertutup secara singkat.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
98
Universitas Indonesia
b. Format pengkajian AVNPS merupakan format pengkajian FLACC yang sudah
dimodifikasi untuk dapat diterapkan pada populasi dewasa sehingga dapat
lebih mudah untuk diterapkan di ruang rawat inap neurologi zona A RSCM
c. Format pengkajian 3IQ memiliki jumlah pertanyaan terdiri dari 6 pertanyaan,
sehingga mudah diaplikasikan untuk mengetahui kejadian inkontinensia urin,
mampu mendeteksi jenis-jenis inkontinensia urin dan pertanyaan yang disusun
sangat jelas, sehingga semua perawat mampu menggunakan skrining tersebut.
d. Format BBS mampu menentukan kemampuan berjalan pasien yang disertai
dengan petunjuk yang jelas dalam menilai skor pada masing-masing item
pengkajian
e. Skrining FAST sangat sederhana, metodenya cepat dan singkat hanya
memerlukan waktu 3-10 menit sehingga sangat tepat digunakan pada pasien
yang tidak bertoleransi dengan waktu pengkajian yang lama
f. Skrining NIHSS telah dimasukkan dalam guideline stroke dan
direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI), dan sudah dimasukkan dalam pengkajian awal pasien stroke di
IGD RSCM.
2. Kelemahan proyek inovasi
a. Skrining insomnia severity index merupakan kuesioner subjektif sehingga
perlu dilengkapi dengan teknik pengkajian tambahan misalnya observasi
sebagai bentuk validasi.
b. Kekurangan yang terdapat pada format pengkajian ANVPS yang diterapkan
pada program inovasi yaitu terdapatnya 3 kategori pengkajian baru sehingga
diperlukan sosialisasi cara pengisian format serta kategori vital yang
membutuhkan kemampuan kritis penilai dalam menentukan nilai baseline
pasien sebagai data dasar pengkajian.
c. Skrining 3IQ bersifat subjektif sehingga hasil pengkajian memiliki
subjektifitas pasien yang tinggi sehingga perlu pengkajian tambahan. Selain
itu skrining ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami afasia
sensorik
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
99
Universitas Indonesia
d. Dalam pelaksanaan skrining NIHSS, ditemukan kendala .karena pasien
sudah menjalani hari perawatan di IGD atau boarderrest, sehingga tidak bisa
lagi dilakukan di ruangan perawatan neurologi.
e. Skrining BBS memerlukan kemampuan keterampilan khusus perawat dan
waktu yang cukup lama dalam pengkajian.
f. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil skrining FAST menjadi bias
yaitu jika pasien mengalami kurang konsentrasi, bingung atau memiliki
gangguan penglihatan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
100
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
Pada bab ini disampaikan simpulan dan saran yang disusun berdasarkan
uraian pada bab 1 sampai 4 sebagai berikut :
5.1. Simpulan
5.1.1. Hasil akhir dari asuhan keperawatan pada kasus kelolaan dan 30
kasus resume secara umum didapatkan diagnosa keperawatan yang sering
muncul itu pada mode fisiologis oksigenasi, neurologi, serta proteksi
perlindungan yaitu risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral,
kerusakan mobilitas fisik, risiko jatuh. Intervensi keperawatan dilakukan
yaitu manajemen edema serebral, pencegahan jatuh, ambulasi, pemenuhan
kebutuhan pasien.
5.1.2. Penerapan EBN format evaluasi FOIS yang dilakukan pada 9 pasien
dengan disfagia selama 5 hari menunjukkan bahwa format FOIS sensitive
dalam mendeteksi kemampuan menelan pasien dan mencegah terjadinya
aspirasi
5.1.3. Program inovasi yang dilakukan merupakan penerapan format pengkajian
tambahan yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam menegakkan
diagnosa keperawatan.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Pelayanan Keperawatan
1. Model Adaptasi Roy dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam
menerapakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
neurologi. Aplikasi dari teori model ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan ketersedian sumberdaya penunjang di ruangan.
2. Penerapan FOIS dapat digunakan di instansi pelayanan kesehatan sebagai
evaluasi kemampuan makan pasien.
3. Penggunaan format pengkajian tambahan yang disusun dapat terus digunakan
di ruang rawat neurologi RSCM untuk memudahkan perawat dalam
menentukan diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
101
Universitas Indonesia
5.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan
1. Menjadikan hasil dari praktik residensi sebagai hasil otentik mengenai
keefektifan penggunaan Model Adaptasi Roy dalam area layanan asuhan
keperawatan. Selanjutnya dapat dijadikan materi untuk penerapan asuhan
keperawatan tidak hanya pada praktik residensi namun juga dikenalkan dalam
praktik program profesi ners.
2. Meningkatkan kemampuan berfikir kritis perawat terhadap kegiatan
keperawatan yang berdasarkan evidence based nursing, sehingga dapat
dilakukan pengembangan serta pembuktian ilmiah terhadap asuhan
keperawatan pasien serta meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh tenaga perawat.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Berkel, M. A. Van, Twilla, J. D., & England, B. S. (2016). emergency department
management of myasthenia gravis patient with community-acquired
pneumonia: does initial antibiotic choice lead to cure or crisis? Journal of
Emergency Medicine, 50(2), 281–285.
http://doi.org/10.1016/j.jemermed.2015.04.019
Berrih-aknin, S., & Panse, R. le. (2014). Myasthenia gravis : A comprehensive
review of immune dysregulation and etiological mechanisms. Journal of
Autoimmunity, 52, 90–100. http://doi.org/10.1016/j.jaut.2013.12.011
Black, J. ., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. (A. Suslia & P. P. Lestari, Eds.) (8th
ed.). Jakarta: Salemba Medika.
Browndyke, J. N. (2002). Aphasia Assessment, 1–3.
http://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199772391.013.3
Bulechek, Gloria, & M. (2013). Nursing Interventions Classification (fifth).
Missouri: mosby elsevier.
Bykov, Y., & Smolin., A. (2015). neuromuscular disorders clinical features and
quality of life in patients with myasthenia gravis. Journal of the Neurological
Sciences, 357. http://doi.org/doi:10.1016/j.jns.2015.08.1180
Cade, C. H. (2008). Clinical tools for the assessment of pain in sedated critically
ill adults. Nursing in Critical Care, 13(6), 288–298.
Cantor, F. (2010). Central and Peripheral Fatigue: Exemplified by Multiple
Sclerosis and Myasthenia Gravis. The American Academy of Physical
Medicine and Rehabilitation, 2(5), 399–405.
http://doi.org/10.1016/j.pmrj.2010.04.012
Cereda, E., Beltramolli, D., Pedrolli, C., & Costa, A. (2009). Refractory
myasthenia gravis , dysphagia and malnutrition : A case report to suggest
disease-specific nutritional issues. Nutrition, 25(10), 1067–1072.
http://doi.org/10.1016/j.nut.2008.12.016
Corwin, elizabeth J. (2008). handbook of pathophysiology (third edit).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. (E. K. Yudha, E. Wahyuningsih, D.
Yulianti, & P. E. Karyuni, Eds.) (3rd ed.). Jakarta: EGC.
Costa, C. P. V. da, Luz, maria H. B. A., Bezerra, A. K. F., & Rocha, S. S. da.
(2016). APPLICATION OF THE NURSING THEORY OF CALLISTA
ROY TO THE PATIENT WITH CEREBRAL VASCULAR ACCIDENT.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Universitas Indonesia
Journal of Nursing UFPE On Line, 10, 352–361.
http://doi.org/10.5205/reuol.7901-80479-1-SP.1001sup201622
Crary, M. A., Mann, G. D. C., & Groher, M. E. (2005). Initial Psychometric
Assessment of a Functional Oral Intake Scale for Dysphagia in Stroke
Patients. Arch Phys Med Rehabii, 86(August), 1516–1520.
http://doi.org/10.1016/j.apmr.2004.11.049
Criddle, L. M., Everley, D., Franges, E., Johnson, F. ., Murphy, D., Starkweather,
A., & Zrelak, P. . (2008). Neurologic Care. United State of America:
Lippincott Williams & Wilkins.
Dalakas, M. C. (2013). Novel future therapeutic options in Myasthenia Gravis.
Autoimmunity Reviews, 12(9), 936–941.
http://doi.org/10.1016/j.autrev.2013.03.006
Dyar, K. L. (2013). Therapeutic plasma exchange in a patient with myasthenia
gravis. Nephrology Nursing Journal, 40(6), 545–548.
El Hachioui, H., Visch-Brink, E. G., de Lau, L. M. L., van de Sandt-Koenderman,
M. W. M. E., Nouwens, F., Koudstaal, P. J., & Dippel, D. W. J. (2016).
Screening tests for aphasia in patients with stroke: a systematic review.
Journal of Neurology, 264(2), 211–220. http://doi.org/10.1007/s00415-016-
8170-8
Gilhus, N. E., & Verschuuren, J. J. (2015). Myasthenia gravis : subgroup
classification and therapeutic strategies. The Lancet Neurology, 14(10),
1023–1036. http://doi.org/10.1016/S1474-4422(15)00145-3
Global Burden Disease: Indonesia. (2010). Seattle: Institute for Health Metrics
and Evaluation.
Godoy, D. A., Mello, L. J. V. de, Masotti, L., & Napoli, M. Di. (2013). The
myasthenic patient in crisis : an update of the management in Neurointensive
Care Unit, (April), 627–639. http://doi.org/10.1590/0004-282X20130108
Hammoumi, M. El, Arsalane, A., Fayc¸al El Oueriachi, & Kabiri, E. H. (2013).
Surgery of Myasthenia Gravis Associated or Not With Thymoma : A
Retrospective Study of 43 Cases, 1–4.
http://doi.org/10.1016/j.hlc.2013.02.010
Harpreet, K., Singh, S. S., Jeyaraj, D., & Kaur, S. P. (2014). Prevalence of Post
Stroke Shoulder Subluxation and Pain. Indian Journal of Physiotherapy &
Occupational Therapy, 8(1), 5–8. http://doi.org/10.5958/j.0973-5674.8.1.002
Herdman, T. . (2014). Nursing Diagnoses Definitions and Classification. (Wiley-
Blackwell, Ed.). Iowa.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Universitas Indonesia
Hickey, joanne V. (2014). The clinical Practice of neurological and
neurosurgical nursing (seventh ed). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Holtom, D., Thornton, N., Doerksen, K., Stoyles, H., & Kelloway, L. (2008). The
Canadian Association of Neuroscience Nurses Standar of Practice (3rd ed.).
Canada: Canadian Association of Neuroscience Nurses.
Hutcheon, L. (2006). A theory of adaptation. New York: Taylor & Francis Group
LLC.
Jakubíková, M., Ha, jin pit, Mare, H., Týblová, M., Nováková, I., & Schutzner, J.
(2015). Two-year outcome of thymectomy with or without
immunosuppressive treatment in nonthymomatous myasthenia gravis and its
effect on regulatory T cells. Journal of the Neurological Sciences, 358, 101–
106. http://doi.org/10.1016/j.jns.2015.08.029
Joensen, P. (2014). Myasthenia gravis incidence in a general North Atlantic
isolated population. Acta Neurologica Scandinavica, 130, 222–228.
http://doi.org/10.1111/ane.12270
Khadilkar, S. V, Chaudhari, C. R., Patil, T. R., Desai, N. D., Jagiasi, K. A., &
Bhutada, A. G. (2014). Once myasthenic , always myasthenic ? Observations
on the behavior and prognosis of myasthenia gravis in a cohort of 100
patients. Neurology India, 62(5), 492–497. http://doi.org/10.4103/0028-
3886.144438
Kitamura, E., Takiyama, Y., Nakamura, M., Iizuka, T., & Nishiyama, K. (2016).
reversible tongue muscle atrophy accelerated by early initiation of
immunotherapy in anti-MuSK myasthenia gravis: a case report. Journal of
the Neurological Sciences, 360, 10–12.
http://doi.org/10.1016/j.jns.2015.11.032
Klinke, M. E., Wilson, M. E., Hafsteinsdóttir, T. B., & Jónsdóttir, H. (2013).
Recognizing new perspectives in eating difficulties following stroke : a
concept analysis. Disability and Rehabilitation, 35(September 2012), 1491–
1500. http://doi.org/10.3109/09638288.2012.736012
Kunieda, K., Ohno, T., Fujishima, I., Hojo, K., & Morita, T. (2013). Reliability
and Validity of a Tool to Measure the Severity of Dysphagia : The Food
Intake LEVEL Scale. Journal of Pain and Symptom Management, 46(2),
201–206. http://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2012.07.020
McKenzie, M. J., Yu, S., Macko, R. F., McLenithan, J. C., Charlene, & Macko, H.
(2008). Human genome comparison of paretic and nonparetic vastus lateralis
muscle in patients with hemiparetic stroke. Journal of Rehabilitation
Research & Development, 45(2), 273–282.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Universitas Indonesia
McMicken, B. L., Muzzy, C. L., & Calahan, S. (2010). Retrospective ratings of
100 first time-documented stroke patients on the Functional Oral Intake
Scale. Disability and Rehabilitation, 32(14), 1163–1172.
http://doi.org/10.3109/09638280903437238
Mestecky, A. (2013). Myasthenia gravis, 9(3), 110–113.
Meyer, A., & Levy, Y. (2010). Autoimmunity Reviews Chapter 33 :
Geoepidemiology of myasthenia gravis. Autoimmunity Reviews, 9(5), A383–
A386. http://doi.org/10.1016/j.autrev.2009.11.011
Moorhead, S. (2013). Nursing Outcomes Classification (fifth). Missouri: Mosby
Elsevier.
Musilek, K., Komloova, M., Holas, O., Horova, A., Zdarova-karasova, J., &
Kuca, K. (2012). myasthenia gravis-current treatment standards and
emerging drugs, a look into myasthenia gravis. ( joseph a Pruitt, Ed.).
Nair, A. G., Chhablani, P. P., Venkatramani, D. V, & Gandhi, R. A. (2014).
Ocular myasthenia gravis : A review History of Myasthenia Gravis Diplopia
is very common in cases with OMG since even. Indian Journal of
Ophthalmology, 62(10), 985–991. http://doi.org/10.4103/0301-4738.145987
Neurological Disorders Public Health Challenges. (2006). Geneva: World Health
Organization.
Odhner, M., Wegman, D., Freeland, N., Steinmetz, A., & Ingersoll, gail L. (2003).
Assessing pain control in nonverbal critically ill adults. Dimension of
Critical Care Nursing, 22(6), 260–267.
Paul, R. H., Cohen, R. A., Zawacki, T., Gilchrist, J. M., & Aloia, M. S. (2001).
What have we learned about cognition in myasthenia gravis?: a review of
methods and results. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 25, 75–81.
Payne, J., Stagnitti, K., Hooke, E., & Hitch, D. (2015). Achieving eating
independence in an acute stroke ward : Developing a collaborative care plan.
International Journal of Therapy and Rehabilitation, 22(3), 111–118.
Pearson, A., Vaughan, B., & Fitzgeral. (2000). Nursing models for practice (2nd
ed.). Oxford: Butterworth_Heinemann.
Pudas-tahka, S., Axelin, A., Aantaa, R., Lund, V., & Salantera, S. (2009). Pain
assessment tools for unconscious or sedated intensive care patients: a
systematic review. Journal of Advanced, 946–956.
http://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2008.04947.x
Punga, anna rostedt, Kaminski, henry j, Richman, david p, & Benatar, M. (2015).
How clinical trials of myasthenia gravis can inform pre-clinical drug
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Universitas Indonesia
development. Experimental Neurology, 270, 78–81.
http://doi.org/10.1016/j.expneurol.2014.12.022
Rahu, M. arif, Grap, mary jo, Ferguson, P., Joseph, P., Sherman, S., & Elswick, R.
. (2015). Validity and sensitivity of 6 pain scales in critically ill, intubated
adults. American Journal of Critical Care, 24(6), 514–524.
Ricciardi, R., Melfi, F., Maestri, M., Rosa, A. De, Petsa, A., & Mussi, A. (2016).
Endoscopic thymectomy : a neurologist’ s perspective. Annals of
Cardiothoracic Surgery, 5(1), 38–44. http://doi.org/10.3978/j.issn.2225-
319X.2015.12.02
Rosińczuk, J., Kołtuniuk, A., Górska, M., & Uchmanowicz, I. (2015). The
Application of Callista Roy Adaptation Model in the Care of Patients with
Multiple Sclerosis – Case Report. The Journal of Neurological and
Neurosurgical Nursing, 4(3), 121–129.
http://doi.org/10.15225/PNN.2015.4.3.5
Rosyid, fahrun nur. (2008). mengenal tentang miastenia gravis dan
penatalaksanaannya, 16–31.
Roy, S. (2009). The Roy Adaptation model (3rd ed.). New Jersey: Pearson
Education Inc.
Roy, S. . (2009). The Roy Adaptation Model (3rd ed.). New Jersey: Pearson
Education Inc.
Sakai, W., Matsui, N., Ishida, M., Furukawa, T., Miyazaki, Y., Fujita, K., … Kaji,
R. (2016). Late-onset myasthenia gravis is predisposed to become
generalized in the elderly. ENSCI, 2, 17–20.
http://doi.org/10.1016/j.ensci.2016.02.004
Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., & Teasell, R. (2006). Identification of
aphasia post stroke: A review of screening assessment tools. Brain Injury,
20(6), 559–568. http://doi.org/10.1080/02699050600744087
Schneider-gold, C., & Toyka, K. V. (2007). Myasthenia Gravis : Pathogenesis and
Immunotherapy. Dtsch Arztebl, 104(5), 1–8.
Siegel, R. L., Miller, K. D., & Jemal, A. (2016). Cancer Statistics, 2016. A Cancer
Journal for Clinicians, 66(1), 7–30.
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik.
(2016) (edisi 1). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Sugiyama, M., Takada, K., Shinde, M., Matsumoto, N., Tanaka, K., Kiriya, Y., …
Kuzuya, M. (2014). National survey of the prevalence of swallowing
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Universitas Indonesia
difficulty and tube feeding use as well as implementation of swallowing
evaluation in long-term care settings in Japan. Geriatrics Gerontology, (14),
577–581. http://doi.org/10.1111/ggi.12137
Takahata, H., Tsutsumi, K., Baba, H., Nagata, I., & Yonekura, M. (2011). Early
intervention to promote oral feeding in patients with intracerebral
hemorrhage : a retrospective cohort study. BMC Neurology, (11), 1–7.
Thanvi, B. R., & Lo, T. C. N. (2004). Update on myasthenia gravis. Pmj, 690–
701. http://doi.org/10.1136/pgmj.2004.018903
Thompson, J., & McKeever, M. (2014). Improving support for patients with
aphasia. Nursing Practice Research Communication, 110: 25, 18–20.
Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2010). Nursing theorist and their work (6th
ed.). Missouri: Mosby Elsevier.
Toyka, K. V., & Gold, R. (2007). Treatment of myasthenia gravis. Scweizer
Archiv for Neurologie Und Psychiatrie, 309–321.
Twork, S., Wiesmeth, S., Klewer, J., Pöhlau, D., & Kugler, J. (2010). Quality of
life and life circumstances in German myasthenia gravis patients. Health and
Quality of Life Outcomes, 8, 1–10.
Usman, reni devianti. (2009). Pengaruh terapi masase terhadap intensitas nyeri
pasien kanker payudara di makassar. Universitas Indonesia.
Wada, A., & Kawakami, M. (2015). Development of a new scale dor dysphagia in
patients with progressive neuromuscular disease: the neuromuscular disease
swallowing status scale. Journal of Neurology, 262(10), 2225–31.
Westergren, A. (2006). Detection of eating difficulties after stroke : a systematic
review. International Council of Nurses, 53, 143–150.
Woodward, S., & Mestecky, A. (2011). neroscience nursing evidence-based
practice. (S. Woodward & A. Mestecky, Eds.). chichester: wiley-blackwell.
Yamada, N., Kakuda, W., Kondo, T., Mitani, S., Shimizu, M., & Abo, M. (2014).
Local muscle injection of botulinum toxin type a synergistically improves the
beneficial effects of repetitive transcranial magnetic stimulation and
intensive occupational therapy in post-stroke patients with spastic upper limb
hemiparesis. European Neurology, 72(5-6), 290–298.
http://doi.org/10.1159/000365005
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
ASUHAN KEPERAWATAN LENGKAP PADA PASIEN MIASTENIA GRAVIS
Tanggal Dx Evaluasi
27/04
2017
1
S: Pasien melaporkan adanya sesak setelah beraktivitas terutama ketika bicara maupun perubahan posisi, pasien mengeluh mudah lelah
O: RR: 23x/m ketika melakukan aktivitas, RR: 17x/m, HR: 75x/m, S: 36,3
0C, TD: 135/75 mmHg , SaO2 berkisar antara 96-97% ketika
beraktivitas
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah intoleransi aktivitas
P: Lakukan intervensi sesuai care plan
2
S: Pasien mengeluhkan rasa kurang nyaman di area bokong
O: Terdapat luka dekubitus grade II di area sakrum dengan luas kurang lebih 4x5 cm, kemerahan ada, slough (-)
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah kerusakan integritas kulit
P: Lakukan intervensi sesuai care plan
3
S: -
O: Berat badan pasien: 50 kg (terdapat penurunan berat badan sebesar 5 Kg dalam waktu 2 minggu), tinggi badan pasien: 170 cm, IMT:
15,8 kg/m2, status gizi malnutrisi berat
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
P: Lakukan intervensi sesuai care plan
4
S: Pasien mengeluhkan tersedak ada ketika mencoba minum per oral
O: Terpasang NGT, residu (-), tersedak ada, FOIS level 3
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko aspirasi
P: Lakukan intervensi sesuai care plan, pasien direncanakan untuk dilakukan prosedur FEES untuk mengevaluasi kemampuan makan
5
S: -
O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh
P: Lakukan intervensi sesuai care plan
6
S: pasien melaporkan adanya cemas terkait kondisi sakitnya yang kembali muncul bahkan setelah melakukan prosedur timoma
O: Sulit tidur, insomnia positif dengan menggunakan ISI
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah ansietas
P: Lakukan intervensi sesuai care plan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
28/04
2017 1
S: Pasien mengeluh mudah lelah masih ada
O: RR: 23x/m ketika melakukan aktivitas, RR: 20x/m, HR: 103x/m, S: 370C, TD: 130/70 mmHg, SaO2: 98-99%, SaO2 berkisar antara
97-98% ketika beraktivitas
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Terapi aktivitas, peningkatan istirahat pasien
2
S: -
O: Terdapat luka dekubitus grade II di area sakrum dengan luas kurang lebih 4x5 cm, kemerahan ada, kondisi kering, balutan bersih
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Perawatan luka, posisi tubuh, kontrol infeksi
3
S: -
O: Berat badan pasien: 50 kg (terdapat penurunan berat badan sebesar 5 Kg dalam waktu 2 minggu), tinggi badan pasien: 170 cm, IMT:
15,8 kg/m2, status gizi malnutrisi berat
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Manajemen nutrisi
4
S: Pasien mengeluhkan masih kesulitan untuk dapat makan dan minum per oral
O: Terpasang NGT, tersedak ada, FOIS level 3, pasien sedang menjalani prosedur FEES.
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Pencegahan aspirasi, enteral tube feeding
5
S: -
O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Pencegahan jatuh
6
S: Pasien melaporkan adanya ketakutan akan dampak kondisi sakitanya, pasien melakukan komunikasi dengan support group miastenia
gravis untuk sharing terkait kondisi sakitnya.
O: Kesulitan tidur masih dirasakan pasien
A: Support group sudah dilakukan, pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Penurunan ansietas, evaluasi pencapaian tujuan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
29/04
2017 1
S: Pasien mengatakan mampu mobilisasi mika-miki tanpa disertai sesak
O: RR: 18x/m, HR: 103x/m, S: 370C, TD: 128/74 mmHg, SaO2: 98-99% ketika beraktifitas, ketika berbicara pasien tidak nampak
terengah-engah
A: Pasien masih menunjukkan perilaku adaptif
P: Intervensi dihentikan
2
S: -
O: Mobilisasi mika-miki, Terdapat luka dekubitus grade II di area sakrum dengan luas kurang lebih 4x5 cm, kemerahan ada, kondisi
kering, balutan bersih
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Perawatan luka, kontrol infeksi
3
S: -
O: Berat badan pasien: 50 kg, status gizi malnutrisi berat
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Manajemen nutrisi
4
S: Pasien mengeluhkan masih kesulitan untuk dapat minum per oral
O: Terpasang NGT, tersedak ada, FOIS level 5.
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Pencegahan aspirasi, enteral tube feeding
5
S: -
O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh
P: Pencegahan jatuh
6
S: pasien melaporkan cemas berkurang
O: Pasien nampak bersosialisasi dengan pasien di ruangan rawat.
A: Pasien menunjukan perilaku adaptif
P: Intervensi dihentikan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
30/04
2017 2
S: -
O: Mobilisasi mika-miki, evaluasi terhadap luka tekan pasien: luka kering, slough (-), tanda-tanda infeksi (-)
A: Pasien menunjukkan perilaku adaptif,
P: Intervensi dihentikan
3
S: -
O: Berat badan pasien: 50 kg, status gizi malnutrisi berat, pasien masih menggunakan NGT
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Evaluasi ulang pencapaian tujuan
4
S: Pasien mengeluhkan masih kesulitan untuk dapat minum per oral
O: Terpasang NGT, tersedak ada, FOIS level 5, makan per oral (+) dengan menu puding habis tanpa tersedak, minum air dengan volume
50cc batuk ada
A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised
P: Pencegahan aspirasi, enteral tube feeding, evaluasi ulang pencapaian tujuan
5
S: -
O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh
P: Pencegahan jatuh
01/05
2017 3
S: -
O: NGT lepas, makan habis 2/3 porsi, BB: 51Kg
A: Pasien berada pada level adaptasi compromised, penambahan BB mulai dialami oleh pasien
P: Intervensi dihentikan
4
S: Pasien mengatakan mampu minum per oral tanpa periode tersedak
O: Pasien mampu minum air lebih dari 50cc tanpa disertai tersedak, NGT lepas, FOIS level 7, kebersihan gigi dan mulut pasien baik
A: Pasien masih menunjukkan perilaku adaptif
P: Intervensi dihentikan
5 S: -
O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang, kelemahan ekstremitas bawah masih ada
A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
P: Pencegahan jatuh, pasien rencana pulang, evaluasi pemahaman pasien dan keluarga terkait edukasi yang telah diberikan selama pasa
perawatan pada pasien
02/05
2017 5
S: -
O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang, ekstremitas bawah dapat digerakkan namun
kekuatan otot belum maksimal, dipoplia tidak ada, ptosis berkurang
A: Pasien menunjukan perilaku adaptif dengan periode cedera jatuh tidak terjadi, pasien direncanakan pulang
P: Pasien pulang
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
I. INFORMASI UMUM
Pengkajian Tanggal : / Waktu: WIB
A. Identitas Pasien
Nama : RM :
Umur : Jenis kelamin :
Agama : Pendidikan terakhir
:
Pekerjaan :
Alamat :
DiagnosaMedis
:
B. Identitas Penanggung jawab
Nama : Umur :
Pendidikan terakhir
:
Hubungan :
Alamat :
II. ADAPTASI
A. FISIOLOGIS
1. Oksigenasi
Pengkajian perilaku (tahap I)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
2. Nutrisi
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
3. Eliminasi
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
4. Aktivitas dan istirahat
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan : 5. Proteksi dan perlindungan
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
6. Sensori
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
7. Cairan dan elektrolit
Pengkajian perilaku (tahap I) Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
8. Fungsi neurologi
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
9. Endokrin
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
Masalah Keperawatan :
B. KONSEP DIRI
1. Fisik diri
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
2. Personal diri
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
C. FUNGSI PERAN
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II)
- Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan : D. INTERDEPENDEN
Pengkajian perilaku (tahap I)
Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :
- Stimulus kontekstual :
- Stimulus residual :
Masalah Keperawatan :
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2
Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No DiagnosaKeperawatan
Nursing Outcomes Classification (NOC)
Nursing Intervention Classification (NIC)
IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN
No. Implementasi Evaluasi
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 1
1. Informasi Umum
Tn S, 60 tahun, pendidikan terakhir S1, pensiun pelayaran, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi-Jawa
Barat, RM: 415.65.75, Masuk Rumah Sakit tanggal 29 Agustus 2016.
Diagnosa Medis: Miastenia Gravis riw. Krisis Miastenik
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 07 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis
1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 24 x/menit, TD: 120/74 mmHg, HR: 99
x/menit, Saturasi 95% (saat lepas binasal), akral hangat, terpasang binasal 3 lpm; 2)
Nutrisi: nafsu makan baik, intake nutrisi adekuat per oral, makan habis 1 porsi; 3)
Eliminasi: BAB adaptif BAK terpasang urine kateter 4) Aktivitas dan Istirahat:
mobilisasi dibantu sebagian, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas
bawah 4444/4444; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, 36,4oC; 6) Sensasi; sensorik adaptif;
7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ± 2500cc/hari, mukosa bibir
lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan penurunan fungsi pernapasan disertai
penurunan kesadaran, pada saat pengkajian terdapat kelemahan di bagian ekstremitas
bawah serta kesulitan dalam bernapas, kesadaran CM dengan GCS E4M6V5 pupil
isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2; 9) Endokrin: tidak ada gangguan
Mode Konsep diri; Pasien merasa ingin segera pulih dan mobilisasi dengan harapan
dapat mandiri melakukan ADL.
Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami.
Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istrinya dan
sesekali anak maupun kerabat datang untuk mengunjungi pasien di RS.
b. Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan otot gerak bawah dan otot pernapasan
Stimulus kontekstual:
Stimulus residual: usia
3. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pola napas, 2) Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan
1) Status respiratori, 2) ambulasi
5. Intervensi
1) respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring; 2) bed rest
care, self care assistance 3) medication management (mestinon 6x60mg, methylprednisolone
3x1 tab, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi
Setelah enam jam perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptive pasien dengan nilai RR
22x/menit setelah dicoba lepas terapi oksigen dan saturasu oksigen sebesar 95-97%.
Kelemahan pada anggota gerak bawah masih ada, mobilisasi duduk bersandar. Pasien
mendapatkan terapi asetilkolinerase hari pertama dengan dosis 6x60mg dan direncanakan
akan dilakukan plasmaferesis apabila tidak terdapat perbaikan.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 2
1. Informasi Umum
Tn E, 62 tahun, pendidikan terakhir SMA, tidak bekerja, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi, RM:
415.69.70, Masuk Rumah Sakit tanggal 06 September 2016.
Diagnosa Medis: Stroke Iskemik, hipertensi grade II
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 08 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis
1) Oksigenasi : oksigenasi tidak ada kelainan. NEWSS : Hijau. Tanda vital RR : 15x/mnt
bernapas spontan, TD :118/85 mmHg, denyut nadi : 115 x/mnt, akral hangat. 2) Nutrisi :
pasien mengalami gangguan menelan, makan minum per oral, keluarga menolak untuk
pemasangan NGT; 3) Eliminasi : eliminasi spontan BAB + BAK + dengan menggunakan
diapers; 4) Aktifitas dan istirahat : mobilisasi pasien mika miki dibantu sebagian,
hemiparese kiri, kekuatan otot ektremitas atas 5555/1111, ekremitas bawah 5555/1111. 5)
Proteksi : tidak ada gangguan 6) Sensasi Tidak ada gangguan sensasi 7). Cairan dan
elektrolit & keseimbangan asam basa : intake ±1500cc/hari. Mukosa bibir lembab. 8)
Neurologis GCS : E4M6V5, pupil isokor 3mm/3mm, kaku kuduk negatif, laseg sign
>70/>70, kernik sign >135/>135, saraf kranial tidak ada kelainan. Reflex fisiologis kanan
(+2/+2), kiri (+2+2). Hasil pemeriksaan reflex patologis (-). Parese N VII, XII sinistra,
pasien afasia motorik 9) Endokrin : tidak ada gangguan.
Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji
Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami.
Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istri dan
anaknya.
b. Stimulus
Stimulus fokal: sumbatan pada pembuluh darah otak
Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi
Stimulus residual: usia, pola hidup, jenis kelamin
3. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko inadekuat perfusi jaringan serebral, 2) Kerusakan mobilitas fisik, 3) Gangguan
menelan
4. Tujuan
1) Perfusi jaringan serebral adekuat, 2) Body position: self initiated, skeletal function, 3)
swallowing status
5. Intervensi
1) Vital sign monitoring, bleeding precaution; 2) bed rest care, self care assistance, 3) enteral
tube feeding (keluarga menolak), pencegahan aspirasi 4) medication management (NaCl
0,9% 500cc/12 jam, laxadin 3x10ml, neurodex 2x1 tab, asam folat 2x5mg, simvastatin
1x20mg, ascardia 1x50mg, amlodipine 1x10mg)
6. Evaluasi
Setelah 3 hari perawatan perilaku pasien masih belum adaptif ditandai dengan pasien masih
belum dapat mobilisasi, ADL masih dibantu, tersedak masih ada.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 3
1. Informasi Umum
Tn W, 55 tahun, pendidikan terakhir SMA, wiraswasta, Islam, Sunda, Alamat: Ciamis-Jawa
Barat, Masuk Rumah Sakit tanggal 04 September 2016.
Diagnosa Medis: Stroke Iskemik, suspect stroke hemoragik, AF, hipertensi, suspect DM
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 08 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis
1) Oksigenasi: NEWSS: Oranye tanda vital RR: 23 x/menit, TD: 118/85 mmHg, HR: 115
x/menit, Saturasi 96% dengan terapi oksigen binasal 3lpm, akral hangat, oral hygiene
buruk, slem + saliva +; 2) Nutrisi: terpasang NGT, residu tidak ada; 3) Eliminasi: BAB
adaptif BAK terpasang urine kateter 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest total
kekuatan otot ekstremitas atas 3333/3333, ekstremitas bawah 3333/3333; 5) Proteksi:
Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh 38.5oC, terdapat luka dekubitus grade II di
area sacrum, leukosit 14.000; 6) Sensasi; sensasi nyeri ada; 7) Cairan dan Elektrolit dan
keseimbangan asam basa: balance cairan +100cc/24 jam (07 September 2016), mukosa
bibir kering; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan penurunan fungsi pernapasan
disertai penurunan kesadaran, pada saat pengkajian terdapat kelemahan di bagian
ekstremitas atas dan bawah, terdapat penurunan kesadaran dengan GCS E2M4V3 pupil
isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2, rangsang meningen -/-; 9)
Endokrin: gula darah jam 06.00 148 mg/dL dengan terapi insulin
Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang
ayah dengan anak tunggal; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu
ditemani oleh adiknya sebagai pengambil keputusan
b. Stimulus
Stimulus fokal: edema luas hingga hemisfer kanan dengan mid line shift sebesar 1.9cm
ke sebelah kanan, gambaran AF pada rekam jantung
Stimulus kontekstual: hipertensi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, suspect DM
Stimulus residual: riwayat merokok
3. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif, 2) Penurunan kapasitas adaptif intracranial, 3)
Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan
1) Respiratory status: airway patency, 2) Status neurologis: kesadaran, 3) Skeletal function
5. Intervensi
1) Airway Management, 2) Airway suctioning, 3) Manajemen edema serebral, 4) Monitoring
ICP, 5) Neurologic monitoring, 6) Immobilization, 7) Medication management (Meropenem
3x1 gr, manitol 4x125ml, paracetamol 3x1gr, omeprazole 2x40mg, neurodex 3x1, NaCl
0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi
Setelah empat hari perawatan, pasien belum menunjukkan perilaku adaptive dengan semakin
membesarnya area edema pada pasien serta terjadinya penurunan kesadaran. Jalan napas
pasien paten dengan dipasangnya OPA dan suction berkala (SaO2 99-100%). Tanggal
09/09/16 pasien meninggal dunia dengan status DNR.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 4
1. Informasi Umum
Tn SD, 61 tahun, pendidikan terakhir SMA, karyawan swasta, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi,
RM: 415.66.23, Masuk Rumah Sakit tanggal 02 September 2016.
Diagnosa Medis: Stroke Iskemik, hipertensi grade II
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 08 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis
1) Oksigenasi : oksigenasi tidak ada kelainan. NEWSS : Hijau. Tanda vital RR : 15x/mnt
bernapas spontan, TD :172/103 mmHg, denyut nadi : 83 x/mnt, akral hangat. 2) Nutrisi :
Makan per oral habis ¾ porsi; 3) Eliminasi : eliminasi spontan BAB + BAK + dengan
menggunakan diapers, riwayat hematochezia, BAB berdarah 3-4 kali/hari; 4) Aktifitas
dan istirahat : mobilisasi pasien mika miki dibantu sebagian, hemiparese kanan, kekuatan
otot ektremitas atas 1111/5555, ekremitas bawah 1111/5555. 5) Proteksi : tidak ada
gangguan 6) Sensasi Tidak ada gangguan sensasi 7). Cairan dan elektrolit &
keseimbangan asam basa : intake ±1500cc/hari. Mukosa bibir lembab. 8) Neurologis
GCS : pasien dating ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran dan tidak mampu
menggerakkan anggota gerak kanan, serta kesulitan menelan, pada saat pengkajian
diketahui E4M6V5, pupil isokor 3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, rangsang meningen
(-), Parese N VII, XII dextra, pasien afasia motorik 9) Endokrin : tidak ada gangguan.
Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji
Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami.
Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istri dan
anaknya.
b. Stimulus
Stimulus fokal: sumbatan pada pembuluh darah otak
Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi
Stimulus residual: usia, pola hidup
3. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko inadekuat perfusi jaringan serebral, 2)Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan
1) Perfusi jaringan serebral adekuat, 2) Body position: self initiated, skeletal function
5. Intervensi
1) Vital sign monitoring, bleeding precaution; 2) bed rest care, self care assistance, 3)
medication management (NaCl 0,9% 500cc/12 jam, neurodex 2x1 tab, asam folat 2x5mg,
simvastatin 1x20mg, ranitidine 2x50mg, valsartan 1x80mg, paracetamol 3x500mg,
amlodipine 1x10mg, transamin 3x500mg)
6. Evaluasi
Setelah enam hari perawatan perilaku pasien menunjukkan perilaku adaptif ditandai dengan
meningkatkan kemampuan pasien dalam intake nutrisi per oral (aspirasi tidak ada), BAB
berdarah 1-2x/hari. Pasien pulang pada tanggal 16 September 2016 dengan hemodinamik
stabil, BAB berdarah sudah tidak ada, mobilisasi duduk, makan mandiri.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 5
l. Informasi Umum
Tn EJ, 65 tahun, pendidikan terakhir SMA, PNS, Islam, Betawi, Alamat: Cipayung-Jakarta,
RM: 388.97.00, Masuk Rumah Sakit tanggal 11 September 2016.
Diagnosa Medis: Paresis N. VII sinistra sentral, hemiparese sinistra ec. Stroke iskemik,
hipertensi, DM tipe II, hiperlipidemia, hipokalemia
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 15 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 18 x/menit,
TD: 207/111 mmHg, HR: 67 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene baik; 2)
Nutrisi: intake per oral adaptif,; 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan
Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 5555/2222, ekstremitas bawah
5555/2222; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak
ada gangguan sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa:
hipokalemia K: 3.3 (12 September 2016), mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk
rumah sakit dengan kelemahan anggota gerak kanan pada saat pengkajian terdapat
kelemahan di bagian ekstremitas atas dan bawah sebelah kanan, kesadaran compos
mentis, tidak ada gangguan bicara pupil isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri
+2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: gula darah sewaktu 256 mg/dL HbA1C 6.8
(12.10.2016) tanpa terapi gula darah. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera
pulih dan dapat beraktivitas seperti sebelum masuk RS; Mode Fungsi Peran; Pasien
merupakan seorang ayah dan pencari nafkah di keluarganya; Mode Interdependensi;
Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh anak maupun istrinya, kerabat dan
saudara setiap hari mengunjungi pasien selama masa perawatan
b. Stimulus
Stimulus fokal: infark multiple di ganglia basalis kanan kiri, kapsula eksterna, dan lobus
parietal kanan, kardiomegali, hiperlipidemia
Stimulus kontekstual: hipertensi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, DM tipe II
Stimulus residual: riwayat merokok
3. Diagnosa Keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) Kerusakan
mobilitas fisik 3) Ketidakstabilan glukosa dalam darah
4. Tujuan: 1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic
3) Mobilisasi 5) Kadar glukosa darah
5. Intervensi: 1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Promosi bodi mekanik, 4)
Latihan: control otot, 5) Body position: self initiated, 6) Latihan ambulasi, 7) Kontrol gula
darah, 8) Medication management (ascardia 1x80mg, captopril 3x25mg, simvastatin
1x20mg, Vit B6 2x10mg, Vit B12 2x50mg, KSR 3x600mg, Asam folat 2x5mg, amlodipin
1x10mg, Nacl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi: Setelah 12 hari perawatan, pasien menunjukkan adaptasi terhadap kadar gula darah
serta kemampuan mobilisasi dengan kontrol TD (123/63), mobilisasi duduk, pasien secara
mandiri maupun dibantu oleh keluarga rutin melakukan ROM exercise, GD: 179 mg/dL
(23/09).
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 6
1. Informasi Umum
Tn EI, 32 tahun, pendidikan terakhir SMP, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Jawa Tengah,
RM: 415.65.37, Masuk Rumah Sakit tanggal 25 Agustus 2016 (11.09.2016 masuk ruang
neurologi).
Diagnosa Medis: Stroke iskemik, Tuberkulosis paru OAT hari ke-9
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 12 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 22 x/menit
dengan binasal 3 lpm, vesicular menurun pada paru kiri, ronchi basah bilateral TD:
100/57 mmHg, HR: 81 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene baik; 2) Nutrisi:
intake per NGT, residu (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan
Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 5555/3333, ekstremitas bawah
5555/3333; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak
ada gangguan sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: tidak ada
kelainan dengan balance cairan -200 cc/24 jam, mukosa bibir lembab; 8) neurologis:
masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran disertai distress pernapasan. Pasien
menjalani perawatan di ICU dan ruangan isolasi selama 18 hari lalu pindah ke ruangan
rawat inap neurologi. Terdapat penurunan kekuatan otot di anggota gerak kiri disertai
penurunan fungsi menelan. Releks fisiologis +2/+2, rangsang meningen (-/-) 9) Endokrin:
adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera pulih dan kembali ke
rumahnya di Jawa; Mode Fungsi Peran; Pasien berperan sebagai seorang suami dan
ayah dari 1 orang anak serta pencari nafkah di keluarganya; Mode Interdependensi;
Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istrinya sebagai sumber dukungan dan
pengambil keputusan.
b. Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan anggota gerak, gangguan menelan, gambaran bercak TB di
kedua lapang paru; Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi; Stimulus residual:
3. Diagnosa Keperawatan: 1) Ganguan pola napas 2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral 3) Kerusakan mobilitas fisik 4) Gangguan menelan
4. Tujuan: 1) Status respiratori 2) Cardiopulmonary status 3) Perfusi jaringan serebral adekuat
4) Body position: self initiated 5) Swallowing status
5. Intervensi: 1) Respiratory monitoring 2) Oxygen therapy 3) Cardiac care 4) Vital sign
monitoring 5) Bed rest care 6) Enteral tube feeding (nutrisi 1650 kkal) 7) Pencegahan
aspirasi 8) Medication management (simvastatin 1x20mg, asam folat 2x5mg, ascardia
1x80mg, neurodex 2x1 tab, captopril 3x25mg, rifampisin 1x600mg, INH 1x300mg,
pirazinamid 1x1000mg, ethambutol 1x1000, vit B6 3x10mg, bisoprolol 2x5mg, cpz 2x25mg,
curcuma 3x200mg, dexamethasone 4x5mg, NaCl 0,9% 500cc/8 jam)
6. Evaluasi: Pasien menunjukkan perilaku adaptive ditunjukkan dengan sesak tidak ada (tanpa
pemberian terapi oksigen), kesadaran CM, mobilisasi duduk dengan sandaran, pasien dibantu
oleh keluarga mampu melakukan ROM exercise, pada hari ke-5 (15/09) NGT sudah dilepas
dan pada saat pulang (23/09) intake nutrisi per oral adekuat aspirasi tidak ada, komunikasi
baik.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 7
1. Informasi Umum
Tn I, 24 tahun, pendidikan terakhir SD, tidak bekerja, Islam, Jawa, Alamat: Cakung-Jakarta
Timur, RM: 414.97.35, Masuk Rumah Sakit tanggal 08 September 2016.
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec susp neoplasma intracranial, epilepsi bangkitan,
down syndrome, massa intraabdominal susp ca kolon dengan riwayat melena, prolonged
fever, hipoalbumin, anemia ec GI bleeding, hipokalemi, hiponatremi
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 12 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 24 x/menit,
TD: 96/57mmHg, HR: 103 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene baik; 2)
Nutrisi: intake per oral habis ¼ porsi, albumin: 1.96 (08/09) BNO: tak tampak dilatasi
dinding usus (08/09); 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat:
pasien bed rest cenderung tertidur, kekuatan otot adaptif; 5) Proteksi: Risiko jatuh
tinggi, terpasang klip risiko jatuh, terdapat ulkus dekubitus post ranap di RS Koja grade
III di area sacrum, PCT 1.15ng/mL (08/09); 6) Sensasi; tidak ada gangguan sensasi; 7)
Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: hipokalemia K: 1.7 CL: 96 (08/09),
mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran,
observasi kejang disertai prolonged fever dan observasi prolonged fever post ranap di RS
Koja selama 1 bulan. Kesadaran Voice cenderung untuk tidur, kemampuan bicara
menurun, gangguan menelan tidak ada. foto tulang belakang kesan straight (14/09) tak
tampak kelainan pada CT scan dengan sran dilakukan MRI kepala (08/09) reflex
fisiologis +2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; tidak
dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan anak tunggal; Mode
Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh ibu dan ayahnya
b. Stimulus
Stimulus fokal: penurunan kesadaran; Stimulus kontekstual: susp keganasan intrakranial
Stimulus residual:
3. Diagnosa Keperawatan: 1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) hipertermia 3)
Nutrisi kurang dari kebutuhan 4) ketidakseimbangan cairan tubuh 5) Kerusakan integritas
kulit
4. Tujuan: 1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic
3) Termoregulasi 4) Penyebaran infeksi 5) Keseimbangan elektrolit 6) Status nutrisi: intake
7) perfusi perifer 8) Perbaikan integritas jaringan
5. Intervensi: 1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Penanganan demam 4) Kontrol
infeksi 5) Enteral tube feeding 6) Pemberian produk darah (PC, TC, FFP, albumin) 7)
Perawatan luka 8) Medication management (12/09)(Paracetamol 3x1 gr, omeprazole
1x40mg, fenitoin 3x100mg, kepra 3x500mg, cefoperazon 2x2gr, metronidazole 3x500mg,
albumin 20%, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi: Setelah 34 hari perawatan, pasien belum menunjukkan adaptasi dengan penurunan
kesadaran (Pain), kejang ada 1x (11/09) tepasang NGT dikarenakan intake minimal,
terpasang urine catheter dengan dieresis 200cc/24 jam. Luka dekubitus bertambah luas
meskipun dengan perawatan luka masif dan penggunaan kasur dekubitus serta mobilisasi.
Terdapat peningkatan nilai PCT 1,7 dengan leukosit 27.300 (11/09). Hasil MRI abdomen
diketahui terdapat neoplasma intraabdomen dengan metastase di beberapa organ.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 8
1. Informasi Umum
Tn FN, 67 tahun, pendidikan terakhir SMP, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Tanggerang,
RM: 415.80.94, Masuk Rumah Sakit tanggal 02 Agustus 2016
Diagnosa Medis: Sub dural hemoragik ec traumatik, fraktur os tibia, TB paru OAT hari ke-
17
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 10 Oktober 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20x/menit
dengan binasal 3 lpm TD: 128/78 mmHg, HR: 70 x/menit, Saturasi 98%, akral hangat,
oral hygiene baik; 2) Nutrisi: adaptif, mual muntah (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK
adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, terpasang traksi dengan bebean 5kg di
kaki kanan, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas bawah 5555/- ; 5)
Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak ada gangguan
sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa bibir
lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit setelah kecelakaan lalu lintas, kesadaran CM,
penurunan fungsi penglihatan di mata kanan Releks fisiologis +2/+2, rangsang meningen
(-/-) 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera pulih dan
mampu untuk berjalan kembali, pasien menolak untuk dilakukan operasi pemasangan
ORIF; Mode Fungsi Peran; Pasien hidup sendiri di kosan; Mode Interdependensi;
Selama dirawat di RS tidak pernah ditunggui oleh keluarganya, sosialisasi dengan pasien
di ruangan baik
b. Stimulus
Stimulus fokal: penurunan fungsi penglihatan, gambaran bercak TB di kedua lapang
paru, fraktur femur dan hip
Stimulus kontekstual: Riwayat putus obat, usia
Stimulus residual: Gaya hidup
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Nyeri 2) Ganguan pola napas 3) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 4)
Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan:
1) Kontrol nyeri 2)Status respiratori 2) Cardiopulmonary status 3) Perfusi jaringan serebral
adekuat 4) Ambulasi dan adaptasi terhadap disabilitas
5. Intervensi:
1) Manajemen nyeri 2)Respiratory monitoring 3) Oxygen therapy 4) Cardiac care 5) Vital
sign monitoring 6) Latihan ambulasi 7) Medication management (ketorolac 3x30mg, extrace
1x400mg, rifampisin 1x450mg, INH 1x300mg, Vit B6 3x10mg, transamin 3x500mg,
nonflamin 3x500mg, kalxetin 1x10mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi: Setelah 12 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptive ditunjukkan dengan sesak
tidak ada (tanpa pemberian terapi oksigen), kesadaran CM, mobilisasi duduk tanpa sandaran,
pasien bertahan untuk menolak dilakukan operasi pemasangan ORIF. OAT masih berjalan
pasien direncanakan untuk pulang.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 9
1. Informasi Umum
Tn A, 29 tahun, tamat SMP, karyawan swasta, Islam, Jawa, Alamat: Tangerang, RM:
414.70.79, Masuk Rumah Sakit tanggal 09 September 2016.
Diagnosa Medis: Post kraniektomi dekompresi hari ke 15, frontal lobe syndrome
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 26 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 18x/menit,
TD: 128/80 mmHg, HR: 90 x/menit, Saturasi 99%, terapi oksigen dengan binasal 3lpm,
akral hangat, oral hygiene buruk; 2) Nutrisi: intake nutrisi adekuat dengan menggunakan
OGT, 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest
cenderung tertidur, kekuatan otot ekstremitas atas 3333/3333 ekstremitas bawah
3333/3333; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh, terdapat VL di
area wajah; 6) Sensasi; keluhan nyeri ada skala 3 dengan pemberian analgetik; 7) Cairan
dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ±1000cc/hari, mukosa bibir lembab;
8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran 4 jam sebelumnya setelah
terkena ledakan APAR, saat pengkajian GCS E2M6V3 pupil isokhor 3mm/3mm, kaku
kuduk (-/-), reflex fisiologis +2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: adaptif. Mode
Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan anak ke 2 dari
4 bersaudara, pencari nafkah di keluarganya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di
RS, pasien selalu ditemani oleh ibu dan adiknya
b. Stimulus
Stimulus fokal: agen injuri post kraniektomi
Stimulus kontekstual; hematoma fronto temporal dextra (CT Scan)
Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri 3) Kerusakan integritas kulit
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: 3) Pain control 4) Penyembuhan
luka:primer
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)
Manajemen nyeri 6) Perawatan luka 7) Medication management (26/09)(Paracetamol 3x1 gr,
omeprazole 1x40mg, meropenem 3x1gr, indexon, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 4 hari pasien masih menunjukan skala nyeri dalam rentang 2-3 dan
perubahan suhu yang cenderung di atas normal. Vital sign TD 137/88 N 98 x/menit P 18
x/menit S 38,10C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada
level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 10
1. Informasi Umum
Tn S, 61 tahun, pendidikan terakhir SMA, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta, RM:
411.77.46, Masuk Rumah Sakit tanggal 15 September 2016
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran dengan ensefalopati metabolic, pneumonia aspirasi,
aneurisma aorta, hipertensi
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 17 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 22x/menit
dengan binasal 3 lpm TD: 167/97 mmHg, HR: 78 x/menit, Saturasi 99%, ronchi di daerah
basal ka-ki terutama kanan, NRM 10lpm, akral hangat, CRT <2 detik, oral hygiene baik;
2) Nutrisi: pasien terpasang NGT, residu (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK menggunakan
DC 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 2222/5555
ekstremitas bawah 2222/5555; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko
jatuh,; 6) Sensasi; sensasi nyeri +; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa:
balance cairan ±200 cc/24 jam mukosa bibir lembab; 8) neurologis: Masuk ke RS sakit
setelah post rawat 1 minggu yang lalu, 6 hari yang lalu pasien melepas NGT sendiri dan
keluarga memberikan makan per oral, sempat tersedak. Saat pengkajian GCS E3M5Vafasia
pupil bulat isokhor 3mm/3mm, reflek cahaya langsung +/+, refek cahaya tidak langsung
+/+ kaku kuduk (-/-), reflex fisiologis +2/+2, rangsang meningen -/-, kesan hemiparese
dextra. Parese kranialis N VII dextra sentral 9) Endokrin: adaptif GDS 161 (15/09) Mode
Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang
suami dan memiliki 2 orang anak; Mode Interdependensi; belum dapat dinilai, selama
dirawat di RS tidak pernah ditunggui oleh keluarganya, sosialisasi dengan pasien di
ruangan baik
b. Stimulus
Stimulus fokal: infark luas lobus frontotemporoparietaooksipital dexta, basal ganglia kiri
dan thalamus bilateral (15/09), infiltrate di kedua paru bertambah (15/09)
Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi
Stimulus residual: Gaya hidup
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Ganguan pola napas 3) Kerusakan mobilitas
fisik
4. Tujuan:
1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3)Status respiratori 4)
Cardiopulmonary status 5) Ambulasi dan adaptasi terhadap disabilitas
5. Intervensi:
1) Manajemen tekanan intra cranial 2)Respiratory monitoring 3) Oxygen therapy 4) Cardiac
care 5) Vital sign monitoring 6) Latihan ambulasi
6. Evaluasi:
Setelah 3 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pada level compromised
process ditunjukkan dengan sesak berkurang RR: 20x/menit dengan terapi oksigen binasal
4lpm, kontak dengan lingkungan ada, ronkhi di basal paru kanan berkurang.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 11
1. Informasi Umum
Tn M, 44 tahun, tamat SMA, karyawan swasta, Islam, Alamat: Jakarta, Betawi, RM:
412.51.30, Masuk Rumah Sakit tanggal 20 Oktober 2016.
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran, atrofi cerebri, sepsis ec CAP, DM tipe 2
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 21 Oktober 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Merah tanda vital RR: 12x/menit,
TD: 88/59 mmHg, HR: 67 x/menit, Saturasi 100%, terapi oksigen dengan NRM 10 lpm,
ronkhi di basal paru kiri, akral hangat; 2) Nutrisi: terpasang NGT dengan diet LLM, 3)
Eliminasi: terpasang FC, dieresis +, 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest; 5)
Proteksi: Risiko jatuh tinggi, suhu 37.2oC, terdapat luka dekubitus grade 1 pada area
sacrum, prokalsitonin 2.7 (20/10); 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit
dan keseimbangan asam basa: balance cairan +150 cc, mukosa bibir lembab; 8)
neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran, saat pengkajian GCS E3M5V3
pupil isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, reflex patologis (-); 9) Endokrin:
adaptif. Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan
seorang ayah dengan 2 orang anak, bercerai dengan istrinya, kedua anaknya tinggal
bersama ibunya di Padang; Mode Interdependensi; Pasien diantarkan ke IGD RSCM
oleh adiknya, salah seorang anak pasien direncanakan akan datang ke Jakarta
b. Stimulus
Stimulus fokal: oklusi vascular cerebri (CT Scan 20/10)
Stimulus kontekstual: riwayat DM
Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Kerusakan integritas kulit 3) Kerusakan
mobilitas fisik
4 Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: 3) Penyembuhan luka primer 4)
level mobility
5 Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Perawatan luka 4) exercise
management 5) Medication management (vascon 4.5mg/24 jam, omeprazole 1x40mg,
flumucyl 3x200mg, paracetamol 3x1 gr, tramadol 1x100mg, NaCl 0,9% 500cc/8 jam,
Tutofusin 500cc/12 jam)
6 Evaluasi: Evaluasi selama 6 jam perawatan pasien masih menunjukan perubahan hemodinamik RR:
12x/menit, TD: 97/73 mmHg. HR: 82x/menit tanpa perubahan tingkat kesadaran. Pasien
masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 12
1. Informasi Umum
Tn N, 33 tahun, pendidikan terakhir SMA, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat: Jakarta,
RM: 415.88.41, Masuk Rumah Sakit tanggal 17 Oktober 2016
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec cedera kepala berat, multiple trauma
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 18 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Merah airway terpasang collar neck,
terpasang ETT connect to ventilator dengan setting PSIMV VT 366-388 PS 12 PEEP 5
FiO2 45% I:E 1:1.5, usaha napas spontan (-), slem per ETT (-), Saturasi 100%, TD: 53/33
mmHg, HR: 92 x/menit, MAP 41, akral dingin, CRT >3 detik, oral hygiene buruk
terdapat sisa perdarahan per oral, otorhea, rinorhea, papil edema dextra +, tanda
perdarahan aktif (-); 2) Nutrisi: pasien terpasang OGT, residu (+) hijau kecoklatan
±200cc/24 jam; 3) Eliminasi: terpasang FC dieresis +; 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien
bed rest kekuatan otot tidak dapat terkaji; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terdapat VL di
area wajah bahu, dada, lengan serta kaki,; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan
Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +300cc/24jam mukosa bibir
lembab; 8) neurologis: 1 jam sebelum masuk RS, pasien ditemukan tidak sadarkan diri di
pinggir jalan setelah KLL, mekanisme injuri tidak diketahui. Saat pengkajian GCS
E1M1Vett pupil bulat anisokhor 5mm/4mm, reflek cahaya langsung -/-, refek cahaya tidak
langsung -/- kaku kuduk reflex fisiologis rangsang meningen tidak dapat dikaji; 9)
Endokrin: GDS 329 (17/10) Mode Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi
Peran; Pasien merupakan seorang anak dan sumber pendapatan di keluarganya; Mode
Interdependensi; belum dapat dinilai.
b. Stimulus
Stimulus fokal: kesan asidosis metabolic terkompensasi sebagian (AGD, 17/10)
perdarahan di basal ganglia meluas hingga kapsula eksterna kanan, IVH, SAH, herniasi
subfalcine, edema serebri, fr C3 (17/10)
Stimulus kontekstual:
Stimulus residual:
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Gangguan ventilasi spontan
4. Tujuan:
1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3) respiratory status: airway patency
4) respiratory stasus: gas exchange
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral 2) Monitoring status neurologis 3) cardiac care 4) posisi
neurologis 5) mechanical ventilation management invasive 6) oxygen therapy
6. Evaluasi:
Pada hari perawatan ke-2 (18/10) pasien menunjukkan perilaku adaptif dalam level
compromised, pasien berada pada status DNR tanpa pemberian obat topangan, MAP
mencapai 30-31 mmHg. Namun akhirnya pasien menunjukkan perilaku indaptif dengan
semakin menurunnya kondisi pasien dan dinyatakan meninggal pada tanggal 19/10.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 13
1. Informasi Umum
Tn F, 34 tahun, tamat S1, wiraswasta, Kristen Protestan, Batak, Alamat: Depok, RM:
359.61.03, Masuk Rumah Sakit tanggal 05 Oktober 2016.
Diagnosa Medis: Myasthenia gravis, CAP, osteoporosis
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 06 Oktober 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20x/menit,
TD: 100/72 mmHg, HR: 72 x/menit, Saturasi 98%, sesak ada, dada terasa berat, terapi
oksigen dengan binasal 3 lpm, ronkhi di basal paru kiri dan kanan, batuk ada (sejak 2
minggu SMRS), AGD (05/10) kesan normal, akral hangat; 2) Nutrisi: makan per oral,
habis 1 porsi, 3) Eliminasi: BAB cair 4 kali, BAK spontan, 4) Aktivitas dan Istirahat:
pasien bed rest dengan mobilisasi minimal di atas tempat tidur, kekuatan otot ekstremitas
atas 4444/4444, kekuatan otot ekstremitas bawah 4444/4444; 5) Proteksi: Risiko jatuh
tinggi, suhu 37.4oC, prokalsitonin 1.3; leukosit 10.700 (05/10), terdapat luka post
trakeostomi; 6) Sensasi; adaptif; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa:
balance cairan -250cc/24jam, mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan
keluhan sesak sejak 5 jam sebelum asuk RS, Agustus 2016 post rawat inap akibat krisis
miastenik, sudah timektomi (2014) saat pengkajian GCS E4M6V5 pupil isokhor
3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, reflex patologis (-), rangsang cahaya langsung dan
tidak langsung +/+, kelemahan anggota gerak dirasakan bila berjalan jauh; 9) Endokrin:
adaptif dengan GDS: 76 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien mengatakan ingin segera
pulih; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang anak tunggal dan mencari nafkah
untuk keluarganya; Mode Interdependensi; selama masa perawatan pasien ditemani
oleh ibunya
b. Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan otot pernapasan dan anggota gerak, Thorax (05/10) infiltrate
dan fibrosis di paru kiri
Stimulus kontekstual: riwayat timoma
Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Gangguan pola napas 2) Kerusakan mobilitas fisik 3) Kerusakan integritas kulit
4. Tujuan:
1) Status respiratori 2) level mobility 3) ambulasi 4) Penyembuhan luka:primer
5. Intervensi:
1) Respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring 2) exercise
management 3) Perawatan luka 5) Medication management (mestinon 4x60mg, omeprazole
2x40mg, sukralfat 4x15cc, fluimucyl 3x15cc, cravat D3 3x1, cefepime 3x1, inhalasi
combivent:bisolvon/6 jam, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 10 hari perawatan pasien menunjukan perubahan hemodinamik RR:
16x/menit tanpa terapi oksigen, TD: 111/79 mmHg. HR: 98x/menit, SaO2 99-100%.
Mestinon naik dosik 5x60mg, methylprednisolon diberikan untuk menunjang kondisi fisik
pasien, evaluasi nilai procalcitonin 1,7 (13/10). Pasien berada dalam level adaptasi
compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 14
1. Informasi Umum
Tn AM, 21 tahun, mahasiswa, Islam, Betawi, Alamat: Jakarta Timur, Betawi, RM:
415.93.60, Masuk Rumah Sakit tanggal 29 Oktober 2016
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec CKS, SAH, Post debridement
tibia+ORIF+skeletal traksi distal femur, closed fracture jari kelingking dextra
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 31 September 2016. Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi:
NEWSS: Merah Pasien terpasang ETT no.7.5 dengan batas bibir 22, 5cm di atas carina,
slem per ETT banyak kental warna putih kekuningan, saliva banyak, diberikan terapi
inhalasi/6 jam serta suction berkala dilakukan. Usaha napas pasien ada dibantu dengan
ventilasi mekanik dengan setting SIMV (pressure control) FiO2 40%, PEEP 5, Pabove
PEEP 9, RR 10 x/mnt. Pada saat pengkajian, pasien menunjukkan RR 10-18 x/mnt,
PEEP 3-5, Pmean 7, Ppeak 14, VTi 219-507, VTe 224-468, mVe 6.9, SaO2 100%. Suara
napas vesikuler, pengembangan paru kiri kanan sama. HR: 92x/mnt, TD: 130-160/70-80
mmHg, MAP: 88-92 dengan topangan dobutamin 1mcg/KgBB/menit, pulsasi teraba kuat
dan penuh; 2) Nutrisi: pasien terpasang NGT, residu (-); 3) Eliminasi: terpasang FC
diuresis 0,7/6 jam; 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot tidak dapat
terkaji; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, Terpasang traksi skeletal dengan beban 10 Kg,
terdapat VL di bagian tangan dan kaki, ulkus dekubitus (-), terdapat luka jahitan di tibia
medial anterior dengan ukuran ±7cm tertutup gips; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7)
Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: terpasang CVC di subclavia dextra,
connect to Ringerfundin 20cc/jam. CRT<3detik, akral hangat, konjungtiva anemis, CVP:
+12cmH2O. (30/10) Input: 2099.8cc,Output: 1890cc, Balance: +209.8cc, Na: 125; 8)
neurologis: Tingkat kesadaran pasien belum dapat terkaji dikarenakan pasien berada di
bawah pengaruh obat dengan propofol 50mg/jam, midazolam 3mg/jam, kekuatan otot
belum dapat dikaji, pupil bulat isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung +/+, battle sign (-), fr column cervical (-), refleks fisiologis +2/+2, sensasi dan
otonom belum dapat dinilai. reflek cahaya langsung +/+, refek cahaya tidak langsung +/+
kaku kuduk reflex fisiologis rangsang meningen tidak dapat dikaji; 9) Endokrin: GDS
167 (30/10) Mode Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi Peran; Pasien
merupakan seorang anak di keluarganya; Mode Interdependensi; belum dapat dinilai.
b. Stimulus. Stimulus fokal: SAH di fissure sylvii kanan, edema luas di hemisfer serebri
dextra (30/10); Stimulus kontekstual: -; Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan: 1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Gangguan ventilasi
spontan
4. Tujuan: 1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3) respiratory status: airway
patency 4) respiratory stasus: gas exchange
5. Intervensi: 1) Promosi perfusi serebral 2) Monitoring status neurologis 3) cardiac care 4)
posisi neurologis 5) mechanical ventilation management invasive 6) oxygen therapy
6. Evaluasi: Setelah perawatan selama 4 hari, pasien menunjukkan hemodinamik tidak stabil
dengan dibantu topangan dan sedasi. Pasien berada dalam level adaptasi compromised
processes.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 15
1. Informasi Umum
Tn MG, 71 tahun, tamat S1, tidak bekerja, Islam, Alamat: Jakarta Timur, Jawa, RM:
359.67.61, Masuk Rumah Sakit tanggal 17 September 2016.
Diagnosa Medis: Stroke iskemik berulang, Status epileptikus, Hipertensi grade II, HAP,
acute kidney injury
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 19 September 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 22x/menit,
TD: 180/103 mmHg, HR: 91 x/menit, Saturasi 99%, sesak ada, terpasang tracheostomy
connect to closed suction dan oksigen 10lpm, ronkhi di basal paru kiri dan kanan, slem +
(warna kuning, kental), AGD (19/09) kesan normal, akral hangat, Ro Thorax: gambaran
kardiomegali dan susp. Edema paru (17/09); 2) Nutrisi: makan per PE 1500kkal, BB
ideal: 67,5 Kg, albumin (17/09): 2,92, 3) Eliminasi: BAB adaptif 2 hari sekali dengan
pemberian obat, BAK dengan menggunakan kondom kateter, 4) Aktivitas dan Istirahat:
pasien bed rest dengan mobilisasi minimal di atas tempat tidur, keempat ekstremitas
spasme; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, suhu 36,8oC, luka dekubitus grade III di area
sacrum, procaltonin (17/09): 2,09; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit
dan keseimbangan asam basa: balance cairan -350cc/24jam, mukosa bibir lembab,
(17/09) Ca: 8,3, Mg: 1,64, cr: 1,5, ur:93; 8) neurologis: 1 jam sebelum masuk ke RS
pasien dikatakan kejang (kedua tangan kaku, mata meolotot) dengan durasi ±30 menit,
setelah kejang kesadaran pasien dikatakan mulai menurun, pasien riwayat stroke 5 kali
(1995, 1998, 2001, 2005, dan 2014), saat pengkajian GCS E4M2Vtt pupil isokhor
3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, reflex patologis (-), rangsang cahaya langsung dan
tidak langsung +/+; 9) Endokrin: adaptif dengan GDS: 114 mg/dL. Mode Konsep diri;
tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami,
pembiayaan ditanggung oleh anaknya; Mode Interdependensi; selama masa perawatan
pasien ditemani oleh caregiver (bukan keluarga)
b. Stimulus
Stimulus fokal: penumpukan slem di jalan napas; Stimulus kontekstual: riwayat stroke
Stimulus residual: pola hidup
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Bersihan jalan napas tidak efektif 2) Risiko inadekuat perfusi jaringan serebral
3)Kerusakan mobilitas fisik 4) Kerusakan integritas kulit
4. Tujuan:
1) Respiratory status: airway patency 2) status neurologis: kesadaran 3) skeletal function 4)
ambulasi 5) Penyembuhan luka:primer
5. Intervensi:
1) Airway management; airway suctioning 2) neurologic monitoring, cardiac care, vital sign
monitoring 3) exercise management 4) Perawatan luka 5) Medication management
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 13 hari perawatan pasien menunjukan perubahan hemodinamik RR:
18x/menit dengan oksigen 10lpm, TD: 154/96 mmHg. HR: 90x/menit, SaO2 99-100%, slem
berkurang. Pasien berada dalam level adaptasi compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 16
1. Informasi Umum
Tn W, 33 tahun, tamat S1, tidak bekerja, Islam, Padang, Alamat: Jakarta Timur, RM:
417.41.12, Masuk Rumah Sakit tanggal 06 November 2016
Diagnosa Medis: Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP)
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 07 November 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 21x/menit,
TD: 125/90 mmHg, HR: 78 x/menit, Saturasi 99%, pasien mengeluhkan sesak, dada
terasa berat, batuk tidak ada, terapi oksigen dengan binasal 2 lpm, Ro Thorax (06/11)
tidak tampak kelainan, akral hangat; 2) Nutrisi: makan per oral, habis 1 porsi, 3)
Eliminasi: belum BAB selama 2 hari, BAB keras, BAK spontan, 4) Aktivitas dan
Istirahat: pasien bed rest dengan mobilisasi duduk bersandar di atas tempat tidur,
kekuatan otot ekstremitas atas 1111/1111, kekuatan otot ekstremitas bawah 4444/4444,
ADL dibantu oleh keluarga; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, suhu 36,8oC; 6) Sensasi;
sensasi di bagian ekstremitas menurun dibandingkan ekstremitas bawah; 7) Cairan dan
Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +450cc/24jam, mukosa bibir
lembab, elektrolit dalam batas normal; 8) neurologis: masuk ke RS dengan kelemahan
anggota gerak sejak 3 hari SMRS, 2 bulan yang lalu pasien post rawat inap selama 2
minggu dan ditegakkan diagnose CIDP, membaik setelah dilakukan plasmaferesis. Pada
saat pengkajian keluhan sesak sejak subuh GCS E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, reflex
fisiologis +2/+2, reflex patologis (-), rangsang cahaya langsung dan tidak langsung +/+,
kelemahan anggota gerak dirasakan terutama pada ekstremitas atas; 9) Endokrin: adaptif
dengan GDS: 90 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien mengatakan ingin segera pulih;
Mode Fungsi Peran; Pasien harus berhenti dari pekerjaannya semenjak didiagnosa
CIDP; Mode Interdependensi; selama masa perawatan pasien ditemani oleh adik dan
kakaknya.
b. Stimulus: Stimulus fokal: kelemahan anggota gerak, (3/11) hasil pemeriksaan KHS dan
EMG: keempat ekstremitas mengalami poliradikuloneuropati serabut motorik dan
sensori; Stimulus kontekstual: riwayat CAP; Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Gangguan pola napas 2) Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan:
1) Status respiratori 2) level mobility 3) ambulasi
5. Intervensi:
1) Respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring 2) exercise
management 3) Medication management (cravit D3 3x1, imuran 1x50mg, ranitidine 2x50mg,
prednisone 1x50mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 5 hari perawatan pasien menunjukan perubahan hemodinamik RR:
16x/menit tanpa terapi oksigen, TD: 138/88 mmHg. HR: 73x/menit, SaO2 97-99%. Pasien
menunjukan respon positif terhadap pemberian kortikosteroid sehingga tidak membutuhkan
tindakan plasmaferesis, Kekuatan otot ekstremitas atas 3333/3333. Pasien berada dalam level
adaptasi compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 17
1. Informasi Umum
Tn MS, 45 tahun, tamat SD, tidak bekerja, Islam, Sunda, Alamat: Bogor-Jawa Barat, RM:
402.89.48, Masuk Rumah Sakit tanggal 10 Oktober 2016.
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec susp SOL intracranial, hydrocephalus, riwayat
KNF on kemoterapi ke-4
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 13 Oktober 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 20 x/menit,
TD: 106/69 mmHg, HR: 106 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene buruk
Thorax ro (10/10) t; 2) Nutrisi: terpasang NGT, residu ada warna hijau kecoklatan,
sementara dipuasakan; 3) Eliminasi: BAB belum sejak masuk rumah sakit, terpasang FC,
diuresis + 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest cenderung tertidur, spasme pada
anggota gerak atas +/+; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,
terdapat ulkus dekubitus di area sakrum grade II, ukuran ±3x5cm, perawatan luka
dilakukan, S: 38,80C; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit dan
keseimbangan asam basa: elektrolit dalam batas normal (10/10), balance cairan
+360cc/24 jam; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran, pasien post
kemoterapi ke-4 10 hari yang lalu dan kesadaran bertahap menurun, sebelumnya pasien
post ranap kaena penurunan kesadaran, Pada saat pengkajian GCS E3M5V2. Hasil
pemeriksaan funduskopi tidak ditemukan adanya tanda-tanda peningkatan TIK, kaku
kuduk +/+, babinski -/-, refleks fisiologis +2/+2, rangsang cahaya langsung dan tidak
langsung +/+. CT Scan (10/10) nampak pelebaran sistem ventrikel bilateral perifokal
edema tidak ada, midline shifting (-), ventrikel III dan IV terbuka; 9) Endokrin: adaptif
dengan GDS 107 mg/dL. Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran;
Pasien merupakan suami dengan 2 orang anak, sebelum sakit merupakan sumber nafkah
dalam keluarga; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani
oleh istrinya
b. Stimulus: Stimulus fokal: penurunan kesadaran, pembesaran sistem ventrikel; Stimulus
kontekstual: susp keganasan intracranial
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Hipertermia 3) Kerusakan integritas kulit
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic 3) perfusi
perifer 4) Termoregulasi 5)Perbaikan integritas jaringan
5. Intervensi:
1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Penanganan demam 4) Perawatan luka 5)
Medication management (13/10) (Manitol4x125cc, paracetamol 3x1 gr, dexamethason
4x5mg, omeprazole 1x40mg, ceftriaxon 2x2gr diamox 2x250mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi:
Setelah 4 hari perawatan, pasien belum menunjukkan adaptasi dengan masih adanya
penurunan kesadaran (GCS E3M5V2), hemodinamik tidak stabil ditunjukan naik turunnya
suhu, residu pada NGT masih ada warna kekuningan, kebersihan mulut baik, luka dekubitus
tidak bertambah luas. Pasien berada pada tahap adaptasi compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 18
1. Informasi Umum
Tn M, 78 tahun, tamat SD, tidak bekerja, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Pusat, RM: 416.12.41,
Masuk Rumah Sakit tanggal 08 Desember 2016
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec ICH, Post Old Stroke Iskemik, hipertensi grade II,
pneumonia
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 21 Desember 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Orange tanda vital RR: 26x/menit
dengan simple mask 6 lpm TD: 130/80 mmHg, HR: 80 x/menit, Saturasi 99%, akral
hangat, oral hygiene baik; 2) Nutrisi: adaptif per NGT, mual muntah (-), residu (-); 3)
Eliminasi: BAB dan BAK adaptif per DC dan diapers 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien
bed rest, aktivitas minimal miring kiri-miring kanan; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi,
terpasang klip risiko jatuh, terdapat luka dekubitus gradae II; 6) Sensasi; tidak ada
gangguan sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa
bibir lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam
sebelum masuk RS, riwayat jtuh (+), hipertensi dan kelemahan di sisi kiri tubuh sejak 3
tahun yang lalu. Pada saat pengkajian GCS E3M5V2. Hasil pemeriksaan funduskopi tidak
ditemukan adanya tanda-tanda peningkatan TIK, kaku kuduk +/+, babinski -/+, refleks
fisiologis +3/+3, rangsang cahaya langsung dan tidak langsung +/+. CT Scan (08/12)
terdapat perdarahan intraparenkim lobus frontal kiri, thalamus disertai perifokal edema,
infark lama di area pons; 9) Endokrin: adaptif dengan GDS 121 mg/dL
Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang
ayah dan kakek; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani
oleh anaknya yang secara bergantian menjaga pasien
b. Stimulus
Stimulus fokal: penurunan kesadaran, perdarahan lobus frontal kiri, edema perifokal;
Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi; Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial 2) Kerusakan intregitas kulit 3) Ketidakefektifan
pola napas
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) status neurologis 3) penyembuhan luka primer 4)
status respirasi
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral, 2) monitoring status neurologis, 3) Perawatan luka,
4)Respiratory monitoring, 5) Oxygen therapy, 6) Cardiac care 7) Vital sign monitoring, 8)
Medication management (laxadin 3x15cc, paracetamol 3x1 gr, omeprazole 1x40mg,
candesartan 1x16mg, perdipine 5mg/jam, amlodipine 1x10mg, fluimucyl 1amp/24 jam,
meropenem 3x1gr, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi: Setelah 3 hari perawatan pasien tidak mengalami perubahan tingkat kesadaran disertai
hemodinamik yang tidak stabil dengan pemberian drip penurun tekanan darah. Pasien berada
dalam level adaptasi compromised processes.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 19
1. Informasi Umum
Tn F, 29 tahun, S1, karyawan swasta, Kristen, Jawa, Alamat: Tangerang, RM: 414.91.83,
Masuk Rumah Sakit tanggal 18 September 2016.
Diagnosa Medis: Meningitis TB, SIDA on ARV, TB milier on OAT, DM tipe II
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 10 Oktober 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 18x/menit,
ronchi kasar bilateral, TD: 120/70 mmHg, HR: 92 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2)
Nutrisi: intake nutrisi adekuat per oral, 3) Eliminasi: BAK via kateter urine dan BAB
adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, mobilisasi dibantu total, kekuatan otot
ekstremitas atas 4444/4444 ekstremitas bawah 4444/4444; 5) Proteksi: riwayat demam
hilang timbul sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit disertai dengan nyeri kepala, saat
masa perawatan diketahui ELISA HIV positif, risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko
jatuh; 6) Sensasi; keluhan nyeri ada skala 1-2 dengan pemberian analgetik; 7) Cairan dan
Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +120cc (10 Oktober 2016),
mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran, saat
pengkajian GCS E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, refleks patologis (+), refleks fisiologis
+2/+2; 9) Endokrin: riwayat DM GD: 210 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien berharap
untuk dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien
merupakan suami dengan 1 orang anak, pencari nafkah di keluarganya; Mode
Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh adiknya
b. Stimulus
Stimulus fokal: infeksi pada meningen, kesan meningioencephalitis (CT Scan), gamaran
TB milier, imfadenipathy (Thorax)
Stimulus kontekstual; HIV positif, tuberkulosis
Stimulus residual: hubungan seksual lebih dari satu pasangan, lingkungan rumah
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri 3) ketidakstabilan gula darah
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pain control 4) kadar glukosa
darah
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)
Manajemen nyeri 6) Kontrol kadar gula darah 7) Medication management (10/10)(Metformin
3x500mg, HP Pro 3x7,5mg, paracetamol 3x1 gr, cotrimoxazole 1x960mg, mycostatin 4x1cc,
NaCl 0,9% 500cc/24 jam (diluar OAT dan ARV))
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 22 hari perawatan pasien menunjukan perbaikan kondisi umum dengan
kesadaran CM, batuk berkurang, skala nyeri berada dalam rentang 0-1 Vital sign TD 125/81
N 96 x/menit P 18 x/menit S 36,90C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi
sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 20
1. Informasi Umum
Tn Y, 45 tahun, S1, karyawan swasta, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi, RM: 417.81.34, Masuk
Rumah Sakit tanggal 02 November 2016
Diagnosa Medis: Tumor intraventrikular dextra dengan komponen perdarahan, hidrosefalus
obstruktif
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 07 November 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 17x/menit,
TD: 124/82 mmHg, HR: 72 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2) Nutrisi: intake nutrisi
adekuat per oral, 3) Eliminasi: BAK dan BAB adaptif; 4) Aktivitas dan Istirahat:
mobilisasi aktif, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555 ekstremitas bawah 5555/5555;
5) Proteksi: suhu 35,90C; 6) Sensasi; keluhan nyeri skala 2-3 dengan pemberian
analgetik; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +340cc
(07 November 2016), mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan nyeri
kepala berat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, riwayat nyeri kepala hebat
hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu, pasien sempat dirawat dan dilakukan CT Scan serta
MRI yang menyatakan terdapat tumor di kepala (hasil tidak ada). Saat pengkajian GCS
E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, papiledema (+/-) refleks patologis (-), refleks fisiologis
+2/+2; 9) Endokrin: riwayat DM GD: 210 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien berharap
untuk dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien
merupakan suami dengan 2 orang anak, pencari nafkah di keluarganya, selama sakit
pasien mengambil cuti dari pekerjaannya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di
RS, pasien setiap hari dikunjungi oleh istri maupun anaknya.
b. Stimulus
Stimulus fokal: nyeri kepala
Stimulus kontekstual; tumor intraventrikel
Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pain control
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)
Manajemen nyeri 6) Medication management (07/11)(dexamethason 2x5mg, omeprazole
1x40mg, diamox 3x500mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi: Evaluasi selama 8 hari perawatan pasien menunjukan skala nyeri berada dalam rentang 0-1
Vital sign TD 124/94 N 72 x/menit P 18 x/menit S 36,10C. Pada tanggal 08/11/16 muncul
ruam di bagian lengan, dada, serta punggung pasien dan terasa gatal, diagnose keperawatan
baru yang muncul yakni kerusakan integritas kulit. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi
dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 21
1. Informasi Umum
Tn S, 62 tahun, pendidikan terakhir SD, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Selatan,
RM: 415.95.60, Masuk Rumah Sakit tanggal 02 November 2016
Diagnosa Medis: Stroke hemoragik, hemiparese N.VII dextra sentral
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 11 November 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 16x/menit
TD: 146/98 mmHg, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu namun
tidak minum obat maupun kontrol tekanan darah, HR: 75 x/menit, Saturasi 99%, akral
hangat, oral hygiene baik; 2) Nutrisi: adaptif, mual muntah (-); 3) Eliminasi: BAB dan
BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, kekuatan otot ekstremitas atas
4444/5555, ekstremitas bawah 4444/5555; 5) Proteksi: Risiko jatuh sedang, skala braden:
risiko tinggi, luka dekubitus (-); 6) Sensasi; hemihipestesi dextra; 7) Cairan dan
Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa bibir lembab, nilai elektrolit
dalam batas normal; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan kelemahan disertai rasa
baal pada sisi gerak kanan sejak 2,5 jam sebelum masuk rumah sakit kesadaran CM,
mulut mencong (+) Releks fisiologis +2/+2, rangsang meningen (-/-), CT scan kepala:
perdarahan intra parenkim serebri multiple di thalamus dan kapsula eksterna kiri, estimasi
perdarahan 2,7cc, 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera
pulih dan mampu untuk beraktivitas seperti sebelum masuk rumah sakit; Mode Fungsi
Peran; pasien merupakan seorang ayah dan pencari nafkah dalam keluarganya; Mode
Interdependensi; Selama masa perawatan pasien selalu ditemani oleh istri atau anaknya
b. Stimulus
Stimulus fokal: perdarahan intra parenkim serebri
Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi
Stimulus residual: Gaya hidup
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Ambulasi dan adaptasi terhadap disabilitas
5. Intervensi:
1) Cardiac care 2) Vital sign monitoring 3) Latihan ambulasi 4) Medication management
(paracetamol 3x1gr, laxadine 3x15cc, omeprazole 1x40mg, myonal 2x1tab, catopril 2x25mg,
NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi:
Setelah 3 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptive ditunjukkan dengan
kesadaran CM, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (-), namun tekanan darah pasien
masih berada dalam rentang 130-150/80-90 mmHg, mobilisasi aktif. Pasien dalam tahapan
beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 22
1. Informasi Umum
Ny. D, 58 tahun, tamat SMP, ibu rumah tangga, Kristen, Jawa, Alamat: Tangerang, RM:
369.40.40, Masuk Rumah Sakit tanggal 09 Maret 2017
Diagnosa Medis: Tumor medulla spinalis region lumbal, riwayat ca cerviks stadium IIIB,
DM tipe II
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 10 Maret 2017
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 17x/menit,
TD: 122/95 mmHg, HR: 100 x/menit, Saturasi 98%, akral hangat; 2) Nutrisi: intake
nutrisi adekuat per oral, makan habis 1/2 porsi, 3) Eliminasi: BAK dan BAB adaptif; 4)
Aktivitas dan Istirahat: mobilisasi aktif, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555
ekstremitas bawah 5555/5555; 5) Proteksi: suhu 36,30C; 6) Sensasi; keluhan nyeri
menggunakan VAS skala 3-4 dengan pemberian analgetik; 7) Cairan dan Elektrolit dan
keseimbangan asam basa: balance cairan +240cc (10 Maret 2017), mukosa bibir lembab;
8) neurologis: masuk ke RS dengan nyeri punggung sejak 9 bulan sebelum masuk RS
yang bertambah berat sejak 1 bulan SMRS, sebelumnya pada tahun 2012 pasien
didiagnosa Ca. cerviks dan telah menjalani kemoterapi sampai dengan selesai. CT Scan
serta MRI yang menyatakan terdapat tumor di area lumbal. Saat pengkajian GCS E4M6V5
pupil isokhor 3mm/3mm, papiledema (-/-) refleks patologis (-), refleks fisiologis +2/+2;
9) Endokrin: riwayat DM GD: 216 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk
dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan
istri dengan 2 orang anak; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien setiap
hari dikunjungi oleh anak laki-lakinya.
b. Stimulus
Stimulus fokal: nyeri punggung
Stimulus kontekstual; tumor medulla spinalis
Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan:
1) nyeri 2) Ketidakstabilan glukosa dalam darah
4. Tujuan:
1) Pain control 2) Kadar glukosa darah
5. Intervensi:
1) Manajemen nyeri 2) kontrol gula darah 3) Medication management (dexamethason
2x5mg, paracetamo 3x1gr, morphine 1x1tab, omeprazole 1x40mg, diamox 3x500mg,
metformin 1x1tab, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 7 hari perawatan pasien menunjukan skala nyeri VAS berada dalam rentang
0-1 dengan pemberian analgetik narkotik, tanda vital: TD 124/94 N 102 x/menit P 18 x/menit
S 36,10C. Awalnya pasien merasa nyeri banyak berkurang setelah pemberian PCT dan sangat
tergantung dengan pemberian PCT. Setelah dilakukan pemberian placebo paracetamol, nyeri
pasien tetap mengalami penurunan. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi
sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 23
1. Informasi Umum
Ny. A, 42 tahun, S1, ibu rumah tangga, Muslim, Jawa, Alamat: Tangerang, RM: 344.61.66,
Masuk Rumah Sakit tanggal 19 Maret 2017.
Diagnosa Medis: Abses serebri dd toxoplasma infection, SLE
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 03 April 2017
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 18x/menit,
sesak (-) TD: 116/84 mmHg, HR: 75 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2) Nutrisi:
intake nutrisi adekuat per oral, 3) Eliminasi: BAK BAB adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat:
pasien bed rest, mobilisasi jalan berpegang pada furniture, kekuatan otot ekstremitas atas
5555/5555 ekstremitas bawah 5555/5555, tremor di ekstremitas atas; 5) Proteksi: anti
HIV (-), CD 4 (>500); 6) Sensasi; penurunan penglihatan di mata kanan sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit, saat pengkajian mata kanan pasien bengkak sebesar bola
pingpong disertai keluaran berwarna kuning dan direncanakan akan dilakukan
pengangkatan bola mata kanan pada hari rabu (05/04/2017); 7) Cairan dan Elektrolit dan
keseimbangan asam basa: balance cairan +240cc (03 Maret 2017), mukosa bibir lembab;
8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan fungsi penglihatan di mata kanan disertai
demam dan nyeri kepala hebat, saat pengkajian GCS E4M6V5 refleks patologis (-), refleks
fisiologis +2/+2 CT Scan: edema jaringan lunak di anterior bulbus okuli kanan, multipel
lesi di lobus frontoparietal kiri disertai perifokal edema di region frontoparietal kiri; 9)
Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap operasi pengangkatan matanya
berjalan lancar; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan 1 orang
anak kelas 6 SD; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani
oleh suami atau orang tuanya
b. Stimulus
Stimulus fokal: infeksi pada jaringan otak, penurunan fungsi penglihatan
Stimulus kontekstual; infeksi toxoplasma
Stimulus residual: lingkungan rumah yang memelihara kucing
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) risiko cedera
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) cedera fisik tidak terjadi
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)
pencegahan jatuh 5) Medication management
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 17 hari perawatan pasien menunjukan perburukan dengan membengkaknya
mata kanan pasien, nyeri kepala sudah tidak, pasien sedang menjalani persiapan
pengangkatan bola mata. Saat ini pasien berada pada level adaptasi compromised.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 24
1. Informasi Umum
Tn NR, 43 tahun, pendidikan terakhir S1, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat: Bekasi,
RM: 420.97.44, Masuk Rumah Sakit tanggal 12 April 2017.
Diagnosa Medis: Afasia motorik, paresis N. VII, N.XII sinistra sentral, hemiparese sinistra
ec. Stroke iskemik, hipertensi
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 15 April 2017
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 16 x/menit,
TD: 163/120 mmHg, HR: 82 x/menit, Saturasi 98%, akral hangat, oral hygiene buruk,
drooling +, Gambaran EKG: LBBB, Thorax: gambaran kardiomegali; 2) Nutrisi: diet per
NGT, residu (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien
bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 5555/3333, ekstremitas bawah 5555/3333; 5)
Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak ada gangguan
sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: elektrolit dbn (13 April
2017), mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan kelemahan
anggota gerak kiri pada saat pengkajian terdapat kelemahan di bagian ekstremitas atas
dan bawah sebelah kiri, kesadaran compos mentis, afasia motorik, pupil isokhor
3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: gula
darah puasa 86 mg/dL HbA1C 4.7 (12.04.2017) tanpa terapi gula darah. Mode Konsep
diri; pasien berharap untuk segera pulih dan dapat beraktivitas seperti sebelum masuk
RS; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ibu dan pencari nafkah di
keluarganya membantu peran suaminya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS,
pasien selalu ditemani oleh anak maupun suaminya, kerabat dan saudara setiap hari
mengunjungi pasien selama masa perawatan
b. Stimulus
Stimulus fokal: infark multiple di ganglia basalis kanan kanan, kapsula eksterna, dan
lobus parietal kanan, kardiomegali
Stimulus kontekstual: hipertensi sejak lebih dari 5 tahun yang lalu
Stimulus residual: -
3. Diagnosa Keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) Kerusakan
mobilitas fisik 3) Gangguan komunikasi verbal
4. Tujuan: 1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic
3) Mobilisasi 5) Komunikasi baik
5. Intervensi: 1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Promosi bodi mekanik, 4)
Latihan: kontrol otot, 5) Body position: self initiated, 6) Latihan ambulasi, 7) Mendengarkan
aktif, 8) Peningkatan komunikasi: speech, 9) Medication management (ascardia 1x80mg, Vit
B6 2x10mg, Vit B12 2x50mg, captopril 3x25mg, paracetamol 3x1gr, Asam folat 2x5mg,
Nacl 0,9% 500cc/12 jam, drip perdipine 5mg/jam)
6. Evaluasi: Setelah 14 hari perawatan, pasien menunjukkan adaptasi terhadap tekanan darah
serta kemampuan bicara dengan kontrol TD (130/80), mobilisasi duduk, pasien secara
mandiri maupun dibantu oleh keluarga rutin melakukan ROM exercise, pasien berada dalam
tahap adaptasi compromised.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 25
1. Informasi Umum
Ny R, 49 tahun, S1, PNS, Islam, Padang, Alamat: Depok, RM: 354.00.23, Masuk Rumah
Sakit tanggal 17 Maret 2017.
Diagnosa Medis: SOL intra cranial metastase adeno sarcoma paru sage IV, secondary
headache
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 18 Maret 2017
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20x/menit,
TD: 112/85 mmHg, HR: 84x/menit, Saturasi 98%, akral hangat; 2) Nutrisi: intake nutrisi
adekuat per oral, makan habis ½ porsi, 3) Eliminasi: BAK dan BAB adaptif, 4) Aktivitas
dan Istirahat: pasien bed rest, mobilisasi dibantu total, kekuatan otot ekstremitas atas
5555/4444, ekstremitas bawah 5555/4444; 5) Proteksi: riwayat kejang (+), risiko jatuh
tinggi, terpasang klip risiko jatuh; 6) Sensasi; keluhan nyeri VAS skala 1-2 dengan
pemberian analgetik; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: elektrolit
dalam batas normal, balance cairan dalam batas normal, mukosa bibir lembab; 8)
neurologis: masuk ke RS dengan riwayat kejang 16 jam sebelum masuk rumah sakit,
frekuensi 2 kali durasi 2 menit mata mendelik ke atas, sebelumnya pasien riwayat
Ca.Paru grade IV sudah radioterapi 35 kali, kemoterapi 6 kali. Saat pengkajian GCS
E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, refleks patologis (+), refleks fisiologis +2/+2; 9)
Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk dapat segera pulih dan
keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan istri dan seorang ibu di
keluarganya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien jarang ditemani oleh
keluarganya, namun sering berhubungan via telepon dengan anak dan suaminya
b. Stimulus
Stimulus fokal: nyeri kepala
Stimulus kontekstual; tumor intra cranial
Stimulus residual: riwayat Ca.Paru
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri 3) kerusakan mobilisasi fisik
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pain control 4) level mobility 5)
ambulasi
5. Intervensi:
1) Monitoring status neurologis 2) Posisi neurologis 3) Manajemen nyeri 4) exercise
management 5) Medication management (18/04)(dexamethasone 3x5 mg, omeprazole
2x40mg, paracetamol 3x1gr, laxadine 3x15cc, keppra 750mg-0-500mg, NaCl 0,9% 500cc/24
jam)
6. Evaluasi:
Evaluasi selama 4 hari perawatan pasien belum menunjukan perbaikan kondisi umum dengan
kesadaran skala nyeri berada VAS berada dalam rentang 1-2, Vital sign TD 125/78 N 85
x/menit P 18 x/menit S 36,90C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi
sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 26
1. Informasi Umum
Ny F, 33 tahun, lulus SMA, ibu rumah tangga, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Barat, RM:
382.00.21, Masuk Rumah Sakit tanggal 18 Maret 2017.
Diagnosa Medis: Meningoenchepalitis, SIDA putus ARV, CAP, secondary headache
2. Pengkajian
a. Perilaku Pengkajian tanggal 20 Maret 2017
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 20x/menit,
ronchi kasar bilateral, TD: 110/70 mmHg, HR: 97 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2)
Nutrisi: intake nutrisi parenteral menggunakan TE 1000/24 jam dan diet cair per enteral
feeding, 3) Eliminasi: BAK via kateter urine dan BAB (-) sejak masuk rumah sakit 4)
Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, mobilisasi dibantu total; 5) Proteksi: riwayat
demam hilang timbul sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit disertai dengan nyeri
kepala, pasien diketahui HIV positif sejak tahun 2006 dan dikonsulkan ke pokdisus,
mulai mengonsumsi ARV pada tahun 2013 namun tahun 2015 pasien putus minum ARV,
risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan
dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan -120cc (20 Maret 2017),
mukosa bibir kering; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran mulai dari
1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien riwayat HIV positif, TB paru dan efusi
pleura (pengobatan 9 bulan selesai), saat pengkajian GCS E4M6V5 pupil isokhor
3mm/3mm, refleks patologis babinski positif bilateral, refleks fisiologis +2/+2; 9)
Endokrin: adaptif GDS: 114 mg/dL. Mode Konsep diri; keluarga pasien berharap pasien
untuk dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien
merupakan adik dan juga ibu dari 1 orang anak; Mode Interdependensi; Selama dirawat
di RS, pasien selalu ditemani oleh adiknya
b. Stimulus
Stimulus fokal: infeksi pada meningen, kesan meningioencephalitis (CT Scan),
gambaran limfadenopathy (Ro Thorax)
Stimulus kontekstual; HIV positif, tuberkulosis
Stimulus residual: hubungan seksual lebih dari satu pasangan, lingkungan rumah
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Risiko jatuh
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pencegahan jatuh
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4) Perilaku
pencegahan jatuh 5) kejadian jatuh 6) Medication management (18/10)(laxadine 3x15cc,
paracetamol 3x1gr, dexamethasone 3x5mg, ceftriaxone 1x2gr, omeprazole 1x40mg,
Triofusin E 1000 500cc/24 jam)
6. Evaluasi: Evaluasi selama 4 hari perawatan pasien menunjukan perburukan kondisi umum dengan
kesadaran semakin menurun, NEWSS merah, slem kental, Vital sign TD 100/81 N 102
x/menit P 26 x/menit S 38,20C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi
sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 27
1. Informasi Umum
Tn HH, 19 tahun, pendidikan terakhir SMP, pelajar, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Timur,
RM: 376.75.97, Masuk Rumah Sakit tanggal 10 Maret 2017.
Diagnosa Medis: Miastenia gravis riwayat krisis kolinergik, asthma terkontrol, ISPA
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 13 Maret 2017
Mode Adaptasi Fisiologis
1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 22 x/menit, TD: 100/70 mmHg, HR: 84
x/menit, Saturasi 99% (saat lepas binasal), akral hangat, terpasang binasal 3 lpm; 2)
Nutrisi: nafsu makan baik, intake nutrisi adekuat per oral, makan habis ½ porsi; 3)
Eliminasi: BAB adaptif BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, kekuatan
otot ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas bawah 4444/4444, 5) Proteksi: Risiko jatuh
tinggi, 36,4oC, pasien mengonsumsi imuran 2x50mg sejak 1 tahun yang lalu; 6) Sensasi;
sensorik adaptif; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ±
2500cc/hari, mukosa bibir lembab; 8) neurologis: pasien masuk rumah sakit dengan
riwayat batuk berdahak dan mendapatkan pengobatan antibiotik dan dosis steroid pasien
dinaikan, penurunan fungsi pernapasan ditandai dengan sesak. Pada saat pengkajian
terdapat kesulitan dalam bernapas berkurang, kesadaran CM dengan GCS E4M6V5 pupil
isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2; 9) Endokrin: adaptif
Mode Konsep diri; Pasien merasa ingin segera pulih dan mobilisasi dengan harapan
dapat mandiri melakukan ADL.
Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang anak dan pelajar
Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh ibunya
b. Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan otot gerak bawah dan otot pernapasan
Stimulus kontekstual:
Stimulus residual: usia
3. Diagnosa Keperawatan
2) Gangguan pola napas, 2) Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan
1) Status respiratori, 2) ambulasi
5. Intervensi
1) respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring; 2) bed rest
care, self care assistance 3) medication management (mestinon 5x60mg, methylprednisolone
2x16mg,myfortic 1x180mg, N-asetil sistein 3x200mg, paracetamol 3x500mg, ventolin
4x100mcg, NaCl 0,9% 500cc/24 jam)
6. Evaluasi
Setelah 12 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pasien dengan nilai RR
16x/menit setelah dicoba lepas terapi oksigen dan saturasi oksigen sebesar 98-99%.
Kelemahan pada anggota gerak bawah sudah tidak ada, mobilisasi aktif dengan bantuan.
Pasien berada pada level compromised dan direncakan untuk pulang
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 28
1. Informasi Umum
Tn S, 46 tahun, pendidikan terakhir S1, wiraswasta, Islam, Bangka, Alamat: Batam Riau,
RM: 419.34.77, Masuk Rumah Sakit tanggal 25 April 2017.
Diagnosa Medis: Miastenia Gravis riw. Krisis Miastenik
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 01 Mei 2017
Mode Adaptasi Fisiologis
1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20 x/menit, TD: 120/70 mmHg, HR:
75x/menit, Saturasi 98%, akral hangat; 2) Nutrisi: nafsu makan baik, intake nutrisi
adekuat per oral, makan habis 1 porsi; 3) Eliminasi: BAB adaptif BAK adaptif 4)
Aktivitas dan Istirahat: mobilisasi dibantu sebagian, kekuatan otot ekstremitas atas
5555/5555, ekstremitas bawah 5555/5555; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, 36,4oC; 6)
Sensasi; sensorik adaptif; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ±
2500cc/hari, mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan keluhan
sesak tanpa disertai demam, berobat di Batam dan didiagnosa miastenia gravis serta
mengalami ancaman gagal napas, selanjutnya pasien dirujuk ke RSCM untuk tindakan
plasmaferesis. Pada saat pengkajian terdapat ptosis dan diplopia serta kesulitan dalam
melihat, kesadaran CM dengan GCS E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis
kanan kiri +2/+2; 9) Endokrin: adaptif
Mode Konsep diri; Pasien merasa ingin segera pulih
Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ibu dan seorang istri.
Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh suaminya
b. Stimulus
Stimulus fokal: kelemahan otot penglihatan
Stimulus kontekstual:
Stimulus residual: usia
3. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan persepsi sensori 2) risiko jatuh
4. Tujuan
1) Status neurologis: fungsi sensoris dan motorik 2) perilaku pencegahan jatuh
5. Intervensi
1) promosi bodi mekanik, vital sign monitoring; 2) Pencegahan jatuh 3) medication
management (mestinon 6x60mg, methylprednisolone 3x8mg, omeprazole 1x40mg, rencana
plasmaferesis NaCl 0,9% 500cc/24 jam)
6. Evaluasi
Setelah 8 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pasien dengan nilai RR
18x/menit setelah saturasi oksigen sebesar 97-98%. Pasien mampu membaca dengan
menutup salah satu mata, diplopia dan ptosis berkurang. Pasien berada pada level
compromised.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 29
1. Informasi Umum
Tn M, 46 tahun, pendidikan terakhir S1, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat:
Tangerang, RM: 416.06.95, Masuk Rumah Sakit tanggal 26 November 2016
Diagnosa Medis: Stroke hemoragik, hemiparese N.VII dextra sentral
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 28 November 2016
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 16x/menit
TD: 150/100 mmHg, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu namun
tidak minum obat maupun kontrol tekanan darah, HR: 96 x/menit, Saturasi 99%, akral
hangat, oral hygiene buruk; 2) Nutrisi: adaptif per NGT, mual muntah (-); 3) Eliminasi:
BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, kekuatan otot
ekstremitas atas 5555/4444, ekstremitas bawah 5555/4444; 5) Proteksi: Risiko jatuh
sedang, skala braden: risiko tinggi, luka dekubitus (-); 6) Sensasi; hemihipestesi dextra;
7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa bibir lembab, nilai
elektrolit dalam batas normal; 8) neurologis: Pasien masuk rumah sakit dengan
penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 9,5 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
merasakan baal dan juga muntah 1 kali sebelumd atang ke RSCM. Pada saat pengkajian
kesadaran CM GCS E4M6V5 mulut mencong (+) Releks fisiologis +2/+2, rangsang
meningen (-/-), CT scan kepala: perdarahan intra cranial capsula eksterna dextra kurang
lebih 30cc, 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera pulih
dan mampu untuk beraktivitas seperti sebelum masuk rumah sakit; Mode Fungsi Peran;
pasien merupakan seorang ayah dan pencari nafkah dalam keluarganya, selama sakit,
pencari nafkah digantikan oleh istrinya; Mode Interdependensi; Selama masa
perawatan pasien selalu ditemani oleh istri atau adiknya
b. Stimulus
Stimulus fokal: perdarahan kranial
Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi
Stimulus residual: Gaya hidup, pekerjaan
3. Diagnosa Keperawatan:
1) kapasitas maladaptive intra cranial 2) Kerusakan mobilitas fisik
4. Tujuan:
1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologi 3)Ambulasi dan adaptasi terhadap
disabilitas
5. Intervensi:
1) Cardiac care 2) Vital sign monitoring 3) Latihan ambulasi 4) Medication management
(paracetamol 3x1gr, laxadine 3x15cc, omeprazole 1x40mg, myonal 2x1tab, catopril 3x50mg,
NaCl 0,9% 500cc/12 jam)
6. Evaluasi:
Setelah 7 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif ditunjukkan dengan kesadaran
CM, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (-), namun tekanan darah pasien masih
berada dalam rentang 140-150/80-90 mmHg, mobilisasi mika-miki. Pasien dalam tahapan
beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Resume Kasus 30
1. Informasi Umum
Tn S, 51 tahun, pendidikan terakhir SD, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat:
Jatinegara-Jakarta Pusat, RM: 0001.62.12, Masuk Rumah Sakit tanggal 19 Februari 2017
Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec cedera kepala berat
2. Pengkajian
a. Perilaku
Pengkajian tanggal 21 Februari 2017
Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Merah airway terpasang ETT
connect to ventilator dengan setting PSIMV VT 378-405 PS 12 PEEP 5 FiO2 45% I:E
1:1.5, usaha napas spontan (+), slem per ETT (+), Saturasi 100%, TD: 120/78 mmHg,
HR: 68 x/menit, akral hangat, CRT >3 detik, oral hygiene baik papil edema dextra +,
tanda perdarahan aktif (-); 2) Nutrisi: pasien terpasang NGT, residu (+) kekuningan
±200cc/24 jam, diet per oral D5; 3) Eliminasi: terpasang FC dieresis +; 4) Aktivitas dan
Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot tidak dapat terkaji; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi,
terdapat VL di area kaki,; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit dan
keseimbangan asam basa: balance cairan -400cc/24jam mukosa bibir lembab; 8)
neurologis: 1 hari sebelum masuk RS, pasien ditemukan jatuh dari ketinggian, bicara
mengaca, megeluh sakit kepala, dan tampak gelisah. Saat pengkajian GCS E1M3Vett pupil
bulat anisokhor 4mm/3mm, reflek cahaya langsung +/-, refek cahaya tidak langsung -/-
kaku kuduk reflex fisiologis rangsang meningen tidak dapat dikaji; 9) Endokrin: GDS
adaptif Mode Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan
seorang suami dan ayah dari 1 orang anak, istrinya saat ini sedang hamil anak kedua;
Mode Interdependensi; belum dapat dinilai.
b. Stimulus
Stimulus fokal: perdarahan intra cranial dan intraventrikel
Stimulus kontekstual: jatuh
Stimulus residual:
3. Diagnosa Keperawatan:
1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Gangguan ventilasi spontan
4. Tujuan:
1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3) respiratory status: airway patency
4) respiratory stasus: gas exchange
5. Intervensi:
1) Promosi perfusi serebral 2) Monitoring status neurologis 3) cardiac care 4) posisi
neurologis 5) mechanical ventilation management invasive 6) oxygen therapy
6. Evaluasi: Pada hari perawatan ke-3 (21/02) pasien menunjukkan perilaku adaptif dalam level
compromised, pasien berada pada status DNR dengan pemberian obat topangan. Namun
akhirnya pasien menunjukkan perilaku indaptif dengan semakin menurunnya kondisi pasien
dan dinyatakan meninggal pada tanggal 24/02.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 4
Universitas Indonesia
THE FUNCTIONAL ORAL INTAKE SCALE Monitoring Kemampuan Makan Pasien Dengan Disfagia
FOIS
LEVEL DESKRIPSI
TGL
JAM
1 Tidak makan per oral
2 Bergantung selang dengan kemampuan minimal
makan atau minum per oral
3 Bergantung selang dengan kemampuan makan
atau minum per oral
4 Total makan per oral dengan satu jenis konsistensi
diet
5 Total makan per oral dengan berbagai konsistensi
diet namun butuh persiapan khusus dan dengan
batasan makanan tertentu
6 Total makan per oral dengan berbagai konsistensi
diet tanpa persiapan khusus namun dengan batasan
makanan tertentu
7 Total makan per oral tanpa batasan
NAMA DAN TANDA TANGAN PERAWAT
Sumber: Crary et al. (2005)
NRM :
Nama :
Jenis Kelamin :
Tanggal Lahir :
(Tempelkan stiker pasien jika tersedia)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 4
Universitas Indonesia
Cara Pengisian Format The Functional Oral Intake Scale (FOIS):
- Masukan identitas pasien di kotak kanan atas atau tempelkan stikel identitas pasien jika
tersedia)
- Masukan tanggal sesuai tanggal dilakukannya pengkajian
- Masukan jam sesuai pukul dilakukannya pengkajian
- Berikan tanda (√) pada baris sesuai hasil pengkajian level kemampuan makan pasien (sesuai
gambar di bawah)
- Tuliskan inisial dan tanda tangan perawat yang melakukan pengkajian
- FOIS Level 1-3: pasien bergantung pada selang naso gastric untuk intake nutrisi
- FOIS Level 4-6: pasien mulai dapat intake nutrisi maupun minuman per oral dengan
beberapa batasan (jumlah, konsistensi makanan)
- FOIS Level 7: pasien total makan dan minum per oral
Contoh Pengisian FOIS
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
Tanggal masuk ruang rawat :…………………..20… …pukul
Ruang rawat/ Unit Kerja : …………………………………….
PENGKAJIAN TINGKAT KEPARAHAN STROKE
Menggunakan National Institute Health Stroke Scale (NIHSS) NO PARAMETER YANG DINILAI SKALA Screening
awal
Screening
akhir
Tgl Tgl
Jam Jam
Skor Skor
1a Tingkat Kesadaran 0= sadar penuh
1=somnolen
2=stupor
3=koma
1b Menanyakan bulan sekarang dan usia pasien
sekarang.
0=benar semua
1=1benar /ETT/disatria
2=salah semua/afasia/stupor/koma
1c Menganjurkan pasien mengikuti dua
perintah sederhana, membuka & menutup
mata.
0=mampu melakukan 2 perintah
1=mampu melakukan 1 perintah
2=tidak mampu melakukan perintah
2 Gaze : Gerakan mata konyugat horizontal 0 = normal
1 =mampu melakukan 1 mata
2 = deviasi konyugat kuat atau paresis
konyugat pada 2 mata
3 Visual : lapang pandang pada tes
konfrontasi.
0 = tidak ada ganguan
1 = abnormal pada 1 mata
2= deviasi konyugat kuat atau paresis
konyugat pada 2 mata
4 Menganjurkan pasien menyeringai atau
mengangkat alis dan menutup mata.
0= normal
1= paresis wajah ringan (lipatan
nasolabilal datar, senyum asimetris)
2= paresis wajah parsial (paresis wajah
bawah total atau hampir total )
3 = paresis wajah total (paresis wajah
sesisi atau 2 sisi)
5 Menganjurkan pasien mengangkat lengan
hingga 45 derajat bila berbaring atau 90
derajat bila duduk. Bila afasia gunakan
pantomime atau peragaan.
0 = mampu mengangkat lengan
minimal 10 detik
1=lengan terjatuh sebelum 10 detik
2=tidak mampu mengangkat secara
penuh 90◦ atau 45◦
3 = tidak mampu mengangkat hanya
bergeser
4= tidak ada gerakan
5a. nilai lengan kiri
5b. nilai lengan kanan
6 Menganjurkan pasien tidur posisi terelentang
dan mengangkat tungkai 30 derajat.
0 = mampu mengangkat tungkai 30
derajat minimal 5 detik
1= tungkai jatuh ke tempat tidur pada
akhir detik ke 5 secara perlahan
2= tungkai jatuh sebelum 5 detik tetapi
ada usaha melawan gravitasi
3 =tidak mampu melawan gravitasi
4=tidak ada gerakan
6a. Nilai tungkai kiri
6b.Nilai tungkai kanan
7 Ataxia anggota badan. Menggunkan tes
tunjuk jari hidung
0= tidak ada ataxia
1= Ataksia pada satu ekstremitas
2= ataksia pada 2 atau lebih
ekstremitas
8 Melakukan tes pada seluruh tubuh, tungkai, 0 = normal
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
lengan, badan, dan wajah. Pasien afasia
diberi nilai 1. Pasien stupor atau koma diberi
nilai 2.
1= gangguan sensori ringan hingga
sedang. Ada gangguan sensori terhadap
nyeri tetatpi masih merasa bila disentuh
2=gangguan sensori berat atau total
9 Memberikan suatu gambar atau tulisan dan
meminta untuk menjelaskannya. Bila pasien
mengalami kebutaan, letakkan benda
ditangan dan minta untuk menjelaskan.
0= normal
1=afasia ringan hingga sedang, bicara
kurang lancer
2=afasia berat
3=mute, afasia global, coma
10 Disatria 0=normal
1=disatria ringan
2=disatria berat
11 Neglect atau inatensi 0= tidak ada neglect
1=tidak ada atensi pada salah satu
modalitas berikut; visual, taktik
auditory, spasial or personal inatention
2=tidak ada atensi pada lebih dari satu
modalitas.
TOTAL NILAI
Keterangan :
skor <5 : deficit neurologis ringan, skor 6ˍ14 : deficit neurologis sedang; skor 15 ˍ24 : deficit
neurologis berat; skor >25 : deficit neurologis sangat berat.
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
SKALA NYERI NON VERBAL
ADULT NON VERBAL PAIN SCALE (NVPS)
Tanggal masuk ruang rawat : ………………….. Pukul …………
Ruang rawat/Unit Kerja : …………………..
KATEGORI TGL
JAM
W
A
J
A
H
Tidak ada ekspresi khusus (seperti tersenyum) 0
Kadang meringis, mengerutkan dahi 1
Sering/terus menerus meringis atau
mengerutkan dahi,
2
G
E
R
A
K
Tidur tenang, posisi normal 0
Nampak pergerakan lambat, tegang 1
Tidak tenang, gelisah dengan dan atau reflek
menghindari pusat nyeri
2
T
A
H
A
N
A
N
Berbaring tenang, tangan tidak berada pada
area tubuh
0
Posisi tubuh meringkuk, tegang 1
Kaku/spasme 2
V
I
T
A
L
TDS dan frekuensi nadi stabil 0
Perubahan tanda vital:
Penambahan 20 mmHg pada TD Sistolik
Penambahan 20 kali/menit pada frekuensi
nadi
1
Perubahan tanda vital :
Penambahan 30 mmHg pada TD Sistolik
Penambahan 25 kali/menit pada frekuensi nadi
2
N
A
P
A
S
Nilai dasar frekuensi napas dan saturasi tidak
berubah/ tersinkronisasi dengan ventilator
0
Terdapat perubahan:
frekuensi napas >28 kali/menit
SpO2 90-95%
Asinkronisasi sedang dengan ventilator
1
Terdapat perubahan:
Frekuensi napas > 38 kali/menit
SpO2 85-89%
Asinkronisasi berat dengan ventilator
2
SKOR TOTAL
NAMA DAN TANDA TANGAN PERAWAT Sumber : Modifikasi dari Odhner, Wegman, Freeland, Steinmetz, dan Ingersoll (2003)
TD: Tekanan Darah; SpO2: Saturasi Oksigen
Skor 0-2 Tidak terdapat nyeri
Skor 3-6 Nyeri sedang
Skor 7-10 Nyeri berat
~ Lakukan pengkajian setiap 4 jam sekali untuk pasien dengan nyeri sedang dan berat ~
NRM :
Nama :
Jenis Kelamin :
Tanggal Lahir :
(Tempelkan stiker pasien jika tersedia)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
Indeks Derajat Insomnia Lingkari nomor pada tiap pertanyaan yang disediakan yang dianggap mewakili kondisi yang
dialami.
Silakan nilai masalah insomnia yang saudara alami beberapa hari (3 hari) terakhir.
No Insomnia Tidak
ada
Ringan Sedang Berat Sangat
berat
1 Pasien mengeluh kesulitan
memulai tidur
0 1 2 3 4
2 Pasien mengeluh kesulitan
mempertahankan tidur
0 1 2 3 4
3 Pasien mengeluh bangun
terlalu cepat/dini
0 1 2 3 4
4. Bagaimana tingkat kepuasan pasien terhadap pola tidur saat ini?
Sangat puas Sedikit puas Agak puas Tidak puas Sangat tidak puas
0 1 2 3 4
5. Apakah pasien merasakan/ melihat dampak masalah tidur terhadap kualitas hidup saudara
saat ini?
Tidak
kelihatan
sama sekali
Sedikit
kelihatan
Agak
kelihatan
Tidak
kelihatan
Sangat tidak
kelihatan
0 1 2 3 4
6. bagaimana tingkat kecemasan pasien terhadap masalah tidur yang dihadapi saat ini?
Tidak cemas
sama sekali
Sedikit cemas Agak cemas Tidak cemas Sangat tidak
cemas
0 1 2 3 4
7. Bagaimana pengaruh masalah tidur pasien terhadap fungsi sehari-hari (misalnya
kelemahan siang hari, mood, kemampuan bekerja di siang hari, konsentrasi, memori dan
lain-lain)?
Tidak mempengaruhi
sama sekali
Sedikit
mempengaruhi
Agak
mempengaruhi
Tidak
mempengaruhi
Sangat tidak
mempengaruhi
0 1 2 3 4
Nilai total :
Sumber: Charles M.Morin (2009)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
Kuesioner 3IQ Untuk Skreening Inkontinensia Urine
No Pertanyaan Pilihan jawaban
1 Apakah anda mengalami gangguan
dalam berkemih (gangguan kencing)?
Ya (lanjut ke
pertanyaan
berikutnya)
Tidak (Tidak lanjut
ke pertanyaan
berikutnya)
2 Sudah berapa lama anda mengalami
gangguan tidak dapat menahan kencing ?
Kurang dari 3 bulan Lebih dari 3 bulan
3 Apakah anda dapat menyadari saat
kencing anda keluar sendiri?
Ya Tidak
4 Apakah anda mengeluarkan kencing
bila batuk, bersin, berjalan, melompat
atau saat melakukan aktivitas berat
(misalnya : olahraga, mengangkat barang
berat dll)?
Ya Tidak
5 Apakah anda merasa sangat ingin
kencing dan kencing anda sudah
keluar sendiri sebelum tiba di kamar
mandi?
Ya Tidak
6 Apakah anda tidak mampu mengontrol
kencing saat aktivitas dan tidak mampu
mencapai kamar mandi ?
Ya Tidak
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
FORMAT PENGKAJIAN KESEIMBANGAN BERG BALANCE SCALE (BBS)
NO PARAMETER YANG DINILAI SKOR
1 DUDUK KE BERDIRI Berdiri tanpa menggunakan tangan
Berdiri menggunakan tangan
Berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba
Perlu bantuan minimal untuk berdiri
Perlu bantuan sebagian atau penuh
4
3
2
1
0
2 BERDIRI SENDIRI TANPA BANTUAN Berdiri selama 2 menit
Berdiri sendiri dengan pengawasan selama 2 menit
Berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
Mencoba beberapa kali untuk berdiri
Tidak dapat berdiri tanpa bantuan
4
3
2
1
0
3 DUDUK DENGAN PUNGGUNG DIBANTU DAN KAKI
DIBANTU MENYENTUH LANTAI Dapat duduk selama 2 menit
Dapat duduk selama 2 menit diawasi
Dapat duduk selama 30 detik
Dapat duduk selama 10 detik
Tidak dapat duduk tanpa bantuan
4
3
2
1
0
4 POSISI BERDIRI KE DUDUK Duduk tanpa bantuan
Duduk dengan bantuan tangan
Duduk dengan bantuaN pantat/kaki
Duduk sendiri tanpa bantuan
Tidak dapat duduk tanpa bantuan
4
3
2
1
0
5 BERPINDAH
Dapat pindah menggunakan tangan
Dapat pindah dengan bantuan
Dapat pindah dengan pengawasan
Dapat pindah dengan bantuan
Tidak mampu pindah
4
3
2
1
0
6 BERDIRI DENGAN MATA TERTUTUP Dapat berdiri selama 10 detik
Dapat berdiri dengan pengawasan 10 detik
Dapat berdiri selama 3 detik
Tidak dapat menutup mata sambil berdiri
Berdiri perlu bantuan
4
3
2
1
0
7 BERDIRI DENGAN KAKI Mampu berdiri tanpa bantuan selama 1 menit
Mampu berdiri tanpa bantuan selama 1 menit dengan pengawasan
Berdiri kurang dari 30 detik
Perlu bantuan saat berdiri selama 15 menit
Perlu bantuan dan tidak dapat mempertahankan selama 15 menit
4
3
2
1
0
8 ANGKAT TANGAN KEATAS SAMBIL BERDIRI dapat menjangkau kedepan sejauh 25 cm
dapat menjangkau kedepan sejauh 12 cm
dapat menjangkau kedepan sejauh 5 cm
dapat menjangkau kedepan tapi perlu pengawasan
hilang keseimbangan ketika mencoba
4
3
2
1
0
9
DIMULAI DARI LANTAI DENGAN POSISI BERDIRI Dapat menggukan sandal dengan aman
4
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
Dapat menggunakan sandal tapi perlu pengawasan
Tidak dapat menjangkau 2-5 cm dari sandal dan menjaga keseimbangan
Tidak dapat menggunakan sandal dan perlu pengawasan
Tidak dapat mencoba dan perlu bantuan dari resiko jatuh
3
2
1
0
10 BERPUTAR KE BELAKANG KE KIRI DAN KEKANAN
MELEBIHI BAHU SAAT BERDIRI Melihat ke belakang dari kedua sisi dengan baik
Lihat ke belakang hanya dari satu sisi
Hanya berputar ke satu sisi tapi tetap mempertahankan keseimbangan
Perlu pengawasan saat berputar
Perlu bantuan untuk menjaga keseimbangan atau tidak jatuh
4
3
2
1
0
11 BERPUTAR 360 DERAJAT Dapat berputar 360 derajat dengan aman dalam 4 detik atau lebih
Dapat berputar 360 derajat dengan aman pada satu sisi hanya dalam 4 detik
atau lebih
Dapat berputar 360 derajat dengan aman tapi perlahan
Perlu pengawasan tertutup
Perlu bantuan untuk berputar
4
3
2
1
0
12 POSISIKAN KAKI YANG SEHAT SAAT MELANGKAH
TANPA PEGANGAN Berdiri tanpa bantuan dengan aman dan berjalan 8 langkah selama 20 detik
Berdiri tanpa bantuan dengan aman dan berjalan 8 langkah > 20 detik
Berdiri tanpa bantuan dengan aman dan berjalan 4 langkah dengan
pengawasan
Berjalan lebih dari 2 langkah dan mendapatkan bantuan minimal
Perlu bantuan untuk menghindari jatuh
4
3
2
1
0
13 BERDIRI TANPA PEGANGAN DENGAN SATU KAKI
DI DEPAN Menempatkan kaki tanpa bantuan dan bergangan selama 30 detik
Menempatkan kaki kedepan tanpa bantuan dan berpegangan 30 detik
Melangkah tanpa bantuan dan berpegangan selama 30 detik
Perlu bantuan untuk melangkah tapi dapat memegang selama 15 detik
Hilang keseimbangan saat melangkah atau berdiri
4
3
2
1
0
14 BERDIRI PADA SATU KAKI Mengangkat kaki tanpa bantuan dan pegangan > 10 detik
Mengangkat kaki tanpa bantuan dan pegangan 5-10 detik
Mengangkat kaki tanpa bantuan dan pegangan ≥ 3 detik
Mencoba mengangkat kaki tapi tidak mampu Memegang selama 3 detik
tapi masi dalam posisi berdiri
Tidak dapat mencobadan perlu bantuan untuk mencegah jatuh
4
3
2
1
0
Total Skor
Sumber: Canadian Bsst Practice for stroke (2013)
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
Frenchay Aphasia Screening Test (FAST)
No Aspek komunikasi Item penilaian Skor
1 Pemahaman a.Menunjukkan objek yang terlihat pada kartu gambar sesuai
dengan instruksi
Tidak menunjuk objek yang tepat 0
Menunjuk 1 objek yang tepat 1
Menunjuk 2 objek yang tepat 2
Menunjuk 3 objek yang tepat 3
Menunjuk 4 objek yang tepat 4
Menunjuk 5 objek dengan tepat 5
b.Menunjukkan gambar bentuk yang terlihat pada kartu gambar
sesuai dengan instruksi
Tidak menunjuk gambar bentuk yang tepat 0
Menunjuk 1 gambar bentuk yang tepat 1
Menunjuk 2 gambar bentuk yang tepat 2
Menunjuk 3 gambar bentuk yang tepat 3
Menunjuk 4 gambar bentuk yang tepat 4
Menunjuk 5 gambar bentuk dengan tepat 5
2 Pengucapan a.Menyebutkan nama objek yang terlihat pada kartu gambar
Tidak mampu menyebutkan nama objek satupun 0
mampu menamai 1-2 objek 1
mampu menamai 3-4 objek 2
mampu menamai 5-6 objek 3
mampu menamai 7-8 objek 4
mampu menamai 9-10 objek 5
b.Menyebutkan nama benda disekitar dalam waktu 1 menit
Tidak dapat menyebutkan satupun nama benda 0
Menyebutkan 1-2 nama benda 1
Menyebutkan 3-5 nama benda 2
Menyebutkan 6-9 nama benda 3
Menyebutkan 10-14 nama benda 4
Menyebutkan ≥ 15 nama benda 5
3 Membaca Membaca tulisan pada kartu gambar dan melakukan instruksi yang
dibaca
Tidak dapat melakukan instruksi 0
Dapat melakukan sesuai instruksi 5
4 Menulis Menuliskan nama objek yang terlihat pada kartu gambar
Tidak mampu menuliskan satupun 0
Dapat menuliskan 1-2 objek 1
Dapat menuliskan 2-3 objek 2
Dapat menuliskan 4 objek 3
Dapat menuliskan 5 objek (tapi ada nama objek yang tidak sesuai) 4
Dapat menuliskan 5 objek dengan tepat 5
TOTAL SKOR 30
Sumber: modifikasi dari salter et al (2006)
Interpretasi : dikatakan afasia jika usia ≤60 tahun memperoleh nilai < 27 dan usia > 60 tahun
memperoleh nilai < 25
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
MEDIA GAMBAR UNTUK FRENCHAY APHASIA SCREENING TEST (FAST)
a. Gambar pemandangan
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia
b. Gambar bentuk
Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017