universitas indonesia analisis praktik residensi...

174
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN KASUS MIASTENIA GRAVIS MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY DI RUMAH SAKIT UMUM CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR DISUSUN OLEH TRI ANTIKA RIZKI KUSUMA PUTRI 1406523490 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH NEUROLOGI FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2017 Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Upload: others

Post on 16-Nov-2020

6 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN KASUS

MIASTENIA GRAVIS MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL

ADAPTASI ROY DI RUMAH SAKIT UMUM CIPTO MANGUNKUSUMO

JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

DISUSUN OLEH

TRI ANTIKA RIZKI KUSUMA PUTRI

1406523490

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH NEUROLOGI

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2017

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

I-IALAMAN PERNYAT AAN ORISINALITAS

Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya saya sendirio dan sernua sumber baik

yang dikutip maupun dirujuk tclah saya nyatakan dcugan bcnar.

Nama : Tri Antika Rizki Kusuma Putri

NPM : 1406523490

Tanda tangan

~ .

Tanggal

ii

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

HALAMAN PENGESAHAN

Karva Ilmiah Akhir ini diajukan oleh : Nama Tr i Antika Rizki Kusuma Putri NPM 1406523490 Program Studi Spcsialis Ilmu Kepera watun Judul Knrya Ilmiah Analisis Praktik Rcsidensi Kepcrawutan Mcdikal

Bcdah Pada Pasien Gangguan Sistcm Ncurologi Deugau Kasus Miastenia Gravis Menggunakan Pcndckatan Mod e! Adaptasi Roy Di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakart a

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji ujian sidang Karya Ilmiah Akhir dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas llmu Keperawatan, Universitas Indonesia.

DE'VAN PENGUJI

Penguji I

Penguji II

Penguji 11l

: Prof Dr. Ratna Sitorus, S.Kp, M.App.Sc

: I Made Kariasa, S.Kp., MM., M.Kep., Sp.KMB

: MG Enny Mul yatsih, S.Kp. , M.Kep . Sp.KMB

(. ~

( ..~ )

w Penguji IV : Yunisar Gultom, S.Kp., MCIN sg

Ditetapkan di Tanggal

: Depok : 12 Juni 2017

iii

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

iv

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya

sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal tesis dengan judul “Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Miastenia Gravis”.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak yang telah memberikan

bimbingan, arahan, dan dukungan khususnya kepada:

1. Ibu Prof Dr. Ratna Sitorus, S.Kp, M.App.Sc. selaku supervisor utama

yang banyak memberikan masukan, arahan, bimbingan dan motivasi selama

proses bimbingan karya ilmiah akhir ini.

2. Bapak I Made Kariasa, S.Kp., MM., M.Kep., Sp.KMB, selaku supervisor

yang telah memberikan masukan dan bimbingan selama proses penyusunan

karya ilmiah akhir ini.

3. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp, M.App.Sc, PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia.

4. Ibu Dr. Novy Helena C.D, S.Kp, MSc, selaku Ketua Program Studi Pasca

Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

5. Ibu Yunisar Gultom, S.Kp., MCIN dan Ibu MG Enny Mulyatsih, S.Kp.,

M.Kep. Sp.KMB, selaku pembimbing klinik sekaligus penguji yang telah

membimbing dan memberikan masukan serta saran untuk perbaikan karya

ilmiah akhir ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia, khususnya Departemen KMB.

7. Keluarga dan sahabat yang senantiasa memberikan dukungan dan do’anya

kepada penulis.

Peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat

bagi pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan yang profesional.

Depok, Juni 2017

Tri Antika Rizki Kusuma Putri

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PlJBLlKASI TUGAS AKHIR UNTUK

KEPENTINGAN PUBLIKASI

Sebagai civitas Universitas Indonesia, saya yang bcrtanda tangan eli bawuh ini:

Nama : Tri Antika Rizki Kusurna Putri

NPM : 1406523490

Program Studi : Ners Spesialis Kepcrawatan

Departemen : Keperawatan Medikal Bedah

Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, mcnyetujui untuk memberikan kepada Universitas

Indonesia Hak Bebas Royalti NonekskIusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas karya

iImiah saya yang berjuduI :

Analisis Praktek Residensi Keperwatan Medikal Bcdah Pada Pasien Gangguan

Neurologi Dengan Kasus Miastenia Gravis Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi

Roy Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non EkskIusif ini

Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formarkan, mcngelola dalam

bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama

mencanturnkan nama saya sebagai penulis/pcncipta clan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan scbenar-benarnya.

Dibuat di : Depok

Pacla Tanggal : 12 Juni 2017

Yang Menyatakan

~ . Tri Antika Rizki Kusuma Putri

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

vi

Universitas Indonesia

NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien

Gangguan Sistem Neurologi dengan Kasus Miastenia Gravis Menggunakan

Pendekatan Model Adaptasi Roy di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Jakarta

Tri Antika Rizki Kusuma Putri

2017

Abstrak

Praktek klinik lanjut selama masa residensi keperawatan pada sistem neurologi

dimaksudkan untuk mampu memberikan asuhan keperawatan, menerapkan

Evidence Based Nursing (EBN) serta mampu berperan sebagai inovator di ruang

perawatan. Peran pemberi asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan

model adaptasi Roy pada pasien dengan miastenia gravis dan 30 pasien lainnya

dengan berbagai gangguan sistem persarafan. Perilaku maladaktif paling banyak

adalah mode adaptasi fisiologi, yaitu risiko ketidakefektifan perfusi jaringan

serebral. Intervensi keperawatan berupa manajemen edema serebral ditujukan

untuk meningkatkan adaptasi pasien dalam meningkatkan perfusi jaringan

serebral. Penerapan EBN: Functional Oral Intake Scale (FOIS) pada sembilan

pasien disfagia sebagai bentuk evaluasi kemampuan makan pasien

menunjukkan sensitifitas terhadap kejadian aspirasi dan perubahan kemampuan

makan pasien. Program inovasi penerapan format pengkajian tambahan dapat

digunakan sebagai alat bantu bagi perawat dalam menegakan diagnosa

keperawatan.

Kata kunci :

Disfagia, FOIS, Format Pengkajian Tambahan, Gangguan Persarafan, Miastenia

Gravis, Model Adaptasi Roy

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

vii

Universitas Indonesia

NURSE SPECIALIST OF MEDICAL SURGICAL NURSING

FACULTY OF NURSING

UNIVERSITY OF INDONESIA

Analysis of Medical Surgical Nursing Residency Practice on Neurological

System Disorders with Myasthenia Gravis Cases Using Roy Adaptation

Model Approach at Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta

Tri Antika Rizki Kusuma Putri

2017

Abstract

Advanced clinical practice in neurological system during the nursing residency

period is proposed to be able to provide nursing care, implement the Evidence

Based Nursing (EBN) and be able to act as an innovator in the treatment room.

The role of nurse care provider was made using Roy's adaptation model in

patients with myasthenia gravis and 30 other patients with various neural system

disorders. The most maladaptive behavior is the physiological adaptation mode

is the risk of ineffective cerebral tissue perfusion. The nursing management

intervention like cerebral edema is aimed to improve patient adaptation in

enhancing cerebral tissue perfusion. Implementation of EBN: Functional Oral

Intake Scale (FOIS) in nine dysphagia patients as a evaluation form for feeding

ability patients showed a sensitivity to occurrence of aspiration and changes in

the patient's eating ability. Implementation of additional asessment form as a

innovation program can be used as a tool for nurses in determine nursing

diagnoses.

Keywords :

Additional Assessment Form, Dysphagia, FOIS, Myasthenia Gravis, Neurological

Disorders, Roy Adaptation Model

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

viii

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii

KATA PENGANTAR ............................................................................... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. v

ABSTRAK ................................................................................................. vi

ABCTRACT .............................................................................................. vii

DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ....................................................................................... x

DAFTAR SKEMA ..................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Tujuan ......................................................................................... 10

1.2.1 Tujuan Umum .................................................................... 10

1.2.2 Tujuan Khusus ................................................................... 10

1.3 Manfaat ........................................................................................ 10

1.3.1 Pelayanan Keperawatan ..................................................... 10

1.3.2 Pengembangan Keilmuan Keperawatan ............................ 10

2. STUDI PUSTAKA

2.1 Konsep Miastenia Gravis ............................................................ 12

2.1.1 Pengertian ........................................................................... 13

2.1.2 Patofisiologi ........................................................................ 13

2.1.3 Klasifikasi .......................................................................... 16

2.1.4 Tanda dan Gejala ................................................................ 18

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik ..................................................... 20

2.1.6 Komplikasi .......................................................................... 21

2.1.7 Penatalaksanaan .................................................................. 23

2.1.8 Discharge Planning ........................................................... 26

2.2 Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy .................................... 27

2.2.1 Model Adaptasi Roy ........................................................... 27

2.2.2 Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy ........... 32

3. PROSES RESIDENSI

3.1 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Miastenia Gravis ...... 40

3.2 Gambaran 30 Pasien dengan Gangguan Neurologis ................... 53

3.3 Evidence Based Nursing (EBN): Penerapan The Functional

Oral Intake Scale (FOIS) pada Pasien dengan Gangguan

Neurologis ................................................................................... 63

3.3.1 Analisis PICO .................................................................... 63

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

ix

Universitas Indonesia

3.3.2 Kritisi Jurnal ........................................................................ 64

3.4 Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian Keperawatan

Tambahan pada Pasien dengan Gangguan Neurologi .................. 69

3.4.1 Analisis SWOT .................................................................. 69

3.4.2 Studi Pustaka Proyek Inovasi .............................................. 71

4. PEMBAHASAN

4.1 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Miastenia Gravis

dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy ................................... 80

4.2 Analisis Penerapan Model Adaptasi Roy pada Tiga Puluh

Kasus Pasien dengan Gangguan Neurologi ................................ 86

4.3 Analisis Pencapaian Evidence Based Nursing (EBN):

Penerapan The Functional Oral Intake Scale (FOIS) pada

Pasien dengan Gangguan Neurologis .......................................... 94

4.4 Analisis Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian

Keperawatan Tambahan pada Pasien dengan Gangguan

Neurologi ..................................................................................... 95

5. PENUTUP

5.1 Simpulan ..................................................................................... 100

5.2 Saran .............................................................................................. 100

DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

x

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Miastenia Gravis Berdasarkan MGFA .................. 17

Tabel 3.1 Karakteristik 30 Pasien Resume Berdasarkan Usia .................. 54

Tabel 3.2 Karakteristik 30 Pasien Resume Berdasarkan Jenis Kelamin,

Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, dan suku ................................ 56

Tabel 3.3 Karakteristik Pasien Resume Berdasarkan Diagnosa

Keperawatan ............................................................................. 58

Tabel 3.4 Gambaran Diagnosa Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan

Neurologi ................................................................................. 60

Tabel 3.5 Suber Penelusuran Jurnal ......................................................... 65

Tabel 3.6 Telaah Kritis Jurnal .................................................................. 68

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

xi

Universitas Indonesia

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Pathway Miastenia Gravis ..................................................... 15

Skema 2.2 Proses Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy ........ 28

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

xii

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Asuhan Keperawatan Lengkap Pada Pasien Miastenia Gravis

Lampiran 2 Format Pengkajian Keperawatan dengan Model Adaptasi Roy

Lampiran 3 Resume Kasus Pasien dengan Gangguan Neurologis Data

Lampiran 4 Format Functional Oral Intake Scale: FOIS

Lampiran 5 Format Pengkajian Tambahan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

1

Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan program residensi keperawatan di area klinik memberikan

kesempatan untuk berperan sebagai perawat spesialis dengan melakukan beberapa

kompetensi. Kompetensi yang dilakukan diantaranya memberikan asuhan

keperawatan lanjut pada kasus-kasus neurosains dengan menggunakan pendekatan

Model Adaptasi Sr. Callista Roy, melakukan asuhan keperawatan berdasarkan

bukti ilmiah melalui program Evidence Based Nursing Practice (EBN) berupa

penerapan format The Functional Oral Intake Scale (FOIS), serta melakukan

kegiatan inovasi berupa penerapan format pengkajian keperawatan tambahan

dengan harapan memberikan pembaharuan pada praktik keperawatan. Proses

pemberian asuhan keperawatan lanjut pada kasus-kasus neurosains diantaranya

meliputi kasus stroke hemoragik, stroke iskemik, cedera kepala, miastenia gravis,

Chronic Inflamatory Demyelinating Polyneurophaty (CIDP), meningitis,

meningoenshepalitis, toxoenshepalitis, ensepalopati, atrofi serebri, status

epileptikus, Space Occupaying Lession (SOL), tumor medulla spinalis, serta

pasien post pembedahan (kraniektomi).

Pemilihan neurologi sebagai cabang ilmu untuk praktik residensi didasari oleh

kompleksitas yang dimiliki sistem persarafan manusia serta semakin

meningkatnya angka kejadian gangguan neurologi maupun faktor risikonya

seperti gangguan kardiovaskular (WHO, 2014). Pemahaman lanjut terkait

manajemen kasus pada gangguan neurologi merupakan kompetensi yang wajib

dimiliki oleh perawat neurosains (Holtom, Thornton, Doerksen, Stoyles, &

Kelloway, 2008). Praktik residensi yang memungkinkan perawat untuk mengelola

kasus-kasus dengan masalah yang kompleks merupakan salah satu wadah untuk

mengasah kompetensi tersebut.

Perawat spesialis neurosains merupakan perawat yang berkecimpung pada area

neurologi. Berdasarkan standar praktik perawat neurosains yang dikeluarkan oleh

Canadian Association of Neuroscience Nurses (2008) perawatan yang diberikan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

2

Universitas Indonesia

oleh perawat neurosains merupakan perawatan khusus atau terspesialisasikan

terhadap individu dengan atau berisiko memiliki masalah sistem persarafan

berikut dengan perawatan jangka panjang setelah melewati masa akut. Maka dari

itu, perawat spesialis neurosains diharuskan memiliki kemampuan manajemen

pasien dengan gangguan pada otak, tulang belakang, serta saraf tepi (Holtom et

al., 2008). Perawat spesialis neurosains yang juga merupakan seorang perawat

profesional dituntut untuk dapat meningkatkan pengetahuan mengenai masalah-

masalah dan penyakit-penyakit neurologi, serta mampu mengintegrasikan ilmu

pengetahuan dalam ruang lingkup neurosains dengan kondisi pasien.

Kemampuan perawat spesialis neurosains dalam melakukan observasi pada saat

pengkajian merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki dalam

memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Observasi yang akurat akan

memberikan pedoman kepada tenaga kesehatan khususnya perawat dalam

memberikan intervensi sesuai kebutuhan pasien. Seorang perawat neurosains

dituntut mampu membuat sebuah formula “database perawat” yang berhubungan

dengan pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan neurologis

(Swift-Bandini, 1982). Hal ini sesuai dengan perkembangan perawat spesialis

yang membutuhkan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan melalui program

residensi keperawatan.

Gangguan pada sistem persarafan atau gangguan neurologi saat ini menjadi salah

satu ancaman dan juga tantangan bagi kesehatan masyarakat dunia. Pasien dengan

gangguan neurologi tidak hanya menunjukkan masalah pada saat terjadinya

serangan atau biasa disebut onset kejadian namun seringkali meninggalkan gejala

sisa setelah keluar dari pusat pelayanan kesehatan yang bersifat sementara

maupun menetap. World Health Organization (WHO) memperkirakan gangguan

neurologi pada saat onset kejadian maupun gejala sisa setelahnya dapat

mempengaruhi sebanyak satu miliar individu di seluruh dunia (Neurological

Disorders Public Health Challenges, 2006). Berdasarkan data statistik di

Indonesia, gangguan neurologi menempati posisi pertama penyebab kematian.

Selain itu hambatan mobilisasi yang merupakan salah satu gejala sisa dari

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

3

Universitas Indonesia

gangguan neurologi masuk ke dalam tiga penyebab utama kecacatan yang dialami

oleh individu di Indonesia (Global Burden Disease: Indonesia, 2010).

Kasus kelolaan utama dalam laporan akhir praktik residensi ini yaitu Miastenia

Gravis. Miastenia Gravis merupakan suatu penyakit autoimun kronis yang

ditandai dengan diserangnya area neuromuscular junction (E. Corwin, 2009).

Seperti halnya penyakit autoimun yang lain, angka prevalensi dari miastenia

gravis lebih rendah dibandingkan penyakit neurologis lainnya seperti kelainan

serebrovaskular maupun keganasan. Akan tetapi, miastenia gravis merupakan

penyakit autoimun terbanyak yang menyerang sistem persarafan terutama di area

neuromuscular junction (Woodward & Mestecky, 2011).

Philips (2003) dalam Hickey (2014) menyebutkan bahwa prevalensi miastenia

gravis mencapai 20 per satu juta penduduk di Amerika Serikat. Angka tersebut

tidak jauh berbeda dengan insidensi miastenia gravis di wilayah Eropa yakni

sebanyak 21-30 per satu juta populasi (Joensen, 2014). Carr AS, Cardwell, Mc

Carron dan Mc Conville (2010) dalam Berrih-aknin dan Panse (2014)

menyebutkan angka prevalensi miastenia gravis yang cukup besar yakni berkisar

antara 15 sampai 179 per satu juta populasi tergantung pada lokasi terjadinya.

Lebih lanjut Joensen (2014) menjelaskan bahwa miastenia gravis dapat terjadi

pada semua jenis kelamin dan berbagai rentang usia.

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang merupakan salah satu lahan

praktik residensi keperawatan merupakan rumah sakit rujukan nasional dalam

penatalaksanaan miastenia gravis. Berdasarkan rekapitulasi jumlah kunjungan

pada bulan Januari 2016 hingga Desember 2016 di ruang rawat inap neurologi

Zona A Gedung A RSCM diketahui bahwa kasus miastenia gravis selalu ada

setiap bulannya dengan presentasi 2-9 persen dari total kunjungan. Apabila

dibandingkan dengan jumlah kunjungan kasus neuroimunologi lainnya seperti

Guillain Bare Syndrome (GBS) maupun multipel skeloris, kasus miastenia gravis

menempati urutan pertama. Selain itu seringkali dampak yang dialami pasien

miastenia gravis seperti sesak, penurunan kemampuan motorik dalam mobilisasi

maupun beraktivitas lainnya seperti melihat dan menelan masih dialami pasien

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

4

Universitas Indonesia

bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit. Hal tersebut melatarbelakangi

pengambilan kasus utama dalam praktik residensi keperawatan ini.

Ciri khas miastenia gravis yaitu adanya penurunan kekuatan otot yang semakin

berat dengan melakukan aktivitas yang seringkali berakibat fatal bagi pasien

namun sebaliknya kekuatan otot dapat mengalami perbaikan setelah istirahat.

Kelemahan fisik, kecemasan, keterbatasan interaksi sosial bahkan kematian

merupakan beberapa dampak yang dapat diakibatkan oleh miastenia gravis

(Mestecky, 2013). Miastenia gravis tergolong ke dalam penyakit neurologi kronis

yang membutuhkan masa rehabilitasi yang lama dan pada beberapa kasus dampak

dari penyakit dapat berlangsung hingga berbulan-bulan bahkan setelah keluar dari

pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, dikarenakan masa perawatan yang relatif

lama dan obat-obatan dengan harga tinggi, estimasi biaya yang dibutuhkan untuk

penatalaksanaan miastenia gravis pun relatif tinggi. Hickey (2014)

memperkirakan besaran biaya pasien dengan miastenia gravis yakni sebesar

15.675 dolar Amerika Serikat atau kurang lebih sebesar 210 juta rupiah.

Pelaksanaan asuhan keperawatan pada praktik residensi keperawatan ini

menggunakan pendekatan model adaptasi milik Sister Callista Roy. Teori maupun

model konseptual keperawatan merupakan dasar dari proses keperawatan yang

berupa konsep inti keperawatan yang tersusun secara ilmiah dengan tujuan untuk

mengarahkan perawat dalam mengumpulkan data, mengidentifikasi perubahan

klinis pasien, serta melakukan intervensi keperawatan dan evaluasi (Costa, Luz,

Bezerra, & Rocha, 2016). Model adaptasi Roy menekankan bahwa setiap individu

memiliki kemampuan beradaptasi terhadap berbagai stimulus baik berupa

stimulus internal maupun eksternal. Menerima dan menyesuaikan diri terhadap

stimulus merupakan tujuan akhir yang menunjukkan bahwa individu mampu

beradaptasi terhadap stimulus atau tidak (Roy, 2009). Alligood dan Tomey (2010)

dalam bukunya menjelaskan konsep dari model adaptasi Roy merupakan

kemampuan adaptasi dari seorang individu untuk meningkatkan status

kesehatannya dari perilaku kurang adaptif menjadi perilaku yang adaptif. Pada

dasarnya hasil keluaran yang diharapkan dari model Roy yaitu pencapaian status

kesehatan yang optimal bagi manusia melalui koping yang adaptif.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

5

Universitas Indonesia

Penerapan model adaptasi Roy sudah dilakukan secara luas pada pasien dengan

gangguan neurologi. Costa, Luz, Bezerra, dan Rocha (2016) menyebutkan bahwa

model adaptasi Roy dapat diterapkan pada pasien dengan penyakit kronis. Hal

tersebut berhubungan dengan masalah kompleks pada pasien yang membutuhkan

pengkajian serta penatalaksanaan yang holistik. Miastenia gravis merupakan salah

satu penyakit kronis progresif yang semakin lama kondisi pasien akan semakin

memburuk baik secara fisik maupun psikologis (Hickey, 2014). Seringkali onset

kejadian terjadi ketika pasien berada pada rentang usia produktif. Hal tersebut

mengharuskan pasien untuk melawan kondisi sakitnya serta berjuang dari dampak

yang ditimbulkan penyakit dalam kurun waktu yang lama. Pernyataan tersebut

sejalan dengan hasil dari penerapan model adaptasi Roy pada kasus penyakit

kronis yang terbukti berguna dalam proses pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosial

serta meningkat kemampuan koping dari pasien dalam menghadapi masalah-

masalah yang timbul akibat proses penyakit (Rosińczuk, Kołtuniuk, Górska, &

Uchmanowicz, 2015).

Peran perawat spesialis neurosains dalam penerapan model keperawatan adaptasi

Roy yaitu memastikan pasien dengan gangguan neurologi mencapai perilaku

adaptif dengan cara meningkatkan koping adaptif pasien serta mengurangi

stimulus internal maupun eksternal. Hal ini sejalan dengan Holtom et al. (2008)

yang menyebutkan bahwa perawat spesialis neurologi dituntut untuk mampu

mengelola kasus-kasus neurologi dan juga memberikan informasi terkait penyakit.

Sejalan dengan konsep tersebut, dampak dari gangguan neurologi yang

merupakan stimulus bagi pasien diharapkan dapat diminimalisir setelah

pemberian asuhan keperawatan.

Selain itu, pasien dengan gangguan neurologi seringkali keluar dari pusat

pelayanan kesehatan disertai dengan gejala sisa baik berupa gangguan mobilisasi,

gangguan menelan, maupun masalah keperawatan lainnya. Sebagai hasil akhirnya,

pasien dituntut untuk mampu beradaptasi terhadap stimulus yang terjadi.

Pemberian edukasi sebagai salah satu tindakan mandiri perawat merupakan salah

satu bentuk proses koping subsistem kognator yang meliputi proses informasi,

persepsi, penilaian, serta emosi. Hal tersebut diharapkan mampu mengurangi

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

6

Universitas Indonesia

stimulus, meningkatkan koping, serta meningkatkan kemampuan adaptasi pada

pasien dengan gangguan neurologi sehingga pasien kembali mampu melakukan

aktivitas sehari-hari baik dengan atau tanpa gejala sisa.

Pembuktian secara ilmiah melaui penerapan Evidence Based Nursing Practice

(EBN) yang diterapkan dalam praktik residensi keperawatan ini berupa penerapan

format The Functional Oral Intake Scale (FOIS). Dasar pemikiran penerapan

EBN tersebut adalah belum tersedianya format evaluasi kemampuan menelan

serta pentingnya follow up kemampuan menelan pada pasien dengan gangguan

neurologi. Berdasarkan data statistik jumlah kunjungan pasien dari bulan Januari

sampai dengan Maret 2017 diketahui bahwa Bed Occupancy Ratio (BOR) ruang

rawat inap neurologi berkisar antara 86-100% dengan jumlah pasien stroke lebih

dari 50 persen dari total jumlah kunjungan pasien. Ditunjang hasil observasi

selama melakukan praktik ners spesialis di Zona A Lantai V RSCM kurang lebih

6-15 pasien setiap harinya menggunakan selang nasogastric untuk memenuhi

kebutuhan dietnya. Unit perawatan neurologi sudah memiliki format deteksi

disfagia dengan menggunakan Massey Bedside Swallowing Screen akan tetapi

dokumentasi dari evaluasi terhadap penatalaksanaan maupun follow up terhadap

status kemampuan pasien dalam menelan maupun makan masih belum tersedia.

Pasien dengan gangguan neurologi seringkali mengalami penurunan kemampuan

menelan sehingga mempengaruhi kemampuan makan dan berisiko tinggi

mengalami pneumonia akibat aspirasi (Hickey, 2014). Disfagia atau gangguan

menelan terjadi pada 30-50% pada pasien sadar. Meskipun kesulitan menelan

dapat membaik secara bertahap tanpa pengobatan apapun secara cepat namun

pada sekitar kurang lebih 10% pasien stroke, masalah tetap bertahan selama enam

sampai sepuluh bulan setelah waktu kejadian serangan stroke (Takahata,

Tsutsumi, Baba, Nagata, & Yonekura, 2011). Hal tersebut sejalan dengan hasil

penelitian yang menyebutkan kesulitan makan pada pasien stroke di pusat

rehabilitasi mencapai angka 43% dan 66% pasien tetap memiliki kesulitan makan

setelah enam bulan keluar dari pusat layanan kesehatan (n=114). Feeding

dependence atau ketergantungan pada proses makan terjadi pada 36 sampai

dengan 53% pasien stroke.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

7

Universitas Indonesia

Dogget et. al (2001) dalam Westergren (2006) menjelaskan bahwa selain

penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan kesulitan menelan, pengkajian

merupakan hal yang penting dalam menurunkan risiko terjadinya pneumonia

aspirasi. Berdasarkan hasil pencarian jurnal diketahui bahwa The Functional Oral

Intake Scale (FOIS) dapat digunakan sebagai alat evaluasi pasien dengan

gangguan menelan atau disfagia (Crary, Mann, & Groher, 2005). Penerapan

format tersebut bertujuan untuk menentukan jenis diet bagi pasien, kebutuhan

pasien akan penggunaan selang nasogastric, serta mencegah terjadinya

pneumonia aspirasi.

Beberapa penelitian yang menerapkan format FOIS pada pasien neurologi dengan

ganggan menelan menunjukan sensitifitas, reliabilitas, serta nilai inter rater yang

baik dalam menggambarkan kemampuan makan serta mencegah kejadian

pneumonia aspirasi yang merupakan salah satu komplikasi dari disfagia (Crary et

al., 2005; McMicken, Muzzy, & Calahan, 2010; Takahata et al., 2011). Selain itu

FOIS digambarkan sebagai format yang mudah dan sederhana untuk diaplikasikan

di area klinis tanpa perlu adanya alat bantu maupun pelatihan khusus. Berdasarkan

hal tersebut, maka penulis melakukan penerapan Evidence Based mengenai

format The Functional Oral Intake Scale (FOIS) sebagai bentuk evaluasi pada

pasien dengan disfagia.

Kompetensi lain yang dilakukan selama praktik residensi keperawatan yakni

berperan sebagai innovator dengan menjalankan program inovasi berupa

penerapan format pengkajian keperawatan tambahan yang diharapkan dapat

membantu proses penegakan diagnosa keperawatan. Pengkajian merupakan tahap

awal dalam proses keperawatan yang sistematis selama pengumpulan data untuk

mengidentifikasi status kesehatan pasien dan menegakan diagnosa keperawatan

yang tepat. Umumnya format pengkajian keperawatan yang ada saat ini disusun

berdasarkan berbagai pendekatan yaitu head to toe, pengkajian persistem, dan

pengkajian berdasarkan kebutuhan dasar manusia. Format pengkajian ini bersifat

umum dan digunakan oleh semua lingkungan pelayanan tanpa memandang area

kekhususan layanan sehingga diperlukan format pengkajian tambahan pada area

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

8

Universitas Indonesia

kekhususan bagi perawat untuk mengkaji masalah keperawatan misalnya

neurologi, bedah, dan sebagainya.

Format pengkajian awal yang digunakan di ruang rawat neurologi merupakan

format terintegrasi yang digunakan oleh perawat dan dokter. Selain itu juga

terdapat format monitoring harian yang berisikan tanda-tanda vital serta status

neurologis pasien meliputi kekuata otot, refleks cahaya, refleks pupil, serta

Nursing Early Warning System Score (NEWSS). Seperti yang telah disinggung

sebelumnya bahwa sebagian besar kasus neurologi adalah kasus serebrovaskular,

namun pengkajian yang dapat dilakukan pada pasien sangat terbatas. Berdasarkan

hasil wawancara singkat dengan sebagian besar perawat associate serta seluruh

perawat primer diketahui bahwa evaluasi terhadap tingkat keperahan stroke yang

merupakan salah satu indikator keberhasilan pemberian asuhan keperawatan tidak

familiar pada perawat. Selain itu disebutkan pula bahwa format yang telah ada

membutuhkan beberapa penambahan terkait kebutuhan perawat untuk menegakan

diagnosa keperawatan.

Susanti (2015) dalam penelitiannya menggunakan format pengkajian Insomnia

Severity Index (ISI) pada pasien neurologi. Pada penelitiannya tersebut ditemukan

38% pasien neurologi yang mengalami insomnia, sebagian besar berjenis kelamin

perempuan, dan terjadi pada kelompok umur 61-70 tahun. Pada Umumnya faktor

penyebab insomnia pada pasien neurologi adalah nyeri kronis ( p value= 0,031)

dan depresi (p value= 0,00). Dedy (2012) dalam penelitiannya menggunakan

format National Institute Health Stroke Scale (NIHSS) mengkaji kondisi pasien

stroke fase akut menunjukkan ada hubungan bermakna antara nilai nilai NIHSS

dengan diagnosa keperawatan actual (r=0,094, p=0,0005).

Brown (2006) dalam penelitiannya dengan menggunakan kuesioner 3

Incontinence Question (3 IQ) untuk mendeteksi kejadian inkontinensia urin pada

pasien neurologi dan menunjukkan bahwa penggunaan kuesioner 3 IQ relevan

dalam mendeteksi jenis-jenis inkontinensia urin dengan p value < 0.05. Suzanne

(2014) melakukan penelitian dengan menggunakan Berg Balance Scale ( BBS)

dalam mengukur keseimbangan duduk dan berjalan. Hasil penelitian

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

9

Universitas Indonesia

menunjukkan format BBS relevan digunakan pada pasien dengan gangguan

mobilitas fisik (p value=0,0001, r=0,93). Choi (2015) dalam penelitian pada

pasien stroke dengan menggunakan format Frenchay Aphasia Screening Test

(FAST) diketahui dapat mendeteksi kejadian afasia dengan nilai koefisien

korelasinya 0,995 dan p value= 0,0001. Rahu et al (2015) menggunakan

pengkajian nyeri Adult Non Verbal Pain Scale (NVPS) pada pasien yang tidak

dapat berkomunikasi, dibawah pengaruh sedasi, maupun pasien terpasang intubasi

menunjukkan format NVPS relevan digunakan untuk mendeteksi nyeri pada

pasien yang tidak mampu melaporkan nyerinya dengan p<0,01) dan nilai validitas

(r =0,86).

Kelompok menyusun suatu bentuk format pengkajian yang digunakan dalam

mendukung pengkajian keperawatan secara lengkap dengan berorientasi pada

konsep pemenuhan kebutuhan dasar. Format yang diterapkan selama program

inovasi diantaranya meliputi Insomnia Severity Index (ISI), National Institute

Health Stroke Scale (NIHSS), 3 Incontinence Question (3IQ), Berg Balance Scale

(BBS), Frenchay Aphasia Screening Test (FAST), dan Adult Non Verbal Pain

scale (NVPS). Format-format tersebut merupakan screening tools yang dapat

digunakan dalam melihat tingkat keparahan dari penyakit, sebagai alat bantu

dalam menegakan diagnosa keperawatan, serta sebagai bentuk evaluasi dari

pemberian asuhan keperawatan pada pasien. Selain itu, melalui format ini perawat

dapat menilai perubahan pemenuhan kebutuhan dasar yang terjadi pada pasien

sebagai dampak dari kondisi (patofisiologi) penyakitnya.

Karya tulis ilmiah ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan

perawat spesialis. Karya tulis ini menggambarkan pengalaman praktek perawat

spesialis selama satu tahun dalam menerapkan asuhan keperawatan lanjutan

dengan pendekatan Model Adaptasi Roy pada pasien dengan gangguan

neurologis. Selain itu, karya tulis ini akan menggambarkan peran perawat sebagai

peneliti serta inovator melalui program-program yang telah dilakukan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

10

Universitas Indonesia

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum

Menganalisis pelaksanaan program residensi keperawatan dalam menjalankan

peran perawat spesialis selama pelaksanaan praktik residensi keperawatan

medikal bedah peminatan neurologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

(RSCM) dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Menganalisis peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan

dengan pendekatan menggunakan Model Adaptasi Roy pada pasien dengan

gangguan sistem neurologis di RSCM

b. Menganalisis peran perawat spesialis dalam menerapkan tindakan

keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah atau Evidence Based Nursing

(EBN) pada pasien dengan gangguan sistem neurologis di RSCM

c. Menganalisis peran perawat spesialis dalam melakukan kegiatan inovasi pada

tatanan pelayanan keperawatan neurologis di RSCM

1.3 Manfaat

1.3.1 Pelayanan Keperawatan

a. Memberikan gambaran dan masukan kepada layanan keperawatan dalam

melakukan asuhan keperawatan dengan pendekatan model adaptasi Roy pada

pasien dengan gangguan neurologis.

b. Memberikan informasi dan panduan bagi perawat dalam melakukan tindakan

keperawatan terutama evaluasi kemampuan makan pada pasin dengan disfagia

yang berdasarkan pembuktian ilmiah atau Evidence Based Nursing (EBN)

c. Memberikan panduan bagi perawat dalam melakukan tindakan pengkajian

tambahan meliputi pengkajian nyeri, kemampuan berbahasa, gangguan tidur,

gait/balance, inkontinensia urin, serta tingkat keparahan stroke.

1.3.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan

a. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pelaksanaan asuhan

keperawatan neurologi berdasarkan pendekatan model keperawatan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

11

Universitas Indonesia

b. Laporan ini dapat menjadi gambaran mengenai peran perawat spesialis dalam

memberikan asuhan keperawatan, menerapkan model keperawatan,

melakukan pembuktian ilmiah (EBN) dan membuat sebuah inovasi.

c. Laporan ini dapat menjadi rujukan dalam proses belajar mahasiswa

keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan dan mencari

pembuktian-pembuktian ilmiah terhadap tindakan keperawatan yang

dilakukan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

12

Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Black dan Hawks (2014) menyebutkan oleh karena dapat mempengaruhi tubuh

baik secara fisiologis maupun psikologis, sistem persarafan merupakan sistem

fungsional dan struktural yang rumit. Neuron sebagai komponen dasar dari

struktur anatomi dan fisiologis sistem persarafan memiliki beberapa fungsi

diantaranya untuk merespons stimulus sensorik maupun kimiawi, menghantarkan

impuls, dan melepaskan chemical regulator tertentu (Hickey, 2014). Dikarenakan

fungsinya tersebut sistem saraf dapat mengatur kemampuan motorik, sensorik,

otonom, kognitif, serta fungsi perilaku dari seorang individu (Black & Hawks,

2014; Hickey, 2014). Koordinasi sistem saraf pusat dan perifer yang

memungkinkan seorang individu untuk bergerak, berbicara, berpikir, dan juga

berespons terhadap stimulus merupakan salah satu cara komunikasi berbagai

bagian tubuh pada seorang individu (Corwin, 2009).

Secara umum sistem persarafan dapat dibagi menjadi dua bagian yakni sistem

saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat meliputi otak dan tulang

belakang (medulla spinalis) yang dilindungi oleh kerangka tulang keras, tiga

lapisan membran (meningen), cairan serebrospinal, dan sawar darah otak.

Masalah yang mungkin muncul pada sistem saraf pusat yaitu gangguan

serebrovaskular, infeksi di lapisan meningen, keganasan di otak maupun tulang

belakang (Hickey, 2014). Sistem saraf tepi terdiri atas 12 pasang saraf kranial dan

31 saraf spinal serta sistem saraf otonom yang terdiri dari sistem saraf simpatis

dan sistem saraf parasimpatis (Black & Hawks, 2014). Criddle et al. (2008)

menyebutkan bahwa individu dengan gangguan pada sistem persarafan tidak

hanya akan mengalami gangguan neurologis saja namun akan berdampak pula

pada sistem tubuh yang lain. Miastenia gravis sendiri merupakan salah satu

masalah pada sistem saraf tepi yang tidak hanya mempengaruhi sistem persarafan

namun juga sistem tubuh lainnya seperti sistem respirasi.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

13

Universitas Indonesia

2.1 Konsep Miastenia Gravis

2.1.1 Pengertian

Miastenia gravis merupakan salah satu kondisi kelainan autoimun yang ditandai

dengan kelemahan otot dan dihubungkan dengan adanya antibodi yang menyerang

reseptor asetilkolin, Muscle-specific Kinase (MUSK), dan Lipoprotein-Related

Protein 4 (LRP4) (Gilhus & Verschuuren, 2015). Miastenia gravis disebabkan

oleh immunoglobulin yang bereaksi terhadap reseptor asetilkolin pada

neuromuscular junction ( elizabeth J. Corwin, 2008). Kelainan ini disebabkan

oleh kegagalan transmisi melewati hubungan myoneural. Miastenia gravis terjadi

hampir selalu bersamaan dengan keterlibatan kelainan bulbar atau mata yaitu

sekitar 40%.

Miastenia gravis merupakan salah satu penyakit yang mematikan dengan

prognosis yang buruk namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan

berbagai penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan bagi pasien.

2.1.2 Patofisiologi

Miastenia gravis dapat menyebabkan kelemahan otot yang mengontrol gerakan

mata (miastenia gravis okular) atau dapat memengaruhi otot lain yang berada di

seluruh tubuh (miastenia gravis umum). Perkembangan penyakit bervariasi yang

dapat berkembang lambat, dengan atau tanpa remisi, atau berkembang cepat

hingga menyebabkan kematian akibat paralisis otot pernapasan yang mengarah

pada gagal napas.

Penyebab miastenia gravis tidak diketahui, namun berkaitan dengan

kecenderungan anggota keluarga yang mengalami penyakit autoimun. Kelenjar

timus seringkali mengalami hyperplasia, namun pada masa anak-anak berfungsi

normal. Corwin (2008) menyebutkan bahwa kelainan pada timus dapat

mencetuskan atau melanjutkan respons imun.

Asetilkolin (ACh) merupakan neurotransmitter utama pada area tautan

neuromuskular (neuromuscular junction) (Woodward & Mestecky, 2011). Lebih

lanjut dijelaskan ujung serabut saraf mengeluarkan ACh yang akan berikatan

dengan Nicotinyl Acetylcholine Receptor (n-AChR) di membran otot yang akan

menginisiasi terjadinya kontraksi otot. Selanjutnya, sisa ACh yang tidak berikatan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

14

Universitas Indonesia

dengan reseptor asetilkolin akan dihancurkan oleh ACh esterase (AChE) pada

synaptic space. Kerusakan sistem saraf perifer yang terjadi pada miastenia gravis

ditandai dengan pembentukan auto-antibodi yang menyerang reseptor asetilkolin

di daerah motor end-plate otot rangka. Auto-antibodi IgG secara kompetitif

berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) dan mencegah pengikatan

asetilkolin ke reseptor sehingga merusak reseptor serta mencegah terjadinya

kontraksi otot (Corwin, 2008). Pada sebagian besar kasus, antibodi berikatan

dengan Nicotinic Acetylcholine Receptors (nAChR) maupun struktur lain seperti

Muscle Specific Tyrosin Kinase (MuSK). Ikatan antibodi inilah yang menginisiasi

proses imun pada tubuh yang bertujuan untuk menurunkan jumlah dari nAChR

sehingga dapat menurunkan transmisi pada tautan saraf (Musilek et al., 2012).

Terdapat tiga mekanisme menurunnya fungsi dari AChR diantaranya:

1. Antibodi membuat ikatan dan cross-linking pada AChR sehingga

mempercepat degradasi dari AChR

2. Aktivasi sistem komplemen yang berujung pada kerusakan pada lapisan post-

sinaps.

3. Menghalangi lokasi terjadinya ikatan antara asetilkolin dan reseptornya

(Bufler, 1996 dalam Toyka & Gold, 2007).

AChR dapat ditemukan pada permukaan sel-sel otot dan terkonsentrasi pada

sinaps antara sel-sel saraf dan sel-sel otot. AChR terbentuk dari lima jenis rantai

protein (2αβεδ pada dewasa dan 2δβγδ pada fetus). Rantai α (alpha) memiliki

lokasi tempat ACH berikatan dengan AChR pada sisi eksternal dan memiliki area

immunogenic utama yang dapat dikenali oleh anti-AChR. Pada kondisi normal,

ketika ACh berikatan dengan kedua rantai tersebut menyebabkan bentuk pada

keseluruhan reseptor akan berubah. Perubahan ini menghasilkan sebuah saluran

atau jalan yang merupakan konfirmasi untuk terjadinya perubahan muatan ion

dengan cara perpindahan ion melintasi membran, menghasilkan potensial pada

endplate, dan menginisiasi terjadinya kontraksi otot ( elizabeth J. Corwin, 2008).

Toyka dan Gold (2007) juga menyebutkan bahwa timus berperan dalam

menginisiasi respon autoimun terhadap AChR pada miastenia gravis. Timus

berperan dalam proses diferensiasi sel T. Pada kebanyakan kasus miastenia gravis,

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

15

Universitas Indonesia

ditemukan perubahan struktur dan fungsi dari kelenjar timus yakni adanya tumor

(thymoma) maupun tingginya jumlah sel B dalam tubuh (follicular hyperplasia).

Ricciardi et al. (2016) menegaskan bahwa kondisi abnormalnya produksi antibodi

pada pasien miastenia gravis dapat dipicu oleh kelainan pada timus seperti

hyperplasia (65% kasus), thymoma (10-15% kasus), dan artrofi (1-2% kasus).

Pilosso dan Moran (2013) dalam Berrih-aknin & Panse (2014) menyebutkan

bahwa dari 302 pasien dengan thymoma 55% diantaranya merupakan pasien

dengan miastenia gravis dan 39% diketahui mengalami gangguan autoimun.

Skema 2.1 Pathway Miastenia Gravis

Proses autoimun

Timoma

↓reseptor asetilkolin di membran post sinapas

Terganggunya transmisi impuls saraf ke sel otot

Penurunan hubungan saraf dan otot

Kelemahan otot

Otot pernapasan Otot rangka Otot wajah,

laring, faring

Otot-otot okular

Gangguan otot

levator palpebra Terganggu makan

pada fase oral

maupun faringeal Ptosis & dipoplia

Penurunan visus

Risiko jatuh

Gangguan

menelan/disfagia

Risiko aspirasi

Kelemahan otot

anggota gerak

Kelemahan umum

bertambah berat

dengan aktivitas

Intoleransi aktivitas

Ekspansi paru

tidak maksimal

Ketidakefektifan

pola napas

Penanganan lambat

Sesak bertambah

Krisis miastenik

Gangguan pada

diferensiasi sel T

Antibodi berikatan dengan n-AChR atau MUSK

Penatalaksanaan

terapi pemberian

kolinesterase

inhibitor

Berlebihnya

kolinesterase

inhibitor

Krisis kolinergik

ACh tidak dapat berikatan dengan AChR

Ansietas

Sumber: Corwin (2009); Hickey (2014); Woodward dan Mestecky (2011); Gilhus dan Verschuuren (2015)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

16

Universitas Indonesia

2.1.3 Klasifikasi

Terdapat dua target pada membrane end plate yakni reseptor asetilkolin

(mencapai 90%) dan Muscle-Specific Kinase (MuSK, mencapai 5%) (Toyka &

Gold, 2007). Gilhus dan Verschuuren (2015) membedakan miastenia gravis

menjadi beberapa sub-grup, diantaranya:

1. Early Onset Myasthenia Gravis With AChR Antibodies (EOMG)

Kelompok ini biasanya terjadi pada kelompok usia di bawah 50 tahun. Pasien

dengan miastenia gravis jenis ini mengalami proses yang berbeda dikarenakan

jumlah AChR pada tautan neuromuskular berkurang yang berdampak pada

perbedaan muatan ion sehingga potensial di area endplate berkurang dan

kontraksi otot tidak dapat maksimal.

Tingkat keparahan penyakit dihubungkan dengan kehilangan AChR yang

dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi otot. Banyak mekanisme

menurunnya jumlah AChR pada survivals MG salah satunya yaitu rusaknya

membran post-sinaps oleh aktivasi komplemen pada respon imun (Toyka &

Gold, 2007). Gilhus dan Verschuuren (2015) menambahkan bahwa pasien

yang diketahui memiliki timoma pada saat dilakukan pembedahan dikeluarkan

dari sub-grup ini namun berespon terhadap tindakan timektomi.

2. Late Onset Myasthenia Gravis With AChR Antibodies (LOMG)

Pasien miastenia gravis pada kelompok ini terjadi pada usia di atas 50 tahun.

Pada kelompok ini dapat ditemukan serum AChR namun timoma tidak dapat

dibuktikan melalui pemeriksaan diagnostik maupun saat dilakukan

pembedahan. Berbeda dengan kelompok sebelumnya, pasien pada kelompok

ini tidak berespon terhadap tindakan timektomi. Berdasarkan penelitian

retrospektif diketahui bahwa LOMG pada geritatri lebih mudah untuk

mengalami perburukan status kesehatan (Sakai et al., 2016).

3. Thymoma-Associated Myasthenia Gravis

Kondisi timoma ditemukan pada 10-15 % pasien dengan miastenia gravis.

Pada kelompok ini juga seringkali ditemukan serum AChR.

4. MUSK Associated Myasthenia Gravis

MUSK merupakan salah satu jenis protein yang berada di membran post-

sinaps yang secara fisiologis berhubungan serta mempertahankan fungsi dari

AChR. 1-4% pasien miastenia gravis berada pada kelompok ini.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

17

Universitas Indonesia

5. LRP4 associated myasthenia gravis

Sama halnya dengan MUSK, LRP4 dapat ditemukan di area membran post-

sinaps. LRP4 berfungsi sebagai reseptor nerve-derived agrin dan aktivator dari

MUSK yang penting dalam mempertahankan fungsi AChR. LRP4 ditemukan

pada 2-27% pasien miastenia gravis.

6. Antibody- Negative Generalized Myasthenia Gravis

Kelompok ini tidak memiliki AChR, MUSK, dan juga LRP4 dengan titer

antibodi yang sangat rendah. Pasien miastenia gravis sebanyak 20-50% berada

pada kelompok ini.

7. Ocular Myasthenia Gravis

Pada sebagian pasien dengan miastenia gravis, tanda dan gejala terbatas pada

kelemahan pada otot-otot mata. Seorang pasien miastenia gravis dikatakan

memiliki miastenia gravis okular dengan karakteristik miastenia gravis

terbatas pada keluhan di area mata dengan batas waktu 2 tahun ( elizabeth J.

Corwin, 2008). Pasien miastenia gravis yang murni dikelompokan pada

miastenia gravis okular ini memiliki risiko yang tinggi untuk berkembang

menjadi miastenia umum.

Berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, Myasthenia Gravis Foundation of

America (MGFA) mengklasifikan miastenia gravis ke dalam lima kelas

dengan karakteristik yang berbeda tiap kelasnya. Kelas pertama (I) memiliki

karakteristik seperti miastenia gravis okular sedangkan kelas kelima (V)

membutuhkan tindakan intubasi untuk mendukung sistem pernapasan pasien.

Semakin tinggi kelas maka karakteristik yang dimiliki pasien semaki berat.

Tabel 2.1

Klasifikasi Miastenia Gravis Berdasarkan MGFA

KELAS KARAKTERISTIK

I Kelemahan otot okular

Kelemahan pada saat menutup mata

Kekuatan otot lain normal

II Kelemahan ringan pada otot selain otot okular

Peningkatan kelemahan pada otot okular

IIa Kelemahan ringan pada area ekstremitas

Kelemahan ringan mungkin terjadi pada otot orofaringeal

IIb Kelemahan ringan terjadi di area otot orofaringeal dan atau otot

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

18

Universitas Indonesia

KELAS KARAKTERISTIK

pernapasan

Kelemahan ringan pada area ekstremitas

III Kelemahan sedang pada otot selain otot okular

Kelemahan sedang pada otot okular dengan berbagai tingkatan

IIIa Kelemahan sedang pada area ekstremitas

Kelemahan sedang mungkin terjadi pada otot orofaringeal

IIIb Kelemahan sedang terjadi di area otot orofaringeal dan atau otot

pernapasan

Kelemahan sedang pada area ekstremitas

IV Kelemahan berat pada otot selain otot okular

Kelemahan pada otot okular dengan berbagai tingkatan (ringan-berat)

IVa Kelemahan sedang pada area ekstremitas

Kelemahan sedang mungkin terjadi pada otot orofaringeal

IVb Kelemahan sedang terjadi di area otot orofaringeal dan atau otot

pernapasan

Kelemahan sedang pada area ekstremitas

Pasien dengan menggunakan feeding tube tanpa intubasi

V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa penggunaan ventilator

(selain pada managemen rutin pasien post-operatif)

Sumber: Hickey (2014) The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing Seventh

Edition

Pasien pada kelompok miastenia gravis okular juga memiliki kemungkinan yang

tinggi untuk mengalami kelainan autoimun yang bersifat umum, sedangkan pada

pasien miastenia gravis dengan timoma memiliki kemungkinan yang tinggi untuk

mengalami kelainan autoimun pada sistem hematologi (Gilhus & Verschuuren,

2015).

2.1.4 Tanda dan Gejala

Fatigue atau kelemahan merupakan salah satu manifestasi klinis pada miastenia

gravis. Fatigue pada miastenia gravis digambarkan sebagai minimnya kekuatan

untuk mempertahankan aktivitas otot dan lemahnya otot untuk berkontraksi tanpa

adanya kondisi penurunan kesadaran (Cantor, 2010). Gejala awal biasanya berupa

simetris ptosis yang tidak jarang disertai dengan diplopia atau pandangan yang

kabur pada miastenia gravis okular atau lebih luas lagi seperti kesulitan saat

menelan, mengunyah, maupun berbicara yang terjadi pada miastenia umum. Hal

ini sesuai dengan karakteristik miastenia gravis yaitu lemah dan mudah lelahnya

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

19

Universitas Indonesia

otot lurik khususnya yang dipersarafi oleh saraf kranial termasuk pada otot di area

wajah, oral, palatum, juga otot faringeolaringeal. Lebih lanjut lagi Woodward &

Mestecky (2011) dijelaskan pula bahwa dengan adanya keterbatasan dalam fisik

pada pasien miastenia gravis dapat menyebabkan kemandirian yang berkurang,

gangguan citra tubuh, serta berubahnya fungsi sosial.

Manifestasi klinis yang muncul pada pasien miastenia gravis meliputi:

1. Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis (turunnya kelopak mata).

2. Kelemahan otot wajah, leher, dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan

makan dan menelan.

3. Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan. Pada awalnya terjadi

keletihan ringan dengan pemulihan kekuatan setelah beristirahat. Akhirnya,

kekuatan tidak pulih setelah beristirahat.

4. Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjdai pada 90% kasus. Gangguan

persendian dan suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan laring dan

faring muncul pada sepertiga pasien miastenia gravis. Disfonia juga

memburuk pada pemakaian suara yang lama dan berlebihan.

Aspek fisik yang terganggu pada pasien miastenia gravis merupakan dampak dari

ketidakmampuan otot untuk berkontraksi tergantung lokasi ototnya. Sebagian

besar pasien miastenia gravis mengalami hambatan dalam melakukan mobilisasi,

penurunan kemampuan bicara, perubahan ekspresi wajah, kesulitan menelan,

bahkan sampai distress pernapasan (Twork, Wiesmeth, Klewer, Pöhlau, & Kugler,

2010). Gangguan menelan atau disfagia pada pasien miastenia gravis harus

menjadi salah satu perhatian tenaga kesehatan dikarenakan pasien akan memiliki

risiko tinggi mengalami aspirasi, ketidakadekuatan intake nutrisi dalam periode

waktu yang panjang, hingga malnutrisi sehingga seringkali membutuhkan bantuan

nutrisi seperti percutaneous endoscopic gastrostomy placement (Cereda,

Beltramolli, Pedrolli, & Costa, 2009). Gejala-gejala yang muncul seperti

kelemahan otot dapat pulih kembali setelah istirahat yang dipertegas oleh studi

kasus di Jepang yang menunjukan perbaikan klinis setelah mendapatkan terapi

baik per oral, intra vena, maupun plasmaferesis (Kitamura, Takiyama, Nakamura,

Iizuka, & Nishiyama, 2016; Rosyid, 2008). Sebagai dampak dari kelemahan otot

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

20

Universitas Indonesia

yang terjadi Woodward dan Mestecky (2011) menyebutkan bahwa pasien

miastenia gravis dapat mengalami keterbatasan untuk berpartisipasi dalam

berbagai aktivitas fisik dan juga kurangnya kepercayaan diri pada pasien.

Manifestasi dari miastenia gravis tidak hanya berfokus pada penurunan kesehatan

fisik pada pasien namun juga aspek psikologis dan sosial pasien sebagai

manifetasi tanda dan gejala fisik yang dialaminya. Ketidakpastian, kecemasan,

denial, keraguan, maupun ketakutan dapat dirasakan oleh pasien dan juga

keluarga. Namun dijelaskan pula bahwa psikoterapi tidak dibutuhkan sampai

muncul gejala psikotik reaktif. Sedangkan kemandirian pasien miastenia gravis

dapat terganggu akibat kelemahan otot yang terjadi dan dapat mempengaruhi

fungsi normal tubuh, basic life style, maupun konsep diri pasien (Woodward &

Mestecky, 2011).

Meskipun miastenia gravis termasuk salah satu penyakit yang mematikan, namun

kondisi pasien dapat mengalami perbaikan dengan pemberian terapi baik dengan

pemberian medikasi maupun operatif sehingga diharapkan dapat mengembalikan

pasien pada kehidupan normalnya. Namun hal ini berbeda bagi setiap individu,

karenanya rencana terapi harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh pasien.

Perawat sebagai pemberi asuhan tetap harus mempertimbangkan aspek etik

dengan mengedepankan keuntungan bagi pasien, meminimalkan risiko dan juga

aspek kualitas hidup pasien.

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik

Perangkat diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengangkat diagnosa miastenia

gravis diantaranya:

1. Tes farmakologi (Pharmacologic Test). Pada kondisi normal asetilkolin diurai

di tautan neuromuskular oleh enzim asetilkolinerase. Diagnosis klinis

miastenia gravis dapat ditegaskan berdasarkan kembalinya kekuatan otot

setelah pemberian intravena obat yang mencegah aktivitas asetilkolinerase

sehingga memperpanjang waktu paruh asetilkolin. Edrofonium klorida atau

tensilon merupakan kolinesterase inhibitor dengan cara kerja short acting yang

memungkinkan asetilkolin untuk berikatan dengan reseptornya sehingga untuk

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

21

Universitas Indonesia

sementara dapat terjadi kontraksi otot volunteer (Woodward & Mestecky,

2011). Efek tensilon berlangsung beberapa menit, kemudian kelemahan otot

muncul kembali. Dosis yang diberikan biasanya 10 mg, 2 mg, 3 mg, dan 5 mg,

hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya risis koligernik. Miastenia gravis

dapat ditegakan apabila pasien menunjukan perbaikan pada kekuatan otot

(secara signifikan dapat dilihat pada otot okular) . Efek samping dari

pemeriksaan ini adalah penurunan frekuensi nadi pada pasien (Woodward &

Mestecky, 2011). Maka harus disiapkan alat resusitasi apabila terjadi

penurunan kondisi pasien.

2. Pemeriksaan dengan menggunakan es dapat dilakukan. Pasien diminta untuk

memegang ice packs lalu pasien diminta untuk menutup mata selama satu

sampai dengan dua menit dan diobservasi adanya ptosis yang bertambah.

3. Pemeriksaan serum antibodi reseptor asetilkolin. Keberadaan antibodi reseptor

asetilkolin terjadi pada sebagian besar kasus miastenia gravis. Pada miastenia

gravis yang berhubungan dengan timoma, antibodi Muscle-Specific Kinase

(MuSK) lebih sering ditemukan.

4. Pemeriksaan radiografi seperti CT-Scan atau MRI di area mediastinum dapat

dilakukan untuk screening timoma.

5. Pengukuran elektromiografi (EMG) potensial aksi otot rangka

memperlihatkan penurunan amplitudo pada stimulasi neuron motorik.

Pemeriksaan dengan menggunakan EMG dapat mengahsilkan hasil negatif

terutama pada miastenia gravis okular (Cantor, 2010; E. Corwin, 2009;

Hickey, 2014; Nair, Chhablani, Venkatramani, & Gandhi, 2014; Woodward &

Mestecky, 2011).

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis yakni krisis miastenik

dan krisis koligernik. Krisis miastenik memiliki karakteristik sepeti kelemahan

pada otot-otot pernapasan, tidak mampu memenuhi ventilasi yang adekuat

sehingga menyebabkan gagal napas bahkan kematian. Krisis miastenik, yang

ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat

napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh. Krisis

miastenik dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress seperti

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

22

Universitas Indonesia

penyakit, gangguan emosional, pembedahan, tapering off prednisone atau selama

kehamilan (Hickey, 2014).

Meskipun dengan pemberian medikasi, pasien dapat dengan cepat mengalami

perburukan seperti pembengkakan dan kesulitan bernapas sehingga membutuhkan

intubasi dan dukungan ventilator. Kondisi krisis miastenik seringkali

membutuhkan perawatan intensif, observasi ketat, intubasi untuk penggunaan

ventilasi mekanik, dan juga dukungan asupan nutrisi (Cereda et al., 2009).

Berdasarkan hasil studi kohort selama 5 tahun diketahui bahwa perburukan dari

miastenia gravis paling banyak terjadi di tahun pertama dan jenis miastenia gravis

okular memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami perburukan

dibandingkan dengan miastenia gravis umum (Khadilkar et al., 2014).

Krisis koligernik merupakan salah satu kondisi respons toksik yang kadang

dijumpai pada penggunaan obat antikolinerase yang terlalu banyak ( elizabeth J.

Corwin, 2008). Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan

peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, dan bradikardia.Individu dapat

mengalami mual, muntah, berkeringat, dan diare yang akhirnya dapat mengarah

pada kondisi gagal napas. Hickey (2014) mendeskripsikan krisis koligernik

sebagai kejadian pada pasien miastenia gravis dikarenakan efek toksik dari obat-

obatan seperti muscarine dan nicotinic. Efek muscarine bekerja dengan lambat

sedangkan efek nicotinic biasanya diawali dengan keram di area abdomen dan

diare sebelum akhirnya menyebabkan krisis koligernik. Selain obat-obatan

tersebut, pemberian steroid dosis yang tinggi maupun penatalaksanaan yang

inadekuat dapat menginisiasi terjadinya krisis (Thanvi & Lo, 2004).

Pasien miastenia gravis yang mengalami krisis harus menjalani masa rawat di

intensive care unit (ICU) dan mendapatkan bantuan pernapasan dengan

menggunakan ventilator (Toyka & Gold, 2007). Dengan adanya penurunan

kemampuan menelan dan juga pemasangan intubasi pada pasien miastenia gravis,

tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya infeksi di saluran pernapasan akibat

aspirasi (Cereda et al., 2009). Hal ini mengarah pada kejadian VAP (Ventilator

Acquired Pneumonia) maupun pneumonia yang diakibatkan oleh aspirasi. Dalam

tulisannya disebutkan juga apabila pemberian terapi asetilkolinerase tidak

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

23

Universitas Indonesia

menunjukan peningkatan kondisi kesehatan pasien secara bermakna maka pasien

membutuhkan bantuan napas dengan ventilator pada waktu yang lama.

Masa perawatan yang lama mengarah pada kejadian infeksi akibat ventilator

maupun karena hospitalisasi. Pemberian antibiotik dapat diberikan untuk

mencegah komplikasi tersebut. Namun yang harus menjadi pertimbangan tenaga

kesehatan yakni efek merugikan dalam pemberian antibiotik yang pada sebagian

pasien akan memperburuk kondisi kesehatannya (Berkel, Twilla, & England,

2016). Gilhus dan Verschuuren (2015) menyebutkan bahwa pemberian

immunoglobulin secara intra vena dan plasmaferesis dapat menurunkan gejala

penyakit, menurunkan risiko komplikasi dan berkontribusi pada pemulihan yang

lebih dini.

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat diberikan diantaranya timektomi, asetikolinerase,

imunosupresan, plasmaferesis, hingga tindakan operatif timektomi. Setiap pasien

memiliki hasil yang berbeda-beda setelah menjalani pengobatan dan masa

perawatan lalu kembali ke rutinitas sehari-hari. Bisa jadi hanya sedikit perubahan

yang muncul dalam kemampuan mereka atau bahkan sampai mengalami

keterbatasan baik secara fisik, kognitif, maupun keduanya.

Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang pasti bagi tiap-tiap pasien

miastenia gravis. Terapi farmakologi yang dapat dikonsumsi oleh pasien pun

terbatas dikarenakan respon alergi yang berbeda-beda untuk masing-masing

individu. Hal ini dipertegas dengan studi kasus pada pasien miastenia gravis

berusia 85 tahun yang mengalami CAP (Community Acquired Pneumonia) dan

penurunan fungsi pernapasan. Pemberian antibiotik untuk meredakan gejala CAP

menjadi faktor pemberat dari miastenia gravisnya akibat proses alergi (Berkel et

al., 2016). Penatalaksanaan pada miastenia gravis dengan terapi konvensional

tidak dapat memberikan hasil akhir kesembuhan pasien secara menyeluruh

sedangkan pemberian immunosupresan pada pasien juga dapat memberikan efek

samping yang berat (Twork et al., 2010). Kondisi ini membuat pemberian terapi

dan pengawasan penatalaksanaan pada pasien miastenia gravis memerlukan

perhatian dari tenaga kesehatan sebagai provider pemberi asuhan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

24

Universitas Indonesia

Penatalaksanaan pada fase akut difokuskan untuk mengurangi titer antibodi yang

ada pada tubuh dengan dilakukannya plasmaferesis, pemberian immunoglobulin

(IVIg), dan pemberian kortikosteroid (Godoy, Mello, Masotti, & Napoli, 2013).

Salah satu penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu therapeutic plasma

exchange atau yang lebih dikenal dengan plasmaferesis. Pada kebanyakan

kelainan neurologi sepeti miastenia gravis, cairan pengganti yang dianjurkan

adalah albumin 5% (McLeod, 2010; Winters, 2008 dalam Dyar, 2013). Setelah

atau pada saat dilakukan plasmaferesis, reaksi vasovagal dapat terjadi yang

ditandai dengan nyeri, diaphoresis, hipotensi, dan bradikardi (frekuensi denyut

nadi dapat menurun hingga 30 kali dalam satu menit).

Penatalaksanaan lain yang dapat diberikan pada pasien miastenia gravis adalah

dilakukannya prosedur timektomi. Meta-analisis yang dilakukan Gronseth dan

Barohn (2000) dalam Schneider-gold dan Toyka (2007) menyatakan bahwa

thymectomy yang dilakukan pada pasien miastenia gravis di bawah usia 45 tahun

menunjukan peningkatan prognosis penyakit. Hasil penelitian tersebut sejalan

dengan Twork, Wiesmeth, Klewer, Pöhlau, dan Kugler (2010) dalam

penelitiannya yang menyebutkan bahwa pasien miastenia gravis yang menjalani

timektomi memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien

yang hanya menjalani pengobatan konservatif. Mendukung penelitian

sebelumnya, Jakubíková et al. (2015) dalam penelitiannya terkait tindakan

timektomi pada pasien miastenia gravis menunjukkan peningkatan yang

signifikan pada jumlah sel imun pasien setelah dilakukannya timektomi yang

dikombinasikan dengan pemberian imunosupresan. Akan tetapi, pemberian

imunosupresan dan tindakan timektomi harus menjadi perhatian tenaga kesehatan

dikarenakan dampaknya yang dapat meningkatkan risiko penyakit dan

menurunkan fungsi kesehatan terutama pada geriatri.

Dalam bukunya Corwin (2008) menjabarkan penatalaksanaan yang dapat

diberikan pada pasien miastenia gravis, meliputi peningkatan periode waktu

istirahat, antikolinerase untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin, anti-

inflamasi untuk membatasi serangan autoimun, atropine (penyekat asetilkolin)

pada krisis koligernik, bantuan napas pada kondisi krisis yang menyebabkan gagal

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

25

Universitas Indonesia

napas, plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran IgG), dan timektomi

(pengangkatan timus melalui pembedahan). Penatalaksaan pada pasien miastenia

gravis seringkali dilakukan dengan hasil jangka panjang yang bervariasi.

Pemberian asetilkolinerase pada pasien miastenia gravis merupakan basic

symptomatic treatment yang pemberiannya harus diperhatikan karena harus

dikonsumsi secara teratur dan berkelanjutan (Gilhus & Verschuuren, 2015; Meyer

& Levy, 2010; Toyka & Gold, 2007). Toyka dan Gold (2007) menambahkan

bahwa pemberian asetilkolinerase memiliki efek samping seperti anoreksia, mual

dan muntah, bronkhokonstriksi, kongesti pada konjungtiva, bradikardi, dan

hipotensi. Bahan pertimbangan lain yang harus menjadi perhatian tenaga

kesehatan yakni pemberian antikolinerase yang harus dibatasi hanya untuk

meredakan gejala miastenik yang muncul agar efek samping obat tidak terjadi.

Pemberian asetilkolinerase pada dosis tinggi dapat membahayakan kondisi pasien

dan menyebabkan krisis koligernik (Ricciardi et al., 2016). Pemberian

asetilkolinerase pada pasien dengan prognosis yang buruk dan semakin

berkurangnya jumlah AChR tidak akan efektif dan harus ditunjang dengan metode

yang lain, salah satunya yakni plasmaferesis.

Pemberian plasmaferesis merupakan manajemen akut dan pada kelemahan otot

yang luas. Pada plasmaferesis, plasma pasien akan terpisah dari darah dan

digantikan dengan saline maupun cairan yang lain. Cairan yang sering digunakan

untuk tindakan plasmaferesi pada pasien miastenia gravis yakni albumin 5%.

Plasmaferesis bertujuan untuk menurunkan jumlah antibodi AChR. Plasmaferesis

yang berulang (5 kali dalam waktu 5-10 hari) dibutuhkan untuk menurunkan titer

antibodi dan total IgG. Plasmaferesis biasanya dilakukan pada kondisi krisis

maupun sebelum dilakukan prosedur pembedahan seperti timektomi maupun

prosedur pembedahan lainnya (Dyar, 2013; Nair et al., 2014).

Miastenia gravis seringkali dihubungkan dengan kondisi timoma sehingga

timektomi menjadi salah satu pilihan penatalaksanaan medis bagi pasien dengan

miastenia gravis. Secara klinis timektomi menunjukan peningkatan kondisi

kesehatan dan menurunkan kesempatan terjadinya komplikasi seperti krisis

miastenik bahkan pada beberapa kasus tidak ditemukan lagi kekambuhan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

26

Universitas Indonesia

(Hammoumi, Arsalane, Fayc¸al El Oueriachi, & Kabiri, 2013; Bykov & Smolin.,

2015; Ricciardi et al., 2016). Gilhus dan Verschuuren (2015) menyebutkan bahwa

tindakan timektomi harus dilakukan sedini mungkin namun tidak menjadi kondisi

emergency. Sejalan pentingnya timektomi pada pasien dengan miastenia gravis,

Ricciardi et al. (2016) yang menyebutkan bahwa pada pasien miastenia gravis,

prosedur timektomi universally recommended dengan kata lain prosedur

timektomi dianjurkan bagi semua tipe miastenia gravis khususnya bagi pasien

dengan miastenia gravis positif antibodi AChR. Pada pasien dengan usia yang

relatif muda dengan tidak terbuktinya terdapat timoma, penatalaksanaan

timektomi membuat manifestasi klinis akibat miastenia gravis dapat terkontrol

(Cantor, 2010).

Pemberian obat-obatan jenis immunosupresan seringkali tidak dapat diterima

dengan baik oleh pasien miastenia gravis dikarenakan efek samping obat dalam

pemberian yang lama dapat menurunkan kondisi imunitas dari pasien (Dalakas,

2013). Pengembangan terapi medikasi berdasarkan evidence based practice pada

kasus miastenia gravis masih terus dilakukan dengan cara clinical trial demi

mendapatkan hasil yang maksimal dalam pemberian terapi (Punga, Kaminski,

Richman, & Benatar, 2015).

2.1.8 Discharge Planning

Proses mewujudkannya praktik keperawatan yang professional, perawat ditunut

untuk mampu memberikan asuhan keperawatan secara professional kepada pasien

dan keluarga. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations

telah menetapkan standar pendidikan kesehatan pada pasien. Selain itu, dari

berbagai studi mencatat fakta bahwa pasien yang dibekali informasi memiliki

kemungkinan lebih besar untuk mematuhi rencana pengobatan medis dan

mendapatkan cara inovatif untuk mengatasi keterbatasannya, menjadi lebih

mampu mengatasi gejala penyakit, dan kemungkinan mengalami komplikasi lebih

kecil. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk membantu

meningkatkan derajat kesehatan yang optimal.

Hickey (2014) dalam bukunya menyebutkan pendidikan kesehatan bagi pasien

berfokus pada strategi yang memungkinkan pasien beraktivitas senormal

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

27

Universitas Indonesia

mungkin, pasien dan anggota keluarga yang bertanggung jawab harus sudah

terbiasa dengan obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien, selain itu pasien juga

harus diberikan informasi terkait penyakit serta efek samping dari pengobatan.

Lebih lanjut, Hickey (2014) menyantumkan rencana pembelajaran bagi pasien

sebagai berikut:

a. Gunakan gelang tanda atau identifikasi yang menyatakan individu tersebut

telah terdiagnosa MG

b. Konsumsi pyridostigmine bersamaan dengan roti atau cracker untuk

mengurangi risiko mual dan iritasi gaster

c. Konsumsi pyridostigmine 30 sampai 45 menit sebelum makan untuk

memaksimalkan kekuatan otot untuk makan atau menelan

d. Jangan konsumsi obat-obatan diluar izin tim medis untuk mencegah krisis

kolinergik

e. Makan dengan perlahan dan konsistensi makanan yang lembut

f. Tingkatkan periode istirahat ketika siang hari

g. Buat prioritas dan rencana aktivitas untuk mencegah fatigue (clustering

aktivitas dapat dilakukan)

h. Gunakan alas kaki yang sensitive untuk membantu pasien menjaga

keseimbangan

2.2 Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy

2.2.1 Model Adaptasi Roy

Praktik pelaksanaan proses keperawatan pada umumnya telah menerapkan

pendekatan ilmiah lewat pengembangan yang mengacu pada pedoman standar

praktik pelaksanaan asuhan keperawatan serta konsep dari berbagai model

keperawatan. Terdapat banyak model keperawatan yang ada saat ini dengan

berbagai sudut pandang dalam melihat interaksi antara manusia, lingkungan, dan

keperawatan serta kondisi sehat-sakit. Salah satu model yang dapat diterapkan di

lahan pelayanan keperawatan yaitu model adaptasi yang dikembangkan oleh

Sister Callista Roy.

Model keperawatan adaptasi Roy memandang individu sebagai sebuah sistem

adaptif, yaitu seorang individu dapat meningkatkan kesehatannya dari perilaku

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

28

Universitas Indonesia

yang kurang adaptif menjadi perilaku yang adaptif (Tomey & Alligood, 2010).

Adaptasi sendiri berasal dari kata to adapt yang berarti menyesuaikan,

menurunkan, atau membuat sesuatu menjadi lebih mudah dan sesuai untuk

dilakukan seorang individu (Hutcheon, 2006).

Skema 2.2 Proses Keperawatan Berdasarkan Model Adaptasi Roy (Roy, 2009)

Model adaptasi Roy tersusun atas empat konsep utama, yaitu konsep manusia,

lingkungan, sehat, dan keperawatan. Empat konsep tersebut yaitu:

1. Manusia

Manusia sebagai sistem adaptif, sakit atau memiliki potensi sakit. Manusia

berusaha menekan kondisi yang tidak adaptif dan memelihara yang adaptif.

Peningkatan kemampuan adaptasi yang dilakukan oleh individu dapat menekan

stimulus yang ada (Tomey & Alligood, 2010).

2. Lingkungan

Lingkungan digambarkan sebagai segala sesuatu yang mempengaruhi manusia

baik dari dalam maupun luar. Lingkungan merupakan input bagi manusia sebagai

sistem yang adaptif yang dikenal sebagai stimulus internal dan eksternal. Lebih

lanjut stimulus itu dikelompokkan menjadi tiga jenis diantaranya, (1) Stimulus

fokal, yaitu stimulus yang langsung menyebabkan keadaan sakit dan

ketidakseimbangan yang dialami saat ini, contoh, patogen penyebab terjadinya

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

29

Universitas Indonesia

infeksi (2) Stimulus kontekstual, yaitu stimulus yang dapat mendukung terjadinya

kejadian sakit, sebagai contoh yaitu ketika pasien dengan tumor intra kranial

merasakan nyeri kepala hebat yang menjadi stimulus kontekstual yaitu massa

yang berada di intra kranial (3) Sistem residual meliputi sikap, keyakinan, serta

pemahaman individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan sakit,

misalnya, persepsi klien tentang penyakit, gaya hidup, riwayat penyakit. Lebih

luas lagi lingkungan didefinisikan sebagai segala kondisi yang dapat

mempengaruhi keadaan, perkembangan, serta perilaku manusia baik sebagai

individu maupun kelompok (Tomey & Alligood, 2010).

3. Kesehatan

Kesehatan dipandang sebagai keadaan dan proses yang terjadi pada manusia

secara utuh dan terintegrasi secara keseluruhan. Model adaptasi keperawatan

menghubungkan konsep sehat dengan konsep adaptasi yakni manusia dituntut

untuk mampu menunjukan mekanisme koping yang adaptif dalam menghadapi

stressor hingga dapat meningkatkan kondisi kesehatannya. Produk adaptasi adalah

hasil dari proses adaptasi dan digambarkan dalam istilah kondisi yang

meningkatkan tujuan-tujuan manusia yang meliputi kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan penguasaan yang disebut integritas. Kondisi akhir ini adalah

kondisi keseimbangan dinamik (Tomey & Alligood, 2010).

4. Keperawatan

Roy menggambarkan keperawatan sebagai disiplin ilmu dan praktik dari

meningkatkan kesehatan secara positif. Sebagai disiplin ilmu, praktik keperawatan

menggunakan pendekatan pengetahuan secara ilmiah untuk menyediakan

pelayanan pada orang-orang. Keperawatan meningkatkan adaptasi manusia baik

sebagai individu maupun kelompok dalam situasi yang berkaitan dengan

kesehatan. Tujuan dari keperawatan sendiri yaitu adalah meningkatkan interaksi

manusia dan lingkungan. Peningkatan adaptasi dalam empat cara menyesuaikan

diri yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan saling ketergantungan.

Dalam interaksinya dengan stimulus lingkungan secara terus menerus, individu

pada akhirnya akan memberikan respon terhadap stimulus tersebut dan proses

adaptasi pun terjadi. Respon individu terhadap stimulus lingkungan dapat berupa

respon adaptif ataupun respon inadaptif. Respon adaptif dapat meningkatkan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

30

Universitas Indonesia

integritas dan membantu individu untuk mencapai tujuan dari adaptasi sendiri,

seperti bertahan hidup, tumbuh, berproduksi, penguasaan dan perubahan pada

individu maupun lingkungan. Tingkatan adaptasi yang ditimbulkan

menggambarkan kondisi dari proses hidup yang dijabarkan dalam tiga tingkatan

yaitu, integrasi, kompensasi dan kompromi. Sebaliknya respon inefektif dapat

menggagalkan atau mengancam tujuan adaptasi (Roy and Heather, 1991; Tomey

and Alligood, 2006; Meleis, 2007; Roy, 2009).

Tingkat adaptasi integrasi, menjelaskan tingkatan adaptasi dimana struktur dan

fungsi tubuh secara keseluruhan bisa memenuhi kebutuhan manusia. Tingkat

adaptasi kompensasi, yaitu tingkat ketika sistem kognator dan regulator telah

diaktifkan untuk melakukan kompensasi. Tingkat adaptasi kompromi, ketika

tingkat adaptasi integrasi dan tingkat adaptasi kompensasi tidak bisa dicapai,

maka menjadi bagian perawat untuk membantu pasien melakukan adaptasi

kompromi terhadap permasalahan yang muncul.

Tingkat adaptasi seseorang dapat berubah-ubah tergantung dari stimulus fokal,

kontekstual dan residual. Roy mengidentifikasi 3 tipe stimulus lingkungan, yaitu

fokal, kontekstual dan residual. Fokal stimulus, merupakan stimulus internal

maupun eksternal yang secara langsung menyebabkan gangguan pada sistem

tubuh. Kontekstual stimulus, merupakan stimulus yang dapat menunjang

terjadinya sakit (faktor presipitasi)/ keadaan tidak sehat, keadaan ini tidak terlihat

langsung pada saat ini, misalnya daya tahan tubuh yang menurun, lingkungan

yang tidak sehat. Residual stimulus adalah sikap, keyakinan dan pemahaman

individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan tidak sehat atau disebut

dengan faktor predisposisi sehingga terjadi kondisi fokal, misalnya persepsi klien

tentang penyakit, perilaku, konsep diri, fungsi peran, saling ketergantungan

(Fawcett, 2009).

Stimulus lingkungan secara langsung berhubungan dengan proses koping, namun

dapat secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan mode

adaptasi. Hubungan langsung antara stimulus lingkungan dengan mode adaptasi

dimediasi oleh proses koping. Individu menggunakan 2 proses koping dalam

menapis stimulus lingkungan, dimana proses tersebut adalah regulator dan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

31

Universitas Indonesia

kognator. Proses koping regulator menekankan pada sistem saraf, kimia dan

endokrin yang memproses stimulus secara otomatis dan tidak disadari. Proses

koping kognator menekankan pada jalur kognitif maupun emosi dalam

memproses stimulus (memproses informasi atau mempersepsikan, belajar,

mempertahankan, dan emosi (Fawcett, 2009).

Roy menjelaskan bahwa proses regulator dan kognator tidak dapat diawasi secara

langsung, akan tetapi respon perilaku dari kedua sistem tersebut dapat diamati

secara langsung melalui 4 mode yang antara lain adalah fisiologis, konsep diri,

fungsi peran, dan saling ketergantungan. Keempat mode adaptasi ini saling

berhubungan melalui persepsi. Adanya respon yang adaptif ataupun respon

inefektif pada satu mode akan mempengaruhi proses adaptasi pada mode lainnya.

Mode adaptasi fisiologi dan fisik, merupakan cara individu berinteraksi dengan

lingkungan melalui proses fisiologis, sehingga individu dapat memenuhi

kebutuhan dasar mereka yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, istirahat tidur,

proteksi, sensasi, cairan dan elektrolit, neurologi, dan endokrin. Pencapaian

integritas fisiologis merupakan respon adaptif pada model adaptasi ini (Tomey &

Alligood, 2010). Mode adaptasi konsep diri, didasari pada kebutuhan fisiologi dan

spiritual, kebutuhan dalam memahami individu sebagai makhluk yang utuh.

Konsep diri merupakan gabungan antara keyakinan dan perasaan terhadap

personal diri individu tersebut. Konsep diri juga terdiri dari 2 komponen yaitu

komponen fisik diri, yang terdiri atas sensasi tubuh dan citra tubuh, dan moral-

etik-spiritual diri. Adanya integritas psikis merupakan tujuan dari mode konsep

diri individu.

Mode perubahan fungsi peran, merupakan salah satu dari dua mode sosial yang

berfokus pada peran seseorang di lingkungan sosial. Peran tersebut ditampilkan

dalam 3 tingkatan yaitu peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer

didefinisikan sebagai perilaku seseorang yang merupakan kebiasaan dalam

kehidupan sehari-hari seperti peran yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin dan

tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan peran yang diartikan oleh

individu untuk memenuhi tugas pada tahap perkembangan dan peran primer.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

32

Universitas Indonesia

Peran tersier berkaitan dengan peran primer dan sekunder dan cara yang

ditampilkan oleh individu untuk memenuhi kewajibannya.

Mode adaptasi terakhir adalah mode interdependensi. Mode ini berfokus pada

hubungan dengan orang lain (individu maupun kelompok), berkaitan dengan

kemampuan untuk memberi cinta, kasih sayang, penghargaan, nilai-nilai,

bimbingan, pengetahuan, skills, komitmen, harta, waktu dan bakat (Tomey &

Alligood, 2010). Semua input stimulus masuk lalu diproses oleh subsistem

regulator dan kognator. Respon-respon subsistem tersebut semua diperlihatkan

pada empat perubahan yang ada pada manusia sebagai sistem adaptif yaitu fungsi

fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan saling ketergantungan.

2.2.2 Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy

Proses keperawatan adalah suatu pendekatan pemecahan masalah dengan

mengumpulkan data, mengidentifikasi kapasitasnya dan kebutuhan dari manusia

sebagai sistem adaptive, menyeleksi dan mengiplementasikan pendekatan

keperawatannya, dan mengevaluasi hasil yang diberikan (Roy, 2009; Tomey &

Alligood, 2010).

2.2.2.1 Pengkajian

Pengkajian dalam model adaptasi roy menggunakan dua tahap kegiatan yaitu

pengkajian terhadap perilaku dan pengkajian terhadap stimulus/rangsangan yang

terjadi pada klien.

2.2.2.2 Pengkajian Perilaku

Mengumpulkan data tentang perilaku pasien dan keadaan adaptasi bersama-sama.

Data perilaku meliputi sembilan model adaptasi. Fisiologis, meliputi: oksigenasi,

nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensasi, cairan dan elektrolit,

neurologi, dan endokrin. Konsep diri, meliputi; fisik diri dan personal self. Fungsi

peran, meliputti proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola

penguasaan peran. Interdependensi meliputi pola kesendirian dan strategi koping.

Keterampilan yang digunakan dalam mengumpulkan data meliputi teknik

observasi, pengukuran, serta anamnesa. Setelah dilakukan pengkajian pada

perilaku untuk setiap kebutuhan, perawat dapat mengkategorikan perilaku menjadi

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

33

Universitas Indonesia

perilaku adaptif, maladaptif, maupun potensial maladaptif (Pearson, Vaughan, &

Fitzgeral, 2000; Roy, 2009).

Pada kasus miastenia gravis, data yang seringkali didapatkan ketika pengkajian

perilaku yakni gangguan pada fungsi fisiologi oksigenasi, nutrisi, aktivitas dan

istrirahat, sensasi, dan neurologi. Pada fungsi oksigenasi, pasien seringkali datang

ke pusat layanan kesehatan dengan keluhan sesak napas bahkan dalam kondisi

gagal napas. Selain dikarenakan kelemahan otot pernapasan, masalah oksigenasi

pasien dapat disebabkan kondisi infeksi di saluran pernapasan. Pasien miastenia

gravis seringkali diberikan terapi imunosupresan seperti immuran untuk

menurunkan proses autoimun pada pasien. Kondisi sistem imun yang menurun

pada pasien memudahkan patogen untuk menyerang tubuh dan infeksi pada istem

tubuh dapat terjadi, yang paling sering adalah infeksi pada saluran pernapasan.

Sedangkan dikarenakan kelemahan pada otot orofaring seringkali pasien

mengalami gangguan menelan sehingga asupan nutrisi pasien akan terganggu

bahkan penurunan berat badan secara signifikan terkadang dapat ditemukan pada

pasien. Pada kondisi general myasthenia gravis pasien akan mengalami

kelemahan otot di seluruh bagian tubuh. Hal ini menyebabkan mobilisasi pasien

terbatas bahkan tidak dapat bergerak sama sekali. Kondisi tersebut pulalah yang

meningkatkan nilai risiko jatuh pada pasien.

2.2.2.3 Pengkajian Stimulus

Suatu stimulus didefinisikan sebagai yang memprovokasi sebuah respons.

Stimulus dapat berasal dari internal maupun eksternal manusia yang mencakup

semua kondisi, keadaaan dan mempengaruhi sekeliling dan atau mempengaruhi

perkembangan dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi

adaptasi yaitu, (1) Kultur, status sosial ekonomi, etnis, sistem keyakinan (2)

Keluarga, struktur dan tugas-tugas (3) Tahap perkembangan faktor usia, jenis,

tugas, keturunan, dan genetik (4) Integritas Modes Adaptif, fisiologis (mencakup

patologi penyakit), konsep diri, fungsi peran, saling ketergantungan (5)

Efektivitas kognator, persepsi, pengetahuan, ketrampilan (6) Pertimbangan

lingkungan, perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan medis,

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

34

Universitas Indonesia

menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau (Roy, 2009; Pearson, Vaughan, and

Fitzgerald, 2000).

Terdapat tiga buah stimulus pada setiap segmen pengkajian perilaku model

adaptasi Roy yaitu stimulus fokal, stimulus kontekstual, dan stimulus residual.

Stimulus fokal diartikan sebagai stimulus internal atau eksternal yang secara

langsung mempengaruhi sistem adaptasi seorang individu atau kelompok.

Pengkajian stimulus ini perawat dituntut untuk mampu mencari tahu penyebab

langsung dari perilaku muncul pada pasien. Roy (2009) menjelaskan bahwa satu

stimulus fokal pada pasien dapat mempengaruhi beberapa mode adaptif. Stimulus

kontekstual merupakan semua stimulus internal maupun eksternal yang

berkonstribusi terhadap perilaku yang disebabkan oleh stimulus fokal. Stimulus

kontekstual dapat diartikan sebagai faktor risiko pada kondisi tertentu. Pada model

adaptasi Roy, stimulus residual diartikan sebagai stimulus yang memiliki efek

lanjutan dari perilaku seseorang atau kelompok dalam sistem adaptasi yang

dampaknya tidak dapat divalidasi.

Adapun stimulus umum yang dapat mempengaruhi proses adaptasi pada pasien

diantaranya:

1. Kultur atau budaya meliputi status sosial ekonomi, etnis, sistem keyakinan

2. Keluarga meliputi struktur serta tugas dalam keluarga.

3. Tahap perkembangan meliputi faktor usia, tugas, keturunan, serta faktor

genetik.

4. Integritas mode adaptif fisiologis (mencakup patologi penyakit), konsep diri,

fungsi peran, interdependensi.

5. Efektivitas kognator termasuk di dalamnya persepsi, pengetahuan, dan

ketrampilan yang dimiliki oleh individu atau kelompok.

6. Pertimbangan faktor lingkungan berupa perubahan lingkungan baik internal

maupun eksternal, pengelolaan medis, penggunaan obat-obat, alkohol, dan

tembakau.

2.2.3 Diagnosa Keperawatan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

35

Universitas Indonesia

Penetapan diagnosa keperawatan dalam kerangka yang diberikan model adaptasi

Roy berkaitan dengan stimulus yang muncul pada pasien. Diagnosa keperawatan

yang hendak ditegakkan dapat bersarkan pernyataan perilaku dalam satu mode

yang sangat relevan dipengaruhi stimulusnya (Roy, 2009; Pearson, Vaughan, and

Fitzgerald, 2000). Adapun lima masalah keperawatan yang seringkali muncul

pada pasien miastenia gravis berdasarkan Hickey (2014) dan NANDA

diantaranya:

1. Intoleransi aktivitas

Diagnosa intoleransi aktivitas pada pasien miastenia gravis dapat muncul

berhubungan dengan kelemahan umum serta kelemahan otot yang dialami pada

pasien (Hickey, 2014). Diagnosa intoleransi aktivitas dapat ditegakkan apabila

pada pasien ditemukan tanda sesak yang semakin bertambah dengan dilakukannya

aktivitas, kelemahan otot anggota gerak, dan perubahan tanda-tanda vital ketika

aktivitas (Herdman, 2014).

2. Ketidakefektifan pola nafas

Diagnosa ketidakefektifan pola napas pasien miastenia gravis dapat muncul

berhubungan dengan perubahan pola, ritme, kualitas pernapasan pada pasien yang

didasari pada kelemahan otot pernapasan terutama pada pasien dengan krisis

miastenik maupun kolinergik (Hickey, 2014). Diagnosa ketidakefektifan pola

napas dapat ditegakkan apabila pada pasien ditemukan tanda sesak, terdapat pola

abnormal (Herdman, 2014).

3. Risiko aspirasi

Diagnosa risiko aspirasi didefinisikan sebagai mudahnya sekresi gastrointestinal

atau orofaringeal baik padat maupun cair untuk melewati jalan tracheobronchial

yang dapat mempengaruhi status kesehatan (Herdman, 2014). Pada kasus

miastenia gravis seringkali ditemukan kelemahan otot faringeal sehingga sulit

untuk mengatur saliva yang disebabkan gangguan menelan pada pasien. Makanan

dimakan secara bertahap dan dalam jangka waktu yang lama serta konsistensi dari

makanan perlu dimodifikasi untuk mencegah aspirasi pada pasien (Hickey, 2014).

4. Risiko jatuh

Diagnosa risiko jatuh yang terjadi pada pasien berhubungan dengan kelemahan

yang dialami oleh pasien (hickey, 2014). Salah satu penilaian risiko jatuh yang

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

36

Universitas Indonesia

digunakan pada layanan kesehatan yaitu skala moorse. Pada penggunaan skala

moorse adanya kelemahan pada otot merupakan salah satu indikator penilaian.

Herdman (2014) menyebutkan bahwa diagnose risiko jatuh memiliki beberapa

faktr risiko diantaranya usia, penggunaan alat bantu atau bantuan orang lain untuk

mobilisasi, penurunan kekuatan pada ekstremitas bawah, kurangnya waktu

istirahat, serta penurunan kemampuan penglihatan pada pasien.

5. Ansietas

Penegakan diagnosa keperawatan ansietas didasari pada perubahan status

kesehatan dan yang terjadi pada pasien dan ditandai dengan adanya ketakutan,

secara subjektif menyatakan adanya kecemasan dan terjadinya perubahan pola

tidur pada pasien (Herdman, 2014).

2.2.4 Nursing Outcome Classification (NOC)

Penetapan tujuan didefinisikan sebagai pembentukan pernyataan dari harapan

yang jelas dari perilaku individu berdasarkan hasil dari proses perawatan. Tujuan

umum dari intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan

meningkatkan perilaku adaptif dan mengubah perilaku yang tidak efektif menjadi

perliaku yang adaptif. Fokus dalam menetapkan tujuan adalah perubahan perilaku

dai individu dan kelompok. Penetapan tujuan harus menunjuk tidak hanya

perilaku yang akan diamati tetapi juga cara perilaku akan berubah (seperti

perilaku yang diamati, diukur, atau laporan subjektif pasien) dan kerangka waktu

sebagai tanda pencapaian tujuan (Roy, 2009).

Adapun tujuan berdasarkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada

pasien dengan miastenia gravis disesuaikan (Moorhead, et.al, 2013) dengan

Nursing Outcome Classification (NOC) diantaranya:

a. Toleransi aktifitas. Tujuan ini muncul pada diagnosa keperawatan intoleransi

aktivitas dengan kriteria mampu berpartisipasi dalam aktifitas fisik tanpa

disertai adanya perubahan nilai peningkatan tanda-tanda vital pasien termasuk

frekuensi nafas, nadi, maupun tekanan darah.

b. Status respiratori. Tujuan ini ditetapkan pada diagnose keperawatan

ketidakefektifan pola napas dengan kriteria frekuensi dan ritme pernapasan

serta saturasi oksigen pasien berada pada rentang normal.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

37

Universitas Indonesia

c. Pencegahan Aspirasi. Tujuan pencegahan aspirasi ditemukan pada diagnose

keperawatan risiko aspirasi. Kriteria hasil yang dapat ditetapkan diantaranya

pasien mampu mengidentifikasi faktor risiko dari kemungkinan terjadinya

aspirasi, mempertahankan kebersihan mulut dan gigi, menunjukkan posisi

yang tepat ketika intake makanan atau minuman, mampu melakukan

pemilihan jenis makanan yang tepat sesuai dengan kemampuan menelan

pasien.

d. Perilaku Pencegahan Jatuh dan Kejadian Jatuh. Kedua tujuan tersebut

dapat ditemukan pada diagnosa keperawatan risiko jatuh. Adapun kriteria

hasil yang diharapkan pada pasien diantaranta mengetahui saat membutuhkan

asistensi dalam aktifitas, menggunakan handrails, dan tidak terjadinya

kejadinya jatuh.

e. Tingkat Ansietas dan Koping. Tujuan tersebut merupakan tujuan pada

diagnosa keperawatan ansietas. Kriteria hasil yang diharapakan yaitu pasien

mampu beristirahat sesuai pola istirahat sebelum masuk rumah sakit, secara

verbal menyebutkan cemas berkurang, mampu mengidentifikasi mekanisme

koping yang efektif, serta melaporkan stress berkurang.

2.2.5 Nursing Intervention Classification (NIC)

Berdasarkan penjelasan terhadap model adaptasi Roy pada sistem adaptasi

manusia intervensi diartikan sebagai pemilihan pendekatan dari konsep

keperawatan untuk dapat meningkatkan kemampuan adaptasi manusia dengan

merubah stimulus atau menguatkan proses adaptasi. Intervensi keperawatan dapat

berfokus pada stimulus serta proses koping yang dimiliki oleh individu. Intervensi

mengarah dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ketika fokus dari

tujuan adalah perilaku, sedangkan fokus dari intervensi adalah stimulus yang

mempengaruhi perilaku atau kemampuan untuk mengatasi stimulus, dengan

memodifikasi stimulus yang terjadi pada manusia diharapakan dapat merubah

proses koping untuk berespon secara positif (Roy, 2009).

Intervensi keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa keperawatan yang

mungkin muncul pada kasus miastenia gravis dan disesuaikan dengan Nursing

Intervention Classification (NIC) (Bulechek, et.al, 2013) diantaranya:

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

38

Universitas Indonesia

1. Intoleransi aktifitas

Terapi Aktivitas. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik untuk

merencanakan program terapi yang tepat bagi pasien, observasi nilai tanda-tanda

vital pasien selama diberikan latihan, bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang

dapat dilakukan oleh pasien, memberikan penguatan positif bagi pasien ketika

melakukan aktivitas, kolaborasi untuk pemberian terapi asetilkolinerase maupun

kortikosteroid. Peningkatan Tidur. Melakukan pengkajian terhadap jumlah jam

istirahat yang dilakukan pasien, dukung pasien untuk memiliki waktu tidur rutin,

dukung pasien untuk dapat meningkatkan waktu istirahat.

2. Ketidakefektifan pola napas

Monitoring Status Respiratori. Melakukan monitoring terhadap frekuensi,

ritme, kedalaman, serta usaha pernapasan pasien, monitoring pola napas pasien,

monitoring adanya ketidaknyamanan, kecemasan, maupun kesulitan bernapas

pada pasien, kaji kemampuan pasien untuk batuk, monitoring hasil laboratorium

seperti nilai analisa gas darah dan kadar hemoglobin, monitor adanya sesak pada

pasien.

3. Risiko aspirasi

Pencegahan aspirasi. Monitoring tingkat kesadaran pasien, refleks batuk, refleks

muntah, dan kemampuan makan pasien, skrining adanya disfagia atau gangguan

menelan, jaga kepatenan jalan napas, monitoring status pernapasan, hindari

pemberian cairan per oral atau gunakan thickening agent, lakukan perawatan

kebersihan mulut dan gigi, posisikan elevasi kepala hingga 30-40 menit setelah

pemberian makan, pastikan posisi selang nasogastric sebelum pemberian

makanan. Enteral tube feeding. Jelaskan prosedur kepada pasien dan keluarga,

pasang selang nasogastric untuk memfasilitasi intake makanan, berikan tanda

kedalaman selang, monitoring bising usus secara berkala, irigasi secara berkala

untuk mengetahui residu makanan, monitoring adanya rasa mual muntah pada

pasien, ganti selang secara berkala, monitoring asupan makanan dan cairan pada

pasien.

4. Risiko jatuh

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

39

Universitas Indonesia

Pencegahan jatuh. Identifikasi fungsi kognitif dan kekurangan fisik pasien yang

mungkin meningkatkan potensial untuk jatuh, kaji ulang riwayat jatuh dengan

kelurga dan pasien, monitoring resiko jatuh pasien, identifikasi karekteristik dari

lingkungan yang mungkin meningkatkan potensi untuk jatuh, pastikan side rails

terpasang dengan baik dan sesuai dengan tubuh pasien.

5. Ansietas

Penurunan ansietas. Dukung keluarga untuk selalu menemani pasien,

mendengarkan keluhan pasien, menemani pasien dan memahami sudut pandang

pasien terhadap situasi stress yang muncul, anjurkan pasien untuk terapi relaksasi.

Support group. Identifikasi kemampuan dukungan dari keluarga secara emosional

maupun finansial, dukung pasien untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial,

menyarankan untuk mengikuti kelompok dukungan (yayasan miastenia gravis).

Selain asuhan keperawatan berdasarkan diagnosis keperawatan yang ditegakan,

perawat berkawajiban untuk memastikan kebutuhan edukasi serta kemampuan

belajar lewat koping kognator. Woodward dan Mestecky (2014) memberikan

penjelasan terkait informasi yang harus diberikan kepada pasien dan keluarga

diantaranya pemenuhan kebutuhan pengobatan pasien (terapi oksigen, chest

fisiotherapy) serta hal yang harus dilakukan apabila gejala sesak bertambah,

menghindari pembicaraan panjang (long conversation), pembatasan aktivitas,

serta peningkatan konsep diri pasien untuk dapat segera pulih.

2.2.6 Evaluasi

Evaluasi digunakan untuk memutuskan keefektifan intervensi keperawatan

berhubungan dengan perilaku individu atau kelompok. perawat perlu mengkaji

perilaku pasien setelah intervensi dilaksanakan. Evaluasi dilakukan seperti

pengkajian awal dimana diperlukan kemampuan dalam melakukan observasi,

intuisi, pengukuran, dan wawancara oleh perawat. Dalam mengevaluasi

keefektifan dari intervensi yang telah kita berikan untuk mencapai tujuan, perawat

berkolaborasi dengan pasien untuk melihat kembali perilaku yang ditunjukkan

oleh pasien (Roy, 2009).

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

40

Universitas Indonesia

BAB 3

PROSES RESIDENSI

Bab ini memaparkan proses residensi yang terdiri dari empat bagian yakni

penjelasan kasus kelolaan pasien dengan miastenia gravis dengan menggunakan

pendekatan model adaptasi Roy, resume 30 kasus pasien dengan gangguan

neurologis, penerapan Evidence Based Nursing (EBN), dan pelaksanaan program

inovasi.

3.1 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Miastenia Gravis

Kasus kelolaan yang akan dibahas pada bagian ini adalah pasien dengan miastenia

gravis yang diawali dengan kondisi krisis miastenik dengan menggunakan

pendekatan Model Adaptasi Roy.

3.1.1 Identitas Pasien

Pasien Tn. D, 59 Tahun, pendidikan S1, pekerjaan karyawan swasta di peruhasaan

transportasi, status menikah dengan dua orang anak, beragama islam, masuk

rumah sakit tanggal 8 April 2017 pukul 06.10 WIB, No. Rekam Medik:

394.05.05, masuk melalui IGD dengan krisis miastenik. Pasien dirawat di Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo di Gedung A lantai 5 Zona A Kamar 518 E.

Pengkajian dilakukan pada tanggal 27 April 2017.

3.1.2 Pengkajian Perilaku Stimulus

a. Mode Adaptasi Fisiologis

1) Oksigenasi

Pengkajian Perilaku

Pasien sesak napas sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit yang bertambah

ketika beraktivitas, setelah pindah dari ruang rawat intensif sesak dan batuk

berkurang, tidak ada trauma maupun jejas di bagian wajah, sianosis tidak ada,

konjungtiva tidak anemis, akral teraba hangat, membran mukosa lembab, perkusi

sonor pada semua lapang paru, bunyi nafas vesikuler, tidak ada ronchi, tidak ada

wheezing, saturasi 98-99%. Transportasi gas adekuat ditandai perilaku tekanan

darah 135/75 mmHg, frekuensi nadi 75 kali/menit, perfusi perifer: capillary refill

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

41

Universitas Indonesia

time (CRT) <2 detik, bunyi jantung S1 dan S2 regular, murmur dan gallop tidak

ada, Riwayat infeksi tuberkulosis disangkal, riwayat post timektomi tahun 1982.

Hasil Pemeriksaan Diagnostik:

Pemeriksaan darah rutin: (Tanggal 22 April 2017) Hb: 9,7 g/dl, Hematokrit:

28,1%, leukosit: 22,9 x 10000/uL, trombosit 476 x 1000/uL.

Analisa Gas Darah: (Tanggal 21 April 2017) pH: 7,422, pCO2: 34,9 mmHg,

PaO2: 119,8 mmHg, HCO3: 23,0 mEq/L. BE: -0,5, saturasi 97,2%.

Foto rontgen Thorax: (Tanggal 21 April 2017) infiltrat di lapang bawah paru kiri

dan kanan.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: ekspansi paru tidak maksimal

Stimulus kontekstual: kelemahan otot pernapasan

Stimulus residual: riwayat timoma

2) Nutrisi

Asupan nutrisi pasien menggunakan selang nasogastric (NGT), residu tidak ada.

Tidak ada alergi makanan. Kerusakan membran mukosa mulut tidak ada,

kebersihan rongga mulut baik. Disfagia positif dengan menggunakan skrining

disfagia Massey Bedside Swallowing Screen, kemampuan makan berada pada

level 3 menggunakan The Functional Oral Intake Scale (FOIS). Berat badan

pasien: 50 kg (terdapat penurunan berat badan sebesar 5 Kg dalam waktu 2

minggu), tinggi badan pasien: 170 cm, IMT: 15,8 kg/m2, status gizi malnutrisi

berat. Pasien mengatakan ingin memulai makan per oral.

Hasil Pemeriksaan Diagnostik:

(Tanggal 17 April 2017): Albumin: 3,53 gr% (Tanggal 21 April 2017): GDS: 136

mg/dL, Hb: 9,7g/dL, leukosit: 22,9 x 10000/uL

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: hipermetabolisme, hipoalbuminemia, kemampuan makan pasien

tergantung pada NGT

Stimulus kontekstual: kelemahan otot orofaring

Stimulus residual: riwayat CAP

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

42

Universitas Indonesia

3) Eliminasi

Pengkajian Perilaku

Eliminasi urin spontan dengan menggunakan urinal, produksi urin baik, warna

kuning kurang lebih produksi urine 1300cc/24 jam, diuresis 1,04 cc/kg/jam. Sejak

satu tahun sebelum masuk rumah sakit pasien didiagnosa hyperplasia prostat dan

berobat dengan menggunakan Harnal, nyeri saat berkemih tidak ada. Pasien buang

air besar rutin setiap dua hari sekali. Bising usus 8 kali/menit, tidak ada riwayat

konstipasi maupun diare.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: pembesaran kelenjar prostat

Stimulus kontekstual: riwayat timoma

Stimulus residual:

4) Aktivitas dan Istirahat

Pengkajian Perilaku

Selama pasien pindah dari ruang perawatan intensif pasien tirah baring dengan

mobilisasi minimal di atas tempat tidur. Pasien mengeluh lemas masih terasa di

semua anggota gerak. Sesak muncul terutama saat beraktivitas seperti perubahan

posisi maupun berbicara. Insomnia positif dengan menggunakan pengkajian

Insomnia Severity Index (ISI), pasien kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun.

Status fungsional Barthel Index (3) kategori ketergantungan total. Postur tubuh

pasien Nampak tidak ada kelainan. Tonus otot normal.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: kesulitan tidur, anggota gerak terasa lemas, sesak ketika

beraktivitas

Stimulus kontekstual: lingkungan rumah sakit satu ruangan terdiri dari beberapa

pasien

Stimulus residual: riwayat timoma

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

43

Universitas Indonesia

5) Proteksi

Pengkajian Perilaku

Riwayat alergi dan trauma tidak ada, temperatur kulit hangat suhu 36,30C, turgor

kuilt dalam batas normal, terdapat luka dekubitus grade II di area sacrum dengan

luas kurang lebih 4x5 cm, pus tidak ada (belum pernah dilakukan perawatan luka

dekubitus). Distribusi rambut normal, kondisi kulit kepala bersih, membran

mukosa intak. Terdapat respon peradangan. Pengkajian risiko jatuh pasien

menggunakan Fall Morse Scale (45) yang bermakna risiko jatuh sedang.

Hasil Pemeriksaan Diagnostik:

(Tanggal 21 April 2017): Leukosit: 22,9 x 10000/uL, procalsitonin: 0,53

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: luka gesek di area sakrum

Stimulus kontekstual: tirah baring lama

Stimulus residual: riwayat timoma, riwayat penggunaan imunosupresan

(prednisone)

6) Sensasi

Pengkajian Perilaku

Fungsi pendengaran baik ditunjukkan dengan kemampuan komunikasi pasien

baik, pasien mengeluh kesulitan dalam melihat kembali muncul sejak 3 tahun

sebelum masuk rumah sakit, diplopia berkurang sejak masuk rumah sakit. Pasien

masih dapat membaca dengan baik. Lidah tidak kotor, sensasi rasa pada lidah ada,

tidak ada nyeri. Gigi utuh, penyakit gusi tidak ada. Turgor kulit baik, kebersihan

diri pasien baik.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: penurunan visus

Stimulus kontekstual: kelemahan otot ekstraokular

Stimulus residual: riwayat timoma, riwayat penggunaan imunosupresan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

44

Universitas Indonesia

7) Cairan elektrolit, dan keseimbangan asam basa

Pengkajian Perilaku

Intake cairan pada pasien diberikan melalui NGT dan pemberian cairan intravena

dengan NaCl 500 cc/12 jam, sebelum masuk rumah sakit pasien ada riwayat tersedak.

Balance cairan pasien positif 508cc/24 jam, turgor kulit baik, shifting

dullness tidak ada, ascites tidak ada, tidak ada pitting edema. Tidak tampak ada

oedema baik pada palpebra dan daerah ekstremitas atas maupun bawah.

Hasil Pemeriksaan Diagnostik:

(Tanggal 21 April 2017) Natrium: 133 mEq/L, kalium: 4.8 mEq/L dan clorida: 97

mEq/L. Hasil pemeriksaan elektrolit masih dalam batas normal sehingga tidak

dilakukan koreksi.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: asupan cairan parenteran dan enteral

Stimulus kontekstual: disfagia positif

Stimulus residual: riwayat timoma

8) Neurologi

Pengkajian Perilaku

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas sejak yang bertambah

berat sejak empat hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien didiagnosa

miastenia gravis dan timoma yang selanjutnya dilakukan prosedur timektomi pada

tahun 1982. Pasien menyebutkan sejak dilakukan timektomi gejala dari miastenia

gravis sudah tidak dirasakan. Mulai 3 tahun yang lalu pasien kembali mengeluh

sesak yang bertambah berat apabila beraktivitas, ptosis dirasakan terutama di mata

kanan, dipoplia berkurang. Kelemahan umum ada, pasien diklasifikasikan untuk

memiliki miastenia gravis general. Selama masa perawatan pasien tersedak (+),

screening disfagia (+), kelemahan otot orofaring (+). Kesadaran pasien CM, GCS

E3M6V5, pupil bulat isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya positif kiri kanan, ptosis

positif di mata kanan, dipoplia ada, kesan oftalmoparese dextra, refleks fisiologis

bisep (+2), refleks archiles (+2), refleks patella (+2). Tanda rangsang meningen

negatif.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

45

Universitas Indonesia

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: kelemahan pada otot orofaring

Stimulus kontekstual: penurunan kemampuan kontraksi otot

Stimulus residual: riwayat timoma

9) Endokrin

Pengkajian Perilaku

Pasien tidak memiliki kelainan fungsi endokrin maupun penyakit terkait fungsi

endokrin seperti Diabetes Mellitus, Gula Darah Sewaktu: 136mg/dL. Tidak ada

gejala pembesaran tiroid.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: fungsi endokrin adaptif

b. Mode Adaptasi Konsep Diri

Pengkajian Perilaku

Pasien berharap untuk segera pulih dan dapat beraktivitas seperti sebelum masuk

rumah sakit. Pasien tidak mengeluhkan tentang perubahan fisik yang terjadi pada

tubuhnya yang diakibatkan oleh proses penyakit. Penampilan pasien rapid an

sesuai. Meskipun pasien nampak tenang namun pasien mengeluhkan merasa tidak

aman diakrenakan proses penyakit yang tidak tentu. Sebelumnya pasien menjalani

prosedur timektomi di luar negeri pada tahun 1982. Selama kurang lebih 32 tahun

pasien tidak merasakan keluhan dari miastenia gravis. Namun gejala mulai

muncul tiga tahun sebelum masuk rumah sakit dan bertambah berat sejak 4 hari

sebelum masuk rumah sakit. Hal ini membuat pasien merasa tidak aman dengan

kondisi kesehatannya.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: perubahan status kesehatan

Stimulus kontekstual: penambahan usia

Stimulus residual: riwayat timoma

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

46

Universitas Indonesia

c. Mode Adaptasi Fungsi Peran

Pengkajian Perilaku

Pasien berusia 59 tahun yang berada pada tahap perkembangan usia dewasa

tengah. Pasien berperan sebagai kepala keluarga, suami, dan ayah dari dua orang

anak yang sudah dewasa. Sebelumnya pasien bekerja di sebuah maskapai

terkemuka di Indonesia namun sejak 2014 pasien berhenti dari pekerjaannya

karena keluhan yang kembali muncul. Saat ini pasien bekerja di sebuah perusahan

transportasi di sebuah terminal. Kedua anak pasien sudah dewasa dan saat ini

bekerja sebagai pilot. Karena kesibukan kedua anaknya, pasien saat ini lebih

sering tinggal bersama istrinya, perannya sebagai pencari nafkah dibantu oleh

kedua anaknya, terutama anak keduanya. Setelah 32 tahun pasien tidak merasakan

keluhan dikarenakan miastenia gravis, pasien saat ini kembali dirawat

dikarenakan kekambuhan penyakitnya.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: fungsi peran adaptif

d. Mode Adaptasi Interdependensi

Pengkajian Perilaku

Support system yang dimiliki oleh pasien adalah keluarga inti pasien. Keluarga

adaptif untuk merawat pasien dan mengikuti proses perawatan. Menurut keluarga,

pasien merupakan sosok yang perhatian dan mau berusaha keras untuk dapat

sembuh. Tidak hanyaitu pasiennya juga dekat dengan anak dan istri serta

kerabatnya. Selama masa perawatan anak dan istri pasien bergantian untuk

menemani pasien dan memenuhi kebutuhan pasien seperti makan dan eliminasi.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: proses penyakit

Stimulus kontekstual: penambahan usia

Stimulus residual:

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

47

Universitas Indonesia

3.1.3 Diagnosis Keperawatan

Selama Tn. D menjalani masa perawatan, enam (6) diagnosis keperawatan yang

ditegakkan diantaranya:

a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot dan fatigue yang

ditandai dengan perubahan pola napas ketika beraktifitas dan kelelahan.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik: imobilisasi,

hipoalbuminemia yang ditandai dengan luka dekubitus grade II di area sacrum

c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan ingesti makanan ditandai dengan kelemahan otot yang

digunakan dalam proses menelan

d. Risiko aspirasi dengan faktor risiko ketidakmampuan pasien untuk menelan,

kelemahan otot orofaringeal, dan pemasangan NGT

e. Risiko jatuh dengan faktor risiko penurunan kekuatan ekstremitas bawah,

gangguan fungsi penglihatan

f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan

ketakutan, perubahan pola istirahat: insomnia

3.1.4 Tujuan

Berdasarkan data hasil pengkajian stimulus dan perilaku serta diagnosa

keperawatan yang ditegakkan pada Pasien maka intervensi yang dilakukan untuk

meningkatkan perilaku adaptif pasien. Adapun tujuan dari intervensi yang

dilakukan diantaranya:

f. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam Pasien

menunjukkan Toleransi aktifitas dengan kriteria mampu berpartisipasi dalam

aktifitas fisik tanda disertai peningkatan tanda-tanda vital: frekuensi nafas.

g. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam Pasien

menunjukkan Penyembuhan Luka: secondary intention dengan kriteria

terbentuk granulasi, tidak ada eksudat purulen, serous, bau, nekrosis,

sloughing, inflamasi luka, serta sedema di sekitar luka Perubahan Posisi

dengan kriteria mampu mobilisasi bertahap mulai dari miring kiri-miring

kanan selama tirah baring.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

48

Universitas Indonesia

h. Setelah dilakukan intervensi dalam waktu 4x24 jam pasien menunjukkan

Status Nutrisi: asupan nutrisi dengan kriteria menunjukkan peningkatan

kemampuan pengecapan dan menelan.

i. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam Pasien

menunjukkan perilaku Pencegahan Aspirasi dengan kriteria mampu

mengidentifikasi faktor risiko, mempertahankan kebersihan mulut dan gigi,

menunjukkan posisi yang tepat ketika makan atau minum, pemilihan jenis

makanan yang tepat sesuai dengan kemampuan menelan pasien.

j. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam Pasien

menunjukkan Perilaku Pencegahan Jatuh dengan kriteria mengetahui saat

membutuhkan asistensi dalam aktifitas, menggunakan handrails Kejadian

Jatuh dengan kriteria tidak terjadinya kejadinya jatuh.

k. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Pasien

menunjukkan Tingkat Ansietas dengan kriteria mampu beristirahat sesuai

pola istirahat sebelum masuk rumah sakit, secara verbal menyebutkan cemas

berkurang Koping dengan kriteria mampu mengidentifikasi mekanisme

koping yang efektif, melaporkan stress berkurang.

3.1.5 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Pasien berdasarkan diagnosa

keperawatan yang ditegakkan selama masa perawatan antara lain:

1. Intoleransi aktifitas

Terapi Aktivitas

Kognator: Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan,

memberikan penguatan positif bagi pasien ketika aktivitas, edukasi terkait tata

cara pemberian obat.

Regulator: Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik untuk merencanakan

program terapi yang tepat (weight shifting tiap dua jam), monitoring tanda-tanda

vital pasien selama latihan, pemberian mestinon 5x60 mg, methyl prednisolone

1x8mg.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

49

Universitas Indonesia

Peningkatan Tidur

Kognator: Dukung pasien untuk memiliki waktu tidur rutin, dukung pasien untuk

dapat meningkatkan waktu istirahat.

Regulator: Kaji jumlah jam tidur pasien

2. Kerusakan integritas kulit

Perawatan Luka

Kognator: Ajarkan kepada pasien dan keluarga untuk melaporkan adanya luka

maupun perubahan sensasi di sekitar luka.

Regulator: Ganti balutan, catat karakteristik dari luka termasuk drainage, warna,

ukuran dan bau, amati dasar luka, bersihkan dengan normal saline, cuci atau

bersihkan dengan sabun anti bakteri sebagai tambahan, gunakan balutan sesuai

kondisi luka pasien, perhatikan penyembuhan luka pada setiap penggantian

balutan, gunakan teknik balutan steril, ganti balutan apabila terdapat peningkatan

jumlah eksudat, pertahankan nutrisi pasien adekuat, amati perubahan pada luka

secara teratur.

Posisi Tubuh

Kognator: Ajarkan pasien dan keluarga pentingnya mobilisasi.

Regulator: Gunakan kasur dekubitus, kaji status oksigenasi sebelum dan setelah

perubahan posisi, posisikan pasien sesuai dengan garis tubuh, rubah posisi pasien

minimal setiap dua jam sekali.

Kontrol Infeksi

Kognator: Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan

setelah berkunjung, gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan, cuci tangan

sebelum dan sesudah tindakan keperawatan, gunakan universal precaution dan

gunakan sarung tangan selama kontak dengan kulit yang tidak utuh, ajari pasien

dan keluarga tanda dan gejala infeksi dan kalau terjadi melaporkan pada perawat.

Regulator: Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain, tingkatkan asupan

nutrisi dan cairan, observasi dan laporkan tanda dan gejala infeksi seperti

kemerahan, panas, nyeri, tumor, catat dan laporkan hasil laboratorium, gunakan

strategi untuk mencegah infeksi nosokomial, istirahat yang adekuat, pemberian

cefoperazone sulbactam 3x12mg

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

50

Universitas Indonesia

3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

Manajemen Nutrisi

Kognator: Jelaskan prosedur kepada pasien penggunaan nasogastric tube sesuai

protokol anjurkan asupan makanan yang tinggi kadar albumin, anjurkan makanan

tinggi serat untuk mencegah konstipasi.

Regulator: Kontrol penyerapan makanan dan cairan dan menghitung asupan kalori

harian, pantau ketepatan urutan makanan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

harian, kolaborasi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis zat makanan yang

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (diit cair 1500 kkal dalam bentuk

makanan cair low lactose milk 6x250 ml), menentukan kebutuhan makanan

saluran nasogastric (berdasarkan pengkajian menggunakan FOIS, pasien berada

pada level 3 dengan kebutuhan penggunaan nasogastric tube (NGT) namun

memiliki sedikit kemampuan menelan per oral), berikan pasien makanan dan

minuman tinggi protein, tinggi kalori, dan bernutrisi yang siap dikonsumsi,

menghentikan penggunaan saluran makanan jika asupan oral dapat dilakukan

tanpa adanya aspirasi, beri pemeliharaan yang diperlukan dalam batas makanan

yang ditentukan, beri perawatan mulut sebelum makan, bantu pasien membentuk

posisi duduk yang benar sebelum makan, monitoring bising usus pasien, tinggikan

kepala 30-45 derajat saat memberikan makan via nasogastric tube, pemberian

vitamin B komplek 3x1 tab, vitamin c 2x50mg, zinc 1x20mg, asam folat 1x1 mg,

omeprazol 1x40mg.

4. Risiko aspirasi

Pencegahan aspirasi

Kognator: Ajarkan pasien dan keluaga untuk menghindari pemberian cairan per

oral atau gunakan thickening agent.

Regulator: Monitoring tingkat kesadaran pasien, refleks batuk, refleks muntah,

dan kemampuan makan pasien, skrining adanya disfagia atau gangguan menelan

(pasien positif disfagia), jaga kepatenan jalan napas (pemberian inhalasi jika

diperlukan), monitoring status pernapasan, lakukan perawatan kebersihan mulut

dan gigi, posisikan elevasi kepala hingga 30-40 menit setelah pemberian makan,

pastikan posisi selang nasogastric sebelum pemberian makanan. (pasien

dilakukan FEES pada tanggal 28 April 2017).

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

51

Universitas Indonesia

Enteral tube feeding

Kognator: Jelaskan prosedur kepada pasien dan keluarga,

Regulator: Pasang selang nasoastric untuk memfasilitasi intake makanan, berikan

tanda kedalaman selang, monitoring bising usus secara berkala, irigasi secara

berkala untuk mengetahui residu makanan, monitoring adanya rasa mual muntah

pada pasien, ganti selang secara berkala sesuai dengan protokol rumah sakit (7

hari), monitoring asupan makanan dan cairan pada pasien.

5. Risiko jatuh

Pencegahan jatuh

Kognator: Identifikasi fungsi kognitif dan kekurangan fisik pasien yang mungkin

meningkatkan potensial untuk jatuh, ajarkan pasien dan keluarga tentang risiko

dan pencegahan jatuh pada pasien.

Regulator: Kaji ulang riwayat jatuh dengan keluraga dan pasien, monitoring

resiko jatuh pasien, identifikasi karekteristik dari lingkungan yang mungkin

meningkatkan potensi untuk jatuh, pastikan side rails terpasang dengan baik dan

sesuai dengan tubuh pasien.

6. Ansietas

Penurunan ansietas

Kognator: Dukung keluarga untuk selalu menemani pasien, mendengarkan

keluhan pasien, menemani pasien dan memahami sudut pandang pasien terhadap

situasi stress yang muncul, anjurkan pasien untuk terapi relaksasi.

Support group

Kognator: Identifikasi kemampuan dukungan dari keluarga secara emosional

maupun finansial, dukung pasien untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial,

menyarankan untuk mengikuti kelompok dukungan (yayasan miastenia gravis).

3.1.6 Evaluasi Keperawatan

Pasien Pasien menjalani masa perawatan selama 25 hari sejak tanggal 8 April

2017 sampai 2 Mei 2017. Pasien masuk lewat IGD pada tanggal 8 April 2017 dan

pada tanggal 27 April 2017 pasien dipindahkan ke ruang rawat neurologi lantai 5

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

52

Universitas Indonesia

Zona A RSCM. Evaluasi keperawatan dari intervensi keperawatan yang telah

dilakukan pada Pasien adalah sebagai berikut:

3.1.6.1 Intoleransi aktifitas

Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik untuk merencanakan program terapi

yang tepat (weight shifting tiap dua jam), monitoring tanda-tanda vital pasien

selama latihan, membantu klien mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan,

memberikan penguatan positif bagi pasien ketika aktivitas, pemberian mestinon

5x60 mg, methyl prednisolone 1x8mg. Pada hari ke-3 pasien mampu melakukan

perubahan posisi tanpa disertai sesak. Tujuan tercapai intervensi dihentikan.

3.1.6.2 Kerusakan integritas kulit berhubungan

Evaluasi pada hari keperawatan ke-4 diketahui bahwa integritas kulit pasien

adaptif pada luka dekubitus. Luka dalam posisi kering dan bersih tanpa disertai

slough. Tanda-tanda infeksi tidak terjadi. Seiring dengan meningkatnya kekuatan

otot pasien mampu untuk mobilisasi sehingga penekanan pada area sakrum dapat

berkurang

3.1.6.3 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

Pasien menunjukan perilaku yang adaptif yakni tidak adanya keluhan mual dan

muntah. Selang makan dilepas setelah 5 hari dilakukan evalusi kemampuan

makan. Perilaku adaptif diperlihatkan oleh Pasien dengan menghabiskan 2/3 porsi

makannya dan nilai albumin dalam batas normal.

3.1.6.4 Risiko aspirasi

Tujuan yang ditetapkan yakni tidak terjadinya kejadian aspirasi pada pasien.

Setelah dilakukan intervensi keperawatan, pasien tidak menunjukan adanya tanda-

tanda pneumoni aspirasi seperti demam, wheezing, dan batuk. Pasien dilakukan

pengkajian kemampuan makan. Pada pertama kali dilakukan pengkajian pasien

melaporkan sempat mengalami batuk ketika minum per oral dengan jumlah lebih

dari 50cc. Sehingga pasien belum dapat dilepas NGT dan dilakukan evaluasi

ulang 2 hari kemudian dan kemampuan makan pasien sudah meningkat. 2 hari

kemudian NGT pasien sudah dapat dilepas dan pasien dapat makan dan minum

per oral tanpa ada periode tersedak.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

53

Universitas Indonesia

3.1.6.5 Risiko jatuh

Kejadian jatuh tidak terjadi sampai pasien pulang. Pasien mampu duduk dengan

kemampuan sendiri hal ini menunjukan perbaikan dari kelemahan otot yang

dirasakan oleh pasien. Akan tetapi sesuai dengan program pada pasien dengan

miastenia gravis, pasien disarankan untuk tirah baring dalam waktu yang cukup

lama hingga kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan kondisi sakitnya saat

ini sudah mengalami perbaikan. Hal ini membutuhkan penjagaan tidak hanya

selama di rumah sakit namun lebih penting lagi ketika pasien keluar dari rumah

sakit. Pemberian discharge planning terkait kemampuan mobilisasi dan

pencegahan risiko jatuh diberikan kepada keluarga. Keluarga dan pasien

memahami tentang risiko jatuh pada pasien dan tindakan yang perlu dilakukan

untuk mencegah kejadian jatuh pada pasien.

3.2 Gambaran 30 Pasien Dengan Gangguan Neurologis

Total jumlah kasus yang dikelola selama masa praktik residensi dengan gangguan

neurologis (lampiran 2) berjumlah 30 kasus dengan keterangan lengkap

karakteristik pasien berdasarkan diagnosa medis yang ditegakan pada pasien

dapat dilihat pada tabel 3.1. Pasien dengan gangguan neurologis diambil dari

kasus yang didapatkan di ruang gawat darurat, ruang perawatan intensif, ruang

rawat neurologi, dan ruang rawat bedah saraf. Kasus-kasus tersebut diataranya

adalah stroke hemoragik, stroke iskemik, miastenia gravis, Guillaine Bare

Syndrome (GBS) atau acute inflammatory demyelinating processi (AIDP),

chronic inflammatory demyelinating processi (CIDP), cedera kepala, Space

Occupying Lession (SOL), tumor medulla spinalis, enchepalophaty,

meningoenchepalitis, meningitis, status epileptikus, atrofi serebri, abses serebri,

dan post kraniektomi.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

54

Universitas Indonesia

Tabel 3.1 Karakteristik Pasien Resume Berdasarkan Diagnosa Medis

Diagnosa Medis

Uraian

Jumlah

(n)

Persentase

(%)

Stroke Hemoragik (SH) 3 10

Stroke Iskemik (SI) 10 33.33

Gangguan saraf tepi 5 16.67

Cedera Kepala 3 10

Keganasan 5 16.67

Infeksi 3 10

Bedah Saraf 1 3.33

JUMLAH 30 100

Angka prevalensi stroke di Indonesia diperkirakan sekitar 500.000 penduduk

setiap tahunnya dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya

mengalami cacat ringan atau berat (Yastroki, 2011). Berdasarkan tabel 3.1

diketahui bahwa diagnosa medis terbanyak yaitu kasus stroke iskemik (33.33%)

dan stroke hemoragik (10%) dengan total jumlah gangguan serebrovaskular

sebesar 43.33%. Hasil tersebut selaras dengan rekapitulasi kunjungan pasien di

ruang rawat neurologi Zona A RSCM terhitung selama bulan Januari hingga

bulan Maret 2017 dengan angka kunjungan pasien gangguan serebrovaskular

berkisar di angka 40 hingga 50 persen dari total kunjungan. Pada kasus SI terdapat

pasien yang juga disertai dengan kondisi kejang, atrofi serebri, dan ensepalopati.

Stroke sebagai gangguan serebrovaskular yang paling sering terjadi merupakan

salah satu dari penyebab kematian utama di dunia (Hickey, 2014). WHO juga

mencatat bahwa 15 juta penduduk di seluruh dunia terdiagnosa stroke dan 5 juta

diantaranya meninggal akibat stroke serta 5 juta lainnya mengalami kecacatan dan

menjadi beban bagi keluarga juga masyarakat. Berdasarkan angka statistik yang

dikeluarkan oleh WHO, kematian akibat stroke di Indonesia tercatat lebih dari

seratus ribu kematian dan terhitung sejak tahun 2002, 8 dari 1000 orang

mengalami kecacatan akibat stroke. Semakin meningkatnya faktor risiko seperti

kejadian merokok, angka kejadian Diabetes Mellitus serta gangguan pada sistem

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

55

Universitas Indonesia

kardiovaskular merupakan beberapa penyebab semakin meningkatnya angka

kejadian stroke dan angka burden akibat stroke semakin meningkat (Global

Burden Disease: Indonesia, 2010). Hal ini menjadi perhatian terutama bagi

perawat spesialis neurologi untuk memaksimalkan masa rehabilitasi pasien

sehingga pasien dapat beradaptasi dengan dampak yang ditimbulkan oleh

penyakit sehingga mampu beraktivitas secara optimal.

Diagnosa medis berikutnya adalah gangguan saraf tepi (16.67%) dan keganasan

(16.67%). Gangguan pada saraf tepi yang dikelola meliputi empat kasus miastenia

gravis (13.33%) dan satu kasus CIDP (3.33%). Kedua kasus gangguan saraf tepi

yang dikelola selama proses residensi merupakan gangguan autoimun. Kedua

kasus tersebut juga termasuk penyakit yang mematikan dengan karakter progresif

yaitu semakin lama seiring berjalannya waktu maka dampak yang ditimbulkan

penyakit akan semakin luas. Miastenia gravis sebagai salah satu kasus gangguan

saraf tepi tidak hanya memengaruhi aspek fisik seperti kelemahan pada otot

rangka namun juga mood pasien akan turut mengalami perubahan (Paul, Cohen,

Zawacki, Gilchrist, & Aloia, 2001). Fokus perawat selama masa perawatan

dengan kasus gangguan saraf tepi yakni mencegah terjadinya cedera serta

memaksimalkan kemampuan adaptasi dengan meminimalkan dampak negatif dari

stress fisik dan emosional dan meningkatkan emosi positif seperti harapan dan

juga kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimiliki oleh pasien (Hickey,

2014; Rosińczuk et al., 2015). Harapan bagi keperawatan kedepannya tidak hanya

berfokus pada kondisi fisik dari pasien namun juga memandang pasien sebagai

sistem holistik dengan aspek bio-psiko-sosio-spiritual.

Kasus keganasan meliputi empat kasus SOL (13.33%) dan satu buah kasus tumor

medulla spinalis (3.33%). Kasus keganasan pada sistem persarafan sendiri dapat

dibagi menjadi dua yakni tumor otak dan tumor medulla spinalis baik jinak

maupun malignan. Space Occupying Lession (SOL) sendiri merupakan bentuk

dari tumor otak. The Central Brain Tumor Registry of The United States dalam

Hickey (2014) memperkirakan penambahan jumlah kasus baru serta kematian

akibat tumor otak. Selaras dengan pernyataan tersebut Siegel, Miller, dan Jemal

(2016) memperkirakan peningkatan angka kejadian tumor otak sebesar empat

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

56

Universitas Indonesia

persen serta 4.7 persen kematian akibat tumor otak setiap tahunnya. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa kecenderungan penambahan angka kejadian serta kematian

akibat tumor otak dikaitkan dengan perilaku berisiko terjadinya kanker atau

pemaparan terhadap zat-zat karsinogen. Hickey (2014) menyebutkan bahwa

manajemen asuhan keperawatan berfokus pada pemberian informasi yang adekuat

dengan harapan dapat meningkatkan koping adaptif pasien dalam menghadapi

realita dan kondisi sakitnya.

Kasus infeksi yang dikelola meliputi meningitis, meningoensepalitis, dan abses

serebri. Sedangkan kasus bedah saraf yang dikelola merupakan kasus post

kraniektomi yang penyebab awalnya adalah cedera kepala berat akibat kecelakaan

pada saat bekerja. Sedikitnya jumlah kasus infeksi serta bedah saraf tidak dapat

digeneralisir dengan total kunjungan di rumah sakit dikarenakan keterbatasan

penulis dalam pemilihan kasus kelolaan. Pada dasarnya, jumlah kunjungan pasien

dengan infeksi di Zona A Lantai 5 RSCM merupakan terbanyak setelah kasus

gangguan serebrovaskular yang mencapai angka 15-20% dari total kunjungan

setiap bulannya. Angka ini selaras dengan peningkatan kejadian kondisi

penurunan fungsi imun seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang

memungkinkan pasien mengalami infeksi di sistem persarafan.

Tabel 3.2 Karakteristik 30 Pasien Resume

Karakteristik

Uraian

Jumlah

(n)

Persentase

(%)

Usia <20

20-29

30-39

40-49

50-59

≥60

1

4

5

8

3

9

3.3

13.3

16.7

26.7

10

30

Jenis Kelamin Laki-Laki

Perempuan

24

6

80

20

Tingkat Pendidikan SD

SMP

SMA

Diploma atau Sarjana

5

5

9

11

16.7

16.7

30

36.7

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

57

Universitas Indonesia

Pekerjaan Tidak Bekerja

Pelajar

Bekerja

9

2

19

30

6.7

63.3

Suku Jawa

Betawi

Sunda

Sumatra

17

7

2

4

56.7

23.3

6.7

13.4

Berdasarkan tabel 3.1 di atas diketahui bahwa dari total 30 kasus resume yang

dikelola selama proses residensi keperawatan sebagian besar merupakan geriatri

(30%) dan pada rentang usia produktif 40-49 tahun (26.7%). Pasien sebagian

besar berjenis kelamin laki-laki yang mencapai 24 orang (80%) dan perempuan

sebanyak 6 orang (20%). Sebagian besar pasien memiliki status bekerja (63.3%)

baik sebagai karyawan swasta maupun pegawai negeri. Sejumlah pasien tidak

bekerja (30%) dikarenakan lanjut usia maupun tidak memungkinkan bekerja

dikarenakan kondisi penyakitnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa pada pasien dengan gangguan neurologi seringkali mengalami gejala fisik

yang menghambat individu tersebut dalam beraktivitas. Hal ini akan berdampak

pada produktivitas dari pasien terutama bagi pasien yang berjenis kelamin laki-

laki dikarenakan kewajibannya dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Maka

dari itu, dibutuhkan suatu sistem yang memungkinkan pasien dalam

mempertahankan produktivitas dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya.

Kemampuan adaptasi pasien dan keluarga terhadap perubahan status kesehatan

merupakan suatu poin yang harus menjadi perhatian perawat.

Tingkat pendidikan pasien sebagian besar adalah pendidikan diploma atau sarjana

(36,7%). Berdasarkan suku bangsa dari pasien, sebagian besar bersuku Jawa

sebanyak 17 pasien (56,7%). Tingginya tingkat pendidikan pasien tentunya

memudahkan perawat khususnya dalam penyampaian edukasi baik terkait

prosedur tindakan maupun kondisi kesehatan pasien. Namun hal tersebut juga

akan menjadi tantangan bagi tim perawat dikarenakan semakin tingginya tingkat

pendidikan seseorang maka pemikiran kritis serta rasa ingin tahu seseorang akan

bertambah. Tantangan tersebut dapat terjadi dikarenakan keberagaman suku

bangsa dari pasien, sehingga perawat dituntut untuk mampu memandang pasien

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

58

Universitas Indonesia

sebagai individu yang unik tanpa membedakan suku bangsa. Selain itu, perawat

diharuskan untuk benar-benar menguasi materi edukasi serta kondisi klinis dari

pasien. Hal ini memerlukan usaha lebih dari tim manajemen dengan melakukan

peningkatan kualitas dari tim keperawatan seperti pemberian pelatihan maupun

sharing informasi lewat program journal reading maupun studi kasus. Selain akan

berguna dalam proses perawatan juga akan meningkatkan kepercayaan diri dari

perawat dalam berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain.

Tabel 3.3 Karakteristik Pasien Resume Berdasarkan Diagnosa Keperawatan No

Kasus

Nomor Diagnosa Keperawatan*

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

1 x x

2 x x x

3 x x x

4 x x

5 x x x

6 x x x x

7 x x x x x

8 x x x x

9 x x x

10 x x x

11 x x x

12 x x

13 x x x

14 x x

15 x x x x

16 x x

17 x x x

18 x x x

19 x x x

20 x x

21 x x

22 x x

23 x x

24 x x x

25 x x x

26 x x

27 x x

28 x x

29 x x

30 x x

Jumlah 2 9 8 15 2 3 7 6 1 17 3 1 2 1 3 1

*1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas 2) Gangguan pola nafas 3) Resiko Ketidakefektifan

perfusi jaringan serebral 4) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial 5) Gangguan menelan 6)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

59

Universitas Indonesia

Ketidakseimbangan kadar glukosa dalam darah 7) Kerusakan integritas kulit 8) Nyeri 9) Gangguan

persepsi sensori 10) Kerusakan mobilitas fisik, 11) Resiko jatuh 12) Nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh 13) Hipertermia 14) Ketidakseimbangan cairan tubuh 15) Gangguan ventilasi spontan 16)

Gangguan komunikasi verbal

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gangguan neurologi

selama masa perawatan berbeda-beda tergantung pada jenis masalah yang terjadi

serta letak dari masalah. Berdasarkan tabel 3.3 diketahui bahwa 3 diagnosa

keperawatan yang paling sering muncul pada pasien dengan gangguan neurologi

diantaranya kerusakan mobilisasi fisik, penurunan kapasitas adaptif intrakranial,

dan gangguan pola napas. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan

Indikator Diagnostik (2016) yang telah ditetapkan oleh Persatuan Perawat

Nasional Indonesia (PPNI) mendifinisikan diagnosis keperawatan gangguan

mobilitas fisik sebagai keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih

ekstremitas secara mandiri. Gangguan mobilitas mungkin hanya terjadi pada salah

satu ekstremitas saja sehingga pasien tidak dapat bergerak yang mengakibatkan

terjadi imobilisasi dan kecacatan (Black & Hawks, 2014).

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa kecacatan tertinggi yang terjadi

di Indonesia pun diakibatkan oleh gangguan mobilisasi yang dialami oleh pasien

(Global Burden Disease: Indonesia, 2010). Spastisitas yang muncul pada

hemiparesis dikaitkan dengan gangguan neuron motorik atas yang mengakibatkan

memburuknya fungsi motorik anggota badan parese, yang lebih lanjut akan

mengarah ke kelemahan motorik, kekakuan, nyeri, dan deformitas anggota badan

yang terkena. Selain itu dapat memicu nyeri yang akan menimbulkan keterbatasan

gerakan, cedera jaringan neurovaskular, tidak dapat menjaga keseimbangan, tidak

dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan menurunkan fungsi tangan efektif serta

memperburuk prognosis (Harpreet et al., 2014; McKenzie et al., 2008; Yamada et

al., 2014). Selain spastisitas, pasien dengan gangguan mobilisasi memiliki

kemungkinan yang besar mengalami deformitas, osteoporosis, kontraktur, serta

atrofi otot.

Hickey (2014) dalam bukunya menyebutkan positioning, side-lying position,

balancing, program latihan fisik, serta latihan rentang gerak dapat dilakukan

dalam mengatasi masalah mobilisasi pada pasien dengan gangguan mobilisasi.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

60

Universitas Indonesia

Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan timbulnya komplikasi

seperti ulkus dekubitus dan spastisitas pada pasien dengan tirah baring lama serta

memaksimalkan kemampuan gerak pasien. Selain itu, ambulasi pada pasien

dengan gangguan mobilisasi seperti hemiplegi atau paraplegi membutuhkan

perhatian dari perawat agak tidak mencederai baik pasien, care giver, maupun

tenaga kesehatan yang membantu. Sebagai perencanaan pulang, perawat dituntut

mampu memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pentingnya latihan serta

meningkatkan motivasi pasien selama masa rehabilitasi untuk memaksimalkan

outcome.

Tabel 3.4 Gambaran Diagnosa Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan

Neurologi

Diagnosa Keperawatan Diagnosa Medis*

SOL CK SH SI ME MG

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas x

Gangguan pola nafas x x x

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral x x

Penurunan kapasitas adaptif intrakranial x x x x x

Gangguan menelan x

Ketidakseimbangan kadar glukosa dalam darah x x x

Kerusakan integritas kulit x x x x x

Nyeri x x x x

Gangguan persepsi sensori x

Kerusakan mobilitas fisik x x x x x

Resiko jatuh x x

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh x

Hipertermia x

Ketidakseimbangan cairan tubuh x

Gangguan ventilasi spontan x

Gangguan komunikasi verbal x

*SOL: Space Occupying Lession (SOL), CK: Cedera Kepala, SH: Stroke Hemoragik, SI: Stroke

Iskemik, ME: Meningitis, MG: Miastenia Gravis

Berdasarkan tabel 3.4 diketahui bahwa pada pasien SOL ditemukan beberapa

diagnosa keperawatan diantaranya: penurunan kapasitas adaptif intracranial,

kerusakan integritas kulit, nyeri, kerusakan mobilitas fisik, nutrisi kurang dari

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

61

Universitas Indonesia

kebutuhan tubuh, hipertermia, dan ketidakseimbangan cairan tubuh. Penurunan

kapasitas adaptif intrakranial merupakan diagnosis keperawatan utama yang

terjadi pada pasien dengan gangguan SOL. Standar Diagnosis Keperawatan

Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik (2016) mendifinisikan penurunan

kapasitas adaptif intrakranial sebagai gangguan mekanisme dinamika intrakranial

dalam melakukan kompensasi terhadap stimulus yang dapat menurunkan

kapasitas intrakranial yang ditandai dengan munculnya nyeri kepala. Maka dari

itu, pada pasien dengan SOL seringkali ditemukan diagnosa Nyeri kronis yang

muncul sebagai manifestasi dari penekanan serabut sensorik nyeri akibat tumor di

ruang intra kranial.

Pada kasus trauma kepala diagnosa keperawatan yang muncul diantaranya

penurunan kapasitas adaptif intrakranial, kerusakan integritas kulit, nyeri, dan

gangguan ventilasi spontan. Dua dari tiga kasus cedera kepala yang dikelola

selama program residensi merupakan cedera kepala berat dengan disertai

penurunan kesadaran dan menurunnya kemampuan pasien untuk bernapas

spontan. Berdasarkan kondisi tersebut, dua diagnosis keperawatan utama yang

ditegakan adalah penurunan kapasitas adaptasi intrakranial dan gangguan

ventilasi spontan. Diagnosis gangguan ventilasi spontan ditegakan dikarenakan

munculnya beberapa atau seluruh manifestasi menurunnya fungsi pernapasan

berupa menurunnya volume tidal, PCO2 meningkat, adanya penggunaan otot

bantu napas, PO2 menurun, serta menurunnya saturasi oksigen pada pasien

(Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik,

2016).

Sedangkan pada kasus stroke hemoragik ditemukan diagnosa keperawatan

gangguan pola napas, resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral,

penurunan kapasitas adaptif intrakranial, kerusakan integritas kulit, nyeri, dan

gangguan ventilasi spontan. Pada pasien stroke iskemik ditemukan beberapa

diagnosa keperawatan diantaranya: ketidakefektifan bersihan jalan napas,

gangguan pola napas, resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral,

penurunan kapasitas adaptif intrakranial, gangguan menelan, ketidakseimbangan

kadar glukosa darah, kerusakan integritas kulit, kerusakan mobilitas fisik, dan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

62

Universitas Indonesia

gangguan komunikasi verbal. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus

infeksi (meningitis) diantaranya penurunan kapasitas adaptif intracranial,

ketidakseimbangan kadar gula darah, nyeri, dan risiko jatuh. Sedangkan pada

kasus miastenia gravis diagnosa keperawatan diagnosa keperawatan yang

muncul diantaranya gangguan pola napas, kerusakan integritas kulit, gangguan

persepsi sensori, kerusakan mobilitas fisik, dan risiko jatuh.

Berdasarkan data pada tabel 3.4 juga diketahui bahwa diagnosis keperawatan

penurunan kapasitas adaptif intrakranial, kerusakan mobilitas fisik, serta

kerusakan integritas kulit merupakan merupakan diagnosis yang muncul hampir

pada semua gangguan neurologi. Apabila dilakukan analisis berdasarkan data

yang ada maka ketiga diagnosis keperawatan tersebut dapat diangkat secara

secara berurutan dimulai dari penurunan kapasitas adaptif intrakranial. Pada

umunya pasien dengan diagnosis tersebut akan mengalami peningkatan tekanan

intrakranial yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. Pasien dengan

penurunan akan mengalami hambatan dalam mobilisasi yang mengarah

ditegakannya hambatan mobilitas fisik. Selain dikarenakan penurunan

kesadaran, hambatan mobilitas fisik pada pasien dengan peningkatan tekanan

intrakranial dapat terjadi dikarenakan rusaknya jaras saraf motorik sehingga

kemampuan mobilisasi pasien akan menurun. Kondisi tersebut disertai

perawatan yang tidak maksimal akan menimbulkan masalah baru yaitu

kerusakan integritas kulit ditandai dengan munculnya ulkus dekubitus pada

pasien.

Maka dari itu, fokus perawatan pada pasien dengan gangguan neurologi yaitu

mempertahankan perfusi serebral yang adekuat dengan tetap mempertahankan

tekanan intrakranial pasien. Outcome yang diharapkan yakni menurunnya tanda-

tanda penurunan tekanan intrakranial pada pasien. Selain itu yang harus menjadi

perhatian dari perawat adalah meminimalisir terjadinya komplikasi pada pasien

neurologi seperti spasme, kontraktur, ulkus dekubitus, serta kejadian aspirasi.

Selama pelaksanaan asuhan keperawatan pada 30 kasus gangguan neurologi

menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Berdasarkan keseluruhan kasus,

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

63

Universitas Indonesia

pasien sebagian besar berada pada level adaptasi compromised dan juga beberapa

pasien menunjukan perilaku mal adaptif.

3.3 Evidence Based Nursing (EBN): Penerapan The Functional Oral Intake

Scale (FOIS) pada Pasien dengan Gangguan Neurologis

3.3.1 Analisis PICO

Pada penerapan EBN ini patient problem (P: Problem) yang terjadi adalah pasien

dengan gangguan neurologis yang terpasang mengalami disfagia dan terpasang

NGT belum dilakukan evaluasi kemampuan makan dan belum dilakukan sesuai

evidence. Intervensi (I: Intervention) yang akan dilakukan adalah penggunaan The

Functional Oral Intake Scale (FOIS) untuk mengevaluasi kemampuan makan

pada pasien. Penerapan FOIS akan dibandingkan dengan evaluasi kemampuan

makan pasien yang dilakukan perawat ruangan dengan acuan berdasarkan Massey

Bedside Swallowing Screen (C: Control). Hasil dari penerapan EBN ini

diharapkan dapat mencegah kejadian pneumonia aspirasi. Berdasarkan hal

tersebut, maka penulis ingin melakukan penerapan Evidence Based mengenai

format The Functional Oral Intake Scale (FOIS) sebagai bentuk evaluasi pada

pasien dengan disfagia (O: Outcome).

Pasien dengan gangguan neurologi seringkali mengalami penurunan kemampuan

menelan sehingga mempengaruhi kemampuan makan dan berisiko tinggi

mengalami pneumonia akibat aspirasi. Menelan merupakan proses kompleks

dimulai dari ingesti makanan baik dalam bentuk solid maupun cairan dengan tetap

mempertahankan jalan napas (Hickey, 2014). Disfagia atau gangguan menelan

terjadi pada 30-50% pada pasien sadar. Meskipun kesulitan menelan dapat

membaik secara bertahap tanpa pengobatan apapun secara cepat namun pada

sekitar kurang lebih 10% pasien stroke, masalah tetap bertahan selama enam

sampai sepuluh bulan setelah waktu kejadian serangan stroke. Akan tetapi, pasien

dengan disfagia berat dan menggunakan tubing merupakan salah satu predictor

atau indikator buruknya hasil perawatan dan dapat dihubungkan dengan tingginya

angka kejadian infeksi dada maupun kematian (Takahata et al., 2011). Tanpa

memperhitungkan konsistensi makanan baik padat maupun cair, proteksi dari

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

64

Universitas Indonesia

jalan napas merupakan hal yang penting untuk mencegah komplikasi aspirasi

(Hickey, 2014).

Kesulitan makan pada pasien stroke di pusat rehabilitasi mencapai angka 43% dan

66% pasien tetap memiliki kesulitan makan setelah enam bulan keluar dari pusat

layanan kesehatan (n=114). Feeding dependence atau ketergantungan pada proses

makan terjadi pada 36 sampai dengan 53% pasien stroke. Berdasarkan data

statistik jumlah kunjungan pasien dari bulan Januari sampai dengan Maret 2017

diketahui pasien dengan gangguan serebrovaskular menempati posisi terbanyak

dengan jumlah lebih dari 50 persen dari total jumlah kunjungan. Ditunjang hasil

observasi selama melakukan praktik ners spesialis di Zona A Lantai V RSCM

kurang lebih 6-15 pasien setiap harinya menggunakan selang nasogastric untuk

memenuhi kebutuhan dietnya.

Didukung dengan adanya artikel ilmiah yang menyebutkan pentingnya evaluasi

kemampuan makan pada pasien dengan gangguan neurologi, peneliti melakukan

pencarian jurnal terkait format evaluasi kemampuan makan. Berdasarkan hasil

pencarian jurnal diketahui bahwa The Functional Oral Intake Scale (FOIS) dapat

digunakan sebagai alat evaluasi pasien dengan gangguan menelan atau disfagia.

Penerapan format tersebut bertujuan untuk menentukan jenis diet bagi pasien,

kebutuhan pasien akan penggunaan selang nasogastric, serta mencegah terjadinya

pneumonia aspirasi.

3.3.2 Kritisi Jurnal

Strategi penelusuran yang digunakan yakni dengan menggunakan beberapa

journal database diantaranya proquest, ebscohost, sciencedirect, dan ncbi.

Strategi pencarian menggunakan kata kunci tunggal atau gabungan yang dapat

dilihat pada tabel di bawah ini. Artikel yang ditelusuri merupakan jurnal dalam

bahasa inggris.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

65

Universitas Indonesia

Tabel 3.5 Sumber Penelusuran Jurnal

No. Kata Kunci

Sumber Penelurusan

NCBI Ebscohost Proquest Science Direct

1. Functional

Oral Intake

Scale

Didapatkan 74

jurnal dengan

rentang tahun

2005-2017

Didapatkan 100

jurnal dengan

rentang tahun

2005-2017

Didapatkan 132

jurnal dengan

rentang tahun

1995-2017

Didapatkan 87

jurnal dengan

rentang tahun

2005-2017

2. Functional

Oral Intake

Scale;

dysphagia

Pencarian

dibatasi pada

sampel dewasa

dengan rentang

tahun 2014-

2017. Dilakukan

penyaringan

dengan

menggunakan

AND dysphagia.

Terdapat 2 buah

jurnal yang

relevan dengan

penerapan EBN

Penyaringan

dilakukan

dengan

menambah kata

kunci AND

dysphagia.

Pencarian

dibatasi untuk

sampel dewasa

dengan rentang

tahun 2005-

2017.

Lalu dilakukan

penyaringan

dengan

menggunakan

kata OR eating

difficulties

didapatkan 43

artikel.

Terdapat 5 buah

jurnal yang

relevan dengan

penerapan EBN

Dilakukan

penyaringan

dengan

menggunakan

AND dysphagia.

Pencarian

dibatasi untuk

sampel dewasa

dengan rentang

tahun 2005-

2017.

Terdapat 1 buah

jurnal yang

relevan dengan

penerapan EBN

Penyaringan

dilakukan

dengan

menambah

kata kunci

AND

dysphagia.

Pencarian

dibatasi untuk

sampel

dewasa

dengan

rentang tahun

2005-2017.

Terdapat 1

buah jurnal

yang relevan

dengan

penerapan

EBN

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, dipilih 9 jurnal yang relevan dengan

penerapan EBN. Berikutnya dipilih tiga (3) jurnal yang sesuai denga are EBN

yang akan dilakukan dan lima (5) jurnal pendukung. Kemudian diambil satu

(1) buah jurnal yang dijadikan rujukan utama dalam penerapan EBN sebagai

berikut:

1. “Initial Psychometric Assessment of a Functional Oral Intake Scale for

Dysphagia in Stroke Patients” (Crary et al., 2005), didapatkan dari jurnal

EBSCO pada tanggal 06 April 2017.

2. “Retrospective Ratings of 100 First Time-Documented Stroke Patients

on The Functional Oral Intake Scale” (McMicken et al., 2010),

didapatkan dari jurnal NCBI pada tanggal 06 April 2017.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

66

Universitas Indonesia

3. “Early Intervention to Promote Oral Feeding in Patients With

Intraserebral Hemorrhage: a Retrospective Cohort Study” (Takahata et

al., 2011), didapatkan dari jurnal Proquest pada tanggal 06 April 2017.

Jurnal pendukung:

1. National survey of the prevalence of swallowing difficulty and tube feeding

use as well as implementation of swallowing evaluation in long-term care

settings in Japan (Sugiyama et al., 2014)

2. Achieving eating independence in an acute stroke ward: developing a

collaborative care plan (Payne, Stagnitti, Hooke, & Hitch, 2015)

3. Detection of eating difficulties after stroke : a systematic review.

International Council of Nurses (Westergren, 2006)

4. Reliability and Validity of a Tool to Measure the Severity of Dysphagia:

The Food Intake Level Scale (Kunieda, Ohno, Fujishima, Hojo, & Morita,

2013)

5. Recognizing New Perspectives in Eating Difficulties Following Stroke: a

Concept Analysis (Klinke, Wilson, Hafsteinsdóttir, & Jónsdóttir, 2013)

6. Development of a new scale dor dysphagia in patients with progressive

neuromuscular disease: the neuromuscular disease swallowing status

scale (Wada & Kawakami, 2015)

Jurnal pendukung didapatkan pada jurnal Proquest EBSCO, cara

mendapatkannya dari perpustakaan Universitas Indonesia melalui situs

www.lib.ui.ac.id, kemudian memilih “online database list” dan memilih jurnal

internasional yang akan digunakan.

Artikel yang berjudul “Initial Psychometric Assessment of a Functional Oral

Intake Scale for Dysphagia in Stroke Patients” didapatkan dari jurnal EBSCO

pada tanggal 06 April 2017, yaitu sebuah jurnal yang secara khusus membahas

tentang validitas serta sensitivitas dari penggunaan The Functional Oral

Intake Scale dibandingkan dengan format pengakajian kemampuan makan

lainnya seperti The Functional Intake Level Scale. Artikel ini juga melibatkan

responden dengan jumlah yang cukup besar yakni 302 pasien. Selain itu pada

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

67

Universitas Indonesia

artikel lainnya dijelaskan mengenai penyebab serta hal-hal yang berkaitan

dengan gangguan makan pada pasien dengan stroke. Hal ini juga didukung

dengan penelitian lain pada jurnal yang berjudul Early Intervention to

Promote Oral Feeding in Patients With Intraserebral Hemorrhage: a

Retrospective Cohort Study. Artikel ini menjawab pertanyaan klinis yang

ditemukan peneliti selama melakukan praktik di ruang neurologi Zona A

Lantai V RSCM. Selama ini evaluasi pasien dengan gangguan makan terfokus

pada anamnesa dan observasi dengan panduan Massey Bedside Swallowing

Screen tanpa adanya form monitoring khusus terkait kemampuan makan pada

pasien dengan disfagia. Selama masa praktik ditemukan pasien dengan kondisi

yang kembali dirawat dalam kurun waktu 2 minggu setelah discharge disertai

perburukan dikarenakan pneumonia aspirasi, serta pasien ditemukan tersedak

ketika pemberian makan per oral. Berdasarkan data tersebut, dibutuhkan

format evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam evaluasi kemampuan

makan pada pasien serta membantu dalam kelengkapan dokumentasi perawat

di ruangan yang dapat menjadi salah satu indikator pemulihan pasien.

Penggunaan format evaluasi Functional Oral Intake Scale (FOIS) juga

dipandang sederhana dengan minimal training dan efektif dalam

mengevaluasi kemampuan makan pasien pada hasil penelitian yang berjudul

Retrospective Ratings of 100 First Time-Documented Stroke Patients on The

Functional Oral Intake Scale.

Berdasarkan 9 artikel yang dipilih untuk dimasukkan ke dalam proyek EBN, 3

merupakan penelitian retrospective. Ringkasan dari artikel-artikel yang

digunakan serta penilaian masing-masing jurnal dan penilaian masing-masing

disajikan pada tabel berikut yang menyediakan ringkasan dari penulis, tahun

publikasi, dan temuan kunci yang berkaitan dengan yang diusulkan proyek

EBN.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

68

Universitas Indonesia

3.6 Telaah Kritis Jurnal

Nama Penulis

dan Tahun

Terbit

Validitas Reliabilitas Applicability

Crary et al.

(2005) Melibatkan 302 pasien

stroke akut

Data demografi pasien

dilakukan pengukuran

serta pengukuran FOIS

dilakukan oleh

beberapa jenis tenaga

kesehatan diantaranya

dokter dan perawat

Follow up pasien

dilakukan pada

keseluruhan responden

serta disesuaikan

dengan tingkat

keparahan aspirasi

Kriteria hasil yang

dapat dilihat yakni

tingkat keparahan

aspirasi

Hasil setelah

pengulangan

didapatkan nilai

sentifitas yang baik

dari FOIS serta

format pengkajian

lain

Selain itu, selama

penelitian

berlangsung kejadian

aspirasi tidak terjadi

Penggunaan FOIS

sama dengan yang

akan dilakukan

pada program

EBN

Follow up yang

dilakukan oleh

peneliti selama 1

bulan dan 6 bulan

post stroke akut

Hasil penelitian

dapat diterapkan

di ruang rawat

inap neurologi

Gedung A RSCM

zona A

McMicken et

al. (2010) Melibatkan 100

dokumentasi pasien

dengan gangguan

menelan

Homogenitas data

demografi tidak

tergambarkan

Follow up pasien

dilakukan pada

keseluruhan responden

Kriteria hasil yang

dapat dilihat yakni

perbandingan nilai

inter rater reliability

dengan format

pengkajian The

Functional Assessment

Measure (FAM)

Hasil setelah

pengulangan

didapatkan perubahan

nilai FOIS dan FAM

antara saat pasien

baru masuk dan

setelah pasien

discharge

Selain itu, selama

penelitian

berlangsung kejadian

aspirasi tidak terjadi

Penggunaan FOIS

sama dengan yang

akan dilakukan

pada program

EBN

Follow up yang

dilakukan oleh

peneliti selama

pasien

dilaksanakan

rawat inap

Hasil penelitian

dapat diterapkan

di ruang rawat

inap neurologi

Gedung A RSCM

zona A

Takahata et al.

(2011) Melibatkan 219 pasien

Intracerebral

Hemorrhage (ICH)

Homogenitas data

dilakukan untuk data

demografi seperti usia,

jenis kelamin, tingkat

kesadaran, serta

karakteristik

perdarahan

Follow up pasien

dilakukan pada

keseluruhan responden

Hasil setelah

pengulangan

didapatkan nilai

sentifitas yang baik

dari FOIS

Selain itu, selama

penelitian

berlangsung terjadi 2

kejadian fatal yakni 1

pasien meninggal

dikarenakan

pneumonia dan yang

lainnya meninggal

Penggunaan FOIS

sama dengan yang

akan dilakukan

pada program

EBN

Follow up yang

dilakukan oleh

peneliti selama 3

tahun terhitung

sejak 2004-2007

Hasil penelitian

dapat diterapkan

di ruang rawat

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

69

Universitas Indonesia

serta disesuaikan

dengan status nutrisi

Kriteria hasil yang

dapat dilihat yakni

kejadian aspirasi serta

waktu pasien untuk

memulai diet per oral

dikarenakan rupture

aneurysma

inap neurologi

Gedung A RSCM

zona A namun

dengan

pengawasan

dikarenakan

kejadian pasien

meninggal

dikarenakan

aspirasi (tidak

diketahui akibat

aspirasi atau

bukan)

3.4 Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian Keperawatan Tambahan

pada Pasien dengan Gangguan Neurologi

3.4.1 Analisis SWOT

Program inovasi pengunaan screening tools pada pasien neurologi akan

dilaksanakan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Adapun pendekatan analisis

situasi pada program inovasi pengunaan screening tools pada pasien neurologi ini

menggunakan analisis Strength, Weakness, Oppurtunities, Threats (SWOT)

sebagai berikut:

1. Strength (Kekuatan)

Kekuatan dalam program inovasi yang akan dilaksanakan di RS Cipto

Mangunkusumo Jakarta antara lain:

a. Ruangan neurologi zona A lt. 5 merupakan ruang rawat inap khusus

neurologi dengan sebaran berbagai kasus neurologi meliputi trauma,

infeksi, CVD, onkologi dan autoimun. Dengan demikian ideal luntuk

menerapkan screening tools yang ditujukan pada kasus neurologi.

b. Sumber daya ruangan memiliki jumlah tenaga perawat 28 orang, dengan

perbandingan 1 perawat: 6 orang pasien

c. Screenig tools bersifat sederhana dan mudah digunakan tanpa

mengharuskan keterampilan khusus.

d. Pelayanan keperawatan di RSCM telah memisahkan antara head nurse dan

head officer. Hal ini memudahkan koordinasi dan evaluasi pelayanan

keperawatan yang dilakukan, termasuk dalam hal menerapkan hal-hal baru

dalam pengembangan keperawatan neurologi di ruangan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

70

Universitas Indonesia

e. RS Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit pemerintah rujukan

nasional dengan fasilitas serta sumber daya manusia (SDM) yang

berkualitas se-Indonesia.

f. RS Cipto Mangunkusumo selain sebagai rujukan nasional terkait kasus-

kasus yang kompleks namun juga sebagai rumah sakit pendidikan dan

penelitian, memiliki tenaga ahli dan clinical instructor (CI) yang

kompeten di bidangnya serta fasilitas yang memadai dalam hal

pelaksanaan proses pendidikan dan penelitian.

g. RS Cipto Mangunkusumo secara berkala mengadakan pelatihan in house

training untuk staf pelaksana keperawaran secara rutin, selain itu RS Cipto

Mangunkusumo juga memfasilitasi pengembangan staf melalui event

seminar/workshop baik skala nasional maupun internasional.

h. RS Cipto Mangunkusumo memiliki staf medis dengan level konsultan dan

tenaga perawat neuroscience yang sudah terlatih dan terdaftar dalam

himpunan perawat neuroscience Indonesia (HIPENI).

i. Perawat neuroscience di RS Cipto Mangunkusumo berkonsentrasi dalam

pengembangan neuroscience dengan ikut serta baik sebagai pengisi acara

maupun peserta terkait pelatihan-pelatihan dalam bidang neuroscience.

j. RS Cipto Mangunkusumo memberikan dukungan pada staf keperawatan

untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 dan S2.

2. Weakness (Kelemahan)

a. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan diperoleh bahwa

perawat menilai format pengkajian yang ada di ruangan sudah cukup

mewakili kebutuhan pengkajian kasus neurologi.

b. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya

diketahui bahwa perawat menilai tidak ada lagi format pengkajian yang

perlu untuk ditambahkan pada format pengkajian yang sudah ada

c. Format pengkajian yang digunakan ruangan bersifat umum dan tidak

mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada pasien

neurologi.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

71

Universitas Indonesia

d. Sebagian besar perawat baik PP maupun PA (perawat associate) memiliki

jenjang pendidikan D3 (hanya ada 1 orang PA yang lulus ners dan 2 orang

S.Kep).

e. RS Cipto Mangunkusumo belum memiliki ners spesialis neurologis.

3. Oppurtunities (Kesempatan)

a. Mahasiswa residensi keperawatan yang sedang menjalani praktik di RS

Cipto Mangunkusumo memiliki program inovasi keperawatan dalam

kurikulum pendidikan sehingga dapat menerapkan ide-ide baru yang dapat

meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.

b. Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan beberapa PP dan PA di

ruang neurologis lantai V gedung A RS Cipto Mangunkusumo, diketahui

bahwa pihak rumah sakit bersedia untuk menerima informasi baru terkait

penerapan screening tools pada kasus-kasus neurologi.

4. Threats (Ancaman)

a. Berbagai rumah sakit di luar RS Cipto Mangunkusumo sudah menjalani

berbagai program akreditasi yang juga dijalani oleh RSCM sehingga akan

mendorong pihak rumah sakit lainnya untuk terus juga meningkatkan

sistem pelayanan termasuk pada kasus neurologi.

3.4.2 Studi Pustaka Proyek Inovasi

3.4.2.1 Pengkajian National Institute Health Stroke Scale (NIHSS)

WHO (2008) mendefenisikan stroke sebagai gangguan saraf yang menetap baik

fokal maupun global (menyeluruh) yang disebabkan gangguan aliran darah diotak,

yang mengakibatkan kerusakan pembuluh darah di otak, yang berlagsung selama

24 jam atau lebih. Pemeriksaan neurologis dalam penanganan kegawatdaruratan,

termasuk kasus stroke iskemik, haruslah cepat, tepat dan menyeluruh. Hal ini

dapat dilakukan dengan menggunakan skala atau sistem skoring yang formal

seperti National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS). NIHSS tidak hanya

menilai derajat defisisit neurologis, tetapi juga memfasilitasi komunikasi antar

pasien dan tenaga medis, mengidentifikasi kemungkinan sumbatan pembuluh

darah, menentukan prognosis awal dan komplikasi serta menentukan intervensi

yag diperlukan. Skor NIHSS < 20 mengindikasikan stroke dalam tingkat ringan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

72

Universitas Indonesia

sampai sedang. Skor NIHSS ≥ 20 mengindikasikan stroke dalam tingkat yang

parah. (Adam, dkk., 2003).

Komponen NIHSS berdasarkan uji interrater reliability mendekati sempurna

(r²=0,98, p<0,001) dan NIHSS score juga menunjukkan baik (r²=0,94, p<0,001)

dan tidak menunjukkan adanya bias (Linda S., et al, 2000). Penilaian NIHSS

memiliki korelasi yang baik dengan dalam mengukur atau memprediksi tingkat

keparahan dari stroke. (Yaghi, S., et. All, 2016). NIHSS merupakan predictor

yang kuat untuk menilai disabilitas, dan prediksi untuk angka kematian setelah

perdarahan intracerebral, jika dibandingkan dengan Intracerebral Haemoragic

Score (ICHS) dan GCS. Sehingga diharapkan pengkajian NIHSS rutin dilakukan

dan didokumentasikan untuk melihat perkembangan pasien ICH (Kazaryan S., et

all, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Budiyono (2010) untuk melihat

hubungan derajat berat stroke non hemoragik dengan pecapaian Activity Daily

Living (ADL) menunjukkan subyek penelitian skor NIHSS sangat ringan

mempunyai peluang perbaikan ADL lebih baik dan berbeda bermakna dibanding

skor NIHSS sedang- berat.

3.4.2.2 Pengkajian Keperawatan Nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk mekanisme perlindungan ketika terjadinya

kerusakan jaringan yang pada hasil akhirnya menimbulkan stimulus nyeri

(Guyton & Hall, 2006). International Association for the Study of Pain dalam

Usman (2009) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensoris dan emosional

yang tidak menyenangkan dari kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial

dari seorang individu. Nyeri pada pasien tidak hanya disebabkan oleh penyakit

yang diderita maupun status penyakitnya, nyeri dapat pula disebabkan oleh

prosedur lain seperti suctioning maupun perubahan posisi (Rahu et al., 2015).

North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) mengklasifikan nyeri

sebagai diagnosa keperawatan aktual yang terbagi menjadi dua yakni nyeri akut

dan nyeri kronik yang dibatasi oleh kondisi klinis tertentu (NANDA, 2014). Pada

pelaksanaan pengkajian nyeri, perawat dituntut untuk mengetahui tiga (3) elemen

diantaranya: kualitas atau gambaran dari nyeri, kuantitas atau tingkat keparahan

nyeri, dan lokasi dari nyeri. Berhubungan dengan nyeri yang merupakan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

73

Universitas Indonesia

pengalaman subjektif dari seorang individu maka cara untuk mengetahui dan

memahami nyeri yang dialami oleh pasien adalah dengan menanyakan langsung

kepada pasien tentang nyeri yang dirasakannya (Woodward & Mestecky, 2011).

Rahu et al (2015) menyebutkan bahwa kemampuan dalam mengkaji dan

mendokumentasikan nyeri pasien berhubungan langsung dengan kemampuan

dalam mengelola nyeri itu sendiri. Sehingga memiliki tools yang valid serta

reliabel dalam mengkaji nyeri tidak hanya pada pasien yang mampu melaporkan

nyerinya namun juga pada pasien-pasien yang mengalami penurunan kesadaran,

terintubasi, maupun yang berada di bawah pengaruh sedasi merupakan hal yang

penting bagi tenaga kesehatan.

Saat ini terdapat berbagai macam tools atau format pengkajian nyeri yang telah

valid dan reliabel untuk digunakan seperti Visual Analog Scale (VAS) dan

Numerical Rating Scale (NRS) (Woodward & Mestecky, 2011). Self-report

merupakan indikator nyeri terbaik yang dapat didapatkan dalam tahap pengkajian,

namun nyeri lebih sulit dikaji pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi,

dibawah pengaruh sedasi, maupun terintubasi sehingga tidak mampu melaporkan

nyeri yang dirasakannya (Rahu et al., 2015).

Pengkajian nyeri terhadap pasien dengan penurunan kesadaran merupakan suatu

kegiatan yang kompleks dikarenakan ketidakmampuan pasien untuk

berkomunikasi (Woodward & Mestecky, 2011). Perawat seringkali berpatokan

pada indikator fisik dan penilaian intuisi dari perawat yang bersangkutan. Hal ini

akan berpengaruh pada tingkat validitas dari data yang dihasilkan pada

pengkajian. Maka dari itu, tools telah dikembangkan untuk memfasilitasi perawat

dalam mengkaji nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran diantaranya

Behavioural Pain Scale (BPS), Critical Care Pain Observation Tool (CCPOT),

dan Non-Verbal Pain Scale (NVPS) (Woodward & Mestecky, 2011). Schafheutle

et al (2004) dalam Woodward dan Mestecky (2011) menyebutkan bahwa perawat

seringkali menganggap ringan masalah nyeri pada pasien sehingga gagal dalam

mengkaji nyeri secara berkala dan menangani nyeri itu sendiri.

Pada penelitian yang membandingkan enam (6) format pengkajian nyeri

diantaranya Adult Non Verbal Pain Scale (ANVPS), BPS, COMFORT Scale,

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

74

Universitas Indonesia

Face, Legs, Activity, Cry, and Consolability (FLACC), Pain Assessment

Behavioural Scale (PABS) didapatkan hasil bahwa ANVPS memiliki nilai

validitas tertinggi dalam mengkaji pasien-pasien yang tidak mampu melaporkan

nyerinya dengan menggunakan NRS (r: 0,86, p<0,01). Pada penelitian tersebut

ANVPS dibandingkan dengan FLACC yang telah dimodifikasi untuk populasi

dewasa dan valid selama periode istirahat, perubahan posisi maupun saat

suctioning (Rahu et al., 2015).

NVPS merupakan hasil adaptasi dari FLACC sehingga dapat digunakan pada

populasi dewasa yang tersusun atas 3 (tiga) domain perilaku (face, movement,

guarding) dan 2 (dua) domain fisik (tanda vital serta pernapasan) (Odhner,

Wegman, Freeland, Steinmetz, & Ingersoll, 2003). NVPS sama dengan NRS

memiliki rentang dari 0-10, semakin tinggi nilai maka semakin tinggi intensitas

nyeri yang dirasakan pasien (Cade, 2008). Pada penelitian yang lain yang

membandingkan 5 buah format pengkajian nyeri pada pasien dengan penyakit

kritis diketahui bahwa NVPS mudah untuk diaplikasikan karena tidak

membutuhkan instruksi maupun alat bantu lain (Pudas-tahka, Axelin, Aantaa,

Lund, & Salantera, 2009).

3.4.2.3 Penggunaan format screening tools gangguan tidur (insomnia)

Insomnia adalah gangguan jumlah dan kualitas tidur yang mengganggu fungsi

tubuh (Black & Hawks, 2014). International Classification of Sleep Disorder

(ICSD) tahun 2001 mengelompokkan insomnia menjadi tiga (3) yaitu ringan,

sedang dan berat. Insomnia ringan menggambarkan suatu kondisi keluhan

gangguan jumlah tidur dan perasaan tidak nyaman saat bangun tidur yang dialami

seseorang yang tidak menimbulkan dampak atau bersifat minimal terhadap fungsi

kerja dan sosialnya. Insomnia sedang menimbulkan dampak yang bersifat ringan

sampai dengan sedang terhadap fungsi kerja dan sosial seseorang. Insomnia berat

menimbulkan dampak kerusakan berat terhadap fungsi kerja dan sosial

seseorang. Dampak yang muncul akibat insomnia meliputi gelisah, cemas,

kelelahan dan kelemahan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

75

Universitas Indonesia

ICSD (2001) mengelompokkan insomnia idiopatik dan insomnia psikofisiologis

ke dalam kategori disomnia dengan gangguan tidur intrinsik. Insomnia idiopatik

merupakan ketidakmampuan jangka panjang mendapatkan tidur adekuat yang

diakibatkan adanya kontrol neurologis abnormal sistem tidur bangun. Insomnia

psikofisiologis merupakan gangguan tidur yang berhubungan dengan tekanan

somatis dan upaya pencegahan tidur sehingga terjadi penurunan fungsi saat

terjaga.

International Classification of Sleep Disorder (2001) menyebutkan insomnia

psikofisiologis dapat dilatarbelakangi oleh dua penyebab yaitu tekanan somatis

(somatized tension) dan upaya pencegahan tidur (learned sleep-preventing

associations). Tekanan somatis berhubungan dengan kecemasan dan kegelisahan

yang dialami seseorang sehingga berdampak terhadap peningkatan kerja saraf

simpatis seperti peningkatan tekanan otot, vasokontriksi dan lain-lain. Sedangkan

learned sleep-preventing associationsberkaitan dengan respon terhadap kognitif

internal dan stimulus eksternal yang dapat mengganggu tidur seseorang. Dengan

kata lain, kondisi learned sleep-preventing associationsmemperberat tekanan

somatis yang dialami seseorang sehingga menyebabkan insomnia.

Berdasarkan waktunya, insomnia dapat bersifat akut dan kronik. Insomnia akut

terjadi bila gangguan tidur terjadi beberapa hari sampai minggu. Bila insomnia

terus berlanjut mencapai bulan maka dikatakan sebagai insomnia kronik.

International Classification of Sleep Disorder/ ICSD (2001) memberikan batas

waktu insomnia akut meliputi beberapa hari sampai empat minggu, insomnia sub

akut meliputi empat minggu sampai kurang dari enam bulan sedangkan insomnia

kronik bila melebihi enam bulan. Kozier and Erb’s (2008) menyebutkan bahwa

istilah insomnia kronik intermiten yang menggambarkan kondisi insomnia yang

terjadi beberapa malam kemudian diikuti tidur adekuat beberapa malam.

Chiu HY et al (2016) menyebutkan pengkajian insomnia bersifat muldidimensi

termasuk evaluasi klinis dan kuesioner self-report. Penggunaan kuesioner yang

sering digunakan antara lain indeks derajat insomnia (The Insomnia Severity

Index), indeks kualitas tidur Pittsburgh (the Pittsburgh Sleep Quality Index) dan

Skala Insomnia Atena (The Athens Insomnia Scale). Indeks derajat insomnia (ISI)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

76

Universitas Indonesia

merupakan instrumen yang yang dirancang untuk mengkaji tingkat atau derajat

insomnia. ISI terdiri dari 7 pertanyaan meliputi sifat, derajat dan dampak

insomnia. Pertanyaan ISI menggunakan skala Likert dengan rentang total skore 0-

28. Hasil jumlah skor merefleksikan derajat insomnia yaitu rentang 0-7

menandakan tidak ada insomnia, 8-14 menandakan insomnia ringan, 15-21

menandakan insomnia sedang dan rentang 22-28 menandakan insomnia

berat.Morin et al (2011) melakukan uji validitas ISI dengan melibatkan 959 orang

partisipan dan medapatkan hasil alpha cronbach 0,90 dan 0,91. Nilai sensitivitas

86,1% dan spesifisitas 87,7% sehingga ISI dinyatakan valid dan reliabel untuk

mendeteksi insomnia.

3.4.2.4 Penggunaan format screening tools gangguan komunikasi (Afasia)

Afasia adalah gangguan bahasa yang mempengaruhi produksi atau pemahaman

bicara dan kemampuan untuk membaca ataupun menulis. Umumnya afasia

terjadi karena adanya cedera otak yang disebabkan oleh stroke, tumor otak,

trauma kepala ataupun infeksi . Pada dasarnya hemisfer kiri pada lobus temporal

atau parietal merupakan pusat pengatur bahasa sehingga adanya kerusakan pada

lobus tersebut yaitu pada area broca, wernicke atau penghubung antara keduanya

menyebabkan terjadinya gangguan berbahasa (Thompson & McKeever, 2014).

Berbagai macam tes afasia dapat digunakan untuk pengkajian awal yang adekuat

untuk mendukung observasi klinis sehingga dapat membantu dalam proses

penegakkan diagnosa keperawatan. Terdapat dua instrumen untuk mendeteksi

afasia yaitu Frenchay Aphasia Screening Test (FAST) dan Uleevaal Screening

Test (UAS). Namun dalam penggunaanya, FAST lebih sering digunakan

dibandingkan dengan UAS. Instrumen FAST terdiri dari 18 item yang mengkaji

empat aspek bahasa yaitu pemahaman, ekspresi verbal, membaca dan menulis

dengan rentang skor 0-30. Pasien dikatakan afasia jika skor yang diperoleh < 27

dengan usia diatas 60 tahun atau < 25 dengan usia dibawah 60 tahun (El Hachioui

et al., 2016; Salter, Jutai, Foley, Hellings, & Teasell, 2006).

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

77

Universitas Indonesia

Berdasarkan systematic review Salter et al (2006), instrumen FAST baik

digunakan untuk mendeteksi afasia ditandai dengan beberapa kelebihan dan

kekurangan yaitu:

a. Kelebihan instrumen FAST

1. Instrumen FAST dapat digunakan dan dikembangkan oleh non spesialis

yaitu staf medikal junior, perawat dan terapis dalam mengidentifikasi

adanya gangguan bahasa

2. Tes menggunakan FAST sangat sederhana, metodenya cepat dan singkat

hanya memerlukan waktu 3-10 menit sehingga sangat tepat digunakan

pada pasien yang tidak bertoleransi dengan waktu pengkajian yang lama

3. Instrumen FAST dapat digunakan untuk mengkaji pasien dalam fase akut

dan pasca akut stroke

4. Instrumen FAST mengkaji aspek bahasa secara holistik yaitu

pemahaman,ekspresi verbal.membaca dan menulis

5. FAST menunjukkan sensivitas yang tertinggi 87% dan spesifitas 80%

dibandingkan dengan instrumen UAS. Validitas FAST terhadap

Functional Communication Profile (FCP) adalah baik dengan korelasi

koefisien 0,87 ( p<0,001) dan realibilitas dengan koefisien kendall’s

adalah 0,97.

b. Kekurangan instrumen FAST

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tes FAST menjadi bias yaitu

gangguan lapang pandang, gangguan visual, pasien bingung, dan pasien

kurang konsentrasi.

Beberapa instrumen lain dalam mendeteksi afasia yang juga digunakan di klinik

yaitu token Test (TT) dengan jumlah 21 soal yang memerlukan waktu 20-30

menituntuk mengisi seluruh instrumeen, Boston Diagnostic Aphasia Examination

(BDAE) dengan jumlah 27 soal dan memerlukan satu hingga tiga jam dalam

menyelesaikan pengisian instrumen, Minnesota Test for Differential Diagnosis Of

Aphasia (MTDDA) yang memerlukan 45 menit dalam mengisi instrumen. Rata-

rata tes ini memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 20 menit hingga 3 jam

sehingga tidak tepat untuk digunakan pada pasien yang tidak toleransi dengan

waktu yang lama (Browndyke, 2002)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

78

Universitas Indonesia

3.4.2.5 Penggunaan format screening tools gangguan mobilisasi (kekuatan

otot dan rentang gerak)

Mobilitas adalah kemampuan seseorang untuk bergerak bebas dan teratur untuk

memenuhi kebutuhan sehat menuju kemandirian sedangkan imobilisasi mengacu

pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak bebas (Potter & Perry, 2005).

Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, kesehatan, dan

memperlambat proses degeneratif (Mubarak dan Chayatin, 2007).

Terdapat dua jenis mobilisasi menurut Hidayat (2009), yaitu :

a. Mobilisasi sebagian (temporer)

Mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan

batasan jelas dan tidak mampu bergeras secara bebas karena dipengaruhi oleh

kerusakan syaraf motorik dan sensorik.

b. Mobilisasi penuh

Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara

penuh dan bebas.

Hidayat (2009) membagi pengkajian mobilitas sebagai berikut :

a. Kemampuan fungsi sensorik dan motorik

Kemampuan sensorik dan motorik anggota gerak kanan dan kiri.

b. Kemampuan Mobilitas

Pengkajian kemampuan mobilitas untuk menilai kemampuan otot untuk

bergerak miring ke kiri, ke kanan, duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa

bantuan.

3.4.2.6 Penggunaan format screening tools gangguan eliminasi (Inkontinensia

Urin)

Inkontinensia urin merupakan kondisi keluarnya urin yang tidak terkendali.

Inkontinensia urin ini dikelompokkan lagi menjadi empat (4) tipe (stress, urge,

overflow fungsional). Instrumen yang digunakan untuk mengetahui inkontinensia

urine yang disesuaikan dengan tanda gejala dari tipe inkontinensia urine. Instrumen

yang digunakan adalah The Three Incontinence Questions (3IQ). Alat ukur 3IQ

ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan pilihan jawaban dimana dari masing-

masing pilihan jawaban tersebut merupakan petunjuk dari gejala (symptom)

tipe Inkontinensia urin yang terjadi. 3IQ memiliki nilai sensitivitas 0,75 dan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

79

Universitas Indonesia

spesifisitas itu 0,60, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen tersebut efektif

untuk menilai gangguan inkontinensia urine pada wanita tanpa memiliki

gangguan neurologi (Brown et al, 2006).

Instrumen lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui inkontinensia urine

yang disebabkan neurogenic overbladder pada penderita multiple sklerosis

adalah Actionable bladder symptom screening tools (ABSST). Dengan nilai

vailiditas pada uji rank spearman ≥ 0,78. Adapun nilai realibilitas dengan uji alfa

cronbach ≥ 0,70, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen tersebut efektif

untuk menilai gangguan inkontinensia urine pada pasien multiple sklerosis (Burk

et al, 2003).

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

80

Universitas Indonesia

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Miastenia Gravis dengan

Pendekatan Model Adaptasi Roy

Dalam pendekatan Model Model Adaptasi Roy perawat berperan dalam

memberikan asuhan keperawatan dengan berfokus kepada kemampuan adaptasi

pasien. Selain itu perawat juga berupaya meningkatkan dan mempertahankan

mekanisme koping pasien untuk beradaptasi terhadap stimulus yang terjadi.

Pembahasan mengenai kasus kelolaan utama akan diuraikan menurut masing-

masing mode berdasarkan Model Adaptasi Roy sesuai dengan diagnosis

keperawatan yang muncul.

4.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis

4.1.1.1 Intoleransi Aktivitas

Berdasarkan data pengkajian perilaku, pasien menunjukan kelemahan

umum ditandai oleh ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas

rutin seperti makan, mobilisasi, maupun membaca. Diagnosa medis yang

ditegakan pada pasien adalah miastenia gravis dengan riwayat krisis

miastenik. Sebelumnya pasien telah didiagnosa MG pada tahun 1982 dan

menjalani timoma dan semenjak itu gejala MG pada pasien terkontrol

tanpa meminum asetilkolinerase. Berdasarkan hasil pengkajian diketahui

sejak 2014, keluhan MG kembali muncul terutama pada area mata dan

juga otot-otot yang berperan dalam bernapas.

Diagnosa intoleransi aktivitas menurut NANDA (2015) adalah tidak

terpenuhinya kebutuhan energi fisiologis atau psikologis pada individu

untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Ditegakannya diagnosa miastenia

gravis pada pasien mendukung kondisi kelemahan umum yang terjadi

akibat ketidakmampuan ACh untuk berpasangan dengan reseptor ACh

pada motor end plate. Hal ini menyebabkan otot tidak dapat berkontraksi

sehingga pasien merasakan dampak berupa kelemahan tergantung pada

lokasi ACh yang tidak dapat berpindah.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

81

Universitas Indonesia

Penetapan diagnosa intoleransi aktivitas diharapkan untuk merubah

perilaku pasien yang ditetapkan dalam tujuan asuhan keperawatan.

Perilaku yang diamati untuk menetapkan tujuan adalah kemampuan

pasien dalam beraktivitas. Kemampuan aktivitas pasien dikaji

berdasarkan perubahan tanda-tanda vital pasien selama beraktivitas serta

kelemahan otot yang terjadi. Tujuan utama ditegakannya diagnose

intoleransi aktivitas adalah meningkatkan partisipasi pasien dalam

beraktivitas yang ditandai dengan stabilnya tanda-tanda vital pasien

selama melakukan aktivitas.

Aktivitas pasien mengalami beberapa perubahan selama proses perawatan. Pada

awal masuk RS pasien mengalami sesak dengan kebutuhan menggunakan

ventilator untuk bantuan napas. Selain itu, sejak 3 bulan sebelum masuk RS

pasien cenderung merasa cepat lelah dan sesak muncul terutama ketika melakukan

aktivitas. Perubahan kemampuan aktivitas pasien terjadi pada hari rawat ke 11

ditunjukan dengan kemampuan pasien bernapas secara mandiri tanpa bantuan

ventilator. Selain itu, dilaporkan bahwa ptosis yang dialami pasien mulai

berkurang. Pada hari rawat ke 23 pasien menunjukan peningkatan aktivitas

ditandai dengan pasien mampu miring kiri dan miring kanan tanpa danya

peningkatan tanda-tanda vital pasien serta pasien mampu untuk menelan tanpa

tersedak.

Stimulus pada Pasien disebabkan oleh kondisi kelemahan otot akibat

ketidakmampuan otot untuk berkontraksi yang diperparah oleh kondisi infeksi

pada sistem pernapasan pasien. Hal tersebut dikarenakan kerusakan sistem saraf

perifer yang ditandai dengan pembentukan auto-antibodi. Auto-antibodi tersebut

menyerang reseptor ACh di daerah motor-end plate otot rangka sehingga

pengikatan asetilkolin dengan reseptornya tidak terjadi (E. Corwin, 2009).

Asetilkolin merupakan salah satu neurotransmitter pada tubuh manusia yang

pertama kali ditemukan. Neurotransmitter merupakan molekul yang bertanggung

jawab terhadap chemical signaling pada sistem persarafan (Woodward &

Mestecky, 2011).

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

82

Universitas Indonesia

Pada awal masuk RS Pasien berada pada kelas V yakni membutuhkan bantuan

napas dengan intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik (Hickey, 2014).

Sedangkan pada saat pengkajian dilakukan pasien berada pada kelas IVb yakni

terjadinya kelemahan sedang di area otot orofaringeal dan pernapasan, kelemahan

sedang pada area ekstremitas, dan penggunaaan feeding tube untuk intake nutrisi.

Pada kondisi miastenia gravis, kelemahan umum yang dirasakan oleh pasien

terutama dirasakan setelah melakukan aktivitas (Woodward & Mestecky, 2011).

Sehingga pasien akan bertambah merasakan kelemahan dengan aktivitas. Maka

dari itu dibutuhkan program terapi yang tepat bagi pasien untuk dapat

meningkatkan aktivitas tanpa memperburuk kondisi klinis pasien. Berdasarkan

kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik, terapi aktivitas yang dapat dilakukan

oleh Pasien yakni pengangkatan beban (weight shifting) tiap 2 jam. Latihan beban

diharapkan mampu meningkatkan toleransi pasien terhadap aktivitas terutama

pada otot-otot di area ekstremitas. Pengkajian terhadap tanda-tanda vital pasien

harus dilakukan sebelum dan sesudah latihan. Hal tersebut menjadi salah satu

indikator kemampuan pasien beradaptasi dengan latihan dan beban yang

diberikan.

Terapi farmakologi berupa asetilkolinerase dan kortikosteroid diberikan pada

pasien untuk meringankan gejala kelemahan otot pada pasien. Asetilkolinerase

(mestinon) meringankan gejala yang muncul dengan meningkatkan transmisi

neuromuskular akan tetapi tidak menyembuhkan masalah autoimun (Woodward

& Mestecky, 2011). Pemberian kortikosteroid diharapkan dapat menekan kerja

proses autoimun (Hickey, 2014).

Selain latihan fisik serta pemberian terapi farmakologi pada pasien, pola aktivitas

istirahat pasien perlu dikaji. Pada Pasien ditemukan masalah insomnia yang

ditandai dengan sulitnya pasine untuk tidur namun mudah terbangun. Pengaturan

jam tidur serta aromaterapi diberikan untuk memaksimalkan waktu istirahat

pasien. Setelah pemberian aromaterapi pasien merasakan lebih nyaman terutama

setelah pasien tidak menggunakan terapi oksigen maupun selang makan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

83

Universitas Indonesia

Berdasarkan data-data tesebut diketahui bahwa Pasien berada pada level adaptasi

compensatory. Hal tersebut bermakna bahwa Pasien mampu beradaptasi dengan

kondisi sakitnya dengan menunjukan perilaku yang efektif untuk berpartisipasi

dalam melakukan aktivitas.

4.1.1.2 Kerusakan integritas kulit

Kerusakan integritas kulit diangkat pada psaien ini menunjukkan perilaku pada

fungsi proteksi dimana pasien menunjukkan luka dekubitus akibata tirah baring

lama di area sakrum. Hal ini diakibatkan oleh faktor mekanik yang disebabkan

ketika pasien tirah baring lama tanpa disertai mobilisasi yang adekuat sehingga

peredaran darah di area sakrum tidak lancar disertai dan menimbulkan luka

dekubitus. Dalam diagnosis ini tujuan yang dilakukan adalah penyembuhan luka.

Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah perawatan luka dan kontrol

terhadap infeksi. Pada luka dekubitus Pasien pada hari ke 2 setelah dilakukan

perawatan luka, kondisi luka mongering dan tidak tampak slough maupun pus.

Selama masa perawatan luka pasien dilakuan perawatan dengan menggunakan

normal saline selama 4 hari kemudian diberikan dressing berupa hydrocolloid

untuk menjaga integritas kulit tidak hanya di area luka namun juga di daerah

sekitar luka. Pada dasarnya semua luka terdapat bakteri didalamnya tetapi ketika

sistem imun tidak dapat menjaga proliferasi bakteri maka penyembuhan luka tidak

terjadi. Tanda klinis luka mengalami infeksi adalah adanya nyeri atau nyeri yang

meningkat, peningkatan atau produksi berlebih serous exudat, kemerahan,

penyembuhan yang lambat dan dapat ditemukan demam (Wang et al., 2016). Pada

luka Pasien proses infeksi tidak terjadi dan kondisi luka baik.

4.1.1.3 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

Pada pasien Pasien masalah nutrisi berfokus pada tidak adekuatnya asupan

nutrisi. Kebutuhan nutrisi awal pasien sebesar 1820 kkal dengan protein 70 gram

yang disajikan dalam bentuk makanan blenderized 3x300ml, MC formula susu

formula dengan low lactose milk 3x300 ml, dan putih telur yang dicampur dalam

MC formula. Saat nasogastric tube dilepas pasien secraa bertahap makan dari

konsistensi yang lebih kental seperti bubur sumsum hingga bias makan nasi dan

minum tanpa adanya kejadian tersedak atau batuk. Pasien mampu menghabiskan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

84

Universitas Indonesia

½-1 porsi.

4.1.1.4 Risiko aspirasi

Perumusan diagnosa keperawatan ini dapat dikategorikan pada mode adaptasi

fisiologi perilaku oksigenasi (Roy dan Andres, 1999). Diagnosa aspirasi timbul

karena pentingnya mempertahankan jalan napas bagi pasien terutama dengan

ganggguan neurologi (Hickey, 2014). Black dan Hawks (2009) menjelaskan

bahwa diagnosis ini dapat dipertimbangkan muncul jika ada penyebab diantaranya

gangguan menelan, penekanan pusat batuk dan refleks muntah, serta penurunan

kesadaran. Roy (1999) menyebutkan diagnosa keperawatan dapat

menggambarkan adaptasi dan perilaku pada pasien.

Risiko aspirasi pada Pasien berhubungan dengan penurunan fungsi menelan

diakibatkan kelemahan otot orofaring yang berperan dalam proses makan. Tujuan

keperawatan yang ditegakan yakni tidak terjadinya kejadian aspirasi pada pasien.

Intervensi keperawatan yang dilakukan yakni tindakan-tindakan yang diharapkan

mampu merubah stimulus dan meningkatkan kemampuan adaptasi pasien.

Monitoring status pernapasan meliputi frekuensi pernapasan, kedalaman, dan

usaha napas merupakan tindakan yang dapat dilakukan. Selain dilihat

menggunakan pemeriksaan diagnostik seperti foto thoraks, aspirasi dapat

menimbulkan beberapa tanda seperti sesak, batuk, sianosis, wheezing, dan demam

atau tidak menunjukkan tanda dan gejala sama sekali (silent aspiration). Lebih

lanjut disebutkan bahwa aspirasi sebaiknya diketahui lebih cepat dengan harapan

outcome yang lebih baik bagi pasien. Pada pasien sadar dilakukan skrining atau

deteksi dini dari fungsi menelan pasien. Cek menelan penting dilakukan karena

klien dapat mengalami aspirasi walaupun dengan reflek muntah (Wieseke &

Siktberg, 2008).

Pada kasus Pasien hasil deteksi dini fungsi menelan pasien menunjukan hasil

positif yang manandakan bahwa pasien mengalami disfagia atau gangguan

menelan. Seperti yang tertera pada Nursing Intervention Classification (NIC),

penentuan jenis makan sesuai kemampuan makan pasien perlu dilakukan pada

pasien dengan gangguan menelan. Pengkajian kemampuan menelan pasien

dengan menggunakan FOIS menunjukan kemampuan makan per oral pada pasien

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

85

Universitas Indonesia

namun masih membutuhkan selang NGT untuk intake nutrisi dikarenakan pasien

sempat tersedak ketika minum dalam jumlah lebih dari 50cc. 2 hari setelah

dilakukan skrining, dilakukan lagi pengkajian ulang kemampuan makan pasien

dan hasilnya menunjukan pasien sudah layak untuk makan per oral dan diberikan

makan per oral. 2 hari setelahnya pasien sudah mampu makan per oral porsi

makan habis 1 porsi dan NGT dapat dilepas. Hal tersebut sejalan dengan

meningkatnya kekuatan otot pasien.

4.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri

Berkaitan dengan konsep diri pada pasien berhubungan dengan kondisi kesehatan

pasien yang kembali memburuk sejak 3 tahun yang lali. Pasien beranggapan

bahwa setelah menjalani tindakan timektomi pasien tidak akan mengalami lagi

tanda dan gejala miastenia gravis. Dikarenakan konsep inilah pasien

mengungkapkan kecemasannya terkait status kesehatannya saat ini dan masa

yang akan datang mengingat Pasien didiagnosa memiliki BPH dan juga memiliki

riwayat infeksi sistem pernapasan yang memberat kondisi kesehatannya.

4.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran

Masalah keperawatan yang dapat ditegakkan pada mode adaptasi fungsi peran

yakni ketidakefektifan performa peran. Diagnosa keperawatan ini dapat diangkat

dengan perilaku pasien yang menunjukan terhambatnya fungsi peran dalam hal

ini adalah peran Pasien sebagai seorang kepala keluarga, ayah, suami, serta

pencari nafkah di keluarganya. Pasien tidak mengalami gangguan pada fungsi

perannya ditandai dengan bisnisnya yang masih dapat berjalan, selain itu kedua

anaknya sudah dewasa dan dapat menggantikan posisi ayahnya dalam mencari

nafkah.

4.1.4 Mode Adaptasi Interdependensi

Fungsi interdependensi merupakan fungsi dimana adanya kenyamanan hubungan

dengan lingkungan sekitar. Fungsi ini dinilai dari interaksi seseorang dengan

orang lain dan lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada Pasiendiketahui

bahwa interaksi pasien dengan keluarganya berjalan lancar, selain itu interaksi

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

86

Universitas Indonesia

dengan sesame pasien di ruangan dan juga tenaga kesehatan yang bertugas di

ruangan tersebut terbilang baik.

4.2 Analisis Penerapan Model Adaptasi Roy pada Tiga Puluh Kasus Pasien

dengan Gangguan Neurologi

4.2.1 Mode Adaptasi Fisiologi

Selama menjalani proses residensi kasus stroke yang terdiri dari stroke iskemik

dan hemoragik merupakan kasus terbanyak. Berdasarkan usia rata-rata pasien

stroke yang berusia 57,1 tahun dengan usia minimal 32 tahun dan maksimal 78

tahun. Jenis kelamin pasien stroke yang paling banyak dirawat adalah laki-laki

dan pendidikan sebagian besar adalah SMA. Dari total semua pasien stroke 6 dari

13 pasien menunjukan usia di atas 60 tahun. Hal ini sesuai dengan kondisi yang

terjadi di Indonesia dimana pasien stroke banyak terjadi pada usia lansia.

Berdasarkan riwayat pasien masuk, semua pasien datang ke rumah sakit telah

melebihi golden time yakni 6 jam dari onset kejadian. Hal ini dapat dikaitkan

dengan kondisi pengetahuan pasien terkait tanda dan gejala stroke serta demografi

dari tempat tinggal pasien.

Berdasarkan pengalaman dalam merawat pasien stroke selama menjalani proses

residensi sebagian besar pasien mengalami gangguan pada fungsi oksigenasi hal

ini ditandai dengan pasien sebagian besar menunjukkan perilaku penurunan

kesadaran akibat sumbatan atau perdarahan dalam otak. Diagnosa yang muncul

pada mode ini adalah ketidakefektifan bersihan jalan napas, gangguan pola nafas,

resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, serta penurunan kapasitas adaptif

intrakranial. Pada pasien stroke iskemik ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

diakibatkan adanya penurunan aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan

hipoksemia area otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai dengan kematian

sel-sel otak dan unsur pendukungnya. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam

waktu singkat jika tidak ada usaha untuk mengembalikan perfusi jaringan

(reperfusi). Pada pasien yang melewati golden periode maka penatalaksanaan

berfokus pada mempertahankan area sekitar yang belum mengalami kematian

jaringan, area ini dikenal dengan istilah penumbra.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

87

Universitas Indonesia

Pada pasien dengan stroke hemoragik terjadi karena kerusakan sel akibat proses

hemolisis yang merembes ke massa otak. Penambahan masa ini mengakibatkan

adanya peningkatan tekanan intrakranial. Diagnosis yang muncul pada kondisi ini

adalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial (Rasyid.SpS &

Soertidewi.Sp.S(K).M.Epid, 2007). Intervensi untuk mempertahankan perfusi

jaringan serebral adalah dengan menejemen edema serebral. Intervensi ini

memungkinkan pasien mempertahankan perfusi ke jaringan serebral dengan cara

menghindari vaslsava maneuver atau dengan memposisikan pasien sesuai dengan

posisi neurologis pasien.

Fungsi kedua yang sering mengalami gangguan adalah nutrisi. Hal ini

berhubungan dengan kondisi gangguan menelan serta penurunan kesadaran pada

pasien. Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan koordinasi otot, kelemahan otot,

atau tonus otot orofaring yang berperan dalam proses menelan. Selain itu,

kelemahan otot orofaring dapat dihubungkan dengan gangguan fungsi hemisfer,

nuclear dari serabut saraf otak yang mempersarafi dan otot-otot pengunyah.

Disfagia biasanya membaik pada beberapa minggu. Pada pasien yang pernah

dikelola ditemukan beberapa pasien mengalami perbaikan fungsi menelan selama

dirawat dan sebagian besar tidak mampu menelan sampai pasien pulang.

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa ini adalah dengan pemasangan

nasogastric tube, manajemen nutrisi, serta pencegahan aspirasi.

Gangguan lain pada pasien stroke yang ditemukan adalah pada fungsi aktifitas

dan istrahat. Kelemahan ekstremitas merupakan perilaku yang paling banyak

muncul pada pasien stroke. Kelemahan terjadi akibat sumbatan pada pembuluh

darah otak yang menyebabkan kematian sel otak dan menyebabkan gangguan

motorik yang berada pada area motorik primer yaitu broadman. Diagnosa

keperawatan yang muncul adalah kerusakan mobilitas fisik. Diagnosa

keperawatan tersebut memiliki tujuan berupa mencegah adanya kentraktur dan

meningkatkan fungsi otot pada pasien.

Diagnosis lain yang muncul adalah adanya kerusakan integritas kulit yang

diakibatkan oleh luka tekan pada pasien yang tidak termobilisasi dengan baik.

Beberapa pasien memiliki penyakit penyerta berupa diabetes melitus sehingga

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

88

Universitas Indonesia

ketika dirawat pasien mengalami ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah.

Selain itu ditemukan gangguan komunikasi verbal pada beberapa pasien yang

menganggu dalam kegiatan sehari-hari. Gangguan tersebut dapat mengalami

perbaikan selama masa perawatan atau masih pasien rasakan setelah keluar dari

pusat layanan kesehatan.

Jumlah kasus infeksi pada sistem persarafan yang dirawat selama proses residensi

adalah 3 kasus. Rata-rata pasien berusia 41 tahun dengan usia terendah 29 tahun

dan tertua 61 tahun. Diagnosa medis yang ditegakan beraneka ragam diantaranya

meningitis, meningoensepalitis, dan abses serebri. Penyakit penyerta pada pasien

kasus infeksi beraneka macam seperti tuberculosis yang menyerang sistem

pernapasan maupun penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh seperti

Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Systemyc Lupus Erythematosus

(SLE). Hal tersebut sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa kondisi

penurunan sistem kekebalan tubuh merupakan penyebab utama pada kasus infeksi

sistem persarafan (Black & Hawks, 2014).

Masalah yang terjadi pada kasus infeksi pada sistem persarafan yaitu pada fungsi

adaptasi fisiologis neurologi, oksigenasi, serta proteksi dan perlindungan. Hal

tersebut didukung dengan diagnosis keperawatan yang muncul pada kasus yaitu

penurunan kapasitas adaptif intrakranial, risiko jatuh, dan nyeri. Pada satu orang

pasien ditemukan penyakit penyerta yaitu ketidakstabilan kadar glukosa dalam

darah. Gangguan neurologi yang terjadi pada pasien ditandai dengan riwayat

penurunan kesadaran pada pasien. Masuknya patogen ke dalam lapisan meningen

menimbulkan reaksi peradangan sehingga membentuk eksudat pada lapisan

meningen. Hal tersebut menyebabkan bertambah tebalnya lapisan meningen

pasien sehingga aliran cairan serebrospinal akan terganggu. Terganggunya

penyerapan cairan serebrospinal di area meningen oleh villi arachnoid dapat

menimbulkan hiprosepalus komunikan dan mengarah pada peningkatan tekanan

intra cranial pada pasien.

Selain dikarenakan kondisi hidrosepalus, peningkatan tekanan intra kranial dapat

terjadi dikarenakan inflamasi pada arteri yang menyuplai rongga subarachnoid

yang parah sehingga menyebabkan ruptur atau trimbosis pada arteri tersebut. Hal

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

89

Universitas Indonesia

tersebut dapat menyebabkan inflamasi pada otak dan menimbulkan kondisi edema

serebral dan tekanan intra kranial pun meningkat. Intervensi keperawatan pada

kasus infeksi yaitu berfokus pada manajemen edema serebral dan perfusi serebral

yang diharapkan dapat meningkatkan perfusi ke serebral dan mencegah

bertambahnya tekanan intra kranial pasien. Masalah lain yang muncul seperti

nyeri dan risiko jatuh merupakan perilaku dampak dari stimulus peningkatan

tekanan intra kranial yang terjadi pada pasien.

Kasus keganasan pada sistem persarafan yang dirawat selama praktik residensi

sebanyak lima kasus. Empat kasus merupakan Space Occupying Lession (SOL)

dan satu kasus lainnya adalah tumor medulla spinalis. Rata-rata pasien berusia 44

tahun dengan usia termuda 24 tahun dan usia tertua 58 tahun. Tiga dari lima

pasien berjenis kelamin laki-laki. Seluruh pasien melaporkan adanya perilaku

nyeri baik itu nyeri kepala maupun nyeri pada area tulang belakang pada kasus

tumor medulla spinalis.

Berbagai mekanisme yang dapat menimbulkan tanda gejala pada tumor otak

adalah adanya infiltrasi langsung pada jaringan otak yang menyebabkan lesi di

area otak dan menyebabkan edema serebral. Penambahan masa di kepala akibat

masa tumor serta edema serebral menyebabkan penekanan pada area otak yang

dapat menghambat aliran cairan serebrospinal. Sebagai mekanis dari peningkatan

tekanan intra kranial pasien akan merasakan nyeri yang hebat disertai dengan

penurunan neurologis yang simptomatik tergantung area terjadinya tumor. Gejala

awal yang dialami oleh pasien tumor otak sebagian besar menunjukkan

peritumoral edema yaitu tumor akibat pembengkakan white matter di area sekitar

massa tumor akibat terganggunya sawar darah otak. Edema serebri tersebut dapat

memperburuk fungsi neurologis, meningkatkan tekanan intrakranial,

menyebabkan hidrosefalus non komunikan yang dapat dilihat lewat gejala nyeri

kepala.

Penambahan massa pada otak akan mempengaruhi hukum Monro Kellie yang

menyebabkan terganggunya aliran darah di otak dan menyebabkan kondisi

iskemik serebri. Terdapat beberapa gejala unik pada kebanyakan populasi tumor

otak yaitu adanya gejala neurologis fokal, kejang dan nyeri kepala. Pada semua

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

90

Universitas Indonesia

pasien tumor otak nyeri kepala dilaporkan terjadi pada 33%-77% pasien dan

berhubungan dengan edema dan adanya penekanan pada jaringan otak (Lovely,

2014). Hal ini sesuai dengan gejala yang muncul pada dua dari lima pasien yang

mengalami nyeri kepala dan penurunan kesadaran. Pada mode fisiologis ini fungsi

neurologi yang paling banyak terganggu adalah fungsi neurologi dengan

penurunan kapasitas adaptif intrakranial akibat adanya penekanan pada otak.

Berdasarkan pengalaman selam praktik residensi keperawatan sebagian besar

pasien mendapatkan terapi kortikosteroid dengan tujuan untuk mengontrol adanya

kondisi edema serebral dan penekanan area otak akibat massa tumor.

Kortikosteroid bekerja dengan cara menembus membran sel sehingga akan

terbentuk suatu kompleks steroid-protein reseptor. Di dalam inti sel, kompleks

steroid-protein reseptor ini akan berikatan dengan kromatin DNA dan

menstimulasi transkripsi mRNA yang merupakan bagian dari proses sintesa

protein. Sebagai anti inflamasi, obat ini menekan migrasi neutrofil, mengurangi

produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator inflamasi), dan

menyebabkan dilatasi kapiler. Hal ini akan mengurangi respon tubuh terhadap

kondisi peradangan akibat penekanan massa otak.

Pada pasien dengan kasus keganasan beberapa gangguan fungsi fisiologis lain

yang terjadi adalah kerusakan mobilitas fisik akibat adanya penurunan kesadaran

pasien maupun ketidakseimbangan yang dirasakan pasien dikarenakan gejala

nyeri kepala. Salah satu pasien mengalami ketidakstabilan glukosa darah karena

riwayat diabetes melitus yang dimiliki pasien dan setelah masa perawatan, kadar

gula pasien dapat dikontrol tanpa pemberian insulin tambahan. Dua dari lima

pasien mengalami kerusakan integritas kulit akibat immobilisasi selama pasien

menjalani masa perawatan. Keruskaan integritas kulit pasien bertambah parah

dengan kondisi penurunan fungsi pengaturan suhu serta kondisi sepsis pada pasien

yang membuat kulit pasien semakin lembab. Adanya kondisi penurunan

kesadaran membuat asupan nutrisi pasien berkurang disertai serta luka terbuka

membuat kadar albumin pasien semakin berkurang dan kondisi penyembuhan

luka pada pasien semakin terhambat.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

91

Universitas Indonesia

Selama masa praktik residensi terdapat total lima pasien dengan gangguan saraf

tepi yang dirawat. Satu diantaranya merupakan kasus Chronic Inflammatory

Demyelinating Process (CIDP) yang merupakan kondisi kronik dari GBS. Lima

lainnya adalah kasus miastenia gravis baik disertai krisis miastenik atau kolinergik

maupun tidak disertasi kondisi krisis sebelumnya. Rata –rata usia pasien adalah 38

tahun dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 60 tahun. Tiga dari lima

pasien berjenis kelamin laki-laki.

Perilaku kurang adaptif yang muncul pada pasien biasanya pada fungsi fisiologis

yaitu gangguan mobilisasi dan sesak napas pada fungsi oksigenasi. Pada kasus

CIDP terjadi degenerasi pada selabung mielin saraf tepi. Sedangkan pada kasus

miastenia gravis hambatan mobilisasi dikarenakan kerusakan pada area

neuromuscular junction yang menyebabkan terhambatkanya kontraksi otot.

Seluruh pasien menjalani masa rawat kurang lebih selama 3-4 minggu. Hal ini

sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa 90% kasus kelemahan berkurang

pada 4 minggu.

CIDP merupakan kondisi kronik dari GBS yang juga merupakan penyakit

autoimun meskipun penyebabnya masih belum jelas, campylobacter jejuni

merupakan organisme yang paling sering terlibat. C. jejuni mentargetkan

selubung mielin dimana makrofag menembus lamina basal di sekitar akson,

menggantikan sel schawann dari selubung mielin dan memfagosit lamella myelin.

Sedangkan miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang menyerang

resptor asetilkolin di area tautan neuromuskular. Hal tersebut menyebabkan

asetilkolin yang merupakan salah satu neurotransmitter dalam tubuh tidak dapat

berpindah dan kontraksi otot tidak dapat terjadi. Sejalan dengan pernyataan

tersebut, kondisi pasien mengalami kelemahan dan semua pasien miastenia gravis

awalnya mengalami, pandangan ganda, kelopak mata turun, lalu sesak yang

bertambah berat dengan aktivitas.

Seluruh pasien menjalani plasmaferesis atau proses penggantian plasma. Hal ini

dilakukan untuk menghilangkan antibodi yang bersirkulasi atau mielinotoksi lain

atau faktor imunopatogenik. Fokus perawatan pada kedua pasien adalah

pencegahan komplikasi akibat kelemahan seperti pencegahan aspirasi,

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

92

Universitas Indonesia

pencegahan jatuh, pencegahan luka dekubitus, serta pneumonia akibat tirah baring

lama. Selain itu, perawat juga berfokus pada persiapan pulang pasien agar dapat

beradaptasi dengan kondisi sakitnya. Pasien miastenia gravis seringkali pulang

masih dengan konsumsi asetilkolinerase dan juga kortikosteroid. Selain tata cara

minum obat, pasien juga dituntut mampu untuk mengenali tanda dan gejala

penyakit sehingga pasien mampu mengidentifikasi saat pasien membutuhkan

pelayanan kesehatan.

Pasien dengan kasus trauma maupun post pembedahan berjumlah 4 dari total 30

kasus neurologi yang dirawat selama praktik residensi. Rerata usia pasien yang

mengalami cedera kepala adalah 34 tahun dengan usis termuda 21 tahun dan

tertua 51 tahun. Hickey (2014) menyebutkan bahwa kecelakaan kendaraan

bermotor merupakan penyebab utama dari kejadian cedera kepala. Lebih lanjut

disebutkan bahwa kejadian cedera kepala banyak ditemukan pada pria usia 30

tahun ke bawah dengan faktor penggunaan alkohol yang merupakan faktor risiko

terjadinya cedera kepala. Sejalan dengan hal tersebut semua pasien berjenis

kelamin laki-laki dan tiga diantaranya mengalami cedera kepala dikarenakan

kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan bermotor. Sedangkan satu kasus

disebabkan kecelakaan pada tempat kerja (ledakan APAR: Alat Pemadam Api

Ringan).

Pada kasus cedera kepala, fungsi adaptasi fisiologi yang seringkali mengalami

gangguan adalah fungsi oksigenasi serta fungsi neurologi. Diagnosis yang muncul

adalah jalan nafas tidak efektif dan penurunan kasitas adaptif intrakranial. Jalan

nafas tidak efektif disebabkan oleh stimulus penurunan kesadaran pada pasien dan

terjadi pada fase akut. Pada penurunan kapasitas adaptif intrakranial diakibatkan

karena adanya stimulus perdarahan atau edema pada serebral yang menambah

masa pada otak. Diagnosis lain pada fungsi ini adalah penurunan perfusi jaringan

serebral karena kerusakan pembuluh darah di dalam otak menurunkan aliran darah

pada otak.

Kerusakan otak dimulai dari kondisi iskemik pada otak setelah cedera kepala

berat. Gangguan aliran darah otak selama 48 jam atau lebih setelah trauma dapat

mencapai 18 ml/100g/menit (Mc.Lernon, 2011). Jaringan otak merupakan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

93

Universitas Indonesia

jaringan yang hipersensitif terhadap penurunan aliran darah ke otak. Otak

membutuhkan jumlah oksigen dan glukosa yang cukup banyak dalam

mempertahankan kondisi hemostatis. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang

menyebutkan bahwa pasien dengan cedera kepala membutuhkan nutrisi yang

lebih untuk mempertahankan hemostatisnya (West et al., 2011). Selain aliran

darah otak yang terhambat, kondisi edema serebri dapat terjadi akibat peningkatan

volume di dalam kepala. Peningkatan volume dalam kepala dapat terjadi secara

lokal atau global sebagai dampak dari peningkatan tekanan intrakranial (TIK)

yang dapat menimbulkan sindrom herniasi. Peningkatan TIK dapat memicu

disorientasi neurologis dan koma, dan menghasilkan outcome yang buruk

(McLernon, 2011b). Penyebab secara umum adalah peningkatan volume darah

dalam otak (kongestif) atau peningkatan cairan dalam otak (edema).

Gangguan lain yang muncul pada pasien adalah fungsi aktifitas dimana terjadi

gangguan mobilitas fisik akibat fraktur, fungsi proteksi dengan diagnosis

kerusakan integritas kulit akibat adanya luka pasca trauma. Pada fungsi neurologis

dengan penurunan kesadaran. Pada pasien yang dikelola 2 pasien menunjukan

perilaku maladaptif dan meninggal. Kedua pasien merupakan korban kecelakaan

lalu lintas melibatkan kendaraan bermotor. Kurang lebih pada hari rawat ke 5-7

keluarga pasien memutuskan untuk menetapkan status Do Not Rescutitation

(DNR) dan akhirnya meninggal dunia di Instalasi Gawat Darurat. Kedua pasien

menunjukan prognosis penyakit yang buruk dan memiliki gambaran herniasi

jaringan otak. Dua orang pasien pulang dengan kesadaran kompos mentis. Satu

diantaranya masih mobilisasi terbatas di tempat tidur sedang kan satu pasien

lainnya dapat mobilisasi aktif dengan menggunakan alat bantu berjalan.

4.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri

Diagnosa keperawatan pada mode ini dirumuskan oleh Ackley dan Ladwig

(2011) dan sesuai dengan NANDA adalah gangguan gambaran diri, berduka

antisipatori (disfungsional) serta cemas. Sedangkan yang dirumuskan oleh Roy

dan Andrews (2009) serta disepakati NANDA adalah gangguan harga diri dan

distress spiritual. Pada mode ini penulis tidak menemukan diagnosa keperawatan

tersebut pada kasus yang dikelola. Faktor usia serta perbedaan kondisi fisik

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

94

Universitas Indonesia

sebelum dan setelah sakit dapat mempengaruhi fungsi konsep diri ini karena

sebagian besar berusia pada usia produktif sehingga masalah fisik maupun

kognitif pada pasien akan berdampak pada konsep diri pasien.

4.2.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran

Roy dan Andrews (2009) merumuskan empat diagnosa keperawatan yang

disesuaikan dengan NANDA yaitu ketegangan peran pengasuh, ketidak efektifan

managemen kesehatan individu, perubahan penampilan peran, serta ketidak

efektifan managemen keluarga. Pada fungsi peran sebagian besar pasien yang

mengalami gangguan neurologis akan menganggu peran pasien. Sebagian besar

pasien berjenis kelamin laki-laki yang berada pada usia produktif dan berperan

pasien sebagai kepala keluarga. Sebagian besar pasien yang pulang dari rumah

sakit membawa gejala sisa baik kelemahan atau kesadaran yang belum utuh

sepenuhnya. Hal ini membuat pasien tidak dapat langsung menjalankan perannya

dengan baik ketika pasien pulang. Namun sebagian kasus, peran pasien sebagai

pencari nafkah dalam keluarga dapat digantikan oleh anggota keluarga yang lain

sehingga dampat dari perubahan peran yang terjadi tidak signifikan.

4.2.4 Mode Adaptasi Interdependensi

Kerusakan interaksi sosial, koping individu tidak efektif, perubahan proses

dalam keluarga dan kerusakan pemeliharaan rumah merupakan diagnosa

keperawatan yang dapat terjadi pada mode adaptasi interdependensi (Roy &

Andrews, 2009; Ackley & Ladwig, 2011). Pada 30 kasus tidak ditemukan

masalah keperawatan pada mode adaptasi interdependensi. mode ini penulis

tidak menemukan diagnosa keperawatan terkait.

4.3 Analisis Pencapaian Evidence Based Nursing (EBN): Penerapan The

Functional Oral Intake Scale (FOIS) pada Pasien dengan Gangguan

Neurologis

Pelaksanaan program EBN yaitu selama 5 hari. Pemilihan pasien dilakukan

dengan melakukan screening disfagia menggunakan Massey Bedside Swallowing

Screen, setelah pasien dinyatakan positif disfagia maka akan dilakukan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

95

Universitas Indonesia

perhitungan level kemampuan makan dengan menggunakan FOIS. Dua hari

kemudian pasien akan dilakukan evaluasi kemampuan makannya dengan

menggunakan format yang sama.

Berdasarkan hasil penerapan EBN terhitung tanggal 28 April hingga 01 Mei 2017

didapatkan 9 responden yang dilakukan evaluasi kemampuan makan

menggunakan The Functional Oral Intake Scale (FOIS). Karakteristik pada pasien

berdasarkan jenis kelamin yaitu sebanyak 6 pasien (66,7%). Berdasarkan

distribusi usia yaitu sebanyak 7 pasien (77,78%) berusia di bawah 60 tahun.

Sebagian besar pasien ditegakan diagnosa medis sebanyak 4 pasien (44,44%).

Sensitifitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran positif

pada orang yang benar-benar sakit. Berdasarkan hasil perhitungan nilai sensitifitas

dari fromat evaluasi FOIS ini yaitu sebesar 77%. Spesifisitas yaitu kemampuan

suatu tes untuk memberikan gambaran negatif bila subjek yang dilakukan.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai spesifisitas yang didapatkan yaitu sebesar

66,67%.

Kekurangan yang dimiliki FOIS yakni kurangnya penjelasan didalamnya sehingga

dibutuhkan penjelasan pada beberapa item untuk memperjelas makna dari setiap

level. Hal itu mengarah pada pentingnya sosialisasi sebelum penerapan format

evaluasi tersebut di ruangan. Sedangkan kelebihan yang dimiliki FOIS yakni

belum adanya format monitoring kemampuan makan di ruangan neurologi

sehingga format tersebut dapat digunakan sebagai alternatif media dokumentasi

asuhan keperawatan khususnya untuk mengevaluasi kemampuan makan pasien

selama proses feeding management.

4.4 Analisis Proyek Inovasi: Penerapan Format Pengkajian

Keperawatan Tambahan pada Pasien dengan Gangguan

Neurologi

Pasien stroke yang dirawat di Ruang Neurologi zona A lt 5 RSCM sejak tanggal

28 April-3 Mei 2017 sebanyak 8 orang pasien. Adapun karakteristik pasien

berdasarkan jenis kelamin diketahui 3 orang pasien (37,5%) yang berjenis

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

96

Universitas Indonesia

kelamin laki-laki dan 5 orang pasien (62,5%) yang berjenis kelamin perempuan.

Rerata usia pasien stroke di ruang neurologi yaitu 58,8 tahun dengan usia minium

27 tahun dan usia maksimum 74 tahun. Pasien yang terdiagnosa stroke iskemik

sebanyak 6 orang pasien (75%) dan hanya 2 orang pasien (25%) yang terdiagnosa

stroke hemoragik.

Skrining yang dilakukan pada pasien stroke meliputi skrining NIHSS, skrining

BBS, skrining 3 IQ dan skrining FAST. Dari hasil skrining NIHSS diketahui

bahwa pasien yang mengalami defisit neurologis berat sebanyak 6 orang pasien

(75%) dan yang mengalami defisit neurologis sedang serta defisit neurologis

ringan masing-masing 1 orang pasien (12,5%). Sedangkan hasil skrining BBS

menggambarkan bahwa pasien stroke yang membutuhkan kursi roda untuk

mobilisasi sebanyak 4 orang pasien (50%) sedangkan mobilisasi dengan bantuan

untuk berjalan dan mobilisasi mandiri masing-masing 2 orang pasien (25%).

Sementara dari hasil skrining 3IQ diketahui pasien stroke yang mengalami

inkontinensi sebanyak 3 orang pasien yang terdiri dari 2 orang pasien (25%) yang

mengalami inkontinensia urgensi dan 1 orang pasien (12,5%) yang mengalami

inkontinensi fungsional sedangkan yang tidak mengalami inkontinensia sebanyak

5 orang pasien (65,5%). Selain itu hasil skrining FAST untuk pasien stroke

menunjukkan bahwa dari 8 orang pasien stroke hanya 3 orang pasien stroke

(37,5%) yang mengalami afasia dan 5 orang pasien (62,5%) yang tidak

mengalami afasia.

Pelaksanaan skrining insomnia severity index melibatkan 19 orang pasien

neurologi yang terdiri dari 10 orang (52,6%) perempuan dan 9 orang (47,4%) laki-

laki. Usia pasien berada dalam rentang 25 tahun sampai dengan 68 tahun. Kasus

neurologi diantara 19 orang pasien meliputi stroke iskemik (4 orang), stroke

hemoragik (2 orang), miastenia gravis (3 orang), SOL (7 orang), fraktur spinal (1

orang), tumor spinal (1 orang) dan epidural hematom ( 1 orang).

Deskripsi data responden terdiri dari gambaran jenis kelamin, usia, diagnosa

media, penyebab pasien non-communicable, serta kategori nyeri pasien

berdasarkan Adult Non Verbal Pain Scale (ANVPS). Hasil analisis data pasien

yang terlibat dalam pelaksanaan pengkajian nyeri menggunakan ANVPS yang

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

97

Universitas Indonesia

melibatkan 11 pasien dengan gangguan neurologi yang tidak dapat dilakukan

pengkajian nyeri menggunakan Visual Analog Scale (VAS) menunjukan bahwa

sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 7 pasien (63,6%)

sedangkan pasien berjenis kelamin perempuan berjumlah 4 orang (36,4%). Usia

pasien berada dalam rentang 18 hingga 77 tahun yang sebagian besar berusia

kurang dari 60 tahun yakni sebanyak 6 orang (54,54%). Diagnosa medis

terbanyak yang ditegakan pada pasien yaitu stroke ischaemic sebanyak 4

responden (36,4%).

Penerapan ANVPS dilakukan pada pasien non-communicable atau tidak mampu

berkomunikasi baik disebabkan oleh penurunan kesadaran, gangguan komunikasi

seperti afasia, maupun terintubasi. Pada saat penerepan format pengakajian

ANVPS 5 pasien (45,5) tidak mampu berkomunikasi diakibatkan oleh penurunan

kesadaran sehingga tidak mampu melaporkan secara subjektif skala nyeri yang

dirasakannya.

Hasil pengkajian diketahui bahwa 8 pasien (72,7%) tidak merasakan nyeri dan 3

pasien (27,3%) terlaporkan mengalami nyeri dengan skala nyeri sedang. Selama

proses pelaksanaan tidak ditemukan hambatan dalam mengaplikasikan format

pengkajian dan bila dibandingkan dengan format pengkajian nyeri FLACC,

berdasarkan uji statistik dengan menggunakan independent t test diketahui bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan format ANVPS dan

FLACC (p value: 0,021).

Kegiatan inovasi mahasiswa residensi terkait screening tools pada pasien yang

mengalami gangguan neurologi di ruang perawatan neurologi zona A lt.5 RSCM

memiliki kelebihan dan kekurangan baik dari isi skrining maupun saat

pelaksaannya. Adapun kelebihan dan kelemahan dari tiap screening tools adalah:

1. Kelebihan proyek inovasi

a. Mendapatkan kemudahan dalam mengkaji insomnia dengan menggunakan

skrining insomnia severity index karena format yang sederhana dan terdiri dari

7 pertanyaan tertutup secara singkat.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

98

Universitas Indonesia

b. Format pengkajian AVNPS merupakan format pengkajian FLACC yang sudah

dimodifikasi untuk dapat diterapkan pada populasi dewasa sehingga dapat

lebih mudah untuk diterapkan di ruang rawat inap neurologi zona A RSCM

c. Format pengkajian 3IQ memiliki jumlah pertanyaan terdiri dari 6 pertanyaan,

sehingga mudah diaplikasikan untuk mengetahui kejadian inkontinensia urin,

mampu mendeteksi jenis-jenis inkontinensia urin dan pertanyaan yang disusun

sangat jelas, sehingga semua perawat mampu menggunakan skrining tersebut.

d. Format BBS mampu menentukan kemampuan berjalan pasien yang disertai

dengan petunjuk yang jelas dalam menilai skor pada masing-masing item

pengkajian

e. Skrining FAST sangat sederhana, metodenya cepat dan singkat hanya

memerlukan waktu 3-10 menit sehingga sangat tepat digunakan pada pasien

yang tidak bertoleransi dengan waktu pengkajian yang lama

f. Skrining NIHSS telah dimasukkan dalam guideline stroke dan

direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

(PERDOSSI), dan sudah dimasukkan dalam pengkajian awal pasien stroke di

IGD RSCM.

2. Kelemahan proyek inovasi

a. Skrining insomnia severity index merupakan kuesioner subjektif sehingga

perlu dilengkapi dengan teknik pengkajian tambahan misalnya observasi

sebagai bentuk validasi.

b. Kekurangan yang terdapat pada format pengkajian ANVPS yang diterapkan

pada program inovasi yaitu terdapatnya 3 kategori pengkajian baru sehingga

diperlukan sosialisasi cara pengisian format serta kategori vital yang

membutuhkan kemampuan kritis penilai dalam menentukan nilai baseline

pasien sebagai data dasar pengkajian.

c. Skrining 3IQ bersifat subjektif sehingga hasil pengkajian memiliki

subjektifitas pasien yang tinggi sehingga perlu pengkajian tambahan. Selain

itu skrining ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami afasia

sensorik

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

99

Universitas Indonesia

d. Dalam pelaksanaan skrining NIHSS, ditemukan kendala .karena pasien

sudah menjalani hari perawatan di IGD atau boarderrest, sehingga tidak bisa

lagi dilakukan di ruangan perawatan neurologi.

e. Skrining BBS memerlukan kemampuan keterampilan khusus perawat dan

waktu yang cukup lama dalam pengkajian.

f. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil skrining FAST menjadi bias

yaitu jika pasien mengalami kurang konsentrasi, bingung atau memiliki

gangguan penglihatan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

100

Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

Pada bab ini disampaikan simpulan dan saran yang disusun berdasarkan

uraian pada bab 1 sampai 4 sebagai berikut :

5.1. Simpulan

5.1.1. Hasil akhir dari asuhan keperawatan pada kasus kelolaan dan 30

kasus resume secara umum didapatkan diagnosa keperawatan yang sering

muncul itu pada mode fisiologis oksigenasi, neurologi, serta proteksi

perlindungan yaitu risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral,

kerusakan mobilitas fisik, risiko jatuh. Intervensi keperawatan dilakukan

yaitu manajemen edema serebral, pencegahan jatuh, ambulasi, pemenuhan

kebutuhan pasien.

5.1.2. Penerapan EBN format evaluasi FOIS yang dilakukan pada 9 pasien

dengan disfagia selama 5 hari menunjukkan bahwa format FOIS sensitive

dalam mendeteksi kemampuan menelan pasien dan mencegah terjadinya

aspirasi

5.1.3. Program inovasi yang dilakukan merupakan penerapan format pengkajian

tambahan yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam menegakkan

diagnosa keperawatan.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Pelayanan Keperawatan

1. Model Adaptasi Roy dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam

menerapakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem

neurologi. Aplikasi dari teori model ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan

pasien dan ketersedian sumberdaya penunjang di ruangan.

2. Penerapan FOIS dapat digunakan di instansi pelayanan kesehatan sebagai

evaluasi kemampuan makan pasien.

3. Penggunaan format pengkajian tambahan yang disusun dapat terus digunakan

di ruang rawat neurologi RSCM untuk memudahkan perawat dalam

menentukan diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

101

Universitas Indonesia

5.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

1. Menjadikan hasil dari praktik residensi sebagai hasil otentik mengenai

keefektifan penggunaan Model Adaptasi Roy dalam area layanan asuhan

keperawatan. Selanjutnya dapat dijadikan materi untuk penerapan asuhan

keperawatan tidak hanya pada praktik residensi namun juga dikenalkan dalam

praktik program profesi ners.

2. Meningkatkan kemampuan berfikir kritis perawat terhadap kegiatan

keperawatan yang berdasarkan evidence based nursing, sehingga dapat

dilakukan pengembangan serta pembuktian ilmiah terhadap asuhan

keperawatan pasien serta meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan

oleh tenaga perawat.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Berkel, M. A. Van, Twilla, J. D., & England, B. S. (2016). emergency department

management of myasthenia gravis patient with community-acquired

pneumonia: does initial antibiotic choice lead to cure or crisis? Journal of

Emergency Medicine, 50(2), 281–285.

http://doi.org/10.1016/j.jemermed.2015.04.019

Berrih-aknin, S., & Panse, R. le. (2014). Myasthenia gravis : A comprehensive

review of immune dysregulation and etiological mechanisms. Journal of

Autoimmunity, 52, 90–100. http://doi.org/10.1016/j.jaut.2013.12.011

Black, J. ., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen

Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. (A. Suslia & P. P. Lestari, Eds.) (8th

ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Browndyke, J. N. (2002). Aphasia Assessment, 1–3.

http://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199772391.013.3

Bulechek, Gloria, & M. (2013). Nursing Interventions Classification (fifth).

Missouri: mosby elsevier.

Bykov, Y., & Smolin., A. (2015). neuromuscular disorders clinical features and

quality of life in patients with myasthenia gravis. Journal of the Neurological

Sciences, 357. http://doi.org/doi:10.1016/j.jns.2015.08.1180

Cade, C. H. (2008). Clinical tools for the assessment of pain in sedated critically

ill adults. Nursing in Critical Care, 13(6), 288–298.

Cantor, F. (2010). Central and Peripheral Fatigue: Exemplified by Multiple

Sclerosis and Myasthenia Gravis. The American Academy of Physical

Medicine and Rehabilitation, 2(5), 399–405.

http://doi.org/10.1016/j.pmrj.2010.04.012

Cereda, E., Beltramolli, D., Pedrolli, C., & Costa, A. (2009). Refractory

myasthenia gravis , dysphagia and malnutrition : A case report to suggest

disease-specific nutritional issues. Nutrition, 25(10), 1067–1072.

http://doi.org/10.1016/j.nut.2008.12.016

Corwin, elizabeth J. (2008). handbook of pathophysiology (third edit).

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. (E. K. Yudha, E. Wahyuningsih, D.

Yulianti, & P. E. Karyuni, Eds.) (3rd ed.). Jakarta: EGC.

Costa, C. P. V. da, Luz, maria H. B. A., Bezerra, A. K. F., & Rocha, S. S. da.

(2016). APPLICATION OF THE NURSING THEORY OF CALLISTA

ROY TO THE PATIENT WITH CEREBRAL VASCULAR ACCIDENT.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Universitas Indonesia

Journal of Nursing UFPE On Line, 10, 352–361.

http://doi.org/10.5205/reuol.7901-80479-1-SP.1001sup201622

Crary, M. A., Mann, G. D. C., & Groher, M. E. (2005). Initial Psychometric

Assessment of a Functional Oral Intake Scale for Dysphagia in Stroke

Patients. Arch Phys Med Rehabii, 86(August), 1516–1520.

http://doi.org/10.1016/j.apmr.2004.11.049

Criddle, L. M., Everley, D., Franges, E., Johnson, F. ., Murphy, D., Starkweather,

A., & Zrelak, P. . (2008). Neurologic Care. United State of America:

Lippincott Williams & Wilkins.

Dalakas, M. C. (2013). Novel future therapeutic options in Myasthenia Gravis.

Autoimmunity Reviews, 12(9), 936–941.

http://doi.org/10.1016/j.autrev.2013.03.006

Dyar, K. L. (2013). Therapeutic plasma exchange in a patient with myasthenia

gravis. Nephrology Nursing Journal, 40(6), 545–548.

El Hachioui, H., Visch-Brink, E. G., de Lau, L. M. L., van de Sandt-Koenderman,

M. W. M. E., Nouwens, F., Koudstaal, P. J., & Dippel, D. W. J. (2016).

Screening tests for aphasia in patients with stroke: a systematic review.

Journal of Neurology, 264(2), 211–220. http://doi.org/10.1007/s00415-016-

8170-8

Gilhus, N. E., & Verschuuren, J. J. (2015). Myasthenia gravis : subgroup

classification and therapeutic strategies. The Lancet Neurology, 14(10),

1023–1036. http://doi.org/10.1016/S1474-4422(15)00145-3

Global Burden Disease: Indonesia. (2010). Seattle: Institute for Health Metrics

and Evaluation.

Godoy, D. A., Mello, L. J. V. de, Masotti, L., & Napoli, M. Di. (2013). The

myasthenic patient in crisis : an update of the management in Neurointensive

Care Unit, (April), 627–639. http://doi.org/10.1590/0004-282X20130108

Hammoumi, M. El, Arsalane, A., Fayc¸al El Oueriachi, & Kabiri, E. H. (2013).

Surgery of Myasthenia Gravis Associated or Not With Thymoma : A

Retrospective Study of 43 Cases, 1–4.

http://doi.org/10.1016/j.hlc.2013.02.010

Harpreet, K., Singh, S. S., Jeyaraj, D., & Kaur, S. P. (2014). Prevalence of Post

Stroke Shoulder Subluxation and Pain. Indian Journal of Physiotherapy &

Occupational Therapy, 8(1), 5–8. http://doi.org/10.5958/j.0973-5674.8.1.002

Herdman, T. . (2014). Nursing Diagnoses Definitions and Classification. (Wiley-

Blackwell, Ed.). Iowa.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Universitas Indonesia

Hickey, joanne V. (2014). The clinical Practice of neurological and

neurosurgical nursing (seventh ed). Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins.

Holtom, D., Thornton, N., Doerksen, K., Stoyles, H., & Kelloway, L. (2008). The

Canadian Association of Neuroscience Nurses Standar of Practice (3rd ed.).

Canada: Canadian Association of Neuroscience Nurses.

Hutcheon, L. (2006). A theory of adaptation. New York: Taylor & Francis Group

LLC.

Jakubíková, M., Ha, jin pit, Mare, H., Týblová, M., Nováková, I., & Schutzner, J.

(2015). Two-year outcome of thymectomy with or without

immunosuppressive treatment in nonthymomatous myasthenia gravis and its

effect on regulatory T cells. Journal of the Neurological Sciences, 358, 101–

106. http://doi.org/10.1016/j.jns.2015.08.029

Joensen, P. (2014). Myasthenia gravis incidence in a general North Atlantic

isolated population. Acta Neurologica Scandinavica, 130, 222–228.

http://doi.org/10.1111/ane.12270

Khadilkar, S. V, Chaudhari, C. R., Patil, T. R., Desai, N. D., Jagiasi, K. A., &

Bhutada, A. G. (2014). Once myasthenic , always myasthenic ? Observations

on the behavior and prognosis of myasthenia gravis in a cohort of 100

patients. Neurology India, 62(5), 492–497. http://doi.org/10.4103/0028-

3886.144438

Kitamura, E., Takiyama, Y., Nakamura, M., Iizuka, T., & Nishiyama, K. (2016).

reversible tongue muscle atrophy accelerated by early initiation of

immunotherapy in anti-MuSK myasthenia gravis: a case report. Journal of

the Neurological Sciences, 360, 10–12.

http://doi.org/10.1016/j.jns.2015.11.032

Klinke, M. E., Wilson, M. E., Hafsteinsdóttir, T. B., & Jónsdóttir, H. (2013).

Recognizing new perspectives in eating difficulties following stroke : a

concept analysis. Disability and Rehabilitation, 35(September 2012), 1491–

1500. http://doi.org/10.3109/09638288.2012.736012

Kunieda, K., Ohno, T., Fujishima, I., Hojo, K., & Morita, T. (2013). Reliability

and Validity of a Tool to Measure the Severity of Dysphagia : The Food

Intake LEVEL Scale. Journal of Pain and Symptom Management, 46(2),

201–206. http://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2012.07.020

McKenzie, M. J., Yu, S., Macko, R. F., McLenithan, J. C., Charlene, & Macko, H.

(2008). Human genome comparison of paretic and nonparetic vastus lateralis

muscle in patients with hemiparetic stroke. Journal of Rehabilitation

Research & Development, 45(2), 273–282.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Universitas Indonesia

McMicken, B. L., Muzzy, C. L., & Calahan, S. (2010). Retrospective ratings of

100 first time-documented stroke patients on the Functional Oral Intake

Scale. Disability and Rehabilitation, 32(14), 1163–1172.

http://doi.org/10.3109/09638280903437238

Mestecky, A. (2013). Myasthenia gravis, 9(3), 110–113.

Meyer, A., & Levy, Y. (2010). Autoimmunity Reviews Chapter 33 :

Geoepidemiology of myasthenia gravis. Autoimmunity Reviews, 9(5), A383–

A386. http://doi.org/10.1016/j.autrev.2009.11.011

Moorhead, S. (2013). Nursing Outcomes Classification (fifth). Missouri: Mosby

Elsevier.

Musilek, K., Komloova, M., Holas, O., Horova, A., Zdarova-karasova, J., &

Kuca, K. (2012). myasthenia gravis-current treatment standards and

emerging drugs, a look into myasthenia gravis. ( joseph a Pruitt, Ed.).

Nair, A. G., Chhablani, P. P., Venkatramani, D. V, & Gandhi, R. A. (2014).

Ocular myasthenia gravis : A review History of Myasthenia Gravis Diplopia

is very common in cases with OMG since even. Indian Journal of

Ophthalmology, 62(10), 985–991. http://doi.org/10.4103/0301-4738.145987

Neurological Disorders Public Health Challenges. (2006). Geneva: World Health

Organization.

Odhner, M., Wegman, D., Freeland, N., Steinmetz, A., & Ingersoll, gail L. (2003).

Assessing pain control in nonverbal critically ill adults. Dimension of

Critical Care Nursing, 22(6), 260–267.

Paul, R. H., Cohen, R. A., Zawacki, T., Gilchrist, J. M., & Aloia, M. S. (2001).

What have we learned about cognition in myasthenia gravis?: a review of

methods and results. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 25, 75–81.

Payne, J., Stagnitti, K., Hooke, E., & Hitch, D. (2015). Achieving eating

independence in an acute stroke ward : Developing a collaborative care plan.

International Journal of Therapy and Rehabilitation, 22(3), 111–118.

Pearson, A., Vaughan, B., & Fitzgeral. (2000). Nursing models for practice (2nd

ed.). Oxford: Butterworth_Heinemann.

Pudas-tahka, S., Axelin, A., Aantaa, R., Lund, V., & Salantera, S. (2009). Pain

assessment tools for unconscious or sedated intensive care patients: a

systematic review. Journal of Advanced, 946–956.

http://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2008.04947.x

Punga, anna rostedt, Kaminski, henry j, Richman, david p, & Benatar, M. (2015).

How clinical trials of myasthenia gravis can inform pre-clinical drug

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Universitas Indonesia

development. Experimental Neurology, 270, 78–81.

http://doi.org/10.1016/j.expneurol.2014.12.022

Rahu, M. arif, Grap, mary jo, Ferguson, P., Joseph, P., Sherman, S., & Elswick, R.

. (2015). Validity and sensitivity of 6 pain scales in critically ill, intubated

adults. American Journal of Critical Care, 24(6), 514–524.

Ricciardi, R., Melfi, F., Maestri, M., Rosa, A. De, Petsa, A., & Mussi, A. (2016).

Endoscopic thymectomy : a neurologist’ s perspective. Annals of

Cardiothoracic Surgery, 5(1), 38–44. http://doi.org/10.3978/j.issn.2225-

319X.2015.12.02

Rosińczuk, J., Kołtuniuk, A., Górska, M., & Uchmanowicz, I. (2015). The

Application of Callista Roy Adaptation Model in the Care of Patients with

Multiple Sclerosis – Case Report. The Journal of Neurological and

Neurosurgical Nursing, 4(3), 121–129.

http://doi.org/10.15225/PNN.2015.4.3.5

Rosyid, fahrun nur. (2008). mengenal tentang miastenia gravis dan

penatalaksanaannya, 16–31.

Roy, S. (2009). The Roy Adaptation model (3rd ed.). New Jersey: Pearson

Education Inc.

Roy, S. . (2009). The Roy Adaptation Model (3rd ed.). New Jersey: Pearson

Education Inc.

Sakai, W., Matsui, N., Ishida, M., Furukawa, T., Miyazaki, Y., Fujita, K., … Kaji,

R. (2016). Late-onset myasthenia gravis is predisposed to become

generalized in the elderly. ENSCI, 2, 17–20.

http://doi.org/10.1016/j.ensci.2016.02.004

Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., & Teasell, R. (2006). Identification of

aphasia post stroke: A review of screening assessment tools. Brain Injury,

20(6), 559–568. http://doi.org/10.1080/02699050600744087

Schneider-gold, C., & Toyka, K. V. (2007). Myasthenia Gravis : Pathogenesis and

Immunotherapy. Dtsch Arztebl, 104(5), 1–8.

Siegel, R. L., Miller, K. D., & Jemal, A. (2016). Cancer Statistics, 2016. A Cancer

Journal for Clinicians, 66(1), 7–30.

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik.

(2016) (edisi 1). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional

Indonesia.

Sugiyama, M., Takada, K., Shinde, M., Matsumoto, N., Tanaka, K., Kiriya, Y., …

Kuzuya, M. (2014). National survey of the prevalence of swallowing

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Universitas Indonesia

difficulty and tube feeding use as well as implementation of swallowing

evaluation in long-term care settings in Japan. Geriatrics Gerontology, (14),

577–581. http://doi.org/10.1111/ggi.12137

Takahata, H., Tsutsumi, K., Baba, H., Nagata, I., & Yonekura, M. (2011). Early

intervention to promote oral feeding in patients with intracerebral

hemorrhage : a retrospective cohort study. BMC Neurology, (11), 1–7.

Thanvi, B. R., & Lo, T. C. N. (2004). Update on myasthenia gravis. Pmj, 690–

701. http://doi.org/10.1136/pgmj.2004.018903

Thompson, J., & McKeever, M. (2014). Improving support for patients with

aphasia. Nursing Practice Research Communication, 110: 25, 18–20.

Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2010). Nursing theorist and their work (6th

ed.). Missouri: Mosby Elsevier.

Toyka, K. V., & Gold, R. (2007). Treatment of myasthenia gravis. Scweizer

Archiv for Neurologie Und Psychiatrie, 309–321.

Twork, S., Wiesmeth, S., Klewer, J., Pöhlau, D., & Kugler, J. (2010). Quality of

life and life circumstances in German myasthenia gravis patients. Health and

Quality of Life Outcomes, 8, 1–10.

Usman, reni devianti. (2009). Pengaruh terapi masase terhadap intensitas nyeri

pasien kanker payudara di makassar. Universitas Indonesia.

Wada, A., & Kawakami, M. (2015). Development of a new scale dor dysphagia in

patients with progressive neuromuscular disease: the neuromuscular disease

swallowing status scale. Journal of Neurology, 262(10), 2225–31.

Westergren, A. (2006). Detection of eating difficulties after stroke : a systematic

review. International Council of Nurses, 53, 143–150.

Woodward, S., & Mestecky, A. (2011). neroscience nursing evidence-based

practice. (S. Woodward & A. Mestecky, Eds.). chichester: wiley-blackwell.

Yamada, N., Kakuda, W., Kondo, T., Mitani, S., Shimizu, M., & Abo, M. (2014).

Local muscle injection of botulinum toxin type a synergistically improves the

beneficial effects of repetitive transcranial magnetic stimulation and

intensive occupational therapy in post-stroke patients with spastic upper limb

hemiparesis. European Neurology, 72(5-6), 290–298.

http://doi.org/10.1159/000365005

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 1

Universitas Indonesia

ASUHAN KEPERAWATAN LENGKAP PADA PASIEN MIASTENIA GRAVIS

Tanggal Dx Evaluasi

27/04

2017

1

S: Pasien melaporkan adanya sesak setelah beraktivitas terutama ketika bicara maupun perubahan posisi, pasien mengeluh mudah lelah

O: RR: 23x/m ketika melakukan aktivitas, RR: 17x/m, HR: 75x/m, S: 36,3

0C, TD: 135/75 mmHg , SaO2 berkisar antara 96-97% ketika

beraktivitas

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah intoleransi aktivitas

P: Lakukan intervensi sesuai care plan

2

S: Pasien mengeluhkan rasa kurang nyaman di area bokong

O: Terdapat luka dekubitus grade II di area sakrum dengan luas kurang lebih 4x5 cm, kemerahan ada, slough (-)

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah kerusakan integritas kulit

P: Lakukan intervensi sesuai care plan

3

S: -

O: Berat badan pasien: 50 kg (terdapat penurunan berat badan sebesar 5 Kg dalam waktu 2 minggu), tinggi badan pasien: 170 cm, IMT:

15,8 kg/m2, status gizi malnutrisi berat

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

P: Lakukan intervensi sesuai care plan

4

S: Pasien mengeluhkan tersedak ada ketika mencoba minum per oral

O: Terpasang NGT, residu (-), tersedak ada, FOIS level 3

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko aspirasi

P: Lakukan intervensi sesuai care plan, pasien direncanakan untuk dilakukan prosedur FEES untuk mengevaluasi kemampuan makan

5

S: -

O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh

P: Lakukan intervensi sesuai care plan

6

S: pasien melaporkan adanya cemas terkait kondisi sakitnya yang kembali muncul bahkan setelah melakukan prosedur timoma

O: Sulit tidur, insomnia positif dengan menggunakan ISI

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah ansietas

P: Lakukan intervensi sesuai care plan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 1

Universitas Indonesia

28/04

2017 1

S: Pasien mengeluh mudah lelah masih ada

O: RR: 23x/m ketika melakukan aktivitas, RR: 20x/m, HR: 103x/m, S: 370C, TD: 130/70 mmHg, SaO2: 98-99%, SaO2 berkisar antara

97-98% ketika beraktivitas

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Terapi aktivitas, peningkatan istirahat pasien

2

S: -

O: Terdapat luka dekubitus grade II di area sakrum dengan luas kurang lebih 4x5 cm, kemerahan ada, kondisi kering, balutan bersih

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Perawatan luka, posisi tubuh, kontrol infeksi

3

S: -

O: Berat badan pasien: 50 kg (terdapat penurunan berat badan sebesar 5 Kg dalam waktu 2 minggu), tinggi badan pasien: 170 cm, IMT:

15,8 kg/m2, status gizi malnutrisi berat

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Manajemen nutrisi

4

S: Pasien mengeluhkan masih kesulitan untuk dapat makan dan minum per oral

O: Terpasang NGT, tersedak ada, FOIS level 3, pasien sedang menjalani prosedur FEES.

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Pencegahan aspirasi, enteral tube feeding

5

S: -

O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Pencegahan jatuh

6

S: Pasien melaporkan adanya ketakutan akan dampak kondisi sakitanya, pasien melakukan komunikasi dengan support group miastenia

gravis untuk sharing terkait kondisi sakitnya.

O: Kesulitan tidur masih dirasakan pasien

A: Support group sudah dilakukan, pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Penurunan ansietas, evaluasi pencapaian tujuan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 1

Universitas Indonesia

29/04

2017 1

S: Pasien mengatakan mampu mobilisasi mika-miki tanpa disertai sesak

O: RR: 18x/m, HR: 103x/m, S: 370C, TD: 128/74 mmHg, SaO2: 98-99% ketika beraktifitas, ketika berbicara pasien tidak nampak

terengah-engah

A: Pasien masih menunjukkan perilaku adaptif

P: Intervensi dihentikan

2

S: -

O: Mobilisasi mika-miki, Terdapat luka dekubitus grade II di area sakrum dengan luas kurang lebih 4x5 cm, kemerahan ada, kondisi

kering, balutan bersih

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Perawatan luka, kontrol infeksi

3

S: -

O: Berat badan pasien: 50 kg, status gizi malnutrisi berat

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Manajemen nutrisi

4

S: Pasien mengeluhkan masih kesulitan untuk dapat minum per oral

O: Terpasang NGT, tersedak ada, FOIS level 5.

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Pencegahan aspirasi, enteral tube feeding

5

S: -

O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh

P: Pencegahan jatuh

6

S: pasien melaporkan cemas berkurang

O: Pasien nampak bersosialisasi dengan pasien di ruangan rawat.

A: Pasien menunjukan perilaku adaptif

P: Intervensi dihentikan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 1

Universitas Indonesia

30/04

2017 2

S: -

O: Mobilisasi mika-miki, evaluasi terhadap luka tekan pasien: luka kering, slough (-), tanda-tanda infeksi (-)

A: Pasien menunjukkan perilaku adaptif,

P: Intervensi dihentikan

3

S: -

O: Berat badan pasien: 50 kg, status gizi malnutrisi berat, pasien masih menggunakan NGT

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Evaluasi ulang pencapaian tujuan

4

S: Pasien mengeluhkan masih kesulitan untuk dapat minum per oral

O: Terpasang NGT, tersedak ada, FOIS level 5, makan per oral (+) dengan menu puding habis tanpa tersedak, minum air dengan volume

50cc batuk ada

A: Pasien masih menunjukkan perilaku kurang adaptif, dengan level adaptasi compromised

P: Pencegahan aspirasi, enteral tube feeding, evaluasi ulang pencapaian tujuan

5

S: -

O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh

P: Pencegahan jatuh

01/05

2017 3

S: -

O: NGT lepas, makan habis 2/3 porsi, BB: 51Kg

A: Pasien berada pada level adaptasi compromised, penambahan BB mulai dialami oleh pasien

P: Intervensi dihentikan

4

S: Pasien mengatakan mampu minum per oral tanpa periode tersedak

O: Pasien mampu minum air lebih dari 50cc tanpa disertai tersedak, NGT lepas, FOIS level 7, kebersihan gigi dan mulut pasien baik

A: Pasien masih menunjukkan perilaku adaptif

P: Intervensi dihentikan

5 S: -

O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang, kelemahan ekstremitas bawah masih ada

A: Diagnosa keperawatan yang ditegakan adalah risiko jatuh

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 1

Universitas Indonesia

P: Pencegahan jatuh, pasien rencana pulang, evaluasi pemahaman pasien dan keluarga terkait edukasi yang telah diberikan selama pasa

perawatan pada pasien

02/05

2017 5

S: -

O: Mobilisasi minimal di atas tempat tidur, terpasang IV line, nilai risiko jatuh sedang, ekstremitas bawah dapat digerakkan namun

kekuatan otot belum maksimal, dipoplia tidak ada, ptosis berkurang

A: Pasien menunjukan perilaku adaptif dengan periode cedera jatuh tidak terjadi, pasien direncanakan pulang

P: Pasien pulang

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

I. INFORMASI UMUM

Pengkajian Tanggal : / Waktu: WIB

A. Identitas Pasien

Nama : RM :

Umur : Jenis kelamin :

Agama : Pendidikan terakhir

:

Pekerjaan :

Alamat :

DiagnosaMedis

:

B. Identitas Penanggung jawab

Nama : Umur :

Pendidikan terakhir

:

Hubungan :

Alamat :

II. ADAPTASI

A. FISIOLOGIS

1. Oksigenasi

Pengkajian perilaku (tahap I)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

2. Nutrisi

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

3. Eliminasi

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

4. Aktivitas dan istirahat

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan : 5. Proteksi dan perlindungan

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

6. Sensori

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

7. Cairan dan elektrolit

Pengkajian perilaku (tahap I) Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

8. Fungsi neurologi

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

9. Endokrin

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

Masalah Keperawatan :

B. KONSEP DIRI

1. Fisik diri

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

2. Personal diri

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

C. FUNGSI PERAN

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II)

- Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan : D. INTERDEPENDEN

Pengkajian perilaku (tahap I)

Pengkajian stimulus (tahap II) - Stimulus fokal :

- Stimulus kontekstual :

- Stimulus residual :

Masalah Keperawatan :

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

Pengkajian Keperawatan Model Adaptasi Roy LAMPIRAN 2

Praktik Residensi Neurologi 2016/2017 – FIK UI

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No DiagnosaKeperawatan

Nursing Outcomes Classification (NOC)

Nursing Intervention Classification (NIC)

IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN

No. Implementasi Evaluasi

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 1

1. Informasi Umum

Tn S, 60 tahun, pendidikan terakhir S1, pensiun pelayaran, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi-Jawa

Barat, RM: 415.65.75, Masuk Rumah Sakit tanggal 29 Agustus 2016.

Diagnosa Medis: Miastenia Gravis riw. Krisis Miastenik

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 07 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis

1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 24 x/menit, TD: 120/74 mmHg, HR: 99

x/menit, Saturasi 95% (saat lepas binasal), akral hangat, terpasang binasal 3 lpm; 2)

Nutrisi: nafsu makan baik, intake nutrisi adekuat per oral, makan habis 1 porsi; 3)

Eliminasi: BAB adaptif BAK terpasang urine kateter 4) Aktivitas dan Istirahat:

mobilisasi dibantu sebagian, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas

bawah 4444/4444; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, 36,4oC; 6) Sensasi; sensorik adaptif;

7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ± 2500cc/hari, mukosa bibir

lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan penurunan fungsi pernapasan disertai

penurunan kesadaran, pada saat pengkajian terdapat kelemahan di bagian ekstremitas

bawah serta kesulitan dalam bernapas, kesadaran CM dengan GCS E4M6V5 pupil

isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2; 9) Endokrin: tidak ada gangguan

Mode Konsep diri; Pasien merasa ingin segera pulih dan mobilisasi dengan harapan

dapat mandiri melakukan ADL.

Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami.

Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istrinya dan

sesekali anak maupun kerabat datang untuk mengunjungi pasien di RS.

b. Stimulus

Stimulus fokal: kelemahan otot gerak bawah dan otot pernapasan

Stimulus kontekstual:

Stimulus residual: usia

3. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan pola napas, 2) Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan

1) Status respiratori, 2) ambulasi

5. Intervensi

1) respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring; 2) bed rest

care, self care assistance 3) medication management (mestinon 6x60mg, methylprednisolone

3x1 tab, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi

Setelah enam jam perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptive pasien dengan nilai RR

22x/menit setelah dicoba lepas terapi oksigen dan saturasu oksigen sebesar 95-97%.

Kelemahan pada anggota gerak bawah masih ada, mobilisasi duduk bersandar. Pasien

mendapatkan terapi asetilkolinerase hari pertama dengan dosis 6x60mg dan direncanakan

akan dilakukan plasmaferesis apabila tidak terdapat perbaikan.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 2

1. Informasi Umum

Tn E, 62 tahun, pendidikan terakhir SMA, tidak bekerja, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi, RM:

415.69.70, Masuk Rumah Sakit tanggal 06 September 2016.

Diagnosa Medis: Stroke Iskemik, hipertensi grade II

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 08 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis

1) Oksigenasi : oksigenasi tidak ada kelainan. NEWSS : Hijau. Tanda vital RR : 15x/mnt

bernapas spontan, TD :118/85 mmHg, denyut nadi : 115 x/mnt, akral hangat. 2) Nutrisi :

pasien mengalami gangguan menelan, makan minum per oral, keluarga menolak untuk

pemasangan NGT; 3) Eliminasi : eliminasi spontan BAB + BAK + dengan menggunakan

diapers; 4) Aktifitas dan istirahat : mobilisasi pasien mika miki dibantu sebagian,

hemiparese kiri, kekuatan otot ektremitas atas 5555/1111, ekremitas bawah 5555/1111. 5)

Proteksi : tidak ada gangguan 6) Sensasi Tidak ada gangguan sensasi 7). Cairan dan

elektrolit & keseimbangan asam basa : intake ±1500cc/hari. Mukosa bibir lembab. 8)

Neurologis GCS : E4M6V5, pupil isokor 3mm/3mm, kaku kuduk negatif, laseg sign

>70/>70, kernik sign >135/>135, saraf kranial tidak ada kelainan. Reflex fisiologis kanan

(+2/+2), kiri (+2+2). Hasil pemeriksaan reflex patologis (-). Parese N VII, XII sinistra,

pasien afasia motorik 9) Endokrin : tidak ada gangguan.

Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji

Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami.

Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istri dan

anaknya.

b. Stimulus

Stimulus fokal: sumbatan pada pembuluh darah otak

Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi

Stimulus residual: usia, pola hidup, jenis kelamin

3. Diagnosa Keperawatan

1) Resiko inadekuat perfusi jaringan serebral, 2) Kerusakan mobilitas fisik, 3) Gangguan

menelan

4. Tujuan

1) Perfusi jaringan serebral adekuat, 2) Body position: self initiated, skeletal function, 3)

swallowing status

5. Intervensi

1) Vital sign monitoring, bleeding precaution; 2) bed rest care, self care assistance, 3) enteral

tube feeding (keluarga menolak), pencegahan aspirasi 4) medication management (NaCl

0,9% 500cc/12 jam, laxadin 3x10ml, neurodex 2x1 tab, asam folat 2x5mg, simvastatin

1x20mg, ascardia 1x50mg, amlodipine 1x10mg)

6. Evaluasi

Setelah 3 hari perawatan perilaku pasien masih belum adaptif ditandai dengan pasien masih

belum dapat mobilisasi, ADL masih dibantu, tersedak masih ada.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 135: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 3

1. Informasi Umum

Tn W, 55 tahun, pendidikan terakhir SMA, wiraswasta, Islam, Sunda, Alamat: Ciamis-Jawa

Barat, Masuk Rumah Sakit tanggal 04 September 2016.

Diagnosa Medis: Stroke Iskemik, suspect stroke hemoragik, AF, hipertensi, suspect DM

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 08 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis

1) Oksigenasi: NEWSS: Oranye tanda vital RR: 23 x/menit, TD: 118/85 mmHg, HR: 115

x/menit, Saturasi 96% dengan terapi oksigen binasal 3lpm, akral hangat, oral hygiene

buruk, slem + saliva +; 2) Nutrisi: terpasang NGT, residu tidak ada; 3) Eliminasi: BAB

adaptif BAK terpasang urine kateter 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest total

kekuatan otot ekstremitas atas 3333/3333, ekstremitas bawah 3333/3333; 5) Proteksi:

Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh 38.5oC, terdapat luka dekubitus grade II di

area sacrum, leukosit 14.000; 6) Sensasi; sensasi nyeri ada; 7) Cairan dan Elektrolit dan

keseimbangan asam basa: balance cairan +100cc/24 jam (07 September 2016), mukosa

bibir kering; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan penurunan fungsi pernapasan

disertai penurunan kesadaran, pada saat pengkajian terdapat kelemahan di bagian

ekstremitas atas dan bawah, terdapat penurunan kesadaran dengan GCS E2M4V3 pupil

isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2, rangsang meningen -/-; 9)

Endokrin: gula darah jam 06.00 148 mg/dL dengan terapi insulin

Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang

ayah dengan anak tunggal; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu

ditemani oleh adiknya sebagai pengambil keputusan

b. Stimulus

Stimulus fokal: edema luas hingga hemisfer kanan dengan mid line shift sebesar 1.9cm

ke sebelah kanan, gambaran AF pada rekam jantung

Stimulus kontekstual: hipertensi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, suspect DM

Stimulus residual: riwayat merokok

3. Diagnosa Keperawatan

1) Bersihan jalan napas tidak efektif, 2) Penurunan kapasitas adaptif intracranial, 3)

Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan

1) Respiratory status: airway patency, 2) Status neurologis: kesadaran, 3) Skeletal function

5. Intervensi

1) Airway Management, 2) Airway suctioning, 3) Manajemen edema serebral, 4) Monitoring

ICP, 5) Neurologic monitoring, 6) Immobilization, 7) Medication management (Meropenem

3x1 gr, manitol 4x125ml, paracetamol 3x1gr, omeprazole 2x40mg, neurodex 3x1, NaCl

0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi

Setelah empat hari perawatan, pasien belum menunjukkan perilaku adaptive dengan semakin

membesarnya area edema pada pasien serta terjadinya penurunan kesadaran. Jalan napas

pasien paten dengan dipasangnya OPA dan suction berkala (SaO2 99-100%). Tanggal

09/09/16 pasien meninggal dunia dengan status DNR.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 136: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 4

1. Informasi Umum

Tn SD, 61 tahun, pendidikan terakhir SMA, karyawan swasta, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi,

RM: 415.66.23, Masuk Rumah Sakit tanggal 02 September 2016.

Diagnosa Medis: Stroke Iskemik, hipertensi grade II

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 08 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis

1) Oksigenasi : oksigenasi tidak ada kelainan. NEWSS : Hijau. Tanda vital RR : 15x/mnt

bernapas spontan, TD :172/103 mmHg, denyut nadi : 83 x/mnt, akral hangat. 2) Nutrisi :

Makan per oral habis ¾ porsi; 3) Eliminasi : eliminasi spontan BAB + BAK + dengan

menggunakan diapers, riwayat hematochezia, BAB berdarah 3-4 kali/hari; 4) Aktifitas

dan istirahat : mobilisasi pasien mika miki dibantu sebagian, hemiparese kanan, kekuatan

otot ektremitas atas 1111/5555, ekremitas bawah 1111/5555. 5) Proteksi : tidak ada

gangguan 6) Sensasi Tidak ada gangguan sensasi 7). Cairan dan elektrolit &

keseimbangan asam basa : intake ±1500cc/hari. Mukosa bibir lembab. 8) Neurologis

GCS : pasien dating ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran dan tidak mampu

menggerakkan anggota gerak kanan, serta kesulitan menelan, pada saat pengkajian

diketahui E4M6V5, pupil isokor 3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, rangsang meningen

(-), Parese N VII, XII dextra, pasien afasia motorik 9) Endokrin : tidak ada gangguan.

Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji

Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami.

Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istri dan

anaknya.

b. Stimulus

Stimulus fokal: sumbatan pada pembuluh darah otak

Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi

Stimulus residual: usia, pola hidup

3. Diagnosa Keperawatan

1) Resiko inadekuat perfusi jaringan serebral, 2)Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan

1) Perfusi jaringan serebral adekuat, 2) Body position: self initiated, skeletal function

5. Intervensi

1) Vital sign monitoring, bleeding precaution; 2) bed rest care, self care assistance, 3)

medication management (NaCl 0,9% 500cc/12 jam, neurodex 2x1 tab, asam folat 2x5mg,

simvastatin 1x20mg, ranitidine 2x50mg, valsartan 1x80mg, paracetamol 3x500mg,

amlodipine 1x10mg, transamin 3x500mg)

6. Evaluasi

Setelah enam hari perawatan perilaku pasien menunjukkan perilaku adaptif ditandai dengan

meningkatkan kemampuan pasien dalam intake nutrisi per oral (aspirasi tidak ada), BAB

berdarah 1-2x/hari. Pasien pulang pada tanggal 16 September 2016 dengan hemodinamik

stabil, BAB berdarah sudah tidak ada, mobilisasi duduk, makan mandiri.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 137: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 5

l. Informasi Umum

Tn EJ, 65 tahun, pendidikan terakhir SMA, PNS, Islam, Betawi, Alamat: Cipayung-Jakarta,

RM: 388.97.00, Masuk Rumah Sakit tanggal 11 September 2016.

Diagnosa Medis: Paresis N. VII sinistra sentral, hemiparese sinistra ec. Stroke iskemik,

hipertensi, DM tipe II, hiperlipidemia, hipokalemia

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 15 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 18 x/menit,

TD: 207/111 mmHg, HR: 67 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene baik; 2)

Nutrisi: intake per oral adaptif,; 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan

Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 5555/2222, ekstremitas bawah

5555/2222; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak

ada gangguan sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa:

hipokalemia K: 3.3 (12 September 2016), mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk

rumah sakit dengan kelemahan anggota gerak kanan pada saat pengkajian terdapat

kelemahan di bagian ekstremitas atas dan bawah sebelah kanan, kesadaran compos

mentis, tidak ada gangguan bicara pupil isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri

+2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: gula darah sewaktu 256 mg/dL HbA1C 6.8

(12.10.2016) tanpa terapi gula darah. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera

pulih dan dapat beraktivitas seperti sebelum masuk RS; Mode Fungsi Peran; Pasien

merupakan seorang ayah dan pencari nafkah di keluarganya; Mode Interdependensi;

Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh anak maupun istrinya, kerabat dan

saudara setiap hari mengunjungi pasien selama masa perawatan

b. Stimulus

Stimulus fokal: infark multiple di ganglia basalis kanan kiri, kapsula eksterna, dan lobus

parietal kanan, kardiomegali, hiperlipidemia

Stimulus kontekstual: hipertensi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, DM tipe II

Stimulus residual: riwayat merokok

3. Diagnosa Keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) Kerusakan

mobilitas fisik 3) Ketidakstabilan glukosa dalam darah

4. Tujuan: 1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic

3) Mobilisasi 5) Kadar glukosa darah

5. Intervensi: 1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Promosi bodi mekanik, 4)

Latihan: control otot, 5) Body position: self initiated, 6) Latihan ambulasi, 7) Kontrol gula

darah, 8) Medication management (ascardia 1x80mg, captopril 3x25mg, simvastatin

1x20mg, Vit B6 2x10mg, Vit B12 2x50mg, KSR 3x600mg, Asam folat 2x5mg, amlodipin

1x10mg, Nacl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi: Setelah 12 hari perawatan, pasien menunjukkan adaptasi terhadap kadar gula darah

serta kemampuan mobilisasi dengan kontrol TD (123/63), mobilisasi duduk, pasien secara

mandiri maupun dibantu oleh keluarga rutin melakukan ROM exercise, GD: 179 mg/dL

(23/09).

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 138: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 6

1. Informasi Umum

Tn EI, 32 tahun, pendidikan terakhir SMP, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Jawa Tengah,

RM: 415.65.37, Masuk Rumah Sakit tanggal 25 Agustus 2016 (11.09.2016 masuk ruang

neurologi).

Diagnosa Medis: Stroke iskemik, Tuberkulosis paru OAT hari ke-9

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 12 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 22 x/menit

dengan binasal 3 lpm, vesicular menurun pada paru kiri, ronchi basah bilateral TD:

100/57 mmHg, HR: 81 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene baik; 2) Nutrisi:

intake per NGT, residu (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan

Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 5555/3333, ekstremitas bawah

5555/3333; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak

ada gangguan sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: tidak ada

kelainan dengan balance cairan -200 cc/24 jam, mukosa bibir lembab; 8) neurologis:

masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran disertai distress pernapasan. Pasien

menjalani perawatan di ICU dan ruangan isolasi selama 18 hari lalu pindah ke ruangan

rawat inap neurologi. Terdapat penurunan kekuatan otot di anggota gerak kiri disertai

penurunan fungsi menelan. Releks fisiologis +2/+2, rangsang meningen (-/-) 9) Endokrin:

adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera pulih dan kembali ke

rumahnya di Jawa; Mode Fungsi Peran; Pasien berperan sebagai seorang suami dan

ayah dari 1 orang anak serta pencari nafkah di keluarganya; Mode Interdependensi;

Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh istrinya sebagai sumber dukungan dan

pengambil keputusan.

b. Stimulus

Stimulus fokal: kelemahan anggota gerak, gangguan menelan, gambaran bercak TB di

kedua lapang paru; Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi; Stimulus residual:

3. Diagnosa Keperawatan: 1) Ganguan pola napas 2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan

serebral 3) Kerusakan mobilitas fisik 4) Gangguan menelan

4. Tujuan: 1) Status respiratori 2) Cardiopulmonary status 3) Perfusi jaringan serebral adekuat

4) Body position: self initiated 5) Swallowing status

5. Intervensi: 1) Respiratory monitoring 2) Oxygen therapy 3) Cardiac care 4) Vital sign

monitoring 5) Bed rest care 6) Enteral tube feeding (nutrisi 1650 kkal) 7) Pencegahan

aspirasi 8) Medication management (simvastatin 1x20mg, asam folat 2x5mg, ascardia

1x80mg, neurodex 2x1 tab, captopril 3x25mg, rifampisin 1x600mg, INH 1x300mg,

pirazinamid 1x1000mg, ethambutol 1x1000, vit B6 3x10mg, bisoprolol 2x5mg, cpz 2x25mg,

curcuma 3x200mg, dexamethasone 4x5mg, NaCl 0,9% 500cc/8 jam)

6. Evaluasi: Pasien menunjukkan perilaku adaptive ditunjukkan dengan sesak tidak ada (tanpa

pemberian terapi oksigen), kesadaran CM, mobilisasi duduk dengan sandaran, pasien dibantu

oleh keluarga mampu melakukan ROM exercise, pada hari ke-5 (15/09) NGT sudah dilepas

dan pada saat pulang (23/09) intake nutrisi per oral adekuat aspirasi tidak ada, komunikasi

baik.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 139: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 7

1. Informasi Umum

Tn I, 24 tahun, pendidikan terakhir SD, tidak bekerja, Islam, Jawa, Alamat: Cakung-Jakarta

Timur, RM: 414.97.35, Masuk Rumah Sakit tanggal 08 September 2016.

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec susp neoplasma intracranial, epilepsi bangkitan,

down syndrome, massa intraabdominal susp ca kolon dengan riwayat melena, prolonged

fever, hipoalbumin, anemia ec GI bleeding, hipokalemi, hiponatremi

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 12 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 24 x/menit,

TD: 96/57mmHg, HR: 103 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene baik; 2)

Nutrisi: intake per oral habis ¼ porsi, albumin: 1.96 (08/09) BNO: tak tampak dilatasi

dinding usus (08/09); 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat:

pasien bed rest cenderung tertidur, kekuatan otot adaptif; 5) Proteksi: Risiko jatuh

tinggi, terpasang klip risiko jatuh, terdapat ulkus dekubitus post ranap di RS Koja grade

III di area sacrum, PCT 1.15ng/mL (08/09); 6) Sensasi; tidak ada gangguan sensasi; 7)

Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: hipokalemia K: 1.7 CL: 96 (08/09),

mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran,

observasi kejang disertai prolonged fever dan observasi prolonged fever post ranap di RS

Koja selama 1 bulan. Kesadaran Voice cenderung untuk tidur, kemampuan bicara

menurun, gangguan menelan tidak ada. foto tulang belakang kesan straight (14/09) tak

tampak kelainan pada CT scan dengan sran dilakukan MRI kepala (08/09) reflex

fisiologis +2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; tidak

dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan anak tunggal; Mode

Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh ibu dan ayahnya

b. Stimulus

Stimulus fokal: penurunan kesadaran; Stimulus kontekstual: susp keganasan intrakranial

Stimulus residual:

3. Diagnosa Keperawatan: 1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) hipertermia 3)

Nutrisi kurang dari kebutuhan 4) ketidakseimbangan cairan tubuh 5) Kerusakan integritas

kulit

4. Tujuan: 1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic

3) Termoregulasi 4) Penyebaran infeksi 5) Keseimbangan elektrolit 6) Status nutrisi: intake

7) perfusi perifer 8) Perbaikan integritas jaringan

5. Intervensi: 1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Penanganan demam 4) Kontrol

infeksi 5) Enteral tube feeding 6) Pemberian produk darah (PC, TC, FFP, albumin) 7)

Perawatan luka 8) Medication management (12/09)(Paracetamol 3x1 gr, omeprazole

1x40mg, fenitoin 3x100mg, kepra 3x500mg, cefoperazon 2x2gr, metronidazole 3x500mg,

albumin 20%, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi: Setelah 34 hari perawatan, pasien belum menunjukkan adaptasi dengan penurunan

kesadaran (Pain), kejang ada 1x (11/09) tepasang NGT dikarenakan intake minimal,

terpasang urine catheter dengan dieresis 200cc/24 jam. Luka dekubitus bertambah luas

meskipun dengan perawatan luka masif dan penggunaan kasur dekubitus serta mobilisasi.

Terdapat peningkatan nilai PCT 1,7 dengan leukosit 27.300 (11/09). Hasil MRI abdomen

diketahui terdapat neoplasma intraabdomen dengan metastase di beberapa organ.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 140: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 8

1. Informasi Umum

Tn FN, 67 tahun, pendidikan terakhir SMP, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Tanggerang,

RM: 415.80.94, Masuk Rumah Sakit tanggal 02 Agustus 2016

Diagnosa Medis: Sub dural hemoragik ec traumatik, fraktur os tibia, TB paru OAT hari ke-

17

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 10 Oktober 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20x/menit

dengan binasal 3 lpm TD: 128/78 mmHg, HR: 70 x/menit, Saturasi 98%, akral hangat,

oral hygiene baik; 2) Nutrisi: adaptif, mual muntah (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK

adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, terpasang traksi dengan bebean 5kg di

kaki kanan, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas bawah 5555/- ; 5)

Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak ada gangguan

sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa bibir

lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit setelah kecelakaan lalu lintas, kesadaran CM,

penurunan fungsi penglihatan di mata kanan Releks fisiologis +2/+2, rangsang meningen

(-/-) 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera pulih dan

mampu untuk berjalan kembali, pasien menolak untuk dilakukan operasi pemasangan

ORIF; Mode Fungsi Peran; Pasien hidup sendiri di kosan; Mode Interdependensi;

Selama dirawat di RS tidak pernah ditunggui oleh keluarganya, sosialisasi dengan pasien

di ruangan baik

b. Stimulus

Stimulus fokal: penurunan fungsi penglihatan, gambaran bercak TB di kedua lapang

paru, fraktur femur dan hip

Stimulus kontekstual: Riwayat putus obat, usia

Stimulus residual: Gaya hidup

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Nyeri 2) Ganguan pola napas 3) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 4)

Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan:

1) Kontrol nyeri 2)Status respiratori 2) Cardiopulmonary status 3) Perfusi jaringan serebral

adekuat 4) Ambulasi dan adaptasi terhadap disabilitas

5. Intervensi:

1) Manajemen nyeri 2)Respiratory monitoring 3) Oxygen therapy 4) Cardiac care 5) Vital

sign monitoring 6) Latihan ambulasi 7) Medication management (ketorolac 3x30mg, extrace

1x400mg, rifampisin 1x450mg, INH 1x300mg, Vit B6 3x10mg, transamin 3x500mg,

nonflamin 3x500mg, kalxetin 1x10mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi: Setelah 12 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptive ditunjukkan dengan sesak

tidak ada (tanpa pemberian terapi oksigen), kesadaran CM, mobilisasi duduk tanpa sandaran,

pasien bertahan untuk menolak dilakukan operasi pemasangan ORIF. OAT masih berjalan

pasien direncanakan untuk pulang.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 141: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 9

1. Informasi Umum

Tn A, 29 tahun, tamat SMP, karyawan swasta, Islam, Jawa, Alamat: Tangerang, RM:

414.70.79, Masuk Rumah Sakit tanggal 09 September 2016.

Diagnosa Medis: Post kraniektomi dekompresi hari ke 15, frontal lobe syndrome

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 26 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 18x/menit,

TD: 128/80 mmHg, HR: 90 x/menit, Saturasi 99%, terapi oksigen dengan binasal 3lpm,

akral hangat, oral hygiene buruk; 2) Nutrisi: intake nutrisi adekuat dengan menggunakan

OGT, 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest

cenderung tertidur, kekuatan otot ekstremitas atas 3333/3333 ekstremitas bawah

3333/3333; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh, terdapat VL di

area wajah; 6) Sensasi; keluhan nyeri ada skala 3 dengan pemberian analgetik; 7) Cairan

dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ±1000cc/hari, mukosa bibir lembab;

8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran 4 jam sebelumnya setelah

terkena ledakan APAR, saat pengkajian GCS E2M6V3 pupil isokhor 3mm/3mm, kaku

kuduk (-/-), reflex fisiologis +2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: adaptif. Mode

Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan anak ke 2 dari

4 bersaudara, pencari nafkah di keluarganya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di

RS, pasien selalu ditemani oleh ibu dan adiknya

b. Stimulus

Stimulus fokal: agen injuri post kraniektomi

Stimulus kontekstual; hematoma fronto temporal dextra (CT Scan)

Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri 3) Kerusakan integritas kulit

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: 3) Pain control 4) Penyembuhan

luka:primer

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)

Manajemen nyeri 6) Perawatan luka 7) Medication management (26/09)(Paracetamol 3x1 gr,

omeprazole 1x40mg, meropenem 3x1gr, indexon, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 4 hari pasien masih menunjukan skala nyeri dalam rentang 2-3 dan

perubahan suhu yang cenderung di atas normal. Vital sign TD 137/88 N 98 x/menit P 18

x/menit S 38,10C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada

level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 142: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 10

1. Informasi Umum

Tn S, 61 tahun, pendidikan terakhir SMA, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta, RM:

411.77.46, Masuk Rumah Sakit tanggal 15 September 2016

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran dengan ensefalopati metabolic, pneumonia aspirasi,

aneurisma aorta, hipertensi

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 17 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 22x/menit

dengan binasal 3 lpm TD: 167/97 mmHg, HR: 78 x/menit, Saturasi 99%, ronchi di daerah

basal ka-ki terutama kanan, NRM 10lpm, akral hangat, CRT <2 detik, oral hygiene baik;

2) Nutrisi: pasien terpasang NGT, residu (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK menggunakan

DC 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 2222/5555

ekstremitas bawah 2222/5555; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko

jatuh,; 6) Sensasi; sensasi nyeri +; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa:

balance cairan ±200 cc/24 jam mukosa bibir lembab; 8) neurologis: Masuk ke RS sakit

setelah post rawat 1 minggu yang lalu, 6 hari yang lalu pasien melepas NGT sendiri dan

keluarga memberikan makan per oral, sempat tersedak. Saat pengkajian GCS E3M5Vafasia

pupil bulat isokhor 3mm/3mm, reflek cahaya langsung +/+, refek cahaya tidak langsung

+/+ kaku kuduk (-/-), reflex fisiologis +2/+2, rangsang meningen -/-, kesan hemiparese

dextra. Parese kranialis N VII dextra sentral 9) Endokrin: adaptif GDS 161 (15/09) Mode

Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang

suami dan memiliki 2 orang anak; Mode Interdependensi; belum dapat dinilai, selama

dirawat di RS tidak pernah ditunggui oleh keluarganya, sosialisasi dengan pasien di

ruangan baik

b. Stimulus

Stimulus fokal: infark luas lobus frontotemporoparietaooksipital dexta, basal ganglia kiri

dan thalamus bilateral (15/09), infiltrate di kedua paru bertambah (15/09)

Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi

Stimulus residual: Gaya hidup

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Ganguan pola napas 3) Kerusakan mobilitas

fisik

4. Tujuan:

1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3)Status respiratori 4)

Cardiopulmonary status 5) Ambulasi dan adaptasi terhadap disabilitas

5. Intervensi:

1) Manajemen tekanan intra cranial 2)Respiratory monitoring 3) Oxygen therapy 4) Cardiac

care 5) Vital sign monitoring 6) Latihan ambulasi

6. Evaluasi:

Setelah 3 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pada level compromised

process ditunjukkan dengan sesak berkurang RR: 20x/menit dengan terapi oksigen binasal

4lpm, kontak dengan lingkungan ada, ronkhi di basal paru kanan berkurang.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 143: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 11

1. Informasi Umum

Tn M, 44 tahun, tamat SMA, karyawan swasta, Islam, Alamat: Jakarta, Betawi, RM:

412.51.30, Masuk Rumah Sakit tanggal 20 Oktober 2016.

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran, atrofi cerebri, sepsis ec CAP, DM tipe 2

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 21 Oktober 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Merah tanda vital RR: 12x/menit,

TD: 88/59 mmHg, HR: 67 x/menit, Saturasi 100%, terapi oksigen dengan NRM 10 lpm,

ronkhi di basal paru kiri, akral hangat; 2) Nutrisi: terpasang NGT dengan diet LLM, 3)

Eliminasi: terpasang FC, dieresis +, 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest; 5)

Proteksi: Risiko jatuh tinggi, suhu 37.2oC, terdapat luka dekubitus grade 1 pada area

sacrum, prokalsitonin 2.7 (20/10); 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit

dan keseimbangan asam basa: balance cairan +150 cc, mukosa bibir lembab; 8)

neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran, saat pengkajian GCS E3M5V3

pupil isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, reflex patologis (-); 9) Endokrin:

adaptif. Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan

seorang ayah dengan 2 orang anak, bercerai dengan istrinya, kedua anaknya tinggal

bersama ibunya di Padang; Mode Interdependensi; Pasien diantarkan ke IGD RSCM

oleh adiknya, salah seorang anak pasien direncanakan akan datang ke Jakarta

b. Stimulus

Stimulus fokal: oklusi vascular cerebri (CT Scan 20/10)

Stimulus kontekstual: riwayat DM

Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Kerusakan integritas kulit 3) Kerusakan

mobilitas fisik

4 Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: 3) Penyembuhan luka primer 4)

level mobility

5 Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Perawatan luka 4) exercise

management 5) Medication management (vascon 4.5mg/24 jam, omeprazole 1x40mg,

flumucyl 3x200mg, paracetamol 3x1 gr, tramadol 1x100mg, NaCl 0,9% 500cc/8 jam,

Tutofusin 500cc/12 jam)

6 Evaluasi: Evaluasi selama 6 jam perawatan pasien masih menunjukan perubahan hemodinamik RR:

12x/menit, TD: 97/73 mmHg. HR: 82x/menit tanpa perubahan tingkat kesadaran. Pasien

masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 144: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 12

1. Informasi Umum

Tn N, 33 tahun, pendidikan terakhir SMA, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat: Jakarta,

RM: 415.88.41, Masuk Rumah Sakit tanggal 17 Oktober 2016

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec cedera kepala berat, multiple trauma

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 18 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Merah airway terpasang collar neck,

terpasang ETT connect to ventilator dengan setting PSIMV VT 366-388 PS 12 PEEP 5

FiO2 45% I:E 1:1.5, usaha napas spontan (-), slem per ETT (-), Saturasi 100%, TD: 53/33

mmHg, HR: 92 x/menit, MAP 41, akral dingin, CRT >3 detik, oral hygiene buruk

terdapat sisa perdarahan per oral, otorhea, rinorhea, papil edema dextra +, tanda

perdarahan aktif (-); 2) Nutrisi: pasien terpasang OGT, residu (+) hijau kecoklatan

±200cc/24 jam; 3) Eliminasi: terpasang FC dieresis +; 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien

bed rest kekuatan otot tidak dapat terkaji; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terdapat VL di

area wajah bahu, dada, lengan serta kaki,; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan

Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +300cc/24jam mukosa bibir

lembab; 8) neurologis: 1 jam sebelum masuk RS, pasien ditemukan tidak sadarkan diri di

pinggir jalan setelah KLL, mekanisme injuri tidak diketahui. Saat pengkajian GCS

E1M1Vett pupil bulat anisokhor 5mm/4mm, reflek cahaya langsung -/-, refek cahaya tidak

langsung -/- kaku kuduk reflex fisiologis rangsang meningen tidak dapat dikaji; 9)

Endokrin: GDS 329 (17/10) Mode Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi

Peran; Pasien merupakan seorang anak dan sumber pendapatan di keluarganya; Mode

Interdependensi; belum dapat dinilai.

b. Stimulus

Stimulus fokal: kesan asidosis metabolic terkompensasi sebagian (AGD, 17/10)

perdarahan di basal ganglia meluas hingga kapsula eksterna kanan, IVH, SAH, herniasi

subfalcine, edema serebri, fr C3 (17/10)

Stimulus kontekstual:

Stimulus residual:

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Gangguan ventilasi spontan

4. Tujuan:

1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3) respiratory status: airway patency

4) respiratory stasus: gas exchange

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral 2) Monitoring status neurologis 3) cardiac care 4) posisi

neurologis 5) mechanical ventilation management invasive 6) oxygen therapy

6. Evaluasi:

Pada hari perawatan ke-2 (18/10) pasien menunjukkan perilaku adaptif dalam level

compromised, pasien berada pada status DNR tanpa pemberian obat topangan, MAP

mencapai 30-31 mmHg. Namun akhirnya pasien menunjukkan perilaku indaptif dengan

semakin menurunnya kondisi pasien dan dinyatakan meninggal pada tanggal 19/10.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 145: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 13

1. Informasi Umum

Tn F, 34 tahun, tamat S1, wiraswasta, Kristen Protestan, Batak, Alamat: Depok, RM:

359.61.03, Masuk Rumah Sakit tanggal 05 Oktober 2016.

Diagnosa Medis: Myasthenia gravis, CAP, osteoporosis

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 06 Oktober 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20x/menit,

TD: 100/72 mmHg, HR: 72 x/menit, Saturasi 98%, sesak ada, dada terasa berat, terapi

oksigen dengan binasal 3 lpm, ronkhi di basal paru kiri dan kanan, batuk ada (sejak 2

minggu SMRS), AGD (05/10) kesan normal, akral hangat; 2) Nutrisi: makan per oral,

habis 1 porsi, 3) Eliminasi: BAB cair 4 kali, BAK spontan, 4) Aktivitas dan Istirahat:

pasien bed rest dengan mobilisasi minimal di atas tempat tidur, kekuatan otot ekstremitas

atas 4444/4444, kekuatan otot ekstremitas bawah 4444/4444; 5) Proteksi: Risiko jatuh

tinggi, suhu 37.4oC, prokalsitonin 1.3; leukosit 10.700 (05/10), terdapat luka post

trakeostomi; 6) Sensasi; adaptif; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa:

balance cairan -250cc/24jam, mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan

keluhan sesak sejak 5 jam sebelum asuk RS, Agustus 2016 post rawat inap akibat krisis

miastenik, sudah timektomi (2014) saat pengkajian GCS E4M6V5 pupil isokhor

3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, reflex patologis (-), rangsang cahaya langsung dan

tidak langsung +/+, kelemahan anggota gerak dirasakan bila berjalan jauh; 9) Endokrin:

adaptif dengan GDS: 76 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien mengatakan ingin segera

pulih; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang anak tunggal dan mencari nafkah

untuk keluarganya; Mode Interdependensi; selama masa perawatan pasien ditemani

oleh ibunya

b. Stimulus

Stimulus fokal: kelemahan otot pernapasan dan anggota gerak, Thorax (05/10) infiltrate

dan fibrosis di paru kiri

Stimulus kontekstual: riwayat timoma

Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Gangguan pola napas 2) Kerusakan mobilitas fisik 3) Kerusakan integritas kulit

4. Tujuan:

1) Status respiratori 2) level mobility 3) ambulasi 4) Penyembuhan luka:primer

5. Intervensi:

1) Respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring 2) exercise

management 3) Perawatan luka 5) Medication management (mestinon 4x60mg, omeprazole

2x40mg, sukralfat 4x15cc, fluimucyl 3x15cc, cravat D3 3x1, cefepime 3x1, inhalasi

combivent:bisolvon/6 jam, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 10 hari perawatan pasien menunjukan perubahan hemodinamik RR:

16x/menit tanpa terapi oksigen, TD: 111/79 mmHg. HR: 98x/menit, SaO2 99-100%.

Mestinon naik dosik 5x60mg, methylprednisolon diberikan untuk menunjang kondisi fisik

pasien, evaluasi nilai procalcitonin 1,7 (13/10). Pasien berada dalam level adaptasi

compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 146: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 14

1. Informasi Umum

Tn AM, 21 tahun, mahasiswa, Islam, Betawi, Alamat: Jakarta Timur, Betawi, RM:

415.93.60, Masuk Rumah Sakit tanggal 29 Oktober 2016

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec CKS, SAH, Post debridement

tibia+ORIF+skeletal traksi distal femur, closed fracture jari kelingking dextra

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 31 September 2016. Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi:

NEWSS: Merah Pasien terpasang ETT no.7.5 dengan batas bibir 22, 5cm di atas carina,

slem per ETT banyak kental warna putih kekuningan, saliva banyak, diberikan terapi

inhalasi/6 jam serta suction berkala dilakukan. Usaha napas pasien ada dibantu dengan

ventilasi mekanik dengan setting SIMV (pressure control) FiO2 40%, PEEP 5, Pabove

PEEP 9, RR 10 x/mnt. Pada saat pengkajian, pasien menunjukkan RR 10-18 x/mnt,

PEEP 3-5, Pmean 7, Ppeak 14, VTi 219-507, VTe 224-468, mVe 6.9, SaO2 100%. Suara

napas vesikuler, pengembangan paru kiri kanan sama. HR: 92x/mnt, TD: 130-160/70-80

mmHg, MAP: 88-92 dengan topangan dobutamin 1mcg/KgBB/menit, pulsasi teraba kuat

dan penuh; 2) Nutrisi: pasien terpasang NGT, residu (-); 3) Eliminasi: terpasang FC

diuresis 0,7/6 jam; 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot tidak dapat

terkaji; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, Terpasang traksi skeletal dengan beban 10 Kg,

terdapat VL di bagian tangan dan kaki, ulkus dekubitus (-), terdapat luka jahitan di tibia

medial anterior dengan ukuran ±7cm tertutup gips; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7)

Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: terpasang CVC di subclavia dextra,

connect to Ringerfundin 20cc/jam. CRT<3detik, akral hangat, konjungtiva anemis, CVP:

+12cmH2O. (30/10) Input: 2099.8cc,Output: 1890cc, Balance: +209.8cc, Na: 125; 8)

neurologis: Tingkat kesadaran pasien belum dapat terkaji dikarenakan pasien berada di

bawah pengaruh obat dengan propofol 50mg/jam, midazolam 3mg/jam, kekuatan otot

belum dapat dikaji, pupil bulat isokhor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak

langsung +/+, battle sign (-), fr column cervical (-), refleks fisiologis +2/+2, sensasi dan

otonom belum dapat dinilai. reflek cahaya langsung +/+, refek cahaya tidak langsung +/+

kaku kuduk reflex fisiologis rangsang meningen tidak dapat dikaji; 9) Endokrin: GDS

167 (30/10) Mode Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi Peran; Pasien

merupakan seorang anak di keluarganya; Mode Interdependensi; belum dapat dinilai.

b. Stimulus. Stimulus fokal: SAH di fissure sylvii kanan, edema luas di hemisfer serebri

dextra (30/10); Stimulus kontekstual: -; Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan: 1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Gangguan ventilasi

spontan

4. Tujuan: 1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3) respiratory status: airway

patency 4) respiratory stasus: gas exchange

5. Intervensi: 1) Promosi perfusi serebral 2) Monitoring status neurologis 3) cardiac care 4)

posisi neurologis 5) mechanical ventilation management invasive 6) oxygen therapy

6. Evaluasi: Setelah perawatan selama 4 hari, pasien menunjukkan hemodinamik tidak stabil

dengan dibantu topangan dan sedasi. Pasien berada dalam level adaptasi compromised

processes.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 147: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 15

1. Informasi Umum

Tn MG, 71 tahun, tamat S1, tidak bekerja, Islam, Alamat: Jakarta Timur, Jawa, RM:

359.67.61, Masuk Rumah Sakit tanggal 17 September 2016.

Diagnosa Medis: Stroke iskemik berulang, Status epileptikus, Hipertensi grade II, HAP,

acute kidney injury

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 19 September 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 22x/menit,

TD: 180/103 mmHg, HR: 91 x/menit, Saturasi 99%, sesak ada, terpasang tracheostomy

connect to closed suction dan oksigen 10lpm, ronkhi di basal paru kiri dan kanan, slem +

(warna kuning, kental), AGD (19/09) kesan normal, akral hangat, Ro Thorax: gambaran

kardiomegali dan susp. Edema paru (17/09); 2) Nutrisi: makan per PE 1500kkal, BB

ideal: 67,5 Kg, albumin (17/09): 2,92, 3) Eliminasi: BAB adaptif 2 hari sekali dengan

pemberian obat, BAK dengan menggunakan kondom kateter, 4) Aktivitas dan Istirahat:

pasien bed rest dengan mobilisasi minimal di atas tempat tidur, keempat ekstremitas

spasme; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, suhu 36,8oC, luka dekubitus grade III di area

sacrum, procaltonin (17/09): 2,09; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit

dan keseimbangan asam basa: balance cairan -350cc/24jam, mukosa bibir lembab,

(17/09) Ca: 8,3, Mg: 1,64, cr: 1,5, ur:93; 8) neurologis: 1 jam sebelum masuk ke RS

pasien dikatakan kejang (kedua tangan kaku, mata meolotot) dengan durasi ±30 menit,

setelah kejang kesadaran pasien dikatakan mulai menurun, pasien riwayat stroke 5 kali

(1995, 1998, 2001, 2005, dan 2014), saat pengkajian GCS E4M2Vtt pupil isokhor

3mm/3mm, reflex fisiologis +2/+2, reflex patologis (-), rangsang cahaya langsung dan

tidak langsung +/+; 9) Endokrin: adaptif dengan GDS: 114 mg/dL. Mode Konsep diri;

tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ayah dan suami,

pembiayaan ditanggung oleh anaknya; Mode Interdependensi; selama masa perawatan

pasien ditemani oleh caregiver (bukan keluarga)

b. Stimulus

Stimulus fokal: penumpukan slem di jalan napas; Stimulus kontekstual: riwayat stroke

Stimulus residual: pola hidup

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Bersihan jalan napas tidak efektif 2) Risiko inadekuat perfusi jaringan serebral

3)Kerusakan mobilitas fisik 4) Kerusakan integritas kulit

4. Tujuan:

1) Respiratory status: airway patency 2) status neurologis: kesadaran 3) skeletal function 4)

ambulasi 5) Penyembuhan luka:primer

5. Intervensi:

1) Airway management; airway suctioning 2) neurologic monitoring, cardiac care, vital sign

monitoring 3) exercise management 4) Perawatan luka 5) Medication management

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 13 hari perawatan pasien menunjukan perubahan hemodinamik RR:

18x/menit dengan oksigen 10lpm, TD: 154/96 mmHg. HR: 90x/menit, SaO2 99-100%, slem

berkurang. Pasien berada dalam level adaptasi compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 148: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 16

1. Informasi Umum

Tn W, 33 tahun, tamat S1, tidak bekerja, Islam, Padang, Alamat: Jakarta Timur, RM:

417.41.12, Masuk Rumah Sakit tanggal 06 November 2016

Diagnosa Medis: Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP)

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 07 November 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 21x/menit,

TD: 125/90 mmHg, HR: 78 x/menit, Saturasi 99%, pasien mengeluhkan sesak, dada

terasa berat, batuk tidak ada, terapi oksigen dengan binasal 2 lpm, Ro Thorax (06/11)

tidak tampak kelainan, akral hangat; 2) Nutrisi: makan per oral, habis 1 porsi, 3)

Eliminasi: belum BAB selama 2 hari, BAB keras, BAK spontan, 4) Aktivitas dan

Istirahat: pasien bed rest dengan mobilisasi duduk bersandar di atas tempat tidur,

kekuatan otot ekstremitas atas 1111/1111, kekuatan otot ekstremitas bawah 4444/4444,

ADL dibantu oleh keluarga; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, suhu 36,8oC; 6) Sensasi;

sensasi di bagian ekstremitas menurun dibandingkan ekstremitas bawah; 7) Cairan dan

Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +450cc/24jam, mukosa bibir

lembab, elektrolit dalam batas normal; 8) neurologis: masuk ke RS dengan kelemahan

anggota gerak sejak 3 hari SMRS, 2 bulan yang lalu pasien post rawat inap selama 2

minggu dan ditegakkan diagnose CIDP, membaik setelah dilakukan plasmaferesis. Pada

saat pengkajian keluhan sesak sejak subuh GCS E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, reflex

fisiologis +2/+2, reflex patologis (-), rangsang cahaya langsung dan tidak langsung +/+,

kelemahan anggota gerak dirasakan terutama pada ekstremitas atas; 9) Endokrin: adaptif

dengan GDS: 90 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien mengatakan ingin segera pulih;

Mode Fungsi Peran; Pasien harus berhenti dari pekerjaannya semenjak didiagnosa

CIDP; Mode Interdependensi; selama masa perawatan pasien ditemani oleh adik dan

kakaknya.

b. Stimulus: Stimulus fokal: kelemahan anggota gerak, (3/11) hasil pemeriksaan KHS dan

EMG: keempat ekstremitas mengalami poliradikuloneuropati serabut motorik dan

sensori; Stimulus kontekstual: riwayat CAP; Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Gangguan pola napas 2) Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan:

1) Status respiratori 2) level mobility 3) ambulasi

5. Intervensi:

1) Respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring 2) exercise

management 3) Medication management (cravit D3 3x1, imuran 1x50mg, ranitidine 2x50mg,

prednisone 1x50mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 5 hari perawatan pasien menunjukan perubahan hemodinamik RR:

16x/menit tanpa terapi oksigen, TD: 138/88 mmHg. HR: 73x/menit, SaO2 97-99%. Pasien

menunjukan respon positif terhadap pemberian kortikosteroid sehingga tidak membutuhkan

tindakan plasmaferesis, Kekuatan otot ekstremitas atas 3333/3333. Pasien berada dalam level

adaptasi compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 149: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 17

1. Informasi Umum

Tn MS, 45 tahun, tamat SD, tidak bekerja, Islam, Sunda, Alamat: Bogor-Jawa Barat, RM:

402.89.48, Masuk Rumah Sakit tanggal 10 Oktober 2016.

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec susp SOL intracranial, hydrocephalus, riwayat

KNF on kemoterapi ke-4

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 13 Oktober 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 20 x/menit,

TD: 106/69 mmHg, HR: 106 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat, oral hygiene buruk

Thorax ro (10/10) t; 2) Nutrisi: terpasang NGT, residu ada warna hijau kecoklatan,

sementara dipuasakan; 3) Eliminasi: BAB belum sejak masuk rumah sakit, terpasang FC,

diuresis + 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest cenderung tertidur, spasme pada

anggota gerak atas +/+; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,

terdapat ulkus dekubitus di area sakrum grade II, ukuran ±3x5cm, perawatan luka

dilakukan, S: 38,80C; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit dan

keseimbangan asam basa: elektrolit dalam batas normal (10/10), balance cairan

+360cc/24 jam; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran, pasien post

kemoterapi ke-4 10 hari yang lalu dan kesadaran bertahap menurun, sebelumnya pasien

post ranap kaena penurunan kesadaran, Pada saat pengkajian GCS E3M5V2. Hasil

pemeriksaan funduskopi tidak ditemukan adanya tanda-tanda peningkatan TIK, kaku

kuduk +/+, babinski -/-, refleks fisiologis +2/+2, rangsang cahaya langsung dan tidak

langsung +/+. CT Scan (10/10) nampak pelebaran sistem ventrikel bilateral perifokal

edema tidak ada, midline shifting (-), ventrikel III dan IV terbuka; 9) Endokrin: adaptif

dengan GDS 107 mg/dL. Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran;

Pasien merupakan suami dengan 2 orang anak, sebelum sakit merupakan sumber nafkah

dalam keluarga; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani

oleh istrinya

b. Stimulus: Stimulus fokal: penurunan kesadaran, pembesaran sistem ventrikel; Stimulus

kontekstual: susp keganasan intracranial

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Hipertermia 3) Kerusakan integritas kulit

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic 3) perfusi

perifer 4) Termoregulasi 5)Perbaikan integritas jaringan

5. Intervensi:

1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Penanganan demam 4) Perawatan luka 5)

Medication management (13/10) (Manitol4x125cc, paracetamol 3x1 gr, dexamethason

4x5mg, omeprazole 1x40mg, ceftriaxon 2x2gr diamox 2x250mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi:

Setelah 4 hari perawatan, pasien belum menunjukkan adaptasi dengan masih adanya

penurunan kesadaran (GCS E3M5V2), hemodinamik tidak stabil ditunjukan naik turunnya

suhu, residu pada NGT masih ada warna kekuningan, kebersihan mulut baik, luka dekubitus

tidak bertambah luas. Pasien berada pada tahap adaptasi compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 150: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 18

1. Informasi Umum

Tn M, 78 tahun, tamat SD, tidak bekerja, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Pusat, RM: 416.12.41,

Masuk Rumah Sakit tanggal 08 Desember 2016

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec ICH, Post Old Stroke Iskemik, hipertensi grade II,

pneumonia

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 21 Desember 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Orange tanda vital RR: 26x/menit

dengan simple mask 6 lpm TD: 130/80 mmHg, HR: 80 x/menit, Saturasi 99%, akral

hangat, oral hygiene baik; 2) Nutrisi: adaptif per NGT, mual muntah (-), residu (-); 3)

Eliminasi: BAB dan BAK adaptif per DC dan diapers 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien

bed rest, aktivitas minimal miring kiri-miring kanan; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi,

terpasang klip risiko jatuh, terdapat luka dekubitus gradae II; 6) Sensasi; tidak ada

gangguan sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa

bibir lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam

sebelum masuk RS, riwayat jtuh (+), hipertensi dan kelemahan di sisi kiri tubuh sejak 3

tahun yang lalu. Pada saat pengkajian GCS E3M5V2. Hasil pemeriksaan funduskopi tidak

ditemukan adanya tanda-tanda peningkatan TIK, kaku kuduk +/+, babinski -/+, refleks

fisiologis +3/+3, rangsang cahaya langsung dan tidak langsung +/+. CT Scan (08/12)

terdapat perdarahan intraparenkim lobus frontal kiri, thalamus disertai perifokal edema,

infark lama di area pons; 9) Endokrin: adaptif dengan GDS 121 mg/dL

Mode Konsep diri; tidak dapat terkaji; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang

ayah dan kakek; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani

oleh anaknya yang secara bergantian menjaga pasien

b. Stimulus

Stimulus fokal: penurunan kesadaran, perdarahan lobus frontal kiri, edema perifokal;

Stimulus kontekstual: riwayat hipertensi; Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial 2) Kerusakan intregitas kulit 3) Ketidakefektifan

pola napas

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) status neurologis 3) penyembuhan luka primer 4)

status respirasi

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral, 2) monitoring status neurologis, 3) Perawatan luka,

4)Respiratory monitoring, 5) Oxygen therapy, 6) Cardiac care 7) Vital sign monitoring, 8)

Medication management (laxadin 3x15cc, paracetamol 3x1 gr, omeprazole 1x40mg,

candesartan 1x16mg, perdipine 5mg/jam, amlodipine 1x10mg, fluimucyl 1amp/24 jam,

meropenem 3x1gr, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi: Setelah 3 hari perawatan pasien tidak mengalami perubahan tingkat kesadaran disertai

hemodinamik yang tidak stabil dengan pemberian drip penurun tekanan darah. Pasien berada

dalam level adaptasi compromised processes.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 151: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 19

1. Informasi Umum

Tn F, 29 tahun, S1, karyawan swasta, Kristen, Jawa, Alamat: Tangerang, RM: 414.91.83,

Masuk Rumah Sakit tanggal 18 September 2016.

Diagnosa Medis: Meningitis TB, SIDA on ARV, TB milier on OAT, DM tipe II

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 10 Oktober 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 18x/menit,

ronchi kasar bilateral, TD: 120/70 mmHg, HR: 92 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2)

Nutrisi: intake nutrisi adekuat per oral, 3) Eliminasi: BAK via kateter urine dan BAB

adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, mobilisasi dibantu total, kekuatan otot

ekstremitas atas 4444/4444 ekstremitas bawah 4444/4444; 5) Proteksi: riwayat demam

hilang timbul sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit disertai dengan nyeri kepala, saat

masa perawatan diketahui ELISA HIV positif, risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko

jatuh; 6) Sensasi; keluhan nyeri ada skala 1-2 dengan pemberian analgetik; 7) Cairan dan

Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +120cc (10 Oktober 2016),

mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran, saat

pengkajian GCS E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, refleks patologis (+), refleks fisiologis

+2/+2; 9) Endokrin: riwayat DM GD: 210 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien berharap

untuk dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien

merupakan suami dengan 1 orang anak, pencari nafkah di keluarganya; Mode

Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh adiknya

b. Stimulus

Stimulus fokal: infeksi pada meningen, kesan meningioencephalitis (CT Scan), gamaran

TB milier, imfadenipathy (Thorax)

Stimulus kontekstual; HIV positif, tuberkulosis

Stimulus residual: hubungan seksual lebih dari satu pasangan, lingkungan rumah

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri 3) ketidakstabilan gula darah

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pain control 4) kadar glukosa

darah

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)

Manajemen nyeri 6) Kontrol kadar gula darah 7) Medication management (10/10)(Metformin

3x500mg, HP Pro 3x7,5mg, paracetamol 3x1 gr, cotrimoxazole 1x960mg, mycostatin 4x1cc,

NaCl 0,9% 500cc/24 jam (diluar OAT dan ARV))

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 22 hari perawatan pasien menunjukan perbaikan kondisi umum dengan

kesadaran CM, batuk berkurang, skala nyeri berada dalam rentang 0-1 Vital sign TD 125/81

N 96 x/menit P 18 x/menit S 36,90C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi

sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 152: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 20

1. Informasi Umum

Tn Y, 45 tahun, S1, karyawan swasta, Islam, Jawa, Alamat: Bekasi, RM: 417.81.34, Masuk

Rumah Sakit tanggal 02 November 2016

Diagnosa Medis: Tumor intraventrikular dextra dengan komponen perdarahan, hidrosefalus

obstruktif

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 07 November 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 17x/menit,

TD: 124/82 mmHg, HR: 72 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2) Nutrisi: intake nutrisi

adekuat per oral, 3) Eliminasi: BAK dan BAB adaptif; 4) Aktivitas dan Istirahat:

mobilisasi aktif, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555 ekstremitas bawah 5555/5555;

5) Proteksi: suhu 35,90C; 6) Sensasi; keluhan nyeri skala 2-3 dengan pemberian

analgetik; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan +340cc

(07 November 2016), mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk ke RS dengan nyeri

kepala berat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, riwayat nyeri kepala hebat

hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu, pasien sempat dirawat dan dilakukan CT Scan serta

MRI yang menyatakan terdapat tumor di kepala (hasil tidak ada). Saat pengkajian GCS

E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, papiledema (+/-) refleks patologis (-), refleks fisiologis

+2/+2; 9) Endokrin: riwayat DM GD: 210 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien berharap

untuk dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien

merupakan suami dengan 2 orang anak, pencari nafkah di keluarganya, selama sakit

pasien mengambil cuti dari pekerjaannya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di

RS, pasien setiap hari dikunjungi oleh istri maupun anaknya.

b. Stimulus

Stimulus fokal: nyeri kepala

Stimulus kontekstual; tumor intraventrikel

Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pain control

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)

Manajemen nyeri 6) Medication management (07/11)(dexamethason 2x5mg, omeprazole

1x40mg, diamox 3x500mg, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi: Evaluasi selama 8 hari perawatan pasien menunjukan skala nyeri berada dalam rentang 0-1

Vital sign TD 124/94 N 72 x/menit P 18 x/menit S 36,10C. Pada tanggal 08/11/16 muncul

ruam di bagian lengan, dada, serta punggung pasien dan terasa gatal, diagnose keperawatan

baru yang muncul yakni kerusakan integritas kulit. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi

dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 153: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 21

1. Informasi Umum

Tn S, 62 tahun, pendidikan terakhir SD, Wiraswasta, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Selatan,

RM: 415.95.60, Masuk Rumah Sakit tanggal 02 November 2016

Diagnosa Medis: Stroke hemoragik, hemiparese N.VII dextra sentral

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 11 November 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 16x/menit

TD: 146/98 mmHg, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu namun

tidak minum obat maupun kontrol tekanan darah, HR: 75 x/menit, Saturasi 99%, akral

hangat, oral hygiene baik; 2) Nutrisi: adaptif, mual muntah (-); 3) Eliminasi: BAB dan

BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, kekuatan otot ekstremitas atas

4444/5555, ekstremitas bawah 4444/5555; 5) Proteksi: Risiko jatuh sedang, skala braden:

risiko tinggi, luka dekubitus (-); 6) Sensasi; hemihipestesi dextra; 7) Cairan dan

Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa bibir lembab, nilai elektrolit

dalam batas normal; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan kelemahan disertai rasa

baal pada sisi gerak kanan sejak 2,5 jam sebelum masuk rumah sakit kesadaran CM,

mulut mencong (+) Releks fisiologis +2/+2, rangsang meningen (-/-), CT scan kepala:

perdarahan intra parenkim serebri multiple di thalamus dan kapsula eksterna kiri, estimasi

perdarahan 2,7cc, 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera

pulih dan mampu untuk beraktivitas seperti sebelum masuk rumah sakit; Mode Fungsi

Peran; pasien merupakan seorang ayah dan pencari nafkah dalam keluarganya; Mode

Interdependensi; Selama masa perawatan pasien selalu ditemani oleh istri atau anaknya

b. Stimulus

Stimulus fokal: perdarahan intra parenkim serebri

Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi

Stimulus residual: Gaya hidup

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Ambulasi dan adaptasi terhadap disabilitas

5. Intervensi:

1) Cardiac care 2) Vital sign monitoring 3) Latihan ambulasi 4) Medication management

(paracetamol 3x1gr, laxadine 3x15cc, omeprazole 1x40mg, myonal 2x1tab, catopril 2x25mg,

NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi:

Setelah 3 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptive ditunjukkan dengan

kesadaran CM, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (-), namun tekanan darah pasien

masih berada dalam rentang 130-150/80-90 mmHg, mobilisasi aktif. Pasien dalam tahapan

beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 154: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 22

1. Informasi Umum

Ny. D, 58 tahun, tamat SMP, ibu rumah tangga, Kristen, Jawa, Alamat: Tangerang, RM:

369.40.40, Masuk Rumah Sakit tanggal 09 Maret 2017

Diagnosa Medis: Tumor medulla spinalis region lumbal, riwayat ca cerviks stadium IIIB,

DM tipe II

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 10 Maret 2017

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 17x/menit,

TD: 122/95 mmHg, HR: 100 x/menit, Saturasi 98%, akral hangat; 2) Nutrisi: intake

nutrisi adekuat per oral, makan habis 1/2 porsi, 3) Eliminasi: BAK dan BAB adaptif; 4)

Aktivitas dan Istirahat: mobilisasi aktif, kekuatan otot ekstremitas atas 5555/5555

ekstremitas bawah 5555/5555; 5) Proteksi: suhu 36,30C; 6) Sensasi; keluhan nyeri

menggunakan VAS skala 3-4 dengan pemberian analgetik; 7) Cairan dan Elektrolit dan

keseimbangan asam basa: balance cairan +240cc (10 Maret 2017), mukosa bibir lembab;

8) neurologis: masuk ke RS dengan nyeri punggung sejak 9 bulan sebelum masuk RS

yang bertambah berat sejak 1 bulan SMRS, sebelumnya pada tahun 2012 pasien

didiagnosa Ca. cerviks dan telah menjalani kemoterapi sampai dengan selesai. CT Scan

serta MRI yang menyatakan terdapat tumor di area lumbal. Saat pengkajian GCS E4M6V5

pupil isokhor 3mm/3mm, papiledema (-/-) refleks patologis (-), refleks fisiologis +2/+2;

9) Endokrin: riwayat DM GD: 216 mg/dL. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk

dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan

istri dengan 2 orang anak; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien setiap

hari dikunjungi oleh anak laki-lakinya.

b. Stimulus

Stimulus fokal: nyeri punggung

Stimulus kontekstual; tumor medulla spinalis

Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan:

1) nyeri 2) Ketidakstabilan glukosa dalam darah

4. Tujuan:

1) Pain control 2) Kadar glukosa darah

5. Intervensi:

1) Manajemen nyeri 2) kontrol gula darah 3) Medication management (dexamethason

2x5mg, paracetamo 3x1gr, morphine 1x1tab, omeprazole 1x40mg, diamox 3x500mg,

metformin 1x1tab, NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 7 hari perawatan pasien menunjukan skala nyeri VAS berada dalam rentang

0-1 dengan pemberian analgetik narkotik, tanda vital: TD 124/94 N 102 x/menit P 18 x/menit

S 36,10C. Awalnya pasien merasa nyeri banyak berkurang setelah pemberian PCT dan sangat

tergantung dengan pemberian PCT. Setelah dilakukan pemberian placebo paracetamol, nyeri

pasien tetap mengalami penurunan. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi

sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 155: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 23

1. Informasi Umum

Ny. A, 42 tahun, S1, ibu rumah tangga, Muslim, Jawa, Alamat: Tangerang, RM: 344.61.66,

Masuk Rumah Sakit tanggal 19 Maret 2017.

Diagnosa Medis: Abses serebri dd toxoplasma infection, SLE

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 03 April 2017

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 18x/menit,

sesak (-) TD: 116/84 mmHg, HR: 75 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2) Nutrisi:

intake nutrisi adekuat per oral, 3) Eliminasi: BAK BAB adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat:

pasien bed rest, mobilisasi jalan berpegang pada furniture, kekuatan otot ekstremitas atas

5555/5555 ekstremitas bawah 5555/5555, tremor di ekstremitas atas; 5) Proteksi: anti

HIV (-), CD 4 (>500); 6) Sensasi; penurunan penglihatan di mata kanan sejak 1 bulan

sebelum masuk rumah sakit, saat pengkajian mata kanan pasien bengkak sebesar bola

pingpong disertai keluaran berwarna kuning dan direncanakan akan dilakukan

pengangkatan bola mata kanan pada hari rabu (05/04/2017); 7) Cairan dan Elektrolit dan

keseimbangan asam basa: balance cairan +240cc (03 Maret 2017), mukosa bibir lembab;

8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan fungsi penglihatan di mata kanan disertai

demam dan nyeri kepala hebat, saat pengkajian GCS E4M6V5 refleks patologis (-), refleks

fisiologis +2/+2 CT Scan: edema jaringan lunak di anterior bulbus okuli kanan, multipel

lesi di lobus frontoparietal kiri disertai perifokal edema di region frontoparietal kiri; 9)

Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap operasi pengangkatan matanya

berjalan lancar; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan 1 orang

anak kelas 6 SD; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani

oleh suami atau orang tuanya

b. Stimulus

Stimulus fokal: infeksi pada jaringan otak, penurunan fungsi penglihatan

Stimulus kontekstual; infeksi toxoplasma

Stimulus residual: lingkungan rumah yang memelihara kucing

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) risiko cedera

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) cedera fisik tidak terjadi

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4)

pencegahan jatuh 5) Medication management

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 17 hari perawatan pasien menunjukan perburukan dengan membengkaknya

mata kanan pasien, nyeri kepala sudah tidak, pasien sedang menjalani persiapan

pengangkatan bola mata. Saat ini pasien berada pada level adaptasi compromised.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 156: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 24

1. Informasi Umum

Tn NR, 43 tahun, pendidikan terakhir S1, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat: Bekasi,

RM: 420.97.44, Masuk Rumah Sakit tanggal 12 April 2017.

Diagnosa Medis: Afasia motorik, paresis N. VII, N.XII sinistra sentral, hemiparese sinistra

ec. Stroke iskemik, hipertensi

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 15 April 2017

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 16 x/menit,

TD: 163/120 mmHg, HR: 82 x/menit, Saturasi 98%, akral hangat, oral hygiene buruk,

drooling +, Gambaran EKG: LBBB, Thorax: gambaran kardiomegali; 2) Nutrisi: diet per

NGT, residu (-); 3) Eliminasi: BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien

bed rest kekuatan otot ekstremitas atas 5555/3333, ekstremitas bawah 5555/3333; 5)

Proteksi: Risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh,; 6) Sensasi; tidak ada gangguan

sensasi; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: elektrolit dbn (13 April

2017), mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan kelemahan

anggota gerak kiri pada saat pengkajian terdapat kelemahan di bagian ekstremitas atas

dan bawah sebelah kiri, kesadaran compos mentis, afasia motorik, pupil isokhor

3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2, rangsang meningen -/-; 9) Endokrin: gula

darah puasa 86 mg/dL HbA1C 4.7 (12.04.2017) tanpa terapi gula darah. Mode Konsep

diri; pasien berharap untuk segera pulih dan dapat beraktivitas seperti sebelum masuk

RS; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ibu dan pencari nafkah di

keluarganya membantu peran suaminya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS,

pasien selalu ditemani oleh anak maupun suaminya, kerabat dan saudara setiap hari

mengunjungi pasien selama masa perawatan

b. Stimulus

Stimulus fokal: infark multiple di ganglia basalis kanan kanan, kapsula eksterna, dan

lobus parietal kanan, kardiomegali

Stimulus kontekstual: hipertensi sejak lebih dari 5 tahun yang lalu

Stimulus residual: -

3. Diagnosa Keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 2) Kerusakan

mobilitas fisik 3) Gangguan komunikasi verbal

4. Tujuan: 1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2)Status neurologis: kesadaran dan autonomic

3) Mobilisasi 5) Komunikasi baik

5. Intervensi: 1) Cardiac care, 2) Promosi perfusi serebral, 3) Promosi bodi mekanik, 4)

Latihan: kontrol otot, 5) Body position: self initiated, 6) Latihan ambulasi, 7) Mendengarkan

aktif, 8) Peningkatan komunikasi: speech, 9) Medication management (ascardia 1x80mg, Vit

B6 2x10mg, Vit B12 2x50mg, captopril 3x25mg, paracetamol 3x1gr, Asam folat 2x5mg,

Nacl 0,9% 500cc/12 jam, drip perdipine 5mg/jam)

6. Evaluasi: Setelah 14 hari perawatan, pasien menunjukkan adaptasi terhadap tekanan darah

serta kemampuan bicara dengan kontrol TD (130/80), mobilisasi duduk, pasien secara

mandiri maupun dibantu oleh keluarga rutin melakukan ROM exercise, pasien berada dalam

tahap adaptasi compromised.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 157: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 25

1. Informasi Umum

Ny R, 49 tahun, S1, PNS, Islam, Padang, Alamat: Depok, RM: 354.00.23, Masuk Rumah

Sakit tanggal 17 Maret 2017.

Diagnosa Medis: SOL intra cranial metastase adeno sarcoma paru sage IV, secondary

headache

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 18 Maret 2017

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20x/menit,

TD: 112/85 mmHg, HR: 84x/menit, Saturasi 98%, akral hangat; 2) Nutrisi: intake nutrisi

adekuat per oral, makan habis ½ porsi, 3) Eliminasi: BAK dan BAB adaptif, 4) Aktivitas

dan Istirahat: pasien bed rest, mobilisasi dibantu total, kekuatan otot ekstremitas atas

5555/4444, ekstremitas bawah 5555/4444; 5) Proteksi: riwayat kejang (+), risiko jatuh

tinggi, terpasang klip risiko jatuh; 6) Sensasi; keluhan nyeri VAS skala 1-2 dengan

pemberian analgetik; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: elektrolit

dalam batas normal, balance cairan dalam batas normal, mukosa bibir lembab; 8)

neurologis: masuk ke RS dengan riwayat kejang 16 jam sebelum masuk rumah sakit,

frekuensi 2 kali durasi 2 menit mata mendelik ke atas, sebelumnya pasien riwayat

Ca.Paru grade IV sudah radioterapi 35 kali, kemoterapi 6 kali. Saat pengkajian GCS

E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, refleks patologis (+), refleks fisiologis +2/+2; 9)

Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk dapat segera pulih dan

keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan istri dan seorang ibu di

keluarganya; Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien jarang ditemani oleh

keluarganya, namun sering berhubungan via telepon dengan anak dan suaminya

b. Stimulus

Stimulus fokal: nyeri kepala

Stimulus kontekstual; tumor intra cranial

Stimulus residual: riwayat Ca.Paru

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) nyeri 3) kerusakan mobilisasi fisik

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pain control 4) level mobility 5)

ambulasi

5. Intervensi:

1) Monitoring status neurologis 2) Posisi neurologis 3) Manajemen nyeri 4) exercise

management 5) Medication management (18/04)(dexamethasone 3x5 mg, omeprazole

2x40mg, paracetamol 3x1gr, laxadine 3x15cc, keppra 750mg-0-500mg, NaCl 0,9% 500cc/24

jam)

6. Evaluasi:

Evaluasi selama 4 hari perawatan pasien belum menunjukan perbaikan kondisi umum dengan

kesadaran skala nyeri berada VAS berada dalam rentang 1-2, Vital sign TD 125/78 N 85

x/menit P 18 x/menit S 36,90C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi

sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 158: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 26

1. Informasi Umum

Ny F, 33 tahun, lulus SMA, ibu rumah tangga, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Barat, RM:

382.00.21, Masuk Rumah Sakit tanggal 18 Maret 2017.

Diagnosa Medis: Meningoenchepalitis, SIDA putus ARV, CAP, secondary headache

2. Pengkajian

a. Perilaku Pengkajian tanggal 20 Maret 2017

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 20x/menit,

ronchi kasar bilateral, TD: 110/70 mmHg, HR: 97 x/menit, Saturasi 99%, akral hangat; 2)

Nutrisi: intake nutrisi parenteral menggunakan TE 1000/24 jam dan diet cair per enteral

feeding, 3) Eliminasi: BAK via kateter urine dan BAB (-) sejak masuk rumah sakit 4)

Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, mobilisasi dibantu total; 5) Proteksi: riwayat

demam hilang timbul sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit disertai dengan nyeri

kepala, pasien diketahui HIV positif sejak tahun 2006 dan dikonsulkan ke pokdisus,

mulai mengonsumsi ARV pada tahun 2013 namun tahun 2015 pasien putus minum ARV,

risiko jatuh tinggi, terpasang klip risiko jatuh; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan

dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: balance cairan -120cc (20 Maret 2017),

mukosa bibir kering; 8) neurologis: masuk ke RS dengan penurunan kesadaran mulai dari

1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien riwayat HIV positif, TB paru dan efusi

pleura (pengobatan 9 bulan selesai), saat pengkajian GCS E4M6V5 pupil isokhor

3mm/3mm, refleks patologis babinski positif bilateral, refleks fisiologis +2/+2; 9)

Endokrin: adaptif GDS: 114 mg/dL. Mode Konsep diri; keluarga pasien berharap pasien

untuk dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit; Mode Fungsi Peran; Pasien

merupakan adik dan juga ibu dari 1 orang anak; Mode Interdependensi; Selama dirawat

di RS, pasien selalu ditemani oleh adiknya

b. Stimulus

Stimulus fokal: infeksi pada meningen, kesan meningioencephalitis (CT Scan),

gambaran limfadenopathy (Ro Thorax)

Stimulus kontekstual; HIV positif, tuberkulosis

Stimulus residual: hubungan seksual lebih dari satu pasangan, lingkungan rumah

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Risiko jatuh

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologis: 3) Pencegahan jatuh

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral, 2) Monitoring status neurologis 3) Posisi neurologis 4) Perilaku

pencegahan jatuh 5) kejadian jatuh 6) Medication management (18/10)(laxadine 3x15cc,

paracetamol 3x1gr, dexamethasone 3x5mg, ceftriaxone 1x2gr, omeprazole 1x40mg,

Triofusin E 1000 500cc/24 jam)

6. Evaluasi: Evaluasi selama 4 hari perawatan pasien menunjukan perburukan kondisi umum dengan

kesadaran semakin menurun, NEWSS merah, slem kental, Vital sign TD 100/81 N 102

x/menit P 26 x/menit S 38,20C. Pasien masih dalam tahapan beradaptasi dengan kondisi

sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 159: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 27

1. Informasi Umum

Tn HH, 19 tahun, pendidikan terakhir SMP, pelajar, Islam, Jawa, Alamat: Jakarta Timur,

RM: 376.75.97, Masuk Rumah Sakit tanggal 10 Maret 2017.

Diagnosa Medis: Miastenia gravis riwayat krisis kolinergik, asthma terkontrol, ISPA

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 13 Maret 2017

Mode Adaptasi Fisiologis

1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 22 x/menit, TD: 100/70 mmHg, HR: 84

x/menit, Saturasi 99% (saat lepas binasal), akral hangat, terpasang binasal 3 lpm; 2)

Nutrisi: nafsu makan baik, intake nutrisi adekuat per oral, makan habis ½ porsi; 3)

Eliminasi: BAB adaptif BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, kekuatan

otot ekstremitas atas 5555/5555, ekstremitas bawah 4444/4444, 5) Proteksi: Risiko jatuh

tinggi, 36,4oC, pasien mengonsumsi imuran 2x50mg sejak 1 tahun yang lalu; 6) Sensasi;

sensorik adaptif; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ±

2500cc/hari, mukosa bibir lembab; 8) neurologis: pasien masuk rumah sakit dengan

riwayat batuk berdahak dan mendapatkan pengobatan antibiotik dan dosis steroid pasien

dinaikan, penurunan fungsi pernapasan ditandai dengan sesak. Pada saat pengkajian

terdapat kesulitan dalam bernapas berkurang, kesadaran CM dengan GCS E4M6V5 pupil

isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis kanan kiri +2/+2; 9) Endokrin: adaptif

Mode Konsep diri; Pasien merasa ingin segera pulih dan mobilisasi dengan harapan

dapat mandiri melakukan ADL.

Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang anak dan pelajar

Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh ibunya

b. Stimulus

Stimulus fokal: kelemahan otot gerak bawah dan otot pernapasan

Stimulus kontekstual:

Stimulus residual: usia

3. Diagnosa Keperawatan

2) Gangguan pola napas, 2) Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan

1) Status respiratori, 2) ambulasi

5. Intervensi

1) respiratory monitoring, oxygen therapy, cardiac care, vital sign monitoring; 2) bed rest

care, self care assistance 3) medication management (mestinon 5x60mg, methylprednisolone

2x16mg,myfortic 1x180mg, N-asetil sistein 3x200mg, paracetamol 3x500mg, ventolin

4x100mcg, NaCl 0,9% 500cc/24 jam)

6. Evaluasi

Setelah 12 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pasien dengan nilai RR

16x/menit setelah dicoba lepas terapi oksigen dan saturasi oksigen sebesar 98-99%.

Kelemahan pada anggota gerak bawah sudah tidak ada, mobilisasi aktif dengan bantuan.

Pasien berada pada level compromised dan direncakan untuk pulang

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 160: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 28

1. Informasi Umum

Tn S, 46 tahun, pendidikan terakhir S1, wiraswasta, Islam, Bangka, Alamat: Batam Riau,

RM: 419.34.77, Masuk Rumah Sakit tanggal 25 April 2017.

Diagnosa Medis: Miastenia Gravis riw. Krisis Miastenik

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 01 Mei 2017

Mode Adaptasi Fisiologis

1) Oksigenasi: NEWSS: Hijau tanda vital RR: 20 x/menit, TD: 120/70 mmHg, HR:

75x/menit, Saturasi 98%, akral hangat; 2) Nutrisi: nafsu makan baik, intake nutrisi

adekuat per oral, makan habis 1 porsi; 3) Eliminasi: BAB adaptif BAK adaptif 4)

Aktivitas dan Istirahat: mobilisasi dibantu sebagian, kekuatan otot ekstremitas atas

5555/5555, ekstremitas bawah 5555/5555; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi, 36,4oC; 6)

Sensasi; sensorik adaptif; 7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: intake ±

2500cc/hari, mukosa bibir lembab; 8) neurologis: masuk rumah sakit dengan keluhan

sesak tanpa disertai demam, berobat di Batam dan didiagnosa miastenia gravis serta

mengalami ancaman gagal napas, selanjutnya pasien dirujuk ke RSCM untuk tindakan

plasmaferesis. Pada saat pengkajian terdapat ptosis dan diplopia serta kesulitan dalam

melihat, kesadaran CM dengan GCS E4M6V5 pupil isokhor 3mm/3mm, reflex fisiologis

kanan kiri +2/+2; 9) Endokrin: adaptif

Mode Konsep diri; Pasien merasa ingin segera pulih

Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan seorang ibu dan seorang istri.

Mode Interdependensi; Selama dirawat di RS, pasien selalu ditemani oleh suaminya

b. Stimulus

Stimulus fokal: kelemahan otot penglihatan

Stimulus kontekstual:

Stimulus residual: usia

3. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan persepsi sensori 2) risiko jatuh

4. Tujuan

1) Status neurologis: fungsi sensoris dan motorik 2) perilaku pencegahan jatuh

5. Intervensi

1) promosi bodi mekanik, vital sign monitoring; 2) Pencegahan jatuh 3) medication

management (mestinon 6x60mg, methylprednisolone 3x8mg, omeprazole 1x40mg, rencana

plasmaferesis NaCl 0,9% 500cc/24 jam)

6. Evaluasi

Setelah 8 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pasien dengan nilai RR

18x/menit setelah saturasi oksigen sebesar 97-98%. Pasien mampu membaca dengan

menutup salah satu mata, diplopia dan ptosis berkurang. Pasien berada pada level

compromised.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 161: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 29

1. Informasi Umum

Tn M, 46 tahun, pendidikan terakhir S1, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat:

Tangerang, RM: 416.06.95, Masuk Rumah Sakit tanggal 26 November 2016

Diagnosa Medis: Stroke hemoragik, hemiparese N.VII dextra sentral

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 28 November 2016

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Kuning tanda vital RR: 16x/menit

TD: 150/100 mmHg, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu namun

tidak minum obat maupun kontrol tekanan darah, HR: 96 x/menit, Saturasi 99%, akral

hangat, oral hygiene buruk; 2) Nutrisi: adaptif per NGT, mual muntah (-); 3) Eliminasi:

BAB dan BAK adaptif 4) Aktivitas dan Istirahat: pasien bed rest, kekuatan otot

ekstremitas atas 5555/4444, ekstremitas bawah 5555/4444; 5) Proteksi: Risiko jatuh

sedang, skala braden: risiko tinggi, luka dekubitus (-); 6) Sensasi; hemihipestesi dextra;

7) Cairan dan Elektrolit dan keseimbangan asam basa: adaptif, mukosa bibir lembab, nilai

elektrolit dalam batas normal; 8) neurologis: Pasien masuk rumah sakit dengan

penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 9,5 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien

merasakan baal dan juga muntah 1 kali sebelumd atang ke RSCM. Pada saat pengkajian

kesadaran CM GCS E4M6V5 mulut mencong (+) Releks fisiologis +2/+2, rangsang

meningen (-/-), CT scan kepala: perdarahan intra cranial capsula eksterna dextra kurang

lebih 30cc, 9) Endokrin: adaptif. Mode Konsep diri; pasien berharap untuk segera pulih

dan mampu untuk beraktivitas seperti sebelum masuk rumah sakit; Mode Fungsi Peran;

pasien merupakan seorang ayah dan pencari nafkah dalam keluarganya, selama sakit,

pencari nafkah digantikan oleh istrinya; Mode Interdependensi; Selama masa

perawatan pasien selalu ditemani oleh istri atau adiknya

b. Stimulus

Stimulus fokal: perdarahan kranial

Stimulus kontekstual: Riwayat hipertensi

Stimulus residual: Gaya hidup, pekerjaan

3. Diagnosa Keperawatan:

1) kapasitas maladaptive intra cranial 2) Kerusakan mobilitas fisik

4. Tujuan:

1) Perfusi jaringan serebral adekuat 2) Status neurologi 3)Ambulasi dan adaptasi terhadap

disabilitas

5. Intervensi:

1) Cardiac care 2) Vital sign monitoring 3) Latihan ambulasi 4) Medication management

(paracetamol 3x1gr, laxadine 3x15cc, omeprazole 1x40mg, myonal 2x1tab, catopril 3x50mg,

NaCl 0,9% 500cc/12 jam)

6. Evaluasi:

Setelah 7 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif ditunjukkan dengan kesadaran

CM, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (-), namun tekanan darah pasien masih

berada dalam rentang 140-150/80-90 mmHg, mobilisasi mika-miki. Pasien dalam tahapan

beradaptasi dengan kondisi sakitnya pada level compromised process.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 162: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Resume Kasus 30

1. Informasi Umum

Tn S, 51 tahun, pendidikan terakhir SD, Karyawan swasta, Islam, Betawi, Alamat:

Jatinegara-Jakarta Pusat, RM: 0001.62.12, Masuk Rumah Sakit tanggal 19 Februari 2017

Diagnosa Medis: Penurunan kesadaran ec cedera kepala berat

2. Pengkajian

a. Perilaku

Pengkajian tanggal 21 Februari 2017

Mode Adaptasi Fisiologis: 1) Oksigenasi: NEWSS: Merah airway terpasang ETT

connect to ventilator dengan setting PSIMV VT 378-405 PS 12 PEEP 5 FiO2 45% I:E

1:1.5, usaha napas spontan (+), slem per ETT (+), Saturasi 100%, TD: 120/78 mmHg,

HR: 68 x/menit, akral hangat, CRT >3 detik, oral hygiene baik papil edema dextra +,

tanda perdarahan aktif (-); 2) Nutrisi: pasien terpasang NGT, residu (+) kekuningan

±200cc/24 jam, diet per oral D5; 3) Eliminasi: terpasang FC dieresis +; 4) Aktivitas dan

Istirahat: pasien bed rest kekuatan otot tidak dapat terkaji; 5) Proteksi: Risiko jatuh tinggi,

terdapat VL di area kaki,; 6) Sensasi; tidak dapat terkaji; 7) Cairan dan Elektrolit dan

keseimbangan asam basa: balance cairan -400cc/24jam mukosa bibir lembab; 8)

neurologis: 1 hari sebelum masuk RS, pasien ditemukan jatuh dari ketinggian, bicara

mengaca, megeluh sakit kepala, dan tampak gelisah. Saat pengkajian GCS E1M3Vett pupil

bulat anisokhor 4mm/3mm, reflek cahaya langsung +/-, refek cahaya tidak langsung -/-

kaku kuduk reflex fisiologis rangsang meningen tidak dapat dikaji; 9) Endokrin: GDS

adaptif Mode Konsep diri; belum dapat dinilai; Mode Fungsi Peran; Pasien merupakan

seorang suami dan ayah dari 1 orang anak, istrinya saat ini sedang hamil anak kedua;

Mode Interdependensi; belum dapat dinilai.

b. Stimulus

Stimulus fokal: perdarahan intra cranial dan intraventrikel

Stimulus kontekstual: jatuh

Stimulus residual:

3. Diagnosa Keperawatan:

1) Penurunan kapasitas adaptif intracranial 2) Gangguan ventilasi spontan

4. Tujuan:

1)Status neurologi 2) perfusi jaringan serebral adekuat 3) respiratory status: airway patency

4) respiratory stasus: gas exchange

5. Intervensi:

1) Promosi perfusi serebral 2) Monitoring status neurologis 3) cardiac care 4) posisi

neurologis 5) mechanical ventilation management invasive 6) oxygen therapy

6. Evaluasi: Pada hari perawatan ke-3 (21/02) pasien menunjukkan perilaku adaptif dalam level

compromised, pasien berada pada status DNR dengan pemberian obat topangan. Namun

akhirnya pasien menunjukkan perilaku indaptif dengan semakin menurunnya kondisi pasien

dan dinyatakan meninggal pada tanggal 24/02.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 163: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 4

Universitas Indonesia

THE FUNCTIONAL ORAL INTAKE SCALE Monitoring Kemampuan Makan Pasien Dengan Disfagia

FOIS

LEVEL DESKRIPSI

TGL

JAM

1 Tidak makan per oral

2 Bergantung selang dengan kemampuan minimal

makan atau minum per oral

3 Bergantung selang dengan kemampuan makan

atau minum per oral

4 Total makan per oral dengan satu jenis konsistensi

diet

5 Total makan per oral dengan berbagai konsistensi

diet namun butuh persiapan khusus dan dengan

batasan makanan tertentu

6 Total makan per oral dengan berbagai konsistensi

diet tanpa persiapan khusus namun dengan batasan

makanan tertentu

7 Total makan per oral tanpa batasan

NAMA DAN TANDA TANGAN PERAWAT

Sumber: Crary et al. (2005)

NRM :

Nama :

Jenis Kelamin :

Tanggal Lahir :

(Tempelkan stiker pasien jika tersedia)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 164: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 4

Universitas Indonesia

Cara Pengisian Format The Functional Oral Intake Scale (FOIS):

- Masukan identitas pasien di kotak kanan atas atau tempelkan stikel identitas pasien jika

tersedia)

- Masukan tanggal sesuai tanggal dilakukannya pengkajian

- Masukan jam sesuai pukul dilakukannya pengkajian

- Berikan tanda (√) pada baris sesuai hasil pengkajian level kemampuan makan pasien (sesuai

gambar di bawah)

- Tuliskan inisial dan tanda tangan perawat yang melakukan pengkajian

- FOIS Level 1-3: pasien bergantung pada selang naso gastric untuk intake nutrisi

- FOIS Level 4-6: pasien mulai dapat intake nutrisi maupun minuman per oral dengan

beberapa batasan (jumlah, konsistensi makanan)

- FOIS Level 7: pasien total makan dan minum per oral

Contoh Pengisian FOIS

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 165: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

Tanggal masuk ruang rawat :…………………..20… …pukul

Ruang rawat/ Unit Kerja : …………………………………….

PENGKAJIAN TINGKAT KEPARAHAN STROKE

Menggunakan National Institute Health Stroke Scale (NIHSS) NO PARAMETER YANG DINILAI SKALA Screening

awal

Screening

akhir

Tgl Tgl

Jam Jam

Skor Skor

1a Tingkat Kesadaran 0= sadar penuh

1=somnolen

2=stupor

3=koma

1b Menanyakan bulan sekarang dan usia pasien

sekarang.

0=benar semua

1=1benar /ETT/disatria

2=salah semua/afasia/stupor/koma

1c Menganjurkan pasien mengikuti dua

perintah sederhana, membuka & menutup

mata.

0=mampu melakukan 2 perintah

1=mampu melakukan 1 perintah

2=tidak mampu melakukan perintah

2 Gaze : Gerakan mata konyugat horizontal 0 = normal

1 =mampu melakukan 1 mata

2 = deviasi konyugat kuat atau paresis

konyugat pada 2 mata

3 Visual : lapang pandang pada tes

konfrontasi.

0 = tidak ada ganguan

1 = abnormal pada 1 mata

2= deviasi konyugat kuat atau paresis

konyugat pada 2 mata

4 Menganjurkan pasien menyeringai atau

mengangkat alis dan menutup mata.

0= normal

1= paresis wajah ringan (lipatan

nasolabilal datar, senyum asimetris)

2= paresis wajah parsial (paresis wajah

bawah total atau hampir total )

3 = paresis wajah total (paresis wajah

sesisi atau 2 sisi)

5 Menganjurkan pasien mengangkat lengan

hingga 45 derajat bila berbaring atau 90

derajat bila duduk. Bila afasia gunakan

pantomime atau peragaan.

0 = mampu mengangkat lengan

minimal 10 detik

1=lengan terjatuh sebelum 10 detik

2=tidak mampu mengangkat secara

penuh 90◦ atau 45◦

3 = tidak mampu mengangkat hanya

bergeser

4= tidak ada gerakan

5a. nilai lengan kiri

5b. nilai lengan kanan

6 Menganjurkan pasien tidur posisi terelentang

dan mengangkat tungkai 30 derajat.

0 = mampu mengangkat tungkai 30

derajat minimal 5 detik

1= tungkai jatuh ke tempat tidur pada

akhir detik ke 5 secara perlahan

2= tungkai jatuh sebelum 5 detik tetapi

ada usaha melawan gravitasi

3 =tidak mampu melawan gravitasi

4=tidak ada gerakan

6a. Nilai tungkai kiri

6b.Nilai tungkai kanan

7 Ataxia anggota badan. Menggunkan tes

tunjuk jari hidung

0= tidak ada ataxia

1= Ataksia pada satu ekstremitas

2= ataksia pada 2 atau lebih

ekstremitas

8 Melakukan tes pada seluruh tubuh, tungkai, 0 = normal

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 166: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

lengan, badan, dan wajah. Pasien afasia

diberi nilai 1. Pasien stupor atau koma diberi

nilai 2.

1= gangguan sensori ringan hingga

sedang. Ada gangguan sensori terhadap

nyeri tetatpi masih merasa bila disentuh

2=gangguan sensori berat atau total

9 Memberikan suatu gambar atau tulisan dan

meminta untuk menjelaskannya. Bila pasien

mengalami kebutaan, letakkan benda

ditangan dan minta untuk menjelaskan.

0= normal

1=afasia ringan hingga sedang, bicara

kurang lancer

2=afasia berat

3=mute, afasia global, coma

10 Disatria 0=normal

1=disatria ringan

2=disatria berat

11 Neglect atau inatensi 0= tidak ada neglect

1=tidak ada atensi pada salah satu

modalitas berikut; visual, taktik

auditory, spasial or personal inatention

2=tidak ada atensi pada lebih dari satu

modalitas.

TOTAL NILAI

Keterangan :

skor <5 : deficit neurologis ringan, skor 6ˍ14 : deficit neurologis sedang; skor 15 ˍ24 : deficit

neurologis berat; skor >25 : deficit neurologis sangat berat.

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 167: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

SKALA NYERI NON VERBAL

ADULT NON VERBAL PAIN SCALE (NVPS)

Tanggal masuk ruang rawat : ………………….. Pukul …………

Ruang rawat/Unit Kerja : …………………..

KATEGORI TGL

JAM

W

A

J

A

H

Tidak ada ekspresi khusus (seperti tersenyum) 0

Kadang meringis, mengerutkan dahi 1

Sering/terus menerus meringis atau

mengerutkan dahi,

2

G

E

R

A

K

Tidur tenang, posisi normal 0

Nampak pergerakan lambat, tegang 1

Tidak tenang, gelisah dengan dan atau reflek

menghindari pusat nyeri

2

T

A

H

A

N

A

N

Berbaring tenang, tangan tidak berada pada

area tubuh

0

Posisi tubuh meringkuk, tegang 1

Kaku/spasme 2

V

I

T

A

L

TDS dan frekuensi nadi stabil 0

Perubahan tanda vital:

Penambahan 20 mmHg pada TD Sistolik

Penambahan 20 kali/menit pada frekuensi

nadi

1

Perubahan tanda vital :

Penambahan 30 mmHg pada TD Sistolik

Penambahan 25 kali/menit pada frekuensi nadi

2

N

A

P

A

S

Nilai dasar frekuensi napas dan saturasi tidak

berubah/ tersinkronisasi dengan ventilator

0

Terdapat perubahan:

frekuensi napas >28 kali/menit

SpO2 90-95%

Asinkronisasi sedang dengan ventilator

1

Terdapat perubahan:

Frekuensi napas > 38 kali/menit

SpO2 85-89%

Asinkronisasi berat dengan ventilator

2

SKOR TOTAL

NAMA DAN TANDA TANGAN PERAWAT Sumber : Modifikasi dari Odhner, Wegman, Freeland, Steinmetz, dan Ingersoll (2003)

TD: Tekanan Darah; SpO2: Saturasi Oksigen

Skor 0-2 Tidak terdapat nyeri

Skor 3-6 Nyeri sedang

Skor 7-10 Nyeri berat

~ Lakukan pengkajian setiap 4 jam sekali untuk pasien dengan nyeri sedang dan berat ~

NRM :

Nama :

Jenis Kelamin :

Tanggal Lahir :

(Tempelkan stiker pasien jika tersedia)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 168: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

Indeks Derajat Insomnia Lingkari nomor pada tiap pertanyaan yang disediakan yang dianggap mewakili kondisi yang

dialami.

Silakan nilai masalah insomnia yang saudara alami beberapa hari (3 hari) terakhir.

No Insomnia Tidak

ada

Ringan Sedang Berat Sangat

berat

1 Pasien mengeluh kesulitan

memulai tidur

0 1 2 3 4

2 Pasien mengeluh kesulitan

mempertahankan tidur

0 1 2 3 4

3 Pasien mengeluh bangun

terlalu cepat/dini

0 1 2 3 4

4. Bagaimana tingkat kepuasan pasien terhadap pola tidur saat ini?

Sangat puas Sedikit puas Agak puas Tidak puas Sangat tidak puas

0 1 2 3 4

5. Apakah pasien merasakan/ melihat dampak masalah tidur terhadap kualitas hidup saudara

saat ini?

Tidak

kelihatan

sama sekali

Sedikit

kelihatan

Agak

kelihatan

Tidak

kelihatan

Sangat tidak

kelihatan

0 1 2 3 4

6. bagaimana tingkat kecemasan pasien terhadap masalah tidur yang dihadapi saat ini?

Tidak cemas

sama sekali

Sedikit cemas Agak cemas Tidak cemas Sangat tidak

cemas

0 1 2 3 4

7. Bagaimana pengaruh masalah tidur pasien terhadap fungsi sehari-hari (misalnya

kelemahan siang hari, mood, kemampuan bekerja di siang hari, konsentrasi, memori dan

lain-lain)?

Tidak mempengaruhi

sama sekali

Sedikit

mempengaruhi

Agak

mempengaruhi

Tidak

mempengaruhi

Sangat tidak

mempengaruhi

0 1 2 3 4

Nilai total :

Sumber: Charles M.Morin (2009)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 169: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

Kuesioner 3IQ Untuk Skreening Inkontinensia Urine

No Pertanyaan Pilihan jawaban

1 Apakah anda mengalami gangguan

dalam berkemih (gangguan kencing)?

Ya (lanjut ke

pertanyaan

berikutnya)

Tidak (Tidak lanjut

ke pertanyaan

berikutnya)

2 Sudah berapa lama anda mengalami

gangguan tidak dapat menahan kencing ?

Kurang dari 3 bulan Lebih dari 3 bulan

3 Apakah anda dapat menyadari saat

kencing anda keluar sendiri?

Ya Tidak

4 Apakah anda mengeluarkan kencing

bila batuk, bersin, berjalan, melompat

atau saat melakukan aktivitas berat

(misalnya : olahraga, mengangkat barang

berat dll)?

Ya Tidak

5 Apakah anda merasa sangat ingin

kencing dan kencing anda sudah

keluar sendiri sebelum tiba di kamar

mandi?

Ya Tidak

6 Apakah anda tidak mampu mengontrol

kencing saat aktivitas dan tidak mampu

mencapai kamar mandi ?

Ya Tidak

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 170: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

FORMAT PENGKAJIAN KESEIMBANGAN BERG BALANCE SCALE (BBS)

NO PARAMETER YANG DINILAI SKOR

1 DUDUK KE BERDIRI Berdiri tanpa menggunakan tangan

Berdiri menggunakan tangan

Berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba

Perlu bantuan minimal untuk berdiri

Perlu bantuan sebagian atau penuh

4

3

2

1

0

2 BERDIRI SENDIRI TANPA BANTUAN Berdiri selama 2 menit

Berdiri sendiri dengan pengawasan selama 2 menit

Berdiri selama 30 detik tanpa bantuan

Mencoba beberapa kali untuk berdiri

Tidak dapat berdiri tanpa bantuan

4

3

2

1

0

3 DUDUK DENGAN PUNGGUNG DIBANTU DAN KAKI

DIBANTU MENYENTUH LANTAI Dapat duduk selama 2 menit

Dapat duduk selama 2 menit diawasi

Dapat duduk selama 30 detik

Dapat duduk selama 10 detik

Tidak dapat duduk tanpa bantuan

4

3

2

1

0

4 POSISI BERDIRI KE DUDUK Duduk tanpa bantuan

Duduk dengan bantuan tangan

Duduk dengan bantuaN pantat/kaki

Duduk sendiri tanpa bantuan

Tidak dapat duduk tanpa bantuan

4

3

2

1

0

5 BERPINDAH

Dapat pindah menggunakan tangan

Dapat pindah dengan bantuan

Dapat pindah dengan pengawasan

Dapat pindah dengan bantuan

Tidak mampu pindah

4

3

2

1

0

6 BERDIRI DENGAN MATA TERTUTUP Dapat berdiri selama 10 detik

Dapat berdiri dengan pengawasan 10 detik

Dapat berdiri selama 3 detik

Tidak dapat menutup mata sambil berdiri

Berdiri perlu bantuan

4

3

2

1

0

7 BERDIRI DENGAN KAKI Mampu berdiri tanpa bantuan selama 1 menit

Mampu berdiri tanpa bantuan selama 1 menit dengan pengawasan

Berdiri kurang dari 30 detik

Perlu bantuan saat berdiri selama 15 menit

Perlu bantuan dan tidak dapat mempertahankan selama 15 menit

4

3

2

1

0

8 ANGKAT TANGAN KEATAS SAMBIL BERDIRI dapat menjangkau kedepan sejauh 25 cm

dapat menjangkau kedepan sejauh 12 cm

dapat menjangkau kedepan sejauh 5 cm

dapat menjangkau kedepan tapi perlu pengawasan

hilang keseimbangan ketika mencoba

4

3

2

1

0

9

DIMULAI DARI LANTAI DENGAN POSISI BERDIRI Dapat menggukan sandal dengan aman

4

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 171: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

Dapat menggunakan sandal tapi perlu pengawasan

Tidak dapat menjangkau 2-5 cm dari sandal dan menjaga keseimbangan

Tidak dapat menggunakan sandal dan perlu pengawasan

Tidak dapat mencoba dan perlu bantuan dari resiko jatuh

3

2

1

0

10 BERPUTAR KE BELAKANG KE KIRI DAN KEKANAN

MELEBIHI BAHU SAAT BERDIRI Melihat ke belakang dari kedua sisi dengan baik

Lihat ke belakang hanya dari satu sisi

Hanya berputar ke satu sisi tapi tetap mempertahankan keseimbangan

Perlu pengawasan saat berputar

Perlu bantuan untuk menjaga keseimbangan atau tidak jatuh

4

3

2

1

0

11 BERPUTAR 360 DERAJAT Dapat berputar 360 derajat dengan aman dalam 4 detik atau lebih

Dapat berputar 360 derajat dengan aman pada satu sisi hanya dalam 4 detik

atau lebih

Dapat berputar 360 derajat dengan aman tapi perlahan

Perlu pengawasan tertutup

Perlu bantuan untuk berputar

4

3

2

1

0

12 POSISIKAN KAKI YANG SEHAT SAAT MELANGKAH

TANPA PEGANGAN Berdiri tanpa bantuan dengan aman dan berjalan 8 langkah selama 20 detik

Berdiri tanpa bantuan dengan aman dan berjalan 8 langkah > 20 detik

Berdiri tanpa bantuan dengan aman dan berjalan 4 langkah dengan

pengawasan

Berjalan lebih dari 2 langkah dan mendapatkan bantuan minimal

Perlu bantuan untuk menghindari jatuh

4

3

2

1

0

13 BERDIRI TANPA PEGANGAN DENGAN SATU KAKI

DI DEPAN Menempatkan kaki tanpa bantuan dan bergangan selama 30 detik

Menempatkan kaki kedepan tanpa bantuan dan berpegangan 30 detik

Melangkah tanpa bantuan dan berpegangan selama 30 detik

Perlu bantuan untuk melangkah tapi dapat memegang selama 15 detik

Hilang keseimbangan saat melangkah atau berdiri

4

3

2

1

0

14 BERDIRI PADA SATU KAKI Mengangkat kaki tanpa bantuan dan pegangan > 10 detik

Mengangkat kaki tanpa bantuan dan pegangan 5-10 detik

Mengangkat kaki tanpa bantuan dan pegangan ≥ 3 detik

Mencoba mengangkat kaki tapi tidak mampu Memegang selama 3 detik

tapi masi dalam posisi berdiri

Tidak dapat mencobadan perlu bantuan untuk mencegah jatuh

4

3

2

1

0

Total Skor

Sumber: Canadian Bsst Practice for stroke (2013)

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 172: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

Frenchay Aphasia Screening Test (FAST)

No Aspek komunikasi Item penilaian Skor

1 Pemahaman a.Menunjukkan objek yang terlihat pada kartu gambar sesuai

dengan instruksi

Tidak menunjuk objek yang tepat 0

Menunjuk 1 objek yang tepat 1

Menunjuk 2 objek yang tepat 2

Menunjuk 3 objek yang tepat 3

Menunjuk 4 objek yang tepat 4

Menunjuk 5 objek dengan tepat 5

b.Menunjukkan gambar bentuk yang terlihat pada kartu gambar

sesuai dengan instruksi

Tidak menunjuk gambar bentuk yang tepat 0

Menunjuk 1 gambar bentuk yang tepat 1

Menunjuk 2 gambar bentuk yang tepat 2

Menunjuk 3 gambar bentuk yang tepat 3

Menunjuk 4 gambar bentuk yang tepat 4

Menunjuk 5 gambar bentuk dengan tepat 5

2 Pengucapan a.Menyebutkan nama objek yang terlihat pada kartu gambar

Tidak mampu menyebutkan nama objek satupun 0

mampu menamai 1-2 objek 1

mampu menamai 3-4 objek 2

mampu menamai 5-6 objek 3

mampu menamai 7-8 objek 4

mampu menamai 9-10 objek 5

b.Menyebutkan nama benda disekitar dalam waktu 1 menit

Tidak dapat menyebutkan satupun nama benda 0

Menyebutkan 1-2 nama benda 1

Menyebutkan 3-5 nama benda 2

Menyebutkan 6-9 nama benda 3

Menyebutkan 10-14 nama benda 4

Menyebutkan ≥ 15 nama benda 5

3 Membaca Membaca tulisan pada kartu gambar dan melakukan instruksi yang

dibaca

Tidak dapat melakukan instruksi 0

Dapat melakukan sesuai instruksi 5

4 Menulis Menuliskan nama objek yang terlihat pada kartu gambar

Tidak mampu menuliskan satupun 0

Dapat menuliskan 1-2 objek 1

Dapat menuliskan 2-3 objek 2

Dapat menuliskan 4 objek 3

Dapat menuliskan 5 objek (tapi ada nama objek yang tidak sesuai) 4

Dapat menuliskan 5 objek dengan tepat 5

TOTAL SKOR 30

Sumber: modifikasi dari salter et al (2006)

Interpretasi : dikatakan afasia jika usia ≤60 tahun memperoleh nilai < 27 dan usia > 60 tahun

memperoleh nilai < 25

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 173: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

MEDIA GAMBAR UNTUK FRENCHAY APHASIA SCREENING TEST (FAST)

a. Gambar pemandangan

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017

Page 174: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-10/20460611-Sp...Beserta perangkat yang ada (jika eliperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non

LAMPIRAN 5

Universitas Indonesia

b. Gambar bentuk

Analisis praktik..., Tri Antika Rizki Kusuma Putri, FIK UI, 2017