uf5003

229
TASAWUF DI KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG T E S I S Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Oleh: A. SYA’RONI TISNOWIJAYA NIM : 5202069 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO SEMARANG 2008

Upload: sigit-bintan

Post on 28-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

uf5003

TRANSCRIPT

Page 1: uf5003

TASAWUF DI KALANGAN INTELEKTUAL

MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG

T E S I S

Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:

A. SYA’RONI TISNOWIJAYA

NIM : 5202069

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO

SEMARANG 2008

Page 2: uf5003

2

DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. Gedung Dekanat Fakultas Ushuluddin Jl. Prof. Dr. HAMKA, Kampus II IAIN Walisongo Semarang 50189, Telp. 024-7625443 & 08122804394 ---------------------------------------------------------

NOTA PEMBIMBING

Dengan ini saya menerangkan bahwa Tesis Saudara: H. AHMAD SYA’RONI,

NIM: 5202069, Konsentrasi Etika Islam/Tasawuf, berjudul “TASAWUF DI

KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG,” telah

memenuhi syarat untuk diujikan sebagai tesis pada Program Pascasarjana IAIN

Walisongo Semarang, tahun akademik 2008/ 2009.

Semarang, 21 Juli 2008

Pembimbing

DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. NIP. 150245380

Page 3: uf5003

3

DEKLARASI

DENGAN PENUH KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB, PENULIS

MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI MATERI YANG TELAH

DAN ATAU PERNAH DITULIS DAN DITERBITKAN ORANG LAIN KECUALI

INFORMASI YANG TERDAPAT DALAM REFERENSI YANG DIJADIKAN

BAHAN RUJUKAN.

Semarang, 20 Juli 2008

Penulis,

H. ACHMAD SYA’RONI

NIM : 5202069

Page 4: uf5003

4

ABSTRAKS

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan

implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf. Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah kualitatip dengan mengunakan pendekatan naturalistik.

Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar al Qur’an san Sunnah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhammadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.

Page 5: uf5003

5

KATA PENGANTAR

Selama ini para peminat kajian tasawuf cukup kesulitan memberikan batasan

definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari

diskursus tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar minimal

ada dua pendekatan yang dilakukan dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan

pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan

ahistoris. Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa

menjerumuskan umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah

pendekatan dengan menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang

dalam, mazhab kedua ini cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Oleh

sebab itu, yang pertama terkesan rigid dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung

gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak jelas landasan teologisnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini selalu ada kesan negatif dalam ranah

tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan individual yang lebih

mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek kemanusiaan dan

kemasyarakatan. Dengan karakter yang demikian, tasawuf kemudian menjadi

cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi, teosentris. Seolah-olah hidup di dunia

hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-nâs

menjadi banyak terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran

non-egaliter dan irasional. Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur

tasawuf bahwa seorang murid ketika berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit

Page 6: uf5003

6

yang terbujur kaku di depan orang yang memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan

semangat tauhid Islam yang menekankan kesetaraan antar sesama.

Di sisi lain, diperlukan pengakuan jujur bahwa tasawuf telah melahirkan banyak

hal positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas,

qanâ’ah dan urusan akhlak lainnya. Disamping itu apabila tasawuf digunakan sesuai

dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara tepat dengan tarekat, maka dari

tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme dan

diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi intinya tasawuf

memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga

memiliki sisi positif.

Sebagai akhir, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak

yang telah membantu dalam proses penelitian ini yang diantaranya adalah:

1. PROF. DR. H. ABDUL DJAMIL, MA, Rektor Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Walisongo Semarang,

2. PROF. DR. AHMAD GUNARYO. M.Soc.Sc, Direktur Program Pascasarjana

IAIN Walisongo Semarang, dan PROF. DR. SUPARMAN SYUKUR, MA, Selaku

Asdir I Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan PROF. DR.

ISMAWATI. M.Ag, selaku Asdir II Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang

3. DR. H. ABDUL MUHAYA, MA, sebagai pembimbing yang telah mencurahkan

waktu, pikiran, tenaga dan kesabaran selama membimbing dan mengarahkan penulis

dalam penulisan Tesis ini.

Page 7: uf5003

7

4. Seluruh Civitas Akademika Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang yang tidak

penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan layanan yang diperlukan

dalam proses penyelesaian tesis ini.

5. Seluruh Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara terkhusus

simbah KH. A. SAHAL MAHFUDZ, selaku Rektor.

6. Seluruh sahabat karibku yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga

Tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan.

Akhirnya, penulis berharap semoga penulisan tesis ini bermanfaat kepada para

pembaca dan memberikan sedikit pencerahan.. Amin.

Semarang, 10 Juli 2008

Penulis,

H. ACHMAD SYA’RONI

NIM: 5202069

Page 8: uf5003

8

TRANSLITERASI

Tesis ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut:

q = ق z = ز ` = ا

k = ك s = س b = ب

l = ل sy = ش t = ت

m = م sh = ص ts = ث

n = ن dl = ض j = ج

w = و th = ط h = ح

h = ه zh = ظ kh = خ

y = ي ‘ = ع d = د

at/ah = ة gh = غ dz = ذ

f = ف r = ر

Page 9: uf5003

9

MOTTO:

"Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan

kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS. An-

Naml : 19)

Page 10: uf5003

10

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan kepada:

1. Istri (Hj. ANI ROHANI), Anak-anakku (SHOFAUSSAMAWATI,

S.Ag. M.SI dan keluarga, SUSI AMALIA, S.Ag dan keluarga serta

M. NASRUL HAQQI), cucu-cucuku (M. AZKA AZKIA, M.

AHDA MANIHTADA, NAJWA IMANIA dan M. AUVA

BIAHDIH), terima kasih atas semangat, doa dan motivasinya

sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

2. Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (INISNU) Jepara,

terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama ini.

3. Peminat kajian tasawuf semuanya, semoga penelitian ini dapat

memberikan setitik pencerahan.

Page 11: uf5003

11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN DEKLARASI iv

HALAMAN ABSTRAKSI v

HALAMAN KATA PENGANTAR vi

HALAMAN TRANSLITERASI ix

HALAMAN MOTTO x

HALAMAN PERSEMBAHAN xi

DAFTAR ISI xii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 8

C. Tujuan Penelitian 8

D. Kajian Pustaka 8

E. Metode Penelitian 15

F. Sistematika Penulisan 19

BAB II : DESKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN YANG

TERKAIT DENGAN TASAWUF, MAQOMAT DAN THAREKAT

A. Deskripsi Tentang Tasawuf 23

B. Deskripsi Tentang Kemunculan Tasawuf 34

C. Maqomat: Perjalanan Menuju Hakekat 37

Page 12: uf5003

12

D. Tharekat: Berbagai Jalan Menuju Tuhan 48

E. Rekonstruksi Terhadap Tasawuf 67

BAB III : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH:

SEBUAH PENELUSURAN AWAL

A. Historisitas Muhammadiyah 74

B. Identitas Dasar Muhammadiyah 79

C. Misi Muhammadiyah 83

D. Penelusuran Landasan Dasar Muhammadiyah

1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar 87

2. Substansi Kepribadian Muhammadiyah 88

3. Substansi MKCHM 90

4. Substansi Hakekat Muhammadiyah 92

5. Substansi Khittah Perjuangan Muhammadiyah 95

6. Substansi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah 100

E. Deskripsi Tentang Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah 103

F. Melacak Tasawuf dalam Akar idiologi Muhammadiyah 113

G. “Tasawuf” Muhammadiyah: Sebuah Hasil penelusuran 120

BAB IV : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL

MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG

A. Deskripsi Historis-geografis kota Semarang 127

B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual

Muhammadiyah Kota Semarang 132

1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf 134

2. Bersikap terbuka Terhadap Tasawuf 149

3. Akomodatif terhadap Tasawuf 160

C. Spiritualitas Syariahistic: Formulasi Tasawuf Muhammadiyah 188

1. Urban Sufisme 188

2. Neo Sufisme 191

3. Tasawuf Positif 194

Page 13: uf5003

13

4. Tasawuf Modern Hamka 197

D. Analisis terhadap Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual

Muhammadiyah Kota Semarang 199

1. Tasawuf itu Bid’ah? 200

2. Penggolongan Tasawuf dalam Kategori-Kategori 208

3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf? 211

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan 216

B. Saran 219

C. Penutup 219

Page 14: uf5003

14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Realitas kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah

mengalami kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia

mengambil tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi

setidaknya dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama1

serta fenomena kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini2. Dari kedua

hal itu, bisa dipahami bahwa kehidupan kemanusiaan mengalami sebuah tantangan

besar untuk mempertahankan eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan

suatu ancaman, tetapi realitas yang harus disikapi dan dihadapi. Apabila

diformulasikan tantangan kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis

modernitas dan krisis pemahaman agama.

Krisis modernitas oleh Nasir (1997: 3) dimaknai sebagai mewabahnya

anomi bagi kehidupan bermasyarakat. Anomi adalah suatu keadaaan di mana setiap

individu kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan

1 Fenomena Falun Gong merupakan salah satu contoh proses irrasionalitas ini. Falun Gong

adalah organisasi keagamaan yang lebih dimonopoli ajaran meditasi yang mengabungkan ajaran Budhis dan Taois, di Cina pada tahun 1996 dan dipimpin oleh Li Hongzhi. Menurut Azra (1999: 75-78), Falun Gong merupakan fenomena baru dalam beragama yang menitik beratkan pada aspek kultus. Organisasi semacam ini diantaranya adalah The Moorish Science Temple di Amerika Serikat, serta The International Society for Khrisna Consciousness, The Children of God, The People’s Temple (Jim Jones), dan The Unification of Church (The Moonies) yang kesemuanya oleh beberapa kalangan disebut sebagai New Religions.

2 Kekerasan sebagai sebuah tren bisa dirujuk dalam peristiwa-peristiwa seperti rentetan kerusuhan dan kekerasan di Sampit, Ambon, Aceh, Maluku, serta banyak tempat lainnya di Indonesia maupun dunia diantaranya peruntuhan WTC dan pembantaian atas mana agama di Israel serta Bosnia yang kesemuanya menggunakan kekerasan sebagai piranti utama untuk aksi mereka.

Page 15: uf5003

15

manusia yang lain, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan

petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Proses ini dalam

perjalanannya akan mengarah pada rusaknya norma serta kaidah kamasyarakatan

yang menjadi acuan umum dalam kehidupan. Haidar Nasir memberikan deskripsi

menarik tentang hal ini dengan mengatakan:

Daniel Bell telah lama menyurakkan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat borjuis-perkotaan yang penuh keserakahan dan seribu nafsu untuk menguasai bagaimana sebagaimana watak masyarakat modern kapitalis. Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern itu dalam skala kehidupan masyarakat yaitu mengambarkan kemunduran sebagai lawan dari kemajuan, sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantah. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama-tama berlangsung pada level pribadi yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respon, termasuk didalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkenaan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan prilaku yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuhan norma. Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan, atau cultural lag. Bahwa nilai-nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan. Tidak berlebihan, jika Ali Syariati secara tegas melukiskan fenomena penyakit manusia modern sebagai malapetaka modern yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia (Nasir, 1997: 3).

Selain anomi, yang merupakan salah satu dari indikasi krisis modernitas, hal

lain yang sangat menonjol dalam realitas adalah munculnya berbagai penyakit

keterasingan, yang menurut Heradi Nurhadi (1997: 6) mewujud dalam beberapa

penyakit keterasingan yang terdiri dari keterasingan ekologis, etologis, masyarakat

dan kesadaran.

Page 16: uf5003

16

Keterasingan ekologis. Dalam keterasingan ini manusia secara mudah

merusak alam dan kekayaan yang terkandung di bumi ini dengan penuh kerakusan

tanpa peduli kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang. Keterasingan

etologis, dimaknai sebagai sebuah gejala dimana manusia mengingkari hakekat

dirinya hanya karena perebutan materi dan mobilitas kehidupan. Keterasingan

masyarakat, dalam posisi ini ditandai dengan munculnya keretakan dan kerusakan

dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok, sehingga lahir disintegrasi

sosial. Keterasingan kesadaran, yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan

kemanusiaan, karena meletakkan akal pikiran sebagai satu satunya penentu

kehidupan yang menafikan rasa dan akal budi (Nurhadi, 1997: 6).

Dari berbagai sikap keterasingan inilah manusia modern seringkali

melakukan perbuatan-perbuatan yang sering dianggap irasional dan bahkan

bertentangan dengan norma dan kaidah yang berlaku umum di masyarakat yang oleh

Kuntjaraningrat (1997: 9) diasumsikan sebagai mentalitas menerabas3. Haidar Nasir

dalam telaahnya tentang kehidupan modern mengatakan bahwa :

Apa yang patut dibanggakan dalam kehidupan modern saat ini jika manusia saling memangsa sesama dengan penuh kesadaran, sehingga hidup nyaris tanpa pencerahan dan kehormatan. Kehormatan apa saja yang diraih dalam kehidupan yang disebut modern apabila manusia modern itu sendiri saling menjatuhkan diri pada budaya materi, rasio dan teknologi yang mematikan manusia. Humanisme apa lagi yang masih kokoh dijadikan sandaran manusia modern manakala pada saat yang sama krisis demi krisis kemanusiaan tumbuh dengan mekar dan menjadi panorama keseharian di setiap sudut kehidupan, sehingga manusia modern menjadi tidaj berharga

3 Menurut Koentjaraningrat (1997: 21) mentalitas menerabas adalah suatu mentalitas yang

bernafsu untuk mencapai tujuan dengan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara bertahap. Mentalitas ini merupakan jenis penyakit atau kerusakan mental sebagai kelanjutan atau akibat dari alam pikiran dan sikap mental yang meremehkan mutu dan kualitas dalam hidup. Mentalitas menerabas ini bukanlah perilaku kebetulan, tetapi merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang memandang hal-hal yang dilakukannya secara jalan pintas itu sebagai sesuatu yang baik dan benar serta dianggap sebagai kelaziman umum. Pola ini bermuara pada sikap pragmatisme.

Page 17: uf5003

17

sama sekali karena kehilangan jati diri. Rasionalisme apalagi yang patut dijadikan acuan hidu ketika kemodernan itu manusia kehilangan makna hidup yang membuat manusia rentan terhadap penyakit kehidupan. Bahagiakah manusia modern dengan kemodernan yang diciptakannya sendiri dengan penuh keyakinan dan keangkuhan?. (Nasir, 1997: 9)

Perkataan Haidar Nasir ini merupakan refleksi modernitas yang menilai

secara jujur tentang hilangnya makna hidup dalam kehidupan. Pendapat senada

diungkapkan pula oleh Hanna Djumhana Bastaman (1995: 191) bahwa satu hal

pokok dari kehidpan modern adalah hilangnya makna hidup yang berakibat pada

hilangnya orientasi, hilangnya tujuan hidup, hilangnya moralitas dan “kesemrawutan

pola kehidupan”, yang akhirnya bermuara pada menjalarnya stres4 dalam dimensi

yang semakin komplek.

Kehidupan modern yang materialis-hedonistic dan hanya menekankan pada

aspek lahiriyah semata, berakibat pada kegersangan spiritual dan dekandensi moral

serta stress menjadi fenomena yang lumrah. Pada titik jenuhnya, manusia akan

kembali mencari kesegaran rohaniyah untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Oleh

4Stres dapat mewujud dalam anxiety neurosis atau disebut juga neurosa kecemasan yaitu

bentuk neurosa dengan gejala paling mencolok adalah ketakutan yang terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah terus mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderita saja. Senada dengan definisi ini, Hanna Djumhana Bastaman (2001: 156) memberikan pengertian tentang kecemasan yaitu “ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Perasaan cemas biasanya muncul bila kita berada dalam suatu keadaan yang kita duga akan merugikan dan kita rasakan akan mengancam diri kita dimana kita merasa tidak bberdaya menghadapinya. Sebenarnya apa yang kita cemaskan iru belum tentu terjadi. Dengan demikian, rasa cemas itu sebenarnya ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Hampir dalam segala hal, seorang pencemas selalu khawatir dan takut”, Sedangkan Zakiyah Daradjat (2001: 20) memberikan pengertian tentang kecemasan bahwa kecemasan adalah : manifestasi dari berbagai proses yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari yaitu seperti rasa takut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya. Oleh karena itu rasa cemas terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa. Dengan demikian anxiety neurosis ialah; symptom ketakutan dan kecemasan terhadap bahaya yang seakan-akan mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderitanya saja. Perasaan cemas ini berasal dari perasaan tidak sadar yang berada di dalam kepribadian sendiri, jadi tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benar-benar ada

Page 18: uf5003

18

karena itu banyak diantara mereka yang kembali ke dunia mistisisme, Tao, Budhis

dan Tasawuf.

Selain krisis modernitas manusia modern juga dihadapkan pada sebuah

kenyataan, bahwa agama yang selama ini diharapkan mampu memberikan solusi

terbaik terhadap persoalan-persoalan modernitas juga mengalami persoalan internal

yang cukup rumit. Diantaranya adalah persoalan krisis indentitas yang sejak awal

sudah mempertanyakan mampukah agama secara realitas memberikan alternatif

pemecahan bagi krisis yang dialami oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme

(Maksum, 1994: 1). Pertentangan dan perumusan tentang formulasi jawaban belum

menemukan titik temu yang maksimal sampai sekarang ini.

Persoalan lain dari permasalahan keagamaan yang akhir-akhir ini

menggejala adalah kekerasan atas nama agama5. Pertanyaannya kemudian adalah

mengapa bisa demian?. Mengapa tiba-tiba manusia yang beragama berubah menjadi

manusia yang brutal?. Mengapa tiba-tiba sesama saudara harus saling menerkam,

membunuh dan menghancurkan?. Mengapa perilaku manusia beragama yang semula

religius berubah dalam waktu yang singkat menjadi seperti binatang?. Mengapa

perayaan agama yang begitu meriah tidak mampu membawa perubahan perilaku?.

Pertanyaan lebih lanjut adalah adakah yang salah mengenai cara beragama yang

selama ini dilakukan?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, dikarenakan ada persoalan

mengenai cara beragama yang selama ini dilakukan. Permasalahan itu adalah adanya

5 Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan lebih-lebih di Indonesia akhir-akhir ini, sinyalemen ini disanggah melalui pernyataan apogetis (membela diri) yakni agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan tetapi manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi maupun golongannya sehingga menyulut kekerasan. Padahal agama baru menjadi konkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? (Haryatmoko, 2000: 4).

Page 19: uf5003

19

keterjebakan keberagamaan manusia dalam bahasa simbol yang masih kaku. Hal ini

dalam realitas nantinya akan mengarah pada keterjebakan formalisasi agama.

Apabila hal ini terjadi maka agama justru menjadi terasing dengan persoalan

kehidupan manusia, karena fungsi agama menjadi kabur. Agama yang seharusnya

menjadi pembebas akan terperosok dan terjebak pada aspek romantisme formal. Oleh

sebab itu sangat wajar, apabila ketika kesalehan dijadikan alat politik untuk mencari

popularitas, posisi, kedudukan, dan kekuasan konsekuensi logis yang akan

ditanggung oleh umat beragama adalah ketidak berdayaan eksistensi.

Dari deskripsi ini jelas, bahwa beragama tidak cukup hanya bersifat ritual

dan mementingkan diri sendiri, diperlukan sikap keberagamaan yang menyeluruh,

sehingga menyentuh aspek-aspek kehidupan. Menurut Romo Mangunwijaya (1999:

4), beriman bukan sekedar orang sembahyang. Bagi dia orang beriman berarti harus

berani menanggung resiko dengan cara ikut ambil bagian untuk memanusiakan

manusia. Orang beriman tidak terjebak persoalan hukum normatif tentang sah dan

tidah sah, layak atau tidak layak. Agama harus kembali kepada semangat awal yakni

berfungsi profetis. Agama harus kritis terhadap kekuasaan, harus mampu

membebaskan masyarakat dari kebodohan, ketakutan, kemiskinan, dan sistem yang

menindas. Dalam realitas banyak masyarakat yang menghayati agama secara

formalis. Mereka rajin beribadah, tetapi juga rajin menjelekkan orang lain. Mereka

rajin berdoa tetapi juga rajin menindas sesama. Mereka rajin berziarah, tetapi juga

rajin korupsi dan manipulasi.

Kenyataan seperti ini muncul karena penghayatan keagamaan mereka

menurut Romo Mangun (1999: 5) amat kekanak-kanakan. Tuhan hanya dimengerti

Page 20: uf5003

20

sebagai alat untuk mencari perlindungan dari segala perbuatan yang tercela. Tuhan

dimengerti hanya untuk mencuci dosa. Cara pandang beragama seperti inilah yang

perlu dikoreksi. Tugas umat beriman adalah menyucikan dunia dengan menegakkan

kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. Keberagamaanya bukan hanya

untuk kepentingan diri sendiri tetapi sebaliknya. Romo Mangunwijaya (1999: 5)

mengatakan, orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri justru

memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah

kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya beragama secara benar

adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak

memuaskan diri sendiri.

Adanya kenyataan bahwa, manusia modern mengalami krisis modernitas di

satu sisi dan sisi lain agama yang diharapkan memberikan pencerahan ternyata

terjebak pada aspek formalisasi ajaran dan fenomena kekerasan yang bercorak agama

maka diperlukan pemikiran ulang secara terus menerus untuk lebih mengarahkan

agama supaya efektif dalam memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia.

Pada posisi seperti inilah tasawuf menjadi hal yang patut untuk ditawarkan.

Hal ini dikarenakan tasawuf menurut Syeikh Hisyam Kabbani (2007: 16), lebih

mengutamakan kedamaian bagi umat manusia. Tasawuf menganjurkan agar antar

umat manusia saling bekerja sama. Tasawuf menjembatani semua kebudayaan

seperti tenda besar yang bisa memayungi para musafir yang datang dari berbagai

penjuru dunia dan berbagai latar belakang. Oleh karena itu, pengamal tasawuf bisa

berdampingan mesra dengan siapapun.

Page 21: uf5003

21

Persoalannya kemudian adalah timbul asumsi bahwa tasawuf merupakan

ajaran dan perilaku yang menyimpang dari Islam dikarenakan banyaknya muatan

bid’ah dan khurafat. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah sebagai organesasi

pembaharuan mengadakan gerakan pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk bid’ah

dan khurafat, tetapi dalam perkembangannya banyak tokoh Muhammadiyah yang

adaptip terhadap tasawuf sehingga hubungan tasawuf dan Muhammadiyah yang

awalnya berada pada posisi yang berhadapan menjadi posisi yang sejalan. Perubahan

inilah yang layak untuk diteliti lebih lanjut dalam tesis ini.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap

ajaran tasawuf?

2. Bagaimana implementasi intektual Muhamadiyah Kota Semarang terhadap

ajaran tasawuf tersebut.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan umum yang akan dicapai adalah

untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual

Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan

implementasi dari persepsi tersebut.

D. Kajian Pustaka

Untuk memperjelas posisi penulis dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu

dideskripsikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, beberapa diantaranya

adalah:

Page 22: uf5003

22

1. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study

Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2001 yang

berjudul : Muhammadiyah and Reconstruction of Islamic Spirituality: (The

Study of Tasawuf form and its Pactice in Muhammadiyah). Penelitian ini

mengkaji persoalan spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah, yang secara

umum lazim dikenal dengan istilah tasawuf. Persoalan ini kemudian dirumuskan

dalam bentuk pertanyaan yaitu, 1) Adakah tasawuf dalam Muhammadiyah, dan

2) kalau ada, bagaimana bentuk dan praktik tasawuf dalam Muhammadiyah6.

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalam gerakan Muhammadiyah

terdapat elemen-elemen tasawuf, yang bentuknya adalah seperti spiritualitas

Islam pada umumnya sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Bentuk dan

praktiknya, misalnya anjuran untuk ber-muhasabah, pengendalian hawa nafsu

dengan menjalankan ibadah ritual. Bentuk lainnya adalah memandang kematian

sebagai bahaya besar. Persepsi tentang kematian ini mendorong orang-orang

Muhammadiyah untuk melakukan amal dan kerja secara produktif dan bukan

melakukan ibadah atau menyepi untuk berhidmat dengan Tuhan. Itulah agaknya

yang dapat disebut sebagai tasawuf Muhammadiyah, atau ajaran spiritualitas

Islam sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Tasawuf Muhammadiyah adalah

6Prosedur pencarian data penelitian di atas dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan

tertulis baik dari hasil penelitian, tulisan lepas maupun dokumen kegiatan yang terkait dengan aspek spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah. Dari bahan yang ada, dilakukan seleksi mana yang layak, serta mana yang dipandang kurang layak. Pembacaan secara mendalam terhadap bahan yang terkumpul adalah tahap selanjutnya hingga penyusunan draf laporan. Penulisan adalah tahap yang membutuhkan waktu paling lama. Dimulai dengan membuat pohon penelitian, hingga memberikan ilustrasi yang sedapat mungkin menggambarkan ada tidaknya tasawuf dalam Muhammadiyah hingga bentuk dan prakteknya. Tahap ini sekaligus merupakan tahap analisis hasil penelitian, dengan mendeskripsikan secara induktif dan melakukan penarikan kesimpulan sementara, sehingga menggambarkan suatu uraian secara deskriptif-kualitatif.

Page 23: uf5003

23

tasawuf akhlaki-transformatif, atau tasawuf aktual. Berikut adalah kesimpulan

dari penelitian tersebut.

The research result asserts that the tasawuf elements exist in Muhammadiyah movement whose form such as islamic spiritual as it is commonly known in accordance with Qur'anic value and sunnah. Its form and practice such as advise to be introspective, to control the passion by conducting ritual worship. Another form is regarding a death as a great danger. The perception of death supports the members of Muhammadiyah to perform the program and work productively and not just to worship the God respectively and hide from everyone. Thus, what is probably able to be concsidered as tasawuf of Muhammadiyah of teaching of islamic spirituality in accordance with al-Qur'an and al-Sunnah. Muhammadiyah's tasawuf is moral transformation tasawuf or actual tasawuf (Khozin: 2001,1)

Penelitian di atas merupakan kerangka dasar yang memberi gambaran

awal bahwa Muhammadiyah ternyata juga mengamalkan tipologi tasawuf

meskipun dengan karakteristik yang berbeda dengan yang dipraktekkan secara

umum. Penelitian ini mencoba mempertegas penelitian terdahulu dengan

mencari bentuk dan praktik tasawuf dalam perspektip intelektual

Muhammadiyah Kota Semarang. Dengan lokalitas dan pembatasan wilayah

yang lebih spesifik diharapkan penelitian di atas dapat teruji secara proporsional

dan memadai untuk mempertegas kesimpulan mengenai tasawuf akhlaki-

transformatif, atau tasawuf aktual.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study

Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2002 dengan

judul: Rekonstruksi Spiritualitas Tokoh Muhammadiyah (Studi Tentang

Apresiasi Dan Refleksi Keagamaan KH. Ahmad Dahlan Dan KH. AR.

Fachruddin). Studi ini berawal adanya suatu fenomena sejarah tentang

Page 24: uf5003

24

keberagamaan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai penganut Islam puritan

yang apresiasi keagamaannya menurut pencermatan peneliti agak tipikal.

Apresiasi keagamaan ini sebagaimana yang terefleksi dalam semangat

perjuangan, kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan dalam beramal. Dari

fenomena sejarah ini kemudian fokus penelitian ini dirumuskan: Pertama,

mengapa tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki apresiasi keagamaan yang

tipikal?. Kedua, bagaimana apresiasi keagamaan ini direfleksikan dalam

kehidupan sehari-hari ?7.

Penelitian ini menunjukkan bahwa menurut KH. Ahmad Dahlan,

beragama adalah menghadapkan jiwa hanya kepada Allah serta menghindarkan

diri dari ketertawanan terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan dengan bukti

penyerahan harta dan jiwa kepada Allah. Menurut KH. AR. Fachruddin

memandang agama sebagai peraturan hidup lahir dan batin yang harus

direfleksikan dalam hidup sehari-hari sebagai wujud dari kesadaran yang dalam

tentang adanya pembalasan di hari akhir. Refleksi dari pandangan keagamaan ini

semangat juang yang tinggi disertai kerelaan berkorban harta benda, pikiran

serta tenaganya sebagai wujud penyerahan diri yang total. Lebih dari itu adalah

hidup dalam kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan.

7Penelitian di atas dimaksudkan untuk mendeskripsikan apresiasi keagamaan, yaitu

pandangannya terhadap agama yang terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademik dengan memberikan sumbangan teoritik tentang wacana spritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini secara praktisnya dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang berwenang di persyarikatan untuk mendisain dan mengembil kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan spiritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini menggunakan metode sejarah beografis yaitu, penelitian yang berusaha menangkap fenomenna masa lalu yang bersifat individual. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk melakukan konstruksi masa lalu dari apresiasi keagamaan beberapa tokoh Muhammadiyah dan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari. Subyek penelitian sengaja dipilih KH. Ahmad Dahlan dan KH. AR. Fachruddin keduanya adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Muhammadiyah

Page 25: uf5003

25

Penelitian di atas memberikan antitesa bahwa Muhammadiyah yang lahir

dari semangat puritan dan anti tasawuf ternyata dalam perspektip pendirinya

yaitu Ahmad Dahlan dan AR. Fahrudin memiliki pemahaman spiritualitas

ketasawufan yang kurang begitu banyak diekspose. Inilah yang menjadi titik

tekan penelitian ini untuk mencari dan merumuskan secara detail spiritualitas

Muhammadiyah pada generasi yang lebih baru terutama di Kota Semarang.

3. Artikel yang ditulis oleh Rizqon Khamami8 yang berjudul : “Fenomena

Intelektual Muda NU dan Muhammadiyah” yang dimuat di harian Duta

Masyarakat, 13 November 2003. Menurutnya pada satu dekade terakhir dapat

ditengarai sebuah kebangkitan intelektual di kalangan anak-anak muda Islam

yang berpayung pada organisasi beraliran tradisional, dan disusul oleh anak-

anak muda dari kalangan Islam modernis. Arah angin di kemudian hari kedua

organasasi Islam ini perlahan terciptanya tipis batasan antara istilah tradisional

dan modern. Pada tataran lain, anak-anak muda Muhammadiyah menunjukkan

gejala kebangkitan yang sama. Sebagai salah satu organisasi massa Islam yang

mendasarkan pada semangat pembaharuan Muhammad Abduh, dan semangat

puritanisme Ibnu Taymiyah,

Muhammadiyah telah mengalami "pergeseran" pergerakan. Meskipun

berhasil memajukan amal usaha yang berhubungan langsung dengan denyut

8Rizqon Khamami beralamat di Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Rangkang, raksaan,

Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia. Terlahir di kabupaten Batang, Jawa Tengah, kini sehari-hari mengelola pesantren Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-jailani, Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Selain mengajar di Universitas Zainul Hasan, Genggong, ia adalah direktur Pokjar Syekh Abdul Qodir Al-Jailani menyelenggarakan PGSD, UPBJJ-UT Malang. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan di SMA Takhasus Al-Qur'an (TAQ) dan Ponpes Al-Asy'ariyyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia adalah alumnus Saddam University for Islamic Studies, Baghdad, Iraq, untuk S1 pada tahun 1998. Sedangkan S2 diselesaikan dari Jamia Millia Islamia, New Delhi, India dalam bidang Islamic Studies.

Page 26: uf5003

26

kehidupan masyarakat, seperti rumah sakit, universitas, sekolah dan lain

sebagainya, namun terkesan melupakan sisi kajian keislaman. Pengembangan

wacana keislaman di tubuh organisasi modernis ini selama beberapa waktu

tampak mandeg. Keberhasilan Muhammadiyah dalam bidang amal usaha belum

membuat kalangan mudanya terpuaskan. Gesekan-gesekan kaum muda

Muhammadiyah dengan fakta sosial, tak terelakkan, adalah pemicu geliat

keintelektualan mereka, karena kaum tua Muhammadiyah lamban dalam

mengantisipasi. Wacana-wacana anyar yang dimunculkan oleh kalangan muda

Muhammadiyah merupakan bentuk kritik tak langsung dan sebagai ekspresi

pemberontakan kepada kalangan tua Muhammadiyah. Jaringan Intelektual Muda

Muhammadiyah (JIMM)9 berdiri.

Dalam Musyawarah Nasional XXIV Majelis Tarjih dan Pengembangan

Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Januari

2000 telah diputuskan agar manhaj tarjih dan pemikiran Islam dalam

Muhammadiyah tidak hanya didominasi oleh pengkajian masalah-masalah

akidah dan fikih yang dianalisa dengan pendekatan tekstual, tetapi harus

menembus ke berbagai wilayah pemikiran keislaman, baik teologi (kalam),

9Pada 18-20 November 2003, JIMM, menyelenggarakan Tadarus Pemikiran Islam-

Muhammadiyah (TPI-Muh) di Malang, yang memiliki tujuan memetakan pemikiran Islam kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan dialog Islam-Barat dan membangun kunci hermeneutik untuk turut andil memecahkan problem kekinian. Muncul nama-nama seperti Zuly Qodir, Happy Susanto, A Fuad Fanani, Piet A Khaidir, Zakiyuddin Baidhawy, Pradana Boy, Ai Fatimah Nur Fuad dan lain-lain. Bahkan disebut-sebut TPI-Muhammadiyah merupakan upaya awal membedah problem sosial, kemiskinan, keterbelakangan, krisis multidimensional yang memunculkan kegelisahan religius, keprihatinan sosial, dan moral. Intelektual muda Muhammadiyah terpacu untuk melakukan aksi penyadaran dan pencerahan kepada rakyat. Persentuhan anak-anak muda Muhammadiyah dengan fakta kekinian dengan mengangkat isu-isu kontemporer seperti demokratisasi, hubungan antaragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, civil society, globalisasi, dan multikulturalisme adalah sebuah sikap kritis dalam memahami persoalan sosial yang memerlukan "penyelesaian agama". Semangat kembali kepada Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw (al-ruju' ila al-Quran wa al-Sunnah al-Nabawiyah) dalam ranah agama, bagi kalangan muda Muhammadiyah belumlah cukup, tanpa melibatkan diri dalam ranah sosial dan moral.

Page 27: uf5003

27

falsafah, fikih, tasawuf, dan agenda-agenda sosial kemasyarakatan. Tak pelak,

pilihan ini harus dibarengi dengan peninjauan kembali metodologi. Semangat

tajdid al din (pembaharuan pemikiran keagamaan) yang digagas Abduh

mendapatkan tempat.

Menariknya, ketika angkatan muda NU dan Muhammadiyah secara

bersamaan mengangkat isu-isu tersebut di atas, maka batas antara tradisionalis

NU dan modernis Muhammadiyah semakin kabur, kecuali dari kenyataan bahwa

anak-anak muda NU mengembangkan wacana keislaman berangkat dari warisan

tradisi yang ditularkan secara turun temurun, dan angkatan muda

Muhammadiyah menggali kajian keislaman dari semangat tajdid al-din.

Akhirnya, warisan persengketaan intelektual masa lalu dua kelompok Islam ini

sebagai akibat desakan identitas dan kuatnya kepentingan lambat laun mulai

menghilang. Arus balik intelektual muda Muhammadiyah inilah yang menjadi

titik tekan penelitian tesis ini untuk mempertegas keberadaan bentuk dan praktik

tasawuf di Muhammadiyah Kota Semarang.

4. Artikel yang ditulis oleh Dalail Ahmad dan Muhammad Qorib yang berjudul

“Tasawuf Di Tengah Nestapa Manusia Modern” yang dimuat di majalah Suara

Muhammadiyah pada tanggal 15 April 2008. Menurutnya ada beberapa

indikator kuat dari kebutuhan manusia terhadap tasawuf, baik di dunia pada

umumnya maupun khususnya di dunia Islam. Di Indonesia kecenderungan

terhadap spiritualitas juga dapat dilihat dari maraknya berbagai pengajian

tasawuf. Beberapa pengajian yang bercorak tasawuf dapat menyedot jamaah

lebih banyak daripada pengajian lainnya, bahkan sebagian masyarakat sanggup

Page 28: uf5003

28

membayar mahal untuk mengikuti kursus-kursus tasawuf di berbagai tempat.

Spiritualitas di dalam Islam disebut tasawuf. Meskipun para ahli memberikan

definisi terhadap kosa kata itu secara beragam, namun intinya adalah sama yakni

kesadaran manusia akan dimensi spiritualnya. Di dalam tasawuf, manusia

diarahkan untuk memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Visi dan misi itu,

mengharuskan manusia melakukan pendakian demi pendakian untuk meraih

kualitas dirinya agar semakin baik. Dengan mengutip pendapat Annemarie

Schimmel, kedua penulis tersebut berpendapat bahwa tasawuf akan

mengantarkan manusia sedekat mungkin dengan Tuhan. Tasawuf dapat

diejawantahkan melalui berbagai aktivitas umat manusia, yang mengindikasikan

bahwa tasawuf tidak menolak kehidupan dunia, malah kehidupan itu harus

diraih. Tasawuf hanya mengarahkan agar setiap orang tidak terpengaruh atasnya.

Tasawuf juga tidak mengajarkan agar seseorang melakukan ekskomunikasi dari

masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf bisa melahirkan orang yang tercerahkan dan

mencerahkan, terbimbing dan membimbing, terdidik dan mendidik.

Artikel ini menjadi menarik karena ditulis oleh tokoh Muhammadiyah

yang banyak dicitrakan anti tasawuf. Penulis pertama adalah Ketua PW.

Muhammadiyah Sumatera Utara periode 2005-2010, sedangkan penulis kedua

adalah Wakil Ketua MTDK. PWM Sumatra Utara, yang kini sedang

menyelesaikan program doktor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Tulisan ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan paradigma

tentang tasawuf yang dalam perjalannnya kemudian diadopsi menjadi satu hal

yang menyatu dengan Muhammadiyah.

Page 29: uf5003

29

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Sesuai rumusan masalah yang ada dengan pertimbangan bahwa dalam

penelitian ini tidak mengejar yang terukur, menggunakan logika matematik dan

membuat generalisasi atas neraca maka jenis penelitian di sini adalah penelitian

kualitatif (Muhajir, 1996: 9). Dalam konteks penelitian ini, peneliti dalam

memperoleh data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data itu

diperoleh dalam bentuk penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk lisan

maupun tulisan. Penelitian kualitatif secara garis besar dikelompokkan menjadi

3 yaitu : penelitian kualitatif naturalistik, penelitian kualitatif teks dan penelitian

kualitatif historis (Yahya, 2003: 33-38). Dari ketiga model diatas penelitian ini

sesuai dengan judulnya masuk pada model pertama yaitu penelitian kualitatif

naturalistik.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

naturalistic yaitu pendekatan yang memandang kenyataan sebagai sesuatu yang

berdimensi jamak dan merupakan suatu kesatuan yang utuh, serta berubah (open

ended). Oleh sebab itu dalam melakukan, antara peneliti dan yang diteliti saling

berinteraksi sehingga dalam konteks ini peneliti sekaligus berfungsi sebagai alat

penelitian yang tentunya tidak dapat melepaskan diri secara multak dari unsur

subjektifitas. Pendekatan naturalistic sering juga disebut sebagai pendekatan

kualitatif, post-positivistic, etnografic, humanistic dan case study (Sudjana dan

Ibrahim, 2000: 6)

Page 30: uf5003

30

3. Populasi dan Sampel

Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang

ciri-cirinya akan diduga (Sofyan, 1983: 108), atau juga dapat dipahami sebagai

sesuatu yang terkait dengan elemen yakni tempat diperolehnya informasi yang

bisa berbentuk individu, keluarga, kelompok social ataupun organisasi. Dengan

kata lain populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen sedangkan sample

merupakan sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama

dengan populasi (Sudjana dan Ibrahim, 2006: 84).

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari intelektual

Muhammadiyah kota semarang. Intelektual dalam hal ini dipahami sebagai

kelompok terpelajar (Purwodarminto, 1976: 384), atau menurut Ali Syariati

(1985: 15) didefinisikan sebagai orang yang selalu memanfaatkan potensi akal

yang merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya,

mengungkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami

oleh setiap anggota masyarakat. Secara praktis intelektual Muhammadiyah kota

Semarang adalah seluruh warga Muhammadiyah yang memiliki latar belakang

akademik yang memadai.

Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memformulasikan pemikiran

Intelektual Muhammadiyah kota Semarang secara keseluruhan tetapi mencoba

memotretnya dengan sample unsur dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah

(PDM) Kota Semarang dan dan unsur dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah

(PWM) Jawa Tengah. Pemilihan sample ini mempertimbangkan pengelompokan

Page 31: uf5003

31

intelektual Muhammadiyah Kota Semarang dalam kategori menolak tasawuf

secara total, bersikap terbuta dan akomodatip.

4. Metode Pengumpulan Data

Ada tiga metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini,

keduanya yaitu :

a. Metode Wawancara.

Metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data dengan

jalan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seseorang yang

berwenang tentang suatu masalah (Arikunto, 1993: 104). Wawancara dalam

hal ini dilakukan kepada sample penelitian yang terkait dengan pandangan

mereka terhadap tasawuf dan hal-hal lain yang terkait dengan fokus

penelitian.

b. Metode Dokumentasi

Dalam penelitian ini, pengumpulan data-data yang berkaitan

dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan dokumentasi

yaitu mengumpulkan data yang bersifat primer maupun sekunder dalam

bentuk buku, majalah, artikel dan lainnya (Hadi, 1983: 9)

c. Metode Observasi

Metode ini digunakan untuk mencari data dengan datang langsung

ke-obyek penelitian dengan memperhatikan dan mencatat segala hal penting

Page 32: uf5003

32

untuk mendapatkan gambaran dan persepsi yang maksimal dari obyek

tersebut.

5. Metode Analisis Data

Setelah proses memperoleh data-data dari hasil observasi, wawancara

dan domumentasi, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasi sesuai dengan

permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut disusun dan dianalisa

dengan metode analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh

untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian

terhadap objek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah

tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan

pengertian yang lain guna memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto,

2000: 59). Setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengkaji secara

sistematis dan objektif.

Metode deskriptif adalah sebuah metode yang mendeskripsikan dan

menafsirkan data yang ada, misalnya tentang sesuatu yang diteliti, satu

hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang nampak atau proses yang sedang

berlangsung (Surahmat, 1970: 131). Setelah data terdeskripsikan, langkah

selanjutnya adalah menganalisisnya dengan mencari faktor-faktor penyebab

terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu (Nasir, 1998: 68) yang

dalam hal ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan intelektual

Muhammadiyah terhadap ajaran tasawuf.

F. Sistematika Penulisan

Page 33: uf5003

33

Dalam penelitian ini penulis membagi pokok bahasan menjadi lima bab

dan setiap bab terdiri beberapa sub bab. Adapun rincian dari kelima bab tersebut

adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, penegasan

judul, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan

Bab II : Diskripsi tentang Tasawuf, Maqomat dan Thariqah. Bab ini akan

membahas tentang pengetian tasawuf, deskripsi tentang kemunculan tasawuf,

maqomat, tarekat dan rekonstruksi terhadap tasawuf. Bab ini dimaksudkan sebagai

landasan teori untuk pembahasan yang lebih tajam dan akurat agar sesuai dengan

pokok permasalahan yang menjadi focus penelitian agar tidak keluar dari landasan

teori yang telah dibangun.

Bab III : Diskripsi tentang penelusuran paham tasawuf dalam landasan

dasar perserikatan Muhammadiyah, yang terdiri dari pembahasan tentang pencitraan

tasawuf secara umum, historisitas Muhammadiyah, penolakan Muhammadiyah

terhadap takhayul, bid’ah dan churofat, deskripsi tentang misi Muhammadiyah,

yang dilakukan dengan penelusuran paham tasawuf dalam landasan dasar

muhamadiyah yang meliputi penelusuran dalam muqodimah anggaran dasar,

kepribadian Muhammadiyah, Matan keyakinan dan Cita-Cita Hidup

Muhammadiyah, hakkat Muhammadiyah, khittah perjuangan Muhammadiyah dan

pedoman hidup islami warga Muhammadiyah. Bab ini juga menelusuri paham

tasawuf dalam zhawahir al afkar al muhammadiyah dan pelacakan dalam idiologi

Muhammad Dahlan. Uraian bab ini dimaksudkan untuk memaparkan hasil

Page 34: uf5003

34

pengumpulan data lapangan, yang kemudian dijadikan bahan analisis setelah

dipadukan dengan landasan teori yang ada.

Bab IV : Deskripsi tentang tasawuf dalam perspekrif intelektual

Muhammadiyah kota Semarang yang terdiri dari deskripsi histories-geografis Kota

Semarang, formulasi tasawuf menurut intelektual Muhammadiyah kota Semarang

yang mengarah pada konsep Urban sufisme, Neo-sufisme dan Tasawuf Positif serta

pembahasan tentang faktor penyebab deviasi pemahaman intelektual

Muhammadiyah kota Semarang terhadap tasawuf. Dalam bab ini dimaksudkan

untuk menganalisis data yang ada kemudian membandingkan dengan landasan teori

yang ada.

Bab V : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II

DISKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN TENTANG TASAWUF,

MAQOMAT DAN TAREKAT

Page 35: uf5003

35

Tasawuf10 merupakan praktik spiritual dalam tradisi Islam. Tasawuf memandang

ruh sebagai puncak dari segala realitas, sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan”

saja (Aceh, 1984: 28). Oleh sebab itu, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada

aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat

personal. Berbeda dengan agama yang bersifat umum (dalam Islam di kenal dengan

istilah sya’riah/syari’at), jalan tasawuf kemudian dikenal dengan istilah tarekat (dekat

dengan istilah tirakat). Dalam perspektip tarekat setiap pendaki akan melewati level dan

kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam Islam dikenal

dengan istilah Mursyid) (Arberry, 1979: 84). Di antara satu guru dengan guru yang lain

sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda.

Murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang

menyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan)

atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi

dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke

kondisi yang lebih yang lain, hingga murid mampu mencapai tingkatan fana

(kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri murid sehingga murid sampai pada

sebuah kondisi “tersingkap”, “menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan” (Nicholson,

1979: 30).

Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf

moral, setelah melewati fase tadi, mengajak “kembali” sang murid untuk hidup dalam

dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat, namun syariat yang telah diisi

10Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama

Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial.

Page 36: uf5003

36

dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan, sehingga syariat yang dijalankan akan

lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang

murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya

dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang

paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup

toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama

yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara

sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana

ia berasal dan kemana ia akan kembali (Zuhri, 1979: 30).

Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid

atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”, tetapi mau tetap menikmati ekstase

keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan (Nicholson, 1979: 30). Terucaplah

perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase. Dari sinilah

akhirnya terucap pengakuan sebagai “Sang Kebenaran” atau memuji dirinya sendiri

sebagai Tuhan, atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan (Bazsur

Ilahi, 1986: 99). Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul

khawas) mungkin tidak menjadi persoalan, tetapi bagaimana di kalangan awam yang

memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf?

Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga

kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang

sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini diklaim sesat dan berakhir dengan

hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu

Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya

Page 37: uf5003

37

berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul Qudhat dihukum mati

dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar (jika kisah ini

juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah

termasuk dalam kategori ini. Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim

kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih, bahkan bagi

sebagian kalangan Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah (Fauzan,

1998: 39).

Apa yang dicontohkan Al-Ghazali dan Jalaludin Rumi yaitu untuk segera pulang

setelah bertemu Tuhan, bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf

dewasa ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan nilai-nilai hakikat, atau

Rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan

melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra.

Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf

tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang

berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri

setiap manusia yang kadang sepintas ia “muncul” dan kita tidak mengenalinya lalu

“tertutup” lagi oleh potensi lain dalam diri kita (Aceh, 1984: 28).

A. Deskripsi Tentang Tasawuf

Sebagai pengantar kajian tentang tasawuf alangkah baiknya kita simak

pendapat Wahid B. Rabbani yang menyatakan:

Sufisme and science are striving for the same destination. Science wants to know: how did the universe come into being and what is its nature? Is there any creator? What is He like? Where is He? How is He related to the universe? How is He related to the man? Is it possible for man to approach

Page 38: uf5003

38

Him? Sufi has found the answers and invite the scientist to come and have that knowledge (Rabbani:1995, 1)

Kutipan diatas adalah sebuah ilustrasi yang memberitahu kepada kita bahwa

tasawuf (dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sufisme, tasawuf dan

mistisisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu hal yang sangat

penting. Bukan hanya dalam konteks sebagai entitas dari ajaran Islam karena ia

adalah innerdimension of the Islamic relevation (Nasr, 1980: 31), namun lebih dari

itu sufisme menjadi hal yang sangat utama dalam rangka pencarian terhadap makna

hidup yang bersifat universal dan perennial (Lings, 1993: 22-23).

Tasawuf dalam hal ini dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan (sains)

dalam upaya mencari cara pandang terhadap kehidupan. Oleh sebab itu tidak heran

apabila, dalam tradisi Islam, tasawuf menjadi fenomena yang sangat complicated

dan penuh dengan dinamika.

Historisitas Islam sangatlah dipengaruhi akan keberadaan mistisisme baik

sejak awal berdirinya agama ini sampai saat sekarang. Tasawuf dalam sejarah Islam

mengalami perkembangan dan modifikasi yang sangat variatif, maka tidak heran

apabila dalam setiap periode sejarah umat Islam, selalu muncul para tokoh sufi dan

kelompok-kelompok sufi (sufi orde) pada hampir seluruh wilayah umat Islam.

Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus

batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek

esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual

lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam

yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia

Page 39: uf5003

39

(Aceh, 1984: 28) yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi

sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs

(penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-

tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap

berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang

diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan),

atau fana’ (peniadaan diri).

Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya

akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya

karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi

setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada

dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada

Allah (Umari, 1961: 123).

Sesungguhnya tasawuf secara formal belum dikenal pada zaman Nabi

Muhammad. Istilah ini secara tehnis baru berkembang setelah abad kedua hijriah

(Basyuni, 1960: 111). Pendapat ini diamini dari Saleh Fauzan (1998: 1).

Menurutnya kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada)

setelah itu atau masuk kedalam Islam dari umat-umat yang hidup di belakang hari.

Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya dituliskan: “Adapun kata sufi

tidak dikenal di 3 masa yang utama ( shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in) dan hanya

dikenal setelah masa itu” (dalam Fauzan, 1998: 1). Hal ini banyak dinukil oleh para

imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Sulaiman Ad-Darani. Lebih lanjut

Saleh Fauzan menjelaskan.

Page 40: uf5003

40

Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam. Ada yang mengatakan bahwa asalnya adalah dari kata Shuuf (bulu domba) dan inilah yang terkenal di kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama muncul adalah dinegeri Basrah. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adalah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia (Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud, ibadah, rasa takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia. Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata: “sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dan lain-lain, atau komentar yang senada dengan itu (Fauzan: 1998, 1).

Para peneliti pemikiran keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula

kata al tasawuf. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata shaf

yang berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh yang

tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sebagian yang lain berpendapat berasal

dari shafa yang berarti bersih dan suci karena orang sufi senantiasa membuat lahir

batinnya dalam keadaan suci. Sebagian yang lain ada yang menyandarkannya

kepada al-shuffat yaitu serambi masjid tempat Rosulullah mengajar dan tempat

ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu Zar al-Ghifari, sedangkan

ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata

Yunani shopos (Hidayat, 2003: 542).

Secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh kata asal

yaitu: shafa (suci), saff (barisan shalat), saufanah (buah-buahan kecil berbulu yang

banyak dijumpai dipadang pasir), safwah (yang terbaik), suf (bulu domba kasar),

theosophy (hikmat ketuhanan) dan shuffah,. Menurut Al-Kalabazi (1969: 1), kata

shuffah, dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pelana kuda yang dipergunakan

Page 41: uf5003

41

oleh para sahabat nabi untuk bantal tidur disamping masjid nabawi atau juga dapat

dipahami sebagai suatu kamar di serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh

beberapa sahabat Anshar. Pendapat Al-Kalabazi ini dipertanyakan oleh Mir

Valiuddin (1987: 2) menurutnya jika memang asal kata tasawuf berasal dari shuffah

maka panggilan bagi pelaku tasawuf bukannya sufi melainkan shuffi. Pendapat Al-

Kalabazi mendapat penegasan dari Al-suhrawardi (1985: 445) yang mengatakan

“mekipun secara ilmu bahasa tasawuf berasal dari kata shuffah, namun secara

maknawi dapat dibenarkan”.

Dari berbagai istilah itu ada kecenderungan bahwa tasawuf berasal dari kata

shuff. Kelompok yang mendukung pendapat ini adalah Al Suhrawardi (1985: 326),

dengan beberapa alasan: pertama, didasarkan pada hadis dari Anas yang

menyatakan Rasulullah mendatangi undangan hamba sahaya naik Himar dan

memakai pakaian bulu domba. Serta didasarkan pada pernyataan hasan Basri yang

pada intinya dia telah bertemu tujuh puluh pasukan badar yang mengenakan pakaian

bulu domba. Pendapat ini juga disetujuai oleh HAR. Gibb (1964: 110), menurutnya

sebutan mutashawwif diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian dari bulu

domba dan perilakunya disebut tasawuf. Lebih lanjut menurutnya, secara histories

asal mula pakaian bulu domba ini sebagai lambang penebusan dosa seseorang yang

diidentikkan dengan pakaian Isa (Gibb: 1964, 110). Dukungan juga diberikan oleh

Ibnu Khaldun (tt: 370-371) dan Noldeke, sebagaimana dikutip oleh Nicholson

(1975: 3-4) dia menjelaskan bahwa sebutan shuff awalnya dinisbatkan kepada

orang-orang Islam yang hidup asketis, meniru kehidupan para biarawan Nasrani

Page 42: uf5003

42

yang biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar sebagai

tanda tobat dan niat yang kuat untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat

mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada kelompok

yang menitikberatkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai oleh pelaku

tasawuf (shuf) sedangkan kelompok yang lain menekankan pada aspek batiniah

yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat-sifat tercela (shafa), sedangkan yang lain

menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu adanya kesamaan amaliah antara ahli

tasawuf dengan ahli shuffah dan juga kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan

bangun malam melaksanakan sholat malam sehingga badannya kurus seperti pohon

shufanah.

Secara terminologis, istilah tasawuf diungkapkan secara beragam, Junaid al

Baghdady berpendapat bahwa tasawuf adalah penyerahan kehendak dan tujuan

hanya kepada Allah bukan kepada yang lain (dalam Zachner, 1969: 46). Untuk

mencapai sebuah penyerahan kehendak dan tujuan secara total kepada Allah

mensyaratkan adanya proses pembersihan terhadap hati, karena hati adalah bagian

dari Tuhan. Oleh sebab itu esensi dari tasawuf sesungguhnya adalah penyucian hati

dari segala kotoran dan entitas-entitas keduniawian. Penyucian jiwa ini akan

berdampak pada kedamaian dan kesejukan karena kehadiran Tuhan senantiasa

dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dari sini dapat dipahami bahwa pada

dasarnya tasawuf memuat dua entitas penting yaitu, pertama: kesucian jiwa untuk

menghadap Tuhan sebagai zat yang maha suci dan kedua: upaya pendekatan diri

secara individual kepada-Nya (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2004: 307).

Page 43: uf5003

43

Secara terminology, definisi tentang tasawuf juga dapat dirujuk dari banyak

tokoh. Menurut Abu Qosim Abdul Karim al-Qusyairi (tt: 56-57), tasawuf adalah

menjabarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjahui

perbuatan Bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari sikap meringankan

ibadah. Menurut Ma’ruf ak-Karkhi sebagaimana dikutip oleh Al-Syuhrawardi

(1985: 326) tasawuf adalah mengambil hakekat dan tidak tamak dari apa yang

dimiliki oleh makhluk. Menurut al-Nuri sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Basuni

(1969: 18), tasawuf adalah akhlak mulia. Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani (1974:

3-12) mendefinisikan tasawuf sebagai sikap menempuh kehidupan zuhud,

menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan berbagai macam ibadah,

melemahkan dimesndi jasmani dan memperkuat dimensi ruhani.

Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan

perilaku yang dilandasi oleh akhlak mulia, mampu mengisi waktu yang ada untuk

beribadah kepada Allah dan menghindarkan diri dari semua perbuatan tercela.

Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa

sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-

Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun (1966: 231)

pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang

menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk)

atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak

sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani)

perilaku hidup Nabi.

Page 44: uf5003

44

Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan

akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup

kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-

agama lainnya (An-Nadwi, 1987: 61). Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa

pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya

masih dalam kerangka zuhud (dalam An-Nadwi, 1987: 68). Menurut Ahmad

Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan

untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi

dibanding tingkat abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi

di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf

adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’ dan bukannya

mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural (dalam An-Nadwi: 1987,

68).

Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu

aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat

dikatakan positif (ijabi), tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman

maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi

mempunyai dua corak: tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil

naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual, dan tasawuf

sunni11, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam

11Dalam bidang tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak

dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi'i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.

Page 45: uf5003

45

konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf

salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil12. Salafi menolak adanya takwil,

sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka

syari’ah, sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf

yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat

(Nasution, 1990: 56).

Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf

Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia

dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu

dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme

dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan

menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan

ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi

(Al-Afifi, 1989: 40). Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan

untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan

kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar

Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh

manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.

Apabila kita membahas tasawuf logikanya memang tidak lagi terkotak-kotak kepada Susy (Suni

Syiah), alasannya tasawuf adalah dimensi spiritual Islam yang membahas perjalanan salik menuju Allah. Artinya dimensi ini bersifat spirit (rohani) lain dengan corak keagamaan yang terdogma dalam aturan-aturan dunia (syariat). Walaupun dominasi ajaran mereka memiliki corak khusus, bahkan Ibnu Arabi seorang Sufi yang Suni, pendapatnya yang berbau filosofis kurang diterima dikalangan suni tetapi sebaliknya di Syii diterima dengan penghormatan khusus, bahkan mendapatkan sebutan Syaihul Akbar. Ilmu hakikatnya satu demikian juga kebenaran karena berangkat dari sumber yang satu, jadi ini hanya masalah sudut pandang saja. Bisa saja sejarah tasawuf dipandang dari sudut pencampuran kebudayaan, bisa saja tasawuf dipandang dari sudut faktor sosial dan ekonomi, masing-masing punya sudut bahasan yang unik bahkan memperkaya khasanah pengetahuan kita. Tak perlu berapriori bahwa sejarah tasawuf harus sama dan seragam.

Page 46: uf5003

46

Secara histories lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi

atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan

teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual,

(3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis

didominasi oleh nalar kekerasan (Al-Afifi, 1989: 30). Oleh karena itu sebagian

ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan

agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.

Menurut Hamka (1978: 75), kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama

dengan lahirnya Islam itu sendiri, sebab ia tumbuh dan berkembang dari pribadi

Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan

para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama

belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan

dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari

tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di

tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari

pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. Padahal dapat diketahui

bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek

kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual

umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar

menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam ((Hamka: 1978, 76).

Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang

sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat

berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam

Page 47: uf5003

47

pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A.

Nicholson (1979: 23), bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk

mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan

mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.

Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-

langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3

(tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminative

(Russel, 1927: 28). Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah

shari’a, tariqa, dan haqiqa (Valiuddin, 1981: 56). Praktik kesufian sebagaimana

dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau

amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian

jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-

orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah

dengan sebenar-benarnya.

Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi

kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik

pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering

terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud, sabar, tawakkal,

ridha, mahabbah, ma’rifah, fana’, ittihad, hulul. Selain maqam, tradisi sufi

mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state) yakni situasi

kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau

disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi

hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan

Page 48: uf5003

48

jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang

disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi

rumusannya sebagai berikut: muraqabah, khauf, dan raja’, Syauq, Uns, tuma’ninah,

musyahadah, dan yakin (Nasution, 1974: 79).

Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari

perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang,

sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah

tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli.

Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang

berpangkal pada syariat (dari kata syari’=jalan utama) (Triminghan, 1971: 51).

B. Deskripsi tentang Kemunculan Tasawuf

Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2

Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan

istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga

Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul

di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang

masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah)

kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena

faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya

adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu

asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al-Taftazani, 1979: 72).

Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-

Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).

Page 49: uf5003

49

Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam

pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-

Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan

yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad

ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para

fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang

dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan

menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya,

terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan

tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .

Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam

dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis).

Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan

bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat

dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.

Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung

menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat

dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai

pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w.

13Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan

pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (يلمعلا ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (يرطنلا ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

Page 50: uf5003

50

298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab

al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang

sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami

(261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul

(587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.

Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi

terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi

secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur

pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap

kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang

mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3)

masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-

dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf:

(1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3)

bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan

makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya

14Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik,

khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri. Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam. Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan Wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni. Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri. Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa. Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan (Shihab, 2001: 121)

Page 51: uf5003

51

dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam

iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).

Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1)

sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat

muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-

bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam

tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga

berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang

dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan

fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu

Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes”

dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.

Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman

doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi

kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka

(Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui

tiga tahapan berikut: (1) khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid

dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu.

Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M; (2)

tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi

ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan;

(3) taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang

melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).

Page 52: uf5003

52

Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui

ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual

tertentu untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat

disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula

varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.

C. Maqamat: Perjalanan Menuju Hakekat

Dalam perspektif tasawuf dipahami bahwa doktrin yang paling pangkal dari

semua ajarannya adalah tauhid dan memang begitu harusnya dikarenakan tauhid

adalah inti dari ajaran Islam. Tauhid (unity) ini diekspresikan dalam bentuk verbal

“syahadah” (al-Faruqi, 1998: 327). Pada kenyataanya seluruh agenda sufisme

dengan jalan spiritualnya yang biasa disebut dengan tariqah bertujuan untuk

membebaskan manusia dari segala bentuk penjara keterpisahan dan keberagaman

(multiciply). Membebaskan manusia dari segala bentuk dan karakter hipokrit

menuju pemahaman dengan perspektif yang menyeluruh untuk menuju derajat

kemuliaan manusia. Manusia terkadang mengaku mempunyai Tuhan yang satu akan

tetapi mereka berbuat seolah-olah ada banyak Tuhan. Inilah yang disebut dengan

syirk. Tasawuf dengan demikian bermaksud mengubah keadaan siyrk. Singkatnya

tujuan tasawuf adalah mengintegrasikan manusia dalam keseluruan eksistensi yang

paling dalam dan paling luas dari eksistensi kehidupan. Dari sinilah konsep manusia

sempurna dimunculkan (al-Faruqi, 1998: 327).

Konsep tauhid mengharuskan setiap muslim untuk percaya bahwa tidak ada

Tuhan (al haq) atau realitas kecuali Allah, tetapi hanya para sufilah yang membawa

realitas ini pada kesimpulan yang sempurna. Inilah yang biasa disebut sebagai

Page 53: uf5003

53

“kesatuan keadaan” (oneness af being) (Lings, 1993: 64). Dalam konteks seperti

inilah para sufi mempersaksikan la ilaha illa allah dalam dua hal, pertama:

persaksian tersebut adalah pengesaan Allah dalam segala hal terutama dalam hal dia

sebagai dzat yang dicinta satu-satunya, oleh karena itu para sufi menegasikan

tujuan, kecintaan dan pengabdian selain kepada Allah. Ilah dalam perspektif sufi

adalah mahbub, maqshud dan ma’bud sekaligus. Kedua: persaksian tersebut

mengharuskan proses intenalisasi Allah sebagai satu-satunya yang dituju, dicinta

dan abadi (Muhayya, 2000: 1-2).

Untuk mencapai dan merealisasikan konsep tauhid inilah sufisme

mempunyai jalan atau tahapan-tahapan yang sering disebut dengan istilah maqamat

yang pada umumnya dinyatakan dalam terminology religio-moral yang istilahnya

dipinjam dari al Qur’an (Rachman, 2000: 194) . Istilah maqam sendiri berasal dari

derivasi qama-yaqumu-maqam yang berarti tempat berdiri. Maqam secara

terminology adalah tahapan dari sebuah pencapaian spiritual dalam proses

pendekatan diri kepada Tuhan yang merupakan hasil dari usaha pribadi yang

bersifat mistik (Arberry, 1972: 75). Maqam juga berarti sebuah aspek pengetahuan

ketuhanan yang merupakan sesadaran permanent yang dicapai oleh jiwa. Sebuah

maqam tertentu bisa menjadi karakteristik bagi seorang Wali atau sufi tertentu dan

bisa saja tidak berlaku bagi yang lain (Classe, 1995: 258). Abu Nasr al Sarraj al Tusi

mendefinisikan maqam dengan kedudukan seorang hamba dihadapan Allah yang

berhasil diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu (jihad al

nafs), berbagai latihan spiritual (riyadlah) dan penghadapan segenap jiwa (intiqa)

kepada Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 308).

Page 54: uf5003

54

Istilah maqam berbeda dengan istilah yang lain dalam sufi, yaitu hal (ahwal)

yang berarti keadaan jiwa (state of soul) atau beberapa bentuk keadaan secara umum

(Ensiklopedi Tematis, 2004: 308). Hal adalah keadaan spiritual yang tidak

tergantung pada upaya mistik tetapi bergantung kepada Allah. Ini sesuai dengan apa

yang dikatakan oleh al-Qushairy yang mengatakan bahwa jika maqam dicapai

dengan usaha maha hal merupakan pemberian Allah (dalam Arberry, 1972: 75).

Perbedaan antara kedua hal ini dapat dipahami dari komentar salah satu tokoh sufi

yang otoritatif, al Hujwiri.

maqam mengharuskan keberadaan seseorang dalam rangka menuju Tuhan dan kepatuhan dia terhadap perintah-Nya merupakan usaha untuk mencapai maqam tersebut dan dengan memelihara keadaan itu hingga sampai pada kesempurnaan tergantung pada kesempurnaan manusia. Dia tidak dibolehkan berhenti pada maqamnya tanpa memenuhi kewajiban-kewajibannya. Maqam yang pertama adalah taubat, inabat, zuhd, tawakal dan seterusnya. Maka tidak diperbolehkan seseorang yang berpura-pura melakukan inabat tanpa melakukan taubat terlebih dahulu atau zuhud tanpa taubat. Hal pada satu sisi adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada hati seseorang tanpa ia mampu menolaknya ketika datang atau untuk menahannya ketika pergi (dalam Nicholson, 1991: 181 dan Nasr, 1980: 62)

Dalam kitabnya al Luma, Abu Nars al Sarraj menjelaskan sepuluh ahwal

yaitu: muraqobah, qurb, mahabbah, khauf, raja, syauq, uns, itma’nan, musyahadah

dan yaqin (al-Sarraj, 1914: 42 dan Nicholson, 1991: 181), dan menjelaskan

maqamat kedalam tujuhbagian yaitu taubah, wara, zuhd, faqr, sabr, tawakal dan

rida. Ini berbeda dengan Abu Bakar al Kalabadzi yang membagi maqam dalam

kategori taubat, zuhd, sabar, tawakal, rida, mahabbah dan ma’rifat (Ensiklopedi

Tematis, 2004: 309).

Page 55: uf5003

55

Dalam menentukan jumlah dan tingkatan maqam, para sufi nampaknya

berbeda-beda dan tidak mempunyai pekspektip yang sama. Sebagian mereka sama

dalam menentukan jumlah yang kebanyakan adalah tujuh maqam namun berbeda

mengenai apa saja jenis maqam yang harus dilalui namun ada juga seorang tokoh

sufi yang menyebutkan banyak maqam seperti yang dikonsepkan oleh Abu Said Ibn

Abi Khayr yang menentukan empat puluh maqam yang harus ditempuh oleh

seorang sufi yang terdiri dari: niyyat, mabat, taubat, irodat, mujahadah, muraqabat,

sabr, zikr, rida, mukhalafatunnafs, muwafaqat, taslim, tawakal, zuhd, ibadah, wara,

ikhlas, sidq, khauf, raja, fana, baqa’, ilm al yaqin, haq al yaqin, ma’rifat, jahd,

wilayat, mahabbat, wajd, qurb, tafakkur, wisal, kashf, khidmat, tajrid, tafrid,

inbisat, tahqiq, nihayat, tasawwuf (dalam Nasr, 1980: 66-70).

Walaupun maqamat merupakan tahapan spiritual yang bisa dilalui melalui

usaha dan ahwal merupakan sinyal-sinyal Allah yang diterima oleh seorang sufi,

namun ahwal tidak bisa dilepaskan dari usaha seorang sufi dalam meniti maqamat,

dengan demikian menurut Abdul Muhaya, ahwal ibarat cahaya maka maqamat

adalah ibarat cermin (Muhaya, 2000: 2). Semakin tinggi dan keras usaha seseorang

untuk membersihkan cermin, maka semakin terang juga cahaya akan memantul dari

cermin tersebut.

Seorang salik yang dalam perjalanan telah mencapai maqam yang lebih

tinggi tidak diperbolehkan meninggalkan maqam yang ada dibawahnya namun yang

harus dilakukan adalah tetap melakukan perjalanan bersamanya. Kualitas yang

bagus dalam penghayatan sebuah maqam sagatlah dibutuhkan, sekali maqam

tersebut bersamanya maka harus terus bersamanya sampai akhir perjalanan

Page 56: uf5003

56

(Amstrong, 1995: 140). Dengan demikian pada dasarnya melampaui sebuah maqam

bukan hanya berarti mempunyai pengalaman (to experience) tentang maqam

tersebut secara lahiriah, namun diharuskan juga untuk melakukan transformasi

secara total dengan maqam tersebut (wholly transformed) (Nasr, 1980: 63-64).

Berikut adalah deskripsi tentang stratifikasi konsep maqam menurut Abu

Bakar al Kalabadzi.

a. Taubat.

Maqam ini merupakan awal dari semua maqamat. Kedudukannya

laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak akan berdiri

dengan baik. Demikian juga tanpa taubat seseorang tidak akan mampu

mensucikan jiwanya secara maksimal untuk menghadap Tuhan. Taubah yang

berasal dari kata kembali dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela

menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan agama (Ensiklopedi Tematis,

2004: 309).

Imam al Ghazali menjelaskan bahwa taubat mempunyai dua arti

penting. Pertama, dosa yang dilakukan secara terus menerus tanpa disertai

dengan taubat mengakibatkan hati menjadi gelap dan penuh dengan kotoran.

Kondisi ini membuat hati menjadi tidak akan merasakan kenikmatan dekat

dengan Allah. Kedua, taubat menentukan diterimanya amal seseorang, karena

ibadah seorang hamba tidak akan diterima selama ia masih penuh dengan dosa

(Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). Taubat yang paling tinggi secara tingkatan

adalah taubatan nasuha yaitu taubat yang menghapuskan keinginan yang

terlintas didalam hati untuk melakukan perbuatan dosa yang pernah dilakukan

Page 57: uf5003

57

dimasa lampau sebagai perwujudan dari rasa kagum kepada Allah dan takut

kepada siksanya. Taubat ini akan dapat terlaksana amemenuhi tiga hal, pertama :

membebaskan hati dari keinginan untuk berbuat dosa, kedua: meninggalkan

perbuatan buruk yang pernah dilakukan pada masa lalu, ketiga: meninggalkan

perbuatan buruk tersebut (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).

b. Zuhud

Secara bahasa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu karena

kekurangan dan kehinaannya, sedangkan secara istilah zuhud dimaknai sebagai

kebencian hati yang terkait dengan keduniawian dan menjauhkan diri darinya

karena taat kepada Allah meskipun terdapat kesempatan untuk memperolehnya

(Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa:

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan

sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah megah antara kamu serta

berbangga tentang banyaknya harta dan anak (QS. 57: 20). Ayat ini

mengindikasikan bahwa keduniawiaan itu bisa berwujud kesenangan material

yang bersifat sementara yang paling penting dan hakiki adalah kehidupan

spiritual yang bersifat pribadi dan ruhaniyah. Walaupun kehidupan zuhd berarti

bersifat anti materi namun keperluan kemanusiaan juga tidak bisa

dikesampingkan karena orang yang zuhd adalah orang yang mampu

menggunakan segala hal keduniawian sesuai dengan ketentuan hokum dan etika

bukan berlebihan dan berfoya-foya karena semuanya digunakan untuk

kepentingan beribadah kepada Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).

Page 58: uf5003

58

Menurut Al Sarraj ada tiga tingkatan dalam zuhud. Pertama, zuhud

terhadap dunia. Ini adalah zuhud yang paling rendah karena di dalam hatinya

sebenarnya masih ada keinginan keduniawiyan hanya saja ia berusaha untuk

mengatasinya. Kedua, kezuhudan seseorang yang telah sanggup meninggalkan

keduniawian karena ia dianggap sudah tidak mempunyai nilai. Ketiga, zuhud

tingkat tertinggi yaitu zuhud yang semata-mata hanya mengharap ridha Allah.

Menurut al Ghazali ada tiga tanda dari kezuhudan seseorang, pertama: dia tidak

bergembira dengan apa yang dapat dicapai dan tidak berduka dengan sesuatu

yang hilang. Ini merupakan tanda zuhud pada harta. Kedua: dia bersikap sama

dalam menerima pujian dan ejekan. Ini merupakan tanda zuhud yang terkait

dengan jabatan. Ketiga: hatinya senantiasa diliputi kemesraan dalam mengingat

Allah dan merasakan nikmatnya beribadah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).

c. Tawakal

Secara bahasa tawakal berarti mempercayakan atau mewakilkan. Dalam

istilah tasawuf berarti mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah

kepada Allahdan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang

dihadapi. Menurut Zunnun Al-Misri, tawakal adalah meninggalkan tadbir

terhadap diri sendiri dengan menghapuskan daya dan kekuatan sehingga orang

yang bertawakal kepada Allah tidak melihat adanya daya dan kekuatan

melainkan daya dan kekuatan Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).

d. Rida’

Maqam rida’ merupakan puncak perkembangan sikap tawakal. Rida

berarti menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah baik yang

Page 59: uf5003

59

menyusahkan maupun menyenangkan. Menurut Harun Nasution, pada maqam

rida seseorang tidak akan memberontak batinnya terhadap segala cobaan Allah,

tetapi akan selalu menerimanya dengan senang hati, didalam hatinya tidak

memiliki perasaan benci ketika mendapat musibah melainkan selalu rela dan

selalu mengelorakan rasa cinta kepada Allah. Maqam ini menunjukkan seorang

salik telah mencapai derajat kedekatan dengan Allah dan telah berada diambang

pintu ketuhanan yang nantinya akan mampu menyaksikan musyahadah dengan

Allah melalui hati nurani yang suci (Ensiklopedi Tematis, 2004: 311).

e. Mahabbah

Mahabbah secara bahasa berasal dari kata hibbah yang berarti benih

yang jatuh kebumi. Kata mahabbah dapat diderivasi dari beberapa kata. hubb

yang berarti tempayan yang penuh dengan air yang tenang. Hibb yang berarti

kayu penyangga poci air. Habb yang berarti relung hati tempat bersemayamnya

cinta dan habbah yang berarti gelembung-gelembung air. Menurut Rabiah al

Adawiyah (1981: 34), mahabbah merupakan dasar dan prinsip seorang hamba

dalam perjalanan menuju Tuhan.

f. Ma’rifat

Ma’rifah adalah maqam tertinggi dalam dunia sufisme. Secara bahasa

ma’rifah bearti mengenal namun dalam tasawuf diartikan melihat Tuhan dengan

hati nurani. Apabila seorang salik telah mencapai derajat ma’rifat pada

hakekatnya dia telah sampai pada sebuah kesaksian ruhaniah terhadap tuhan.

Page 60: uf5003

60

Pada poisisi seperti ini yang terjadi adalah lenyapnya kesadaran karena

tenggelam ke wujud Allah, sehingga yang dirasakan hanyalah selalu bersama

Allah (unitive state).

Sebagai pembanding berikut adalah tahapan maqomat menurut Harun

Nasution (1996: 24). Menurutnya, Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke

tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan

demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan

yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan

tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat

dalam bahasa Indonesia.

Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam

stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon

sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat

melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Penyucian diri diusahakan melalui

ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon

sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah

mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.

Langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-

dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya

seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia

telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari

perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud

Page 61: uf5003

61

adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-

dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun.

Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.

Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di

stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan

diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan

dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia

tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan

kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana.

Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh

kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani,

dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan

berdzikir. Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi,

ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak

berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu

naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'.

Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam

literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya

terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan

yang berisi syubhat. Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia

menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta

kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia

tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak

Page 62: uf5003

62

pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia

sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan

menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam

menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan

hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu

datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-

bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa

yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa

tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang

lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.

Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak

menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak

minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan

benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa

senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat

sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati

nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.

Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian

diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi,

tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion

berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

D. Tarekat: Beragam Jalan Menuju Tuhan

Page 63: uf5003

63

Tarekat berasal dari kata 'thariqah jamaknya tharaiq, yang berarti: (1)

jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab,

aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh,

tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk

menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diridhoi Allah. Secara praktisnya

tarekat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk

membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa (Haeri, 2000: 37). Menurut Al-

Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang

dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah melalui tahapan-

tahapan/maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia

berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan

kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai

persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga

formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah (dalam Mulkhan, 1998: 111).

Tarekat sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung. Di

abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan

khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi

kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan

agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan

kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala

lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat

kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang

pemimpin spiritual (Nafies, 1996: 180).

Page 64: uf5003

64

Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada

pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusat-

pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan

kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan

tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu

disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng

tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang melawan orang-orang yang

hendak menghancurkannya. Di anak benua India, pusat sufi disebut Jama'at Khana

atau Khaneqah (Arberry, 1988: 39).

Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada

abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk

menegaskan suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula

tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan

jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab

hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula

banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat

lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang

hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah

tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum

ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru spiritual dalam tarekat

sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan diberikan

penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka, atau

bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun,

Page 65: uf5003

65

terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari

pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan

Islam (Beck, 1988: 137).

Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa

banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang

saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang

silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering

tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi'ah dan karenanya kembali melalui

Imam 'Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya.

Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah

penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi

Muhammad SAW (Beck, 1988: 139).

Secara substansi tarekat mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan,

sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau

khalifah suluk, syekh atau Mursyid, Wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat

diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru

dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan

pertolongan dari guru (Iqbal, 1981: 12).

Secara substansial terdapat dua macam tarekat yaitu tarekat wajib dan

tarekat sunat. Pertama, tarekat wajib, adalah amalan-amalan wajib, baik fardhu ain

dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Tarekat wajib yang

utama adalah mengamalkan rukun Islam. Contoh amalan wajib yang utama adalah

shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat,

Page 66: uf5003

66

makan makanan halal dan lain sebagainya. Kedua, tarekat sunat, yaitu kumpulan

amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah

untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang

hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib.

Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket

tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru Mursyid untuk diamalkan oleh murid-

murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung

keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan murid atau pengikut. Hal-hal yang

dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca

Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya (Trimingham, 1971: 4).

Salah satu amalan tarekat adalah wirid/zikir yang dibaca secara teratur

dengan disiplin tertentu. Wirid ini diberikan/didiktekan oleh Rasulullah kepada

pendiri tarekat tersebut melalui yaqazah (pertemuan secara sadar/jaga). Fungsi wirid

ini adalah sebagai penguat amalan batin (Hamka, 1978: 241). Berikut adalah

kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual.

Page 67: uf5003

67

Islam sebenarnya terdiri dari empat tingkatan spiritual yaitu, syariat,

tariqah atau tarekat, hakikat, sedangkan tingkatan keempat, adalah ma'rifat,

tingkatan yang 'tak terlihat', yang sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat,

sebagai esensi dari keempat tingkatan spiritual tersebut. Secara lahiriah tarekat

terdiri dari beragam bentuk.

Pertama, Tarekat Alawiyyah adalah nama salah satu gerakan tarekat yang

ada di dunia. Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya.

Perbedaan itu terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah

(olah rohani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan

beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan

mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang Mursyid.

Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga

dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat

Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat

Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik) (Arberry, 1988:

121).

Kedua, Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang

berkembang di Mesir. Pada umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang

pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband, tetapi Tarekat Khalwatiyah

justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung.

Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati,

pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara

Page 68: uf5003

68

“nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah,

cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh

Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H)15.

Ketiga, Tarekat Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh

Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al-Baghdadi16. Tarekat

Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan

umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat

ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak

abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah,

tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat Qodiriyah ini dikenal

luwes, yaitu apabila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak

mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya, bahkan dia

berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti

tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah

15Tarekat Khalwatiyah dibawa ke Mesir oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin

Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).

16 Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.

Page 69: uf5003

69

mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah

yang menjadi Walinya untuk seterusnya."

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat

yang masuk dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang

berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah

(1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat

Hindiyah, Khulusiyah, dan lain-lain. Di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah,

Mushariyyah, sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat

Bakka'iyah, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini

secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan

tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian

garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-

Bantani17 berkembang pesat di seluruh Indonesia.

Keempat, Tariqah Naqsyabandiyah yang merupakan salah satu tarekat sufi

yang paling luas penyebarannya18. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah

adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan

penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati,

17Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nurun Naum Suryadipraja yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin. Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Beliau sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiahnya pada setiap pelaksanaan kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui http://www.SyaikhAchmadSyaechudin.org

18Tarekat ini bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (”Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah

Page 70: uf5003

70

dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun

tidak konsisten). Praktik Naqsyabandiyah di Indonesia sejak dini sangat berbeda

dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka

waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini

sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya

hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin

menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia19.

Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari

asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah

penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu

dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut

Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din

Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji

Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu

Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di

Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Masing-masing asas dikenal dengan

namanya dalam bahasa Parsi.

Delapan asas-asas yang dinisbatkan kepada Abd al-Khaliq Ghuswadani

adalah (Bergin, 1995: 5):

19Naqsyabandiyah, sebagai tarekat, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad,

dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.

Page 71: uf5003

71

1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Sufi yang bersangkutan haruslah sadar

setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di

antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah,

memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah,

lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh

dari Allah.

2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah

menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan,

demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh

segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.

3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan

perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya

sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang

mulia atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian

negeri, untuk mencari Mursyid yang sejati untuk sepenuhnya pasrah dan dialah

yang akan menjadi perantaranya dengan Allah.

4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang

memberikan bermacam tafsiran. Khalwat bermakna menyepinya seorang

pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang

mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca

dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah

keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta

secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama

Page 72: uf5003

72

hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak

kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin

dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.

5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir

tauhid (la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru

seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut

Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian

sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam

kesadaran akan Allah yang permanen.

6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak

condong kepada hal-hal yang menyimpang, sang murid harus membaca setelah

dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta

maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan

keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari

kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan

perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.

7. Nigah dasyt: “waspada” yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus

sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan

tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara

pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut.

8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung

menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya;

mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam

Page 73: uf5003

73

ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin

dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.

Tiga asas tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi terdiri dari (Bergin,

1995: 15):

1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara

teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan

agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-

menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji,

hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau

lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-

Nya.

2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati

beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya

mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil

yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati

seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat

Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan

demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan

maknanya.

Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam

hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ”

dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-

Page 74: uf5003

74

tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada

Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain. Dzikir dapat dilakukan

baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah

lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal

dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-

pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan

semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di

tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang

lebih lama lagi (Arberry, 1988: 107).

Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada

pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan

dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Dsikir yang pertama terdiri dari pengucapan

asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil

memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau

dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas,

kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis)

melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai

ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di

situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke

jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga.

Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,

memusnahkan segala kotoran.

Page 75: uf5003

75

Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang

lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang

memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan

memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini,

lathifah (jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting

susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam),

selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari

di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada;

dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad

sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Apabila

seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini,

seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan (Arberry: 1988, 108).

Kelima, Tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah adalah nama sebuah

tarekat yang merupakan penggabungan dari Tarekat Qodiriyah dengan Tarekat

Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasiatau

biasa disebut juga dengan nama Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar al-

Sambasi al-Jawi. Beliau adalah ulama besar dari Indonesia yang diangkat menjadi

imam Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah. Beliau tinggal sampai akhir

hayatnya di Makkah. Beliau wafat pada tahun 1878. Sebagai seorang guru Mursyid

yang kamil mukammil, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi sebenarnya memiliki

otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya.

Dikemudian hari, tarekat ini sangat berkembang pesat dan menjadi tarekat yang

paling banyak pengikutnya di Indonesia. Mursyid Tarekat Qodiriyah Wa

Page 76: uf5003

76

Naqsyabandiyah diantaranya adalah Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi, Syaikh

Abdul Karim Tanara Nawawi Al-Bantani, Syaikh Abdullah Mubarok

Cibuntu/Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten, Syaikh Nurun Naum Suryadipraja,

Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin dan Syaikh Nur Churi Satar Gondanglegi -

Malang - Jatim.

Keenam, Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali

muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang

mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya

tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama

Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.

Ketujuh, Thoriqoh Shiddiqiyyah atau Tarekat Shiddiqiyyah. Thoriqoh ini

merupakan aliran tarekat yang mengajarkan metode atau sistem untuk menanamkan

kalimat Laa ilaaha ilallah ke dalam jiwa, hati, roh yang menyehatkan serta

membersihkannya dari bemacam-macam penyakit dan kotoran. Tarekat ini dari

Rosululloh Muhammad diturunkan melalui sahabat Sayyidina Abu Bakar Ash

Shiddiq. Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah saat ini adalah Syaih Muhammad Muhtar

bin Abdul Mu'thi – Muchtarulloh Al Mujtaba r.a., yang mulai mengajarkan Tarekat

Shiddiqiyyah sejak tahun 1954, setelah memperoleh izin dan perintah dari

Mursyidnya, Syaih Ahmad Syuaib Jamali Al Banteni. Kata Shiddiqiyyah berasal

dari gelar dari Sayyidina Abu Bakar ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan

tentang pengalamannya didalam Isra Mi'raj kepada umatnya saat itu. Sayyidina Abu

Bakar adalah salah satu orang pertama percaya akan kebenaran peristiwa Isra Mi'raj

yang dialami Nabi SAW. Abu Bakar mendapatkan gelar Shiddiq dari Rasulullah

Page 77: uf5003

77

SAW, yang artinya membenarkan, percaya atas kebenaran. Thoriqoh Shiddiqiyyah

sekarang ini di luar Indonesia sudah punah, dan satu-satunya di dunia hanya terdapat

di Indonesia yang berpusat di Jombang, Jawa Timur.

Kedelapan, Tarekat Tijaniyah adalah salah satu dari gerakan tarekat yang

didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-

1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah

karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai

pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga

untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu

dengan Tuhan.

Dalam tradisi tarekat, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani)

merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual.

Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah keMursyidan ini ditolak oleh sebagaian

ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara

individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan

rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan

pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah.

Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka

mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid

(Schimmel, 1986: 12).

Pandangan ini dinilai layak hanya secara teoritis belaka tetapi dalam praktek

sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.

Page 78: uf5003

78

Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para

ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan

Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu

Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul

Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus

menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada

Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid (Schimmel, 1986: 12). Masing-masing

ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu

agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang

Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah

"dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu

adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri

(Najati, 1980: 328).

Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan

mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin

belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah

sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa

dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipu daya. Sebab, dalam alam

metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani

seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif

(bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan

bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipu daya penempuh jalan sufi

muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa

Page 79: uf5003

79

menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan"

(Bastaman, 1997, 59) . Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan

seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki

oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam

soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya

(Aceh, 1985: 12) .

Seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang Wali, dan

seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan

adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai

keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan

bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya. Tentu saja, untuk

mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari

ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan

menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti

kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis

misalnya tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana,

logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati

(Nurbachshi, 1991: 8).

Siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para

kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak

berkubang dalam kemaksiatan. Sebagian tanda dari keWalian adalah tidak adanya

rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun

merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup

Page 80: uf5003

80

banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam

Wilayah Ilahi. Paduan antara keWalian dan keMursyidan inilah yang menjadi

prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Menurut Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, bahwa

syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak, minimal ada lima

yaitu: memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas, memiliki pengetahuan

yang benar, Memiliki cita (himmah) yang luhur, memiliki perilaku ruhani yang

diridhai dan memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya keMursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan

berikut: bodoh terhadap ajaran agama, mengabaikan kehormatan ummat Islam,

melakukan hal-hal yang tidak berguna, mengikuti selera hawa nafsu dalam segala

tindakan dan berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai

tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari

lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani. Lima

karakter tersebut adalah membiarkan dirinya dalam kemaksiatan, mempermainkan

thaat kepada Allah, tamak terhadap sesama makhuk, kontra terhadap Ahlullah dan

tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu

kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan

dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan

dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu." (dalam Al-

Taftazani, 1979: 15). Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam

Page 81: uf5003

81

mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan

dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya

kepadamu, jalan menuju Allah" (dalam Al-Taftazani, 1979: 15) .

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid

yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini

menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para

muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula

mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan

mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat

membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru

yang hakiki dalam dunia sufi. Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid

sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip

thariqat itu sendiri yaitu taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin, mengikuti Sunnah

Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan, berpaling dari makhluk

(berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi, ridha kepada Allah,

atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak dan kembali kepada Allah dalam

suka maupun duka (Haeri, 2000: 152).

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi

hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas,

sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada

Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril

as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama,

Page 82: uf5003

82

ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus

diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir

adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional

Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara

Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul

Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan

dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul

Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah" (Haeri, 2000: 149).

E. Rekonstruksi terhadap Tasawuf

Ide rekonstruksi terhadap tasawuf salah satunya dapat ditemukan dalam

pemikiran Hasan Hanafi. Secara mendasar dia menolak tasawuf serta

memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin (Hanafi, 2001: 24).

Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, anti arogansi, anti gila

terhadap kekuasaan dan anti kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai

oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein

mengalami kekalahan. Oleh karena itu, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai

mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab

perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah

menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap

dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.

Page 83: uf5003

83

Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi

gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi

cita-cita historis; dari milik seluruh umat, Islampun menjadi milik eksklusif jamaah

tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (al-

ittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya

tanpa mengubah dunia. Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa

menyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia

adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yang

dikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan).

Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yang

tak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu (Hanafi, 2001: 67).

Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk

manusia" (khaira ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernah

lahir dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampu

melakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik. Adapun

ekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban untuk menegaskan

misi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan syariat Islam dan

membumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaum

Muslim dalam sejarah.

Atas pertimbangan di atas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf. Hanafi

(2000: 44) mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan

Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifat

tradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali atas ilmu-ilmu

Page 84: uf5003

84

rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasil

menampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad V

Hijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyah

yang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjang

masa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan modern. Manurut Hanafi

(2000: 44), tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upaya

untuk menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikan

dalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagi

sentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi oleh

manusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjang-

jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu

generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi.

Bagi Hanafi (2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang

diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam

menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina dunia

kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakan

suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis

dan tahap metafisik (Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan rekonstruksi

tasawuf dalam ketiga hal tersebut.

Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul

sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu. Jika

masyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap

moral mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan

Page 85: uf5003

85

awal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak

kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan

dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Dari

rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai

kompensasi atas dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda,

karena realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas

lahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yang

dipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunia

lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c). Dari etika

individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknya

individu. Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi

individu; d). Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara

memperoleh kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun

berpendapat secara individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia

sekarang tindakan terbuka sangat diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari

organisasi sufi ke gerakan sosio-politik.

Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti

bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu

perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasawuf tidak lagi berhubungan dengan

tindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan. Fokusnya bukan lagi

pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati. Kini,

tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati. Ilmu ini terdiri dari dua

bagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal).

Page 86: uf5003

86

Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktif

dan dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial.

Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika

sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada

tahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah

melewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga ini

benar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai dan

hadiah yang harus diterima.

Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebut

tercapai dibumi. Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Dari

vertikal ke horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yang

tertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelah

dikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untuk

turun ke bumi. Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai kembali

dunia. Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud untuk

dekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-tindakan ini

muncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempat-

tempat lain. Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan ini

mungkin bersifat konklusif dan produktif (Shibab, 1998: 59). Jika gerakan di jalan

sufi bermula dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu ke

yang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermula

dari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke luar

(pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan

Page 87: uf5003

87

diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang

mencoba menaklukkkan bumi lagi (Abdurrahman, 2003: 18).

Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi. Tanah

mesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untuk

dekolonisasi atau untuk bekerja; b). Dari langkah moral ke periode sejarah. Karena

langkah-langkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan,

mungkinkah menyusun langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yang

progresif? Dalam tasawuf, terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan.:

mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikuti

pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapan

memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan

depan-belakang; c). Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakan

reaksi terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakan

tempat perlindungan yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dan

kebatilah di dunia. Karena kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada,

maka yang saleh pun meninggal dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadi

yang kekal bagi mereka. Namun demikian kondisi modern ini lebih banyak

berhubungan dengan kehidupan daripada kematian. Kondisi ini lebih banyak

berhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah pembangunan

urban kota-kota besar; d). Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Akibat

kekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahan

antara cita-cita dan kenyataan. Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapan

dan impian yang diteruskan di dalam tasawuf (Fariza, 2003: 55).

Page 88: uf5003

88

Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini,

yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alam

dan sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuan

yang berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam.

Mengapa tidak beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan ke

penyatuan nyata masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisial

yang dihadapi sebagai upaya peralihan dari era kolonial? Jawabannya, metafisik

kesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mecapai

kesatuan sebagai tujuan politik. Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangka

konseptual bagi Pan-Islamisme (Shibab, 1998: 56).

Dilihat dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yang

dilakukan Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi. Pemikiran ini

tampaknya lahir dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yang

sedang terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunan

pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan.

Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan (Abdullah, 1996: 87). Sebagai

cendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan

yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup dalam antara

wilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat. Hanafi

dengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalam

dunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual.

Namun demikian, Hanafi tidak semata-mata memakai analisa filsafat materialisme.

Page 89: uf5003

89

Ia juga menggunakan analisis kesejarahan dunia Islam, sehingga secara jujur dapat

mengungkap fakta-fakta dan relasinya untuk melakukan rekonstruksi.

BAB III

TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH: SEBUAH

PENELUSURAN KONSEPTUAL

Melihat perkembangan Islam di Indonesia beberapa tahun belakangan, salah satu

pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf di samping segi sosial-politik

Islam yang seringkali kontroversial. Kalau diperhatikan laporan media massa akan

Page 90: uf5003

90

didapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf, seolah-olah

ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara

Sufistik. Media massa sering memberitakan laporan yang aneh-aneh mengenai kajian-

kajian tasawuf itu, misalnya ada kursus Sufi Dancing, ada spiritual gathering mengenai

masalah kematian dan alam kerohanian, ada kajian mengenai kedokteran Sufi, juga

psikologi Sufi yang memberi konseling atas krisis kehidupan. Di televisi bahkan muncul

acara dengan rubric tasawuf. akhirnya, tasawuf telah menjadi pertanda ekspresif

fenomena keagamaan dewasa ini. Bagaimana dengan Muhammadiyah?

A. Historisitas Muhammadiyah

Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8

Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912. Dia

lahir pada tahun 1868 di sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta

yang bernama Kampung Kauman dengan nama aslinya yaitu Muhammad Darwisy

(Darban, 2000: 34). Muhammad Darwisy merupakan salah satu anak dari KH. Abu

Bakar, seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan

Yogyakarta. Berdasarkan silsilah, dia masih termasuk dalam garis keturunan yang

kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali besar dan terkemuka

diantara para Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dalam penyebaran dan

pengembangan Agama Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991: 3).

Di masa kecilnya, Muhammad Darwisy mengenyam pendidikan dalam

lingkungan keagamaan di sebuah pesantren yang mengajarinya tentang pengetahuan

agama Islam dan bahasa Arab. Di usianya yang masih relatif muda, yaitu pada

umurnya yang ke 15, dia menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu ibadah haji

Page 91: uf5003

91

pada tahun 1883. Selanjutnya disana dia menetap dan memperdalam pengetahuan

tentang ilmu Agama Islam di Makkah dalam kurun waktu kurang lebih selama lima

tahun. Selama belajar ilmu agama disana, dia sering berinteraksi dengan pemikiran-

pemikiran pembaharuan di dalam dunia Islam saat itu. Tokoh-tokoh Islam seperti

Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah rupanya

mempunyai dampak yang sangat besar pada diri pribadi Muhammad Darwisy

(Nashir, 2006: 1). Seketika itu jiwa dan pemikirannya dipenuhi oleh semangat

pembaharuan yang kelak dikemudian hari menampilkan corak keagamaan yang

sama, yaitu melalui Muhammadiyah20.

Muhammadiyah sendiri berdiri dengan dilatarbelakangi keinginan untuk

memperbaharui pemahaman tentang ke-Islaman di sebagian besar dunia Islam di

Indonesia yang pada saat itu dianggapnya masih bersifat ortodoks (kolot), serta

masih bercampur aduknya ajaran agama Islam dengan ajaran agama yang terdahulu

atau kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Bercampur aduknya ajaran

Islam dengan kebudayaan non-Islam itu sendiri sebenarnya dapat dimaklumi pada

saat awal-awal penyebaran agama Islam di Indonesia. Hal ini mengingat sulitnya

masyarakat pada waktu itu untuk meninggalkan kebiasan atau ajaran yang telah

lama mereka anut sejak nenek moyang, sehingga kebiasaan tersebut masih

dilakukan walaupun dengan memasukkan unsur Islam didalamnya. Namun seiring

20Kata “Muhammadiyah” secara bahasa berarti “pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata

Muhammadiyah, dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma (1960: 29) mengandung pengertian sebagai berikut: “Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang sucidan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya

Page 92: uf5003

92

dengan berlalunya waktu, kebiasan-kebiasaan atau cara-cara yang dianggap masih

bercampur tersebut masih kerap dilakukan meskipun sudah beradab-abad berlalu

sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Dia memandang hal ini dapat

menimbulkan kebekuan ajaran Islam, stagnasi dan keterbelakangan didalam diri

umat Islam. Dia berpikir, pemahaman keagamaan yang demikian, harus diubah

melalui gerakan pemurnian ajaran Islam yang kembali kepada ajaran al-Qur'an dan

al-Hadits.

Sekembalinya dari Makkah, yaitu pada usia 20 tahun (1888), dia berganti

nama menjadi Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, dia diangkat menjadi

khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta (Darban, 2000: 34). Berbekal

dari berbagai pemikiran yang didapatnya selama mendalami ajaran agama Islam di

Makkah, dia merasa bertanggung jawab untuk dapat membangunkan, menggerakkan

dan memajukan umat Islam di Indonesia. Ahmad Dahlan sadar bahwa keinginannya

itu tidaklah mungkin dilaksanakannya seorang diri, melainkan harus dilaksanakan

oleh sekumpulan orang yang diatur sedemikian rupa dalam wadah organisasi. Untuk

itu, pada tahun 1912, atau tepatnya pada tanggal 18 Nopember, Ahmad Dahlan

mendirikan organisasi non-politik yang bersifat sosial dan bergerak di bidang

pendidikan yang diberi nama Muhammadiyah (Kuntowijoyo, 1985: 36). Organisasi

ini bertujuan untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara.

Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan berkeinginan untuk mengadakan suatu

pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam yang

murni yaitu menurut tuntunan seperti yang diajarkan didalam al-Qur'an dan al-

Hadits (Ali, 2000: 349).

Page 93: uf5003

93

Pendirian Muammadiyah itu sendiri pada awalnya mendapatkan kecaman-

kecaman dari berbagai pihak, baik yang datangnya dari keluarga sendiri maupun

dari masyarakat disekitarnya. Berbagai fitnahan ditujukan kepadanya. Pada saat itu

Dia dituduh hendak mendirikan suatu agama baru yang menyalahi ajaran-ajaran

agama Islam yang telah ada. Namun demikian, segala rintangan-rintangan tersebut

dapat dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hati untuk melanjutkan cita-cita dan

perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi segala rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada

Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hokum (Peacock, 1978: 43).

Permohonan itu kemudian dikabulkan pada tahun 1914 dengan Surat

Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Badan hukum itu hanya

berlaku untuk daerah Yogyakarta dan dengan ruang gerak di daerah Yogyakarta

saja. Meskipun ruang gerak Muhammadiyah dibatasi oleh Pemerintah Hindia

Belanda yang merasa khawatir dengan perkembangan organisasi tersebut, tetapi di

daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan tempat lain telah berdiri

cabang Muhammadiyah meskipun dengan nama yang berbeda atau dibawah

bimbingan Muhammadiyah.

Dalam rangka membangun upaya dakwah, Ahmad Dahlan dengan gigih

membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah

tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun

dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan

dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilih untuk

mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah

Page 94: uf5003

94

ialah dengan cara mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di

STOVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis

Yogyakarta, karena ia sendiri pada waktu diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk

mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut (Salam, 1963: 35).

Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan

segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang

mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik

para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide

tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid

yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian

dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan

Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah) (Azra, 1985: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah juga disebarluaskan oleh Ahmad

Dahlan dengan cara mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui

relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan

yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari

berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap

Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh

Indonesia, sehingga pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan

permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang

Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh

pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Page 95: uf5003

95

Pada bulan Oktober tahun 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi

Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan

oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat

Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan

golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati)

terlibat perdebatan yang tajam dengan ulama-ulama lain yang berasal dari Surabaya

dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan telah menyerang aliran yang telah mapan

dan dianggap berusaha membangun suatu mazhab baru di luar empat mazhab yang

telah ada dan mapan (Rais, 1992: 67).

Muhammadiyah juga dituduh berupaya mengadakan tafsir Qur'an baru, yang

menurut penentangnya merupakan suatu perbuatan terlarang. Menanggapi serangan

tersebut, Ahmad Dahlan menanggapinya dengan perkataan, "Muhammadiyah

berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan keterbekelakang.

Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an

dan Hadits (itu sendiri). Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus

mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir"

(Nakamura, 1990: 12).

B. Identitas Dasar Muhammadiyah

Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa gerakan Muhammadiyah adalah

gerakan pembaharuan dan pemurnian yang dalam perjalanannya Gerakan ini

berhadapan dengan tahayul, bid'ah dan khurafat, lazim diringkas jadi TBC dan

berusaha untuk memurnikannya. Sebenarnya, gerakan anti-TBC itu terkait gerakan

pemurnian agama oleh berbagai macam organisasi, misalnya Persatuan Islam

Page 96: uf5003

96

(Persis, berdiri 12 September 1923) dan Muhammadiyah (berdiri 18 November

1912). Gerakan anti-TBC21 itu membersihkan Islam dari berbagai macam

kepercayaan lokal yang dikonsepsikan sebagai khurafat. Bid'ah, yang dipahami

sebagai penambahan dalam ajaran Islam, diyakini oleh gerakan reformis itu sebagai

ajaran yang tidak ada dalam teks Al-Quran dan sunah. Selain itu juga membersihkan

dari kepercayaan lokal terhadap penguasa alam gaib lokal yang diyakini bisa

meningkatkan keselamatan, kesejahteraan, dan sebagainya itu (Aziz, 2005: 6).

Gerakan-gerakan semacam ini sesungguhnya lebih bercorak transplantik,

Maksudnya, gerakan itu diambil dari Timur Tengah. apabila dilacak, sumbernya

adalah gerakan wahabiyah. Gerakan ini sering dikaitkan dengan Ibnu Taimiyah dan

Abdullah bin Saud yang mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Oleh sebab itu, ketika

mengukur sesuatu juga berangkat dari ukuran Timur Tengah. Ini yang kemudian

menimbulkan resistensi. Resistensi itu akan selalu muncul karena gerakan itu

dianggap tidak memiliki akar historis terhadap Islam bercorak lokal.

Muhammadiyah secara substansial tidak melakukan gerakan dengan menerapkan

seperti apa yang terjadi di Timur Tengah, tetapi melakukan akomodasi-akomodasi.

21Menurut Muhammad Ali dalam www.kompas.com menyebutkan bahwa Muhammadiyah

dianggap mengikuti kecenderungan purifikasi agama. Gerakan Wahabiyyah di Arab Saudi sering disebut sebagai model gerakan Muhammadiyah. Jika ini benar, maka Muhammadiyah kini harus meredefinisi perannya dalam konteks lokal dan global saat ini yang jauh berbeda dari masa awal pendiriannya. Modernisasi pendidikan yang dijalankan Muhammadiyah sejak awal, melalui pengenalan sistem kelas modern dalam pendidikan, sering dianggap sebagai tanda bahwa Muhammadiyah adalah gerakan modern, bukan gerakan tradisionalis. Namun demikian, cap modern pada Muhammadiyah bisa menjadi bumerang pada dirinya sendiri bila tidak cukup pandai mengakomodir tradisi lokal dan global, atau jika menganggap keberagamaan yang dianutnya sebagai self-sufficient (cukup dengan sendirinya) dan lebih murni dari yang lain. Pada kenyataannya, tidak ada yang benar-benar self-sufficient dan benar-benar munri. Sepanjang sejarah, keberagamaan senantiasa mengalami dialektika antara diri dan lingkungan. Setiap manusia, seorang puritan sekalipun, pasti pernah mengalami proses menyerap apa yang ada di luar dirinya. Sulit dipahami bila ada orang yang menganggap dirinya telah beragama secara "murni", dalam pengertian tidak dipengaruhi kondisi lingkungannya. Klaim bahwa mereka menolak TBC (taqlid, bid'ah, "churafat") tidak selalu benar dalam kenyataannya. Apakah ada manusia sosial yang benar-benar lepas dari proses taqlid? Adakah orang yang benar-benar lepas dari proses perubahan dan inovasi?

Page 97: uf5003

97

Itu pula yang dilakukan NU, namun, Persis sangat berbeda karena sejak semula

didesain untuk menerapkan Islam seperti di Timur Tengah. Oleh karena itu,

diterimanya NU sebagai suatu gerakan keagamaan dan juga Muhammadiyah di sisi

lain, salah satunya karena NU dan Muhammadiyah bisa melakukan akomodasi

kultural secara kreatif.

Posisi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan pemurnian,

sebagaimana dideskripsikan diatas setidaknya memiliki tiga identitas dasar. (Nashir,

2007: 21):

1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Dari latar belakang berdirinya

Muhammadiyah jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu

tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al

Qur'an. Apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali

semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan

yang riel dan kongkrit.

2. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam. Muhammadiyah sebagai

gerakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak

dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri

Muhammadiyah. Namun sudah menjadi tanggung jawab Muhammadiyah juga

sebagai gerakan dakwah Islam amar maruf nahi mungkar untuk meluruskan

kembali niatan awal berdirinya Muhammadiyah yang sesuai dengan cita-cita

pemikiran Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dapat mengangkat agama Islam dan

keterbelakangan atau kebodohan massif. Tidak hanya ranah pemahaman agama

yang diluruskan namun juga ranah pemahaman maksud dan tujuan organisasi

Page 98: uf5003

98

Muhammadiyah, karena Muhammadiyah adalah pure sebuah organisasi

kemasyarakatan.

3. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid (Reformasi). Ciri ketiga ini yang

melekat pada persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Tajdid atau

pembaharu. Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki

dua arti yakni : pertama, pemurnian dan kedua, peningkatan, pengembangan,

modernisasi sudah menjadi tugas Muhammadiyah bila pemurnian tajdid

dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan

sumber Al Qur'an dan As Sunnah shahih sedangkan arti peningkatan,

pengembangan, modernisasi tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan

dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur'an

dan AS Sunnah yang shahih.

Di samping itu Muhammadiyah juga bertanggungjawab terhadap tantangan

zaman dan arus globalisasi yang terus melaju (Mulkhan, 2007: 115). Tugas pertama

Muhammadiyah adalah purifikasi kembali kepribadian Muhammadiyah yang mulai

terinfeksi virus yang akan melencengkan kepribadian Muhammadiyah. Tugas kedua

Muhammadiyah adalah meningkatkan etos kerja segala bidang baik dalam dakwah

maupun amal usaha Muhammadiyah serta mengembangkan serta melebarkan sayap

Muhammadiyah dalam penerimaan arus informasi global sebagai tameng

kebodohan massif Muhammadiyah. Modernisasi Muhammadiyah bukan berarti

meninggalkan dasar pemikiran pertama kali berdirinya, tapi Muhammadiyah dapat

up to date bukan berarti berganti baju untuk beridentitas ideologi baru namun

Page 99: uf5003

99

Muhammadiyah tetap eksis dalam kepribadian Muhammadiyah sebagai organisasi

sosial kemasyarakatan yang tak usang dimakan zaman atau kuno tertinggal arus

modernisasi.

C. Deskripsi tentang Misi Muhammadiyah

Setiap organisasi, termasuk Muhammadiyah, tentu memiliki misi tertentu

yang diembannya. Sejak sebuah organisasi didirikan, para pendirinya sudah

merancangkan langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan, agar cita-cita

yang ingin dicapai dengan mendirikan organisasi itu bisa diwujudkan. Misi yang

merupakan tugas utama organisasi yang sifatnya mendasar dan fundamental,

mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis bagi sebuah

organisasi . Di samping misi itu menjadi semacam penuntun bagi semua komponen

organisasi kearah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, ia juga menjadi pembeda

antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya yang bergerak di bidang yang

serupa. Dengan perkataan lain, misi membentuk organisasi memiliki cirri yang khas,

yang membedakannya dari organisasi lainnya yang sejenis. Melihat pentingnya

posisi dan peranan misi bagi setiap organisasi, maka seperti halnya tujuan

organisasi, menjadi sebuah prinsip yang tidak bisa ditawar, bahwa misi organisasi

itu harus dirumuskan dengan rumusan yang jelas.

Dalam perumusan sebuah misi, menurut seorang pakar manajemen

stratejik, yaitu S.P. Siagian (1992: 53-54), ada beberapa ciri yang harus tergambar

dalam misi itu, antara lain: pertama, ia merupakan suatu pernyataan yang bersifat

umum dan berlaku untuk kurun waktu yang panjang tentang niat organisasi yang

bersangkutan; kedua, ia mencakup filsafat yang dianut dan akan digunakan oleh

Page 100: uf5003

100

organisasi itu; ketiga, secara implisit menggambarkan citra yang hendak

diproyeksikan ke masyarakat luas; keempat, ia merupakan pencerminan jati diri

yang ingin diciptakan, ditumbuhkan dan dipelihara; kelima, menunjukkan produk

apa yang menjadi andalan dari organisasi dan keenam, menggambarkan kebutuhan

apa dari masyarakat yang akan diupayakan untuk dipuaskan oleh organisasi. Ada

banyak manfaat yang dapat dipetik dengan adanya rumusan sebuah misi organisasi.

Di antara manfaat itu adalah bahwa dengan rumusan yang tepat, membuat anggota

organisasi punya persepsi yang sama tentang maksud keberadaan organisasi. Ini

penting, karena kesamaan persepsi pada gilirannya akan menimbulkan kesamaan

gerak dan tindakan dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawab masing-

masing, di samping juga menjadi semacam pendorong bagi anggota untuk

memberikan kontribusi yang optimal kepada organisasi.

Adanya rumusan yang jelas juga memudahkan bagi perumusan langkah

dan program organisasi serta penentuan tipe dan struktur organisasi, baik vertikal

maupun horizontal. Di samping itu adanya rumusan misi yang jelas juga

memudahkan orang luar untuk memahami apa sesungguhnya yang akan diusahakan

oleh organisasi, dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang setuju untuk

memberikan dukungan, bahkan keinginan untuk bergabung dengan organisasi

tersebut. Memperhatikan demikian pentingnya peranan misi bagi sebuah organisasi,

di samping mutlak perlunya rumusan yang jelas tentang misi tersebut, timbul

pertanyaan, apakah dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sudah ada

rumusan tentang misi tersebut?. Apabila dirujuk dari Anggaran Dasar

Muhammadiyah, secara harfiah memang tidak ditemukan istilah misi. Dalam

Page 101: uf5003

101

Anggaran Dasar Muhammadiyah, sejak Anggaran Dasar pertama sampai dengan

Angaran Dasar keempatbelas, istilah yang digunakan adalah istilah “maksud”,

kecuali Anggaran Dasar keempat dan kelima, yang menggunakan istilah “hajat”.

Istilah “misi” secara formal salah satunya dapat dijumpai pada tulisan para

tokoh Muhammadiyah, terutama Ustadz H. Ahmad Azhar Basyir, MA Ketua PP

Muhammadiyah periode 1990-1995, yang secara khusus pernah menulis tentang

Misi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. Istilah misi dalam dokumen resmi,

baru dijumpai pada Keputusan Muktamar ke-44, khususnya pada Program

Muhammadiyah Periode 2000-2005, yang secara eksplisit merumuskan visi dan

misi Muhammadiyah. Pada dokumen-dokumen tersebut, misi Muhammadiyah itu

berkisar pada tiga pokok substansi, yang oleh Ustadz Ahmad Azhar disebut sebagai

tiga pola perjuangan Muhammadiyah, yang secara eksplisit dirumuskan sebagai

berikut:

1. Menegakkan keyakinan tauhid yang murni, sesuai dengan ajaran Allah yang

dibawa oleh seluruh Rasul Allah, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.

2. Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Al- Qur-;an, Kitab Allah

yang terakhir untuk umat manusia, dan Sunnah Rasul

3. Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan peribadi, keluarga dan

masyarakat.

Apabila diperhatikan secara saksama rumusan misi Muhammadiyah

tersebut, agaknya telah memenuhi kriteria sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Tiga butir misi yang satu sama lain merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak

terpisahkan itu kiranya telah memenuhi ciri-ciri yang diisyaratkan oleh S.P. Siagian

Page 102: uf5003

102

seerta telah berhasil membentuk jati diri Muhammadiyah yang khas, yang

membedakan Muhammadiyah dengan organisasi Islam lainnya, yang sama-sama

bergerak di bidang dakwah. Jati diri Muhammadiyah yang telah berhasil dibangun

melalui misi tersebut, bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi gerakan

yang senantiasa berjuang menyebarluaskan ajaran Islam, yang selalu berpegang

teguh pada keyakinan tauhid yang murni serta berusaha dengan sekuat tenaga untuk

mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

Semua aktivitas Muhammadiyah yang memasuki seluruh aspek kehidupan

pada hakekatnya merupakan perwujudan dari misi tersebut. Tidak ada aktivitas

Muhammadiyah yang terlepas dari misi tersebut, apalagi sampai bertentangan

dengan semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya, bahkan tidak hanya itu

misi Muhammadiyah tersebut tidak hanya menjadi ciri bagi Muhammadiyah secara

kelembagaan, tetapi seharusnya juga menjadi ciri bagi setiap individu dalam

Muhammadiyah. Ciri orang Muhammadiyah yang menonjol adalah bahwa dia

memiliki keyakinan tauhid yang kokoh dan sangat peka terhadap paham, keyakinan,

kepercayaan dan sebagainya yang berbau syirik, yang dapat merusak keyakinan

tauhidnya (Mulkhan, 2007: 15). Di samping itu, orang Muhammadiyah adalah orang

yang sangat giat berdakwah dan berusaha untuk mengamalkan ajaran Islam dalam

keseharian hidupnya, tanpa bertanya apakah hukum amalan itu wajib, sunnah atau

mubah. Semua amalan yang telah dituntunkan dan dicontohkan oleh Rasul Allah

Muhammad, diusahakan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan

penuh keikhlasan dan kesabaran (Suara Muhammadiyah, April Minggu kedua

Tahun 2008).

Page 103: uf5003

103

D. Penelusuran Terhadap Landasan Dasar Muhammadiyah

Langkah pertama untuk mengetahui persepsi intelektual muhammadiyah

terhadap tasawuf, haruslah merujuk pada beberapa konsep dasar yang menjadi

pedoman serta jiwa dari organesasi ini yang sekaligus sebagai aturan pengikat bagi

warganya. Beberapa konsep dasar tersebut meliputi, muqodimah angagaran dasar

persyarikatan muhammadiyah,

1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.

Dalam Muqodimah Anggaran Dasar disebutkan bahwa sesungguhnya

ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata. Ber-Tuhan dan ber'ibadah serta

tunduk dan tha'at kepada Allah adalah satu-satunya ketentuan yang wajib atas

tiap-tiap makhluk, terutama manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa Tuhan

merupakan pusat dari segala eksistensi sehingga tidak ada sesuatu apapun selain

Tuhan yang dijadikan sebagai sumber ketataan. Di sisi lain Hidup bermasyarakat

itu adalah sunnah (hukum qudrat iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia

ini. Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah

dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong,

bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya,

lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu (lihat, www.muhammadiyah.or.id).

Dalam Muqodimah Anggaran Dasar juga disebutkan bahwa Islam

adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat. Menjunjung tinggi hukum

Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi

tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah. Dalam Muqodimah

Anggaran Dasar juga disebutkan bahwa Islam secara substansial adalah untuk

Page 104: uf5003

104

mendapatkan kehidupan yang bahagia. Untuk mencapainya manusia haruslah

mengikuti jejak para Nabi, beribadah kepada Allah dan berusaha secara

maksimal mengumpulkan segala kekuatan dan menggunakannya untuk

menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat yang murni-tulus dan

ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan

ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di hadirat Allah atas

segala perbuatannya, dan pula harus sabar dan tawakal bertabah hati

menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya, atau

rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan

perlindungan dan pertolongan Allah.

2. Substansi dari Konsep Dasar Kepribadian Muhammadiyah

Dalam Konsep Dasar Kepribadian Muhammadiyah ditegaskan bahwa

Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Oleh

sebab itu intinya adalah amar ma'ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua

bidang: perseorangan dan masyarakat. Untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam

bidang perseorangan diarahkan pada dua aspek: kepada yang telah Islam bersifat

pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan

murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan

untuk memeluk agama Islam. Untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam bidang

kemasyarakatan bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya

itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-

mata.

Page 105: uf5003

105

Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar

dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan

masyarakat menuju tujuannya, ialah "terwujudnya masyarakat Islam yang

sebenar-benarnya". Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju

terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dimana kesejahteraan,

kebaikan dan kebahagiaan luas-merata, Muhammadiyah mendasarkan segala

gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam

Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu (lihat, www.muhammadiyah.or.id):

• Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.

• Hidup manusia bermasyarakat.

• Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran

Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk

kebahagiaan dunia akhirat.

• Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah

kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.

• Ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.

• Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.

Berdasarkan prinsip di atas, maka apapun yang diusahakan dan

bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan

tunggalnya, harus berpedoman: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-

Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan

menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah". Oleh sebab itu

Page 106: uf5003

106

warga Muhammadiyah wajib memiliki dan memelihara sifat-sifat yang terdiri

dari (lihat, www.muhammadiyah.or.id):

• Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.

• Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.

• Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.

• Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.

• Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan

falsafah negara yang sah.

• Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh

teladan yang baik.

• Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan

pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.

• Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan

dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.

• Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam

memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan

makmur yang diridlai Allah SWT.

• Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.

3. Substansi dari Konsep Dasar Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup

Muhammadiyah (MKCHM).

Page 107: uf5003

107

Berdasarkan Konsep Dasar Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup

Muhammadiyah (MKCHM)22 (lihat, www.muhammadiyah.or.id), Perserikatan

Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar,

yang beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita

dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai

Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan

khalifah Allah di muka bumi (Pasal 1).

Pada pasal 2 disebutkan bahwa Muhammdiyah berkeyakinan bahwa

Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sebagai

hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin

kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah

dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur'an yang merupakan Kitab Allah

yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah Rasul yang

merupakan penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan

oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan

jiwa ajaran Islam.

Pasal 3 terkait dengan konsep Muhammadiyah bekerja untuk

terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: Pertama,

Aqidah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,

bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan

prinsip toleransi menurut ajaran Islam. Kedua, Akhlak. Muhammadiyah bekerja

22Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) merupakan keputusan

Tanwir tahun 1969 di Ponorogo. Rumusan MKCHM telah mendapat perubahan dan perbaikan PP. Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta dan disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta.

Page 108: uf5003

108

untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-

ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan

manusia. Ketiga, Ibadah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang

dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.

Ketiga, Muamalah Duniawiyah. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya

mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan

berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini

sebagai ibadah kepada Allah SWT (lihat, www.muhammadiyah.or.id).

4. Substansi dari Hakikat Muhammadiyah

Rumusan konsep Hakekat Muhammadiyah didasarkan atas

perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik

dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah

menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi

kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan

kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap

serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Muhammadiyah sebagai

gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa

mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta

menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang

dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai

tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga

terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Dalam

Page 109: uf5003

109

melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip

gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup

Muhammadiyah (www.muhammadiyah.or.id).

Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi

landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan

hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam

bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.

Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan

memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar ma’ruf nahi

mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk

keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah. Di samping

itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada

Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya

Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar

Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang

bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat

utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT (www.muhammadiyah.or.id).

Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan

khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan

proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan

secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa

ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia

yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat

Page 110: uf5003

110

yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang

diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap

berpegang teguh pada kepribadiannya.

Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan

bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan

dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam hubungan ini

Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa: Muhammadiyah

adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan

manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan

tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun,

setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak

memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari

Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang

berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama

dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan

mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya. Dalam melakukan

kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan

mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya

(www.muhammadiyah.or.id).

Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan

memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu

ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut: pertama, memulihkan

Page 111: uf5003

111

kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian

anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh,

ta'at beribadah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah

masyarakat. Kedua, meningkatkan pengertian dan kematangan anggota

Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya

terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat Menepatkan

kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan

dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat

serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 194523.

5. Substansi dari Khitah Perjuangan Muhammadiyah

Rumusan Khittah Perjuangan Muhammadiyah pada intinya

menyatakan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da'wah

amar ma'ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan

menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang

sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam

menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan

mu'amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus

dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan

mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau

23Rumusan Hakekat Muhammadiyah ini merupakan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-

40 di Surabaya.

Page 112: uf5003

112

mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-'alamin dalam kehidupan

di muka bumi ini (www.muhammadiyah.or.id).

Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan

bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi

melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi

panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah

kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut

diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian,

keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan

gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan

"Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur"( www.muhammadiyah.or.id).

Kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar dapat dilakukan

melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-

kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real

politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau

kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui

kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan

masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang

bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force)

untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara

sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).

Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan

kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang

Page 113: uf5003

113

mengarah kepada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis

daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan

kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau

masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang

berkedaulatan rakyat. Peran kemasyarakatan tersebut dilakukan oleh organisasi-

organisasi kemasyarakatan seperti halnya Muhammadiyah, sedangkan

perjuangan untuk meraih kekuasaaan (power struggle) ditujukan untuk

membentuk pemerintahan dalam mewujudkan tujuan negara, yang peranannya

secara formal dan langsung dilakukan oleh partai politik dan institusi-institusi

politik negara melalui sistem politik yang berlaku. Kedua peranan tersebut dapat

dijalankan secara objektif dan saling terkait melalui bekerjanya sistem politik

yang sehat oleh seluruh kekuatan nasional menuju terwujudnya tujuan negara.

Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan (organisasi

kemasyarakatan) yang mengemban misi da'wah amar ma'ruf nahi munkar

senantiasa bersikap aktif dan konstruktif dalam usaha-usaha pembangunan dan

reformasi nasional sesuai dengan khittah (garis) perjuangannya serta tidak akan

tinggal diam dalam menghadapi kondisi-kondisi kritis yang dialami oleh bangsa

dan negara. Oleh karena itu, Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk

berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berdasarkan pada

khittah perjuangan sebagai berikut (www.muhammadiyah.or.id) :

- Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan

negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan

keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai,

Page 114: uf5003

114

dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu

diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah

dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan

bernegara.

- Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun

kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun

melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang

mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah

melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai

kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban

untuk terwujudnya "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur".

- Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat

guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana

tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan

kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan

ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai

prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam

kehidupan negara yang demokratis.

- Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang

bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk

dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan

Page 115: uf5003

115

dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis

dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal

ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik

hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya

nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan

didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.

- Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud

dari dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses

dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-

cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat

bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju

kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.

- Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan

organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun.

Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam

memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan

prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan

yang demokratis dan berkeadaban.

- Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota

Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik

sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus

merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara

Page 116: uf5003

116

rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah,

demi kemaslahatan bangsa dan negara.

- Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam

politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara

sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak

mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian

(ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya

memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar

ma'ruf nahi munkar.

- Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana

pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi

kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan

bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.

6. Substansi dari Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah (PHIM)

Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah (PHIM)24 secara garis

besar terdiri dari lima bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang terdiri

dari landasan dan sumber, kepentingan, sifat, tujuan dan kerangka. Bagian kedua

terdiri dari uraian tentang pandangan islam tentang kehidupan. Bagian ketiga

merupakan uraian tentang kehidupan Islami warga Muhammadiyah yang terdiri

dari sepuluh aspek yaitu pribadi, keluarga dan masyarakat25, kehidupan

berorganesasi, kehidupan dalam mengelola amal usaha, kehidupan dalam

24Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah di dasarkan atas Keputusan Muktamar

Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta 25Aspek pribadi terdiri dari uraian tentang Aqidah, Akhlaq dan Ibadah. Aspek kehidupan dalam

keluarga terdiri dari uraian tentang kedudukan dalam keluarga, fungsi dan aktifitas keluarga. Aspek ketiga adalah aspek kehidupan bermasyarakat

Page 117: uf5003

117

berbisnis, kehidupan dalam mengembangkan profesi, kehidupan dalam

melestarikan lingkungan, kehidupan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan

dan tehnologi dan kehidupan seni dan budaya. Bagian keempat adalah tuntunan

pelaksanaan dan bagian terakhir adalah penutup.

Untuk melihat rumusan “Tasawuf” dalam Pedoman Hidup Islami warga

Muhammadiyah berikut akan dideskripsikan bagian ketiga aspek pertama yaitu

aspek kehidupan pribadi dalam bidang Aqidah. Secara detail disebutkan bahwa:

1. Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran

imani berupa tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala yang benar, ikhlas,

dan penuh ketundukkan sehingga terpancar sebagai lbad ar-rahman24 yang

menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim,

muttaqin, dan muhsin yang paripurna (PHIM:2003, 13).

2. Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai

sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan

berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul,

bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu

Wata'ala (PHIM, 2003: 13).

Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek

kehidupan pribadi dalam bidang akhlak disebutkan bahwa:

1. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi

dalam mempraktikkan akhlaq mulia, sehingga menjadi uswah hasanah yang

diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah

(PHIM, 2003: 14)

Page 118: uf5003

118

2. Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup

harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal-amal

shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf,

fasad, fahsya, dan kemunkaran (PHIM, 2003: 14).

3. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan akhlaq yang

mulia (akhlaq al-karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri

dari akhlaq yang tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan

dijauhi sesame (PHIM, 2003: 14).

4. Setiap warga Muhammadiyah di mana pun bekerja dan menunaikan tugas

maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari

perbuatan korupsi dan kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang

merugikan hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di

dunia ini (PHIM, 2003: 14).

Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek

kehidupan pribadi dalam bidang ibadah disebutkan bahwa:

1. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa membersihkan

jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi yang mutaqqin dengan beribadah

yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/nafsu yang buruk, sehingga

terpancar kepribadian yang shalih yang menghadirkan kedamaian dan

kemanfaatan bagi diri dan sesamanya (PHIM, 2003: 15).

2. Setiap warga Muhammadiyah melaksanakan ibadah mahdhah dengan

sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawafil (ibadah sunnah)

sesuai dengan tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang

Page 119: uf5003

119

kokoh, ilmu yang luas, dan amal shalih yang tulus sehingga tercermin dalam

kepribadian dan tingkah laku yang terpuji (PHIM, 2003: 15).

Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek

muamalah dunyawiyah disebutkan bahwa:

1. Setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya sebagai abdi

dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan

dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan

kehidupan dengan landasan iman, Islam, dan ihsan dalam arti berakhlaq

karimah (PHIM, 2003: 15).

2. Setiap warga Muhammadiyah senantiasa berpikir secara burhani, bayani,

dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang Islami yang dapat

membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan

keterpaduan antara orientasi habluminallah dan habluminannas serta

maslahat bagi kehidupan umat manusia(PHIM, 2003: 16).

3. Setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja Islami, seperti:

kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara

maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan(PHIM, 2003: 16).

E. Deskripsi Tentang Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah

Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang beberapa tahun yang lalu

menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal sebagai Zhawãhir al-Afkãr al-

Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah

Jelang Satu Abad). Dokumen tersebut tampaknya meneruskan tradisi

Muhammadiyah yang menghasilkan manifesto demi manifesto di setiap periode

Page 120: uf5003

120

sejarahnya. Manifesto-manifesto tersebut kemudian dikenal dengan nama resmi

seperti: Kepribadian Muhammadiyah (Keputusan Muktamar ke-35 tahun 1956),

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (Keputusan Tanwir Tahun

1969 di Ponorogo), Khittah Perjuangan Muhammadiyah (Muktamar ke-40 di

Surabaya, Tahun 1978) dan Khitah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

(Tanwir Bali Tahun 2002 ).

Selain dokumen-dokumen diatas, ada juga dokumen-dokumen formal

sejarah Muhammadiyah yang layak disebut sebagai manifesto Muhammadiyah

seperti Langkah 12 yang dicetuskan oleh KH Mas Mansyur di masa Pra

Kemerdekaan juga Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang digagas Ki

Bagus Hadikusumo di awal Kemerdekaan Indonesia, disamping ada sebuah

‘manifesto praksis’ hasil Muktamar ke 44 tahun 2000 di Jakarta yang dikenal

dengan sebutan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.

Tradisi ini memang bukan tradisi yang dimulai oleh KH Ahmad Dahlan,

dimana dimasa KH Ahmad Dahlan hidup tidak ada satupun bentuk teks yang

kemudian diakui sebagai dokumen organisasi layaknya sebuah manifesto. Mungkin

sosok KH A.Dahlan-lah yang dianggap sebagai ‘manifesto hidup’ dimana di awal

perintisan Muhammadiyah itu. Dengan keluarnya bentuk manifesto-manifesto yang

keseluruhannya merupakan produk pasca KH Dahlan ini, bisa diartikan sebagian

missi KH Ahmad Dahlan telah berhasil ruh tajdid (pembaharuan) di dalam

Muhammadiyah secara kelembagaan masih terus bergelora. Keluarnya Zhawãhir al-

Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn tampaknya bukanlah semata-

mata layaknya pidato peringatan ulang tahun Muhammadiyah yang sudah berusia

Page 121: uf5003

121

hampir satu abad ini. Zhawãhir al-Afkãr ini keluar dalam waktu yang strategis di

tengah krisis peradaban Modern ummat manusia (Kholis, 2006: 1).

Muhammadiyah mungkin merujuk prediksi para penafsir arah peradaban

yang sepakat bahwa saat ini adalah detik-detik akhir dari peradaban modern dan

merupakan awal dari munculnya konstruksi peradaban baru, walaupun kemudian

para penafsir arah peradaban itu memiliki perbedaan membaca kecenderungan

jaman dengan rumusan-rumusan yang beragam. Dimana perbedaan-perbedaan itu

memunculkan beberapa varian seperti konsep Post Modern Derida dan kawan-

kawan, The End of History-nya Fukuyama, Toynbee dalam The Study of History,

Turning Point-nya Fritjof Capra, atau Peradaban Gelombang Ketiganya Alvin

Tofler.

Bila dilihat dari teks Zhawãhir al-Afkãr tampak ada perbedaan mendasar

dibandingkan dengan isi manifesto-manifesto sebelumnya, dimana selain

merupakan sebuah manivesto terpanjang sepanjang sejarah, Zhawãhir al-Afkãr ini

juga merupakan sebuah manivesto yang menganut pola fikir baru, walaupun tetap

berpijak dalam tradisi ar-ruju’ ila al –Qur’an wa as-Sunnah dan tajdid. Di dalam

dokumen Zhawãhir al-Afkãr inilah pertama kali di cantumkan secara jelas tafsir

bentuk “Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya” sebagai tujuan Muhammadiyah

dalam 5 pokok pikiran dan Zhawãhir al-Afkãr tidak sekedar menganut bentuk

penegasan ulang identitas persyarikatan yang lebih bersifat nasional seperti

manifesto-manifesto sebelumnya, namun juga merupakan sebuah bentuk rumusan

visi kedepan Persyarikatan Muhammadiyah dalam menyambut zaman baru yang

ditandai dengan Globalisasi. Mungkin Muhammadiyah dengan Zhawãhir al-Afkãr

Page 122: uf5003

122

ini ingin menghadirkan kembali ‘sosok’ KH A Dahlan yang ijtihadnya telah terbukti

mampu mengatasi peliknya relasi Islam dengan modernisme selama kurun waktu

hampir satu abad ini. Pendek kata, Zhawãhir al-Afkãr ini mencoba mentajdid

kembali bentuk Muhammadiyahnya KH.A. Dahlan seabad yang lalu dalam sebuah

konstruksi relasi Islam dengan tata peradaban baru pasca runtuhnya modernisme.

Atau bahkan dengan Zhawãhir al-Afkãr ini Muhammadiyah ingin menghadirkan

kembali spirit Piagam Madinah yang telah berhasil ‘melampaui jamannya’ di tengah

peradaban baru yang akan datang .

Pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) terdiri dari lima

hal yaitu komitmen gerakan, pandangan keagamaan, pandangan tentang kehidupan,

tanggungjawab kebangsaan dan kemanusiaan, serta agenda dan langkah kedepan.

Untuk kepentingan penelitian ini tidak akan diuraikan kelima hal tersebut tetapi

membatasi diri dengan hanya mendeskripsikan komitmen gerakan dan pandangan

keagamaan serta kehidupan.

Komitmen Gerakan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran (zhawãhir al-

afkãr/statement of mind) terdiri dati tiga point penting yaitu:

1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid,

berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan

mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai

jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi

dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai

wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi

kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata

Page 123: uf5003

123

diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha,

program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan

hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini

(www.muhammadiyah.or.id).

2. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman

kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah

yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya.

Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-

langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas

di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti

melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam

dinamika nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan

bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi gerakan Islam yang diembannya

bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada

kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang

dilakukan Muhammadiyah tersebut berlangsung dalam dinamika yang beragam.

Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M., Muhammadiyah

mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh

seluruh masyarakat Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak

kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Setelah Indonesia

merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami

berbagai situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun

Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah dan kegiatan kemasyarakatan.

Page 124: uf5003

124

Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi

(pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan

politik yang otoriter, Muhammadiyah juga terus berjuang mengembangkan amal

usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa reformasi,

Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu

dengan melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta

aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah yang panjang itu

Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal,

nasional, dan internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang

memberi sumbangan berharga bagi kemajuan peradaban umat manusia (www.

muhammadiyah.or.id).

5. Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan

belum mencapai puncak keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya,

sehingga Muhammadiyah semakin dituntut untuk meneguhkan dan

merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu

Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya

sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini sesuai dengan

Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan

pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan (www.

muhammadiyah.or.id).

Pandangan keagamaan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran (zhawãhir

al-afkãr/statement of mind) terdiri dati empat point penting yaitu:

Page 125: uf5003

125

1. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan

untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan

dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi

kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di

muka bumi ini. Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul

hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung

hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan

hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang

fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan

Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup

seluruh umat manusia (www. muhammadiyah.or.id).

2. Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari

semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan

Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan hendaklah ada

di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh

kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-

orang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu

menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi

kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang

ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat

110, yang artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk

manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan

beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik

Page 126: uf5003

126

bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka

adalah orang-orang yang fasik.”. Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-

Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran

Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak

pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak

kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia

memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang

demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat

tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat

kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya

untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-

bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain (www. muhammadiyah.or.id).

3. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai

pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri

Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah

kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam

yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan

tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah,

dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam

amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang

menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong

antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: “Sesungguhnya

Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang

Page 127: uf5003

127

yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud

dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu

pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang

berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang

mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang

berkemajuan dan berkeadaban (www. muhammadiyah.or.id).

4. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran

Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak

masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud

sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang

dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki

keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan

spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi,

sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai

keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan

keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika

kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan

berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di

segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan”

(al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-

jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah

memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat

Page 128: uf5003

128

kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai

Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia

(al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai

syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia.

Oleh karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak

”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau

utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan

kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar

dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai

ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi),

nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan

(kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai

kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang

sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap

kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia

baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi

kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang

demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada

kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat

menghancurkan kehidupan.

Pandangan tentang kehidupan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran

(zhawãhir al-afkãr/statement of mind) terdiri dati tiga point penting yaitu:

Page 129: uf5003

129

1. Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada

dalam suasana penuh paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan berbagai dampak buruk

seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi

besar-besaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang

memperlemah naluri-naluri alami manusia, lebih jauh lagi melahirkan

sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan-

keseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang

melahirkan antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang

bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-

menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi

kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara

sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi

perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih egaliter dan

berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang

melampau batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral

dan spiritual yang kokoh dapat merusak hubungan-hubungan manusia yang

harmoni (www. muhammadiyah.or.id).

2. Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan

positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama

melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia. Di era

global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme

(ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan

Page 130: uf5003

130

terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap

kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik)

manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam

kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme

baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang

bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan.

Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga

ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin

mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan

berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang

lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-

adilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan modern yang

serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti

Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik

sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain

(‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi (www.

muhammadiyah.or.id).

3. Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan

dunia untuk semakin berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan

di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga kebudayaan umat manusia di

alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral

tinggi (www. muhammadiyah.or.id).

F. Melacak “Tasawuf” dalam Akar Ideologi Ahmad Dahlan

Page 131: uf5003

131

Abdul Munir Mulkhan dalam beberapa kajiannya tentang geneologi

intelektualitas Ahmad Dahlan mencatat adanya korelasi ideologis dalam beberapa

pemikiran pendiri gerakan Muhammadiyah ini dengan pemikiran Ibn Taimiyah.

Pokok-pokok pandangan Ibn Taimiyah yang dinilai mempunyai pengaruh besar

terhadap dinamika gerakan pembaharuan di dunia Islam, dan Ahmad Dahlan pada

khususnya meliputi lima aspek (Mulkhan, 1990: 37) :

1. Satu–satunya kunci untuk memahami Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul.

2. Ijtihad sebagai upaya memahami Islam dari sumber primer (al Quran dan

sunnah) merupakan proses tidak pernah selesai.

3. Ummat Islam tidak harus dipimpin oleh hanya seorang khalifah.

4. Usaha yang dilakukan oleh manusia dengan mempergunakan kemampuan akal

dan kecerdasan berpikirnya semata–mata untuk menemukan dan mencapai

kebenaran mutlak, adalah suatu usaha yang mustahil.

5. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap al Quran dan sunnah, perlu

mempergunakan pendekatan dan contoh yang dilakukan oleh golongan salaf

yang merupakan generasi pertama ummat Islam.

Pasca kebangkitan simbolik Ibn Taimiyah, bermunculan sarjana-sarjana

Muslim yang konsisten memperjuangkan ketinggalan dunia Islam dari dunia Barat.

Gerakan reformasi Islam dalam dunia Arab modern dimulai dan disemai oleh para

pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi.

Puncaknya dalam gerakan pembaharuan Muhammad 'Abduh. Dan `Abduh adalah

cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan

dikotomis untuk menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin

Page 132: uf5003

132

intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular),

dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali

dari kerangka ajaran sang imam, yaitu menjadi fundamentalis.

Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah 'Abduh yang beraliran

kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd al-

Raziq, kemudian Muhammad Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Dinamika

tantangan mendorong konstruksi-konstruksi pemikirannya semakin kiri, sehingga

semakin jauh dari kerangka berpikir awal sang Imam. Kasusnya sama dengan

kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-

rantainya: dari 'Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan

terakhir Sayyid Quthb) (Asysyaukani, 2000: 34). Di kawasan Asia sendiri

bermunculan tokoh–tokoh Islam yang memiliki latar belakang dan corak pemikiran

yang beragam, seperti Syah Waliyullah, Sir Ahmad Khan, Syed Ameer Ali,

Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah (India dan Pakistan) serta KH. Ahmad

Dahlan, KH. Ahmad Syurkati dan KH. Hasyim Asy `ari di Indonesia.

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Kyai Dahlan bergabung terlebih

dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu pertama di Indonesia. Melalui

organisasi ini Dahlan berkenalan Ahmad Syurkati yang sudah lebih dulu mengenal

gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-

gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar belakangi

ketertarikan Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair (Shihab, 1998: 112 dan

Hisyam, 2001: 167). Bersamaan dengan itu, Dahlan ikut bergabung dalam

Page 133: uf5003

133

pergerakan Budi Utomo. Kedua organisasi inilah yang mengilhaminya untuk

membangun organisasi Islam berwawasan modern.

Dapat kita cermati, bahwa Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek,

toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian Dahlan

tersebut sebagai berikut: Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an

energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab

blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”(Hisyam, 2001: 174).

Wawasan keberagamaan Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan

relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian Dahlan

ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal.

Mengingat kedudukan sentral pemikiran Kyai dalam gerak perkembangan

Muhammadiyah maka menjadi sangat penting untuk memahami pokok–pokok

pikiran pemikiran Kyai Dahlan seperti yang terdapat dalam karyanya. Amin

Abdullah (2001) menyatakan bahwa Kyai Dahlan memiliki tipikal yang berbeda

dengan para pembaharu lain yang banyak meninggalkan karya tulis. Kyai Dahlan

merupakan tipe pembaharu a man of action dan bukan a man of tought. Beliau

menafsirkan Islam sebagai realitas yang dinamis dan hidup. Tafsir sosial Islam yang

dilakukan Dahlan menyuarakan kepentingan pemihakan kepada konstruksi-

konstruksi sosial yang marjinal, terjajah, dan tertindas oleh sebuah sistem

otoritas/struktur sosial yang opresif. Oleh sebab itu tidak mengejutkan apabila dalam

pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, Dahlan

menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit

bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling

Page 134: uf5003

134

benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang

memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato Kyai Dahlan tersebut

diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life”

(dalam Asyukri, 2003: xix).

Menurut Munir Mulkhan, kesatuan kemanusiaan di atas merupakan dasar

berbagai gagasan KH. Dahlan tentang sikap kritis terhadap kebenaran yang selama

ini diyakini pemeluk agama dan pemimpin agama. Begitu pula pemikiran tentang

pentingnya sikap terbuka dan kesediaan untuk belajar kepada orang lain, walaupun

kepada orang yang berbeda agama. Tampak jelas bahwa bagi KH. Dahlan Islam

merupakan ajaran untuk pencapaian kesejahteraan dan perdamaian seluruh umat

manusia. Untuk itu, gerakan pembaharuan Muhammadiyah bertujuan melawan

otoritas-otoritas (tiran) kolonial/neo-kolonial yang jutru melakukan tindakan-

tindakan yang bertentangan bahkan mengancam hakekat manusia itu sendiri.

Disinilah, Muhammadiyah ikut andil bagian dalam mengusung nasionalisme dengan

berbasis pada identitas Islam.

Apabila dilihat secara komparatif, epistemologi Kyai Dahlan terbangun dari

dua aksioma, yaitu aksioma dasar dan aksioma operasional (Mulkhan, 1990: 101).

Al Quran dan Sunnah Rasul merupakan aksioma dasar yang dijadikan acuan dalam

melakukan domestifikasi Islam dalam ranah historis empirik. Nalar yang berbasis

kepada logika, kritisisme dan berdimensi praksis menjadi pilar utama dalam

operasionalisasi aksioma dasar diatas. Struktur epistemologi ini menyiratkan bahwa

kepastian (qath`iah) menjadi dasar utama epistemologi sebagaimana ditekankan asy

Syatibi (dalam Hallaq, 2000: 243).

Page 135: uf5003

135

Dalam falsafah ajaran Kyai Dahlan (Hadjid, 1996: 46) dan pokok-pokok

pikiran yang dipubliksikan oleh Hoofbestuur Taman Pustaka, Kyai hanya menyebut

akal suci sebagai metode dalam melaksanakan ajaran agama. Sumber komplemanter

untuk memahami agama terdiri dari hadits, ijma dan qiyas sebagaimana tercantum

dalam Verslaag Moehammadijah di Hindia Timur tahun IX Januari-Desember 1922

(Arifin, 1987: 109). Inovasi untuk memasukkan ilmu–ilmu filosofis rasional, baik

yang bersifat sosial-humaniora sciences maupun natural sciences, dalam kurikulum

pendidikan Muhammadiyah telah mengecualikan gerakan ini dari tesis Robert N.

Bellah (2000), generalisasi Arkoun (1994) serta analisis Amin Abdullah (1996)

yang mensinyalir telah hilangnya tradisi filosofis rasionalistik dalam tradisi dunia

Muslim pasca masa kodifikasi atau sejak abad pertengahan-skolastik.

Kepiawaian Kyai dalam ilmu falaq (astronomi) dengan memakai pendekatan

hisa`b, kisah surat al Ma`un serta pendirian berbagai institusi sosial menjadi fakta

otentik yang monumental pada masa itu. Proyek nalar modern yang dicanangkan

Arkoun sudah menjadi komitmen sosial Kyai Dahlan untuk memancangkan

semangat rasionalitas dan kritisisme sebagai aksioma operasional epistemologi

Muhammadiyah. Dominasi dan hegemoni nalar Bayani selama ini terhadap

peradaban (Arab) Islam yang menjadi tesis al Jabiri melahirkan varian tersendiri

bagi Muhammadiyah (Azhar, 2000: 19). Seperti diakui Syamsul Anwar dan Hamim

Ilyas (dalam Baidhowi, 2002: 79), bahwa sejak awal Muhammadiyah memang telah

mempraktekkan pendekatan bayani yang di konfrontasikan dengan realitas empirik.

Sehingga yang terjadi adalah dialektika dinamis antara teks dan konteks, dimensi

normativitas dan historisitas. Menurut penulis, eksistensi nalar Bayani dalam

Page 136: uf5003

136

Muhammadiyah pada masa ini relatif berada pada relasi sinergis–kritis dengan nalar

Burhani (akal suci) dan nalar Irfani (hati suci). Dalam kerangka teori al Jabiri,

Muhammadiyah pada masa Islam (sejati) Kyai Dahlan ini berada dalam tahapan al

tadakhul al takwini; fase subalternasi genetis atau dalam istilah Alfian, the

formative years (Alfian, 1989: 136).

Namun dalam perkembangan fase Muhammadiyah, pendekatan bayani/teks

mengeras secara dominan. Fenomena ini dapat dirujuk pada kentalnya dominasi teks

dalam semangat ijtiha`diah Muhammadiyah yang secara eksplisit terkodifikasi

dalam Pokok–pokok Manhaj Majlis Tarjih. Katagorisasi ijtihad bayani, ijtihad

qiyasi dan ijtihad istishlahy dalam konteks ini hanyalah klasifikasi intensitas dan

eksplisitas otoritas teks terhadap nalar. Skema nalar syafi`iah ini menempatkan nalar

manusia dalam struktur subordinatif–dominatif terhadap wahyu. Karena deduksi

analogi harus bertitik tolak pada prinsip–prinsip yang diakui oleh al Quran dan

Sunnah (Coulsons, 1983: 45). Pada dasarnya, wilayah ijtihadiah Muhammadiyah

hanya terbentang sebatas garis demarkasi otoritas teks. Pada proses ini terjadi

transformasi wilayah non-teks menjadi otoritas wilayah teks (Abu Zaid, 1997: 6).

Pendekatan teks (nalar bayani) yang sangat dominan dalam Muhammadiyah

pasca Kyai Dahlan dengan basis nalar qiyasi (qiyas bayani) telah mentahbiskan

lahirnya “Nalar Islam Muhammadiyah” yang mengalami reifikasi. Nalar ini

dibentuk dan menyatu dalam struktur memori kebudayaan Muhammadiyah secara

tidak sadar. Langkah–langkah kodifikasi yang dilakukan pada fase kepemimpinan

1923–1985 telah memunculkan dominasi qiyas bayani (nalar qiyasi). Dominasi ini

mengartikulasikan kepemimpinan elite syariah formalistik dalam gerakan

Page 137: uf5003

137

Muhammadiyah pasca Kyai Dahlan. Maka gerakan pemikiran di Muhammadiyah

lebih menampakan background fiqhiyyah–nya dibanding dimensi gerakan

pembaharuan sosial yang dinamis. Dengan demikian, metodologi hermeneutik sosial

yang diwariskan Kyai Dahlan tidak saja tidak mendapat ruang apresiasi bahkan pada

akhirnya harus tersingkir dari epistemologi penalaran sosial keagamaan di

Muhammadiyah.

Ketersingkiran paradigma hermeneutik sosial dari konstruksi tafsir sosial

Muhammadiyah telah menimbulkan akibat yang fatal bagi landasan identitas

(politik) Muhammadiyah, yaitu kebudayaan. Nampaknya, kebudayaan dipahami

tidak memiliki garis relasional dengan cita-cita sosial serta kepentingan pemihakan

Muhammadiyah. Justru kebudayaan merupakan medan bagi proses perebutan

pemaknaan. Oleh karena itu, artikulasi gerakan Muhammadiyah akan selalu

dibingkai dalam kerangka kebudayaan yang bermuatan politis: keberpihakan pada

kelompok-kelompok sosial yang ditundukan/dilemahkan oleh sistem maupun oleh

konstruksi-konstruksi sosial dominan.

G. Tasawuf Muhammadiyah: Sebuah Hasil Penelusuran

Secara umum hasil penelusuran landasan dasar muhammadiyah tidak

dijumpai adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan

dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang

sesuai dengan ajaran dasar al Qur’an san Sunnah. Tasawuf substantive ini dapat

dijumpai dalam beberapa landasan dasar Muhammadiyah yaitu:

1. Dalam Muqodimah Anggaran Dasar disebutkan bahwa Islam secara substansial

adalah untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Untuk mencapainya

Page 138: uf5003

138

manusia haruslah mengikuti jejak para Nabi, beribadah kepada Allah dan

berusaha secara maksimal mengumpulkan segala kekuatan dan

menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat

yang murni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan

karunia Allah dan ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di

hadirat Allah atas segala perbuatannya, dan pula harus sabar dan tawakal

bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa

dirinya, atau rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh

pengharapan perlindungan dan pertolongan Allah. Dalam Muqodimah Anggaran

Dasar tasawuf dimaknai sebagai sikap ikhlas, sabar dan tawakal sesuai tuntunan

Nabi dan hanya terorientasikan kepada Allah.

2. Pada pasal 2 MKCHM disebutkan bahwa Muhammdiyah berkeyakinan bahwa

Islam menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.

Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur'an yang

merupakan Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan

Sunnah Rasul yang merupakan penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-

Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal

fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Dalam MKCHM ini tasawuf dimaknai

sebagai keseimbangan materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi, inilah yang

kemudian oleh beberapa kelompok disebut sebagai Tasawuf Positif yang

didasarkan atas Qur’an dan Sunnah, dan menafikan tasawuf yang terorientasi

pada khalwat dan penyingkiran terhadap kehidupan dunia.

Page 139: uf5003

139

3. Dalam Rumusan Hakekat Muhammadiyah disebutkan inti dari kepribadian

warga Muhammadiyah adalah beriman teguh, ta'at beribadah, berakhlaq mulia,

dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Inilah orientasi

dasar dari tasawuf yang tidak disandingkan dengan yang dipandang sebagai

negative seperti, menyendiri, berkebiasaan aneh-aneh, berteologi secara

spekulatif dan mengasingkan diri ditengah masyarakat.

4. dalam PHIM disebutkan bahwa setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan

iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh

mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak

syirk, takhayul, bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada

Allah. Ini artinya tasawuf yang identik dengan tarekat dan dan kepatuhan

terhadap mursyid tidak diterima dalam wilayah Muhammadiyah karena

dipandang sebagai bid’ah.

Tasawuf substantive seperti di atas didasarkan atas pemahaman yang

menyatakan tidak seorangpun yang tidak mendambakan kepuasan dan kenikmatan

hidup. Setiap orang tentulah menginginkan agar hidupnya selalu dalam keadaan

tenang dan tenteram serta selalu dapat merasakan adanya kepuasan hidup (Suara

Muhamadiyah, 2008: 12) . Untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman hidup

itu, berbagai cara dan jalan dilalui. Sementara orang beranggapan bahwa, kepuasan

hidup itu terletak pada adanya harta kekayaan yang menumpuk, maka untuk

memperoleh kepuasan hidup itu, ia berusaha mengumpulkan harta kekayaan

sebanyak-banyaknya. Dan sering terjadi bahwa, untuk mendapatkan harta kekayaan

Page 140: uf5003

140

itu, ditempuhlah berbagai cara dan jalan, tidak peduli apakah cara itu dibenarkan

oleh agama atau tidak yang penting asal harta kekayaan dapat dikumpulkan.

Sementara orang lagi beranggapan bahwa, kepuasan hidup itu terletak pada

adanya pangkat dan kedudukan yang tinggi. maka untuk memperoleh kepuasan

hidup itu, dengan berbagai cara dan jalan, dikejarlah pangkat dan kedudukan itu.

Dan tidak jarang pula bahwa, dalam mengejar pangkat dan kedudukan itu

ditempuhlah cara-cara yang tidak wajar. Apakah benar bahwa, dengan harta

kekayaan dan pangkat, seseorang akan memperoleh kepuasan hidup? Dalam batas-

batas tertentu memang benar bahwa, harta kekayaan dan pangkat bisa membuat

seseorang menjadi puas dan senang. Tetapi, kesenangan dan kepuasan yang dicapai

sifatnya relatif. Dalam praktek tidak sedikit orang yang berharta cukup, uang

simpanan di Bank melimpah, rumah megah, kendaraan mewah berjejer, segala

kehendak dan keinginannya terpenuhi, tetapi batinnya merasa kosong, jiwanya

gelisa. Demikian pula tidak jarang seseorang yang menduduki pangkat yang cukup

tinggi, tetapi, dengan pangkatnya itujiwanya selalu tidak tenteram. Ia selalu merasa

dikejar-kejar orang dan sebagainya. Sebaliknya tidak sedikit pula orangdapat

merasakan kepuasan hidup, pikirannya selalu dalam keadaan tenang, jiwanya

tenteram, padahal secara lahiriyah ia selalu dalam keadaan serba kekurangan, harta

tidak dan pangkat pun tiada. Kepuasan batin rupanya telah memberikan imbangan

terhadap ketidakpuasan yang bersifat lahiriyah (Suara Muhamadiyah, 2008: 24).

Dalam rangka mencari kepuasan yang bersifat batiniyah menurut

Muhammadiyah, ada beberapa cara yang bisa dilakukan.

Page 141: uf5003

141

1. Menjauhi larangan. Setiap orang yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran

terhadap peraturan atau undang-undangnegara, norma atau nilai-nilai luhur yang

berlaku di masyarakat, lebih-lebih lagi pelanggaran terhadap ketentuan-

ketentuan Allah, pastilah membuat hatinya tidak tenteram, selalu berdebar-debar

dan gelisah. Keadaan semacam ini tentunya merupakan siksaan batin, yang

membuat kehidupannya tidak tenang. Untuk menghindari kegelisahan hidup,

salah satu resepnya adalah menjauhi segala larangan, terutama larangan Allah

(Suara Muhamadiyah, 2007: 16).

2. Ridha terhadap karunia Allah. Sudah menjadi tabiat manusia bahwa, ia selalu

merasa tidak puas terhadap nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.

Sekiranya perasaan tidak puas itu ditujukan kepada karunia berupa ilmu

pengetahuan, ini justru merupakan hal yang terpuji, tetapi, pada umumnya

perasaan tidak puas itu menyangkut soal kebendaan. Orang selalu merasa tidak

puas dengan harta kekayaan yang telah dimilikinya. Walaupun kepadanya

diberikan dua lembah penuh emas, tetapi ia selalu menginginkan lembah yang

ketiga, keempat dan seterusnya, tiada habis-habisnya. Tabiat tidak pernah

merasa puas terhadap harta yang dikaruniakan kepadanya itu dapat dikendalikan

dengan menanamkan sikap qana;ah, yaitu, bersikap ridha terhadap karunia

Allah. Artinya, dia menerima apa adanya, menerima dengan perasaan syukur

atas apa yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Sifat ridha dan syukur itu

akan mebuat seseorang merasa paling kaya, walaupun kenyataannya dia miskin.

Sebaliknya sifat thama, loba dan serakah terhadap harta kekayaan akan membuat

seseorang merasa miskin, walaupun dalam kenyataannya ia hidup bergelimang

Page 142: uf5003

142

harta. Sebab sifat serakah membuat mata seseorang selalumenengadah, hanya

melihat ke atas, melihat orang lain yang lebih kaya daripada dirinya. Dalam

hubungan inilah Islam menasehatkan agar dalam soal karunia harta, hendaknya

seseorang selalu melihat ke bawah, melihat orang lain yang keadaannya lebih

miskin daripada dirinya. Dengan melihat ke bawah akan tumbuhlah rasa syukur,

bahwa, dirinyaternyata dalam keadaan lebih baik apabila dibandingkan dengan

keadaan orang lain. Menurut Muhamadiyah kekayaan itu tidak terletak pada

uang dan harta yang melimpah, melainkan pada budi pekerti (Suara

Muhamadiyah, 2007: 12).

3. Mencintai sesama manusia laksana mencintai diri sendiri. Sudah menjadi

tabiatnya, bahwa, setiap orang itu sangat mencintai diri sendiri. Meskipun diri

sendiri mengandung banyak kelemahan dan kekurangan serta menyandang

banyak cacat sekalipun, tetapi cinta kepada diri sendiri tidak akan berkurang.

Sekiranya ada orang lain yang beranimengungkapkan kekurangan dan cacat itu,

ia pasti tersinggung dan merasa direndahkan. Karena cintanya kepada diri

sendiri, kadang-kadang membuat orang bersikap sombong dan angkuh, merasa

diri sendirilah yang paling hebat, paling pintar, paling benar, paling gagah dan

sebagainya.Cinta pada diri sendiri, acapkali membuat seseorang bersikap rakus

dan tamak. Ia menginginkan agar sebanyak mungkin harta benda hanya

menumpuk pada dirinya sendiri, tidak perduli, apakah orang lain menderita

karenanya. Mencintai diri sendiri sebenarnya tidak dilarang oleh agama. Bahkan,

agama juga menganjurkan agar memperhatikan kepentingan dan tuntutan diri

kita, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Yang dilarang oleh agama

Page 143: uf5003

143

adalah cinta kepada diri sendiri secara berlebihan. Oleh sebab itu kalau tidak

mau dicela atau direndahkan oleh orang lain, hendaklah kita tepo seliro, tidak

mencela dan merendahkan orang lain. Apabila diri kita tidak suka difitnah dan

diadu domba, maka kitapun jangan pula menfitnah dan mengadu domba orang

lain. Apabila kecintaan kita kepada sesama manusia mencapai tingkatan serupa

itu, berhaklah kita menyandang predikat sebagai seorang muslim sejati, yang

hidupnya penuh kepuasan dan ketenteraman (Suara Muhamadiyah, 2008: 25).

BAB IV

TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH

KOTA SEMARANG

Mendengar kata tasawuf, yang terbetik dalam benak adalah sesuatu yang berat.

Sesuatu yang jauh, yang tidak terjangkau oleh akal awam kita. Berpakaian serba putih,

memelihara jenggot panjang dan menjauhi kehidupan dunia, hidup dalam kekurangan

ekonomi alias miskin dan berpakaian lusuh. Gambaran itulah yang kerap dimunculkan,

Page 144: uf5003

144

saat mendengar kata tasawuf, dan juga sufi26 (para pelaku tasawuf). Ini masih ditambah

lagi dengan pernyataan-pertanyaan ganjil atau nyleneh yang seringkali susah dipahami

dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim. Seperti ucapan Al Hajjaj dan

Abu Yazid Al-Busthami, misalnya `'Akulah Sang Kebenaran'' (ana Al-Haqq) atau `'Tak

ada apapun dalam jubah yang aku pakai selain Allah”.'

Dari sinilah timbul tudingan Syaikh Abdurrahman al Wakil, yang menyatakan

bahwa tasawuf itu adalah tipuan, makar paling rendah, hina dan tercela. Tasawuf

adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang Rabbani, bahkan juga

topeng semua musuh agama ini (Islam) (dalam Fauzan, 1998: 2).

A. Deskripsi Historis-Geografis Kota Semarang

Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah dan merupakan salah kota

yang dipimpin oleh walikota. Kota ini terletak sekitar 485 km sebelah timur Jakarta,

atau 308 km sebelah barat Surabaya. Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di

utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten

Kendal di barat. Secara histories sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad

ke 8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Bergota (ada ahli sejarah yang

26Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama

Islam pada masanya.Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial. Maka, misalnya, mereka terlibat jauh dalam gerakan politik seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Prancis, dan pembangunan kembali masyarakat dan pemerintahan Islam di Libya, yang sebagian besar dilakukan oleh para anggota tarekat Sanusi. Di Nigeria utara, Syekh 'Utsman dan Fobio (m. 1817), seorang anggota Tarekat Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Habe yang telah gagal memerintah menurut syariat Islam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yang dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tingkat rakyat maupun istana. Lebih jauh ke timur, Syekh Muhammad Ahmad al-Mahdi (m. 1885), anggota tarekat Tsemaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Fenomena serupa terjadi pula di Timur. Misalnya, kaum sufi Naqsabandiyyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.

Page 145: uf5003

145

menyebutnya Plagota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah

tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan yang ramai dan masih berupa gugusan

kepulauan kecil-kecil. Akibat pengendapan gugusan tersebut kemudian menyatu

membentuk daratan. Bahkan kota Semarag Bawah yang kita kenal sekarang ini

dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di Pasar Bulu

sekarang memanjang masuk ke pelabuhan Simongan tempat armada Laksamana

Cheng Ho mendarat pada tahun 1406 M. Ditempat pendaratannya Laksamana

Cheng Ho mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi

dan disebut Kelenteng Gedong Batu (Sam Poo Kong) (http//: id-wikipedia

wordpress.com).

Pada akhir abad ke 15 M ada seorang dari kesultanan Demak bernama

pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang pergi ke pesisir

utara bagian barat untuk mencari daerah baru. Disuatu tempat yang bernama Pulau

Tirang ( pulau kecil yang sekarang menjadi bagian dari bukit pemakaman Bergota),

beliau membuka hutan dan mendirikan pesantren dan menyiarkan agama Islam.

Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu

muncullah pohon asam yang jarang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga

memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang27. Sebagai pendiri desa,

kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang

27Semarang, sebagai lbu kota Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang. Mulanya dari dataran lumpur,yang kemudian hari berkembang pesat menjadi lingkungan maju dan menampakkan diri sebagai kota yang penting. Sebagai kota besar, ia menyerap banyak pendatang. Mereka ini, kemudian mencari penghidupan dan menetap di Kota Semarang sampai akhir hayatnya. Lalu susul menyusul kehidupan generasi berikutnya. Di masa dulu, ada seorang dari kesultanan Demak bernama pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang, meninggalkan Demak menuju ke daerah Barat Disuatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirang, membuka hutan dan mendirikan pesantren dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang (www.kotasemarang.go.id)

Page 146: uf5003

146

I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan

Arang II. Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin

menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan

Hadiwijaya dari Pajang. Oleh karena persyaratan peningkatan daerah dapat

dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan

Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan maulid Nabi

Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan

Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian

ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang28 (http//: id-wikipedia wordpress.com).

Pada tahun 1678 Amangkurat II dari Mataram, berjanji kepada VOC untuk

memberikan Semarang sebagai pembayaran hutangnya, dia mengklaim daerah

28Bandingkan dengan www.kotasemarang.go.id, yang menjelaskan, di bawah pimpinan Pandan

Arang, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dan Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, juga bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 masehi dinobatkan menjadi Bupati yang pertama. Pada tanggal itu "secara adat dan politis berdirilah kota Semarang" . Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya, meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali, akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalekat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat. Sesudah Bupati Pandan Arang mengundurkan diri lalu diganti oleh Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586), kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659), Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666), Mas Tumenggung Prawiroprojo (1966-1670), Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674), Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701), Raden Maotoyudo atau Raden Summmgrat (1743-1751), Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadmienggolo (1751-1773), Surohadimenggolo IV (1773-?), Adipati Surohadimenggolo V atau kanjeng Terboyo (?), Raden Tumenggung Surohadiningrat (?-1841), Putro Surohadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), RTP Suryokusurno (1860-1887), RTP Reksodirjo (1887-1891), RMTA Purbaningrat (1891-?), Raden Cokrodipuro (?-1927), RM Soebiyono (1897-1927), RM Amin Suyitno (1927-1942), RMAA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945), R. Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945), hanya berlangsung satu bulan, M. Soemardjito Priyohadisubroto (tahun 1946, 1949 - 1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia) pada waktu Pemerintahan RIS yaitu pemerintahann federal diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949.

Page 147: uf5003

147

Priangan dan pajak dari pelabuhan pesisir sampai hutangnya lunas. Pada tahun 1705

Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian dari

perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu

Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia

Belanda. Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah

Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang

Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang

Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan

Jepang (http//: id-wikipedia wordpress.com).

Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai

Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang

masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Tidak lama sesudah

kemerdekaan, yaitu tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa

kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara

Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik.

Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran lima hari di Semarang.

Tahun 1946 lnggris atas nama Sekutu menyerahkan kota Semarang kepada

pihak Belanda.Ini terjadi pada tangga l6 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu

muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, walikota Semarang

sebelum proklamasi kemerdekaan. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada

pemerintahan daerah kota Semarang. Narnun para pejuang di bidang pemerintahan

tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian

diluar kota sampai dengan bulan desember 1948. Daerah pengungsian berpindah-

Page 148: uf5003

148

pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di

Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.

Prawotosudibyo dan Mr. Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal

dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti

dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak

berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada

Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950

Mayor Suhardi, Komandan KMKB. menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah

Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementrian Dalam

Negeri di Yogyakarta. Beliau menyusun kembali aparat pemerintahan guna

memperlancar jalannya pemerintahan.

Kotamadya Semarang secara definitif ditetapkan berdasarkan UU Nomor 13

tahun 1950 tentang pembentukan kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Provinsi

Jawa Tengah. Secara geografis daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat

sempit, yakni sekitar 4 kilometer dari garis pantai. Dataran rendah ini dikenal

dengan sebutan kota bawah29. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir, dan di

29Berdasarkan sejarahnya, kota Semarang memiliki suatu kawasan yang ada pada sekitar abad 18

menjadi pusat perdagangan. Kawasan tersebut pada masa sekarang disebut Kawasan Kota Lama. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan wilayahnya, maka kawasan itu dibangun benteng, yang dinamai benteng VIJHOEK.Untuk mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang dibenteng itu maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai : HEEREN STRAAT. Saat ini bernama Jl. Let Jen Soeprapto.Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang disebut DE ZUIDER POR. Jalur pengangkutan lewat air sangat penting hal tersebut dibuktikan dengan adanya sungai yang mengelilingi kawasan ini yang dapat dilayari dari laut sampai dengan daerah Sebandaran, dikawasan Pecinan. Masa itu Hindia Belanda pernah menduduki peringkat kedua sebagai penghasil gula seluruh dunia. Pada waktu itu sedang terjadi tanam paksa( Cultur Stelsel ) diseluruh kawasan Hindia Belanda. Kawasan Kota Lama Semarang disebut juga OUTSTADT. Luas kawasan ini sekitar 31 Hektar. Dilihat dari kondisi geografi, nampak bahwa kawasan ini terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga nampak seperti kota tersendiri, sehingga mendapat julukan "LITTLE NETHERLAND". Kawasan Kota Lama Semarang ini merupakan saksi bisu sejarah Indonesia masa kolonial Belanda lebih dari 2 abad, dan lokasinya berdampingan dengan kawasan ekonomi. Ditempat ini ada sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan kokoh dan mempunyai sejarah Kolonialisme di

Page 149: uf5003

149

sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut (rob). Di sebelah selatan

merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan kota atas, di antaranya

meliputi Kecamatan Candi, Mijen, Gunungpati, dan Banyumanik. Secara

administratip Kota Semarang terdiri atas 16 kecamatan, yang terbagi lagi dalam

sejumlah kelurahan dan desa. Ke-16 kecamatan tersebut adalah: Banyumanik,

Candisari, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan,

Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang

Timur, Semarang Utara, Tembalang dan Tugu.

Pemilihan Kota Semarang sebagai tempat penelitian setidaknya didasarkan

karena kota ini menjadi ibu kota propinsi Jawa Tengah. Sebagai ibu kota propinsi

semarang tentunya menjadi pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat yang

lainnya. Sebagai pusat pendidikan, di Semarang30 terdapat sejumlah perguruan

tinggi ternama baik negeri maupun swasta. Perguruan Tinggi tersebut adalah:

Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Politeknik

Negeri Semarang, IAIN Walisongo, Akademi Kepolisian. Perguruan tinggi swasta

antara lain: Universitas 17 Agustus 1945, Universitas Islam Sultan Agung,

Universitas Wahid Hasyim Semarang, Universitas Katolik Soegijapranata,

Semarang. Kota Lama Semarang ini adalah daerah yang bersejarah dengan banyaknya bangunan kuno yang dinilai sangat berpotensi untuk dikembangkan dibidang kebudayaan ekonomi serta wilayah konservasi.

30Surat kabar yang terbit di Semarang antara lain: Radar Semarang dan Meteor (Grup Jawa Pos), Suara Merdeka, Majalah Merah Putih, Wawasan (Suara Merdeka Grup). Televisi lokal di Semarang adalah TV Borobudur, Pro TV, TVKU, dan Cakra TV. Dari sisi budaya Semarang memiliki seni budaya warak ngendhog dan dhugdheran yang diadakan menjelang datangnya bulan ramadhan. Semarang memiliki kota tua Little Netherland yang mencakup kawasan Polder, Stasiun Semarang Tawang Jembatan berok dan Lawang Sewu. Komunitas Tionghoa di Semarang, dapat ditemui melalui perkumpulan Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata), mengadakan Pasar Semawis, yakni pasar malam yang menjual berbagai makanan & oleh-oleh khas Semarang, di daerah pecinan Semarang (daerah Gang Pinggir).

Page 150: uf5003

150

Universitas Dian Nuswantoro, Universitas Stikubank, Universitas Semarang,

Universitas AKI, Universitas Muhammadiyah Semarang, Sekolah Tinggi Ilmu

Elektronika dan Komputer (STEKOM) Semarang, STMIK ProVisi IT College,

AKABA 17 Agustus 1945. Dari sekian banyak lembaga pendidikan, tentunya

Semarang menjadi salah satu pusat domisili para intelektual dari beragam disiplin

ilmu. Dalam perspektip semacam inilah penelitian ini dilakukan.

B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual Muhammadiyah Kota

Semarang.

Beragama pada era dewasa ini memiliki tantangan tersendiri, hal ini

dikarenakan selain dihadapkan pada semakin banyaknya perspekrif pemahaman

yang berbeda dalam lingkup agama tertentu disatu sisi, disisi lain umat beragama

juga dihadapkan pada realitas beragama ditengah agama-agama lain. Menurut Budhi

Munawar Rahman, tantangan paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini

adalah bagaimana seseorang beragama bisa mendifinisikan dirinya ditengah

kelompok-kelompok lain atau dalam istilah yang lebih tehnis “berteologi dalam

konteks pemahaman-pemahaman yang berbeda”31. Dalam pergaulan antar agama,

semakin hari kita semakin merasakan inteksnya pertemuan agama-agama itu. Pada

tingkat pribadi sebenarnya hubungan antar tokoh agama di Indonesia menunjukkan

suasana yang semakin akrab, tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari

agama muncul kebingungan-kebingungan khususnya yang menyangkut bagaimana

kita harus mendefinisikan diri ditengah agama-agama lain yang juga eksis dan

punya keabsahan.

31Dalam bahasa Budhi Munawar Rahman istilah yang dipakai adalah “Beragama di Tengah

Agama Orang Lain”, lihat (IDEA, 1997: 32)

Page 151: uf5003

151

Dari realitas yang mengglobal tentang agama dan beragama yang berpadu

dengan cepatnya ilmu pengetahuan dalam berbagai perspektif yang

multidimensional mengakibatkan semakin beragamnya pemahaman beragama yang

semakin dinamis. Hal ini tidak bisa terelakkan karena beragama bukanlah

merupakan sikap yang pasif, tetapi akhir-akhir ini beragama lebih dipahami seagai

sikap dialogis intelektual yang proporsional antara manusia, realitas dan Tuhan.

Dalam perspektif seperti inilah beragama semakin menemukan momentum untuk

bergerak dinamis dan berakselerasi dengan tantangan realitas ruang dan waktu.

Secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah

terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap

keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Ketiga sikap ini dapat

pula dikategorikan dalam terminologi eksklusif, inklusif dan pluralis32 (Hubbard,

1998: xix). Eksklusif adalah pola pemikiran yang secara umum menafikan tasawuf

secara total dan beranggapan bahwa hanya pemikiran kelompoknyalah yang paling

benar dan yang mampu memberikan pencerahan kehidupan. Sikap secara inklusif

ditunjukkan dengan lebih terbuk terhadap tasawuf sedangkan sikap pluralis

merupakan tindakan respek terhadap tasawuf yang ditunjukan dengan sikap

mengakui serta memahami eksistensi tersebut.

1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf

32Kategorisasi kedalam sikap eksklusif, inklusif dan pluralis diadaptasi dari pendapar Nurcholish

Madjid yang menyatakan bahwa paling tidak dewasa ini para ahli memetakan dalam tiga sikap golongan. Pertama, sikap yang eksklusif dalam melihat agama lain (agama lain adalah jalan yang salah dan menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implicit agama kita) dan ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresikan dalam beragam rumusan seperti, agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama-sama sah atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran (Hubbart: 1998, xix)

Page 152: uf5003

152

Sikap ini diwakii oleh Hamzah33, Sekretaris PDM kota Semarang dan

juga Dosen di IKIP PGRI Semarang. Menurutnya beribadah adalah suatu konsep

yang sudah paten dan tidak boleh mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang

dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif

Muhammadiyah menurutnya, landasan utama yang mendasari setiap ibadah

manusia adalah Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan

Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara

otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Menurut Hamzah, penolakan terhadap tasawuf didasarkan pada

beberapa aspek:

1. Pada jaman Rasulullah, Islam tidak mengenal aliran tasawuf, juga pada masa

shahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang

mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), dari

pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu

Sufi dengan nama tarekatnya Tasawwuf. Menurut Hamzah, adalah dusta

yang mengatakan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya adalah golongan

tasawwuf.

2. Aliran sufi memeliki sifat fanatisme terhadap syaikh dan mursyid mereka,

padahal menurutnya Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat : 1) dan

rasulullah bersabda : Tidak ada ketaatan bagi seseorang dalam berbuat

maksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam berbuat baik. (HR. Bukhari

33Wawancara dengan Hamzah dilakukan pada tanggal 17 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Semarang.

Page 153: uf5003

153

& Muslim). Menurut Hamzah, kebanyakan manusia sekarang ini

mengambil apa saja yang dikatakan oleh gurunya tanpa mau memeriksa

apakah perkataan gurunya itu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau

tidak. Dia menerima apa saja yang dikatakan oleh gurunya yang disangkanya

bebas dari kesalahan, maka jika gurunya sesat secara otomatis sesat pulalah

dia. Ini menurutnya adalah kebiasaan syaikh-syaikh tasawuf. Mereka biasa

melatih murid-muridnya untuk taat buta sekalipun didalamnya terdapat

perihal meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan

memperingatkan mereka bila bersikap ingkar dan menyanggah.

3. Keramat-keramat dan Perkataan-perkataan Para Syaikh Tarekat Sufi. Dia

merujuk pada ungkapan Syaikh Muhammad Al-Mashum: Aku melihat kabah

yang dimuliakan merangkul dan menciumku dengan kerinduan yang

mendalam. Tatkala aku selesai melaksanakan thawaf ziarah, datanglah

kepadaku seorang malaikat membawa sebuah kitab tentang diterimanya haji

yang aku laksanakan dari Rabb semesta alam. Ini menurutnya ada dalam

kitab Al-Mawahibus Sarmadiyyah, halaman 213, Jamiu Karamatil Auliya jus

1 halaman204 dan Al-Anwarul Qudsiyyah halaman 196, semuanya adalah

kitab-kitab referensi tasawuf aliran Naqsyabandiyyah.

Ini adalah perkataan para Syaikh tarekat sufi, dan masih begitu banyak hal

yang senada seperti di atas dari ucapan-ucapan mereka yang didalamnya

terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap syariat dan tidak bisa

diterima oleh orang yang memeiliki akal sehat.

Page 154: uf5003

154

4. Memohon Pertolongan/Istighasah Kepada Para Syaikh Mereka.

Diriwayatkan bahwa salah seorang murid Syaikh Muhammad Al-Mashum

sedang mengendarai seekor kuda, lalu kuda tersebut membuang kotorannya

sehingga membuat sang murid terjatuh ke tanah dan kakinya tergantung di

tempat pelana kuda. Kemudian kuda tersebut membawanya lari hingga ia

berkeyakinan akan binasa. Kemudian ia meminta pertolongan kepada yang

mulia al-qayyum (yaitu Syaikh Muhammad Al-Mashum-disifati dengan sifat

yang hanya dimiliki Allah SWT). Sang murid berkata : lalu aku melihat sang

Syaikh datang sambil memberhentikan kuda tersebut serta menaikkanku

keatasnya. Menurut Hamzah ini bisa dilihat dalam Al-Mawahibus

Sarmadiyyah halaman 210-213, padaha Alah berfirman :

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan

apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan

yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Alah

ada tuhan (yang lain)? (Al-Anam: 62)

5. Membenci Ilmu dan Malas Menuntut Ilmu. Abu Yazid Al-Busthomi berkata

seraya mengajak bicara Ahlul Hadits : Kalian telah mengambil ilmu kalian

dari orang mati melalui orang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami

dari Dzat Yang Maha Hidup Yang tidak akan mati. Ini bisa dirujuk dalam

Thabaqatusy Syarani jus 1 halaman 5, Al-Futuhatul Makkiyyah jus 1 hal

365. Al--Qusyairi telah meriwayatkan perkataan Abu Bakar Al-Warraq :

Penyakit yang bisa merusak seorang murid ada tiga : menikah,

mencatat/menulis hadits dan kitab-kitab. (Ar-Risalatul Qusyairiyyah

Page 155: uf5003

155

halaman 92). Sulaiman Ad-Daroni berkata: Apabila seseorang

mencari/mempelajari hadits atau bepergian untuk mencari rezeki dan

menikah, maka berarti ia telah cenderung kepada dunia. (Al-Futuhatul

Makkiyyah 1/37). Menurut Hamzah, mereka tidak butuh lagi dengan As-

Sunnah, padahal Allah berfirman : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana bisa mentaati Allah dan rasul-Nya jika ia tidak mengetahui

perintah-perintah dan larangan-larangan yang tersebut dalam As-Sunnah,

apalagi yang tersebut dalam Al-Quran.

6. Aliran sufi menyeru untuk zuhud kepada dunia dan meninggalkan sebab-

sebab (kerja) serta meninggalkan jihad padahal Allah berfirman :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kenikmatan) di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu

(dari kenikmatan ) di dunia.” (Al-Qashash : 72) “Dan siapkanlah untuk

menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu miliki.” (Al-Anfal : 59.)

7. Sebagian aliran Sufi meyakini adanya wihdatul wujud (menyatunya hamba

kepada Allah), sehingga tidak berbeda antara pencipta dan makhluk dan

semua makhluk bisa menjadi sesembahan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Arabi

(tokoh sufi) yang dikubur di Damsyiq, dia mengatakan: Hamba ini adalah

Tuhan dan Tuhan adalah hamba Wahai siapa yang dibebani (ibadah) ? Jika

saya katakan saya adalah hamba itu betul. Dan jika saya katakan saya adalah

Tuhan, maka bagaimana akan dibebani ? Ini adalah menurut Hamzah adalah

kesyirikan yang Akbar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.

Bagaimana seorang manusia mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, dan

Page 156: uf5003

156

mengatakan bahwa ia terbebas dari kewajiban ibadah (karena ia sudah

berkedudukan sebagai Tuhan.

8. Sufiyyah berdo’a kepada selain Allah yaitu kepada Nabi, para Wali yang

hidup dan yang telah mati. Mereka mengucapkan : “Yaa Jailani!, Yaa

Rifa’i!, dan Yaa Rasulullah!”, sebagai tujuan istighatsah dan memohon

pertolongan atau dengan ucapan, “Yaa Rasulullah! Engkaulah tempat

bersandar.” Sementara Allah : “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa

yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu

selain Allah, sebab jika engkau berbuat yang demikian itu maka

sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang zhalim(musyrik).”(Yunus

:106) Rasulullah SAW telah bersabda : “Doa itu adalah ibadah.” (HR

Tirmidzi dengan sanad hasan shahih), maka do’a itu adalah ibadah seperti

halnya shalat yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, sekalipun

kepada Rasul dan para Nabi.

9. Aliran Sufi mengaku mempunyai ilmu kasyaf (tersingkapnya segala rahasia)

dan mengetahui yang ghaib Ini adalah kedustaan yang telah dibantah oleh

Allah dengan firman-Nya : Katakanlah : tidak ada seorangpun dilangit dan

dibumi yang mengatahui perkara yang ghaib kecuali Allah. (An-Naml : 65)

Rasulullah bersabda : Tidak ada yang mengetahui perkara yang ghaib selain

Allah. (HR. Thabrani dengan sanad Hasan).

Sikap Hamzah ini didasarkan pada Anggaran Dasar Muhammadiyah

yang dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam, berasas

Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang gerakannya

Page 157: uf5003

157

melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan

tujuan menjunjung tinggi Agama Islam sehinga terwujudnya masyarakat Islam

yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan formulasi dari esensi dan

eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan

pembaruan di bawah tema utama kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang

shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka pintu ijtihad

untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia. Sebagai Gerakan Islam

sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki

paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada

awalnya paham tentang Islam melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad

Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan menurut H.M. Djindar Tamimy,

kelahiran Muhammadiyah justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi

jiwa, landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah.

Berikut pandangan H.M. Djindar Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah,

mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama Islam:

”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada pengertian/faham dan keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran Agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan disertai ”jihad bil amwal wal anfus”.” (Tamimy, 1978: 3).

Menurut Hamzah, berbicara tasawuf dalam perspektip Muhammadiyah

merupakan hal yang salah alamat dikarenakan memang tidak dikenal. Tasawuf

dalam Muhammadiyah adalah Islam itu sendiri. Menurutnya Rujukan paham

Page 158: uf5003

158

agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai Dahlan

tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara ideal-

teologis, secara institusinoal atau kelembagaan telah ditetapkan dalam

pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih dan keputusan-

keputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang perjalanan Muhammadiyah.

Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis berupa pokok-pokok saja

seperti dalam “Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat Al-

Quran” yang ditulis K.H. R. Hadjid, selain dari gagasan-gagasan lepas yang

membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu.

Menurut Hamzah, pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah

yang berkaitan dengan paham agama Islam, antara lain dapat dirujuk pada

berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau Munas

Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku seperti ”Dua Belas Langkah

Muhammadiyah” dari KH. Mas Mansur, Kitab Masalah Lima (al-Masâil al-

Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil

Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup

Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun 1969, Pedoman Hidup Islami

Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta,

dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah-

masalah paham agama dalam Muhammadiyah.

Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah menurut

Hamzah, tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-

perorang, sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup

Page 159: uf5003

159

dalam satu kesatuan antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan

dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah.

Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu

matarantai sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya

berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta Rasul Allah.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang

diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa,

dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai

hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin

kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan

Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari

pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai ajaran dari

Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan

didakwahkannya oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat

manusia, sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-

‘alamin.

Dalam pandangan orang Muhammadiyah menurut Hamzah, Agama

adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara para Nabi-nabi-Nya,

berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk

kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh

Nabi Muhammad ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang

tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-

larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.

Page 160: uf5003

160

Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nab-nabi-Nya,

berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk

kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-

Khams tentang al-Dîn). Hal yang menarik dari paham agama menurut

Muhammadiyah tersebut selain sumber ajarannya yang otentik (asli) karena

berasal dari Allah dan dibawa oleh para Nabi-nya, juga menyangkut aspek

ajarannya. Bahwa ajaran Islam selain mengandung perintah-perintah (al-

awâmir) dan larangan-larangan (al-nawâhi), juga mengandung petunjuk-

petunjuk (al-irsyâdat). Dalam perspektip semacam inilah maka beragama

menjadi sesuatu yang tidak dibuat-buat seperti yang terjadi dalam tasawuf,

sehingga wajar apabila tasawuf tidak mendapat tempat dalam Muhammadiyah.

Penolakan Muhammadiyah terhadap tasawuf, menurut Hamzah juga

dapat dilihat dari pemahaman Muhammadiyah, yang memahami Islam sebagai

agama yang hanya untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah dan tidak

ada ketundukan kepada mursyi’d, agama semua Nabi, agama yang sesuai

dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang

mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan

agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang

diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap

muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam

kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk

meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan

menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani,

Page 161: uf5003

161

dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat

Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri.

Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu menurut

Hamzah, maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama:

kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti

berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga

Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan).

Pandangan Islam tentang kehidupan tersebut menunjukkan keluasan

mengenai aktualisasi ajaran Islam, sekaligus kesadaran dan tuntutan untuk

membumikan ajaran Islam tersebut dalam dunia kehidupan umat manusia untuk

menciptakan rahmatan lil-‘alamin. Dalam konteks inilah Muhammadiyah

memandang dunia bukan saja sebagai ajang untuk membumikan ajaran Islam,

tetapi sekaligus memberi ruang untuk berijtihad dalam rangka mengurus urusan

dunia berdasarkan pesan ajaran Islam. Inilah yang membedakan dengan tasawuf

yang memandang dunia sebagai neraka dan penjara bagai kaum muslim. Dalam

kaitan inilah maka Muhammadiyah pun memiliki pandangan yang mendasar

mengenai konsep dunia (ma hiya al-dunyâ). Menurut Muhammaiyah, yang

dimaksud dengan ”urusan dunia” dalam Sabda Rasulullah: “Kamu lebih

mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas

diutusnya para Nabi; yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan

yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (Kitab Masalah

Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dunýâ).

Page 162: uf5003

162

Selain pandangan mengenai agama dan dunia, dalam al-Masail al-

Khams juga dikemukakan juga mengenai konsep ibadah, sabilullah, dan qiyas

atau ijtihad, yang menyisyaratkan tentang lima masalah mendasar yang terkait

dengan pandangan Muhammadiyah mengenai hal-hal penting bagi manusia.

Menurut Hamzah, Muhamadiyah berpandangan bahwa Ibadah ialah bertaqarrub

(mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta’ati segala perintah-

perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang

diidzinkan Allah. ‘Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: yang umum

ialah segala ‘amalan yang diidzinkan Allah. Dan yang khusus ialah apa yang

ditetapkan Allah akan perincian-perinsiannya, tingkah dan cara-caranya yang

tertentu.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang ‘Ibadah).

Adapun mengenai ”apa itu sabilullah” Muhammadiyah berpandangan

bahwa ”Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah,

berupa segala ‘amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimat-

kalimat-(agama-agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.” (Kitab

Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang Sabilillah) . Dengan pandangan

mengenai sabilullah tersebut Muhammadiyah selain menunjukkan kesatuan

mengenai jalan dunia dan akhirat yang harus satu napas, juga memandang

tentang pentingnya setiap muslim untuk berbuat sesuai dengan dan menuju pada

jalan Allah. Sabilullah tidak lepas dari ibadah, bahkan keduanya merupakan satu

kesatuan yang utuh tentang kesadaran berbuat bagi setiap muslim. Dalam

pemahaman semacam inilah, Muhammadiyah secara tegas menurut Hamzah

menolak keberadaan tasawuf.

Page 163: uf5003

163

Senada dengan Hamzah adalah apa yang dikemukakan oleh

Suratman34, Wakil Ketua PDM Kota Semarang. Menurutnya penolakan terhadap

tasawuf dikarenakan tasawuf tidak ditemukan dan dirumuskan dalam Islam.

Rumus dasarnya adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad

dan terdapat dalam Qur’an dan Sunnah maka itulah yang dilakukan. Sebagai

contoh adalah bacaan takbir tahmid sebanyak 33 kali setelah ba’da Isya, ini

boleh dilakukan dikarenakan sesuai ajaran Rosulullah tetapi bacaan Ya Latif

sebanyak 33 kali itu tidak ada dalam Islam. Sikap penolakan terhadap tasawuf

juga didasarkan atas rumusan dasar bahwa ijtihad dalam bidang ibadah adalah

kharam. Berijtihad hanyalah untuk aspek-aspek dunyawiyah. Dalam kasus

tasawuf menurut Suratman, itu masuk dalam kategori berijtihad dalam bidang

ibadah.

Penolakan terhadap tasawuf ini menurut Suratman juga didasarkan

pada pokok agama Islam, yaitu hanya sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w yang

menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia

dan akhirat, kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan

bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan

Agama Islam. Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas

tersebut menunjukkan pemikiran yang komprehensif dan berorientasi tajdid dari

Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan Muhammadiyah

untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi

pemurnian maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting

34Wawancara dengan Suratman dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Semarang.

Page 164: uf5003

164

dalam pandangan dan pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah.

Dengan pemurnian Muhammadiyah yang merujuk dan menampilkan Islam yang

sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih

(maqbulah), sehingga beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi

dengan pandangan dan praktik yang bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan

manusia.

Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek ajaran

Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam

menjadi agama kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat

pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus dapat menjawab tantangan-

tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-benar

menjadi rahmatan lil-’alamin: “tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali

sebagai rahmat untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah

menampilkan Islam sebagai agama Langit yang membumi untuk semesta

kehidupan.

Menurut Suratman, Muhammadiyah mempertahankan Islam dari

pengaruh dan serangan dari luar. membersihkan Islam di Indonesia dari

pengaruh dan kebiasaan bukan Islam. Watak puritan Muhammadiyah, menurut

Faisal Ismail tercermin dalam sikap Muhammadiyah yang tidak mengapresiasi

praktik-praktik semacam tarekat, tahlil, danMuhammadiyah tidak terikat dengan

satu mazhab tertentu dalam pengambilan hukum agama, makanya sering disebut

Muhammadiyah tidak bermazhab. Muhammadiyah tidak mentolerir taklid yang

menjadi pangkal kebekuan umat dalam menjalankan agama, tapi justru

Page 165: uf5003

165

menganjurkan ittiba dan ijtihad sebagai tulang punggung gerakan dakwahnya

dan menolak tawasul secara total.

Dalam perspektip semacam ini, Muhammadiyah menurut Suratman

bercita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun

kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-

aspek tauhid (aqidah), ibadah, muamalah, dan pemahaman terhadap ajaran

Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya

yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka

ijtihad. Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya

Muhammadiyah di Kampung Kauman, Suratman merujuk pada pendapat Adaby

Darban (2000: 31) yang berpendapat dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin

membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah,

membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,

membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman

terhadap ajaran Islam, dia merombak taklid untuk kemudian memberikan

kebebasan dalam ber-ijtihad. Gagasan pembaruan Kyai Dahlan yang memiliki

aspek pemurnian (purifikasi) selain dalam memurnikan aqidah dari syirk,

bid’ah, khurafat, tahayul, juga dalam praktik pelaksanaan ibadah.

Menurut keduanya di dalam Muhamadiyah yang diamalkan tidak boleh

lepas dari landasan dasar perserikatan terutama Muqodimah Anggaran Dasar,

MKCHM, Pedoman Islami Warga Muhammadiyah, dan Kepribadian

Muhammadiyah. Dari kesemua landasan ini, tasawuf tidak dikenal dan sebagai

sesuatu yang dianggap bid’ah dan tidak islami.

Page 166: uf5003

166

Secara umum kelompok yang menolak tasawuf mereka menganggap

tasawuf adalah bid’ah yang bertentangan dengan atau menyimpang dari Islam,

karena berasal dari luar Islam. Kelompok ini pada umumnya adalah kaum

literalis dan formalis Islam (Muhaditsun/Akhbariyun) (Al Husaini, 2004: 2),

seperti Khawarij, para ulama kerajaan, para modernis dan para pengikutnya dari

kalangan Wahabiyin. Kelompok pertama, yang menolak keislaman tashawuf,

terlihat misalnya dari bagaimana para ‘ulama’ mengkafirkan dan menganggap

sesat seorang sufi (Abu Abd al-Rahman al-Sulami) yang telah menulis tafsir al

Qur’an, Haqa’iq al-Tafsir, dengan pendekatan tasawuf. Al-Sulami dikafirkan

dan dianggap sesat dan pendusta antara lain oleh Ibn Shalah, Imam Abu al-

Hasan al Wahidi, Al Dzahabi, dan Ibn Taymiah (Basyuni, 1981: 1). Ibn Arabi

(Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi) yang menulis salah satu tafsir Sufi, Tafsir al

Qur’an al Karim, dikecam dan dikafirkan oleh Syeik Muhammad Abduh. Tafsir

ini dikecam dan dinisbahkan oleh Abduh kepada seorang Syiah Batiniah, Al-

Kasyani. Menurut Abduh: ‘Di dalamnya banyak sekali penyimpangan yang

terlepas darinya agama Allah dan Kitab Allah yang Mulia” (Al Husaini, 2004:

2).

Al-Husayn bin Mansyur al-Hallaj adalah seorang ahli ibadah yang

cintanya kepada Allah tidak diragukan dan sangat mabuk dalam tasawuf, diadili

dengan berbagai tuduhan yang bertentangan satu sama lain. Ia dituduh telah

mengaku sebagai Imam Mahdi, Nabi bahkan Tuhan. Ia juga dituduh pengikut

Syiah ekstrem dan menganjurkan haji ke Ka’bah yang dibuat di rumahnya

sendiri. Dalam pengadilan ia dibela oleh Ibn Atha yang dengan berani berkata

Page 167: uf5003

167

kepada Majlis Hakim, “Apa hubungannya kalian dengan peristiwa ini?

Cemaskanlah perampasan hak rakyat yang disitu kalian terlibat, pikirkanlah

perbuatan kalian menindas dan membunuhi mereka. Apa hubungannya kalian

dengan ucapan-ucapan orang yang mulia ini.”(Al Husaini: 2004, 3), Ibn Atha

lalu dipukuli sampai mati dengan sepatunya sebelum al-Hallaj dicambuk 1000

kali dan tubuhnya dibakar pada tahun 309 H.

Di dalam sejarah Islam di tanah air Indonesia, dapat dilihat bagaimana

Hamzah Fanshuri, seorang sufi dan sastrawan-pujangga Islam Melayu di Aceh,

dikafirkan dan ditindas oleh kerajaan dan ‘ulama’ kerajaan: Nurrudin Ar Raniry.

Atau Syeikh Siti Jenar di pulau Jawa, dianggap sesat dan dibunuh oleh para

ulama kerajaan di Jawa.

2. Bersikap Terbuka terhadap Tasawuf

Kelompok kedua ini meletakkan sikap penolakan terhadap tasawuf

harus dipahami dalam konteks historisnya. Lothrop Stoddard (1966: 29)

melukiskan dengan tepat, bahwa pada abad ke-13 Masehi dunia Islam jatuh ke

jurang keruntuhan yang terdalam. Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga

sehat dan di mana-mana terdapat kemacetandan pembekuan. Kerusakan budi

dan moral malah parah. Apa yang masih tinggal dari kebudayaan Arab lenyap

ditelan kemewahan yang di luar batas oleh segolongan kecil maupun besar yang

juga mengalami degradasi. Pengajaran atau pendidikanpun terhenti. Sejumlah

universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan (Stoddard, 1966: 30).

Page 168: uf5003

168

Masyarakat muslim hidup miskin dan tak diacuhkannya. Pemerintahan

Islam menjadi despotik, kadang terjadi anarkhi dan berbagai pembunuhan.

Pegawai pemerintahan yang curang memeras dan merampas rakyat habis-

habisan. Petani dan orang kota patah semangat hidupnya untuk bekerja dan

berusaha. Pertanian dan perdagangan pun jatuh dan merosot sekali. Sedangkan

agamapun membeku, ketauhidan yang diajarkan Nabi Muhammad telah

diselubungi khurafat dan paham kesufian.Masjid-masjid ditinggalkan golongan

besar awam. Golongan awam itu menghias diri dengan azimat, penangkal

penyakit, dan tasbih sambil belajar pada darwis-darwis dan menziarahi kuburan-

kuburan orang-orang yang dikeramatkan. Orang-orang awam itu tidak lagi hirau

dengan akhlak yang diajarkan Al-Quran, bahkan minum arak dan melakukan

perbuatan-perbuatan tercela. Akhlak merosot dan rusak kehormatan diri. Kota

Makkah dan Madinah tak lagi berwibawa (Stoddard, 1966: 30).

Intinya, kehidupan Islam telah lenyap, meninggalkan ritus dan tak

berjiwa, serta dilanda kemunduran yang meluas. Jadi, sejak kejatuhan Cordova

dan Baghdad itulah dunia Islam diliputi kegelapan. Itulah era kemunduran

peradaban dan kebudayaan Islam. Agama Islam kehilangan kemurniannya,

artinya para pemeluknya tidak lagi mempraktikkan Islam yang autentik (murni,

aseli) sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dan generasi Salaf al-Shalih

(generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabiin). Praktik Islam melenceng dari

sumbernya yang utama, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih

(maqbulah). Sementara itu pintu ijtihad ditututp rapat-rapat dan sebaliknya

Page 169: uf5003

169

taklid berkembang, sehingga umat Islam jatuh dalam kejumudan (statis) dan

kehilangan daya hidup serta kemajuan (Stoddard, 1966: 31).

Kehadiran pasukan Mongol ke jantung peradaban Islam di Baghdad

telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik

kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah

dan moralumat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam.

Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari

dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot

secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi

kehidupan. Dalam kondisi yang demikian itulah maka muncul gerakan untuk

memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan

sebagaimana dipelopori oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (1263-1328) untuk

memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.Tema utama pemikiran

Ibn Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah, yakni

mengajak kembali pada sumber ajaran Islam yang asli atau murni yaitu Al-Qur-

;an dan As-Sunnah. Dengan tekanan pada pemurnian akidah (tandhif al-aqidah

al-Islamiyyah), gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf, yakni

menghidupkan kembali ajaran salaf yang shalih, yaitu praktik ajaran Islam

zaman Nabi dan tiga generasi sesudahnya yakni generasi para sahabat. Jadi,

konteks pemurnian Ibn Taimiyah saat itu memang karena ada kondisi

pencemaran praktik ajaran Islam dari syirk, tahayul, bid’ah, dan khurafat

sebagai pengaruh dari kehadiran bangsa Mongol dan juga Persia yang membawa

atau menghidupkan kembali paganisme (Stoddard, 1966: 31).

Page 170: uf5003

170

Gerakan dan pemikiran pemikir Islam abad tengah ini memiliki spirit

pula dengan pemikiran Imam Ibn Hanbal, yang menghidupkan salafisme

(salafiyyah), tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah,

tetapi terbuka pada ijtihad. Namun karena Ibn Taimiyah sendiri kaya akan

pemikiran, maka warna pemurnian Islam yang dibawanya bersenyawa dengan

spirit ijtihad dan orientasi pada membangkitkan kembali kemajuan umat Islam

dari kemunduran dankejumudan. Pembaruan yang dipelopori Ibn Taimiyah

memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qayyim al-

Djauziah (1292-1350) terutama dengan tekanan pada pemurniannya, bahkan tiga

abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdil Wahhab (1703-

1787) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras,

yang dikenal pula dengan gerakan Wahhabiyah atau Wahabi.

Setelah itu, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh

sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru Jamaluddin Al-

Afghani (1838-1797), kemudian di bidang pemikiran dan pendidikan oleh

pembaru dari Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya yang lebih

keras Syekh Muhammad Rashid Ridla (1856-1935). Sedangkan pembaruan di

anak benua India ialah Sayyid Ahmad Khan (1817-1897). Dalam mata rantai

pembaruan Islam di dunia muslim pasca kejatuhan peradaban Islam itulah lahir

Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor gerakan pembaruan Islam di

Indonesia.

Pada rentang abad yang panjang itu, Islam dan umat Islam memang

mundur. Apalagi setelah kejatuhan tiga kerajaan besar yakni dinasti Ustmani di

Page 171: uf5003

171

Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India pada rentang tahun 1500-1800

Masehi, baik di Timur maupun di Barat umat Islam benar-benar jatuh ke lembah

kemunduran. Di Spanyol usai kekalahan di Andalusia umat Islam bahkan

dipaksa masuk Kristen. Sementara di jazirah Arabia, Turki, Persia, dan India

Islam mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai

praktik kemusyrikan, bid’ah, dan tahayul sebagai akibat dari semakin

menjauhnya spirit Islam dari sumbernya yang aseli serta pengaruh praktik-

praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Praktik tasawuf yang kian mekar

juga ikut memperlemah kaum muslimin kala itu, sehingga Islam kehilangan

spirit ajarannya yang dinamis. Konflik Sunni dan Syi’ah juga semakin meluas di

tengah terpuruknya dunia Islam dalam lapangan politik dan pemerintahan.

Sementara taklid semakin meluas dan pintu ijtihad ditutup rapat, sehingga umat

Islam benar-benar terpuruk dalam kejumudan dan kemunduran.

Dalam kondisi Islam yang penuh pencemaran dan kemunduran itu,

lahir gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammad Ibn Abdil Wahhab di

jazirah Arab, yang tekananya lebih pada pemurnian ajaran Islam dengan corak

gerakan yang terbilang keras. Muhammad Ibn Abdil Wahhab ingin

mengembalikan Islam pada sumbernya yang asli yaitu Al-Qur-;an dan Hadits

Nabi yang autentik sebagaimana jejak Salaf al-Shalih yang dikumandangkan Ibn

Taimiyah dan para pengikut Mazhab Ibn Hanbal sebelumnya. Dalam kaitan ini

Muhammad Ibn Abdil Wahhab boleh dikatakan sebagai pelanjut pembaruan Ibn

Taimiyah dengan tekanan pada pemurnian yang lebih praktis bahkan keras.

Artinya, gerakan untuk mengembalikan umat pada ajaran Islam yang murni

Page 172: uf5003

172

bukan sekadar mengembalikan pada dua sumber ajarannya semata yaitu Al-

Qur’an dan Sunnah Nabi, sekaligus melakukan gerakan pemberantasan terhadap

praktik-praktik syirik dan bid’ah yang meluas kala itu secara langsung dan

keras, seperti pemusnahan bangunan-bangunan kuburan yang dikeramatkan.

Ibn Taimiyah memang sering dihubungkan dengan penerus dan

pemikir yang memiliki kaitan dengan mazhab Hanbali. Pemikirannya untuk

menghidupkan kembali ajaran salaf al-shalih (tiga generasi terbaik sesudah

Nabi) yang membawa misi pemurnian akidah yang sering diklaim sebagai

golongan yang selamat (firqah najiyah) sebagaimana pesan Nabi mengenai

lahirnya berbagai golongan dalam Islam. Gerakan untuk menghidupkan ajaran

Salafiyah yang murni itulah yang membawa persentuhan Ibn Taimiyah dengan

mazhab Hanbali yang sejak awal menggelorakan salafiyah. Karena itu, hingga

batas tertentu, gerakan salafiyah bahkan memperoleh napas baru di tangan

Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah, yang menampilkan pemikiran dan gerakannya

dengan begitu cerdas dan cemerlang.

Pemikirannya selain tentang tauhid, tafsir, hadits, dan fiqih yang begitu

luas dan mendalam, juga tentang politik sebagaimana termaktub antara lain

dalam karya utamanya As-Siyasah As-Syar’iyyah. Dia sangat keras pula

menentang tasawuf, terutama yang membawa paham wihdat al-wujud atau

phanteisme. Dia juga pendobrak pintu ijtihad yang ditutup rapat kala itu. Di

sinilah Ibn Taimiyah menjadi sosok ulama dan pemikir besar yang menonjol

dalam menggelorakan gerakan kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang

dikenal pula dengan gerakan pemurnian Islam. Gerakan pemurnian Islam yang

Page 173: uf5003

173

dipelopori Ibn Taimiyah dan kemudian mengilhami gerakan-gerakan pembaruan

Islam babak berikutnya, memang dinisbatkan pada ajaran Salaf al-Shalih, yakni

ajaran Islam yang dipraktikkan dan dianut di zaman Nabi, sahabat, tabiin, dan

tabiut tabiin hingga abad ke-3 hijriyah, yang dikenal pula dengan gerakan Islam

asli (Harun Nasution, 2001: 19).

Islam asli atau murni tersebut belum tercemar oleh praktik-praktik

syirk (kemusyrikan), bidah, tahayul, dan khurafat yang dilingkungan

Muhammadiyah dikenal dengan TBC (Tahayul, Bid-;ah, dan Churafat). Ibn

Taimiyah, sebagaimana Imam Ibn Hanbal dan madzhab Hanbali, memang sosok

yang cukup keras dalam menggelorakan pemurnian Islam tersebut. Hal tersebut

karena situasi kehidupan umat Islam kala itu memang tengah berada dalam

situasi penuh krisis. Dia berada di tengah zaman ketika Islam yang autentik

banyak tercemar oleh berbagai penyimpangan, sehingga gerakan kembali pada

Al-Qur-;an dan As- Sunnah yang dikumandangkannya memang sangat

kontekstual dengan zaman kritis saat itu.

Kelompok kedua ini diwakili oleh Tabri Hasani35, Wakil Ketua PDM

Kota Semarang dan dosen di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus).

Menurutnya dalam Muhamadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal,

yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami ia

sebagai salah satu elemen utama dari tasawuf melainkan memang dzikir

diajarkan dalam Islam.

35Wawancara dengan Tabri Hasani dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di kantor Pimpinan

Daerah Muhammadiyah Kota Semarang

Page 174: uf5003

174

Prinsip-prinsip dasar gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, pada

tingkat tertentu menurut Tabri, mirip dengan Reformasi Protestan Calvinis. Oleh

karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi Islam model

Protestan, dengan argumen berikut. Pertama, baik Calvinis maupun Muslim

puritan Muhammadiyah sama-sama mengajarkan skripturalisme: bersandarkan

semata-mata pada kitab suci (Bibel dan Al Quran). Inilah doktrin sola scriptura.

“Kembali pada Kitab Suci” sama-sama dipakai dalam gerakan reformasi

Protestan dan Muhammadiyah. Calvinis sepenuhnya menyandarkan diri pada

pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sementara Muslim puritan

Muhammadiyah kembali dan bersandar pada sumber asli Islam, yakni Al-Qur’an

dan Sunnah Nabi Muhammad. Bibel dan Al-Qur’an diletakkan sebagai sumber

utama otoritas dan legitimasi. Pada posisi seperti inilah menurut Tabri, tasawuf

tidak bergitu dilihat secara total karena telah tercampur dengan doktrin-doktrin

selain Qur’an dan Sunnah.

Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan “Kembali pada Kitab Suci”,

baik Calvinis maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. “Para

Calvinis,” kata Weber (2005: 68), “ingin selamat melalui pembenaran hanya

dengan Iman”. Inilah doktrin sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan

dan Calvinis. Absennya perantara keagamaan ini dapat disimak pada

minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan

penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan korup. Muslim puritan

Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak ada sistem

perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah. Muslim

Page 175: uf5003

175

puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa

yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di

dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik,

maka karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam

dari unsur magis dan aspek sinkretik lainnya. Pada posisi seperti ini konsep

tawassul, asketik, mursyid yang akrab dalam dunia tasawuf menjadi sesuatu

yang asing bagi Muhhamdiyah.

Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang

diteoritisasikan Weber sebagai “disenchantment of the world”. Menurut Weber,

proses ini dimulai dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran

dan gerakan ilmiah Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik

Calvinis dengan menolak semua piranti magis dalam pencarian keselamatan.

Kebangkitan Muslim puritan Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons

langsung terhadap takhayul, bid’ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini

adalah nonrasional, dan, mengikuti tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik

Islam puritan dan konsepsi keduniaan. Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua

hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam dan demistifikasi konsepsi keduniaan

dengan mendasarkan diri pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di

dunia modern. Imbas dari pemahaman ini adalah penolakan terhadap unsure-

unsur karomah, kewalian dan hal-hal yang berbau mistis dalam tasawuf.

Keempat, sebagai konsekuensi atas konsep “disenchantment of the

world”, Muslim puritan mirip Calvinis dalam hal rasionalisasi. Muslim puritan

merasionalisasikan doktrin keislaman melalui purifikasi iman dari unsur mistik

Page 176: uf5003

176

dan Islam-Jawa-Hindu. Sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlîd, dipandang

sebagai sumber konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Taklid harus diganti

dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihâd). Spirit rasional ini

diyakini sebagai sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern

Senada dengan Tabri Hasani adalah apa yang diungkapkan oleh Hasan

Rifai36, Wakil Ketua PDM Kota Semarang dan dosen di Unimus. Menurutnya

dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh

Rosulullah, sehingga tidak dikenal dzikir yang diucapkan sebanyak 99 kali, 4444

kali, 1000 kali atau sebagainya. Perintah untuk memperbanyak dzikir memang

ada dalam Islam dengan maksud untuk lebih memahami suatu amal perbuatan

ibadah tertentu tetapi secara khusus penyebutan angka tidak ada.

Agama dalam pandangan Muhammadiyah menurut Tabri, bukan hanya

masalah ritual semata, juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana

sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat

multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati

peralatan ilmu untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra

Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai gerakan

Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan sebagai

gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai

gerakan pembaruan Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia

sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, sekitar satu abad

yang silam. Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat

36Wawancara dengan Hasan Rifai dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan

Daerah Muhammadiyah Kota Semarang

Page 177: uf5003

177

dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang

tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis

Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat “radlitu bi Allah rabba wa bil

al-Islami dina wa bi Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa

rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok

pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2)

Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi

(Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan Mengampuni.

Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap

”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus

Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental

mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah,

yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah;

(2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam

dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan

ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan

menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai

ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah

perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan

perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Menurut Rozihan37, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah, dzikir memang

dipraktekkan dalam Muhammadiyah dan semakin banyak, semakin bagus.

37Wawancara dengan Rozihan dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan

Daerah Muhammadiyah Kota Semarang

Page 178: uf5003

178

Terkait dengan jumlah dzikir yang harus dibatasi, sekian dan sekian, 99 kali,

4444 kali, 1000 kali atau sebagainya serta apabila tidak sesuai dengan jumlah

yang telah ditentukan baik itu kurang atau kelebihan maka tidak maqbul, ini

yang tidak diterima dalam Muhammadiyah. Apalagi jika harus dipahami 99 kali,

4444 kali, 1000 kali atau sebagainya itu sebagai anak kunci yang apabila tidak

pas maka tidak dapat digunakan untuk membuka, ini dinilai oleh Rozihan

sebagai sesuatu yang tidak berdasar.

Pernyataan di atas juga didukung oleh Tafsir, Sekretaris PWM Jawa

Tengah dan dosen IAIN Walisongo Semarang dan Saifudin Waspada, wakil

ketua PWM Jawa Tengah. Menurut keduanya tasawuf secara formal memang

tidak diterima dalam Islam, tetapi Muhammadiyah mengamalkan apa yang oleh

HAMKA disebut sebagai Tasawuf Modern. Terkait dengan dzikir, tafsir

mengatakan hal tersebut dapat dilakukan dalam bentuk ucapan yang dalam

aplikasinya diserahkan menurut pribadi masing-masing dan dalam bentuk

perbuatan yang dalam Muhammadiyah disebut dengan amal usaha baik

berbentuk pembangunan Perguruan Tinggi, rumah sakit dan lain sebagainya.

Dari sinilah menurut Tafsir, ada kesan Muhammadiyah mengalami kegersangan

bacaan-bacaan dzikir tetapi sesungguhnya Yasinan, Tahlilan itu ada dalam

Muhammadiyah yang ditolak hanyalah tawasul dan khadroh. Hal ini

dikarenakan dalam Muhammadiyah tawasul tidak melalui orang perorang

melainkan melalui amal berbuatan.

Kelompok kedua ini, secara mendasar meski tidak mengharamkan tasawuf, mereka masih meragukan

keaslian dan kemurnian Islam dalam Tashawuf. Akibatnya mereka masih ragu-ragu untuk mengikuti dan

Page 179: uf5003

179

mempromosikannya. Dan menganggapnya hanyalah sebagai urusan pribadi masing-masing orang dalam berhubungan

dengan Tuhan Pencipta-nya.

3. Akomodatif terhadap Tasawuf

Kelompok ini diwakili oleh Ahmad Rifai, Kepala Divisi Kajian

Majalah cermin PWM. Jawa Tengah dan dosen di Akademi Ilmu Statistik (AIS)

Muhammadiyah Semarang38. Menurutnya tasawuf tidak sering ditemui di dalam

Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk

terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati

suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam

istilah Amin Abdullah. Menurut Rifai istilah Irfan – sebagaimana istilah

ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara

literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan

tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (empirisme &

eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan

melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut

digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna

penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional

(misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan

(teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui

latihan-latihan (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair

wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik

Sufisme/Tashawwuf).

38 Wawancara dengan Ahmad Rifai dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2008 di SMK.

Muhammadiyah Semarang.

Page 180: uf5003

180

Penolakan terhadap TBC, menurut Rifai muncul jauh setelah era Ahmad Dahlan karena memang tidak

mendapat rujukan otentik dalam Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, tasawuf secara formal tidak ada didalam Islam, tetapi

landasan dasar segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang haruslah diorientasikan pada rihdo Allah dan selalu dalam

pengamatan Allah yang dalam aplikasinya menuju arah individualisasi spiritualistis.

Menurut Rifai, “tasawuf” akan menjadi positif, bahkan sangat positif ketika tasawuf dilaksanakan dalam

bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh al-

Qur’an dan as-Sunnah; mana yang diwajibkan dan dihalalkan, dikerjakan dan mana yang haram dikerjakan ditinggalkan.

Sementara itu wajah peribadahan hendaknya berkolerasi antara ibadah yang “hablun minallah” (ibadah murni) dengan

ibadah yang “hablun minannas” (ibadah sosial nyata). Selain itu, tasawuf hendaknya juga dilaksanakan dalam bentuk

kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan

umat Islam” agar kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas yang dengan demikian

kalau umat Islam ingin berkorban maka ada hal atau barang yang akan dikorbankan, kalau ingin mengeluarkan zakat

maka ada kekayaan yang akan diberikan kepada orang yang berhak dan sebagainya. Untuk itu, bukan tradisi pandangan

tarekat yang cenderung membenci dunia yang patut diangkat kembali, melainkan roh asli “tasawuf” yang semula

bermaksud untuk zuhud terhadap dunia, yaitu sikap hidup agar hati tidak “dikuasai” oleh keduniawian. Intinya tasawuf

akan memiliki efek negatif bila dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam

yang terumus dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Selain itu, tasawuf dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan

terhadap pandangan bahwa “dunia ini harus dibenci”.

Dalam posisi ini dia merujuk pada pendapat Hamka (1996: 38). Dengan memperhatikan rincian

kemungkinan-kemungkinan tasawuf menjadi negatif atau positif di atas, Hamka menyimpulkan bahwa tasawuf yang

bermuatan zuhud yang benar, dilaksanakan lewat peribadahan dan I’tiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media

pendidikan moral yang efektif. Dari kesimpulan tersebut, Hamka lalu menawarkan pendapatnya, yaitu bahwa tasawuf

yang patut diintroduksi dan diamalkan “jaman modern” adalah tasawuf yang memenuhi ciri berikut :

a. Bermuatan memahami, menyadari dan menghayati zuhud yang tepat seperti

yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw yang cukup sederhana pengertiannya,

yaitu memegang sikap hidup di mana hati tidak berhasil “dikuasai’ oleh

keduniawian.

b. Sikap hidup zuhud tersebut diambil dari hasil pemahaman terhadap makna

dibalik kewajiban peribadahan yang diajarkan resmi dari agama Islam,

karena dari peribadahan itu dapat diambil makna metaforiknya, yang tentu

saja peribadahan yang berlandaskan I’tiqad yang benar.

Page 181: uf5003

181

c. Sikap zuhud yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaan sosial

yang tinggi dalam arti mampu menyumbang kegiatan pemberdayaan umat

(social empowering), seperti bergairah mengeluarkan zakat dan infaq

sebergairah menerima keuntungan dalam kerja dan sebagainya (Hamka,

1996: vii).

Oleh sebab itu Muhammadiyah memandang perlu untuk normalisasi konsep zuhud. Bagi kebanyakan orang,

ketika disebut kata zuhud, biasanya langsung terbayang dalam pikiran kita sikap anti dunia, menjauhkan diri dari

kemewahan duniawi, dan benci terhadap segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Jadi, zuhud ialah meninggalkan dunia

dan benci kepada dunia, karena dipandang jelek dan penipu. Akan tetapi, mampukah kita hidup terpisah dari dunia yang

masih kita perlukan? Apakah memisahkan diri dari masyarakat ramai bukan sesuatu yang melanggar agama dan tabiat

sendiri?. Dibalik itu, menurut Rifai, akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain, bukankah kita masih hidup di dunia

dan butuh makan, minum, tempat tinggal dan sebagainya. Bukankah kita masih perlu istri dan anak-anak?. Bukankah

kita masih perlu perhatian dari orang sekitar kita?. Itulah sederetan pertanyaan yang muncul ketika kata zuhud diangkat

kepermukaan. Lalu kalau demikian, akan muncul lagi pertanyaan berikutnya apakah zuhud itu bukan bersumber dari

ajaran Islam? Bukankah ajaran Islam menawarkan prinsip keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat? Apakah

mencari harta secara halal bertentangan dengan ajaran Islam? Dibalik pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan muncul lagi

sederetan pertanyaan lain yang sehubungan dengan itu. Untuk membendung munculnya pertanyaan baru lagi, Rifai,

memulai pembahasan ini dengan melihat posisi dunia bagi kehidupan manusia.

Dunia yang diciptakan Allah sebagai tempat untuk manusia hidup dan berketurunan telah dilengkapi dengan

berbagai perhiasan dan sarana kehidupan dalam wujud berbagai potensi alam yang dapat diolah dan dikelola menjadi

benda-benda berhargam sehingga disebut harta benda. Selain itu, Allah telah menjadikan manusia berpasang-pasangan,

sehingga dengan itu ia dapat menjalin tali pernikahan yang nantinya akan melahirkan anak-anak. Semua itu adalah

perhiasan bagi kehidupan. Allah berfirman, “Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia”, (QS.Al-Kahfi

: 46). Tanpa harta dan anak-anak dunia terasa sunyi dan hampa. Hidup tanpa harta laksana sebuah rumah besar tanpa

perhiasan, terasa tidak indah dan kosong. Rumah tanpa tangis dan tawa canda anak-anak serasa kuburan yang sepi dan

menakutkan. Akan tetapi kebanyakan anak dapat pula membuat pusing kepala. Sebenarnya dunia diperlukan tapi

menumpahkan cinta dan perhatian semata-mata kepada dunia, itulah yang tercela. Jadi, dunia tidak harus dibenci yang

dibenci ialah mempasrahkan hidup hanya semata-mata dunia. Pada posisi ini Rifai merujuk pada pendapat Yunasril Ali

(2002: 69).

Suatu ketika, seorang laki-laki menemui Ali ibn Abi Thalib. Lelaki itu mencela dunia, ia berkata bahwa dunia telah memperdaya dirinya,

Page 182: uf5003

182

merusak, menipu, dan berbuat jahat kepadanya. Lelaki tersebut pernah mendengar orang-orang besar mencela dunia, lalu mengira bahwa yang mereka cela adalah realias alam, sehingga alam ini benar-benar dipandangnya jelek. Lelaki yang lalai itu tidak tahu bhawa yang tercela ialah penyembahan dunia, pandangan picik terhadap dunia dan kesenangan-kesenanagan rendah yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan kebahagiaannya. Ali menjawab, “Sesungguhnya engkaulah yang tertipu oleh dunia, padahal dunia tidak menipumu. Engkaulah yang menganiaya dunia, bukan dunia yang menganiayamu”. Hingga beliau berkata, “Dunia adalah sahabat bagi yang berjalan bersamanya dengan cara bersahabat, ia adalah sumber kesembuhan bagi yang mengetahui hakikatnya. Dunia adalah tempat ibadah bagi para pecinta Allah, tempat salat para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu Allah, dan tempat berniaga para wali Allah.” Ali juga menuturkan tentang orang-orang zuhud: “Kamu min ahl al-dunya wa kaysu min ahliha : Mereka hidup didunia, tetapi tidak mendunia” (Ali, 2002: 83).

Kecintaan kepada dunia tidak dilarang jika hanya sebatas kecintaan fitri yang memang telah ditanamkan

Allah dalam setiap diri manusia. Allah berfirman : Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintan kepada apa-apa

yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak darijenis emas, dan perak, kuda pilihan, binatang-

binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik.

(QS.Al-Imran: 14). Ayat ini, menyebutkan benda-benda yang menjadi kecintaan manusia, wanita, anak, uang, emas dan

perak, kuda-kuda pilihan yang melambangkan kewibawaan, binatang ternak dan sawah ladang. Cinta kepada wanita,

anak-anak, dan harta benda adalah bersifat fitri, dan segala yang bersifat fitri tidaklah tercela. Yang tercela ialah apabila

hati tertembat dan disibukkan oleh benda-benda duniawi itu, merasa rida dan cukup terhadapnya, serta lalai dan

melupakan sesuatu yang dibalik itu, yaitu Tuhan dan akhirat. Apabila hati telah tertembat kepada dunia, maka segenap

aktivitas dan pikiran yang tertuju kepadanya, sehingga lupa kehidupan akhirat yang abadi. Jadi yang dilarang bukan

mencintai dunia secara wajar, yang merupakan firah manusia, tetapi yang tidak baik ialah tertambat hati kepada dunia,

sehingga lalai dan lupa terhadap Tuhan dan akhirat, seakan-akan dunia adalah tujuan akhir kehidupan.

Cinta damai adalah fitrah manusia, oleh sebab itu tidak ada seorang manusiapun yang tidak menukai wanita,

anak-anak, harrta, jabatan dan sebagainya. Seandainya ada orang yang tidak suka itu semua, niscaya dia akan

ditanggalkan oleh anak, istri, dan orang-orang sekitarnya, dan bahkan anak dan istri akan memandangnya sebagai orang

lain dalam kehidupan mereka. Seandainya Nabi Ibrahim bersedia mengurbankan anaknya, tanpa perasaan cinta seorang

ayah terhadap anaknya, maka kesediaannya mengurbankan anaknya tidaklah dihitung sebagai suatu kelebihan.

Pengurbanan itu menjadi berarti karena adanaya rasa cinta yang mendalam Ibrahim As kepada anaknya. Kalau kecintaan

itu tidak ada, tentu berkurban anak akan sama dengan berkurban kambing. Dari itu, kecintaan kepada harta, anak, dan

wanita adalah wajar dan normal, sejauh tidak membuat kita lu[a kepada Allah dan hari akhirat Allah mengisyaratkan :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dilalaikan oleh harta benda dan anak-anakmu dari mengingat

Allah. Barangsiapa berbuat demikan, mereka itulah orang-orang yang merugi”.(QS. Al-Munafiqin : 9)

Page 183: uf5003

183

Kecintaan berlebihan kepada dunia membuat orang lupa kepada Allah dan kehidupan akhirat. Laksana

seseorang yang meminum air asin, semakin banyak diminum semakin terasa dahaga. Senang terhadap dunia, senang

terhadap wanita, anak, harta, dan kekakayaan, kedudukan, serta kekuasaan adalah sunnatullah. Hal itu menurut Rifai,

merupakan sarana berputarnya roda kehidupan didunia ini. Seandainya kecenderungan dan semangat yang seperti itu

tidak ada di dalam diri setiap orang, niscaya etos kerja akan menghilang. Dengan demikian, gerak kehidupan akan

berhenti total dan kesempurnaan hidup manusia tidak aka tercapai. Kecintaan terhadap dunia semata bukan

menyebabkan kemandekan dan bahan kehancuran. Banyak bencana kemanusiaan timbul akibat kerakusan manusia.

Banyak pula keonaran mencuat akibat pemujaan perut, pemujaan wanita, harta dan kedudukan. Seluruh akhlak bejat dan

perilaku rendah, seperti berbohong, menjilat, dan berbuat semena-mena, bersumber dari penghambaan diri terhadap

dunia. Allah mengancam orang yang hanya mempasrahkan kehidupannya untuk dunia, “Sesungguhnya orang-orang

yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram

dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di nereka, disebabkan

apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS Yunus : 7-8)

Sikap zuhud dalam hal ini berarti melihat dunia hanya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan abadi di

akhirat. Dunia bukan tujuan hidup, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan hidup ialah Tuhan dan

ridhaNya. Seorang zahid bukan pribadi yang lemah dan bertekuk lutut di depan para penyembah dunia dan

mengharapkan sisa-sisa makanan mereka. Zahid sejati adalah pribadi yang memiliki wibawa yang tinggi tidak

dipermainkan oleh dunia, tidak merasa takut berpisah dengan dunia, kendati akan habis segala yang ada ditangannya.

Allah berfirman, “Agar kamu tidak terlalu bersedih terhadap yang telah hilang dan tidak terlalu gembira terhadap yang

datang’. (QS.Al-Hadid : 23).

Sikap zuhud mengarahkan manusia untuk melihat dunia sebagai lembah yang luas dan lapang. Tidak takut

menghadapi bahaya, tidak gentar menghadapi bencana. Bersyukur ketika mendapat karunia dan tidak lupa daratan.

Bersabar ketika ditimpa musibah dan tidak berputus asa. Manusia adalah hamba Allah, bukan hamba dunia. Zuhud tidak

akan meninggalkan dunia, karena dunia diperlukan. Namun dunia bukan tujuan hidupnya. Allah berirman : “Dan carilah

pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan kamu melupakan

kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi da berbuat baiklah kamu (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah

berbuat baik kepadamu (QS.Al-Qashash : 77). Dengan zuhud, nilai dunia yang bersifat sementara berubah menjadi

bernilai abadi yang melampaui ruang, waktu sebagai sarana untuk meraih ridha Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh

Nabi, “Dunia adalah ladang untuk akhirat”. Di dunia kita menyemai dan menanam, didunia kita akan memetik hasilnya.

Senada dengan Rifai adalah apa yang diungkapkan oleh Rahmad Suprapto dari devisi kajian Majalah Cermin

PWM. Jawa Tengah39. Menurutnya tasawuf dalam Muhammadiyah adalah “Spiritualitas yang Syariahistik” yang

terlembaga dalam konsep “akhlak, ikhsan dan irfan”. Penolakan tasawuf dalam Muhammadiyah selain karena tidak

39Wawancara dengan Rahmad Suprapto dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2008 di

Ruang Redaksi Majalah Cermin PWM. Jawa Tengah

Page 184: uf5003

184

mendapat legalitas dalam Qur’an dan Sunnah juga karena adanya asketisme dalam kelompok-kelompok tertentu dalam

tasawuf. Menurutnya tasawuf dalam muhammadiyah adalah tasawuf modern HAMKA yang lebih subtantif.

Salah satu contoh tasawuf modern yang subtantif sebagaimana dipahami dalam muhammadiyah bisa

ditemukan dalam bentuk pemaknaan ulang konsep sabar, dia mengutip sebuah ayat:

Sesungguhnya Kami memberikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya kami kembali. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Qs al-Baqarah : 155-157).

Menurut Suprapto, ketakutan, krisis pangan dan ekonomi, kematian orang yang disayangi dan berbagai

musibah yang lain merupakan hal-hal yang terasa berat dan menyedihkan, tetapi tak dapat dielakkan kedatangannya.

Segenap manusia yang berpikiran waras merasakan pahit dan getirnya bencana itu, namun dia harus menghadapinya. Di

sini datang perintah Tuhan, agar segalanya itu dihadapinya dengan sabar (Al-Baqarah : 153). Kesabaran yang harus

dilakukan dengan rasa yang sangat berat ini disebut tashabbur, yaitu berupaya menahan hati, kendari kepedihan,

kesedihan dan penderitaan tetap dirasakan. Menurut kaum sufi inilah kesabaran peringkat paling bawah (Ali, 2003: 75).

Untuk mempertegas kajian sabar ini Suprapto menceritakan sebuah kisah yang intinya: Pada masa Nabi masih

hidup seorang sahabat menghadap beliau sembari berkata “Ya rasulullah, saya mendapat musiba besar. Anak saya satu-

satunya yang bernama Salim ditawan musuh. Ibunya senantiasa menangis hingga sakit. Saya tidak punya uang untuk

membebaskan anak saya itu. Apa kiranya yang harus saya lakukan ya Rasulullah. Sejenak Nabi berpikir, lalu berkata,

“Tabahkanlah hatimu serta perbanyak menyebut: La hawla wa la quwwata illa bi Allah al-Aliyya al-Azhim (Tidak ada

daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung) bersama istrimu!”. Pesan

tersebut disampaikannya kepada istrinya dan mendapat sambutan penuh harapan. Sang istri berkata, “Pastilah tepat pesan

Nabi itu!”. Karena itu mereka berdua senantiasa bersabar sambil berpasra diri dengan mengucapkan apa yang diajarkan

Nabi Saw tersebut. Lalu, tak lama kemudian sahabat tadi datang lagi kepada Nabi dengan membawa anaknya yang baru

lolos dari tawanan musuh. Nabi berkata kepada Salim, Ceritakanlah usahamu sehingga dapat lolos dari tawanan

musuhmu!”. Ya Rasulullah, pertama saya ditawan dengan penjagaan yang sangat ketat, saya ditawan dan disekap tetapi

saya senantiasa bepenampilan baik, jujur, setia dan tidak menampakkan sikap benci. Lama kelamaan saya dipercaya dan

dianggap sebagai teman sejati sembari diperlakukan sebagai keluarga sendiri. Saya disuruh mengembala kambing dan

onta, tanpa ada rasa curiga. Pada saat-saat itulah saya mengatur rencana pembebasan diri saya. Pada suatu hari, mereka

mengadakan pesta perkawinan dengan keramaian, tari-tarian dan tabuh-tabuhan, makan dan mabuk-mabukan. Ketika

mereka sudah tidak sadar, maka segera saya ambil seekor onta yang terbaik dan tercepat larinya serta menggiring

sebanyak mungkin kambing-kambing yang biasa saya gembalakan sebagai hadiah untuk orang tuaku”. Demikianlah

cerita Salim kepada Nabi. “Ya Rasulullah sungguh Salim ini menjadikan kami makmur”, tukas ayah salim penuh

kegirangan. Hal demikian tidak lain adalah karena upaya untuk bersabar ketiak ditimpa musibah, menahan emosi serta

senantiasa berharap akan pertolongan Allah (Ali, 2003: 75-77).

Page 185: uf5003

185

Sabar peringkat pertama dapat ditingkatkan dengan memikirkan secara mendalam bahwa mansuia adalah

makhluk yang memiliki derita yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, sebagai tertera dalam ungkapan Allah:

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan kesusahan”.(Qs Al-balad ; 4) Jadi penderitaan

adalah standar insaniah dan sumber nilai-niai insani, akan tetapi kita sering salah dalam menanggapi suatu penderitaan

yang kita rasakan. Kita anggap kesulitan sebagai sesuatu yang buruk, misalnya kita ditimpa sakit kepala, rasa sakit itu

kita dapat mengobati suber penyakit. Nah, kalau tanpa rasa sakit tentu kita akan membiarkan bakteri atau virus

berkembang di dalam tubuh kita, sehingga membahayakan diri kita.

Jadi rasa sakit itu ibarat petugas yang memberitahukan kepada kita bahwa di dalam tubuh kita ada bahaya

yang harus segera kita atasi. Oleh sebab itu dapat kita simpulkan orang yang lebih banyak merasakan derita berarti sadar

dan lebih tahu keadaan dirinya. Dengan demikian, penderitaan dan kepedihan dalam hidup akan kita rasakan sebagai hal

yang wajar dan biasa. Menurut kaum sufi, inilah sabar peringkat kedua dan inilah sabar yang sebenarnya. Disini sabar

bukan lagi sebagai hal yang dipaksakan, tetapi telah menjadi tabiat, sehingga kapan dan dimanapun kita akan

menghadapinya sebagai hal biasa yang wajar.

Lebih jauh, menurutnya dengan semakin banyaknya cobaan, niscaya kita akan semakin dewasa dalam

menghadapinya dan pada tahap tertentu kita memandang penderitaan itu tidak lagi sebagai bencana atau musibah.,

melainkan sebagai wujud kasih dan cinta Tuhan sebagai disebutkan dalam hadis : “Sesungguhnya apabila Allah

mencintai seseorang hamba, maka Dia tenggelamkan hamba itu ke dalam cobaan”. (HR .al-Thabrani) (Ali, 2003: 79).

Tak ubahnya seperti pelatih panjat tebing, ia akan mendorong orang yang dilatihnya untuk dapat naik memanjat tebing,

sekalipun orang yang dilatihnya itu harus mendeita jatuh sekali-kali, sebab, dia tahu benar bahwa kendati ratusan buku

dan teori yang dipelajari sang pemanjat tebing untuk mengetahui cara memanjat yang baik dan benar, dia tidak akan

pernah bisa memanjat selama hanya membaca buku dan mempelajari teori. Dia harus berlatih dengan tali temali dan

tebing terjal, dan dalam latihan itu harus berani, smapai-sampai harus menghadapi maut sekalipun. Karena dengan itulah

dia akan dapat menjadi pemanjat ulung. Semakin banyak berlatih, niscaya akan semakin terampil memanjat.

Demikian pula dengan cobaan-cobaan Allah yang ditimpahkan kepada kita, tidak lain adalah sebagai wujud

kaih sayangNya. Dia ingin menyempurnakan jiwa hambaNya, sehingga memiliki ruhani yang benar-benar

berkualitas.kehidupan manusia di dunia bukan berakhir dengan kebahagiaan, tetapi pada kesempurnaan dan kematangan

ruhani, maka dalam kehidupan duniawinya tidak pernah merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan sejati hanya ada di

akhirat kelak, kebahagiaan duniawi hanya ada dalam batas khayal, yang dapat dicapai oleh manusia ialah kesempurnaan

ruhani. Ketika derita itu kita rasakan sebagai wujud kasih sayang Tuhan, kita tidak lagi menerimanya sebagai sesuatu

yang menyusahkan dan menyakitkan, melainkan dengan rasa lega dan lapang dada. Kita percaya bahwa inilah kasih

sayang Tuhan yang dikaruniakan-Nya kepada kita. Kesabaran ditingkat ini disebut ishthibar. Allah berfirman, “Maka

mengabdilah kepada Dia (Allah) dan ishthibar-lah dalam beribadat kepadaNya”.(QS. Maryam : 65)

Alam semesta diciptakan Tuhan dengan sistem universal, yang disebut sunnatullah. Satu sama lain saling

berkorelasi sehingga membentuk satu tatanan hukum yang utuh dan harmonis. Tidak ada satu yang kurang dari sistem

universal itu, karena ia dirancang dan diciptakan oleh pencipta Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Apabila kita

Page 186: uf5003

186

melihat alam ini secara utuh dan menyeluruh, maka yang ada dihadapan kita tidak lain hanyalah menerima apa adanya

demi terealisasinya sistem dan kesimbangan umum. Bertolak dari asumsi demikian, maka adanya tinggi dan rendah,

terang dan gelap, kesengsaraan dan kesenangan, kegagalan dan kesuksesan semua merupakan keharusan karena semua

itu berada dalam ruang lingkup sistem universal itu. Jika satu diantaranya tidak ada, maka yang lain tidak akan

bermakna. Tinggi tidak ada maknanya tanpa ada yang rendah, jika saja segenap manusia diciptakan dengan postur tubuh

yang sama bentuk wajah serta warna kulit sama pula, maka kita tidak akan kenal arti tampan dan buruk rupa, kesadaran

tentang makna ketampanan itu terkait dengan kejelekan dan perbandingan keduanya.

Akan tetapi, pandangan umum yang jernih itu sering tertutup oleh pandangan individual yang subjektif,

sehingga kita sulit menerima kenyataan. Oleh sebab itu menurutnya perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya kemalangan,

kesedihan, kepahitan hidup merupakan pendahulu bagi terwujudnya sesuatu yang membahagiakan. Sebenarnya di relung

kepahitan terdapat kemanisan, di relung jeruk muda yang asam tersimpan kemanisan, tetapi kita tidak tahu dan tidak

merasakannya. Baru setelah jeruk itu matang dan rasa asam menyusut tampillah rasa manis ketika kita katakan bahwa

jeruk itu manis. Dalam relung bencana yang menimpa sebenarnya tersimpan kebahagiaan, tetapi kita tidak

mengetahuinya. Allah berfirman, “Dan boleh jadi kamu memberi sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi

pula kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Dan Allah mengetahui tetapi kamu tidak

mengetahui”.(QS.al-Baqarah: 216)

Tidak ada yang tahu bahwa dalam relung malam yang gelap terdapat siang yang terang-benderang direlung

kesulitan terdapat kemudahan relung kebencian tersembunyi kecintan. Ketika seseorang ayah sangat mencintai anaknya,

ia memanjakan anak itu secara berlebihan. Lalu tak lama kemudian perangai anak itu berubah menjadi bandel, sehingga

relung kebencian tersembunyi kecintaan. Akan tetapi, jangan kira kebandelan senantiasa buruk, ketika seorang ibu

berhadapan dengan anak yang bandel, sehingga menumbuhkan rasa benci kepada sang anak, dia tidak mengira bahwa di

balik kebandelan itu tersembunyi keluhuran budi. upaya orang tua ialah mengenyahkan sifat bandel dengan mendidik si

anak, bukan memanjakannya, sehingga akan muncul sifat-sifat mulianya. Allah mengisyaratkan dalam Kitab Suci,

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.(QS.al-

Insyirah : 4-5), (Ali : 2003, 84). Kesulitan dan bencana merupakan keharusan bagi kesempurnaan manusia. Seandainya

cobaan dan penderitaan itu tidak ada niscaya tidak akan ada pula apa yang disebut manusia. Sebab penderitaan dan

kebahagiaan adalah milik manusia, bukan milik mahkluk lain. Al-Qur’an menyebutkan, “Dia (Allah) yang menciptakan

mati dan hidup untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya”. (QS.al-Mulk : 2). Dunia

adalah sekolah kehidupan, sedangkan hidup dan mati, senang dan susah, bahagia dan sengsara adalah ujian bagi manusia,

sehingga daat ditentukan mana diantara mereka yang paling baik kualitas amalnya. Tengelam dalam kenikmatan hidup

dan jauh dari kesulitan akan mendatangkan kemanjaan dan kelemahan ruhani, tetapi sebaliknya kehidupan yang

senantiasa dirundung kepedihan dan kesulitan niscaya akan melahirkan manusia yang kuat dan kokoh serta mampu

mengatasi tantangan yang lebih besar lagi.

Page 187: uf5003

187

Menurut Arif Rahman40, alumni al Azhar dan Pascasarjana UIN Jakarta dan Ketua Majelis Tabliq PDM

Semarang, secara umum mengatakan tasawuf tidak dikenal dalam Muhammadiyah, karena organisasi ini lebih bercorak

Wahabi dan merujuk pada Ibn Taimiyah, tetapi konsep akhlak, tazkiyatun nafs dan dzikir ada dalam Muhammadiyah

meskipun secara jama’I ketiga hal itu tidak pernah dilakukan, sehingga bentuk formalnya ada tetapi secara substansi ada.

Imbasnya menurutnya adalah keringnya spiritualitas dalam Muhammadiyah yang berimbas pada minimnya berkah dan

Muhammadiyah tidak mengenal konsep ini menurutnya.

Hal lain yang menarik dari Arif Rahman ini adalah ungkapannya yang secara pribadi respek dan akomodatif

terhadap konsep mursyid dalam tarekat yang dipahaminya sebagai guru. Dia menjelaskan penjelasan tambahan terkait

dengan mursyid ini melalui perumpamaan seseorang yang belajar membaca al-Qur’an. Secara sendiripun bisa tetapi

kalau mau fasih harus melalui guru.tetapi musyid sebagai perantara kepada Tuhan dia tidak setuju. Imbas dari ditolaknya

konsep mursyid dalam Muhamadiyah memunculkan sikap tidak adanya ta’dzim kepada guru. Dia juga setuju dengan

fenomena “sufi kota”, “tasawuf positif”, “sufi tanpa tarekat” atau sejenisnya.

Dia juga menilai positif dan apreseasif kiat-kiat sufiah yang dipahami secara positif seperti:

1. Bertaubat: siapapun dan kapanpun, seorang harus melakukannya, karena taubat adalah modal dasar baginya,

manfaatnya juga untuk dirinya (QS. Huud [11]:3). Guna menjaga kelestarian taubatnya, ada beberapa hal yang perlu

dilakukan terus menerus: Muuhasabah, Ibnu Muhammad Syatha mengajak: “Ikutilah taubatmu dengan muhasabah,

yang akan mencegahmu dari sikap meremehkan dan mengulangi dosa.” (ii) Menjaga tujuh anggota badan (mata,

lisan, telinga, perut, tangan, kaki dan kemaluan) dari kerja mereka yang dapat mendorong kepada maksiyat dan dosa-

dosa. (iii) Tekun beribadah, ibaratnya, taubat adalah pondasi dan ibadah adalah bangunan diatasnya. Keinginan

setiap orang tentu pondasi harus kuat dan bangunan juga harus seindah mungkin.

2. Qana’ah, yakni perasaan rela menerima pemberian yang sedikit. Maka dia tidak pernah rakus ataupun tamak dalam

kehidupannya. Yang menyebabkan berhasilnya qana’ah, dalam mencari ‘hidup akhirat’ rela meninggalkan sesuatu

yang amat menarik dan membanggakannya dari duniawi.

3. Zuhd al-dunya, artinya aslinya adalah menentang keinginan atau kesenangan. Makna Zuhd adalah berpaling dari

mencintai dunia manuju cinta Ilahi. Maka yang perlu dilakukan zahid (orang yang zuhd) adalah menghilangkan rasa

cinta dunia dari dalam hatinya, tapi tak perlu menghilangkan dunianya, karena jika hati dipenuhi oleh duniawi, akan

susah untuk ‘memasukkan’ Allah ke dalam hatinya.

4. Mempelajari syari’at guna meningkatkan kualitas takwanya. Secara garis besar ada 3 kandungan syari’at Islam yakni

ibadah, aqidah dan akhlaq. Ketiganya merupakan serangkaian amalan lahir dan batin sebagai bukti kesempurnaan

iman seseorang.

5. Memelihara sunnah-sunnah Nabi, baik dalam pengertian melaksanakan amalan/ibadah sunat maupun mencontoh

adab (budi pekerti) Nabi.

40Wawancara dengan Arif Rahman dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008 di kantor Pimpinan

Daerah Muhammadiyah Kota Semarang.

Page 188: uf5003

188

6. Tawakkal, arti bahasanya adalah penyerahan dan penyandaran. Maka makna tawakkal adalah menyandarkan hati dan

segala urusan hidupnya sepenuhnya hanya kepada Yang Maha Mewakili, Allah SWT. (QS. Ali Imran :159)

7. Ikhlash semata-mata karena Allah, merupakan dasar gerakan hati dan sebagai pusat seluruh ibadah. (QS. al-

Bayyinah : 5). Maka yang harus kita hindari adalah riya, sum’ah, ujub, (bangga diri), dan takabur (sombong).

8. ‘Uzlah, yakni menyendiri dari kehidupan sesama manusia. Memang ada yang memahaminya secara fisik (misalnya

Imam Ghazali pernah melakukannya), tetapi sebenarnya yang lebih utama adalah tetap al-julus (berdampingan) dan

bergaul dengan masyarakat namun bersikap ‘uzlah dalam menjaga dirinya. Maka untuk itu dibutuhkan kesabaran,

ketabahan, kebesaran jiwa, kedewasaan, dan tetap tanggap akan kebutuhan sosialnya.

9. Memperbanyak wirid dan dzikir, baik dengan hati, lisan, sikap maupun perbuatannya.

Istilah-istilah “sufi kota”, “tasawuf positif”, “sufi tanpa tarekat” atau sejenisnya ini menurut Wahyudi, Wakil

Ketua PDM Semarang dan dosen IAIN Walisongo Semarang, sebagai hal yang positif yang menurutnya adalah sebagai

kreatifitas organisasi dan di Semarang itu tidak berkembang dikalangan Muhammadiyah.

Tasawuf dalam Muhammadiyah salah satunya dapat dirujuk dari Ibn Taimiyah, selain juga Hamka. Sebagai

contoh adalah bagaimana pemikiran Ibn Taimiyah tentang penyakit hati. Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah

suatu bentuk kerusakan yang menimpa hati, dengan merusak gambaran dan kehendak hati. Gambaran tentang syubhat

(hal-hal yang samar) yang sudah jelas di depannya membuatnya tidak mampu melihat kebenaran atau bahkan dia melihat

kebalikannya. Akibatnya orang yang terjangkit penyakit hati akan membenci kebenaran yang bermanfaat dan menyukai

kebatilan yang membawa kepada kemudharatan. Oleh karena itu kata maradh (sakit) kadang-kadang diintepretasikan

dengan syakh atau raib (keraguan). Hal ini seperti penafsiran Mujahid dan Qotadah tentang ayat al-Baqarah ayat 2 :

“Dalam hati mereka ada penyakit”. Penyakit dalam ayat ini dipahami sebagai keraguan (Taimiyah, 2001: 149).

Orang yang dijangkiti penyakit hati, efeknya akan kembali kepada dirinya sendiri seperti panas, dingin,

hingga ada perasaan berat untuk beraktivitas. Penyakit ini akan membawa penderitanya kepada suatu bentuk kelemahan.

Kekuatan yang ada seakan-akan menjadi hilang dan tidak mampu lagi melakukan aktifitas sebagaimana mereka yang

sehat. Kesehatan itu hanya bisa dijaga dengan hal-hal yang mendukung kesehatan itu sendiri dan akan hilang manakala

dilakukan tindakan yang sebaliknya. Begitu pula dengan semakin parah dan sembuhnya suatu penyakit tergantung pada

perawatannya, maka apabila orang-orang yang sakit tidak diberi hal-hal yang mendukung sakitnya akan semakin

parahlah penyakitnya dan akan semakin melemah kekuatannya. Sebaliknya apabila diberi hal-hal yang memperkuat

kekuatannya maka akan lenyaplah penyakitnya (Taimiyah, 2002: 29).

Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah penyakit yang ada di dalam hati, seperti kemarahan, keraguan

dan kebodohan dan kezaliman. Orang yang ragu dan bimbang tentang sesuatu akan merasakan sakit hatinya sampai dia

mendapatkan jelelasan dan keyakinan. Tetapi fokus kajian Ibnu Taimiyah tentang penyakit hati adalah hasud atau iri

ataupun dengki. Dengki menurutnya, dengan mengambil beberapa pendapat adalah rasa sakit yang disebabkan karena

kecemburuan terhadap orang-orang yang berharta dan juga sikap berangan-angan atau berharap hilangnya nikmat dari

orang lain, meskipun dengan hilangnya nikmat itu ia tidak memperolehnya, atau juga dimaknai sebagai sikap

Page 189: uf5003

189

berkeinginan untuk mendapatkan hal yang sama dengan diiringi rasa senang apabila yang dinginkan itu hilang dari orang

lain. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa iri adalah suatu bentuk kebencian dan rasa tidak senang terhadap

kenikmatan yang ada pada orang lain (Taimiyah, 1999: 13).

Secara umum, iri terbagi menjadi dua : pertama, adalah kebencian terhadap nikmat yang ada pda orang lain.

Iri semacam ini menurutnya adalah iri yang tercela, dikarenakan apabila seseorang terjangkit penyakit ini hatinya akan

terasa sakit setiap kali orang lain mendapatkan nikmat dan rasa sakit tu hanya dapat dihilangkan apabila nikmat yang ada

pada orang lain itu juga dihilangkan. Padahal dengan hilangnya nikmat pada orang lain tersebut, dia tidak mendapatkan

manfaat apapun. Manfaat yang ia dapatkan hanyalah sebatas hilangnya rasa skit dalam dirinya. Meskipun demikian rasa

sakit itu akan terus menghantunya manakala nikmat yang diharapkan hilang itu ada kemungkinan untuk didapatkan

kembali oleh orang yang bersangkutan, baik dalam bentuk yang sama, lebih bagus atau dalam jumlah yang lebih besar.

Kedua : perasaan tidak senang kepada orang lain yang mempunyai kelebihan dan akan merasa senang apabila dia juga

memperoleh hal yang sama atau lebih bagus. Keadaan semacam inilah yang oleh sebagian orang disebut ghibthah

(Taimiyah, 1998: 13).

Menurutnya, iri merupakan penyakit yang diidap oleh sebagian besar manusia dan hanya sebagian kecil saja

yang mampu membersihkan hatinya dari penyakit ini. Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jasad tidak akan

terlepas dari iri”, hanya saja bedanya seseorang yang berjiwa rendah akan menampakannya sedangkan mereka yang

berjiwa mulia menyembuyikannya. Menurut Ibnu Taimiyah, pada suatu hari, Hasan Basri ditanya, “Adakah seorang

Mukmin yag berlaku iri?”, maka Hasan Basri menjawab, “Adakah engkau lupa akan kisah saudara-saudara Nabi Yusuf?

akan tetapi iri hendaklah engkau sembuyikan dalam hatimu saja. Iri tidak membahayakan dirimu selagi engkau tidak

mengungkapnya dengan lisan atau melahirkannya kedalam bentuk tindakan”. (Taimiyah, 2001: 200).

Dengan demikian barangsiapa yang didalam jiwanya ada rasa iri hendaklah dia menggiringnya dengan

ketaqwaan dan kesabaran serta membenci iri itu. Banyak orang memiliki dasar agama yang kuat tidak melanggar hak

mahsud (orang yang menjadi sasaran kedengkian). Meskipun demikian dia belum dapat dikatakan memenuhi hak-hak

yang semestinya seandainya ada orang yang mencela, tetapi dia juga tidak membelanya dengan mengungkap

kebaikannya. Demikian pula jika ada orang yang memuji mahsud dia lebih memilih berdiam diri. Orang yang semacam

ini digolongkan sebagai orang yang mufrith (orang-yang meyia-nyiaka kebaikan).

Menurut Ibn Taimiyah ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai obat penyakit hati yaitu al Qur’an, amal

saleh dan meninggalkan ma’siat.

Pertama : menurut Ibn Taimiyah, al Qur’an adalah penyembuh bagi penyakit hati yang berada di dalam dada

dan bagi orang yang dalam hatinya ada penyakit keraguan dan syahwat (Taimiyah, 2001: 187). Di dalamnya terdapat

keterangan-keterangan yang menghilangkan kebatilan dan syubhat yang dapat merusak ilmu, pemahaman dan kesadaran

hingga segala sesuatu secara hakiki. Di dalamnya juga terdapat hikmah dan nasehat yang baik, seperti dorongan berbuat

baik, ancaman dan kisah-kisah yang didalamnya terdapat pelajaran yang berpengaruh pada sehatnya hati. Hati akan

menjadi cinta kepada apa yang bermanfaat dan benci kepada apa yang membawa kepada kesengsaraan. Akhirnya hati

Page 190: uf5003

190

menjadi cinta kepada petunjuk dan benci kepada kesesatan, setelah pada mulanya condong kepada penyimpangan dan

antipati terhadap petunjuk (Taimiyah, 2001: 154).

Al-Qur’ân juga merupakan penyembuh dari penyakit yang mendorong kepada kehendak-kehendak buruk.

Dengan al Qur’an hati dan kehendak menjadi sehat serta kembali kepada fitrahnya, sebagaimana kembalinya badan pada

keadaan yang semula yaitu nilai-nilai keimanan dan al Qur’an yang membawanya kepada keesucian dan menolongnya

untuk melakukan perbuatan baik.

Kedua : amal saleh sebagai obat penyakit hati. Menurutnya hati membutuhkan pemeliharaan supaya dapat

berkembang dan bertambah baik menuju kesempurnaan dan kebaikan, sebagaimana tubuh memerlukan makanan yang

bergizi. Oleh karena itu, wajib hukumnya untuk mencegah badan dari apa saja yang dapat membawa pada kemudaratan.

Badan tidak akan dapat berkembang dengan baik tanpa memberinya hal yang bermanfaat dan mencegahnya dari hal yang

memudaratkannya. Demikian pula hati, ia tidak akan berkembang dengan baik atau mencapai kesempurnaan tanpa

memberinya sesuatu yang bermanfaat dan menolak apa-apa yang membawa pada kemudaratan. Demikian pula halnya

dengan tanaman, ia tidak akan tumbuh kecuali dengan hal ini (Taimiyah, 2001: 153). Oleh karena itu tatkala sedekah

dapat menghapus kesalahan, sebagaimana air dapat memadamkan api maka perbuatan baik dapat mensucikan hati dari

dosa, sebagaimana firman Allah : Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu bersihkan

dan mensucikan mereka (QS. At taubah/9 : 103).

Ketiga : meninggalkan ma’siat sebagai obat penyakit hati. Menurutnya perbuatan keji dan munkar tak

ubahnya seperti campuran kotoran dalam badan dan seperti benalu bagi tanaman. Oleh karena itu apabila badan telah

bersih darinya maka sehatlah badan tersebut. Demikian pula hati, apabila ia telah bertobat dari dosa-dosa, seolah-olah ia

telah mensucikan dari segala yang hal buruk. Oleh sebab itu apabila hati telah bertobat dari segala dosa maka akan

kembalilah kekuatan hati dan siap untuk menjalankan amalan baik, disamping juga beristirahat dari segala hal yang

sifatnya buruk (Taimiyah, 2001: 155).

Dari deskripsi di atas menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga tersebut dapat

diperinci menjadi beberapa varian yaitu benar dan ikhlas, taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah,

takut, dan mengharap. Macam-macam pengobatan hati tersebut tidak lain merupakan atau sebagian dari apa yang

dikemukakan oleh sufi sebagai Al maqomat dan al akhwal yaitu tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan rohani dalam

mendekatkan diri kepada Allah (Mu’thi, 1994: 71).

- Benar dan Ikhlas

Pengobatan hati yang mula-mula dibicarakan oleh Ibnu Taimiyah adalah adalah benar dalam artian

kesungguhan dalam beragama yang harus dibuktikan dengan mengerjakan amal kebajikan, sedangkan kata ikhlas

adalah bukti dari keislaman. Dengan Islam, yang dimaksud di sini adalah menyerahkan diri kepada Allah sebagai

lawan dari sombong dan menyekutukan Allah. Kata Ibnu Taimiyah, “Barang siapa yang tidak menyerahkan diri

kepada Allah maka ia adalah sombong dan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah dan kepada selain Allah

maka ia telah menyekutukan” (Mu’thi, 1994: 72). Dalam pengertian ini maka benar dan Ikhlas ditempatkan pada

Page 191: uf5003

191

bagian pertama mengennai pengobatan hati. Pemahaman Ibnu Taimiyah mengenai kedua istilah itu memberikan

penekanan pada pentingnya amal kebajikan dan berjuang untuk membela agama.

- Taubat

Dalam tasawuf, taubat dipandang sebagai tahapan pertama yang ditempuh oleh sufi dalam proses

mendekatkan diri kepada Allah. Secara umum pengertian taubat meliputi tiga aspek yaitu meninggalkan perbuatan

dosa, mohon ampun kepada Allah dan tidak akan melakukan dosa selamanya. Dalam tasawuf pengertian tersebut

diperdalam lagi dalam artian taubat tidak hanya meninggalkan perbuatan dosa tetapi juga meninggalkan segala

sesuatu selain Allah (Taimiyah, 2002: 136).

Menurut Ibnu Taimiyah, taubat sebagai awal dari tahapan penyucian jiwa, tetapi dalam kaitannya dalam

kehidupan manusia yang setiap saat cenderung berbuat dosa, suatu dosa, kata Ibnu Taimiyah, akan diampuni Allah

dengan sepuluh perkara : Pertama : dengan bertaubat kepada Allah sehingga Allah menerima taubatnya. Kedua :

dengan istighfar yaitu memohon ampun kepada Allah sehingga Allah mengampuninya. Ketiga : dengan melakukan

amal kebajikan karena amal kebajikan dapat menghapuskan kesalahan. Keempat : karena doa orang yang beriman

yang mendoakan kepadanya baik ketika ia masih hidup ataupun sudah mati. Kelima : dengan memberikan kepadanya

pahala amal yang bermanfaat. Keenam : karena safaat nabi. Ketujuh : karena cobaan Allah berupa musibah di dunia

sehingga cobaan itu menjadi tebusan bagi dosa-dosanya. Kedelapan : karena penderitaan yang dialami di alam barzah.

Kesembilan : karea penderitaan dihari kiamat. Kesepuluh: semata-mata karena kasih sayang Allah. Ibnu Taimiyah

berkata : “Barangsiapa tidak mendapat salah satu dari yang kesepuluh perkara ini janganlah ia menyalahkan kecuali

kepada dirinya sendiri” (Taimiyah, 1998: 21). Menurut Ibnu Taimiyah, tidak ada dosa yang tidak diampuni oleh Allah

apabila orang yang melakukan dosa itu mau bertaubat kepada Tuhan, termasuk dosa menyekutukan Tuhan.

Ajaran Ibnu Taimiyah tentang taubat di atas pada dasarnya mengajak seseorang yang berdosa supaya

meninggalkan perbuatan dosanya dan mengisi hidupnya dengan amal kebajikan. Hal ini dia pertegas dengan

menyatakan bahwa kesempurnaan taubat adalah dengan melakukan amal kebajikan.

- Zuhud dan Wara

Zuhud menurut Ibnu Taimiyah tidak bearti menjauhkan diri dari kehidupan dunia atau meninggalkan

perkara yang dihalalkan yang membawa kepada kebaikan. Sebagai contoh, meninggalkan makanan yang diperlukan

tubuh sehingga tidak dapat melakukan kewajiban agama, tidak merupakan zuhud yang dikehendaki oleh agama.

Perbuatan demikian adalah salah, karena tidak memperhatikan kepada kebaikan yang harus diutamakan (Taimiyah,

2001: 234).

Zuhud yang sesuai dengan syariah adalah meninggalkan perkara yang merugikan atau perkara yang tidak

bermanfaat untuk kehidupan akhirat termasuk didalamnya adalah kekayaan yang berlebihan apabila kekayaan itu

tidak dipergunakan untuk beribadah kepada Allah. Singkatnya zuhud yang benar ialah zuhud dari perkara yang

merugikan bukan zuhud dari perkara yang bermanfaat. Dalam salah salah satu risalahnya Ibnu Taimiyah menjawab

menjawab pertanyaan tentang siapakah yang lebih utama orang kaya yang bersyukur ataukah orang miskin yang

sabar. Menurutnya, kekayaan dan kemiskinan bukanlah ukuran keutamaan yang berdiri sendiri. Keutamaan seseorang

Page 192: uf5003

192

adalah disebabkan oleh taqwanya kepada Allah. Orang kaya karena taqwanya maka ia lebih utama dari pada orang

fakir dan sebaliknya. Orang yang sempurna imannya adalah yang dapat menempatkan diri pada masing-masing

keadaan dengan bersabar dan bersyukur.

Sama seperti hal di atas adalah persoalan apakah menyepi atau menyendiri dalam beribadah lebih utama

daripada bergaul daalam kehidupan masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, dalam keadaan tertentu pergaulan adalah lebih

diutamakan misalnya untuk tolong menolong dalam melakukan kebaikan, shalat berjamaah, berjuang untuk membela

agama dan mengikuti perkumpulan sosial yang bermanfaat, tetapi tetap diperlukan waktu-waktu tertentu dalam

kehidupan seseorang dimana ia menyendiri untuk berdoa, berdzikir, tafakkur, muhasabah (introspeksi) dan sebagainya

(Taimiyah, 2002: 11). Jadi memilih pergaulan secara mutlak adalah tidak benar begitu pula hidup menyendiri secara

mutlak adalah tidak benar. Sikap hidup yang benar adalah mengambil apa yang diperlukan dan yang bermanfaat dari

keduanya.

Wara’ yang sesuai dengan syariah adalah meninggalkan perkara yang haram dan syubhat. Menurut Ibnu

Taimiyah, kesempurnaan wara’ adalah dengan mengetahui yang terbaik diantara dua perkara yang baik untuk dilakukan

dan yang terburuk diantara dua perkara yang buruk untuk ditinggalkan. Melakukan yang paling baik dan meninggalkan

yang paling buruk didasarkan atas pertimbangan bahwa ajaran agama pada hakekatnya dibangun atas dasar maslakhah

semaksimal mungkin dan menghilangkan mafsadah hingga sekecil-kecilnya. Dengan demikian orang yang melakukan

perbuatan atau meninggalkannya dengan alasan wara’ tidak dapat dibenarkan jika tanpa mempertimbangkan segi

maslahah dan mafsadah menurut agama, sehingga menyebabkan ia meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan.

- Sabar dan sykur

Berbagai penjelasan Ibnu Taimiyah tentang sabar tidak berbeda dengan penjelasan yang terdapat dalam

literatur akhlaq atau tasawuf pada umumnya, menurutnya sabar adalah ungkapan hati yang berkaitan dengan

penderitaan (Taimiyah, 2001: 231). Sebaliknya adalah syukur yang merupakan keadaan hati yang berkaitan dengan

kenikmatan. Syukur dinyatakan dengan memanjatkan pujian kepada Tuhan.

Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya memuji dan bersyukur kepada Tuhan dan mejelaskan perbedaan

antara keduanya. Dari segi cara menyatakannya, syukur lebih umum sifatnya karena syukur dikerjakan dengan hati,

ucapan dan perbuatan, sedangkan memuji Tuhan dinyatakan dengan ucapan saja, tetapi dari segi sebabnya memuji

kepada Tuhan mengandung arti yang lebih umum karena berkaitan dengan segala kebaikan yang dipuji tidak hanya

kebaikan yang ditujukan kepada yang memuji, sedangkan syukur hanya berkenaan kenikmatan yang diberikan

kepada orang yang bersyukur.

- Tawakal dan Ridha

Tawakal berarti menyerahkan diri kepada Tuhan untuk tidak bergatung kepada makhluk atau perbuatan

yang dilakukan (Taimiyah, 1998: 212). Perbuatan hanya merupakan sebab dari terjadinya sesuatu. Sebab tidak dapat

berdiri sendiri dalam mewujudkan sesuatu melainkan harus ada penentu. Penentu bagi keberhasilan usaha tidak lain

adalah Tuhan. Oleh sebab itu manusia harus berserah diri dan memohon pertolongan kepada Tuhan.

Page 193: uf5003

193

Tawakal kepada Allah tidak berarti penyerahan diri secara pasif tetapi harus disertai dengan usaha dan

meminta pertolonga kepada Tuhan. Oleh karena itu ajaran agama menyuruh manusia agar menyembah kepada Allah dan

meminta pertolongan kepadanya. Secara garis besar Ibnu Taimiyah berpendapat apabila seseorang merasakan hakekat

keihlasan dalam beragama yang terkandung dalam iyyakana’budu dan merasakan hakekat tawakat yang terkandung

dalam iyyaka nastain maka tidak ada lagi baginya kenikmatan yang diatasnya. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa

tawakal tidak berarti meninggalkan sebab dan menyerah kepada nasib. Dia mengkritik orang-orang yang mengaku

menyerahkan diri kepada Tuhan tanpa berusaha dan menjalankan perintahnya. Mereka menyangka bahwa segala sesuatu

telah ditaqdirkan Tuhan tanpa digantungkan pada sebab-sebab tertentu yang harus diusahakan oleh manusia.

C. Spiritualitas yang Syariahistic: Formulasi Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual

Muhammadiyah Kota Semarang

Dari ketiga kategori di atas terdapat benang merah yang dapat menyatukan

persepsi mereka yaitu penerimaan tasawuf secara substantive atau juga disebut

sebagai spiritualitas yang syariahistic. Konsep ini dalam aplikasinya terformula

dalam beberapa bentuk.

1. Urban Sufisme

Tasawuf dalam perspektip intelektual muhammadiyah Kota Semarang

secara umum bercorak substantive atau juga disebut sebagai spiritualitas yang

syariahistic hampir sama dengan apa yang dikonsepkan oleh Julie Howell (2003)

dengan istilah “urban Sufism” untuk memformulasikan satu kajian antropologis

tentang gerakan sufisme yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, seperti

Paramadina, Tazkiya Sejati, ICNIS, IIMAN, dan lain sebagainya. Pengertian

urban sufism sendiri bisa mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang

muncul di tengah masyarakat perkotaan. Maka, di samping gerakan spiritual

yang lebih mengutamakan ritual zikir dan do’a tanpa organisasi tarekat juga

termasuk dalam kategori urban sufism adalah gerakan tasawuf konvensional

Page 194: uf5003

194

yang masih terikat dengan simpul-simpul organisasi tarekat, seperti yang

ditampakkan oleh komunitas Tarekat Qadiriyyah-Naqsybandiyyah

(Fathurrahman, 2007: 1).

Urban sufism merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir

semua kota besar di dunia. Hanya saja, urban sufism tidak bisa dipahami sebagai

gerakan yang telah menggeser popularitas tarekat konvensional. Kenyataannya

tasawuf konvensional dengan organisasi tarekat tetap dapat berkembang di

tengah hiruk-pikuk masyarakat modern. Fakta ini semakin menegaskan nilai

universal dalam sufisme. Seperti diketahui, sufisme cenderung bersifat lentur,

toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan dan tradisi local

(Sukma, 2007: 34). Bahkan, pada level tertentu, sufisme mengandung ajaran

kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan). Model keberagamaan inilah yang

banyak diminati kalangan Muslim perkotaan yang kosmopolit. Dan fakta ini

sedikit banyak juga menjelaskan munculnya fenomena sufisme seperti Anand

Krishna atau Kelompok Salamullah di Indonesia.

Dalam kaitan inilah Komaruddin Hidayat (1985: 231) melihat

setidaknya ada empat cara pandang mengapa sufisme semakin berkembang di

kota-kota besar di Indonesia:

• Sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana

pencarian makna hidup

• Sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual

• Sufisme sebagai sarana terapi psikologis

Page 195: uf5003

195

• Sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana

keagamaan.

Fenomena urban sufism di Indonesia bisa dirunut dari Hamka, dengan

buku Tasawuf Modern-nya. Hamka adalah orang pertama yang memberi

penekanan atas pentingnya mengapresiasi nilai-nilai substantif tasawuf tanpa

harus terikat dengan ketentuan-ketentuan tarekat (Fathurrahman, 2008: 5).

Belakangan juga muncul sastrawan Abdul Hadi WM yang giat mendengungkan

puisi-puisi sufi, khususnya karangan Hamzah Fansuri, sehingga semakin banyak

kalangan Muslim yang tertarik dengan ajaran tasawuf. Mulai sekitar 1980-an,

aktivitas sufi di perkotaan ini mulai terlembagakan. Ini ditandai antara lain

dengan berdirinya Yayasan Wakaf Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid atau

Cak Nur (alm.). Melalui kegiatan-kegiatan pengajian dan kursus yang

diselenggarakannya, Cak Nur mencoba mengemas tasawuf menjadi menu

menarik untuk memenuhi hasrat masyarakat perkotaan yang haus akan nilai-

nilai spiritual. Lembaga sejenis lain juga tumbuh, seperti Tazkiya Sejati

pimpinan Jalaluddin Rahmat, IIMAN sebagai pusat pengembangan tasawuf

positif di bawah koordinasi Haidar Bagir. Dan, seperti halnya Paramadina,

lembaga-lembaga tersebut juga menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan

seperti kursus, dan pelatihan dengan menyuguhkan materi-materi yang berkaitan

dengan tasawuf. Kendati mengalami pasang surut, kegiatan-kegiatan dengan

materi semacam itu pernah banyak diminati peserta yang umumnya berasal dari

kalangan menengah ke atas (middle class).

Page 196: uf5003

196

Tentu saja, cara pengenalan ajaran-ajaran tasawuf oleh lembaga-

lembaga tersebut berbeda dengan dunia tasawuf konvensional. Yayasan

Paramadina mengemas kajian tasawuf sebagai bagian dari paket kursus kajian

Islam yang ditawarkan. Demikian halnya Tazkiya Sejati, yang memperkenalkan

tasawuf kepada masyarakat perkotaan dalam bentuk kursus singkat, serta dengan

menyediakan bahan-bahan pegangan dan panduan zikir yang disusun sendiri

oleh Jalaluddin Rahmat.

Juga perlu disebut di sini adalah peran media massa yang menampilkan

dan bahkan memiliki rubrik khusus tentang tasawuf. Tidak hanya harian

Republika, yang memang kental dengan nuansa Islamnya, media cetak lain

semisal Kompas, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Indonesian Observer,

Media Indonesia, Gatra, SWA, dan Tempo, tidak jarang memuat tulisan atau

reportase berkaitan dengan dunia tasawuf. Berbagai tulisan dalam media cetak

tersebut, ditambah dengan maraknya penerbitan buku-buku tentang tasawuf,

telah banyak memberikan kontribusi terhadap proses sosialisasi aspek-aspek

esoteris Islam ke kalangan masyarakat perkotaan yang memang cenderung

memiliki akses luas terhadap sumber-sumber informasi tersebut.

Fenomena maraknya kajian tasawuf Islam khususnya, dan spiritualitas

pada umumnya, di kalangan masyarakat perkotaan ini tentu saja merupakan hal

menarik, karena sebelumnya tasawuf seringkali diidentikkan dengan aktivitas

masyarakat pedesaan tradisional belaka, bahkan dianggap sebagai simbol

ketertinggalan. Kini, kajian-kajian tentang sufisme dilakukan di hotel

berbintang, di kantor, dan di perumahan-perumahan mewah (Bagir, 2002: 34).

Page 197: uf5003

197

Apalagi, fenomena bangkitnya tasawuf dan spiritualitas ini sudah menjadi trend

global, tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di sejumlah negara lain .

2. Neo Tasawuf

Tasawuf merupakan kajian yang menarik, baik dalam kerangka ajaran

Islam maupun dalam konteks perkembangan peradaban Islam. Dalam konteks

yang pertama, tasawuf dipersoalkan sejauhmana kesesuaiannya dengan al-Quran

dan Hadits. Pada dasarnya Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan

keagamaan yang bersifat eksoterik (lahiriah) dan esoterik (batiniyah). Ayat-ayat

al-Quran mencakup dua jenis keberagamaan ini. Sayangnya, sejarah Islam

mencatat adanya polarisasi yang saling menistakan. Polarisasi itu antara lain

munculnya ekstrimitas kaum fiqh yang literal di satu sisi, dan ekstrimitas kaum

sufi (penganut Tasawuf) di lain sisi (Amal, 1989: 33).

Sejarah mencatat adanya konflik tajam antara keduanya, diantaranya

dengan sikap saling menuduh bahwa lawannya telah menyeleweng dari Islam.

Di kalangan mayoritas Islam, terutama yang beraliran Ahlus Sunnah wal

Jama’ah (Aswaja), tasawuf dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.

Karena itu mayoritas umat Islam di Indonesia yang merupakan penganut Aswaja

memandang Tasawuf sebagai ajaran yang sesat. Namun demikian, gerakan

Tasawuf juga mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan

penyebaran Islam di Indonesia menjadi lebih mudah berkat dakwah yang

dilakukan oleh para Sufi. Situasi seperti inilah mulanya yang mendorong Buya

Hamka (1994: 21) melakukan penelitian tentang Tasawuf, sebagaimana Hamka

jelaskan dalam bukunya:

Page 198: uf5003

198

Bilamana kita perhatikan ajaran-ajaran Tasawuf dan latihan-latihannya itu dengan memakai bermacam-macam kata rahasia dan pertumbuhan-pertumbuhannya, dapatlah kita mengetahui bagaimana besar dan luasnya gerakan ini dalam berbagai zaman. Bila diselidiki dengan dasar ilmu pengetahuan, dapatlah kita pisahkan mana pokoknya yang asli dan mana ajaran lain yang disengaja atau tidak telah turut membentuknya. Tetapi tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi perasaan dan fikiran kaum muslimin,” (Hamka, 1981: 20).

Luasnya pengaruh Tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban

Islam menandakan bahwa Tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam.

Sebetulnya, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka, Tasawuf adalah pusaka umat

Islam yang diambil langsung dari al-Quran dan kehidupan Nabi Muhammad

Saw. Oleh karena itu, benturan antara tasawuf (hakikat) dengan fiqih (syariat),

menurut Hamka, tidak harus disikapi dengan menolak Tasawuf dan melabelinya

sebagai ajaran sesat (Hamka, 1971: 22). Sungguhpun ada sebagian doktrin

Tasawuf yang tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam, namun substansi dari

ajaran Tasawuf sesuai dengan ajaran Islam. Penyimpangan dalam Tasawuf

mungkin saja terjadi, mengingat interaksi umat Islam yang demikian luas

dengan beraneka macam tradisi agama-agama lain. Mengenai hal ini Buya

Hamka dapat dikategorikan sebagai penganjur neo-Tasawuf (Maksum,

2003:113).

Menurut Buya Hamka, Tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh

(1981). Dalam Islam Tasawuf merupakan jantung dari keislaman. Oleh karena

itu, sangat tepat jika pendekatan Tasawuf menjadi salah satu daya tarik

diterimanya Islam di Indonesia. Lebih jauh lagi, Tasawuf telah meniupkan

Page 199: uf5003

199

spiritnya ke dalam hampir seluruh kebudayaan Islam. Tarekat-tarekat sufi

sebagai institusi terorganisasi dalam matriks yang lebih besar masyarakat

Muslim, memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur masyarakat. Di awal

pertumbuhannya, tasawuf merupakan gerakan kritis terhadap kemewahan para

penguasa dan kecenderungan haus kekuasan dan jabatan yang diidap oleh

sebagian tokoh-tokoh Islam (Rahmad,1999: 2).

Problem hedonisme menjadi altar kemunculan dan pertumbuhan

tasawuf. Dalam perkembangan selanjutnya tasawuf menjadi suatu pendekatan

keagamaan yang diminati mayoritas umat Islam, terutama ketika Imam al-

Ghazali mempromosikannya lewat bukunya Ihya ‘Ulumuddin. Dalam konteks

kehidupan masyarakat modern, fenomena ketertarikan masyarakat terhadap

pengajian-pengajian yang bernuansa Tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan

masyarakat untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan oleh modernitas(

Nasution, 1995: 33). Modernitas memang memberikan kemudahan hidup namun

tidak selalu memberikan kebahagian

3. Tasawuf Positif

Tasawuf positif adalah sebuah pemahaman atas tasawuf yang berupaya

mendapatkan manfaat dari segala kelebihan dalam hal pemikiran dan disiplin

yang ditawarkannya seraya menghindari ekses-eksesnya, sebagaimana

terungkap dalam sejarah Islam (Burhani, 2001: 89). Selain itu, betapapun

dilabeli istilah `positif , tasawuf ini tetap mempromosikan konsep Allah dalam

dua perwujudan, yakni perwujudan keindahan dan cinta (jamal) di samping

Page 200: uf5003

200

perwujudan keagungan dan kedahsyatan (jalal)41. Tema tersebut

menggambarkan bahwa metode tasawuf merepresentasikan sifat Islam yang,

selain berorientasi syariat, juga menekankan metode cinta. Selama ini kita

menganggap bahwa cinta kasih itu kaitannya dengan agama Nasrani, sedangkan

Islam identik semata-mata dengan syariah, ketaatan pada hukum, disiplin pada

hukum. Hal ini, menurut (Baqir, 2005: 211), merupakan akibat dari pemahaman

41Salah satu contoh kajian Tasawuf positif adalah kajian yang laksanakan oleh Lazuardi bekerja

sama dgn IIMaN ( Indonesian Islamic Media Network) akan mengadakan Kajian Tasawuf Positif yg Insya Allah akan di lakukan secara rutin (mingguan).Untuk sessi soft opening, akan dimulai pada 3 Sept 2005 dgn 2 kali pertemuan dgn topik Menggapai akhirat melalui kesuksesan dunia (gratis) dan selanjutnya mulai 10 Sept 2005 dgn topik Panduan Menggunakan Kecerdasan Al-Quran untuk Kesuksesan Dunia Akhirat. Contoh tema kajian: Quranic Quotient for a Lasting Success Panduan Menggunakan Kecerdasan Al-Quran untuk Kesuksesan Dunia-Akhirat. Kegiatan dalam 5 kali pertemuan pada 10 Sept - 11 Oktober 2005 yang meliputi materi Panduan 1 - pertemuan 1 (Personal Inprovement) Mimpi yang sedang beraksi Panduan 2 - pertemuan 2 (Personal Inprovement) Sensitivitas terhadap Realitas Panduan 3 - pertemuan 3 (Personal Inprovement) Putus asa = Kafir Panduan 4 - pertemuan 4 (Spiritual Development) Teknik QQ untuk Ketentraman Ruhani Panduan 5 - pertemuan 5 (Social Empowerment) Teknik QQ untuk Kebahagian Bersama Kegaiatn ini secara garis besar mengungkap kusuksesan dunia dan akhirat sering disangka tak bisa diraih sekaligus, karena keduanya selalu saja dirasakan bertentangan. Tapi kalau nyatanya begitu, lalu apa gunanya perintah Al-Quran untuk mengejar kesuksesan dunia akhirat? Tidakkah perintah itu akan menjadi sia-sia belaka? Disinilah letak pentingnya penggalian Quranic Quotient demi pencapaian kesuksesan abadi. Al-Quran tidak memberikan rincian teknis yang sangat detail dalam menjalankan prinsip pernigaan yang menguntungkan dunia akhirat, karena bagaimanapun ia bukan buku ekonomi atau manajemen. Sebagai kitab petunjuk yang universal, ia lebih berkepentingan untuk mengamanatkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai saja. Sedang menyangkut bentuk atau teknik pemenuhan nilai itu lebih banyak diserahkan kepada rasio atau kecerdasan manusia. Sungguhpun begitu, disisi lain, Al-Quran pun tetap berkepentingan memberikan inspirasi bagi pengembangan cara-cara pemenuhan nilai. Sebab lagi-lagi sebagai petunjuk universal, disamping ia harus menunjukkan nilai-nilai universalnya, ia pun sudah selayknya memperlihatkan kemungkinan bisa diterapkannya nilai-nilai tersebut (visiabilitas), sehingga nilai-nilainya tidak bisa dianggap utopis atau mustahil diterapkan. Biasanya Al-Quran menjabarkan nilai-nilainya melalui konsep-konsepnya (seperti iman, shalat, zakat, dan sebaginya), sedang untuk menunjukkan visiabilitas nilai-nilainya ia menggunakan kisah-kisah terbaiknya (ahsan al-Qashahs). Kisah-kisah inilah yang kemudian banyak memberikan inspirasi. Karena itu tak heran dalam bukunya Quranic Quotient: Kecerdasan-kecerdasan Bentukan Al-Quran, Muhammad Jarot Sensa menyebut kisah-kisah Al-Quran sebagai mencerdaskan. Bertolak dari penggalian kecerdasan Al-Quran tersebut training ini memberikan panduan menggunakan kecerdasan untuk kesuksesan dunia akhirat. Narasumber: Dr. Haidar Bagir, MA (Doktor di bidang Filsafat Islam dan Ketua Pusat Pengembangan Tasawuf Positif IIMaN, penulis Buku Saku Filsafat Islam dan Buku Saku Tasawuf,Direktur Utama Penerbit MIZAN,serta Ketua Yayasan Lazuardi Hayati). Partisipasi 150.000 Untuk 5 (lima) kali pertemuan (Termasuk Buku QQ for a Lasting Succes seharga Rp 31.000,-)

Page 201: uf5003

201

secara eksklusif atas aspek jalal (tremendum) Allah dan melupakan pada satu

aspek lainnya.

Sesungguhnya, jalan tasawuf positif berusaha membimbing para

pencari agar secara sungguh-sungguh berusaha menemukan kehilangan mereka

yang sesungguhnya. Dengan pasti dapat dikatakan bahwa setiap orang yang

memiliki pikiran dan kesadaran yang bekerja dengan baik akan merasakan

bahwa ada sesuatu yang hilang yang sedang dicarinya dalam kehidupannya di

dunia ini. Orang-orang yang tidak mempunyai rasa kehilangan ini hanyalah

orang yang telah kehilangan dirinya sendiri karena sikap ketidakpedulian

mereka. Sesungguhnya, "perasaan ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan ini"

adalah perasaan agung yang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang telah

menjadi budak nafsu, kekayaan, jabatan, atau ambisi. Kereta tasawuf negatif

melakukan perjalanan panjang, mencari banyak hal, dan mengalami banyak

hambatan, tetapi akhirnya ia sudah terpuaskan hanya dengan beberapa

kenikmatan batiniah atau tingkat-tingkat mental tertentu; merasa cukup hanya

dengan beberapa pengetahuan yang aneh, dengan ucapan-ucapan yang tak biasa,

dan lalu berhenti.

Sayang sekali para pencari ini tak menyadari benar-benar bahwa

sesuatu yang hilang dalam jiwa manusia itu bukanlah hal-hal sepele seperti itu,

yang muncul karena beberapa sebab tampaknya, orang pertama yang

mengetahui kehilangannya adalah orang yang, setelah mencoba tasawuf positif

di bawah bimbingan para Rasul, merasa diberi semangat untuk bangkit dari

lembah khayal dunia dan melangkah menuju perbaikan. Ketika berusaha

Page 202: uf5003

202

menemukan sesuatu yang hilang itu, mereka menjauhkan diri dari kenikmatan-

kenikmatan, rasa mementingkan diri sendiri, dan capaian-capaian duniawi,

untuk menjalankan kapal jiwanya dengan penunjuk arah kesadaran ilahiah, dan

di bawah bimbingan intelek yang sehat, di samudera wujud. Karena tasawuf

positif tak pernah menganggap keuntungan-keuntungan seperti yang disebutkan

di atas sebagai tujuan, maka ia dapat mencapainya sementara tetap berjalan

menuju tujuan akhirnya, yaitu perjumpaan dengan Allah, yang mensyaratkan,

pertama-tama, keterjagaan, pengembangan, dan penguasaan jiwa atas dunia

wujud.

Tasawuf positif adalah tasawuf yang mengakomodasi kehidupan dunia

untuk akhirat (Burhani, 2002: 34). Menghargai syariat (aspek formal agama),

menjunjung rasionalitas, dan menekankan buah tasawuf pada dimensi sosial

kemasyarakatan. Maka tidak heran jika para penganut Tasawuf Positif

kontemporer adalah masyarakat yang secara material tercukupi, terpelajar, dan

suka mengasihi dan bersimpati dengan kaum miskin. Oleh karena itu, jika

masyarakat perkotaan ingin mendapatkan kedamaian dan kebahagian yang

terampas oleh modernisme, mereka harus berpikir jernih, cerdas, cermat, dan

tidak gampang mengikuti tren yang berkembang. Pencarian kebenaran atau

kebermaknaan hidup yang bersifat virtual atau semu bukanlah wujud dari

pembebasan kemanusiaan. Ia hanyalah bentuk kebebasan yang tidak jarang

sering tidak terbendung dan sulit diarahkan. Penggabungan kreativitas akal,

pengalaman, dan perenungan makna hidup secara mendalam mutlak dilakukan

untuk mencapai hal tersebut (Amstrong,1996: 69).

Page 203: uf5003

203

4. Tasawuf Modern HAMKA

Tasawuf modern yang digagas Hamka pada dasarnya adalah tawaran

upaya-upaya pembersihan jiwa untuk menuju kesempurnaan dan kebahagiaan

melalui pembersihan jiwa ala sufi. Dengan demikian manusia akan mendapatkan

hati yang bersih dan bisa berada dekat dengan Tuhan (Iqbal, 1981: 49).

Bedanya, Hamka menempatkan praktek permbersihan jiwa tersebut dalam

konteks masyarakat modern. Ini dimaksudkan agar term-term tasawuf yang

sering dianggap tradisional lebih “membumi” dan sesuai dengan kehidupan

masyarakat sehari-hari. Dalam buku Lembaga Budi misalnya, Hamka secara

panjang lebar membahas bagaimana seorang professional, pelaku bisnis,

karyawan, pengarang, wartawan, pemimpin, palitikus dan lain sebagainya

melakukan berbagai akhlak terpuji (budi mulia) (Hamka: 1996, 79).

Implementasi budi dalam kehidupan sehari-hari tersebut adalah sebagai upaya

penyucian hati manusia sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan hakiki.

Seperti dikatakan al-Junayd, “Barang siapa mencari sesuatu dengan kejujuran

dan bersungguh-sungguh tentu akan mendapatkannya. Seandainya tidak

mendapatkan seluruhnya maka akan mendapatkan sebagiannya” (Nasution,

1995: 58)

Di dalam bukunya Tasauf Moderen, Hamka juga membahas tentang

apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang sebagai upaya untuk mencapai

bahagia, misalnya bergaul dengan orang budiman, menjaga syahwat dan

kemarahan, instropeksi diri, memelihara kesehatan jiwa, marah yang positif,

qana’ah, tawakkal dan lain sebagainya. Semua itu dikaitkan Hamka dengan

Page 204: uf5003

204

kehidupan keseharian masyarakat modern, sehingga istilah-istilah tasawuf

menjadi mudah dipahami. Misalnya qana’ah, dalam tradisi tasawuf klasik

diartikan beragama oleh para sufi. Bisyr al-Hafi mengartikan qana’ah dengan

seorang raja yang hanya tinggal di dalam hati yang beriman.

Dhun Nun al-Misri menyebutkannya dengan orang yang selamat dari

orang-orang yang semasanya dan berjasa atas semua orang. Sufi lain yaitu al-

Kaffari mengatakan “Barang siapa yang menjual kerakusan demi qana’ah

berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran. Hamka mengartikan

qana’ah dengan “menerima cukup” (al-Taftazani, 1985: 45). Menurut Hamka

qana’ah memiliki lima unsur yaitu, menerima apa yang ada dengan rela,

memohon kepada Allah agar menambahkannya yang pantas dengan berusaha,

menerima dengan sabar ketentuan Allah, bertawakkal kepada Tuhan, tidak

tertarik oleh tipu daya dunia. Dalam menjelaskan qana’ah Hamka mengatakan,

siapa yang mendapatkan rizki yang cukup untuk menghidupi diri dan

keluarganya, maka hendaklah menenangkan hati. Manusia tidak dilarang untuk

mencari rizki yang banyak, berpangku tangan, sebab itu bukan qana’ah.

Manusia tetap harus bekerja keras, bukan karena terobsesi mengumpulkan harta,

namun karena orang hidup memang tidak boleh berhenti bekerja.

Penjelasan Hamka dengan kalimat seperti ini sangat sesuai dengan

konteks masyarakat modern. Hamka memahami masyarakat sering menganggap

qana’ah dengan arti salah, di mana qana’ah diartikan sebagai sifat yang tidak

mementingkan bekerja dan merasa cukup dengan apa yang telah ada. Menurut

Hamka itu adalah sifat yang justru bukan menjadi terpuji tapi malah tercela,

Page 205: uf5003

205

sebab qana’ah itu bekerja dan berusaha sehabis tenaga. Arti qana’ah sangat

luas. Qana’ah menyuruh manusia percaya akan adanya kekuasaan yang lebih

besar dari kekuatan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi,

menyuruh manusia bekerja keras, bukan karena harta yang ada tidak cukup, tapi

karena orang hidup mseti bekerja.

Dengan penjelasan seperti demikian, Hamka menginginkan terciptanya

individu dan masyarakat yang memiliki kepribadian sufi, yaitu pribadi yang

memilikim akhlak terpuji (akhlaq al-karimah). Jadi bukan sufi dalam term

tasawuf klasik yang hidup dengan mengasingkan diri atau mempraktekkan

kesalehan individu dan terasing dari masyarakat

D. Analisis terhadap Pemahaman Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap

Tasawuf

1. Tasawuf itu Bid’ah?

Muhamadiyah secara umum dikesankan beranggapan bahwa

mempelajari dan menjalankan tasawuf hukumnya bidah/haram dengan alasan

bahwa tasawuf itu merupakan kegiatan yang dapat menyesatkan ummat. Mereka

mengatakan bahwa pada zaman Rasulullah saw. tidak dikenal istilah tasawuf,

yang ada adalah istilah zuhud, wara, dan lain-lain.

Terkait dengan pemahaman di atas harus dipahami bahwa manusia, seperti

disebutkan Ibn Khaldun, memiliki anggota tubuh, panca indra, akal pikiran, dan hati sanubari

(Nasr, 1983: 44). Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, dan dapat bekerja sama secara

harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini, ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.

Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh.

Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia. Kedua, filsafat, berperan

dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan

Page 206: uf5003

206

dimensi metafisik. Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya

tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia.

Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup

dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya (Nasr: 1983, 68).

Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23. “Katakanlah:

Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati,

tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk/67: 23). Ditinjau dari segi bahasa, tasawuf

memiliki makna sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana,

rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada

hakikatnya adalah akhlak mulia. Adapun dari segi istilah, pengertian tasawuf amat bergantung

pada sudut pandang yang digunakan para ahli yang memberikan definisi tersebut. Selama ini,

ada tiga sudut pandang yang diguakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut

pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, manusia sebagai mahluk yang

harus berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang bertuhan.

Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan,

tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh

kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt (Syukur, 1999: 123) . Jika

sudut pandang yang digunakan manusia sebgai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat

didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama

dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang

digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai

kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-

kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan. Abul Hasan Al Fusyandi,

seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman

Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah

sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya” (Iqbal, 1981: 21).

Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan bahwa zaman

Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap

zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum

dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu

mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi kehidupan,

Page 207: uf5003

207

kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda

memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak

termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah

tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud

misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad) (Baqir, 2002: 56).

Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya

sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting

substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang

shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan

istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada

juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan

tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw.

sama sekali tidak bid’ah.

Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada

adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita

dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw.

dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah

saw. (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu

bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional.

Istilah tasawuf atau mistisisme dalam Islam masih sebuah diskursus kontroversial.

Sebab, secara tekstual (scripture), Alquran tidak menyebutkan kata "tasawuf", baik secara

eksplisit maupun implisit. Hal ini, sepintas dapat dipahami, bahwa Islam terkesan tidak memiliki

dimensi tasawuf, atau setidak-tidaknya "anti tasawuf". Pada tataran ini, studi tentang Islam

khususnya dalam rangka memahami tasawuf tidak bisa bersifat tekstual semata, atau meminjam

istilah Muhammed Arkoun hanya bersifat "logosentris". Tradisi filologis atau logosentris yang

mewarnai para pemikir muslim dan Islamolog Barat, ternyata tidak mampu membedah substansi

ajaran Islam yang paling fundamental (dimensi esoteris). Buktinya, secara sosio-historis, hampir

seluruh ajaran dalam Islam hanya "mengandalkan" kemampuan teks didalam memahami

agamanya, seperti Wahabisme yang "anti tasawuf" atau terkesan kurang apresiatif terhadap

tasawuf. Fenomena seperti itu, tidak hanya mewarnai dunia Islam, tetapi juga dunia Barat, paling

tidak dapat dilihat dari tradisi orientalisme.

Page 208: uf5003

208

Karena itu, upaya memahami ajaran Islam secara komprehensif harus disertai dengan

analisa sosio-historis. Pada konteks ini, ajaran Islam, khususnya tasawuf tidak hanya bisa

dipahami dari sudut pandang "sejarah ide" an sich, melainkan juga harus dilihat dari "kenyataan

sosial-politik". Dengan kata lain, realitas sosial-politik merupakan komponen yang harus

dipertimbangkan pada saat memahami ajaran Islam. Bila secara tesktual, Alquran tidak pernah

menyebutkan kata "tasawuf", maka secara konsepsional (pada tataran sue-generis) atau sosio-

historis Islam tidak berarti "anti tasawuf". Tasawuf adalah produk sejarah Islam, karena itu,

kenyataan historis yang tidak bisa dipungkiri adanya. Ia adalah hasil dari proses "ortodoksifikasi"

para intelektual muslim di dalam membedah doktrin ideal Islam.

Bahkan, pada konteks kehidupan modern, tasawuf merupakan fenomena

antropologis. Dari situ, dari sudut antropologi-falsafi, kita bisa melihat bahwa kegairahan

bertasawuf erat hubungannya dengan keterasingan (alienasi) yang muncul akibat kehidupan

modern. Alienasi tersebut, membawa akibat terjadinya keadaan yang disebut powerlesness

(kehilangan makna hidup), dan social-isolation (merasa terisolasi, dan kehilangan kontak

personal dalam masyarakat).

Tasawuf atau sufisme adalah dimensi bathin atau esoteriss Islam (the inner dimension

of Islam). Dimensi ini sering dipertentangkan dengan aspek luar ajaran Islam, atau istilah

populernya syari’ah. Karena merupakan dimensi bathin, maka tasawuf, "sufisme" (mistik), tidak

bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik ini memang berasal

dari kata Yunani : myin, "menutup mata". Maka dari itu, tegas Annemarie Schimmel, mistik telah

menjadi "arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama". Dalam dimensi yang lebih

luas, mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal yang mungkin

disebut Kearifan, Cahaya, Cinta, atau Nihil. Dengan kata lain, mistik dapat didefinisikan sebagai

cinta kepada yang mutlak. Cinta ini bisa mengantarkan jiwa si ahli mistik kehadapan Illahi

"bagaikan elang yang membawa mangsanya" yakni dengan itu, Seyyed Hossein Nasr, salah

seorang penggagas filsafat perenial atau aliran tradisional menyatakan, bahwa sufisme

merupakan "jalan spritual". Dari situ, Nasr memahami sufisme sebagai jantung ajaran Islam, ia

seperti juga jantung manusia, tersembunyi dari pandangan, meskipun ia menjadi sumber bathin

kehidupan dan menjadi pusat yang mengatur seluruh organisme keagamaan Islam.

Dari perspektif perenialistik, sufisme ternyata merupakan ajaran Islam yang paling

fundamental. Ia merupakan falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam

Page 209: uf5003

209

upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas, dan

kebahagiaan rohani. Dari sini terlihat bahwa, sufisme cenderung menempatkan Tuhan di atas

segalanya, termasuk dirinya sendiri. Hal ini berarti sufisme penuh dengan semangat perjuangan

yang membuatnya selalu siap bertempur dengan segala yang menolak kebenaran dan merusak

harmoni. Dalam perspektif ini, substansi atau essensi dari sufisme, "seharusnya" melahirkan dua

sikap hidup yang ideal. Pertama, jiwa berjuang, "berperang" yang berdimensi historis, dalam arti

dapat dibuktikan secara kongkret, baik secara militer, politik maupun sosial. Perang dalam

kategori ini kata nabi disebut sebagai perang kecil (al-Jihad al-Ashgar). Kedua, jiwa berjuang

yang inheren dalam jiwa manusia itu sendiri, yang berarti perang melawan nafsu, melawan

semua kecenderungan untuk menolak Tuhan dan kehendak-Nya. Kategori kedua ini oleh nabi

disebut sebagai"perang besar" (al-Jihad al-Akbar).

Namun demikian, secara historis, yang berkembang dalam masyarakat muslim justru

kategori kedua. Karena itu, sufisme umumnya dipahami sebagai proyek perbaikan moral individu

melalui "renungan-renungan spiritual", ritus, wirid-wirid, dan upacara-upacara keagamaan.

Dengan demikian sufisme menjadi kehilangan dimensi sosialnya, dengan sendirinya, sufisme

seakan akan tidak mempunyai tanggung jawab sosial, sehingga sering diidentikkan dengan

budaya asketis, anti intelektual dan lain-lain.

Untuk menguatkan asumsi kecenderungan di atas, berikut pernyataan Abu Wafa al-

Ghanimi al-Taftazani, yang pendapat ini didukung oleh Bertrand Rusel, RM Bucke, dan lain-lain.

Menurutnya, tasawuf atau mistisisme umumnya memiliki lima karakteristik yang bersifat psikis,

moral, dan epistimologis, yakni peningkatan moral, merupakan ekspresi nilai-nilai moral tertentu

dari setiap Tasawuf (mistisisme) dan bertujuan untuk "membersihkan jiwa", yang perealisasian itu

memerlukan proses riyadhah fisik-psikis tersendiri. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas

mutlak. Adalah sampainya kondisi mistikus pada satu level psikis tertentu di mana rasa

egosentrisnya sirna, kekal-abadi dalam realitas yang tertinggi, telah meleburkan kehendaknya

bagi Kehendak Yang Mutlak.

Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma terkaji epistimologis, yang

membedakan tasawuf (mistisisme) - suatu pemahaman hakekat realitas di balik persepsi

inderawi serta penalaran intelektual dengan filsafat yang memahami realitas melalui metode-

metode intelektual. Ketentraman atau Kebahagiaan yang merupakan karakteristik khusus pada

semua bentuk tasawuf (mistisisme), sebagai pembangkit keseimbangan (balance) psikis pada diri

Page 210: uf5003

210

mistiskus, membuat terbebas dari rasa takut serta merasa intens dalam ketentraman jiwa.

Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan realisasi dari kondisi-kondisi

efektif yang khusus, yang mustahil diekspresikan secara aktual; lewat kata-kata. Tasawuf

(mistisisme) merupakan pengalaman yang subyektif, ia buka merupakan kondisi yang sama pada

semua orang.

Karakteristik umum tasawuf di atas terutama dimensi moralnya telah "menyejarah"

dalam masyarakat muslim, bahkan diakui sebagai "doktrin ideal-normatif" Islam. Pada konteks

ini, tasawuf dipahami sebagai "Islam" itu sendiri - sebagai cita-cita kehidupan ideal yang bersifat

spiritual - ketimbang sebagai sebuah "tradisi Islam". Di samping itu, penekanannya pada

perbaikan moral manusia secara individual, menyebabkan tasawuf kehilangan dimensi sosial.

Kecenderungan seperti ini, sebenarnya bertentangan dengan misi Nabi Muhammad SAW. Di

samping menekankan perbaikan moral individuu, Nabi juga menekankan tranformasi sosial. Jadi,

tipologi dan corak tasawuf klasik, sepertinya merupakan sebuah perspektif reduksionis terhadap

doktrin ideal Islam, termasuk sunnah (tradisi nabi, meminjam istilah Fazlur Rahman). Karena itu,

wajar bila para intelektual muslim modern, seperti Iqbal atau Fazlur Rahman, atau Hamka sendiri

mulai kritis dalam melihat "tradisi Islam". Hamka, misalnya menawarkan istilah "tasawuf modern"

sebagai paradigma baru ilmu tasawuf. Sedangkan Rahman, menawarkan istilah "neo-sufisme".

Keduanya, baik tasawuf modern maupun neo-sufisme merupakan reformed sufism. Jika tasawuf

klasik hanya menekankan moral individual, maka tasawuf modern atau neo-sufisme tidak ragu

lagi adalah puritanis dan aktivis. Kecenderungan yang dipahami Rahman dan Hamka pada

dasarnya adalah ingin mengembalikan esensi tasawuf kembali pada tradisi Nabi.

2. Penggolongan tasawuf dalam kategori-kategori

Di wilayah ilmiah, tashawwuf pun digolong-golongkan dengan penambahan titel

klasik dan modern. Misalnya, kini marak pula apa yang disebut sebagai Tasawuf Modern,

Sufisme Modern, Neo-Sufism, atau belakangan disebut pula dengan Tasawuf Positif. Tashawwuf

klasik, walau tetap mementingkan pemahaman esoteris dari setiap ibadah formal yang dilakukan,

masih sering dicap cenderung menarik diri dari kehidupan dunia. Sedangkan tashawwuf

Pemahaman dan penggolongan tashawwuf dengan cara seperti ini sedikit banyak

dipengaruhi oleh sikap anti thariqat yang dipandang sebagai Jalan yang diikuti oleh para shufi

masa lalu. Thariqat dipandang hanya berlandaskan pada ketaqlidan buta terhadap mursyid

Page 211: uf5003

211

sebagai pembimbing spiritual. Bahkan kini pun muncul slogan “Tasawuf Yes, Tarekat No”.

Permasalahannya, dari pandangan seperti itu terlihat bahwa kini jarang ada yang memahami

apakah sebenarnya thariqat itu, dan lebih terbetot perhatiannya pada ekses-ekses yang

dipandangnya ‘negatif’.

Thariqat sebenarnya adalah bagian khusus dari tashawwuf, yaitu aspek

operasionalnya. Thariqat merupakan sikap hidup di dunia, terjun ke dalam ‘lautan’ dunia,

berinteraksi dan beraktivitas dengan manusia, namun jiwanya tidak ‘terbasahi’ oleh dunia. Inilah

yang disebut dengan sikap zuhud, yaitu tidak mengisi hati dengan kecintaan terhadap dunia.

Thariqat sebenarnya memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama adalah menjadi al-

muthahharuun, suatu tingkat kesucian bayi. Pada tingkatan ini, barulah seseorang salik (pejalan

thariqat) dapat ‘menyentuh’ dimensi batin Al-Quran yang bahkan berdimensi hingga tujuh lapis.

Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat pertama. Tujuan kedua adalah bertemu diri, atau

ma‘rifat. Pada tingkatan inilah seseorang baru dapat mengenal diri otentiknya dan mengetahui

misi hidupnya di muka bumi. Pada tingkatan inilah seseorang digelari sebagai syuhada (bisa juga

dengan cara mati syahid). Dan di tingkatan inilah seseorang baru dikatakan mengerti hakikat

syahadat (bagaimana bisa tingkatan seperti ini bisa dicapai hanya dalam satu kali training?).

Pada tingkatan inilah Ruh Al-Quds berbicara di balik jiwa, seperti melihat matahari di balik film

yang memfilter cahayanya yang dapat membutakan mata. Ruh Al-Quds mengingatkan kembali

jiwa dengan perjanjian terhadap Tuhan (QS Al-A’raaf [7]: 172) dan penetapan qadha dan

qadarnya.16 Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat kedua. Tugas seorang mursyid hanya

sampai di tingkatan ini, karena untuk berikutnya yang akan menjadi mursyid adalah Ruh Al-Quds,

yang akan menjadi penasehat dan pembimbing dalam menjalankan misi hidupnya. Adapun

tujuan thariqat yang ketiga adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarrib).

Di sisi lain, secara ilmiah, kini tashawwuf pun digolong-golongkan ke dalam berbagai

tipe wacana, seperti tashawwuf akhlaqi atau tashawwuf filosofis, bahkan ada pula

mengistilahkannya dengan Jalan Cinta (Path of Love) dan Jalan Pengetahuan (Path of

Knowledge). Dalam tradisi wacana modern, hal tersebut merupakan sesuatu yang positif, yaitu

suatu kreativitas dalam mencipta konsep-konsep. Namun, berbeda dengan tradisi spiritualitas,

konsep sebenarnya lebih diarahkan sebagai mimesis dari Kebenaran, sebagai imaji pemikiran,

sebagaimana yang disarankan oleh Plato. Untuk kajian akademis, penggolongan tersebut

memang berguna, namun dalam Jalan spiritual bisa lain masalahnya.

Page 212: uf5003

212

Perbedaan di kalangan shufi—yang telah sering dibukukan—sebenarnya hanyalah

sebatas peristilahan, bukan konsep. Ajaran-ajaran yang ditulis oleh para shufi besar tak ubahnya

televisi dengan berbagai macam tipe bentuk dan ukuran, namun kesemuanya menayangkan satu

siaran dari stasiun televisi yang sama. Tak ubahnya air yang mengambil bentuk wadahnya,

sehingga tampak berbeda bentuk, padahal esensinya tetaplah air. Tak ada perbedaan antara

satu sama lainnya karena pengetahuan mereka lahir dari keberserahdirian total. Yang

membedakan adalah wadah pembahasaannya. Seorang Suhrawardi atau Mulla Shadra yang

ketika muda lebih terbiasa dengan wacana filsafat, ketika membahasakan tashawwuf akan

menggunakan bahasa-bahasa filsafat. Karena itu, untuk zaman sekarang, apabila muncul

kembali shufi sekaliber Ibn ‘Arabi atau Rumi yang ketika mudanya terbiasa dengan wacana sains,

bukan tidak mungkin pembahasannya tentang tashawwuf akan menggunakan bahasa-bahasa

sains.

Selain itu, pengetahuan mistik yang berasal dari Satu Sumber bagi para shufi lebih

berfungsi untuk meningkatkan hakikat ‘ubudiyyah. Inilah perbedaan yang cukup mencolok

dengan wacana Tasawuf Modern. Kecenderungan wacana tersebut adalah melakukan klasifikasi

dan mencari berbagai perbedaan di antara ajaran-ajaran tersebut secara kreatif untuk penciptaan

konsep-konsep baru, dan seringkali tidak langsung diniatkan sebagai Jalan spiritualitas. Hal ini

terlihat cukup jelas dengan tidak adanya lagi karya-karya tashawwuf yang kualitasnya sebanding

dengan karya-karya para shufi terdahulu, seperti Fushush Al-Hikam dari Ibnu ‘Arabi, Al-Hikam

dari Ibnu Atha’illah, Ihya ‘Ulumuddin dari Imam Al-Ghazali, Hikmah Muta’aliyyah dari Mulla Sadra,

Al-Mawaqif wal Mukhathabat dari Imam An-Nifari, dan banyak lagi yang lainnya. Apabila para

shufi zaman dulu menulis karyanya dari hasil berthariqat, mencapai ma‘rifat, dan menemukan al-

‘ilm at-tasawwur-nya serta dianugrahi nur ilmu, setelah sekian tahun jatuh bangun dalam

berbagai ujian kehidupan dan menjalani misi hidupnya, maka wacana tashawwuf

hari ini lebih didominasi oleh wacana-wacana rasional tanpa pengalaman dan

pengetahuan mistik.

3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf?

Selama ini para peminat kajian tasawuf Islam cukup kesulitan memberikan batasan

definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari diskursus

tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar selama ini minimal ada

Page 213: uf5003

213

dua pendekatan yang dilakukan para ulama dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan

pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan ahistoris.

Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa menjerumuskan

umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan

menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang dalam, mazhab kedua ini

cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Maka, bila yang pertama terkesan rigid

dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak

jelas landasan teologisnya (al-Quran dan as-Sunnah). Dari sinilah sebenarnya kita dituntut untuk

bisa mengambil posisi mu’tadil (moderat). Dalam bahasa al-Quran posisi ini disebut, lâ ilâ hâulâi

wa lâ ilâ hâulâi (tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri). Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini

selalu ada kesan negatif dalam ranah tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan

individual; yang lebih mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek

kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan karakternya yang demikian, tasawuf kemudian

menjadi cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi; teosentris. Seolah-olah hidup di dunia

hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-nâs menjadi banyak

terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran non-egaliter dan irasional.

Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur tasawuf bahwa seorang murid ketika

berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit yang terbujur kaku di depan orang yang

memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan semangat tauhid Islam yang menekankan

kesetaraan antar sesama.

Di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa tasawuf pun telah melahirkan banyak hal

positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas, qanâ’ah dan

urusan akhlak lainnya. Seorang orientalis kawakan berdarah Perancis penganut aliran marxisme;

Roger Geraudi, terrtarik untuk masuk Islam karena terkagum pada ajaran tasawuf. Di samping itu

pula, bila digunakan sesuai dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara apik dengan

tarekat, maka dari tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme

dan diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi kesimpulannya adalah

bahwa tasawuf memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga

memiliki sisi positif.

Apa yang bisa dikonsep untuk melahirkan posisi i’tidâl dalam ranah tasawuf ini? Yusuf

Qardhawi dalam bukunya Tsaqâfah Dâ’iyah berusaha memetakan bentuk interaksi yang mu’tadil

Page 214: uf5003

214

terhadap tasawuf. Dan inilah yang tepat untuk menformulasi tasawuf dari kelompok yang tidak

menolak tasawuf dalam Muhammadiyah. Pertama, kita selayaknya menolak seluruh paham

tasawuf yang lahir atas dasar logika (falsafah), seperti, al-hulûl dan wihdatu’l wujûd. Kedua,

memanfaatkan sisi positif tasawuf yang bersifat akhlaqi dan tarbawi. Ketiga, meninggalkan segala

bentuk ajaran tasawuf yang bertentangan dengan akidah dan beraliran skeptisme. Mari sama-

sama kita renungkan ayat al-Quran yang menganjurkan pentingnya sikap washatiyyah ini. “Dan

demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu

menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas

(perbuatan) kamu…." (QS al-Baqarah/2:143). Ada satu langkah yang harus dilakukan dalam

ranah tasawuf ini, yaitu rekonstruksi. Dua hal ini tidak paradoks bila dilakukan secara adil. Ajaran

yang harus di dalam dunia tasawuf adalah ajaran yang non-egaliter, irasional dan individualistic

dan diganti menjadi ajaran-ajaran positif, yaitu dengan menjadikan tasawuf sebagai 'nafas' pada

setiap gerak anak adam. Ajaran positif terhadap tasawuf ini menjadikan tasawuf sangat elastis

dan terus mengikuti perkembangan zaman. Kalau dulu seorang wali muncul dari goa-goa

pertapaan, diera moderen mungkin saja seorang waliyullah keluar dari perkantoran-perkantoran,

berdasi dan naik mercy. Tasawuf itu elastis, tidak jumud dan terus berkembang.

Muhammadiyah secara formal memang menolak tashawwuf, karena tashawwuf,

menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual

yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban

seperti yang dipunyai NU. Tapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tashawwuf dan dzikir tidak

dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tashawwuf dapat diterima oleh mereka

sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji.

Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat

sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai hari ini

sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Terkait dengan dua tokoh yang menjadi rujukan dalam Muhammadiyah yaitu KH

Ahmad Dahlan dan Hamka dalam hal tasawuf terjadi perbedaan. Ahmad Dahlan dikenal sebagai

pembaru ajaran Islam dari 'penyakit' TBC. (takhayul, bid’ah, dan c/khurafat). Ungkapan dia yang

terkenal di kalangan Muhammadiyah adalah 'Semua ibadah diharamkan kecuali ada perintah dan

semua muamalah (masalah dunia) boleh dilakukan kecuali ada larangan.' Dalam hal itu, Hamka

sama dengan KH Ahmad Dahlan. Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan sekaligus

Page 215: uf5003

215

pembaru. Bedanya, kalau ajaran Dahlan 'kering' dari spiritualisme atau kerohanian, Hamka justru

sebaliknya. Ia merupakan penganjur dan bahkan menulis sejumlah buku tentang tasawuf. Ia

sanga fasih mengupas sisi kehidupan spiritual Nabi Muhammad dan para sahabat, serta ajaran

dan personifikasi dari para tokoh-tokoh sufi/tarekat dari abad pertengahan hingga yang ada di

nusantara. Ia sering mengutip ayat Alquran Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub yang menjadi dasar

ajaran tawawuf.

Ayat ini pulalah yang menjadi pegangan kaum nahdliyin dalam mengamalkan

kehidupan kesufian/kerohanian. Di sinilah kesamaan Hamka dengan KH Hasyim Asy'ari. Namun,

berbeda dengan kaum Nahdliyin, sufistik Hamka tidak mengikuti salah satu ajaran maupun

amalan tarekat yang diakui oleh NU. Dari buku-buku sufistik yang ditulisnya tampak Hamka tidak

menjalani ritual tertentu seperti yang dijalankan pengamal tarekat pada umumnya. Misalnya

suluk, baiat, dan amalan-amalan tertentu yang dijalankan pada waktu-waktu tertentu. Dalam hal

ini bahkan Hamka mengritik amalan-amalan sufistik yang dianggap menyimpang yang mengarah

pada syirik.

Sebagai misal ia mengritik amalan-amalan yang mengarah pada pemujaan berlebihan

terhadap Sheikh Abdul Qadir Jaelani, Terlepas kritiknya terhadap tarekat, Hamka, seperti

dikemukakan di atas, merupakan penganjur dan sekaligus pengamal tasawuf (yang

mementingkan sisi rohani) dalam kehidupan sehari-hari. Ini pulalah yang mendekatkan Hamka

dengan kalangan warga NU. Bahkan terhadap kalangan NU, ia dikenal sangat toleran. Meskipun

ia seorang tokoh Muhammadiyah, tapi saat menjadi imam salat Subuh di masjid sering memakai

qunut manakala ia tahu banyak warga NU yang ikut berjamaah. Dari puluhan buku yang

ditulisnya, Hamka juga tampak sengaja menghindar dari membahas masalah-masalah furi'iyah

(cabang), yang seringkali menjadi perdebatan tajam antara kalangan Muhammadiyah dan NU.

Page 216: uf5003

216

BAB V

P E N U T UP

A. Kesimpulan

Muhammadiyah secara formal memang menolak tashawwuf, karena tashawwuf, menurut

Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat

ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang

dipunyai NU. Tapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tashawwuf dan dzikir tidak dilakukan warga

Muhammadiyyah. Amalan-amalan tashawwuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik

individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat

menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta

mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai hari ini sikap hidup yang demikian masih

terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Secara umum hasil penelusuran landasan dasar muhammadiyah tidak dijumpai

adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU,

yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan

ajaran dasar al Qur’an san Sunnah. Secara umum terdapat tiga sikap dikalangan

intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara

total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akomodatif

Page 217: uf5003

217

1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf

Kelompok yang menolak ini beranggapan beribadah adalah suatu

konsep yang sudah paten dan tidak boleh mengada-ada. Apabila kedua hal ini

yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif

Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah

Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ada

konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka

hal tersebut tidak boleh dilakukan. Penolakan terhadap tasawuf juga dikarenakan

tasawuf tidak ditemukan dan dirumuskan dalam Islam. Rumus dasarnya adalah

segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan terdapat dalam Qur’an

dan Sunnah maka itulah yang dilakukan. Sebagai contoh adalah bacaan takbir

tahmid sebanyak 33 kali setelah ba’da Isya, ini boleh dilakukan dikarenakan

sesuai ajaran Rosulullah tetapi bacaan Ya Latif sebanyak 33 kali itu tidak ada

dalam Islam. Sikap penolakan terhadap tasawuf juga didasarkan atas rumusan

dasar bahwa ijtihad dalam bidang ibadah adalah kharam. Berijtihad hanyalah

untuk aspek-aspek dunyawiyah. Muhamadiyah yang diamalkan tidak boleh

lepas dari landasan dasar perserikatan terutama Muqodimah Anggaran Dasar,

MKCHM, Pedoman Islami Warga Muhammadiyah, dan Kepribadian

Muhammadiyah. Dari kesemua landasan ini, tasawuf tidak dikenal dan sebagai

sesuatu yang dianggap bid’ah dan tidak islami.

2. Bersikap Terbuka terhadap Tasawuf

Kelompok ini beranggapan bahwa konsep tasawuf secara formal tidak

dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan

Page 218: uf5003

218

dipahami ia sebagai salah satu elemen utama dari tasawuf melainkan memang

dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep

dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah, sehingga tidak dikenal dzikir yang

diucapkan sebanyak 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya. Perintah

untuk memperbanyak dzikir memang ada dalam Islam dengan maksud untuk

lebih memahami suatu amal perbuatan ibadah tertentu tetapi secara khusus

penyebutan angka tidak ada. Dzikir memang dipraktekkan dalam

Muhammadiyah dan semakin banyak, semakin bagus. Terkait dengan jumlah

dzikir yang harus dibatasi, sekian dan sekian, 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau

sebagainya serta apabila tidak sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan baik

itu kurang atau kelebihan maka tidak maqbul, ini yang tidak diterima dalam

Muhammadiyah. Apalagi jika harus dipahami 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau

sebagainya itu sebagai anak kunci yang apabila tidak pas maka tidak dapat

digunakan untuk membuka, ini dinilai kelompok ini sebagai sesuatu yang tidak

berdasar.

Tasawuf dalam perspektip kelompok ini adalah mengamalkan apa yang

oleh HAMKA disebut sebagai Tasawuf Modern. Terkait dengan dzikir, dapat

dilakukan dalam bentuk ucapan yang dalam aplikasinya diserahkan menurut

pribadi masing-masing dan dalam bentuk perbuatan yang dalam Muhammadiyah

disebut dengan amal usaha baik berbentuk pembangunan Perguruan Tinggi,

rumah sakit dan lain sebagainya. Kelompok ini mengakui ada kesan

Muhammadiyah mengalami kegersangan bacaan-bacaan dzikir tetapi

sesungguhnya Yasinan, Tahlilan itu ada dalam Muhammadiyah, yang ditolak

Page 219: uf5003

219

hanyalah tawasul dan khadroh. Hal ini dikarenakan dalam Muhammadiyah

tawasul tidak melalui orang perorang melainkan melalui amal berbuatan.

3. Akomodatif terhadap Tasawuf

Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan

oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci”

sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam

Muhammadiyah menurut kelompok ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik” yang terlembaga dalam konsep “akhlak,

ikhsan dan irfan”. Penolakan tasawuf dalam Muhammadiyah selain tidak mendapat legalitas dalam Qur’an dan Sunnah

juga karena adanya asketisme dalam kelompok-kelompok tertentu dalam tasawuf. Tasawuf dalam muhammadiyah

adalah tasawuf modern HAMKA yang lebih subtantif.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis paparkan di sini adalah sebagai berikut:

Kesimpulan di atas, janganlah dijadikan pedoman final, tetapi sebagai landasan awal

untuk proses pengkajian lebih lanjut, sehingga upaya pembaharuan pemahaman

Islam perlu dilakukan secara terus menerus supaya lebih dinamis dan akomodatif

terhadap persoalan peradaban dan realitas masyarakat.

C. Penutup

Terakhir penulis bersyukur kepada Tuhan, atas rencana hidup dan

keridoannya yang mempertegas keyakinan penulis bahwa garis taqdir memang

sudah tersuratkan dan manusia tinggal meniti sesuai petunjuk dan pertolongan-Nya.

Ungkapan ini penting untuk melukiskan betapa sulit dan beragam kebingungan serta

tantangan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan penelitian ini realitas

kehidupan yang terus bergulir. Semoga dengan segala keterbatasan hasil penelitian

ini dapat bermanfaat dan mampu sebagai pemicu awal dalam studi tentang Kompas

dan media pada umumnya untuk menemukan ritual lain dari kajian keislaman

selama ini. Amin.

Page 220: uf5003

220

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1996, Studi Agama: Normativitas Atau Historisitas, Yogyakarta,

Pustaka Pelajar Abdurrahman, Moeslim Dkk. 1999, Islam, Masyarakat Madani Dan Demokrasi,

Surakarta, Muhammadiyah University Press. Abu Zaed,, Nasr Hamid, 1997, Imam Syafi` : Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, Terj.

Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS. Aceh, Abubakar, 1985, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, ---------------------, 1984,Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, Al-Afifi, Abu A’la, 1989, Filsafat Mistic Ibn Arobi, Terj. Syahrir Mawi Dan Nandi

Rahman, Jakarta: Gaya Media Pratama, Al-Faruqi Ismail Raji, Dan Louis Lamya Al Faruqi, 1998, Atlas Budaya Islam,

Bandung: Mizan, Alfian, Alfan, 1989, The Muhammadiyah Political Behavior Of A Moslem Modernits

Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,

Page 221: uf5003

221

Ali, Yunasri, 2002., Jalan Kearifan Sufi : Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,

---------------, 2003, Jatuh Hati Pada Ilahi, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,.

--------------, 1997, Manusia Citra Ilahi : Perkembangan Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi Oleh Al Jili, Paramadina, Jakarta,.

---------------, 2003, Ruh Dan Jenjang-Jenjang Rohani, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.

Ansori, Afif, 2003, Dzikir Dan Kedaamaian Jiwa : Solusi Tasawuf Atas Persoalan Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian , PT Rineka Cipta, Jakarta

At-Taftazani, Abu el Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta,

Al-Kalabazi, 1969, Al-Taa’rruf Limadzahabi Ahli Al-Tasawwuf, Cairo: Maktabah Al

Kulliyat Al-Azhariyah, Al-Qusyairi, Tt , Risalah Al-Qusairiyah Fi Ilm Al Tasawuf, Beirut: Dar Al-Khoir Al-Suhrawardi, 1358 H , Awarif Al-Ma’arif, Cairo: Maktabah Al-Alamiyah, Al-Taftazani, Abu Al Wafa, 1979, Madkhol Ila Al Tasawuf Al Islam, Kairo: Dar Al

Shaqofah, Amal, Taufiq Adnan, 1989, Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rachman, Bandung: Mizan, Amstrong, Amanullah, 1996, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, Anshori, Afif, , 2003, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf Atas Persoalan

Manusia Modern, Jogyakarta: Pustaka Pelajar

Arberry, AJ., 1988, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj Bambang Herawan, Bandung: Mizan

-----------------, 1979, Sufism: An Account Of The Mystic Of Islam, London: Unwin Paperboche

Page 222: uf5003

222

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian , PT Rineka Cipta, Jakarta,

Assyaukanie, Luthfi, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Dalam

Jurnal Paramadina, 2/4/2000 Asykuri Dkk. 2003, Purifikasi Dan Reproduksi Budaya Di Pantai Utara Jawa,

Surakarta: PSB-PS UMS

At-Taftazani, Abu El Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama Dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta,.

Azhar, Muhammad, Dan Hamim Ilyas (Ed.), 2000, Pengembagan Pemikiran Keislaman

Muhammadiyah: Purifikasi Dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI UMY Basyuni, Ibrahim, 1969, Nasyaih Al-Tashawwuf Fi Al Islami, Kairo: Dar Al-Maarif, Burhani, Ahmad Najib, 2002, Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf

Positif, Jakarta: Hikmah Bazur Ilahi, Syaikh Ibrahim, 1986, Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al Hallaj:

Anal Haqq, Terj. Jobar Ayoeb, Jakarta : Rajawali, Beck. HL Dan NJE. Kaptain (Ed.), 1988, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum,

Filosofi, Teologi Dan Mistic Dalam Tradisi Islam, Jakarta: INIS, Bergin, Allen E., “Psikoterapi And Nilai-Nilai Religius”, Jurnal Ulumul Al Qur’an,

Nomor 4 Vol. V, Tahun 1995

Burhani, Ahmad Najib, 2002., Tarekat Tanpa Tarekat : Jalan Baru Menjadi Sufi, Serambi, Jakarta

Coulson`S, Noel J, 1983, Hukum Islam Dalam Persfektif Sejarah, Jakarta: P3M,

Damami, Muhammad, 2000, Tasawuf Positif : Dalam Pemikiran Hamka, Fajar Pustaka, Yogyakarta,

Effendi, Djohan, 1993, Sufisme Dan Masa Depannya, Jakarta: Pustaka Firdaus, Ensiklopedi Islam Tematis, 2004, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoove,

Page 223: uf5003

223

Fariza, 2003, Islam Bukan Agama Misionaris Tapi Agama Peradaban, Jakarta, Ma’arif Institute.

Fauzan, Sholeh, 1998, Haqiqout Tashawwuf Wa Mauqifush Shufiyah Min Ushulil

Ibadah Wa Addin, Terj. Muhammad Ali Ismah, Solo: Pustaka As-Shof, Haeri, Syaikh Fadhlullah, 2000, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj. Ibnu Burdah,

Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Hallaq, Wael B., 2000, Sejarah Teori Hukum Islam, Terj. , Jakarta: Rajawali Pers, HAMKA, 1971, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ------------, 1980, Tasawuf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, -------------, 1978, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul

Islam, HAR. Gibb, 1964, Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Barata,

Hawwa, Said, 1408 H, Tarbiyatunur Ruhiyah, Darus Salam, Mesir,

Hidayat, A., “Tasawuf Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Serta Pandangan Ulama”, Jurnal

Khasanah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 1 No. 3 Januari-Juni, 2003

Hidayat, Komarudin, 1985,“Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap

Manusia Modern”, Dalam Dawam Raharja (Ed), Insan Kamil, Jakarta: Grafida Press,

Hisyam, Muhammad, , 2001, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under

Dutch Colonialism Administration 1882–1942, Jakarta: INIS Iqbal, Muhammad, 1981, Recontruction Of Religions Thought In Islam, New Delhi:

Nasrat Ali Nasri Of Kitab Bavan,

Isa Walay, Muhammad, 1989, Fikr Dan Dzikir Dalam Sufisme Persia Awal, Terj. Ribut Wahyudi, Pustaka Sufi,

Khaldun, Ibn, Al Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr, Tt KHR. Hadjid, 1996, Ajaran K. H. Ahmad Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat–Ayat Al

Quran, Semarang: PWM Jawa Tengah, ,

Page 224: uf5003

224

Manrihu, Muhammad Tayib, 1992, Penyuluhan Bimbingan Dan Konseling Karir, Bumi Aksara, Jakarta,

MT. Arifin, 1987, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Bumi Aksara,

Mubarak, Ahmad, 2000, Jiwa Dalam Al-Qur’an : Sulusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, Paramadina, Jakarta,

Muhaya, Abdul, “Melintas Tingkatan Spiritualitas Melalui Musik”, Disampaikan Dalam

Stadium General Perkuliahan Semester Gasal 2000/2001 Di IAIN Walisongo Semarang Tanggal 1 September 2000

Mulkhan, Abdul Munir, 1989, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan Dan Amal

Usaha, Yogyakarta: Percetakan Persatuan, ----------------------------, 1998, Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat Dalam Masyarakat

Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Nafies, Muhammad Wahyuni (Ed), 1996, Rekonstruksi Dan Renungan Religius Islam,

Jakarta: Paramadina, Najati, Muhammad Ustman, 1980, Ilm Al Nafs Fi Hayatina Al Yaumiyah, Kuwait: Dar

Al Qolam,

Nasir, Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

Nasr, Seyyed Husain, 1993, Islam Dalam Cita Dan Fakta, Terj. Abdurrahman Wahid,

Jakarta: Lapenas, ---------------- , 1980, Living Sufisme, George Allen And Unwin Great Britain, -----------------, 1983, Islam Dan Nestapa Manusia Modern, Terj. Anas Mahyudin,

Bandung: Pustaka, Nasution, Harun, 1995, “Tasawuf”, Dalam Budhi Munawar Rahman, Rekonstruksi

Doktrin Islam Dan Sejarah, Jakarta: Paramadina, ---------------------, 1990, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ---------------------, 1974, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan

Bintang, Nicholson, RA., 1979, The Mystic Of Islam, London And Boston: Routledge And

Kegan Paul,

Page 225: uf5003

225

Nurbakhshi, Javad, “Tasawuf Dan Psikoanalisa: Konsep Irodah Dan Transformasi Dalam Psikologi Sufi”, Jurnal Ulumul Al-Qur’an, Nomor 8 Tahun 1991

Nasution, Harun, dkk., 2004, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI, Dirjen

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Jakarta: .

Othman, Ali Isa, 1998. Manusia Menurut Al Ghazali, Terj. Anas Mahyudin, Pustaka, Bandung,

Pengurus Pusat Muhammadiyah, 2004, Dakwah Kultural Muhammadiyah, Yogkayarta: Suara Muhammadiyah.

Praja, Juhaya, S., 1995, Model Tasawuf Menurut Syariah : Penerapannya Dalam Perawatan Korban Narkotik Dan Berbagai Penyakit Ruhani, Latifah Press, Tasikmalaya,

Rabbani, Wahid Bakhsh, 1995, Islamic Sufism, Kuala Lumpur: AS. Noordeen, Rachman, Fazlur, Islam, 2000, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, ----------------------, 1993, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyudin, Bandung:

Pustaka, 1993 ---------------------, 1993, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin, Bandung:

Pustaka, Rachmat, Jalaludin, 1999, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja

Rosdakarya, Russell, Bertrand, 1927, Mysticism And Logic, New York: Modern Liberary, Schemmel, Annemarie, 1986, Mystic Dimention In Islam, Terj. Supardi Joko Damono,

Jakarta: Pustaka Firdaus, Shihab, Alwi, 1998, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap

Penetrasi Misi Kristen Di Indonesia, Terj. Ali Ihsan Fauzi, Bandung: Mizan,

-------------------------, 2001, Al-Tashawwuf Al-Islami Wa Atsaruhu Fi Al-Tashawwuf Al-

Indunisi Al'Mu' Ashir , Terj. Islam Sufistik: "Islam Pertama" Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, Bandung: Penerbit: Mizan,

Page 226: uf5003

226

Syafi’i Ma’arif, Ahmad, 1995, Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Syukur, Amin, 1996, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Taimiyah, Ibn, 1986, Tasawuf Dan Kritik Terhadap Filsafat Tasawuf, Terj. Aswadi

Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, Trimingham, Spencer, 1971, The Sufi Orders In Islam, New York: Oxford University Umari, Barmawi, 1961, Sistemik Tasawuf, Solo: Ramadhani, Valiudin, Mir, , 1981, The Qur’anic Sufism, New Delhi: Matilal Banarsidas

Van Bruinesenn, Martin, 1992, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan Pustaka Utama, Bandung,.

Zachner, RC., 1969, Hindu And Muslim Mysticism, New York: Socke Book, Zakiyuddin, Baidhowi, Dan M. Jinan, 2002, Agama Dan Pluralitas Budaya Lokal,

Surakarta: PSB-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta, Zuhri, Mustafa, 1979, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu,

Nasir, Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bastaman, Hanna Djumhana, 1997, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hidayat, Komarudin, 1985,“Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern”, Dalam Dawam Raharja (Ed), Insan Kamil, Jakarta: Grafida Press,

HAMKA, 1971, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ------------, 1980, Tasawuf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, -------------, 1978, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul

Islam, Rachmat, Jalaludin, 1999, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja

Rosdakarya, Burhani, Ahmad Najib, 2002, Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf

Positif, Jakarta: Hikmah Bazur Ilahi, Syaikh Ibrahim, 1986, Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al Hallaj:

Anal Haqq, Terj. Jobar Ayoeb, Jakarta : Rajawali, Amal, Taufiq Adnan, 1989, Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rachman, Bandung: Mizan,

Page 227: uf5003

227

Amstrong, Amanullah, 1996, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, Anshori, Afif, , 2003, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf Atas Persoalan

Manusia Modern, Jogyakarta: Pustaka Pelajar

Arberry, AJ., 1988, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj Bambang Herawan, Bandung: Mizan

Iqbal, Muhammad, 1981, Recontruction Of Religions Thought In Islam, New Delhi: Nasrat Ali Nasri Of Kitab Bavan,

Isa Walay, Muhammad, 1989, Fikr Dan Dzikir Dalam Sufisme Persia Awal, Terj. Ribut Wahyudi, Pustaka Sufi,

Nasution, Harun, 1995, “Tasawuf”, Dalam Budhi Munawar Rahman, Rekonstruksi Doktrin Islam Dan Sejarah, Jakarta: Paramadina,

---------------------, 1990, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ---------------------, 1974, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan

Bintang,

BIODATA PENULIS Nama : H. AHMAD SYA’RONI Tempat Tangal Lahir : Jepara, 10 Februari 1943 Alamat Rumah : Bantrung RT.01 RW. II, Kecamatan Batealit, Jepara Phon. 081 325 025871 Alamat Kantor : Fakultas Dakwah, Inisnu Jepara

Jln. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara, telp/fax: 0291 593132, Email: [email protected]

Pengalaman Pekerjaan

1. Dosen IAIN Walisongo Semarang 2. Dosen Undaris 3. Dosen STAIN Kudus

Page 228: uf5003

228

4. Pembantu Rektor III Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara 5. Dekan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara

Pengalaman Organesasi

1. Ketua MWC NU Kecamatan Batealit Jepara 2. Anggota Mukhtasyar NU Cabang Jepara 3. Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi Islam NU (Yaptinu) Jepara 4. Ketua Yayasan Pendidikan “Amal Muslimin” Jepara

Lampiran

DAFTAR RESPONDEN No Nama Keterangan 01 Hamzah Sekretaris PDM Kota Semarang

Dosen IKIP PGRI Semarang 02 Suratman Wakil Ketua PDM Kota Semarang 03 Aan Jumeno Wakil Sekretaris PDM Kota Semarang 04 Nurbini Wakil Ketua PDM Kota Semarang

Dosen IAIN Walisongo 05 Harminto Wakil Ketua PDM Kota Semarang 06 Tabri Hasani Wakil Ketua PDM Kota Semarang

Dosen Unimus 07 Hasan asy’ari Ulamai Wakil Ketua PDM Kota Semarang

Dosen IAIN Walisongo

Page 229: uf5003

229

08 Rozihan Wakil Ketua PWM Jawa Tengah Dosen Unisula

09 Tafsir Sekretaris PWM Jawa Tengah Dosen IAIN Walisongo

10 Saifudin Waspada Wakil Ketua PWM Jawa Tengah 11 Marpuji Ali Ketua Umum PWM Jawa Tengah

Dosen UMS Surakarta 12 Ahmad Rifai Kepala Divisi Kajian Majalan Cermin PWM

Jawa Tengah Dosen AIS Semarang

13 Arif Rachman Ketua Majelis Tablig PDM Kota Semarang 14 Wahyudi Wakil Ketua PDM Kota Semarang

Dosen IAIN Walisongo 15 Hasan Rifai Wakil Ketua PDM Kota Semarang

Dosen Unimus