tutorial anton

11
Apakah penyebab pasien mengalami kencing berulang pada malam hari? Inkontinensia urin meningkat seiring proses menua. Akan tetapi, proses menua bukanlah penyebabnya melainkan hanya faktor predisposisi penyakit ini. Proses penuaan pada manusia (pria maupun wanita) menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis urogenital bawah. Hal ini terkait dengan kadar hormon yaitu terjadi penurunan produksi androgen pada pria maupun estrogen pada wanita (Sudoyo, 2006). Hal ini akan berdampak pada perubahan morfologis kandung kemih (vesika urinaria) manusia berupa timbulnya fibrosis dan penurunan kandungan kolagen pada dinding vesika urinaria. Selain itu, fungsi kontraktil vesika urinaria juga tidak efektif lagi. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya trabekulasi pada otot detrusor dan divertikel pada dinding dalam vesika urinaria. Sedangkan, pada mukosa vesika urinaria terjadi atrofi, perubahan vaskularisasi submukosa, dan penipisan otot uretra sehingga terjadi penurunan penutupan uretra oleh otot tersebut (Sudoyo, 2006).

Upload: mahardika-frityatama

Post on 17-Dec-2015

225 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

geriatri

TRANSCRIPT

Apakah penyebab pasien mengalami kencing berulang pada malam hari? Inkontinensia urin meningkat seiring proses menua. Akan tetapi, proses menua bukanlah penyebabnya melainkan hanya faktor predisposisi penyakit ini. Proses penuaan pada manusia (pria maupun wanita) menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis urogenital bawah. Hal ini terkait dengan kadar hormon yaitu terjadi penurunan produksi androgen pada pria maupun estrogen pada wanita (Sudoyo, 2006).Hal ini akan berdampak pada perubahan morfologis kandung kemih (vesika urinaria) manusia berupa timbulnya fibrosis dan penurunan kandungan kolagen pada dinding vesika urinaria. Selain itu, fungsi kontraktil vesika urinaria juga tidak efektif lagi. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya trabekulasi pada otot detrusor dan divertikel pada dinding dalam vesika urinaria. Sedangkan, pada mukosa vesika urinaria terjadi atrofi, perubahan vaskularisasi submukosa, dan penipisan otot uretra sehingga terjadi penurunan penutupan uretra oleh otot tersebut (Sudoyo, 2006).Terdapat 4 tipe Inkontinensia Urin yaitu sebagai berikut:

1. Inkontinensia urin tipe urgensi, yaitu ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya berupa urgensi , frekuensi , dan nokturia2. Inkontinensia urin tipe stres, yang terjadi akibat tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau mengejan, terutama terjadi pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan, operasi dan penurunan estrogen.

3. Inkontinensia urin tipe overflow, yaitu meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-Iaki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan dapat menimbulkan. Manifestasi klinisnya berupa berkemih sedikit, pengosongan kandung kemih tidak sempurna, dan nokturia. 4. Inkontinensia urin tipe fungsional, yaitu terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada demensia berat, gangguan mobilitasApa sajakah komplikasi dari kencing berulang pada malam hari?

Kencing berulang pada malam hari menyebabkan kualitas tidur menurun, berakibat menurunnya fungsi fisik dan kognitif. Misalnya merasa kelelahan di waktu siang. Selain itu juga meningkatkan insidensi jatuh pada usia lanjut. Jatuh dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Osman, 2013). Selain itu, berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi (Sudoyo, 2006).

Bagaimana fisiologi tidur pada LANSIA? Bagaimana siklus tidur pada LANSIA? Fisiologi tidur dapat diterapkan melalui gambaran aktivitas sel-sel otak selama tidur, dan dapat direkam dengan elektroensefalograf (EEG). Untuk merekam otak orang yang sedang tidur, digunakan poligrafi EEG. Dengan cara ini kita dapat erekam stadium tidur adalah sebagai berikut:1. Stadium jaga (wake)EEG : Pada keadaan rileks dan mata tertutup, gambaran didominasi oleh gelombang alfa. Tidak ditemukan adanya kumparan tidur dan kompleks K.

Elektrookuloagraf (EOG) : Gerakan mata berkurang, kadang-kadang terdapat artefak yang disebabkan oleh gerakan kelopak mata

Elektromiograf (EMG) : Kadang-kadang tonus otot meninggi

2. Stadium I

EEG : Terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang-kadang teta. Tidak terdapat kumparan tidur, kompleks K atau gelombang delta

EOG : Tidak terlihat aktivitas bola mata yang cepat

EMG : Tonus otot menurun dibandingkan dengan stadium W.

3. Stadium II

4. EEG : Terdiri atas gelombang campuran alfa, teta dan delta. Terlihat adanya kumparan tidur dan kompleks K.

EOG : Tidak terdapat aktivitas bola mata yang cepat.

EMG : Kadang-kadang terlihat peningkatan tonus otot secara tiba-tiba, menunjukkan bahwa otot-otot tonik belum seluruhnya dalam keadaan rileks.

5. Stadium III

EEG : Persentase gelombang delta antara 20- 50 %. Tampak kumparan tidur.

EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat.

EMG : Gambaran tonus otot yang jelas dari Stadium II.

6. Stadium IV

EEG : Persentase gelombang delta mencapai lebih dari 50%. Tampak kumparan tidur.

EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat

EMG : Tonus otot menurun dari pada stadium sebelumnya.

7. Stadium REM (Rapid Eye Movement)EEG : Terlihat gelombang campuran alfa, beta dan teta. Tidak tampak gelombang delta, kumparan tidur dan kompleks K.EOG : Terlihat gambaran REM yang lebarEMG : Tonus otot sangat rendah. Frekuensi di tinggi dan ereksi.

Stadium I dan II disebut sebagai tidur ringan, sedangkan Stadium III dan IV sebagai tidur dalam. Stadium I, II, III dan IV disebut Stadium non REM (NREM).

Stadium REM dikatakan sebagai tidur ringan, sehingga stadium ini juga disebut sebagai paradoxical leep. Pada stadium REM, individu mengalami peristiwa mimpi dengan intensitas tinggi sehingga panca indera ikut terangsang.

Terdapat perubahan tidur secara subjektif dan objektif pada usia lanjut. Survei epidemiologic menunjukkan bahwa pada usia lanjut yang tinggal di rumah atau panti werda menunjukkan bahwa 15- 75 persen dari mereka tidak puas dalam lamanya dan kualitas tidur malam. Pada usia lanjut wanita sehat secara subjektif lebih merasakan kesulitan tidur dari pada pria.

Yang paling mencolok pada karakteristik tidur pada usia lanjut ialah konfirmasi poligrafik pada upaya setelah dimulai tidur. Struktur tidur pada usia lanjut berubah dengan meningkatnya stadium I sehingga terjadi fragmentasi atau disrupsi dari struktur tidur. Berkurangnya tidur mempunyai dampak pada pemulihan fungsi tidur.

Orang lanjut usia membutuhkan waktu lebih lama untuk msuk tidur (berbaring lama di temnpat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur (Sudoyo, 2006).

Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur (Sudoyo, 2006). Apa sajakah efek samping dari penggunaan obat tidur dalam jangka panjang?Obat tidur memiliki berbagai efek samping seperti rasa kantuk berkepanjangan keesokan paginya, mulut kering, kebingungan, lupa, pusing, sakit kepala, sembelit, nyeri otot, dan insomnia lanjutan. Bila pasien memiliki alergi, obat tidur juga dapat membuat wajah membengkak, memori yang tidak stabil, dan halusinasi.

Apa Drug of Choice obat tidur pada LANSIA? Keadaan seperti apa yang harus diberi obat tidur? Pada lansia yang mengalami gangguan tidur pada dasarnya lebih baik memberi tata laksana terlebih dahulu untuk penyakit yang menyebabkan gangguan tidur pada lansia. Hal ini dikarenakan adanya penurunan fungsi organ tubuh pada lansia sehingga sebisa mungkin meminimalisir obat yang masuk. Selain itu, menjaga pola hidup sehat lebih disarankan bagi lansia yang mengalami gangguan tidur dibandingkan mengkonsumsi obat tidur dalam jangka waktu lama.

Namun, beberapa keadaan gangguan tidur memang bisa diberikan obat tidur misalnya obat transkuiliser minor (contoh : golongan benzodiazepin) dapat diberikan kepada penderita insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu yang tidak lama. Selain itu, akhir-akhir ini obat yang sedang marak dipakai sebagai obat tidur adalah melatonin, namun sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut.

Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia pada usia lanjut. BZDs menimbulkan efek sedasi karena bekerja secara langsung pada reseptor benzodiazepine. Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep latency, dan mencegah pasien terjaga di malam hari. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur. Absorpsi dari BZDs tidak dipengaruhi oleh penuaan akan tetapi peningkatan masa lemak pada lanjut usia akan meningkatkan drug-elimination half life, disamping itu pada usia lanjut lebih sensitif terhadap BZDs meskipun memiliki konsentrasi yang sama jika dibandingkan dengan pasien usia muda. Pilihan pertama adalah short-acting BZDs serta dihindari pemakaian long acting BZDs. BZDs digunakan untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaan lebih dari 4 minggu akan menyebabkan tolerance dan ketergantungan. Golongan BZDs yang paling sering dipakai adalah temazepam, termasuk intermediate acting BZDs karena memiliki waktu paruh 8-20 jam. Dosis temazepam adalah 15-30 mg setiap malam. Efek samping BZDs meliputi: gangguan psikomotor dan memori pada pasien yang diterapi short-acting BZDs sedangkan residual sedation muncul pada pasien yang mendapat terapi long acting BZDs. Pada pasien yang menggunakan BZDs jangka panjang akan menimbulkan resiko ketergantungan, daytime sedation, jatuh, kecelakaan dan fraktur.

DAFTAR PUSTAKADarmojo, Boedhi. 2011. Buku ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta: Balai penerbit FK UI.Osman, Nadir I. and Christopher R. Chapple. 2013. Focus On Nocturia In The Elderly. Diakses dari : http://www.medscape.com/viewarticle/809746_6- diakses Maret 2014Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.