tutorial 2

32
BAB I PENDAHULUAN Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari dan seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang keluar melalui lubang hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Penyebab epistaksis bisa dari faklor lokal ataupun dari faktor sistemik. Faktor lokal seperti: trauma, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, tumor, sedangkan faktor sistemik seperti: penyakit kardiovaskular, kelainan darah,dll. Secara patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaxis anterior dan posterior. 90 % epistaksis berasal dari bagian depan hidung (anterior). Epistaksis anterior perdarahan sering terjadi di bagian anterior septum dimana terdapat plexus kiesselbach, sedangkan epistaksis posterior sumber perdarahannya berasal dari rongga hidung bagian belakang atau nasopharing. Dalam referat ini akan di bahas epistaksis pada hipertensi dimana berdasarakan etiologi dari epistaksis, salah satu penyebab epistaksis akibat gangguan sistemik dicetuskan oleh adanya hipertensi. Berdasarkan penelitian yang ada, faktor hipertensi ini merupakan penyebab sistemik tersering yang menyebabkan epistaksis. Epistaksis pada hipertensi ini cukup penting karena bisa menimbulkan perdarahan yang masive sehingga butuh 1

Upload: hanna-anggitya

Post on 03-Sep-2015

37 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tutorial

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari dan seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang keluar melalui lubang hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Penyebab epistaksis bisa dari faklor lokal ataupun dari faktor sistemik. Faktor lokal seperti: trauma, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, tumor, sedangkan faktor sistemik seperti: penyakit kardiovaskular, kelainan darah,dll. Secara patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaxis anterior dan posterior. 90 % epistaksis berasal dari bagian depan hidung (anterior). Epistaksis anterior perdarahan sering terjadi di bagian anterior septum dimana terdapat plexus kiesselbach, sedangkan epistaksis posterior sumber perdarahannya berasal dari rongga hidung bagian belakang atau nasopharing.Dalam referat ini akan di bahas epistaksis pada hipertensi dimana berdasarakan etiologi dari epistaksis, salah satu penyebab epistaksis akibat gangguan sistemik dicetuskan oleh adanya hipertensi. Berdasarkan penelitian yang ada, faktor hipertensi ini merupakan penyebab sistemik tersering yang menyebabkan epistaksis.Epistaksis pada hipertensi ini cukup penting karena bisa menimbulkan perdarahan yang masive sehingga butuh penanganan segera karena perdarahan tersebut jarang berhenti sendiri. Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis adalah: menghentikan perdarahan, mencari etiologi dan mencegah terjadinya komplikasi.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 DefinisiEpistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung. Dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum. Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak segera ditangani.1

2.2 EpidemiologiEpistaksis adalah gangguan perdarahan daerah kepala dan leher paling umum. Epistaksis dapat terjadi pada semua golongan umur tanpa predileksi jenis kelamin. Epistaksis anterior umum terjadi pada anak-anak atau dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior sering ditemukan pada usia lanjut dengan riwayat hipertensi atau arteriosklerosis. Insidensi meningkat selama bulan-bulan musim semi yang dingin dimana infeksi saluran nafas atas lebih sering serta fluktuasi suhu dan kelembaban berubah dramatis. Epistaksis juga umum terjadi pada iklim panas kering dengan kelembaban rendah. Pasien yang menderita penyakit sinus, inflamasi nasal alergi lebih mudah mengalami epistaksis karena mukosa hidung lebih meradang dan hiperemis. Perubahan dari udara dingin dari iluar ke dalam rumah yang hangat, udara yang kering menghasilkan gangguan pada variasi siklus nasal yang normal. Perubahan ini menyebabkan ventilasi buruk, infeksi, kongesti nasal, pembengkakan garis mukosa dan epistaksis.Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada epistaksis didapatkan 32,3 % pada penderita hipertensi. Penelitian ini dibandingkan antara penderita epistaksis dengan kontrol (tabel 1). Tekanan darah sistolik 100-160 mmHg dan diastolik 60-100 mmHg merupakan range dimana penderita hipertensi sering mengalami epistaksis, dan tekanan darah sistolik 90-160 mmHg dan diastolik 60-100 mmHg masuk kedalam kelompok non epistaksis.Perbandingan antara penderita hipertensi dengan normotensi yang mengalami epistaksis dapat dilihat pada tabel 3. Dimana penderita hipertensi yang lebih tua dibandingkan dengan normotensi yang mengalami epistaksis, tidak memberikan statistik yang signifikan. Usia pada penderita hipertensi dengan epistaksis antara 37- 55 tahun sedangkan normotensi dengan epistaksis antara 29-48 tahun.2

Tabel 1. Comparison of Patients with Epistaxis and Controls.

Tabel 2. Comparison of Hypertensive and Normotensive Patients with Epistaxis

2.3 Anatomi dan Vaskularisasi HidungVaskualrisasi hidung terutama dari cabang-cabang arteri carotis eksterna dan sebagian kecil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri carotis interna.A.carotis eksterna mempunyai 2 cabang yang menyuplai vaskularisasi hidung yaitu: A.maxillaris interna dan A.facialis3. A.maxillaris memberikan vaskularisasi hidung melalui cabang-cabang terminal: A.sphenopalatina, A. Palatina mayor, A. Pharyngeal. A. sphenopalatina dan A. Palatina mayor memperdarahi septum dan bagian lateral hidung. A.sphenopalatina masuk melalui foramen sphenopalatina kemudian bercabang menjadi A. Nasopalatina dan A. Sphenopalatina cabang superior posterior.4 A.Fasialis memberikan cabangnya untuk a.Labialis superior, yang akan menjadi cabang a.Nasal di medial septum dan lateral dari ala nasi.Arteri Karotis Interna memberikan suplai darah melalui a.Ethmoidalis anterior dan posterior. Pembuluh darah ini merupakan cabang dari a.Opthalmika dimana A. Etmoidalis masuk melalui canalis ethmoidalis anterior dan A. Ethmoidalis posterior masuk melalui canalis ethmoidalis posterior. A. ethmoidalis anterior beranastomosis dengan A. Sphenopalatina memperdarahi anterior septum nasi. A. Ethmoidalis posterior berperan pada pendarahan hidung posterior.A. Sphenopalatina memperdarahi mukosa septum dan diregio anteroinferior septum beranastomosis dengan a.Palatina mayor, a.Ethmoid anterior dan cabang nasal dari a.Fasialis membentuk pleksus Kiesselbach atau Littles area yang merupakan lokasi tersering epistaksis anterior.3

http://sinoemedicalassociation.org/thoracicsurgery/01e61e00.j

2.4 Etiologi

Etiologi terjadinya epistaksis di bagi menjadi 2, dimana ada faktor lokal dan ada faktor sistemik. faktor lokal:4 akibat trauma(laserasi mukosa hidung, prosedur pembedahan,intubasi nasal,benda asing di rongga hidung,fraktur os.nasal) struktural(deformitas septum nasi, perforasi septum) penyakit-penyakit inflamasi(rinitis alergi, piogenic granuloma, zat-zat iritatif,infeksi virus pada hidung,sinusitis bakteri,penyakit granulomatosis tumor/malformasi vaskular(angiofibroma, aneurisma, ca epidermoid, papiloma, adeno ca, encephalocele,hemangioma) Faktor sistemik: 4 Hipertensi penyakit vaskular(arteriosklerosis, abnormalitas kolagen, telangiectasis hemoragik herediter) kurangnya faktor koagulasi(trombositopenia, koagulopati kongenital/di dapat, defisiensi vitamin A, D, E, C, atau K, penyakit liver, gagal ginjal, penggunaan alkohol, malnutrisi, polisitemia vera, multipel mieloma, obat-obat anti koagulan, leukemia) penyakit cardiavaskular( congestive heart failure, stenosis katup miral).

Sesuai dengan bahan referat ini yang akan membahas epistaksis pada hipertensi, maka pembahasan etiologi epistaksis akan di fokuskan pada hipertensi. Sebenarnya hubungan hipertensi sebagai salah satu faktor sistemik penyebab epistaksis masih belum jelas, akan tetapi sudah ada beberapa penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara hipertensi dan epistaksis.

Kelainan sistemik yang paling sering berhubungan dengan epistaksis adalah hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi dan epistaksis dipikirkan bahwa bertambahnya usia menginduksi terjadinya fibrosis pada tunica media. Hal ini bisa menyebabkan gangguan vasokonstriksi yang adekuat pada pembuluh darah apabila terjadi ruptur. Nakada et al menunjukkan bahwa adanya peningkatan apoptosis pada pembuluh darah hidung pada pasien dengan hipertensi. Diperkirakan bahwa hipertensi menginduksi penebalan dinding pembuluh darah dan peningkatan apoptosis ini sebagai usaha tubuh untuk meregresi dinding arteri yang menebal. 3

Data dibawah ini berdasarkan nigerian journal of medical practice menunjukkan adanya hubungan antara hipertensi sebagai salah satu penyebab terjadinya epistaksis.

2.5 Fisiologi dan patofisiologiDalam keadaan yang ideal, desain nasal internal menyediakan kondisi yang paling baik untuk perubahan aliran udara laminar. Selain inspirasi nasal, materi partikel di infiltrasi dan udara dilembabkan dengan epitel kolumnar pseudostratified bersilia. Mukosa nasal terutama sepanjang konka inferior dan media mengandung lamina propia yang sangat vascular. Arteriol konka masuk dan melewati tulang konka dikelilingi pleksus venosus. Dilatasi arteriole menghambat aliran balik vena, menghasilkan kongesti nasal. Pleksus vena submukosa (pleksus nasal kavernosus) juga merupakan jaringan erektil yang menyebabkan pembengkakan cepat melalui sistem parasimpatis terhadap rangsang mekanik, suhu, psikogenik, seksual, atau kimia.5 Pembuluh darah mukosa hidung yang berhubungan dengan dunia luar dan tidak terlindung mudah ruptur dan menyebabkan perdarahan. Terutama pembuluh darah septum, kurang ditunjang atau dilindungi terhadap rangsangan luar, hanya terlindung oleh mukosa yang tipis. Sekali terluka, pembuluh darah tidak dapat melakukan retraksi ke dalam submukosa yang tipis. Karenanya luka ringan atau erosi saja sudah dapat menyebabkan perdarahan hidung yang hebat.5 Kartilago septum tidak mengandung pembuluh darah intrinsik dan seluruhnya tergantung pada mukoperikondrium yang melapisinya. Kelenjar mukus dan serosa terdapat pada mukosa hidung, terutama sepanjang konka. Lingkungan intranasal yang halus tersebut mudah terganggu oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.5Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang keluar melalui lubang hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Secara patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaxis anterior dan posterior. 90 % epistaksis berasal dari bagian depan hidung (anterior), berasal dari sekat/dinding rongga hidung. Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung banyak pembuluh darah (al Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan melembabkan udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh pengaruh dari luar, selain karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat menimbulkan epistaksis. Jenis epistaksis yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan pertolongan pertama di rumah. 3 Pada anak dan dewasa muda, epistaksis terutama timbul dari bagian anterior septum yang disebut daerah Little atau Pleksus Kiesselbach. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma kecil multipel. Terjadi ulkus, ruptur, atau kondisi patologik lokal lainnya, selanjutnya timbul perdarahan.Epistaksis anterior sering berasal dari pembuluh vena.3 Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering ditemukan berasal dari bagian posterior hidung. Penyebab biasanya bukan karena trauma tetapi lebih mungkin ruptur spontan pembuluh darah yang sklerotik. Perdarahan akan lebih berat jika pasien menderita hipertensi. Epistaksis posterior terjadi primer di regio septum posterior, diikuti sesuai frekuensi di dinding posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-nasofaringeal Woodruff; sering berasal dari pembuluh arteri.3Epistaksis yang posterior, sumber perdarahannya berasal dari rongga hidung bagian belakang atau nasopharing. Epistaksis biasanya lebih berat dan biasanya merupakan indikasi adanya suatu penyakit serius seperti demam berdarah, tekanan darah tinggi, tumor ganas (kanker) pada rongga hidung atau nasopharing, kanker darah (leukemia), penyakit kardiovaskuler, hemofilia (kelainan darah) dll. Berdasarakan etiologi dari epistaksis, salah satu penyebab epistaksis akibat gangguan sistemik dicetuskan oelh adanya hIpertensi. Berdasarkan penelitian yang ada, faktor hipertensi ini merupakan peyebab sistemik tersering yang menyebbakan epistaksis. Tekanan darah normal bervariasi sesuai usia, sehingga setiap diagnosis hipertensi harus bersifat spesifik terhadap usia. Namun secara umum, seseorang dianggap mengalami hiertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi daripada 10 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolic.6Karena tekanan darah bergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan TPR , maka peningkatan salah satu dari ketiga variable yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi.6Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atu hormone pada nodus SA. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TP sehingga tidak menimbulkan hipertensi.6Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan , akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan . Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron atau penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir(peningakatan pre-load jantung) sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkatan pre-load biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik. 6Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormone pada arteriol, atau rsponsivisitas yang berlebih dari arteriol terhadap rangsangan ormal. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan penyempitan pembuluh . Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa secara lebih kuat, dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintasi pembuluh-pembuluh yangmenyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung, dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolic. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi. 6Setiap kemungkinan penyebab hipertensi yang disebabkan di atas dapat terjadi akibat peningkatan aktivitas susunan saraf simpatis, atau mungkin responsivitas berlebihan dari tubuh terhadap rangsangan simpatis normal, dapat ikut berperan menyebabkan hipertensi. Bagi sebagian, hal ini dapat terjadi pada stress berkepanjangan , yang diketahui melibatkan peningkatan saraf simpatis, atau mungkin akibat kelebihan genetic reseptor noreepinefrin di jantung atau oto polos vascular.6Faktor sistemik yang menyebabkan terjadinya epistaksis yang tersering adalah hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi dan epistaksis, diperkirakan juga dipengaruhi oleh usia. Semakin tinggi usia, dapat menyebabkan fibrosis pada tunika media di arteri. Hal ini mencegah terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah yang mengalami rupture.3

Nakada, et al. membuktikan terjadinya apotosis pembuluh darah yang mikro pada pasien dengan hipertensi. Diperkirakan bahwa hipertensi menyebabkan penebalan pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan peningkatan terjadinya apoptosis yang merupakan usaha tubuh untuk meregresi terjadinya penebalan pada dinding pembuluh darah.T eori ini diduga semakin menyakinkan terjadinya mekanisme spontan epistaksis Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.3Pada pasien dengan hipertensi juga dapat menyebabkan arteriosklerosis pada pembuluh darah di daerah nasal yang diduga menjadi penyebab epistaksis karena predisposisi hipertensi. Prevalensi terjadinya retinal arteriosklerosis pada pasien hipertensi juga berpengaruh pada bagian tubuh lainnya termasuk pembuluh darah pada daerah nasal. 3

2.6 Diagnosa2.6. 1Anamnesa3Evaluasi awal dari pasien dengan epistaksis melibatkan faktor penilaian stabilitas hemodinamik dan potensial gangguan jalan napas, termasuk inspeksi dan tanda-tanda vital maupun pemeriksaan laboratorium yang teah dilakukan. Pada kasus-kasus epistaksis, kendala bermakna pada sistem kardiovaskular jarang ditemukan. Namun, tidak dapat dibiarkan begitu saja terutama pada pasien lanjut usia.Setelah dipastikan bahwa pasien tidak dalam keadaan gawat, riwayat lengkap pasien harus didapatkan, seperti sisi perdarahan apakah bilateral atau bukan. Kalau perdarahannya bilateral, pasien harus ditanyakan lebih lanjut apakah sisi kiri atau kanan yang perdarahannya lebih banyak atau lebih sering. Gejala-gejala dari epistaksis posterior (dahak darah, hematemesis) harus ditanyakan, juga adanya trauma maupun pengobatan intranasal . Pasien harus ditanyakan mengenai durasi, jumlah perdarahan, kapan perdarahan yang terakhir. Jika pasien sebelumnya telah menerima pengobatan dari epistaksis, pengobatan tersebut perlu dijalankan kembali. Apabila perdarahannya bersifat banyak dan berulang, pasien harus ditegaskan mengenai adanya keluhan yang mengarah pada kardiovaskuler, episode sinkop atau dekat sinkop. Apabila epistaksis disebabkan oleh trauma, tentunya wilayah lain yang potensial perlu dikhawatirkan, dengan memperhatikan penanganan trauma ABC (airway, breathing, circulation).Riwayat penyakit pasien terkadang tidak bermakna, tetapi dapat juga sangat bermakna. Oleh karena itu harus ditanyakan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai faktor penyebab yang dibahas di atas harus dipertegas. Kondisi medis yang berkaitan dengan koagulopati atau mudah terjadinya perdarahan seperti gagal ginjal, gagal hati kronis, hipertensi yang tidak terkompensasi dan kelainan darah (hemofilia, Von Willebrand disease, leukemia). Pengobatan perlu diperhatikan, terutama pada obat-obatan yang pengencer darah seperti aspirin, ibuprofen, coumadin, heparin, jenis-jenis obat antiplatelet, vitamin dan suplemen yang menyebabkan prolonged bleeding time (terutama vitamin E dosis tinggi). Cyclooxygenase-2 inhibitor tidak mempengaruhi pembekuan darah pada dosis biasa. Obat-obat antihipertensi serta obat-obat yang ritme jantung dan katabolisme katekolamin (monoamine oxidase inhibitor) perlu diperhatikan, karena dapat berinteraksi dengan anestesi dan vasokonstriktor yang diberikan pada pengobatan. Trauma nasal dan operasi nasal perlu diperhatikan begitu juga riwayat hemofilia dan kecenderungan perdarahan. Sebelum pengobatan perlu diperhatikan adanya sensitivitas dan alergi. Pasien dengan alergi anestesia ester amino dapat diasumsikan memiliki kecenderungan yang sama terhadap anestesia ester amino lain, kokain, dan lidokain (amino amide).

2.6.2 Pemeriksaan Fisik 3Sebagian besar penderita datang ke ahli THT dengan epistaksis anterior atau posterior dengan keadaan hemodinamik yang stabil. Pada pemeriksaan fisik yang penting untk dilaukan adalahmencari sumber perdarahan. Epistaksis anterior terjadi primer di regio Littles area dan sering berasal dari pembuluh vena. Epistaksis posterior terjadi primer di regio septum posterior, diikuti sesuai frekuensi di dinding posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-nasofaringeal Woodruff; sering berasal dari pembuluh arteri. Pada saat pasien meniup hidung sering berguna untuk mengeluarkan bekuan darah dan debris. Kemudian lokasi perdarahan diidentifikasi dengan hati-hati sehingga ditempatkan suatu nasal pack (tampon).Pasien harus dalam posisi duduk. Identifikasi dari kebanyakan epistaksis anterior dapat dilengkapi dengan iluminasi, lampu kepala atau kaca, spekulum hidung, forcep bayonet, suction Frazier untuk hidung dan suction Yankauer untuk bekuan darah kavum oris. Bila sebelumnya telah dipasang tampon atau balon tetapi tidak berhasil mengontrol perdarahan, mungkin mukosanya telah mengalami ekskoriasi dan penentuan asal perdarahan akan lebih sulit. Perdarahan dari bagian posterior juga lebih sulit dilihat. Identifikasi dilakukan setelah pemberian agen vasokonstriktif topikal secara spray, drop atau pada kapas (oxymetazoline hydrochloride 0,05%, phenylephrine hydrochloride 0,25%, atau kokain 4%). Pemberian agen ini mungkin akan menghentikan perdarahan sebelum identifikasi. Bila dengan tindakan di atas lokasi perdarahan masih tersembunyi, dilakukan injeksi submukosa (lidokain 1% plus epinefrin 1:100.000) di daerah yang diduga merupakan sumber perdarahan sering akan memperlambat atau menghentikan perdarahan untuk memudahkan visualisasi.Bila perdarahan terjadi di bagian yang lebih posterior, endoskopi dengan sudut 30o akan menolong atau suatu otoskop standar dengan spekulum telinga ukuran terbesar memberikan magnifikasi dan iluminasi yang tidak dimungkinkan dengan suatu lampu kepala. Bila tidak teridentifikasi sumber perdarahan, harus dilakukan usaha untuk menentukan pembuluh darah yang terlibat. Ini dilakukan dengan menemukan pembuluh darah yang paling menonjol dan atau robek, kemudian menghapusnya dengan aplikator kapas untuk menginduksi perdarahan ulang. Identifikasi lokasi perdarahan spesifik memungkin dilakukan terapi lokal seperti kauterisasi, mini pack absobable atau non-absobable, yang mengurangi rasa sakit pada pasien, angka kegagalan lebih rendah, memungkinkan pasien ditangani secara rawat jalan atau menjalani masa rawat inap yang lebih singkat.

2.6.4 Pemeriksaan laboratorium 3Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan pada epistaksis yang rekuren atau hebat. Pada pasien dengan epistaksis yang hebat, pemeriksaan darah lengkap perlu dilakukan untuk mengidentifikasi adanya anemia atau gangguan darah lainnya. Pada pasien dengan epistaksis akut sering menunjukkan adanya hemokonsentrasi pada hasil pemeriksaan darah Waktu perdarahan menguji keadaan vaskuler, jumlah dan fungsi trombosit, tetapi tes ini tidak dapat membedakan antara keduanya. Mengkonsumsi aspirin dapat mengganggu fungsi trombosit selama 7 sampai 10 hari, sehingga tidak boleh diberikan sebelum dilakukan tes waktu perdarahan.

2.6.5 Pencitraan3Pada umumnya , pemeriksaan dengan oencitraan ini tidak rutin dilakukan untuk mendiagnosa dan menentukan terapi pada pasien epistaksis. Jika pada pemeriksaan fisik tidak dapat secara pasti atau meragukan untuk mediagnosa atau mencari sumber perdarahan, maka pencitraan perlu dilakukan. Pencitraan ini meliputi CT-scan, MRI, angiography Pada kasus dengan keganasan sinonasal dianjurkan degan pemerikaan CT-scan. Pasien dengan riwayat HHT (Hfereditary Hemmorhagic Teleangiectasis), dengan epistaksis yang aktif dan terjadi hemoptysis dianjurkan untuk melelakuka pemeriksaan rontgen thorax atau Ct-scan jika diduga adanya perdarahan pulmonal.

2.7 PenatalaksanaanPrinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu ;a. Menghentikan perdarahanb. Mencari etiologic. Mencegah komplikasiAlgoritma penatalaksanaan epistaksisTujuan pengobatan epistaksis pada hipertensi adalah sama seperti pada epistaksis akibat hal lain yaitu menghentikan perdarahan. Hal hal yang penting adalah :71. Adanya riwayat perdarahan sebelumnya2. Mencari lokasi perdarahan3. Apakah aliran darah mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga6. Riwayat adanya hipertensi & diabetes mellitus7. Riwayat penyakit hati & gangguan koagulasi8. Trauma hidung yang belum lama9. Obat obatan, misalnya aspirin

Tujuan pengobatan disesuaikan dengan keadaan pasien, apakah dalam keadaaan akut atau tidak 1,81. Perbaiki keadaan umum pasien, bila terdapat peningkatan tekanan darah diberikan terapi sesuai dengan jenis hipertensinya.2. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. 3. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20% - 30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik, di berikan analgesia topical terlebih dahulu.4. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kasa yang diberi vaselin serta dicampur povidon iodine atau antibiotika. Dapat juga di pakai tampon rol yang di buat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang dari cm dan di letakkan berlapis lapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung. Tampon yang di pasang menekan tempat asal perdarahan dan dapat di pertahankan selama 1 2 hari5. Perdarahan posterior di atasi dengan pemasangan tampon Bellocq dengan membuat kasa ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, yaitu 2 benang pada satu sisi dan 1 benang pada sisi lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).6. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat di pakai kateter Foley dengan balon. Balon di letakkan di nasofaring dan di kembangkan dengan air.

Balloon Pack

7. Di samping pemasangan tampon, dapat juga dipakai obat obatan hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat obatan ini sedikit sekali bermanfaat.8. Ligasi arteri di lakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat di atasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu harus di rujuk ke rumah sakit.

Tempat tempat Ligasi arteri

Pada pasien yang mengalami epistaksis dengan riwayat hipertensi, selain mengobati epistaksisnya, hipertensi nya juga harus mendapatkan penangan yang serius. Baik dengan obat-obatan antihipertensi , mengatur pola makan dan hidup yang sehat. Obat obatan yang biasa dipakai pada hipertensi :1. Golongan Diuretik 2. bloker3. ACE inhibitor4. Angiotensin Receptor Bloker5. Aldosteron antagonist

Algoritma penanggulangan hipertensi 9

Modifikasi gaya hidup

Target tekanan darah tidak terpenuhi(100 mmHg)Kombinasi 2 obat. Biasanya diueretik dengan ACEI atau BB atau CCBHipertensi tingkat I(sistolik 140-159 mmHg atau diastolic 90-99 mmHg)Diuretik golongan tiazid. Dapat dipertimbangkan pemberian ACEI, BB, CCB, atau kombinasi

Target tekanan darah tidak terpenuhi

Optimalkan dosis obat aatu berikan tambahan OAH lain. Pertimbangkan untuk konsultasi ke dokter spesialis

2.8 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.1Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia , dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark mikard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infuse atau transfusi darah haru dilakukan secepatnya.1Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.1Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung,dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan berlanjut dipasang tampon baru.1Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata berdaah (bloody tears), akibat mengalirnya dara secara retrogard mealui dukus nasolakrimalis.1Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole ata sudut bibir, jika benang yan keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balok tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1

2.9 Pencegahan Epistaksis 8 Edukasi pasien dapat mencegah banyak episode epistaksis Humidifikasi pada iklim kering, mencegah manipulasi digital, menghindari iritan udara, asap dan kontrol alergi. Salep petrolatum atau antibiotik mencegah keringnya mukosa intranasal. Penggunaan nasal spray (nasal steroid) harus ditappering-off untuk mempertahankan efek terapeutik maksimal tetapi menurunkan resiko kekeringan mukosa nasal dan epistaksis. Pemakaian vasokonstriktor mukosa nasal dengan oxymetazolin sebelum intubasi nasal akan menurunkan insidensi epistaksis selama intubasi atau ekstubasi. Profilaksis pra bedah denga desmopressin pada penderita vWD. Teknik bedah intra nasal yang baik menurunkan epistaksis post operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Endang Mangunkusumo, Retno Wardani. Epistaksis. Soepardi EA, Iskandar NH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 2008, hal 155-9.2. Isezuo, SA,et al. Relationship Between Epistaksis and Hypertension: A Study of Patient Seen In The Emergency Units of Two Tertiary Health Institutions in Nigeria. Nigerian Journal Of Clinical Practice. December.2008. Vol 11(4): 379-382.3. Massick, douglas,dan Evan J.Tobin.2005: Epistaxis and Nasal Trauma. In: Otolaryngology-Head and Neck Surgery vol. 2, 4th ed., Edited by Cummings, Fredrckson, Harker, Krause, & Schuller, Mosby Year Book, St. Louis, Missouri, Hal. 942-9614. Wormald, Peter-John,2006: Epistaxis. In: Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th ed., Edited by Bailey, B.J., Lippincott-Raven, Philadelphia-New York, Hal. 505-513.5. Lucente, Sorvino, & Slavit, 1993: Epistaxis. In: Essential of Otolaryngology, 3rd ed., Edited by Lucente & Sobol, Raven Press Ltd, New York, Hal. 212-219.6. J. Corwin, Elizabeth,BSN, PhD. Hipertensi. Patofisiologi. Jakarta:EGC.2000 Hal 356-361. 7. Adam GL, BOIES LR, Hilger PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology. Fifth Ed, Philadelphia : WB Saunders, 1978.8. Rifki, nusjirwan. Epistaksis Dalam Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Hidung Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI. Jakarta,1992; 112 7 .9. Dr. Lydia, Aida, SpPD-KGH, et al. Ringkasan Eksekutif Penanggulangan Hipertensi. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. Jakarta.2007

19