turp.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembedahan prostat transuretral (TURP) masih merupakan salah satu terapi
standar dari Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra.
Operasi ini sudah dikerjakan mulai beberapa puluh tahun yang lalu di luar negeri
dan berkembang terus dengan makin majunya peralatan yang dipakai. Tapi di
Indonesia khususnya di Mataram TURP ini relatif baru.
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan
endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka
mortalitas yang signifikan. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi 2,5%
- 20% pasien yang mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih gejala sindrom
TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada waktu perioperatif. Angka
mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%.
Terapi ini makin populer karena trauma operasi pada TURP jauh lebih
rendah dibandingkan dengan prostatektomi secara terbuka. Dalam TURP dilakukan
reseksi jaringan prostat dengan menggunakan kauter yang dilakukan secara visual.
Dalam TURP dilakukan irigasi untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan dan untuk
menjaga visualisasi yang bisa terhalang karena perdarahan. Karena seringnya
tindakan ini dilakuan maka komplikasi tindakan serta pencegahan komplikasi
makin banyak diketahui.
Salah satu komplikasi yang penting dari TURP adalah intoksikasi air dan
hiponatremi dilusional yang disebut Sindroma TUR yang bisa berakhir dengan
kematian.
TUR syndrom adalah suatu komplikasi yang paling sering dan paling
menakutkan dalam pembedahan urologi endoskopik. Di tangan para ahli yang
berpengalamanpun, Sindroma TUR dapat terjadi pada 2% kasus dengan mortalitas
yang masih tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permaslahan yang mungkin muncul pada turp syndrome yaitu sebagai
berikut :
a. Jelaskan pengertian TUR Syndrom ?
b. Jelaskan anatomi fisiologi perkemihan ?
c. Sebutkan penyebab dari TUR Syndrom ?
d. Jelaskan patofisiologi TUR Syndrom ?
e. Sebutkan manifestasi klinis TUR Syndrom ?
f. Sebutkan penatalaksanaan TUR Syndrom
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari latar dari makalah tersebut yaitu :
a. Mahasiswa mengetahui pengertian TUR Syndrom
b. Mahasiswa mengetahui anatomi fisiologi perkemihan
c. Mahasiswa mengetahui penyebab TUR Syndrom
d. Mahasiswa mengetahui patofisiologi TUR Syndrom
e. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis TUR Syndrom
f. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan TUR Syndrom
g. Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan TUR Syndrom
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tur Syndrome
Sindroma TUR adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan
gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan
oleh diserapnya cairan irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada
kapsul prostat yang terjadi selama operasi. Hiponatremia, hipovolemia, dan kadang
hiperamonemia mungkin terjadi. (Eaton, 2003)
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena
pada prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari
cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala
dan tanda yang disebut dengan sindrom TURP.
2.2 Anatomi Fisiologi
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air
kemih). Sistem perkemihan terdiri dari:
a. dua ginjal (ren)
b. dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih)
c. satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan
d. satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.
2.3 Etiologi
Berikut penyebab dari Turp Syndrome yaitu sebagai berikut :
a. Proses TURP yang lama
b. absorbsi meningkat jika reseksi dilakukan lebih dari 90 menit
c. Tekanan intravaskuler meningkat. karena tinggi bagian irigasi lebih dari 60
cm di atas lokasi pembedahan
d. Banyak sinus prostat yang terbuka
Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan
cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan elektrolit/ionik tidak bisa digunakan untuk irigasi saat TURP
karena cairan tersebut mendispersi aliran elektrokauter dan menyebabkan
hantaran saat operasi. Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah :
isotonik, non-hemolitik, electrically inert, non-toksik, transparan, mudah untuk
disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi
syarat seperti di atas belum ditemukan.
Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik
sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5% (230 mOsm/L), atau
campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang
boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%, Mannitol 3%,
Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.
a. Air steril/akuades (H2O)
Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai cairan
irigasi yang ideal, kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat
menyebabkan hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional
dan gagal ginjal serta syok. Air/Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang
bagus karena air dengan sifat hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi
absorbsi yang signifikan bisa menghasilkan acute water intoxication.
Penggunaan air sebagai cairan irigasi dilarang hanya pada reseksi
transurethral tumor bladder.
b. Glycine 1.2%, 1.5%, 2.2%
Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang sesuai,
mengingat beberapa keuntungannya yaitu : harganya murah walaupun tidak
semurah air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2%
namun efek samping glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas
glisin dengan konsentrasi 1,5% adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan
dengan osmolalitas serum 290 mOsm/liter sehingga toksisitas ginjal dan
kardiovaskular dapat terjadi. Penurunan konsentrasi glisin dapat
menyebabkan komplikasi yang lebih banyak akibat hipotonisitasnya sehingga
tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi. Keuntungan glisin 1,5%
bila dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya menyebabkan gagal
ginjal dan hemolisis yang lebih rendah.
c. Mannitol 3%
Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin, namun
dapat mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload
dari sirkulasi. Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin.
Ekskresinya melalui ginjal sehingga akan menurun pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
d. Dekstrosa 2.5% - 4%
Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar
jaringan yang direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila
diabsorbsi ke dalam sirkulasi. Juga tidak disukai karena membuat lengket
instrumen dan sarung tangan ahli bedah saat operasi.
e. Cytal
Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak
digunakan di Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di
India karena harganya yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam
tubuh, Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan
masalah baru pada pasien yang hipersensitif terhadap fruktosa
f. Urea 1%
Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka dari
itu tidak dipilih untuk cairan irigasi.
Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka glisin 1,5% dan
air steril yang paling sering digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi
urologi endoskopi.
2.4 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari Tur Syndrome yaitu sebagai berikut :
1. Hiponatremia
2. Hipoosmolaritas
3. Overload cairan
4. Edema paru
5. Hipotensi
6. Hemolisis
7. Keracunan cairan
8. Hiperglisinemia
9. Hiperamonemia
10. Hiperglikemia
11. Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TUR dapat terjadi kapan pun dalam fase perioperatif dan dapat
terjadi beberapa menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam
setelah selesai pembedahan. Penderita dengan anestesi regional menunjukkan
keluhan-keluhan sebagai beriku:
a. Pusing
b. Sakit kepala
c. Mual
d. Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
e. Napas pendek
f. Gelisah
g. Nyeri perut
h. Tekanan sistolik dan diastolik meningkat
Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST,
munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang
mengalami sindrom TURP, pulihnya kembali kesadaran karena anestesi dan khasiat
muscle relaxant dapat terlambat.
2.1 Patofisiologi
Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala
sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia,
hipotensi dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi
overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan
irigasi. Sindrom TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah
pembedahan dimulai dan beberapa jam setelah pembedahan selesai.
Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi
beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus
yang terbuka, lama reseksi/paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan
hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat
reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam sistem
sirkulasi.
1. Overload Sirkulasi
Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap operasi
TURP melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti dengan
cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai
dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi.
Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari
cairan irigasi diserap/diabsorbsi selama operasi TURP. Karena volume
sirkulasi yang meningkat, volume darah akan meningkat, tekanan sistolik dan
diastolik meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan
mendilusi protein serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini
bersamaan dengan peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular
menuju ke kompartmen interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri.
Ditemukan pada absorbsi langsung ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70%
cairan irigasi terakumulasi dalam ruang interstisial (periprostatik,
retroperitoneal). Untuk setiap 100 ml cairan yang memasuki ruangan
interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke dalamnya.
Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi.
Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu
lebih dari 90 menit. Absorbsi intravaskular dipengaruhi ukuran prostat
sedangkan absorbsi interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload
sirkulasi terjadi apabila berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting
lainnya adalah tekanan hidrostatik dari prostatic bed. Tekanan ini dipengaruhi
ketinggian kolom cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kemih saat
pembedahan. Tinggi yang ideal dari cairan adalah 60 cm sehingga kira-kira
300 ml cairan dapat dihasilkan per menit untuk mendapatkan penglihatan yang
baik.
2. Water Intoxication
Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air
dan kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam
otaknya. Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang
dapat berkembang menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Papiledema, yaitu
pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi.
3. Hyponatremia – Hiperosmolaritas
Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi
natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada
dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.
Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung dan
otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui
berbagai mekanisme :
1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi
2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat
3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan
retroperitoneal
4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada
kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis..
Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan kejang.
Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan
penurunan kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi
dan perluasan dari kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler
dan inversi gelombang T dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang
umum, koma, henti nafas, Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular
Fibrillation (VF) dan henti jantung terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan
formula :
Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body
water
Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system saraf pusat
bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi.
Seperti yang kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap
natrium namun permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat
hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan tekanan intrakranial,
menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing reflex).
4. Glycine Toxicity
Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan
retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5%
berhubungan efek subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai
inverse gelombang T. pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih
dari 500 ml menunjukkan dua laki resiko jangka panjang acute myocardial
infarction. ini yang menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih tinggi antara
operasi transuretra vs open prostatectomy masih diperdebatkan oleh urologis
hingga saat ini. Dilutional hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab
gangguan kardiovaskular ketika glisin di absorbsi. Namun kalsium dijaga tetap
normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang. Glisin adalah asam
amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada system saraf pusat.
Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan medulla spinalis
berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area
subkortikal dan kortikal area. Mekanisme kerjanya diakibatkan dari
hiperpolarisasi dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran
klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan
gangguan penglihatan. Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah
metabolit lain dari glisin yang juga menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda
seseorang mengalami toksisitas glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat,
kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi, oligouria, anuria dan kematian.
Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity jarang
pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi
ditahan pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek
sistemik.
5. AmmoniaToxicity
Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi ammonia
yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak. Hal ini
menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi
pada manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah
pembedahan. Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia
darah meningkat menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol /
liter). Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi
karena glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.
Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang
mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa
tubuh tidak dapat memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin
cleavage system., citric acid cycle dan konversi glycolic dan glioxylic acid.
Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia
normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin
adalah produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa
ornithine cycle tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia.
6. Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan
sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak
muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi.
Pelepasan substansi jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan
asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah
saat Sindrom TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan
kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju
iskemia myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan
ukuran kalenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari
operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi
prostat.
7. Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,
pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi
dilatasi dan tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul
bersamaan dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala
yang tersembunyi.
Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP
disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan glisin.
Karena itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan
dan respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP,
tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal serebri.
8. Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan
instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari
kantung kemih dan letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari
kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan
TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah
penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti oleh
nyeri abdomen, distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga
ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan diurese spontan. Pada perforasi
intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang
berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala khas Pallor,
diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi.
Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa
terjadi. Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan
prostat dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal,
tidak cukup oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi
letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa
berakibat timbulnya ledakan.
9. Koagulasi
DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan
pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju
sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia
bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan timbulnya
penurunan jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation Products) yang tinggi
(FDP > 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl)
10. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan
tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,
bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi
toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien
postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa
terjadi secara temporer pada pasien ini.
11. Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan
dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan
konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utama dari
hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan
menghasilkan penurunan suhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh
keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin. Pasien geriatri diduga akan
mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi dan asidosis
bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf
pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi.
Gambar 2. Skema Patofisiologi sindrom TURP 11
2.2 Penatalaksanaan
a. Jika dideteksi saat intra operatif tindakan segeradihentikan dan pemberian
cairan IV dihentikan
b. Air yang diabsorbsi harus dikeluarkan: Furosemid40 mg iv
c. Bantu pernafasan dengan oksigen (nasal kanul ataumasker, atau intubasi dan
ventilasi jika diperlukan)
d. Simptomatik hiponatremia yang menyebabkankelemahan sampai koma harus
diatasi dengancairan hipertonik (NaCl 3% = 0.513 mmol/ml) sampaigejala
hilang
e. Periksa BGA, serum sodium dan Hb
f. Kelemahan dapat diatasi dengan dosis kecil midzolam(2-4 mg), diazepam (3-5
mg) atau thiopental (50-100mg)
g. Intubasi endotrakeal disarankan untuk mencegahaspirasi sampai status mental
kembali normal
h. Jika odem paru dan hipotensi berlanju invasif hemodinamik monitoring
direkomendasikan sebagaipetunjuk untuk penatalaksanaan farmakologis
danmanajemen cairan
1. Cairan Irigasi
Untuk operasi TUR dapat dipakai beberapa macam cairan irigasi. Salin tidak
dapat dipakai karena cairan ini merupakan penghantar listrik dan akan
mengganggu proses pemotongan dan kauterisasi. Di samping itu arus listrik
dapat dihantarkan ke alat resektoskop dan dapat mengenai ahli bedah.
Belakangan ini telah ditemukan mesin resektoskop yang lebih moderen yang
dapat menggunakan salin sebagai cairan irigasinya tapi alat tersebut masih
sangat mahal. Salin merupakan cairan irigasi yang ideal karena sifatnya yang
isotonik sehingga tidak mengganggu bila terserap.
Cairan lain yang dapat dipakai adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau 2,2%.
Cairan lain yang dapat dipakai adalah sorbitol atau manitol 3%. Di negara maju
air steril sudah jarang dipakai karena jika diserap dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra vaskuler dan hiperkalemia. Karena
itu sorbitol, manitol, atau glisin lebih banyak dipakai. Sorbitol/manitol atau
glisin dapat mencegah hemolisis intravaskuler tetapi tidak dapat mencegah
hiponatremia dilusional karena bisa terjadi penyerapan cairan dalam jumlah
besar tanpa penambahan natrium. Cairan yang banyak dipakai di luar negeri
adalah glisin. Tetapi penyerapan glisin dalam jumlah besar dapat menyebabkan
beberapa akibat dan sebenarnya cairan sorbitol dan manitol lebih baik
dibandingkan dengan glisin. Tetapi harganya lebih mahal. Cairan non ionik yang
dapat dipakai adalah larutan glukose 2,5%-4%. Untuk negara yang sedang
berkembang, Collins dan kawan-kawannya menganjurkan pemakaian dektrose
5% yang lebih ekonomik dibandingkan dengan cairan glisin dan lebih jarang
menimbulkan hemolisis serta lebih aman dibandingkan air steril. Tetapi larutan
dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan hipoglikemi tissue charring
pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa lengket pada sarung tangan ahli
bedah dan peralatan. Di Amerika Serikat, cairan irigasi yang paling banyak
dipakai adalah Cytal yang merupakan campuran antara sorbitol 2,7% dan
manitol 0,54%.
2. Terapi
Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide intravenous dan
infus normosalin mungkin sudah cukup. Tindakan ini akan menurunkan
kelebihan beban cairan melalui diuresis dan menjaga kadar Na dalam batas
normal. Pemberian furosemide sebaiknya dimulai selama pasien masih di dalam
kamar operasi kalau terjadi perdarahan yang banyak dan waktu operasi lebih dari
90 menit atau bila kadar natrium menurun. Pada kasus hiponatremi berat
diberikan infus 3% saline sebanyak 150-200 cc dalam waktu 1-2 jam. Tindakan
ini harus selalu disertai furosemide intravena, terutama pada pasien dengan
risiko terjadinya payah jantung kongestif. Pemberian hipertonik saline ini dapat
diulangi bila perlu. Selama pemberian saline hipertonik, kadar elektrolit harus
diperikasa tiap 2-4 jam untuk mencegah terjadinya hipernatremia. Pada
penderita hiponatremia yang menunjukkan gejala, gejala itu bisa dihilangkan
dengan peningkatan kadar natrium 4-6 meq/liter saja. Dalam 12-24 jam pertama,
hanya setengah dari kekurangan kadar natrium yang perlu diatasi dengan
pemberian saline 3%. Pemberian saline 3% sebaiknya segera digantikan dengan
normal saline. Jangan meningkatkan kadar natrium lebih dari 20 meq/liter dalam
waktu 24 jam. Dianjurkan untuk menaikkan kadar natrium secara perlahan.
Karena pemberian saline 3% hanya dipakai untuk tidak lebih dari separuh dari
penggantian kalium, maka pada pasien dengan hiponatremia berat hanya
memerlukan 300-500cc saline 3%.
Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi
tekanan positif dengan menggunakan oksigen 100%(1). Bila terjadi kehilangan
darah yang banyak maka transfusi dilakukan dengan menggunakan Packed Red
Cells (PRC). Bila terjadi DIC diberikan fibrinogen sebanyak 3-4 gram intravena
diikuti dengan pemberian heparin 2000 unit secara bolus dan diikuti 500 unit per
jam. Dapat juga diberikan fresh frozen plasma dan trombosit, tergantung dari
profil koagulasi.
2.3 Pencegahan Sindroma TUR
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk mencegah
manifestasi berat dan fatal pada pasien-pasien dengan pembedahan urologi
endoskopik. Bila diketahui adanya hiponatremi yang terjadi sebelum operasi
terutama pada pasien-pasien yang mendapat diuretik dan diet rendah garam harus
segera dikoreksi. Karena itu pemeriksaan natrium sebelum operasi TUR perlu
dilakukan. Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran penting
dalam pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk penderita-penderita dengan
penyakit jantung, perlu dilakukan monitoring CVP atau kateterisasi arteri
pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya operasi
TURP tidak boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih dari 1 jam, maka
TURP sebaiknya dilakukan bertahap. Pemeriksaan natrium serum sebaiknya
dilakukan tiap 30 menit dan perlu dilakukan koreksi sesuai dengan hasil serum
natrium. Perlu dilakukan pemberian furosemid profilaksis untuk mencegah
overload cairan. Bila perlu dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan dengan
PRC bukan dengan whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya
dengan menghangatkan cairan irigasi sampai 37˚C.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. Identitas
Terjadi akibat operasi TURP +50% laki-laki >60 thn, +80% laki-laki usia 80
thn. (Purnomo, 2003)
b. Keluhan Utama
Sesak napas.
c. Riwayat Kesehatan
Pasien BPH dengan post operasi TURP.
d. Pemeriksaan Fisik
…………………………3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnose yang kemungkinan muncul pada tur syndrome yaitu sebagai berikut :
1. Kerusakan pertukaran gas b.d odem paru.
2. Kelebihan volume cairan b.d adanya penyerapan cairan irigasi yang
berlebihan.
3. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intracranial.
3.3 RENCANA KEPERAWATAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindroma TUR adalah kumpulan tanda dan gejala yang terjadi pada penderita yang
menjalani operasi TURP yang disebabkan karena penyerapan cairan irigasi dalam
jumlah besar. Sindroma TUR dapat terjadi pada 2-10% operasi TURP dan masih dapat
terjadi walaupun di tangan urolog yang sudah berpengalaman sekalipun. Sindroma TUR
paling banyak terjadi pada pemakaian cairan irigasi yang hipotonik terutama bila yang
dipakai adalah air steril. Karena penyerapan air dalam jumlah besar mudah
menimbulkan hiponatremia dan hemolisis. Frekuensi sindroma TUR meningkat pada
operasi yang lamanya lebih dari 90 menit, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
sindroma TUR dapat terjadi pada operasi yang berlangsung dibawah 30 menit, pada
prostat yang besarnya lebih dari 45 gram, dan bila cairan irigasi yang dipakai 30 liter
atau lebih. Dalam penanganan sindroma TUR, yang paling penting adalah diagnosa dini
yang memerlukan kerja sama yang baik antara ahli bedah dan ahli anestesi. Diagnosa
dini dari sindrom TUR dan penanganan yang tepat banyak menurunkan angka kematian
sindroma TUR ini.
B. Saran
1. Didalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan
system perkemihan diharapkan perawat memahami konsep dasar penyakit dan konsep
dasar asuhan keperawatan.
2. Dalam pemberian tindakan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan system
perkemihan hendaknya perawat dapat melakukan tindakan dengan cepat dan tepat
dengan mengutamakan tindakan yang paling prioritas, tanpa mengabaikan masalah yang
lain.
Daftar Pustaka
Moorthy HK, Philip S. TURP Syndrome, Current Concepts In The Pathophysiology And
Management. Indian J Urol 2001;17:97-102.
Hahn RG, The Transurethral Resection Syndrome. Acta Anaesthesiol Scand. 1991 ; 35 (7): 557-
567.
Leslie SW. Transurethral Resection of the Prostate. Taken from
www.emedicine.com/MED/topic3071.htm Accessed on 9 Sept 2008. Last Update Oct
33, 2006.
Marrero AS, Prodigalidad AM, Ambrosio AZ. Prediction and Early Diagnosis of Transurethral
Prostatectomy Syndrome. Members http://members.tripod.com/nktiuro/paper2.htm.
Accessed on 9 Sept 2008
Tanda dan gejala :
v Lemah
v Pusing dan sakit kepala
v Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
v Napas pendek
v Gelisah dan binggung
v Hipotensi
v Takikardia
v Mual dan muntah
v Kolaps
v Spasme otot dan nyeri perut
v Kejang
v Tekanan sistolik dan diastolik menurun
v Nadi meningkat
Bila pasien mengalami anestesi umum, maka diagnosa dari sindrom TURP menjadi
sulit dan sering terlambat. Salah satu tanda sindromTURP jika klien sedang
mendapatkan anestesi adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah yang tidak dapat
diterangkan sebabnya. Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen
ST, munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang
mengalami sindrom TURP, pulihnya kembali kesadaran karena anestesi dan khasiat
muscle relaxant dapat terlambat.
Komplikasi
v Sianotik
v Hipotensi
v Cardiac arrest
v Gejala neurologi : mula-mula mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil
mengalami dilatasi dan dapat terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir dengan
koma
v Koagulopati
Pada Sindroma TUR dapat terjadi Disseminated Intravasculer Coagulation (DIC) yang
terjadi akibat lepasnya partikel prostat yang mengandung tromboplastin dalam jumlah
besar ke dalam peredaran darah dan menyebabkan fibrinolisis sekunder. DIC ini dapat
diketahui dari turunnya kadar trombosit dan meningkatnya Fibrin Degradation Product
(FDP) serta kadar fibrinogen yang rendah
v Bakteriemia dan Sepsis
Pada 30% penderita yang dilakukan TURP sudah terjadi infeksi sebelum operasi. Bila
sinus vena prostat terbuka sebelum operasi dan dilakukan irigasi dengan tekanan tinggi
maka kuman bisa masuk ke dalam peredaran darah dan terjadi bakteremia. Pada 6%
pasien bakteremia ini menyebabkan sepsis
v Hipotermi
Hipotermi sering terjadi pada pasien yang mengalami TURP. Irigasi kandung kencing
merupakan penyebab penting kehilangannya panas tubuh dan hal ini ditambah dengan
suhu kamar operasi yang rendah. Hipotermi sering terjadi pada penderita lanjut usia
karena gangguan saraf otonomik
Cairan Irigasi
Cairan lain yang dapat dipakai adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau 2,2%, sorbitol
atau manitol 3%. air steril sudah jarang dipakai karena jika diserap dalam jumlah besar
dapat menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra vaskuler dan hiperkalemia. Sorbitol,
manitol atau glisin dapat mencegah hemolisis intravaskuler tetapi tidak dapat mencegah
hiponatremia dilusional karena bisa terjadi penyerapan cairan dalam jumlah besar tanpa
penambahan natrium. Cairan non ionik yang dapat dipakai adalah larutan glukose 2,5%-
4%. Untuk negara yang sedang berkembang, Collins dan kawan-kawannya
menganjurkan pemakaian dektrose 5% yang lebih ekonomik dibandingkan dengan
cairan glisin dan lebih jarang menimbulkan hemolisis serta lebih aman dibandingkan air
steril. Tetapi larutan dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan hipoglikemi
tissue charring pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa lengket pada sarung tangan
ahli bedah dan peralatan.
Penatalaksanaaan Medis
v Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide intravenous dan infus
normosalin mungkin sudah cukup
v Pada kasus hiponatremi berat diberikan infus 3% saline (hipertonik) sebanyak 150-
200 cc dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu disertai furosemide intravena,
terutama pada pasien dengan risiko terjadinya payah jantung kongestif. Pemberian
hipertonik saline ini dapat diulangi bila perlu. Kadar elektrolit harus diperikasa tiap 2-4
jam untuk mencegah terjadinya hipernatremia
v Pemberian saline 3% sebaiknya segera digantikan dengan normal saline
v Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi tekanan
positif dengan menggunakan oksigen 100%
v Bila terjadi kehilangan darah yang banyak maka transfusi dilakukan dengan
menggunakan Packed Red Cells (PRC)
v Bila terjadi DIC diberikan fibrinogen sebanyak 3-4 gram intravena diikuti dengan
pemberian heparin 2000 unit secara bolus dan diikuti 500 unit per jam. Dapat juga
diberikan fresh frozen plasma dan trombosit, tergantung dari profil koagulasi
Keuntungan :
- Luka incisi tidak ada
- Lama perawatan lebih pendek
- Morbiditas dan mortalitas rendah
- Prostat fibrous mudah diangkat
- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
- Tehnik sulit
- Resiko merusak uretra
Asuhan Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
v Kelebihan volume cairan b.d pengenceran serum plasma
v Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d hiponatremia saat operasi TURP
Diagnosa keperawatan : Kelebihan volume cairan b.d pengenceran serum plasma
Intervensi
1. Awasi denyut jantung, TD dan CUP
2. Awasi berat jenis urin
3. Kaji kulit, wajah, area tergantung untuk edema
4. Auskultasi paru dan bunyi jantung
5. Kaji tingkat kesadaran, selidiki perubahan mental, adanya gelisah
6. Awasi pemeriksaan laboratorium : Natrium, kalium, albumin, Hb / Ht
7. Monitor intake dan output
8. Berikan obat diuretik
9. Ganti irigasi bladder dengan normal salin
10. Kurangi waktu pelaksanaan operasi
Diagnosa keperawatan : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d hiponatremia
saat operasi TURP
Intervensi :
v Hentikan irigasi
v Monitor TTV dan tingakat kesadaran
v Monitor EKG untuk mengetahui fungsi jantung akibat hiponatremia
v Kaji suara paru dan jantung untuk adanya tanda edema paru, gagal jantung, atau
keduanya sebagai perpindahan cairan kembali ke intravascular
v Observasi adanya perbedaan kelemahan dan kebingungan dari TUR sindrom dari
disorientasi post operasi dan hiponatremia
v Monitor kadar elektrolit serum : Na, K
v Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide intravenous dan infus
normosalin mungkin sudah cukup
v Hiponatremi berat diberikan infus 3% saline (hipertonik) sebanyak 150-200 cc
dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu disertai furosemide intravena, terutama
pada pasien dengan risiko terjadinya payah jantung kongestif
v Selama pemberian saline hipertonik, kadar elektrolit harus diperikasa tiap 2-4 jam
untuk mencegah terjadinya hipernatremia
TURP
15 05 2010
TURP (emedicine.com)
Transurethral resection of the prostate (TURP) merupakan standar pembedahan
endoskopik untuk Benign Prostat Hypertrophy (pembesaran prostat jinak). TURP
dilakukan dengan cara bedah elektro (electrosurgical) atau metode alternative lain yang
bertujuan untuk mengurangi perdarahan, masa rawat inap, dan absorbsi cairan saat
operasi. Metode alternatif ini antara lain vaporization TURP (VaporTode), TURP
bipolar, vaporisasi fotoselektif prostat (PVP), dan enuleasi laser holmium serta
tidanakan invasive minimal lainnya seperti injeksi alcohol, pemasangan stent prostat,
laser koagulasi.
Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi absolut
pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
1. Retensi urine yang berulang.
2. Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
3. Gross hematuria berulang.
4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
5. Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
6. Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan buli
terganggu akibat pembesaran prostat.
Secara umum pasien dengan gejala LUTS sedang-berat yang tidak berespon terhadap
pengobatan dengan alfa-adrenergik bloker dan/atau 5-alfa reduktase blok inhibitor
dipertimbangakan untuk menjalani prosedur pembedahan. TURP diindikasikan pada
pasien dengan gejala sumbatan saluran kencing menetap dan progresif akibat
pembesaran prostat yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi obat-obatan.
Kontraindikasi TURP
TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasian pada pasien tertentu.
Hampir semua kontraindikasinya adalah kontraindikasi relatif, berdasarkan kondisi
komorbid pasien dan kemampuan pasien dalam menjalani prosedur bedah dan anestesi.
Kontraindikasi relatif antara lain adalah status kardipulmoner yang tidak stabil atau
adanya riwayat kelainan perdarahan yang tidak bisa disembuhkan. Pasien yang baru
mengalami infark miokard dan dipasang stent arteri koroner sebaiknya ditunda sampai 3
bulan bila akan dilakukan TURP.
Pasien dengan disfungsi spingter uretra eksterna seperti pada penderita miastenia
gravis, multiple sklerosis,atau Parkinson dan/atau buli yang hipertonik tidak bleh
dilakukan TURP karena akan menyebabkan inkontinensia setelah operasi. Demikian
pula pada pasien yang mengalami fraktur pelvis mayor yang menyebabkan kerusakan
spingter uretra eksterna. TURP akan menyebabkan hilangnya spingter urin internal
sehingga pasien secara total akan tergantung pada fungsi otot spingter eksternal untuk
tetap kontinen. Jika spingter eksternal rusak, trauma, atau mengalami disfungsi, pasien
akan mengalami inkontinesia.
Kontrandikasi yang lain adalah pasien kanker prostat yang baru menjalani radioterapi
terutama brachyterapi atau krioterapi dan infeksi saluran kencing yang aktif.
Sumber : emedicine.com