tugas_infrastruktur

22
Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 1 TUGAS MATA KULIAH PERENCANAAN SISTEM INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN KOTA PENGEMBANGAN DAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH, SANITASI LINGKUNGAN Disusun oleh SUKARDI Disusun oleh SUKARDI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS 45 MAKASSAR PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA MAKASSAR 2015

Upload: sukardi-ardi

Post on 12-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

materi infrastruktur

TRANSCRIPT

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 1

    TUGAS MATA KULIAH

    PERENCANAAN SISTEM INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN KOTA

    PENGEMBANGAN DAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH,

    SANITASI LINGKUNGAN

    Disusun oleh

    SUKARDI

    Disusun oleh

    SUKARDI

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS 45 MAKASSAR

    PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

    MAKASSAR

    2015

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 2

    PENGEMBANGAN DAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH,

    SANITASI LINGKUNGAN

    Disusun oleh

    Sukardi

    I. LATAR BELAKANG

    Lingkungan hidup yang sehat tergantung pada sanitasi yang layak. Tanpa

    sistem sanitasi, limbah manusia memasuki air tanah dan air permukaan. Tinja

    yang mengendap di tempat terbuka mengontaminasi tanah. Akumulasi tinja yang

    dibuang dari ember atau kakus di lapangan, kali atau sungai membahayakan

    lingkungan. Hal ini sering kali disertai oleh sistem pembuangan air limbah yang

    tak memadai melalui pipa dan melalui rembesan dari kakus cemplung. Di negara-

    negara berkembang, sekitar 90 persen dari air limbah dibuang tanpa diproses

    dahulu ke sungai, danau dan area pesisir, sehingga berdampak negatif yang luas

    terhadap kesehatan. Setiap tahun, diestimasi 300.000 kasus diare terjadi pada

    anak-anak balita di Asia Selatan. Intervensi air dan sanitasi dapat mengurangi

    diare sebesar 88 persen.

    Krisis sanitasi terutama yang parah terjadi pada permukiman informal

    yang sangat padat di seluruh dunia. Tidak adanya cara yang aman untuk

    membuang tinja atau sampah, sekitar satu miliar penghuni liar memilih

    menggunakan toilet terbang, yaitu pemakaian kantong plastik yang kemudian dibuang, dan membuang limbah manusia di tempat umum.

    Sanitasi merupakan salah satu komponen dari kesehatan lingkungan,

    yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan hidup bersih untuk

    mencegah manusia kena langsung dengan kotoran dan bahan buangan

    berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan

    manusia. Kondisi sanitasi di Indonesia memang tertinggal cukup jauh dari Negara

    negara tetangga. Dengan Vietnam saja Indonesia hampir hampir sejajar atau

    bahkan akan didahului, apalagi dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura

    yang memiliki komitmen tinggiterhadap kesehatan lingkungan di negaranya.

    Jakarta hanya menduduki posisi nomor 2 dari bawah setelah Laos dalam

    pencapaian cakupan sanitasinya.

    Salah satu contoh dari kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia

    adalah sanitasi lingkungan pasar, khususnya pasar tradisional. Pasar

    tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai

    dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses

    tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios- kios atau gerai, los dan

    pasar terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Disamping

    itu, sanitasi sangat menentukan keberhasilan dari paradigma pembangunan

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 3

    kesehatan lingkungan lima tahun ke depan yang lebih menekankan pada aspek

    pencegahan dari aspek pengobatan. Sehingga adanya upaya perbaikan sanitasi

    sejak dini kususnya pada pasar tradisional dapat membantu dalam peningkatan

    kualitas kesehatan masyarakat disamping ada perbaikan sanitasi lingkungan pasar

    tradisional.

    Situasi ini tidak terbatas pada permukiman perkotaan dan dapat dijumpai

    di pinggiran kota miskin, kota dagang kecil, desa besar, permukiman peri-urban

    dan tempat lainnya di negara-negara berkembang. Di Asia, lebih dari 750 juta

    orang masih melakukan buang air besar di tempat terbuka, sehingga

    meninggalkan tinja mereka di tanah yang kemudian mengontaminasi lingkungan

    sekitarnya, memasuki perairan dan pada akhirnya, berdampak pada mata

    pencaharian dan kesehatan seluruh masyarakat.

    Tinggal di lingkungan yang jorok membahayakan kesehatan fisik dan

    psikologis. Hal ini menciptakan stigma, yang sering kali menghadirkan tantangan

    untuk lapangan kerja dan memperdalam tingkat kemiskinan. Sanitasi yang buruk

    menimbulkan berbagai bahaya kesehatan, serta pemandangan visual yang suram

    dan mengecilkan hati. Jalanan penuh lumpur, genangan air dan tumpukan sampah

    dan puing, beserta serangga pembawa penyakit, mikroba dan hewan pengerat.

    Bau yang tidak sedap yang terkadang sangat kuat tercium.

    II. ATURAN SERTA KEBIJAKAN MENGENAI SANITASI

    LINGKUNGAN

    Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

    852/Menkes/SK/IX/2008 yang berbunyi :

    Pertama : keputusan menteri kesehatan tentang strategi nasional sanitasi total berbasis masyarakat.

    Kedua : Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.

    Ketiga : Strategi sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua menjadi acuan bagi petugas kesehatan dan instansi yang terkait dalam penyusunan

    perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terkait dengan sanitasi

    total berbasis masyarakat.

    Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

    A. Undang-Undang

    1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene;

    2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan pemukiman;

    3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang;

    4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 4

    5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air;

    6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah;

    7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah;

    8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025;

    9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah;

    10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persisten Organic Pollutants.

    B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

    1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1982 Tentang Pengaturan Air;

    2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air;

    3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai;

    4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

    5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;

    6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta

    Masyarakat dalam Penataan Ruang.

    C. Peraturan Presiden Republik Indonesia

    1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJM)

    Tahun 2004-2009;

    D. Keputusan Presiden Republik Indonesia

    1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

    2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 Tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air;

    3) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun

    2001 Tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air;

    4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penataan Ruang.

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 5

    III. ISSU ISSU KONTEMPORER

    1. Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di

    seluruh dunia.

    Bagi anak-anak yang bertahan hidup, seringnya menderita diare berkontribusi

    terhadap masalah gizi, sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai

    potensi maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi

    serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu

    bangsa di masa yang akan datang.

    2. Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun.

    Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31 persen

    kematian anak usia antara 1 bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian

    anak usia antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak-anak dari

    rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34

    persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang

    menggunakan air ledeng, Selain itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66 persen

    pada anak-anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau

    selokan dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet

    pribadi dan septik tank.

    3. Peran penting kebersihan sering diabaikan.

    Kematian dan penyakit yang disebabkan oleh diare pada umumnya dapat

    dicegah. Bahkan tanpa perbaikan pada sistem pengairandan sanitasi, mencuci

    tangan secara tepat dengan menggunakan sabun dapat mengurangi resiko

    penyakit diare sebesar 42 sampai 47 persen

    4. Situasi masyarakat miskin perkotaan perlu mendapatkan perhatian segera.

    Di daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek

    kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang

    terkontaminasi secara sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat.

    Penyakit-penyakit terkait dengan ini meliputi disentri, kolera dan penyakit

    diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis,

    penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus. Selain itu, keluarga

    miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktek-praktek

    kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan

    peningkatan resiko kematian anak. Studi tentang mega-kota Jakarta (yang disebut Jabotabek),i Bandung dan Surabaya pada tahun 2000 menunjukkan

    bahwa penduduk miskin yang tinggal di daerah pinggiran kota Jakarta kurang

    berpendidikan dibandingkan warga Jakarta sendiri, dan memiliki tingkat tamat

    sekolah menengah hanya seperempat dari mereka yang tinggal di pusat kota.

    Studi yang sama menghitung angka kematian anak sampai lima kali lebih

    tinggi di kecamatan-kecamatan miskin di pinggiran kota Jabotabek daripada di

    pusat kota Jakarta.

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 6

    IV. POLA DAN KECENDERUNGAN

    Pada dekade-dekade sebelumnya, Indonesia telah menunjukkan kemajuan

    signifikan dalam meningkatkan akses terhadap persediaan air bersih dan

    pelayanan sanitasi. Air bersih dan

    sanitasi merupakan sasaran Tujuan

    Pembangunan Milenium (MDG)

    yang ketujuh dan pada tahun 2015

    diharapkan sampai dengan setengah

    jumlah penduduk yang tanpa akses

    ke air bersih yang layak minum dan

    sanitasi dasar dapat berkurang. Bagi

    Indonesia, ini berarti Indonesia perlu

    mencapai angka peningkatan akses

    air bersih hingga 68,9 persen dan

    62,4 persen, untuk sanitasi.

    Saat ini, Indonesia tidak

    berada pada arah yang tepat untuk

    mencapai target MDG untuk masalah

    air bersih MDG pada tahun 2015.

    Perhitungan dengan menggunakan

    kriteria MDG nasional Indonesia

    untuk air bersih dan data dari sensus

    tahun 2010 menunjukkan bahwa

    Indonesia harus mencapai tambahan

    56,8 juta orang dengan persediaan air

    bersih pada tahun 2015. Di sisi lain,

    jika kriteria Program Pemantauan

    Bersama WHO-UNICEF (JMP) untuk

    air bersihii akan digunakan, Indonesia

    harus mencapai tambahan 36,3 juta

    orang pada tahun 2015. Saat ini,

    bahkan di provinsi-provinsi yang

    berkinerja lebih baik (Jawa Tengah

    dan DI Yogyakarta), sekitar satu dari

    tiga rumah tangga tidak memiliki

    akses ke persediaan air bersih

    (Gambar 1).

    Perbandingan dengan tahun

    2007 menunjukkan akses air bersih

    pada tahun 2010 telah mengalami

    penurunan kira-kira sebesar tujuh

    persen. Kondisi terbalik ini pada

    umumnya disebabkan oleh penurunan

    di daerah perkotaan (sebesar 23 persen sejak tahun 2007, Gambar 2). Akses ke air

    bersih di Jakarta telah mengalami penurunan dari 63 persen pada 2010 menjadi 28

    persen pada tahun 2007, menurut Riskesdas. Yang mengherankan, dua kelompok

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 7

    kuintil tertinggi juga

    mengalami penurunan

    aksesterhadap air bersih

    masing-masing sebesar 8

    dan 32 persen

    dibandingkan dengan

    tahun 2007. Mereka yang

    berasal dari kelompok

    mampu membeli air

    minum kemasan atau

    botol: sepertiga rumah

    tangga perkotaan di

    Indonesia melakukannya

    pada tahun 2010.

    Sejak tahun 1993,

    Indonesia telah

    menunjukkan peningkatan

    dua kali lipat prosentase

    rumah tangga dengan

    akses ke fasilitas sanitasi

    yang lebih baik, tetapi

    masih berada pada arah

    yang belum tepat untuk

    mencapai target sanitasi

    MDG 2015. Untuk

    mencapai target sanitasi

    nasional MDG, diperlukan pencapaian tambahan 26 juta orang dengan sanitasi

    yang lebih baik pada tahun 2015. Perencanaan pada jangka panjang memerlukan

    pencapaian angka-angka yang lebih besar: Data Riskesdas 2010 menunjukkan

    bahwa secara keseluruhan, kira-kira 116 juta orang masih kekurangan sanitasi

    yang memadai.

    Buang air besar di tempat terbuka merupakan masalah kesehatan dan

    sosial yang perlu mendapatkan perhatian segera. Sekitar 17 persen rumah tangga

    pada tahun 2010 atau sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat

    terbuka. Ini meliputi lebih dari sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat,

    Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut

    bahkan ditemukan di provinsi-provinsi dengan cakupan sanitasi yang relatif

    tinggi, dan pada penduduk perkotaan dan di seluruh kuintil (Gambar 3 dan 4).

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 8

    Cakupan sanitasi pada kelompok-kelompok yang berbeda menunjukkan

    perbedaan yang jauh lebih kuat daripada cakupan untuk air bersih (Gambar 4).

    Proporsi rumah tangga perkotaan dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih

    baik hampir dua kali lipat

    dari proporsi rumah tangga

    perdesaan. Proporsi rumah

    tangga yang memiliki

    fasilitas sanitasi yang lebih

    baik pada kuintil tertinggi

    adalah 2,6 kali proporsi

    kuintil terendah. Perbedaan

    geografis juga terlihat jelas.

    Tingkat akses ke sanitasi

    yang lebih baik di provinsi

    yang berkinerja terbaik

    (69,8 persen, DKI Jakarta)

    adalah tiga kali lebih tinggi

    daripada tingkat akses di

    provinsi yang berkinerja

    terburuk (22,4 persen, Nusa

    Tenggara Timur).

    Kontaminasi feses

    terhadap tanah dan air

    merupakan hal yang umum

    di daerahh perkotaan, hal ini

    diakibatkan oleh kepadatan

    penduduk yang berlebihan, toilet yang kurang sehat dan pembuangan limbah

    mentah ke tempat terbuka tanpa diolah. Sebagian besar rumah tangga di perkotaan

    yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk persediaan air bersih

    mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari septik tank

    atau pembuangan toilet. Di Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup

    Daerah (BPLHD) Jakarta menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang

    digunakan oleh rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank.

    Septik tank jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah

    sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3

    persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan

    terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif yang disebabkan oleh

    pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana konsumen

    menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran

    kota.

    Dibandingkan dengan kelompok kaya, kaum miskin perkotaan

    mengeluarkan biaya yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk air yang

    berkualitas lebih buruk. Misalnya, sistem pipa kota Jakarta hanya mencakup

    sebagian kecil penduduk, karena perluasan pelayanan tidak dapat mengimbangi

    perkembangan penduduk di daerah perkotaan. Penduduk lainnya tergantung pada

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 9

    berbagai sumber lain, termasuk sumur dangkal, penjual air keliling dan jaringan

    privat yang terhubung dengan sumur yang dalam. Banyak dari sumber-sumber

    alternatif ini memerlukan biaya yang lebih besar per satuan volume daripada

    pasokan air ledeng dan sering digunakan oleh masyarakat miskin.

    V. HAMBATAN PENGEMBANGAN

    Diperlukan investasi yang lebih banyak di sektor air bersih dan sanitasi.

    Investasi pemerintah di sektor tersebut kurang dari satu persen dari PDB.

    Pemerintah sedang melakukan upaya untuk mengatasi masalah ini. Setelah

    dimulainya PPSP (Program Percepatan Sanitasi Nasional) tahun 2010, alokasi

    anggaran sanitasi oleh pemerintah daerah meningkat sebesar 4 sampai 7 persen

    pada tahun 2011.

    Beberapa kementerian dan lembaga yang terlibat dalam sektor air bersih

    dan sanitasi memerlukan koordinasi yang lebih kuat. Misalnya, kontraktor yang

    membangun sistem perairan perdesaan lebih bertanggung jawab kepada lembaga

    pemerintah, bukan pada pengguna jasa. Tanggung jawab pemeliharaan sistem ini

    tidak jelas dan struktur manajemen masyarakat masih lemah. Dalam tahun-tahun

    terakhir, koordinasi tersebut telah meningkat dengan terbentuknya kelompok kerja

    yang disebut Pokja AMPL di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten untuk air

    bersih dan sanitasi lingkungan.

    Setelah masa desentralisasi, banyak pemerintah kabupaten terhambat oleh

    kurangnya keahlian di sektor perairan dan kapasitas kelembagaan. Kabupaten-

    kabupaten terpencil mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga terampil, yang

    pada umumnya lebih memilih untuk tinggal dan bekerja di daerah perkotaan.

    Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan perilaku kebersihan mereka.

    Situasi kebersihan seringkali buruk di pusat-pusat kesehatan dan tempat-tempat

    umum lainnya, seperti pasar lokal dan di antara para penjual makanan jalanan.

    Sebuah survei di enam provinsi, yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada

    tahun 2005 untuk USAID, menyatakan bahwa kurang dari 15 persen ibu

    menyatakan mencuci tangan mereka dengan sabun setelah buang air besar,

    sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak mereka, sebelum makan,

    atau sebelum membersihkan pantat anak.

    Kunjungan lapangan menunjukkan perlunya meningkatkan kebersihan, air

    bersih dan sanitasi sekolah, tetapi tidak ada data yang memadaai tentang hal ini.

    Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa 77

    persen sekolah menengah pertama dilengkapi dengan persediaan air bersih dari

    sumur ledeng, yang berarti bahwa lebih dari 10.000 SMP tidak memiliki fasilitas

    tersebut. Perhitungan proporsi untuk semua 234.711 sekolah dasar dan menengah

    (2009) di Indonesia menunjukkan skala aksi yang diperlukan. Lebih dari 50.000

    sekolah mungkin memerlukan persediaan air bersih.

    Pemanfaatan air bersih di perkotaan tidak diatur dengan baik dan secara

    umum cakupannya kecil. Dari 402 perusahaan daerah air minum (PDAM), yang

    melayani sebagian besar daerah perkotaan, hanya 31 yang memiliki lebih dari

    50.000 sambungan pada tahun 2009. Ukuran yang lebih kecil dari optimal

    menyebabkan biaya operasi yang tinggi. Pada tahun 2010, angka air bersih yang

    tidak dipertanggungjawabkan adalah antara 38-40 persen dan hanya 30 PDAM

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 10

    mampu menutup biaya operasional dan pemeliharaan secara penuh. PDAM

    mengalihkan sebagian pendapatan diperkirakan sebesar 40 persen - kepada pemerintah kabupaten dengan sedikit tanggung jawab, dan memiliki sedikit atau

    tidak ada dana tersisa untuk operasi dan pemeliharaan. Tidak mengherankan,

    sistem persediaan air bersih perkotaan pada umumnya tidak terawat dan rusak.

    Beberapa PDAM telah mengadakan Kemitraan Publik-Publik, tetapi kompleksitas

    negosiasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten telah menyebabkan

    pembatalan dan penundaan. Sistem pembuangan kotoran dan air limbah di

    perkotaan pada umumnya kurang berkembang dan tidak ditangani dengan baik.

    Studi Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun, rumah tangga tanpa

    fasilitas sanitasi yang layak di Jakarta dan di seluruh Indonesia membuang

    masing-masing sebesar 260.731 ton dan 6,4 juta ton kotoran manusia ke

    pengumpulan-pengumpulan air tanpa diolah.

    Pengelolaan limbah padat di perkotaan dilakukan sedikit demi sedikit dan

    tidak diatur dengan baik. Badan yang secara resmi bertanggung jawab terhadap

    sektor tersebut mengadakan kontrak dengan pengusaha-pengusaha swasta kecil

    yang mengumpulkan dan membawa sampah dari rumah tangga ke fasilitas

    penyimpanan sementara untuk selanjutnya diangkut oleh badan tersebut. Rumah

    tangga membayar pelayanan ini melalui tukang sampah lokal. Penimbunan tanah

    sedang dikembangkan, tetapi tidak banyak mengalami kemajuan. Fasilitas,

    peralatan dan transportasi untuk pengelolaan limbah padat tetap terbatas

    VI. PELUANG PENGEMBANGAN

    Kebijakan Nasional untuk Persediaan Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan

    Berbasis Masyarakat memberikan kerangka kerja yang memungkinkan. Kebijakan

    tersebut memanfaatkan dengan baik pengalaman yang diperoleh di bidang air

    bersih dan sanitasi di Indonesia dan negara-negara lain. Kebijakan ini mengikuti

    prinsip-prinsip kuat yang responsif terhadap permintaan, menggunakan

    pendekatan berbasis masyarakat, dan menekankan perlunya keterlibatan

    perempuan serta memfokuskan pada prinsip-prinsip operasional , pemeliharaan

    dan pembiayaan yang berkesinambungan.

    Program Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan lima

    pilarnya merupakan kerangka kerja yang penting. Kelima pilar tersebut adalah

    penghapusan buang air besar di tempat terbuka, mencuci tangan dengan sabun,

    pengolahan air rumah tangga, pengelolaan sampah padat dan pengelolaan limbah

    cair. Kepemimpinan Kementerian Kesehatan sangat penting dalam meningkatkan

    STBM. Kabupaten dan provinsi perlu mempercepat upaya-upayanya, sesuai

    dengan standar dan pedoman nasional. Kelompok masyarakat termiskin perlu

    memiliki akses ke pembiayaan untuk memulai STBM.

    STBM memerlukan pendekatan pemasaran sosial yang memobilisasi

    sejumlah besar penduduk dan meningkatkan permintaan fasilitas sanitasi yang

    lebih baik. Revitalisasi air bersih dan sanitasi sekolah dengan tema-tema

    kesehatan dan sosial akan memberikan beberapa peluang. Para siswa dapat

    menjadi agen perubahan dalam masyarakat dalam hal STBM dan praktek-praktek

    kesehatan dan kebersihan yang baik, yang sebaiknya juga mencakup penanganan

    tempat penggunaan air bersih, penyimpanan air bersih yang layak, penurunan

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 11

    diare, dan penanggulangan demam berdarah dan malaria. Advokasi yang

    berhubungan dengan gizi, pengembangan anak usia dini dan kinerja pendidikan

    akan lebih kuat daripada pesan-pesan tentang kesehatan preventif saja. Studi di

    tempat lain menunjukkan tingkat sifat persuasive dari alasan sosial, seperti

    keinginan untuk merasakan dan mencium sesuatu yang bersih dan mengikuti

    norma-norma sosial, dan penggunaan sabun sebagai produk konsumen yang

    diinginkan.

    Sistem data perlu diperkuat. Pemerintah telah menunjukkan perhatiannya

    dalam mengembangkan program STBM Nasional di Sekolah. Program ini

    memerlukan sistem pengumpulan dan pemantauan data yang lebih baik daripada

    yang ada saat ini untuk air bersih dan sanitasi sekolah. Selain itu, sistem untuk

    pengujian dan pelaporan kualitas air perlu diperkuat dan data tersebut diumumkan

    kepada masyarakat.

    Keterlibatan baik pemerintah daerah maupun sektor swasta sangat penting

    untuk meningkatkan sistem perkotaan dan pinggiran kota. Untuk daerah

    perkotaan, teknologi inovatif dalam penyediaan sanitasi dan air bersih perlu

    dikaji. Sistem sanitasi dan pembuangan kotoran di perkotaan memberikan

    tantangan yang lebih besar, karena teknologi sanitasi standar tidak dapat bekerja

    karena kepadatan penduduk yang berlebihan, kurangnya ruang, dan dekatnya

    jarak sumber air. Dalam penyediaan air, desentralisasi teknologi dan pendekatan,

    seperti pengolahan tempat penggunaan air bersih, akan jauh lebih efektif

    dibandingkan dengan sistem sentralisasi, karena berbagai sumber yang berbeda

    dan banyaknya penyedia.

    Untuk memperkuat tata kelola dan kapasitas PDAM, diperlukan

    pengkajian ulang terhadap berbagai tugas, proses dan akuntabilitas kelembagaan,

    khususnya kepala PDAM. Tingkat pusat harus menetapkan standar minimal

    kinerja untuk PDAM, dengan mekanisme pemantauan, penegakan dan insentif.

    Lembaga-lembaga tingkat kabupaten memerlukan perencanaan dan sasaran yang

    tepat untuk membuat sistem perdesaan lebih berkesinambungan. Dalam proses

    perencanaan mereka, lembaga-lembaga tingkat kabupaten yang berbeda

    (pekerjaan umum, pemberdayaan desa, dinas kesehatan kabupaten dan dinas

    perencanaan kabupaten) harus menetapkan sasaran masyarakat yang sama,

    sehingga mobilisasi masyarakat dan pelatihan berlangsung dalam komunitas yang

    sama dimana infrastruktur dibangun. Ini akan mengoptimalkan peran serta

    masyarakat dalam perencanaan, pembangunan dan pengelolaan pelayanan sanitasi

    dan pasokan air bersih.

    Kesinambungan dan keberlanjutan persediaan air bersih perlu

    mendapatkan perhatian yang lebih besar. Satu dari sepuluh rumah tangga

    mengalami kekurangan persediaan air bersih, khususnya pada musim kemarau.

    Optimalisasi kualitas, kuantitas dan kesinambungan air bersih memerlukan

    pengelolaan sumber air yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

    Pemerintah telah memulai diskusi kebijakan tentang Rencana Keamanan Air

    Bersih, yang bertujuan untuk memastikan kualitas, kuantitas, kontinuitas dan

    keterjangkauan pelayanan air bersih.

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 12

    VII. PERAN SERTA MASYARAKAT

    Dalam pengelolaan kualitas lingkungan, terdapat 5 aspek yang harus

    diperhatikan, yaitu (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003) :

    1. Aspek legal/peraturan. Merupakan aspek yang menjadi dasar hukum yang mengatur semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan, baik yang

    terintegrasi/sektoral.

    2. Aspek institusi. Merupakan aspek yang terkait dengan peran kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan, dalam hal ini termasuk juga LSM.

    3. Aspek teknik operasional. Merupakan aspek yang terkait dengan keberjalanan teknik operasional dari suatu pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya

    bentuk fisik teknologi dan bagaimana mengoperasikannya.

    4. Aspek pembiayaan/retribusi. Merupakan aspek yang terkait dengan pembiayaan dari suatu operasi pengelolaan lingkungan, siapa yang

    membiayainya, dari mana asal dananya, serta besar biaya yang harus

    dikeluarkan untuk mengelola lingkungan.

    5. Aspek peran serta masyarakat. Merupakan aspek penting dalam pengelolaan lingkungan. Pada dasarnya, seperti apa kualitas lingkungan yang diperoleh

    akan sangat tergantung pada kualitas peran serta masyarakat dalam

    mengelolanya.

    Kelima aspek di atas tidak dapat berdiri sendiri untuk menghasilkan

    kualitas lingkungan yang diharapkan, sebaliknya dibutuhkan keterpaduan.

    Namun, kondisi riil yang sering terjadi, keterpaduannya masih belum optimal.

    Kekurangoptimalan ini seringkali terjadi karena masih kurangnya kesadaran

    masyarakat dalam mengelola lingkungan. Kurangnya kesadaran masyarakat akan

    sangat terkait pula dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka (kondisi

    sosial, budaya, dan ekonomi) terhadap faktor-faktor pengaruh dalam pengelolaan

    lingkungan.

    Begitu banyak kasus yang terjadi di mana fasilitas-fasilitas yang telah

    dibangun menjadi suatu bangunan yang ditinggalkan begitu saja oleh pemakai

    disebabkan pendekatan top down yang terlalu dominan dengan suatu kajian yang

    hanya melihat pada sudut pandang teknis tanpa memperhatikan faktor-faktor

    sosial. Pada kenyataannya, ternyata faktor-faktor sosial memegang peranan yang

    sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program peningkatan

    sanitasi lingkungan sehingga peran serta masyarakat menjadi kunci keberhasilan

    program.

    Dalam melakukan berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    dengan cara memperbaiki kondisi sanitasi di lingkungannya, beberapa hal yang

    harus menjadi perhatian di antaranya adalah bagaimana tingkat perkembangan dan

    kemajuan suatu desa, kondisi topopgrafi, dan mata pencaharian. Tingkat

    kemajuan suatu desa dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut (Kunaefi,

    1999) yaitu :

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 13

    Pra-desa : kemajuan rendah, tertutup

    Swadaya : prasarana kurang, ekonomi sederhana, gotong-royong, modal dan pemasukan belum terpikirkan

    Swakarsa : prasarana ada, modal kecil, tenaga kerja, tersedia, pemasaran hasil ada, administrasi desa ada, pembagian kerja ada

    Swasembada : prasarana baik, modal ada, motivasi ada

    Tinjauan terhadap kondisi eksisting suatu daerah dapat menjadi masukan

    penting dalam melakukan perbaikan-perbaikan sanitasi sebagai dasar penilaian

    dalam melakukan langkah-langkah yang disesuaikan dengan tingkat daya

    penerimaan masyarakat setempat agar apa yang diupayakan dapat mencapai

    sasaran sebagaimana yang diharapkan. Perbedaan lokasi geografis ternyata

    memberikan ciri khas yang berbeda-beda yang kemudian hal ini akan menuntut

    suatu pendekatan yang berbeda pula. Penerapan suatu teknologi tepat guna

    menjadi pendekatan sebagai bagian dari upaya peningkatan kondisi sanitasi

    lingkungan yang memiliki ciri-ciri efektif, menyenangkan, dapat diterima

    pemakai, menggunakan bahan lokal, mudah dirawat, dapat ditingkatkan, dan

    harga terjangkau.

    A. Pengertian Peran Serta Masyarakat dalam Kesehatan

    Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung (2001), peran serta

    masyarakat adalah proses di mana individu dan keluarga serta swadaya

    masyarakat termasuk swasta, mengambil peran sebagai berikut :

    Mengambil tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga, serta masyarakat

    Mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam pengembangan kesehatan mereka sendiri dan masyarakat sehingga termotivasi untuk

    memecahkan berbagai kesehatan yang dihadapi

    Menjadi agen/perintis pengembangan kesehatan dan pemimpin dalam penggerakan peran serta masyarakat di bidang kesehatan yang dilandasi

    semangat gotong royong

    B. Tahap-Tahap Peran Serta Masyarakat

    Dalam suatu masyarakat bagaimanapun sederhananya, selalu ada suatu

    mekanisme untuk bereaksi terhadap suatu stimulasi. Mekanisme ini disebut

    mekanisme pemecahan atau proses pemecahan masalah. Mengembangkan dan

    membina peran serta masyarakat sebenarnya tidak lain merupakan upaya

    mengembangkan mekanisme atau proses pemecahan masalah tersebut agar

    terdapat kesesuaian antara keinginan pemrakarsa dengan keinginan masyarakat.

    Terdapatnya perbedaan persepsi menyebabkan hambatan dan berkembangnya

    mekanisme atau proses pemecahan masalah tersebut, sehingga berpengaruh pula

    terhadap perkembangan dan pembinaan peran serta masyarakat itu sendiri. Sesuai

    dengan tahap-tahap pemecahan masalah, maka tahap-tahap peran serta dapat

    dikelompokkan menjadi :

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 14

    Peran serta dalam tahap pengenalan dan penentuan prioritas masalah

    Peran serta dalam tahap penentuan cara pemecahan masalah (tahap perencanaan)

    Peran serta dalam tahap pelaksanaan, termasuk penyediaan sumber daya

    Peran serta dalam tahap penilaian dan pemantapan

    Dari tahap-tahap peran serta tersebut, jelas bahwa pada setiap tahapan,

    bentuk peran serta masyarakat berbeda, bisa turut bertanggung jawab dalam

    pengenalan masalah dan penentuan prioritas masalah, bisa turut bertanggung

    jawab dalam perencanaan, maupun turut bertanggung jawab dalam pelaksanaan

    serta penilaian. Pada dasarnya peran serta yang ideal mencakup semua tahap,

    mulai tahap pengenalan masalah hingga tahap penilaian dan pemantapan. Dengan

    kata lain, peran serta masyarakat adalah keadaan keterlibatannya masyarakat

    secara aktif dalam pengenalan masalah, perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan

    pemantapan. Tahap-tahap peran serta masyarakat tergantung pada persepsi

    masing-masing. Yang paling banyak kita jumpai adalah bahwa peran serta

    masyarakat dianggap sebagai kegiatan yang disponsori oleh pihak provider.

    Dalam suatu kegiatan, umumnya masyarakat menyumbangkan tenaga dan

    atau sumberdaya masyarakat lainnya seperti biaya, fasilitas, dan sumberdaya

    lainnya. Ini merupakan peran serta masyarakat hanya pada tahap pelaksanaan dan

    penyediaan sumberdaya, sedangkan tahap pengenalan masalah dan perencanaan,

    sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak provider. Keadaan seperti ini jelas sulit

    untuk menciptakan rasa turut memiliki dan bertanggung jawab di lingkungan

    masyarakat, karena mereka tidak terlibat sejak permulaan. Masyarakat akan

    merasa bahwa kegiatan ini adalah demi kepentingan provider, bukan untuk

    kepentingan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya tingkat peran

    serta masyarakat.

    C. Bentuk-Bentuk Peran Serta Masyarakat

    Di dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dikemukakan beberapa

    bentuk peran serta masyarakat, yaitu meliputi :

    Peran serta perorangan dan keluarga. Ini dilaksanakan oleh setiap anggota

    keluarga dan anggota masyarakat dalam menolong dirinya sendiri dan keluarga

    untuk dapat hidup sehat. Hal ini dicerminkan dengan kemampuan untuk

    mengatasi masalah kesehatan, masalah lingkungan, dan masalah perilaku sesuai

    dengan kemampuan perorangan, termasuk mencari pertolongan rujukan

    Peran serta masyarakat umum. Ini meliputi kegiatan untuk menjalin hubungan yang erat dan dinamis antara pemerintah dan masyarakat dengan

    cara mengembangkan dan membina komunikasi timbal balik terutama dalam

    hal memberikan masukan, memberikan umpan balik, dan menyebarluaskan

    informasi tentang kesehatan. Di samping itu, masyarakat diminta agar turut

    secara aktif dalam mengenal dan merumuskan masalah, menentukan prioritas

    merencanakan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk mengatasi

    masalah tersebut, menggerakkan pelaksanaan, dan menyediakan sumberdaya.

    Dengan demikian, masyarakat bukan saja diperlakukan sebagai objek

    pembangunan. Dalam peran serta masyarakat umum ini termasuk pula peran

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 15

    serta kelompok-kelompok khusus di masyarakat, seperti para kader kelompok

    PKK, kelompok agama, dan sebagainya.

    Peran serta masyarakat penyelenggara upaya kesehatan. Yang dimaksud dengan kelompok penyelenggara upaya kesehatan adalah seperti yayasan-

    yayasan yang memberikan pelayanan kesehatan, praktek-praktek profesi, serta

    lainnya. Kegiatannya meliputi kegiatan yang dilaksanakan baik secara

    perorangan maupun secara kelompok, berupa :

    Penyelenggaraan pelayanan kesehatan, seperti balai pengobatan swasta, rumah bersalin swasta, dokter praktek-praktek profesi, dan lainnya

    Penyelenggaraan pendidikan dan latihan tenaga kesehatan, baik tenaga kesehatan formal maupun tenaga kesehatan yang berasal dari masyarakat

    (kader)

    Usaha menghimpun dana secara gotong royong

    Peran serta masyarakat profesi kesehatan. Kelompok profesi meliputi kelompok dokter, dokter gigi, sanitarian, apoteker, bidan, perawat, dan

    sejenisnya. Kegiatannya berupa :

    Pelayanan kesehatan

    Upaya meningkatkan sikap positif dan perilaku yang mendukung upaya pemerintah dalam menyelenggarakan upaya kesehatan

    Membantu pemerintah dalam hal pengaturan profesi kesehatan tanpa mengurangi kewenangan pemerintah dalam fungsi pengaturan profesi, dan

    lain-lain

    Berbagai upaya lain yang berhubungan dengan kesehatan

    D. Tingkat Peran Serta Masyarakat

    Masyarakat mempunyai peranan penting dalam memelihara dan

    meningkatkan kesehatan dari dan lingkungannya oleh karena kesehatan di

    samping merupakan hak juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab setiap

    orang. Tanggapan atau tafsiran masyarakat mengenai kewajiban dan tanggung

    jawab tentang kesehatan masih berbeda-beda, sehingga mempengaruhi

    keikutsertaan dalam tanggung jawab dan memberikan kontribusi dalam

    pembangunan kesehatan. Peran serta masyarakat mempunyai arti yang sangat luas

    yang pada dasarnya bertolak dari masalah sikap dan perilaku.

    Peran serta masyarakat mempunyai lingkup dan tingkatannya sendiri,

    tergantung dari sudut pandang dan harapan yang ada mengenai peran serta yang

    dikehendaki, peran serta dapat bersifat semu, parsial, dan lengkap. Peran serta

    semu adalah bentuk peran serta yang bersifat sementara dan sangat jauh dari yang

    diharapkan atau tidak disertai dengan kesediaan yang sesungguhnya. Peran serta

    disebut parsial bila perilaku yang ditampilkan hanya sebagian saja dari

    sesungguhnya yang diharapkan, tetapi dapat juga menjadi lengkap bila sesuai atau

    mendekati yang diharapkan. Semakin kompleks perilaku yang kita harapkan

    semakin sulit kita mendapatkan peran serta yang lengkap karena semakin banyak

    pula faktor yang mempengaruhinya.

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 16

    Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dapat

    terjadi dalam berbagai tingkat yang mencerminkan mutu dari masing-masing

    tingkatnya, yaitu :

    Tingkat peran serta karena imbalan/insentif

    Tingkat peran serta karena perintah/pelaksanaan

    Tingkat peran serta karena identifikasi

    Tingkat peran serta karena kesadaran

    Tingkat peran serta karena tuntutan akan hak asasi dan tanggung jawab

    Tingkat peran serta yang disertai kreasi dan daya cipta

    E. Strategi Pelaksanaan Program Peran serta Masyarakat

    Beberapa hal penting dalam tinjauan peran serta masyarakat dalam

    peningkatan sanitasi lingkungan adalah bahwa partisipasi masyarakat tidak terjadi

    dengan sendirinya, tetapi melalui berbagai pendekatan dan tahapan-tahapan.

    Tahapan-tahapan yang harus menjadi perhatian adalah seberapa jauh keinginan

    masyarakat akan sarana yang akan dibangun, apakah aspirasi-aspirasi yang

    muncul menjadi keinginan perorangan, kelompok, ataupun masyarakat secara

    umum, ketersediaan biaya dari masyarakat, bahan dan tenaga lokal, waktu yang

    dapat disediakan masyarakat, keterampilan masyarakat yang dapat dimanfaatkan,

    tingkat penerimaan masyarakat tentang teknologi yang akan diterapkan.

    Hal yang menjadi perhatian adalah bagaimana menumbuhkan rasa

    memiliki (sense of belonging) pada masyarakat agar seluruh tahapan yang dijalani

    benar-benar mendapatkan perhatian penuh dan mendapat dukungan dari

    masyarakat sehingga keberhasilan program secara keselurhan dapat tercapai.

    Untuk dapat mengidentifikasi aspek-aspek di atas, maka perlu dilakukan survey

    sosio-ekonomi.

    Dalam pelaksanaan peran serta pemakai beberapa tahapan : penilaian

    peran serta, komunikasi dengan masyarakat, dan strategi pelaksanaan. Yang perlu

    diperhatikan dalam penilaian dan kelayakan adalah pengetahuan tentang

    perbedaan struktur, pengambilan keputusan, komposisi penduduk, pendekatan

    sosiologis terkait, penggunaan peran serta, studi masyarakat. Berikut detail

    masing-masing faktor yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan

    (Kunaefi, 1999) :

    Perbedaan struktur : misalnya perbedaan dalam hal struktur sosial, ekonomi, dan budaya.

    Pengambilan keputusan : dalam hal pengambilan keputusan, adakalanya suatu keputusan yang diambil murni hasil pemikiran pemuka di daerah tersebut.

    Namun, selain itu, ada juga jalan pengambilan keputusan berdasarkan

    kompromi para pemuka dengan masyarakat setempat

    Komposisi penduduk : dapat dilihat berdasarkan tingkat keterampilan, meliputi terampil, tidak terampil.

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 17

    Pendekatan sosiologis terkait : dapat dilihat berdasarkan agama, budaya, dan lain sebagainya.

    Penggunaan peran serta : dengan langsung melibatkan masyarakat

    Studi masyarakat : meliputi studi kesehatan masyarakat, tingkat kesadaran akan water borne disease, pola kepemimpinan, bahan bangunan yang tersedia,

    kemampuan membiayai

    Persiapan pelaksanaan proyek meliputi tahapan Identification, Preparation,

    Approval, Implementation, Operation dan Maintenance, Evaluation, dan

    Pengembangan. Tabel 1 .berikut menjelaskan secara rinci mengenai deskripsi

    tahapan pelaksanaan proyek pengembangan sanitasi lingkungan :

    Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan Proyek (Kunaefi, 1999)

    Tahapan Deskripsi

    Identifikasi Sadar akan kebutuhan pelayanan

    Tanggung jawab tugas perencanaan

    Laporan identifikasi

    Persiapan Laporan pra-studi kelayakan

    Penilaian

    Keputusan

    Operasi dan Pemeliharaan Operasi, pemeliharaan

    Kesinambungan rencana pelayanan

    Penerapan

    Pembangunan sarana

    Kegiatan penunjang

    Evaluasi Pemantauan hasil proyek

    Umpan balik

    Pengembangan Pilihan teknologi

    Peran serta masyarakat

    Pendidikan kesehatan masyarakat

    Metode konstruksi

    Manajemen

    Pembiayaan

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 18

    F. Pengembangan dan Pembinaan Peran Serta Masyarakat

    Dalam mengembangkan dan membina peran serta masyarakat di bidang

    kesehatan di Indonesia, perlu diterapkan pendekatan edukatif dengan strategi dua

    tahap, yaitu pengembangan provider dan pengembangan masyarakat. Kunci pada

    pengembanganprovider adalah keterbukaan dan pengembangan komunikasi

    timbal balik yang horisontal maupun vertikal, sedangkan kunci pada

    pengembangan masyarakat adalah mengembangkan persepsi antara masyarakat

    dan provider agar masyarakat mampu mengenal masalah dan potensinya dalam

    memecahkan masalah.

    Dengan demikian, mengembangkan peran serta masyarakat yang baik

    adalah upaya memicu dan menghidupkan proses pemecahan masalah, haruslah

    selalu diusahakan agar sumberdaya untuk pemecahan masalah selalu merupakan

    sumberdaya setempat yang ada setempat atau yang terjangkau oleh masyarakat.

    Untuk penyelenggara pelayanan (provider) dalam mengembangkan dan

    membina peran serta masyarakat, beberapa hal yang dapat diperankan adalah

    sebagai berikut :

    Membina dan memelihara hubungan baik

    Bertindak sebagai katalisator

    Penasehat teknis

    Membantu langsung atau membantu masyarakat menggali sumur

    Memberikan dorongan (reinforcement)

    G. Peran serta Wanita

    Wanita sangat berperan dalam pendidikan di dalam rumah. Kaum wanita

    berperan besar dalam menanamkan kebiasaan bagi anak-anaknya serta menjadi

    panutan bagi generasi yang akan datang tentang perlakuan terhadap lingkungan.

    Dengan demikian, wanita merupakan salah satu kunci utama yang dapat

    menentukan kualitas lingkungan. Peranan wanita, dalam hal ini ibu rumah tangga

    dalam keluarga cukup besar untuk mengatur dan mengurus segala kepentingan

    dan keperluan keluarga. Hal ini salah satunya digambarkan oleh hasil penelitian

    yang pernah dilakukan di mana peran seorang istri dalam pengambilan keputusan

    rumah tangga yakni kebutuhan sehari-hari (75,7%) belanja sehari-hari (82,4%)

    mengganti perabot rumah tangga (56,2%) (Wiludjeng, et al., 2005).

    Demikian pula halnya, untuk dapat mencapai tujuan kesehatan lingkungan

    air, maka pihak-pihak yang sangat berkepentingan dengan penyediaan air bersih

    dan sanitasi perlu diikutsertakan. Pihak yang paling berperan tersebut adalah

    kaum wanita. Setiap harinya kaum wanita dan anak-anaklah yang sangat

    membutuhkan air. Kaum wanita-lah yang mengurus ketersediaan air minuman,

    makanan, air untuk mandi, cuci, dan seterusnya. Keberadaan sumber air bersih

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 19

    yang dapat diterima masyarakat akan sangat membantu dan mempermudah serta

    memperingan beban kehidupan masyarakat, khususnya kaum wanita (Slamet,

    1994).

    Bagaimana seorang ibu memilih, mengambil, menyimpan, memelihara,

    dan memanfaatkan air, secara tidak langsung akan menjadi kebiasaan yang ditiru

    oleh anak-anaknya. Seorang ibu yang memiliki kebiasaan baik, maka umumnya

    akan menurun pula pada anak-anaknya. Di sinilah pentingnya seorang ibu untuk

    terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis yang terkait dengan

    upaya meningkatkan kesehatan lingkungan, khususnya kesehatan lingkungan

    keluarganya.

    VIII. METODE PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN DAN

    PERBAIKAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH DAN SANITASI

    LINGKUNGAN

    Terdapat banyak pendekatan yang sudah digunakan oleh pihak-pihak yang

    menangani masalah air bersih dan sanitasi dalam upaya optimalisasi hasil proyek

    yang dilakukannya, terutama pendekatan terkait dengan peningkatan peran serta

    masyarakat sebagai pemakai dan pendekatan yang bersifat memicu kesadaran

    masyarakat akan pentingnya sanitasi.

    Di antara pendekatan-pendekatan tersebut adalah Demand Responsive

    Approach (DRA),Methodology Participatory Assesments (MPA), Community-

    Led Total Sanitation (CLTS) yang dibuat oleh Water Supply and Sanitation

    Policy Formulation and Action Planning(WASPOLA).

    Berikut akan dipaparkan gambaran masing-masing metode tersebut

    (Dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan

    Lingkungan Berbasis Masyarakat) :

    A. Demand Responsive Approach (DRA)

    Pendekatan tanggap kebutuhan (Demand Responsive Approach) adalah

    suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang

    menentukan dalam pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya masalah

    pendanaan. Hal ini menjadikan keterlibatan masyarakat berlangsung dalam

    keseluruhan tahapan mulai dari tahap perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, dan

    pengelolaan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dan kesediaan membayar

    masyarakat. Pendekatan ini memerlukan perubahan dalam penanganan kegiatan

    dari seluruh pihak yang berkepentingan, baik masyarakat, LSM, sektor swasta,

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 20

    maupun pemerintah. Karakteristik utama dari pendekatan ini adalah sebagai

    berikut :

    Masyarakat menyusun pilihan-pilihannya tentang :

    Apakah ingin berpartisipasi atau tidak dalam kegiatan;

    Pilihan-pilihan terhadap teknologi dan cakupan pelayanan berdasar

    kesediaan membayar;

    Kapan dan bagaimana bentuk pelayanan;

    Bagaimana dana akan dikelola dan dipertanggungjawabkan;

    Bagaimana bentuk pengoperasian dan pengelolaan pelayanan;

    Pemerintah memegang peran sebagai fasilitator, dengan menetapkan

    kebijakan dan strategi nasional yang jelas, mendorong konsultasi yang

    melibatkan keseluruhan pihak yang berkepentingan dan memfasilitasi

    peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pembelajaran

    Kondisi yang kondusif bagi terjadinya partisipasi dari beragam pihak yang

    berkepentingan terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat.

    Informasi yang memadai diberikan kepada masyarakat dan prosedur baku

    disiapkan untuk membantu proses pengambilan keputusan bersama oleh

    masyarakat.

    B. Methodology Participatory Assesments (MPA)

    MPA merupakan sebuah metodologi yang bersifat partisipatif,

    menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Self esteem,

    Associate strength, Resourcefulness, Action Planning, Responsibility (SARAR).

    Metodologi ini mengungkapkan cara-cara kaum perempuan dan keluarga kurang

    mampu berpartisipasi dan mengambil manfaat atas suatu sarana bersama-sama

    kaum lelaki dan keluarga berada. Selain itu, dalam metode ini diperlihatkan juga

    faktor-faktor kunci menuju keberhasilan dalam suatu proyek air bersih dan

    sanitasi yang dikelola masyarakat.

    MPA ditujukan kepada dinas pelaksana maupun masyarakat untuk mencapai

    sarana yang dikelola secara berkesinambungan dan digunakan secara efektif

    MPA dirancang melibatkan semua stakeholder utama dan menganalisis

    keberadaan empat komponen penting masyarakat : lelaki miskin, perempuan

    miskin, lelaki kaya, dan perempuan kaya. Jadi, MPA mengoperasionalkan

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 21

    kerangka analisis gender dan kemiskinan untuk menaksir kesinambungan

    sarana air bersih dan sanitasi.

    MPA menggunakan satu set indikator yang sector specific untuk mengukur

    kesinambungan sarana air bersih dan sanitasi.

    MPA menghasilkan sejumlah data kualitatif tingkat desa, sebagian darinya

    dapat dikuantitatifkan yang dapat dianalisis secara statistik.

    Dengan cara tersebut, kita dapat menganalisis antarmasyarakat, antarproyek,

    antarwaktu, serta pada tingkat program. Dengan demikian, MPA dapat

    menghasilkan informasi manajemen untuk proyek skala besar dan data sesuai

    untuk analisis program.

    C. Community-Led Total Sanitation (CLTS)

    Masalah sanitasi dapat disebabkan oleh budaya, terbatasnya dana, dan

    rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi. CLTS merupakan

    sebuah metode pendekatan untuk mengubah kesadaran, dengan cara

    menginisiasi/memicu (ignite trigger) rasa jijik dan malu masyarakat atas kondisi

    sanitasi, di mana mereka buang air besar di tempat terbuka (open

    defecation) sehingga pada akhirnya mereka mencari solusi bersama untuk

    mengubah kondisi mereka. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa tidak ada

    seorangpun yang tidak tergerak apabila mereka mengetahui bahwa mereka telah

    saling memakan kotoran mereka satu sama lain (eating each other shit). Selain itu,

    CLTS memicu masyarakat untuk menyadari bahwa masalah sanitasi merupakan

    tanggung jawab mereka sehingga akan selesai dengan kesadaran dan usaha

    mereka sendiri, tidak ada hubungan dengan dana/subsidi. Target dari penerapan

    CLTS pun tidak didasarkan pada indikator jumlah jamban yang berhasil

    dibangun, melainkan berubahnya kebiasaan masyarakat untuk tidak buang air di

    tempat terbuka. Melalui CLTS diperkenalkan suatu perubahan pendekatan :

    Dari pendekatan hardware menjadi hygiene change behaviour

    Dari subsidi menjadi solidaritas sosial

    Dari pendekatan yang mengutamakan pembangunan jamban (counting latrine)

    menjadi tidak ada Membuang Tinja (BAB) di tempat terbuka

    Dari pelaksanaan proyek top-down menjadi pendekatan bottom-up

    Dari pendekatan mengutamakan blueprint proyek menjadi pendekatan yang

    lebih fleksibel

  • Pengembangan dan Perbaikan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan 22

    Pada dasarnya ada tiga faktor yang mendasari pendekatan CLTS, yaitu : changing

    attitudedan behaviour (perubahan perilaku dan sikap pengambil keputusan),

    sharing (berbagi) antara fasilitator dan masyarakat, dan penggunaan

    tools (diagram, peta, dan lain-lain).

    REFERENSI

    Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit

    Buku Kedokteran EGC.

    Aboejowono, A.(1985). Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan

    Permasalahannya: Wilayah DKI Jakarta Sebagai Suatu Kasus.Jakarta

    Berry.David. (1995) Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi.Jakarta : PT Raja

    Grafindo Persada.

    Budiman, Arief, (1996). Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT

    Gramedia Pustaka Utama.

    Daniel, T.S, Hasan, P dan Vonny ,S (1965) Teknologi Pemamfaatan Sampah Kota

    dan Peran Pemulung Sampah : Suatu Pendekatan Konseptual. Bandung :

    PPLH ITB.

    Dinas Kebersihan Kota DKI Jakarta. (1965). Permasalahan dan Pengelolaan

    Sampah Kota Jakarta. Jakarta

    Djadjadiningrat SurnaT. (1992) Membangun Tanpa Merusak Lingkungan ,

    Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup

    http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/sanitasi-lingkungan/

    Mahajoeno, Edwi. (2003) Pengelolaan Sampah Terpadu. Bogor: IPB Press

    Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003 .Kapan Internasional Cooperation

    Agency (JICA). Draft Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan

    Pengelolaan Sampah . Yayasan Pesantren Islam AL-AZHAR.

    Mukono, H.J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan: Edisi Kedua.

    Surabaya: Airlangga University Press.

    Moenir, 1995 Manajemen Pelayanan Umum, Bandung : Bina Aksara

    Murthado,D dan Said, E.G (1998) Penanganan Pemanfaatan Limbah Padat

    Jakarta: Sarana Perkasan.

    Prihandarini, Ririen. (2004) Manajemen Sampah. Jakarta

    Pujosukanto, Kristiadi. (1997) Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di

    Indonesia, Jakarta : STIA LAN

    Soeparman & Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja & Limbah Cair: Suatu

    Pengantar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.