tugas sejarah kelas x.6
DESCRIPTION
okay dinosaurTRANSCRIPT
Putra Mahkota Amat Mude
Ditulis kembali oleh : Rexy Susanto
Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang
diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan
setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang
membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja
ingin sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak.
Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa
disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.
“Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.
“Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang
putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja.
“Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati
belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala
macam obat, namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak
berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.
Alangkah sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat
beruntung mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan perhatian
kepadanya.
“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia mempunyai permaisuri seperti Dinda yang
pandai menenangkan hati Kanda,” ucap sang Raja memuji permaisurinya.
Sejak itu, sang Raja dan permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan
mereka dapat terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya
berdoa dengan penuh khusyuk.
“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta
kerajaan ini. Hamba rela tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai
seorang putra,” pinta sang Raja.
Sebulan kemudian, permaisuri pun mengandung. Alangkah senang hati sang Raja
mengetahui hal itu. Kabar tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru
negeri. Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi akan
memiliki keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan. Pada
suatu sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan.
Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil menimang-nimang putranya. Begitupula
sang Raja senantiasa bersyukur telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang selama
ini ia idam-idamkan.
“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.
Seminggu kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani,
yakni upacara pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh hari
tujuh malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas, melainkan juga
seluruh binatang dan makhluk halus yang ada di laut maupun di darat. Seluruh tamu
undangan tampak gembira dan bersuka ria. Dalam upacara turun mani tersebut ditetapkan
nama putra Raja, yakni Amat Mude.
Beberapa bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan. Seluruh
badannya terasa lemah dan letih.
“Dinda! Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa Kanda
dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.
Mendengar ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari hal
itu, permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan dipanjangkan umurnya.
Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati penyakit sang Raja. Namun, tak
seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin hari
bertambah parah. Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat. Seluruh keluarga
istana dan rakyat Negeri Alas berkabung.
Oleh karena Amat Mude sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil dan
belum sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat Mude
yang bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai seorang raja,
apapun perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang membuatnya enggan digantikan
kedudukannya sebagai raja oleh Amat Mude. Berbagai tipu muslihat pun ia lakukan.
Mulanya, sang Raja memindahkan Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang yang
semula tinggal di ruang tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil sering
menangis, sehingga mengganggu setiap acara penting di istana.
Tipu muslihat Raja Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia
mengumpulkan beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.
“Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali, buang permaisuri dan anak ingusan itu ke
tengah hutan!” titah Raja Muda.
“Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.
“Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,”
jawab Raja Muda.
“Ampun, Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang
permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini
dari tanganku,” ungkap Raja Muda.
“Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,”
ungkap pengawal yang lain.
“Hei, kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika tidak, kalian
akan menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda.
Mendengar ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara,
karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan mendapat
hukuman berat.
Keesokan harinya, berangkatlah para pengawal tersebut mengantar permaisuri dan Amat
Mude ke tengah hutan. Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal
seadanya. Untuk melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam, ibu
dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon rindang. Untuk
bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan yang banyak tersedia di sekitar
mereka.
Waktu terus berjalan. Tak terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh menjadi
anak yang cerdas dan tampan. Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main, Amat Mude
menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan dibuatnya mata
pancing.
Keesokan harinya, Amat Mude pergi memancing di sebuah sungai yang di dalamnya
terdapat banyak ikan. Dalam waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang
hampir sama besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati
ibunya.
“Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.
“Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.
Lima ekor ikan besar tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul pikiran
permaisuri untuk menjualnya sebagian ke sebuah desa yang terletak tidak jauh dari
tempat tinggal mereka. Dengan mengajak Amat Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu.
Ketika akan menawarkan ikan itu kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar
kaya dan pemurah. Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.
“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya
saudagar itu heran.
Permaisuri pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan
putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya yang sangat
memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka mampir ke rumahnya dan
membeli semua ikan jualan mereka.
Sesampainya di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan
tersebut untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong ikan
tersebut, sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan memotong perut ikan
tersebut dengan pisaunya.
“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu
dalam hati dengan penuh keheranan.
Setelah berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya perut ikan
itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat telur ikan berwarna kuning emas,
tapi keras. Ia pun segera memanggil suaminya untuk memeriksa benda tersebut. Setelah
diamati dengan seksama, ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut adalah
emas murni.
“Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!”
pinta saudagar itu kepada istrinya.
“Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.
“Uang hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang bagus
sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin membalas budi baik sang
Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak membantu kita,” ujar saudagar itu kepada
istrinya.
“Baik, Bang!” jawab sang Istri.
Kemudian saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan
putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar kabar itu,
permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan sahabat suaminya
itu sangat baik kepada mereka.
“Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.
“Ampun, Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar itu sambil memberi
hormat kepada permaisuri dan Amat Mude.
Menjelang sore hari, permaisuri dan Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke
gubuknya. Saudagar itu pun memberikan pakaian yang bagus-bagus dan membekali
mereka makanan yang lezat-lezat.
Beberapa lama kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri dan
Amat Mude menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk memancing. Ikan-ikan
yang diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan selebihnya dijual ke penduduk sekitar.
Di antara ikan-ikan yang diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur emas tersebut
sedikit demi sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka pun menjadi kaya
raya dan terkenal sampai ke seluruh penjuru negeri.
Berita tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga Pakcik Amat
Mude. Mendengar kabar itu, ia pun berniat untuk mencelakakan Amat Mude, karena
tidak ingin melepaskan kekuasaannya.
Pada suatu hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk
menghadap ke istana. Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah terkejutnya Raja
Muda saat melihat seorang pemuda gagah dan tampan memberi hormat di hadapannya.
Dalam hatinya berkata, “pemuda ini benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku
sebagai raja”. Maka ia pun memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa
gading di sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu diperlukan
untuk mengobati penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui menuju ke pulau
itu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati lautan itu, maka akan
celaka.
“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka
kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.
Oleh karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera
melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat Mude di
sebuah pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk mencapai pulau itu. Pada
saat ia sedang duduk termenung berpikir, tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan
besar bernama Silenggang Raye yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga
Besar. Amat Mude pun menjadi ketakutan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.
“Sa... saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul
dan maksud perjalanannya.
Mendengar cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang Raye, Raja Buaya dan Naga itu
langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun terheran-heran melihat sikap
ketiga binatang raksasa itu.
“Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.
“Ampun, Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua
diundang pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.
“Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung
Naga besar itu.
“Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.
Akhirnya, Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke pulau
yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Sebelum Amat Mude
naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin ajaib kepada Amat Mude. Dengan
memakai cincin ajaib itu, maka semua permintaan akan dikabulkan.
Setelah itu, Amat Mude pun segera mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama
mencari, ia pun menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan
hanya memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin ajaib
yang melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat dengan mudah dan
cepat sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik buah kelapa gading itu, tiba-tiba
terdengar suara seorang perempuan yang sangat lembut menegurnya, “Siapapun yang
berhasil memetik buah kelapa gading itu, maka dia akan menjadi suamiku.”
“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.
“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.
Ketika Amat Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir kelapa
gading, tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di belakangnya. Alangkah takjubnya
ketika ia melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak
sang Putri pulang ke rumah untuk menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan
dengan ramai di kediaman Amat Mude.
Usai pesta, Amat Mude ditemani istri dan ibunya segera menyerahkan buah kelapa
gading yang diperolehnya kepada Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman
mati. Bahkan, berkat ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi sadar
akan kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat Mude-lah yang
berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas permintaan Raja Muda,
Amat Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.
Sumber : http://cerita2rakyat.blogspot.com/2011/02/cerita-rakyat-putra-mahkota-
amat-mude.html
Raja Empedu
Ditulis Kembali oleh : Rexy Susanto
Pada zaman dahulu kala, Kecamatan Rawas Ulu yang merupakan wilayah
Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, terbagi ke dalam tiga wilayah pemerintahan
yaitu Hulu Sungai Nusa, Lesung Batu, dan Kampung Suku Kubu. Ketiga wilayah
tersebut masing-masing diperintah oleh seorang raja. Negeri Hulu Sungai diperintah oleh
Raja Empedu yang masih muda dan terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya.
Rakyatnya hidup aman dan makmur karena pertanian di daerah itu maju dengan pesat.
Sementara itu, Negeri Lesung Batu diperintah oleh Pangeran Mas yang terkenal kaya
raya dan mempunyai banyak ternak kerbau. Adapun Negeri Kampung Suku Kubu
diperintah oleh Raja Kubu yang memiliki kesaktian yang tinggi. Negeri Kampung Kubu
dikenal paling tertinggal dibanding dua negeri yang lain meskipun wilayahnya cukup
subur.
Suatu ketika, Pangeran Mas mengalami kesulitan memelihara ternaknya yang semakin
hari semakin berkembangbiak. Oleh karenanya, ia berniat untuk menyerahkan sebagian
ternaknya kepada siapa pun yang berminat memeliharanya dengan syarat kerbau-kerbau
yang diserahkan tetap menjadi miliknya, hasil dari pengembangbiakan itulah nantinya
akan dibagi bersama secara adil.
Raja Kubu yang mendengar kabar tersebut sangat berminat untuk menerima tawaran
Pangeran Mas. Ia segera mengirim utusannya ke Negeri Lesung Batu untuk menghadap
Pangeran Mas.
“Ampun, Tuan! Hamba adalah utusan Raja Kubu dari Negeri Kampung Suku Kubu.
Kedatangan hamba kemari untuk menyampaikan keinginan Raja hamba yang berminat
menerima tawaran Tuan dan bersedia menaati persyaratannya,” lapor utusan Raja Kubu.
“Baiklah, kalau begitu! Pulanglah dan sampaikan kepada Raja-mu bahwa aku menyetujui
keinginannya. Besok aku akan mengirimkannya puluhan ekor kerbau. Sampaikan juga
kepada Raja-mu bahwa jika kerbau-kerbau tersebut telah berkembangbiak, aku akan
datang untuk mengambil pembagian hasilnya,” jelas Pangeran Mas.
“Baik, Tuan! Pesan Tuan akan hamba sampaikan kepada Raja hamba,” kata utusan itu
seraya mohon diri.
Keesokan harinya, Pangeran Mas mengirim berpuluh-puluh ekor kerbau jantan dan
betina kepada Raja Kubu. Raja Kubu pun menerimanya dengan senang hati. Ia
memelihara dan merawat kerbau-kerbau tersebut dengan baik. Kerbau-kerbau tersebut ia
gembalakan dan membiarkannya berkubang di sawah-sawah yang terhampar luas di
daerahnya. Kerbau peliharaannya pun berkembangbiak dengan cepat dan hampir seluruh
daerahnya telah menjadi kubangan kerbau. Sejak itu, negeri tersebut kemudian dikenal
dengan nama Negeri Kubang dan Raja Kubu dipanggil Raja Kubang.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Mas merasa bahwa tibalah saatnya untuk
mengambil pembagian atas ternaknya yang dipelihara oleh Raja Kubang. Maka
dikirimlah utusannya untuk menghadap Raja Kubang. Setibanya di sana, Raja Kubang
mengikari janjinya dan menolak untuk berbagi hasil dengan Pangeran Mas. Bahkan, ia
menganggap bahwa semua kerbau yang dipeliharanya adalah miliknya.
“Hai, utusan! Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Raja Kubang.
“Ampun, Tuan! Hamba diutus Raja Pangeran Mas kemari untuk menagih pembagian
hasil dari ternak kerbau yang Tuan pelihara,” jawab utusan Raja Pangeran Mas.
“Apa katamu, pembagian hasil? Tidak, semua kerbau tersebut sudah menjadi milikku
karena akulah yang merawat dan mengembangbiakkannya,” kata Raja Kubang.
“Tapi, Tuan! Bukankah hal itu sesuai dengan perjanjian yang telah Tuan sepakati
bersama Raja Pangeran Mas?” ujar utusan itu.
“Cuihhh… persetan dengan perjanjian itu! Perjanjian itu hanya berlaku pada waktu itu,
tapi sekarang tidak lagi,” Raja Kubang menyangkal.
Beberapa kali utusan Raja Pangeran Mas berusaha membujuk dan memberinya
pengertian, namun Raja Kubang tetap mengingkari janjinya. Lama kelamaan Raja
Kubang merasa muak dengan bujukan-bujukan itu. Ia pun memerintahkan pengawalnya
agar mengusir utusan itu. Akhirnya, utusan Raja Pangeran Mas pulang dengan tangan
hampa.
Mendengar laporan dari utusannya, Raja Pangeran Mas sangat marah atas sikap dan
tindakan Raja Kubang. Penguasa Negeri Lesung Batu itu berniat untuk menyerang Raja
Kubang, namun apa daya Raja Kubang terkenal sakti dan mempunyai banyak pengawal
yang tangguh. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Raja Empedu.
Berangkatlah ia bersama beberapa pengawalnya ke Negeri Hulu Sungai Nusa. Setibanya
di sana, kedatangan mereka disambut baik oleh Raja Empedu. Raja Pangeran Mas
kemudian mengutarakan maksud kedatangannya. Tanpa berpikir panjang, Raja Empedu
pun menyatakan kesediaannya untuk membantu Pangeran Mas.
“Baiklah, Pangeran Mas! Aku akan membantu mengembalikan kerbau-kerbaumu. Raja
Kubang yang suka ingkar janji itu harus diberi pelajaran,” ujar Raja Empedu.
“Tapi, bagaimana caranya Raja Empedu? Bukankah Raja Kubang itu sangat sakti?” tanya
Pangeran Mas bingung.
“Tenang Pangeran Mas! Kita perlu strategi untuk bisa mengalahkannya,” ujar Raja
Empedu.
Akhirnya, Raja Empedu bekerjasama dengan Pangeran Mas membangun strategi.
Pertama-tama mereka membagi dua pasukan mereka. Pasukan pertama bertugas
membuat hiruk pikuk seluruh rakyat Raja Kubang dengan mengadakan pertunjukan seni
dan tari pedang di Negeri Kubang. Pasukan kedua bertugas untuk mengepung dan
membakar seluruh pemukiman penduduk Negeri Kubang.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah pasukan pertama ke Negeri Kubang untuk
mengadakan pertunjukan. Mereka masuk wilayah negeri itu sambil membawakan lagu-
lagu merdu dan tari-tarian pedang. Penduduk Negeri Kubang pun berbondong-bondong
untuk menyaksikan pertunjukkan itu, tidak terkecuali Raja Kubang dan para
pengawalnya. Pada saat itulah, pasukan kedua yang dipimpin oleh Raja Empedu dan
Pangeran Mas segera memanfaatkan kesempatan untuk mengepung dan membakar
seluruh permukiman warga. Para penduduk pun berlarian untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu, Raja Kubang baru menyadari bahwa mereka telah dikepung oleh pasukan
dari dua kerajaan. Ia pun tak berdaya untuk melakukan perlawanan karena jumlah
pasukan Raja Empedu dan Pangeran Mas jauh lebih banyak daripada pasukannya.
Akhirnya, Raja Kubang menyerah dan mengembalikan seluruh kerbau yang ada di
negerinya kepada Pangeran Mas.
Pangeran Mas dan Raja Empedu beserta seluruh pasukannya menggiring kerbau-kerbau
tersebut menuju Negeri Lesung Batu. Betapa senangnya hati Pangeran Mas karena ternak
kerbaunya dapat direbut kembali dari tangan Raja Kubang atas bantuan Raja Empedu.
Sebagai ucapan terima kasih dan balas jasa, Pangeran Mas menyerahkan putri semata
wayangnya yang bernama Putri Darah Putih kepada Raja Empedu untuk dijadikan
permaisuri.
Setelah menikah, Raja Empedu mengajak Putri Darah Putih tinggal di Negeri Hulu
Sungai Nusa. Sejak itulah, Raja Pangeran Mas merasa kesepian dan selalu merindukan
putrinya. Untuk melepas keriduannya, ia sering pergi ke Tebing Ajam, yaitu suatu tempat
yang tinggi untuk meninjau dari kejauhan Negeri Hulu Sungai, tempat tinggal putrinya
dan Raja Empedu. Hingga kini, tebing itu terkenal dengan nama Tebing Peninjauan.
Sumber : http://www.ceritarakyat.pustaka78.com/2010/08/raja-empedu.html
Banta Berensyah
Ditulis kembali oleh : Rexy Susanto
Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Nanggroe Aceh Darussalam,
hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta
Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua
ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan
dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan leluasa
masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa
hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan sehari-hari
pun mereka kesulitan.Untuk bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi sekam di sebuah
kincir padi milik saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar kaya di dusun
itu. Namun, ia terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala perbuatannya selalu
diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Terkadang ia hanya mengupahi
ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua genggam beras. Beras itu hanya cukup
dimakan sehari oleh janda itu bersama anaknya.
Pada suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa
ditemani Banta Berensyah, karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat tiba di tempat
itu. Tak seorang pun yang menumbuk padi. Dengan begitu, tentu ia tidak dapat menampi
sekam dan memperoleh upah beras. Dengan perasaan kecewa dan sedih, perempuan
paruh baya itu kembali ke gubuknya. Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak
semata wayangnya yang sedang terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan
tubuhnya menggigil, karena sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.
“Ibu…! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.
Janda itu hanya terdiam sambil menatap lembut anaknya. Sebenarnya, hati
kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-
apa, karena tidak ada sama sekali makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang
berada di samping anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan mengulurkannya ke
mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas
itu sebagai pengganti makanan untuk menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air
itu, Banta merasa tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih
sayang, ia menatap wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya seraya
mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.
Mulut perempuan paruh baya itu belum bisa berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-
kaca, ia hanya menghela nafas panjang. Banta pun menatap lebih dalam ke arah mata
ibunya. Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya menangis.
“Bu! Banta tahu mengapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak
memperoleh upah hari ini,” ungkap Banta.
“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu sudah berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa
makan. Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar ucapan Banta Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak pernah
mengira sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini dianggapnya masih
kecil itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia
merangkul tubuh putranya sambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seolah-olah
telah menghapus segala kepedihan dan kelelahan batin yang selama ini membebani
hidupnya.
“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang
kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.
Kasih sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi semangat baru
kepada Banta Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali bertenaga. Ia
kemudian menatap wajah ibunya yang tampak pucat. Ia sadar bahwa saat ini ibunya pasti
sedang lapar. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah
pamannya, Jakub, untuk meminta beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah
memahami perangai saudaranya yang kikir itu.
“Jangan, Anakku! Bukankah kamu tahu sendiri kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia
tentu tidak akan memberimu beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.
“Banta mengerti, Bu! Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman
akan merasa iba melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.
Berkali-kali ibunya mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi
ke rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun memberi
izin. Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat ia masuk ke
pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras membentaknya. Suara itu tak lain
adalah suara pamannya.
“Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta
Berensyah.
“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku tidak
perduli!” saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar lagi.
Betapa kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh dari
pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya dengan perasaan
sedih dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya.
Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar kabar dari seorang warga bahwa
raja di sebuah negeri yang letaknya tidak berapa jauh dari dusunnya akan mengadakan
sayembara. Raja negeri itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia
bagaikan bidadari yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat
halus, putih, dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus pandang. Jika
ia menelan makanan, seolah-olah makanan itu tampak lewat ditenggorokannya. Itulah
sebabnya ia diberi nama Putri Terus Mata. Setiap pemuda yang melihat kecantikannya
pasti akan tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang
datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus Mata
akan menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian yang
terbuat dari emas dan suasa.
Mendengar kabar itu, Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung. Ia
berharap dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi lebih baik. Siapa
tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas pulang ke gubuknya untuk menemui
ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung duduk di dekat ibunya. Sambil mendekatkan
wajahnya yang sedikit pucat karena lapar, Banta Berensyah menyampaikan perihal
hasratnya mengikuti sayembara tersebut kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya
agar keinginannya dikabulkan.
“Bu! Banta sangat sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha
memberikan yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya
Banta harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu merestui niat
tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib hidup kita!” pinta Banta
Berensyah.
Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak
semata wayangnya itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“Banta, Anakku! Kamu adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah
menjadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus berpisah
denganmu,” kata perempuan paruh baya itu.
“Tapi, bagaimana kamu bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di
perjalanan nanti? Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun
kita tidak punya,” tambahnya.
“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu. Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,”
kata Banta Berensyah.
Setelah mendapat restu dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat yang
sepi untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah semalam suntuk
berdoa dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat petunjuk agar membawa
sehelai daun talas dan suling miliknya ke perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan
untuk mengarungi laut luas menuju ke tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu
akan ia gunakan untuk menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas
dan suasa yang dia perlukan.
Keesokan harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke rumah
pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang akan
berlayar ke negeri lain. Setibanya di sana, ia kembali dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak malas!” seru sang Paman.
“Paman! Bolehkah Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.
Jakub tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir bahwa
kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang hati, ia pun
mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu telah mati, karena tidak
akan lagi datang meminta-minta kepadanya. Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut
berlayar bersama pamannya. Begitu kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah
samudra, Banta meminta kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan Nanda bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda
dari kapal ini!” pinta Banta Betensyah.
Saudagar kaya itu pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan Banta ke
laut. Namun sebelum diturunkan, Banta mengeluarkan lipatan daun talas yang
diselempitkan di balik pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan daun talas itu seraya
duduk bersila di atasnya. Melihat kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.
“Ha… ha… ha…! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!”
serunya.
Namun, betapa terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah menurunkan
Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu mampu menahan tubuh Banta
Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke
arah barat, sedangkan pamannya berlayar menuju ke arah utara.
Setelah berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas dihempas gelombang samudra,
Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu,
ia terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang sangat indah dan memesona.
Hampir di setiap halaman rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai
motif dan warna sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah
tukang tenun.
Banta pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk menanyakan kain emas dan
suasa yang sedang dicarinya. Namun, penghuni rumah itu tidak memiliki jenis kain
tersebut. Ia pun pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, dan ternyata si pemilik
rumah itu juga tidak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki
rumah penduduk satu persatu, namun kain yang dicarinya belum juga ia temukan.
Tinggal satu rumah lagi yang belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga
tukang tenun.
“Tok… Tok… Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah setelah mengetuk pintu
rumah kepala kampung itu.
Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan
mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.
“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.
Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan
maksud kedatangannya.
“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari emas
dan suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, apalagi setelah
melihat penampilan Banta yang sangat sederhana itu.
“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa itu? Apakah kamu
mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”
“Maaf, Tuan! Saya memang tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan
berkenan, bolehkah saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya
mengeluarkan sulingnya.
Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki kain tenun tersebut, kepala
kampung itu kembali bertanya kepadanya.
“Banta! Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”
Banta pun menceritakan alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan kain
tersebut. Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala kampung itu memenuhi
permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun memainkan sulingnya dengan lagu-lagu
yang merdu. Kepala kampung itu benar-benar terbuai menikmati senandung lagu yang
dibawakan Banta. Setelah puas menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa
miliknya kepada Banta.
“Kamu sangat mahir bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas dan
suasa ini,” ujar kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu
mengingat semua kebaikan hati Tuan,” kata Banta.
Setelah mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun meninggalkan pulau itu. Ia
berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan menggunakan
daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Ia tidak sabar lagi ingin
menyampaikan berita gembira itu kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain
emas dan suasa itu kepada Putri Terus Mata.
Namun, nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di tengah laut, ia bertemu dan ikut
dengan kapal Jakub yang baru saja pulang berlayar dari negeri lain. Saat ia berada di atas
kapal itu, kain emas dan suasa yang diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh
Jakub. Setelah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub
membawa pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri Terus Mata.
Sementara itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut terdampar di sebuah
pantai dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang mencari kerang. Sepasang
suami-istri itu pun membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Setelah
beberapa lama tinggal bersama kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon
diri untuk kembali ke kampung halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun
talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan suka-
cita. Kemudian, Banta pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.
“Maafkan Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan kain emas dan suasa
itu, tetapi Paman Jakub merampasnya,” Banta bercerita kepada ibunya dengan perasaan
kecewa.
“Sudahlah, Anakku! Ibu mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu
mempersunting putri raja,” ujar Ibunya.
“Tapi, Bu! Banta harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa itu dari Paman. Kain
itu milik Banta,” kata Banta dengan tekad keras.
“Semuanya sudah terlambat, Anakku!” sahut ibunya.
“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya Banta penasaran.
“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini, pesta
perkawinannya dengan putri raja sedang dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.
Tanpa berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya lalu bergegas
menuju ke tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya di kerumunan pesta yang
berlangsung meriah itu, Banta tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti
untuk menunjukkan kepada raja dan sang Putri bahwa kain emas dan suasa yang
dipersembahkan Jakub itu adalah miliknya. Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya
berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai berdoa,
tiba-tiba datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar di atas keramaian pesta
sambil berbunyi.
“Klik.. klik… klik… kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah…!!! Klik… klik..
klik… kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah…!!!” demikian bunyi elang itu
berulang-ulang.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana menjadi gempar. Suasana pesta yang
meriah itu seketika menjadi hening. Bunyi elang itu pun semakin jelas terdengar.
Akhirnya, Raja dan Putri Terus Mata menyadari bahwa Jakub adalah orang serakah yang
telah merampas milik orang lain. Sementara itu Jakub yang sedang di pelaminan mulai
gelisah dan wajahnya pucat. Karena tidak tahan lagi menahan rasa malu dan takut
mendapat hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan
meloncat, kakinya tersandung di jendela sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah
hingga tewas seketika.
Setelah peristiwa itu, Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata.
Pesta pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat
meriah. Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja yang merasa dirinya sudah tua
menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah pun mengajak
ibunya untuk tinggal bersamanya di istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia
bersama seluruh keluarga istana.
Sumber : http://bom2000.com/cerita-rakyat-banta-berensyah.html
Raden Alit
Ditulis kembali oleh :Rexy Susanto
Alkisah, di Negeri Tanjung Kemuning, Sumatera Selatan, tersebutlah seorang
raja bernama Ratu Ageng yang menikah dengan seorang Dewa Kahyangan. Mereka
tinggal di langit dan telah dikaruniai dua orang putra, yaitu Raden Kuning dan Raden
Alit, serta seorang putri bernama Dayang Bulan. Ketiga anak raja tersebut saling
menyayangi satu sama lain. Raden Kuning dan Raden Alit adalah orang yang sakti
mandraguna. Sejak kecil hingga dewasa, mereka berguru berbagai macam ilmu kesaktian
kepada Nenek Dewi Langit.
Setelah hampir dua puluh tahun menjalani kehidupan di Langit, Ratu Ageng merasa rindu
ingin kembali ke Bumi. Oleh karena itu, ia bermaksud mengajak seluruh keluarganya
pindah ke Bumi.
“Wahai, permaisuri dan anak-anakku! Entah kenapa, tiba-tiba Ayah merasa rindu pada
tanah kelahiran Ayah. Ayah ingin sekali kembali ke bumi dan hidup di sana. Apakah
kalian merasa keberatan jika Ayah mengajak kalian turut serta ke Bumi?” tanya Ratu
Ageng.
“Tentu tidak, Ayah! Aku akan ikut bersama Ayah ke Bumi. Bukankah kami semua anak-
anak Ayah belum pernah melihat tempat kelahiran Ayah?” kata Raden Alit.
“Benar, Ayah! Kami juga ikut!” sahut Raden Kuning dan Dayang Bulan serentak.
Ratu Ageng tersenyum gembira mendengar jawaban putra-putrinya. Ia sangat memahami
perasaan mereka karena ketiga anaknya tersebut dilahirkan di Langit sehingga sejak kecil
mereka tidak mengetahui tentang kehidupan di bumi.
“Baiklah kalau begitu! Besok pagi-pagi sekali kita berangkat ke Bumi,” ujar Ratu Agung.
Keesokan harinya, berangkatlah Ratu Ageng bersama keluarga serta sejumlah
pengawalnya ke Bumi. Di Bumi, mereka membangun sebuah istana yang tidak begitu
megah sebagai tempat tinggal mereka. Ratu Ageng beserta keluarga dan para
pengikutnya hidup layaknya manusia bumi pada umumnya.
Selang beberapa tahun tinggal di Bumi, malapetaka menimpa keluarga Ratu Ageng.
Putrinya Dayang Bulan meninggal dunia lantaran digigit ular lidi. Kematian putrinya itu
membawa duka yang dalam bagi Ratu Ageng dan permaisurinya. Namun, Raden Kuning
dan Raden Alit tidak dapat menerima kematian saudara perempuan mereka itu. Mereka
yakin bahwa Dayang Bulan belum saatnya meninggal. Oleh karena itu, keduanya
memohon izin kepada sang ayahanda untuk pergi mencari Dayang Bulan.
“Ampun, Ayah! Kami yakin Dayang Bulan belum meninggal, Ayah! Izinkanlah Ananda
dan Raden Kuning untuk pergi mencarinya!” pinta Raden Alit.
“Wahai, Anakku! Bukankah kalian menyaksikan sendiri bahwa Dayang Bulan telah
meninggal dan dimakamkan di kebun bunga?” ujar Ratu Ageng.
“Benar, Ayah! Tapi kami yakin bahwa yang dimakankan pada saat itu hanya
bayangannya saja. Wujud aslinya telah diculik oleh seseorang yang sakti mandraguna,”
sahut Raden Kuning.
Pada mulanya, Ratu Ageng tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan oleh kedua
putranya itu. Namun, karena Raden Kuning dan Raden Alit terus mendesaknya, akhirnya
Ratu Ageng mengizinkan mereka untuk mencari Dayang Bulan.
Setelah berpamitan kepada kedua orangtuanya, berangkatlah Raden Kuning dan Raden
Alit mencari Dayang Bulan. Mereka berjalan selama berbulan-bulan tanpa tentu arah.
Begitu mereka tiba di sebuah pantai, terlihatlah sebuah rejung, yaitu kapal besar dan
megah, yang sedang berlabuh. Seketika itu pula mereka langsung melompat ke atas
rejung itu karena mengira Dayang Bulan berada di dalamnya. Namun, setelah memeriksa
seluruh ruangan di kapal itu mereka hanya menemukan dua orang laki-laki sedang tidur
di dalam sebuah kamar. Raden Kuning pun membangunkan kedua orang itu seraya
bertanya kepada mereka.
“Wahai sahabat, siapakah kalian ini! Mengapa rejung kalian berhenti di pantai ini?”
“Maaf, sahabat! Kami tertidur karena kelelahan setelah cukup lama dalam perjalanan
mencari saudara perempuan kami yang bernama Dayang Ayu,” jawab salah seorang
pemilik kapal yang bernama si Ulung Tanggal.
“Kalau kami boleh tahu, bagaimana saudara perempuan kalian bisa hilang?” tanya Raden
Alit.
“Begini, sahabat,” sahut adik si pemilik kapal yang bernama Serincung Dabung.
“Saudara perempuan kami telah meninggal karena digigit ular lidi. Namun, kami yakin
bahwa dia sebenarnya tidak meninggal. Ia diculik oleh putra raja Negeri Salek Alam yang
bernama Malim Putih.”
“Hai, sahabat! Bagaimana kamu bisa tahu kalau putra raja itu yang menculik saudara
perempuan kalian?” tanya Raden Kuning penasaran.
Rupanya, Serincung Dabung adalah seorang ahli nujum. Raden Kuning dan Raden Alit
pun meminta bantuan kepadanya untuk mencari tahu keberadaan Dayang Bulan. Setelah
Serincung Dabung melakukan nujum, akhirnya diketahui bahwa Dayang Bulan juga
diculik oleh putra raja Negeri Salek Alam yang bernama Malim Hitam.
Keempat orang tersebut ternyata memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari saudara
perempuan mereka yang diculik oleh kedua putra Raja Negeri Salek Alam. Namun,
karena Serincung Dabung tidak dapat menerawang letak Negeri Salek, akhirnya mereka
pun berpencar. Si Ulung Tunggul berjalan di atas Kahyangan, Raden Kuning terbang di
angkasa bagai burung, dan Serincung Dabung berjalan di dalam air.
Sementara itu, Raden Alit berjalan di daratan dengan menyusuri hutan belantara serta
menaiki dan menuruni bukit. Dalam perjalanannya, Raden Alit bertemu dengan seorang
nenek yang berpakaian sangat rapi.
“Nenek hendak pergi ke mana?” tanya Raden Alit.
“Nenek hendak ke pesta pernikahan, Cucuku!” jawab nenek itu.
“Siapa yang akan menikah, Nek?” tanya Raden Alit ingin tahu.
“Putra Raja Negeri Salek Alam, Malim Hitam dan Malim Putih,” jawab nenek itu.
“Maaf, Nek! Kalau boleh saya tahu, mereka menikah dengan siapa?” tanya Raden Alit
penasaran.
“Malim Hitam akan menikah dengan Dayang Bulan sedangkan Malim Putih akan
menikah dengan Dayang Ayu,” jawab nenek itu.
Mendengar jawaban nenek itu, Raden Alit pun semakin yakin bahwa Dayang Bulan dan
Dayung Ayu masih hidup. Maka dengan kesaktiannya, Raden Alit menyamar menjadi
budak banden, yaitu merubah bentuk wajahnya. Setelah itu, berangkatlah ia ke Negeri
Salek Alam.
Setibanya di negeri itu, Raden Alit bertemu dengan Raja Jin dan menceritakan maksud
kedatangannya ke negeri itu. Raja Jin itu sangat baik hati dan dan mempunyai seorang
putri yang cantik jelita bernama Salipuk Jantung Pandan. Raden Alit pun langsung jatuh
hati kepadanya pada saat pandangan pertama. Dalam waktu singkat, mereka langsung
menjalin hubungan kasih dan berjanji akan menikah. Dengan hubungan itu, Raden Alit
pun semakin dekat dengan keluarga Raja Jin. Raden Alit kemudian meminta pertolongan
kepada Raja Jin untuk membebaskan Dayang Bulan dan Dayung Ayu.
Dengan kesaktiannya, Raja Jin merubah bentuk Dayang Bulan dan Dayung Ayu menjadi
dua tangkai bunga sebelum mereka naik ke pelaminan. Kemudian, tanpa sepengetahuan
Malim Hitam dan Malim Putih, Raden Alit berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar
Dayang Bulan dan Dayung Ayu. Begitu ia masuk ke dalam kamar tersebut tampaklah dua
tangkai bunga yang tergeletak di lantai. Tanpa berpikir panjang, Raden Alit segera
mengambil kedua tangkai bunga yang merupakan perwujudan Dayang Bulan dan Dayung
Ayu tersebut.
Namun, begitu Raden Alit keluar dari kamar, tiba-tiba Malim Hitam dan Malim Putih
datang menghadangnya.
“Hai, siapa kamu dan mau dibawa ke mana calon istri kami!” seru Malim Hitam dengan
wajah memerah.
“Serahkan kedua tangkai bunga itu! Atau kami akan menghajarmu!” tambah Malim Putih
dengan geramnya.
“Tidak! Aku tidak akan menyerahkan kedua tangkai bunga ini. Kalian telah menculik
saudara perempuan kami,” bantah Raden Alit.
Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Pada mulanya, Raden Alit masih mampu
mengimbangimbangi kesaktian kedua putra Raja Negeri Selak Alam tersebut. Namun,
setelah pertempuran tersebut berlangsung selama berhari-hari, akhirnya Raden Alit
kewalahan dan terlempar ke langit. Untungnya, pintu langit ketika itu terbuka sehingga ia
tidak jatuh terhempas ke bumi. Akhirnya, Raden Alit menemui Nenek Dewa Langit
untuk meminta pertolongan.
“Ampun, Nenek Dewa! Tolonglah aku agar bisa mengalahkan kedua musuhku, Malim
Hitam dan Malim Putih, yang ada di Bumi!” pinta Raden Alit.
“Wahai, Cucuku Raden Alit! Kedua musuhmu itu tidak dapat dibunuh. Akan tetapi,
kamu bisa melemparkannya ke langit. Setibanya di langit, aku akan memasukkan mereka
ke dalam sangkar besi,” ujar Nenek Dewa Langit.
“Baiklah, Nek! Izinkanlah aku kembali ke Bumi!” pamit Raden Alit.
Setibanya kembali di Bumi, Raden Alit mengeluarkan seluruh kesaktiannya sehingga
mampu melemparkan kedua musuhnya tersebut ke langit. Begitu mereka tiba di langit,
Nenek Dewa segera memasukkannnya ke dalam sangkar besi yang telah disiapkan
sebelumnya sehingga mereka tidak dapat lagi kembali ke bumi. Sementara itu, Dayang
Bulan dan Dayung Ayu kembali berwujud manusia.
Tak berapa lama kemudian, datanglah Raden Kuning, Si Ulung Tanggal, dan Serincung
Dabung. Raden Alit kemudian menceritakan semua yang telah terjadi.
“Terima kasih, Sahabat! Engkau telah menyelamatkan saudara perempuan kami Dayung
Ayu,” ucap si Ulung Tanggal usai mendengar cerita Raden Alit.
“Sama-sama, Sahabat! Keberhasilan ini tidak terlepas dari kerjasama kita dan bantuan
Raja Jin,” kata Raden Alit.
“Hai, siapa Raja Jin itu?” tanya Serincung Dabung.
“Dia adalah Raja Jin di negeri ini dan sangat baik hati,” jawab Raden Alit.
Akhirnya, Raden Alit dan Si Ulung Tanggal bersaudara segera menemui Raja Jin untuk
menyampaikan ucapan terima kasih karena telah membantu mereka mengalahkan kedua
putra Raja Negeri Selak Alam. Setelah itu, mereka berpamitan untuk kembali ke negeri
masing-masing.
Sementara itu, di istana, Ratu Ageng dan permaisurinya sudah berbulan-bulan diselimuti
perasaan cemas menunggu kepulangan anak-anak mereka. Namun, begitu melihat Raden
Kuning dan Raden Alit kembali bersama Dayang Bulan, keduanya tidak sanggup
menahan rasa haru. Untuk menyambut kepulangan ketiga anaknya, Ratu Ageng
mengadakan pesta besar-besaran selama tiga hari tiga malam.
Usai pesta, Raden Alit datang menghadap kepada kedua orangtuanya dan mengatakan
bahwa sebenarnya ia telah mengikat janji untuk menikah dengan putri Raja Jin yang
cantik itu. Akhirnya, Ratu Ageng beserta seluruh keluarganya datang ke tempat Raja Jin
untuk mengadakan pesta perkawinan Raden Alit dengan Salipuk Jantung Pandan.
Selanjutnya, Raden Alit dan istrinya pun hidup bahagia.