tugas sejarah kelas x.6

42
Putra Mahkota Amat Mude Ditulis kembali oleh : Rexy Susanto Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja ingin sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak. Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya. “Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan. “Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja. “Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala macam obat, namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan

Upload: kristian-sudana-hartanto

Post on 30-Nov-2015

47 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

okay dinosaur

TRANSCRIPT

Putra Mahkota Amat Mude

Ditulis kembali oleh : Rexy Susanto

Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang

diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan

setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang

membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja

ingin sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak.

Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa

disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.

“Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.

“Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang

putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja.

“Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati

belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala

macam obat, namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak

berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.

Alangkah sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat

beruntung mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan perhatian

kepadanya.

“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia mempunyai permaisuri seperti Dinda yang

pandai menenangkan hati Kanda,” ucap sang Raja memuji permaisurinya.

Sejak itu, sang Raja dan permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan

mereka dapat terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya

berdoa dengan penuh khusyuk.

“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta

kerajaan ini. Hamba rela tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai

seorang putra,” pinta sang Raja.

Sebulan kemudian, permaisuri pun mengandung. Alangkah senang hati sang Raja

mengetahui hal itu. Kabar tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru

negeri. Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi akan

memiliki keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.

Waktu terus berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan. Pada

suatu sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan.

Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil menimang-nimang putranya. Begitupula

sang Raja senantiasa bersyukur telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang selama

ini ia idam-idamkan.

“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.

Seminggu kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani,

yakni upacara pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh hari

tujuh malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas, melainkan juga

seluruh binatang dan makhluk halus yang ada di laut maupun di darat. Seluruh tamu

undangan tampak gembira dan bersuka ria. Dalam upacara turun mani tersebut ditetapkan

nama putra Raja, yakni Amat Mude.

Beberapa bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan. Seluruh

badannya terasa lemah dan letih.

“Dinda! Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa Kanda

dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.

Mendengar ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari hal

itu, permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan dipanjangkan umurnya.

Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati penyakit sang Raja. Namun, tak

seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin hari

bertambah parah. Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat. Seluruh keluarga

istana dan rakyat Negeri Alas berkabung.

Oleh karena Amat Mude sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil dan

belum sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat Mude

yang bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai seorang raja,

apapun perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang membuatnya enggan digantikan

kedudukannya sebagai raja oleh Amat Mude. Berbagai tipu muslihat pun ia lakukan.

Mulanya, sang Raja memindahkan Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang yang

semula tinggal di ruang tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil sering

menangis, sehingga mengganggu setiap acara penting di istana.

Tipu muslihat Raja Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia

mengumpulkan beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.

“Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali, buang permaisuri dan anak ingusan itu ke

tengah hutan!” titah Raja Muda.

“Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.

“Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,”

jawab Raja Muda.

“Ampun, Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang

permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal yang lain.

“Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini

dari tanganku,” ungkap Raja Muda.

“Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,”

ungkap pengawal yang lain.

“Hei, kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika tidak, kalian

akan menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda.

Mendengar ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara,

karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan mendapat

hukuman berat.

Keesokan harinya, berangkatlah para pengawal tersebut mengantar permaisuri dan Amat

Mude ke tengah hutan. Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal

seadanya. Untuk melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam, ibu

dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon rindang. Untuk

bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan yang banyak tersedia di sekitar

mereka.

Waktu terus berjalan. Tak terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh menjadi

anak yang cerdas dan tampan. Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main, Amat Mude

menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan dibuatnya mata

pancing.

Keesokan harinya, Amat Mude pergi memancing di sebuah sungai yang di dalamnya

terdapat banyak ikan. Dalam waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang

hampir sama besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati

ibunya.

“Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.

“Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.

Lima ekor ikan besar tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul pikiran

permaisuri untuk menjualnya sebagian ke sebuah desa yang terletak tidak jauh dari

tempat tinggal mereka. Dengan mengajak Amat Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu.

Ketika akan menawarkan ikan itu kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar

kaya dan pemurah. Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.

“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya

saudagar itu heran.

Permaisuri pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan

putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya yang sangat

memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka mampir ke rumahnya dan

membeli semua ikan jualan mereka.

Sesampainya di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan

tersebut untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong ikan

tersebut, sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan memotong perut ikan

tersebut dengan pisaunya.

“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu

dalam hati dengan penuh keheranan.

Setelah berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya perut ikan

itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat telur ikan berwarna kuning emas,

tapi keras. Ia pun segera memanggil suaminya untuk memeriksa benda tersebut. Setelah

diamati dengan seksama, ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut adalah

emas murni.

“Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!”

pinta saudagar itu kepada istrinya.

“Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.

“Uang hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang bagus

sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin membalas budi baik sang

Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak membantu kita,” ujar saudagar itu kepada

istrinya.

“Baik, Bang!” jawab sang Istri.

Kemudian saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan

putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar kabar itu,

permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan sahabat suaminya

itu sangat baik kepada mereka.

“Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.

“Ampun, Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan

bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar itu sambil memberi

hormat kepada permaisuri dan Amat Mude.

Menjelang sore hari, permaisuri dan Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke

gubuknya. Saudagar itu pun memberikan pakaian yang bagus-bagus dan membekali

mereka makanan yang lezat-lezat.

Beberapa lama kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri dan

Amat Mude menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan mereka

sehari-hari mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk memancing. Ikan-ikan

yang diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan selebihnya dijual ke penduduk sekitar.

Di antara ikan-ikan yang diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur emas tersebut

sedikit demi sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka pun menjadi kaya

raya dan terkenal sampai ke seluruh penjuru negeri.

Berita tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga Pakcik Amat

Mude. Mendengar kabar itu, ia pun berniat untuk mencelakakan Amat Mude, karena

tidak ingin melepaskan kekuasaannya.

Pada suatu hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk

menghadap ke istana. Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah terkejutnya Raja

Muda saat melihat seorang pemuda gagah dan tampan memberi hormat di hadapannya.

Dalam hatinya berkata, “pemuda ini benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku

sebagai raja”. Maka ia pun memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa

gading di sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu diperlukan

untuk mengobati penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui menuju ke pulau

itu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati lautan itu, maka akan

celaka.

“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka

kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.

Oleh karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera

melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat Mude di

sebuah pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk mencapai pulau itu. Pada

saat ia sedang duduk termenung berpikir, tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan

besar bernama Silenggang Raye yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga

Besar. Amat Mude pun menjadi ketakutan.

“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.

“Sa... saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul

dan maksud perjalanannya.

Mendengar cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang Raye, Raja Buaya dan Naga itu

langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun terheran-heran melihat sikap

ketiga binatang raksasa itu.

“Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.

“Ampun, Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua

diundang pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.

“Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung

Naga besar itu.

“Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.

Akhirnya, Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke pulau

yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Sebelum Amat Mude

naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin ajaib kepada Amat Mude. Dengan

memakai cincin ajaib itu, maka semua permintaan akan dikabulkan.

Setelah itu, Amat Mude pun segera mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama

mencari, ia pun menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan

hanya memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin ajaib

yang melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat dengan mudah dan

cepat sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik buah kelapa gading itu, tiba-tiba

terdengar suara seorang perempuan yang sangat lembut menegurnya, “Siapapun yang

berhasil memetik buah kelapa gading itu, maka dia akan menjadi suamiku.”

“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.

“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.

Ketika Amat Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir kelapa

gading, tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di belakangnya. Alangkah takjubnya

ketika ia melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak

sang Putri pulang ke rumah untuk menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan

dengan ramai di kediaman Amat Mude.

Usai pesta, Amat Mude ditemani istri dan ibunya segera menyerahkan buah kelapa

gading yang diperolehnya kepada Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman

mati. Bahkan, berkat ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi sadar

akan kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat Mude-lah yang

berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas permintaan Raja Muda,

Amat Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.

Sumber : http://cerita2rakyat.blogspot.com/2011/02/cerita-rakyat-putra-mahkota-

amat-mude.html

Raja Empedu

Ditulis Kembali oleh : Rexy Susanto

Pada zaman dahulu kala, Kecamatan Rawas Ulu yang merupakan wilayah

Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, terbagi ke dalam tiga wilayah pemerintahan

yaitu Hulu Sungai Nusa, Lesung Batu, dan Kampung Suku Kubu. Ketiga wilayah

tersebut masing-masing diperintah oleh seorang raja. Negeri Hulu Sungai diperintah oleh

Raja Empedu yang masih muda dan terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya.

Rakyatnya hidup aman dan makmur karena pertanian di daerah itu maju dengan pesat.

Sementara itu, Negeri Lesung Batu diperintah oleh Pangeran Mas yang terkenal kaya

raya dan mempunyai banyak ternak kerbau. Adapun Negeri Kampung Suku Kubu

diperintah oleh Raja Kubu yang memiliki kesaktian yang tinggi. Negeri Kampung Kubu

dikenal paling tertinggal dibanding dua negeri yang lain meskipun wilayahnya cukup

subur.

Suatu ketika, Pangeran Mas mengalami kesulitan memelihara ternaknya yang semakin

hari semakin berkembangbiak. Oleh karenanya, ia berniat untuk menyerahkan sebagian

ternaknya kepada siapa pun yang berminat memeliharanya dengan syarat kerbau-kerbau

yang diserahkan tetap menjadi miliknya, hasil dari pengembangbiakan itulah nantinya

akan dibagi bersama secara adil.

Raja Kubu yang mendengar kabar tersebut sangat berminat untuk menerima tawaran

Pangeran Mas. Ia segera mengirim utusannya ke Negeri Lesung Batu untuk menghadap

Pangeran Mas.

“Ampun, Tuan! Hamba adalah utusan Raja Kubu dari Negeri Kampung Suku Kubu.

Kedatangan hamba kemari untuk menyampaikan keinginan Raja hamba yang berminat

menerima tawaran Tuan dan bersedia menaati persyaratannya,” lapor utusan Raja Kubu.

“Baiklah, kalau begitu! Pulanglah dan sampaikan kepada Raja-mu bahwa aku menyetujui

keinginannya. Besok aku akan mengirimkannya puluhan ekor kerbau. Sampaikan juga

kepada Raja-mu bahwa jika kerbau-kerbau tersebut telah berkembangbiak, aku akan

datang untuk mengambil pembagian hasilnya,” jelas Pangeran Mas.

“Baik, Tuan! Pesan Tuan akan hamba sampaikan kepada Raja hamba,” kata utusan itu

seraya mohon diri.

Keesokan harinya, Pangeran Mas mengirim berpuluh-puluh ekor kerbau jantan dan

betina kepada Raja Kubu. Raja Kubu pun menerimanya dengan senang hati. Ia

memelihara dan merawat kerbau-kerbau tersebut dengan baik. Kerbau-kerbau tersebut ia

gembalakan dan membiarkannya berkubang di sawah-sawah yang terhampar luas di

daerahnya. Kerbau peliharaannya pun berkembangbiak dengan cepat dan hampir seluruh

daerahnya telah menjadi kubangan kerbau. Sejak itu, negeri tersebut kemudian dikenal

dengan nama Negeri Kubang dan Raja Kubu dipanggil Raja Kubang.

Beberapa tahun kemudian, Pangeran Mas merasa bahwa tibalah saatnya untuk

mengambil pembagian atas ternaknya yang dipelihara oleh Raja Kubang. Maka

dikirimlah utusannya untuk menghadap Raja Kubang. Setibanya di sana, Raja Kubang

mengikari janjinya dan menolak untuk berbagi hasil dengan Pangeran Mas. Bahkan, ia

menganggap bahwa semua kerbau yang dipeliharanya adalah miliknya.

“Hai, utusan! Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Raja Kubang.

“Ampun, Tuan! Hamba diutus Raja Pangeran Mas kemari untuk menagih pembagian

hasil dari ternak kerbau yang Tuan pelihara,” jawab utusan Raja Pangeran Mas.

“Apa katamu, pembagian hasil? Tidak, semua kerbau tersebut sudah menjadi milikku

karena akulah yang merawat dan mengembangbiakkannya,” kata Raja Kubang.

“Tapi, Tuan! Bukankah hal itu sesuai dengan perjanjian yang telah Tuan sepakati

bersama Raja Pangeran Mas?” ujar utusan itu.

“Cuihhh… persetan dengan perjanjian itu! Perjanjian itu hanya berlaku pada waktu itu,

tapi sekarang tidak lagi,” Raja Kubang menyangkal.

Beberapa kali utusan Raja Pangeran Mas berusaha membujuk dan memberinya

pengertian, namun Raja Kubang tetap mengingkari janjinya. Lama kelamaan Raja

Kubang merasa muak dengan bujukan-bujukan itu. Ia pun memerintahkan pengawalnya

agar mengusir utusan itu. Akhirnya, utusan Raja Pangeran Mas pulang dengan tangan

hampa.

Mendengar laporan dari utusannya, Raja Pangeran Mas sangat marah atas sikap dan

tindakan Raja Kubang. Penguasa Negeri Lesung Batu itu berniat untuk menyerang Raja

Kubang, namun apa daya Raja Kubang terkenal sakti dan mempunyai banyak pengawal

yang tangguh. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Raja Empedu.

Berangkatlah ia bersama beberapa pengawalnya ke Negeri Hulu Sungai Nusa. Setibanya

di sana, kedatangan mereka disambut baik oleh Raja Empedu. Raja Pangeran Mas

kemudian mengutarakan maksud kedatangannya. Tanpa berpikir panjang, Raja Empedu

pun menyatakan kesediaannya untuk membantu Pangeran Mas.

“Baiklah, Pangeran Mas! Aku akan membantu mengembalikan kerbau-kerbaumu. Raja

Kubang yang suka ingkar janji itu harus diberi pelajaran,” ujar Raja Empedu.

“Tapi, bagaimana caranya Raja Empedu? Bukankah Raja Kubang itu sangat sakti?” tanya

Pangeran Mas bingung.

“Tenang Pangeran Mas! Kita perlu strategi untuk bisa mengalahkannya,” ujar Raja

Empedu.

Akhirnya, Raja Empedu bekerjasama dengan Pangeran Mas membangun strategi.

Pertama-tama mereka membagi dua pasukan mereka. Pasukan pertama bertugas

membuat hiruk pikuk seluruh rakyat Raja Kubang dengan mengadakan pertunjukan seni

dan tari pedang di Negeri Kubang. Pasukan kedua bertugas untuk mengepung dan

membakar seluruh pemukiman penduduk Negeri Kubang.

Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah pasukan pertama ke Negeri Kubang untuk

mengadakan pertunjukan. Mereka masuk wilayah negeri itu sambil membawakan lagu-

lagu merdu dan tari-tarian pedang. Penduduk Negeri Kubang pun berbondong-bondong

untuk menyaksikan pertunjukkan itu, tidak terkecuali Raja Kubang dan para

pengawalnya. Pada saat itulah, pasukan kedua yang dipimpin oleh Raja Empedu dan

Pangeran Mas segera memanfaatkan kesempatan untuk mengepung dan membakar

seluruh permukiman warga. Para penduduk pun berlarian untuk menyelamatkan diri.

Sementara itu, Raja Kubang baru menyadari bahwa mereka telah dikepung oleh pasukan

dari dua kerajaan. Ia pun tak berdaya untuk melakukan perlawanan karena jumlah

pasukan Raja Empedu dan Pangeran Mas jauh lebih banyak daripada pasukannya.

Akhirnya, Raja Kubang menyerah dan mengembalikan seluruh kerbau yang ada di

negerinya kepada Pangeran Mas.

Pangeran Mas dan Raja Empedu beserta seluruh pasukannya menggiring kerbau-kerbau

tersebut menuju Negeri Lesung Batu. Betapa senangnya hati Pangeran Mas karena ternak

kerbaunya dapat direbut kembali dari tangan Raja Kubang atas bantuan Raja Empedu.

Sebagai ucapan terima kasih dan balas jasa, Pangeran Mas menyerahkan putri semata

wayangnya yang bernama Putri Darah Putih kepada Raja Empedu untuk dijadikan

permaisuri.

Setelah menikah, Raja Empedu mengajak Putri Darah Putih tinggal di Negeri Hulu

Sungai Nusa. Sejak itulah, Raja Pangeran Mas merasa kesepian dan selalu merindukan

putrinya. Untuk melepas keriduannya, ia sering pergi ke Tebing Ajam, yaitu suatu tempat

yang tinggi untuk meninjau dari kejauhan Negeri Hulu Sungai, tempat tinggal putrinya

dan Raja Empedu. Hingga kini, tebing itu terkenal dengan nama Tebing Peninjauan.

Sumber : http://www.ceritarakyat.pustaka78.com/2010/08/raja-empedu.html

Banta Berensyah

Ditulis kembali oleh : Rexy Susanto

Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Nanggroe Aceh Darussalam,

hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta

Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua

ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan

dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan leluasa

masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa

hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan sehari-hari

pun mereka kesulitan.Untuk bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi sekam di sebuah

kincir padi milik saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar kaya di dusun

itu. Namun, ia terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala perbuatannya selalu

diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Terkadang ia hanya mengupahi

ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua genggam beras. Beras itu hanya cukup

dimakan sehari oleh janda itu bersama anaknya.

Pada suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa

ditemani Banta Berensyah, karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat tiba di tempat

itu. Tak seorang pun yang menumbuk padi. Dengan begitu, tentu ia tidak dapat menampi

sekam dan memperoleh upah beras. Dengan perasaan kecewa dan sedih, perempuan

paruh baya itu kembali ke gubuknya. Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak

semata wayangnya yang sedang terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan

tubuhnya menggigil, karena sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.

“Ibu…! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.

Janda itu hanya terdiam sambil menatap lembut anaknya. Sebenarnya, hati

kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-

apa, karena tidak ada sama sekali makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang

berada di samping anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan mengulurkannya ke

mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas

itu sebagai pengganti makanan untuk menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air

itu, Banta merasa tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih

sayang, ia menatap wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya seraya

mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.

“Kenapa ibu menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.

Mulut perempuan paruh baya itu belum bisa berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-

kaca, ia hanya menghela nafas panjang. Banta pun menatap lebih dalam ke arah mata

ibunya. Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya menangis.

“Bu! Banta tahu mengapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak

memperoleh upah hari ini,” ungkap Banta.

“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu sudah berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa

makan. Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.

Mendengar ucapan Banta Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak pernah

mengira sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini dianggapnya masih

kecil itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia

merangkul tubuh putranya sambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seolah-olah

telah menghapus segala kepedihan dan kelelahan batin yang selama ini membebani

hidupnya.

“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang

kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.

Kasih sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi semangat baru

kepada Banta Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali bertenaga. Ia

kemudian menatap wajah ibunya yang tampak pucat. Ia sadar bahwa saat ini ibunya pasti

sedang lapar. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah

pamannya, Jakub, untuk meminta beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah

memahami perangai saudaranya yang kikir itu.

“Jangan, Anakku! Bukankah kamu tahu sendiri kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia

tentu tidak akan memberimu beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.

“Banta mengerti, Bu! Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman

akan merasa iba melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.

Berkali-kali ibunya mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi

ke rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun memberi

izin. Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat ia masuk ke

pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras membentaknya. Suara itu tak lain

adalah suara pamannya.

“Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.

“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta

Berensyah.

“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku tidak

perduli!” saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar lagi.

Betapa kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh dari

pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya dengan perasaan

sedih dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar kabar dari seorang warga bahwa

raja di sebuah negeri yang letaknya tidak berapa jauh dari dusunnya akan mengadakan

sayembara. Raja negeri itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia

bagaikan bidadari yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat

halus, putih, dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus pandang. Jika

ia menelan makanan, seolah-olah makanan itu tampak lewat ditenggorokannya. Itulah

sebabnya ia diberi nama Putri Terus Mata. Setiap pemuda yang melihat kecantikannya

pasti akan tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang

datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus Mata

akan menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian yang

terbuat dari emas dan suasa.

Mendengar kabar itu, Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung. Ia

berharap dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi lebih baik. Siapa

tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas pulang ke gubuknya untuk menemui

ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung duduk di dekat ibunya. Sambil mendekatkan

wajahnya yang sedikit pucat karena lapar, Banta Berensyah menyampaikan perihal

hasratnya mengikuti sayembara tersebut kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya

agar keinginannya dikabulkan.

“Bu! Banta sangat sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha

memberikan yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya

Banta harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu merestui niat

tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib hidup kita!” pinta Banta

Berensyah.

Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak

semata wayangnya itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.

“Banta, Anakku! Kamu adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah

menjadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus berpisah

denganmu,” kata perempuan paruh baya itu.

“Tapi, bagaimana kamu bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di

perjalanan nanti? Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun

kita tidak punya,” tambahnya.

“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu. Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,”

kata Banta Berensyah.

Setelah mendapat restu dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat yang

sepi untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah semalam suntuk

berdoa dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat petunjuk agar membawa

sehelai daun talas dan suling miliknya ke perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan

untuk mengarungi laut luas menuju ke tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu

akan ia gunakan untuk menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas

dan suasa yang dia perlukan.

Keesokan harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke rumah

pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang akan

berlayar ke negeri lain. Setibanya di sana, ia kembali dibentak oleh pamannya.

“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak malas!” seru sang Paman.

“Paman! Bolehkah Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.

Jakub tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir bahwa

kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang hati, ia pun

mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu telah mati, karena tidak

akan lagi datang meminta-minta kepadanya. Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut

berlayar bersama pamannya. Begitu kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah

samudra, Banta meminta kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.

“Paman! Perjalanan Nanda bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda

dari kapal ini!” pinta Banta Betensyah.

Saudagar kaya itu pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan Banta ke

laut. Namun sebelum diturunkan, Banta mengeluarkan lipatan daun talas yang

diselempitkan di balik pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan daun talas itu seraya

duduk bersila di atasnya. Melihat kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.

“Ha… ha… ha…! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.

“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!”

serunya.

Namun, betapa terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah menurunkan

Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu mampu menahan tubuh Banta

Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke

arah barat, sedangkan pamannya berlayar menuju ke arah utara.

Setelah berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas dihempas gelombang samudra,

Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu,

ia terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang sangat indah dan memesona.

Hampir di setiap halaman rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai

motif dan warna sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah

tukang tenun.

Banta pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk menanyakan kain emas dan

suasa yang sedang dicarinya. Namun, penghuni rumah itu tidak memiliki jenis kain

tersebut. Ia pun pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, dan ternyata si pemilik

rumah itu juga tidak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki

rumah penduduk satu persatu, namun kain yang dicarinya belum juga ia temukan.

Tinggal satu rumah lagi yang belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga

tukang tenun.

“Tok… Tok… Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah setelah mengetuk pintu

rumah kepala kampung itu.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan

mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.

“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.

Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan

maksud kedatangannya.

“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari emas

dan suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?” pinta Banta Berensyah.

Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, apalagi setelah

melihat penampilan Banta yang sangat sederhana itu.

“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa itu? Apakah kamu

mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”

“Maaf, Tuan! Saya memang tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan

berkenan, bolehkah saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya

mengeluarkan sulingnya.

Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki kain tenun tersebut, kepala

kampung itu kembali bertanya kepadanya.

“Banta! Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”

Banta pun menceritakan alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan kain

tersebut. Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala kampung itu memenuhi

permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun memainkan sulingnya dengan lagu-lagu

yang merdu. Kepala kampung itu benar-benar terbuai menikmati senandung lagu yang

dibawakan Banta. Setelah puas menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa

miliknya kepada Banta.

“Kamu sangat mahir bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas dan

suasa ini,” ujar kepala kampung itu.

“Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu

mengingat semua kebaikan hati Tuan,” kata Banta.

Setelah mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun meninggalkan pulau itu. Ia

berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan menggunakan

daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Ia tidak sabar lagi ingin

menyampaikan berita gembira itu kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain

emas dan suasa itu kepada Putri Terus Mata.

Namun, nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di tengah laut, ia bertemu dan ikut

dengan kapal Jakub yang baru saja pulang berlayar dari negeri lain. Saat ia berada di atas

kapal itu, kain emas dan suasa yang diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh

Jakub. Setelah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub

membawa pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri Terus Mata.

Sementara itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut terdampar di sebuah

pantai dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang mencari kerang. Sepasang

suami-istri itu pun membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Setelah

beberapa lama tinggal bersama kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon

diri untuk kembali ke kampung halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun

talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan suka-

cita. Kemudian, Banta pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.

“Maafkan Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan kain emas dan suasa

itu, tetapi Paman Jakub merampasnya,” Banta bercerita kepada ibunya dengan perasaan

kecewa.

“Sudahlah, Anakku! Ibu mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu

mempersunting putri raja,” ujar Ibunya.

“Tapi, Bu! Banta harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa itu dari Paman. Kain

itu milik Banta,” kata Banta dengan tekad keras.

“Semuanya sudah terlambat, Anakku!” sahut ibunya.

“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya Banta penasaran.

“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini, pesta

perkawinannya dengan putri raja sedang dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.

Tanpa berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya lalu bergegas

menuju ke tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya di kerumunan pesta yang

berlangsung meriah itu, Banta tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti

untuk menunjukkan kepada raja dan sang Putri bahwa kain emas dan suasa yang

dipersembahkan Jakub itu adalah miliknya. Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya

berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai berdoa,

tiba-tiba datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar di atas keramaian pesta

sambil berbunyi.

“Klik.. klik… klik… kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah…!!! Klik… klik..

klik… kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah…!!!” demikian bunyi elang itu

berulang-ulang.

Mendengar bunyi elang itu, seisi istana menjadi gempar. Suasana pesta yang

meriah itu seketika menjadi hening. Bunyi elang itu pun semakin jelas terdengar.

Akhirnya, Raja dan Putri Terus Mata menyadari bahwa Jakub adalah orang serakah yang

telah merampas milik orang lain. Sementara itu Jakub yang sedang di pelaminan mulai

gelisah dan wajahnya pucat. Karena tidak tahan lagi menahan rasa malu dan takut

mendapat hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan

meloncat, kakinya tersandung di jendela sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah

hingga tewas seketika.

Setelah peristiwa itu, Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata.

Pesta pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat

meriah. Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja yang merasa dirinya sudah tua

menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah pun mengajak

ibunya untuk tinggal bersamanya di istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia

bersama seluruh keluarga istana.

Sumber : http://bom2000.com/cerita-rakyat-banta-berensyah.html

Raden Alit

Ditulis kembali oleh :Rexy Susanto

Alkisah, di Negeri Tanjung Kemuning, Sumatera Selatan, tersebutlah seorang

raja bernama Ratu Ageng yang menikah dengan seorang Dewa Kahyangan. Mereka

tinggal di langit dan telah dikaruniai dua orang putra, yaitu Raden Kuning dan Raden

Alit, serta seorang putri bernama Dayang Bulan. Ketiga anak raja tersebut saling

menyayangi satu sama lain. Raden Kuning dan Raden Alit adalah orang yang sakti

mandraguna. Sejak kecil hingga dewasa, mereka berguru berbagai macam ilmu kesaktian

kepada Nenek Dewi Langit.

Setelah hampir dua puluh tahun menjalani kehidupan di Langit, Ratu Ageng merasa rindu

ingin kembali ke Bumi. Oleh karena itu, ia bermaksud mengajak seluruh keluarganya

pindah ke Bumi.

“Wahai, permaisuri dan anak-anakku! Entah kenapa, tiba-tiba Ayah merasa rindu pada

tanah kelahiran Ayah. Ayah ingin sekali kembali ke bumi dan hidup di sana. Apakah

kalian merasa keberatan jika Ayah mengajak kalian turut serta ke Bumi?” tanya Ratu

Ageng.

“Tentu tidak, Ayah! Aku akan ikut bersama Ayah ke Bumi. Bukankah kami semua anak-

anak Ayah belum pernah melihat tempat kelahiran Ayah?” kata Raden Alit.

“Benar, Ayah! Kami juga ikut!” sahut Raden Kuning dan Dayang Bulan serentak.

Ratu Ageng tersenyum gembira mendengar jawaban putra-putrinya. Ia sangat memahami

perasaan mereka karena ketiga anaknya tersebut dilahirkan di Langit sehingga sejak kecil

mereka tidak mengetahui tentang kehidupan di bumi.

“Baiklah kalau begitu! Besok pagi-pagi sekali kita berangkat ke Bumi,” ujar Ratu Agung.

Keesokan harinya, berangkatlah Ratu Ageng bersama keluarga serta sejumlah

pengawalnya ke Bumi. Di Bumi, mereka membangun sebuah istana yang tidak begitu

megah sebagai tempat tinggal mereka. Ratu Ageng beserta keluarga dan para

pengikutnya hidup layaknya manusia bumi pada umumnya.

Selang beberapa tahun tinggal di Bumi, malapetaka menimpa keluarga Ratu Ageng.

Putrinya Dayang Bulan meninggal dunia lantaran digigit ular lidi. Kematian putrinya itu

membawa duka yang dalam bagi Ratu Ageng dan permaisurinya. Namun, Raden Kuning

dan Raden Alit tidak dapat menerima kematian saudara perempuan mereka itu. Mereka

yakin bahwa Dayang Bulan belum saatnya meninggal. Oleh karena itu, keduanya

memohon izin kepada sang ayahanda untuk pergi mencari Dayang Bulan.

“Ampun, Ayah! Kami yakin Dayang Bulan belum meninggal, Ayah! Izinkanlah Ananda

dan Raden Kuning untuk pergi mencarinya!” pinta Raden Alit.

“Wahai, Anakku! Bukankah kalian menyaksikan sendiri bahwa Dayang Bulan telah

meninggal dan dimakamkan di kebun bunga?” ujar Ratu Ageng.

“Benar, Ayah! Tapi kami yakin bahwa yang dimakankan pada saat itu hanya

bayangannya saja. Wujud aslinya telah diculik oleh seseorang yang sakti mandraguna,”

sahut Raden Kuning.

Pada mulanya, Ratu Ageng tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan oleh kedua

putranya itu. Namun, karena Raden Kuning dan Raden Alit terus mendesaknya, akhirnya

Ratu Ageng mengizinkan mereka untuk mencari Dayang Bulan.

Setelah berpamitan kepada kedua orangtuanya, berangkatlah Raden Kuning dan Raden

Alit mencari Dayang Bulan. Mereka berjalan selama berbulan-bulan tanpa tentu arah.

Begitu mereka tiba di sebuah pantai, terlihatlah sebuah rejung, yaitu kapal besar dan

megah, yang sedang berlabuh. Seketika itu pula mereka langsung melompat ke atas

rejung itu karena mengira Dayang Bulan berada di dalamnya. Namun, setelah memeriksa

seluruh ruangan di kapal itu mereka hanya menemukan dua orang laki-laki sedang tidur

di dalam sebuah kamar. Raden Kuning pun membangunkan kedua orang itu seraya

bertanya kepada mereka.

“Wahai sahabat, siapakah kalian ini! Mengapa rejung kalian berhenti di pantai ini?”

“Maaf, sahabat! Kami tertidur karena kelelahan setelah cukup lama dalam perjalanan

mencari saudara perempuan kami yang bernama Dayang Ayu,” jawab salah seorang

pemilik kapal yang bernama si Ulung Tanggal.

“Kalau kami boleh tahu, bagaimana saudara perempuan kalian bisa hilang?” tanya Raden

Alit.

“Begini, sahabat,” sahut adik si pemilik kapal yang bernama Serincung Dabung.

“Saudara perempuan kami telah meninggal karena digigit ular lidi. Namun, kami yakin

bahwa dia sebenarnya tidak meninggal. Ia diculik oleh putra raja Negeri Salek Alam yang

bernama Malim Putih.”

“Hai, sahabat! Bagaimana kamu bisa tahu kalau putra raja itu yang menculik saudara

perempuan kalian?” tanya Raden Kuning penasaran.

Rupanya, Serincung Dabung adalah seorang ahli nujum. Raden Kuning dan Raden Alit

pun meminta bantuan kepadanya untuk mencari tahu keberadaan Dayang Bulan. Setelah

Serincung Dabung melakukan nujum, akhirnya diketahui bahwa Dayang Bulan juga

diculik oleh putra raja Negeri Salek Alam yang bernama Malim Hitam.

Keempat orang tersebut ternyata memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari saudara

perempuan mereka yang diculik oleh kedua putra Raja Negeri Salek Alam. Namun,

karena Serincung Dabung tidak dapat menerawang letak Negeri Salek, akhirnya mereka

pun berpencar. Si Ulung Tunggul berjalan di atas Kahyangan, Raden Kuning terbang di

angkasa bagai burung, dan Serincung Dabung berjalan di dalam air.

Sementara itu, Raden Alit berjalan di daratan dengan menyusuri hutan belantara serta

menaiki dan menuruni bukit. Dalam perjalanannya, Raden Alit bertemu dengan seorang

nenek yang berpakaian sangat rapi.

“Nenek hendak pergi ke mana?” tanya Raden Alit.

“Nenek hendak ke pesta pernikahan, Cucuku!” jawab nenek itu.

“Siapa yang akan menikah, Nek?” tanya Raden Alit ingin tahu.

“Putra Raja Negeri Salek Alam, Malim Hitam dan Malim Putih,” jawab nenek itu.

“Maaf, Nek! Kalau boleh saya tahu, mereka menikah dengan siapa?” tanya Raden Alit

penasaran.

“Malim Hitam akan menikah dengan Dayang Bulan sedangkan Malim Putih akan

menikah dengan Dayang Ayu,” jawab nenek itu.

Mendengar jawaban nenek itu, Raden Alit pun semakin yakin bahwa Dayang Bulan dan

Dayung Ayu masih hidup. Maka dengan kesaktiannya, Raden Alit menyamar menjadi

budak banden, yaitu merubah bentuk wajahnya. Setelah itu, berangkatlah ia ke Negeri

Salek Alam.

Setibanya di negeri itu, Raden Alit bertemu dengan Raja Jin dan menceritakan maksud

kedatangannya ke negeri itu. Raja Jin itu sangat baik hati dan dan mempunyai seorang

putri yang cantik jelita bernama Salipuk Jantung Pandan. Raden Alit pun langsung jatuh

hati kepadanya pada saat pandangan pertama. Dalam waktu singkat, mereka langsung

menjalin hubungan kasih dan berjanji akan menikah. Dengan hubungan itu, Raden Alit

pun semakin dekat dengan keluarga Raja Jin. Raden Alit kemudian meminta pertolongan

kepada Raja Jin untuk membebaskan Dayang Bulan dan Dayung Ayu.

Dengan kesaktiannya, Raja Jin merubah bentuk Dayang Bulan dan Dayung Ayu menjadi

dua tangkai bunga sebelum mereka naik ke pelaminan. Kemudian, tanpa sepengetahuan

Malim Hitam dan Malim Putih, Raden Alit berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar

Dayang Bulan dan Dayung Ayu. Begitu ia masuk ke dalam kamar tersebut tampaklah dua

tangkai bunga yang tergeletak di lantai. Tanpa berpikir panjang, Raden Alit segera

mengambil kedua tangkai bunga yang merupakan perwujudan Dayang Bulan dan Dayung

Ayu tersebut.

Namun, begitu Raden Alit keluar dari kamar, tiba-tiba Malim Hitam dan Malim Putih

datang menghadangnya.

“Hai, siapa kamu dan mau dibawa ke mana calon istri kami!” seru Malim Hitam dengan

wajah memerah.

“Serahkan kedua tangkai bunga itu! Atau kami akan menghajarmu!” tambah Malim Putih

dengan geramnya.

“Tidak! Aku tidak akan menyerahkan kedua tangkai bunga ini. Kalian telah menculik

saudara perempuan kami,” bantah Raden Alit.

Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Pada mulanya, Raden Alit masih mampu

mengimbangimbangi kesaktian kedua putra Raja Negeri Selak Alam tersebut. Namun,

setelah pertempuran tersebut berlangsung selama berhari-hari, akhirnya Raden Alit

kewalahan dan terlempar ke langit. Untungnya, pintu langit ketika itu terbuka sehingga ia

tidak jatuh terhempas ke bumi. Akhirnya, Raden Alit menemui Nenek Dewa Langit

untuk meminta pertolongan.

“Ampun, Nenek Dewa! Tolonglah aku agar bisa mengalahkan kedua musuhku, Malim

Hitam dan Malim Putih, yang ada di Bumi!” pinta Raden Alit.

“Wahai, Cucuku Raden Alit! Kedua musuhmu itu tidak dapat dibunuh. Akan tetapi,

kamu bisa melemparkannya ke langit. Setibanya di langit, aku akan memasukkan mereka

ke dalam sangkar besi,” ujar Nenek Dewa Langit.

“Baiklah, Nek! Izinkanlah aku kembali ke Bumi!” pamit Raden Alit.

Setibanya kembali di Bumi, Raden Alit mengeluarkan seluruh kesaktiannya sehingga

mampu melemparkan kedua musuhnya tersebut ke langit. Begitu mereka tiba di langit,

Nenek Dewa segera memasukkannnya ke dalam sangkar besi yang telah disiapkan

sebelumnya sehingga mereka tidak dapat lagi kembali ke bumi. Sementara itu, Dayang

Bulan dan Dayung Ayu kembali berwujud manusia.

Tak berapa lama kemudian, datanglah Raden Kuning, Si Ulung Tanggal, dan Serincung

Dabung. Raden Alit kemudian menceritakan semua yang telah terjadi.

“Terima kasih, Sahabat! Engkau telah menyelamatkan saudara perempuan kami Dayung

Ayu,” ucap si Ulung Tanggal usai mendengar cerita Raden Alit.

“Sama-sama, Sahabat! Keberhasilan ini tidak terlepas dari kerjasama kita dan bantuan

Raja Jin,” kata Raden Alit.

“Hai, siapa Raja Jin itu?” tanya Serincung Dabung.

“Dia adalah Raja Jin di negeri ini dan sangat baik hati,” jawab Raden Alit.

Akhirnya, Raden Alit dan Si Ulung Tanggal bersaudara segera menemui Raja Jin untuk

menyampaikan ucapan terima kasih karena telah membantu mereka mengalahkan kedua

putra Raja Negeri Selak Alam. Setelah itu, mereka berpamitan untuk kembali ke negeri

masing-masing.

Sementara itu, di istana, Ratu Ageng dan permaisurinya sudah berbulan-bulan diselimuti

perasaan cemas menunggu kepulangan anak-anak mereka. Namun, begitu melihat Raden

Kuning dan Raden Alit kembali bersama Dayang Bulan, keduanya tidak sanggup

menahan rasa haru. Untuk menyambut kepulangan ketiga anaknya, Ratu Ageng

mengadakan pesta besar-besaran selama tiga hari tiga malam.

Usai pesta, Raden Alit datang menghadap kepada kedua orangtuanya dan mengatakan

bahwa sebenarnya ia telah mengikat janji untuk menikah dengan putri Raja Jin yang

cantik itu. Akhirnya, Ratu Ageng beserta seluruh keluarganya datang ke tempat Raja Jin

untuk mengadakan pesta perkawinan Raden Alit dengan Salipuk Jantung Pandan.

Selanjutnya, Raden Alit dan istrinya pun hidup bahagia.

Sumber : http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=10150156171075504