tugas pr ujian kulit

Upload: idzhamreeza

Post on 08-Jan-2016

251 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pr

TRANSCRIPT

TUGAS PR UJIAN KULIT

Oleh :Mohammad Idzham Reeza, S.KedG99132009Pengujidr. Endra Yustin, Sp.KK., M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT KULIT KELAMINFAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDISURAKARTA20151. Dermatitis Numularis

Dermatitis adalah peradangan pada kulit yang merupakan respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi yang polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfk). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Nama lain dari dermatitis nummular adalah ekzem diskoid, ekzem numular, nummular eczematous dermatitis. Terdapat beberapa klasifikasi dermatitis berdasarkan lokasi kelainan, penyebab, usia, faktor konstitusi.Dermatitis numular merupakan suatu peradangan dengan lesi yang menetap, dengan keluhan gatal, yang ditandai dengan lesi berbentuk uang logam, sirkular atau lesi oval berbatas tegas, umumnya ditemukan pada daerah tangan dan kaki. Lesi awal berupa papul disertai vesikel yang biasanya mudah pecah.1. EPIDEMIOLOGIDermatitis numular angka kejadiannya pada usia dewasa lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita, onsetnya pada usia antara 55 dan 65 tahun. Penyakit ini jarang pada anak-anak, jarang muncul dibawah usia 1 tahun, hanya sekitar 7 dari 466 anak yang menderita dermatitis numular dan frekuensinya cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan umur.1. ETIOLOGIPenyebabnya sampai saat ini belum diketahui. Namun demikian banyak faktor predisposisi, baik predisposisi primer maupun sebagai predisposisi sekunder telah diketahui sebagai agen etiologi. Staphylococci dan micrococci diketahui sebagai penyebab langsung melalui mekanisme hipersensitivitas. Namun demikian, perannya secara patologis belum juga diketahui. Dalam beberapa kasus, adanya tekanan emosional, trauma lokal seperti gigitan serangga dan kontak dengan bahan kimia mungkin dapat mempengaruhi timbulnya dermatitis numular, tetapi bukan merupakan penyebab utama. Penyakit ini umumnya cenderung meningkat pada musim dingin, juga dihubungkan dengan kondisi kulit yang kering dan frekuensi mandi yang sering dalam sehari akan memperburuk kondisi penyakit ini.

1. PATOFISIOLOGIDermatitis numular merupakan suatu kondisi yang terbatas pada epidermis dan dermis saja. Hanya sedikit diketahui patofisiologi dari penyakit ini, tetapi sering bersamaan dengan kondisi kulit yang kering. Adanya fissura pada permukaan kulit yang kering dan gatal dapat menyebabkan masuknya alergen dan mempengaruhi terjadinya peradangan pada kulit. Suatu penelitian menunjukkan dermatitis numularis meningkat pada pasien dengan usia yang lebih tua terutama yang sangat sensitif dengan bahan-bahan pencetus alergi. Barrier pada kulit yang lemah pada kasus ini menyebabkan peningkatan untuk terjadinya dermatitis kontak alergi oleh bahan-bahan yang mengandung metal. Karena pada dermatitis numular terdapat sensasi gatal, telah dilakukan penelitian mengenai peran mast cell pada proses penyakit ini dan ditemukan adanya peningkatan jumlah mast cell pada area lesi dibandingkan area yang tidak mengalami lesi pada pasien yang menderita dermatitis numularis. Suatu penelitian juga mengidentifikasi adanya peran neurogenik yang menyebabkan inflamasi pada dermatitis numular dan dermatitis atopik dengan mencari hubungan antara mast cell dengan saraf sensoris dan mengidentifikasi distribusi neuropeptida pada epidermis dan dermis dari pasien dengan dermatitis numular. Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya dari mast cell yang kemudian berinteraksi dengan neural C-fibers dapat menimbulkan gatal. Para peneliti juga mengemukakan bahwa kontak dermal antara mast cell dan saraf, meningkat pada daerah lesi maupun non lesi pada penderita dermatitis numular. Substansi P dan kalsitonin terikat rantai peptide meningkat pada daerah lesi dibandingkan pada non lesi pada penderita dermatitis numular. Neuropeptida ini dapat menstimulasi pelepasan sitokin lain sehingga memicu timbulnya inflamasi. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa adanya mast cell pada dermis dari pasien dermatitis numular menurunkan aktivitas enzim chymase, mengakibatkan menurunnya kemampuan menguraikan neuropeptida dan protein. Disregulasi ini dapat menyebabkan menurunnya kemampuan enzim untuk menekan proses inflamasi.

1. GEJALA KLINISGejala gejala yang umum, antara lain: 1. Timbul rasa gatal1. Luka kulit yang antara lain makula, papul, vesikel, atau tambalan : 1. Bentuk numular (seperti koin). 1. Terutama pada tangan dan kaki.1. Umumnya menyebar.1. Lembab dengan permukaan yang keras.1. Kulit bersisik atau ekskoriasi.1. Kulit yang kemerahan atau inflamasi.

2. Eritema Multiform

Eritema multiforme merupakan suatu erupsi mendadak (akut) dan rekuran pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan gambaran khas bentuk iris. Pada kasus yang berat umumnya disertai dengan gejala konstitusi (demam, malese, nausea, dan nyeri kepala) dengan lesi viseral.

Insidensi dan EpidemiologiInsidensi pasti dari eritema multiforme belum diketahui pasti, namun sebanyak 1% kasus rawat jalan dermatologic adalah eritema multiforme. Eritema multiforme lebih banyak menyerang pria daripada wanita, dari 2:1 hingga 3:2. Penyakit ini menyerang segala usia, dengan insidensi tertinggi pada dekade kedua hingga keempat kehidupan.Etiologi Banyak faktor-faktor etiologik yang diduga sebagai penyebab eritema multiforme telah dilaporkan, seperti halnya faktor-faktor alergi obat, infeksi bakteri atau virus tertentu, rangsangan fisik, hawa dingin, matahari, faktor endokrin pada haid atau kehamilan, dan keganasan, namun agen-agen infeksius dianggap sebagai penyebab utama eritema multiforme. Eritema multiforme minor dianggap sebagai hal yang biasa dicetuskan oleh HSV, sebenarnya banyak kejadian-kejadian eritema multiforme minor idiopatik bisadipercepat oleh infeksi HSV subklinis. Di antara infeksi-infeksi lain, spesies Mycoplasma muncul menjadi penyebab yang paling umum. Mengenai obat-obatan, obat-obatan sulfa(sulfa drugs) adalah pemicu yang paling umum. Antikonvulsan profilaktik setelahoperasi tumor otak yang dikombinasikan dengan irradiasi cranial dapat mengakibatkan SJS yang menyancam jiwa.1. Infeksi0. Virus:Adenovirus, coxsackievirus, cytomegalovirus, echoviruses,enterovirus, Epstein-Barr virus, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, herpes simplex, influenza, measles, mumps, paravaccinia, parvovirus, poliomyelitis, vaccinia, varicella-zoster, variola0. Bakteri:Vaksinasi BCG, borreliosis, catscratch disease, diphtheria,hemolytic streptococci, legionellosis, leprosy, Neisseria meningitidis, pneumococcus, Proteus species, Pseudomonas species, Salmonella species, Staphylococcus species, Treponema pallidum, tuberculosis, Vibrioparahaemolyticus, Yersinia species, rickettsial infections, Mycoplasma pneumoniae0. Mycoplasma: Coccidioidomycosis, dermatophytosis, histoplasmosis1. Obat-obatan1. Antibiotics:Penicillin, ampicillin, tetracyclines, amoxicillin, cefotaxime,cefaclor, cephalexin, ciprofloxacin, erythromycin, minocycline, sulfonamides, trimethoprim-sulfamethoxazole, vancomycin1. Antikonvulsan:Golongan barbiturat, carbamazepine, hydantoin, phenytoin, asam valproat1. Antipiretik/analgesik:1. Lain-lain:Rifampicin, isoniazid, thiacetazone, pyrazinamide, albendazole, allopurinol, arsenic, bromofluorene, quinine, cimetidine, corticosteroids, diclofenac, didanosine, dideoxycytidine, diphosphonate, estrogen, etretinate, fluconazole, griseofulvin, gabapentin, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, hydralazine,indapamide, indinavir, lamotrigine, methazolamide, mefloquine, methotrexate, meprobamate, mercurials, minoxidil, nifedipine, nevirapine, pyritinol, progesterone, potassium iodide, sulindac, suramin, saquinavir, thiabendazole, thiouracil, terbinafine, theophylline, verapamil, nitrogen mustard, nystatin, phenolphthalein, piroxicam.1. Lain-lain:2. Kontak dengan bahan - bahan kimia ataupn tumbuh tumbuhan2. Imunologi: defisiensi C4 selektif temporer pada bayi2. Faktor fisik: paparan cahaya matahari, cuaca dingin

KlasifikasiBerdasarkan gejala klinis eritema multiforme dibedakan menjadi tipe makula - eritema dan vesikulobulosa 1. Tipe Makula EritemaErupsi timbul mendadak, simetris dengan tempat predileksi di punggung tangan, telapaktangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada keadaan berat dapat juga mengenaibadan. Lesi terjadi tidak serentak, tetapi berturut-turut daalm 2-3 minggu.Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritemayang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.1. Tipe VesikulobulosaLesi mula-mula berupa macula, papul, dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa ditengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir.Berdasarkan tingkat keparahan eritema multiforme dibagi menjadi eritema multiforme minor, mayor, sindrom steven johnson (SJS), dan nekrolisis epidermal toksik (NET).

KategoriGambaran

E.M minor1. Lesi target yang khas, target lesi atipikal yang meninggi / membentuk bentolan, keterlibatan membranemukosa minimal dan, ketika muncul, hanya pada satu sisi(paling umum di mulut.1. Lesi oral; erythema ringan sampai berat, erosi danulserasi.1. Kadang-kadang dapat berefek hanya pada mukosa oral.1. < 10% permukaan tubuh yang terlibat.

E.M mayor1. Lesi kutaneus dan setidaknya 2 sisi mukosa (biasanya mukosa oral) yang terkena.1. Target lesi yang terdistribusi secara simetris, tipikal (khas) maupun atipikal.1. Lesi oral biasanya menyebar dan berat.

3. Skin Patch Test

Skin patch test atau yang biasa disebut uji tempel adalah uji iritasi dan kepekaan kulit yang dilakukan dengan mengoleskan sediaan atau bahan-bahan tertentu pada kulit manusia dengan maksud untuk mengetahui apakah bahan tersebut dapat menimbulkan iritasi atau kepekaan kulit atau tidak. Tes ini biasanya dilakukan di punggung. Untuk melakukan skin patch test diperlukan antigen, biasanya antigen standart buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test, keduanya buatan Amerika serikat. Terdapat juga antigen buatan pabrik Eropa dan Negara lain. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standart dapat berupa bahan kimia murni atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau walaupun jarang dapat memberikan efek toksik terhadap sistemik. Oleh karena itu bila menggunakan bahan tidak standart, apalagi dengan bahan industry harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan skin patch test dengan bahan yang tidak diketahui.Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk skin patch test dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya detergen hanya bisa diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn Chamber, dibiarkan sekurang kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan karena iritasi. Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan skin patch test: 1. Dermatitis harus sudah sembuh. Bila masih dalam keadaan akut dan berat dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.1. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakain kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal dipunggung dihentikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilakukan. Luka bakar sinar matahari yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil negatif palsu. Sedangkan anti histamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karna urtikaria kontak. 1. Skin patch test dibuka setelah dua hari kemudian dibaca, pembacaan kedua dilakukan pada hari ketiga sampai hari ketujuh setelah aplikasi.1. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan skin patch test menjadi longgar (tidak menempel dengan baik) karna memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.1. Skin patch test dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate uticarial type) karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas. Agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat sebagai berikut :1. Reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrate, papul (+)1. Reaksi kuat : edem atau vesikel (++)1. Reaksi sangat kuat : bula atau ulkus (+++)1. Meragukan : hanya makula eritematosa1. Iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura1. Reaksi negatif : (-)1. Excited skin1. Tidak dites (NT=not tested)Reaksi excited skin atau angry back merupakan reaksi positif palsu, suatu fenomena regional disebabkan oleh satu atau beberapa reaksi kuat yang dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain menjadi reaktif. Fenomena ini pertama dikemukakan oleh Bruno Bloch pada abad ke-20, kemudian diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975.Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara respon alergik atau iritasi dan juga mengidentifikasikan lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi.Untuk menginterpretasikan hasil uji temple tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respons alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua. Berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe decrescendo). Bila ditemukan respon positif terhadap suatu alergen, perlu ditentukan relevansinya dengan keadaan klinik, riwayat klinik dan sumber antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon positif tersebut berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami atau mungkin tidak ada hubungannya (tidak diketahui). Reaksi positif klasik terdiri dari eritema, edem dan vesikel-vesikel kecil yang letaknya berdekatan. Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi) efek pinggir uji tempel umumnya karena iritasi bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat sedang dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya konentrasi iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain oleh karena efek tekan, terjadi bila menggunakan bahan padat. Reaksi negative palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah, vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik atau longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang lama dipakai pada area uji tempel dilakukan.

4. Kortikosteroid Sistemik

Pendahuluan

Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat tersebut mempunyai efek imunosupresan dan antiinflamasi. Sejak kortikosteroid digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens Johnson yang berat dan nekrolisis epidermal toksik.

Cara Pengobatan

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dan 3 4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa keija yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari sekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam han sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun birsustisme.

Pada pengobatan dengan kortikosteroid hendaknya jangan lupa mencari penyebabnya. Kortikosteroid yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme dihepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi, gangguan kor, atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih kortikosteroid yang efek kortikosteroidnya sedikit/tidak ada, lebih-lebih bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi.Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan dipakai pada pemberian jangka panjang (lebih dan pada sebulan). Triamsinolon lebih sering memberi efek samping berupa miopati dan anoreksia sehingga berat badan menurun. Pada penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindroma steven johnson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Biasanya yang digunakan yaitu deksametason i.v karena lebih praktis. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per han dan kalau lebih dan sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jarang melebihi 39C.Pada pengobatan penyakit autoimun diperlukan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama dan dicani dosis pemelihanaan. Dosis pemeliharaan ditentukan dengan menurunkan dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi han (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah danipada dosis pada han pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.

Terjadinya efek samping tergantung pada dosis, lama pengobatan dan macam kortikosterid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari / minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan / tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu:1. Diet tinggi protein dan rendah garam. 1. Pemberian KC1 3x500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi Kalium1. Obat anabolik 1. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya diberikan ialah ACTH sintetik, yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU), pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali. 1. Antibiotik perlu diberikan, jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari 1. Antasida

Efek Samping

Tabel 2. Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.

Tempat Macam efek samping

1Saluran cernaHipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.

2OtotHipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu

3Susunan saraf pusatPerubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

4TulangOsteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.

5KulitHirsutisme, hipotropi, striae atrofise, dermatosis akneiformis, purpura,

6MataGlaukoma dan katarak subkapsular posterior

7DarahKenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

8Pembuluh darahKenaikan tekanan darah

9Kelenjar adrenal bagian kortekAtrofi, tidak bisa melawan stres

10Metabolisme protein,KH dan lemakKebilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia, gulameninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.

11ElektrolitRetensi Na/air, kehilangan kalium.(astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)

12Sistem immunitasMenurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Th herpes simplek,. dan keganasan dapat timbul

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas moon face, buffalo hump, penebalan lemak suprakavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan ateroskierosis dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.

Tabel 3. Mengenal lama kerja, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen, dan potensi mineralokortikoidMacam Kortikosteroid Potensi glukokortikoid Dosis ekuivalen (mg) Potensi mineralokortikoid

1. Kerja singkat a. Hidrokortison b. Kortison 1 0,8 20,0 25,0 2+ 2+

2. Kerjasedang a. Meprednison b. Metilprednisolon c. Prednisolon d. Prednison e. Triamsinolon 4-5 5 4 4 5 4,0 4,0 5,0 5,0 4,0 0 0 1+ 1+ 0

3. Kerjalama a. Betametason b. Deksametason c. Parametason 20-30 20-30 10 0,60 0,75 2,0 0 0 0

Keteragan: Masa paruh biologik kortikostreroid Kerja singkat : 8-12 jam Kerja sedang : 12-36 jam Kerja lama : 36-72 jam

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dan yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.

Monitor Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harusrus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).Sedangakan selama penggunaan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadi efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma

Tabel 4. Berikut hal - ha1 yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid jangka panjang

NoEfek sampingMonitor

1HipertensiTekanan darah

2Berat badan meningkatBerat badan

3Reaktivasi infeksiPPD, (12 han setelah pemakaian prednison)

4Abnormalitas metabolikElektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes dan hiperlipidemia)

5OsteoporosisDensitas tulang

6MataKatarakGlaukoma1. Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan) 1. Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke enam)

7Ulkus peptikPertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton pump inhibitor

8Supresi kelenjar adrenalDosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping, hendaknya diperiksa tensi, berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan sekali) terutama pada usia di atas 40 tahun, dan pemeriksaan laboratorium: Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, LED, urin lengkap, kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis paru (3 bulan sekali).Efek samping yang juga berat ialah osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur. Pada pemberian kortikosteroid yang jangka panjang, misalnya pada penyakit autoimun hendaknya sejak semula diusahakan pencegahannya. Penderita dikonsultasikan ke sub bagian ortopedi. Pada wanita saat menopouse dikonsultasikan ke bagian kebidanan untuk kemungkinan terapi hormonal, karena pada masa tersebut rentan mendapat osteoporosis.

Indikasi Dan Dosis

Indikasi kortikosteroid ialah dermatosis alergik atau yang dianggap mempunyai dasar alergik, Pada tabel dibawah lni dicantumkan berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid serta dosisnya. Tabel 5. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai dermatosisNama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3xl0 mg

Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

SSJ berat dan NET Deksametason 6x5 mg

Eritroderma Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Reaksi lepra Prednison 3x10 mg

LEDPrednison 3x10 mg

Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg

Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg

Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg

Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg

Psoriasis pustulosa Prednison 4x 10 mg

Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.

5. Kortikosteroid Topikal

Pendahuluan

Pada tahun 1952 SULZBERGER dan WITTEN memperkenalkan hidrokortison dan hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dan golongan kortikosteroid. Hal im merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit kulit karena kortikosteroid mempunyai khasiat yang sangat luas yaitu anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti mitotik, dan vasokontriksi. Pada penyelidikan ternyata bahwa kortison dan adreno cortico trophic hormone (ACTH) tidak efektif sebagai obat topikal.Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan kortikosteroid yang lebih poten dari pada hidrokortison, yaitu kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang dikenal sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6 dan 9 dan satu rantai samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang mempunyai potensi tinggi. Zat-zat ini pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1% memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang termasuk golongan ini ialah, antara lain ; betametason, betametason valerat, betametason benzoat, fluosinolon asetonid dan triamsinolon asetonid.

Penggolongan

Kortikosteroid topikal bagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya berdasarkan anti inflamasi dan anti mitotik, Golongan 1 yang paling kuat daya anti inflamasi dan anti mitotiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

Tabel 6. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi kilnis: Kiasifikasi Nama Dagang Nama Generik

Golongan 1: (super poten)Diprolene ointmentDiprolene AF cream Psorcon ointment Temovate ointment Temovate creamOlux foamUltravate ointmentUltravate cream 0,05% betamethason dipropionate

0,05% diflorasone diacetate0,05% clobetasol propionate

0,05% halobetasol propionate

Golongan II: (potensi tmggi)

Cyclocort ointment Diprosone ointment Elocon ointment Florone ointment Halog ointment Halog cream Halog solution Lidex ointment Lidex cream Lidex gel Lidex solution Maxiflor ointment Maxivate ointment Maxivate cream Topicort ointment Topicort cream Topicort gel0,1% ameinonide 0,05% betamethasoiie dipropionate 0,01% mometasone fuorate 0,05% diflorasone diacetate 0,01% halcinonide

0,05% fluocinonide

0,05% diflorasone diacetate 0,05% betamethasone dipropionate

0,25% desoximetasone

0,05% desoximetasone

Golongan III: (potensi finggi)

Aristocort A ointment Cultivate ointment Cyclocort cream Cyclocort lotion Diprosone creamFlurone cream Lidex E cream Maxiflor cream Maxivate lotionTopicort LP creamValisone ointment 0,1% triamcinolone acetonide 0,005% fluticasone propionate 0,1 amcinonide

0,05% betamethasone dipropionate0,05% diflorosone diacetate0,05% fluocmomde0,05% diflorosone diacetate0,05% betamethasone dipropionate 0,05% desoxitnetasone 0,01% betamethasone valerate

Golongan IV: (potensi medium)Aristocort omtment Cordran ointment Elocon cream Elocon lotion Kenalog ointment Kenalog cream Synalar ointment Westcort ointment 0,1% traamcinolone acetomde0,05% flurandrenolide 0,1% mometasone furoate

0,1% triamcinolone acetonide

0,025% fluocinolone acetonide0,2% hydrocortisone valerate

Golongan V: (potensi medium)Cordran cream Cutivate cream Dermatop cream Diprosone lotion Kenalog lotion Locoid ointment Locoid cream Synalar cream Tridesilon ointment Valisone cream Westcort cream0,05% flurandrenolide0,05% fluticasone propionate0,1% prednicarbate 0,05% betamethasone dipropionate 0,1% triamcinolone acetonide0,1% hydrocortisone butyrate

0,025% fluocinolone acetonide0,05% desonide0,1% betamethasone valerate0,2% hydrocortisone valerate

Golongan VI: (potensi medium)Aclovate ointment Aclovate cream Aristocort cream Desowen cream Kenalog cream Kenalog lotion Locoid solution Synalar cream Synalar solution Tridesilon cream Valisone lotion 0,05% aclometasone

0,1% triamcinolone acetonide0,05% desonide 0,025% triamcinolone acetonide

0,1% hydrocortisone butyrate0,01% fluocinolone acetonide

0,05% desonide0,1% betamethasone valerate

Golongan VII: Potensi lemah)Obat topical dengan hidrokortison, dekametason, glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone

Penggunaan Klinik

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatjf dan supresjf terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematosus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (SOP). Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan bibir sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/ hari, sedangkan dosis dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.

Indikasi

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit (MARKS 1985). Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal ialah psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa dan dermatitis solaris (fotodermatitis). Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus diskoid, psoriasis ditelapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis. liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid, jaringan parut hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, prurigo nodularis, morfea, dermatitis dengan likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo sebagian responsif). Disamping kortikosteroid topikal tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi, misalnya triamsinolon asetonid.