tugas makalah hukum pajak2
TRANSCRIPT
HUKUM PAJAK DAN
LANDASAN DASAR-DASAR HUKUMNYA
DI INDONESIA
Disusun Oleh :
NAMA : APRIANI, SH NIM : 110102400032
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATANPROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2012
DAFTAR ISIHalaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... iHALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iiKATA PENGANTAR .................................................................................... iiiABSTRAK .................................................................................................... ivDAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ............................................................................................. 1B. Perumusan Masalah .................................................................................... 2C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1. Landasan Teori ...................................................................... 232.2. Dasar Hukum ................................. 29
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Pelaksanaan Pemberian Kredit Kendaraan Bermotor denganJaminan Fidusia di PT. Bhakti Finance Bandar Lampung ........... 64B. Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia TerhadapKendaraan Bermotor di PT. Bhakti Finance Bandar Lampung ... 81BAB IV PENUTUPA. Kesimpulan ................................................................................. 85B. Saran .......................................................................................... 86DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta
Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan
untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang
perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari
setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan
negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai
pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat
sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self
assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu
merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah
dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa
merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar
pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi
dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa kebijakan perpajakan
tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak
yang kurang gencar dilakukan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar
jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak)
sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian,
kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban
membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan
yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus),
maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak
merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis
dan komprehensif.
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki
apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka,
tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang
simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan
keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi
yaitu orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa,
atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai
menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
Sebelum sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak Pribadi, sebagai cakrawala
pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian, jenis dan macam
pajak serta manfaat pajak yang berlaku di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang
direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau
komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter,
notaris , pengacara . Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko mengalami pemeriksaan pajak .
Namun sering kali terjadi berbagai permasalahan mengenai pembyaran pajak pribadi itu sendiri.
1. Bagaimanakah Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?
2. Bagimanakah Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:
1. Supaya penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini mengetahui tentang
macam-macam serta penggolongan penggolongan pajak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan pajak terhadap
penghasilan.
3. Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban pajak bagi wanita.
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat
Memberikan Informasi serta pengetahuan mengenai ilmu Hukum Pajak Khususnya
mengenai hal Pajak Penghasilan.
2. Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu Hukum Pajak khususnya Pajak
Penghasilan.
3. Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam hal yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah.
Falasafah pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD
1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak untuk
kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945,
merupakan dasar hukum pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat
Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan pajak adalah
menyayat daging diri kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang secara langsung dapat
dinikmati, atau dapat dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.
Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut
Falsafah Hukum yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar menyatakan keadilannya,
terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam pemungutan pajak dalam masyarakat, dan
juga terdapat sistem pemungutan pajak diantaranya adalah:
2.2.1 Teori Pemungutan Pajak
1. Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena
negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan
lingkungan di seluruh wilayah negara.
2. Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak
yang harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan
masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk
perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
3. Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4. Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa
negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan
umum. Dengan organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai
hak untuk memungut pajak.
5. Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai dasar
keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan
negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
2.2.2 Asas Pemungutan Pajak
1. Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak di suatu
negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan pajak terhadap seseorang
tersebut tanpa melihat darimana sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan
tanpa melohat kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2. Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber pendapatan
alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan tersebut berhak memungut
pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3. Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan
seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang menjadi
kebangsaan orang tersebut.
2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak
1. Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa
jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh
aparat pajak atau fiscus.
2. Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah
pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.
2.2 Dasar Hukum
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
b. Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas
Pengasilan berupa bungan deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harat berupa tanah dan atau tabungan serta pengasilan tertentu lainya,
pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
c. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
d. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7
tahun 1983 tentang pajak penghasilan
e. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang
pribadi yang bertolak keluar negri
f. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-
undang
g. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
h. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
i. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
j. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
k. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan yang lainnya.
Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.
1. Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan
dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu
imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas
tugasnya dalam pemerintahan
2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat
kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public
saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari
pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
b. Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan
dapat dikenakan sanksi.
c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara
langsung oleh pemerintah.
d. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah.
e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
3. Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
4. Melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang
dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.
5. Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be
defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from the private
to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria without reference to
specific benefits receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and social
objectives”
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian
pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.
Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam
hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak – Departemen Keuangan. Sedangkan
Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1. Pajak Penghasilan (PPh), PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang
dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi,
perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM), Selain dikenakan PPN, atas barang-
barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang
dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a). Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
b). Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c). Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
d) Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
e) Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Meterai, Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan
menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin
teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas
tanah dan bangunan(property tax).
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), BPHTB adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB,
walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB
seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan.
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel.
b. Pajak Restoran.
c. Pajak Hiburan.
d. Pajak Reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan.
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan
wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya.
Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk
ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang legal.
Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga,
perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran.
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara
sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai
sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti
jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan
menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan
dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara
mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari
pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas
bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang
jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi
redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi
kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat
mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan
ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada seseorang
atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan
merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak
penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah
1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan
2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang
pribadi yang bertolak keluar negeri.
3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-
undang
4. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
5. UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
6. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
7. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
8. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
9. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan
subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak.
UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN
dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma,
Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk
Badan Usaha lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di
Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
a. Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-
undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa
efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan
tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983
pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan tabungan
lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan
Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-
penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya
hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-
penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah
mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999,
khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah
bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan
apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi
yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang
pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak
dengan nilai kurang dari Rp. 60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila
dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai
pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka
perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di
atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan
menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan
dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999.
Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah
dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang
pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh
yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan
pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan.
Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama
untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan
ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki
dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga
peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah
bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk
menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk
tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga
perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang
bersifat final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan,
sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang
pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari
jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak
tetapi tidak final.
b. Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan
pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan,
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang
menyangkut “kerugian” adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian
yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha
menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal
11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau
dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam,
maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut
adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai
kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya
dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak
dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama
artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya
pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran
yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam
seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga
memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai
kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan
persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari
pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis
barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan
bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga
pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian
yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara
penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan
memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh
memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan
adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi
kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi
karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian
terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi
pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan
pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
terhadap wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak orang pribadi
biasa. Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi biasa adalah mereka yang tidak
melakukan kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak kelompok ini
akan memikul beban pajak yang lebih besar dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual
beli hak atas tanah dan/atau bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya
adalah:
1. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
2. perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
(Pasal 6 ayat (1) huruf d)
3. kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
4. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu
Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan kerugian yang
diderirta karena bencana alam oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan
Pasal 6 sehingga mencakup kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus
disosialisasikan kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya,
seperti seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya Dengan
upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap pajak yang pada akhirnya
sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak merupakan kunci pembangunan.
4.2 Saran
Sebaiknya perlakuan pajak atas pengalihan harta dimaksud diubah dengan mengenakan
pajak final terhadap wajib pajak orang pribadi yang tidak mempunyai usaha, sedangkan wajib
pajak orang pribadi yang kegiatan usahanya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenai pajak dengan tarif umum.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan perlakuan PPh dimaksud perlu dipikirkan
dan ditentukan dokumen-dokumen yang dapat diterima oleh fiskus.Pembebanan kerugian atas
harta yang tidak dapat atau tidak boleh disusutkan mungkin dapat dilakukan seperti pembebanan
penyusutan atau amortisasi, artinya tidak dibebankan sekaligus. Hal ini perlu dipikirkan agar
perlakuannya juga seimbang dari sudut pandang Undang-undang PPh. Di samping itu perlu
dipikirkan untuk mengatur prosedur atas penyesuaian setoran PPh dalam tahun berjalan bagi
wajib pajak yang mengalami bencana. Wajib pajak yang masuk dalam kategori ini perlu
mendapatkan perlakuan yang favourable dengan tujuan agar usahanya dapat bangkit kembali
sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kembali setoran PPh-nya seperti sebelum
terjadinya bencana.
Banyaknya tokoh dari berbagai kalangan dan profesi yang terbukti mangkir membayar
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan contoh buruk bagi masyarakat wajib pajak secara
keseluruhan. Oleh karena itu, keteladanan dalam hal penunaian kewajiban pajak perlu mendapat
perhatian tersendiri. Keteladanan ini tentu saja harus dimulai dari jajaran pemerintah sendiri
sebagai pengelola pajak. Jika pemerintah mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-
tokoh dan public figur lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari betapa
pentingnya pajak bagi kehidupan dan masa depan negaranya. Sebaliknya, jika pemerintah, para
pemimpin, dan tokoh-tokoh populis sudah memperlihatkan keingkarannya terhadap kewajiban
pajak ini, masyarakat di bawah akan lebih sulit lagi tersadarkan untuk membayar pajak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
2. Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
3. Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
4. Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
5. Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
6. Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
7. Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
8. Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung