tugas makalah hukum adat lanjutan
TRANSCRIPT
Tugas Makalah
Mata Kuliah Hukum Adat Lanjutan
TINJAUAN HUKUM ADAT MENGENAI PENGADOPSIAN ANAK
DI INDONESIA
Oleh:
Netty Mentari Putri (100200274)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmatNya saya diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah yang berjudul Tinjauan
Hukum Adat Tentang Pengadopsian Anak di Indonesia , dengan sebaik-baiknya dan dalam
keadaan sehat walafiat.
Ada pun tujuan saya menulis makalah ini , ialah untuk memenuhi syarat dalam mengikuti
kuliah Hukum Adat Lanjutan, serta untuk memberi tambahan informasi bagi yang membaca dan
bagi saya sendiri.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih pada dosen mata kuliah Hukum Adat lanjutan
yang telah memberi saya bekal pengetahuan tentang mata kuliah tersebut.
Berikut pemaparan dan kajian makalah saya ini, saya juga menyadari bahwa terdapat
berbagai kekurangan dalam makalah ini, untuk itu saya memohon partisipasi berupa kritik dan
saran yang membangun guna terwujudnya kesempurnaan dalam makalah ini. Semoga makalah
ini bermamfaat dalam studi Hukum Adat Lanjutan dan bagi pembaca.
Medan, 17 April 2011
Penulis
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Orang yang sudah berumah tangga mendambakan kelahiran anak dalam keluarganya. Ada
orang yang begitu mulai membinah rumah tangga, ingin segera mendapatkan anak, terutama bagi
orang yang terlambat menglangsungkan perkawinan. Ada juga orang yang menunda masa
kehamilannya, karena pertimbangan tertentu seperti melanjutkan studi tertentu, atau karena
memandang dirinya masih muda dan belum matang menghadapi suasana berumah tangga.
Tetapi hasrat untuk mengembangkan turunan tetap ada dalam diri masing-masing suami istri.
Kita lihat dalam masyarakat di sekitar kita, bahwa orang yang tidak mempunyai anak atau
keturunan, rumah tangganya terasa sepi, hidup tidak bergairah dan dijangkiti penyakit murung
suasana terasa suram dan gelap menghadapi masa depan. Kemudian kita juga melihat suatu
kenyataan, bahwa ada diantara suami istri yang tidak mendapat keturunan sama sekali.
Sedangkan pasangan suami istri itu menginginkan ada suara tawa dan tangis dalam rumah
tangganya.
Dalam keadaan demikianlah kemudian para anggota kerabat dapat mendesak agar si suami
mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat untuk menjadi
penerus kehidupan keluarga bersangkutan, atapun dengan pengangkatan anak (adopsi).
Ambil anak, kukut anak, anak angkat adalah suatu perbuatan hukum dalam konteks hukum
adat kekeluargaan (keturunan). Apabila seorang anak telah dikukut, dipupon, diangkat sebagai
anak angkat, maka dia akan didudukkan dan diterima dalam suatu posisi yang dipersamakan baik
biologis maupun sosial yang sebelumnya tidak melekat pada anak tersebut.
Hukum adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berasal dari nenek moyang
dan berlaku secara turun temurun. Hukum adat mengatur tentang masalah perkawinan, anak,
harta perkawinan, warisan, tanah dan lain-lain yang selalu dipatuhi oleh setiap anggota
masyarakat agar tercapai ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat ini selalu dijunjung tinggi
pelaksanaannya. Hukum adat juga mengatur tentang pengangkatan anak.
Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini adalah :
1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan penyempurnaan dari dan
sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun
1979) jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak
yang berlaku bagi warga negara Indonesia.
3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).
4. Jurisprudensi
Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat
hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku Jawa,
Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai pedoman.
Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara hukum adatnya masih dianggap
sah dan akibat hukumnya juga tunduk kepada hukum adatnya sepanjang tidak bertentangan
dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu mengutamakan kesejahteraan anak.
Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku, namun
masih diperlukan lagi pengesahan dengan suatu penetapan pengadilan atau dengan suatu akta
notaris yang disahkan oleh pengadilan setempat.
Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang siapa saja yang boleh mengangkakat anak, dan
kriteria laki-laki atau perempuankah yang boleh diangkat. Oleh karena itu, dengan dibuatnya
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengangkatan anak pada masyarakat adat di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Sebagai mana telah dijelaskan di atas, maka pemakalah dapat merumuskan beberapa
permasalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan adopsi?
2. Apa saja macam-macam adopsi anak?
3. Bagaimana adopsi anak menurut hukum adat Indonesia?
4. Bagaimana akibat hukum dari adopsi anak?
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Adopsi
Secara etimologi, Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau
“adopt”(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam
bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “
mengambil anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid diartikan “ittikhadzahu ibnan” , yaitu “
menjadikannya sebagai anak.
Menurut istilah di kalangan agama dan adat di masyarakat, adopsi mempunyai dua
pengertian, yaitu:
1. Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih
sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anak sendiri, tanpa memberi status
anak kandung kepadanya;
2. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak
memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya
sebagai hubungan anak dan orang tua.
Sedangkan pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli
antara lain : Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan :
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan
pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Kemudian dikemukakan pendapat surojo wingjodipura, S. H dengan mengatakan :
“Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam
keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yag memungut anak dan anak yang
dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua
dan anak.”
Pendapat para pakar yang dikemukakan itu menggambarkan, bahwa hukum adat
membolehkan pengangkatan anak yang status anak tersebut disamakan dengan anak kandung
sendiri. Begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua di anak angkat itu. Kedua
belah pihak (orang tua angkat dan anak angkat ) mempunyai kewajiban yang persis sama dengan
hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya, dan anak kandung terhadap orang
tuanya.
Pendapat lain dikemukakan Syekh Mahmud Syaltut dengan mengemukakan
definisinya sebagai berikut dengan mengatakan: “adopsi adalah seseorang yang mengangkat
anak yang di ketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. kemudian ia memperlakukan
anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya
tanpa ia memandang perbedaan. meskipun demikian agama tidak menganggap sebagai anak
kandungnya, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.” Definisi ini
menggambarkan, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih
sayang dan pendidikan, tidak dapat disamakan dengan status anak kandung baik dari segi
pewarisan maupun dari perwalian. hal ini dapat disamakan dengan anak asuh menurut istilah
sekarang ini.
Selanjutnya masih dari beliau mengemukakan pendapat yang kedua yakni : “adopsi
adalah adanya seorang yang tidak memiliki anak, kemudian ia menjadikan anak sebagai anak
angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia
menjadikannya sebagai anak yang sah.” Definisi ini menggambarkan pengangkatan anak
tersebut sama dengan pengangkatan anak dijaman jahiliyah, dimana anak angkat itu sama
statusnya dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat
meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.
B. Macam-macam Adopsi anak
Di lingkungan masyarakat hukum adat dikenal dua klafikasi kedudukan anak angkat
yaitu; pertama, kedudukan anak angkat sebagai anak kandung untuk penerus keturunan orang tua
angkatnya. Misalnya pada masyarakat Batak yang sistem kekerabatanya patrilineal murni.
Dimana kedudukan anak laki-laki sangat penting sebagai penerus keturunan, jadi apabila tidak
mempunyai anak laki-laki harus mengangkat anak laki-laki yang status kedudukannya sebagai
anak kandung. Kedua, kedudukan anak angkat yang diambil tidak dengan maksud sebagai
penerus keturunan orang tua angkatnya.
Ada beberapa macam-macam adopsi anak , yaitu:
i. Mengangkat anak bukan warga keluarga atau disebut dengan adopsi dari anak asing.
Anak yang hendak diangkat dilepaskan dari lingkungannya semula dan dipungut
masuk kedalam kerabat yang mengadopsinya, serentak dengan suatu pembayaran berupa benda-
benda magis sebagai taranya dan dilakuakn dengan terang disaksikan oleh para kepala adat. Hal
ini dapat kita temukan pada masyarakat adat daerah Gayo, Nias, Lampung, Kalimantan.
ii. Mengangkat Anak dari kalangan keluarga atau dalam satu clan besar kerabat adatnya.
Mengangkat anak dari kalangan keluarga atau masih dalam satu clan kekerabatan ini
banyak kita jumpai pada masyarakat adat di Bali. Perbuatan ini sering disebut dengan
“nyentanayang”. Biasanya anak selir-selir yang diangkat menjadi anak angkat, karena istri utama
tidak dapat memberikan keturunan. Jika tidak terdapat wangsa laki-laki yang dijadikan anak
angkat,maka dapat juga anak perempuan diangkat sebagai setana, dan sering disebut dengan
“setana rejeg”.
Dengan mengikuti peraturan “Paswara” Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai
berikut. “Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun djuga jang tidak mempunjai anak-
anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras sentana) maka mereka itu harus
mendjatuhan pilihannya atas seorang dari anggota keluarga sedarah jang terdekat dalam
keturunan lelaki sampai derajat kedelapan”.
Pengangkatan dilakukan melalui upacara Paperasan yaitu upacara yan dihadiri oleh
kepala adat dan keluarga dalam satu pakraman. Upaca dilakukan dengan membakar benang
melambangkan hubungan dengan ibunya putus, dan pembayaran adat berupa 1.000 (seribu)
kepeng serta stel pakaian. Yang kemudian diumumkan (siar) kepada warga desa, dan kemudian
raja memeberikan izinnya dengan membuatkan akta (surat”Peras). Memperhatikan ketentuan di
atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut diperhatikan apabila pasangan suami-istri
ingin mengangkat anak, yaitu:
a. Anak yang diangkat berasal dari anggota keluarga sedarah terdekat (“kasta” yang sama),
dalam garis keturunan laki-laki.
b. Perlu mendapat persetujuan keluarga dan desa pakraman.
iii. Mengangkat anak dari kalangan Keponakan atau sering disebut dengan adopsi
kemenakan.
Dalam pengangkatan anak (adopsi) kemenakan ini selain di latarbelakangi karena
alasan tidak/ belum dikaruniai anak, juga terdorong oleh rasa kasihan/iba. Perbedaan antara
adopsi kemenakan dan adopsi dengan satu clan/ kekerabatan dalam perbedaan status dan tidak
adanya pembayaran. Di Jawa pengangkatan seperti ini sering disebut dengan “pedot”.
Menurut Tolib Setiady , sebab-sebab mengangkat anak dari keponakan adalah :
a. Tidak mempunyai anak sendiri sehingga dengan memungut keponakan tersebut
merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan
b. Belum dikaruniai anak sehingga dengan memungut anak tersebut diharapkan akan
mempercepat kemungkinannya akan medapatkan anak (kandung)
c. Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan karena misalnya
hidupnya kurang terurus, dan lain sebagainya.
C. Asas Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Adat
Dalam pengangkatan anak pada masyarakat adat kan memunculkan asas-asas antara lain:
Asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan
Asas mengangkat anak laki-laki untuk meneruskan garis keturunannya.
Biasanya terjadi pada msyarakat Bali, dan Patrilineal.
Asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat.
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma (1987 : 144) dalam
bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : “Selain pengurusan dan perwalian anak
dimaksud bagi keluarga keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat
melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan
darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang
bersangkutan”. Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat
tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua
harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua
angkat, sedang terhadap harta asal orang.
Asas kekeluargaan
Asas kemanusiaan.
Selain alasan belum/tidak mempunyai keturunan dalam pengangkatan anak juga berlandaskan
kemanusiaan. Namun untuk masyarakaat yang menganut sistem kekerabatan Matrilineal,
kedudukan anak tidak sama dengan anak kandung, begitu juga pada masyarakat Parental.
Pengangkatan anak pada masyarakat Parental juga tidak memutuskan pertalian keluarga antara
anak angkat dengan orang tua kandungnya. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga
orang tua angkat sebagai anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung
untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.
Asas persamaan hak
Anak angkat dalam masyarakat adat diterima secara biologis dan sosial, sehingga kedudukannya
sama dengan anak kandung begitupula dengan hak-haknya sebagai anak.
Asas musyawarah dan mufakati
Sebelum melakukan pengangkatan anak dalam keluarga, harus didahului musyawarah dan
mufakat keluarga besar.
Asas tunai dan terang
D. Kedudukan Anak Adopsi dalam masyarakat adat
Dalam adopsi anak/ pengangkatan anak dalam masyarakat adat kedudukan anak angkat
dapat dibedakan:
Anak angkat sebagai penerus keturunan.
Di Lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang
masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.
Di Bali anak angkat sebagai penerus keturunan dengan mengawinkan anak wanita
kandung bapak angkatnya, anak itu menjadi sentana rejeg yang mempunyai hak yang sama
dengan anak kandung.
Anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan.
Terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara suku (adat) yang berbeda (batak;
marsileban). Di batak jika suami yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak dari
kerabat “namboru” (marga penerima dara) dan jika isteri yang diangkat itu orang luar maka ia
diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (Tulang, marga pemberi darah).
Pengangkatan anak atau saudara (lampung; adat mewari) tertentu sebagai tanda
penghargaan, misalnya mengangkat seorang pejabat pemerintahan menjadi saudara angkat.
Pengangkatan anak karena penghormatan ini juga tidak berakibat menjadi waris dari ayah angkat
si anak, kecuali diadakan tambahan perikatan ketika upacara adat dihadapan para pemuka adat
dilaksanakan. Jadi, kedudukan anak di masing-masing daerah yang menganut sistem kekerabatan
yang berbeda berbeda pula kedudukan anak angkat dalam keluarga barunya.
E. Akibat Hukum dari Adopsi Anak
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya
sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya
sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas
warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.
Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu
anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu
angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang
tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak
sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan
antara anak dengan orang tua sebagai berikut :
a) Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan
anak dengan orangtua kandung.
b) Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan
mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris
dari orangtua angkat.
c) Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan
orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai
sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua
kandung berlaih kepada orang tua angkat.
d) Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga,
gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat.
Pendapat lain mengenai akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak:
1. Dengan orang tua kandung : Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan
dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur
atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung
telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo,
Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam
kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu
dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah
ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal
urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
2. Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak
sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini
dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan
mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian
keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat,
sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung. Di Lampung
perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua
angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan
orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang
tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya.
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam bukunya
Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : “Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud
bagi keluarga keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan
adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan
kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara
anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang bersangkutan”.
Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat tersebut
mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta
peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua
angkat.
F. Pengaturan Adopsi dalam Perundang-undangan
Didalam Hukum Perdata Indonesia, adopsi diatur secara tertulis dan tidak tertulis. Hukum
yang tertulis mengatur hubungan antara orangtua dan anak adalah aturan yang ada di Hukum
Perdata (KUHP). Namun kitab ini hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia yaitu
mereka yang oleh Undang-Undang dinamakan golongan penduduk yang dipersamakan dengan
orang Eropa serta orang Timur Asing dan orang Indonesia yang dengan tindakan hukum
menyatakan diri tunduk pada hukum itu.
Didalam hukum tertulis tidak terdapat aturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Namun
bagi golongan Tionghoa tunduk pada B.W. ada pengaturannya secara tertulis dalam Stb. 1917
No. 129. Bagi orang Indonesia asli ketentuan yang mengatur hubungan diantara orangtua dan
anak sebagian terbesar terdapat dalam Hukum Perdata yang tidak tertulis yang dikenal dengan
Hukum Adat atau kebiasaan di suatu tempat yang kemudian dipatuhi oleh masyarakatnya
sebagai suatu aturan yang harus dipenuhi.
Pasal 12 (1) UU Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun 1979) berbunyi “Pengangkatan anak
menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan
anak”. Di dalam ayat 3 menyebutkan pengangkatan anak yang dilakukan diluar adat dan
kebiasaan dilaksanakan berdasar peraturan perundang-undangan. Karena peraturan perundang-
undangan ini belum ada sampai sekarang maka untuk memenuhi kebutuhan dilaksanakan
melalui SEMA No. 6 tahun 1987 dan SEMA 4 tahun 1989.
Menurut agama Islam, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak
dengan orang tua kandungannya. Namun demikian, tidak jarang terjadi kasus dimana, dalam
mengangkat anak, orang tua angkat merahasiakan kepada anak mengenai orangtua kandungnya
dengan maksud agar anak akan menganggap orang tua kandungnya. Tetapi pada umumnya
maksud tersebut menjadi kontra produktif terutama setelah anak angkat menjadi dewasa dan
memperoleh informasi mengenai kenyataan yang sesungguhnya.
Akibat dari Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1977 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil, yang
memungkinkan Pegawai Negeri Sipil untuk mendapatkan tunjangan bagi anak yang diadopsi
melalui penetapan pengadilan, mulai praktek adopsi dengan ketetapan pengadilan.
Bab III
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, adopsi adalah pengangkatan anak
atau menjadikannya sebagai anak. Pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan
darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan keluarga orang tua yang bersangkutan.
Di lingkungan masyarakat hukum adat dikenal dua klafikasi kedudukan anak angkat
yaitu; pertama, kedudukan anak angkat sebagai anak kandung untuk penerus keturunan orang tua
angkatnya. Kedua, kedudukan anak angkat yang diambil tidak dengan maksud sebagai penerus
keturunan orang tua angkatnya.
Adopsi anak itu dikenal dalam seluruh sistem hukum adat di Indonesia. Pengaturan
tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata (Untuk Golongan Tionghoa dan
Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).
Selain itu pengaturan teknisnya banyak tersebar dalam bentuk SEMA (Surat Edaran Mahkamah
Agung). Definisi adopsi dalam UUPA tentang angkat adalah Anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Soeroso, 2003, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 176 Soeroso, 2003, Perbandingan
Hukum Perdata, Jakarta,Sinar Grafika, hlm. 176
Soerojo Wignjodipuro, 1986, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, CV Haji Masagung
halaman 108.
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, cetakan ke-10, Jakarta: PT Pradnya Paramita,
2006. Hal33
Sunarmi. —. Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba (Suatu Analisis Berdasarkan
Hukum Adat). Universitas Sumatera Utara. Hal.6
Ragawino, Bewa. —. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia.Unpad, hal 67-68