makalah hukum perkawinan
TRANSCRIPT
MAKALAH
PERKAWINAN BEDA AGAMA DIINDONESIA
Nama :
I MADE DHARMA SETIA PUTRA
NIM :
111 00 54
PROGRAM STUDIPENDIDIKAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
1
TAHUN AJARAN 2012/2013I. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat
sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam
membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu
komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini
Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1
menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga
penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.
Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh,
maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan
berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan
agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut
akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-
2
syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum
agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda
agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia,
telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar
agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan
akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga
negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi
didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan
Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan
Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia
Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny
Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara
tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan
melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi
pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila
tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor
3
Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang
dilakukan diluar negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan
berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak
dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba
memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum
Positif Indonesia.
4
II. Permasalahan
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam
makalah ini bisa diperoleh hasil yang diinginkan maka saya mengemukakan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah Perkawinan beda agama diindonesia dapat dikatakan sah
menurut hukum agama. ?
2. Bagaimana pendapat hukum terhadap perkawinan beda agama
diindonesia. ?
3. Adakah UU yang memperbolehkan perkawinan beda agama
diindonesia. ?
5
A. Pengertian Perkawinan
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak
memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti
perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana.
Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan
kekeluargaan”. Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan
kekal, yang diakui oleh negara”.
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa
undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan
yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta
peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
6
miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal.
Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang
mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan,
beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan
perkawinan tersebut.
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan
Perundang-Undangan
a. Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga
ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah
merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri
dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di
7
antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi
terikat.
b. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya
boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan
dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut
asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen
(Gereja).
c. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI
bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan.
Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu
adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi
calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan
perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh
kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan
8
kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam
waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat
material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai,
usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus
300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat
material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat
di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk
kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui
perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada
calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
d. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas
mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah
untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
9
C. Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara
dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena
beda warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara
Indonesia.
Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah
perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing
tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan,
yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2
UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu
menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti
perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan
Indonesia.
D. Perkawinan di Luar Negeri
Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di
luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga
negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau
aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam
10
KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut
kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam
daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal 84
KUHPerdata).
Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri,
baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau
salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah
warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku
di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar UU ini.
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah
suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
E. Perkawinan Menurut Hukum Agama
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang
dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua
pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara
keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat
dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya
tersebut.
11
III. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan
di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya
adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar
pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c
dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal
44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam
tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
12
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda
agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri
beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang
memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan
antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-
undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena
dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi
perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat
diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak
diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan
calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan
pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal
10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
13
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan
kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang
Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang
berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran
terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa
perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57
tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini
mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga
mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa
perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh
karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan
beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena
belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan
pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka
14
instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan
perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU
No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam
penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan
harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang
oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras
dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta
penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah
dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang
beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah
sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan
campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran
yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang
yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda
agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di
15
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya
perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada
beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya
terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena
berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan
agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah
perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama
sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal
66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk
pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-
undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua
peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam
UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa
ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.
1/1974.
16
C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang
menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda
agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga
semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA
dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau
perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas
dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau
mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut
bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan
Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan
menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan
tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut
hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan
kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum
agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan
17
kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti
satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi
menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan
menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami
atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau
menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan
pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak
secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung
sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada
tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat
suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon
isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945
pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi
untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan
selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama
merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan
jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi
setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
18
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974
dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan
prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan
kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi
kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di
Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit
terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat
dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan
antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan
menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun
beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun
agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status
hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima
permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang
berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri
tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar
agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi,
namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi
19
kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No.
1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan
sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan
antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari
sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor
Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah
satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak
secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan
mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan
status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi
merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan
bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian
Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut
bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang
berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah
satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan
dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama
tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang
20
mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga
negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama
tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di
mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak
dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di
kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan
antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda
agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
21
IV.PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal
sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak
mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan
antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU
No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal
10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan
kepercayaannya.
2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak
secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah
Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400
K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama
adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya
di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang
untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak
22
beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar
agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor
Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah
satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan
tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan
mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi
menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No.
1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian,
dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama
Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk
menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan
dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam
status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara
Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan
tersebut di luar negeri.
23
B. Saran
Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur
perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU
No.1/1974, maka bersama ini saya sarankan bahwa :
a. Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar
agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum
Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan
antar agama.
b. Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu
kejelasan tentang status hukum bagi mereka yang ingin
melakukan perkawinan antar agama.
24
DAFTAR PUSTAKA
Ashshofa, Burhan, SH, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996
Andi Hamzah, Dr., SH, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta, 1986.
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1/1974, Jakarta, Tintamas, 1986
Kitab undang-undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974
Peraturan Tentang Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Regeling)
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 1986
Satjitpto Rahardjo, Prof. Dr., SH, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 2000.
Simanjuntak, P.N.H., S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999
Soimin, Soedharyo, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2002
……………., Himpunan Yurisprudensi Tentang Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 1996
Soejono, SH, MH & Abdurrahman, SH, MH, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2003
Sudarsono, SH, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 1991
25
Sudikno Mertokusumo, Prof. Dr., SH, Mengenal Hukum suatu pengantar, Liberty Yogyakarta, 2003.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Usman Adji, Sution, SH, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta, Liberty, 1989
Yanggo, Chuzaimah T, DR,H & Hafiz Anshary, Drs, MA, Editor, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996
Zuhdi , Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakara, Haji Masagung, 1993
www.Indonesialawcenter.com
www.penulislepas.com
26