tugas kulit 22.31.43

22
Analisa Retrospektif dari Terapi Kortikostreroid pada Sindroma Steven-Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolisis dalam Periode 10 Tahun di RS Vajira, Universitas Navamindradhiraj, Bangkok Wanjarus Roongpisuthipong 1 , Sirikarn Prompongsa 2 , dan Theerawut Klanjareonchai 3 Abstrak Latar belakang: SSJ dan/atau TEN merupakan reaksi alergi obat yang jarang terjadi namun mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tujuan: Penelitian pada SSJ dan/atau TEN ini dilakukan melalui analisis retrospektif dari 87 pasien yang dirawat selama rentang waktu 10 tahun. Metode: Kami melakukan tinjauan retrospektif dari catatan seluruh pasien yang dirawat dengan diagnosis SSJ dan/atau TEN berdasarkan gambaran klinis dan konfirmasi gambaran histologis dari SJS dan/atau TEN tidak dapat diperoleh dari Departemen Medis RS Vajira, Bangkok, Thailand. Data dikumpulkan menjadi dua kelompok mulai dari tahun 2003- 2007 dan 2008-2012.

Upload: harrypascarullian

Post on 05-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

Analisa Retrospektif dari Terapi Kortikostreroid pada Sindroma Steven-Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolisis dalam Periode 10 Tahun di RS Vajira, Universitas Navamindradhiraj, BangkokWanjarus Roongpisuthipong1, Sirikarn Prompongsa2, dan Theerawut Klanjareonchai3

AbstrakLatar belakang: SSJ dan/atau TEN merupakan reaksi alergi obat yang jarang terjadi namun mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tujuan: Penelitian pada SSJ dan/atau TEN ini dilakukan melalui analisis retrospektif dari 87 pasien yang dirawat selama rentang waktu 10 tahun.Metode: Kami melakukan tinjauan retrospektif dari catatan seluruh pasien yang dirawat dengan diagnosis SSJ dan/atau TEN berdasarkan gambaran klinis dan konfirmasi gambaran histologis dari SJS dan/atau TEN tidak dapat diperoleh dari Departemen Medis RS Vajira, Bangkok, Thailand. Data dikumpulkan menjadi dua kelompok mulai dari tahun 2003-2007 dan 2008-2012.Hasil: Dari total 87 kasus dari SSJ dan/atau TEN yang ditemukan, terdiri dari 44 pria dan 43 wanita dengan usia rata-rata 46,5 tahun. Lama rawatan rata-rata adalah 17 hari. Obat-obatan penyebab utama dari kedua kelompok yang diteliti adalah antibiotik, antikonvulsan, dan alopurinol. Rata-rata nilai SCORTEN pada saat masuk rumah sakit adalah 2,1 pada kelompok pertama dan 1,7 pada kelompok kedua. Dari tahun 2008-2012, 39 pasien (76,5%) dirawat dengan kortikosteroid dan hanya 8% (22,2%) pada tahun 2003-2007. Angka mortalitas berkurang dari 25% pada kelompok pertama hingga 13,7% pada kelompok kedua. Komplikasi yang terjadi pada kelompok pertama dan kedua tidak jauh berbeda. Kesimpulan: Kortikosteroid jangka pendek mungkin mempunyai peran dalam menurunkan angka mortalitas pada SSJ dan/atau TEN tanpa meningkatkan resiko infeksi sekunder. Penelitian selanjutnya dengan metode yang lebih baik dapat dilakukan untuk membandingkan efek dari terapi kortikosteroid pada SSJ dan/atau TEN.PendahuluanSindroma Steven-Johnson (SSJ) dan/atau Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN) merupakan penyakit yang jarang terjadi dengan insiden 1,9 kasus per 1 juta kasus dalam 1 tahun [1]. SSJ dan/atau TEN adalah penyakit yang berpotensi dalam menyebabkan kematian, ditandai dengan munculnya bula eksantema yang luas dan lepasnya jaringan epitel (epithelial sloughing), dengan keterlibatan mukosa (Gambar 1 dan 2) [2]. SSJ dan/atau TEN merupakan bagian dari spektrum penyakit yang dibagi menjadi 3 kelompok: SSJ apabila lepasnya kulit kurang dari 10% total luas permukaan tubuh; TEN apabila lepasnya kulit lebih dari 30% total luas permukaan tubuh; SSJ-TEN overlap apabila lepasnya kulit antara 10%-30% [3]. Diagnosis banding dari SSJ dan/atau TEN adalah linear IgA bullous disease, paraneoplastic pemphigus, generalize bullous fixed drugs reaction, dan staphylococcal scalded skin syndrome. Meskipun banyak faktor yang dianggap berperan sebagai penyebab dari penyakit ini, hipersensitivitas terhadap obat merupakan penyebab yang paling banyak ditemukan. Obat-obatan penyebab tersering yang mencetuskan SSJ dan/atau TEN adalah antibiotik golongan beta-laktam, sulfonamid, antikonvulsan dan alopurinol [4]. Nilai SCORTEN mengindikasikan derajat keparahan penyakit yang berhubungan erat dengan resiko kematian [5]. Disamping tatalaksana suportif yang intensif untuk SSJ dan/atau TEN, regimen terapi spesifik untuk SSJ dan/atau TEN masih kurang. Pilihan terapi antara lain, kortikosteroid sistemik, terapi imunoglobulin intravena (IVIG), thalidomid, dan antagonis TNF-alpha. Kortikosteroid sistemik telah digunakan sejak awal tahun 1990, meskipun tidak ditemukan manfaat dari pemberiannya dalam penelitian case-control [6]. Pada suatu penelitian retrospective single center menyatakan bahwa terapi dexamethasone jangka pendek, yang diberikan pada tahap awal terjadinya penyakit mungkin mempunyai peran dalan menurunkan angka mortalitas [7]. Selain itu, penelitian yang dilakukan pada rumah sakit umum di Singapore melaporkan bahwa penggunaan dexamethasone mungkin mempunyai manfaat [8]. Perdebatan antara penggunaan kortikosteroid sistemik masih belum mendapatkan titik terang dan terus berlangsung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan etiologi, tatalaksana, dan hasil terapi dari SSJ dan/atau TEN pada RS Vajira, Universitas Navamindradhiraj di Bangkok, Thailand.

Gambar 1. Plak kemerahan dan keputihan pada area multipel yang mengalami denudasi pada kening, leher, dan tubuh sisi kanan. Erosi pada bibir atas dan bawah

Gambar 2. Setelah 4 hari pada pasien terlihat area denudasi yang progresif pada plak kemerahan di tubuh dan anggota gerak. Erosi pada bibir atas, bibir bawah dan genital.MetodePenilaian retrospektif dilakukan pada pasien yang dirawat di RS Vajira, Universitas Navamindradhiraj, dengan diagnosis SSJ dan/atau TEN berdasarkan gambaran klinis, konfirmasi gambaran histologis tidak dapat diperoleh. Data dikelompokkan menjadi 2 kelompok, dari 2003-2007 dan 2008-2012 (masa penelitian 10 tahun). Penelitian ini dilakukan dengan izin dari tim peninjau etika dari Fakultas Kedokteran RS Vajira, Universitas Navamindradhiraj. Dilakukan penilaian pada rekam medis elektronik dan status pasien. Dikumpulkan data-data berikut ini: informasi demografik, obat-obatan penyebab, luasnya keterlibatan dari jaringan mukokutan, penyakit yang mendasari, data laboratorium, tatalaksana, komplikasi dan mortalitas. Obat-obatan yang telah digunakan dalam waktu 6 minggu sebelum munculnya gejala dianggap sebagai obat penyebab. Jika pasien mendapat lebih dari satu jenis obat, semua obat yang digunakan dianggap sebagai obat penyebab. Analisis StatistikVariabel kontinu dilaporkan dalam rata-rata SD dan data untuk variabel kategori dilaporkan dalam nilai dan persentasi. Perbandingan dari variabel kategori dari kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan uji x2 dan uji Fishers. Perbandingan dari variabel kontinu dari kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan student t-test dan Mann-Whitney U test. Hasil yang diperoleh dianggap signifikan secara statistik apabila memenuhi P < 0,05 (two-tailed). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 18.0 (SPSS Inc., Chicago, IL, USA).HasilSebanyak 87 pasien (44 pria dan 43 wanita) masuk dalam penelitian. Terdapat 36 kasus (usia rata-rata 42,6) pada tahun 2003-2007 dan 51 kasus (usia rata-rata 49,3) pada tahun 2008-2012. Pada kelompok pertama, dari 36 kasus, 26 kasus merupakan SSJ (70,6%), SSJ-TEN overlap 1 kasus (2,8%) dan TEN 9 kasus (25,0%). Pada kelompok kedua dari 51 kasus, 36 kasus merupakan SSJ (70,6%), SSJ-TEN overlap 7 kasus (13,7%) dan TEN 8 kasus (15,7%). Tidak terdapat perbedaan antara penyakit kardiovaskular, diabetes melitus dan infeksi HIV yang diteliti. Terdapat 7 kasus keganasan (13,7%) pada kelompok kedua, tidak ada kasus keganasan pada kelompok pertama. Keterlibatan mukosa terbanyak dari kedua kelompok adalah mukosa mulut, dibandingkan dengan tempat lainnya. Keterlibatan mukosa uretra pada kelompok pertama lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok kedua, sedangkan keterlibatan mukosa genital lebih tinggi secara signifikan pada kelompok kedua dibandingkan dengan kelompok pertama. Rata-rata nilai SCORTEN ketika masuk rumah sakit adalah 1,7 pada kelompok pertama dan 2,1 pada kelompok kedua. Pada kelompok kedua, 39 pasien (76,5%) diberikan terapi kortikosteroid intravena, agen yang digunakan adalah dexamethasone. Hanya 8 pasien (22,2%) diberikan kortikosteroid intravena pada kelompok pertama. Lama pemberian dan dosis dari kortikosteroid tidak berbeda antara kelompok pertama dan kedua. Tidak ada pasien yang diberikan imunoglobulin intravena. Tabel 1 menunjukkan karakteristik klinis dari 87 pasien. Tabel 2 menunjukkan persentasi dari penggunaan steroid intravena pada SSJ dan/atau TEN pada pasien sesuai dengan nilai SCORTEN.Seluruh pasien dalam penelitian ini disebabkan oleh reaksi obat. Antibiotik, antikonvulsi, dan alopurinol merupakan obat-obatan penyebab utama pada kedua kelompok (Tabel 3). Obat penyebab terbanyak adalah alopurinol (19,1%) pada kelompok pertama dan fenitoin (13,8%) pada kelompok kedua. Penisilin dan kotrimoksazol merupakan obat penyabab terbanyak dari golongan antibiotik dan fenitoin merupakan obat penyebab terbanyak dari golongan antikonvulsan pada kedua kelompok. Banyak pasien yang menunjukkan keterlibatan organ dan komplikasi lainnya (Tabel 4). Gagal nafas merupakan kegagalan organ dalam yang paling sering pada kedua kelompok. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dilakukan pada pasien dengan gagal nafas. Disfungsi hepar dan ginjal lebih banyak pada kelompok pertama dibandingkan kelompok kedua. Sepsis lebih banyak ditemukan pada kelompok pertama dibandingkan dengan kelompok kedua, sedangkan infeksi kulit dan hospital-acquired pneumonia lebih banyak pada kelompok kedua dibandingkan kelompok pertama. Lama rawatan rata-rata adalah 13,9 hari pada kelompok pertama dan 19,2 hari pada kelompok kedua. Tingkat mortalitas menurun dari 25% pada kelompok pertama hingga 13,7% pada kelompok kedua.

Tabel 1. Karakteristik Klinis dari kasus Sindroma Steven Johnson dan/atau Toksik Epidermal Nekrolisis pada Tahun 2003-2012 (n = 87)2008-2012(n = 51),n (%)2003-2007(n = 36),n (%)Nilai P

Usia (tahun)49,3 19,242,6 21,00,104

Pria 27 (52,9)17 (47,2)0,599

Penyakit yang mendasari

Penyakit kardiovaskular11 (21,5)8 (22,2)0,942

Diabetes mellitus7 (13,7)5 (13,8)0,983

Infeksi HIV12 (23,5)9 (25,0)0,875

Keganasan7 (13,7)0 (0)0,033

Diagnosis

SSJ36 (70,6)26 (72,2)0,868

Peralihan SSJ-TEN 7 (13,7)1 (2,8)0,082

TEN8 (15,7)9 (25,0)0,281

Keterlibatan Mukosa

Okular40 (78,4)32 (88,8)0,203

Mulut45 (88,2)35 (97,2)0,129

Genital*27 (52,9)11 (30,5)0,038

Uretra *2 (3,9)7 (19,4)0.019

Anus 3 (5,8)1 (2,8)0,496

SCORTEN

116 (31,4)13 (36,1)0,664

219 (37,3)19 (52,8)0,151

312 (23,5)3 (8,3)0,065

41 (1,9)1 (2,8)0,802

53 (5,8)0 (0)0,139

Penyebab penyakit

Satu jenis obat44 (86,3)30 (83,3)0,705

Banyak jenis obat7 (13,7)6 (16,6)0,705

Penggunaan steroid IV**36 (76,5)8 (22,2)< 0,001

Dosis dexamethason (mg/hari)13,2 6,114,5 6,30,914

Lama pemberian steroid (hari)5,7 2,75,4 2,50,810

Lama pemberian steroid 7 hari13 (33,3)4 (50,0)0,096

*P < 0,05, **P < 0,01SSJ: Sindroma Steven-JohnsonTEN: Toksik Epidermal Nekrolisis

Tabel 2. Persentasi Penggunaan Steroid Intravena pada Sindroma Steven-Johnson dan/atau Toksik Epidermal Nekrolisis Berdasarkan SCORTEN.2008-2012(n = 51)2003-2007(n = 36)

SCORTEN

187,5%15,4%

263,1%13,0%

383,3%33,3%

4100%0%

566,7%-

Tabel 3. Perbandingan Insiden Dari Obat Penyebab.2008-2012(n = 58), n (%)2003-2007(n = 42), n (%)Nilai P

Antibiotik 26 (44,8)14 (33,3)0,265

Penisilin7 (12,1)4 (9,5)0,718

Kotrimoksazol7 (12,1)4 (9,5)0,718

Sefalosporin5 (8,6)2 (4,8)0,473

Kuinolon3 (5,2)2 (4,8)0,949

Karbapenem2 (3,4)0 (0)0,299

Klindamisin1 (1,7)0 (0)0,398

Tetrasiklin1 (1,7)0 (0)0,398

Makrolid0 (0)2 (4,8)0,089

Antikonvulsan14 (24,1)4 (9,5)0,064

Fenitoin8 (13,8)3 (7,1)0,309

Karbamazepin4 (6,9)1 (2,4)0,317

Fenobarbital1 (1,7)0 (0)0,398

Lamotrigin1(1,7)0 (0)0,398

Alopurinol7 (12,1)8 (19,1)0,301

NSAIDs5 (8,6)4 (9,5)0,844

Nevirapine3 (5,2)4 (9,5)0,377

Antituberkulosis3 (5,2)0 (0)0,139

Obat lainnya0 (0)8 (19,1)

TTM0 (0)2 (4,8)0,089

Valacyclovir0 (0)2 (4,8)0,089

Cetirizine 0 (0)1 (2,4)0,231

Chloroqiune0 (0)1 (2,4)0,231

Cinnarizine 0 (0)1 (2,4)0,231

Silymarin 0 (0)1 (2,4)0,231

Antituberkulosis (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol).NSAIDs: nonsteroidal anti-inflammatory drugs.TTM: Traditional Thai Medicine

Tabel 4. Keterlibatan Organ dan Komplikasi pada Pasien dengan Sindroma Steven-Johnson dan/atau Toksik Epidermal Nekrolisis dari tahun 2003-2012 (n = 87).2008-2012(n = 51),n (%)2003-2007(n = 36),n (%)Nilai P

Keterlibatan organ dalam

Gagal hepar3 (5,9)3 (8,3)0,657

Gagal ginjal6 (11,8)6 (16,6)0,514

Pasien hemodialisis3 (5,9)3 (8,3)0,657

Gagal nafas

Pasien dengan ventilator7 (13,7)6 (16,6)0,705

Infeksi

Infeksi kulit9 (17,3)6 (16,6)0,905

Hospital-acquired pneumonia 7 (13,7)4 (11,1)0,718

Sepsis 7 (13,7)8 (22,2)0,301

Lama rawatan19,2 15,813,9 9,60,287

Kematian 7 (13,7)9 (25)0,181

DiskusiPada penelitian ini insiden dari SSJ dan/atau TEN adalah 8-9 kasus per tahun, sama dengan penemuan pada daerah lain di Asia seperti Thailand dan Korea [9, 10]. Usia rata-rata adalah 46 tahun, sama seperti yang dilaporkan dari negara lain seperti Jepang, Singapura, dan Korea [2, 8, 10]. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa wanita lebih sering terkena SSJ dan/atau TEN dibandingkan pria [2, 10], penelitian ini mendapatkan hasil yang sama antara pria dan wanita, hal ini sama dengan hasil yang ditemukan pada penelitian dari Tan dan Tay [8]. Obat penyebab tersering adalah dari golongan antibiotik (penisilin dan sulfonamid), sama dengan penelitian lain di Thailand [9, 11] dan negara lain di Asia [2, 12]. Alopurinol menunjukkan resiko lebih tinggi pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya [2, 9, 10]. Obat ini lebih sering menjadi penyebab pada penelitian EuroSCAR [13]. Insiden dari alopurinol menyebabkan SSJ dan/atau TEN meningkat pada penelitian EuroSCAR karena adanya peningkatan penggunaan dan dosis dari obat tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa insiden alopurinol menyebabkan SSJ dan/atau TEN mengalami penurunan dari 19% pada kelompok pertama dan 12% pada kelompok kedua. Dapat disimpulkan bahwa penurunan tersebut berhubungan dengan kesadaran dokter dalam penggunaan alopurinol sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dan sesuai dengan dosis yang disesuaikan dengan fungsi ginjal. Karbapenem merupakan antibiotik spektrum luas yang semakin sering digunakan dalam praktik klinis [14]. Pada penelitian ini karbapenem mengakibatkan SSJ dan/atau TEN sebanyak 3,4% pada tahun 2008-2012. Selain itu, karbapenem merupakan antibiotik golongan beta laktam, sehingga obat tersebut dapat mempunyai interaksi silang dengan penisilin dan sefalosporin. Telah dilaporkan adanya dua episode berturut-turut dari TEN yang disebabkan oleh sefalosporin dan karbapenem pada pasien yang sama; oleh sebab itu, obat yang mempunyai kemiripan struktur kimia dengan obat penyebab harus sangat dihindari dalam managemen SSJ atau TEN [15]. Tatalaksana SSJ atau TEN meliputi evaluasi cepat dari keparahan dan prognosis dengan menggunakan SCORTEN, identifikasi dan penghentian dari obat penyebab, dan memulai terapi suportif (seperti cairan, elektrolit, managemen pada luka dan nutrisi) dan terapi spesifik. Hingga saat ini, belum ada terapi spesifik untuk SSJ atau TEN yang menunjukkan efek dan dibuktikan dalam penelitian yang bersifat controlled trials. Penggunaan dari kortikosteroid sistemik pada SSJ atau TEN masih kontroversial. Meskipun kortikosteroid mempunyai efek imunomudulasi melalui inhibisi berbagai sitokin, penggunaan kortikosteroid dalam jangka lama meningkatkan resiko untuk infeksi sekunder dan mengaburkan tanda-tanda awal dari sepsis. Oleh sebab itu, penggunaan kortikosteroid biasanya dibatasi pada SSJ atau TEN. Pada penelitian ini, penggunaan kortikosteroid sistemik meningkat dari 22% pada kelompok pertama menjadi 76% pada kelompok kedua. Selain itu, lama pemberian terapi kortikosteroid yang lebih dari 7 hari menurun dari 50% pada kelompok pertama menjadi 33% pada kelompok kedua. Pada kelompok kedua, mortalitas dan sepsis menurun secara signifikan dibandingkan dengan kelompok pertama, sementara angka kejadian hospital-acquired pneumonia dan infeksi kulit tidak mengalami perubahan. Selain itu, kelompok pertama mempunyai nilai SCORTEN yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kedua tetapi angka kematian lebih tinggi pada kelompok pertama dibandingkan dengan kelompok kedua. Berdasarkan hasil yang didapat, kortikosteroid sistemik jangka pendek seperti dexamethasone pada SSJ atau TEN memberikan manfaat dalam menurunkan angka kematian tanpa meningkatkan resiko infeksi sekunder seperti sepsis, infeksi saluran nafas dan infeksi kulit. Selain itu, dua penelitian retrospektif monocentre lainnya menyatakan bahwa kortikosteroid dosis tinggi jangka pendek (dexamethasone) mungkin juga dapat bermanfaat [7, 8]. Disisi lain, penelitian case-control retrospektif yang dilakukan di Perancis dan German menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid tidak menunjukkan efek yang signifikan pada angka kematian dibandingkan hanya dengan pemberian terapi suportif [6]. Analisis retrospektif mempunyai beberapa kekurangan, oleh sebab itu, multicentre, randomized, placebo-controlled trials dengan menggunakan metode yang terstandarisasi dibutuhkan untuk dapat menilai lebih jauh penggunaan kortikosteroid pada SSJ dan/atau TEN. Selain itu, dibutuhkan suatu sistem untuk mengevaluasi adanya penanda genetik.Kesimpulan Obat yang paling sering menyebabkan SSJ dan/atau TEN di RS Vajira adalah allopurinol dan kelompok obat tersering adalah antibiotik. Kortikosteroid jangka pendek mungkin mempunyai peran dalam menurunkan angka kematian pada SSJ dan/atau TEN tanpa meningkatkan resiko infeksi sekunder. Penelitian lebih jauh dengan menggunakan metode yang lebih baik dibutuhkan untuk membandingkan efek dari pemberian kortikosteroid untuk SSJ dan/atau TEN.

DAFTAR PUSTAKA[1] T. Harr and L. E. French, Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis, Chemical Immunology and Allergy, vol.97, pp. 149166, 2012.[2] Y. Yamane, M. Aihara, and Z. Ikezawa, Analysis of Stevens- Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Japan from2000 to 2006, Allergology International, vol. 56, no. 4, pp. 419425, 2007.[3] S. Bastuji-Garin, B. Rzany, R. S. Stern, N. H. Shear, L. Naldi, and J.-C. Roujeau, Clinical classification of cases of toxic epi- dermal necrolysis, Stevens-Johnson syndrome, and erythema multiforme, Archives of Dermatology, vol. 129, no. 1, pp. 9296,1993.[4] T. Harr and L. E. French, Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome, Orphanet Journal of Rare Diseases, vol. 5, no. 1, article 39, 2010.[5] S. Bastuji-Garin, N. Fouchard, M. Bertocchi, J.-C. Roujeau, J. Revuz, and P. Wolkenstein, Scorten: a severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis, Journal of Investigative Dermatology, vol. 115, no. 2, pp. 149153, 2000.[6] J. Schneck, J.-P. Fagot, P. Sekula, B. Sassolas, J. C. Roujeau, and M. Mockenhaupt, Effects of treatments on the mortality of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: a retrospective study on patients included in the prospective EuroSCAR Study, Journal of the American Academy of Derma- tology, vol. 58, no. 1, pp. 3340, 2008.[7] S. H. Kardaun and M. F. Jonkman, Dexamethasone pulse ther- apy for Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis, Acta Dermato-Venereologica, vol. 87, no. 2, pp. 144148, 2007.[8] S.-K. Tan and Y.-K. Tay, Profile and pattern of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in a general hospital in Singapore: treatment outcomes, Acta Dermato-Venereologica, vol. 92, no. 1, pp. 6266, 2012.[9] V. Leenutaphong, A. Sivayathorn, P. Suthipinittharm, and P.Sunthonpalin, Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Thailand, International Journal of Dermatology, vol. 32, no. 6, pp. 428431, 1993.[10] H.-I. Kim, S.-W. Kim, G.-Y. Park et al., Causes and treatment outcomes of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in 82 adult patients, Korean Journal of Internal Medicine, vol. 27, no. 2, pp. 203210, 2012.[11] J. Thammakumpee and S. Yongsiri, Characteristics of toxic epidermal necrolysis and stevens-johnson syndrome: a 5-year retrospective study, Journal of the Medical Association of Thai- land, vol. 96, no. 4, pp. 399406, 2013.[12] M. Barvaliya, J. Sanmukhani, T. Patel, N. Paliwal, H. Shah, and C. Tripathi, Drug-induced Stevens-Johnson syndrome (SJS), toxic epidermal necrolysis (TEN), and SJS-TEN overlap: a multicentric retrospective study, Journal of Postgraduate Medicine, vol. 57, no. 2, pp. 115119, 2011.[13] S. Halevy, P.-D. Ghislain, M. Mockenhaupt et al., Allopurinol is the most common cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and Israel, Journal of the American Academy of Dermatology, vol. 58, no. 1, pp. 2532,2008.

[14] K. M. Papp-Wallace, A. Endimiani, M. A. Taracila, and R. A.Bonomo, Carbapenems: past, present, and future, Antimicro- bial Agents and Chemotherapy, vol. 55, no. 11, pp. 49434960,2011.[15] P. Paquet, E. Jacob, P. Damas, and G. E. Pierard, Recurrent fatal drug-induced toxic epidermal necrolysis (Lyell's syndrome) after putative -lactam cross-reactivity: case report and scrutiny of antibiotic imputability, Critical Care Medicine, vol. 30, no. 11, pp. 25802583, 2002.