tugas hukum adat ii

Upload: abdulloh-yahya

Post on 10-Jan-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hukum Adat

TRANSCRIPT

HAK ULAYATEksistensi Hak Pertuanan Ulayat Dalam Hukum Adat Indonesia Dan Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Hukum Adat IIDosen Pengampu: Drs. Abd. Halim, M.Hum

Disusun oleh:

Abdulloh yahya13340047Nesti satiti Ningrum13340049Apit Rina Palupi13340050Hari Nugraheni13340083Dimas13340081

JURUSAN ILMU HUKUMFAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA, 2015BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangHukum adat memiliki fungsi sebagai alat pengendalian bagi masyarakat adat terhadap moral dan perilaku, sehingga tidak menyimpang dari nilai dan norma. Perilaku masyarakat adat memiliki arti substansial sebagai hubungan hukum (legal relation) antara individu dengan individu lainnya untuk menciptakan hak dan kewajiban dalam masyarakat adat contoh perkawinan, pertuanan ulayat, kewarisan dll. Hukum adat hanya memenuhi aspek kemanfaatan hukum, sehingga tidak dikodifikasikan secara tertulis dan sistematis.Sistem hukum adat bersumber pada peraturan peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Hukum adat bersifat tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang. Untuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang itu. oleh karena itu, keinginan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu selalu dikembalikan kepada pangkalnya (kehendak suci nenek moyang) sebagai tolok ukur tehadap keinginan yang akan dilakukakan. Peraturan peraturan hukum adat juga dapat tergantung dari pengaruh kejadian kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti. Perubahannya sering ti diketahui, bahkan kadang kadang tidak disadari masyarakat. Hal itu karena terjadi pada situasi sosial tertentu di dalam kehidupan sehari-hari.Konsep penguasaan tanah di Indonesia sampai saat ini dibalut kekhawatiran dari semua pihak baik dari masyarakat, swasta, maupun instansi pemerintah. Hal ini dikarenakan legalisasi atas hak atas tanah menimbulkan banyak permasalahan hukum. Salah satu penyebabnya adalah karena masih terjadi benturan konsep penguasaan tanah secara hukum adat dengan konsep penguasaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan positif yang berlaku[footnoteRef:1] [1: Syafruddin Kallo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Di Indonesia: Suatu Pemikiran, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2006), hlm. 6]

Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia terjadi pada tahun 1960 yaitu semenjak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat dilakukan sepanjang menurut kenyataan masih eksis serta sesuai dengan kepentingan nasional dan selaras dengan perundang-undangan diatasnya. Konsep pengakuan dalam UUPA berbeda dengan konsep pengakuan dalam UUD 1945 karena konsep pengakuan dalam UUPA adalah konsep pengakuan bersyarat. Sesuai dengan amanat konstitusi Negara pengelolaan tanah dan air di permukaan bumi ini tidak lepas dari kebijaksanaan dasar yang digariskan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Tanah sebagai sumber daya dan modal dasar pembangunan harus di kelolah secara cermat agar memberikan sebesar besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan, ini mengundang makna bahwa konsepsi maupun azaz-azaznya di landasi oleh ketentuan hukum di masyarakat kita sendiri konsep sumber adat kita komunalistik yang memungkinkan ada penguasaan tanah perorangan sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Hal ini terlihat misalnya pada pasal 2, pasal 4, pasal 6 dan pasal 9 UUPA[footnoteRef:2] [2: Budi Harsono, Hukum Agraria, (Jakarta:Djambatan, 2000), hlm. 5]

Implementasi terhadap pengaturan hukum adat di Indonesia yaitu munculnya hak hak kepemilikan bagi masyarakat adat, salah satu dari hak tersebut ialah hak kepemilikan adat atas tanah yang diatur di dalam hukum adat dan UUPA No. 5 Tahun 1960. Untuk lebih memperjelas dan memahami kedudukan dan hak tersebut, maka pembahasan pokok pada makalah ini adalah hak kepemilikan adat atas tanah dalam hukum adat dan UUPA 1960.B. Rumusan Masalah1. Apa pengertian hak kepemilikan adat atas tanah (hak ulayat)?2. Kapan berlakunya hak ulayat?3. Apa eksistensi hak ulayat dalam perundang undangan?4. Bagaimana pengaturan Hak Perorangan dalam Hukum adat?

BAB IIPEMBAHASANA. Pengertian Hak Ulayat Dan Istilah LainPada masyarakat adat di kenal sebuah istilah yang disebut hak ulayat. Menurut Iman Sudiyat hak ulayat memiliki pengertian yang sama dengan hak purba yaitu hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa desa (dorpendbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya[footnoteRef:3]. Hak ulayat merupakan hak yang utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya . Bagi masyarakat Hukum Adat (apalagi yang masih sangat bercorak agraris) tanah merupakan modal utama. Hal ini karena tanah merupakan tempat tinggal sekaligus tempat bercocok tanam dan tempat beribadah bagi masyarakat Hukum Adat. Betapa pentingnya tanah sehingga dari jaman raja-raja sampai dengan sekarang dirasakan perlu untuk mengatur mengenai masalah tanah ini. [3: Ibid, hlm 2]

Menurut Budi Harsono, yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.[footnoteRef:4] Pengertian lain tentang hak ulayat juga dijelaskan dalam Pasal 1 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.[footnoteRef:5] [4: Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, (Jakarta: Jambatan, 2003), hlm 185] [5: Urip Susanto, Hukum Agraria: Kajian Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm 81]

Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah, yang disebut tanah ulayat. Tanah ulayat menurut pasal 1 angka 2 Permen Agraria/Kepala BPN NO. 5 Tahun 1999, adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat tertentu . Hak ulayat dikelola oleh masyarakat hukum adat, yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (pasal 1 angka 3 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999)[footnoteRef:6]. Berdasarkan pasal 5 Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999, Pemerintah Daerah merupakan pihak yang berwenang untuk menentukan dan memberikan pengakuan terhadap hak ulayat di daerahnya masing-masing melalui peraturan daerah. Sehingga keberadaan hak ulayat disetiap daerah dapat diatur sesuai dengan struktur dan kondisi adat yang ada. [6: Ibid, hlm 82]

Masyarakat hukum adat mempunyai kedaulatan penuh (sovereign) atas wilayah kekuasaannnya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengatur dan menata hubungan-hubungan di antara sesama warga serta hubungan antara warga dengan alam sekitar. Pengaturan dan penataan hubungan-hubungan tersebut bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan, sehingga tercipta ketenteraman dan kedamaian dalam masyarakat[footnoteRef:7] [7: Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, (Jakarta: Citra Media, 2007), hlm. 82.]

Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan atau pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku) dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan). Hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut, misalnya hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuhan yang hidup di atasnya, atau berburu binatang yang hidup diatas tanah itu. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut juga hak ulayat atau hak pertuanan. Dalam literatur oleh Cornellis van Vollenhoven disebut dengan istilah beschikkingsrecht sedangkan tanah sebagai wilayahnya disebut beschikkingring.[footnoteRef:8] [8: B. Ter Haar, Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm 50]

B. Berlakunya Hak UlayatDalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.Hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960, dijelaskan secara eksplisit dalam pasal 3 UUPA yang berbunyi sebagai berikut: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Keberadaan hak ulayat itu sepenuhnya diakui oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tetapi pengakuan itu disertai dengan syarat dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 3 UUPA yaitu dengan mengingat ketentuan ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat adat ,[footnoteRef:9] diantaranya: [9: Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, hlm. 79]

1. Sepanjang menurut kenyataan masih ada.2. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.3. Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.

Maria S.W. Sumardjono memberikan kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, kriteria ini kemudian dilegalkan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan kriteria ada tidaknya hak ulayat tersebut harus dilihat dari tiga hal, yaitu :1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.[footnoteRef:10] [10: Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta, Kompas, 20001), hal 57. Lihat juga Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2000) hllm. 158]

Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi recognitie, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu[footnoteRef:11]. [11: Iman Sudiyat, Hukum adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1978), hlm 6]

Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat, inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).Adapun ciri-ciri dari hak ulayat menurut Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat ini. Adapun keenam ciri-ciri hak ulayat adalah sebagai berikut 1. Persekutuan hukum itu dan anggota-anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasilnya, berburu, menggembala dan lain sebagainya.2. Yang bukan anggota dari persekutuan hokum dapat pula mempergunakan hak itu, tetapi hanya tas pemberian izin dari pesekutuan hokum itu. Tanpa izin ia membuat kesalahan.3. Dalam mempergunakan hak itu bagi anggota hanya kadang-kadang, tapi yang bukan anggota, selalu harus selalu membayar sesuatu (recongnitie).4. Persekutuan hokum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan yang tertentu yang terjadi di dalam lingkungan wilayahnya. Bila mana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dapat digugat, tidak dikenal.5. Persekutuan hokum tidak boleh memindahtangankan haknya (vervreemden, menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga.6. Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan, juga terhadap tanah-tanah yang telah digarap sesuai dalam pembagian pekarangan, jual beli tanah, dan lain sebagainya.[footnoteRef:12] [12: Roestamdi Adiwilaga, Hukum Agraris Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Tp, Tt), hlm. 31]

C. Hak Ulayat Dalam Perundang-UndanganKedudukan hukum adat dalam konstitusi Indonesia dihormati dan dihargai sebagai peninggalan hukum yang dibuat oleh nenek moyang, walaupun pemerintah tidak melakukan inventarisasi terhadap hukum adat, namun dalam UUD 1945 pasal 18B yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak haknya tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang, Negara masih tetap menghormati dan menghargai eksistensi hukum adat.Didalam lingkungan masyarakat Hukum Adat dikenal hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak dari masyarakat Hukum Adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan, dan memelihara kekayaan alam yang ada dalam lingkungan wilayah hak ulayat tersebut.[footnoteRef:13] Jadi hak ulayat itu bukanlah untuk memiliki, tetapi hanya merupakan hak menguasai. [13: Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, hlm. 66]

Dalam pasal 2 UUPA, hak ulayat itu dijadikan sebagai dasar dalam menentukan hubungan negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya.Keberadaan hak ulayat itu sepenuhnya diakui oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tetapi pengakuan itu disertai dengan syarat dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 3 UUPA yaitu dengan mengingat ketentuan ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat adat ,[footnoteRef:14] diantaranya: [14: Ibid, 79.]

4. Sepanjang menurut kenyataan masih ada.5. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.6. Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.Pengalaman menunjukkan bahwa ada kalanya hak ulayat itu pelaksanaanya menghambat, bahwa merintangi usaha-usaha besar pemerintah. Sebagai contoh dapat dikemukakan kesulitan yang harus diatasi oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah untuk melaksanakan proyek pertanian modern di Waytuba, Sumatra Selatan pada tahun 1960. Saat itu masyarakat hukum adat hanya bersedia menyerahkan tanahnya yang pada dasarnya berupa tanah alang-alang yang tindak mungkin dapat diusahakan sendiri oleh anggota-anggota masyarakat hukum.[footnoteRef:15] [15: Budi Harsono, hlm. 168]

Sebagaimana diketahui walaupun menurut kenyataan hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan- peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berlakupula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan sepanjang hak tersebut menurut kenyataan memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.UUPA dan Hukum Tanah Nasional kita tidak menghapus adanya hak ulayat, tetapi juga tidak mengaturnya. Mengaturnya hak ulayat dapat melanggengkan eksistensinya.[footnoteRef:16] Padahal perkembangan masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya hak ulayat tersebut melalui proses alamiah. Yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada perkembangan tanah-tanah Kaum di Minangkabau, yang dimintakan pendaftaran sebagai tanah milik bersama. Setelah didaftarkan, maka diadakan pemecahan menjadi tanah-tanah hak milik para kaum masing-masing. Padahal hak penguasa oleh para anggota Kaum menurut Hukum Adat bukan Hak Milik, melainkan ganggam bauntuak, uang dalam Hukum Tanah Nasional konversinya menjadi Hak Pakai (pasalVI Ketentuan-ketentuan Konversi). [16: Budi Harsono, hlm. 169]

D. Hak Perorangan dalam Hukum adat[footnoteRef:17] [17: Iman Sudiyat, hlm. 9]

Hak perorangan adalah suatu hak yang diberikan kepada warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak purba persekutuan hukum yang bersangkutan. Jenis hak perorangan ada 6 yaitu:i. Hak milik (inlands bezitrecht)Hak milik ialah hak yang paling terkuat diantara hak hak perorangan, pemilik tanah yang berhak penuh atas hak milik harus menghormati hak purba persekutuan hukumnya, kepentingan para pemilik tanah lainya, dan peraturan peraturan hukum. Untuk memperoleh hak milik atas tanah harus di capai dengan cara:1) Membuka Tanah2) Mewaris tanah3) Menerima tanah karena pembelian, penukaran, hadiah4) Daluwarsa (verjaring)Pelaksanaan pengoperan harta kekayaan dapat dilakukan setiap orang dengan melakukan pelaksanaan konsep pengoperan harta yaitu pengoperan harta terjadi kepada generasi yang akan datang, perpindahan itu terjadi selama pemiliknya masih hidup, di kenal adanya lembaga hidup waris.ii. Hak wenang pilih, hak mendahulu (voorkeursrecht)Hak wenang pilih bermanifestasi dalam 3 bentuk:1) Hak yang diperoleh seseorang yang lebih utama dari yang lain atas kehendak dan persetujuan kepala persekutuan hukum, dengan memberikan batas batas pada sebidang tanah yang digarapnya sehingga ia mempunyai hak wenang pilih2) Hak pengolahan yang diperoleh seorang pemilik tanah pertanianyang lebih utama dari yang lain atas tanah belukar yang berbatasan dengan tanahnya. Tanah demikian itu disebut ekor sawah. kepala tanah, kepala kebun.3) Hak yang diperoleh pengolah tanah, lebih utama dari yang lain, untuk mengerjakan sawah/ladangnya yang berangsur angsur membelukar kembali setelah panen.

iii. Hak menikmati hasil (genotrecht) dan hak pakai (gebruiksrcht), hak menggarap (ontginningsrecht)1) Hak menikmati hasil dan hak menggarap ialah hak yang diperoleh seluruh persekutuan hukum maupun orang luar (dengan persetujuan para pemimpin persekutuan) untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali panen.2) Bagi warga persekutuan dimungkinkan untuk mengembangkan hak menikmati hasil menjadi hak milik, sehingga ia di perkenankan mengolah tanahnya selama beberapa kai panen berturut turut, tanpa diselingi hak wenang pilih.3) Di wilayah yang menentang jatuhnya tanah dari hak menikmati hasil ke hak milik terjadi terhadap pihak luar, didalam hak nya ia tidak diberikan kekuasaan atas tanah hak milik ketika sebelumnya ia memiliki hak menikmati hasil. Pada umumnya hak menikmati hasil terjadi satu kali panen, jika hak itu terjadi beberapa kali panen maka setiap sesudah anen diselingi dengan suatu masa yang dikuasai yaitu hak wenang pilih.

iv. Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht)1) Yaitu hak dari Pamong desa untuk diberikan penghasilan sebagian hasil dari tanah tersebut, karena sudah menjabat di wilayah tersebut.2) Maksud dari pemberian itu untuk menjamin penghasilan jabatan tersebut. Tanah yang ia kuasai boleh digarap maupun disewakan dan tidak boleh dijual maupun digadaikan, jika sudah habis masa jabatanya maka tanah tersebut menjadi hak purba kembali.3) Jika ketika ada pergantian pejabat baru sedangkan tanah yang dikuasainya masih di tanaminya maka jika tanamanya sudah mau panen maka yang berhak mengambilnya pejabat lama, dan jika tanaman nya masih harus dikelola lagi maka ketika panen harus ada pembagian hak adil antara pejabat lama maupun pejabat baru.

v. Hak wenang beli (naastingsrecht (blengket))1) Hak wenang beli ialah hak seseorang untuk mendapat kesempatan membeli tanah tetangganya dengan harga yang sama.2) Di berbagai lingkungan hokum, hak wenang beli itu diberikan kepada:a) Pemilik tanah atas bidang tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya (sempadan)b) Anggota anggota sekerabat dari si pemilik tanahc) Para warga desad) Jika ketiga pihak tidak menggunakan hak tersebut maka kesempatan membeli itu diberikan oleh pihak asing.3) Jika terjadi pembukaan tanah secara besar besaran, kadang kadang hak wenang beli itu diberikan juga kepada orang orang yang ikut bekerja.

BAB IIIPENUTUP

Hak ulayat adalah hak yang utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Pengertian lain tentang hak ulayat juga dijelaskan dalam Pasal 1 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan atau pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku) dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan). Hak ulayat dapat berlaku apabila terjadi hal-hal seperti berikut, pertama yaitu apabila adanya pernyataan dari pemimpin lingkungan tersebut sebagai pendukung hak ulayat.kedua, apabila ada usaha dari anggota. Ketiga, apabila anggota ulayat ditarik biaya jika ingin mengusahakan tanah tersebut.Hubungan antara hak ulayat dengan UUPA atau UU no. 5 Tahun 1960 dapat dilihat pada pasal 3, berdasarkan pasal tersebut hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya; eksistensinya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang. Dengan demikian pada dasarnya pemerintah mengakui hak tanah adat dengan adanya peraturan, namun hal tersebut dibatasai dengan ketentuan tertentu seperti tersebut diatas.

DAFTAR PUSTAKAB. Ter Haar. 2011. Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat. Bandung: Mandar Maju.Santoso, Urip. 2013. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana.Sudiyat, Iman. 1978. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: LibertyAdiwilaga , Roestamdi, Tt, Hukum Agraris Indonesia dalam Teori dan Praktek, Tp.Harsono, Boedi. 1994. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan Kallo, Syafruddin. 2006. Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Di Indonesia: Suatu Pemikiran, Universitas Sumatera Utara, MedanMaria S.W. Soemardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, JakartaHardjasoemantri, Koesnadi. 2000. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta