tugas pengantar ilmu hukum indonesia group hukum adat dan kebiaaan

Upload: asra-saputra-hafiz

Post on 31-Oct-2015

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS PENGANTAR ILMU HUKUM INDONESIAMAKALAH MENGENAI HUKUM ADAT DAN KEBIASAAN

DISUSUN OLEH:ADITYA ANANDAANDRE JAMOT SIMBOLONALFIAN SYAHRI120200295ARIF R SARAGIHASRASAPUTRA120200281HADI PRABOWO HENDRIK SIMBOLONJUANDA ARIZAL120200048MICHAEL STEFANUS SIMBOLON120200551MORANDO SIMBOLON120200308PUTRA RIZKI AKBAR120200543RIDHO WIRANTO120200550RICKI BERMANA PURBA120200297RICKY ADRYAN SIAHAAN120200307RYAN ALAMSYAH120200535

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA2012/2013

BAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANG MASALAH

Rumusan masalah

1.Bagaimana asal mula dan sejarah hukum adat di indonesia dan jelaskan pengertian Hukum adat!2. Penjelasan mengenai perbedaan hukum adat dan hukum kebiasaan3.Bagaimana eksistensi hukum adat di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal Mula Hukum Adat

Istilah hukum adat berasal dari terjemahan dari perkataan adatrecht yang pertama kali diperkenalkan oleh Prof.Dr.C.Snouck Hurgronje seorang ahli pengetahuan islam dalam bukunya De Atjehers (orang-orang Aceh) pada tahun 1893. Bahwa hukum adat sebagai adats die recht gevolgenhebben artinya adat yang mempunyai sanksi hukum.Berlainan dengan Prof. Cornelius van Vollenven yang dikenal sebagai penemu hukum adat dan penulis buku Het Adatrecht van Nederlands Indie.[footnoteRef:2] Dengan adanya istilah ini, maka pemerintahan colonial hindia belanda pada akhir tahun 1929 memulai secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.Istilah hukum adat sebenarnya tidak terkenal dalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal adat atau kebiasaan. Adat rech yang diterjemahkan menjadi hukum adat dapatkah dialihkan menjadi hukum kebiasaan. Van dijk tidak menyetujui hukum kebiasaan sebagai terjemahan adat recht dengan menggantikan hukum adat. tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturam itu berasal. Maka hamper senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya [2: Masriani, Yulies Tiena. S.H., M.Hum, 2009,Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika hal.125]

B. Pengertian hukum adat

1. Menurut yulies Tiena Masriani, S.H., M.Hum. Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi dari pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan dengan kata lain, Hukum Adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.Istilah hukum adat berasal dari terjemahan dari perkataan adatrecht yang pertama kali diperkenalkan oleh Prof.Dr.C.Snouck Hurgronje seorang ahli pengetahuan islam dalam bukunya De Atjehers pada tahun 1893. Bahwa hukum adat sebagai adats die recht gevolgenhebben artinya adat yang mempunyai sanksi hukum. Berlainan dengan Prof.Cornelius van Vollenven yang dikenal sebagai penemu hukum adat dan penulis buku Het Adatrecht van Nederlands Indie.[footnoteRef:3]Berlakunya suatu peraturan hukum adat,tampak dalam penetapan (putusan-putusan) petugas hukum, misalnya putusan kepala adat, putusan Hakim perdamaian desa, dan sebagainya sesuai dengan lapangan kompetensinya masing-masing. Di dalam pengambilan keputusan para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai universal yang di pakai oleh para tetua adat, yaitu: [3: Masriani, Yulies Tiena. S.H., M.Hum, 2009,Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.Hal.131]

a. Asas gotong royong.b. Fungsi social manusia dan milik dalam masyarakatc. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah)d. Asas perwakilan dan permusyawaratan.

2. Menurut Ilhami Bisri, S.H., M.Pd.Hukum adat adalah system aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasaladat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati dan ditaati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa Indonesia. Berlakunya hukum adat di Indonesia diakui secara implisit oleh Undang-Undang Dasar 1945 melalui penjelasan umum, yang menjelaskan bahwa: Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yangtertulis, sedangkan disampingnya Undang-Undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.[footnoteRef:4]Sesuai dengan sifat dan ciri utama hukum adat yang tidak tertulis dalam arti tidak diundangkan dalam bentuk perundang-undangan, hukum adat tumbuh dan berkembang serta berurat akar pada kebudayaan tradisional sebagai perasaan hukum rakyat yang nyata (soerya, 1992:52) di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. [4: Bisri, Ilhami. S.H., M.Pd, 2010, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada]

3. Pendapat Para AhliMenurut definisi souck hurgronye, hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi. Menurut Van vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi orang-orang Bumi putera dan timur asing yang mempunyai pemaksa/sanksi dan tidak dikodifikasikan.Sedangkan menurut Prof soepomo, hukum adat sinonim dengan hukum tak tertulis atau hukum yang tidak dibentuk oleh badan legislative (unstatutarylaw).

C. Sejarah Hukum Adat di IndonesiaPra Kemerdekaan

1. Zaman kerajaan Hindu.Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman Malaiopolynesia, yaitu : Suatu zaman dimana nenekmoyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina). Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain :

a. Sriwijaya Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)Pusat pemerintahan : hukum agama BudhaPedalaman : hukum adat Malaio Polynesiab. Medang (Mataram)Masa raja Dharmawangsa dikeluarkan suatu UU Iwacasana Jawa Kuno Purwadhigama. Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah dibuat beberapaprasasti antara lain :1. Prasasti Bulai (860 M)2. Prasasti Kurunan (885 M)3. Prasasti Guntur (907 M)Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh Airlangga yang membagi wilayah kerajaan atas Kerajaan Jonggala dan Kerajaan Kediri (Panjalu).

Zaman raja-raja Airlangga, usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :1. Adanya meterai raja yang bergambar kepala garuda.2. Macam-macam pajak dan penghasilan yang harus dibayar kepada rajaZaman raja Jayabaya usaha-usaha yangdilakukan terhadap hukum adat:1) Adanya balai pertemuan umum.2) Bidang kehakiman, tidak dikenal hukuman siksa badan, kecuali kejahatan perampokan dan pencurian.3) Hukuman yang berlaku kebanyakan hukuman denda.

c. Zaman Singosari (Tumapel) didirikan oleh Ken Arok (Rajasa)Raja yang terkenal Prabu Kertaqnegara yang menghina utusan Cina (Men Gici). Usaha yang dilakukan terhadap hukum adat : Mendirikan prasasti Sarwadharma yang melukiskan tentang adanya Tanah Punpunan, yaitu : tanah yang disediakan untuk membiayai bangunan suci yang statusnya dilepaskan dari kekuasaan Thanibala atau kekuasaan sipil (masyarakat) dengan ganti rugi.d. Zaman Majapahit didirikan oleh Jayakatong (Jayakatwang)Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), Jayakatwang berhasil dibunuh. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada. Usaha yang dilakukan :1. Membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal perkawinan, peralihan kekuasaan,ketentaraan negara.2. Keputusan pengadilan pada masa itu disebut :Jayasong (Jayapatra).3. Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : Kitab Hukum Gajah MadaKesimpulan :Secara zaman ini di mana kerajaan-kerajaan yang ada dipengaruhi oleh agama Hindu dan sebagian kecil agama Budha. Hal ini terlihat adanya pembagian-pembagian kasta dalam bidangpemerintahan dan peradilan.Zaman ini berakhir dengan wafatnya Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk dengan raja terakhir Kertabumi (1478). Sejak saat itukekuasaan di Jawa diambil alih oleh Kerajaan Demak.Sebab-sebab runtuhnya kerajaan Majapahit :a. Perpecahan diantara pemimpinnya.b. Perang saudara dan perebutan kekuasaan.

2. Zaman Kerajaan Islam

a. Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap tempat pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai imam dan bergelar Teuku/Tengku.b. Minangkabau dan BatakHukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari, sedang hukum Islam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal ini terlihat dalam bidang perkawinan.Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur dan patut,hukum agama/syara bersendi kitab Allah.Di Batak yang terdiri dari berbagai suku seperti: Toba, Karo, Dairi, Simalungun, Angkola.Masing-masing suku tetap pada hukum adat, karena menghormati Sisingamangaraja, tetapi berkat Ompu Nommensen, agam Kristen juga ikut berpengaruh(jalan damai). Secara umum, agama Islam dan Kristen di Batak hanya dalam hal kerohanian saja, tetapi tetap dalam struktur kemasyarakatan hukum adat tetap dipakai. Kedudukan pejabat agama hanya sebagai penyerta saja dalam pemerintahan desa, mengurus dan menyelenggarakan acara agama, misalnya : perkawinan, perceraian dan sebagainya.c. Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)Masuknya agama Islam berasal dari :1. Barat : Pedagang/mubaligh dari Aceh dan Minangkabau2. Utara : Pedagang/mubaligh dari Aceh, Malaka danCina3. Selatan : Pedagang/mubaligh dari Cirebon dan Banten.

Perkembangan terhadap hukum adat pada masa Ratu Senuhun Seding, hukum adat dibukukan dalam bahasa Arab Melayu UU Simbur Cahaya. Didalamnya memuat istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam, seperti : Khatib Bilal.Berdasarkan Tambo Minang : Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Minangkabau pernah mengusahakan tambang emas di daerha Rejang Lebong (Bengkulu). Masuknya para mubaligh yang berasal dari Minangkabau membawa pula pengaruh terhadap hukum adat dengan gari matrilineal daerah Semendo. (jadi menempatkan kedudukan wanita sebagai penguasa harta kekayaan dari kerabatnya).Di daerah Semendo dengan dianutnya garis keturunan matrilineal, telah membawa pengaruh terhadap sistem kewarisan yang dipakai, yaitu Sistem kewarisan mayorat (Mayorat Erprecht), dimana anak wanita tertua sebagai tunggu tubang atas harta kerabat yang tidak terbagi. Sedangkan anak lelaki tertua disebut payung jurai yang bertugas harta pengurusan harta tersebut. Di samping itu juga berlaku adat kawin Semendo, dimana suami setelah kawin menetap di pihak istri.d. Lampung

Masuknya Islam disini pada masa Ratu Pugung dimana puterinya yang bernama SinarAlam melangsungkan perkawinan dengan Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam. Susunan kekerabatan yang dianut adalah garis keturunan laki- laki (patrilineal). Di mana laki-laki tertua (disebut pun yang dihargai) Kewarisan Mayorat. Ia berhak dan berkewajiban melanjutkan orang tua.

e. Jawa1) Jawa Timur : pelabuhan Gresik dan TubanPenduduknya : Kota pantai orang pendatang(Arab, Cina, Pakistan) dengan agama Islam. adanya makam Maulana Malik Ibrahim.Penduduk asli : agama Hindu.2) Jawa TengahBerdirinya kerajaan Demak dengan raja Raden Patah. Dimana Masjid menjadi pusat perjuangan dan pemerintahan pembantu raden Fatah yang terkenal adalah Raden Said/Sunan Kali Jogo. Pada masa Pangeran Trenggana dengan bantuan Fatahillah berhasil menduduki Cirebon dan Banten.3) Jawa Barat kerajaan Pajajaran didirikan Ratu puranaPelabuhan laut :a) Bantenb) Kalapa (Sunda Kelapa)Tahun 1552 Fatahillah memimpin Armada Demak dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa Jayakarta.

f. BaliPengaruh Islam sangat kecil, masyarakat masih tetap mempertahankan adat istiadat dari agama Hindu. Menurut I Gusti Ketut Sutha, SH bahwa hubungan antara adat/hukum adat dengan agama(khususnya agama Hindu) di Bali merupakan pengecualian. Hal ini diperkuat oleh penegasan Pemda Bali yang menyatakan :Bahwa pengertian adat di Bali dengan desa dan krama adatnya adalah berbeda dengan pengertian adat secara umum. Artinya : pelaksanaan agama dengan segala aspeknya terwujud dalam Panca Yodnya yang merupakan wadah konkrit dan tatwa (Filsafah) dan susila (etika) agama, karena seluruh kehidupan masyarakat Bali terjalin erat berdasarkan atas keagamaan.Contoh : dalam hal pembagian warisan erat hubungannya dengan pengabenan atau upacara pembakaran mayat yang hakekatnya adalah pengaruh agama Hindu, juga ada bagian tertentu dari jumlah warisan yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan.

g. KalimantanAgama Islam hanya berhasil mempengaruhi masyarakat di daerah pantai. Sedangkan masyarakat daerah pedalaman masih berdasarkan kepercayaan dari zaman Malaio Polynesia kepercayaan kaharingan.

h. SulawesiDimulai berdirinya kerajaan Goa oleh Datuk Ri Bandang. Pengaruh Islam hanya sebagai pengisi rohani, tidak merubah/mendesak adat masyarakat.

3. Zaman VOC (1596 1608 / 1600 1800)

Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai dagang Belanda.Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia). Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-batas.Sebelah barat sungai Cisadane dan Sebelah timur sungai Citarum. Kedudukan VOC pada waktu ituSebagai pengusaha perniagaan dan Sebagai penguasapemerintahan.Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General (Perwakilan Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten (Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk hukum sendiri. Adapun hukum yang diteapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari unsur-unsur :a. Hukum Romawib. Asas-asas hukum Belanda Kunoc. Statuta BetawiStatuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakat-palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan. Menurut Van Vollenhoven : Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut disebutnya Cara mempersatukan hukum yang sederhana Dalam praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut tidak dapat dijalankan, sebab :a. Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia.b. Ada hukum yang berlaku di luar pusatpemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta. Menurut Utrecht : Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat. kecuali untuk daerah Betawi/Jakarta. Sebab-sebabnya adalah:a. kesulitan sarana transportasi waktu itu.b. kurangnya alat pemerintah.Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708 yaitu sebagian Priangan (barat,tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya dalam perkara perdata dan pidana menurut hukum adat. Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan,diantaranya :a. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer Memuat tentang peraturan hukum Islammengenai waris, nikah dan talak.b. Pepakem Cirebon.Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang bernama pepakem Cirebon yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain- lain.Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaranseorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat :a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelapb. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yangkotorc. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaand. Sari : bunga yang harum baunya

Penilaian VOC terhadap hukum adat :a. Hukum adat identik dengan hukum agamab. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.c. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)d. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.

4. Zaman Belanda

a. Kedudukan Hukum Adat Zaman Daendels Hukum adat pada zaman Daendels, tidak diperhatikan dan tidak ada peraturan-peraturan yang lahir. Daendels berpendapat bahwa hukum adat di Jaea terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi hukum adat keseluruhan menurut Daendels terdiri atas hukum Islam. Menurut Daendels derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat. Meskipun demikian Daendels mempunyai pengertian tentang desa sebagai persekutuan. Selain itu Daendels juga mengenal sistem panjer.

b. Kedudukan Hukum Adat zaman RafflesRaffles beranggapan bahwa hukum adat sama dengan hukum islam. Hukum adat menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa. Hukum adat dianggap hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika diberlakukan atas orang Eropa. Politik Hukum Kolonial Pada tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan kodifikasi terhadap semua aturan perundangan terutama hukum perdata dan hukum dagang. Dengan adanya kodifikasi hukum, di Belanda timbul juga pemikiran untuk diberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda. hal ini sesuai dengan asas konkordansi.Saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan bumiputera yang selama ini hukum adat belum pernah mendapat perhatian. Tugas ini diserahkan kepada Mr. Hageman, tetapi tugas ini gagal, karena pemerintahan Belanda tidak mengetahui keadaan hukum di Hindia Belanda. Tugas tersebut diganti oleh scholten, lalu diganti lagi oleh Mr. H.L. Wichers. Tugas utamanya adalah mengadakan unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini ditentang oleh Van der Vinne yang mengatakan :Suatu kejanggalan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat mereka.Pada tahun 1848, hasil unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum perdata dan hukum dagang di Belanda telah selesai. Dan ini merupakan hasil kerja dari :1. A.B. ( Algemene Bepalingen van Wetgering ) mengenai ketentuan umum perundang-undangandi Hindia Belanda.2. B.W. ( Burgelijk Wetbock ) mengenai hukum perdata.3. Wetbock van Krophandel (WUK) mengenai hukum dagang.4. R.O. (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) mengenai peraturan susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan.

Saat itu yang dikodifikasi hanya hukumperdata berat dan hukum dagang. Sedangkan untuk hukum adat belum diperhatikan.Mengenai hukum adat timbul pemikiran untuk melakukan unifikasi sesuai kepentingan ekonomi dan kepentingan keamanan dari pemerintah Belanda, tetapi termasuk kepentingan bangsa Indonesia. Tahun 1904 pemerintah Belanda (kabinet Kuyper) mengusulkan suatu rencana Undang-Undang untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan mengharapkan agar Bumiputera tunduk hukum Eropa, karena hukum adat tidak mungkin diunifikasi dan dikodifikasi, selama ini usaha itu gagal. Kegagalan ini mengakibatkan hukum adat semakinmterdesak dan ada pemikiran untuk menghilangkan hukum adat.Kegagalan untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa, karena dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa yang disesuaikan dengan orang-orang Eropa, sedangkan bangsa Eropa hanya sebagian kecil saja, tidak mungkin bangsa Indonesia dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat. Tahun 1927 pemerintah Belanda mulai menolak untuk mengadakan unifikasi hukum adat, mulai melaksanakan konsepsi Van Vollenhoven yang isisnya menganjurkan diadakan pencatatan yang sistematis dari hukum adat yang didahului dengan penelitian.Tujuannya adalah untuk memajukan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili menurut hukum adat. Konsepsi van Vollenhovendidukung oleh :a) Pengalaman yang pahit bertahun-tahun lamanya,bahwa memaksakan hukum barat dari atas selalu gagal.b) Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya hukum adat dalam lingkungan bangsa Indonesia

Politik hukum semenjak tahun 1927 adalah konsepsi Van Vollenhoven mengenai hukum adat.Sebelum menggunakan konsepsi Van Vollenhoven digunakan pasal II AB sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat. Awalnya hukum adat tidak dikenal, istilah yang dikenal adalah istilah Undang- Undang Keagamaan, Lembaga Rakyat dan kebiasaan.Dasar hukum yang berlaku pada saat itu adalah pasal II AB yang isinya :Bagi golongan pribumi, golongan Timur Asing berlaku peraturan-peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Kegagalan mengadakan unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum adat, dikarenakan keanekaragaman penduduk Indonesia, sehingga sulit diarahakan pada keseragaman hukum. Maka tahun 1906 DPR Belanda mempertahankan hukum adat dengan memberlakukan pasal 131 ayat 2 b IS yang berlaku 1 Januari 1926. Pasal 131 ayat 2 b isinya :Bagi golongan Bumiputera, Timur Asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.Dengan demikian dasar hukum berlakunya hukum adat masa Hindia Belanda adalah Pasal II AB ditujukan pada Hakim Indonesia dan Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi.Tahun 1927 1928 merupakan tahun titik balik, dimana hukum Indonesia asli akan ditentukan\kemudian setelah dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan hukum mereka dan untuk sementara dipakai hukum adat, karena belum bisa ditinggalkan. Sarjana Belanda yang banyak memperjuangkan hukum adat adalan Van Vollenhoven disebut juga Bapak Hukum Adat. Usaha yang dilakukan adalah :a. Menghilangkan kesalahpahaman hukum adat identik dengan hukum Islamb. Membela hukum adat terhadap usaha yang ingin menghilangkan hukum adat.c. Membagi wilayah Indonesia dalam 19 lingkup hukum adat.

Karya dari Van Vollenhoven tentang hukum adat adalah :1. Het Adatrech van Nederlandsc Indie (1901-1933), pengantar hukum adat Hindia Belanda.2. Een adat Wetboektje Voor Hele Indie (1910), buku adat untuk seluruh Indonesia.3. De Indonesienen Zinj Grond (1919), orang Indonesia dan tanahnya.4. De Ontdekring van Het Adatrecht (1829), penemuan hukum adat.5. Zaman Jepang

Masa itu berlaku hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada masa pemerintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum militer.Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan,hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.(dasar hukum adat masa Jepang).

6.Sesudah Kemerdekaan.

1. Masa UUD 1945 (17 Agustus 1945 27 Desember 1945) Secara tegas hukum adat tidak ditentukan satu pasal pun, tetapi termuat dalam :a) Pembukaan UUD 1945 alinea IV1. Pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dan dasar negara adalah Pancasila yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia.2. UUD merupakan hukum dasar yang tertulis, sedangkan hukum adat merupakan hukum dasar yang tidak tertulis.b) Pasal II Aturan PeralihanSegala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.

2. Konstitusi RIS (27 Desember 1949 17 Agustus 1950)Di dalam konstitusi RIS mengenai hukum adatantara lain :a. Pasal 144 (1) tentang hakim adat dan hakim agamab. Pasal 145 (2) tentang pengadilan adatc. Pasal 146 (1) tentang aturan hukum adat yang menjadi dasar hukuman

3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950 5 Juli 1959)Pasal 104 ayat 1 UUDS 1950 isinya Dimana istilah hukum adat digunakan dengan jelas untuk dapat dipergunakan sebagai dasar menjatuhkan hukuman oleh pengadilan di dalam keputusan- keputusannya.

4. UUD 1945 (berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959)a. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945b. TAP MPRS No. II/MPRS/19601) Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan Haluan Negara danberlandaskan hukum adat.2) Dalam usaha homogenitas di bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang hidupdalam masyarakat.3) Dalam penyempurnaan UU Hukum Perkawinan dan waris, supaya diperhatikanfaktor-faktor agama, adat, dll.c. UU No.5 tahun 1960 pasal 5d.UU No. 19/1964 jo UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Semua putusan Pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum : sifatnya terang/ visual.e. Pasal 27 ayat 1 :Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.f. Pasal 23 ayat 1 :Segala putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan baik yang berasal dari suatu peraturan atau sumber yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadilig. Keppress RI No. II/1074 (Repelita Kedua 1974/1975 1978/1979) Jadi dasar hukum adat sekarang adalah sebagai berikut:1) Dekrit Presiden 5 Juli 1959. (pasal peralihan UUD 1945)2) Pasal 24 UUD 19453) Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.4) UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

E.PERBEDAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM KEBIASAAN

Terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang terbentuk karena adanya perbuatan yang dilakukan secara berulang- ulang. Karena itu, disebut sebagai kebiasaan (gewoonte) dan dirasakan masyarakat sebagai suatu perbuatan yang sudah seharusnya dilakukan. Kebiasaan ini memiliki sifat mengikat didasarkan pandangan msyarakat yang merasakan kebiasaan yang bersangkutan sebagai kewajiban yang harus ditaati karena telah dikukuhkan oleh pemimpin masyarakat, atau di dalam masyarakat modern karena adanya pendapat umum, yurisprudensi dan doktrin. Adapun unsur dari hukum kebiasaan itu sendiri adalah: pertama, adanya keyakianan masyrakat tentang suatu perbuatan yang dianggap sebagai keharusan sehingga harus dilaksanakan. Kedua, adanya pengakuan atau keyakinan bahwa kebiasaan tersebut bersifat mengikat. Dan ketiga, adanya pengukuhan berupa pengakuan dan atau penguatan dari keputusan yang berwibawa. Sedangkan hukum adat adalah hukum yang merupakan bagian dari adat- istiadat, memiliki asas- asas yang berasal dari budayadan keyakianan masyarakatsebagai norma tidak tertulis yang dibuat dan atau dipertahankan oleh fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa)bersifat mengikat serta mengandung sanksi.Sebagai hukum sosial hukum adat memiliki sifat khusus, yaitu terbuka, sebuah sifat yang muncul karena adanya interaksi harmonis antara sistem- sistem hukum yang berlaku pada masyarakat indonesia, antara hukum tertulis dan tidak tertulisatau antara hukum adat dengan hukum islam serta hukum barat. Berdasarkan sifat ini tidak menutup kemungkinan bahwa hukum adat dapat menerima hukum tertulisatau sistem hukum lain ke dalam sistem hukumnya selama hukum dipandnag sesuai dengan keperibadian masyarakat.Hal tersebut mungkin saja disebabkan karena sifat hukum adat yang empat, yaitu: magis- religius, komunal, konkret dan kontan. Keempat sifat hukum adat ini adalah cukup bukti untuk menguatkan pernyataan yang menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang terbuka.Terciptanya pranata- pranata modern telah menipiskan akar promordialitas masyarakat berkembang atau transsi dalam setiap hubungan hukum, baik pada tingkat lokal maupun internasional. Pada sisi lain, pranata pranata tersebut sebagai sebuaah fenomena yang baru tercipta dalam masyarakat tradisional, pula memunculkan perpecahan kesadaran hukum dengan kompleksitas ide-ide, norma- norma dan nilai- nilai sosialnya. Asas modernitas, sebagai satu- satunya alasan dan tuduhan atas adanya intervensi kolonial, baik secara sadar maupun tidak, telah memunculkan reformulasi sistem hukum paada msyarakat timur- jika tidak sepakat bahwadunia atas timur dan barat- termasuk indonesia.Dalam sistem hukum, terjadi pergeseran hukum tidak tertulis oleh hukum tertulis, yang nota bene pertama kalinya diperkenalkan kolonial asing, dan akhirnya diterima sebagai sebuah sistem yang memiliki validitas lebih. Pergeseran itu terjadi secara langsung, sederhana dan cepat.Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan sebagai sistem hukum yang tebentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil atau patut dan telah mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif). Proses kepatuhan terhadap hukum adat, mula- mula muncul karena danya asumsi bahwa setiap manusia sejak lahir telah dliputi oleh norma- norma yang mengatur tingkah laku personal untuk setiap perbuatan hukum dan hubungan- hubungan hukum yang dialukannya dalam suatu tindakan harmonis. Dengan demikian masyarakat dan anggota- anggotanya menjalankan perintah- perintah normatif ini tanpa memandangnya sebagai atau berdasarkan atas- suatu paksaan melainkan karena nggapan bahwa perintah- perintah tersebut memang demikianlah seharusnya.Pandangan tersbut sesuai dengan falsafah masyarakat indonesia, yaitu falsafah serba berpasangan (participerend denken), beralam pikiran integral- harmonis dengan alam semesta dan mendambakan suasana selaras- serasi- seimbang dalam kehidupan bermasyarakat

EKSISTENSI HUKUM ADAT DI INDONESIA

Hukum Adat adalah suatu konsep yang sebenarnya baru dikonstruksi pada awal abad 20, bersamaan waktu dengan diambilnya arah kebijakan etis dalam tata pemerintahan Hindia Belanda. Istilah dan konsep hukum adat ini konon dicipta oleh Snouck-Hurgronje, untuk kemudian dipopulerkan oleh van Vollenhoven dan diimplementasi secara efektif oleh ter Haar pada tahun 1930an. Sebelum masa berpengaruhnya kaum etisi (yang mulai mencoba memahami dan memberikan apresiasi kepada prestasi kultural bangsa-bangsa pribumi di Nusantara) itu, tidaklah istilah dan konsep hukum adat itu dikenal dan diangkat dalam berbagai wacana. Sepanjang belahan akhir abad 19, yang diawali oleh kebijakan kolonial untuk mengembangkan tata hukum di negeri koloni ini secara disadari, istilah yang dipakai adalah de gebruiken, gewoonten and godsdienstige instellingen der inlanders (kelaziman, kebiasaan dan lembaga-lembaga keagamaan orang-orang priibumi).Adalah kebijakan kolonial yang paling awal untuk mengingkari eksistensi degebruiken, gewoonten en godsdienstige instellingen der inlanders itu sebagai hukum yang bisa difungsikan untuk mengintegrasi organisasi kehidupan yang berskala atau berfiormat antarlokal. Pengingkaran seperti itu lebih nyata lagi manakala pada waktu itu para pengambil kebijakan dan pemegang tampuk pemerintahan mengkonsepkan hukum sebagai lege alias hukum perundang-undangan yang mempunyai bentuk yang positif tertulis. Mengidentifikasi hukum sebagai hukum perundang-undangan, para pejabat pemerintahan telah tergerak untuk memberlakukan hukum tertulis (yang sebenarnya diperuntukkan golongan penduduk Eropa) juga untuk golongan penduduk lainnya, juga untuk yang pribumi, Kebijakan unifikasi hukum yang pada waktu itu disebut kebijakan eenheidsbeginsel ditinggalkan setelah terjadinya perdebatan yang berlangsung lebihdari satu dasawarsa lamanya. Akan tetapi, ditinggalkannya kebijakan seperti itu bukanlah karena alasan-alasan yang prinsipiil, melainkan karena tiadanya kecukupan dana untuk membangun sistem hukum kolonial yang berlaku untuk semua golongan penduduk itu. Kebijakan unifikasi atas dasar kebijakan hukum Eropa untuk semua golongan penduduk dihidupkan kembali pada awal abad 20, sejalan dengan upaya penguasa kolonial untuk membangun sistem bisnis (agribisnis di Jawa, pertambangan di luar Jawa, dan transportasi darat dan laut di seluruh negeri). Pada saat itu pulalah,bersamaan waktu pula dengan mulai maraknya perhatian dan respek kaum orientalis kepada kultur pribumi, bangkit perlawanan terhadap upaya menghidupkan kembali kebijakan eenheidsbeginsel.Semuapun tahu bahwa perlawanan utama pada tahun-tahun itu dilakukan oleh van Vollenhoven dan para penyokong gagasan politik etik dan para akademisi yang berkhidmat di Universitas Leiden. Sebenarnya van Vollenhoven itu seorang legis juga, yang percaya bahwa hukum perundang-undangan itu akan lebih fungsional untuk menata kehidupan suatu negeri yang akan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip negara modern. Menjelang terealisasinya kebijakan desentralisasi yang secara bertahap hendak menjadikan Tanah Hindia suatu negeri dengan badan pemerintahan yang berkewenangan mengurus kepentingan dan anggaran belanjanya sendiri (een zelfbestuur), modernisasi sistem hukum menuruti model Eropa memang diperlukan. Walaupun demikian, sesungguhnya yang ditentang oleh van Vollenhoven bukanlah niat untuk memodernisasi dan memformalisasi tatanan hukum di Tanah Hindia ini itu sendiri. Yang ditentang olehnya adalah niat pemerintah kolonial untuk menjadikan substansi hukum Barat sebagai materi hukum perundang-undangan yang akan diberlakukan di dan untuk suatu negeri yang mayoritas penduduknya telah mempunyai hukumnya sendiri.Dasawarsa 1920an melihat perkembangan yang mengesankan mengenai kian menguatnya posisi hukum adat dalam kebijakan hukum kolonial. Pada dasawarsa itu jumlah orang pribumi yang berketerpelajaran Barat telah cukup bertambah, sebagian bahkan memperoleh pendidikannya di Negeri Belanda. Gerakan sosial-politik mereka yang berketerpelajaran Barat ini telah kian nyata dari hari ke hari. Kesadaran mereka yang nasionalistik, berimbuhan kesadaran untuk kembali ke kebudayaan sendiri, amat mendasari gerakan-gerakan mereka itu. Sumpah Pemuda tahun 1928, yang juga mengikrarkan untuk menjadikan hukum adat sebagai asas-asas hukum Indonesia dimasa mendatang, adalah salah satu indikator yang nyata dari gerakan modernisasi dikalangan kaum terpelajar pribumi, namun dengan tetap mempertahankan warisan kultural.dari bumi sendiri yang asali sebagai substansi utamanya. Berseiring dengan menguatnya gerakan sosial-politik yang nasionalistik itu, kebijakan eenheidsbeginsel yang hendak menekankan keutamaan hukum Barat mulai ditinggalkan pemerintah. Namun ini tidak berarti bahwa kebijakan eenheidsbeginsel itu sendiri hendak ditinggalkan sepenuhnya oleh pemerintah. Kesatuan hukum tetap diusahakan, kalaupun kini strateginya tidak lagi tertengarai sebagai upaya untuk mentransplantasikan hukum Barat ke raanah yurisdiksi pribumi. Unifikasi dilakukan dengan strategi kerja merencanakan pembentukan undang-undang mengenai objek-objek yang sama-sama belum (banyak) diatur, baik oleh hukum yang selama ini berlaku untuk golongan penduduk Eropa maupun oleh hukum adat. Inilah model strategi pembangunan hukum colonial yang disebut (oleh John Ball) enlightened dualism. Dualisme macam ini adalah dualisme yang memang akanditeruskan, akan tetapi dengan tetap memperhatikan kemungkinan unifikasi di masamasamendatang, yang bagaimanapun juga akan dan harus dikerjakan secara berhatihati. Penghati-hatian dikerjakan dengan mencoba menseleksi objek-objek yang dinilai netral -- atau yang sudah bisa dinetralisasi -- untuk bisa segera diundangkan.Dari sisi pandangan para pembela hukum adat, bagaimanapun juga enlightened dualism itu berhakikat sebagai dualisme, yang membenarkan pembedaan hukum antar-golongan atas dasar perbedaan kebutuhan hukumnya.Maka, ada tak ada enlightened dualism yang menyimpan niat unifikasi sebagai suatu agenda tersembunyi, eksponen hukum adat yang pada dasawarasa 1930an sudah bukan lagi van Vollenhoven melainkan ter Haar yang berperan mencoba memperteguh posisi hukum adat di dalam tata hukum kolonial. Berbeda dengan van Vollenhoven yang hendak memposisikan hukum adat ke dalam tata hukum kolonial lewat proses legislasi, ter Haar melakukan kerja itu lewat proses yudisial. Apabila van Vollenhoven menyarankan positivisasi hukum adat dengan cara membentuknya dalam bentuk hukum undang-undang, ter Haar mengambil jalan pintas dengan muridnya,, untuk mengkaji keputusan-keputusan para kepala adat dan menjadikannya sebagai rujukan apabila suatu perkara antara pihak-pihak yang pribumi, dan terbilang subjek hukum adat, harus diputusi.Perjuangan untuk mempertahankan hukum adat pada era kolonial ternyata menjadi kehilangan momentumnya, sejalan dengan tak lagi diakuinya secara yuridis penggolongan penduduk. Pada zaman pendudukan balatentara Jepang, penggolongan penduduk yang pada masa pemerintahan kolonial dijadikan dasar kebijakan dualisme,ditiadakan. Hapusnya penggolongan penduduk menjadikan soal dualisme, yang di satu sisi dapat dijadikan tembok pertahanan hukum adat dari tekanan hukum Eropa,telah menjadikan hukum adat menjadi terdedah dari kemungkinan didesak ke pinggir oleh politik hukum yang hendak meminggirkan peran hukum adat yang milikrakyat dan hanya berlaku dalam ruang lingkup yang lokal-etnik saja itu. Sementara itu, pada era pasca kolonial ini, tiba-tiba saja para yuris nasionalis tak lagi mengambil sikap defensif, dalam arti meneguhkan eksistensi hukum adat sebagai simbol resistensi mereka terhadap masuknya hukum asing. Alih-alih demikian, setelah menjadi penguasa-penguasa baru, secara ofensif mereka bergerak untuk lebih meneguhkan eksistensi hukum nasional yang mereka pandang akan dapat lebih berfungsi guna membangun suatu negara baru yang merdeka, mengatasi keterpilah-pilahan etnik. Nasionalisme, dan sentralisme yang dihidupkan kembali selama masa pendudukan balatentara Jepang, telah memperlemah posisi hukum adat dalam percaturan hukum nasional.Sementara itu pula, aturan peralihan UUD 1945 yang menasionalisasi dan yang dengan demikian juga meneruskan berlakunya seluruh hukum perundangundangan kolonial yang bersemangatkan unifikasi telah pula menjadikan hukum adat yang lebih bersemangatkan pluralisasi itu tak banyak tertengok. Sebagaimana telah diketahui, di bawah pengelolaan ter Haar, sepanjang babakan akhir pemerintahan kolonial, positivisasi hukum adat tidak berlangsung lewat proses legislasi sebagaimana dipikirkan oleh van Vollenhoven melainkan lewat prosesproses yudisial. Berkenyataan seperti itu, hukum adat hanya terdokumentasi dalam naskah-naskah yurisprudensi, sedangkan semuapun tahu bahwa di negeri-negeri yang menganut tradisi civil system Perancis, seperti antara lain Indonesia ini, bahan-bahan hukum yang eksis sebagai yurisprudensi tidaklah pernah ditengok sebagai sumber hukum formal yang utama.Eksistensi dan fungsi hukum adat menjadi kian minimal.lagi tatkala perjuangan untuk pembangunan hukum nasional diidentikkan dengan upaya untuk menciptakan hukum revolusi (pada era Presiden Soekarno) dan kemudian (pada era Presiden Soeharto) untuk membangun hukum yang berfungsi sebagai alat untuk merekayasa masyarakat. Karena hukum revolusi dan hukum yang difungsikan as a tool of social engineering ini dalam konsepnya, secara implisit, merupakan hukum baru yang anti-kolonial dan anti-tradisi, dapatlah dimengerti kalau hukum adat tidak akan terkualifikasi ke dalam kategori hukum yang dikonsepkan sebagai hukum revolusi atau hukum perekayasa sosial itu.Ditinggalkannya ide untuk menjadikan hukum adat -- atau setidak-tidaknya segala asasnya sebagai materi utama hukum nasional, sebagaimana yang sebenarnya pernah diucapkan sebagai bagian dari ikrar dalam acara Sumpah Pemuda 1928, telah membuka ruang peluang kepada hukum Barat dan hukum syariah untuk mengedepan sebagai alternatif yang dapat dinasionalisasi sebagai hukum nasional.Karena hukum adat masih kental bernuansa hukum rakyat yang etnik-lokal, maka upaya mengangkatnya melintasi perbatasan sosial-kultural etnisitas terasa lebih banyak sulitnya daripada mudahnya. Tak ayal lagi, kalaupun hukum adat masih eksis sebagai hukum rakyat, batas yurisdiksi berlakunya tak lebih daripada hukum yang informal, yang oleh sebab itu ditegakkan atas dasar kekuatan masyarakat dan ekstensitas serta intensitas kesetiaan para partisipan kulturalnya saja.Akhir-akhir ini tuntutan-tuntutan untuk memperhatikan hukum adat mulai mengedepan lagi, tidak untuk secara total diakui sebagai atau sebagai bagian dari hukum nasional, akan tetapi untuk secara khusus diperankan dalam berbagai persoalan yang bersangkutan dengan ihwal penyelesaian kasus-kasus pertanahan.Tatkala hukum adat sudah tak lagi memperoleh peran dalam percaturan hukum di Indonesia, hak-hak rakyat atas tanah -- yang semula cukup terlindung atas dasar hukum adat, dan bahkan juga atas dasar hukum kolonial (seperti antara lain Agrarische Wet 1870) menjadi tersudut dalam suatu situasi yang rawan. Apabila tiadanya peran hukum adat dalam menyelesaikan persoalan keluarga atau waris tak terlalu merisaukan warga masyarakat hukum adat, tidak demikianlah kenyataannya apabila sudah menyangkut persoalan hak ulayat dan/atau hak milik tanah.Apabila hukum perundang-undang Republik Indonesia boleh dikatakan tidak terlalu bersemangat memasuki persoalan-persoalan hukum keluarga dan hukum waris,tidak demikianlah kenyataannya dalam persoalan pertanahan. Mungkin ada anggapan bahwa persoalan pertanahan adalah permasalahan yang lebih masuk ke dalam kategori netral, yang oleh sebab itu hukum agama tidak akan banyak menghalang kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengaturnya demi kepentingan pembangunan nasional. Maka dalam permasalahan pertanahan inilah kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat lokal yang hendak bertahan bersaranakan hukum adat akan berjumpa secara berhadapan. Manakala hukum agama tidak berbicara secara cukup berarti tentang masalah pertanahan dan sumberdaya agraria pada umumnya, tak pelak lagi, dalam perkara ini, rakyat tak akan mungkin lain daripada memperjuangkan kepentingannya atas dasar hukum adat (yang dalam urusan ini harus ditegakkan dan dikukuhkan kembali keberadaannya).Akan tetapi, pada era Republik pasca-kolonial ini eksistensi dan peran hukum adat dalam perkara pertanahan sudah tidak sekuat dahulu, ketika eksistensinya sampai batas tertentu masih memperoleh pengakuan justru oleh pemerintah kolonial. Apabila hukum perundang-undangan kolonial masih mengakui hak-hak individual orangorang pribumi (sekalipun baru berupa hak ipso/de facto yang disebut bezitsrecht), dan mengakui pula hak-hak kolektif desa dan masyarakat-masyarakat hukum adat lainnya, perundang-undangan Republik justru tidak demikian. Pasal 33 ayat 2 UUD-45 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara telah menjadi dasar pembenar konstitusional untuk memperkecil eksistensi dan kompetensi komunitas-komunitas lokal, dengan hukum adatnya, untuk menguasai bumi, air dan sumberdaya agraria lain yang berada di tempat.Implementasi ketentuan konstitusional sebagaimana yang terbaca dalam Undang-Undang no. 5 tahun 1960 (UUPA) pun seperti yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1 -- menegaskan dengan jelasnya kepenguasaan negara atas bumi dan air itu.Lebih lanjut, masih pada pasal 2 itu, ayatnya yang ke-2 menyatakan bahwa hak menguasai oleh negara itu itu harus diartikan sebagai pemberian wewenang kepada pejabat negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air . Kalaupun pasal 2 pada ayat berikutnya, yang nomor 3, menyatakan bahwa wewenang yang disebutkan pasal 2 ayat 2 itu harus digunakan untuk mencapai sebesar kemakmuran rakyat , namun semua itu haruslah dimengerti dalam arti kebangsaan, dan negara hukum Indonesia yang merdeka dan berdaulat .Pada hakikatnya, pasal 2 UUPA 1960 ini merupakan pernyataan mengenai telah dinasionalisasinya seluruh kekayaan agrarian yang semula berada di bawah yurisdiksi hukum adat. Pembenaran nasionalisasi ini selalu didasarkan pada hak kolektif suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kalaupun pasal 5 UUPA 1960 secara basa-basi menyatakan bahwa yang berlaku ialah hukum adat , namun dinyatakan juga di situ pembatasannya, ialah bahwa pengakuan akan berlakunya hukum adat itu dibatasi sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional .... Walhasil, di tengah situasi yang telah kian kapitalistik -- yang berkonsekuensi pada terjadinya proses desakralisasi atas objek-objek hukum macam apapun, juga atas tanah yang di tengah alam pembangunan telah dibilangkan ke dalam golongan objek netral yang boleh dipasarkan eksistensi hukum adat swecara social, dalam kenyataannya, lalu menjadi amat kurang signifikan.Berkenyataan seperti itu, terjadilah kelangkaan tanah dan sumberdaya agraria lainnya bagi sesiapapun yang mendudukkan diri sebagai subjek hukum adat. Kelangkaan seperti ini tentu saja tidak pertama-tama dalam artinya yang fisik, akan tetapi lebih bersebab dari tertutupnya akses oleh hukum ke arah kesempatan menguasai tanah/sumber agrarian. Tanah dan sumberdaya agrarian mungkin saja dalam wujudnya yang fisik masih limpah ruah, akan tetapi sungguh sulit diakses oleh mereka yang tidak mau dan/atau tidak mampu mendayagunakan hukum perundangundangan nasional.Kelangkaan yang bukan karena alasan kenyataan fisiknya (ipso facto) melainkan karena alasan hukum (ipso jure) seperti ini bukannya muhal akan bisa amat membahayakan persatuan nasional. Seperti yang pernah dinyatakan oleh seorang tokoh di Kalimantan Barat lama berselang, .. lebih enak jadi orang Dayak daripada jadi orang Indonesia, jadi orang Dayak bisa punya hutan, jadi orang Indonesia tidak bisa punya hutan. Adalah banyak harapan orang-orang daerah, bahwa realisasi desentralisasi dalam tata pemerintahan di negeri ini akan dapat membantu pemerkuatan kembali eksistensi hukum adat.Kalaupun hukum adat ini tidak sempat dibentuk dalam wujudnya sebagai hukum perundang-undangan nasional (yang akan dapat difungsikan sebagai sumber hukum yang formal), setidak-tidaknya dapatlah hukum adat ini bisa difungsikan sebagai sumber hukum yang materiil oleh sesiapapunyang tengah menangani masalah pertanahan di daerah.Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini.Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:1. Aceh2. Gayo dan Batak3. Nias dan sekitarnya4. Minangkabau5. Mentawai6. Sumatra Selatan7. Enggano8. Melayu9. Bangka dan Belitung10. Kalimantan (Dayak)11. Sangihe-Talaud12. Gorontalo13. Toraja14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)15. Maluku Utara16. Maluku Ambon17. Maluku Tenggara18. Papua19. Nusa Tenggara dan Timor20. Bali dan Lombok21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)22. Jawa Mataraman23. Jawa Barat (Sunda)

Daerah yang menggunakan hukum adat mempunyai dua hukum yaitu hukum adat dan hukum negara, kedua hukum berlaku dan berjalan di ranah kewenangannya masing-masing. Dibalik itu sesungguhnya terjadi persaingan dan tarik-menarik di antara keduanya yang memunculkan dualisme kepemerintahan desa, yaitu desa adat dan desa dinas (atau desa administratif). Hukum Adat mempunyai perbedaan di daerah satu dengan daerah yang lain, hal itu terjadi karena disebabkan oleh beberapa pengaruh, antara lain:1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya.Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.2. Kerajaan seperti: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.Di dalam hukum adat juga ada penegak hukum seperti layaknya Hakim yang menegakkan hukum nasional yang meliputi Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Ketetapan MPR, dan Peraturan Daerah serta menegakkan keadilan di masyarakat. Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera. Masyarakat adat di Indonesia sudah mendapat jaminan dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jamninan itu tercantum pada Pasal 18B untuk menjaga dan melestarikan adat istiadat yang ada. Hal itu menunjukkan bahwa Negara mendukung sepenuhnya perkembangan hukum adat.Hukum adat tumbuh dari suatu masyarakat adat yang sederhana dan berkembang berkat adat istiadat nenek moyang. Namun, untuk mengakui keberadaan suatu hukum adat, sebelumnya harus mendapatkan pengakuan eksistensi atau keberadaan masyarakat adat dari pemerintah. Padahal, dinyatakan dalam berbagai ketentuan hukum perundang-undangan nasional Republik Indonesia bahwa eksistensi masyarakat hukum adat di negeri ini hanya akan dapat diakui apabila ada 4 syarat yang telah dapat dipenuhi. Keempat syarat itu ialah kenyataan bahwa :(1) masyarakat hukum adat itu masih hidup,(2) sesuai dengan perkembangan masyarakat,(3) sesuai pula dengan prinsip negara kesatuan RI, dan(4) eksistensinya diatur dengan undang-undang.Keempat syarat yang dinyatakan ini merupakan tolok yuridis-normatif yang harus diperhatikan oleh pemerintah nasional apabila akan memberikan pengakuan kepada eksistensi masyarakat hukum adat. Nyata jelas pula di sini bahwa keempat syarat itu mengisyaratkan bahwa kepentingan negara, yang diidentifikasi pula sebagai kepentingan nasional sebagaimana yang harus dijaga oleh kekuasaan nasional yang sentral, tetaplah harus didahulukan. Tak diragukan lagi, bahwa pengakuan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan itu, baik ipso jure maupun ipso facto, akan gampang tertafsirkan sebagai pengakuan yang harus dimohon oleh para warga masyarakat hukum adat itu sendiri. Permohonan seperti itu akan berkonsekuensi pada ditimpakannya beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat hukum adat itu kepada warga masyarakat hukum adat itu sendiri. Sementara itu, kebijakan untuk mengakui atau tak mengakui dilakukan secara sepihak. Dengan kata lain eksistensi atau keberadaan hukum adat berada di tangan para pejabat nasional yang berposisi di pusat kekuasaan. Penggunaan Hukum adat sangat jarang kita lihat dan kita dengar. Kita dapat melihatnya di 23 lingkungan adat yang ada di Indonesia. Salah satunya Bali, dimana hukum adat lebih ditakuti dari pada hukum negara, penegak hukum adat lebih ditakuti daripada penegak hukum negara. Contohnya saat mengendarai kendaraan roda dua banyak ibu-ibu yang memakai sanggul saat upacara keagamaan dan tidak menggubris peraturan untuk memakai helm saat mengendarai sepeda motor. Lalu kita juga dapat melihat juga di Sulawesi yang masih melaksanakan hukum adat dan memegang teguh dengan kuat di beberapa wilayahnya. Juga masyarakat di Irian Jaya yang menyelesaikan sengketa atau peperangan menurut hukum adat. Selain itu, kita juga dapat melihat dalam pembagian hukum waris dimana yang bersangkutan memilih melakukan pembagian warisan menurut hukum adat saat terjadi sengketa. Namun sekarang, di era globalisasi hukum adat keberadaannya semakin tergeser oleh hukum yang mengacu pada hukum barat. Hal itu terbukti dengan jarangnya muncul suatu kasus yang diselesaikan menurut hukum adat, terutama di kota-kota besar. Mereka lebih memilih menggunakan dasar hukum perdata yang merupakan buatan bangsa barat, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sebaiknya kita tetap melestarikan hukum adat yang ada, karena hukum adat merupakan suatu hasil karya dari masyarakat dahulu, jaman nenek moyang kita, asli Indonesia. Kita dapat menggunakan hukum adat dalam suatu penyelesaian perkara atau sengketa. Dan seharusnya kita lebih jeli dalam memilih pejabat atau wakil rakyat agar tidak terjadi penyalahgunaanwewenang, sehingga Hukum adat Indonesia tetap eksis.

BAB IV

A. KESIMPULAN

Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini mendorong timbulnya kebiasaan pribadi , dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Indonesia memiliki kedinamikaan suku adat, yang pada prinsipnya hanya ada satu tujuan yakni membangun dan mempertahankan negara Republik Indonesia. Kedinamikaan suku merupakan kepribadian bangsa Indonesia, kepribadian ini adalah hukum adat yang ditransformkan menjadi hukum nasioanal dan dicantumkan dalam UUD 1945. Mempelajari hukum adat maka kita akan mudah memahami hukum Indonesia, karena hukum adat dibentuk menurut kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki sanksi dan diselaraskan dengan hukum nasional.Hukum di Indonesia salah satunya bersumber dari costum, dimana sumber tersebut mengikuti perkembangan zaman dan harus disesuaikan dengan azas azas hukum yang berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan ideologi bangsa. Suatu peraturan yang telah diundangkan harus disepakati dan dipatuhi bersama dengan tidak ada pengecualian.Terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang terbentuk karena adanya perbuatan yang dilakukan secara berulang- ulang. Karena itu, disebut sebagai kebiasaan (gewoonte) dan dirasakan masyarakat sebagai suatu perbuatan yang sudah seharusnya dilakukan. Kebiasaan ini memiliki sifat mengikat didasarkan pandangan msyarakat yang merasakan kebiasaan yang bersangkutan sebagai kewajiban yang harus ditaati karena telah dikukuhkan oleh pemimpin masyarakat, atau di dalam masyarakat modern karena adanya pendapat umum, yurisprudensi dan doktrin. . Sedangkan hukum adat adalah hukum yang merupakan bagian dari adat- istiadat, memiliki asas- asas yang berasal dari budayadan keyakianan masyarakatsebagai norma tidak tertulis yang dibuat dan atau dipertahankan oleh fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa)bersifat mengikat serta mengandung sanksi.

B. SARAN

Daftar Pustaka

Masriani, Yulies Tiena. S.H., M.Hum, 2009, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.Bisri, Ilhami. S.H., M.Pd, 2010, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.Kansil, C.S.T. 1993.Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.Soekanto, Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia.roedjakpetis.wordpress.com