hukum adat keluarga

38
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji dan Syukur kami panjatkan ke Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “HUKUM ADAT KEKELUARGAAN”. Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 1

Upload: shela-natasha

Post on 14-Dec-2015

83 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Hukum Adat Keluarga adalah sekumpulan aturan yang hidup dalam masyarakat beserta kaitannya dengan kehidupan keluarga dalam arti luas.

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Allah SWT, karena berkat limpahan

Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan

baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan

membahas mengenai “HUKUM ADAT KEKELUARGAAN”.

Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa

bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan

hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan

saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari

pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita

semua.

Medan, Februari 2014

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3

I. LATAR BELAKANG MASALAH..............................................................3II. PERMASALAHAN......................................................................................4

BAB II.....................................................................................................................5

I. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................5

II. PEMBAHASAN..............................................................................................6

A. PENGERTIAN KELUARGA DAN HUKUM ADAT KELUARGA..........61. KELUARGA...............................................................................................62. HUKUM ADAT KELUARGA....................................................................7

B. KEDUDUKAN PRIBADI SEBAGAI ANGGOTA KELUARGA..............9C. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA DAN KERABATNYA.12

1. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA........................................122. HUBUNGAN ANAK DENGAN KERABAT.............................................153. PEMELIHARAAN ANAK YATIM (PIATU)/PERWALIAN......................18

BAB III PENUTUP..............................................................................................23

I. KESIMPULAN...........................................................................................23II. SARAN.......................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 2

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan

seorang anak atau lebih. Keluarga yang terdiri dari individu-individu selanjutnya

akan berkembang menjadi kesatuan ketetanggaan yang akan membentuk suatu

masyarakat yang lebih kompleks lagi yaitu masyarakat adat lalu masyarakat adat

tersebut bersatu dan membentuk masyarakat desa dan terkumpul dalam suatu

ikatan masyarakat atau warga negara.

Keluarga yang terbentuk akan mengikatkan pertalian-pertalian darah yang

disebut keturunan dimana keturunan di keluarga yang satu dengan yang lain akan

berbeda. Keluarga yang telah menjadi bagian dalam masyarakat adat memiliki

beberapa aturan-aturan yang wajib dilaksanakan dan larangan-larangan yang

wajib dijauhi.

Ketidakpatuhan pada aturan-aturan yang telah ada dalam masyarakat adat

biasanya akan menimbulkan sanksi sosial. Sanksi yang timbul tidak selamanya

hanya berbentuk sanksi sosial namun juga bisa berupa denda. Hal itu tergantung

pada adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Hukum adat keluarga yang akan dibahas secara jelas dan rinci disini

membicarakan hal-hal yang tidak jauh dari kedudukan pribadi dalam masyarakat

atau kerabatnya, hubungan anak dengan orang tua dan kerabat, beserta hal-hal lain

mengenai keluarga pada umumnya.

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 3

II. PERMASALAHAN

1. Apakah yang dimaksud dengan keluarga dan hukum adat keluarga?

2. Bagaimana kedudukan pribadi sebagai anggota keluarga?

3. Bagaimana hubungan anak dengan orang tua dan kerabatnya?

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 4

BAB II

I. TINJAUAN PUSTAKA

Individu-individu yang termasuk ke dalam keluarga tersebut memiliki

berbagai hubungan-hubungan tertentu satu dengan yang lainnya. Hubungan-

hubungan tersebut banyak diatur oleh hukum adat dan dikenal sebagai hukum

adat keluarga atau kekeluargaan.

Terdapat beberapa orang yang telah mengemukakan tentang hukum adat

kekeluargaan, antara lain adalah sebagai berikut:

Ferri Lee (2012). Judul presentasi Hukum Adat Kekeluargaan

(Verwantschaps Recht). Di dalam presentasi ini dibahas tentang pengertian

hukum adat keluarga, kedudukan manusia, hubungan anak dengan orang tua

dan keluarganya, dan status anak dalam keluarga menurut adat.

Hilman Hadikusuma (2003). Judul buku Ilmu Pengantar Hukum Adat

Indonesia. Di dalam pengkajiannya tentang hukum adat keluarga, ia

menjelaskan tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai

anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian

anak.

Dalam tinjauan pustaka yang telah ada ini, dapat dilihat bahwa pada

intinya hukum adat kekeluargaan banyak membahas tentang kedudukan

pribadi seseorang terhadap kerabatnya, hubungan anak dan kerabat, status

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 5

anak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan lebih

dikonsentrasikan dalam hal-hal yang telah diuraikan di atas.

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 6

II. PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KELUARGA DAN HUKUM ADAT KELUARGA

1. KELUARGAIstilah keluarga mempunyai dua arti yaitu arti sempit dan arti luas, yaitu:

- Dalam arti sempit keluarga adalah gezin (bahasa Belanda) atau nuclear

family (bahasa Inggris) yaitu merupakan kesatuan kemasyarakatan

terkecil yang organisasinya didasarkan pada perkawinan dengan

anggota inti seorang laki-laki sebagai ayah dan seorang perempuan

sebagai ibu dan idealnya adalah ditambah anak-anak.

- Adapun keluarga dalam arti luas adalah kerabat (familie) yaitu

kesatuan kemasyarakatan dalam hukum adat yang anggotanya terdiri

atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu dan pihak beserta

keturunannya.

Untuk menghindari kesalahpahaman istilah maka dalam hukum adat

digunakan istilah kekerabatan/kesanaksaudaraan karena tidak hanya mengatur

hubungan hukum secara timbal balik antara suami dengan istri dan hubungan

hukum secara timbal balik antara orang tua dengan anak, tetapi juga mengatur

hubungan hukum antara anak dengan kerabat/saudara ayah dan saudara ibu.1

1 Wilbert D. Kolkman dkk., Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia, Pustaka Larasan, Bali, 2012, hlm. 163

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 7

Keluarga yang merupakan individu-individu yang terikat dalam satu

keturunan mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan

kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya boleh ikut

menggunakan nama keluarga, boleh ikut menggunakan dan berhak atas

bagian kekayaan keluarga, wajib saling memelihara dan saling membantu,

dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak

ketiga dan lain sebagainya.

Keturunan dalam keluarga dapat bersifat:

1. Lurus, apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang

lain, misalnya antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak,

disebut lurus ke bawah kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke

anak, sedangkan disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari

anak, bapak ke kakek.

2. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu

terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama

(saudara sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya.2

2. HUKUM ADAT KELUARGAIstilah lain hukum adat keluarga menurut beberapa ahli :

Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar, Bzn menyebutnya sebagai Hukum

Kesanak-Saudaraan;

2 Anonim, Hukum Adat Keluarga, http://pinkyredpurple.blogspot.com/2011/05/hukum-adat-keluarga.html, diakses tanggal 19 Februari 2014, jam 12.14 WIB

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 8

Djaren Saragih, S.H menyebutnya sebagai Hukum Keluarga; dan

Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H menyebutnya sebagai Hukum Adat

Kekerabatan.

Sederhananya, hukum adat keluarga/kekerabatan dapat didefinisikan

sebagai hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi

seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), hubungan anak dan orang

tua, kedudukan anak dan kerabat, dan masalah perwalian anak.3

3 Ferri Lee, Hukum Adat Kekeluargaan (Verwantschaps Recht), Batam, hlm. 3

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 9

B. KEDUDUKAN PRIBADI SEBAGAI ANGGOTA KELUARGA

Orang/pribadi atau disebut juga person dalam bahasa Inggris adalah segala

sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban hukum. Dengan kata lain

orang merupakan penanggung hak dan kewajiban hukum dalam hubungan

pamrih.

Manusia sebenarnya mendapatkan status orang, badan pribadi atau person

sejak manusia lahir. Oleh karena itu, sejak bayi manusia itu mempunyai

kewenangan berhak (kewenangan hukum/ berhak) tetapi belum mempunyai

kewenangan bertindak (kecakapan hukum/bertindak). Manusia yang masih

bayi dapat dikatakan status keorangannya belum purna atau lengkap.

Kepurnaan status orang secara normaliter akan datang setelah dia matang

jiwa dan raganya.

Menurut hukum adat, pada prinsipnya manusia menjadi anggota keluarga

dan masyarakat mendapatkan status badan pribadi atau orang sebagai subjek

hukum yaitu sejak saat ia lahir dan hidup di dunia. Dengan kata lain bahwa

pada asasnya kewenangan hukum seseorang (bevoegheid) diperoleh sejak

seseorang lahir di dunia dan hidup bersama yang satu dengan yang lainnya.

Adapun kecakapan hukum/kecakapan bertindak seseorang di dalam hukum

adat dicapai secara penuh ketika sesorang dewasa dengan ciri-ciri, yakni:

a. Kuat gawe (sudah mampu bekerja sendiri);

b. Cakap mengurus harta benda dan keperluannya sendiri; dan

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 10

c. Cakap melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan

serta mempertanggungjawabkannya.

Dengan kata lain, hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara

orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dengan

orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum (bekwaam). Hal ini

karena kecakapan bertindak dalam hukum adat diperoleh secara berangsur-

angsur sesuai dengan perkembangan jiwa dan raga dan mencapai

kesempurnaan jika telah kawin serta berumah tangga dan memiliki keluarga

sendiri.4

Pada dasarnya, manusia dilahirkan ke dunia mempunyai nilai-nilai yang

sama seperti nilai hidup (nyawa), kemerdekaan, kesejahteraan, kehormatan,

dan kebendaan, tetapi kehidupan masyarakat, adat budaya serta pengaruh

agama yang dianut oleh manusia menyebabkan penilaian terhadap manusia

menjadi tidak sama.5 Contohnya: Di dalam kehidupan masyarakat di Bali

yang mayoritas beragama Hindu, ada pembedaan kasta/golongan/wangsa,

yaitu:

- Brahmana (Keturunan Pendeta);

- Ksatria (Keturunan Bangsawan);

- Wiesha (Keturunan Pengusaha/Pedagang); dan

- Sudra (Rakyat Jelata).6

4 Wilbert D. Kolkman dkk., Op. Cit ., hlm. 163-1645 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 2016 Ferri Lee, Op. Cit ., hlm. 4-5

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 11

Dengan demikian, adanya perbedaan pribadi seseorang dalam kehidupan

masyarakat, maka berbeda pula hak-hak dan kewajiban serta

kewenangannya dalam kemasyarakatan hukum adatnya. Setelah

kemerdekaan sudah banyak terjadi perubahan, tetapi jika masalahnya

menyangkut ajaran agama sesuai dengan apa yang telah diuraikan di

dalam kitab suci, maka masalahnya menjadi sensitif (peka), kecuali dalam

agama Islam yang tidak membedakan umatnya, selain berdasarkan

taqwanya.7

7 Hilman Hadikusuma, Op. Cit ., hlm. 202

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 12

C. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA DAN KERABATNYA

1. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA

Pada umumnya seorang anak lahir dari sepasang suami istri dalam suatu

ikatan perkawinan sehingga merupakan anak sah dan sekaligus sebagai anak

kandung namun ada juga kasus yang menyimpang yaitu ketika ada anak yang

lahir bukan sebagai anak sah tetapi sebagai anak tidak sah, anak tiri dan anak

angkat. Dapat dikatakan bahwa sejak lahir anak-anak tersebut mempunyai

hubungan hukum dengan orang tuanya.8

Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting di dalam setiap

masyarakat adat. Di samping oleh orang tuanya anak itu sebagai generasi

penerus, anak itu juga dipandang sebagai wadah (tempat tumpuan) dimana

semua harapan orang tuanya kelak, jikalau orang tuanya nanti sudah tidak

mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.9

a. Anak sah

Menurut hukum adat, anak sah adalah anak yang lahir di dalam

perkawinan yang sah, dalam arti bahwa ia mempunyai ibu wanita yang

melahirkan dan berayah pria yang merupakan suami ibunya (tanpa

tenggang waktu kelahiran anak tersebut)10. Dengan demikian

pengertian ini menjadi tidak bertentangan dengan apa yang diatur di

dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

8 Wilbert D. Kolkman dkk., Op. Cit ., hlm. 1669 Ferri Lee, Op. Cit ., hlm. 810 Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia (Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia), Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 270

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 13

Perkawinan yang di dalamnya tidak dengan jelas mengatur adanya

tengang waktu kelahiran anak. Hal ini berbeda dengan ketentuan di

dalam hukum Islam maupun Hukum Perdata Barat (BW) yang

keduanya sama-sama mengenal tenggang waktu kelahiran. Menurut

hukum Islam tenggang waktu kelahiran adalah 6 bulan setelah

menikah, sedangkan tenggang waktu kelahiran dalam KUHPerdata

adalah 180 hari setelah perkawinan. Ketentuan tenggang waktu

kelahiran baik menurut hukum Islam maupun KUHPerdata tersebut

memang rasional yaitu bahwa jika anak sudah 6 bulan dalam

kandungan maka jika lahir di dunia maka menurut ilmu kedokteran

organ tubuhnya sudah lengkap sehingga jika lahir prematur bisa hidup.

b. Anak tidak sah

Menurut hukum adat, apabila seorang istri melahirkan anak

sebagai akibat hubungan gelap dengan seorang laki-laki bukan

suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang dilahirkan tadi,

kecuali apabila suami berdasar alasan-alasan yang dapat diterima oleh

masyarakat hukum adat, menolaknya.

Di dalam hukum adat tidak ada aturan sebagaimana dikenal dalam

hukum Islam yang menetapkan waktu tidak lebih dari 6 bulan setelah

menikah, sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang

sah. Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 14

mempunyai ayah bekas suami wanita yang melahirkan tadi, apabila

kelahirannya terjadi dalam betas-batas waktu mengandung.

Terhadap anak di luar perkawinan, hukum adat di berbagai daerah

tidak mempunyai pandangan yang sama. Akan tetapi pada dasarnya,

hal itu tercela dan hukum adat mempunyai berbagai cara untuk

mengatasi itu. Pertama-tama pada lembaga kawin paksa (seperti di

Sumatera dan Bali) dimana laki-laki yang menyebabkan kehamilan si

wanita, dipaksa untuk mengawininya dan terhadapnya dapat dijatuhi

hukuman adat, apabila hal itu tidak dipatuhinya.11

Menurut hukum adat (juga hukum Islam dan UU No. 1 tahun

1974), bahwa setiap anak yang lahir mempunyai ibu, oleh karena itu

mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu/wanita yang

melahirkannya, baik ia dilahirkan di dalam perkawinan maupun di luar

perkawinan. Dengan demikian seorang anak dikatakan sebagai anak

tidak sah berarti ia tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan

laki-laki penyebab kelahirannya karena lahir di luar perkawinan.

Dengan kata lain bahwa ia adalah anak tidak sah bapaknya.12

11 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 3912 Wilbert D. Kolkman dkk., Loc. Cit

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 15

2. HUBUNGAN ANAK DENGAN KERABAT

Bentuk kekerabatan masyarakat saling terkait dengan hukum, sementara

hukum menentukan bentuk kekerabatan. Untuk menentukan bentuk

kekerabatan suatu masyarakat dapat dilihat dari bentuk apa hukum

perkawinan dan kewarisan dalam keluarga yang masyarakat tersebut

terapkan.13

Membicarakan tentang hubungan anak dengan keluarga(kerabat) pastilah

harus terlebih dahulu memahami apa saja sistem kekeluargaan atau keturunan

yang berlaku di Indonesia. Macam-macam sistem kekeluargaan dapat dilihat

di bawah ini:

1. Unilateral : Sistem kekeluargaan dimana masyarakatnya

hanya menarik satu garis keturunan. Ada 2 macam yaitu:

a. Patrilineal : Hubungan kekeluargaan ditarik dari garis

keturunan ayah saja.

Contoh : Masyarakat Tapanuli, Nias, Maluku Utara,

Maluku Selatan, Sumatera Utara.

Patrilineal terbagi menjadi:

- Patrilineal murni: Batak, Nias

- Patrilineal beralih-alih: Bali, Lampung, Bengkulu

13 Yaswirman. Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 177

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 16

b. Matrilineal : Hubungan kekeluargaan ditarik dari garis

keturunan ibu.

Contoh : Masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat).

2. Parental : Sistem kekeluargaan dimana masyarakatnya dapat

menarik garis keturunan baik dari garis ayah (laki-laki) maupun garis

ibu (perempuan).

Ciri-ciri parental:

Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan.

Kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan sama.

Tidak mengenal klan.

Dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Contoh: Masyarakat Jawa, Kalimantan. 14

14 Anonim, Hukum Adat Keluarga, http://pinkyredpurple.blogspot.com/2011/05/hukum-adat-keluarga.html, Loc. Cit

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 17

Hubungan anak dengan para kerabat berdasarkan sistem kekeluargaan

diatas dapat diuraikan sebagai berikut:

- Dalam masyarakat matrilineal

Pada tertib matrilineal, yang terpenting bagi anak adalah kelompok

wangsa ibunya. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa klan ayah

(yang melalui garis perempuan) tidak berarti bagi si anak. Golongan

kerabat ayah (bakobaki) akan mempunyai peran:

a. Mewakili berbagai upacara;

b. Membantu dalam keperluan hidup si anak;

c. Mendapat prioritas dalam hal memilihkan jodoh;

d. Dapat mengoper harta kekayaan suatu kerabat yang akan punah.

- Dalam masyarakat patrilineal

Dalam susunan kekerabatan yang bersifat patrilineal, ayah

memegang peranan terpenting bagi si anak. Namun demikian bukan

berarti bagian ibu tidak berarti bagi si anak15, karena pada dasarnya

hubungan seorang anak dan ibu tidak dapat dipisahkan satu dengan

yang lainnya.

15 Wilbert D. Kolkman dkk., Op. Cit ., hlm. 167

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 18

- Dalam masyarakat parental

Dalam masyarakat yang menganut garis keturunan ayah-ibu ini,

hubungan anak dengan keluarga dari pihak ayah ataupun dengan

keluarga dari pihak ibu adalah sama eratnya ataupun sama derajatnya.16

Hak waris, kewajiban memberikan nafkah dan semua hubungan

hukum berintensitas sama pada keduanya.

3. PEMELIHARAAN ANAK YATIM (PIATU)/PERWALIAN

- Timbulnya Perwalian dan Yang Berhak Tampil Sebagai Wali

Dalam hukum adat, perwalian dapat terjadi jika dalam suatu

keluarga, orang tuanya tinggal seorang atau bahkan keduanya tidak ada

(meninggal). Perwalian akan terjadi dengan sendirinya (otomatis),

artinya tidak melalui proses dengan mengajukan permohonan kepada

pengadilan melainkan:

a. Dalam wilayah yang bertata kewangsaan parental:

Jika salah satu tidak ada atau meninggal maka salah satu yang

masih hidup akan terus melanjutkan kekuasaan orang tua. Jika

kedua orang tua meninggal maka yang wajib mengurus dan

memelihara anak adalah kerabat-kerabat dari salah satu di antara

kedua kelompok kerabat yang berkepentingan/berkemampuan

terbaik.

16 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1983, hlm. 115

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 19

b. Dalam wilayah bertata kewangsaan khusus matrilineal dan

patrilineal:

Jika yang meninggal adalah salah satu orang tua maka:

1. Orang tua yang masih hidup dapat melanjutkan sendiri

“kekuasaan orang tua” di bawah naungan otoritas

kerabatnya.

2. Orang tua yang masih hidup menyerahkan anaknya ke

dalam lingkungan kekuasaan kerabatnya sendiri.

Jika kedua orang tua meninggal maka kekuasaan atas anak atau

anak-anak (pemeliharaan diri maupun harta bendanya) akan jatuh

ke tangan kepala-kepala atau pengetua-pengetua kerabat yang

sudah menguasai seluruh keluarga.

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 20

- Perbandingan Perwalian Menurut Ketentuan Hukum Adat Dengan UU

No. 1 Tahun 197417

Sistem Hukum Timbulnya Syarat Perwalian Kewajiban Wali

Adat karena kematian tanpa permohonan

ke pengadilan;

otomatis berada

dalam perwalian

kerabat

mengelola dan

mengatur harta

anak tanpa

keharusan

menginventarisir;

adanya sifat saling

percaya

UU No.1 Thn

1974

kematian dan

pencabutan keku

asaan orang tua

harus dengan per

mohonan ke penga

dilan

harus

menginventarisir

harta anak dan

mencatat keluar

masuknya harta

17 Wilbert D. Kolkman dkk., Op. Cit ., hlm. 168

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 21

- Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak adalah perbuatan mengambil anak orang lain

untuk dimasukkan ke dalam keluarga sendiri sehingga hubungan antara

orang yang mengambil anak dengan anak yang diambil timbul hubungan

hukum kekeluargaan yang sama seperti hubungan yang ada di antara orang

tua dengan anak kandungnya sendiri.

Maksud dan tujuan pengangkatan anak:

a. Dalam masyarakat patrilineal dan matrilineal dimaksudkan untuk

meneruskan garis keturunan (laki-laki atau perempuan).

b. Dalam masyarakat parental, pengangkatan anak dimaksudkan untuk

melengkapi jenis kelamin, teman hari tua, membantu usaha,

pancingan dan kemanusiaan (menolong anak terlantar).

Akibat hukum pengangkatan anak:

Dalam masyarakat patrilineal dan matrilineal pengangkatan anak

berakibat memutus hubungan hukum dengan orang tua kandung. Dengan

demikian ia tidak mewaris harta orang tua kandung, ia berstatus sebagai

ahli waris orang tua angkatnya.

Dalam masyarakat parental, pengangkatan anak berakibat tidak

memutus hubungan hukum dengan orang tua kandung. Dengan demikian

ia mewaris baik dari orang tua kandung maupun orang tua angkatnya.18

18 Ibid, hlm. 169-170

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 22

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 23

BAB III

PENUTUP

I. KESIMPULAN

1. Keluarga merupakan individu-individu yang terikat dalam satu keturunan

mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan

kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan.

Hukum adat keluarga hukum adat yang mengatur tentang bagaimana

kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga),

hubungan anak dan orang tua, kedudukan anak dan kerabat, dan masalah

perwalian anak.

2. Menurut hukum adat, pada prinsipnya manusia menjadi anggota keluarga

dan masyarakat mendapatkan status badan pribadi atau orang sebagai

subjek hukum yaitu sejak saat ia lahir dan hidup di dunia. Dengan kata

lain bahwa pada asasnya kewenangan hukum seseorang (bevoegheid)

diperoleh sejak seseorang lahir di dunia dan hidup bersama yang satu

dengan yang lainnya.

3. Setiap anak yang terlahir ke dunia secara otomatis memiliki hubungan

hukum dengan orang tuanya, namun ada beberapa halangan seperti

kelahiran anak yang tidak sah yang dapat memutus hubungan hukum

dengan orang tuanya.

Untuk menentukan bentuk kekerabatan suatu masyarakat dapat dilihat

dari bentuk apa hukum perkawinan dan kewarisan dalam keluarga yang

masyarakat tersebut terapkan.

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 24

Masalah perwalian dan tujuan pengangkatan anak berbeda tata caranya

bedasarkan sistem kekeluargaan yang dianut apakah itu patrilineal dan

matrilineal atau parental.

II. SARAN

1. Saran kami kepada pembaca agar lebih banyak membaca dan mencari tau

referensi di buku dan internet untuk memperluas wawasan mengenai

pengertian dan istilah dari keluarga ataupun hukum adat keluarga.

2. Saran kami kepada masyarakat dimanapun berada seharusnya kedudukan

setiap pribadi dianggap sama karena pada dasarnya setiap manusia itu

derajatnya sama. Perbedaan masyarakat dalam tiap kasta harus

dihapuskan karena suatu saat akan menimbulkan kecemburuan sosial.

3. Saran kami untuk pemerintah, seharusnya pemerintah lebih menegaskan

kepada masyarakat agar setiap kelahiran anaknya segera dicatatkan dalam

catatan sipil dan dibuatkan akte kelahiran agar status hukum sang anak di

dalam negara menjadi jelas.

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 25

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku:

Hadikusuma, H., 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet. 2, Mandar Maju, Bandung.

Kolkman, W. D. dkk., 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia, Cet. 1, Pustaka Larasan, Bali.

Samosir, D., 2013, Hukum Adat Indonesia (Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia), Cet. 1, Nuansa Aulia, Bandung.

Soimin, S., 2010, Hukum Orang dan Keluarga, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta.

Wignjodipoero, S., 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet.6, PT. Gunung Agung, Jakarta.

Yaswirman, 2011, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau), Cet. 1, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 26

B. Website/Situs Internet:

Anonim, “Hukum Adat Keluarga”, http://pinkyredpurple.blogspot.com/2011/05/hukum-adat-keluarga.html, diakses tanggal 19 Februari 2014, jam 12.14 WIB.

C. Lain-lain:

Lee, F., Hukum Adat Kekeluargaan (Verwantschaps Recht). Presentasi dari mahasiswa Universitas Putera Batam, Batam.

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN (Kel 5) 27