tugas gerontik

Upload: mohammad-ir-zie

Post on 20-Jul-2015

332 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai usia kemunduran yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Dari 19 juta jiwa penduduk Indonesia 8,5% mengalami stroke yaitu lansia. Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat, disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia dan 1,25 kali lebih besar pada pria dibanding wanita. Kecenderungan pola penyakit neurologi terutama gangguan susunan saraf pusat tampaknya mengalami peningkatan penyakit akibat gangguan pembuluh darah otak, akibat kecelakaan serta karena proses degenerative system saraf tampaknya sedang merambah naik di Indonesia. Walaupun belum didapat data secara konkrit mengenai hal ini. (http://imam-

14naruto.blogspot.com/2011/05/askep-lansia-dengan-stroke.html)

Diseluruh bagian dunia, stroke merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 75 - 84 tahun sekitar 10 kali dari populasi 55 64 tahun. Di Inggris stroke merupakan penyakit kedua setelah miokard infark akut (AMI) sebagai pennyebab kematian utama usia lanjut, sedangkan di Amerika stroke masih

merupakanpenyebab kematian usia lanjut ketiga. Dengan makin meningkatnya upaya penccegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes melitus, dan gangguan lemak, insidens stroke di negara maju makin menurun. (Budhi Darmojo & Hadi Martono,1999, hlm: 263) Faktor penyebab munculnya masalah ini adalah adanya perkembangan ekonomi dan perubahan gaya hidup terutama msayarakat perkotaan. Berbagai gangguan neurologik merupakan hal yang cukup sering terjadi pada lanjut usia. Disamping sebagai akibat fisiologik karena proses menua di otak/SSP dan serabut saraf, berbagai proses patologik juga ikut berperan. Memang sering tidak jelas kapan atau pada derajat gangguan mana pemisahan antara proses menua dan proses patologis tersebut terjadi. Sebagai contohnya adalah adanya defisit memori yang sering terdapat pada usia lanjut seperti, Alzheimer, Dementia, dll. Demikian pula yang terjadi pada menurunnya kekuatan otot, yang tidak selalu akibat dari1

penyakit neuron akan tetapi sering sebagai akibat menurunnya aktivitas individu lansia tersebut. Untuk menjaga agar penurunan fungsi tidak terjadi secara cepat pada lansia dapat dilakukan pencegahan primer, sebagai salah satu cara dalam memelihara gaya hidup yang sehat, ini merupakan suatu tantangan yang penting bagi perawat dan para professional pelayanan kesehatan lainnya. (http://jukarnain01ners.wordpress.com 16/10/2011) Beberapa uraian di atas membuat kami tertarik untuk mengangkat kasus perubahan sistem saraf pada lansia sebagai dasar penulisan karya tulis ilmiah, dengan maksud untuk lebih mengetahui dan memahami secara mendalam tentang asuhan keperawatan pada lansia dengan perubahan sistem saraf, yang akan dibahas secara lengkap pada bab selanjutnya.

B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. Tujuan umum Memahami asuhan keperawatan pada lansia dengan perubahan sistem persarafan melalui proses keperawatan yang dilaksanakan. 2. Tujuan khusus a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi perubahan sistem persarafan pada lansia. b. Menjelaskan masalah yang terjadi akibat perubahan sistem persarafan pada lansia. c. Menjelaskan asuhan keperawatan secara teori pada lansia dengan perubahan sistem persarafan.

C. Ruang Lingkup Penulisan Ruang lingkup makalah ini adalah tentang sistem saraf khususnya pada lansia yang mengalami perubahan pada sistem persarafan.

D. Metode Penulisan Metode penulisan makalah ini menggunakan metode deskriptif yang merujuk kepada literatu-literatur yang terdapat pada situs internet dan literatu-literatur diperpustakaan STIKES YARSI Pontianak.

E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan makalah ini terdiri atas empat Bab yaitu :2

Bab I

Pendahuluan terdiri dari latar belakang, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II

Tinjauan tioritis yang terdiri dari : A. Perubahan Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan pada Lansia B. Konsep Dasar Stroke C. Asuhan Keperawatan Stroke

Bab III Bab IV

ASKEP pada lansia dengan perubahan sistem persarafan. Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.

Daftar Pustaka.

3

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Pada bab II ini penulis akan menguraikan tentang anatomi fisiologi sistem persarafan, perubahan yang terjadi pada lansia dengan gangguan sitem persarafan, masalah masalah yang terjadi pada sistem persarafan. Sebelum memberikan asuhan keparawatan pada lansia dengan gangguan sistem persarafan, maka terlebih dahulu perawat harus memahami teori teori yang mendasarinya.

A. Perubahan Anatomi Fisiologi yang Terjadi Pada Lanjut Usia Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor prooprioseptif. Hal ini terjadi karena SSP pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit, dan badan sel saraf banyak yang mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antarsel saraf mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antarsel saraf. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurunn 37%. (Sri Surini Pudjiastuti,Budi Utomo, 2003, hal : 11). Pada lansia terjadi beberapa perubahan pada sistem saraf yaitu (Wahyudi Nugroho, hlm : 22 ) : 1. Berat otak menurun 10-20 % ( setiap orang berkurang sel saraf otaknya dalam setiap harinya). 2. Cepatnya menurun hubungan persarafan. 3. Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dalam stres. 4. Mengecilnya saraf panca indera. Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf pencium dan perasa, lebuh sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin. 5. Kurang sensitif terhadap sentuhan. Dan menurut Pudjiastuti & Utomo Budi (1999, hlm : 11), perubahan sistem saraf pada proses penuaan adalah sebagai berikut :4

a. Atrofi serebrum b. Peningkatan cairan serebrospinal c. Neuronal loss d. Kematian dendrit e. Peningkatan granula lipofusin f. Penurunan keefektifan sistem neurotransmitter g. Penurunan sirkulasi darah otot h. Penurunan penggunaan glukosa i. Perubahan pada elektroensefalogram j. Berkurangnya serabut saraf motorik k. Penurunan kecepatan konduksi saraf

Lansia menagalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif. hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia. (Sri Surini Pudjiastuti,Budi Utomo, 2003, hal : 11). Struktur dan fungsi system saraf berubah dengan bertambahnya usia. Berkurangnya massa otak progresif akibat berkurangnya sel saraf yang tidak bisa diganti. (Smeltzer, Suzanne C,2001, hal: 179). Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun bagian dari system saraf pusat (ssp) juga terpengaruh.perubahan ukuran otak yang diakibatkan oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks cerebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah cerebral dan penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan. (http://jukarnain01 ners.wordpress.com 16/10/2011) Perubahan dalam system neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Distribusi neuron kolinergik, norepinefrin, dan dopamine yang tidak seimbang, dikompensasi oleh hilangnya sel-sel, menghasilkan sedikit penurunan intelektual. Namun parkinsonisme ringan mungkin dialami ketika reseptor penghambat dopamine dipengaruhi oleh penuaan. Peningkatan kadar monoamine oksidase dan serotonin dan penurunan kadar norepinefrin telah diketahui, yang mungkin dihubungkan dengan depresi pada lansi.5

Perubahan-perubahan ini menunjukkan variasi yang luas diantara individu-individu. Penurunan dopamine dan beberapa enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis fungsional. Kehilangan jumlah dopamine yang lebih besar terjadi pada klien dengan penyakit Parkinson. defisiensi dopamine mengakinbatkan ganglia basalis menjadi terlalu aktif, sehingga menyebabkan terjadinya bradikinesia, kekakuan, dan hilangnya mekanisme postural yang sering dilihat pada mereka yang menderita penyakit Parkinson. Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan reflex tendon profunda. Terdapat kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Peningkatan tonus otot juga diketahui, dengan kaki yang lebih banyak terlibat dengan lengan, lebih kearah proksimal daripada distal. Selain itu penurunan kekuatan otot juga terjadi, dengan kaki yang menunjukkan kehilangan yang lebih besar lebih kearah proksimal daripada distal. Penurunan konduksi saraf perifer mungkin dialami oleh klien. Walaupun reaksi menjadi lebih lambat, dengan penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan reflex lutut, bisep dan trisep, terutama karena pengurangan dendrite dan perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi. (http://jukarnain01 ners.wordpress.com 16/10/2011) Perubahan fungsional termasuk penurunan diskriminasi rangsang taktil dan peningkatan ambang batas nyeri. Hal ini khususnya dapat secara nyata pada perubahan baroreseptor. Namun, perubahan pada otot dan tendon mungkin merupakan factor yang memiliki konstribusi lebih besar dibanding dengan perubahan yang nyata ini dalam arkus reflex. Fungsi system saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami penurunan secara keseluruhan. Plak senilis dan kekusutan neurofibril berkembang pada lansia dengan dan tanpa dimensia. Akumulasi pigmen lipofusin neuron menurunkan kendali system saraf pusat terhadap sirkulasi. kongesti system saraf diperkirakan dapat menurunkan aktivitas sel dan sel kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya sendiri. semakin aktif sel tersebut, semakin sedikit lipofusin yang disimpan. Perubahan Normal Terkait Usia Implikasi Klinis Konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif Reflex tendon dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi vasokonstriksi dan vaso dilatasi yang tidak sempurna bahaya kehilangan panas tubuh. (http://jukarnain01

ners.wordpress.com 16/10/2011)

6

B. Konsep Lansia Dengan Stroke 1. Pengertian Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya

gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa dan kapan saja. Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 Jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berfikir daya ingat, dan bentukbentuk kecacatan yang lain sebagaai akibat ganguan fungsi otak.(Arif Muttaqin,2008, hlm: 128) 2. Penyebab Adapun penyebab dari stroke menurut Arif Muttaqin (2008, hlm: 128) adalah sebagai berikut : a. Trombosis Serebral Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti disekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk pada 48 jam setelah trombosis. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan trombosis otak : Aterosklerosis Hiperkoagulasi pada polisitemia Arteritis (radang pada arteri) emboli b. Hemoragi Perdarahan intrakranial atau intraserebral ttermasuk perdarahan dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi. Akibat pecahnya7

pembuluh darah otak

menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak

yang dapat

mengakibatkan penekanan, perggeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan , sehingga terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak (Arif Muttaqin, 2008, hlm: 128). c. Hipoksia Umum Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah : hipertensi yang parah henti jantung-paru curah jantung turun akibat aritmia d. Hipoksia Setempat Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah : spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren 3. Faktor Risiko Stroke Beberapa faktor penyebab stroke antara lain: a. hipertensi, merupakan faktor risiko utama b. penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung c. kolesterol tinggi d. obesitas e. peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral f. diabetes terkait dengan aterogenesisterakselerasi g. kontrasepsi oral ( hipertensi, merokok, kadar esterogen tinggi) h. merokok i. penyalahgunaan obat (kokain) j. konsumsi alkohol

4. Klasifikasi Adapun klasifikasi stroke menurut Arif Muttaqin (2008, hlm: 128) adalah sebagai berikut :8

a. Stroke Hemoragi Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarakhnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadian saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Keesadaran klien umumnya menurun. b. Stroke Nonhemoragik Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik. 5. Patofisiologi Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke otak. Luasnya infark tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Troombus dapat berasal dari plak

aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi. (Arif Muttaqin, 2008, hlm: 131) Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukan perbaikan. Oleh karena trombbosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis dan diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma9

pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur. (Arif Muttaqin, 2008, hlm: 128) Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak dan falk serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak, perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan yang disebabkan anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi ootak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan luar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebral dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Arif Muttaqin, 2008, hlm: 128)

C. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS PADA LANSIA DENGAN PERUBAHAN SISTEM PERSARAFAN : STROKE

10

Asuhan keperawatan pada lansia dengan perubahan sistem persarafan : Stroke meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan kriteria evaluasi. 1. Pengkajian Umum Pemeriksaan neurologis pada usia lanjut meliputi (Arif Muttaqin,2008,hlm : 133) : a. Pengkajian umum 1) Identitas pasien 2) Keluhan utama 3) Riwayat penyakit sekarang 4) Riwayat penyakit terdahulu b. Status kesehatan lansia 1) Pandangan lansia terhadap kesehatannya Umumnya lansia mengalami kecemasan akibat penurunan status kesehatan. 2) Kebiasaan lansia dalam merawat diri, kebiasaan makan dan minum, kebiasaan dam minum obat. c. Riwayat psikososial 1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi harga diri dan aktivitas 2) Perasaan tidak mampu 3) Koping tidak adekuat d. Kondisi mental 1) Orientasi, baik terhadap orang, tempat dan waktu 2) Sikap dan perilaku lansia terhadap ansietas 3) Pengetahuan 4) Pembendaharaan kata kata 5) Memory Kenangan jangka panjang meliputi beberapa jam, berhari hari yang mencakup beberapa perubahan. Kenangan jangka pendek meliputi beberapa menit yang lalu ( 0 10 ) menit. e. Pengakjian fisik 1) Pengakjian fisik pada system neurologis meliputi pemeriksaan saraf kranial 2) Fungsi serebral (keseimbangan) a) Cara berjalan b) Gerakan cepat yang berubah ubah c) Test jari ke hidung, jari ke jari 3) Fungsi sensori11

a) Penglihatan dan pendengaran menurun akibat penuaan. Dalam pemeriksaan penglihatan hindari pemeriksaan lansia didekat jendela, pergunakan gambar atau tangan dan jika klien menggunakan kaca mata cek kaca mata tersebut. Pada penurunan pendengaran apakah klien menggunakan alat bantu dengar b) Raba/sentuhan Sentuh kulit dengan gulungan kapas dan instruksikan klien mengatakan ya bila sensasi terasa. Pada pemeriksaan ini mata klien tertutup. Bandingkan satu sisi terhadap sisi lainnya. Umumnya lansia tidak dapat merasakan sentuhan ringan dan tidak dapat mengidentifikasi lokasi sentuhan. Normalnya

sentuhan ringan pada kedua sisi sama. c) Nyeri Sentuh kulit secara acak dengan instrument tajam atau tumpul. Instruksikan klien untuk menutup mata dan mengidentifikasi masing masing sentuhan sebagai tajam atau tumpul. Umumnya lansia tidak dapat merasakan nyeri. d) Vibrasi dan posisi e) Kaji sensasi kortikal dan pembedaan f) Storeognosis dan grafestesia 4) Test reflex a) Biseps b) Triseps c) Patella d) Achilles e) Refleks patologis f. Status motorik 1) Langkah dan gaya 2) Kekuatan otot 3) Tonus otot 4) Koordinasi 5) Gerakan involunter

2. Pengkajian Keperawatan pasien dengan stroke a. Riwayat keperawatan 1) Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskuler, transient ischemic12

attacks (TIA). 2) Merokok sigaret 3) Menggunakan kontrasepsi oral 4) Gangguan sensorik/motorik; 5) Gangguan penglihatan b. Pemeriksaan fisik 1) Tingkat kesadaran dan status mental 2) Gangguan sensorik dan motorik 3) Aphasia 4) Penglihatan 5) Fungsi saraf kranial 6) Tanda-tanda vital 7) Pemeriksaan darah (pembekuan darah, hitung sel darah, Trigliserida, kolesterol, gula darah) 8) CT scan; angiogram; EKQ EEG 9) Kegemukan/obesitas c. Psikososial 1) Usia 2) Jenis kelamin 3) Sistem dukungan 4) Gaya hidup 5) Strategi koping yang biasa digunakan 6) Pekerjaan 7) Peran dan tanggung jawab selama ini 8) Reaksi emosional terhadap penyakitnya 3. Pengetahuan klien dan keluarga tentang : a) b) c) d) e) Penyebab stroke Faktor resiko Prognosa Tingkat pengetahuan Kemampuan membaca dan belajar

13

4. Diagnosa Keperawatan Diagnosa-diagnosa berikut ini adalah sebagian diagnosa yang dapat di angkat pada pasien lansia dengan gangguan sistem persarafan yang di kutip dari buku Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, (Arif Muttaqin,2008 hlm: 142) a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan adanya peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebral. b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas ffisik sekunder, dan perubahan tingkat kesadaran. d. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas. e. Risiko tinggi terhadap terjadinya cidera yang berhubungan dengan penurunan luas lapang pandang, penurunan sensasi rasa (panas, dingin) f. Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring lama. g. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi ditandai oleh kelemahan untuk ADL, seperti makan, mandi, mengatur suhu air, melipat atau memakai pakaian. h. Kerusakan komunikasi verbal yang berhuubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara di hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum. i. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan. j. Takut yang berhubungan dengan parahnya kondisi k. Gangguan konsep diri citra tubuh yang berhubungan dengan perubahan persepsi. l. Ketidakpatuhan terhadap regimen terapeutik yang berhubungan dengan kurangnya informasi, perubahan status koggnitif. m. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penurunan seensori, penurunan penglihatan14

n. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) yang berhubungan dengan imobilisasi, asupan cairan yang tidak adekuat. o. Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) yang berhubungan dengan lesi pasa UMN. p. Resiko penurunan pelaksanaan ibadah spiritual yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular pada ekstremitas. q. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan perubahan status sosial, ekonomi, dan harapah hidup. r. Kecemasan klien dan keluarga yang berhubungan dengan prognosis penyakit yang tidak menentu.

5. Intervensi Intervensi keperawatan ,tujuan serta kriteria hasil berdasarkan buku (Arif Muttaqin,2008, hlm : 143) a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan adanya peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebral. Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien Intervensi : 1) Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK. 2) Monitor TTV tiap 4 jam 3) Evaluasi pupil 4) Monitor temperatur dam pengaturan suhu lingkungan. 5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala. 6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur 7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan

suasana/pembicaraan yang tidak gaduh. 8) Bantu pasien jika batuk 9) Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari. 10) Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainase

15

urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi. 11) Berikan penjelasan padaa klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab-

akibat TIK meningkat. 12) Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.

Kriteria Evaluasi : Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal. b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal. Intervensi : 1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab peningkatan TIK dan akibatnya. 2) Baringkan klien total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal. 3) Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS. 4) Monitor TTV seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada hipertensi sistolik 5) Monitor inpit dan output 6) Bantu klien untuk membatasi muntah, batuk, anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur. 7) Anjurrkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan. 8) Ciptakan lingkunan yang tenang dan batasi pengunjung.

c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas ffisik sekunder, dan perubahan tingkat kesadaran. Tujuan :16

Dalam waktu 2 x 24 jam klien mampu meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan nafas agar tetap bersih dan mencegah aspirasi. Intervensi : a. Kaji keadaan jalan napas b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru. c. Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi penghisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yang sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan penghisapan dengan ambubag. d. Anjurkan klien mengenai teknik batuk selama penghisapan, seperti; waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi. e. Atur/ubah posisi secara teratur (tiap 2 jam) f. Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan. g. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran pernapasan. h. Ajarkan klien tentang metode yang tepat mengontrol batuk. i. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin. j. Lakukan pernapasan diafragma k. Tahan napas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. l. Lakukan napas kedua, tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. m. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk n. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1.000 sampai 1.500 cc/hari bila tidak kontraindikasi. o. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelahh batuk p. Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi, seperti postural drainage,

perkusi/penepukan. q. Kolaborasi pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi, seperti aminophilin, meta-proteerenol sulffat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosol)

17

Kriteria Evaluasi : Bunyi napas terdengar bersih. Ronkhi tidak terdengar. Trakheal tube bebas sumbatan. Menunjukkan batuk yang efektif. Tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan. Frekuensi napas : 16 -20 kali/menit.

d. Defisit

perawatan

diri

yang

berhubungan

dengan

kelemahan

neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi ditandai oleh kelemahan untuk ADL, seperti makan, mandi, mengatur suhu air, melipat atau memakai pakaian. Tujuan : Adi Dalam waktu 3 x 24 jam terjadi peningkatan perilaku dalam perawatan diri. Intervensi : a. Keji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL. b. c. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu Menyadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan. Pertahankan dukungan pola pikir izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik, positif untuk usahanya. d. Rencanakan tindakan untuk defisit penglihatan seperti tempatkan makanan dan peralatan dalam satu tempat, dekatkan tempat tidur ke dinding. e. f. Tempatkan perabotan ke dinding, jauhkan dari jalan. Beri kesempatan untuk menolong diri seperti menggunakan kombinasi pisau garpu, sikat dengan pegangan panjang, ekstensi untuk berpijak pada lantai atau ke toilet, kursi untuk mandi. g. Kaji kemampuan komunikasi untuk BAK. Kemampuan menggunakan urinal, pispot. Antarkan ke kamar mandi bila kondisi memungkinkan. h. Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas.

Kriteria Evaluasi Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri, klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.18

5. Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring lama. Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam klien mampu mempertahankan keutuhan kulit. Intervensi : a. Anjurkan untuk melakukan ROM jika mungkin b. Ubah posisi tiap 2 jam. c. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak dibawah daerah-daerah yang menonjol. d. Lakukan massase pada daerah yang menonjol yang beru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi. e. Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi. f. Jaga kebersihan kulit dan seminimal numgkin hindari trauma, panas terhadap kulit. Kriteria Evaluasi Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka, mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.

BAB IV PENUTUP

19

A. Kesimpulan Pada lansia telah mengalami berbagai kemunduran begitu juga dengan sistem persarafan, umunya lansia mengalami penurunan fungsi saraf akibat degeneerasi pada proses penuaan. Akibat proses penuaan sistem saraf tidak mampu merespon rangsang dengan baik. Perubahan tersebut diakibatkan oleh berkurangnya berat otak sehingga pada lansia terjadi hambatan dalam penerimaan rangsang. Perubahan tersebut menyebabkan berbagai masalah terjadi pada lansia sehingga membuatt lansia tidak berdaya. Asuhan keperawatan pada lansia berdasarkan gangguan yang muncul akibat penurunan fungsi dari sistem saraf yang meliputi pengkajian, diagnnosa, intervensi, dan evaluasi yang diharapkan. Pengkajian difokuskan pada sistem saraf dengan menggunakan teknik wawancara dan pemeriksaan fisik. Diagnosa keperawatan yang muncul berdasarkan masalah kesehatan umum yang terjadi pada lansia dengan gangguan sistem persarafan.

B. Saran Dari uraian di atas tentang gangguan sistem persarafan pada lansia, ada beberapa saran bagi pembaca : 1. Perawat Perawat hendaknya bersabar dalam berkomunikasi dengan lansia, jadilah pendengar yang baik dan berikan pujian ketika berhasil melakukan sesuatu yang diharapkan, perhatikan bahasa tubuh ketia berinteraksi, hormati pendapatnya, dan jangan membuat tersinggung, panggil dengan nama yang disukai, perawat juga harus memahami rasa ketidakmampuan yang dialami oleh lansia. 2. Keluarga Pada umumnya lansia mengalami penurunan daya ingat, penurunan penglihatan, dan pendengaran, keluarga harus sabar dalam menghadapi atau merawat lansia, sesuaikan aktivitas lansia dengan kemampuan, perhatikan juga dalam hal kesehatan dan gaya hidup agar tidak memperburuk kondisi lansia itu sendiri. 3. Institusi Pelayanan Kesehatan20

Dalam upaya penigkatan derajat kesehatan lansia pelayanan kesehatan berperan penting. Dengan mengadakan posyandu lansia setiap 1 bulan sekali. Tingkatkan penyuluhan terutama kepada lansia yang berada jauh dari jangkauan tenaga kesehatan dengan memberikan pelayanan terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

21

Darmojo,B & Martono H, 1999. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : FKUI. Maryam Siti R. dkk.2008.Mengenal Usia lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika Muttaqin, Arif, 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika Nugroho, Wahjudi, 2000, Keperawatan Gerontik, EGC : Jakarta. Pudjiastuti S, & Utomo B, 2003, Fisioterapi Pada Lansia, EGC : Jakarta. http://imam-14naruto.blogspot.com/2011/05/askep-lansia-dengan-stroke.html http://jukarnain01ners.wordpress.com

22