tugas farmako-klonidin
TRANSCRIPT
Nama : Rina Purnama Sari
NIM : I1A010086
Kelompok : 3
Klonidin
Penyelidikan hemodinamik menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah oleh klonidin
akibat penurunan curah jantung karena penurunan denyut jantung dan relaksasi pembuluh darah
kapasitans tanpa perubahan resistensi vaskular perifer. Penurunan tekanan darah arteri oleh
klonidin disertai dengan penurunan resistensi pembuluh darah ginjal dan pemeliharaan aliran darah
ginjal. Klonidin juga menurunkan tekanan darah pada posisi telentang dan hanya kadang-kadang
menyebabkan hipotensi ortostatik. Efek presor klonidin tidak tampak setelah minum klonidin dalam
dosis terapi, tetapi hipertensi berat dapat mengkomplikasi kelebihan dosis.
Klonidin terutama bekerja pada reseptor α-2 di susunan saraf pusat dengan efek penurunan
simpathetic outflow. Efek hipotensif klonidin terjadi karena penurunan resistensi perifer dan curah
jantung. Penurunan tonus simpatis menyebabkan penurunan kontraktilitas miokard dan frekuensi
denyut jantung. Pada pengobatan jangka panjang curah jantung kembali normal. Ada tendensi
terjadinya hipotensi ortostatik, walaupun secara klinis umumnya bersifat asimtomatik. Di samping
itu, berkurangnya refleks simpatis juga mempermudah terjadinya hipotensi ortostatik. Sekresi renin
berkurang dengan mekanisme yang belum diketahui, tapi penurunan renin ini tidak berkolerasi
dengan efek hipotensifnya.
Klonidin ialah antihipertensi yang merupakan α2-agonis. Obat ini merangsang adrenoseptor
α2 di SSP maupun di perifer, tetapi efek antihipertansinya terutama akibat perangsangan reseptor
α2 di SSP. Obat lain yang bekerja serupa dengan klonidin adalah guanabenz dan guanfasin.
Klonidin menyebabkan kenaikan tekanan darah segera setelah pemberian IV. Efek ini
tampaknya akibat perangsangan reseptor α2 pada otot polos pembuluh darah yang menimbulkan
vasokonstriksi. Klonidin mempunyai afinitas yang tinggi untuk reseptor di sini meskipun dengan
efektivitas yang rendah. Efek vasokonstriksi ini hanya sebentar dan tidak terlihat pada pemberian
oral. Lalu disusul dengan efek hipotensik akibat perangsangan adrenoseptor α2 di SSP.
Efek hipotensif klonidin menetap setelah deplesi katekolamin di SSP dengan reserpin. Ini
menunjukkan bahwa adrenoseptor α2 di batang otak terletak di pascasinaps dan bahwa aktivasinya
Cl
Cl
NH Cl
NH
N
menyebabkan hambatan aktivitas neuron adrenergik di batang otak tersebut. Ini berakibat
menurunnya aktivitas saraf adrenergik di perifer, yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya
pelepasan NE dari ujung saraf adrenergik. Efek ini dihambat oleh α2-bloker yohimbin. Klonidin juga
bekerja sebagai α2-agonis di perifer. Aktivasi reseptor α2 di ujung saraf adrenergik menyebabkan
hambatan pelepasan NE dari ujung saraf tersebut. Jadi, efek perifer ini akan memperkuat efek
sentral, tetapi tampaknya efek sentral klonidin lebih penting daripada efek perifernya. Klonidin juga
merangsang saraf parasimpatis sentral sehingga meningkatkan tonus vagal yang menambah
perlambatan denyut jantung.
Strukur Kimia
Farmakokinetik & Dosis
Absorpsi oral berlangsung cepat dan lengkap dengan bioavailabilitas mencapai 95%. Klonidin
juga dapat diberikan secara transdermal dengan kadar plasma setara dengan pemberian per oral.
Farmakokinetiknya bersifat non linier dengan waktu paruh 6 sampai 13 jam. Sekitar separuh obat ini
dibuang ke dalam urine tanpa ada perubahan, yang menggambarkan bahwa dosis yang lebih kecil
dari dosis biasa dapat efektif pada pasien insufisiensi ginjal. Kadar plasma meningkat pada gangguan
fungsi ginjal ini atau pada usia lanjut usia.
Karena waktu paruhnya relatif singkat dan kenyataan bahwa efek antihipertensinya
berhubungan langsung dengan konsentrasi darah, maka klonidin harus diberikan dua kali sehari
untuk mempertahankan kontrol yang baik atas tekanan darah. Umumnya dosis terapi antara 0,2 dan
1,2 mg/hari. Kurva dosis-respon klonidin menunjukkan bahwa peningkatan dosis menyebabkan obat
lebih efektif (tetapi juga lebih toksik). Dosis maksimum yang dianjurkan sebesar 1,2 mg/hari.
Telah dipasarkan preparat transdermal klonidin yang mengurangi tekanan darah selama 7
hari setelah pemberian tunggal. Preparat ini tampak kurang menimbulkan sedasi daripada tablet
klonidin, tetapi lazim disertai dengan reaksi kulit lokal.
Penggunaan
Sebagai obat ke-2 atau ke-3 bila penurunan tekanan darah dengan diuretik belum optimal.
Untuk menggantikan penghambat adrenergik lain dalam kombinasi 3 obat bersama diuretik dan
vasodilator. Untuk beberapa hipertensi darurat. Untuk diagnostik feokromositoma. Bila tidak terjadi
penurunan NE plasma di bawah 500pg/mL 3 jam setelah pemberian dosis besar (0,3 mg per oral)
menguatkan dugaan adanya feokromositoma. Dosis: 0,075 mg dua kali sehari dan dapat ditingkatkan
sampai 0,6 mg/hari.
Efek Samping dan Toksisitas
Mulut kering dan sedasi terjadi pada 50% pasien yang berkurang setelah beberapa minggu
pengobatan. Kira-kira 10% pasien menghentikan pengobatan karena menetapnya gejala sedasi,
pusing, mulut kering, mual atau impotensi. Untuk mulut kering dan sedasi sering ditemui. Kedua
efek tersebut timbul melalui sentral dan tergantung atas dosisnya dan timbul bersamaan dengan
efek antihipertensinya untuk sementara waktu.
Gejala ortosatatik kadang-kadang terjadi terutama bila ada deplesi cairan. Efek sentral
berupa mimpi buruk, insomniam cemas dan depresi. Retensi cairan dan toleransi semu terutama
terjadi bila klonidin digunakan sebagai obat tunggal. Bradikardia, blokade sinus dan AV dapat terjadi
pada pasien dengan gangguan fungsi nodus SA atau nodus AV atau yang mendapat obat yang
mendepresi nodus AV. Dermatitis kontak pada pemberian transdermal.
Reaksi putus obat sering terjadi pada penghentian mendadak. Ditandai dengan rasa gugup,
tremor, sakit kepala, nyeri abdomen, takikardia, berkeringat akibat aktivasi simpatis yang berlebihan.
Gejala ini dapat disertai krisis hipertansi dan kadang-kadang aritmia ventrikel. Gejala putus obat
biasanya terjadi 18-36 jam setelah dosis terakhir, terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih
dari 0,3 mg/hari dan lebih sering lagi bila β-bloker yang diberikan bersamaan juga dihentikan. Oleh
karena itu, penghentian klonidin harus dilakukan bertahap dalam 1 minggu atau lebih.
Obat ini tidak bolek diberikan pada pasien yang berisiko depresi mental dan harus
dihentikan jika timbul keadaan depresi selama terapi. Terapi bersama dengan antidepresan trisiklik
dapat menghambat efek antihipertensi klonidin. Interaksi ini dianggap karena penghambatan
adrenoseptor- α oleh trisiklik.
Pemutusan pemakaian klonidin setelah pemakaian yang berlarut-larut terutama dengan
dosis tinggi (lebih dari 1 mg/hari), dapat menyebabkan krisis hipertensi yang mengancam nyawa
melalui peningkatan aktivitas saraf simpatis. Pasien menunjukkan kegelisahan, takikardia, nyeri
kepala dan berkeringat setelah penghentian satu atau duan dosis obat. Meskipun krisis hipertensi
berat belum diketahui, tetapi cukup tinggi sehingga setiap pasien yang mendapat klonidin harus
diperingatkan terhadap kemungkinan ini. Jika obat ini harus dihentikan, maka harus dilakukan secara
bertahap disertai penggantian dengan obat antihipertensi lain.Pengobatan krisis hipertensi terdiri
dari pemberian kembali terapi klonidin atau pemberian obat penghambat adrenoseptor- α dan β.
Sumber : Katzung, B. G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Syarif A, dkk. 2008. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.