tugas akmenlan john deree components works

Upload: trisnaeni

Post on 06-Jan-2016

235 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tugas akmenlan

TRANSCRIPT

John Deree Components Works

Profil Perusahaan Deere & Company John Deere, didirikan pada tahun 1837 oleh John Deere pandai besi yang mengembangkan alat bajak baja pertama yang sukses secara komersial. Selama tahun 1970, Deere menghabiskan lebih dari satu miliar dollar pada moderisasi pabrik, perluasan usaha dan oerkakas. Selama tiga decade, Deere mengembangkan produknya, membangun pabrik baru dan menjalankan usaha sesuai dengan kapasitas pabrik, namun tetap tidak mampu untuk memenuhi permintaan. Dalam periode yang sama, Deere melakukan diversifikasi terhadap peralatan industry lainnya seperti konstruksi, utility, dan pertambangan. Pada tahun 1962 Deere mulai membangun gedung dan traktor perkebunan dan peralatan lainnya. Pada pertengahan tahun 1980 Deere menjadi perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanian dan perkebunan terbesar di dunia. Di tahun 1980, komoditas pertanian mengalami penurunan dan oleh karena itu, Deere mengambil beberapa kebijakan yaitu menurunkan level operasinya, memotong biaya yang memungkinkan, meningkatkan tekanan untuk mendorong pengambilan keputusan, dan melakukan restrukturisasi. Untuk meningkatkan volume produksi, Deere ingin agar produksi komponennya memasok untuk perusahaan dan industry kain.

John Deere Components Works Selama beberapa tahun, komponen traktor dibuat dan dirakit di pabrik traktor, Waterloo. Untuk menghasilkan produk lain, pada tahun 1970 Deere berhasil memisahakan komponen produksi traktor menjadi mesin dan perakitan. Untuk perakitan traktor dan mesin dipindahkan ke pabrik baru di area Waterloo. Pada akhir tahun ke 10, gedung lama untuk produksi traktor digunakan untuk memproduksi komponen traktor yang dinamakaan John Deere Component Works (JDCW). JDCW memiliki 3 divisi, yaitu hydraulics, drive trains division, dan gear dan divisi produk special. JDCW didesain utnuk menjadi bagian dari produsen peralatan yang diproduksi Deere, terutama traktor. Selama tahun 1970, kegiatan operasi dan peralatan JDCW telah dirancang untuk membantu divisi traktor sebesar 150 unit perhari. Pada pertengahan tahun 1980, JDCW memproduksi suku cadang kurang dari kebutuhan. Aktivitas volume yang rendah merupakan efek yang sangat merugikan mesin dan bisnis karena mesin tersebut lebih efisien untuk produksi bervolume tinggi.

Penjualan internal dan Transfer Pricing Hampir seluruh penjualan JDCW merupakan penjualan internal. Pabrik peralatan diminta untuk membeli secara internal komponen-komponen utama, misalnya transmisi desain lanjutan dan roda yang akan memberikan keuntungan kompetitif pada Deere, kebijakan perusahaan menyatakan bahwa transfer pricing antara divisi ditentukan pada nilai full cost. Perusahaan juga memiliki kebijakan make-buy, pada saat terjadi kelebihan kapasitas, divisi yang akan melakukan pembelian harus menggunakan direct cost dan bukan full cost sebagai ancaman untuk dibandingkan dengan tawaran harga pasar.

Turning Machine Business Pada awal tahun 1984, operasi JDCW berada jauh dibawah kapasitas dan para manajer menyadari bahwa mereka tidak dapat menunggu hingga pasar agrikultur berubah menjadi lebih baik. Pada divisi gear and produk special, sebagian orang memprediksi bahwa produk turning machine akan menjadi focus yang menjajikan. Turning machine ini merubah bahan mentah menjadi komponen akhir dan meruoakan kegiatan operasi divisi yang paling independen. Turning machine ini memiliki 3 departemen di JDCW. Ketiga departemen ini dibedakan berdasarkan diameter barstock yang dapat dibuat oleh mesin tersebut berdasarkan katup dalam mesin.

JDCW Standars Cost Accounting System Dalam perhitungan dengan standar costing, JDCW menjumlahkan unsur-unsur biaya-biaya terdiri dari:1. Direct Labon (run time only) 2. Direct Material 3. Overhead (direct + period) applied on direct labor 4. Overhead (direct + period) applied on material dollars5. Overhead (direct + period) applied on ACTS (actual cycle time standards) machine hoursPerhitungan menggunakan tenaga kerja langsung dan material overhead ini dibagi atas biaya langsung (biaya variable), seperti biaya setup, scrap, materials handlung, bervariasi tergantung volume aktivitas produksi dan periode (biaya tetap), seperti pajak, biaya depresiasi, listrik, gaji tidak dipengaruhi oleh aktivitas produksi. Pada tahun 1984, JDCW memperkenalkan machine hours sebagai basisi alokasi overhead seperti basis tenaga kerja dan material. Dengan peningkatan penggunaan mesin, maka basis tenaga kerja langsung tidak lagi digunakan sebagai bais overhead, Karena tidak lagi merefleksikan performa kerjanya. Jam kerja digunakan untuk proses dimana waktu kerja setara machine hours, jika terdapat perbedaan maka jam atas ATCS digunakan untuk mengalokasikan biaya overhead. Permasalahan Sejarah mencatat kehancuran agribisnis yang dimulai dengan turunnya nilai tanah pertanian dan harga komoditas yang menurun tajam yang mengakibatkan Deere untuk mengatur tingkat pelaksanaan operasi semakin menurun, pemotongan biaya, menekankan pembuat keputusan dilakukan secara desentralisasi, dan rekstrukturisasi pada proses manufaktru. Deere juga melakukan pengurangan tempat produksi, mengurangi karyawan mendorong agar karyawan pensiun dini, dan tidak melakukan penggantian untuk karyawan yang keluar dari perusahaan. Sejumlah kegagalan terjadi terus menerus dalam kompetisi JDCW untuk melakukan penawaran. Mereka memberikan kontrak, dan semua pekerjaan dijual ke supplier luar. JDCW hanya mendapatkan segelintir barang yang diminya yang kebanyakan merupakan low-volume stuff yang tidak diinginkan. Jdcw berfikir bahwa mungkin mereka akan mendapatkan bisnis yang mana direct cost-nya lebih murah dibandingkan dengan penawaran luar walauoun sebenarnya, full-costnya lebih murah dibandingkan dengan penawaran luar walaupun sebenarnya full costnya tidak. Penyebab penawarannya tidak kompetitif adalah karena harganya lebih mahal dibandingkan supplier luar, dan lebih mahal dibandingkan dengan divisi-divisi lain di Deere Companu. Karena hal tersebut, JDCW mempertanyakan ketepatan metode pembayaran yang dipakai saat ini, yang menyebabkan JDCW tidak dapat bersaing dengan competitor-kompetitornya. JDCW mempunya tiga divisi yaitu The Hidraulics Divisiom, The Drive Trains Divisiom, dan Gear and Special product divisiom. Sebagai bagian dari sebuah perusahaan terintegrasi secara vertical. JDCW mendapatkan part dari Deeres Equipment Division, karena dapat memproduksi berbagai macam part dalam jumlah yang banyak, walaupun produksi traktor relative rendah. Rendahnya produksi traktor memberikan kerugian pada mesin karena mesin lebih efisien beroperasi pada jumlah yang besar. Kebijakan perusahaan, melakukan transfer antar divisi berdasarkan full cost (direct material+direct labour+period overhead). Perusahaan juga punya kebijakan make-buy policy karena kapasitas mencukupi, yaitu divisi pembeli bisa membandingkan yang mana yang lebih rendah antara direct cist (bukan full cost) dibandingkan dengan penawaran dari luar.Equipment division tampaknya hanya melihat garga, berperilaku seperti profit center bukan cost center, Karena hanya memerhatikan keuntungan divisi dibandingkan perusahaan secara keseluruhan. Dalam prakteknya equipment division tidak mengikuti kebijakan perusahaan, sehingga JDCW kehilangan porsi untuk equipment factory karena perusahaan pesaing. Pada awalnya JDCW menggunakan standar costing untuk perhitungan biayanya, alokasi overhead berdasarkan pada direct labor hours, machine hours, dan material. Pada kenyataanya metode biaya ini bekerja cukup baik di masa lalu karena perusahaan memproduksi produk yang spesifik secara konsisten. Namun, metode biaya ini tidak memberikan sistem alokasi biaya yang terbaik bagi JDCW. Keith William menyadari kekurangan dari penggunaan standard costing tersebut dan berali menggunakan Activity Based Costing, yang mencerminkan nilai cost perunit yang tepat untuk tiap produk. Namun, perbedaan nilai cost penggunaan standard costing dan activity based costing bervariasi, ada beberapa produk yang mengalami penurunan cost da nada yang justru cost-nya menjadi lebih besar. Berdasarkan penjelasan diatas, permasalahan yang terjadi di perusahaan yaitu: 1. Penggunaan standard costing yang tidak sesuai dengan nature perusahaan yang besar dan memproduksi barang yang sangat bervariasi dan tidak menverminkan cost perunit. 2. Perusahaan menyadari adalanya kesalahan dalam menentukan biaya dengan penggunaan standard costing dan beralih menggunakan activity based costing. Namun hasil yang dioeroleh sangat bervariasi, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih besar. Analisis Permasalahan Pengalokasian biaya overhead ke dalam setiap produk dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mengidentifikasi aktivitas-aktivitas proses produksi yang signifikan dari setiap produk. Dalam tahap ini, JDCW mengidentifikasi 7 aktifitas signifikan dalam proses produksi. Oleh karena itu, total biaya overhead akan dialokasokan ke dalam 7 aktifitas dibandingkan menggunakan standard cost yang hanya memiliki dua driver (direct labor dan machine labor) ketujuh aktifitas yang digunakan JDCW sebagai cost driver sebgai berikut: 1. Direct labor support, overhead dialokasokan berdasarkan karyawan langsung yang menangani pembuatan komponen-komponen. Biaya ini termasuk allowance for benefits, break period, gaji persone;, percentage of supervisiom dan gaji industrial engineering. 2. Machine operation, overhead yang dihasiljan dari beroperasinya turning machine ditambah pengalokasian biaya kapasitas dan fasilitas. 3. Setuh hours, yang dihasilkan berdasarkan perubahan dari tugas yang harus dijalankan. Hal ini termasuk biaya actual setup, small share machine, small tool maintenance, supervision, dan gaji industrial engineering. 4. Production irder activity, dihasilkan dari kegiatan penjualan yang menghasilkan pesanan komponen-komponen. 5. Material handling. Biaya overhead yang muncul dari aktifitas perpindahan barstock ke dalam mesin dan perpindahan komponen-komponen yang dihasilkan ke tahap selanjutnya. Biaya yang mendominasi aktifitas ini adalah karyawan yang menangani material dan perawatan peralatan. 6. Part administration7. General and administrative, biaya overhead dihubungkan keseluruh pabrik, tidak hanya pada suatu aktifitas atau proses manufacture tertentu. Biaya ini termasuk pajak, depresiasi, dan lain-lain. Setelah menentukan aktifitas-aktifitas yang signifikan untuk mengalokasikan total overhead, dalam tahap kedua JDCW dapat menentukan biaya perunit produk berdasarkan ketujuh cost dirver untuk menghasilkan satu unit produk. Harga perunit yang tidak kompetitif dalam JDCW sebgaian besar disebabkan karena JDCW menggunakan standard cost accounting system dalam mengalokasokan overheadnya. Tariff overhead didasarkan pada basis direct labor, material dollars, dan actual cycle time standard. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut oleh manajer akuntansi JDCW, maka sebaiknya JDCW menggunakan sistem Ativity Based Costing (ABC) dalam mengalokasikan overhead. Sistem ABC yang dirancang oleh JDCW ini menggunakan 7 cost driver dalam mengalokasikan overhead, yaitu: 1. Direct labor support 2. Machine operation 3. Setup hours 4. Production order activity 5. Material handling 6. Parts administration 7. General and administrativeJDCW sebaiknya menggunakan ABC dalam menentukan cost/unitnya karena JDCW memiliki keragaman produk yang dihasilkan dan setiap produk mengkonsumsi overhead yang berbeda-beda. Oleh sebab itu apabila menggunakan standard costing maka hasil alokasi overhead menjadi tidak akurat. Keakuratan yang dihasilkan dengan sistem ABC ini akan mencerminkan kegiatan yang sebenarnya terjadi dalam membuat suatu produk. Sedangkan dengan menggunakan sistem lama, standard cost system, membuat efek yang buruk terutama pada alokasi harga perunit yang menjadi tidak akurat. Ketidak akuratan ini berdampak pada cost perunit yang tidak sesuai. Ada suku cadang yang ditetapkan terlalu rendah (under costs) da nada pula suku cadang yang ditetapkan terlalu tinggi (over costs).

Perhitungan elements part A103: STANDARD VERSUS ABC COSTING FOR PART A103

STANDARD METHODTotal Cost = Direct Labor + Direct Materials + OverheadDirect Labor = .185 labour hours x 12.76/hr = 2.36Direct Materials = 6.44Overhead = Direct + Period Direct Labour OH = 2.05 x .185 x 12.76 = 4.89 Machine Hours OH = 27.56 x .310 = 8.54 Materials Handling OH = .097 x 6.44 = 0.62 Total Cost (per 100 parts) $22.88

ABC METHODTotal Cost = Direct Labor + Direct Materials + OverheadDirect Labor = .185 x 12.76 = 2.36Direct Materials = 6.44Overhead: Labour Support OH = 1.11 x .185 x 12.76 =2.62Machine Operation OH = (8.99 + 6.71) x .031 = 5.15Machine Setup OH = (33.76 x 4.2 x 2) / 80 = 3.54Production Order OH = (114.27 x 2) / 80 = 2.86Materials Handling OH = 19.42 x 4 = 0.97Parts Admin. = (487 x 1) / 80 = 6.09General and Admin. = (.091 x 12.76) x (.187) + 21.23 = 2.14Total Cost (per 100 parts) $32.21

Hal-ha yang Dipengaruhi Setelah Implementasi ABC Frank Stevenson merangkum hasil yang didapat divisi Gear and Special Product dalam mengimplementasikan Activity Based Costing:ABC costing estimating model Dalam rangka penggunaan ABC untuk menentukan biaya individu komponen, sebuah model diciptakan menggunakan Lotus 1-2-3 spreadsheet IBM. Model ABC, contohnya dapat mengkalkulasi biaya material atas dasar jenis baja, panjang, dan nomor mesin (yang mempengaruhi jenis alat yang dipakai). Oleh karena itu, biaya material yang dialokasokan suatu komponen tergantung dari bagaimana material itu digunakan juga harga perolehannya. Penggunaan selanjutnya model ABC atas biaya material adalah: a. Model ABC yang telah dikembangkan JDCW dapat menghasilkan data biata trade-off bila harga pembelian material komponen berbeda. b. Model ABC tersebut dapat mengkalkukasi jumlah tahun berjalan yang dapat menghasilkan biaya manufaktur terendah setiap tahunyac. Membandingkan setup mesin yang berbedad. Dapat mengkalkulasikan costs at par level of utilization, walaupun metode ABC yang dikembangkan berbasis normal volume Completing ABC study Keith William dan Nick Vintila telah mencoba mengaplikasikan ABC dalam 44 sample komponen JDCW dan membandingkannya dengan biaya yang dihasilkan oleh standard costing system. Mereka juga bereksperimen dengan merubah lot size yang saat ini digunakan dalam sistem MRP. Khususnya, model ABC merekomendasikan mereka untuk melipatgandakan lot size rata-rata dalam rangka untuk mengoptimisasi biaya manufaktur. Penelitian selanjutnya menunjukan pengaruh yang kuar dari pergeseran produk bauran (product mix) untuk menefisiensikan penggunaan turning machine. Division Changes Selama tahun 1985-1986, divisi JDCW mengalami pembatasan lini produk ke dalam 5 bisnis: gear and shaft, matched parts, cast iron making, heat treating, dan sheer metal work. Sedapat mungkin departemen dapat diorganisisr ulang dari proses hingga manufaktur cell dan pengadopsian pendekatan Just In Time untuk mempersingkat lead time, meningkatkan kualitas, dan juga menurunkan biaya. Agar ABC model yang digunakan lebih efektif maka dilakukan beberapa perubahan dalam implementasinya, yaitu terhadap1. Penawaran ABC digunakan untuk menghitung biaya mesin dan menyiapkan penawaran untuk Deere ataupun pelanggan dari luar. Dengan menggunakan ABC perusahaan tahu mana saja produk yang costnya tinggi dalam low-volume. Dan divisi juga harus merubah sistem penawaran dalam praktek transfer pricing mereka. Dan memulai untuk menegosiasikan market based price yang berada di bawah full cost. 2. Process planning Bagian proses engineering menggunakan model perbandingan relative efisiensi mesin untuk tipe yang berbeda dari baja dan part number untuk memilih bagian mana saja yang diproses sesuai tipe mesinya, karena ABC menunjukan setup dan biaya produksi yang tinggi dari pada MRP. Proses engineering menggunakan ABC untuk customer untuk menerima run yang lebih kecil pada harga yang lebih murah3. Low Value- Added Parts Gear and special produk mempercepat perpindahan dari low volume, short-running part dari turning mesin. Kira-kira 31% part membutuhkan lebih dari 20 jam direct labor, secara keseluruhan dihitung 97% dari semua direct labor tersisa untuk mesin. Tetapi part yang kurang dari 8 jam akan di outsource. Secara kebetulan part yang tersisa masih belum ditentukan, tapi keputusan yang dibuat berdasarkan costing yang lebih akurat yaitu ABC. Kombinasi dari perpindahan LVA part diharapkan dapat meningkatkan rata-rata run time, mengurangi kerumitan penjadwalan dan mengurangi permintaan untuk staf pendukung. 4. Cell Arrangements Infrastruktur pabrik berubah dari sistem row mesin menjadi sistem per-sel. Beberapa mesin dikelompokan bersama dan dipakai untuk high-run part. 5. Layout ABC juga membantu manajemen dalam mengatur departemen permesunan. Secondary operations yang memiliki cost yang tinggi menyebabkan manajemen untuk mengembalikan menjadi divisi sebelumnya dan mengembalikan ke gedung sebelum dipindahkan. Untuk mendapatkan tempat yang lebih besar, turing machine yang sudah tidak efisien lagi dibuang. Lalu untuk meminimalisir jarak penerangan antara barstock dengan packaging dan shippimg. Kegiatan-kegiatan tersebut dibuat menjadi lebih dekat agar lebih efisien. Tetapi sayangnya layout yang baru ini belum pernah dicoba selama proses produksi dikarenakan baru diatur selama bulan agustus 1986, sedangkan pada januari 1987 pabrik tersebut ditutup. Walaupun begitu terdapat satu perubahan layout yang sudah diterapkan tahun 1985 dan membuat perubahan yang signifikan. Layout yang berhasil diterapkan pada tahun tersebut adalah proses engineering group. Mulanya, process engineering group ini berbeda jauh dari lantai penjualan tetapi sekarang berbeda tepat ditengah area permesisnan. Akibat dari pemindahan layout ini komunikasi antar personelnya menjadi lebih mudah. Future of ABC Walaupun ABC ini sangat berguna, tetapi manfaatnya juga msaih terbatas pada:1. ABC hanya berjalan pada computer tiap individu, bukan pada computer yang terintegerasi dengan data base divisi2. ABC hanya digunakan untuk operasi yang menggunakan turning machineKesimpulan 1. Penetapan biaya dengan standard costimg tidak sesuai untuk digunakan oleh perusahaan yang memproduksi barang dengan banyak aktivitas produksi dan variasi produk yang beragam, tidak mencerminkan cost yang sebenranya. Hanya menggunakan direct labor dan machine hours sebagai cost driver, sedangkan ada banyak tahapan dalam aktivitas produksi yang menuntut penentuan cost driver yang lebih akurat. 2. Dengan menggunakan Activity Based Costing perusahaan dapat mengetahui actual cost perunit, sehingga tidak akan terjadi undercosting atau overcosting dalam penentuan biaya. Penggunaan cost driver untuk yang disesuaikan berdasarkan aktivitas produksi yang telah ditetapkan activity cost pool-nya, terdiri dari 7 cost driver yaitu direct labor support, machine operation, setup hours, production order activity, materials handling, parts administration, general and administrative.3. Tujuan dari penggunaan metode ABC bukan untuk menghasilkan biaya perunit yang kecil, namun menghasilkan biaya yang sebenranya. Terbukti dari kasusu John Deere, perbedaan cost dari awal perusahaan menggunakan standard costing menjadi Activity Based Costing hasilnya bervariasi, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih besar. 4. Meskipun terdapat variasi perubahan cost karena beralih menggunakan metode ABC, John Deere tetap dapat bersaing dengan lebih percaya diri karena keakuratan penentuan biaya, karena menghindari profit margin yang semu akibat adanya overcosting dan undercosting 5. Agar pengaplikasian ABC menjadi lebih efisien maka harus dibantu dengab perubahan-perubahan pada pabrik. Misalkan dalam kebijakan transfer pricing yang diubah dengan menggunakan market based dibandingkan dengan direct cost v.s full cost. Selain kebijakan, layout pabrik juga diubah untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan ABC. 6. Saat ini ABC hanya diterapkan untuk operasi-operasi yang menggunakan turning machine, namun tidak ada salahnya dikemudian hari untuk mengaplikasikan ABC pada proses-proses produksi lain. Hal ini dikarenakan penggunaan ANC dalam mengalokasikan overhead tepat untuk John Deere karena John Deere memiliki variasi produk yang berbeda-beda.