tugas af (diversity sulawesi tengah)

11
PENDAHULUAN Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian di daerah tropis termasuk wilayah Sulawesi tengah semakin meningkat dan mengakibatkan ekosistem yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu perlu dilakukannya system produksi yang bekelanjutan contohnya perkarangan tropis. Sebuah pekarangan merupakan suatu lahan budidaya tanaman campuran semusim dan tahunan yang letaknya berada pada sekitar area pemukiman. Fungsi dari pekarangan adalah untuk mencukupi kebutuhan pemilik lahan dan untuk mendapatkan keuntungan. Tingginya keanekaragaman hayati yang ada di pekarangan dengan spectrum yang luas, dapat dihasilkan berbagai macam produk dengan tenaga kerja yang rendah, uang dan input lainnya. Pada musim panceklik, pekarangan dapat menyediakan berbagai macam produk yang tersedia sepanjang tahun sehingga memberikan kontribusi bagi ketahanan pangan. Selain itu juga meningkatkan fungsi social, budaya dan ekologi. Pekarangan yang memiliki struktur banyak lapisan vegetasi yang menyerupai hutan memberikan kontribusi substansial bagi keberlanjutan produksi antara lain melindungi tanah dari erosi, memberikan habitat alami bagi tumbuhan dan hewan, membentuk iklim mikro yang menguntungkan, dan membuat efisiensi penggunaan cahaya matahari, air, dan sumber daya lainnya. Karena spesies tanaman yang ada di dalam perkarangan besar dan beragam maka dianggap system produksi ideal untuk konservasi sumberdaya genetic secara in situ. Namun keragaman tanaman harus sesuai dengan ekologi, factor social ekonomi masyarakat, karakteristik kebun dan pengelolanya, serta tingkat intensitas produksi dan akses pasar. Contohnya ketinggian tepat juga terbukti berpengaruh terhadap keragaman spesies. Banyak tipe atau jenis pekarangan yang berada di daerah tropis. Untuk mengklasifikasikannya maka berdasarkan ukuran, struktur (contohnya integrasi ternak atau stratifikasi vertical), social ekonomi (tingkat input), jenis tanaman yang dominan atau tingkat urbanisasi. Namun klasifikasi pekarangan yang ada di daerah tropis belum diterima secara universal.

Upload: wisnu-bhaskoro

Post on 05-Nov-2015

3 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

TUGAS AF

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian di daerah tropis termasuk wilayah Sulawesi tengah semakin meningkat dan mengakibatkan ekosistem yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu perlu dilakukannya system produksi yang bekelanjutan contohnya perkarangan tropis. Sebuah pekarangan merupakan suatu lahan budidaya tanaman campuran semusim dan tahunan yang letaknya berada pada sekitar area pemukiman. Fungsi dari pekarangan adalah untuk mencukupi kebutuhan pemilik lahan dan untuk mendapatkan keuntungan. Tingginya keanekaragaman hayati yang ada di pekarangan dengan spectrum yang luas, dapat dihasilkan berbagai macam produk dengan tenaga kerja yang rendah, uang dan input lainnya. Pada musim panceklik, pekarangan dapat menyediakan berbagai macam produk yang tersedia sepanjang tahun sehingga memberikan kontribusi bagi ketahanan pangan. Selain itu juga meningkatkan fungsi social, budaya dan ekologi. Pekarangan yang memiliki struktur banyak lapisan vegetasi yang menyerupai hutan memberikan kontribusi substansial bagi keberlanjutan produksi antara lain melindungi tanah dari erosi, memberikan habitat alami bagi tumbuhan dan hewan, membentuk iklim mikro yang menguntungkan, dan membuat efisiensi penggunaan cahaya matahari, air, dan sumber daya lainnya.Karena spesies tanaman yang ada di dalam perkarangan besar dan beragam maka dianggap system produksi ideal untuk konservasi sumberdaya genetic secara in situ. Namun keragaman tanaman harus sesuai dengan ekologi, factor social ekonomi masyarakat, karakteristik kebun dan pengelolanya, serta tingkat intensitas produksi dan akses pasar. Contohnya ketinggian tepat juga terbukti berpengaruh terhadap keragaman spesies. Banyak tipe atau jenis pekarangan yang berada di daerah tropis. Untuk mengklasifikasikannya maka berdasarkan ukuran, struktur (contohnya integrasi ternak atau stratifikasi vertical), social ekonomi (tingkat input), jenis tanaman yang dominan atau tingkat urbanisasi. Namun klasifikasi pekarangan yang ada di daerah tropis belum diterima secara universal. Pekarangan yang ada di Indonesia telah diteliti secara mendalam. Namun di sisi lain informasi tentang pekarangan yang ada di Indonesia tepatnya di Sulawesi masih kurang. Oleh karena itu, dalam kaitan permasalahan diatas maka kolaborasi antar dua Negara yakni jerman dan Indonesia dalam program STORMA melakukan penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keanekaragaman tanaman, struktur dan manajemen pekarangan yang ada di Sulawesi Tengah dan mengklasifikasikannya berdasarkan keanekaragaman tanaman.

AREA PENELITIAN Penelitian yang dilakukan berada di area Lembah Napu terletak di timur pinggiran Taman Nasional Lore Lindu di Sulaesi tengah, sekitar 100 km dari selatan kota Palu. Di daerah lembah Napu memiliki curah hujan sekitar 2000 mm, suhu 21 C, ketinggian 1100 m dpl, dan vegetasi alami diklasifikasikan sebagai hutan hujan pegunungan bawah. Jenis tanahnya adalah cambisol dan fluvisol. Kepadatan populasi rendah yakni 8 orang tiap 1 km2. Namun pada tahun 1980 laju pertambahan penduduk meningkat nyata karena adanya transmigrasi dan mayoritas adalah petani dan pengangguran. Produksi utama petani adalah padi, agroforestri (campuran tanaman kopi dan kakao) dimana kopi yang lebih diutamakan dan cacao sebagai bahan ekspor, tanaman musiman seperti jagung, kacang tanah, dan kacang hijau pada kondisi tadah hujan. Daerah lembah napu sebagian besar terdegradasi oleh padang rumput. Pada penelitian ini dipilih tiga desa yakni Wuasa, Rompo dan Siliwanga. Wuasa merupakan pusat administrasi lembah Napu dengan adanya SMA, sebuah rumah sakit kecil, banyak toko-toko dan kantor serta tempat pasar. Rompo adalah sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hutan, terjangkauhanya di jalan tanah. Siliwanga didirikan hanya baru-baru ini untuk menyelesaikan sebagian besar keluarga transmigran dari Bali. Untuk memudahkan pemahaman, tiga desa diberi label (desa pasar) untuk desa Wuasa, (hutan desa) untuk Rompo dan (desa transmigran) untuk desa Siliwanga

DATA SAMPELSampel yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini adalah 10 rumah tangga dengan perkarangan yang dipilih secara acak. Informasi tentang pengetahuan lokal dan pengelolaan pekarangan dikumpulkanmelalui wawancara individu tukang kebun. Isi kuisioner tersebut antara lain usia pemilik pekarangan, fungsi pekaranagan, manajemen pekarangan, input dan output, permasalahan yang ada di pekarangan, penggunaan produk pekarangan dan lain lain. Data sekunder mengenai rumah tangga karakteristik, seperti usia, pendidikan formal, etnis kelompok, atau pekerjaan anggota rumah tangga sebagiandibuat tersedia oleh STORMA.Ukuran pekarangan juga diukur, namun tidak termasuk daerah ditempati oleh rumah. Persediaan lengkap yang dilakukan untuk menilai keanekaragaman tumbuhan keseluruhan jumlah spesies dan varietas dan kelimpahan tanaman dan tanaman hias. Untuk gulma didokumentasikan namun tidak dihitung. Tanaman dicantumkan dengan nama ilmiahnya. Semua individu tanaman dikelompokkan dengan salah satu lima strata berikut 0-1 m; 1-2 m; 2-5 m; 5-10 m; dan 10 m untuk analisis struktur vertikal. Spesies tanaman yang diklasifikasikan ke dalam salah satu dari berikut Penggunaan utama kategori: rempah-rempah, buah, sayuran, stimulan / gula, obat, makanan pokok, kayu, Pohon multi guna, misalnya pakan ternak, pembungkus Bahan. Dua puluh sampel tanah diambila secara acak pada kedalaman 0-15 m dari tiap tiap kebun untuk analisis kimia yang meliputi ph, total C,N,P, dan K tersedia. Ph tanah diukur dengan mencampurkan sampel tanah dengan 0,01 M CaCl2 dengan rasio 1: 2.5. Jumlah C dan N ditentukan oleh C / N-autoanalyzer. Untuk estimasi P tersedia dan K, sampel diambil dengan Kalsium asetat lactate- solusi pH 4. Dan dilanjutkan dengan analisis kolorimetri P dengan metode molibdenum biru, dan K dengan fotometri nyala.DATA ANALISISData dianalisis dengan menggunakan paket statistik SPSS 8.0. Perbedaan antara cara yang ditentukanoleh Kruskal Wallis H-Test. Untuk membandingkan floristik kesamaan antara tiga desa, menggunakan koefisien Srensen dengan menghitung jenis density no. dari spp. / 100 m2? dan Shannon-Indeks H 'juga dihitung untuk setiap pekarangan. Untuk klasifikasi pekarangan, menggunakan cluster Analisis mengingat terjadinya spesies tanaman, ada / tidaknya dilakukan, menerapkan kuadrat Jarak Euclidean sebagai ukuran perbedaan dan metode linkage rata. Untuk tulisan ini, yang paling klasifikasi statistik yang sesuai dipilih oleh memilih cut off point pada perbedaan dari 10,5.HASIL Dari hasil survey yang telah dilakukan, dapat diperoleh hasil bahwa umur dibuatnya lahan pekarangan dari tiga desa adalah 38 tahun dengan ukuran 240 2400 m2. Di desa wuasa, umur pekarangan tersebut lebih tua dibandingkan pekarangan yang ada di desa rompo dan desa siliwanga. Dan yang paling kecil ukurannya adalah pekarangan yang ada di desa siliwanga. Di tiga desa, ukuran pekarangan tidak berbeda signifikan yang dalam kaitannya dengan ukuran pertanian secara keseluruhan. Fungsi utama dari pekarangan pada ketiga desa tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan non makanan pokok terutama buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah. Sekitar 70% penggarap pekarangan memperoleh pendapatan dari hasil penjualan tanaman kopi, kakao, atau surplus buah dan rempah-rempah. Semua Hewan hewan yang dipelihara oleh pemilik kebun juga dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga misalnya ayam, bebek, dan anjing dan yang untuk dijual misalnya babi dan sapi. Sebagian besar Pemilik pekarangan menganggap produksi buah, sayuran, rempah rempah, umbi umbian serta obat-obatan dan lain lain yang berasal dari pekarangan mereaka memadai. Sebagai contoh beberapa buah buahan seperti jambu, apel air jarang dikonsumsi oleh manusia. Dan pemilik lahan belum menyadari nilai gizi dari sayuran. Kebun yang sebagian ditanami tomat dan terong dibiarkan membusuk. Input eksternal seperti pupuk kimia, pestisida yang diterapkan sedikit atau tidak ada. Alih alih input eksternal, 60% dari pemilik pekarangan menggunakan metode alternative dalam mengendalikan hama seperti penyemprotan sabun busa, memotong bagian tanaman yang terinfeksi, penghapusan abu, dan hamper 80% dari mereka menerapkan pupuk organic terutama pupuk kandang. Padahal 18 dari pemiliki kebun memelihara babi di pekarangan mereka dan mereka tidak menggunakan kotoran babi sebagai pupuk karena mereka menyadari nilai pupuk tersebut. Kemudian kesuburan tanah di ketiga desa tersebut bervariasi. Di desa siliwanga nilai PH dan tingkat ketersediaan P jauh lebih rendah dibandingkan dengan desa wuasa dan desa rompo. Sedangkan nilai ketersedian karbon dan nitrogen secara signifikan lebih tinggi dibandingkan desa wuasa dan rompo.

KERAGAMAN TANAMAN Sebanyak 149 spesies tanaman telah diidentifikasi, sekitar 25 yang diklasifikasikan menurut dominan mereka gunakan masing-masing sebagai rempah-rempah, buah, sayuran, obat, atau kayu dan kayu tanaman. Spesies yang tersisa adalah digunakan untuk minuman dan obat perangsang, makanan pokok, pakan ternak, pembungkus atau kerajinan; enam spesies dianggap pohon multi-fungsi. Spesies yang paling sering digunakan adalah mangga, pisang, jambu, tomat, cabai, kakao, kopi, kunyit, serai, kemangi, pinus, pandanus, ubi jalar, talas, singkong. Untuk beberapa tanaman, beberapa varietas yang dibudidayakan, misalnya, 25 varietas pisang, 13 cabai, dan 6 varietas masing-masing mangga, kakao dan ubi jalar. Selain tanaman, 72 spesies tanaman hias dan 41 spesies gulma diidentifikasi. Namun, sekitar setengah dari spesies gulma juga dianggap tergolong sebagai bahan obat. Spektrum spesies tanaman yang dibudidayakan di pekarangan berbeda diantara ketiga desa tersebut. Terdapat persamaan yang lebih tinggi dari komposisi jenis tanaman antara desa Wuasa dan desa Rompo. Nilai koefisien Sorensen desa rompo adalah 74% lebih tinggi dibandingkan dengan desa wuasa dan siliwanga yakni 64% dan 61%. Sebanyak 53 spesies tanaman yang umum untuk semua desa termasuk buah pisang, mangga, dan jambu biji; akar dan umbi tanaman singkong, ubi jalar, dan talas; rempah-rempah cabai, serai, kemangi, dan kunyit; dan uang tunai tanaman kopi dan kakao. Lima belas spesies tanaman termasuk kubis dan kentang tumbuh dan terutama untuk dijual secara eksklusif ditemukan di desa Wuasa. Demikian juga, 28 spesies yang hanya ditemukan di desa Rompo, antaramereka terutama jenis pohon hutan, digunakan untuk konstruksi, kayu bakar, pohon rindang, obat-obatan, buah, atau alasan mistis. Di desa Siliwanga, 21 spesies tanaman secara eksklusif tumbuh, misalnya, teh, pohon singkongatau obat khusus tanaman, dibawa dari tempat asli pemukim (penduduk transmigran).Total jumlah spesies tanaman serta rata-rata jumlah spesies tiap pekarangan nilai Shannon H (Kepadatan dan keragaman spesies) yang tertinggi adalah desa rompo, kemudian pada kategori menegah adalah desa wuasa dan terendah adalah desa siliwanga. Sebuah signifikan jumlah rata-rata lebih rendah dari rempah-rempah, sayuran dan kayu / tanaman kayu, dan sejumlah besar jenis pohon serbaguna yang ditanam di desa siliwanga dibandingkan dengan desa wuasa dan desa rompo. STRUKTUR Di dalam semua pekarangan, jumlah spesies tanaman menurun dari strata bawah ke strata yang lebih tinggi bagaimanapun tidak terus menerus. Sebuah proporsi yang lebih tinggi dari spesies tanaman adalah ditemukan pada strata ketiga daripada di strata kedua. Di kebun kecil ukuran 900 m2, proporsi spesies tanaman tertinggi terjadi pada strata pertama (0-1 m), sementara di area pekarangan yang luas yakni 900 m2 spesies tanaman tertinggi terjadi pada strata ketiga (2-5 m). di kebun yang areanya kecil, proporsi spesies dalam strata atas (>2 m) umumnya lebih kecil daripada di pekarangan besar. Pada sebagian besar pekarangan pekarangan kecil tidak ditemukan strata yang lebih tinggi dari 5 m. Berbeda dengan distribusi vertical spesies tanaman, proporsi tanaman-tanaman terus menurun menuju strata yang lebih tinggi. Pekarangan yang kecil menunjukkan proporsi yang lebih tinggi dari individu dalam lapisan pertama (0-1 m). Namun, secara signifikan menunjukkan proporsi yang lebih rendah dalam strata yang lebih tinggi daripada pekarangan yang berukuran besar.KLASIFIKASI Pengaplikasian analisis cluster, 10 kelompok pekarangan dibedakan. Yakni grub 1 dan grub 2 dibentuk oleh tujuh kebun masing-masing, terutama dari desa wuasa dan desa rompo, sementara kelompok 3 termasuk sembilan kebun, terutama dari desa siliwanga tersebut. Sisanya tujuh kelompok hanya berisi satu taman masing-masing, yang terutama dari desa wuasa atau desa rompo. Pada grub 1, pekarangan ditanami ubi jalar dan cabai dan beberapa jenis pohon yang umumnya tidak pernah ditanam yakni nangka. Hanya 16 spesies dimana 44% adalah rempah-rempah pada pekarangan tersebut. Pada pekarangan yang ada di grub 2, tanaman yang selalu ditanam dan ditemukan adalah pohon buah seperti nangka, pisang, jambu biji, apel air, kakao dan kopi arabika. Dari 34 spesies yang umumnya ditanam pada pekarangan ini sebagian besar adalah spesies buah dengan presentase 34% dan hanya 24% yang merupakan spesies rempah rempah. Pada pekarangan yang ada di grub 3, tanaman yang ditanam adalah talas, singkong, dan kopi arabika. Pada pekarangan tersebut terdapat 21 spesies dimana 29% merupakan spesies buah dan 19% merupakan spesies tanaman obat dan pohon serba guna. Semua pekarangan yang ada di grub 3 dikelola oleh penduduk transmigran, termasuk salah satu pekarangan yang ada di desa wuasa. Dalam setiap pekarangan terdapat 4-10 grup jenis pohon yang tumbuh dibandingkan dengan grup lainnya. Setiap pekarangan ditandai dengan satu set khusus dari spesies tanaman yang terjadi secara langsung di pekarangan tertentu. Misalnya tanaman obat langka di pekarangan nomer 1 atau ditoleransi dengan tanaman spesies hutan pada kebun nomer 11. Meskipun analisis cluster dilakukan hanya berdasarkan komposisi jenis, ditandai perbedaan juga ditemukan berkaitan dengan usia rata-rata kebun dan ukuran, jumlah spesies tanaman dan indeks Shannon antara kelompok 1 sampai 3. Dari 30 pekarangan maka dikelompokkan berdasarkan empat jenis utama yakni1. Rempah-rempah kecil, umur kebun cukup tua, spesies pohon rendah termasuk dalam grub 12. Umur kebun tua, kaya spesies pohon buah termasuk dalam grub 23. Ukuran kebun besar, umur kebun agak muda, spesies pohon rendah termasuk dalam grub 34. Umur pohon yang agak lama, dan tiap pekarangan memiliki keanekaragaman tanaman yang sangat tinggi termasuk dalam grup 4-10.DISKUSI DAN KESIMPULAN Pada koefisien Srensen menunjukkan bahwa rentang spesies tanaman di pekarangan dari desa Wuasa dan Desa Rompo lebih mirip dibandingkan dengan desa Wuasa dan desa Siliwanga atau desaRompo dan desa Siliwanga. Perbedaan komposisi spesies disebabkan karena perbedaan etnis dari pemilik kebun. Selain itu jenis pekarangan yang diklasifikasikan dalam penelitian tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan dari karakteristik seperti usia pekarangan, ukuran, tingkat keanekaragaman, dan karakteristik lainnya. Pada penelitian ini, klasifikasi pekarangan berbasis criteria umum yang dapat dinilai seperti ukuran pekarangan, jumlah lapisan vegetasi, integrasi ternak, tingkat input dan hal tersebut tidak terlihat praktis karena tidak ada perbedaan yang jelas antara pekarangan yang disurvei selain dari ukuran. Sebuah klasifikasi dilakukan berdasarkan beberapa karakteristik seperti keadaan yang tradisional dan berorientasi subsisten dibandingkan dengan keadaan yang modern dan berorientasi pada produksi pasar. Produk yang berorietasi bisa menjadi bias tentang bagaimana criteria yang dinilai dari tiap individu peneliti. Analisis komposisi spesies tanaman telah diterapkan dalam penelitian homegarden hanya baru-baru ini. Meskipun keahlian dan waktu yang diminta untuk mengumpulkan dan menghitung data lebih besar dibandingkan metode yang banyak digunakan berdasarkan kriteria umum, analisis pola komposisi spesies relevan berkaitan dengan strategi konservasi dan karenanya layak aplikasi yang lebih luas.KERAGAMANHampir sebagian besar pekarangan yang diteliti tidak digunakan system pertanian berbasis khas padi karena semuanya beragam tanaman. Dari pekarangan yang diteliti, 149 tanaman termasuk 72 spesies tanaman hias, serta rata-rata tiap pekarangan cukup tinggi dan sebanding dengan pekarangan yang dilakukan di derah lain yang ada di Indonesia. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al di daerah jawa terdaftar 195 spesies tanaman di 92 pekarangan pada ketinggian 1250 m dpl sedangkan soemarwoto dan Conway menunjukkan 272 spesies tanaman di 41 pekarangan yang ada pada daerah dataran rendah. Wezel dan Bender hanya mencatat total 101 spesies tanaman jauh lebih rendah berarti indeks Shannon 1.63- 1.79 per desa dalam studi sebanding dilakukan 31 pekarangan dari 3 desa di Kuba. Itu artinya indeks shanon pekarangan pada daerah tropis bervariasi. Selain itu juga bergantung pada status social ekonomin dan kependudukan pemilik pekarangan apakah fungsi pekarangan tersebut sebagai hiasan atau sebagai pemenuhan kebutuhan dapur. Namun, perbedaan yang khas ditemukan di antara kebun dari tiga desa. Yang relatif lebih tinggi keanekaragaman tanaman adalah di desa terpencil Rompo namun akses pasar yang buruk sehingga mendorong berorientasi produksi yang subsisten. Semakin rendah keanekaragaman tanaman di desa Wuasa pasar, di sisi lain dihasilkan dari ketersediaan buah-buahan, sayuran, rempah-rempah dan obat-obatan dan berorientasi produksi terhadap pasar misalnya pasaran dan toko-toko di dekatnya. Hal ini diketahui karena kedekatan pasar dan komersialisasi yang menyebabkan keanekaragaman yang ada di pekarangan rendah. Di desa Siliwanga, yang memiliki akses pasar yang moderat, mungkin memiliki keragaman tanaman rendah disebabkan oleh faktor-faktor tambahan. Di desa ini, daerah pekarangan menyumbang proporsi yang lebih besar dari peternakan dibandingkan dengan dua desa lainnya. Dengan demikian, mereka memainkan peran yang lebih penting dalam produksi bahan pokok tanaman pangan. Hal ini digambarkan, misalnya, dengan rata-rata jumlah 280 tanaman singkong per kebun sebagai lawan61 di desa wuasa dan 22 di desa rompo. Selain etnis, kesuburan tanah juga memainkan peran penting. Rendahnya kesuburan tanah yang ada pada desa siliwanga menyebabkan rendahnya keanekaragaman jumlah spesies rempah-rempah dan sayuran pada pekarangan yang berada di daerah tersebut. Banyak sayuran yang harus tersedia P yang tinggi dan tidak semua spesies tanaman dapat mengatasi permasalahan tanah asam. Karena preferensi pribadi tukang kebun mungkin juga telah mempengaruhi keragaman dan spesies Komposisi, karena diperlukan penelitian untuk mengukur pengaruh faktor-faktor tertentu pada keanekaragaman tanaman di ini pekarangan di Sulawesi Tengah. Pemahaman yang lebih baik dependensi ini bisa membuktikan keanekaragaman tanaman menjadi faktor integral dari keberlanjutan untuk pekarangan tropis.STRUKTUR Tidak semua pekarangan yang diselidiki memiliki sebuah berlapis-lapis struktur vegetasi, yang menawarkan keuntungan pengurangan erosi tanah atau pendayagunaan sumber informasi. Pekarangan kecil serta yang lebih muda dari Siliwanga desa transmigran sering tidak memiliki strata atas. Kurangnya lapisan vegetasi yang lebih tinggi dari 5 m pada sebagian besar pekarangan kecil. Dilaporkan hanya 1,3% dari semua spesies dan 5,7% dari semua individu di lapisan atas (10 m) pekarangan di derah Jawa dengan ukuran rata-rata 230 m2. Di sisi lain, tercatat 32% dari semua spesies di lapisan atas (10 m) untuk pekarangan di Sri Lanka, dengan umur pekarangan agak tua dan ukuran sangat besar.Umur dan ukuran pekarangan dapat mempengaruhi struktur vegetasi. Struktur vegetasi yang tua dan besar pada pekarangan di lembah napu sangat berbeda dari hutan alami yang ada didekatnya. Tinggi, kepadatan, dan keragaman vegetasi tidak sebading dengan hutan. Pekarangan yang diteliti agak mirip huta sekunder yang masih dalam kondisi yang masih muda. Dalam beberapa pekarangan ada patch (bagian) tanpa penutup tanah atau lapisan seresah karena tanah sering dicangkul dan membakar sisa-sisa tanaman. Penutup tanah dan sisa-sisa tanaman dapat melindungi tanah dari erosi. Sebagai akibat dari pembersihan ini, tanah yang ada di lembah napu mengalami erosi tanah dan hilangnya bahan organic tanah. Oleh karena itu, keberlanjutan kebun harus yang dikelola dengan sama harus dipertanyakan. Cukup dengan menggunakan pupuk kandang atau pupuk organic yang dilakukan oleh pemilik pekarangan mungkin telah menekan rendahnya kesuburan tanah. Ini mungkin telah membatasi ekspresi penuh potensi produksi sistem ini, meskipun keanekaragaman tanaman yang tinggi dan menghasilkan berbagai produk. Kontribusi produk dari pekarangan dapat menjaga kebutuhan hidup di Sulawesi dan seluruh daerah tropis. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan jasa penyuluhan ABSTRAK Pekarangan dianggap sebagai sistem produksi yang berkelanjutan di daerah tropis, yang memberikan kontribusi untuk keanekaragaman hayati konservasi. Tujuan dari penelitian ini adalah deskripsi tanaman keanekaragaman, struktur dan manajemen pekarangan di Sulawesi Tengah dan klasifikasinya. Pada 30 pekarangan dipilih secara acak dari tiga desa yang berdekatan ke Taman Nasional Lore Lindu, keanekaragaman jenis dan kelimpahan yang dinilai dan indeks Shannon dihitung. Spesies tanaman keseluruhan 149 diidentifikasi, terutama buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, atau tanaman obat. Itu jumlah lapisan vegetasi berbeda tergantung pada usia dan ukuran pekarangan. Analisis Cluster spesies tanaman Komposisi digunakan untuk mengklasifikasikan jenis taman yang berbeda. Tidak hanya spektrum spesies dibudidayakan di pekarangan tetapi juga terjadinya jenis taman ini berbeda di antara tiga desa. Temuan ini didukung oleh koefisien Srensen itu. Pekarangan dari satu desa, terutama dihuni oleh transmigran, kontras kuat dengan orang-orang dari dua lainnya. Sejumlah jelas lebih rendah dari spesies tanaman yang dibudidayakanada, dan komposisi jenis itu jelas berbeda. Jumlah spesies tanaman dan komposisi spesies yang ditemukan di pekarangan dapat dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi penjaga taman serta kualitas tanah. dua Duanya produktivitas dan keberlanjutan dapat ditingkatkan, misalnya dengan meningkatkan manajemen kesuburan tanah seperti menerapkantersedia pupuk kandang.