tugas 1 kuliah s3
DESCRIPTION
Program Beras RaskinCara penyaluran raskinTRANSCRIPT
TAHAPAN DALAM PERKEMBANGAN BIROKRASI(Menurut Max Weber*)
-------------------------------------------------------------------
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Max Weber adalah sorang ahli sosiologi berkebangsaan Jerman yang hidup sejak
tahun 1864-1920, merupakan sosok paling terkenal dan paling berpengaruh
dalam teori sosiologi (Ritzer George, 2008). Selain gagasan-gagasannya yang
sangat kritis tentang aspek sosiologi, Weber juga memberikan perhatian pada
aspek sejarah dan ekonomi, dan juga tidak kalah pentingnya muncul berbagai
pikiran teoritis terhadap birokrasi dan penyelenggaraannya.
Konsep birokrasi pertama kali dikemukakan oleh Vincent de Gournay seorang
ahli ekonomi yang hidup antara tahun 1712-1759, Jhon Stuart Mill dan Gaetano
Mosca (Garna, K. Yudistira (1996;155).
Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna birokrasi. Weber
menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya
melekat pada birokrasi. Birokrasi yang dikaji Weber adalah birokrasi patrimonial,
karena saat itu berlangsung dan dialami Weber, yaitu birokrasi yang
dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia. Weber melihat birokrasi
sebagai tipe paling murni dari apa yang disebut otoritas legal. Sementara otoritas
legal menurut Weber adalah sebuah dominasi probabilitas suatu perintah tertentu
yang dipatuhi oleh sekelompok orang.
Yang menjadi perhatian Weber dalam pikiran sosialogisnya adalah tiga dasar
yang digunakan para pengikutnya melegitimasi sebuah otoritas yaitu rasional,
tradisional dan kharismatik. Terhadap tiga bagian otoritas tersebut, Ritzer George
menjelaskan bahwa legitimasi rasional bersandar pada kepercayaan akan legalitas
aturan untuk mengeluarkan perintah. Otoritas yang mendapat legitimasi
tradisional didasarkan pada kepercayaan yang telah mapan terhadap kesucian
tradisi kuno, sementara otoritas yang mendapatkan legitimasi dari karisma
didasarkan pada kesetiaan para pengikutnya terhadap kesucian yang tidak lazim,
antara lain: sosok teladan, heroisme, atau kekuatan khusus yang dimiliki
pemimpin, maupun pada tatanan normatif yang berlaku.
Tulisan ini akan membahas perkembangan birokrasi dalam beberapa tahapan
menurut Weber, dimana tahapan ini secara keseluruhan mengarah pada suatu
proses penyelenggaraan birokrasi yang mantap dan mendukung dalam upaya
memberikan kepuasaan pelayanan kepada rakyat sebagai pelanggan.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Birokrasi
Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata “biro” (meja) dan “kratein”
(pemerintahan), yang jika disintesakan berarti pemerintahan meja. Jadinya lucu
pengertian seperti ini, tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi sebab dalam
kiprahnya lembaga ini tampak kaku dan dikuasai oleh orang-orang yang berlindung
di balik meja.
Garna, K Yudistira (1996 ; 155) mendefinisikan birokrasi sebagai suatu organisasi
formal yang diselenggarakan berdasarkan aturan, bagian, unsur yang terdiri dari para
pakar yang terlatih; biasanya organisasi itu memiliki pemusatan, kewibawaan yang
menekankan akan unsur tatasusila, pengetahuan teknis dan tatacara impersonal. Jadi
Idealnya, birokrasi merupakan suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir
yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan
publik yang efektif dan efisien.
Birokrasi juga dioperasikan dengan sejumlah aturan serta prosedur yang bersifat
tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggung jawab
setiap bagin-bagiannya “mengalir” dari atas ke bawah.
Selain itu birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan civil service
(pelayanan publik). Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif,
dan posisi mereka datang dan pergi. Artinya, penempatan mereka dalam birokrasi
kadang mengalami pergeseran atau tetap dipertahankan pada posisi tertentu atas
dasar penilaian prestasi dan kinerja yang bersangkutan.
Sehubungan dengan seperangkat aturan dan prosedur yang mengatur alur birokrasi
tersebut, maka setiap pegawai yang malas biasanya mendapat teguran dari atasan,
yang jika tegurannya tidak disikapi kemungkinan besar bisa diberhentikan dari
posisinya. Sebaliknya, jika seorang pegawai menunjukkan kinerja dan prestasi yang
memuaskan, ada kemungkinan akan dipromosikan menempati posisi yang lebih
tinggi. Tentunya dengan tanggung jawab, kewenangan dan penghasilan yang lebih
besar.
B. Karakteristik Birokrasi menurut Weber.
Karakter birokrasi dimaksudkan sebagai hal-hal yang cenderung dilaksanakan dalam
birokrasi yang menunjukkan jati dirinya birokrasi tersebut, dan hal-hal tersebut
tampak mencuat di setiap level atau tingkatan birokrasi. Max Weber
mengidentifikasi 8 karakteristik birokrasi, yaitu :
1) organisasi yang disusun secara hirarkhis;
2) setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus;
3) pelayan publik (civil servants) terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan
dipilih, dimana pengangkatan tersebut didasarkan pada kualifikasi kemampuan,
jenjang pendidikan, atau pengujian (examination);
4) seorang pelayan publik menerima gaji pokok berdasarkan posisi;
5) pekerjaan sekaligus jenjang karier;
6) para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka;
7) setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin;
8) promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan (superior judments);
Dari perspektifi politik, karakter birokrasi menurut Weber hanya menyebut hal-hal
yang ideal. Artinya, terkadang pola rekruitmen pegawai dalam birokrasi yang
seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau hasil ujian, justru tidak
terlaksana. Ini disebabkan karena masih berlangsungnya pola rekruitmen pegawai
berdasarkan kepentingan pemerintah bahkan juga kepentingan golongan tertentu.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi
tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-
rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah
sebagai berikut:
1) para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2) terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3) fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4) para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5) para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan
pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6) para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji
bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat
diberhentikan;
7) pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8) suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian
(merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
9) pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan
sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut, dan;
10) pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin
(superordinat) mempraktekan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem
birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan
birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-
aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat
dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas
subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada
akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak
lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi
Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam
birokrasi, yang meliputi aspek-aspek berikut:
1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam
pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu
atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat
saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung
jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya,
untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan
DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil
tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak
mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja
direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya,
tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara
bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi
honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan
tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang
bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank
Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya,
terlebih dahulu harus dilakukan fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar
Gubernur Bank Indonesia yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada
rakyat secara keseluruhan.
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang
diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai
politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi.
Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik
mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan
di sana-sini atas pandangan Weber.
C. Tahapan-tahapan Perkembangan Birokrasi
Dalam buku.. Weber menjelaskan tahapan-tahapan perkembangan birokrasi
secara singkat dengan memberikan penekanan pada aspek profesional.
o Tahap awal perkembangan birokrasi adalah rekruitmen aparatur berkualitas
atau profesional. Menurut Weber aspek profesional menjadi fondasi bagi
posisi kekuasaan pemegang jabatan. Profesi atau keahlian dapat melestarikan
posisi seorang pejabat publik. Selain pejabat publik juga direkruit badan-
badan kolegiat sebagai tim ahli yang mendampingi pemegang jabatan
memberikan saran pertimbangan dalam pemecahan masalah birokrasi.
o Tahap perkembangan berikutnya adalah bahwa permasalahan yang dihadapi
dibicarakan dan pemecahannya dalam bentuk produk hukum yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang- undangan.
o Tahap berikutnya
D. Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi
Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula
pandangan Weber tentang birokrasi. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik
para ahli terhadap pandangan Weber, yang diambil dari karya Martin Albrow.
Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”,
Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton,
penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan
menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang
dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri.
Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan
kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani
publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingka laku mereka dapat
menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang
ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian
Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan
dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang
Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi di dalam
suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan
tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru
untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena
akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.
Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang
dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional
dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat
memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk
memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan
profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi:
Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau
orang yang memiliki keahlian yang hebat?
Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner
memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang
dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya
pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2
tipe birokrasi yang uta: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan
Perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota
birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan
kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe
Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan
menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka
sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang
mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.
R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner
dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone
menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang
impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan,
tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka
dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.
Rudolf Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan
bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang
administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah
mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan
merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan
makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam
keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu
ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-
fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari seseluruhan
budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal
jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”
Reinhard Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat
dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia
terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix
membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari
nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-
ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah
peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat
dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan
suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara
populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya
pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam
kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai
suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan
legislatif.
Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber
bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis.
Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap
untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus
dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan
pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk
digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan
pendapat Weber, yang membenarkan birokrasi untuk menghindari semua
tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak
di luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu,
mengkritik Weber karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap
penekanan Weber terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai
organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya
mengandalkan pola kooperatisme.
Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan
yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun
(birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi
bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi.
Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui
seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat
mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan
menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentangng keadaan
yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.
R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati
kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep
birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan
bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan
material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang
mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga
dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak patrimonial
justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang
sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa
birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
E. Dari Weber ke Teori Besi Oligarki
Seorang pejabat birokrasi adalah berkepribadian bebas dan ditunjuk dalam posisi
berdasarkan peraturan, menggunakan kewenangan yang diberikan kepadanya
dengan gaya kepemimpinan yang adil, dan kesetiaannya tergambar melalui
pelaksanaan tugasnya secara sepenuh hati, penunjukkan dan penempatan kerja
berdasarkan kualifikasi teknis yang dimiliki, kerja administratif dikerjakan penuh
waktu (full time), pekerjaan diganjar berdasarkan upah harian dea prospek masa
depan sepanjang karir.
Seorang pegawai pemerintah harus menggunakan penilaian dan keterampilannya,
akan tetapi tugasnya adalah menempatkan kedua hal tersebut pada kewenangan
yang lebih tinggi; akhirnya ia hanya bertanggungjawab untuk menjalankan
sebagian tugas yang telah ditugaskan dan harus mengorbankan penilaiannya
apabila bertentangan dengan tugas pekerjaannya. Pola kerja Weber banyak
diikuti oleh yang lainnya seperti Robert Michels dengan teori Besi Oligarki (Iron
Law of Oligarchy).
F. Konsep Birokrasi Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan
para ahli tentang konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa
konsepsinya engenai birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang birokrasi. Ketujuh
cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisis guna menganalisis fenomena
birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi
Albrow adalah sebagai berikut :
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman
Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur
secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti
menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi
yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga
mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas
dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga
mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian
tujuan-tujuan organisasi.
Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai
“organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di
dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan
kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi
kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu,
birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam
organisasi-organisasi besar.
Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya),
kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya
formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme.
Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya
dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung
dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.
3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang
profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam
pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan
sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan
sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi
merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan
jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara
diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-
staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut
birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.
6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern.
Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang
sudah disebut.
7. Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana
masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi.
Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun
birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua
tipe birokrasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut modern.
G.Kesimpulan
1. Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi. Weber
hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa
hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam
menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi
sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.
2. Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari suatu
organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian
diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang
legal-rasional.
3. Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi sebagai
sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini melekat
pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.
4. Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan orang di
dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-
mudahan dapat mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam
sebuah birokrasi.
5. Konsepsi Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah ahli. Para
ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi
administrasi.
REFERENSI
Garna, K. Yudistira, 1996, Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar, Konsep, Posisi, Pasca Sarjana, Unpad
Bandung.
Hafusi Jonathan Mavanyisi, 2002, The Nature of Political Control over the Bureaucracy
with Reference to the Northern Province, Thesis Master Degree on Public
Administration, University of South Africa.
John Toye, 2006, Modern Bureaucracy, Research Paper No. 2006/52, Unived Nations
University.
Martin Albrow,2004, Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet.3
Weber M, 2007. Essay in Sociology (The International Library of Sociology). C. Wright
Mills and H.H. Gerth.
Michael G. Roskin, et al., menyebutkan pengertian birokrasi adalah organisasi berskala besar yang terdiri atas pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers).
E. Tahapan Perkembangan BirokrasiF. Kritikan terhadap Konsep Konsep Birokrasi Max WeberG. KesimpulanH. Penutup.