tugas 1

Upload: farensa-ikman-dedi-setiawan

Post on 05-Jan-2016

40 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

leisa

TRANSCRIPT

AbstrakRevolusi adalah perubahan secara cepat. Revolusi Hijau adalah suatu perubahan cara bercocok tanam, dari cara bercocok tanam, dari cara tradisionl ke cara modern. Revolusi hijau ditandai dengan makin berkurangnya ketergantungan petani pada cuaca dan alam, digantikan dengan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya meningkatkan produksi pangan. Pengertian revolusi hijau sering disebut Revolusi Agraria meliputi bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan.Kegiatan budidaya tanaman, panen, penanganan pascapanen dan pengolahan petanaman merupakan tahapan yang penting dalam pencapaian peningkatan produksi pertanian. Seluruh tahapan ini akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk. Untuk itu diperlukan budidaya pertanian yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP), penanganan pascapanen yang baik atau Good Handling Practices (GHP) dan pengolahan hasil yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP). Dalam rangka mencapai target produksi, diperlukan sumber daya manusia pertanian khususnya Penyuluh Pertanian dan Bintara Pembina Desa khususnya Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang kompeten melalui pendidikan dan pelatihan. Agar penyelenggaraan diklat sistematis dan terarah maka diperlukan petunjuk pelaksanaan diklat bagi Penyuluh Pertanian dan Bintara Pembina Desa.

Kata kunci : Revolusi hijau, GAP, GHP, GMP

I. Pendahuluan1.1Latar BelakangPeranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional sangat penting dan strategis. Hal ini terutama karena sektor pertanian masih memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian besar penduduk yang ada di pedesaan dan menyediakan bahan pangan bagi penduduk. Peranan lain dari sektor pertanian adalah menyediakan bahan mentah bagi industri dan menghasilkan devisa negara melalui ekspor non migas. Bahkan sektor pertanian mampu menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam menghadapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini. Perhatian terhadap masalah pertanian, khususnya pangan, telah lama mendapat perhatian para ahli. Perhatian tersebut tampak sangat menonjol ketika muncul karya R. T. Malthus pada akhir abad ke 18 (Nurul HA. 2009). Malthus melihat pangan sebagai pengekang hakiki dari perkembangan penduduk di samping pengekang-pengekang lainnya yang berbentuk pengekang segera. Menurutnya, apabila tidak ada pengekang maka perkembangan penduduk akan berlangsung jauh lebih cepat daripada perkembangan produksi pangan (subsisten). Hal ini karena perkembangan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung.Pemenuhan pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, kebutuhan manusia akan pangan juga meningkat dimana kebutuhan sumber daya seperti tanah, air, tanaman dan hewan meningkat pula. Sementara itu jumlah modal sumber daya alam dan kondisi biologi di dunia adalah tetap (Hasnelly. 2011). Rendahnya produktifitas hasil pertanian menjadi salah satu kendala tercapainya ketahanan pangan. Belum lagi tingginya alih fungsi lahan pertanian serta masih banyaknya petani yang kehilangan hasil pertanian saat melakukan panen (Saragih SE. 2008). Tidak dipungkiri bahwa sebagian besar pertanian di Indonesia masih bergantung pada input eksternal sebagai konsekuensi revolusi hijau yang dicetuskan pada tahun 1960-an sebagai upaya menaikkan produksi pangan.Makalah ini akan membahas secara lebih jelas mengenai beberapa teknik budidaya yang di gunakan serta prinsip-prinsip dalam peningkatan produktivitas tanaman yang berkelanjutan dengan adanya Revolusi Hijau yang dicanangkan oleh Pemerintah.

II. Pembahasan

2.1Revolusi HijauRevolusi pertaniangelombang pertama (tradisional) sebelum tahun 1960-anRevolusi pertanian gelombang ketiga (pertanian berkelanjutan) tahun 2000 - sekarangRevolsi pertanian gelombang kedua (Revolusi Hijau) tahun 1960-2000an

Bersahabat dengan alam- Pupuk kimia- Sistem pertanian Produktivitas rendah- Pestisida kimiaberkelanjutan- Varietas unggul- Integrasi dengan- Monokulturekosistem

Gambar 1. Revolusi Pertanian di Indonesia(Tata, Indra. 2000)

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.1, menurut Tata dan Indra (2000) sejarah pertanian di Indonesia mengalami tiga periode revolusi. Revolusi pertanian gelombang pertama identik dengan paktek-praktek pertanian yang masih tradisional dan alami. Kelemahan pertanian tradisional ini adalah rendahnya produktivitas.Menurut Sadon, D (1999) dalam Pranadji dan Saptana (2005) di era 1950-1960an negara-negara Asia, termasuk Indonesia mengalami krisis pangan yang gawat. Saat itu upaya mengatasi masalah kekurangan pangan dan kemiskinan merupakan hal yang mendesak dan dijadikan prioritas utama program pemerintah. Upaya mengatasi krisis pangan dilakukan dengan program Padi Sentra, yang merupakan awal revolusi hijau (green revolution) di Indonesia atau disebut revolusi pertanian gelombang kedua (Pranadji dan Saptana, 2005). Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya, hingga pada tahun 1984-1989 Indonesia berhasil swasembada pangan. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah yang merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, serta harga gabah dikontrol pemerintah.Istilah Revolusi Hijau sebenarnya muncul sejak Norman Borlaugh mendapat julukan Bapak Revolusi Hijau pada tahun 1944, atas keberhasilannya meningkatkan pangan di Meksiko. Sejak itu bisnis teknologi pertanian menjadi marak dan mendunia. Program ini mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1960-an, yaitu pada masa kepemimpinan Soeharto. Tujuan utama revolusi hijau adalah untuk menaikkan produktifitas sektor pertanian, khususnya sub-sektor pertanian pangan, melalui paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut terdiri atas pupuk non-organik, obat-obatan pelindung tanaman, dan bibit padi unggul.Melalui program ini, pada tahun 1984, Indonesia berhasil menjadi negara swasembada pangan terbesar. Dalam waktu yang cukup lama yaitu sekitar 20 tahun, program revolusi hijau juga telah berhasil mengubah kebiasaan dan sikap para petani Indonesia yang awalnya memakai sistem bertani secara tradisional menjadi sistem bertani yang modern dimana para petani mulai menggunakan teknologi-teknologi pertanian yang ditawarkan oleh program revolusi hijau.Sebenarnya revolusi hijau tidak mempunyai pengaruh yang besar dalam kesejahteraan petani, khususnya petani kecil. Keuntungan yang didapat dari meningkatnya produksi padi sehingga pernah berhasil membawa Indonesia menjadi negara swasembada beras terbesar, tidak ikut dirasakan oleh petani. Pengaruh yang dirasakan oleh petani akan adanya revolusi hijau hanya berupa perubahan kebiasaan petani dalam melakukan kegiatan pertanian. Perubahan itu berupa kegiatan pertanian yang pada awalnya mengandalkan sumber daya alam dan manusia yang ada berubah menjadi kegiatan mekanisasi pertanian dan mengandalkan produk-produk kimia (Slamet, M. 1995)Koreksi terhadap revolusi hijau mulai mengemuka pada Science Academic Summit pada tahun 1996 di Madras, India, dengan istilah Evergreen Revolution (Revolusi Hijau Lestari, RHL), dan pada World Food Summit tahun 1996 di FAO, Roma, dengan istilah New Green Revolution atau New Generation of Green Revolution. Strategi utama dari koreksi tersebut adalah untuk memacu kembali laju kenaikan produksi pangan tanpa merusak lingkungan dan dengan menggunakan teknologi yang padat IPTEK dengan sebutan greener food production growth (Soetrisno, Loekman. 2002)Menurut Slamet (2001), Di Indonesia, konsep awal Revolusi Hijau Lestari atau Revolusi Hijau Generasi Kedua makin diperjelas dan dijabarkan melalui beberapa diskusi pada forum Pekan Padi Nasional Pertama (PPN I) pada tahun 2002 dan menjelang PPN II pada tahun 2004 di Sukamandi, Jawa Barat. Diskusi bertitik tolak pada evaluasi30 tahun pelaksanaan intensifikasi padi sejak 1969 yang pada umumnya bertumpu pada pendekatan atau teknologi Revolusi Hijau dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Revolusi Hijau Lestari di Indonesia diarahkan kepada:a. Tanpa mengurangi harapan dan tumpuan pada lahan sawah irigasi, namun perhatian harus lebih besar kepada daerah suboptimal tertinggal atau unvapourable rice environment berupa lahan sawah tadah hujan, lahan rawa, dan lahan kering.b. Diversifikasi usaha tani berbasis padi dengan memperhatikan keanekaragaman potensi sumber daya pertanian (lahan/tanah, air iklim), kearifan lokal, dan teknologi indigenous (pupuk/bahan organik, dll).c. Pembangunan pertanian berkelanjutan yang mampu memenuhi permintaan dengan memanfaatkan IPTEK tinggi yang adaptif dan ramah lingkungan, berupa inovasi teknologi VUB, komponen teknologi pengelolaan LATO (lahan, air, tanah dan OPT), dan Sistem Farming dengan perhatian yang lebih besar terhadap upaya peningkatan pendapatan petani.d. Program intensifikasi harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah gizi atau kesehatan, air bersih, lingkungan, dan pembangunan pedesaan.e. Hambatan laju peningkatan produksi dan kesejahteraan petani tidak hanya diatasi dengan inovasi teknologi, tetapi juga rekayasa kelembagaan, termasuk penyuluhan dan pelatihan serta reforma agraria.

Hingga 20 tahun ke depan diperkirakan lahan sawah masih menjadi tulang punggung ketahanan pangan, khusus dalam pengadaan beras nasional. Tanaman padi yang mempunyai aerenkhima bisa hidup dalam keadaan tergenang seperti pada lahan sawah. Di sisi lain, lahan sawah irigasi dimungkinkan untuk penerapan teknologi intensif dengan kenaikan hasil yang signifikan, sehingga produktivitas tanaman dapat mendekati potensi genetiknya. Karena itu tidak mengherankan jika hingga saat ini perhatian, penelitian, dan pengembangan padi, pembangunan infrastruktur, dan penyediaan kredit bagi petani lebih banyak dicurahkan pada ekosistem lahan sawah (Tjitropranoto, P. 2003).2.2Teknik budidaya tanaman (Kelestaian lingkungan)Revolusi hijau bertumpu pada penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, monokultur padi ganda untuk meningkatkan hasil panen tahunan, dan berbagai bentuk dukungan sektor publik sebagai perangsang petani (kredit lunak, subsidi besar, dukungan harga, penyediaan prasarana mahal) (Uphoff, N. 1988).Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi, tetapi tanpa disadari, hal ini justru menurunkan kesuburan tanah dan membuat hama menjadi resisten terhadap pestisida kimia tersebut. Bahkan, Soet (1974) menyampaikan dalam laporan WHO lebih dari satu juta ton bahan kimia untuk pertanian digunakan di seluruh dunia yang mengakibatkan lebih dari setengah juta manusia keracunan, dan 50.000 diantaranya meninggal dunia. Di samping itu, tumbuh pula kekhawatiran tentang pengaruh bahan kimia yang digunakan dalam kegiatan usahatani pada keamanan dan kualitas pangan (food safety and quality), kesehatan manusia dan hewan, serta kualitas lingkungan. Revolusi hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Petani merupakan komunitas mandiri, tetapi dengan pertanian konvensional, petani justru tidak mandiri. Petani menjadi tergantung terhadap ketersediaan pupuk kimia, pestisida dan benih serta sarana pertanian lain. Karena adanya kekhawatiran inilah maka tumbuh dan berkembang individu-individu dan kelompok-kelompok organisasi yang menyuarakan gerakan untuk mempraktekkan usahatani alami (natural farming method) yang akrab lingkungan dengan berbagai istilah seperti organic, biological, natural, ecological, biodynamic, atau alternative, yang bersandar pada prinsip pertanian berkelanjutan (Departemen Pertanian, 2007). Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian (Suryana, 2005). Sustainable development merupakan konsep yang memastikan terpenuhinya kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Wijandi, S. 1996).Purnama, et al (2004) menyatakan bahwa dalam implementasinya di Thailand, sustainable agriculture memiliki banyak metode yaitu sistem pertanian terpadu (integrated farming system), pertanian organik (organic farming), pertanian alami (natural farming), pertanian teori baru (new theory farming) dan Agroforestry. Hingga saat ini belum diketahui metode sustainable agriculture yang paling dominan dilaksanakan di Indonesia, tetapi salah satu yang paling populer adalah metode pertanian organik. Berdasarkan Trubus (2000) dalam Tambunan (2006) di Indonesia sendiri, gaung pertanian organik sudah berkembangMenurut Rusli (1989), pertanian organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan kesehatan agroekosistem termasuk keanekaragaman, siklus hidup biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik memandang alam secara menyeluruh, komponennya saling bergantung dan menghidupi, dan manusia adalah bagian di dalamnya. Prinsip ekologi dalam pertanian organik didasarkan pada hubungan antara organisme dengan alam sekitarnya dan antarorganisme itu sendiri secara seimbang. Pola hubungan antara organisme dan alamnya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sekaligus sebagai pedoman atau hukum dasar dalam pengelolaan alam, termasuk pertanian. Di Indonesia, pengakuan akan pentingnya pengembangan pertanian organik telah dituangkan dalam Revitalisasi Pembangunan Pertanian yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Agustus 2005. Pemerintah melalui Departemen Pertanian mencanangkan program pertanian organik dengan slogan Go Organic 2010. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010. 2.3Prinsip GAP, GHP, GPP dan GMP dalam peningkatan produktivias tanaman2.3.1GAP (Good Agricultural Practices) Menurut Silva, S.D. (2006) Good Agricultural Practices (GAP), mencakup penerapan teknologi yang ramah lingkungan, penjagaan kesehatan dan peningkatan kesejahteraan pekerja, pencegahan penularan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan prinsip traceability (dapat ditelusuri asal-usulnya dari pasar sampai kebun). Di bidang pertanian praktek GAP lebih diarahkan pada budidaya tanaman hortikultura baik tanaman buah-buahan, sayuran maupun tanaman biofarmaka. Kita ketahui ketiga komoditas inilah yang menjadi andalan Indonesia untuk ekspor yang menghasilkan devisa bagi negara.Melalui penerapan GAP terdapat empat hal yang akan dicapai yaitukeamanan pangan,kesejahteraan pekerja (petani), kelestarian lingkungan, dan hasil pertanian yang diketahui asal usulnya.Praktek Pertanian yang Baik tersebutmenerapkan urutan langkah-langkah baku dalam budidaya tanaman sejak dari pengolahan tanah, pemilihan benih, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pengairan, pengendalian OPT, panen, dan penanganan pasca panen. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan dengan mengacu pada teknologi yang direkomendasikan dengan memperhatikan ketentuan wajib dan ketentuan-ketentuan yang sangat direkomendasikan. Menurut SK Mentan No. 48 Tahun 2010 terdapat 14 ketentuan wajib dalam GAP yaitu :1. Lahan bebas dari cemaran limbah bahan berbahaya dan beracun.2. Kemiringan lahan