trauma medula spinalis.docx

22
“TRAUMA MEDULA SPINALIS” Peper ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior SMF Ilmu Bedah Medan Disusun Oleh: PUTRI INDAH SARI 1008260026 Pembimbing: dr. Ilham Budiono, Sp.B RS. HAJI MEDAN

Upload: vivivivi

Post on 22-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

“TRAUMA MEDULA SPINALIS”Peper ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti

Kepaniteraan Klinik Senior SMF Ilmu Bedah Medan

Disusun Oleh:

PUTRI INDAH SARI

1008260026

Pembimbing:

dr. Ilham Budiono, Sp.B

RS. HAJI MEDAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2014

Page 2: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta

karunia-Nya kepada saya sehingga penulis dapat menyelesaikan peper ini, dengan judul “Trauma

Medula Spinalis” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior

SMF Ilmu Bedah RSU Haji Medan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dokter Pembimbing

yaitu dr. Ilham Budiono, Sp.B atas bimbingannya dalam arahannya selama ini mengikuti

Kepaniteraan Klinik Senior SMF ilmu Bedah RSU Haji Medan serta dalam penyusunan peper

ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam mengerjakan peper ini penulis masih

memiliki banyak kekurangan dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki dimasa mendatang.

Harapan penulis semoga peper ini dapat member manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Oktober 2014

Penulis

Page 3: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………

2.1. DEFINISI………………………………………………………….

2.2. ANATOMI………………………………………………………...

2.3. ETIOLOGI…….…………………………………….…………..

2.4. KLASIFIKASI.……………………………………………..

2.5. PATOFISIOLOGI………………………………………………

2.6. DIAGNOSA

2.6.1. GambaranKlinis………………….…………………….

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang……………………………….

2.7. PENATALAKSANAAN…………………………………………

2.8. KOMPLIKASI……………………………………………………

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Tingkat kecelakaan lalu lintas di kota besar terbilang cukup tinggi. Dimana

kecelakaan tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan

tersebut. Akibat yang ditimbulkan bagi korban atau pelaku kecelakaan itu sendiri dapat berupa

efek fisik dan psikis.

Dari segi fisik, tentunya kecelakaan dapat menyebabkan timbulnya luka pada setiap

jaringan tubuh yang terkena trauma dari kecelakaan. Efek langsung dari trauma tersebut dapat

berupa adanya fraktur, luka terbuka, ataupun kerusakan pada organ dalam tubuh. Fraktur tersebut

dapat mengenai struktur tulang belakang dan juga dapat terkena pada medulla spinalis.

Spinal cord injury adalah suatu disfungsi dari medulla spinalis yang mempengaruhi

fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada tractus sensori motor dan

percabangan saraf-saraf perifer dari medulla spinalis.

Page 5: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Trauma Medula Spinalis

Trauma medulla spinalis adalah trauma yang biasanya berupa fraktur atau cedera lain

pada tulang vertebra, korda spinnalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis,

dapat terpotong, tertarik, terpilin, atau tertekan. Kerusakan pada kolumna vertebralis atau korda

dapat terjadi disetiap tingkatan, kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda atau

hanya sebagian.

Efek trauma terhadap medulla spinalis bisa berupa:

1. Fraktur : Pada fraktur yang patah bias lamina, pedikel, prosesus transverses, diskus

intervertebralis bahkan korpus vertebralnya. Bersamaan dengan fraktur medulla spinalis,

ligamentum longitudinal posterior dan dura bias terobek, bahkan kepingan tulang

belakang bias menusuk kedalam kanalis vertebralis. Arteri yang memperdarahi medulla

spinalis serta vena-vena yang mengiringinya bias ikut terputus.

2. Dislokasi : Kanalis vertebralis pada tempat dislokasi menjadi sempit. Pembuluh darah

dan radiks dorsalis bias ikut tertekan dan tertarik.

2.2. Anatomi Medula Spinalis

Bagian susunan saraf pusat yang terkena didalam kanalis vertebralis bersama ganglio

radiks superior yang terdapat pada setiap foramen invetebralis terletak berpasangan kanan dan

kiri. Organ ini mengurus persyarafan tubuh, anggota badan dan bagian belakang. Dimulai dari

bagian bawah medulla oblongata setinggi korpus vertebrata servikalis I, memanjang sampai ke

korpus vetebrata lumbalis I dan II.

Dalam medulla spinalis keluar 31 saraf, terdiri dari:

1. Servikal : 8 pasang

2. Torakal : 12 pasang

3. Lumbal : 5 pasang

4. Sarkal : 1 pasang

Page 6: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

Fungsi medulla spinalis:

1. Pusat gerakan dari otot-otot tubuh terbesar dari komu motorik dan komu ventralis

2. Mengurus kegiatan refleks-refleks spinalis serta refleks lutut

3. Menghantarkan rangsangan koordinasi dari dan sendi serebelum

4. Sebagai penghubung antar segmen medulla spinalis

5. Mengadakan komunikasi antar otak dan semua bagian tubuh.

2.3. Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang

diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis.

Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada

medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan

American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord

Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari

kolum vertebra.

Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit,

infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi

pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari

cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit

infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik

dan gangguan kongenital dan perkembangan.

2.4. Klasifikasi

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerja sama dengan international

medical society of para legia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasi standart

internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medulla spinalis. Klasifikasi ini

berdasarkan pada frankel pada tahun 1969.

Page 7: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP:

Grade A: Komplit, tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang diinervasi oleh segmen sacral 4-5

Grade B: Inkomplit,gangguan fungsi sensorik tetapi bukan motorik dibawah tingkat lesi dan

menjalar sampai segmen sacral (S4-5)

Grade C : Inkomplit, gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot

penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai kurang dari 3

Grade D : Inkomplit, gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot

penting memiliki nilai lebih dari 3

Grade E : Normal, fungsi sensorik dan motorik normal.

Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:

Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia).

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan

completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti

cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal,

seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut.

Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus

dicatat.

Page 8: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

Menyusul terjadinya cedera medula spinalis, terdapat beberapa pola cedera yang dikenal,

antara lain:

Sindroma korda anterior

Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior atau akibat

fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis vertebra.

Sindroma korda sentralis

Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi

menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di anterior

dengan ligamentum flavum yang menebal di posterior.

Sindroma korda posterior

Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen posterior dari

vertebra.

Sindroma Brown-sequard

Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa lateral

dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan hemiseksi dari medula spinalis.

2.5. Patofisiologi

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses

cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan

penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak

ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar

antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.

Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal,

deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang

terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera,

disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang

berkelanjutan.

Page 9: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung

selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari

interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya hanya

dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid

endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat

berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan

beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan

sebagai target terapeutik.

Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder.

Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat,

oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang

membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase

yang menyebabkan rusaknya membran sel.

Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks

dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease,

dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas

mitokondria dan kerusakan membran sel.

Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses

terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin

bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa

zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin)

berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator dari kerusakan

jaringan sekunder.

Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan

apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera

primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang signifikan

pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis

berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya. Proses cedera sekunder

berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama

regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan

proses reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari

Page 10: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

materi abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas

sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori

dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis.

2.6. Diagnosa

2.6.1. Manifestasi klinis

Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena.

Paraplegia

Paralisis sensorik motorik total

Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi kandung kemih)

Penurunan keringat dan tonus vasomotor

Penurunan fungsi pernafasan

Gagal nafas (Diane C. Baughman, 200:87)

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

Pada keadaan cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya

perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, dan hipotensi.

B 1 (Breathing)

Pada beberapa keadaan trauma sum-sum tulang belakang pada daerah servikal dan

torakal hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan di dapatkan hal-hal berikut:

- Inspeksi umum : batuk dengan peningkatan produksi sputum, sesak nafas,

penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat

retraksi interkostalis, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada: menilai

simetris atau tidak simetrisnya,

- Palpasi : fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan

apabila melibatkan trauma pada rongga thorak

- Perkusi : adanya suara redup sampai pekak pada keadaan yang melibatkan trauma

pada thorak

- Auskultasi : terdengan suara nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor, ronkhi.

Page 11: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

B 2 (Blood)

Pada system kardiovaskuler di dapatkan syok hipovolemik. Pada beberapa keadaan

ditemukan tekanan darah menurun, bradikardi, berdebar-debar, pusing saat melakukan

perubahan posisi, bradikardi ekstremitas dingin dan pucat.

B 3 (Brain)

Pengkajian otak meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral, dan

pengkajian syaraf cranial.

- Pengkajian tingkat kesadaran: tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap

lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan, pada

keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat letargi, strupor,

semikomatosa sampai koma.

- Pengkajian fungsi serebral: status mental; observasi penampilan, tingkah laku, nilai

gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik.

- Pemeriksaan syaraf cranial:

a. Saraf I : biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan

b. Saraf II : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal

c. Saraf III, IV, dan VI: biasanya tidak mengalami gangguan mengangkat kelopak

mata pupil isokor

d. Saraf V : umumnya tidak terdapat paralisis pada otot wajah dan refleks kornea

biasanya tidak ada kelainan

e. Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris

f. Saraf VIII: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

g. Saraf IX dan X : kemampuan menelan baik

h. Saraf XI : tidak ada atropi otot sternokleidomastoideus dan trapezius

i. Saraf XII: lidah simetris indra pengecapan normal

- Pengkajian system motorik: inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstremitas

bawah. Baik bersifat paralisis, paraplegi, maupun quadriplegia.

- Tonus otot : didapatkan menurun sampai menghilang

- Kekuatan otot : pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan otot

didapatkan tingkat 0 pada ekstremitas bawah

Page 12: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

- Keseimbangan dan koordinasi : didapatkan mengalami gangguan karena kelumpuhan

pada ekstremitas bawah

- Pengkajian refleks : refleks Achilles menghilang, dan refleks patella biasanya

melemah

- Pengkajian system sensorik: gangguan sensabilitas pada trauma medulla spinalis

sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.

B4 (Bladder)

Trauma pada kauda ekuina klien mengalami hilangnya refleks kandung kemih yang

bersifat sementara dank lien kemungkinan inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkonsumsi

kebutuhan, ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kontrol motorik dan postural

selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.

B5 (Bowel)

Pada pemeriksaan refleks bulbokavernosa di dapatkan positif mendadak adanya syok

sinal.

B6 (Bone)

Memeriksa warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya kesulitan untuk

beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensoris, dan mudah lelah menyebabkan masalah

pada pola aktivitas dan istirahat.

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang

a. Sinar X

Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang-tulang, tekstur, erosi, dan perubahan

hubungan tulang pada vertebra lumbal.

b. CT Scan

Pemeriksaan menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena (lumbal) dan

dapat memperlihatkan cedera ligament atau tendon.

c. MRI

Page 13: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

Pemeriksaan ini khusus, noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang

radio, dan computer untuk memperlihatkan abnormalitas jaringan lunak seperti otot,

tendon, dan tulang rawan.

d. Mielografi

Penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga subarachnoidspinalis lumbal. Yang

menunjukkan adanya penyimpangan medulla spinalis atau sakus duralspinal yang

disebabkan oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain.

2.7. Penatalaksanaan

Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan pada

kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas – hanya sekitar 40% cedera medula spinalis yang

terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi

survei primer, resusitasi dan survei sekunder.

Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang pertama,

pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian metilprednisolon

dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan dalam studi NASCIS-III.2

Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan diikuti

dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam atau 48 jam secara

infusan.

Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir dengan

mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya menerima oksigen

tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati 100%

Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus diimobilisasi untuk

mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.

Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi. Optimisme

yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa dari cedera medula

spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan farmakologis untuk

mencegah cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam praktek klinis.

Page 14: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus dipelajari

baik dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan olfactory

ensheating glial cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.

Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma penanganan

cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi dekompresi masih

menuai banyak kontroversi.

Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula spinalis,

deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari subjek yang

potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis dengan follow up jangka

panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan memberikan gambaran perkiraan dari

insidensi dan prevalensi, mengidentifikasi faktor resiko, memberikan gambaran kecenderungan,

dan memprediksi keperluan di masa yang akan datang.

2.8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu

instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma, nyeri

dan gangguan fungsi seksual.

Page 15: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

BAB III

KESIMPULAN

Trauma medulla spinalis adalah trauma yang biasanya berupa fraktur atau cedera lain

pada tulang vertebra, korda spinnalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis,

dapat terpotong, tertarik, terpilin, atau tertekan. Kerusakan pada kolumna vertebralis atau korda

dapat terjadi disetiap tingkatan, kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda atau

hanya sebagian.

Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang

diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis.

Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi

atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada

medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.

Page 16: TRAUMA MEDULA SPINALIS.docx

DAFTAR PUSTAKA

Mardjono, M. Sidharta, P. 1989. Neuri Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat Jakarta.

Sylvia, P., LM, Wilson.2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2.

Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, R., Wim, D.L. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.