91619868 medula spinalis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis
akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord
Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula
spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat
kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000
pertahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula
spinalis.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk
meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang paling sering digunakan
adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika Serikat menunjukkan urutan
frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sbb : (1)
tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet (27,3%), (3) paraplegi inkomplet
(21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas untuk mengetahui lebih lanjut tentang
penatalaksanaan pada cedera medulla spinalis, maka kami menyusun rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Menjelaskan tentang pengertian Trauma medulla spinalis.
2. Menjelaskan tentang etiologi cedera medulla spinalis
3. Menjelaskan manifestasi klinik dari cedera medulla spinalis
4. menjelaskan bagaimana peñatalaksanaan umum (survey primer dan sekunder)
5. Menyusun askep pada klien dengan masalah cedera medulla spinalis
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. KONSEP CEDERA MEDULA SPINALIS
a. Anatomi Fisiologi Medula Spinalis
Spinal cord merupakan perpanjangan dari otak dalam menginervasi bagian bawah dari
tubuh, karenanya komposisi spinal cord mirip otak yaitu terdiri dari grey mater dan
white mater. Grey mater ada di bagian dalam dan white mater ada di bagian luar.
Spinal cord dimulai dari foramen magnum di bagian atas diteruskan pada bagian
bawahnya sebagai conus medullaris, kira-kira padda level T12-L1 selanjutnya
dteruskan ke distal sebagai kauda equina.pada setiap level akan keluar serabut syaraf
yang disebut nerve root.
b. Definisi
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis, dan
lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada
tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen
dan diskus, tulang belakang dan sumsum tulang belakang (medula spinalis).
c. Etiologi
Trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan
tulang belakang dalam melindungi syaraf - syaraf yang berada didalamnya. Trauma
tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri,
kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon, bangunan/ ketinggian, luka tusuk, luka
tembak, dan kejatuhan benda keras.
d. Patofisiologi
Trauma pada leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur kolumna
vertebra, komprei diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan kompresi medula
spinalis pada setiap sisinya yang dapat menekan spina dan bermanifestasi pada
kompresi radiks dan distribusi syaraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal.
Trauma pada servikal bisa menyebabkan cidera spinal stabil dan tidak stabil.
Cedera stanil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan tergeser dengan
gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan biasanya resikonya
lebih rendah. Cedera yang tak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran
lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari oseoligamentosa posterior
(pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan
supraspinosa), komponen peertengahan (sepertiga bagian posterior badan vertebral,
bagian posterior dari diskus intervertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan
kolumna anterior (dua pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus
intervertebralis, dan ligamen longitudinal anterior).
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan
memaksa kepala ke belakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga kepala itu
membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus
syaraf mungkin mengalami kerusakan.
Pada cedera fleksi akan meremukkan badan vertebral menjadi baji, ini adalah
cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebral yang paling sering ditemukan.
Jika ligamen posterior tersobek, cedera bersifat tak stabil dan badan vertebral bagian
atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya.
e. Manifestasi Klinis
- Hipoventilasi atau gagal pernafasan terutama pada cidera setinggi servikal
- Edema pulmoner akibat penatalaksanaan cairan intravena yang tidak tepat
- Paralisis flaksid di bawah tingkat cidera
- Hipotensi dan bradikardi
- Retensi urin dan alvi
- Paralisis usus dan ileus
- Kehilangan kontrol suhu
f. Klasifikasi
1. Cedera medula spinalis komplet
2. Cedera medula spinalis inkomplet
5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal
Cord Injury Association:
1. Central Cord Syndrom
Central Cord Syndrom (CCS) terjadi setelah cedera hiperkstensi, sering terjadi
pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervikalis. Paling sering
terjadi pada segmen vertebra C4-C6. Sebagian kasus ini tidak ditandai oleh
adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat
penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi
osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling
rentan adalah bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian
sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya
trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang
ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat
cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan
hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya
edema. Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih
prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi
ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas
(terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologik
permanent. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering
adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medula spinalis
C6 dengan ciri LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus
dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral.
2. Anterior Cord Syndromn
3. Brown Sequard Syndrom
4. Cauda Equina Syndrom
5. Conus Medullaris Syndrom
6. Posterior Cord Syndrom
g. Pemeriksaan Diagnostik
1. Radiologi servikal. didapatkan:
- fraktur odontoid didapatkan gambaran pergeseran tengkorak ke depan
- fraktur C2 didapatkan gambaran fraktur
- fraktur pada badan f=vertevra
- fraktur kompresi
- subluksasi pada tulang belakang servikal
- dislokasi pada tulang servikal
2. CT Scan
Didapatkan fraktur pada tulang belakang, menggambarkan strukur spinal dan
perispinal
3. MRI
Digunakan untuk mengkaji jumlah kompresi medula dan jenis cidera dimana
medula spinalis berlanjut
4. Pielogram intravena
Untuk menentukan fungsi kandung kemih
5. Sistoskopi
Pemeriksaan yang memungkinkan visualisasi langsung dari kandung kemih dan
uretra, dapat mendeteksi batu, infeksi, atau rumor kandung kemih
h. Penatalaksanaan
1. Lakukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada medula
spinalis. Sebagian cederaa medula spinalis diperburuk oleh penanganan yang
kurang tepat, efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan syaraf yang sudah
terganggu.
- Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan
- Beri bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah pergeseran
- Selimuti pasien untuk mencegah kehilangan hawa panas badan
- Pindahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas penanganan kasus
cedera medula spinalis
2. Perawatan khusus
a. Komosio medula spinalis (fraktur atau dislokasi) tidak stabil harus
disiingkirkan, jika terjadi pemulihan sempurna pengobatan tidak diperlukan
b. Kontusio/ transeksi/ kompresi medula spinalis
Metil prednisolon 30mg/kgBB bolus intravena selama 15 menit
dilanjutkan dengan 5,4 mg/kgBB/jam selama 45 menit. Setelah bolus,
selama 23 jam, hasil optimal bila pemberian dilakukan <8 jam onset.
Tambahkan profilaksis stres ulkus: antasid/ antagonis H2.
3. Tindakan operasu diindikasikan pada :
a. Reduksi terbuka pada dislokasi
b. Fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis
c. Cedera terbuka dengan benda asing/ tulang dalam kanalis spinalis
d. Lesi parsial medula spinalis dengan hematomielia yang progresif
4. Perawatan umum
Perawatan vesika dan fungsi defekasi
Perawatan kulit/ dekubitus
Nutrisi yang adekuat
Kontrol nyeri: analgetik, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
antikonvulsan, kodein, dll
5. Fisioterapi, terrapi vokasional, dan psikoterapi pada pasien yang mengalami
sekucle neurologis berat dan permanen
i. Komplikasi
1. Pneumonia
2. Emboli paru
3. Septikemia
4. Gagal ginjal
j. Prognosis
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki kemungkinan 5%
untuk membaik. Pada cedera komplet yang menetap lebih dari 72 jam, maka hampir
tidak ada kemungkinan untuk kembali pulih. Sindroma cedera inkomplet memiliki
prognosis yang jauh lebih baik. Penyebab kematian utama pada pasien dengan cedera
medula spinalis adalah pneumonia, emboli paru, dan septikemia.
k. Web of Caution (WOC)
2. KONSEP INFEKSI
a. Definisi
Infeksi adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikroorganisme) didalam tubuh
b. Mekanisme
Mikroorganisme akan melakukan invasi atau penembusan pada permukaan tubuh
luar dan dalam yang terluka atau rusak, selain itu kuman dapat masuk ke dalam tubuh
melalui gigitan antropoda. Kuman yang berada dalam tubuh akan menghasilkan
runtuhan kuman dan unsur-unsur tubuh yang merupakan toksik bagi tubuh. Toksik
yang dikeluarkan kuman dalam pembuluh darahdan menimbulkan suatu reaksi disebut
toksemia, dengan gejala demam, perasaan tidak enak badan, anoreksia, selesma,
batuk dan lainnya.
Trauma pada servikalis
tipe ekstensi
Fraktur, sublukasi, dislokasi,
kompresi dikus, robeknya
ligamentum, dan kompresi
akar syaraf
Trauma pada servikalis
tipe ekstensi
Kompresi korda
Cedera spinal tidak stabil Cedera spinal stabil
Risti injury Fraktur kompresi baji
Ligamentum utuh Spasme otot
Tindakan
dekompresi
dan stabilisasi
Mk :
Aktual/risiko:
Pola nafas tidak
efektif
Curah jantung
menurun
Nyeri Spasme otot
Paralisis
ekstremitas
atas dan bawah
MK:
Kecemasan
Respon
psikologis
Prognosis penyakit
Fase asuhan
perioperatif
Kompresi diskus
dan kompresi akar
syaraf di sisinya
MK:
Imobilisasi
Mk:
Ggn integritas
kulit
Kompresi
jaringan
Masa inkubasi adalah masa antara penetrasi dan mula timbulnya prodom. Infeksi
yang terjadi dalam tubuh dapat berlalu hanya setengah jalan disebut infeksi yang
abortif. Apabila kuman berkembangbiak dan menetap dialiran darah maka disebut
septikemia.
c. Invasi pada Susunan Syaraf Pusat (SSP)
Kuman yang berhasil menerobos permukaan tubuh dalam dan luar, dapat menuju
sistem saraf pusat melalui beberapa jalur, antara lain:
1. Bersarang di mastoid dan menjalar ke otak perkontinuatum
2. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral
3. Penyebaran hematogen, seperti peradangan arteri meningeal
d. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi infeksi pada sistem saraf pusat, antara lain:
1. Faktor Tuan rumah
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan
umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran
darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi
sempurna.
2. Faktor Kuman
Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi disusunan
saraf pusat bilamana terdapat gangguan pada sistem limfoid atau retikulo-
endotelial.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan bersangkutan dengan transmisi kuman.
e. Klasifikasi
Klasifikasi menurut organ yang terkena peradangan, dimana pembahasan
mekanisme infeksi susunan saraf akan dilakukan menurut:
1. Infeksi viral
Virus melekat pada sel secara kebetulan, terutama pada permukaan sel dimana
virus dapat diabsorpsi atau yang disebut reseptor. Neuraminidase bisa
menghancurkan reseptor-reseptor sehingga adsorpsi virus tidak terjadi. Setelah
terabsorbsi maka virus akan menembus membran sel dengan jalan menuangkan
“nucleid acid”nya ke sitoplasma atau secara pasif ia diringkus oleh juluran
sitoplasma sel.
Setelah virus didalam sitoplasma, maka kapsul sel tuan ruamahakan
dihancurkan. Kemudian, kontak yang dilakukan oleh “nucleid acid” dan sitoplasma
sel tuan rumah akan melakukan replikasi dari “nucleid acid” virus.
Penyebaran merupakan tahap virus menginfeksisel tuan rumah setelahreplikasi,
dimana sel tuan rumah dapat dihancurkan maupun tidak, tetapi menjalar pada sel
tetangga.
Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, maka timbul
manifestasi lokalisatorik yang berupa sindrom meningitis,ensefalitis,
meningoensefalitis atau ensefalomielitis.
2. Infeksi bakteri
Infeksi bakterial umumnya dapat diberantas dengan antibiotik, apabila terdapat
kegagalan pengobatan disebabkan keterlambatan pemberian pertolongan terapiutik
atau daya tahan tubuh yang kurang.
Sistem saraf pusat tidakmemiliki “antibody”, apabila Blood Brain Barrier rusak
karena infeksi, protein plasma dan leukosit dapat memasuki otak dan medula
spinalis. Sehingga, proses radang dan reaksi imunologik dapat berkembang
disusunan saraf pusat juga.
Manifestasi lokalisatorik yang khas antara lain menngitis,tetanus, abses serebri,
abses epidural serebri atau spinal, granuloma intraserebral atau epidural spinal,
tromboplebitis serebral dan arakhnoiditis.
3. Infeksi spiroketa
Infeksi spirokenta yang mengganggu susunansaraf pusat secara menyeluruh
adalah infeksi spiroketa jenis treponema palidum(penyebab sifilis) dan leptospira
ikterohemoragika (penyebab meningitis).walaupun kedua kuman ini tergolong
dalam satu keluarga, cara invasi dan patogenitasnya berlainan. Persamaannya
hanya dalam bentuknya saja, yaitu spiral.
4. Infeksi fungue
Infeksi yang ditimbulkan oleh fungi dibagi menjadi infeksi luar (kulit) dan
infeksi dalam (misal paru). Infeksi fungi dalam yang dapat menyebabkan infeksi
sistemik, yaitu penyebaran infeksi diberbagai bagian tubuh secara hematogen.
Jenis jamur yang menjadi penyebab infeksi sistemik yang berkomplikasi
neurologik,antara lain: kriptokokus, nokardia, mukomikosis, koksidiomikosis,
aktinomikosis dan aspergilus.
Pada umumnya invasi kedalam otak merupakan penyebaran hematogen dari
saranginfeksi paru-paru. Perjalanan perkontinuatum dapat juga terjadi melalui
permukimannya di nasofarings. Nasofarings sendiri dapat tidak mengalami
gangguan yang berart, sehingga apabila terjadi infeksi fungal serebral melalui
penjalaran dari nasofaring, manifestasi serebralnya dapat dikira sebagai gejala
neurologik primer.
5. Infeksi protozoa
Infeksi protozoa yang dapat melibatkan susunan sarafpusatialah
tripanosomiasis, malaria, toksoplasmosisdan amebiasis.
6. Infeksi metazoa
Metazoa yang patogen terdiri dari nematoda, trematoda, sestoda. Meskipun
ukuran cacing tersebut besar sehingga tidak mungkin aliran darah dapat
menyebarluaskan pada organ-organ, namun dengan siklus kehidupan dalam
tempayak maka cacing-cacing tersebut dapat tiba di organ tubuh dan susunan saraf.
a. Infeksi nematodal
Kista tempayak trikinela spiralis dilumerkan didalam traktus gastrointestinal,
sehingga tempayak dapat melakukan invasi kedalam usus. Setelah dewasa,
tempayak tersebut akan melepaskan tempayak baru dan menyebar secara
hematogen, terutama pada otot skeletal, terkadang miokardium dan susunan
saraf pusat juga terdapat tempayak trikinela.
b. Infeksi trematoda
Skistosoma dan paragonimus merupakan trematoda yang biasanya ditemukan
pada manusia, dimana keduanya dapat melakukan invasi kedalam susuna saraf
pusat setelah paru-paru dihuni oleh cacing tersebut. Skistosoma masuk kedalam
tubuh melalui siput tertentu, dimana meminum dan mandi di sungai, sehingga
serkaria (skistosoma yang belum dewasa) menembus permukaan tubuh luar dan
dalam, lalu tiba di venula dan melalui pembuluh darah balik serkaria beradadi
paru-paru. Sedangkan paratogonimus banyak terdapat padaikan dan ketam,
apabila ikan dan ketam tidak dimasak atau meminum air yangtercemarmaka
timbul infeksi paragonimiasis yang mana menginvasi dengan cara melumerkan
kista paragonimus dan bentuk metaserkaria muncul. Metaserkaria akan
berpindah ke rongga abdomen melalui peritonium dan kemudian menembus
diafragma dan paru-paru.
c. Infeksi sestodal
Cacing sestoda yang menginfeksi ada tiga, antara laintenia solium,
ekinokokus granularis dan multiseps-multiseps. Tenia solium menimbulkan
penyakit yang dinamakan sistiserkosis, dan ekinokokus adalah
penyebabpenyakit hidatidosis.
f. Manifestasi Klinis
1. Infeksi Viral
a. Meningitis Viral
Infeksi oleh virus campak, enterovirus, dan beberapa virus lainnya dapat
menyebabkan penyakit ringan yang sembuh sendiri tanpa komplikasi berat
meningitis bakterial akut. Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal
dan jumlah sel hingga beberapa ribu sel per µL, biasanya limfosit dengan
beberapa sel polimorfik, kecuali pada tahap awal infeksi.konsentrasi protein
sedikit meningkat dan kadar glukosa normal. Diagnosis banding sangat
banyak pada kasus dengan gejala meningismus dan limfositosis cairan
serebrospinal-sindrom “meningitis aseptik”.
b. Ensefalitis Viral
Pasien mengalami nyeri kepala, demam dan penurunan tingkat kesadaran
dalam beberapa jam atau hari. Dapat terjadi kejang dan tanda neurologis
fokal yang mungkin menunjukkan disfungsi hemisferserebri dan batang
otak.tanda-tanda hemisferik (disfasia, hemiparesis) meningkatkan kecurigaan
ensefalitis herpes simpleks.
c. Herpes Zoster
Pasien mengalami nyeri lokal dan gatal sebelum munculnya ruam bervesikel
pada kulit, yang menganai satu dermatom atau beberapa dermatom yang
berdekatan, sering pada batang tubuh. Setelah lesi kulitmembaik, nyeri dapat
bersifat persisten dan sangat sulit diterapi.
d. Infeksi retroviral
Pertama, virus ini memiliki afinitas terhadap jaringan saraf, yaitu bersifat
neurotropuk selain limfotropik. Dapat terjadi meningitis pada serkovesi, pada
tahap lanjut dapat terjadi demensia progresif lambat dan keterlibatan bagian
lain sistem saraf terutama medula spinalis dan saraf perifer.
2. Infeksi Bakteri
a. Meningitis Bakterial
Umumnya terdapat nyerikepala hebat disertai nyeri dan kekauan pada leher
dan punggung, muntah, serta fotofobia. Kecepatan onset nyeri kepala
cukupncepat, walaupun tidak mendadak seperti perdarahan subarakhnoid,
namun pasien dapat mengalami penurunan kesadaran dan kejang.
b. Abses Otak
Terdapat pembesaran masa di otak, peningkatan intrakranial. Tanda fokal
(disfasia, hemiparesis, ataksia), kejang, demam namun tidak terlalu sering.
c. Infeksi parameningeal
Pasien mengeluhkan gejala nyeri pinggang berat, demam, dan parasis yang
berkembang cepat.
d. Tuberkulosis
Gambaran klinis meliputi nyeri kepala persisten, demam, kejan, dan tanda
neurologis fokal, tekanan intrakranial, serta peningkatan sel dan kadar
glukosa serta protein tinggi.
e. Sifilis
Gejala yang muncul adalah tanda fokal seperti palsi nervous kranialis,
hemiparesis, paraparesis dan atrofi otot intrinsik.
e. Lepra
Terjadi polineuropat sensorik berbentuk bercak dengan dengan penebalan
saraf yang teraba dan terdapat areadepigmentasi anastesi pada kulit.
3. Protozoa
Timbul gejala demam, ensefalitik hemoragik, hidrosefalus, kalsifikasi
intrakranial, koroidoretinitis, kejang, peningkatan intrakranial.
g. Pemeriksaan Diagnostik
1. Infeksi Viral
CT Scan, MRI, titer retrospektif, Immunoassay antigen virus, PCR, EEG
2. Infeksi Bakteri
Lumbal pungsi, CT Scan, hitung darah lengkap, pemeriksaan koagulasi,
elektrolit, kultur darah, radiografi dada dan kranium.
h. Penatalaksanaan
1. Ensefalitis Viral
Pemberian asiklovir (10 mg/kg intravena setiap 8 jam selama 14 hari),
pemberiangansiklovir bila dicurigai pada infeksi sitomegalovirus.
2. Herpes Zoster
Penyakit ini dapat sembuh sendiri, namun memerlukan terapi dengan asiklovir
dengan dosis oral yang lebih tinggi dari herpes simpleks superfisial.
3. Infeksi bakteri
Pemberian benzilpenisilin untuk infeksi meningokokus dan pneumokokus
dengan dosis 2,4 g diikuti 1,2 g setiap jam dalam 48-72 jam, pemberian
kloramfenikol, sefotaksim, bila penyebabnya belum diketahui dapat diberikan
kombinasi benzilpenisilin dan sefotaksim, tirah baring,analgesik, antripiretik,
anti konvulsan serta terapi suportif untuk syok.
3. KONSEP IMOBILISASI
a. Definisi
Imobilisasi didefinisikan sebagai pembatasan atau keterbatasan fisik dari anggota
badan dan tubuh itu dalam berputar, duduk dan berjalan (Susan J. Garrison, 2001).
b. Etiologi
Hal yang dapat menyebabkan imobilisasi adalah;
1. Gangguan dan cedera musculoskeletal seperti paralisis
2. Gips Ortopedik, jaket tubuh dan bidai
3. Penyakit kritis yang memerlukan istirahat
4. Menetap lama pada posisi gravitasi berkurang, seperti saat duduk dan berbaring
5. Keadaan tanpa bobok di ruang hampa,yaitu pergerakan tidak dibatasi, namun tanpa
melawan gaya gravitasi
6. Istirahat ditempat tidur yang lama menurunkan aktivitas metabolism umum, yang
mengakibatkan kapasitas fungsional system tubuh yang multiple.
c. Manifestasi Klinis
1. Pada system saraf pusat
a. Perubahan sensasi
b. Penurunan aktivitas motorik
c. Kelabilan otonom
d. Gangguan tingkah laku dan emosi
e. Defisit intelektual
2. System muscular
a. penurunan kekuatan otot
b. penurunan daya tahan
c. atrofi otot
d. koordinasi yang buruk
3. System skeletal
a. Osteoporosis
b. Fibrosis dan ankilosis sendi
4. System kardiovaskuler
a. Peningkatan denyut jantung (keadaan adrenergic)
b. Penurunan cadangan jantung
c. Hipotensi otorstatik
d. Flebotrombosis
Denyut jantung meningkat 1 denyut tiap menit tiap dua hari perawatan di tempat
tidur pada orang yang sehat, volume darah menurun sebesar 7 % dan ambilan
oksigen maksimum (VO2 maks) menurun 27 % setelah 20 hari perawatan di tempat
tidur. Efek dari fakto-faktor ini adalah penurunan efisiensi jantung dan intoleransi
terhadap posisi berdiri yang mengakibatkan pusing atau pingsan bila mencoba
untuk berdiri. Kesulitan berdiri ini mengganggu aktifitas fungsional.
Flebotrombosis adalah resiko yang diketahui. Statis vena dan limfa terjadi pada
ekstremitas inferior karena kompa otot betis sebagai akibat dari akibat inefektifitas.
Factor pendukung yang lain berhubungan dengan imobilitas termasuk paralisis,
status pasca bedah, gagal jantung kongestif, obesitas, usia lanjut, dan dehidrasi.
5. System respirasi
a. Penurunan kapasital vital (gangguan restriktif)
b. Penurunan ventilasi volunter maksimal (gangguan restriktif)
c. Perubahan regional dalam ventilasi atau perfusi
d. Gangguan mekanisme batuk
Istirahat di tempat tidur menyebabkan gangguan tahanan mekanik akibat dari
penurunan seluruh kekuatan dan pengurangan pengembangan otot-otot interkostal,
diafragma, dan abdominal saat pernafasa supinasi. Sendi kostovertebral dan
kostokondral serta otot0otot abdominal bisa jadi terfiksasi dalam kondisi ekspirasi
sehingga menyebabkan penurunan inspirasi maksimal, dan berakibat pada
penurunan kapasitas vital dan fungsional.
6. System pencernaan
a. Anoreksia
b. Konstipasi
Anoreksian dan konstipasi merupakan akibat dari penurunan kebutuhan metabolic
dan perubahan endokrin demikian pula penurunan motilitas lambung dan usus.
7. Efek ginjal dan endokrin
a. Peningkatan dieresis dan perpindahan cairan ekstraseluler
b. Peningkatan natreuresis
c. Hiperkalsiuria
d. Batu ginjal
8. System kulit
a. Atrofi kulit disebabkan oleh nutrisi yang tidak memadai.
b. Ulkus tekan disebabkan oleh lamanya penekanan yang menyebabkan nekrosis
iskhemik pada jaringan lunak di atas tonjolan-tonjolan tulang seperti sacrum,
ischium, trokhanter, dan tumit.
d. Penatalaksanaan
Penatalaksaan imobilisasi terbaik adalah pencegahan.
a. Posisi pasien :
Posisi terlentang batang tubuh harus berjajar dengan panggul, lutut dan
pergelangan kaki berada pada posisi netral dengan jari-jari kaki menunjuk kearah
langit-langit. Bahu berada dalm fleksi 300 dan abduksi 45
0, pergelangan tangan
ekstensi 20-300
, dan tangan dalam keadaan fungsional.
b. Tempat tidur yang benar memiliki kasur berbentuk kerat setebal 4 inchi dan papan
kaki.
c. Tangani vesika urinaria dengan kateter eksternal atau kateter intermiten.
d. Terapi fisik harus dimulai disisi tempat tidur dan lanjutkan ke bagian tepi, yang
menekankan mobilisasi progresif.
e. Osteoporosis dapat dicegah dengan berdiri pada posisi menahan berat badan.
f. Pantau pasien terhadap tanda dan gejala hiperkalsemia, ulkus tekan, infeksi saluran
kemih, pneumonia ,dan beri obat yang sesuai.
e. Patofisiologi
BAB III
Kondisi patologis
osteoporosis
Trauma langsung/tidak
langsung
fraktur
Terputusnya kontinuitas jaringan
Lumpuh/parestesia
Saraf rusak
Imobilisasi fisik
Perubahan permeabilitas
kapiler
Oedema/bengkak
lokal/hematoma
Resti perubahan perfusi
jaringan perifer Nyeri
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1. Identitas:
2. Keluhan utama
Nyeri, kekakuan pada leher atau punggung
3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Klien mengalami kekakuan pada leher, baal, paraestesia atau kelemahan pada
ekstremitas atas dan bawah setelah mengalami kecelakaan lalu lintas/ kecelakaan
olahraga/ kecelakaan industri/ kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon, bangunan/
ketinggian, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras pasien. Klien dapat
mengalami penurunan kesadaran.
4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat cedera pada leher sebelumnya, menggunakan obat-obatan seperti alkohol
5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK): keluarga menderita penyakit menurun yang dapat
memperberat trauma, seperti HT atau DM
6. Riwayat Psikologis: Cemas, gelisah
2. PEMERIKSAAN FISIK
a. Breathing (B1)
Kapasitas vital (VC) menurun, hipoventilasi, gagal nafas
b. Blood (B2)
Hipotensi dan bradikardia
c. Brain (B3)
Penurunan kesadaran, reflek bulbokavernosus (+), kehilangan refleks tendon dan
abdominal, refleks babinski (+) pada gejala awal syok spinal, kehilangan kontrol
autoregulasi
d. Bladder (B4)
Retensi urine, inkontinesia urine
e. Bowel (B5)
Retensi alvi, paralisis usus dan ileus
f. Bone (B6)
Trauma pada servikal atau setinggi torasik, memar pada wajah atau abrasi dangkal
pada dahi, mata, atau dagu merupakan tanda cedera hiperekstensi pada leher, paralisis
flaksid
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari
cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit
neurologik.
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari
cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.
Tujuan : Tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.
Kriteria hasil :
Ttv dalam batas normal
GCS 4-5-6
tidak adanya tanda-tanda syok spinal.
Intervensi:
a) Observasi TTV tiap 15 menit
R/ Penurunan denyut jantung dan tekanan darah merupakan tanda awal hilangnya
sensor pengiriman dari refleks baroreseptor dampak dari kompresi korda.
b) Monitor tiap jam akan adanya syok spinal pada spinal pada fase awal cidera.
R/ Cedera pada vetebra servikal dapat mengakibatkan terjadinya syok spinal. Syok
spinal adalah tidak berfungsinya sistem saraf otonom dalam mengatur tonus
pembuluh daah cardiac output. Gambaran klasik berupa hipotensi, bradikardi,
paralisis, tes refleks bulbokarvaneous pada colok dubur di dapatkan penjepitan
anus (+). Pada awalnya, selama fase syok spinal, mungkin terdapat paralisis
lengkap dan hilangnya perasaan dibawah tingkat cidera. Keadaan ini dapat
berlangsung selama 48 jam dan selama periode ini sulit diketaui apakah lesi
neurologis lengkap atau tidak lengkap.
c) Lakukan teknik pengangkatan cara log rolling dan atau menggunakan long black
board pada setiap trnsportasi klien
R/ Teknik ini mempunyai prinsip memindahkan kolumna vertebralis sebagai satu
unit dengan kepala dan pelvis dengan tetap menjaga kesejajaran tulang belakang
untuk menghindari kompresi korda.
d) Istirahatkan klien dan atu posisi fisiologis.
R/ Posisi fisiologis akan menurunkan kompesi saraf leher.
e) Imobilisasi leher terutama pada klien yang mengalami cedera spinal tidak stabil.
R/ Pemasangan fiksasi kolar servikal dapat menjaga kestabilan dalam melakukan
mobilitas leher.Pada saat pemasangan collar cervical perawat penting menjaga
kesejajaran dari posisi leher dalam posisi netral agar jangan terjadi kompresi korda.
f) Kolaborasi dalam pemeriksaaan radiologi.
R/ Pemeriksaan utam dalam menilai sejauh mana kerusakan yang terjadi pada
cedera spinal servikal.
g) Kolaborasi dengan dokter untuk dilakukan fiksasi luar dengan halo-body cast pada
klien dengan fraktur kompresi C3-T1.
R/ Pemasangan halo-body cast dilakukan untuk kstabilan servikal.
h) Untuk dilakukan dekompresi dan stabilisasi terutama pada klien dengan cedera
spinal tidak stabil atau mempunyai risiko tinggi kompresi korda servikal.
R/ Tindakan medis dekompresi untuk mencegah terjadinya kompesi korda.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit
neurologik.
Tujuan : klien mampu melakukan mobilisasi secara maksimal.
Kriteria hasil :
Pasien mempertahankan fleksibilitas seluruh sendi.
Bebas dari footdrop, kontraktur, rotasi panggul.
Pasien dapat melakukan mobilisasi secara bertahap.
Intervensi :
a) Kaji fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan.
b) Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan mempehatikan kestabilan tubuh dan
kenyamanan pasien.
R/mencegah terjadinya dekubitus.
c) Beri papan penahanan pada kaki.
R/ mencegah terjadinya footdrop.
d) Gunakan alat ortopedi, colar, handsplit.
R/ mencgah teerjadinya kontraktur.
e) Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5 kali/hari.
R/ meningkatkan sirkulasi dan mencgah kontraktur.
f) Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ menunjukkan adanya aktivitas yang berlebihan.
g) Konsultasi kepada fisioterapi untuk latihan dan pengguaan alat seperti plints
R/ memberikan penanganan yang sesuai.
STUDI KASUS:
Tn X jatuh dari ketinggian 50 m kedua tungkai dan tangan tidak dapat digerakkan. Saat di RS
pasien mengalami penurunan kesadaran. GCS E2-V3-MX.TD 90/40 mmHg, Nadi 70x/menit,
suhu 38o C,RR 32x/menit, urine produksi 200cc/5 jam. Hasil CT Scan: Dislokasi C4,
intervensi keperawatan yang dapat dilakukan?
4. PENGKAJIAN
a. Biodata
Nama : Tn. X
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status : Belum menikah
Diagnosa Medis : Dislokasi C4
Tgl/jam MRS : 11 November 2011/ 11.11 WIB
Tgl/ jam Pengkajian : 11 November 2011/ 11.11 WIB
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama:
Penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):
Klien jatuh dari ketinggian 50 m tangan dan kedua tugkai tidak bisa di gerakan
dan mengalami penurunan kesadaran, GCS E2 - V3 - Mx
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):
Klien tidak pernah mengalami cedera pada daerah leher sebelumnya
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK):
DM, HT
5. PEMERIKSAAN FISIK
a. Breathing (B1)
RR 32x/menit, penafasan cepat dangkal,SaO2 96%
b. Blood (B2)
Perfusi HKM, TD = 90/40mmhg, nadi = 70x/mnt, reguler, lemah, S = 38o C
c. Brain (B3)
Penurunan kesadaran, GCS E2 - V3 – Mx, refleks babinski (+), reflek
bolbokavernosus (+), pupil isokor
d. Bladder (B4)
Terpasang kateter , urine produksi 200cc/jam
e. Bowel (B5)
Distensi abdomen, BU
f. Bone (B6)
Posisi head up 300, Kedua tungkai dan tangan tidak bisa digerakkan (tetraplegi), skala
kekuatan otot 0 0
0 0
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan: Dislokasi C4
7. ANALISA DATA
Pengelompokan Data Kemungkinan Penyebab Masalah
DS: -
DO: klien mengalami penurunan
kesadaran, GCS E2-V3–Mx, hasil CT
Scan Dislokasi C4
Jatuh dari ketinggian
Trauma pada servikal
kompresi korda spinal servikal
Injuri (cedera)
korda spinalis
DS: -
DO: Kedua tungkai dan tangan tidak
bisa digerakkan (tetraplegi), skala
kekuatan otot 0 0
0 0
Trauma pada servikal
Kompresi diskus dan kompresi
akar syaraf di sisinya
defisit neurologik (tetraplegi)
Gangguan
mobilitas fisik
8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
5. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari
cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit
neurologik.
5. INTERVENSI KEPERAWATAN
3. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari
cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.
Tujuan : Tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.
Kriteria hasil :
Ttv dalam batas normal
GCS 4-5-6
tidak adanya tanda-tanda syok spinal.
Intervensi:
i) Observasi TTV tiap 15 menit
R/ Penurunan denyut jantung dan tekanan darah merupakan tanda awal hilangnya
sensor pengiriman dari refleks baroreseptor dampak dari kompresi korda.
j) Monitor tiap jam akan adanya syok spinal pada spinal pada fase awal cidera.
R/ Cedera pada vetebra servikal dapat mengakibatkan terjadinya syok spinal. Syok
spinal adalah tidak berfungsinya sistem saraf otonom dalam mengatur tonus
pembuluh daah cardiac output. Gambaran klasik berupa hipotensi, bradikardi,
paralisis, tes refleks bulbokarvaneous pada colok dubur di dapatkan penjepitan
anus (+). Pada awalnya, selama fase syok spinal, mungkin terdapat paralisis
lengkap dan hilangnya perasaan dibawah tingkat cidera. Keadaan ini dapat
berlangsung selama 48 jam dan selama periode ini sulit diketaui apakah lesi
neurologis lengkap atau tidak lengkap.
k) Lakukan teknik pengangkatan cara log rolling dan atau menggunakan long black
board pada setiap trnsportasi klien
R/ Teknik ini mempunyai prinsip memindahkan kolumna vertebralis sebagai satu
unit dengan kepala dan pelvis dengan tetap menjaga kesejajaran tulang belakang
untuk menghindari kompresi korda.
l) Istirahatkan klien dan atu posisi fisiologis.
R/ Posisi fisiologis akan menurunkan kompesi saraf leher.
m) Imobilisasi leher terutama pada klien yang mengalami cedera spinal tidak stabil.
R/ Pemasangan fiksasi kolar servikal dapat menjaga kestabilan dalam melakukan
mobilitas leher.Pada saat pemasangan collar cervical perawat penting menjaga
kesejajaran dari posisi leher dalam posisi netral agar jangan terjadi kompresi korda.
n) Kolaborasi dalam pemeriksaaan radiologi.
R/ Pemeriksaan utam dalam menilai sejauh mana kerusakan yang terjadi pada
cedera spinal servikal.
o) Kolaborasi dengan dokter untuk dilakukan fiksasi luar dengan halo-body cast pada
klien dengan fraktur kompresi C3-T1.
R/ Pemasangan halo-body cast dilakukan untuk kstabilan servikal.
p) Untuk dilakukan dekompresi dan stabilisasi terutama pada klien dengan cedera
spinal tidak stabil atau mempunyai risiko tinggi kompresi korda servikal.
R/ Tindakan medis dekompresi untuk mencegah terjadinya kompesi korda.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit
neurologik.
Tujuan : klien mampu melakukan mobilisasi secara maksimal.
Kriteria hasil :
Pasien mempertahankan fleksibilitas seluruh sendi.
Bebas dari footdrop, kontraktur, rotasi panggul.
Pasien dapat melakukan mobilisasi secara bertahap.
Intervensi :
h) Kaji fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan.
i) Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan mempehatikan kestabilan tubuh dan
kenyamanan pasien.
R/mencegah terjadinya dekubitus.
j) Beri papan penahanan pada kaki.
R/ mencegah terjadinya footdrop.
k) Gunakan alat ortopedi, colar, handsplit.
R/ mencgah teerjadinya kontraktur.
l) Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5 kali/hari.
R/ meningkatkan sirkulasi dan mencgah kontraktur.
m) Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ menunjukkan adanya aktivitas yang berlebihan.
n) Konsultasi kepada fisioterapi untuk latihan dan pengguaan alat seperti plints
R/ memberikan penanganan yang sesuai.