91619868 medula spinalis

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 pertahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet (27,3%), (3) paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas untuk mengetahui lebih lanjut tentang penatalaksanaan pada cedera medulla spinalis, maka kami menyusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan tentang pengertian Trauma medulla spinalis. 2. Menjelaskan tentang etiologi cedera medulla spinalis 3. Menjelaskan manifestasi klinik dari cedera medulla spinalis 4. menjelaskan bagaimana peñatalaksanaan umum (survey primer dan sekunder) 5. Menyusun askep pada klien dengan masalah cedera medulla spinalis 1.3 Tujuan 1.4 Manfaat

Upload: gie

Post on 05-Dec-2014

62 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: 91619868 Medula Spinalis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis

akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord

Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula

spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat

kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000

pertahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula

spinalis.

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan

ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk

meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang paling sering digunakan

adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika Serikat menunjukkan urutan

frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sbb : (1)

tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet (27,3%), (3) paraplegi inkomplet

(21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas untuk mengetahui lebih lanjut tentang

penatalaksanaan pada cedera medulla spinalis, maka kami menyusun rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Menjelaskan tentang pengertian Trauma medulla spinalis.

2. Menjelaskan tentang etiologi cedera medulla spinalis

3. Menjelaskan manifestasi klinik dari cedera medulla spinalis

4. menjelaskan bagaimana peñatalaksanaan umum (survey primer dan sekunder)

5. Menyusun askep pada klien dengan masalah cedera medulla spinalis

1.3 Tujuan

1.4 Manfaat

Page 2: 91619868 Medula Spinalis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP CEDERA MEDULA SPINALIS

a. Anatomi Fisiologi Medula Spinalis

Spinal cord merupakan perpanjangan dari otak dalam menginervasi bagian bawah dari

tubuh, karenanya komposisi spinal cord mirip otak yaitu terdiri dari grey mater dan

white mater. Grey mater ada di bagian dalam dan white mater ada di bagian luar.

Spinal cord dimulai dari foramen magnum di bagian atas diteruskan pada bagian

bawahnya sebagai conus medullaris, kira-kira padda level T12-L1 selanjutnya

dteruskan ke distal sebagai kauda equina.pada setiap level akan keluar serabut syaraf

yang disebut nerve root.

b. Definisi

Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis, dan

lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada

tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen

dan diskus, tulang belakang dan sumsum tulang belakang (medula spinalis).

c. Etiologi

Trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan

tulang belakang dalam melindungi syaraf - syaraf yang berada didalamnya. Trauma

tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri,

kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon, bangunan/ ketinggian, luka tusuk, luka

tembak, dan kejatuhan benda keras.

Page 3: 91619868 Medula Spinalis

d. Patofisiologi

Trauma pada leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur kolumna

vertebra, komprei diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan kompresi medula

spinalis pada setiap sisinya yang dapat menekan spina dan bermanifestasi pada

kompresi radiks dan distribusi syaraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal.

Trauma pada servikal bisa menyebabkan cidera spinal stabil dan tidak stabil.

Cedera stanil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan tergeser dengan

gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan biasanya resikonya

lebih rendah. Cedera yang tak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran

lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari oseoligamentosa posterior

(pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan

supraspinosa), komponen peertengahan (sepertiga bagian posterior badan vertebral,

bagian posterior dari diskus intervertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan

kolumna anterior (dua pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus

intervertebralis, dan ligamen longitudinal anterior).

Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan

memaksa kepala ke belakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga kepala itu

membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus

syaraf mungkin mengalami kerusakan.

Pada cedera fleksi akan meremukkan badan vertebral menjadi baji, ini adalah

cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebral yang paling sering ditemukan.

Jika ligamen posterior tersobek, cedera bersifat tak stabil dan badan vertebral bagian

atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya.

e. Manifestasi Klinis

- Hipoventilasi atau gagal pernafasan terutama pada cidera setinggi servikal

- Edema pulmoner akibat penatalaksanaan cairan intravena yang tidak tepat

- Paralisis flaksid di bawah tingkat cidera

- Hipotensi dan bradikardi

- Retensi urin dan alvi

- Paralisis usus dan ileus

- Kehilangan kontrol suhu

Page 4: 91619868 Medula Spinalis

f. Klasifikasi

1. Cedera medula spinalis komplet

2. Cedera medula spinalis inkomplet

5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal

Cord Injury Association:

1. Central Cord Syndrom

Central Cord Syndrom (CCS) terjadi setelah cedera hiperkstensi, sering terjadi

pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervikalis. Paling sering

terjadi pada segmen vertebra C4-C6. Sebagian kasus ini tidak ditandai oleh

adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat

penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi

osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling

rentan adalah bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian

sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya

trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang

ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat

cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan

hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya

edema. Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih

prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi

ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas

(terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologik

permanent. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering

adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medula spinalis

C6 dengan ciri LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus

dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral.

2. Anterior Cord Syndromn

3. Brown Sequard Syndrom

4. Cauda Equina Syndrom

5. Conus Medullaris Syndrom

6. Posterior Cord Syndrom

Page 5: 91619868 Medula Spinalis

g. Pemeriksaan Diagnostik

1. Radiologi servikal. didapatkan:

- fraktur odontoid didapatkan gambaran pergeseran tengkorak ke depan

- fraktur C2 didapatkan gambaran fraktur

- fraktur pada badan f=vertevra

- fraktur kompresi

- subluksasi pada tulang belakang servikal

- dislokasi pada tulang servikal

2. CT Scan

Didapatkan fraktur pada tulang belakang, menggambarkan strukur spinal dan

perispinal

3. MRI

Digunakan untuk mengkaji jumlah kompresi medula dan jenis cidera dimana

medula spinalis berlanjut

4. Pielogram intravena

Untuk menentukan fungsi kandung kemih

5. Sistoskopi

Pemeriksaan yang memungkinkan visualisasi langsung dari kandung kemih dan

uretra, dapat mendeteksi batu, infeksi, atau rumor kandung kemih

h. Penatalaksanaan

1. Lakukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada medula

spinalis. Sebagian cederaa medula spinalis diperburuk oleh penanganan yang

kurang tepat, efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan syaraf yang sudah

terganggu.

- Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan

- Beri bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah pergeseran

- Selimuti pasien untuk mencegah kehilangan hawa panas badan

- Pindahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas penanganan kasus

cedera medula spinalis

2. Perawatan khusus

a. Komosio medula spinalis (fraktur atau dislokasi) tidak stabil harus

disiingkirkan, jika terjadi pemulihan sempurna pengobatan tidak diperlukan

b. Kontusio/ transeksi/ kompresi medula spinalis

Page 6: 91619868 Medula Spinalis

Metil prednisolon 30mg/kgBB bolus intravena selama 15 menit

dilanjutkan dengan 5,4 mg/kgBB/jam selama 45 menit. Setelah bolus,

selama 23 jam, hasil optimal bila pemberian dilakukan <8 jam onset.

Tambahkan profilaksis stres ulkus: antasid/ antagonis H2.

3. Tindakan operasu diindikasikan pada :

a. Reduksi terbuka pada dislokasi

b. Fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis

c. Cedera terbuka dengan benda asing/ tulang dalam kanalis spinalis

d. Lesi parsial medula spinalis dengan hematomielia yang progresif

4. Perawatan umum

Perawatan vesika dan fungsi defekasi

Perawatan kulit/ dekubitus

Nutrisi yang adekuat

Kontrol nyeri: analgetik, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),

antikonvulsan, kodein, dll

5. Fisioterapi, terrapi vokasional, dan psikoterapi pada pasien yang mengalami

sekucle neurologis berat dan permanen

i. Komplikasi

1. Pneumonia

2. Emboli paru

3. Septikemia

4. Gagal ginjal

j. Prognosis

Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki kemungkinan 5%

untuk membaik. Pada cedera komplet yang menetap lebih dari 72 jam, maka hampir

tidak ada kemungkinan untuk kembali pulih. Sindroma cedera inkomplet memiliki

prognosis yang jauh lebih baik. Penyebab kematian utama pada pasien dengan cedera

medula spinalis adalah pneumonia, emboli paru, dan septikemia.

Page 7: 91619868 Medula Spinalis

k. Web of Caution (WOC)

2. KONSEP INFEKSI

a. Definisi

Infeksi adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikroorganisme) didalam tubuh

b. Mekanisme

Mikroorganisme akan melakukan invasi atau penembusan pada permukaan tubuh

luar dan dalam yang terluka atau rusak, selain itu kuman dapat masuk ke dalam tubuh

melalui gigitan antropoda. Kuman yang berada dalam tubuh akan menghasilkan

runtuhan kuman dan unsur-unsur tubuh yang merupakan toksik bagi tubuh. Toksik

yang dikeluarkan kuman dalam pembuluh darahdan menimbulkan suatu reaksi disebut

toksemia, dengan gejala demam, perasaan tidak enak badan, anoreksia, selesma,

batuk dan lainnya.

Trauma pada servikalis

tipe ekstensi

Fraktur, sublukasi, dislokasi,

kompresi dikus, robeknya

ligamentum, dan kompresi

akar syaraf

Trauma pada servikalis

tipe ekstensi

Kompresi korda

Cedera spinal tidak stabil Cedera spinal stabil

Risti injury Fraktur kompresi baji

Ligamentum utuh Spasme otot

Tindakan

dekompresi

dan stabilisasi

Mk :

Aktual/risiko:

Pola nafas tidak

efektif

Curah jantung

menurun

Nyeri Spasme otot

Paralisis

ekstremitas

atas dan bawah

MK:

Kecemasan

Respon

psikologis

Prognosis penyakit

Fase asuhan

perioperatif

Kompresi diskus

dan kompresi akar

syaraf di sisinya

MK:

Imobilisasi

Mk:

Ggn integritas

kulit

Kompresi

jaringan

Page 8: 91619868 Medula Spinalis

Masa inkubasi adalah masa antara penetrasi dan mula timbulnya prodom. Infeksi

yang terjadi dalam tubuh dapat berlalu hanya setengah jalan disebut infeksi yang

abortif. Apabila kuman berkembangbiak dan menetap dialiran darah maka disebut

septikemia.

c. Invasi pada Susunan Syaraf Pusat (SSP)

Kuman yang berhasil menerobos permukaan tubuh dalam dan luar, dapat menuju

sistem saraf pusat melalui beberapa jalur, antara lain:

1. Bersarang di mastoid dan menjalar ke otak perkontinuatum

2. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral

3. Penyebaran hematogen, seperti peradangan arteri meningeal

d. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi infeksi pada sistem saraf pusat, antara lain:

1. Faktor Tuan rumah

Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan

umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran

darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi

sempurna.

2. Faktor Kuman

Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi disusunan

saraf pusat bilamana terdapat gangguan pada sistem limfoid atau retikulo-

endotelial.

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan bersangkutan dengan transmisi kuman.

e. Klasifikasi

Klasifikasi menurut organ yang terkena peradangan, dimana pembahasan

mekanisme infeksi susunan saraf akan dilakukan menurut:

1. Infeksi viral

Virus melekat pada sel secara kebetulan, terutama pada permukaan sel dimana

virus dapat diabsorpsi atau yang disebut reseptor. Neuraminidase bisa

menghancurkan reseptor-reseptor sehingga adsorpsi virus tidak terjadi. Setelah

terabsorbsi maka virus akan menembus membran sel dengan jalan menuangkan

Page 9: 91619868 Medula Spinalis

“nucleid acid”nya ke sitoplasma atau secara pasif ia diringkus oleh juluran

sitoplasma sel.

Setelah virus didalam sitoplasma, maka kapsul sel tuan ruamahakan

dihancurkan. Kemudian, kontak yang dilakukan oleh “nucleid acid” dan sitoplasma

sel tuan rumah akan melakukan replikasi dari “nucleid acid” virus.

Penyebaran merupakan tahap virus menginfeksisel tuan rumah setelahreplikasi,

dimana sel tuan rumah dapat dihancurkan maupun tidak, tetapi menjalar pada sel

tetangga.

Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, maka timbul

manifestasi lokalisatorik yang berupa sindrom meningitis,ensefalitis,

meningoensefalitis atau ensefalomielitis.

2. Infeksi bakteri

Infeksi bakterial umumnya dapat diberantas dengan antibiotik, apabila terdapat

kegagalan pengobatan disebabkan keterlambatan pemberian pertolongan terapiutik

atau daya tahan tubuh yang kurang.

Sistem saraf pusat tidakmemiliki “antibody”, apabila Blood Brain Barrier rusak

karena infeksi, protein plasma dan leukosit dapat memasuki otak dan medula

spinalis. Sehingga, proses radang dan reaksi imunologik dapat berkembang

disusunan saraf pusat juga.

Manifestasi lokalisatorik yang khas antara lain menngitis,tetanus, abses serebri,

abses epidural serebri atau spinal, granuloma intraserebral atau epidural spinal,

tromboplebitis serebral dan arakhnoiditis.

3. Infeksi spiroketa

Infeksi spirokenta yang mengganggu susunansaraf pusat secara menyeluruh

adalah infeksi spiroketa jenis treponema palidum(penyebab sifilis) dan leptospira

ikterohemoragika (penyebab meningitis).walaupun kedua kuman ini tergolong

dalam satu keluarga, cara invasi dan patogenitasnya berlainan. Persamaannya

hanya dalam bentuknya saja, yaitu spiral.

4. Infeksi fungue

Infeksi yang ditimbulkan oleh fungi dibagi menjadi infeksi luar (kulit) dan

infeksi dalam (misal paru). Infeksi fungi dalam yang dapat menyebabkan infeksi

sistemik, yaitu penyebaran infeksi diberbagai bagian tubuh secara hematogen.

Page 10: 91619868 Medula Spinalis

Jenis jamur yang menjadi penyebab infeksi sistemik yang berkomplikasi

neurologik,antara lain: kriptokokus, nokardia, mukomikosis, koksidiomikosis,

aktinomikosis dan aspergilus.

Pada umumnya invasi kedalam otak merupakan penyebaran hematogen dari

saranginfeksi paru-paru. Perjalanan perkontinuatum dapat juga terjadi melalui

permukimannya di nasofarings. Nasofarings sendiri dapat tidak mengalami

gangguan yang berart, sehingga apabila terjadi infeksi fungal serebral melalui

penjalaran dari nasofaring, manifestasi serebralnya dapat dikira sebagai gejala

neurologik primer.

5. Infeksi protozoa

Infeksi protozoa yang dapat melibatkan susunan sarafpusatialah

tripanosomiasis, malaria, toksoplasmosisdan amebiasis.

6. Infeksi metazoa

Metazoa yang patogen terdiri dari nematoda, trematoda, sestoda. Meskipun

ukuran cacing tersebut besar sehingga tidak mungkin aliran darah dapat

menyebarluaskan pada organ-organ, namun dengan siklus kehidupan dalam

tempayak maka cacing-cacing tersebut dapat tiba di organ tubuh dan susunan saraf.

a. Infeksi nematodal

Kista tempayak trikinela spiralis dilumerkan didalam traktus gastrointestinal,

sehingga tempayak dapat melakukan invasi kedalam usus. Setelah dewasa,

tempayak tersebut akan melepaskan tempayak baru dan menyebar secara

hematogen, terutama pada otot skeletal, terkadang miokardium dan susunan

saraf pusat juga terdapat tempayak trikinela.

b. Infeksi trematoda

Skistosoma dan paragonimus merupakan trematoda yang biasanya ditemukan

pada manusia, dimana keduanya dapat melakukan invasi kedalam susuna saraf

pusat setelah paru-paru dihuni oleh cacing tersebut. Skistosoma masuk kedalam

tubuh melalui siput tertentu, dimana meminum dan mandi di sungai, sehingga

serkaria (skistosoma yang belum dewasa) menembus permukaan tubuh luar dan

dalam, lalu tiba di venula dan melalui pembuluh darah balik serkaria beradadi

paru-paru. Sedangkan paratogonimus banyak terdapat padaikan dan ketam,

apabila ikan dan ketam tidak dimasak atau meminum air yangtercemarmaka

timbul infeksi paragonimiasis yang mana menginvasi dengan cara melumerkan

kista paragonimus dan bentuk metaserkaria muncul. Metaserkaria akan

Page 11: 91619868 Medula Spinalis

berpindah ke rongga abdomen melalui peritonium dan kemudian menembus

diafragma dan paru-paru.

c. Infeksi sestodal

Cacing sestoda yang menginfeksi ada tiga, antara laintenia solium,

ekinokokus granularis dan multiseps-multiseps. Tenia solium menimbulkan

penyakit yang dinamakan sistiserkosis, dan ekinokokus adalah

penyebabpenyakit hidatidosis.

f. Manifestasi Klinis

1. Infeksi Viral

a. Meningitis Viral

Infeksi oleh virus campak, enterovirus, dan beberapa virus lainnya dapat

menyebabkan penyakit ringan yang sembuh sendiri tanpa komplikasi berat

meningitis bakterial akut. Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal

dan jumlah sel hingga beberapa ribu sel per µL, biasanya limfosit dengan

beberapa sel polimorfik, kecuali pada tahap awal infeksi.konsentrasi protein

sedikit meningkat dan kadar glukosa normal. Diagnosis banding sangat

banyak pada kasus dengan gejala meningismus dan limfositosis cairan

serebrospinal-sindrom “meningitis aseptik”.

b. Ensefalitis Viral

Pasien mengalami nyeri kepala, demam dan penurunan tingkat kesadaran

dalam beberapa jam atau hari. Dapat terjadi kejang dan tanda neurologis

fokal yang mungkin menunjukkan disfungsi hemisferserebri dan batang

otak.tanda-tanda hemisferik (disfasia, hemiparesis) meningkatkan kecurigaan

ensefalitis herpes simpleks.

c. Herpes Zoster

Pasien mengalami nyeri lokal dan gatal sebelum munculnya ruam bervesikel

pada kulit, yang menganai satu dermatom atau beberapa dermatom yang

berdekatan, sering pada batang tubuh. Setelah lesi kulitmembaik, nyeri dapat

bersifat persisten dan sangat sulit diterapi.

d. Infeksi retroviral

Pertama, virus ini memiliki afinitas terhadap jaringan saraf, yaitu bersifat

neurotropuk selain limfotropik. Dapat terjadi meningitis pada serkovesi, pada

Page 12: 91619868 Medula Spinalis

tahap lanjut dapat terjadi demensia progresif lambat dan keterlibatan bagian

lain sistem saraf terutama medula spinalis dan saraf perifer.

2. Infeksi Bakteri

a. Meningitis Bakterial

Umumnya terdapat nyerikepala hebat disertai nyeri dan kekauan pada leher

dan punggung, muntah, serta fotofobia. Kecepatan onset nyeri kepala

cukupncepat, walaupun tidak mendadak seperti perdarahan subarakhnoid,

namun pasien dapat mengalami penurunan kesadaran dan kejang.

b. Abses Otak

Terdapat pembesaran masa di otak, peningkatan intrakranial. Tanda fokal

(disfasia, hemiparesis, ataksia), kejang, demam namun tidak terlalu sering.

c. Infeksi parameningeal

Pasien mengeluhkan gejala nyeri pinggang berat, demam, dan parasis yang

berkembang cepat.

d. Tuberkulosis

Gambaran klinis meliputi nyeri kepala persisten, demam, kejan, dan tanda

neurologis fokal, tekanan intrakranial, serta peningkatan sel dan kadar

glukosa serta protein tinggi.

e. Sifilis

Gejala yang muncul adalah tanda fokal seperti palsi nervous kranialis,

hemiparesis, paraparesis dan atrofi otot intrinsik.

e. Lepra

Terjadi polineuropat sensorik berbentuk bercak dengan dengan penebalan

saraf yang teraba dan terdapat areadepigmentasi anastesi pada kulit.

3. Protozoa

Timbul gejala demam, ensefalitik hemoragik, hidrosefalus, kalsifikasi

intrakranial, koroidoretinitis, kejang, peningkatan intrakranial.

g. Pemeriksaan Diagnostik

1. Infeksi Viral

CT Scan, MRI, titer retrospektif, Immunoassay antigen virus, PCR, EEG

2. Infeksi Bakteri

Lumbal pungsi, CT Scan, hitung darah lengkap, pemeriksaan koagulasi,

elektrolit, kultur darah, radiografi dada dan kranium.

Page 13: 91619868 Medula Spinalis

h. Penatalaksanaan

1. Ensefalitis Viral

Pemberian asiklovir (10 mg/kg intravena setiap 8 jam selama 14 hari),

pemberiangansiklovir bila dicurigai pada infeksi sitomegalovirus.

2. Herpes Zoster

Penyakit ini dapat sembuh sendiri, namun memerlukan terapi dengan asiklovir

dengan dosis oral yang lebih tinggi dari herpes simpleks superfisial.

3. Infeksi bakteri

Pemberian benzilpenisilin untuk infeksi meningokokus dan pneumokokus

dengan dosis 2,4 g diikuti 1,2 g setiap jam dalam 48-72 jam, pemberian

kloramfenikol, sefotaksim, bila penyebabnya belum diketahui dapat diberikan

kombinasi benzilpenisilin dan sefotaksim, tirah baring,analgesik, antripiretik,

anti konvulsan serta terapi suportif untuk syok.

3. KONSEP IMOBILISASI

a. Definisi

Imobilisasi didefinisikan sebagai pembatasan atau keterbatasan fisik dari anggota

badan dan tubuh itu dalam berputar, duduk dan berjalan (Susan J. Garrison, 2001).

b. Etiologi

Hal yang dapat menyebabkan imobilisasi adalah;

1. Gangguan dan cedera musculoskeletal seperti paralisis

2. Gips Ortopedik, jaket tubuh dan bidai

3. Penyakit kritis yang memerlukan istirahat

4. Menetap lama pada posisi gravitasi berkurang, seperti saat duduk dan berbaring

5. Keadaan tanpa bobok di ruang hampa,yaitu pergerakan tidak dibatasi, namun tanpa

melawan gaya gravitasi

6. Istirahat ditempat tidur yang lama menurunkan aktivitas metabolism umum, yang

mengakibatkan kapasitas fungsional system tubuh yang multiple.

c. Manifestasi Klinis

1. Pada system saraf pusat

a. Perubahan sensasi

Page 14: 91619868 Medula Spinalis

b. Penurunan aktivitas motorik

c. Kelabilan otonom

d. Gangguan tingkah laku dan emosi

e. Defisit intelektual

2. System muscular

a. penurunan kekuatan otot

b. penurunan daya tahan

c. atrofi otot

d. koordinasi yang buruk

3. System skeletal

a. Osteoporosis

b. Fibrosis dan ankilosis sendi

4. System kardiovaskuler

a. Peningkatan denyut jantung (keadaan adrenergic)

b. Penurunan cadangan jantung

c. Hipotensi otorstatik

d. Flebotrombosis

Denyut jantung meningkat 1 denyut tiap menit tiap dua hari perawatan di tempat

tidur pada orang yang sehat, volume darah menurun sebesar 7 % dan ambilan

oksigen maksimum (VO2 maks) menurun 27 % setelah 20 hari perawatan di tempat

tidur. Efek dari fakto-faktor ini adalah penurunan efisiensi jantung dan intoleransi

terhadap posisi berdiri yang mengakibatkan pusing atau pingsan bila mencoba

untuk berdiri. Kesulitan berdiri ini mengganggu aktifitas fungsional.

Flebotrombosis adalah resiko yang diketahui. Statis vena dan limfa terjadi pada

ekstremitas inferior karena kompa otot betis sebagai akibat dari akibat inefektifitas.

Factor pendukung yang lain berhubungan dengan imobilitas termasuk paralisis,

status pasca bedah, gagal jantung kongestif, obesitas, usia lanjut, dan dehidrasi.

5. System respirasi

a. Penurunan kapasital vital (gangguan restriktif)

b. Penurunan ventilasi volunter maksimal (gangguan restriktif)

c. Perubahan regional dalam ventilasi atau perfusi

d. Gangguan mekanisme batuk

Istirahat di tempat tidur menyebabkan gangguan tahanan mekanik akibat dari

penurunan seluruh kekuatan dan pengurangan pengembangan otot-otot interkostal,

Page 15: 91619868 Medula Spinalis

diafragma, dan abdominal saat pernafasa supinasi. Sendi kostovertebral dan

kostokondral serta otot0otot abdominal bisa jadi terfiksasi dalam kondisi ekspirasi

sehingga menyebabkan penurunan inspirasi maksimal, dan berakibat pada

penurunan kapasitas vital dan fungsional.

6. System pencernaan

a. Anoreksia

b. Konstipasi

Anoreksian dan konstipasi merupakan akibat dari penurunan kebutuhan metabolic

dan perubahan endokrin demikian pula penurunan motilitas lambung dan usus.

7. Efek ginjal dan endokrin

a. Peningkatan dieresis dan perpindahan cairan ekstraseluler

b. Peningkatan natreuresis

c. Hiperkalsiuria

d. Batu ginjal

8. System kulit

a. Atrofi kulit disebabkan oleh nutrisi yang tidak memadai.

b. Ulkus tekan disebabkan oleh lamanya penekanan yang menyebabkan nekrosis

iskhemik pada jaringan lunak di atas tonjolan-tonjolan tulang seperti sacrum,

ischium, trokhanter, dan tumit.

d. Penatalaksanaan

Penatalaksaan imobilisasi terbaik adalah pencegahan.

a. Posisi pasien :

Posisi terlentang batang tubuh harus berjajar dengan panggul, lutut dan

pergelangan kaki berada pada posisi netral dengan jari-jari kaki menunjuk kearah

langit-langit. Bahu berada dalm fleksi 300 dan abduksi 45

0, pergelangan tangan

ekstensi 20-300

, dan tangan dalam keadaan fungsional.

b. Tempat tidur yang benar memiliki kasur berbentuk kerat setebal 4 inchi dan papan

kaki.

c. Tangani vesika urinaria dengan kateter eksternal atau kateter intermiten.

d. Terapi fisik harus dimulai disisi tempat tidur dan lanjutkan ke bagian tepi, yang

menekankan mobilisasi progresif.

e. Osteoporosis dapat dicegah dengan berdiri pada posisi menahan berat badan.

Page 16: 91619868 Medula Spinalis

f. Pantau pasien terhadap tanda dan gejala hiperkalsemia, ulkus tekan, infeksi saluran

kemih, pneumonia ,dan beri obat yang sesuai.

e. Patofisiologi

BAB III

Kondisi patologis

osteoporosis

Trauma langsung/tidak

langsung

fraktur

Terputusnya kontinuitas jaringan

Lumpuh/parestesia

Saraf rusak

Imobilisasi fisik

Perubahan permeabilitas

kapiler

Oedema/bengkak

lokal/hematoma

Resti perubahan perfusi

jaringan perifer Nyeri

Page 17: 91619868 Medula Spinalis

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

1. Identitas:

2. Keluhan utama

Nyeri, kekakuan pada leher atau punggung

3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Klien mengalami kekakuan pada leher, baal, paraestesia atau kelemahan pada

ekstremitas atas dan bawah setelah mengalami kecelakaan lalu lintas/ kecelakaan

olahraga/ kecelakaan industri/ kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon, bangunan/

ketinggian, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras pasien. Klien dapat

mengalami penurunan kesadaran.

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Riwayat cedera pada leher sebelumnya, menggunakan obat-obatan seperti alkohol

5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK): keluarga menderita penyakit menurun yang dapat

memperberat trauma, seperti HT atau DM

6. Riwayat Psikologis: Cemas, gelisah

2. PEMERIKSAAN FISIK

a. Breathing (B1)

Kapasitas vital (VC) menurun, hipoventilasi, gagal nafas

b. Blood (B2)

Hipotensi dan bradikardia

c. Brain (B3)

Penurunan kesadaran, reflek bulbokavernosus (+), kehilangan refleks tendon dan

abdominal, refleks babinski (+) pada gejala awal syok spinal, kehilangan kontrol

autoregulasi

d. Bladder (B4)

Retensi urine, inkontinesia urine

e. Bowel (B5)

Retensi alvi, paralisis usus dan ileus

f. Bone (B6)

Trauma pada servikal atau setinggi torasik, memar pada wajah atau abrasi dangkal

pada dahi, mata, atau dagu merupakan tanda cedera hiperekstensi pada leher, paralisis

flaksid

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari

cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit

neurologik.

Page 18: 91619868 Medula Spinalis

4. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari

cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.

Tujuan : Tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.

Kriteria hasil :

Ttv dalam batas normal

GCS 4-5-6

tidak adanya tanda-tanda syok spinal.

Intervensi:

a) Observasi TTV tiap 15 menit

R/ Penurunan denyut jantung dan tekanan darah merupakan tanda awal hilangnya

sensor pengiriman dari refleks baroreseptor dampak dari kompresi korda.

b) Monitor tiap jam akan adanya syok spinal pada spinal pada fase awal cidera.

R/ Cedera pada vetebra servikal dapat mengakibatkan terjadinya syok spinal. Syok

spinal adalah tidak berfungsinya sistem saraf otonom dalam mengatur tonus

pembuluh daah cardiac output. Gambaran klasik berupa hipotensi, bradikardi,

paralisis, tes refleks bulbokarvaneous pada colok dubur di dapatkan penjepitan

anus (+). Pada awalnya, selama fase syok spinal, mungkin terdapat paralisis

lengkap dan hilangnya perasaan dibawah tingkat cidera. Keadaan ini dapat

berlangsung selama 48 jam dan selama periode ini sulit diketaui apakah lesi

neurologis lengkap atau tidak lengkap.

c) Lakukan teknik pengangkatan cara log rolling dan atau menggunakan long black

board pada setiap trnsportasi klien

R/ Teknik ini mempunyai prinsip memindahkan kolumna vertebralis sebagai satu

unit dengan kepala dan pelvis dengan tetap menjaga kesejajaran tulang belakang

untuk menghindari kompresi korda.

d) Istirahatkan klien dan atu posisi fisiologis.

R/ Posisi fisiologis akan menurunkan kompesi saraf leher.

e) Imobilisasi leher terutama pada klien yang mengalami cedera spinal tidak stabil.

R/ Pemasangan fiksasi kolar servikal dapat menjaga kestabilan dalam melakukan

mobilitas leher.Pada saat pemasangan collar cervical perawat penting menjaga

kesejajaran dari posisi leher dalam posisi netral agar jangan terjadi kompresi korda.

f) Kolaborasi dalam pemeriksaaan radiologi.

Page 19: 91619868 Medula Spinalis

R/ Pemeriksaan utam dalam menilai sejauh mana kerusakan yang terjadi pada

cedera spinal servikal.

g) Kolaborasi dengan dokter untuk dilakukan fiksasi luar dengan halo-body cast pada

klien dengan fraktur kompresi C3-T1.

R/ Pemasangan halo-body cast dilakukan untuk kstabilan servikal.

h) Untuk dilakukan dekompresi dan stabilisasi terutama pada klien dengan cedera

spinal tidak stabil atau mempunyai risiko tinggi kompresi korda servikal.

R/ Tindakan medis dekompresi untuk mencegah terjadinya kompesi korda.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit

neurologik.

Tujuan : klien mampu melakukan mobilisasi secara maksimal.

Kriteria hasil :

Pasien mempertahankan fleksibilitas seluruh sendi.

Bebas dari footdrop, kontraktur, rotasi panggul.

Pasien dapat melakukan mobilisasi secara bertahap.

Intervensi :

a) Kaji fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.

R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan.

b) Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan mempehatikan kestabilan tubuh dan

kenyamanan pasien.

R/mencegah terjadinya dekubitus.

c) Beri papan penahanan pada kaki.

R/ mencegah terjadinya footdrop.

d) Gunakan alat ortopedi, colar, handsplit.

R/ mencgah teerjadinya kontraktur.

e) Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5 kali/hari.

R/ meningkatkan sirkulasi dan mencgah kontraktur.

f) Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.

R/ menunjukkan adanya aktivitas yang berlebihan.

g) Konsultasi kepada fisioterapi untuk latihan dan pengguaan alat seperti plints

R/ memberikan penanganan yang sesuai.

Page 20: 91619868 Medula Spinalis

STUDI KASUS:

Tn X jatuh dari ketinggian 50 m kedua tungkai dan tangan tidak dapat digerakkan. Saat di RS

pasien mengalami penurunan kesadaran. GCS E2-V3-MX.TD 90/40 mmHg, Nadi 70x/menit,

suhu 38o C,RR 32x/menit, urine produksi 200cc/5 jam. Hasil CT Scan: Dislokasi C4,

intervensi keperawatan yang dapat dilakukan?

4. PENGKAJIAN

a. Biodata

Nama : Tn. X

Umur : 25 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Status : Belum menikah

Diagnosa Medis : Dislokasi C4

Tgl/jam MRS : 11 November 2011/ 11.11 WIB

Tgl/ jam Pengkajian : 11 November 2011/ 11.11 WIB

b. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan utama:

Penurunan kesadaran

2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):

Klien jatuh dari ketinggian 50 m tangan dan kedua tugkai tidak bisa di gerakan

dan mengalami penurunan kesadaran, GCS E2 - V3 - Mx

3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):

Klien tidak pernah mengalami cedera pada daerah leher sebelumnya

4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK):

DM, HT

5. PEMERIKSAAN FISIK

a. Breathing (B1)

RR 32x/menit, penafasan cepat dangkal,SaO2 96%

b. Blood (B2)

Perfusi HKM, TD = 90/40mmhg, nadi = 70x/mnt, reguler, lemah, S = 38o C

Page 21: 91619868 Medula Spinalis

c. Brain (B3)

Penurunan kesadaran, GCS E2 - V3 – Mx, refleks babinski (+), reflek

bolbokavernosus (+), pupil isokor

d. Bladder (B4)

Terpasang kateter , urine produksi 200cc/jam

e. Bowel (B5)

Distensi abdomen, BU

f. Bone (B6)

Posisi head up 300, Kedua tungkai dan tangan tidak bisa digerakkan (tetraplegi), skala

kekuatan otot 0 0

0 0

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT Scan: Dislokasi C4

7. ANALISA DATA

Pengelompokan Data Kemungkinan Penyebab Masalah

DS: -

DO: klien mengalami penurunan

kesadaran, GCS E2-V3–Mx, hasil CT

Scan Dislokasi C4

Jatuh dari ketinggian

Trauma pada servikal

kompresi korda spinal servikal

Injuri (cedera)

korda spinalis

DS: -

DO: Kedua tungkai dan tangan tidak

bisa digerakkan (tetraplegi), skala

kekuatan otot 0 0

0 0

Trauma pada servikal

Kompresi diskus dan kompresi

akar syaraf di sisinya

defisit neurologik (tetraplegi)

Gangguan

mobilitas fisik

8. DIAGNOSA KEPERAWATAN

5. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari

cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.

6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit

neurologik.

Page 22: 91619868 Medula Spinalis

5. INTERVENSI KEPERAWATAN

3. Injuri (cedera) korda spinalis yang berhubungan dengan kompresi korda sekunder dari

cedera spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.

Tujuan : Tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.

Kriteria hasil :

Ttv dalam batas normal

GCS 4-5-6

tidak adanya tanda-tanda syok spinal.

Intervensi:

i) Observasi TTV tiap 15 menit

R/ Penurunan denyut jantung dan tekanan darah merupakan tanda awal hilangnya

sensor pengiriman dari refleks baroreseptor dampak dari kompresi korda.

j) Monitor tiap jam akan adanya syok spinal pada spinal pada fase awal cidera.

R/ Cedera pada vetebra servikal dapat mengakibatkan terjadinya syok spinal. Syok

spinal adalah tidak berfungsinya sistem saraf otonom dalam mengatur tonus

pembuluh daah cardiac output. Gambaran klasik berupa hipotensi, bradikardi,

paralisis, tes refleks bulbokarvaneous pada colok dubur di dapatkan penjepitan

anus (+). Pada awalnya, selama fase syok spinal, mungkin terdapat paralisis

lengkap dan hilangnya perasaan dibawah tingkat cidera. Keadaan ini dapat

berlangsung selama 48 jam dan selama periode ini sulit diketaui apakah lesi

neurologis lengkap atau tidak lengkap.

k) Lakukan teknik pengangkatan cara log rolling dan atau menggunakan long black

board pada setiap trnsportasi klien

R/ Teknik ini mempunyai prinsip memindahkan kolumna vertebralis sebagai satu

unit dengan kepala dan pelvis dengan tetap menjaga kesejajaran tulang belakang

untuk menghindari kompresi korda.

l) Istirahatkan klien dan atu posisi fisiologis.

R/ Posisi fisiologis akan menurunkan kompesi saraf leher.

m) Imobilisasi leher terutama pada klien yang mengalami cedera spinal tidak stabil.

R/ Pemasangan fiksasi kolar servikal dapat menjaga kestabilan dalam melakukan

mobilitas leher.Pada saat pemasangan collar cervical perawat penting menjaga

kesejajaran dari posisi leher dalam posisi netral agar jangan terjadi kompresi korda.

n) Kolaborasi dalam pemeriksaaan radiologi.

Page 23: 91619868 Medula Spinalis

R/ Pemeriksaan utam dalam menilai sejauh mana kerusakan yang terjadi pada

cedera spinal servikal.

o) Kolaborasi dengan dokter untuk dilakukan fiksasi luar dengan halo-body cast pada

klien dengan fraktur kompresi C3-T1.

R/ Pemasangan halo-body cast dilakukan untuk kstabilan servikal.

p) Untuk dilakukan dekompresi dan stabilisasi terutama pada klien dengan cedera

spinal tidak stabil atau mempunyai risiko tinggi kompresi korda servikal.

R/ Tindakan medis dekompresi untuk mencegah terjadinya kompesi korda.

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit

neurologik.

Tujuan : klien mampu melakukan mobilisasi secara maksimal.

Kriteria hasil :

Pasien mempertahankan fleksibilitas seluruh sendi.

Bebas dari footdrop, kontraktur, rotasi panggul.

Pasien dapat melakukan mobilisasi secara bertahap.

Intervensi :

h) Kaji fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.

R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan.

i) Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan mempehatikan kestabilan tubuh dan

kenyamanan pasien.

R/mencegah terjadinya dekubitus.

j) Beri papan penahanan pada kaki.

R/ mencegah terjadinya footdrop.

k) Gunakan alat ortopedi, colar, handsplit.

R/ mencgah teerjadinya kontraktur.

l) Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5 kali/hari.

R/ meningkatkan sirkulasi dan mencgah kontraktur.

m) Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.

R/ menunjukkan adanya aktivitas yang berlebihan.

n) Konsultasi kepada fisioterapi untuk latihan dan pengguaan alat seperti plints

R/ memberikan penanganan yang sesuai.