translate ttg paru
DESCRIPTION
JAMUR PARUTRANSCRIPT
Pengobatan dan Hasil
Informasi detail seputar manejemen ARDS dibahas pada bab ini dan dapat dijumpai di bab
lain (bab 145) serta review-review yang sedang banyak dibahas saat ini. Meskipun
demikian, beberapa aspek dasar perawatan wajib dipahami. Pertama dan yang paling
utama, manejemen klinik bersifat mendukung. Terapi khusus bertujuan untuk
mengameliorasi luka pada paru-paru atau akselerasi pemulihan yang tak kunjung
membaik. Perawatan fokus pada penggunaan mekanisme ventilasi dan disesuaikan untuk
mempertahankan pertukaran gas yang cukup sementara meminimalisir efek berbahaya
dari konsentrasi oksigen yang tinggi, volume tidal yang tinggi, dan tekanan udara yang
tinggi, yang mana semua ini dapat menginduksi trauma akut lanjutan pada paru-paru.
Segala usaha harus dilakukan untuk mengurangi FIO2 hingga 0.6 atau kurang dari 0.6, yang
mampu menerima saturasi arteri lebih dari 90 persen dan menggunakan PEEP untuk
membentuk area atelektasis paru serta meningkatkan oksigenasi. Pola ventilasi
‘peregangan rendah’ harus digunakan dengan cara menggunakan volume tidal kurang dari
atau sama dengan 6 ml/ kg dan batasan tekanan nafas maksimum kurang dari atau sama
dengan 30 cm H2O. Strategi ventilasi ini (yang wajib dokter harus patuhi) telah terbukti
dapat mengurangi angka kematian yang terkait dengan ARDS.
Menghirup oksida nitrat menyebabkan vasodilitasi pembuluh darah yang mensuplai darah
pada area paru yang berventilasi baik dan telah terbukti dapat mengurangi fraksi yang
tidak sesuai dan meningkatkan oksigenasi pada pasien yang menderita ARDS parah.
Sayangnya, dampak yang menguntungkan ini hanya sebentar saja, dan sejumlah uji klinis
fase III yang menunjukan dampak berarti pada durasi ventilasi mekanis atau kematian
pasien dinyatakan gagal. Hal yang sama juga terjadi pada kasus yang satu ini.
Menempatkan pasien pada posisi rawan dapat meningkatkan oksigenasi, akan tetapi
hingga saat ini belum menunjukan dampak pada kelangsungan hidup.
Obat penenang harus diberikan untuk tetap membuat pasien merasa nyaman dan
memperkenalkan pernafasan yang sinkron dengan bantuan ventilator. Pasien dalam
kondisi tidak sadar terkadang diperlukan dalam situasi akut hipoksemia yang bersifat
mengancam jiwa atau hiperkania. Akan tetapi penggunaan neuromuscular dalam kurun
waktu yang lama sangat tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko miopati yang
bersifat melemahkan.
Meskipun mendapatkan perawatan dukungan yang baik, kematian akibat ARDS mencapai
30 persen. Angka kematian lebih banyak dari kalangan para lansia dan mereka yang
mengalami gagal sistem organ. Di sisi lain, pasien dengan trauma pada paru-parunya akibat
TRALI cenderung mengalami prognosis.
Trauma Saraf Phrenic dan Disfungsi Diafragma
Trauma saraf phrenic merupakan bentuk komplikasi CABG. Sebelumnya, komplikasi
muncul akibat penggunaan es lumpur garam yang ditempatkan di pericardium untuk
mendinginkan topical jantung. Cedera termal menyebabkan kedua demielinasi dan
degenerasi aksonal saraf dengan perlambatan konduksi serta aktivasi diafragma yang
dipasangkan. Penggunaan teknik pendinginan topical jauh dari nyaman karena adanya
potensi terjadinya komplikasi seperti ini. Namun, saraf frenikus juga bisa terluka oleh
traksi, iskemia, penggunaan diathermy, atau lintang selama pencabutan sternum dan
permanenan arteri mamaria interna. Cidera saraf frenikus unilateral biasanya melibatkan
saraf frenikus kiri dan sebanyak 10 persen pasien telah menjalani CABG. Cidera saraf
frenikus bilateral dilaporkan sering terjadi dengan banyaknya kasus sekitar 1 hingga 3
persen dari total kasus penggunaan cardioplegia topical. Kini kasus tersebut menjadi
langka. Cidera saraf frenikus tidak hanya terbatas untuk CABG, melainkan juga dapat
dijumpai pada kasus jantung, bedah thoraric, operasi leher, dan transplatasi hati.
Meskipun biasanya tidak menjadi hal yang penting untuk pasien yang sehat, kelumpuhan
diafragma unilateral dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang signifikan pada pasien
yang menderita penyakit paru-paru kronis sebelumnya atau pada pasien marginal. Pada
pasien dengan COPD, misalnya, durasi ventilasi mekanis pasca operasi dan tingkat re-
intubasi lebih tinggi daripada mereka yang tidak menderita cidera saraf frenikus unilateral
plus CABG. Hasil kelumpuhan diafragma bilateral dapat ditandai dari fungsi paru dan
seringnya dapat menyebabkan gagal nafas. Dalam pengaturan yang tepat, dugaan adanya
cidera saraf frenikus muncul ketika sedang mencoba manyapih pasien pascaoperasi dari
ventilasi mekanik pada progresif hypercapnia atalektasis. Secara spontan pasien akan
sering mengeluh mengalami othopnea yang dapat disalah-artikan oleh dokter sebagai
indikasi CHF. Namun, othopnea sebenarnya muncul karena adanya gangguan lebih lanjut
pada fungsi diafragma akibat hilangnya gravitasi ketika pasien dalam posisi terlentang.
Detektor pernafasan thoracoabdominal paradox-gerakan perut dengan ekspansi simultan
thorax- merupakan petunjuk yang dipasang di samping tempat tidur dan penting untuk
pasien yang menderita kelumpuhan diafragma bilateral. Hasil radiografi dada juga
mungkin memegang peranan penting di mana radiografi dada ini dapat menunjukan
elevasi, baik elevasi unilateral maupun elevasi bilateral pada diafragma yang menyertai
atelektasis basilar. Namun, temuan ini tidak diperuntukan bagi pasien dengan cidera saraf
frenikus karena adanya distensi abdomen. Berkurangnya tekanan inspirasi maksimum
yang terlihat pada mulut merupakan indikasi lain yang cukup sensitif, tapi tidak tergolong
sebagai indikasi disfungsi diafragma yang signifikan.
Kelumpuhan diafragma unilateral dapat diagnosis dengan cepat melalui pemeriksaan
fluoroskopik yang mana dengan pemeriksaan ini dapat diketahui gerakan ke atas paradox
dari hemidiafragma sebagai dampak dari respirasi maksimal (contoh mengendus).
Situasinya akan lebih rumit jika terjadi disfungsi diafragma bilateral. Dalam hal ini, pasien
sering menganggap perubahan pola nafas yang ditandai dengan berkontraksinya otot-otot
perut selama ekspirasi, memaksa hemidiafragma melembek di bagian atas. Pada inspirasi
selanjutnya, otot-otot perut akan rileks and hemidiafragma turun sesaat. Gerakan otot
perut dan hemidiafragma ini menciptakan kesan yang salah bahwa keduanya berfungsi
baik. Karena inilah fluoroscopy mungkin tidak perlu diberikan untuk pasien jenis ini.
‘”Standar emas” untuk mengkonfirmasi cidera saraf frenikus adalah pengujian
elektrofisiologi, meskipun metode ini kadang-kadang cacat. Saraf frenikus dirangsang di
bagian leher dan elektromiogram diafragma (EMG) dicatat oleh permukaan elektroda yang
ditempatkan di ruang intercostals ke-7 di persimpangan costochondral. Demonstrasi
latency yang berkepanjangan antara stimulasi saraf dan fungsi diafragma yang potensial
dapat memperjelas diagnosa cidera demielinasi. Hal ini sebenarnya akan membuat tim
medis kesulitan dalam mengintepretasikan signifikansi amplitudo yang berkurang atau
kelengkapan rekaman EMG diafragma. Temuan ini dapat mewakili baik cidera saraf
frenikus ataupun transaksi ataupun kegagalan untuk melokalisasi diafragma yang biasanya
berpindah pada pasien pascaoperasi. Oleh karena pasien perlu dijauhkan dari elektroda.
Tusukan langsung elektroda perekam pada diafragma memang dapat membantu masalah
ini, akan tetapi dibutuhkan teknik yang tinggi serta dapat berisiko menyebabkan
pneumotoraks.
Penyebab cidera saraf frenikus nontraumatic dan disfungsi diafragma juga dapat
menyebabkan gagal nafas berkepanjangan dan tertundanya pelepasan pada pasien bedah.
Neuropati frenikus dapat menjadi komponen dari polineuropati yang lebih umum dari
penyakit kritis dan umumnya dapat dijumpai pada saat munculnya episode sepsis berat
atau sindrom respon inflamantory sistemik. Penyakit miopati yang dapat mempengaruhi
bagian diafragma dan ototo-otot respirasi lain dapat dijumpai dalam waktu yang
bersamaan. AKhirnya, disfungsi diafragma dapat muncul sebagai bagian dari miopati yang
mana disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid sistemik dan agen blocking
neuromuscular dengan dosis tinggi.
Pasien dengan disfungsi diaphragmatic umumnya cocok dan terbiasa dengan dukungan
ventilasi nonsensitif bertekanan positif ketika mereka sedang terjaga. Dukungan ventilasi
nonsensitif ini juga efektif menangani sekresi pernafasan. Trakeostomi diindikasikan untuk
pasien dengan batuk dan yang tidak bisa disapih dari ventilasi mekanik konvensional.
Prognosis pada pasien yang mengalami cidera termal atau traksi saraf frenikus jauh
diuntungkan karena proses pemulihanya umumnya cepat dan lengkap, akan tetapi sering
mengalami protacted’. Pada pasien dengan gejala kelumpuhan diafragma unilateral akibat
transeksi saraf frenikus, lipatan bedah dari hemidiafragma lembek biasanya dapat
menjadikan fungsi paru menjadi membaik dan juga dapat membebaskan pasien dari alat
ventilasi.
Emboli Paru
Peningkatan emboli paru (PE) ada kaitanya dengan sejumlah prosedur bedah, termasuk
bedah perut bagian atas, bedah saraf, jantung, urologis utama, dan ekstremitas prosedur
ortopedi yang lebih rendah. Faktor nonbedah yang dapat mempengaruhi pasien menderita
PE, antara lain obesitas, imobilitas, dan keganasan.
Sementara perubahan ketika terjadi pertukaran gas menandakan adanya emboli paru.
Gagal nafas hypoxemic frank relative jarang dan memperlihatkan bekuan (gelembung)
dalam jumlah banyak. Suhu yang lebih rendah pada gelembung dapat menghasilkan
gangguan psikologis yang sama berbahanya untuk pasien seperti bahayanya penyakit paru
lainnya. Dengan adanya hypoxemia berat, ada sedikit cadangan kardiopulmoner yang
tersisa.
Sayangnya, baru sedikit informasi yang membahas secara khusus soal diagnose PE yang
mudah diperoleh. Pasien sering mengalami dispenik. Tachypne dan tachycardia dapat
diamati melalui pemeriksaan fisik. Namun gejala ini sering muncul pada pasien-pasien
pasca operasi akibat menderita sakit atau atelektasis. Informasi lebih detail, pulmonale
akut cor (misal, pembuluh darah pada leher yang tidak diiinginkan, parasternal berat, pada
sisi kanan jantung berbunyi denyut jantung ketiga, dan aksentuasi pada bagian pulmonal
bunyi jantung kedua) memang jarang terjadi. Elektrokardiogram juga menunjukan bukti
adanya regangan pada jantung kanan yang berpola “SIQ3T3 “ atau cabang baru bundle di
jantung sebelah kanan. Penanganan PE yang paling dianjurkan adalah melalui radiografi
dada. Penggunaan radiografi dada untuk mengindentifikasi penyebab lain hipoksemia
seperti pneumonia, pneumothorax, atau RADS. Echocardiografi umumnya dilakukan untuk
pasien yang juga menderita hipotensi; adanya pembuktian yang menunjukan ventrikel
kanan yang diatur untuk mengatasi ventrikel kiri yg normal atau abnormal (bagian bawah
tersisi) seharusnya dicurigai sebagai PE.
Sementara, antikoagulasi dengan heparin terbentuklah terapi ‘main-stay’ untuk pasien dan
hebatnya terapi ini menbuahkan kondisi yang stabil. Adanya hipoksemia yang
membahayakan nyawa dan/ atau ketidakstabilan hemodinamik mendorong untuk
dilakukan penanganan medis tambahan ataus alternatif. Karena bekuan tambahan bisa
berakibat fatal, penyisipan vena cava filter rendah sangat disarankan. Treatmen ini wajib
dilakukan apabila antikoagulasi bersifat kontraindikasi. Terapi tromboliktik juga
dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang menderita sakit kritis. Hanya saja
penggunaan terapi ini perlu dibatasi untuk pasien pascaoperasi karena dapat memicu
terjadinya pendarahan di lokasi sayatan operasi baru-baru ini., dengan catatan adanya
kontraindikasi penggunaan litik selama 2 bulan. Sejumlah intervensi radiologis fragmentasi
teknik-trombus, hisap embolektomi, dan infus intraembolik berdosis rendah, serta bedah
embolektomi menjadi pengobatan alternatif untuk pasien yang menderita tromboliktik
yang juga mengalami kontraindikasi.
Obstructive sleep apnea
OSA merupakan gangguan umum yang menyerang 2 hingga 4 persen populasi orang
dewasa. Hal ini ditandai dengan adanya obstruksi jalan nafas bagian atas yang terus
berulang selama tidur sehingga terjadi desaturasi periodic arteri, hiperkapnia, dan aritmia.
Karena perubahan pada anatomi orofaringeal yang biasanya dialami oleh penderita
obesitas dan OSA, intubasi orotrakea pada saat induksi mungkin sulit. Periode
pascaoperasi langsung merupakan waktu yang tidak tepat bagi pasien dengan OSA.
Mengapa? Karena pasien pascaoperasi masih terpengaruh oleh penggunaan anastesi
volateli, opoids, dan sedative yang akan berdampak pada berkurangnya aktivitas otot
nafas-atas dan meningkatkan frekuensi dan durasi OSA. Kegagalan dalam mediagnosa OSA
secara benar dan tepat dapat berpotensi menyebabkan komplikasi serius pada pasien,
seperti komplikasi pernafasan, hipoksemia, kebingungan, dan ventrikel artimia. Institusi
nasal memiliki anggapan positif untuk memungkinkan pemberian obat analgesic dan obat
pemenang yang aman pada penderita OSA tanpa harus mengalami risiko yang tidak
diinginkan seperti risiko yang memicu terjadinya obstruksi jalan nafas yang mengancam
jiwa. Diperkirakan sebanyak 80 persen pasien pengidap OSA tidak terdiagnosis. Oleh
karenanya diperlukan tindakan bedah untuk mencegah atau mengamati obstruksi jalan
nafas bagian atas.
Penggunaan ventilasi bertekanan positif noninvasif (NIPPV)
Untuk pasien dengan keluhan gagal nafas, intubasi endotrakeal adalah sarana standard
untuk memfasilitasi pasien dengan dukungan ventilasi. Bahkan, beberapa tahun terakhir,
intubasi dianggap jauh memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien seperti minimnya
efek samping yang dialami oleh pasien. Selain trauma tambahan yang ada kaitanya dengan
gangguan jalan nafas (seperti meningkatnya risiko nosocomial pneumonia, sinusitis, dan
besarnya kebutuhan sedasi berat yang seringnya membuat pasien merasa tak nyaman)
sering memperpanjang proses pelepasan ventilator dan ekstubasi. Keinginan untuk
menghindari intubasi endotrakeal telah mendorong meningkatnya penggunaan NIPPV,
yang mana alat ini menyertakan penggunaan sebuah alat yang dipasang dihidung atau
sebuah masker yang berperan sebagai media penghubung pasien dengan ventilator.
Ada banyak bukti yang mendukung manfaat dari penggunaan NIPPV sebagai bagian dari
terapi pengobatan berbagai jenis gagal nafas yang dialami oleh pasien. Sayangnya baru
beberapa data saja yang telah dikonfirmasi keamanan dan efektifitasnya dalam pemulihan
pasca operasi. Studi yang paling menarik yang meneliti kasus gagak nafas yaitu penelitian
yang meneliti pasien yang menderita gagal nafas hipoksia pasca operasi reseksi paru
dengan terapi standard (oksigen tambahan, bronkodilator, fisioterapi dada) dengan atau
tanpa NIPPV. Dibandingkangan dengan kelompok kontrol, penggunaan NIPPV dikaitkan
dengan penurunan akan kebutuhan intubasi endotrakeal (20,8 persen vs 50 persen) dan
angka immortaliti dalam kurun waktu 3 bulan (12.5 persen vs 37.5 persen). Meskipun
masih ada kekhawatiran tentang penggunaan NIPPV pasca operasi esophagus dan
lambung, sejumlah pengalaman baru menunjukan bahwa semua akan berjalan dengan baik
dan aman. Namun dengan catatan perlu adanya perawatan untuk menghindari distensi
lambung, menggunakan tabung decompression bila diperlukan, dan besarnya ventilaso
tekanan positif yang digunakan harus dibatasi, yaitu kurang dari 12 cm H2O. Karena NIPPV
memerlukan waktu aklimatisasi, NIPPV tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien
yang sedang dalam kondisi tidak stabil. Kontradiksi lainnya dari penggunaan NIPPV yaitu
status mental pasien seperti gelisah atau stress, dan pasien yang sedang menjalani
pembersihan jalan nafas karena sekresi atau batuk-batuk kecil.