tranlate jurnal dr darman

Upload: fika-khulma-sofia

Post on 18-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tranlate Jurnal Dr Darman

TRANSCRIPT

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    1/16

    1

    KOMPLIKASI PADA LARING AKIBAT

    INTUBASI OROTRAKEAL: TINJAUAN

    PUSTAKA

    RINGKASAN

    Pendahuluan: trauma intubasi orotrakeal cukup umum dan sering

    diperbincangkan. Biasanya dampak permanen terhadap jalan napas disebabkan

    pemasangan pipa trakea. Ada banyak macam trauma laring yang disebabkan oleh

    berbagai mekanisme.

    Objektif: untuk memverifikasi, pada pustaka ini, penyebab utama komplikasi

    laring setelah pemasangan intubasi orotrakeal dan mekanisme traumanya.

    Revisi pustaka: Studi revisi pustaka ini dilakukan melalui studi kepustakaan

    berdasarkan database BIREME, LILACS, dan SCIELO. Artikel, buku yang

    digunakan untuk tesis, dengan pembatasan periode 1953 hingga memasuki 2009.

    Kata kunci yang digunakan untuk mencari artikel adalah: komplikasi, cedera,

    laring, intubasi, endotrakeal, orotrakeal, granuloma, stenosis. 59 referensi telah

    dipilih. Kriteria inklusi yang digunakan terhadap artikel terpilih adalah yang

    menunjukkan berbagai macam tipe cedera akibat intubasi orotrakeal dan

    patofisiologinya.

    Pertimbangan akhir: Tinjauan pustaka ini termotivasi oleh komentar dalam

    praktek klinis berupa besarnya jumlah kasus laring pada pasien terkait intubasi

    orotrakeal. Karena itu penting untuk mengetahui, para professional bidang

    kesehatan, mengenai komplikasi dan penyebabnya, dengan maksud untuk

    mencegahnya, dan mengadaptasi pengukuran pencegahan cedera ini.

    Kata kunci: laring, disfonia, suara.

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    2/16

    2

    PENDAHULUAN

    Struktur laring mudah mengalami trauma oleh berbagai macam sebab (1).

    Salah satunya adalah intubasi endotrakeal.

    Intubasi endotrakeal memberikan bantuan ventilasi terhadap pasien

    dengan anestesi atau dibawah bantuan ventilasi mekanik, untuk jangka pendek

    maupun lama. Adanya pipa maupun pipa nasotrakeal yang berkontak langsung

    pada struktur jalan napas dapat menyebabkan trauma mukosa, berkembang

    menjadi trauma dan mengeluarkan pipa intubasi, penggunaan pipa dengan

    diameter besar dan peningkatan tekanan pada ujung probe (2).

    Intubasi traumatik dapat terjadi pada kondisi gawat darurat, keadaan

    segera untuk melonggarkan akses jalan napas, posisi glottis yang tidak

    menguntungkan dan dilakukan oleh professional kurang berpengalaman (1,2).

    Komplikasi jalan napas sekunder oleh intubasi endotrakeal cukup sering,

    meski berkurang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan dengan

    gejala ringan dan dalam jangka waktu singkat. Namun, pada beberapa kasus

    trauma cukup serius dan permanen, melibatkan struktur laring dan trakea, dan

    membutuhkan koreksi pembedahan (2,3).

    Kejadian menyeluruh beberapa komplikasi berkisar dari 0% hingga 18%

    (4,5). Studi prospektif, menemukan indeks 63% trauma akut laring pada pasien

    terkait intubasi orotrakeal dan membaik kembali dalam 30 hari (6).

    Karena konfigurasi V glottis, trauma terutama terjadi pada bagian

    posterior laring, pada prosesus vokalis, dimana pita suara bertemu dengan kontakmukosa, memudahkan terjadinya ulkus pada daerah epitel mukosa interarytenoid,

    menyembuh dengan jaringan fibrosis dan menyebabkan kartilago arytenoids

    bergeser ke garis median, memicu gambaran paralisis bilateral plika vokalis (2).

    Perbedaan tipe laring dan pipa udara, trauma intubasi endotrakeal

    sekunder, telah dijelaskan (7). Pada pengenalan kanula untuk jalan bicara, selama

    upaya eksposisi glottis menggunakan laringoskop: ekstraksi, cedera bibir, laserasi

    vokal pada epiglottis, plika, esofagus, dan trakea, hematoma pada plika vokalis,

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    3/16

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    4/16

    4

    komplikasi dan penyebabnya, dengan maksud untuk mencegahnya, mengadaptasi

    pengukuran pencegahan cedera ini.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Studi revisi pustaka ini dilakukan melalui studi kepustakaan berdasarkan

    database BIREME, LILACS, dan SCIELO. Artikel, buku yang digunakan untuk

    tesis, dengan pembatasan periode 1953 hingga memasuki 2009. Kata kunci yang

    digunakan untuk mencari artikel adalah: komplikasi, cedera, laring, intubasi,

    endotrakeal, orotrakeal, granuloma, stenosis. 59 referensi telah dipilih. Kriteria

    inklusi yang digunakan terhadap artikel terpilih adalah yang menunjukkan

    berbagai macam tipe cedera akobat intubasi orotrakeal dan patofisiologinya.

    DISKUSI

    Gejala

    Gejala pada laring adalah gangguan suara atau keluhan pada pernafasan.

    Gangguan suara dapat disampaikan atau diketahui oleh pemeriksa yang

    professional sebagai disfonia atau suara serak, berbisik, afonia komplit,

    kelemahan vokal dan volume suara inadekuat. Gejala lain dapat berupa nyeri

    tenggorok, terasa penuh dan sensasi benda asing pada tenggorokan. Sebagian

    besar gejala fonasi didukung oleh peningkatan parameter gangguan yang

    mencerminkan variasi dalam intensitas dan frekuensi getaran pita suara (14-16).

    Gejala faringolaringotrakeal seperti nyeri tenggorok, kesulitan bicara,

    batuk, peningkatan sekresi, nyeri telan, juga sering ditemukan pasca-bedah (1).

    Sehubungan dengan gejala fonasi, penting untuk mengetahui bahwa

    mereka auto limited dan menghilang dalam 24-48 jam. Jika menjadi persisten

    lebih dari 72 jam, ahli anestesi harus curiga terjadi cedera pita suara. Jika gejala

    fonasi diikuti kelemahan jalan napas, seperti stridor, dispnea atau aspirasi,

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    5/16

    5

    dicurigai cedera sendi cricoarytenoid dan penting untuk dilakukan evaluasi

    terhadap jalan napas atas (17).

    Faktor-faktor terkait

    Sebagian besar cedera laring setelah intubasi membaik secara spontan,

    tergantung kapasitas regenerasi epitel. Namun, dalam mengetahui hubungan yang

    menyebabkan penurunan perfusi jaringan dan lambatnya proses penyembuhan,

    evolusi proses ini dapat memperburuk dan menghasilkan cedera laring pada

    perubahan posisi, seperti pada pasien yang lemah, diabetes, dan perubahan

    hemodinamik atau infeksi sistemik (1).

    Beberapa faktor yang menyebabkan pembentukan granuloma: usia

    dewasa, wanita, anemia terkait usia, hipotensi, malnutrisi, infeksi pernapasan,

    diabetes mellitus dan bentuk lain yang berkaitan dan atau faktor pemicu umum

    lainnya (18,19).

    Telah diketahui bahwa risiko dan insidensi paralisis pita suara meningkat

    seiring usia dan tiga kali lebih tinggi pada pasien usia 50-69 tahun. Risiko juga

    meningkat dua kali pada pasien dengan komorbiditas, diabetes mellitus dan

    hipertensi arterial (20).

    Fakta bahwa diabetes mellitus berkaitan dengan neuropati perifer dapat

    meningkatkan kerentanan paralisis pita suara (21). Di sisi lain, hipertensi arterial

    berkaitan dengan perubahan atherosklerotik arteri laring. Selain itu, menurunnya

    mikrosirkulasi pada nervus recurrent laryngeal dapat disebabkan oleh kompresimekanik ballonet pipa trakeal. Untuk itu, nervus recurrent dan cabang perifernya,

    otot-otot dan serat laring lebih rentan terhadap kerusakan mekanik dan tekanan

    oleh cuffpipa trakeal pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi arterial

    dibanding pasien lainnya (20).

    Hubungan dengan waktu

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    6/16

    6

    Umumnya, waktu yang dianggap tepat untuk pelepasan orotrakeal intubasi

    adalah 24-48 jam, hal ini bervariasi pada beberapa studi (22-24).

    Gerakan konstan leher, pada pasien dengan status agitasi, memicu gesekansounding lead dan ballonet nya pada jalur terapinya. Pada pasien tanpa sedasi

    menunjukkan gerakan penelanan dan fouling pita suara juga terjadi pada pipa

    trakeal. Jadi, seberapa lama waktu intubasi adalah risiko terjadinya cedera ini (2).

    Kami memverifikasi 2% kasus stenosis laring pada pasien dengan intubasi

    orotrakeal selama 3-5 hari dan 5% kasus stenosis laring dengan intubasi

    orotrakeal selama 6-10 hari. Penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan laring

    secara langsung berkaitan dengan durasi intubasi orotrakeal (25). Pada 73 pasien,

    dimana dilakukan trakeostomy pada hari ke-enam intubasi orotrakeal, satu

    terbukti bahwa waktu singkat eksposisi laring pada trauma kanula orotrakeal

    menyebabkan beberapa komplikasi (26).

    Risiko dan insidensi paralisis pita suara meningkat siring durasi intubasi.

    Risiko terkait durasi intubasi orotrakeal antara 3-6 jam dan 7 kali lebih tinggi

    dengan durasi 6-9 jam (20). Hubungan antara penarikan intubasi dan peningkatan

    risiko imobilitas pita suara sudah jelas pada penelitian sebelumnya (11,27).

    Pada kasus granuloma, meski terjadi, umumnya, pada penarikan intubasi,

    juga didiagnosis pada pasien dengan intubasi untuk sementara waktu. Hal ini

    menunjukkan bahwa durasi intubasi bukan hanya faktor tunggal penyebab lesi (7).

    Fakta bahwa beberapa pasien tumbuh granuloma setelah beberapa jam intubasi,

    juga dijelaskan oleh penulis lain (28, 29).

    Hubungan dengan ukuran pipa

    Diameter inadekuat sounding lead dan kesulitan dalam menjaga

    imobilisasi pasien dengan intubasi juga merupakan faktor predisposisi terjadinya

    cedera jalan napas. Jadi, pemilihan diameter kanula merupakan aspek penting

    yang harus dipertimbangkan, saat itu, untuk konfigurasi glottis V, tetap

    bersentuhan dengan bagian posterior laring. Jika menggunakan kanula trakeal

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    7/16

    7

    lebih besar, bagian ini akan mengalami iskemia yang mengakibatkan kompresi

    pada mukosa. Pada kondisi ini, harus segera diamati adanya nekrosis dan ulkus

    superfisial mukosa setelah ekstubasi (1,2).

    Hubungan dengan tekanan

    Jika digunakan kanula trakea dengan ballonet, perlu diperhatikan bahwa

    tekanan di dalamnya dijaga dibawah tekanan perfusi, yaitu dibawah 30 cmH2O

    (30,31).

    Penelitian eksperimental pada tikus dengan intubasi, variasi tekana

    berkisar 20-100 mmHg. Ini telah membuktikan bahwa penyebab cedera langsung

    terkait peningkatan tekanan di dalam ballonet, terutama saat melebihi tekanan

    perfusi (25 mmHg), menyebabkan, berurutan, iskemia mukosa, kerusakan

    komponen sanguinus perikondrium, ulkus local, infeksi bakterial sekunder dan

    kondritis (30).

    Di sisi lain, setelah analisis histology mukosa trakea anjing di tempat yang

    bersinggungan dengan ballonet, diamati perbandingan cedera epitel terhadap

    epitel normal pernapasan, pada area erosi superfisial, seperti pada penggunaan

    tekanan 13 cmH2O (31). Beruntungnya bahwa cedera ini dapat membaik spontan,

    akibat kemampuan regenerasi epitel (32).

    Pengukuran tekanan ballonet tidak dilakukan rutin pada pusat bedah di

    unit terapi intensif (2). Manfaat utama monitoring tekanan dalam ballonet menjadi

    bukti bagi beberapa penulis, menjadi tindakan sederhana, murah, dilakukanmenggunakan digital portable manometer(31,33).

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    8/16

    8

    Edema

    Area Reinke, lapisan superfisial tepi pita suara, penting untuk vibrasi pita

    suara. Laserasi endolaring, pada struktur ini, akibat intubasi yang agresif, dapatmenyebabkan edema pita suara, penghambatan, akibat kekakuan pita suara,

    gerakan sempurna mukosa, berakibat perubahan kualitas fonatori. Drainase

    limfatik yang lambat, penyerapan edema yang bertempat di area Reinke

    melambat, yang menyebabkan kesulitan pemulihan vokal, bisa menjadi disfonia

    persisten (1,17).

    Ulkus

    Ulkus kontak klasik awalnya dijelaskan oleh Chevalier Jackson, yang

    menegaskan bahwa ulkus disebabkan oleh tekanan tinggi pipa terhadap bagian

    posterior laring dan menyebabkan abrasi mekanik (34).

    Pada sampel 82 pasien, ditemukan 77 pasien (94%) dengan kerusakan

    laring pada laringoskopi inisial. 76 pasien (98.7%) menunjukkan ulkus mukosa

    pada bagian posterior di kedua pita suara. Tepatnya di tempat dimana pipa trakea

    memilki kontak langsung dengan laring (4).

    Telah dijelaskan bahwa ulkus memicu terjadinya granuloma laring (26).

    Laserasi

    Laserasi pita suara, disebabkan karena jejas langsung pada glottis, hal ini

    merupakan akibat dari konsekuensi suara dan seringkali terjadi ketika intubasi

    pada kondisi gawat darurat, hal ini merupakan reanimasi struktur atau blockade

    operasi. Selain itu, beberapa faktor risiko dapat dihubungkan dengan kejadian

    laserasi pada pita suara: pada tenaga yang belum ahli, terdapat kesulitan dalam

    menampakkan anatomi pasien (laringnya), sehingga sounding lead lebih

    meningkatkan lubang pada pasien dengan relaksasi glottis yang tidak adekuat (8).

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    9/16

    9

    Proses penyembuhan laserasi mukosa laring dapat terjadi dengan jaringan

    fibrosis dan perlekatannya. Ketika mereka menginstall pada komisura glottis

    sebelumnya dapat mendorong kerusakan suara, untuk kompensasi terhadap bagian

    fonasi. Proses terjadinya sikatriks yang terlibat pada bagian belakang glottis dapat

    menentukan jepitan glottis, dan menimbulkan gejala seperti dispnea dan

    kelemahan suara. Terdapat situasi dimana otot arytenoids terluka dan jaringan

    fibrosis yang terbentuk disini menghalangi abduksi lengkap dari pita suara, yang

    jika berada tetap di region medial, akan mendorong gambaran paralisis laring (1).

    Laserasi yang mencapai lapisan terdalam dari proper blade dan ligamen

    vocal akan sangat membahayakan pergerakan mukosa, memodifikasi kualitas

    vocal dan menghambat modulasi suara (1).

    Trauma Kartilago

    Kartilago arytenoids lebih rentan terhadap trauma intubasi yang diletakkan

    di region posterior glottis. Intubasi orotrakheal agresif dengan sebuah pipa yang

    diameternya tidak adekuat, atau ketika pipa endotrakheal dimasukkan, sedangkan

    pita suara masih dalam posisi medium, hal ini dapat merusak baik pita suara dan

    juga artikulasio krikoaritenoid. Dengan cara yang sama, pelepasan endotrakheal,

    disertai dengan perpindahan pipa lalu batuk dapat mencederai arytenoids dan

    menyebabkan inkompetensi glottis (15,35). Subdislokasi ini menyebabkan pita

    suara dan pergerakannya menjadi asimetris. Beberapa pasien dengan laring

    asimetris berkembang menjadi jejas sekunder, seperti vocal nodul, karena

    kompensasi otot konstan selama berbicara (1).

    Disfonia

    Salah satu gejala paling sering pada pasien selama periode post-operasi

    adalah hoarseness (suara serak), yang dapat muncul pada 14,4% hingga 50%

    pasien yang menjalani intubasi orotrakheal. Frekuensinya jika harus meningkat

    insidensinya adalah karena jejas laring selama intubasi orotrakheal, terutama

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    10/16

    10

    ketika dilakukan tanpa choke neuromuscular (36,37). Gejala ini, pada sebagian

    besar kasus, bersifat sementara berlangsung rata-rata dua hingga tiga hari. Namun,

    pada 10% kasus, suara serak dapat menetap, sehingga mengganggu kualitas hidup

    pasien yang memiliki suara normal sebelum operasi (1).

    Sebagian besar jejas adalah disebabkan oleh jejas lansgung pada pita

    suara, sehingga menyebabkan edema maupun ulserasi atau untuk mengubah

    mobilitas sendi krikoaritenoid dan untuk pengaruh jamur yang disebabkan kanul

    translaring. Pengaruh tersebuh dapat menghilang seiring waktu, bersamaan

    dengan proses menghilangnya inflamasi (35).

    Disfonia dan bronkoaspirasi setelah dekanulasi, umumnya terlepas dari

    kelainan pita suara. Ketika terjadi penyembuhan pada mobilitas sendi

    krikoaritenoid dan pengaruh jamur kanula sudah teratasi, maka suara akan

    kembali dan kontrol bronkoaspirasi akan kembali normal (26).

    Disfagia

    Tenggelamnya intubasi orotrakhea dapat menyebabkan jejas pada verbal

    socket, faring dan laring yang dapat menyebabkan reduksi pola motorik dan

    sensitivitas lokal dan mendorong proses menelan, yang menyebabkan disfagia

    ororfaring. Hal ini dapat melepaskan rantai masalah dimana malnutrisi dan

    pneumonia aspirasi memburuk secara signifikan pada status klinis pasien yang

    dirawat di rumah sakit.

    Telah ditunjukkan bahwa pasien yang menjalani intubasi orortrakhea akanmengalami perubahan pada faring fase verbal dan menelan, seringkali diikuti

    dengan penetrasi laring dan aspirasi yang umumnya lebih sering muncul daripada

    bentuk perubahan pada pasien dewasa, hal ini menunjukkan kurangnya

    fungsionalitas dalam proses menelan. Selain itu, fungsi-fungsi terkait struktur ini,

    seperti bernafas, berkata dan menelan tidak dipengaruhi selama pelaksanaan

    intubasi orortrakheal, mendorong reduksi fungsi laring dan inaktivitas otot-otot

    pada periode pelaksanaan (4).

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    11/16

    11

    Paresis dan Paralisis Suara

    Insidensi paralisis pita suara bervariasi mulai dari 1% (39) hingga 37%

    (27). Rentang jarak ini muncul karena beberapa pihak menggolongkan paralisis

    sebagai paresis orotrakheal setelah intubasi (7).

    Parese pita suara merupakan reduksi dari berbagai derajat mobilitas pita

    suara, disadari atau tidak, disebabkan akibat trauma langsung kanul endotrakheal,

    perubahan mukosa atau muscular atau perubahan mobilitas sendi krikoaritenoid.

    Parese setelah intubasi sebagian besar bersifat sementara, akan kembali seiring

    dengan pita suara kembali normal setelah regresi proses inflamasi (40).

    Ketika jejas akibat intubasi orotrakheal meluas hingga otot intriksik laring,

    hal ini dapat mencegah paresis maupun Paralisis suara, sementara maupun

    definitive. Paralisis pita suara biasanya bersifat unilateral, namun dapat bersifat

    bilateral juga. Insufisiensi respirasi dapat muncul setelah stridor dan hingga 6 jam

    setelah dekanulasi. Paralisis unilateral membahayakan pengeluaran suara yang

    cukup, oleh karena itu pita suara yang paralisis terletak lebih lateral daripada sisi

    yang sehat sehingga menghambat kontak sempurna diantara mereka selama

    berbicara. Pada kondisi-kondisi ini, suara menjadi semakin lemah dan lemah,

    diikuti dengan kelelahan dan kelelahan otot-otot selama berbicara. Pada paralisis

    bilateral gejala respirasi dispnea mendominasi ketika kedua lipatan vocal

    terhambat jika mengalami abduksi. Pada kasus ini, suara hanya keluar sedikit

    (1,26).

    Selain itu, disfungsi laring akibat intubasi orortrakheal dapat mendorong

    pasien untuk terjadi aspirasi setelah ekstubasi (14), yaitu faktor risiko pneumonia

    dimana hal ini akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas post-operasi.

    Memungkinkan bahwa paralisis pita suara setelah intubasi merupakan

    awal dalam rusaknya syaraf akibat kompresi mikrosirkulasi, sehingga

    mempengaruhi saraf laring. Mekanisme yang mungkin untuk ini adalah: pipa

    tracheal dapat menyebabkan inflamasi akut pada laring, yaitu eritema, ulserasi dan

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    12/16

    12

    granuloma, dan perubahan patologis ini dapat mendorong paralisis suara; tekanan

    ballonet pipa endotrakheal dapat secara potensial menekan saraf dan cabang

    perifernya di laring, menyebabkan degenerasi dan sub-paralisis saraf.

    Mikrosirkulasi yang tidak cukup untuk member suplai syaraf dan rami-rami

    perifer ini, karena mekanisme kompresi ballonet, dapat menjadi iskemia dan

    terjadi degenerasi neuronal, sehingga diikuti dengan paralisis dan immobilitas pita

    suara (20)

    Pipa translaring juga dapat menyebabkan denervasi sensoris laring akibat

    tekanan konstan (14), mendorong mekanisme proteksi normal laring dan

    mengeliminasi arcus yang memediasi fase abduksi laring dari fungsi muskuler

    faring (42).

    Telah diamatibahwa pita suara kiri menunjukkan paralisis dua kali lebih

    rentan daripada pita suara kanan. Hal ini terjadi karena selama insersi pipa,

    dimana yang kanan lewat kiri, dan karena setting pipa trakheal di sudut kanan

    mulut, dimana hal ini menyebabkan lebih banyak jejas terjadi (20).

    Studi menggunakan elektromyogram (EMG) untuk menguji nervus

    inferior laring, akibat munculnya immobiltas laring setelah intubasi, tidak

    menutup parcel neurogenik (tidak ada perubahan konduksi saraf maupun potensi

    denervasi) (43). Untuk kenyataan bahwa innervasi laring kompleks, adanya ECG

    normal bukan berarti bahwa tidak ada abnormalitas pada saraf (8). Paralisis yang

    terjadi ini diyakini oleh para penulis disebabkan murni karena mekanik (43).

    Polip

    Setelah ekstubasi, keinginan pasien untuk mengeluarkan suara dalam

    bentuk lebih bersih muncul, menyebabkan adanya penambahan upaya otot dan

    tekanan otot servikal dan laring. Standar bicara yang tidak adekuat dapat menjadi

    suatu kebiasaan dan bersifat traumatic dan memiliki pengaruh konstan pada pita

    suara selama berbicara akan dapat menyebabkan jejas sekunder pada mukosa

    yang melapisi laring, seperti polip vokal.

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    13/16

    13

    Granuloma

    Granuloma merupakan bentuk jejas melingkar, bervariasi antara bilateral

    dan unilateral dengan berbagai warna (kemerahan, keputihan maupunkeungunan). Sebagian besar bertangkai, muncul dengan permukaan halus dan

    ireluger. Implantasi pedikel (kaki-kaki) jika masuk didalam posterior glottis,

    terutama pada tingkat vocal apophysis, region lokal dimana kanula menjaga

    kontak dengan mukosa laring (7).

    Telah diselidiki bahwa terdapat beberapa etiologi utama, diantaranya:

    kekerasan vocal (33,3%), gastroesophageal reflux (30,3%), intubasi orotrakhea

    (22,7%) dan penyebab idiopatik (9%) (44).

    Granuloma, secara umum, merupakan proses inflamasi nonspesifik yang

    dibentuk oleh bennag-benang granulasi (45). Penyembuhan laring dipengaruhi

    oleh pergerakan proses penjepitan dan perluasannya, terjadi selama bernafas,

    berbicara dan menelan. Perbaikan ulcer epitel dimulai pada membran basal ketika

    dia tidak terputus. Namun, jika dihancurkan, proses penyembuhan akan

    melambat, dan dimulai dari ujung benang yang mengalami ulserasi (46).

    Gejala vocal dapat muncul setelah 15 hingga 20 hari setelah pelepasan

    pipa trachea. Jika terjadi gejala pada bagian fonasi glottis maka dapat merusak

    proses pengeluaran suara (1). Hal ini meliputi sensasi adanya benda asing, batuk,

    batuk dan nyeri pada topografi laring (7).

    Terjadinya granuloma lebih banyak pada laki-laki, kecuali pada kasus-

    kasus setelah intubasi. Pada suatu kelompok sampel sebanyak 66 pasien laring

    dengan granuloma, dimana 15 diantaranya telah menjalani intubasi, 6 pasien

    adalah laki-laki sedangkan 9 sisanya wanita (44). Untuk menjelaskan hal ini, kami

    dapat menyatakan bahwa pada laring wanita, dimana bentuk dimensinya

    cenderung kecil/sempit dan dapat memungkinkan kontak yang lebih besar antara

    kanula dengan mukosa jalan nafas (12, 47). Selain itu, perikondrium yang

    melindungi apoptosis vocal kartilago aritenoid dan rendahnya vaskularisasi di

    mukosa lokal merupakan factor tambahan yang menyebabkan mereka menjadi

    daerah yang paling rapuh untuk mengalami trauma saat intubasi (7).

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    14/16

    14

    Granuloma laring yang terjadi pasca intubasi endotrakheal merupakan

    komplikasi paling umum, berkisar antara 26,7% (26) dan 44% (11). Granuloma

    muncul pada sekitar 21 hari sedangkan regresi spontan terjadi sekitar 3 bulan

    pada sebagian besar kasus (6, 11, 26).

    Diagnosis granuloma dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

    otolaringologi, videolaringoskopi, videolaringostroboscopi maupun melalui

    laringoskopi indirek (48).

    Sebagaimana pada kasus-kasus paska intubasi dimana factor penyebab

    granuloma tidak menetap adanya, biasanya nantinya akn terjadi regresi spontan,

    ataupun dapat digunakan fototerapi setelah dilakukan pengangkatan secara

    operatif. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus (44).

    Injeksi toksin botulinum pada laring merupakan pengobatan terbaru pada

    granuloma, ini merupakan prosedur yang aman dan efisien dan dapat digunakan

    pada kasus-kasus yang tidak berespon terhadap pengobatan klinis.

    Stenosis Laring

    Penyebab penting suara serak setelah ekstubasi antara lain karena adnya

    stenosis laring. Terdaapt banyak factor yang berpengaruh terhadap terjadinya

    stenosis laring. Selain gangguan vocal serius, pasien mengalami dispnea berat.

    Maka, diperlukan suatu perawatan intensif, kejadian stenossi laring akibat intubasi

    orotrakheal berkisar antara 0,5% (4) hingga 14% (50).

    Pada praktik klinis, sebagian besar pasien yang mengalami stenosis

    trachea setelah intubasi akan muncul bekas luka fibrotic, dengan proses inflamasi

    minimal pada jalan nafas. Pasien-pasien ini umumnya memiliki riwayat intubasi

    dan beberapa diantara mereka mungkin didiagnosis sebagai asma sebelum meeka

    memperoleh diagnosis yang tepat. Fase paling cepat dari stenosis trakhea setelah

    intubasi ditandai oleh ulserasi mukosa dan perikondritis, dan diikuti dengan

    pembentukan benang granullasi eksofitik. Selanjutnya, benang-benang granulasi

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    15/16

    15

    lamakelamaan akan digantukan oleh jaringan fibrotic matur, yang diamna jika

    ia berkontraksi dapat menyebabkan jejas klasik stenosis (40,51,52)

    Pada saat intubasi, penggunaan teknik ventilasi tertutup adalah yang palingumum, kanula diletakkan pada kontak paling dangkal di dinding subglottis.

    Region ini merupakan yang paling dangkal pada jalan nafas superior dan oleh

    karena itu paling rentan terhadap jejas kontak dengan kanul rigid. Kontak ini

    menyebabkan oedem mukosa dan hiperemis, sekresi statis dan infeksi lokal,

    dimana selanjutnya dapat berkembang menjadi jaringan granulasi dan nekrosis.

    Ketika pelepasan kanula, intubasi ditarik keluar, dinding area subglottis sudah

    memasuki fase penyembuhan dengan pembentukan jaringan kolagen dimana,

    setelah maturasi akan berkontraksi secara melingkar dan dapat mendorong

    stenosis parsial maupun total (50,53).

    Jika semua perubahan ini menyebabkan terjadinya stenosis subglottis,

    seringkali pada anak-anak akan dilakukan trakeostomi. Hal ini membutuhkan

    waktu medis untuk proses evaluasi dan perilaku definitfe, namun selama periode

    ini akan dihadapi permasalahan rutin dimana pasien trauma dan sulit beradaptasi

    setelah di trakeostomi (54). Selain itu, stenosis membutuhkan perawatan yang

    melibatkan endoskopi multiple, endoskopi dilatasi, endoskopi reseksi,

    cryosirurgis, reseksi laser, trakeoplasti, graft kartilago dan reseksi krikotrakheal,

    dengan lama waktu perawatan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun

    sesuai kebutuhan, bahkan jika dilakukan trakeotomi definitif (55-39)

    PERTIMBANGAN AKHIR

    Nafas melalui pipa orotrakheal bukanlah suatu hal yang fisiologis, namun,

    merupakan hal yang penting pada banyak situasi. Penyebab komplikasi laring

    setelah intubasi orotrakheal sangat beragam. Pengetahuan mengenai kondisi ini

    terkait jalan nafas terhadap intubasi dan persetujuan mengenai patofisiologi dan

    faktor predisposisi utama dapat membantu dalam adaptasi dan dapat membantu

    dalam mencegah/ mengurangi jejas pada kasus-kasus seperti ini.

  • 5/28/2018 Tranlate Jurnal Dr Darman

    16/16

    16

    Beberapa contoh pencegahan sederhana dapat disesuaikan selama

    mendampingi pasien intubasi yang mengalami reduksi indeks kondisi jalan nafas.

    Perhatian dan kemampuan dalam memperkenalkan pipa, memilih ukuran dan

    pilihan yang ideal, penggunaan pipa dengan balon yang dirasa lebih memuaskan,

    mobilisasi pasien yang adekuat, tersedak sebelum intubasi orotrakheal, monitoring

    ballonet pada aspirasi trakhea, monitorin konstan tekanan pada ballonet interior

    merupakan beberapa pengukuran yang dapat membantu dalam mencegah

    komplikasi laring.

    Pasien dengan insufisiensi respiratori akut yang memerlukan intubasi

    orotrakhea untuk mekanisme ventilasi, berkali-kali dibius untuk adaptasi lebih

    baik pada jenis ini. Seiring dengan pengetahuan adanya sekuel yang mungkin

    setelah intubasi, kewaspadaan tim UTI penting dan perawatan dalam menangani

    ketergantungan terhadap mekanisme mekanik ini adalah secepat mungkin,

    semakin cepat maka risiko komplikasi intubasi akan semakin kecil. Berhati-

    hatilah pada kasus dimana tidak mungkin untuk menangani hal ini maka harus

    dipikirkan mengenai kemungkinan menjalani trakeotomi dan hal ini dapat

    mendorong terjadinya komplikasi orotrakhea setelah intubasi.

    Katika jejasnya semakin meluas pada laring, maka jangan ragu untuk

    mengambil keputusan melakukan trakeotomi, menghilangkan mukosa yang

    mengalami jejas akibat kontak dengan pipa trachea, sehingga epitel dapat

    mengalami regenerasi.

    Orientasi untuk selesainya evaluasi laring dan suara pada pasien yang

    menjalami intubasi orortrakhea, harus rutin diperiksa dari salah satu UTI. Dengan

    pengukuran ini maka kita dapat menentukan diagnosis lebih awal dari komplikasi

    laring dan trakhea ini.