hipertrofi kardiomiopati jurnal dr ismi.doc
DESCRIPTION
Jurnal JantungTRANSCRIPT
HIPERTROFI KARDIOMIOPATI: SEBUAH TINJAUAN SISTEMATIS
Hipertrofi kardiomiopati (HCM) adalah penyakit jantung genetik yang kompleks dan
relatif umum yang menjadi subjek pengamatan intensif dan penelitian selama lebih
dari 40 tahun. HCM merupakan penyebab penting disabilitas dan kematian pada
pasien semua usia, walaupun kematian mendadak dan tidak terduga pada orang muda
mungkin merupakan komponen paling menyakitkan dari perjalanan penyakitnya.
Karena heterogenitasnya dalam gejala klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis,
HCM sering menjadi dilema untuk klinisi dan spesialis kardiovaskular, bahkan untuk
mereka yang karirnya fokus untuk penyakit ini. Kontroversi masih meliputi kriteria
diagnostik, perjalanan klinis, dan manajemen dimana pertanyaan sulit tetap ada,
terutama pada praktisi yang sering terlibat dalam pemeriksaan pasien HCM. Karena
itu, perlu diklarifikasi isu klinis yang relevan dan memberikan profil konsep yang
cepat berkembang mengenai HCM.
METODE
Pencarian sistematis literatur medis yang meliputi 968 artikel yang terutama berkaitan
dengan publikasi HCM berbahasa Inggris (1966-2000) dari jumlah penulis dan senter
yang bervariasi dan ekstensif dilakukan melalui MEDLINE atau bibliografi artikel
yang diterbitkan. Studi-studi ini dan lainnya sebelum 1966 dianalisa untuk
menciptakan penilaian yang seimbang terhadap HCM.
Terbitan mengenai HCM datang dari grup yang relatif kecil pada senter-senter yang
sangat selektif di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa. Selain itu, persepsi dari
penulis selama lebih dari 25 tahun pengalaman ekstensif dengan HCM berkaitan
dengan analisis literatur. Banyak studi klinis HCM yang observasional dan
retrospektif dalam desainnya karena kesulitan dalam mengatur uji klinis prospektif
dan randomisasi yang besar untuk penyakit dengan gejala yang heterogen, pola
rujukan selektif, dan mekanisme morbiditas dan mortalitas yang luas. Karena itu, pada
HCM, kadar bukti mengenai pengambilan keputusan manajemen utamanya diambil
dari studi-studi yang tidak randomisasi. Saya paling mengandalkan bukti berbasis
desain investigasi dan studi-studi terkontrol yang besar dan memiliki kekuatan
statistik, jika tersedia.
1
HASIL
Prevalensi
Investigasi epidemiologis dengan beragam desain studi telah menunjukkan perkiraan
yang serupa untuk prevalensi ekspresi fenotip HCM pada populasi dewasa umum
sebesar 0,2% (1:500). Karena itu, HCM tidak langka dan merupakan penyakit
kardiovaskular genetik yang paling umum terjadi, dengan laporan dari banyak negara.
Meski begitu, proporsi besar individu yang memiliki gen mutant HCM kemungkinan
tidak terdeteksi secara klinis. Namun, HCM tidak umum pada praktek kardiologi
rutin, hanya pada tidak lebih dari 1% pasien rawatjalan. Paparan terbatas ini untuk
klinisi terhadap HCM tentunya menyebabkan ketidakpastian yang ada mengenai
penyakit ini dan manajemennya.
Nomenklatur
Karena deskripsi modern pertama dibuat tahun 1958, HCM telah dikenal dengan
berbagai nama yang membingungkan, yang merefleksikan heterogenitas klinis dan
kurangnya pengalaman peneliti-peneliti awal. Hypertrophic cardiomyopathy adalah
nama yang lebih dipilih karena mendeskripsikan keseluruhan spektrum penyakit tanpa
mengenalkan gangguan yang menunjukkan tanda invariabel obstruksi traktus outflow
ventrikel kiri (hypertrophic obstructive cardiomyopathy [HOCM] atau idiopathic
hypertrophic subaortic stenosis [IHSS]). Memang, HCM merupakan penyakit yang
utamanya nonobstruktif; 75% pasien tidak memiliki gradien resting outflow tract
yang besar.
Genetik
Hipertrofik kardiomiopati diturunkan sebagai sifat dominan autosomal mendelian dan
disebabkan oleh mutasi dari 1 dari 10 gen, tiap protein enkode dari sarkomer jantung
(komponen filamen tebal atau tipis dengan fungsi kontraktilitas, struktural, regulasi).
Kemiripan fisik dari protein-protein memungkinkan untuk menganggap spektrum
HCM yang luas sebagai kesatuan penyakit tunggal dan kelainan sarkomer primer.
Mekanisme dimana mutasi penyebab penyakit mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri
(LVH) dan penyakit HCM belum diketahui, walaupun beberapa hipotesa telah
diusulkan.
Tiga dari gen mutan penyebab HCM predominan, terutama rantai berat β-myosin
(yang pertama diidentifikasi), troponin T jantung, dan protein C pengikat myosin. Gen
2
lain mengakibatkan sedikit dari kasus HCM, terutama troponin I jantung, rantai
ringan myosin regulasi dan esensial, titin, α-tropomyosin, α-actin, dan rantai berat α-
myosin. Keberagaman ini terdiri dari heterogenitas intragenik, dengan lebih dari 150
mutasi diidentifikasi, kebanyakan diantaranya missense atau salah mengenali residu
asam amino tunggal yang disubstitusi dengan yang lain. Defek molekular yang
bertanggungjawab atas HCM biasanya berbeda pada individu yang tidak ada
hubungan keluarga, dan kebanyakan gen dan mutasi, yang menyebabkan proporsi
kecil HCM familial, masih belum diidentifikasi.
Studi-studi genetik molekuler kontemporer selama dekade terakhir memberikan
pandangan penting terhadap heterogenitas klinis HCM, termasuk diagnosis preklinis
individu yang terkena tanpa bukti fenotipik penyakit (misal, adanya LVH pada
echokardiografi atau elektrokardiografi [EKG]). Walaupun analisis DNA untuk gen
mutan merupakan metode definitif untuk menegakkan diagnosis HCM, hal ini belum
menjadi strategi klinis yang rutin dilakukan. Karena teknik-teknik yang kompleks,
memakan waktu, dan mahal, genotyping terbatas pada pemeriksaan terkait penelitian
yang sangat selektif. Perkembangan skrining otomatis yang cepat untuk abnormalitas
genetik akan memungkinkan akses lebih luas terhadap kekuatan biologi molekuler
untuk menghilangkan ambiguitas diagnostik.
Baru-baru ini, mutasi missense pada gen yang mengkode ϒ-2 subunit regulasi protein
kinase teraktivasi adenosin monofosfat (PRKAG2) telah dilaporkan menyebabkan
sindrom Wolff-Parkinson-White familial terkair dengan abnormalitas konduksi dan
LVH (karena akumulasi glikogen pada myosit). Sindrom ini paling tepat dianggap
sebagai penyakit penyimpanan metabolik yang berbeda dari HCM, yang disebabkan
oleh mutasi gen yang mengkode protein sarkomerik. Karena itu, manajemen dan
penilaian resiko pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White dan hipertrofi jantung
tidak perlu dinyatakan pada data dari pasien dengan HCM.
Potensial penting untuk memahami patofisiologi HCM dengan cara model genetik
hewan (misal tikus dan kelinci transgenik) dan penyakit hewan yang terjadi secara
spontan. Terutama, kucing peliharaan dengan gagal jantung biasanya menunjukkan
penyakit dengan sifat klinis dan morfologis yang mirip HCM pada manusia.
Diagnosis
Diagnosis klinis HCM ditegakkan paling mudah dan dapat diandalkan dengan
echokardiografi 2 dimensi dengan gambaran ruang ventrikel kiri yang hipertrofi tapi
3
tidak dilatasi, tanpa adanya penyakit jantung atau sistemik lain (misal, hipertensi atau
stenosis aorta) yang mampu mengakibatkan hipertrofi yang ada (Gambar 1 dan
Gambar 2A). HCM mungkin dapat diduga ada dengan adanya murmur jantung
(baisanya pada pemeriksaan sebelum mengikuti olahraga), riwayat keluarga positif,
gejala baru, atau pola EKG yang abnormal. Dalam spektrum penyakit HCM,
pemeriksaan fisik mungkin bukan metode yang dapat diandalkan untuk identifikasi
klinis, karena kebanyakan pasien tidak memiliki obstruksi outflow tract LV dan
kebanyakan penemuan fisik yang tercatat (misal, murmur sistolik jantung yang keras
terdengar dan pulsasi arteri bifid) terbatas pada pasien dengan gradien outflow.
Dengan menimbang penilaian faktor keturunan, wajib bagi pemeriksa untuk
mendapatkan riwayat keluarga dan transmisi dominan autosomal HCM. Skrining
keluarga derajat pertama (keluarga besar), termasuk mendapatkan riwayat dan
pemeriksaan fisik, dan echokardiografi 2 dimensi dan EKG perlu dianjurkan, terutama
jika kejadian terkait HCM telah terjadi dalam keluarga.
Pada pasien yang didiagnosa secara klinis, peningkatan ketebalan dinding LV berkisar
luas antara ringan (13-15 mm) hingga masif (≥30 mm [normal ≤12 mm]), termasuk
yang paling jelas dibanding penyakit jantung lainnya, dapat hingga 60 mm (gambar
1). Pada atlet terlatih, penebalan dinding segmental yang ringan (misal 13-15 mm)
memberikan diagnosis banding antara LVH fisiologis ekstrim (misal, athlete’s heart
atau jantung atlet) dan ekspresi HCM morfologis ringan, yang dapat sembuh tanpa
pemeriksaan noninvasif. MRI mungkin ada nilai diagnostiknya ketika studi-studi
echokardiografi tidak mampu dilakukan secara teknis atau adanya LVH segmental
yang tidak dapat dideteksi dengan echokardiografi.
Pola EKG 12-lead abnormal pada 75% hingga 95% pasien HCM dan biasanya
menunjukkan variasi pola yang luas. EKG normal umumnya ditemui pada anggota
keluarga yang diidentifikasi sebagai bagian dari skrining faktor keturunan atau ketika
diasosiasikan dengan LVH lokalisasi ringan. Hanya hubungan ringan antara voltase
EKG dan keparahan LVH yang tampak pada echokardiografi. Karena itu, EKG
memiliki nilai diagnostik dalam kecurigaan HCM pada anggota keluarga tanpa LVH
pada echokardiogram dan dalam mentarget atlet untuk echokardiografi diagnostik
sebagai bagian dalam skrining pre-partisipasi kegiatan olahraga.
Namun, tidak semua individu yang memiliki defek genetik akan mengekspresikan
gejala klinis HCM, seperti LVH pada echokardiografi, hasil EKG yang abnormal,
atau gejala jantung. Studi-studi genetik molekuler telah menunjukkan bahwa tidak ada
4
ketebalan dinding minimum untuk HCM pada usia berapapun, dan tidak jarang ada
anak di bawah 13 tahun yang mempunyai gen mutan HCM tanpa LVH, menegaskan
kurangnya produktivitas pada skrining echokardiografi pre-remaja. Remodeling LV
yang substansial dengan munculnya hipertrofi secara spontan baisanya terjadi dengan
pertumbuhan cepat tubuh selama masa remaja, dan ekspresi morfologis baisanya
terjadi pada maturitas fisik (sekitar usia 17-18 tahun). Abnormalitas pada EKG 12-
lead dan ukuran disfungsi diastolis non-preload-dependent dengan ultrasonografi
Doppler jaringan dapat menunjukkan gambaran hipertrofi, yang memberikan petunjuk
kemungkinan adanya LVH.
Kriteria diagnostik baru untuk HCM baru-baru ini muncul dan berdasarkan studi-studi
genotipe-fenotipe yang menunjukkan ekspresi penyakit yang tidak lengkap dengan
tidak adanya LVH pada individu dewasa, kebanyakan baisanya karena mutasi protein
C pengikat myosin jantung atau troponin T. Dalam studi-studi cross-sectional dan
serial echokardiografi, mutasi-mutasi pada gen protein C pengikat myosic mungkin
menunjukkan penetrasi terkait usia fenotipe HCM dimana onset LVH de novo yang
delayed dapat terjadi pada usia paruh baya atau lebih tua. Konversi morfologis
dewasa seperti itu mendikte bahwa tidak lagi mungkin menggunakan echokardiogram
normal untuk meyakini maturitas (bahwa pada usia paruh baya) bahwa anggota
keluarga asimtomatik bebas dari gen mutan penyebab penyakit HCM; observasi ini
mungkin memerlukan strategi pemeriksaan echokardiografi post-remaja tiap 5 tahun.
Berlawanan dengan itu, subset kecil pasien HCM (sekitar 5%-10%) berubah menjadi
tahap akhir (atau fase “burned-out”) yang ditandai dengan penipisan dinding LV,
pembesaran kavitas, dan disfungsi sistolik yang sering serupa dengan dilatasi
kardiomiopati dan mengakibatkan kegagalan jantung yang progresif dan irreversibel.
Juga mungkin bahwa dewasa lainnya merasakan regresi penebalan dinding seiring
dengan pertambahan usia (tidak terkait penurunan klinis), yang merefleksikan
remodeling yang perlahan-lahan dan luas. Karena itu, fenotipe HCM bukan
merupakan manifestasi penyakit yang statis; LVH dapat terjadi pada usia berapapun
dan meningkat atau berkurang secara dinamis seumur hidup.
Fenotipe HCM dan Gambaran Morfologis
Hipertrofi Ventrikel Kiri (LVH). Tampak heterogenitas struktur pada HCM, tanpa
pola LVH yang dianggap tipikal (Gambar 1). Walaupun banyak pasien yang
menunjukkan LVH yang terdistribusi secara difus, hampir sepertiga memiliki
5
penebalan dinding ringan terlokalisir ke segmen tunggal, termasuk bentuk apikal yang
muncul umumnya pada orang Jepang (Gambar 1D). LVH biasanya asimetris, dengan
septum anterior biasanya predominan (Gambar 1A-D, F; Gambar 2A), walaupun
beberapa pasien menunjukkan pola simetris (kosentris) (Gambar 1E). Distribusi
penebalan dinding LV menunjukkan tidak ada keterkaitan langsung ke outcome,
walaupun hipertrofi distal berhubungan dengan tidak adanya obstruksi. Anak-anak
mungkin mengalami LVH yang mirip HCM sebagai bagian dari tingkat penyakit lain
(misal sindrom Noonan, myopati mitokondrial, dan kelainan metabolik) yang tidak
berkaitan dengan mutasi protein sarkomer penyebab HCM. Marker-marker lain HCM
yang bukan syarat wajib diagnosis termasuk LV hiperkontraktil dan obstruksi
subaortik dinamis yang biasanya diakibatkan oleh gerakan anterior sistolik katup
mitral dan kontak septal (diakibatkan oleh drag effect atau efek tarikan atau mungkin
fenomena Venturi) yang menyebabkan murmur sistolik yang keras.
Gambar 1. Tampak heterogenitas struktur pada HCM, tanpa pola LVH yang
dianggap tipikal .
6
Gambar 2. Gambaran klinis morfologi dari miokardial penderita
hiperkardiomiopati. A.
Komponen Seluler. Susbtrat kardiomiopati pada HCM secara anatomis didefinisikan
sebagai beberapa sifat histologis berdasarkan pengamatan otopsi. Bentuk miokard
ventrikel kiri tidak beraturan, terdiri dari sel otot jantung yang hipertrofi (myosit)
dengan bentuk-bantuk yang aneh dan hubungan interseluler multipel yang sering tidak
beraturan dengan sudut oblique dan perpendikular (Gambar 2B). Ketidakteraturan
seluler mungkin tersebar luas, memenuhi proporsi besar dinding LV (rata-rata 33%)
dan lebih ekstensif pada pasien muda yang meninggal karena penyakitnya.
Arteri koroner intramural abnormal, ditandai dengan penebalan dinding dengan
peningkatan kolagen intimal dan medial dan lumen yang menyempit, mungkin
dianggap sebagai penting penyakit pembuluh darah kecil (Gambar 2). Perubahan
bentuk mikrovaskular seperti itu, dengan ketidakcocokan massa miokard dan sirkulasi
koroner, kemungkinan merupakan penyebab reserve vasodilator koroner yang
7
terganggu dan terjadinya iskemia miokard hinga mengakibatkan kematian myosit dan
repair dalam bentuk jaringan parut pengganti transmural atau patchy (Gambar 2).
8
Jaringan parut miokard seperti itu mendukung bukti klinis bahwa iskemia sering
terjadi dalam perjalanan penyakit HCM dan mungkin merupakan substrat kematian
terkait gagal jantung dini. Juga jelas bahwa proses kardiomiopati pada HCM tidak
terbatas pada daerah luas penebalan dinding dan bahwa regio nonhipertrofi juga
berkontribusi terhadap iskemia atau gangguan fungsi diastolik.
Bentuk seluler yang tidak beraturan, jaringan parut miokard, dan ekspansi kolagen
interstisial (matriks), mungkin merupakan penyebab substrat aritmogenik yang
mengawali instabilitas elektrik yang mengancam nyawa. Substrat ini kemungkinan
sumber takikardi ventrikel primer dan fibrilasi ventrikel, yang tampak sebagai
mekanisme predominan kematian mendadak, baik primer maupun berkaitan dengan
pencetus intrinsik terhadap proses penyakit, terutama, iskemia miokard, hipotensi
sistemik, takiaritmia supraventrikel, atau variabel lingkungan (misal kelelahan fisik
yang berat).
Penetrasi dan variabilitas ekspresi fenotipik jelas dipengaruhi oleh faktor-faktor selain
gen mutan penyebab penyakit seperti gen modifikasi (misal genotipe angiotensin-
converting enzyme), hipertensi yang sudah ada, atau gaya hidup. Memang, beberapa
manifestasi fenotipik HCM tidak secara primer melibatkan protein sarkomer,
termasuk peningkatan kolagen interstisial, arteri intramural abnormal, dan malformasi
katup mitral seperti elongasi pembuluh darah atau insersi otot papiler langsung ke
katup mitral.
Perjalanan Klinis
HCM unik diantara penyakit kardiovaskular karena nilai potensinya untuk tampilan
klinis pada fase kehidupan manapun (dari bayi hingga usia >90 tahun). Walaupun
konsekuensi klinis telah dikenali bertahun-tahun sebelumnya, terutama kematian
jantung mendadak, belakangan ini berkembang perspektif yang lebih seimbang
mengenai prognosis.
Dalam sejarahnya, mispersepsi mengenai signifikansi klinis HCM bertahan karena
prevalensinya yang relatif rendah di populasi jantung, heterogenitas ekstrim, dan pola
rujukan pasien yang membuat bias yang penting. Memang, kebanyakan data yang
dikumpulkan dalam 40 tahun terakhir ada disproporsi dari senter-senter tersier yang
kebanyakan terdiri dari pasien yang dirujuk karena status resiko tinggi atau gejala
berat yang memerlukan perawatan khusus seperti pembedahan. Karena itu, literatur
9
lama didominasi oleh konsekuensi HCM yang paling berat, meskipun secara klinis
stabil, asimtomatik, dan pasien usia lanjut kurang terwakili.
Akibatnya, resiko HCM diperkirakan berlebihan menurut angka mortalitas 3% hingga
6% yang kurang tepat tapi sering dikutip. Angka ini, kebanyakan didasari oleh
pengalaman senter tersier yang tidak seimbang, telah berkontribusi besar terhadap
persepsi salah bahwa HCM adalah kelainan yang umumnya prognosis buruk.
Laporan-laporan terbaru selama 7 tahun terakhir dari kohort regional selektif atau
berbasis komunitas melaporkan angka mortalitas per tahun yang jauh lebih rendah,
sekitar 1%, mirip dengan populasi dewasa umum AS. Data seperti itu memberikan
pandangan yang lebih seimbang dimana HCM dapat dikaitkan dengan gejala yang
penting dan kematian dini tapi lebih sering tanpa atau dengan disabilitas ringan dan
harapan hidup normal.
Pasien HCM yang lanjut usia (≥75 tahun) telah dilaporkan sebagai 25% dari kohort
HCM, dengan hanya sedikit yang mengalami manifestasi berat gagal jantung.
Obstruksi outflow umumnya tampak pada pasien lanjut usia (sekitar 40%), yang
menunjukkan bahwa gradien subaorta mungkin ditoleransi dengan baik dalam jangka
waktu panjang tanpa konsekuensi yang lain. Memang, HCM pada pasien usia lanjut
dapat sebagia kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi protein sarkomer
dominan yang umumnya pada gen protein C pengikat myosin jantung dan troponin I.
Profil Prognosis dan Strategi Terapi
Perjalanan klinis untuk pasien HCM paling tepat dilihat dalam subgrup spesifik
dibandingkan persepsi dari keseluruhan spektrum penyakit (Gambar 3). Sebagian
pasien berkembang dalam pathway yang relatif tidak terlihat: (1) resiko tinggi
kematian mendadak; (2) gejala kongestif gagal jantung dengan dispneu pada aktivitas
dan disabilitas fungsional yang sering dikaitkan dengan nyeri dada dan biasanya
diiringi dengan fungsi sistolik LV yang menetap; dan (3) konsekuensi atrial
fibrillation (AF), termasuk stroke emboli.
Kematian Mendadak. Stratifikasi Resiko. Kematian mendadak adalah cara kematian
yang paling umum dan komplikasi yang paling tidak dapat diduga dari HCM. Karena
itu, dalam spektrum penyakit HCM yang luas, dimana angka mortalitas per tahun
secara keseluruhan sekitar 1%, ada subset kecil yang punya resiko jauh lebih tinggi
(mungkin sekitar 5% per tahun).
10
Tujuan yang penting namun rumit adalah identifikasi individu yang resiko tinggi
diantara spektrum HCM yang luas. Sebagai contoh, kematian mendadak dapat sebagai
manifestasi pertama HCM, dan pasien semacam itu tidak ada atau memiliki gejala
ringan sebelumnya. Walaupun kematian mendadak terjadi paling sering pada anak
dan dewasa muda, resikonya meliputi kisaran usia yang luas hingga paruh baya dan
seterusnya; karena itu, mencapai usia tertentu tidak memberikan imunitas untuk
kejadian yang buruk. Kematian mendadak umumnya terjadi pada kelelahan ringan
atau aktivitas yang sederhana tapi tidak jarang juga terkait dengan kelelahan fisik
yang berat. Memang, HCM merupakan penyebab paling umum kematian mendadak
kardiovaskular pada orang muda, termasuk atlet kompetitif yang terlatih (paling
umum pada olahraga basket dan football dan atlet kulit hitam).
Mayoritas pasien HCM (55%) tidak menunjukkan faktor resiko yang dikenali untuk
penyakit ini, dan sangat pasien seperti itu mati mendadak; subset dengan peningkatan
resiko tampaknya terdiri dari 10% hingga 20% populasi HCM. Resiko tertinggi
kematian mendadak HCM telah dihubungkan dengan yang manapun dari marker
klinis noninvasif berikut (Gambar 3): serangan jantung sebelumnya atau takikardia
ventrikel menetap spontan; riwayat keluarga kematian terkait HCM prematur,
terutama jika mendadak, pada anggota keluarga dekat, atau multipel; sinkop dan
beberapa kasus hampir sinkop, terutama jika kelelahan atau berulang, atau pada
pasien muda ketika tercatat akibat aritmia atau jelas tidak berhubungan dengan
mekanisme neurokardiogenik; multipel dan repetitif atau prolongasi takikardia
ventrikel tidak menetap pada pada catatan EKG ambulatori serial (Holter); tekanan
darah hipotensi sebagai respon terhadap olahraga, terutama pada pasien usia lebih
muda dari 50 tahun; dan LVH ekstrim dengan penebalan dinding maksimal ≥30 mm,
terutama pada remaja dan dewasa muda.
Pada dewasa muda, faktor resiko muncul dari hubungan yang kontinu dan langsung
antara ketebalan dinding LV maksimal dan kematian mendadak, yang mendukung
keparahan LVH sebagai determinan prognosis HCM. Pengecualian terhadap
hubungan itu adalah beberapa dari keluarga HCM yang sangat selektif dengan
kematian mendadak multipel dan LVH ringan akibat mutasi troponin T. Deskripsi
profil resiko HCM total kemungkinan tidak lengkap, dan tidak ada gejala penyakit
atau pemeriksaan yang mampu menstratifikasi resiko pada semua pasien.
Hanya ada hubungan yang disugesti, tapi tidak ada hubungan yang relevan secara
klinis dan independen antara kematian mendadak dan obstruksi outflow, walaupun
11
data untuk gradien yang cukup besar (≥100 mmHg) terbatas. Satu laporan
menunjukkan bahwa segmen-segmen yang pendek dan seperti berterowong
(berjembatan) dari arteri koroner desenden anterior kiri, dimediasi oleh iskemia,
secara independen meningkatkan resiko serangan jantung pada anak dengan HCM.
Gejala HCM pada anak-anak sangat jarang dan biasanya memberikan dilema klinis
karena diagnosis (seringkali tidak sengaja) dini dan ketidakpastian mengenai resiko
jangka panjang. Studi-studi HCM pada anak melaporkan angka mortalitas per tahun
sebesar 2% (populasi berbasis komunitas) hingga 6% (kohort rujukan tersier).
Telah diusulkan, berdasarkan korelasi genotipe-fenotipe, bahwa defek genetik
penyebab HCM dapat menunjukkan determinan primer dan marker stratifikasi untuk
resiko kematian mendadak, dengan mutasi spesifik menunjukkan prognosis yang baik
atau buruk. Sebagai contoh, beberapa mutasi rantai berat β-myosin (seperti
Arg403Gln dan Arg719Gln) dan beberapa mutasi troponin T dapat dihubungkan
dengan frekuensi kematian prematur yang lebih tinggi dibandingkan dengan mutasi
lain, seperti protein C pengikat myosin (InsG791) atau α-tropomyosin (Asp175Asn).
Namun, perlu hati-hati sebelum kesimpulan kuat dibuat mengenai prognosis hanya
berdasarkan data genetik epidemiologis, yang relatif terbatas dan tidak seimbang
karena bias seleksi terhadap keluarga-keluarga yang resiko tinggi. Akses ke biologi
molekuler dari HCM belum mewakili strategi yang relevan secara klinis yang
biasanya mempengaruhi manajemen penyakit.
Prognosis terkait carrier gen dewasa tanpa LVH tampaknya kebanyakan benigna.
Tidak ada bukti yang tersedia untuk justifikasi menghalangi individu genotipe positif-
fenotipe negatif usia berapapun dari kebanyakan aktivitas atau kesempatan bekerja.
Peran dari strategi invasif seperti pemeriksaan elektrofisiologis dengan stimulasi
ventrikel terprogram dan signifikansi aritmia yang diinduksi dalam mendeteksi
substrat fibrilasi ventrikel pada pasien HCM masih belum terjawab. Keterbatasan
meliputi jarangnya fibrilasi ventrikel monomorfik diprovokasi dan ketidakspesifitas
dari takikardia ventrikel polimorfik cepat dan fibrilasi ventrikel.
Walaupun perhatian sewajarnya difokuskan pada pasien resiko tinggi hcm, tidak
adanya faktor resiko dan tanda klinis tertentu lain dapat digunakan untuk
mengembangkan profil pasien HCM pada kemungkinan rendah kematian mendadak
yang diakibatkan oleh gangguan ritme yang mengancam nyawa, begitu juga efek
samping lain (misal pada tingkat <1% per tahun). Pasien dewasa yang lebih mungkin
bersiko rendah adalah mereka yang tidak ada atau memiliki gejala kongestif ringan
12
tanpa adanya yang berikut: riwayat keluarga kematian dini akibat HCM; sinkop (atau
hampir sinkop) yang dinilai tidak mungkin karena sebab neurokardiogenik; takikardia
ventrikel yang tidak menetap pada EKG Holter ambulatori; gradien outflow LV
minimal 50 mmHg; LVH substansial (penebalan dinding ≥20 mm); pembesaran
atrium kiri (<45 mm); dan tekanan darah hipotensi sebagai respon terhadap olahraga.
Pasien-pasien semacam itu dengan progosis baik adalah proporsi penting dari
keseluruhan populasi HCM dan umumnya berhak mendapatkan ketenangan atas
penyakitnya.
Kebanyakan pasien HCM perlu melalui penilaian stratifikasi resiko (mungkin dengan
pengecualian pasien yang lebih dari 60 tahun) yang memerlukan, selain dari
pengambilan riwayat yang hati-hati dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan noninvasif
dengan achokardiografi 2 dimensi, EKG Holter ambulatori 24 atau 48 jam, dan
pemeriksaan latihan treadmill (atau sepeda). Penilaian dan follow up seperti itu harus
dilakukan oleh (atau melibatkan) spesialis yang kompeten dalam bidang kedokteran
kardiovaskular.
Pencegahan. Pada HCM, strategi terapi untuk mengurangi resiko kematian mendadak
dalam sejarah telah diprediksi dengan obat-obatan seperti β-blocker, verapamil, dan
agen antiaritmia (misal quinidine, procainamide, dan amiodarone). Meski begitu, ada
sedikit bukti bahwa strategi farmakologis profilaktik dan obat-obatan yang
memodulasi ritme secara efektif mengurangi resiko kematian mendadak; selain itu,
karena potensi toksisitasnya, amiodarone kurang mungkin ditoleransi dalam resiko
jangka panjang khas pasien HCM muda. Karena itu, hanya ada sedikit justifikasi
terapi obat profilaktik pada pasien HCM asimtomatik, baik resiko tinggi atau tidak.
Sekarang ini, implantable cardioverter-defibrillator (ICD) tampak sebagai modalitas
terapi yang paling efektif untuk pasien HCM resiko tinggi, dengan potensinya untuk
mengubah perjalanan penyakit (Gambar 3). Dalam sebuah studi multisenter besar,
ICD menghilangkan takiaritmia ventrikel yang potensial mengancam nyawa dan
mengembalikan ritme sinus pada hampir 25% pasien selama periode follow up 3
tahun yang singkat. Intervensi alat yang tepat terjadi pada 11% per tahun untuk
pencegahan sekunder (implan setelah serangan jantung) dan 5% per tahun untuk
pencegahan primer (implan berdasarkan faktor resiko), biasanya pada pasien tanpa
atau dengan gejala ringan sebelumnya. Pasien yang menerima shock yang tepat
berusia muda (rata-rata 40 tahun), dan ICD kebanyakan tetap dorman untuk periode
13
panjang sebelum diangkat (hingga 9 tahun), yang menggarisbawahi fakta bahwa
kejadian kematian mendadak pada HCM tidak dapat diprediksi.
Pencegahan kematian mendadak dengan ICD paling dianjurkan untuk pasien dengan
serangan jantung sebelumnya atau takikardia ventrikel spontan menetap. Walaupun
faktor resiko multipel memberikan resiko kematian mendadak yang semakin besar,
faktor resiko mayor tunggal pada individu pasien mungkin cukup untuk menjustifikasi
pertimbangan kuat pencegahan primer dengan ICD. Meski begitu, ketidakpastian
tetap ada mengenai mana tepatnya pasien HCM dengan 1 faktor resiko yang perlu
menjadi kandidat untuk terapi ICD profilaktik, dan karena itu penilaian klinis individu
perlu menimbang keseluruhan profil klinis, termasuk usia, kekuatan faktor resiko
yang diidentifikasi, dan tingkat resiko yang dapat diterima pasien dan keluarga,
mungkin diperlukan untuk secara definitif menjawab kebanyakan keputusan klinis.
Kelelahan fisik yang besar merupakan pencetus kematian mendadak pada individu
yang rentan. Karena itu, untuk mengurangi resiko, diskualifikasi atlet dengan bukti
adanya HCM yang tidak dapat dibantah dari kebanyakan olahraga kompetitif secara
terus menerus direkomendasi oleh badan konsensus nasional.
Atrial fibrillation. AF merupakan aritmia menetap yang paling umum pada HCM,
dan menjadi penyebab rawatinap yang tidak diduga dan masa tidak masuk kerja, dan
karena itu menjustifikasi strategi terapeutik yang agresif (Gambar 3). Episode
paroksisimal atau AF kronis terjadi pada 20% hingga 25% pasien HCM, peningkatan
insidens dengan usia, dan terkait pembesaran atrium kiri. AF ditoleransi oleh
sepertiga pasien dan bukan merupakan determinan dependen kematian mendadak.
Namun, AF dikaitkan dengan stroke emboli (insidens sekitar 1% per tahun; prevalensi
6%), mengakibatkan kematian dan disabilitas paling sering pada usia lanjut, dan juga
gagal jantung progresif terutama jika onset AF terjadi sebelum usia 50 tahun dan
berhubungan dengan obstruksi outflow basal.
AF paroksisimal mungkin adalah penyebab dekompensasi klinis akut, yang
memerlukan kardioversi elektrik atau farmakologis. Walaupun data pada pasien HCM
terbatas, amiodarone dianggap efektif dalam mengurangi rekurensi AF. Pada AF
kronis, β-blocker dan verapamil secara efektif mengontrol heart rate, walaupun ablasi
nodus A-V dengan pacu ventrikel permanen mungkin diperlukan. Karena potensi
terbentuknya clot dan emobilisasi, terapi antikoagulas dengan warfarin diindikasi
pada pasien dengan AF kronis atau rekuren. Karena 1 atau 2 dari paroksisma AF telah
dihubungkan dengna resiko tromboemboli sistemik pada HCM, ambang batas inisiasi
14
terapi antikoagulan seharusnya rendah. Namun, keputusan klinis semacam itu perlu
disesuaikan dengan individu pasien setelah modifikasi gaya hidup yang wajib
dilakukan, resiko komplikasi hemoragik, dan ekspektasi kepatuhan telah
dipertimbangkan.
Gagal Jantung. Gejala. Gejala seperti dispneu pada aktivitas, orthopnea, dispneu
paroksismal nokturnal, dan fatigue sering muncul, khasnya dengan adanya
kontraktilitas LV normal atau supranormal dan tidak bergantung pada adanya
obstruksi outflow (Gambar 3). Gejala gagal jantung terkait HCM seperti itu biasanya
tidak muncul hingga usia dewasa tapi dapat muncul pada usia berapapun.
Progresi gejala yang jelas (New York Heart Association kelas III dan IV) relatif
jarang, terjadi pada sekitar 15% hingga 20% populasi yang nonselektif, dan disabilitas
aktivitas mungkin terjadi pada tingkat yang bervariasi; perburukan sering perlahan
dan ditandai dengan periode panjang stabilitas dan keberagaman keseharian (Gambar
3).
Gejala kongestif dan keterbatasan aktivitas pada HCM tampaknya kebanyakan
sebagai konsekuensi disfungsi diastolik dimana relaksasi LV terganggu, peningkatan
kekakuan ventrikel, dan pengisian fungsi sistolik atrium kiri yang terganggu,
mengakibatkan peningkatan tekanan end-diastolik LV dan atrium kiri dengan
penurunan stroke volume dan cardiac output. Mekanisme-mekanisme ini
menghasilkan kongesti pulmoner dengan hilangnya performa olahraga yang ditandai
dengan penurunan konsumsi oksigen puncak. Namun, gagal jantung terkait disfungsi
diastolik mungkin juga terkait dengan mekanisme patofisiologis lain seperti iskemia
miokard, obstruksi outflow, dan AF.
Nyeri dada sugestif iskemia miokard (dengan arteri koroner yang normal secara
angiografi), baik tipikal angina maupun atipikal, merupakan gejala yang sering
dikaitkan dengan dispneu pada aktivitas. Defek perfusi miokard, pelepasan laktat total
selama pacu atrium, dan penyimpanan aliran koroner yang tumpul merupakan bukti
iskemia yang mungkin disebabkan sebagian karena mikrovaskular yang abnormal.
Peran iskemia dalam stratifikasi resiko belum terjawab, sebagian karena penilaian
klinis iskemia (dan disfungsi diastolik) terbatas oleh ketidakmampuan pengukuran
abnormalitas ini secara noninvasif dengan ketepatan yang kuantitatif.
Strategi Terapi Obat. Jika gejala aktivitas gagal jantung mengganggu, biasanya terapi
farmakologis dimulai dengan obat inotropik ngeatif seperti β-adrenergik blocker atau
verapamil, terlepas dari adanya obstruksi outflow (Gambar 3). Pasien yang tidak
15
mengalami perbaikan gejala dengan satu obat mungkin dapat bermanfaat dengan obat
lain, tapi pemberian kombinasi tidak menguntungkan. Namun, verapamil mungkin
dapat menguntungkan sebagian pasien dengan gradien outflow berat dan gagal
jantung, dan sebagian peneliti lebih memilih disopyramide (seringnya dengan β-
blocker) untuk pasien simtomatis berat dengan obstruksi dan verapamil atau β-blocker
pada pasien yang tidak megnalami obstruksi. Hanya ada sedikit data pembanding
mengenai penggunaan calcium channel blocker lain seperti diltiazem pada HCM
untuk menghilangkan gejala. Pasien yang mengalami gejala berat gagal jantung
terkait disfungsi sistolik dan perburukan ke end stage memerlukan terapi obat
alternatif dengan diuretik, vasodilator, dan digitalis.
Β-blocker mungkin mengurangi gradien provokatif predominan (diinduksi oleh
intervensi seperti olahraga fisiologis atau Valsalva maneuver, infus insoproterenol,
atau inhalasi amyl nitrate), dan disopyramide dapat mengurangi gradien subaorta pada
istirahat, dimediasi oleh penurunan afterload ventrikel dan perlambatan akselerasi
ejeksi LV. Untuk pasien dengan obstruksi outflow, resiko endokarditis bakteri
(biasanya melibatkan katup mitral) menentukan pemberian profilaksis obat
antimikroba, terutama pada pasien dengan obstruksi, sebelum prosedur gigi atau
pembedahan.
Terapi Bedah. Jika gejala terkait gagal jantung berat menjadi tidak tertahankan dan
kebal terapi farmakologis gan gaya hidup, keputusan terapeutik berikutnya ditentukan
sebagian besar oleh adanya obstruksi basal terhadap outflow LV (gradien instan
puncak ≥50 mmHg) (Gambar 3). Selama 40 tahun terakhir, pengalaman berbagai
senter di seluruh dunia telah menyebabkan operasi myotomi-myektomi septum
ventrikel (prosedur Morrow) untuk ditetapkan sebagai pilihan terapeutik standar
(“gold standard”) untuk dewasa dan anak dengan HCM obstruktif dan gejala kebal
obat berat. Namun, kandidat operasi hanya mewakili subset kecil (5%) walaupun
penting dari keseluruhan populasi HCM.
Operasi memerlukan reseksi sedikit otot (sekitar 5 gram) dari septum proksimal yang
ekstensi ke margin distal katup mitral, dengan itu menghilangkan impedansi
signifikan terhadap outflow LV. Ahli bedah lain telah menggunakan prostesis katup
mitral low-profile pada pasien yang dinilai memiliki morfologi septum yang tidak
menguntungkan atau dengan penyakit katup mitral intrinsik (seperti degenerasi
miksomatus) yang mengakibatkan regurgitasi mitral berat. Insersi otot papiler secara
16
langsung ke katup mitral, menghasilkan obstruksi midkavitas muskular, memerlukan
reseksi septum ekstensi distal atau penggantian katup.
Myotomi-myektomi yang dilakukan di senter-senter bedah yang berpengalaman tanpa
adanya kondisi terkait memiliki mortalitas operatif yang cukup rendah (≤2%).
Kebanyakan pasien (sekitar 70%) mencapai perkembangan subjektif gejala dan
kapasitas olahraga 5 tahun atau lebih setelah operasi dan seringkali untuk jangka
panjang. Perbaikan ukuran metabolik dan hemodinamik terkait keuntungan
simtomatis setelah myotomi-myektomi tampaknya kebanyakan sebagai konsenkuensi
hilangnya atau penurunan substansial gradien outflow basal dan normalisasi tekanan
LV (dalam >90% pasien), juga hilangnya regurgitasi mitral ringan hingga sedang
yang sekunder terhadap obstruksi. Pasien dimana gejala kebal obat berat dapat
dikaitkan dengan gradien outflow besar yang ada dibawa kondisi yang dapat
diprovokasi, seperti olahraga fisiologis, dapat diuntungkan dengan myotomi-
myektomi.
Hilangnya gejala berat yang konsisten setelah pembedahan merupakan bukti bahwa
gradien outflow yang jelas dan peningkatan tekanan sistolik LV signfikan secara
klinis untuk banyak pasien. Namun, obstruksi outflow tidak dapat dihilangkan pada
semua pasien, karena jelas bahwa gradien besar dapat ditoleransi dalam jangka waktu
panjang tanpa atau dengan disabilitas ringan. Karena itu, walaupun gradien outflow
sangat jelas dan merupakan komponen yang dapat dikuantitifikasi dari HCM, hal ini
biasanya labil dan secara hemodinamik sensitif terhadap perubahan pada volume
ventriken dan resistensi vaskuler sistemik, bahkan setelah makan berat, dan tidak
dapat dinilai sebagai ekuivalen terhadap penyakitnya sendiri. Walaupun intervensi
mayor dapat menguntungkan dengan mengurangi gradien outflow ketika dinilai
persisten dan menyebabkan gejala berat, adanya obstruksi subaorta yang tidak
berhubungan dengan disabilitas jelas jarang menjadi justifikasi terapi semacam itu.
Alternatif Pembedahan. Sebagian kandidat operatif mungkin tidak memiliki akses
langsung ke senter-senter besar yang berpengalaman dengan myotomi-myektomi
karena faktor geografis, atau mereka tidak dapat dianggap sebagai kandidat operatif
yang dipilih karena kondisi medis yang menyertai, usia lanjut, pembedahan jantung
sebelumnya, atau motivasi kurang.
Karena itu, 2 pilihan terapi telah muncul sebagai kemungkinan alternatif pembedahan
untuk pasien tertentu (Gambar 3). Pertama, dalam studi-studi observasi tanpa kontrol,
pacu dua ventrikel kronik dihubungkan dengan ameliorasi gejala dan penurunan
17
gradien outflow pada banyak pasien HCM. Namun, beberapa uji klinis crossover
randomisasi melaporkan bahwa keuntungan simtomatik subjektif selama pemacuan
sering terjadi dengan sedikit bukti objektif perbaikan kapasitas olahraga dan dapat
dijelaskan sebagai efek plasebo. Walaupun pemacuan bukan merupakan terapi primer
HCM, 1 studi menunjukkan bahwa pasien usia lanjut (>65 tahun), sebuah subgrup
dimana alternatif pembedahan lebh dipilih, mengalami perbaikan objektif gejala
dengan pemacuan. Walaupun myotomi-myektomi memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan pemacuan pada kebanyakan pasien, percobaan pemacuan dua ventrikel
sebelum myotomi-myektomi mungkin dapat dilakukan pada kandidat tertentu, karena
pemacuan (1) secara implisit lebih noninvasif dibandingkan pembedahan atau ablasi
septal alkohol, (2) merupakan metode yang lebih terjangkau oleh kardiologist yang
berpraktek, (3) dapat memungkinkan terapi obat yang lebih agresif dengan
menghilangkan kekhawatiran bradikardia akibat obat, (4) dapat dihentikan, dan (5)
tidak mengurangi implementasi prosedur invasif. Pemacuan tidak mengurangi resiko
kematian mendadak secara signifikan atau memicu remodeling LV.
Terapi alternatif kedua terhadap pembedahan adalah teknik ablasi septal alkohol yang
baru-baru ini dikembangkan, yang merupakan intervensi arteri koroner kutaneus
menggunakan metode dan teknologi yang tersedia untuk penyakit arteri koroner
aterosklerotik. Alkohol absolut (sekitar 1-4 mL) diberikan ke cabang arteri koroner
perforator septal target untuk menghasilkan infark miokard, sehingga mengurangi
ketebalan septal basal dan pergerakkan, membesarkan traktus outflow LV, dan
mengurangi pergerakkan anterior sistolik katup mitral, sehingga menyerupai
konsekuensi hemodinamik dari myotomi-myektomi. Memang, penurunan gradien
outflow berkaitan dengan ablasi septal alkohol telah dilaporkan serupa dengan hasil
myotomi-myektomi, walaupun analisis komparatif terbaru menunjukkan pembedahan
lebih baik daripada abalasi dalam mengurangi gradien istirahat dan gradien yang
dapat diprovokasi. Selain itu, proporsi serupa pasien ablasi dan pembedahan telah
dilaporkan menunjukkan perbaikan subjektif dan objektif dalam gejala kongestif dan
kualitas hidup dalam jangka waktu singkat, terutama pada studi-studi observasi; selain
itu, ada pernyataan yang belum dikonfirmasi mengenai regresi difus LVH setelah
ablasi. Akan tetapi, ablasi septal alkohol pada HCM belum dijadikan perhatian studi-
studi randomisasi atau terkontrol.
Ablasi septal dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas operatif, serupa dengan
myotomi-myektomi; komplikasi meliputi alat pacu permanen untuk blok A-V grade
18
tinggi, diseksi koroner, dan infark anterior besar. Kontras untuk yang pembedahan,
follow up post prosedur untuk ablasi septal alkohol relatif singkat (sekitar 3-5 tahun
dibandingkan dengan 40 tahun untuk myotomi-myektomi).
Selain itu, ablasi saja potensial membuat substrat yang permanen dan secara elektrik
tidak stabil untuk takiaritmia ventrikel reentran mengancam nyawa dengan
penyembuhan jaringan parut septal intramyokard pada sebagian pasien HCM yang
sudah pasti predisposisi terhadap aritmogenesis; pertimbangan ini mengangkat
sejumlah ketidakpastian mengenai resiko jangka panjang ablasi septal alkohol.
Transplantasi Jantung. Pilihan terapeutik terbatas untuk pasien yang memiliki bentuk
nonobstruktif HCM dan mengalami gejala kebal obat berat, termasuk mereka pada
fase end-stage. Subset pasien ini, diantara spektrum luas pasien HCM, mungkn
merupakan kandidat transplantasi jantung.
19