tr displasia bronkopulmonal

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. GJHGJH

Upload: gina-anisah

Post on 05-Nov-2015

55 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

displasia bronkopulmonal

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. GJHGJH

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Saluran Pernapasan Bawah1) Laring

Larynx terletak dibagan anterior leher setingggi kopus vertebra cervikaalis III-VI. Larynx menghubungkan bagian inferior pharynx dengan trakea. Larynx berfungsi sebagai katup untuk melindungi jalan-jalan udara dan menjaga supaya jalan udara selalu terbuka, terutama sewaktu menelan. Larynx juga berfungsi sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan suara.

Kerangka larynx terdiri dari Sembilan tulang rawan yang berhubungan melalui ligamentum dan membrane. Dari Sembilan tulang rawan twerdapat tiga yang tunggal(cartilage thyroidea, cartilage cricoidea, dan cartilage epiglotica), dan tiga tulang rawan berpasangan (cartilage arytenoidea, cartilage corniculata dan cartilage cuneiformis). Cartilage tgyroidea adalah yang terbesar dari tulang-tulang rawan larynx. Bagian dua per tiga cartilage thyroidea berupa lembar-lembar yang bersatu dibidang median untuk membentuk prominentia laryngea (adams apple), kedua lembar berpisah untuk membentuk incisura thyroidea yang brbentuk V. Tepi posterior masing-masing lembar (lamina) menonjol keatas sebagai kornu sepurius dan kebawah sebagai cornu inferius. Tepi superior dan ke dua kornu superior cartilage thyroidea dihubungkan dengan os hyoideum oleh membrane thyroidea. Bagaian mendian memebrana thyroidea ini yang lebih tebal, dikenal sebagai ligamentum thyrohyoideum medianum, bagian-bagian lateral yang menebal adalah ligamentum thyrohyoideum laterale yang padat mengandung beberapa cartilageines triticeae yang menyerupai butur-butir gandung dan membantu menutup lubang laring sewaktu menelan. Cornu inferius cartilage thyroidea bersendi dnegan permukaan lateral cartilage cricoidea pada articulatio crycothyroidea. Gerak-gerak utama pada kedua sendi ini adalah rotasi dan gerak luncur cartilage thyroidea yang menghasilkan perubahan ukuran panjang plica vokalis.

Cartilage cricoidea berbentuk seperti cicin stempel yang tangkainya menghadap kedepan. Bagain posterior (stempel) cartilage cricoidea adalah lempengnya, dan bagian anterior (tangkai) membentuk lengkungnya. Meskipun cartilage cricoidea lebih kecil dari pada cartilage thyroidea, tulang rawan ini lebih tebal dan lebih kuat. Cartilage cricoidea dihubungkan pada tepi bawah cartilage thyroidea oleh ligamentum cricothyroideum medianum pada cartilage trachealis I oleh ligamentum cricotracheale. Ligamentum cricithyroideum menyebebken adanya titik lunak dibawah cartilage thyroidea. Disini laryng terletak paling dekat pada kulit dan paling mudah dicapai.

Cartilage aritenoidea berbentuk seperti limas bersisi tiga. Tulang rawan ii yang berpasangan, bersendi dengan bagian-bagian lateral tepi atas lempeng cartilage cricoidea. Masing-masing tulang rawan disebelah atas memiliki apex (puncak), disebelah anterior procesus vokalis, dan sebuah procesus muskularis yang menonjol kelateral dari alasnya. Apex cartilage arytenoidea dilekatakan pada plica ary-epiglotica, processus vokalis pada ligamentum vokale, dan processus muskularis pada musculus crico-arytinoidea posterior dan musculus crico-arytinoidea lateralis.

Articulatio crico-arytinoidea terletak antara basis cartilage arytinoidea dan permukaan superior lempeng cartilage cricoidea. Sendi-sendi ini memungkinkan gerak cartilage aritenoidea berikut: meluncur saling mendekati atau menjauhi, menjungkit kedepan atau ke belakang, dan rotasi. Garak-gerak ini penting untuk saling mendekatkan, mengembangkan dan mengendurkan plica vocalis. Ligamentum vocale yang elastic terpadapat antara persatuan kedua lembar cartilage thyroidea disebelah belakang. Ligamentum vokale membentuk kerangka plica vokalis. Selapot yang berbentuk segi tiga dan kearah superior dibatasi oleh ligamentum vocale, ialah ligamnetum cricothyroideum (conus elasticus [membrane crico-vocalis]). Ligamentum cricothyroideum ini kedepan membaur denga ligamentum cricothyroideum medianum.

Cartilage epiglotica memebuat epiglottis lentur. Cartilage epigotica yang menyerupai daun dan terletak dibalakang radix linguale serta os hyoideum, dan didepan aditus laryngis, membentuk abagian superior didnding anterior dan tepi superior aditus laryngis. Bagian superior epiglottis adalah lebar dan bebas, dan ujung inferiornya yang meruncing melekat pada ligamentumthyro-epiglotticum dalam sudut yang dibentuk oleh kedua lembar cartilage thyroidea. Permukaan anterior cartilage epiglotica berhubungan dengan os hyoideum melamui ligamentum hyo-epigloticum. Membrane quadrangularis adalah selambar jaringan ikat sub mukosa y6ang tipis, dan terbentang dari cartilage arytenoidea ke kartilago epiglotica. Tepi inferior membrane quadrangularis ini ebas membentuk ligamentum vestibulare yang dilapisi secara longgar oleh plica vestibularis. Plica vestibularis ini terletak superior dari pllica vokalis dan terbentan dari cartilage thyroidea ke cartilage arytenoidea. Cartilage corniculata dan cartilage cuneiformis berupa bintil-bintil kecil di bagian posterior alica ary-epiglottica yang melakat pada cartilagenis arytenoidea.

Komparteman laring

Bagian dalam larynx. Cavitas laringis meluas dari aditus laringis yang merupakan sarana untuk berhubungan dengan laringofaring, samapi setinggi tepi bawah cartilage cricoidea untuk beralih kedalm lumen tenggorok. Cavitas laryngis dibedakan menjadi tiga bagian

Vestibulum laryngis yang terletak superior terhadap plica vestibularis.

Ventriculus laringis yang terlatak antara plica vestibularis dan diatas plica vokalis (ke lateral ventriculus laryngis meluas sebagai sinus laringis; dari masing-masing sinus sebuah sacculus laringis yang buntu, menonjol ke atas antara plia vestibularis dan lamina cartilaginis thyroidea)

Cavitas infragotica, yakni cavitas larings inferior yang meluas dari plica vokalis ke tepi inferior cartilage cricoidea, dan disi bersatu dengan rongga dalam caranium.

Plica vokalis (pita suara sejati) mengendalikan pembentukan bunyi. Puncak masing-masing lipatan berbentuk seperti baji, menonjol kemedial kedalam cavitas laringis, dan alasnya bersandar pada lamina cartilaginis thyroidea. Didalam masing-masing plica vokalis terdapat

Sebuah ligamentum vokale yang terdiri ari jaringan elastic dan berasal dari ligamentum cricothyroideum

Sebuah musculus vokalis yang merupakan bagaian musculus ary-thyroideus

Glottis mencakup plica vokalis dan processus vokalis, serta rima glottidis (celah antara plica vokalis). Bentuk rima glottidis berubah-ubah sesuai dengan kedudukan pllica vokalis. Pada pernapasan normal rima glottidis ini adalah sempit dan berbentuk baji; pada pernapasan yang dipaksakan rima glottidis akan melebar. Rima glottidis menyempit sewaktu plica Volakis saling berdekatan sewaktu berbicara. Perubahan tegangan dan panjang liapatan suara, lebar rima glottidis, dan intensitas hembusan eksoirasi menghasilkan tinggi atau rendahnya suara. Banjar (range) tingakt nada yang lebih rendah pada laki-lakiterjadi karena rima glottis yang lebih panjang.

Plica vestibularis (tali suara palsu) meluas anatara cartilage thyroidea dan cartilage arytenoidea. Plica vestibularis tidak atau hampir tidak berperan dalam pemebntukan suara; plica vestibulari in memiliki fungsi protektif. Plica vestibulari terdiri dari dua lipatan membrane mukosa yang tebal dan meliputi ligamentum vestibulare. Ruang antara ligamentum vestibulare tersebut adalah rima vestibule.

Otot-otot larynx. Otot-otot larynx dapat dibedakan menjadi kelompok ekstrinsik dan intrinsic. Otot-otot ekstrinsik menggarakkan larynx sebagai kesatuan. Musculi infrahyoidei berfungsi sebagai otot-otot depressor os hyoideum dan larynx, sedangakan musculi suprahyoidei dan stylopharyngeus berfungsi sebagai elevator os hyoideum dan larynx. Otot-otot intrinsic mengedakan grak pada nagain larynx, mengbah pan jang dan tetagangan plica Volakis, serta luar dan bentuk rima glottidia. Semua otot intrinsic larynx, kecuali satu, dipersarafi oleh nervus laryngeus recurren, cabang nervus cranialis X; musculus cricothyroideus dipersarafi oleh nervus laringeus internus. Saraf-saraf larynx. Saraf-saraf larynx berasal dari nervus vagus melalui ramus internus dan ramus externus nervus laringus superior dan nervus laryngeus recurrens. Nervus laryngeus superior dipaskan dari pertengahan gangliaon inferius cabang nervus vagus yang terletak ada ujung superior trigonum caroticum.saraf ini berakhir menjadi dua cabang didalam sarung carotis ; nervus laringeus internus (sensoris dan otonom) dan nervus laryngeus externus (motorik). Nervus laringeus internus yang lebih besar antara kedua terminal tadi, menembus membrane thyroidea bersama arteri laryngea superior dan mengantar serabut sensoris kepada membarana mukosa larynx yang terdapat di superior dari lica vokalis, teramsuk permukaan superior plica vokalis. Nervus laryngeus externus turun dibelakan musculus sternothyroideus bersama arteri thyroidea superior. Mula-mula letaknya pada musculus constrictor pharyngis inferior dan kemudian menembus otot ini dan mempersarafinya serta juga musculus cricothyroideus.

Nervus larynngeus recurrens memepersarafi semua otot larynx intrinsic, kecuali muskulus cricothyroideus ysng dipersrafi oleh nervus laryngeus externusnervus laryngeus recurrens juga membawa serabut sensoris pada membran mukosa larynx inferior dari plica vokalis. Bagian akhirnya, yakni nervus laryngeus inferior, memasuki laryng dengan memintas sebelah dalam tepi musculus konstriktor pharyngis inferior. Saraf ini terpecah menjadi ramus anterior dan posterior yang mengiring arteria inferior kedalam larynx.

Pembuluh darah larynx. Arteri-arteri larynx, cabang-cabang artria thyroidea superior dan inferior, memasok darah kepada larynx. Arteri laryngea superior mengiringi ramus anatrerior nervi laringealis superior melalaui membrane thyroidea dan kemudian bercabang-cabang untuk menghantarkan darah kepada permukaan dalan larynx. Arteria laryngea inferior mengiringi nervus laringeus inferior dan memasok darah kepada memberan mukosa dan otot-otot diaspek inferior larynx.

Vena-vena larynx mengikuti arteri larynx. Vena laringea superior bisanya bersatu dengan vena thyroidea superior, lau bermuara kedalam vena jugularis interna. Vena laryngea inferior bersatu denga vena thyroidea inderior dan pleksus vena-vena thyroid yang beranastomosis pada aspek anterior trakea.

Pembuluh limfe yang berasal dari larynx diatas plica vokalis mengiringi arteria larynge superior melalui membrane thyroidea dan ditampung oleh nodi limfe phoidei cervicales posteriors profunsi. Pembuluh limfe dari larynx dibawah plica vokalis ditampung oleh nodi lymphoidei cervicales inferores. 22) Trakea

Trakea tebentang dari pinggir bawah cartilage cricoidea (berhadapan dangan corpus vertebras servikalis VI) dileher sampai setinggi angulus sterni pada thorax. Trakea terdapat digaris tengah dan berakhir tepat disebelah kanan garis tengah dengan bercabang dengan bronkus principalis dextra dan sinister. Pada pangkal leher trakea dapat diraba digaris tengah pada incisura jugularis. Trakea disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Struktur trakea dan bronkus di analogkan dengan sebuah pohon, dan oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Permukaan posterior trakea agak pipih dibandingkan sekelilingnya karena cincin tulang rawan di daera itu tidak sempurna, dan letaknya di depan esofagus. Akibatnya, jika suatu pipa endotrakea (ET) bulat yang kaku dengan balon yang digembungkan dimasukkan selama ventilasi mekanik, dapat timbul erosi di posterior membran tersebut, dan membentuk fistula trakeoesofageal. Erosi bagian anterior menembus cincin tulang rawan dapat juga timbul tetapi tidak sering. Pembengkakan dan kerusakan pita suara juga merupakan komplikasi dari pemakaian pipa ET. Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika dirangsang.

Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan bronkus utama kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus utama kiri lebih panjang dan lebih sempit dibandingkan dengan bronkus utama kanan dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam. Bentuk anatomik yang khusus ini mempunyai keterlibatan klins yang penting.

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke empat pertukaran gas paru.

Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1) bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya; (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveolus, dan (3) sakus alveolaris terminalis, yaitu struktur akhir paru. Asinus atau kadang-kadang disebut lobulus primer memiliki garis tengah kira-kira 0,5 sampai 1,0 cm.

Terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai trakea sampai sakus alveolaris terminalis. Alveolus (dalam kelompok sakus alveolaris menyerupai anggur, yang membentuk sakus terminalis) dipisahkan dari alveolus didekatnya oleh dinding tipis atau septum. Lubang kecil pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn. Lubang ini memungkinkan hubungan atau aliran udara antar sakus alveolaris terminalis. Alveolus hanya memiliki satu lapis sel yang diameternya lebih kecil dibandingkan dengan diameter sel darah merah. Dalam setiap pary terdapat sekitar 300 juta alveolus dengan luas permukaan seluas sebuah lapangan tenis.

Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar: pneumosit tipe 1, merupakan lapisan tipis yang menyebar dan menutupi lebih dari 90% daerah permukaan, dan pneumosit tipe II , yang bertanggung jawab terhadap sekresi surfaktan. Struktur mikroskopik sebuah duktus alveolaris dan alveolus-alveolus berbentuk polygonal yang mengelilinginya. Alveolus pada hakikatny a merupakan suatau gelembung gas yang dikelilingi oleh jaringan kapiler sehingga batas antara cairan dan gas membentuk tegangan permkaan yang cenderung mencegah pengembangan saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Tetapi untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein (disebut surfaktan) yang adapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhdapa pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada saat ekspirasi. Pembentukan dan pengeluaran surfaktan oleh sel lapisan alveolus (tipe II) bergantung pada beberapa faktor, yaitu kematangan sel-sel alveolus dan sistem enzim biosintetik, kecapatan pergantian surfaktan yang normal, ventilasi yang memadai dan aliaran darah kedinding alveolus. Surfaktan relative lambat terbentuk pada kehidupan fetal; sehingga bayi yang lahir dengan jumlah surfaktan yang sedikit (biasanya kelahiran premature) dapat berkembang menjadi sindrom gawat nafas pada bayi. Surfaktan disintesis dari asam lemak yang diekstraksi dari darah, dengan kecepatan pergantiannya yang cepat. Sehingga bila lairan darah ke daerah paru terganggu (misalnya kerena emboli paru), maka jumlah surfaktan pada daerah itu akan berkurang. Produksi surfaktan dirangsang oleh ventilasi aktif, volume tidal yang memadai, dan hiperventilasi periodic (cepat dan dalam) yang dicegah oleh konsentrasi oksigen tinggi pada udara yang diinspirasi. Sehingga pemberian oksigen konsentrasi dalam waktu yang lama atau kekgagalan untuk bernapas cepat dan dalam pada seorang pasien yang menggunakan ventilasi mekanik akan menurunkan produksi surfaktan dan menyebabkan kolaps alveolar (ateletaksis).

3) Paru (pulmo)

Apex paru menonjol ke leher. Apex ini dapat dipetakan pada permukaan anterior tubuh dengan membuat garis melengkung dan konveks ke atas, dari articulatio sternoclavicularis sampai ke titik yang jaraknya 2,5 cm di atas batas lateral dari sepertiga bagian medial clavicula.

Margo anterior pulmo dexter dimulai dari belakang articulatio sternoclavicularis dan berjalan ke bawah sampai hampir mencapai garis tengah di belakang angulus sterni. Kemudian dilanjutkan ke bawah sampai mencapai symphysis xiphosternalis. Pinggir anterior paru kiri mempunyai perjalanan yang sama, tetapi setinggi cartilago cosatalis IV margo ini berbelok ke lateral dan berjalan menjauhi pinggir lateral sternum dengan jarak yang berbeda-beda untuk membentuk incisura cardiaca pulmonis sinistri. Incisura ini dibentuk oleh jantung yang menggeser paru ke kiri. Margo anterior kemudian berbelok ke bawah dengan tajam sampai setinggi symphysis xiphosternalis.

Margo inferior pulmo pada pertengahan inspirasi mengikuti garis melengkung yang menyilang costa VI pada linea medioclavicularis, costa VIII pada linea axillaris media, dan posterior mencapai costa X pada columna vertebralis. Perlu diketahui bahwa ketinggian margo inferior pulmo berubah selama inspirasi dan ekspirasi.

Margo posterior pulmo berjalan turun dari processus spinosus vertebra cervicalis VII sampai setinggi vertebra thoracica X dan terletak sekitar 4 cm dari garis tengah.

Fissura obliqua paru dapat ditunjukkan pada permukaan tubuh dengan menggambar garis dari pangkal spina scapulae miring ke bawah, lateral, dan anterior, mengikuti perjalanan costa VI sampai articulatio costochondralis VI. Pada paru kiri, lobus superior terletak di atas dan anterior garis ini; lobus inferior terletak di bawah dan posterior garis ini. Pada paru kanan terdapat fissura tambahan, fissura horizontalis, yang dapat dilukiskan dengan menggambar garis horizontal sepanjang cartilago costalis IV sampai berpotongan dengan fissura obliqua pada linea axillaris media. Di atas fissura horizontalis terletak lobus superior dan di bawah garis ini terletak lobus medius, di bawah dan posterior terhadap fissura obliqua terdapat lobus inferior. 14) Pleura

Pleura adalah membran penutup yang membungkus setiap paru. Pleura parietal, melapisi rongga toraks (kerangka iga, diafragma, mediastinum). Pleura viseral, melapisi paru dan bersambungan dengan pleura parietal dibagian bawah paru. Rongga pleura (ruang intrapleural), adalah ruang potensial antara pleura parietal dan pleura viseral yang mengandung lapisan tipis cairan pleumas. Cairan ini disekresi oleh sel-sel pleural sehingga paru-paru dapat mengembang tanpa melakukan friksi. Tekanan cairan (tekanan intrapleural) agak negatif dibandingkan tekanan atmosfer. Resesus pleura, adalah area rongga pleura yang tidak berisi jaringan paru. Area ini muncul saat pleura parietal bersilangan dari satu permukaan ke permukaan lain. Saat bernapas, paru-paru bergerak keluar masuk area ini.

1. Resesus pleura costomediastinal terletak di tepi anterior kedua sisi pleura, tempat pleura parietal berbelok dari kerangka iga ke permukaan lateral mediastinum.

2. Resesus pleura kostodiafragmatik terletak di tepi poserior kedua sisi pleura di anatara diafragma dan permukaan kostal internal toraks.2.2. Displasia

Displasia adalah kelainan diferensiasi sel-sel yang sedang berproliferasi, sehingga ukuran, bentuk dan penampilan sel menjadi abnormal disertai gangguan pengaturan dalam sel. Pada displasia terdapat kehiangan pengawasan pada populai sel yang terserang. Displasia ringan kemungkian besar reversible jika rangaangan iritasi dapat dihilangkan. Namun pada beberapa keadaan, rangsang yang mengakibatkan displasia itu tidak dapat ditemukan, dan perubahan menjadi lebih parah secara progresif, yang akhirnya berkembang menjadi penyakit ganas.

2.3. Diplasia Bronkopumonal (DBP)

2.3.1. DefinisiBronkopulmonar displasia (DBP) merupakan penyakit paru kronik yang ditemui pada bayi prematur dan BBLSR yang mengunakan alat bantu nafas. Bronkopulmonar displasia pertama kali dilaporkan oleh Northway dkk pada tahun 1967 berdasarkan perubahan radiologis pada bayi prematur yang menderita Respiratory Distresss Syndrome (RDS) setelah lahir, mendapatkan terapi ventilator dan ketergantungan oksigen.Displasia bronkopulmoner (DBP) adalah kondisi serius pada paru yang terjadi pada bayi : Lahir kurang dari 10 minggu dari waktu yang ditentukan Berat badan lahir kurang dari 2,5 pound atau 1000 gram

Terdapat masalah pada pernafasan pada saat lahir Memerlukan bantuan pernafasan dan oksigen dalam jangka waktu lamaBanyak dari bayi ini lahir dengan RDS yang serius. Paru-paru mereka tidak dapat berkembang meskipun memproduksi surfaktan. Surfaktan adalah cairan yang melapisi disamping paru sehingga bayi dapat bernafas ketika lahir dengan terdapatnya udara.Bayi dengan RDS banyak terjadi setelah minggu ke-2 sampai ke-4, tetapi beberapa menjadi lebih buruk dan memerlukan banyak oksigen atau bernafas dengan bantuan mesin, bayi ini kemudian akan berkembang menjadi DBP.Displasia bronkopulmoner (DBP) adalah penyebab paling banyak dari penyakit respirasi kronik selama kehamilan dan penyebab jangka panjang dari morbiditas perkembangan saraf, sistem pernafasan dan medis serta jadi penyebab peningkatan biaya pelayanan kesehatan.Displasia bronkopulmoner (DBP) merupakan perkembangan tidak normal pada jaringan paru. Ditandai dengan terjadinya inflamasi dan adanya jaringan parut pada paru. Perkembangan ini sering terjadi pada bayi kurang bulan yang lahir dengan paru yang tidak berkembang.Bronko diartikan sebagai jalan nafas (dari pembuluh bronkus) yang mengantarkan oksigen ke paru untuk pernafasan. Pulmonary diartikan sebagai paru (alveoli) dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Displasia diartikan sebagai perubahan yang tidak normal pada struktur dan organisasi dari sel. Perubahan sel pada DBP terjadi pada jalan nafas kecil dan pada alveoli dari paru yang dapat menyebabkan kesulitan bernafas dan menimbulkan masalah pada fungsi paru.Asma yang lama, cystic fibrosis dan DBP merupakan salah satu penyebab penyakit paru kronik pada anak-anak. Seperti yang disebutkan oleh the National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) of the National Institutes of Health (NIH) bahwa antara 5000 dan 10.000 kasus DBP terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Anak yang lahir dengan berat yang rendah (kurang dari 2,2 pounds atau kurang dari 1000 gram) merupakan faktor risiko terjadinya DBP. Biasanya bayi akan mengalami gejala yang serius, pada kasus yang jarang biasanya disertai komplikasi lainnya dari bayi kurang bulan yang dapat berakibat fatal.2.3.2. EpidemiologiDisplasia bronkopulmoner merupakan salah satu kasus yang sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi-bayi kurang bulan dan berat lahir rendah. Di Amerika, ada sekitar 5.000 sampai 10.000 kasus baru displasia bronkopulmoner setiap tahunnya2. Di Korea, ada pengelompokkan kasus ini sesuai dengan tingkat beratnya gangguan yang dialami bayi. Ada tingkatan ringan, sedang, dan berat. Berikut adalah grafiknya6:

Grafik A adalah angka kejadian displasia bronkopulmoner menurut berat lahir bayi. Terlihat bahwa berat yang sangat kecil ( 1 bulan)

Tampak hiperekspansi paru-paru Perluasan cyst Pada tahap ini, udara lebih sering terjebak di lobus bawah daripada lobus atas. Hiperinflasi paru akan terlihat pada kasus yang parah.

Gambar : Foto rontgen DBP tahap 4

2.3.7. Terapi

Pengobatan medis tidak dengan segera mengobati DBP. Bayi yang didiagnosis pertama kali dengan DBP memerlukan perawatan intensif di rumah sakit, khususnya di newborn intensive care unit (NICU) sampai mereka dapat bernafas dengan baik meskipun dipertahankan tanpa bantuan ventilator. Beberapa bayi memerlukan jet ventilasi, terus-menerus tekanan ventilasi yang rendah digunakan untuk meminimalkan kerusakan paru dari ventilasi yang memperbesar kemungkinan terjadinya DBP. Tidak semua rumah sakit menggunakan prosedur ini dalam pengobatan DBP, tetapi rumah sakit dengan NICU yang besar menggunakannya. Bayi dengan DBP juga di terapi dengan berbagai obat yang berbeda untuk memperbaiki fungsi paru.Ventilator biasanya diperlukan untuk memberikan tekanan pada paru-paru agar jaringan paru-paru mengembang dan untuk memberikan oksigen tambahan. Jika bayi sudah dapat menyesuaikan diri, maka tekanan dan konsentrasi oksigen secara berangsur-angsur dikurangi. Ketika ventilator dilepas, oksigen bisa terus diberikan melalui masker atau selang kecil yang dimasukkan ke lubang hidung, selama beberapa minggu atau beberapa bulan.

Pada kasus DBP yang berat penggunaan steroid dianjurkan. Pengobatan ini sebagai antiinflamasi yang kuat tetapi juga mempunyai efek samping jangka panjang dan jangka pendek. Dokter biasanya memilih obat ini setelah berdiskusi dan mempertimbangkan manfaat dan risiko dari obat.Antibiotik kadang-kadang diperlukan untuk mengatasi infeksi bakteri karena bayi dengan DBP akan menjadi pneumonia. Bayi dengan RDS belum bisa didiagnosis dengan DBP, pemberian surfaktan natural atau sintetik mungkin dapat mengurangi perubahan kearah DBP.Bayi yang dirawat di rumah sakit dengan DBP mungkin perlu pemberian minum dengan formula tinggi kalori melalui gastric tube yang dimasukkan ke dalam perut untuk mendapatkan kalori dan nutrisi untuk memulai pertumbuhan. Pada kasus yang berat bayi dengan DBP tidak dapat menggunakan sistem gastrointestinal untuk mencernakan makanan. Disini bayi memerlukan pemberian intravena (IV) yang disebut TPN atau total parenteral nutrisi yang terdiri dari protein, lemak, gula dan nutrisi. Makanan biasanya diberikan melalui selang yang dimasukkan ke lambung.Diperlukan ekstra kalori karena bayi memerlukan kalori yang lebih untuk bisa bernafas. Cairan cenderung tertimbun di dalam paru-paru yang mengalami inflamasi, sehingga asupan cairan agak dibatasi dan kadang diberikan diuretik untuk meningkatkan pembuangan cairan dari tubuh. Setelah dirawat beberapa bulan, kadang bayi meninggal. Pada bayi yang selamat, gangguan pernafasan secara berangsur-angsur akan menghilang. Tetapi pada tahun-tahun pertama, bayi ini memiliki risiko tinggi menderita pneumonia (terutama yang disebabkan oleh virus). Bisa diberikan imunisasi dengan antibodi untuk RSV (respiratory syncytia).Bayi yang dirawat di NICU dengan DBP dapat mengalami perubahan selama beberapa minggu sampai bulan. Menurut National Institutes of Health (NIH) perkiraan rata-rata lamanya bayi dengan DBP dirawat secara intensif di rumah sakit kurang lebih 120 hari. Setelah dirawat di rumah sakit bayi mungkin masih terus memerlukan pengobatan, terapi pernafasan dan oksigen di rumah. Meskipun pada banyak anak pemberian bantuan oksigen dihentikan pada akhir tahun pertama, beberapa kasus yang berat memerlukan ventilator selama beberapa tahun atau selama hidupnya, meskipun kasus ini jarang terjadi.Perbaikan pada bayi dengan DBP terjadi secara bertahap. Beberapa bayi akan mengalami perbaikan secara lambat, yang lainnya mungkin tidak akan menunjukkan perbaikan dari kondisi tersebut jika penyakit pada paru mereka sangat berat. Paru akan terus berkembang sampai usia 5-7 tahun dan fungsi paru dapat terganggu sampai usia sekolah meskipun pada anak mayoritas fungsinya baik. Adanya jaringan parut, kekakuan pada jaringan paru akan selalu menurunkan fungsi paru.Beberapa terapi untuk DBP :1. DiuretikDigunakan untuk pengobatan edema paru juga mengurangi cairan di paru. Furosemid mungkin memberikan banyak efek termasuk efek pada sintesis prostaglandin, vasodilatasi secara langsung,dan peningkatan produksi surfaktan. Efek samping jangka panjang dari terapi furosemid yaitu : azotemia, ototoksisitas, gangguan elektrolit, pengeluaran kalsium dalam urin secara berlebihan, osteopenia, dan nefrokalsinosis, hilangnya pendengaran, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia, alkalosis, batu ginjal, kolelitiasis dan ototoksisitas.Dosis diuretik untuk bayi yaitu 0.5-2 mg/kg/kali PO/IV (pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 31 minggu). Diuretik thiazid biasanya digunakan dengan diuretik hemat kalium seperti spironolakton, tidak seefektif dengan pemberian furosemid. Monitoring kadar elektrolit secara rutin diperlukan pada pasien dengan penggunaan terapi diuretik jangka panjang. Suplemen/tambahan elektrolit kadang diperlukan pada terapi jangka panjang.2. BronkodilatorInhalasi dengan -agonis merupakan pengobatan yang efektif untuk bronkospasme yang reversible yang cukup aman dan efektif untuk terapi jangka panjang juga membantu membuka jalan nafas. Albuterol merupakan drug of choice sebagai agent long-acting.Antagonis muskarinik dapat berguna khususnya pada pasien yang tidak memberi respon pada terapi dengan albuterol. Kromolin bukan bonkodilator tetapi sering digunakan sebagai antiinflamasi dengan efek samping yang minimal.Methylxantin sering digunakan pada pasien yang apneu, memberikan efek diuretik yang ringan dan membantu meningkatkan kontraktilitas diafragma, obat ini memberikan efek yang potensial untuk DBP.Albuterol (Proventil, Ventolin)Spesifik beta 2-agonis yang digunakan untuk pengobatan bronkospsme pada bayi dengan DBP. Meningkatkan compliance paru dan menurunkan resistensi sekunder jalan nafas untuk relaksasi sel otot. Penggunaanya sebagai aerosol pada bayi dengan DBP (khususnya jika tergantung ventilator) masih belum jelas. Sebab secara klinis relaksasi dari otot kecil tidak terlihat pada minggu pertama setelah lahir. Dosis anak yaitu 0.1-0.2 mg (0.02-0.04 mL of 0.5% dalam 1-2 mL 0.45-0.9% NaCl) per kg/kali, inhlasi dengan nebulizer tiap 4-6 jam.Beta-blockers antagonis memberikan pengaruh yaitu inhalasi ipratropium meningkatkan waktu bronkodilatasi, pada kardiovaskular memberikan efek peningkatan MAOIs, antidepresan trisiklik dan obat simpatomimetik.Ipratropium bromida (Atrovent)Antagonis muskarinik yang memberi efek bronkodilatasi. Dapat meningkatkan pulmonary mekanik pada bayi dengan DBP, digunakan secara inhalasi.Dosis pada anak 0.025-0.08 mg/kg inhalasi dengan nebulizer tiap 6 jam (dalam1.5-2 mL 0.9% NaCl). Penggunaan dengan antikolinergik seperti dronabinol meningkatkan toksisitas, penggunaan dengan albuterol dapat meningkatkan efek obat.Theophylline (Elixophyllin)Sebagai bronkodilator sistemik. Digunakan untuk pengobatan apneu pada bayi kurang bulan. Mampu meningkatkan kontraktilitas otot skeletal dan penurunan kerja diafragma pada bayi dengan DBP. Obat memberikan pengaruh pada enzim hepatik sitokrom P450 (CYP), aminoglutetimid, barbiturat, karbamazepin, ketokonazol, loop diuretic, fenobarbital, fenitoin, rifamfisin, isoniazid dan simpatomimetik memberikan efek mungkin terjadi penurunan. Terjadi peningkatan efek dengan allopurinol, beta bloker, kortikosteroid, hormon tiroid efedrin, karbamazepin, simetidin, eritromisin, makrolid, propranolol dan interferon.3. Vasodilator ParuTambahan oksigen efektif sebagai vasodilator dan untuk pengobatan pada bayi dengan hipoksia.

4. SteroidPenggunaan steroid masih kontroversial, karena dapat meningkatkan risiko sepsis. Sering digunakan sebagai short regimen, tidak menunjukkan adanya efek jangka panjang. Inhalasi steroid memberikan efek antiinflamasi tanpa efek samping sistemik juga digunakan untuk pencegahan dan pengobatan. Biasa digunakan pada bayi kurang bulan, sebagai agen baru untuk nebulisasi sebagai obat pada bayi yang kecil. Menyebabkan retardasi pertumbuhan yang linear.Sistemik dan inhalasi kortikosteroid digunakan pada bayi kurang bulan untuk mencegah dan pengobatan pada DBP. Deksametason merupakan kortikosteroid sistemik primer yang digunakan pada bayi baru lahir yang kurang bulan. Obat ini menstabilisasi sel membran lisosom, meningkatkan sintesis surfaktan dan peningkatan konsentrasi serum vitamin A, menghambat prostaglandin dan leukotrien, penurunan PE, menurunkan agregasi granulosit dan peningkatan mikrosirkulasi pada paru. Efek samping yaitu hiperglikemia, hipertensi, penurunan berat badan, perdarahan gastrointestinal atau perforasi, cerebral palsy, supresi adrenal dan kematian.Pada tahun 1998 dilaporkan penggunaan deksametason selama 2 minggu tidak dapat mencegah DBP dan menyebabkan kelainan neurologis. Bayi yang mendapatkan terapi kombinasi deksametason dengan indometasin meningkatkan risiko perforasi intestinal spontan. Perkembangan saraf pada bayi juga harus selalu diperiksa pada bayi yang mendapatkan terapi jangka panjang dari deksametason. Glukokortikosteroid inhalasi memberikan efek yang menguntungkan untuk mengurangi pengaruh kortikosteroid sistemik pada bayi yang menerima inhalasi steroid. Penggunaan terus-menerus deksametason pada bayi dengan DBP tidak dianjurkan, American Academy of Pediatrics dan the Canadian Society of Pediatrics tidak menganjurkan penggunaan kortikosteroid terus-menerus pada bayi kurang bulan untuk pengobatan DBP.5. DietBayi dengan DBP terjadi peningkatan kebutuhan energi. Nutrisi parenteral sering digunakan untuk memperbaiki keadaan katabolik pada bayi preterm, kelebihan cairan pada minggu pertama dari kehidupan bayi yang dapat meningkatkan terjadinya risiko PDA dan DBP. Masukan yang optimal dari protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral untuk mencegah kerusakan paru dan untuk perbaikan jaringan.Vitamin A dan E adalah nutrisi antioksidan yang membantu mencegah peroksidasi lipid dan integritas sel. Meskipun suplemen vitamin E pada neonatus kurang bulan tidak dapat mencegah terjadinya DBP. Berdasarkan penelitian bahwa vitamin A dapat menurunkan risiko terjadinya DBP pada bayi yang lahir kurang bulan. Bayi kurang bulan biasanya terjadi defisiensi vitamin.Bayi kurang bulan memerlukan air dalam jumlah yang lebih banyak sebab terjadi peningkatan insensible water loss sehingga mereka menjadi kurus dan kulit menjadi tidak terbentuk sempurna. Jumlah cairan meningkatkan risiko simptomatik PDA dan PE. Peningkatan penggunaan ventilator dan oksigen untuk keperluan terapi PDA dan PE dapat menyebabkan kerusakan paru dan peningkatan risiko DBP. Hal-hal yang berhubungan dengan nutrisi :1) Suplemen protein dan lemak meningkat secara progresif sehingga diperlukan 3-3.5 g/kg/hari. Konsentrasi lipid yang lebih buruk pada bayi dengan DBP ditandai dengan kelainan pada vaskular lipid.2) Glokosa yang berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan glukosuria.3) Kalsium dan fosfat juga diperlukan pada bayi kurang bulan. Pada janin banyak terdapat mineral dan digunakan selama trimester 3, bayi yang kurang bulan mengalami defisiensi kalsium dan fosfat dan meningkatkan risiko ricketsia.4) Furosemid terapi dan kalsium intravena untuk mineralisasi tulang bisa berakibat lebih buruk dan terjadi hiperparatiroid sekunder.5) Vitamin A adalah suplemen untuk perbaikan paru dan menurunkan insidensi DBP.6) Supplemen mineral (seperti copper, zinc, mangan) diperlukan karena merupakan kofaktor enzim antioksidan yang esensial.7) Pemberian makanan enteral melalui pemberian ASI merupakan nutrisi terbaik untuk mencegah komplikasi pemberian makanan seperti sepsis dan necrotizing enterocolitis. ASI dan formula dapat meningkatkan energi ketika terjadi masukan cairan yang minimal. Bayi memerlukan energi 120-150 kcal/kg/hari .2.3.8. KomplikasiSetelah stadium yang kritis dari DBP beberapa bayi masih menunjukkan adanya komplikasi jangka panjang.. Mereka sering lebih rentan terkena infeksi saluran nafas seperti influenza, respiratory syncytial virus (RSV) dan pneumonia. Ketika terinfeksi mereka cenderung mudah sakit dibandingkan anak-anak lain pada umunya.Displasia bronkopulmoner (DBP) juga menimbulkan komplikasi pada sistem sirkulasi seperti terjadinya hipertensi pulmonal dimana arteri dan vena yang berasal dari jantung menuju ke paru menjadi lebih sempit dan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah, meskipun hal ini sebagai komplikasi yang lanjut terjadi.Efek dari terapi dapat terjadi dehidrasi dan rendahnya kadar kalium karena pemakain diuretik. Batu ginjal, masalah pendengaran, rendahnya potasium dan kalsium dapat terjadi karena pemakaian furosemid dalam jangka panjang.Bayi dengan DBP pertumbuhannya terjadi lebih lambat dan terjadi kesulitan penambahan berat badan dan mereka juga mudah kehilangan berat badan ketika sakit. Pertumbuhan yang lambat masih terus terlihat sampai anak berusia 2 tahun. Perkembangan paru anak komplit pada usia 8 tahun tetapi beberapa masalah pada fungsi paru akan terus menerus terjadi sampai usia dewasa pada anak dengan DBP. Pertumbuhan dan perkembangan lambat pada bayi dengan DBP memperlihatkan keadaan yang bervariasi lebih tergantung pada pengaruh prematuritas dan kerusakan paru yang akut. Pada beberapa kasus yang berat memperlihatkan pengaruh jangka panjang termasuk kelainan dalam koordinasi, gait dan tonus dan kemampuan aktivitas, masalah pada penglihatan dan pendengaran serta kemampuan belajar. Bayi kurang bulan dengan DBP yang berat juga mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya cerebral palsy.

Komplikasi dari DBP yaitu :1) Intubasi yang lama dapat menyebabkan subglottic stenosis dan trakeomalacia.2) Hipertensi pulmonal dapat terjadi karena kerusakan pembuluh darah dan kemudian proliferasi intima, menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan jika berat dapat terjadi penyakit jantung pulmonal. 3) Edem paru juga sering terjadi secara sekunder akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru dan peningkatan tekanan pada paru hal ini juga terjadi karena kelebihan cairan dalam paru yang menimbulkan kesulitan perjalanan udara dalam jalan nafas.4) Jalan nafas yang reaktif, bronkospasme, perubahan pada mekanisme pulmonal yang menyebabkan tes fungsi paru tidak normal dan peningkatan kerja pernafasan.5) Malnutrisi dan kegagalan pertumbuhan dapat terjadi akibat peningkatan kerja pernafasan dan kemudian pengeluaran kalori yang tinggi.6) Merusak/mengganggu fungsi pertahanan dari paru yang dapat meningkatkan terjadinya infeksi khususnya respiratory syncytial virus.2.3.9. PrognosisSebagian bayi dengan BPD dapat bertahan hidup, tetapi terdapat peningkatan risiko infeksi, hiperaktifitas saluran respirasi, disfungsi jantung, dan kelainan neurologis. Dua puluh empat persen dari bayi BPD klasik akan mempunyai keluhan respirasi hingga dewasa. Meskipun BPD ringan berhubungan dengan hasil yang lebih baik, tetapi anak yang menderita BPD mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita mengi, asma, atau infeksi saluran respirasi bawah, dibandingkan dengan anak-anak tanpa BPD. Pada beberapa laporan, 50% dari seluruh bayi BBSLR dengan riwayat BPD kembali masuk rumah sakit pada 12-24 bulan pertama setelah lahir, dan 50% mempunyai riwayat mengi atau asma pada masa anak-anak. Risiko kejadian akut yang mengancam jiwa (20%) atau kematian mendadak (3%) lebih tinggi pada bayi BBLSR dengan BPD.BAB IIIPENUTUP

3.1. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, richard. 2012. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed. 6. Jakarta : EGC

2. Moore, Keith L dan Anne M. R. Agur. 2013. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.

3. Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2013. Patofisiologi, Ed 6. Vol 1. Jakarta : EGC