totok_gunawan

Upload: yadil-amin-a-m

Post on 02-Mar-2016

75 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENDEKATAN EKOSISTEM BENTANGLAHAN

    SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN WILAYAH

    BERBASIS LINGKUNGAN

    DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

    Oleh:

    TOTOK GUNAWAN

    Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

    Makalah disampaikan pada

    SEMINAR NASIONAL Pembangunan Wilayah Berbasis

    Lingkungan di Indonesia dan KONGRES Ikatan

    Geografiwan Universitas Gadjah Mada (IGEGAMA)

    Yogyakarta, 27 Oktober 2007

  • DAMPAK EXPLOITASI LINGKUNGAN HIDUP DAN

    KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI

    DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

    Oleh: TOTOK GUNAWAN

    Fakultas Geografi UGM

    PENDAHULUAN

    Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah yang kompleks

    memiliki berbagai variasi ekosistem bentanglahan yang menjadi kekayaan dan

    karakteristik istimewa ditinjau dari aspek fisiografis. Kekayaan yang berupa

    wilayah ekosistem potensial yang dimiliki oleh DIY tersebut menjadi daya tarik

    tersendiri, yang kenyataannya justru menjadi bumerang. DAMPAK

    EXPLOITASI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN pada wilayah

    ekosistem potensial di DIY inilah yang menjadi masalah besar. KEBIJAKAN

    PENGELOLAAN LINGKUNGAN apakah yang diambil sebagai langkah dan

    strategik dalam pengendalian penurunan (degradasi) kualitas lingkungan.

    Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, sesuai dengan ketentuan

    dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang isinya menyatakan

    bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

    negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun

    exploitasi yang berlebihan sangat berlawanan dengan pernyataan diatas, karena

    exploitasi mengandung konotasi kearah pengurasan, tidak berwawasan

    lingkungan, tidak berkelanjutan, dan tidak berbasis masyarakat. Penurunan

    (degradasi) kualitas lingkungan hidup merupakan dampak exploitasi sumberdaya

    alam dan lingkungan yang melampaui daya dukung lingkungan, dampak aspek

    biofisik tersebut secara sinergis akhirnya akan menimbulkan dampak terhadap

    aspek sosial-ekonomi dan budaya masyarakat.

    Exploitasi sumberdaya alam dan lingkungan di DIY berdasarkan fakta-fakta

    yang terjadi akhir-akhir ini, seperti terjadinya banjir, longsor, penurunan

    kesehatan lingkungan, pencemaran lingkungan, dan berjangkitnya penyakit, sudah

    mencapai tingkat kritis berat dan berdampak negatif besar. Kritik-kritik pedas

    melalui slogan-slogan yang dilontarkan masyarakat untuk ditujukan kepada

    pemerintah dan bertujuan agar terdengar oleh masyarakat luas, seperti (1)

    kembalikan sungai Code seperti tempo doeloe, (2) aku rindu Jogjaku hijau,

    (3) kembalikan air dan udara Jogjaku bersih, (4) pertahankan terus Kaliurang

    segar dan dingin, (5) jagalah kesucian Parangtritisku, dan sebagainya.

    Komitmen pemerintah terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai

    langkah dan strategik pengendalian penurunan (degradasi) kualitas lingkungan

  • yang mendasarkan pada segitiga emas (golden triangle) : EKONOMI-EKOLOGI-

    MASYARAKAT sudah mulai luntur sejak berbaliknya paradigma Ekosentrisme

    menjadi antrophosentrisme. Konsep pembangunan yang dipahami tidak

    berdasar kepada pembangunan berwawasan lingkungan, berkelanjutan, dan

    berbasis masyarakat. Konsep pembangunan di DIY cenderung mengarah

    kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat, ironisnya masyarakat yang

    berkembang di DIY bukan lagi masyarakat Jogjaku yang dulu, tetapi yang

    berkembang adalah masyarakat modern. Apakah ini yang disebut Jogjaku maju

    atau Jogjaku mundur?

    Sebagai generasi penerus jangan tinggal diam dan jangan mudah terpancing

    oleh isu-isu tanpa fakta dan tidak bertanggungjawab, yang hanya akan

    menjerumuskan ke jurang kesesatan dan memicu konflik. Berbuatlah sesuatu,

    belajarlah dari pengalaman dan sejarah, hilangkan sifat kecemburuan, jangan

    anut grubyuk, atur diri, mawas diri, gunakan pikiran cerdas, berjiwa pemimpin

    bukan pimpinan (manajerial), adil dan transparan, tidak tutup mata, tidak

    sumpel cuping, namun mendengarkan dan meneruskan suara rakyat untuk

    disampaikan kepada yang berkompeten. Suatu langkah maju, kerjasama seluruh

    PTS-PTN yang peduli terhadap masalah lingkungan hidup di DIY perlu segera

    membentuk Badan Koordinasi Pendidikan Tinggi Pengelolaan Sumberdaya

    Alam dan Lingkungan Hidup (BKPT-PSDALH).

    Satuan wilayah sumberdaya alam dan lingkungan hidup di DIY tidak terbatas

    pada satuan wilayah administrasi, tetapi perlu mendasarkan pada satuan wilayah

    ekosistem bentanglahan dan satuan wilayah ekologi hayati (habitat) sebagai

    konsep dasar pengambilan kebijakan dan strategik pengelolaan lingkungan

    (environmental management). Pembentukan forum koordinasi dan komunikasi

    (FORKKOM) antar Kepala Wilayah (Kabupaten, Propinsi) berdasarkan

    kesepakatan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk penetapan kebijakan dalam

    manajemen sumberdaya alam dan lingkungan antar wilayah. FORKKOM

    diharapkan mampu memecahkan konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan

    lingkungan antar wilayah dan menjadi agent of changes bagi daerah sekitar.

    MEMAHAMI KONSEP DASAR EKOLOGI

    DAN ILMU LINGKUNGAN SEBAGAI DASAR

    PENGELOLAAN LINGKUNGAN

    Dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategik pengelolaan lingkungan

    perlu memahami konsep dasar ekologi. Lebih spesifik lagi setelah kita dapat

    memahami konsep ekologi dapat digunakan untuk melakukan identifikasi

    karakteristik ekologi melalui penelusuran proses ekologi. Proses ekologi dalam

    suatu wilayah ekosistem dapat diidentifikasi melalui hubungan antara komponen

    lingkungan biofisik dan komponen lingkungan sosial-budaya, seperti

    digambarkan secara ringkas pada Gambar 1.

  • Komponen Lingkungan Komponen Lingkungan

    Biofisik _______ Sosial-Budaya

    (Natural ecosystem) (Socio ecosystem)

    Gambar 1. Hubungan Fungsional antara Komponen

    Lingkungan Biofisik dan Lingkungan

    Sosial-Budaya (Rambo, 1989)

    Konsep dasar dan pola pemikiran ekologi sebagai dasar pemecahan masalah

    lingkungan mengubah paradigma paham antrophosentrisme ke paham

    ekosentrisme. Pada Gambar 1 terkandung proses ekologi manusia (antropho-

    ekosentrisme) yang tergolong dalan socio-ecosystem terkait dengan kondisi

    biofisiknya dapat diamati dalam setiap satuan ekosistem bentanglahan. Dalam

    hubungan antar unsur-unsur yang terkandung dalam sistem sosial (human

    ecology) maupun dalam sistem alam (natural ecosystem) terdapat beberapa proses

    yang terjadi sebagai berikut:

    (1) Hubungan saling keterkaitan (interrelationships)

    Unsur-unsur yang terkandung, baik dalam sistem sosial maupun dalam sistem

    alami saling berinteraksi satu sama lain masing-masing membentuk subsistem-

    subsistem kecil dalam skala lokalitas yang saling mempengaruhi (simbiotik

    maupun parasitik). Subsistem yang mempunyai sifat dinamika tinggi (mobile)

    juga berinteraksi dengan subsistem dari ekosistem lain melalui proses aliran

    energi dan materi (flora, fauna) dan melalui tukar-menukar ataupun perkawinan

    (antar manusia)

    (2) Hubungan saling ketergantungan (independency)

    Hubungan tersebut tidak hanya terbatas pada saling keterkaitan, namun juga

    saling ketergantungan antar subsistem, dan bukan yang mempunyai sifat dinamika

    tinggi, subsistem yang tidak banyak bergerak pun mempunyai hubungan saling

    ketergantungan. Keberadaan subsistem air dengan kualitas tertentu sangat

    dibutuhkan oleh subsistem-subsistem lain ( pertumbuhan biota, proses

    biogeokimia).

    (3) Aliran energi, materi, dan informasi

    Hasil pengelolaan sumberdaya ekosistem menghasilkan materi dan energi

    yang akhirnya kembali lagi ke manusia sebagai hasil pemanenan. Hasil

    peningkatan budaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan

    meningkatkan informasi begitu terus sistem peningkatan budaya sehingga

    terbentuk aliran informasi (perbaikan budaya sistem usahatani).

    (4) Proses Seleksi dan Adaptasi

  • Manusia dalam menghadapi kondisi lingkungan sejak zaman dulu hingga

    sekarang bersifat dinamik mengikuti kemajuan budaya dan teknologi yang

    dikuasai. Pada awalnya manusia sangat tergantung pada kondisi fisik

    lingkungannya (deterministik), kemudian mampu mengadakan seleksi atau

    mencoba dengan cara adaptasi (probabilitas/posibilitas), akhirnya kenal dengan

    pendekatan sistem/ekosistem, mereka mengkombinasikan menjadi pendekatan

    sistemik, adaptif, dan dinamik.

    KOMPONEN PEMBENTUK PERMASALAHAN

    LINGKUNGAN DAN KETERKAITAN DENGAN

    KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

    Ditinjau dari substansinya dalam satu kesatuan ekosistem bentanglahan

    (lokalitas) terdapat tiga komponen pembentuk permasalahan lingkungan yang

    saling interaksi dan saling negasi. Sebagai input ekosistem bentanglahan yang

    mengandung: (1) sumberdaya alam (SDA) yang menempati (2) kawasan budidaya

    dan non-budidaya, akibat exploitasi lingkungan hidup tergantung pada (3) kualitas

    manusia (SDM) menyebabkan penurunan (degradasi) kualitas lingkungan.

    Terjadinya penurunan/degradasi kualitas lingkungan adalah akibat exploitasi

    lingkungan hidup yang menyimpang (malpraktek) melegalkan upaya pemanfaatan

    lahan yang sebenarnya merupakan kawasan yang harus dilindungi atau pun ruang

    terbuka hijau. Meluasnya lahan kritis, miskin dan terlantar, lahan miring dan

    tebing sungai longsor, banjir yang melanda di permukiman dan perumahan,

    kekeringan di bagian hulu, pencemaran dan kontaminasi air tanah, merosotnya

    kesehatan dan sanitasi lingkungan. Dampak dari malpraktek tersebut meluas

    menimpa kembali kehidupan manusia dan akhirnya dapat menurunkan kualitas

    sumberdaya manusia (Gambar 2).

    Lahan Kritis/Terlantar,

    Longsor lahan, Banjir

    Kekeringan, Tercemar

    (Dampak Malpraktek)

    Kawasan Sumberdaya Alam,

    Budidaya, Sumberdaya Manusia

    Non-Budidaya

    (Carrying Capacity) (Resources Potential)

    Gambar 2. Komponen pembentuk permasalahan

    Lingkungan (Gunawan, 2002).

  • Ketiga komponen pembentuk lingkungan pada Gambar 2 tidak terpisah,

    namun membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem bentanglahan,

    sumberdaya alam potensial dan kawasan budidaya dan non-budidaya merupakan

    input alam (given), sumberdaya manusia potensial tergantung pada tingkat

    penguasaan tekno-budaya (cultural ecology), dampak exploitasi lingkungan akibat

    penyalahgunaan praktek pemanfaatan lahan (malpraktek).

    Manusia sesuai kodratnya diberikan kelebihan ilmu pengetahuan yang secara

    alami (instinctive) dapat muncul dengan sendirinya tergantung kepada kepekaan

    dalam menanggapi atau pun membaca fenomena alam dan kemudian

    menerjemahkan ke dalam dunia nyata (real world) sebagai tindakan nyata

    manusia. Manusia selalu diuji kepekaannya dalam menanggapi tanda-tanda alam,

    untuk itu manusia selalu meningkatkan kemampuan budaya, mulai dari budaya

    yang hanya sekedar untuk mempertahankan hidup (survival) hingga budaya untuk

    membuat rekayasa menciptakan lingkungan hidup yang nyaman, sejahtera, dan

    berkelanjutan (sustainable).

    Manusia dalam setiap memanfaatkan sumberdaya alam (SDA) pada dasarnya

    dengan kemampuan teknologi yang dikuasainya dalam implementasinya lebih

    mementingkan aspek ekonomi (mencari keuntungan sebesar-besarnya) daripada

    kepentingan ekologi (prinsip kelestarian). Kegiatan ekonomi menjadi tumpuhan

    dalam setiap manajemen sumberdaya alam agar sesuai dengan investasi yang

    ditanamkan dan waktu serta ruang yang disediakan terbatas (Gambar 3).

    Gambar 3. Keterkaitan antar Sub-Komponen Lingkungan

    dan Teknologi Pengelolaan SDA bertumpu

    kepada Kegiatan Ekonomi.

    Pada Gambar 3 terlihat manusia (SDM) memilih Sumberdaya alam (SDA)

    dengan bantuan teknologi penginderaan Jauh (PJ) dan melalui pengolahan sistem

    informasi geografis (SIG/GIS) dalam setiap pengelolaan SDA dan Lingkungan

    Hidup (LH) untuk kegiatan ekonomi. Keterkaitan antar sub-komponen tersebut

    dapat saling interaksi yang menguntungkan dan dapat pula saling negasi yang

    merugikan. Konsep dasar yang digambarkan pada Gambar 3 ini memberikan

    arahan kepada pengembang (developer) agar dalam setiap implementasinya secara

    integrasi memperhatikan sub-komponen lingkungan dan mempertimbangkan

    komponen-komponen pembentuk permasalahan lingkungan (Gambar 2).

  • EKOSISTEM BENTANGLAHAN

    DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

    Ditinjau dari ekosistem bentanglahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) cukup kompleks dan beranekaragam, hal ini juga yang menyebabkan

    kompleksnya permasalahan lingkungan yang terjadi selama ini. Apa yang harus

    diketahui terlebih dahulu sebelum melakukan pengelolaan lingkungan adalah

    perlu dilakukan identifikasi karakteristik ekologi, setelah itu perlu diketahui

    sejauhmana tingkat dan sebaran spasial exploitasi SDA dan LH yang telah terjadi,

    baru kemudian dicari alternatif bagaimana strategik pengelolaan SDA da LH

    tersebut. Karakteristik ekologi pada masing-masing ekosistem bentanglahan di

    DIY dapat dijelaskan menurut wilayah Kabupaten/Kota sebagai berikut.

    (1) Ekosistem Bentanglahan Kabupaten Sleman

    Kabupaten Sleman secara eko-geomorfologis termasuk dalam wilayah

    ekosistem bentanglahan gunungapi, mulai dari kerucut gunungapi hingga dataran

    kaki lereng gunungapi. Secara biofisik termasuk wilayah yang potensial, di bagian

    atas merupakan kawasan lindung yang mampu mensupport kawasan lahan kering

    dan lahan basah yang berada di bagian bawah/hilirnya.

    Secara bioregion kawasan hutan di bagian puncak mampu menciptakan iklim

    yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem air, sehingga dapat terbagi rata

    disepanjang musim, maka di kawasan lahan kering mendapatkan efek kelembaban

    tinggi dan dapat membentuk strata tajuk, sedang kawasan lahan basah

    mendapatkan efek distribusi air melalui mataair dan sungai untuk dapat menanam

    padi sawah 3 kali per tahun dan tanaman unggulan yang lain.

    Secara sosial-ekonomi budaya, kondisi ekosistem bentanglahan yang potensial

    tersebut memberikan keuntungan sosial-ekonomi karena mempunyai

    produktivitas dan keanekaragaman tinggi, dengan tingkat budayanya yang selalu

    ditingkatkan mampu menciptakan stabilitas ekosistem, tampak dari kehidupan

    masyarakat yang lebih sejahtera. Secara ekologis wilayah ekosistem bentanglahan

    gunungapi yang terletak di bagian hulu DIY menjadi tumpuhan perkembangan

    wilayah ekosistem bentanglahan di daerah bawahannya.

    (2) Ekosistem Bentangbudaya Kota Yogyakarta

    Ekosistem bentanglahan yang berkembang di wilayah Kota Yogyakarta secara

    ekomorfologis berubah fungsi menjadi ekosistem bentangbudaya kawasan kota.

    Secara biofisik atau pun secara bioregion wilayah ekosistem kota didominasi oleh

    permukiman kota yang dicirikan oleh semakin berkurangnya ruang terbuka hijau,

    kegiatan ekonomi dan jasa lebih menonjol, dan kurang memperhatikan

    kepentingan ekologi.

    Kepadatan rumah hunian dan ketidakteraturan pembangunan

    perumahan/rumah mukim menjadi ciri utama akibat arus urbanisasi yang tidak

    terkendali. Ciri kependudukan yang bersifat perdesaan tampak sekali dari perilaku

  • dan kebiasaan membuang sampah dan pemanfaatan lahan illegal, mengingat

    sukarnya mencari pekerjaan yang sesuai dan terbatasnya ruang untuk tempat

    tinggal dan bekerja sesuai kemampuannya.

    Ekosistem bentangbudaya Kota Yogyakarta sudah diwarnai oleh

    perkembangan permukiman kumuh (slump areas), menumpuknya sampah yang

    tidak terbuang sehari, pencemaran airtanah meningkat, ruang terbuka hijau (RTH)

    habis, banjir di kota akibat densifikasi permukiman perkotaan, aspalisasi jalan dan

    halaman rumah mengurangi kapasitas infiltrasi, pemanfaatan lahan illegal (bekas

    tempat pembuangan sampah, perataan sempadan sungai dan teras sungai, lahan

    RTH, dll) untuk rumah mukim, polusi udara telah melebihi ambang batas akibat

    padatnya lalu-lintas,dan sebagainya.

    (3) Ekosistem Bentanglahan Kabupaten Bantul

    Secara hidrologis sama dengan ekosistem bentanglahan Kota Yogyakarta juga

    dialami oleh wilayah ekosistem bentanglahan di Kabupaten Bantul, yaitu secara

    langsung mendapatkan dampak akibat aktivitas/kegiatan ekonomi Kabupaten

    Sleman, bahkan juga kegiatan ekonomi Kota Yogyakarta. Limbah rumah tangga,

    pabrik, rumah sakit, dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lain akan berdampak

    langsung terhadap kelestarian aliran sungai dan airtanah di wilayah Kabupaten

    Bantul.

    Kondisi topografi yang datar di wilayah ekosistem bentanglahan Kabupaten

    Bantul memberikan keleluasaan bakteri patogen dan E-coli tinja yang mengikuti

    aliran air secara gravitasi yang berasal dari wilayah ekosistem Kota Yogyakarta

    dan Kabupaten Sleman, disamping wilayah ekosistem bentanglahan Kabupaten

    Bantul sendiri. Penempatan unit pengolahan air limbah (UPAL) di wilayah

    Kabupaten Bantul sudah tepat secara geoekologis, dan secara psikologis

    memberikan jamiman keamanan dan kesehatan terhindar dari penyakit. Ekosistem

    bentanglahan pantai berpasir yang mendominasi pantai selatan Kabupaten Bantul.

    (4) Ekosistem Bentanglahan Kabupaten Gunung Kidul

    Secara geoekologis wilayah ekosistem Kabupaten Gunung Kidul memiliki

    karakteristik ekologis tersendiri/terpisah secara biofisik dengan wilayah ekosistem

    bentanglahan yang lain di DIY. Namun secara bioregion karena memiliki

    keterkaitan sejarah geologis dengan wilayah ekosistem bentanglahan di DIY tidak

    jauh berbeda. Perbedaan tegas terdapat pada perkembangan ekosistem

    bentanglahan gamping yang berkembang menjadi ekosistem bentanglahan karst.

    Ekosistem bentanglahan karst ini memiliki ciri khusus secara hidrogeologis

    bersifat solusional dan membentuk gua-gua di dalam lapisan batuan sehingga

    terbentuklah sungai di bawah tanah. Keunikan sungai bawah tanah kawasan

    ekosistem bentanglahan karst menjadi lahan riset andalan yang masih

    mengundang banyak peneliti untuk menghasilkan temuan-temuan dari segala

    bidang.

    Kegiatan ekonomi di wilayah ekosistem bentanglahan karst harus ekstra hati-

    hati mengingat sifat batuan yang sangat porus dan memiliki permeabilitas

  • sekunder yang mampu meneruskan aliran air limbah ke segala arah mengikuti

    retakan diaklas. Ekosistem tata air Tambakromo-Bribin merupakan salah satu

    sistem intake-outlet dari sistem sungai bawah tanah yang dimiliki ekosistem

    bentanglahan karst Gunung Kidul. Ekosistem bentanglahan terumbu karang yang

    dominan di pantai selatan Gunung Kidul.

    (5) Ekosistem Bentanglahan Kabupaten Kulon Progo

    Ekosistem bentanglahan Kabupaten Kulon Progo secara geomorfologis terdiri

    atas perbukitan dome di bagian selatan dan perbukitan struktural di bagian utara

    serta beberapa lokasi tersisipi oleh batuan gamping. Ekosistem bentanglahan

    pantai berpasir yang dominan di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo. Secara

    biofisik ekosistem bentanglahan perbukitan dome ini memiliki kesuburan tinggi

    sehingga di bagian puncak tumbuh hutan pinus dan tanaman kayu gunung yang

    lain.

    Secara hidrogeologi ekosistem bentanglahan perbukitan dome tidak mampu

    berfungsi sebagai lapisan akuifer yang baik. Bagian lereng perbukitan dome yang

    mempunyai kelerengan tajam mudah terjadi longsor, sehingga di sekeliling

    perbukitan terbentuk lahan kritis hngga sangat kritis. Perbukitan struktural di

    bagian utara banyak dijumpai retakan yang mampu meresapkan air hujan,

    sehingga banyak mataair dijumpai dan daerah ini tampak lebih subur.

    Secara geoekologis ekosistem bentanglahan perbukitan dome terpisah dengan

    ekosistem bentanglahan gunungapi Merapi, mulai dari puncak perbukitan hingga

    dataran aluvial pantai mempunyai karakteristik ekologi yang berbeda, baik

    ditinjau dari aspek keanekaragaman jenis hingga stabilitas ekosistem.

    Karakteristik ekologi digunakan sebagai dasar penyusunan strategik pengelolaan

    lingkungan.

    DAMPAK EXPLOITASI SUMBERDAYA ALAM DAN

    LINGKUNGAN DI DAERAH ISTIMEWA

    YOGYAKARTA

    Marilah kita tinjau kegiatan exploitasi sumberdaya alam dan lingkungan serta

    dampak yang ditimbulkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pertanyaan

    yang dapat diajukan adalah sejauh-mana atau seberapa-jauh dampak exploitasi

    tersebut, komponen-komponen lingkungan apa yang terkena, dan apakah sudah

    sampai tingkat yang mengkawatirkan dampak exploitasi yang telah terjadi?

    Apabila diinventarisasi kegiatan-kegiatan exploitasi lingkungan hidup yang

    dominan dilakukan di wilayah DIY antara lain:

    (1) Konversi lahan dari lahan pertanian ke non-pertanian (perumahan,

    industri, hotel/losmen/pondokan, pembangunan fisik lain);

    (2) Pemanfaatan lahan illegal (ruang terbuka hijau (RTH),

    lembah/teras/sempadan sungai, lahan bekas TPA) untuk perumahan;

    (3) Penambangan pasir-batu, batu gamping, batu apung, batu xeolit, dll di

    hutan lindung dan kawasan lindung;

  • (4) Densifikasi rumah mukim menyebabkan degradasi kualitas airtanah

    dan meningkatnya konsentrasi coli-tinja;

    (5) Pembangunan industri ditengah permukiman padat, menimbulkan

    masalah pembuangan limbah;

    (6) Pembangunan pusat-pusat pelayanan (pendidikan,

    perdagangan/pertokoan) pada lahan-lahan terlarang (daerah resapan

    air) dan atau pusat kota merangsang pembangunan fisik penunjang

    disekitarnya;

    (7) Pembangunan pusat-pusat pelayanan (pendidikan,

    perdagangan/pertokoan) diluar kota mengurangi kepadatan lalu-lintas

    kota.

    Dampak exploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang diujudkan dalam

    bentuk-bentuk kegiatan seperti tersebut diatas (1 s/d 7) di wilayah DIY dapat

    dijelaskan untuk masing-masing wilayah Kabupaten/Kota sebagai berikut:

    (1) Wilayah Kabupaten Sleman

    Kegiatan exploitasi yang dominan akhir-akhir ini di wilayah Kabupaten

    Sleman adalah maraknya konversi lahan pertanian menjadi perumahan (dalam

    berbagai ukuran besarnya/tipenya) dan mulai dari yang termahal (Cassa Grandi,

    Maguwoharjo) hingga yang termurah (Sariarum/Munggur 1-8, Sidoarum).

    Berbagai jenis bentuk penggunaan lahan, seperti lahan sawah irigasi teknis

    (Perum.Griya Arga Permai, Sariarum, Munggur), sawah irigasi setengah teknis

    (Perum Mountain Blue, Citra Rejodani), pemadatan dan paving jalan dan halaman

    rumah di perumahan-perumahan.

    Berbagai jenis bentuklahan, seperti lereng kaki dengan kemiringan lahan >15%

    (Perum Gadjah Mada, Sukomarto Turi), teras/tebing sungai (Perum Taman

    Krajan, Wedomartani), lembah/sempadan sungai (Perum Gajah Wong,

    Maguwoharjo), lahan pasir berfungsi sebagai daerah resapan air mataair

    (Kompleks Kampus UII dan sekitarnya), lahan pasir terbuka sebagai daerah

    resapan airtanah (GOR Internasional dan sarana penunjang lainnya).

    Pola dan arah pembangunan perumahan yang melawan arah aliran limpasan

    permukaan, pembangunan jalan perumahan tegak lurus arah jalur pembangunan

    perumahan menyebabkan aliran limpasan terbendung dan membentuk genangan,

    pembangunan jalan baru (Ring-road) melintang memotong arah lereng seperti

    jalan ring-road utara tanpa disertai pemotong jalan menyebabkan pembendungan

    aliran limpasan.

    Limpasan permukaan (banjir/genangan) yang berkumpul dan keluar dari

    kawasan perumahan dan permukiman padat sudah menjadi pemandangan di

    wilayah Sleman setiap musim penghujan. Hal ini membuktikan bahwa banjir di

    permukiman/perumahan bukan lagi akibat hutan yang digunduli, tetapi

    kenyataannya berasal dari hujan sesaat yang tidak mampu meresap (infiltrasi)

    membentuk limpasan permukaan, dampak dari permukaan lahan yang diperkeras.

    Teras dan tebing sungai longsor akibat beban berat menahan bangunan rumah,

    sementara lahan urug tebing belum mengalami pemadatan sempurna, aliran hujan

  • yang berasal dari kompleks perumahan menyebabkan tanah jenuh air, sehingga

    kemudian tebing sungai tersebut longsor beserta tembok taludnya, seperti yang

    terjadi di Perum Taman Krajan Wedomartani. Teras dan tebing sungai Gajah

    Wong (Maguwoharjo) yang diratakan dan dibuat talud pada badan sungai

    tersebut, sementara tali arus arah tegak lurus talud tersebut menggerus fondasi

    talud, karena beban berat tembok talud yang menyangga tanah urugan longsor

    semuanya

    Penambangan pasir-batu di perbatasan Sleman-Magelang dan Sleman-Klaten

    yang tidak terkendali akan menyebabkan berkurangnya kemampuan lahan untuk

    menyimpan air hujan dan menyangga kehidupan tanaman/tumbuhan dapat

    mengganggu sistem tata air dan keseimbangan klimatologi setempat (lokal) atau

    iklim mikro. Dampak exploitasi pasir-batu ini akan meluas menganggu

    ketersediaan airtanah daerah bawahan, mengganggu keseimbangan iklim mikro,

    mengganggu zonasi bioregion akibat kekeringan dan kematian plasma nutfah.

    (2) Wilayah Kota Yogyakarta

    Perkembangan morfologi fisik kota Yogyakarta kearah utara dan timur lebih

    pesat (> 4 km) daripada ke arah selatan dan barat (< 2 km) dari batas kota

    berdasarkan hasil pemantauan citra Landsat TM (Thematic Mapper) dari tahun

    1959 hingga tahun 1998 (Gunawan, 1999). Saat ini perkembangan morfologi fisik

    secara sporadis telah bergerak ke utara lagi di sepanjang jalan Kaliurang dan jalan

    Tentara Pelajar ke arah wilayah Kabupaten Sleman.

    Perkembangan morfologi fisik pinggiran kota bagian utara memberikan

    dampak langsung terhadap wilayah kota, pada musim penghujan daerah pinggiran

    kota mulai dari Ring-Road utara ke arah selatan jalan kaliurang banjir limpasan

    berasal dari gang-gang jalan masuk permukiman. Tebal air limpasan di dalam

    permukiman yang terdeteksi di jalan-jalan kampung mencapai setinggi 20-30 cm.

    Hal ini sudah menjadi indikator bahwa intensitas tataguna lahan, densifikasi

    rumah mukim, pengerasan jalan dan halaman rumah mnjadi sumber penyebab

    utama terjadinya banjir limpasan di kota.

    Meningkatnya kebutuhan penduduk akan ruang di kota dan terbatasnya lahan

    kota untuk rumah mukim, kemudian penduduk memanfaatkan lahan-lahan illegal

    , seperti ruang terbuka hijau (RTH) di sepanjang sempadan sungai Code yang

    bertebing terjal seperti sekitar jembatan Sarjito yang baru saja mengalami longsor,

    lahan bekas sampah yang belum memadat sempurna seperti di jalan Jajuli depan

    RRI. Pembangunan permukiman pada teras/tebing sungai Winongo (Perum

    Jatimulyo), sepanjang sungai Code bagian selatan (permukiman Ledok Ratmakan)

    ke arah selatan.

    Dampak pembangunan perumahan pada lahan-lahan illegal tersebut yang

    sangat menonjol antara lain kesehatan dan sanitasi lingkungan, pencemaran

    airtanah terutama unsur Nitrogen (NO2, NO3, NH3), dan bakteri colli tinja.

    Konflik masalah sosial akibat pemanfaatan ruang, pembuangan limbah,

    kebisingan oleh usaha kecil-menengah, lalu-lintas padat (udara panas oleh asap,

    polusi), kepadatan penduduk, daya dukung lahan dan lingkungan turun, kualitas

    permukiman tidak layak hunian.

  • Pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus dilakukan bagi ahli

    lingkungan dan ahli wilayah serta ahli tata ruang kota melihat dampak exploitasi

    lingkungan hidup tersebut, sementara masyarakat tidak sadar atas kejadian

    tersebut, hanya menunggu uluran tangan pemerintah karena memang tidak

    berdaya. Alternatif pertama yang dapat dilakukan minimal dapat mengidentifikasi

    dan menginventarisasi kejadian dan mencari penyebabnya kemudian disajikan

    secara spasial dalam bentuk peta sebaran zonasinya serta tingkat pencemaran atau

    kerusakan yang telah terjadi dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam menyusun

    strategik pengelolaan lingkungan.

    (3) Wilayah Kabupaten Bantul

    Seperti halnya wilayah Kota Yogyakarta kontak langsung dengan wilayah

    Kabupaten Sleman, maka wilayah Kabupaten Bantul ini kontak langsung dengan

    wilayah Kota Yogyakarta. Perbedaannya terletak pada tingkat intensitas

    hubungan pengaruh, untuk mengantisipasi wilayah Kabupaten Bantul memang

    harus extra hati-hati. Intensitas guna lahan Kota lebih kompleks dengan

    keanekaragaman usaha tinggi, sementara yang dikejar produktivitas tinggi,

    stabilitas ekosistem mantap, tidak peduli dengan pencemaran atau pun dampak

    negatif lain terhadap daerah sekitar yang berhubungan langsung.

    Secara topografis kelerengan lahan secara umum ke arah selatan, secara

    hipotetik aliran airtanah juga ke arah selatan, debit aliran air tanah yang berasal

    dari lapisan akuifer bagian hulu (wilayah Kabupaten Sleman) menggelontor

    airtanah tercemar di lapisan akuifer dalam Kota, kemudian mengalir secara

    gravitatif ke wilayah akuifer Kabupaten Bantul. Dapat dibayangkan kondisi

    akuifer wilayah Bantul yang mempunyai permeabilitas dan transmisibilitas tinggi,

    maka kontaminan yang mengandung polutan dari akuifer kota dapat menyebar

    luas.

    Kenyataan menunjukkan bahwa Kabupaten Bantul menerima sebagai tempat

    pembuangan akhir sampah dan limbah dari wilayah Kabupaten/Kota lain di DIY.

    Sebagai konsekuensi logis harus bertanggungjawab kepada msyarakat apabila

    terjadi keluhan masyarakat mengenai dampak akibat keputusannya sebagai lokasi

    TPA sampah dan limbah.

    (4) Wilayah Kabupaten Gunung Kidul

    Masalah exploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang paling urgen sampai

    saat ini di wilayah Kabupaten Gunung Kidul adalah masalah ketersedian air untuk

    kebutuhan hidup sehari-hari. Terutama pada musim kemarau semua kebutuhan

    ditujukan kepada penyediaan air domestik, sehingga tidak jarang menjual sapi

    hanya untuk air. Banyak cara yang dilakukan untuk melakukan explorasi sumber

    air, baik melalui pengeboran sumur dalam, mencari sungai bawah tanah, gua-gua

    berair, dan sebagainya.

    Pencarian sumber air dengan segala upaya hingga dapat adalah tujuan utama,

    namun exploitasi sumberdaya air tanpa melakukan konservasi air merupakan

    tindakan yang kurang berwawasan lingkungan karena SDA tersebut menjadi tidak

  • berkelanjutan. Masalah yang sampai saat ini masih perlu dikaji terus adalah

    mencari jejak arah aliran sungai bawah tanah, pertama, untuk mencari debit air

    sungai yang besar, kedua, untuk melakukan upaya konservasi agar tidak cepat

    habis airnya.

    Salah satu sistem tata air sungai bawah tanah yang debit airnya sudah diketahui

    cukup handal adalah gua bribin, bahkan melalui expert dari Eropa (Jerman) telah

    dilakukan pengeboran sumur dalam di wilayah Bribin. Gubernur DIY Sri Sultan

    HB X meminta untuk mencari lokasi Bribin lain untuk dilakukan hal yang sama.

    Hal yang perlu dicari pemecahannya adalah mencari daerah resapan air yang

    menjadi imbuhan sungai bawah tanah untuk dilakukan konservasi air, agar

    cadangan air untuk DTA Bribin dan yang lain tidak cepat habis.

    (5) Wilayah Kabupaten Kulon Progo

    Wilayah Kabupaten Kulon Progo hampir sebagian besar didominasi oleh

    perbukitan Dome Kulon Progo, memiliki perbukitan struktural di bagian utara,

    dan memiliki dataran aluvial dan kepesisiran di bagian selatan. Masing-masing

    ekosistem bentanglahan tersebut tampak terpisah tidak membentuk satu kesatuan

    ekosistem dan sub-sistemnya. Terobosan ekosistem batuan gamping yang

    dijumpai di wilayah ini juga membuat kekompleksan masalah lingkungan hidup.

    Masalah lingkungan hidup yang dialami di wilayah perbukitan Dome Kulon

    Progo adalah masalah ketersediaan air, karena mempunyai topografi berbukit

    hingga bergelombang berat. Curah hujan kecil dan kurang merata di sepanjang

    tahun serta kondisi lapisan akuifer yang kurang menunjang membuat cadangan

    airtanah yang kurang mencukupi kebutuhan air domestik setiap tahunnya.

    Pengusahaan tanaman keras dan menjaga longsor lahan dan lahan kritis pada

    lereng-lereng terjal dengan penutup vegetasi yang sesuai merupakan anjuran yang

    diusulkan.

    Exploitasi sumberdaya air di wilayah perbukitan struktural di bagian utara

    (Samigaluh dan sekitarnya) perlu menjaga stabilitas debit air dengan

    mempertahankan vegetasi penutup dan menjaga longsor lahan karena curah hujan

    di wilayah ini cukup tinggi. Ditinjau dari aspek kesuburan, produktivitas dan

    keanekaragaman jenis tanaman di wilayah ekosistem ini cukup baik dibanding

    dengan yang lain.

    Pengembangan wilayah kepesisiran Kabupaten Kulon Progo selain untuk

    kepariwisataan, dapat dicobakan untuk pengembangan wilayah kelautan untuk

    perikanan dan pelabuhan, walaupun masih perlu pengembangan teknologi

    pengendalian sedimen pasir, namun itulah salah satu upaya pengelolaan

    lingkungan yang potensial.

  • KESIMPULAN

    (1) Ditinjau dari daya dukung lingkungan hidup di Daerah Istimewa

    Yogyakarta masih dapat dikategorikan cukup mampu untuk menopang

    kehidupan penduduk yang setiap tahun selalu bertambah, namun

    mengingat keterbatasan ketersediaan lahan di DIY maka

    kecenderungan konversi lahan sudah perlu diwaspadai.

    (2) Masalah exploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang melanda

    hampir merata di setiap Kabupaten/ Kota di Daerah Istimewa

    Yogyakarta didominasi oleh konversi lahan pertanian menjadi lahan

    perumahan.

    (3) Pemanfaatan lahan illegal pada lahan-lahan yang seharusnya menjadi

    ruang terbuka hijau (RTH), teras/tebing yang menjadi sempadan

    sungai, lahan bekas tempat pembuangan sampah akhir sudah mulai

    diberikan warning di wilayah DIY.

    (4) Dampak exploitasi sumberdaya alam dan lingkungan di DIY akibat

    pemanfaatan lahan illegal adalah degradasi kualitas dan kesehatan

    lingkungan serta longsor lahan, sedang akibat konversi lahan pertanian

    ke lahan perumahan adalah terjadinya banjir limpasan dan penurunan

    kuantitas airtanah serta menurunkan produktivitas lahan pertanian.

    (5) Hasil kunjungan lapangan sehari bulan Mei 2005 ke daerah-daerah

    cepat berkembang dimana banyak terjadi konversi lahan pertanian

    menjadi perumahan ditemukan banyak developer kurang

    memperhatikan bentuk medan dan pola pembangunan perumahannya,

    sehingga inilah yang menjadi penyebab terjadinya banjir limpasan.

    (6) Tantangan dan peluang generasi muda untuk cepat tanggap dan

    berbuat sesuatu setiap terjadi masalah penyimpangan terhadap praktek

    pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di DIY.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Gunawan, T. 1999. Urban Settlement Planning in

    Yogyakarta City and Its Surroundings: Monitoring and

    Evaluation. Final Report. Remote Sensing for Urban

    Study and Land Use Planning. URGE Project.

    Dirjen Dikti. Jakarta.

    Gunawan, T. dan Suyono. 1990. Analisis Sosio-Bio

    -Fisikal Sebagai Salah Satu Pendekatan dalam Pola

    Pengendalian Kerusakan Lingkungan DAS Bengawan

    Solo Hulu Diatas Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Jawa

    Tengah. Laporan Penelitian. Dirjen Dikti. Jakarta.

    Gunawan, T. 2002. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Alam

    dan Kingkungan Hidup Berkelanjutan dan Berwawasan

    Lingkungan. Makalah Seminar Regional. MALIMPA.

    UMS. Surakarta.

    Gunawan, T. 2004. Lingkungan Fisik Lahan Sebagai

    Masukan Dalam Menjaga Keserasian Tata Ruang.

    Makalah Seminar Nasional. UNISSULA. Semarang.

    Huggett, R. J., 1995. Geoecology: An Evolutionary

    Approach. Roudledge. London and New York.

    Michener, W. K. , Brunt, J. W. And Stafford, S. G.,

    1994. Environmental Information Mangement and

    Analysis: Ecosystem to Global Scales. Taylor & Francis. London.

    ORiordan, T. 1995. Environmental Science for

    Environmental Management. Longman Scientific &

    Technical. Singapore.