toleransi dan kebebasan beragama menurut hamka dalam …
TRANSCRIPT
ii
TOLERANSI DAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT HAMKA DALAM TAFSIR AL-AZHAR
TESIS
Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk Meraih gelar Magister
Aqidah dan Filsafat Islam dalam Konsentrasi Studi Qur’an
Disusun Oleh:
WAHYU PEBRIAN
MSQ. 172720
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 2019
iii
Jambi, 21 November 2019
Pembimbing I: Dr. H. Muhammad Nurung, Lc., M.Ag
PembimbingII: Dr. H. Abdul Ghaffar, MA
Alamat:Pascasarjana UIN STS Jambi Kepada Yth.
Jl. Arief Rahman Hakim Bapak Direktur
Telanaipura, Jambi Pascasarjana UINSTSJambi di_
JAMBI
NOTA DINAS
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan persyaratan yang berlaku di Program Pascasarjana UIN STS Jambi, maka kami berpendapat bahwa Tesis saudara Wahyu Pebrian Konsentrasi Studi Al-Qur’an dengan judul Toleransi dan Kebebasan Beragama Menurut Hamka Dalam Kitab Tafsir Al-Azhar. Telah dapat diajukan untuk mengikuti ujian Pra Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister S2 Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam pada Pascasarja UIN STS Jambi.
Dengan demikianlah yang dapat kami sampaikan kepada Bapak, semoga bermanfaat bagi kepentingan agama nusa dan bangsa. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Muhammad Nurung, Lc., M.Ag Dr. H. Abdul Ghaffar, MA
iv
PENGESAHAN
iii
v
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS Saya yang bertanda tangan di bawah ini : N a m a : Wahyu Pebrian N I M : MSQ. 172720 Tempat, Tanggal Lahir : Jambi, 15 Februari 1994 Konsentrasi : Studi Al-Qur’an Alamat : Jambi
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang
berjudul: “Toleransi dan Kebebasan Beragama Menurut Hamka dalam
Kitab Tafsir Al-Azhar”, adalah benar merupakan karya asli saya, kecuali
kutipan-kutipan yang telah disebutkan sumbernya sesuai ketentuan yang
berlaku. Apabila dikemudian hari ternyata pernyataan ini tidak benar, maka
saya sepenuhnya bertanggung jawab sesuai dengan hukum yang berlaku
di Indonesia dan ketentuan di Pascasarjana UIN STS Jambi, termasuk
pencabutan gelar yang saya peroleh melalui tesis ini.
Demikianlah Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Jambi, 21 November 2019 Penulis Wahyu Pebrian NIM. MSQ. 172720
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura Jambi
v
MOTTO
..… لكم دينكم ول دين
Artinya: Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku. (QS. Al-
Kafirun ayat 6)
vi
PERSEMBAHAN
Tesis ini kupersembahkan kepada dua insan
Ibu Aswarnida dan Ayah Yusni Amran
yang selalu memberi doa, bimbingan dan arahan
Agar anaknya senantiasa dalam kesuksesan
Juga kepada adik-adikku
Rizki Wahyudi Dwi Putra dan Zulfani Azwar
Yang selalu memberikan dorongan
Tak lupa kepada rekan-rekan yang turut membantu
Dalam penyelesaian tesis ini.
vii
ABSTRAK Wahyu Pebrian, Toleransi dan Kebebasan Beragama Menurut Hamka dalam Kitab Tafsir Al-Azhar. Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia, sepantasnya mampu berperan pemersatu dalam membangun perdamaian dan kerjasama antara manusia. Namun pada kenyataannya fenomena keagamaan akhir-akhir ini seakan-akan menegaskan momen kritis dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. Bahwa agama seolah-olah justru menjadi bagian dari pemicu persoalan, dari pada menyelesaikan persoalan. Melihat masyarakat yang kompleks terutama dalam toleransi, tulisan ini mencoba memberikan penjelasan toleransi dan kebebasan beragama yang disampaikan Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar Hamka merupakan seorang mufassir Indonesia yang tidak lepas dari kemajemukan bangsa. Selain itu, beliau merupakan salah satu mufassir Indonesia yang menafsirkan al-Qur’an menggunakan bahasa Indonesia lengkap 30 juz, dengan tujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an. Dengan berbagai latar belakang beliau dan lingkungan yang mengitari dalam penulisan tafsirnya, maka dalam pembahasan ini bertujuan untuk melihat bagaimana penafsiran Hamka terhadap ayat-ayat toleransi dan kebebasan beragama yang akan membangun sikap toleran masyarakat serta memahami toleransi dan kebebasan beragama yang dipaparkan Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar. Penelitian ini menggunakan kepustakaan (Library research) dengan pendekatan kualitatif. Adapun analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (Content Analysis). Dalam penelitian kualitatif, terutama dalam strategi verifikasi kualitatif, teknik analisis data ini dianggap sebagai teknik analisis data yang paling sering digunakan. Dalam penelitian ini menghasilkan beberapa poin penting tentang toleransi dan kebebasan beragama dalam kitab Tafsir Al-Azhar karya Hamka. melihat dari penjelasan Hamka tentang ayat-ayat toleransi dan kebebasan beragama ini beliau lebih mementingkan kemaslahatan masyarakat terlebih dalam kehidupan multikultural. Dalam penafsiran beliau yang menjadi penekanan adalah persaudaraan, perdamaian dan menjauhkan dari konflik. Untuk menciptakan itu semua menurut analisis penulis harus mengedepankan sikap saling menghormati, saling menghargai, saling tolong menolong, dan berlaku adil walaupun dengan orang yang berbeda agama dengan kita. Namun ada batasan-batasan Hamka berkaitan tentang toleransi antar agama adalam berkaitan tentang masalah akidah dan keimanan. Kata kunci : Toleransi, Kebebasan Beragama, Toleransi antar agama,
Hamka Tafsir Al-Azhar
viii
ABSTRACT Wahyu Pebrian, Tolerance and Religious Freedom According to Hamka in Tafseer Al-Azhar
Islam as the majority religion adopted by the people of Indonesia,
should be able to play its roles in building peace and cooperation between people. But in reality, the religious phenomenon lately seems to confirm a critical moment in dealing with humanitarian problems. That religion seems to be part of the trigger of the problem, rather than solving the problem. Looking at the complex society, especially in tolerance, this paper tries to provide an explanation of tolerance and religious freedom according to Hamka in the Tafseer Al-Azhar.
Hamka is an Indonesian commentator who cannot be separated from the diversity of the nation. In addition, he was one of the Indonesian commentators who interpreted the Qur'an using the complete Indonesian language 30 juz, with the aim of making it easy for the public to learn and understand the Qur'an. With his various backgrounds and the surrounding environment in writing his interpretations, the purpose of this discussion is to see how Hamka's interpretation of the verses of tolerance and religious freedom will build community tolerant attitudes and understand the tolerance and religious freedom that were described by Hamka in Tafseer Al-Azhar.
This research uses library research with a qualitative approach. The data analysis used in this research is content analysis. In qualitative research, especially in qualitative verification strategies, this data analysis technique is considered the most commonly used data analysis technique. In this study produced several important points about tolerance and religious freedom in the book of Tafseer Al-Azhar by Hamka. seeing from Hamka's explanation of the verses of tolerance and freedom of religion, he is more concerned with the benefit of society, especially in multicultural life. In his interpretation the emphasis is on brotherhood, peace and distance from conflict. To create it all according to the analysis the writer must prioritize mutual respect, mutual respect, mutual help, and act fairly even with people of different faiths to us. However, there are limits of Hamka regarding tolerance between religions, which are related to matters of faith and faith.
Keywords: Tolerance, Freedom Religious, Interfaith tolerance, Hamka Tafseer Al-Azhar
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga tesis yang
berjudul “Toleransi dan Kebabasan Beragama Menurut Hamka dalam Kitab
Tafsir Al-Azhar. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna menyelesaikan Studi Magister (S2) pada Pascasarjana di UIN STS
Jambi. Shalawat serta Salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, rahmat seluruh alam, pelopor kebenaran dan penerang
dalam kegelapan.
Penulis mengakui dengan sepenuh hati, bahwa adanya bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan
dengan baik. Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tak terhingga kepada semua pihak yang telah sudi memberikan bimbingan,
bantuan, dan kontribusi demi kesempurnaan tesis ini.
1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Husein Ritonga, MA selaku Direktur
Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Ibu Dr. Risnita,
M.Pd., selaku Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Nurung, Lc., M.Ag dan Bapak Dr. H. Abdul
Ghaffar, MA selaku Pembimbing I dan Pembimbing II.
3. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi, MA., P.hD Selaku Rektor UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi
4. Tim Penguji yang telah sudi menyampaikan masukannya guna
kesempurnaan tesis ini.
5. Bapak/Ibu Dosen Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Staf karyawan/karyawati Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
7. Kepala sekolah SMP Ahmad Dahlan Sri Novrita Handayani, S.P dan
Majelis Guru dan Staf SMP Ahmad Dahlan Kota Baru Jambi.
x
8. Kepada rekan-rekan seperjuangan dan semua pihak yang tidak dapat
saya sebutkan namanya satu persatu yang telah banyak memberikan
sumbangsih dan dukungan kepada penulis selama proses penelitian
dan penulisan tesis ini.
Selanjutnya dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis tidak
luput dari kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan sumbangan kritik, saran, serta masukan lainnya yang
bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga Allah SWT
selalu memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kita semua.
Jambi, 21 November 2019
Penulis
Wahyu Pebrian NIM. MSQ. 172720
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
NOTA DINAS .......................................................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS ................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... iv
MOTTO .................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ................................................................................... vi
ABSTRACT .......................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 12
C. Fokus Penelitian ........................................................................ 12
D. Tujuandan Kegunaan Penelitian ............................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. LandasanTeori .......................................................................... 14
1. Toleransi .............................................................................. 14
2. Kebebasan Beragama ........................................................ 17
3. Toleransi Beragama ............................................................ 23
4. Ayat-ayat Toleransi dan Kebebasan Beragama .................. 26
B. Penelitian Yang Relevan ........................................................... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian .............................................................. 36
B. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 37
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 38
D. Teknik Analisis Data .................................................................. 39
E. Verifikasi Data .......................................................................... 45
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 46
xii
G. Rencanadan Waktu Penelitian .................................................. 47
BAB IV HAMKA DAN BANGUNAN PEMIKIRAN TOLERANSI DAN
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TAFSIR AL-AZHAR
A. Hamka dan Penafsirannya ........................................................ 48
1. Biografi Hamka ...................................................................... 48
2. Karya-karya Hamka .............................................................. 57
3. Tafsir Al-Azhar ...................................................................... 62
B. Penafsiran Hamka Tentang Ayat-Ayat Toleransi dan
Kebebasan Beragama dalam Tafsir al-Azhar ............................ 73
1. Berlaku Adil dan Baik Terhadap Non Muslim ........................ 73
a. Surah al-Baqarah ayat 1 ................................................... 73
b. Surah Asy Syura ayat 15................................................... 74
c. Surah al-Mumtahanah ayat 7-9 ......................................... 75
2. Larangan Menghina Sembahan Non Muslim ........................ 79
a. Surah al-Baqarah ayat 62 ................................................. 79
b. Surah al-An’am ayat 108 ................................................... 81
3. Batasan Toleransi Terhadap Keimanan dan Peribadatan ..... 85
Surah al-Kafirun ayat 1-6 ...................................................... 85
4. Tidak ada Paksaan dalam Beragama ................................... 89
a. Surah al-Baqarah ayat 256 ............................................... 89
b. Surah Yunus ayat 99-100.................................................. 92
c. Surah al-Kahfi ayat 29 ....................................................... 95
d. Surah Lukman ayat 15 ...................................................... 96
C. Analisis Pemikiran Hamka Tentang Ayat-ayat Toleransi dan
Kebebasan Beragama ............................................................. 98
D. Prinsip-Prinsip Toleransi dan Kebebasan Bergama ................ 108
E. Batasan Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Tafsir
al-Azhar ................................................................................. 110
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 114
xiii
B. Implikasi .................................................................................. 115
C. Rekomendasi .......................................................................... 117
D. Saran....................................................................................... 117
E. Kata Penutup .......................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULLUM VITAE
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari hubungan
(interaksi sosial) dengan sesamanya. Hubungan manusia dalam
masyarakat ditata dalam suatu tatanan normatif yang disepakati bersama
oleh anggota masyarakat, yang disebut dengan nilai atau norma yang
menjamin terwujudnya harmoni dalam bentuk kedamaian dan
ketentraman.1
Kerukunan antar umat beragama merupakan satu unsur penting
yang harus dijaga di Indonesia, yang hidup didalamnya berbagai macam
suku, ras, aliran dan agama. Mengenai soal beragama, Islam tidak
mengenal konsep pemaksaan. Allah SWT berfirman di dalam QS. Yunus
ayat 99:
ي وا مؤمنين عا أفأنت تكره الناس حت يكون ولو شآء ربك لأمن من ف الأرض كلهم جArtinya : Dan jika Allah menghendaki, tentulah beriman semua orang
dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.2
Untuk itu sikap toleransi yang baik diperlukan dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan tersebut agar kerukunan antar umat beragama
dapat tetap terjaga, sebab perdamaian nasional hanya bisa dicapai jika
masing-masing agama pandai menghormati identitas golongan lain.3 Al-
Qur’an sebagai kitab pedoman agama Islam bukan hanya berfungsi
sebagai kitab mu’jizat namun juga berfungsi sebagai kitab hidayah atau
petunjuk kehidupan umat manusia terutama toleransi beragama. “Kitab ini
ini memperkenalkan dirinya sebagai hudan li an-nâs”.4 Dalam arti petunjuk
1 Toto Suryana, Konsep Dan Aktualisasi Kerukunan Antar umat beragama, Jurnal Pendidikan Agama Islam–Ta’lim Vol. 9 No. 2 - 2011, hal. 127. 2 Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1- Juz 30 (Departemen Agama RI, 2004), hal. 295 3 M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (Jakarta: Media Dakwah, 1988), hal. 209 4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Lentera Hati, 2002), hal.v
2
pada segala aspek kehidupan dan kebutuhan manusia, baik yang
berhubungan dengan ketuhanan (hablun min allâh) atau hubungan sosial
kemasyarakatan (hablun min al-nâs). Dalam hal kehidupan keberagamaan,
al-Qur’an juga telah menerapkan prinsip kebebasan dan toleransi
beragama, namun jika kita lihat toleransi dari segi istilah tasamuh, maka
memang tidak ditemukan didalam al-Qur’an tetapi bila yang dimaksud
dengan toleransi adalah sikap saling menghargai, maka al-Qur’an
merupakan kitab suci yang secara nyata memberikan perhatian terhadap
toleransi.5
Hamka berpendapat bahwa semua manusia diberikan kebebasan
oleh Allah SWT untuk memeluk agama apapun tanpa ada paksaan. Hal ini
sebagaimana yang diuraikan oleh Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, antara lain
dapat digali dari ayat-ayat:6 QS. Al-Baqarah ayat 256, QS. Al-Mumtahanah
ayat 8-9, QS. Al-Hajj ayat 40, dan QS. Al-Kafirun ayat 6.
الرشد من الغي ين قد ت ب ين ف قد استمسك فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن بالله لآإكراه ف الد
.ليم سميع ع بالعروة الوث قى لا انفصام لا والله Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.7 (QS. Al-Baqarah: 256)
5 Zuhari Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi,(Penerbit Pustaka Oasis, anggota IKAPI, Jakarta 2017), hal. 410 6 Abdurrahman et.al, Al-qur’an dan Isu-isu Kontemporer, (eLSAQ Press, Sleman Yogyakarta, 2011), hal. 21 7 Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid I (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura cet V, 2013), hal. 622
3
هاكم الله عن الذين ل ي قاتلوكم ف ال ين ول يرجوكم من دياركم أ لاي ن م وت قسطوا ن ت ب روه د
ا ي ن )٨(إليهم إن الله يب المقسطين ين وأخرجوكم اهاكم الله عن الذين قات لوكم ف إن لد
م فأولئك هم المن دياركم وظاهروا على إخراجكم أن ت ولو )٩(المون ظ هم ومن ي ت ول Artinya : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (9) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.8 (QS. Al-Mumtahanah: 8-9)
الناس ب عضهم قولوا رب نا الله ولولا دفع الله ي الذين أخرجوا من ديارهم بغي حق إلآ أن
مت صوامع وبيع وصلوات ومساج نصرن الله من ا اسم الله كثيا ولي د يذكر فيه بب عض لد
.ينصره إن الله لقوي عزيز Artinya : orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:"Rabb kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.9 (QS. Al-Hajj: 40)
.لكم دينكم ول دين
8 Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid IX (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura cet V, 2013), hal. 7298-7299 9 Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid VI (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura cet V, 2013), hal. 4699
4
Artinya : “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.10 (QS.
Al-Kafirun: 6)
Hamka mengatakan bahwa sungguh ayat-ayat ini adalah suatu
tantangan kepada manusia, karena Islam adalah benar. Orang tidak akan
dipaksa untuk memeluknya, tetapi orang hanya diajak untuk berfikir. Asal
dia berfikir sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam. Tetapi kalau ada
paksaan, pastilah timbul pemaksaan pemikiran, dan mestilah timbul taqlid.
Dengan demikian, pradigma toleransi mempunyai landasan normatif
yang kuat dari al-Qur’an. Tatkala al-Qur’an memberikan perhatian yang
besar terhadap toleransi, maka al-Qur’an telah hadir pada setiap zaman
dan tempat.11
Istilah toleransi berasal dari Bahasa latin, “tolerare” yang berarti
sabar terhadap sesuatu. Jadi toleransi merupakan suatu sikap atau prilaku
manusia yang mengikuti aturan, dimana seseorang dapat menghargai, dan
menghormati terhadap perilaku orang lain. Istilah toleransi dalam konteks
social budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang
adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam
suatu masyarakat, seperti toleransi dalam beragama, dimana kelompok
agama yang mayoritas dalam suatu masyarakat, memberikan tempat bagi
kelompok agama lain untuk hidup dilingkunganya.12
Menurut Asyraf Abdul Wahab, toleransi dalam kontek sosial-budaya
merupakan sebuah keniscayaan. Pada hakikatnya, setiap masyarakat yang
plural membutuhkan kedamaian dan perdamaian. Kedua hal tersebut
merupakan toleransi. Disamping itu toleransi merupakan sikap moderat
yang bisa menjembatani ketegangan antara pihak yang berseberangan
10 Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid X (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura cet V, 2013), hal. 8132 11 Zuhari Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi,(Penerbit Pustaka Oasis, anggota IKAPI, Jakarta 2017), hal. 218 12 Abu Bakar, Konsep Toleransi Dan Kebebasan Beragama, vol. 7, No.2 Juli-Desember 2015.
5
dalam hal faham dan kepentingan. Disini toleransi menjadi sangat
bermanfaat plural.13
Toleransi merupakan masalah yang aktual sepanjang masa, terlebih
lagi toleransi dalam beragama, Islam memberikan perhatian yang tinggi
terhadap perlunya toleransi beragama sejak awal perkembangan Islam,
baik tersurat dalam al-Qur’an atau tersirat dalam berbagai perilaku Nabi.14
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Buya Hamka, bisa menjadi teladan tentang bagaimana toleransi
beragama yang baik. Tahun 1968, umat muslim berhari raya Idul Fitri dua
kali, yaitu pada 1 Januari dan 21 Desember 1968. Dekatnya hari raya Idul
Fitri dengan Natal kemudian menginspirasi sebagian kepala jabatan dan
mentri untuk mengeluarkan perintah, agar perayaan halal bihalal
digabungkan dengan Natal menjadi Lebaran-Natal, ini dapat membantu kita
memahami makna toleransi. Gejala seperti ini yang kita lihat sekarang.
Dengan setengah paksaan kita dianjurkan doa bersama, ibadah bersama,
kebaktian bersama di antara orang-orang yang berlainan kepercayaan, dan
itu disebut dengan semangar pancasila. Sehingga disadari atau tidak,
pancasila boven alles di atas dari semua agama, dan orang-orang yang
sama sekali tidak mengamalkan satu agama, merasa dirinya pemimpin
tertinggi, melebihi ulama, pendeta, kiai, dan pastur. Sikap Hamka mengenai
Natal dan Idul Fitri bersama ini berlanjut menjadi Fatwa Majelis Ulama, yang
Hamka sendiri sebagai ketuanya,”Natal dan Idul Fitri bersama Haram
Hukumnya”. Hamka menolak dengan keras toleransi yang semacam itu.15
Banyak orang yang tidak tahu seluk beluk agama islam, menyangka
bahwa zaman modern ini tidak relevan lagi dengan islam. Sebab itu perlu
sekali ditambah dengan beberapa peraturan baru yang lebih modern untuk
dipakai umat islam, sehingga kemajuan kaum muslimin selaras dengan
13 Zuhari Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, 2017, hal. 162. 14 Toto Suryana, Konsep Dan Aktualisasi Kerukunan Antar umat beragama, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Ta’lim Vol. 9 No. 2 - 2011, hal. 127. 15 Hamka, Dari Hati Ke Hati, (Jakarta, Gema Insani 2015), hal 215
6
kemajuan yang dicapai oleh orang eropa dan amerika.16 Perbedaan dan
keragaman merupakan sebuah keniscayaan yang telah diberikan Allah
kepada setiap makhluknya. Tidak hanya sekedar perbedaan antar agama,
tetapi juga perbedaan dan keragaman dihampir semua makhluk di muka
bumi; gunung, sungai, buah-buahan dan lain-lain. Semua itu menurut al-
Qur’an, agar menjadi ayat-ayat Allah dimuka bumi, sehingga setiap
manusia yang dikaruniai akal budi dan hati nurani dapat berfikir tentang
rahasia di balik semua itu. Selanjutnya setiap manusia dapat
mengembangkan budaya tafsir yang membawa kemaslahatan bagi
mereka.17
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, ditandai
dengan banyaknya etnis, suku, agama, bahasa, budaya, dan adat-istiadat.
Untuk persoalan agama, negara Indonesia bukanlah sebuah negara
Demokrasi, melainkan secara konstitusional negara mewajibkan warganya
untuk memeluk satu dari agama-agama yang diakui eksistensinya
sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Negara memberi kebebasan kepada penduduk untuk memilih salah satu
agama yang telah ada di Indonesia yaitu agama Islam, Kristen Protestan,
Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Kenyataan ini dengan
sendirinya memaksa negara untuk terlibat dalam menata kehidupan
beragama.
Ketentuan dalam pasal 29 UUD 1945 sangat penting artinya bagi
agama-agama dan para pemeluknya karena telah memberi jaminan dan
sarana keterlibatan umat di dalam mengisi dan memperkaya kehidupan
berbangsa. Tiap pemeluk agama mendapatkan kesempatan untuk
menjalankan agama dan menciptakan kehidupan beragama sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Pengembangan agama dan kehidupan
beragama tidak boleh menjurus ke arah tumbuhnya pemikiran dan
16 Hamka, Lembaga Hidup, ( Jakarta: Republika Penerbit, 2015), hal 356 17 Zuhari Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi,(Penerbit Pustaka Oasis, anggota IKAPI, Jakarta 2017), hal. 17
7
pemahaman agama yang sempit karena hal ini akan menimbulkan konflik
antar agama.
Atas dasar pemahaman tersebut, perbedaan-perbedaan yang ada
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebenarnya untuk memenuhi
kepentingan bersama agar dapat hidup sejahtera. Dalam kehidupan
masyarakat yang serba majemuk, berbagai perbedaan yang ada seperti
dalam suku, agama, ras atau antar golongan, merupakan realita yang harus
didayagunakan untuk memajukan negara dan bangsa Indonesia, menuju
cita-cita yang diinginkan yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu sarana yang penting
dalam menjamin integrasi nasional, sekaligus merupakan kebutuhan dalam
rangka menciptakan stabilitas yang diperlukan bagi proses pencapaian
masyarakat Indonesia yang bersatu dan damai. Kerjasama yang rukun
dapat terjadi apabila diantara para pemeluk agama merasa saling
membutuhkan, saling menghargai perbedaan, saling tolong-menolong,
saling membantu dan mampu menyatukan pendapat atau istilah lainnya
memiliki sikap toleransi.18
Orang-orang mempunyai hak kemardekaan berfikir dan berpendapat
menurut keyakinanya sendiri. Tetapi hak itu terbatas pula, yaitu tiap-tiap
orang merdeka menyatakan pendirian atau kepercayaanya, selama
pendirian itu tidak menggangggu ketentraman umum, yang mrmbawa
kepada huru hara atau perselisihan dan selama kepercayaan itu tidak
melanggar pula kepada undang-undang kesopanan umum yang telah
dipakai sejak dulu, yang telah diakui bersama-sama menjadi budi pekerti
tinggi.19 Banyak hal yang melatar belakangi terjadinya sikap intoleran dalam
masyarakat. Sebagaimana yang terjadi diberbagai daerah khususnya yang
ada di Indonesia, namun tidak bisa dipungkiri dalam keragaman ini,
18 Lely Nisvilyah, Toleransi Antarumat Beragama Dalam Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam Dan Kristen Dusun Segaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto), dalam jurnal Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013. Hal. 383. 19 Hamka, Lembaga Hidup,. hal 41
8
dibeberapa daerah bisa berjalan dengan selaras dan lurus, bergandengan
dengan kelompok yang berbeda. Namun sebaliknya, tidak bisa dinafikan di
beberapa daerah lainnya terjadi saling mengintimidasi satu sama lain, baik
itu antar agama, suku, ras, dan lain sebagainya.
Sikap itu terjadi karena ada sikap saling intoleran. Seperti tragedi
Poso, Ambon pada 24 Desember 1998, yang menewaskan ratusan
masyarakat, Dan banyak menghancurkan berbagai fasilitas umum yang
sudah tentu banyak merugikan berbagai kalangan. Hal tersebut terjadi
dikarenakan kesenggangan antar dua agama yaitu Islam dan Kristen
sehingga terjadinya pertikaian yang memberikan dampak sangat besar bagi
masyarakat. Sikap saling mencurigai dan tidak ada sikap saling
menghormati, memicu hubungan kedua agama ini retak dan berakhir
dengan perang antar agama yang masih melekat diingatan masyarakat
sampai saat ini.20
Namun demikian dilihat dari kondisi yang serba plural ini, tidak salah
apabila dikatakan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia menyimpan
potensi konflik yang tinggi. Beberapa peristiwa di daerah menunjukkan hal
itu. Komplik sosial yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia, baik dalam
eskalasi besar maupun kecil telah membawa korban jiwa, harta, sember
mata pencarian dan lainnya, sehingga menghancurkan sendi-sendi
kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia. Nampaknya kerusuhan sosial
telah menjadi gejala yang umum bagi perjalanan hidup bangsa. Dari tahun
1996 tercatat terjadi beberapa kali peristiwa/konflik yang bernuansa sosial
agama, seperti kerusuhan Tasikmalaya 26 Desember 1996, di karawang
tahun 1997 dan Tragedi Mei pada tanggal 13, 15, 17, Mei 1998, yang terjadi
di Jakarta, Solo, Surabaya, Palembang, Medan, Ambon, Maluku, Nusa
Tenggara, Jawa Timur (Situbondo), Jawa Tengah (Temanggung),
Yogyakarta, Jawa Barat (Cirebon, Indramayu), Banten, dan di DKI Jakarta
20 Abdurrahman et.al, Al-qur‟an dan Isu-isu Kontemporer, eLSAQ Press, Sleman Yogyakarta, 2011, hal. 2.
9
serta peristiwa kerusuhan lainnya.21 walaupun diyakini oleh para tokoh
bukan disebabkan oleh faktor agama, tetapi ketika yang menjadi tumpuan
untuk menyelesaikan konflik ini adalah tokoh-tokoh agama, maka menjadi
jelas bahwa agama memiliki peran yang sangat signifikan bagi terjadinya
konflik secara berkepanjangan. Peran agama disini menyangkut
bagaimana nilai-nilai agama yang diyakini seseorang dalam memandang
orang lain yang berbeda agama, mempengaruhi sikap dan perilakunya
terhadap orang itu.22
Meskipun akhir-akhir ini tidak diketemukan konflik sosial secara fisik,
namun konflik melalui media terutama media sosial, isu keragaman dalam
beragama sering menjadi objek saling fitnah melalui berita bohong (hoax).
Beberapa rentetan terjadinya kerusakan di Indonesia yang lebih condong
bernuansa sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan. Termasuk studi kasus
intoleransi terjadi di Ibu Kota ketika sedang menghadapi PILKADA. Konflik
intoleransi telah mengkristal dengan menggunakan dalil agama, budaya,
politik, etnis, dan media menjadi alat pemicu.
Secara normatif-doktrinal, agama sama-sama mengajarkan
kedamaian, persaudaraan, kerukunan individual dan kelompok. Jadi
sebetulnya agama tidak menghendaki konflik perpecahan, permusuhan,
bahkan pembunuhan baik fisik maupun karakter umat lain. Namun dalam
kenyataannya, yang ada menunjukkan pengaruh agama terhadap perilaku
masyarakat sering menimbulkan konflik.23
Para ahli sejarah atau ilmuan sosial menyatakan, bahwa agama
sering mempunyai efek yang negative terhadap kesejahteraan manusia.
Isu-isu keagamaan sering dijadikan isu timbulnya konflik baik fisik maupun
non fisik apalagi dibumbui dengan isu bohong (hoax). Keyakinan dalam
suatu agama sering menimbulkan sikap manusia yang tidak toleran
21 Eko Digdoyo, Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, dan Tanggung Jawab Sosial Media, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 1 Januari 2018, hal 43. 22 Abdurrahman et.al, Al-qur‟an dan Isu-isu Kontemporer, eLSAQ Press, Sleman Yogyakarta, 2011, hal. 2. 23 Eko Digdoyo, Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, dan Tanggung Jawab Sosial Media, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 1 Januari 2018, hal 44.
10
(intoleransi). Kemudia loyalitas dalam agama hanya dapat menyatukan
beberapa orang saja dan memisahkan diri dari kebanyakan orang atau
kelompok lainnya.24
Oleh karena itu Agama seharusnya menjadi alternatif untuk
menyatukan umat, agama juga menjadi solusi dalam menyelesaikan
problematika umat. Namun fenomena keagamaan akhir-akhir ini seakan-
akan menegaskan momen kritis dalam menghadapi persoalan
kemanusiaan. Bahkan agama seolah-olah justru menjadi bagian dari
pemicu persoalan, dari pada menyelesaikan persoalan permasalahan.
Seperti sikap klaim kebenaran ditujukan kemasyarakat luas, sehingga
tampak beberapa aksi dalam masyarakat yang apatis dengan pemahaman
masyarakat lain.
Terkait fenomena-fenomena tersebut, penulis tertarik untuk
menganalisis lebih lanjut terkait toleransi dan kebebasan beragama
menurut Hamka, dalam Tafsir al-Azhar. Hamka seorang ulama yang
multidisiplin keilmuan yang dikenal oleh masyarakat luas khususnya di
Indonesia di antaranya seorang mufassir, sastrawan, cendikiawan dan
agamawan. Keahlian dalam bidang-bidang tersebut dapat dilihat dari karya
beliau yang tersebar dimasyarakat, baik itu di dunia akademik maupun di
dunia non akademik. Salah satu karya beliau yang fenomenal adalah Tafsir
Al-Azhar yang mengupas penjelasan makna atau kandungan dari al-
Qur’an, yang diselesaikan oleh beliau dalam jangka waktu yang cukup lama
hingga terselesaikan, dan menjadikan beliau salah satu mufassir nusantara
yang menafsirkan secara keseluruhan dari al-Qur’an dalam bahasa
Indonesia.
Tiap-tiap tafsir memiliki corak haluan dari pribadi penafsirnya sendiri,
begitu juga hamka dalam mengomentari tafsirnya ini. Kemudia ia
mengatakan bahwa beliau memelihara sebaik-baiknya hubungan antara
24 Nurcholish Majid, Islam Dokrin dan Perdaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernaan, (Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta 1992), hal 47
11
naqal dan akal. Di antara riwayah dan dirayah. Hamka tidak semata-mata
mengutip atau menukil pendapat orang-orang terdahulu, tetapi
menggunakan juga tinjauan dan pengalaman beliau sendiri, dan tidak pula
semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa
yang dinukil dari orang terdahulu.25 Hamka ini dalam kitab tafsirnya beliau
menggunakan metode Tahlili karena beliau menafsirkan al-Qur’an sesuai
dengan urutan pada mushaf Usmani, yang dimulai dari surah al-Fatihah
sampai surah yang terakhir yaitu An-Nas. Hamka juga menggunakan corak
al-Adabi Ijtima’I dalam penafsiran kitabnya agar tafsirnya ini dapat difahami
oleh mayoritas golongan, bukan hanya tingkat masyarakat elit namun
merambah ke semua elemen masyarakat berdasarkan kondisi sosial pada
waktu itu.
Dari historisitas Hamka dan terselesainya kitab Tafsir al-Azhar
tentunya memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam menanggapi
problem sosisal masyarakat, khusus di Indonesia sebagaimana situasi dan
kondisi konflik pada masa penulisan itu begitu sangat pelik, hal ini
menjadika orientasi lingkungan mufassir memiliki pengaruh besar terhadap
karya tafsirnya. Begitu juga dalam menafsirkan ayat berorientasi pada
sosial.26
Dari penjelasan diatas, toleransi merupakan masalah yang krusial di
masyarakat yang seharusnya ditanam dan dipupuk dalam kehidupan
kebinekaan. Indonesia merupakan Negara dengan penduduk muslim
terbesar, dan Tafsir al-Azhar merupakan karya ulama nusantara yang
merupakan bagian dari masyarakat dalam Negara tersebut tentunya
memiliki peran penting dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang saling memahami
perbedaan dan saling menghormati hingga terbentuk kerukunan dalam
kemajemukan di Indonesia. Oleh sebab inilah penulis mengangkat judul
25 Rusydi Hamka, dkk. Perjalanan Terakhir Buya Hamka, (Pustaka Panjimas, Jakarta 1981), hal 21. 26 Asbandi, Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar, Jurnal Pemikiran Islam 2017, hal. 8.
12
proposal tesis ini “Toleransi Dan Kebebasan Beragama Menurut Hamka
Dalam Tafsir Al-Azhar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan
masalah penelitian dengan sebuah pertanyaan inti yaitu, Bagaimana
Penafsiran Hamka menurut al-Qur’an dalam mengatasi masalah Toleransi
Beragama di masyarakat sehingga terwujud masyarakat yang toleran?.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka penulis merumuskan beberapa
masalah, yaitu:
1. Bagaimana penafsiran Hamka tentang ayat-ayat Toleransi dan
Kebebasan Beragama dalam kitab Tafsir Al-azhar?
2. Apa Batasan Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Tafsir al-
Azhar?
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif berkaitan erat dengan
rumusan masalah, dimana rumusan masalah penelitian dijadikan acuan
dalam menentukan fokus penelitian.27 Dalam hal ini, Penelitian yang peneliti
lakukan terfokus pada ayat-ayat yang berkaitan dengan toleransi dalam
beragama, serta penafsiran Hamka tentang ayat-ayat toleransi, sebab ini
menjadi indikator terwujudnya masyarakat yang toleran. Hal ini bertujuan
untuk menghasilkan sebuah penelitian yang fokus dan terperinci.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian penulis ini bertujuan untuk meneliti lebih
mendalam penafsiran Hamka tentang ayat-ayat toleransi dalam beragama,
demi mewujudkan sebuah masyarakat yang toleran. Namun secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
27 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 47.
13
a. Untuk mengetahui Bagaimana penafsiran Hamka tentang ayat-ayat
Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam kitab Tafsir Al-azhar
b. Untuk mengetahui batasan toleransi dan kebebasan beragama menurut
Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar
2. Kegunaan Penelitian
Penulis mengharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi
serta manfaat baik secara teoritis/akademis maupun praktis/fragmatis
sebagai berikut:
a. Teoritis/Akademis
Memperluas wawasan kajian seputar penafsiran Hamka dan
diharapkan menjadi kontribusi positif bagi arah perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang penafsiran al-Qur’an.
b. Praktis/Fragmatis
Mengemukakan pandangan toleransi beragama menurut Hamka
yang terdapat dalam kitab Tafsir Al-Azhar sehingga menjadikan sebuah
masyarakat yang toleran seperti yang dikehendaki oleh Allah swt dalam
ayat-ayat Al-Qur’an.
14
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Landasan Teori
1. Toleransi
Toleransi Dalam bahasa arab disebut dengan tasamuh yang berarti
saling memudahkan dan saling mengizinkan.28 Secara etimologi toleransi
berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap
membiarkan, mengakui, merangkul, dan menghormati keyakinan orang lain
tanpa memerlukan persetujuan.29 Kata toleransi juga berasal dari bahasa
latin, yaitu tolerantia yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan
dan kesabaran.30 Dari sini dapat difahami bahwa toleransi merupakan sikap
untuk memberi hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan
pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda, serta
mengizinkan atau membolehkan perbedaan pendapat antara satu sama
lain.
Toleransi diartikan sebagai keadaan di mana membiarkan orang lain
berpendapat, melakukan hal yang tidak sesuai atau sependapat dengan
kita, tanpa harus kita ganggu ataupun intimidasi. Dalam kontek sosial,
budaya, dan agama adalah sikap yang melarang adanya sikap diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda agama atau kepercayaan.31
Dalam arti luas, toleransi adalah sifat memberi kebebasan terhadap
sesama manusia atau masyarakat untuk menjalankan suatu keyakinan
serta mengatur hidupnya masing-masing dan tidak sampai pada
pertentangan terhadap terciptanya ketertiban dan perdamaian masyarakat.
28 Berasal dari kata dasar وسماحة - وسماحا - سمحا - ,yang mempunyai arti, murah hati سمحbersikap lunak, Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 657 29 Said Agil Husin Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Penerbit: Ciputat Press, Jakarta), hal. 13. 30 Zuhari Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, (Penerbit Fitrah: Jakarta Selatan, 2017), hal. 161. 31 Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi. di akses pada, rabu 14 Agustus 2019 pukul 21:55 WIB.
15
Dalam defenisi lain toleransi dalam perspektif kalangan muslim dapat
menjadi salah satu terobosan untuk melihat sejauh mana wacana toleransi
dibicarakan dari sudut pandang teologis. Oleh karena itu perlu dibedah
paradigma toleransi dari sudut pandang filsafat, sosiologi dan studi
kebudayaan lainnya.32
Menurut M. Dahlan Y. Al Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, menyatakan
toleransi atau tasamuh (dalam bahasa arab) dikaitkan maknanya dengan
kata tenggang rasa yang di maknai sikap atau sifat tidak saling
mengganggu (menentang atau kisruh) terhadap kebiasaan, perilaku,
pandangan, kepercayaan orang lain yang tidak sesuai dengan pandangan
diri sendiri.33
Menurut dewan Ensiklopedia Indonesia, menyebutkan toleransi
dalam aspek sosial, politik, merupaka suatu sikap membiarkan orang untuk
mempunyai suatu keyakinan yang berbeda. Selain itu menerima
pernyataan ini karena sebagai bentuk dari pengakuan dan menghormati
hak asasi manusia.34
Menurut Muhammad Yasir, Toleransi merupakan sikap terbuka
dalam menghadapi perbedaan, didalamnya terkandung sikap saling
menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing pihak. Dalam
kehidupan yang toleran, keseimbangan dalam hidup mendapatkan
prioritasnya. Keanekaragaman tidak diposisikan sebagai ancaman, namun
justru peluang untuk saling bersinergi secara positif. Piagam Madinah
adalah contoh lain yang Fenomenal dari praktek toleransi Islam yang
menolak mentah-mentah tuduhan Intoleransi yang dilontarkan para musuh
Islam, Piagam Medinah berisi penegasan tentang kesetaraan fungsi dan
kedudukan serta persamaan hak dan kewajiban antara umat muslim dan
umat-umat lain yang tinggal di Madinah.35
32 Ibid, Zuhairi Misrawi, hal. 160. 33 M. Dahlan Y. Al Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah (Surabaya: Targe Press, 2003), hal 777 34 Dewan Ensiklopedia Indonesia, Ensiklopedia Jilid 6 (Ikhtiar Baru van Hoeve, t.th), hal 3588 35 Muhammad Yasir, Makna Toleransi dalam Al-Qur’an, (JURNAL USHULUDDIN Vol. XXII
16
Menurut Umar Hasyim, toleransi adalah pemberian kebebasan
kepada sesama manusia atau kepada warga masyarakat untuk
menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan
nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan
sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat
asas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.36 Oleh
karena itu dapat dipahami bahwa toleransi mengandung konsensi, yaitu
pemberian yang hanya didasarkan kemurahan dan kebaikan hati. Toleransi
terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati
prinsip orang lain, tanpa mengorbankan prinsip sendiri.
Terdapat beberapa pendapat dari beberapa tokoh mengenai
masalah toleransi, secara khusus tentang toleransi antar umat beragama
yaitu; Ahmad Azhar Basyir dalam Buku “Akidah Islam” (beragama secara
dewasa), menyatakan bahwa toleransi beragama dalam Islam bukan
dengan cara mengidentikan bahwa semua agama sama saja, karena
semuanya mengajarkan kepada kebaikan. Ajaran semacam ini menurut
kaca mata Islam sama sekali tidak dapat diterima. Karena Islam secara
tegas telah memberikan penegasan bahwa agama yang benar dihadirat
Allah hanyalah Islam. Tetapi Islam juga mewajibkan kepada penganutnya
untuk bersikap hormat terhadap keyakinan agama lain, dan berbuat baik
serta berlaku adil terhadap penganut agama lain.37
Harun Nasution dalam buku “Islam Rasional Gagasan dan
Pemikiran” menyatakan bahwa toleransi beragama akan terwujud jika
meliputi 5 hal berikut:
Pertama, Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain.
Kedua, Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama. Ketiga,
Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama.
No. 2, Juli 2014), hal. 170. 36 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu 1979), hal 22. 37 Ahmad Azhar Basyir, Akidah Islam (Beragama Secara Dewasa), Edisi Revisi (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm 23.
17
Keempat, Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. Kelima, Menjauhi praktik
serang-menyerang antar agama.38
Kerukunan dan toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam
kehidupan antar-umat beragama bukanlah suatu toleransi yang bersifat
pasif. Tetapi aktif, aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan
orang lain serta aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan
antar bermacam-macam perbedaan. Karena kemerdekaan beragama bagi
seorang Muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi dari pada nilai
jiwanya sendiri.39
Perwujudan kerukunan dan toleransi beragama dapat direalisasikan
dengan; Pertama, bahwa setiap penganut agama mengakui eksistensi
agama-agama lain dan menghormati segala hak asasi pengikutnya. Kedua,
dalam pergaulan bermasyarakat, tiap golongan umat beragama
menekankan sikap saling mengerti, menghormati, dan menghargai.
Sehingga kerukunan dan toleransi ditumbuhkan oleh kesadaran yang
bebas dari segala macam bentuk tekanan atau terhindar dari pengaruh
hipokrisi (kemunafikan).40
2. Kebebasan Beragama
Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk
memilih agama dan keyakinannya, disamping kebebasan berfikir,
menyatakan pendapat, menuntut ilmu dan memiliki harta/benda.41 Semua
orang diberikan kebebasan untuk memilih keyakinan masing-masing tampa
harus dipaksa dan memaksa orang lain. Dalam pandangan Islam, seluruh
tatanan ajaran agama yang diterapkan Islam, baik yang berkaitan dengan
akidah, syariah maupun akhlak, bertumpu pada lima tujuan yang mendasar,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dari kelima tujuan
38 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hal. 275. 39 M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (Jakarta: Media Dakwah, 1988), hal. 205. 40 Sarjuni, & Didiek Ahmad Supadie, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 57. 41 Dede Rodin, Riddah dan Kebebasab Beragama dalam Al-Qur’an, (Jurnal, Vol.XIV, No. 2, Juli 2014), hal. 254.
18
tersebut, memelihara dan kebebasan berkeyakinan merupakan tujuan yang
tertinggi tingkatannya dan mendapat perhatian serius dalam Islam. Islam
sangat mementingkan pemeliharaan agama karena identitas yang
membedakan seseorang sebagai muslim dan kafir adalah apakah ia
meyakini dan beriman atau tidak terhadapat agama Islam.42
Al-Qur’an juga mengukuhkan bahwa kebebasan manusia paling
tinggi dan penting yang dijaminnya serta memiliki posisi yang paling
istimewa untuk dijaga adalah kebebasan berkeyakinan dan berakidah
(hurriyah al-‘aqidah), kemudian kebebasan berpendapat dan berekspesi
(hurriyah al-ta’bir), dan selanjutnya kebebasan-kebebasan lain yang
menjadi simbol kemanusiaan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menegaskan
bahwa kebebasan-kebebasan tersebut merupakan hak asasi manusia yang
dijamin dan harus dijaga.
Cukup banyak ayat al-Qur’an yang menegaskan ayat al-Qur’an
secara khusus adanya kebebasan berakidah dan larangan adanya
paksaaan dalam menentukan pilihan keyakinan atau mengubah apa yang
telah menjadi keyakinan. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa akidah
merupakan hak prerogatif setiap orang dan merupakan wilayah privasi
antara dirinya dengan Allah. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang
dapat memaksa akidah dan keyakinannya kepada orang lain atau
mengubah akidahnya atas nama apa pun dan dalam keadaan apa pun.
Sehingga sangat tepat ketika pemeliharaan agama menempati urutan
pertama dalam tingkatan al-mashlahah al-dharuriyyah.43
Ayat-ayat al-Qur’an berbicara tentang kebebasan beragama
setidaknya dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu: pertama, ayat-
ayat yang menyatakan bahwa setiap individu diberi kebebasan untuk
memilih keimanan atau kekufuran dengan konsekuensinya masing-masing
seperti ayat berikut ini :
42 Dede Rodin, Riddah dan Kebebasab Beragama dalam Al-Qur’an, (Jurnal, Vol.XIV, No. 2, Juli 2014), hal. 254. 43 Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), edisi Abdullah Darraz, Juz II, hal. 8.
19
الرشد من الغي لآإكراه ف ين قد ت ب ين ف قد استمسك فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن بالله الد
. ليم ع بالعروة الوث قى لا انفصام لا والله سميع
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256).
Asbabun Nuzul Ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki
muslim Ansar yang telah mulai dewasa, dan telah menjadi yahudi, ayah
anak tersebut memohonkan kepada Rasulullah saw. Supaya anak itu ditarik
ke Islam, sedangkan anaknya telah menjadi yahudi. Kemudian ayahnya
merintih “Belahan diriku sendiri masuk neraka, ya Rasulullah. Dan pada
saat itulah turun ayat ini menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam
beragama. menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi Muhammad saw hanya
memanggil anak-anak itu dan disuruh memilih, apakah mereka sudi
memeluk agama ayah mereka, yaitu Islam atau tetap dalam yahudi dan
turut di usir? Menurut Buya Hamka, ayat ini merupakan suatu tantangan
kepada manusia karena Islam adalah benar. Orang tidak akan dipaksa
memeluknya, tetapi orang hanya diajak untuk berpikir. Asal dia berpikir
sehat, dia pasti akan sampai pada Islam. Keyakinan suatu agama tidaklah
boleh dipaksakan dipaksakan sebab “Telah nyata kebenaran dan
kesesatan”. Orang boleh menggunakan akalnya untuk menimbang dan
memilih kebenaran itu, dan orang pun mempunyai pikiran waras untuk
menjauhi kesesatan.44
Menurut Zuhairi Misrawi dalam surah al-Baqarah ayat 256 ini patut
menjadi perhatian bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan
aspek toleransi dan kasih sayang yang telah digariskan oleh Allah SWT dan
Rasulullah saw. Tidak diperkenankan adanya paksaan, karena
44 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz III, (Jakarta: Pt Pustaka Panji mas, 1982), hal. 624.
20
sesungguhnya antara kebaikan dan kezhaliman itu sudah jelas. Memaskan
kehendak bukanlah hak manusia.45
Kedua, Nabi Muhammad saw, hanya diberi tugas sebagai
penyampai ajaran Allah, memberi kabar gembira dan peringatan. Beliau
tidak memiliki hak memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya,
sebagaimana ayat-ayat berikut ini :
ات بدون وما تكتمون م ماعلى الرسول إلا البلاغ والله ي علم
Artinya : Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan
Allah mengetahui apa yang lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan. (QS.
Al-Maidah [5]: 99)
ا عليك البلاغ وعلي وإن مانري نك ب عض الذي نعدهم أو ن ت وف نا الساب ي نك فإنArtinya: Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebagian (siksa) yang
Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka. (QS. Al-Ra’ad [13]: 40)
ر بالقرءان من ياف وعيد يهم بب نن أعلم با ي قولون ومآأنت عل ار فذك
Artinya: Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan,
dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka.Maka
beri peringatanlah dengan al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku.
(QS. Qaaf [50]: 45)
ليهم ومآأنت عليهم بوكيل والذين اتذوا من دونه أوليآء الله حفيظ ع Artinya: Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah, Allah mengawasi (perbuatan) mereka; dan kamu (ya
45 Zuhari Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, (Penerbit Fitrah: Jakarta Selatan, 2007), hal. 224.
21
Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka. (QS. Al-
Syura [42]: 6)
بوك ف قل ل عملى ولكم عملكم أنت م بريئون مآأعمل وأنا برىء ما ت عملون وإن كذArtinya: Jika mereka mendustaka kamu, maka katakanlah:"Bagiku
pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa
yang aku kerjakan dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan".
(QS. Yunus [10]: 41)
Ketiga, memberikan petunjuk (hidayah) dan menyesatkan manusia
hanya menjadi hak Allah SWT. Bukan hak manusia termasuk Nabi
Muhammad saw.
ليس عليك هداهم ولكن الله ي هدي من يشآء Artinya: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat
petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siap
yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Baqarah [2]: 272)
يعا أفأنت تكره الناس حت يكونوا مؤمنين ولو شآء ربك لأمن من ف الأرض كلهم ج
وماكان لن فس أن ت ؤمن إلا بإذن الله ويعل الرجس على الذين لاي عقلون )٩٩(Artinya: Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah ka(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (QS. Yunus [10]: 99-100)
ك لات هدي من أحببت ولكن الله ي هدي من يشآء وهو أعلم بالمهتدين إن Artinya: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashash [28]: 56)
22
Ayat-ayat tentang kebebasan beragama tersebut dikuatkan oleh
praktik kehidupan Nabi Muhammad saw.46 Yang menjelaskan visi teologis
dalam kebebasan memilih agama. Beliau sangat menghormati dan
berhubungan baik dengan penganut agama lain. Beliau pernah memerintah
para sahabat sahabat untuk berhijrah ke Habasyah yang berada dibawah
kekuasaan raja Najasyi yang beragama kristen dan termasuk federasi
Romawi. Peristiwa ini jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw.
Tidak apriori terhadap agama lain, bahkan meminta bantuan dan diterima
secara baik oleh penguasa Habasyah itu.47 Setelah hijrah ke Madinah,
disana Nabi Muhammad mengadakan perjanjian dengan komunitas-
komunitas agama lain yang dituangkan dalam Piagam Madinah (Shahifah
al-Madinah) yang secara jelas memberikan pengakuan atas agama-agama
lain sebagai satu umat di Madinah yang harus mempertahankan Madinah
dari musuh-musuhnya.
Adapun cara memelihara dan menjaga kebebasan agama ini, Abdal
Qadir Awdah menyebutkan 2 cara dalam memelihara serta menjaga
kebebasan beragama tersebut. Pertama, Mewajibkan manusia untuk
menghargai hak orang lain dalam akidah dan tidak boleh memaksa orang
lain untuk mengakui akidah tertentu. Kedua, Mewajibkan orang yang
mempunyai akidah untuk menjaga akidahnya.48
Dari beberapa argumentasi inilah secara jelas Islam tidak
membolehkan pemaksaan dalam memilih agama. Pemilihan agama
diserahkan kepada masing-masing individual untuk memeluknya. Namun
dalam realitanya, kebebasan beragama dan keyakinan merupakan hal
yang sangat penting untuk menegakkan hak-hak dasar yang dimiliki oleh
manusia (HAM).
46 Dede Rodin, Riddah dan Kebebasab Beragama dalam Al-Qur’an, (Jurnal, Vol.XIV, No. 2, Juli 2014), hal. 254-256. 47 Abd al-Salam Harun, Tahdzib sirah Ibn Hisyam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 72. 48 Abdal Qadir Awdah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami; Muqaranam bi al-Qanun al-Wad’i, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994), hal. 30-32.
23
3. Toleransi Beragama
Dari kajian ini menerangkan bahwa toleransi mengarah kepada
sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik
dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa,
serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah
menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman
Allah dalam dalam QS. Al-Hujurat ayat 13.
يآأي ها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وق بآئل إن أكرمكم عند الله
أت قاكم إن الله عليم خبي Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujuurat [49]: 13)
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan
demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan
dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat
beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang
ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan
kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna
kulit, adatistiadat, dan sebagainya.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas
menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain
atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa
adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus
dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain
selain agama kita dengan segala bentuk sistem, dan tata cara
peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan
agama masing-masing. Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah
24
rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya
dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata
kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama
dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan
mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam
melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun.
Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”,
tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Dalam Islam toleransi bukanlah fatamorgana atau bersifat semu, Tapi
memiliki dasar yang kuat dan tempat yang utama.49
a) Dasar-Dasar Toleransi Beragama
Meskipun al-Qur’an memberi penegasan bahwa Islam adalah satu-
satunya agama yang diterima Allah Swt. Tetapi dalam waktu yang sama,
al-Qur’an juga melarang melakukan paksaan kepada siapa pun untuk
memeluk suatu agama sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah
256.
الرشد من الغي ين قد ت ب ين ف قد استمسك فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن بالله لآإكراه ف الد
.ليم ع بالعروة الوث قى لا انفصام لا والله سميع Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)
Selain itu, di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 40 ayat yang berbicara
mengenai larangan memaksa dan membenci. Lebih dari sepuluh ayat
bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir,
49 Muhammad Yasir, Makna Toleransi dalam Al-Qur’an, Jurnal Ushuluddin Vol. XXII No. 2, Juli 2014, hal. 171-172.
25
berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi.50 Manusia diberi kebebasan
sepenuhnya untuk menentukan pilihannya sendiri, apakah menerima
kebenaran Islam atau menolaknya.
Konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah Islam mengakui bahwa
umat manusia di atas dunia ini tidak mungkin semuanya bersepakat dalam
segala hal, termasuk dalam masalah keyakinan beragama.
b) Bentuk-Bentuk Toleransi Beragama
1) Tidak memaksa dalam beragama.
2) Menghormati keyakinan orang lain.
3) Saling tolong-menolong dalam mu’amalah dunia.
4) Tidak boleh saling mencaci sesembahan.
5) Berbuat adil.
c) Praktek Toleransi Beragama
Sejarah panjang umat Islam telah melahirkan teladan bagi paham
kemajemukan dan kebebasan beragama. Hal itu terjadi bukan tidak
beralasan, karena Rasulullah sendiri penggagasnya seperti yang tertera
dalam piagam madinah (Mitsaq al-Madinah) dalam ruang dan waktu ketika
itu. Meskipun dalam bentuk sederhana, tetapi piagam tersebut telah
menjamin sebuah kebebasan kepada pemeluk agama yang berbeda untuk
menjalankan keyakinannya sesuai dengan ajaran agamannya masing-
masing.51
Masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab adalah masa
ekspansi Islam ke daerah-daerah yang berada di luar Jazirah yang
sebelumnya banyak memeluk agama Kristen. Ketika umat Islam berhasil
merebut kemenangan di Baitul Maqdis Palestina, Khalifah Umar sendiri
berangkat menuju Baitul Maqdis. Beliau menandatangani satu perjanjian
dengan orang-orang Nasrani yang berisi jaminan terhadap jiwa, harta
benda, gereja-gereja, salib-salib dan lainnya yang berhubungan dengan
50 Hamid Fahmy Zarkasyi, Islam, HAM dan Kebebasan Beragama (Jakarta: INSIST, 2011), hal. 16. 51 Ma’ruf Amin, Melawan Terorisme Dengan Iman (Jakarta: Tim Penanggulangan Terorisme), hlm. 141.
26
umat beragama. Hubungan yang diajarkan Islam dengan umat beragama
lain di atas bukan hanya berupa teori atau slogan saja akan tetapi suatu
sikap nyata yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Dan para
sahabatnya enam belas abad silam.
4. Ayat-ayat Toleransi dan Kebebasan Beragama
Melalui kitab yang mulia yaitu Al-Qur’an. Allah Swt telah menjelaskan
tentang toleransi dan kebebasan beragama. Antara lain, tentang ayat-ayat
yang berkaitan dengan toleransi dan kebebasan beragama. Sesuai dengan
pembahasan tentang tesis ini. Maka titik tolak dan dasar pemikiran yang
punulis pakai adalah pemikiran Hamka tentang ayat-ayat toleransi dan
kebebasan beragama dalam Al-Qur’an yang dijelaskan dalam kitab
karangan Hamka yaitu Tafsir Al-Azhar. Mengingat banyaknya ayat-ayat
tentang toleransi dan kebebasan beragama yang terdapat dalam Al-Qur’an,
maka dalam pembahasan ini penulis hanya menyampaikan beberapa ayat
saja yang berkaitan dengan masalah toleransi dan kebebasan bergama.
Adapun ayat-ayat yang berhubungan dengan toleransi dan kebebasan
beragama, antara lain:
1. Ayat-ayat Toleransi
a) Surah Al-Baqarah ayat 139 dan 213
ون ناف الله وهورب نا وربكم ولنا أعملنا ولكم أعملكم ونن له ملصون قل أتاج
Artinya: Katakanlah:"Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Rabb Kami dan Rabb Kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya mengikhlaskan hati, (QS. Al-Baqarah ayat 139)
ين مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتاب بالق كان الناس أمة واحدة ف ب عث الله النبي
ليحكم ب ين الناس فيما اخت لفوا فيه وما اخت لف فيه إلا الذين أوتوه من ب عد ماجآءت هم
ن هم ف هدى الله الذين ء امنوا لما اخت لفوا فيه من الق بإذنه والله ي هدي من الب ي نات ب غيا ب ي
27
يشآء إل صراط مستقيم Artinya: Manusia itu adalah ummat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang merekaperselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Baqarah ayat 213) b) Surah Al-a’raf ayat 199
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الاهلين Artinya: Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh (QS. Al-A’raf
ayat 199).
c) Surah Al-Anfal ayat 61
وإن جنحوا للسلم فاجنح لا وت وكل على الله إنه هو السميع العليم
Artinya: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawwakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Anfal ayat 61). d) Surah Yunus ayat 41
هم من لاي ؤمن به وربك أعلم هم من ي ؤمن به ومن بالمفسدين ومن
Artinya: Jika mereka mendustaka kamu, maka katakanlah:"Bagiku
pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa
yang aku kerjakan dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan
(QS. Yunus ayat 41).
28
e) Surah An-Nahl ayat 125
هو أعلم ادع إل سبيل ربك بالكمة والموعظة السنة وجادلم بالت هي أحسن إن ربك
بن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl ayat 125). f) Surah Al-Kahfi ayat 29
اط وقل الق من ربكم فمن شآء ف لي ؤمن ومن شآء ف ليكفر إنآ أعتدنا للظالمين نارا أح
جوه بئس الشراب وسآءت مرت فقابم سرادق ها وإن يستغيثوا ي غاثوا بآء كالمهل يشوي الو Artinya: Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek (QS. Al-Kahfi ayat 29). g) Surah Al-Hajj ayat 67
هدى لكل أمة جعلنا منسكا هم ناسكوه فلا ي نازعنك ف الأمر وادع إل ربك إنك لعلى
مستقيم Artinya: Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang
mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus (QS. Al-Hajj ayat 67).
29
h) Surah Al-Qashash ayat 77
ن يا وأحسن كمآأحسن الله إلي ار الأخرة ولات نس نصيبك من الد ك واب تغ فيمآءاتاك الله الد
دين ولات بغ الفساد ف الأرض إن الله لايب المفس Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash ayat 77). i) Surah Al-Hujurat ayat 11-12
من نسآء هم ولانسآء من ق وم عسى أن يكونوا خي را من يأي ها الذين ءامنوا لايسخر ق وم
عد سى أن يكن خي را من هن ولات لمزوا أنفسكم ولات ناب زوا بالألقاب بئس الإسم الفسوق ب ع
من ياأي ها الذين ءامنوا اجتنبوا كثيا ) ١١(الإيمان ومن ل ي تب فأولائك هم الظالمون
ولاتسسوا ولاي غتب ب عضكم ب عضا أيب أحدكم أن يأكل الظن إن ب عض الظن إث
رحيم )١٢(لم أخيه ميتا فكرهتموه وات قوا الله إن الله ت وابArtinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim, Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya
30
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat ayat 11-12) j) Surah Al-Mumtahanah ayat 8-9
ين ول يرجوكم من دياركم أن ت ب روهم و هاكم الله عن الذين ل ي قاتلوكم ف الد ت قسطوا لاي ن
ها )٨(إليهم إن الله يب المقسطين ا ي ن ين وأخرجوكم إن كم الله عن الذين قات لوكم ف الد
م فأولئك هم الظالمون .من دياركم وظاهروا على إخراجكم أن ت ولوهم ومن ي ت ول
Artinya: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil, Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9). 2. Ayat-ayat Kebebasan Beragama
a) Surat Al-Baqarah ayat 259
الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن بالله ف قد استم ين قد ت ب ين سك لآإكراه ف الد
.بالعروة الوث قى لا انفصام لا والله سميع عليم Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256) b) Surat Yunus ayat 99
يعا أفأنت تكره الناس حت يكونوا مؤمنين ولو شآء ربك لأمن من ف الأرض كلهم جArtinya : Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah ka(hendak) memaksa
31
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.
(QS. Yunus: 99)
c). Surat Al-Kahfi ayat 29 من ربكم فمن شآء ف لي ؤمن ومن شآء ف ليكفر إنآ أعتدنا للظالمين نارا أحاط وقل الق
قا بم سرادق ها وإن يستغيثوا ي غاثوا بآء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وسآءت مرت ف Artinya : Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi : 29)
d). Surat Al-An’am ayat 108
ة عملهم ولاتسبوا الذين يدعون من دون الله ف يسبوا الله عدوا بغي علم كذلك زي نا لكل أم
م مرجعهم ف ي نبئ هم با كانوا ي عملون ث إل رب
Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al-An’am : 108)
e). Surat Asy Syura ayat 15
أمرت فلذلك فادع واستقم كمآ أمرت ولات تبع أهواءهم وقل ءامنت بآ أنزل الله من كتاب و
نكم الله يمع لأعدل ب ي ن نا وب ي نكم الله رب نا وربكم لنآأعمالنا ولكم أعمالكم لاحجة ب ي
ن نا وإليه المصي ب ي Artianya : Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan
tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti
32
hawa nafsu mereka dan katakanlah:"Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". (QS. Asy Syura : 15)
f). Surat Al-Kafirun ayat 1-6
) ٣(ولآأنتم عابدون مآأعبد )٢(لآأعبد مات عبدون )١(قل ياأي ها الكافرون ولآأنا عابد
لكم دينكم ول دين )٥(ولآأنتم عابدون مآأعبد )٤(ماعبدت
Artinya : Katakanlah:"Hai orang-orang kafir!, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah, Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku (QS. Al-Kafirun : 1-6)
g). Surat Lukman ayat 15
ن يا وإن جاهداك على أن تشرك ب م هما ف الد اليس لك به علم فلا تطعهما وصاحب
معروفا واتبع سبيل من أناب إل ث إل مرجعكم فأن بئكم با كنتم ت عملون
Artinya : Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman :15). B. Penelitian yang Relevan
Dalam sebuah penelitian, studi relevan adalah salah satu bagian
yang penting, karena dalam penelitian-penelitian memerlukan pengetahuan
atas penelitian terdahulu atau kepustakaan yang membahas topik serupa.
Hal ini dimaksudkan agar dapat memperjelas batasan dengan penelitian
sebelumnya. Sejauh ini kajian dan penelitian tentang toleransi beragama
telah banyak dilakukan oleh banyak kalangan baik itu dalam bentuk buku,
jurnal dan tesis. Diantara sebagian yang penulis kutip adalah:
33
Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme, karya Zuhairi Misrawi. Dalam buku ini, Zuhairi lebih
cendrung untuk mencoba memberikan pencerahan tafsir keagamaan yang
moderat sesuai dengan konteks dinamika zaman dengan sudut pandang
filsafat dan sosiologi, akan tetapi masih dalam khazanah Islam klasik.
Dengan menginventarisasi, mengumpulkan dalam beberapa tema kecil,
dan kemudian menafsirkan ayat-ayat tentang toleransi kemudian di
kontekstualisasikan dengan konteks ke Indonesia-an, agar mampu
menyelamatkan Al-Qur’an dari Ideologisasi dan fungsionalisasi ekstrim,
sehingga Al-Qur’an tetap menjadi kitab suci pembawa pesan kedamaian.52
Rahman Asri Pohan dalam bukunya berjudul toleransi inklusif,
menampak jejak sejarah kebebasan dalam piagam madinah. Dalam buku
ini beliu mengulas historisitas toleransi yang dibangun masyarakat Islam
pada masa awal terutama mengacu pada piagam madinah yang dipimpin
oleh Nabi untuk membentuk Negara yang aman, damai, serta toleran atar
sesama, baik itu dimensi kenegaraan dan politik yang dibangun dalam
Islam. Sehingga menjadi pedoman dalam tatanan kehidupan sosial
pragmatis.53
Sufa’at Mansur dalam bukunya Toleransi dalam Islam, menjelaskan
tentang pedoman dalam kehidupan bermasyarakat yang menjemuk dan
multicultural perspektif normative.Dengan menyajikan kasus_kasus
intoleransi yang kemudian pada bagian selanjutnya menjelaskan
bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an berbicara terkait relasi dalam kehidupan
sosial.54
Mukhlis dalam dalam bukunya Inklusifisme Tafsir al-Azhar dalam
buku ini memberikan pemaparan tentang pluralisme agama dengan
menggunakan teori keberagamaan yang dikemukakan Komaruddin
52 Zuhari Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah, 2007), hal.19. 53 Rahmad Asri pohan, Toleransi Inklusif, Menapak Jejek Sejarah Kebebasan dalam Piagam Madinah, (Yogyakarta: KAUKABA, 2013), hal. 1. 54 Sufa’at Mansur, Toleransi dalam Islam, (Yogyakarta: Harapan Kita, 2012), hal iii-viii.
34
Hidayat. Secara metodis buku ini mengarah kepada prinsip inklusifisme
dalam Tafsir al-Azhar mengenai pluralisme agama.55
Tulisan Muhammad Ridho Dinata dalam Jurnal Esensia berjudul
“Konsep Toleransi Beragama Dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Karya Tim
Departemen Agama Republik Indonesia”.Tulisan ini mengkaji sekaligus
menganalisis konsep Toleransi dalam tafsir tematik yang diterbitkan
Departemen Agama (Kementrian Agama). Ridho melakukan analisis
menggunakan teori A. Van Dijk.56
Kemudian ada juga tulisan dari Lely Nisvilyah yang menulis tentang
Toleransi Antar Umat Beragama dalam Memperkokoh Persatuan dan
Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam dan Kristen Dusun Segaran
Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto). Tulisan ini mengkaji tentang
nilai-nilai agama dan nilai budaya yang meliputi: nilai kemanusiaan, nilai
nasionalisme, nilai historis, nilai keteladanan tokoh masyarakat dan nilai
kesabaran. Penelitian beliau ini ditinjau dari toleransi beragama dan
toleransi sosialnya.57
Penelitian Rofiqah, Tesis, Kementrian Agama Pascasarjana
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015. Berjudul
“Penanaman Sikap Toleransi Beragama dalam Pendidikan Agama Islam
(Studi Atas Agama Islam, Kristen, dan Katolik di SMK YPKK 2 Sleman
Yogyakarta). Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana penanaman sikap
toleransi beragama dalam pendidikan agama Islam, Kristen, dan Katolik.
Penelitian ini mencoba mendiskripsikan metode dan strategi yang
digunakan pendidikan agama Islam, Kristen, dan Katolik dalam menanam
sikap toleransi beragama terhadap peserta didik di SMP YPKK 2 Sleman
Yogyakarta.58
55 Mukhlis, Inklusifisme Tafsir al-Azhar, (Mataram: IAIN Mataram Press, 2014), hal 18. 56 Muhammad Ridho Dinata, Konsep Toleransi Beragama Dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Karya Tim Departemen Agama Republik Indonesia, Esensia, Vol XIII No. 1 Januari 2012. 57 Lely Nisvilyah, Toleransi Antar Umat Beragama dalam Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam dan Kristen Dusun Segaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto), Jurnal, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013. 58 Rofiqah, “Penanaman Sikap Toleransi Beragama dalam Pendidikan Agama Islam (Studi
35
Penelitian Nur Kholis, yang berjudul “Abdurrahman Wahid tentang
Toleransi Antar Umat Beragama dan Implementasi dalam Pendidikan
Agama Islam”. Beliau meneliti tentang konsep pemikiran toleransi Gus Dur
dan Implementasinya di dalam pendidikan agama Islam. Tulisan ini
mengkaji tentang konsep toleransi antar umat beragama dalam pendidikan
agama Islam dengan mengkaji teori-teori yang dituangkan oleh tokoh
Abdurrahman Wahid.59
Penelitian Syamsul Hadi, Tesis, program pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta 2015. Berjudul “Abdurrahman Wahid Pemikiran
Tentang Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia. Tulisan ini
mengkaji mengenai tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
kedudukan Islam, kehidupan kebangsaan Indonesia, dan hubungan antar
agama di Indonesia.60
Dari penelitian-penelitian yang penulis sebutkan diatas baik dari
buku, jurnal dan tesis, memiliki persamaan dalam penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis yaitu sama-sama mengkaji tentang toleransi dan
kebebasan beragama. akan tetapi yang menjadi pembeda antara
penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian penulis adalah disini
penulis lebih fokus terhadap pandangan Hamka terhadap toleransi dan
kebebasan beragama menurut kitab tafsirnya yang populer di indonesia
yaitu Tafsir al-Azhar. Serta penulis juga melihat bagaimana Hamka melihat
bentuk-bentuk toleransi yang tidak sesuai menurut pandangan beliau.
Atas Agama Islam, Kristen, dan Katolik di SMK YPKK 2 Sleman Yogyakarta), Tesis, Kementrian Agama Pascasarjana Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015. 59 Nur Kholis, Abdurrahman Wahid tentang Toleransi Antar Umat Beragama dan Implementasi dalam Pendidikan Agama Islam, Tesis Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014. 60 Syamsul Hadi, Abdurrahman Wahid Pemikiran Tentang Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia, Tesis, program pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta 2015.
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian (Metode Penelitian)
Penelitian ini pada dasarnya bersifat kualitatif yang berusaha
memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa dalam situasi tertentu
menurut perspektif penelitian sendiri. Penelitian kualitatif mengutamakan
penghayatan atau menafsirkan makna dalam suatu situasi atas objek
penelitian. Dalam hal ini, peneliti melakukan analisis objek penelitian
menggunakan metode analisis bahasa dan konsep. Analisis bahasa adalah
usaha untuk mengetahui arti sesungguhnya dari sesuatu atau usaha untuk
mengadakan interprestasi pendapat mengenai makna yang dimilikinya.
Sedangkan analisis konsep adalah analisis kata-kata atau istilah-istilah
yang menjadi kunci pokok yang mewakili suatu gagasan. Analisis bahasa
itu memberika interpretasi dari suatu pendapat, sedangkan analisis konsep
mengurai kata kunci yang menjadi sample konsep.61
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data denga tujuan dan kegunaan tertentu. Untuk mencapai
tujuan ilmiah, maka penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan
dengan berdasarkan pada kajian pustaka (Library research).62
Penelitian sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran, harus
didasari oleh proses berfikir ilmiah yang dituangkan dalam metode ilmiah.
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos, terdiri dari dua kata
yaitu meta (menuju, melalui, mengikuti) dan hodos (jalan, cara, arah). Arti
kata methodos adalah metode ilmiah yaitu cara melakukan sesuatu
menurut aturan tertentu. Arti kata methodos adalah metode ilmiah yaitu cara
melakukan sesuatu menurut aturan tertentu. Adapun metodologi berasal
dari kata metode dan logos, yang berarti ilmu yang membicarakan tentang
61 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan : Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hal. 23. 62 Husaini Usman & Purnomo S. Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Cet. Ke-4 (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hal. 81.
37
metode. Melihat dari pengertiannya, metode dapat dirumuskan suatu
proses atau prosedur yang sistematik berdasarkan prinsip dan teknik ilmiah
yang dipakai oleh disiplin (Ilmu) untuk mencapai suatu tujuan.63
Dapat dipahami bahwa penelitian merupakan upaya seseorang agar
mengetahui jawaban tentang masalah dengan cara sistematis dan ilmiah
yang berkaitan dengan asas, norma dan kenyataan yang akan diteliti.
Tanpa adanya penelitian, pengetahuan tidak akan bertambah maju.
Padahal pengetahuan adalah dasar semua tindakan dan usaha. Jadi
penelitian sebagai dasar untuk meningkatkan pengetahuan harus diadakan
agar meningkat pula pencapaian usaha-usaha manusia.64 Oleh karena itu
menjelaskan pendekatan penelitian yang akan digunakan adalah aspek
yang sangat penting dalam suatu penelitian, pendekatan penelitian yang
sesuai dengan tujuan penelitian akan mendukung kemudahan bagi
penelitian dalam menjalankan proses penelitian yang akan dijalankan.65
B. Jenis dan Sumber Data
Adapun Jenis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (Library research) dengan pendekatan kualitatif,
yaitu data yang berbentuk kalimat, kata atau gambar. Data kualitatif juga
dapat didefenisikan sebagai data yang berbentuk kategorisasi, karakteristik
berwujud pertanyaan atau kata-kata.66 Sedangkan sumber data dalam
penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.67
Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat
menggunakan sumber primer dan sumber sekunder.68 Sumber data primer
adalah data literatur yang berkaitan langsung dengan topik pembahasan
63 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 22. 64 Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,(Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal. 59. 65 Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan sosial (Kuantitatif dan Kualitatif) (GPPress: Jakarta, 2008), hal. 251. 66 Nanang Martono, Metode Penelitian Sosial: Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hal. 64. 67 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,(Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal. 172. 68 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015), hal. 308.
38
sedangkan data sekunder adalah data pendukung yang telah disusun,
dikembangkan, di olah kemudian tercatat dan memiliki hubungan dengan
pembahasan guna memudahkan proses penelitian.69
Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Tafsir karya Hamka yang berjudul Tafsir al-Azhar. Sedangkan data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa karya-karya yang
mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
Bisa berbentuk buku, jurnal, maupun artikel-artikel. Khususnya karya-karya
dari Hamka yang berbicara tentang toleransi dan kebebasan beragama
dalam al-Qur’an dan lain sebagainya yang tentunya akan menjadi landasan
teori dan kerangka acuan guna menghasilkan pemahaman yang lebih
mendalam terhadap sosial kemasyarakatan dalam al-Qur’an dan
terwujudnya masyarakat yang toleran.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian,karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data. Tanpa pengetahuan teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak
akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.70
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data melalui Riset
Kepustakaan, maka peneliti juga menerapkan pengambilan data secara
langsung melalui hasil bacaan dengan cara mengumpulkan data sebanyak
mungkin guna memperkaya analisis serta mengumpulkan data-data akurat
dan mengutip buku-buku yang relevan dengan masalah yang peneliti teliti,
kemudian mengidentifikasi data-data tersebut sesuai dengan kebutuhan
peneliti, dengan melakukan beberapa langkah seperti mengumpulkan dan
menghimpun data dan informasi yang dikumpulkan dari literatur-literatur
seperti kitab-kitab dan buku-buku yang akan dibahas.
69 Juliansyah Noor, Op. Cit., hal. 137. 70 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 185.
39
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mengsintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan
apa yang dapat diceritakannya kepada orang lain.71 Otaknya penelitian
kualitatif berada pada analisis data. Analisis data memerlukan daya kreasi
dan kemampuan intelektual yang tinggi. Menjadi sangat tidak berarti apa-
apa data yang banyak hasil dari lapangan apabila peneliti adalah orang
yang terbatas dalam kapasitas intelektualnya, ia terbatas dalam kapasitas
berfikir reflektif, kreatif dan analitik.72
Proses analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha
memaknai data yang berupa teks atau gambar. Untuk itu, peneliti perlu
mempersiapkan data tersebut untuk dianalisis, melakukan analisis yang
berbeda, memperdalam pemahaman terhadap data tersebut, menyajikan
data dan membuat intepretasi makna yang lebih luas akan data tersebut.73
Adapun analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisa isi (Content Analysis). Dalam penelitian kualitatif, terutama dalam
strategi verifikasi kualitatif, teknik analisis data ini dianggap sebagai teknik
analisis data yang paling sering digunakan. Namun selain itu pula, teknik
analisis ini dipandang sebagai teknik analisis data yang paling umum.
Artinya, teknik ini adalah yang paling abstrak untuk menganalisis data-data
kualitatif.74
Analisis isi dapat muncul dari ketertarikan peneliti pada sebuah
simbol atau pesan yang ditampilkan di media massa. Secara umum,
analisis isi berupaya mengungkap berbagai informasi dibalik data yang
71 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hal. 248. 72 Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 199. 73 Creswell, Jhon W, Research Design, terjemahan Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 247. 74 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 283.
40
disajikan di media atau teks: artikel atau berita di koran, iklan, film dan
sebagainya. Analisis ini juga dapat digunakan dalam penelitian yang
bertujuan eksploratif, deskriptif dan eksplanatif. Tema analisis ini pun
sangat beragam, bahkan hampir semua penelitian dapat menggunakan
analisis isi asal sumber datanya tersedia dengan lengkap. Hasil penelitian
analisis isi memiliki dampak yang sangat luas bagi masyarakat serta
mampu memberikan informasi mengenai banyak hal yang selama ini tidak
menjadi perhatian masyarakat.75
Fungsi utama al-Qur’an adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat
manusia, petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa
juga disebut sebagai syari’at. Dalam syari’at ditemukan sekian banyak
rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah yang berarti larangan; ada
pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang
berwarna hijau yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan.
Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia
merupakan faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya.
Demikian juga dengan lampu-lampu merah atau larangan-larangan
agama. 76 Artinya al-Qur’an berisikan pesan-pesan ataupun lambang-
lambang yang berfungsi memberikan petunjuk bagi manusia, termasuk di
dalamnya petunjuk tentang bagaimana menerapkan toleransi dalam
kehidupan beragama.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan
Content Analysis untuk menganalisis ayat-ayat yang berkenaan ataupun
berhubungan dengan toleransi dan kebebasan beragama, karena peneliti
menilai bahwa teknik analisis ini cocok untuk mengungkapkan pesan-pesan
yang disampaikan al-Qur’an kepada umat manusia melalui kitab tafsir karya
cendikiawan Indonesia yakni Hamka.
Dalam menganalisis pesan-pesan yang terdapat didalam al-Qur’an,
peneliti menggunakan beberapa langkah yaitu, menetapkan masalah yang
75 Nanang Martono, Op. Cit., hal. 22-23. 76 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2013), hal, 37.
41
akan dibahas, dalam tesis ini peneliti menggunakan dua tema yaitu
Toleransi dan Kebebasan Beragama. Selanjutnya peneliti melacak dan
menghimpun masalah yang dibahas tersebut dengan menghimpun ayat-
ayat al-Qur’an yang membicarakannya, kemudian menata ayat-ayat
tersebut secara kronologis, (sebab turunnya), mendahulukan ayat
makkiyah dari madaniyah, dan disertai pengetahuan tentang latar belakang
turunnya ayat (asbab al-nuzul). al-Qur’an sebagai petunjuk diturunkan
demikian rupa agar mudah dipahami dan ringan diamalkan oleh orang-
orang yang beriman. Untuk kepentingan itulah al-Qur’an diturunkan secara
evolusioner dan tercicil sedikit demi sedikit, dalam waktu yang cukup
panjang dengan maksud supaya benar-benar mudah dihayati oleh
siapapun yang menerimanya. Proses penurunan al-Qur’an tampak didesain
sedemikian rupa sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan manusia
dalam memecahkan problema yang muncul pada waktu itu dan untuk
dikenang seterusnya. Latar belakang dan situasi penurunan al-Qur’an inilah
pada intinya yang mendorong para ahli ilmu-ilmu al-Qur’an berkereasi untuk
melakukan penalaran terhadapnya dengan merangkainya menjadi teori
keilmuan yang kemudian dikenal dengan sebutan ilmu Asbab al-Nuzul.77
Itulah mengapa ilmu ini sangat penting dalam membantu proses penggalian
makna-makna al-Qur’an.
Menurut Al-Zarqoni Asbab Al-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu
yang terjadi serta hubungan dengan al-Qur’an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.” 78 Sedangkan menurut
Mana’ Al-Qatthan Asbab Al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa
itu terjadi, baik berupa suatu kejadian atau berupa pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi.”79
77 M. Amin Suma, Ulumul Qur’an. (Jakarta: Rajawalipress, 2014), hal. 209-210. 78 Abdul Azhim Al-Zarqoni, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,1995), Jilid I, hal. 89. 79 Manna’ Al-Qatthan , Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), hal. 74.
42
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa Asbab Al-Nuzul adalah
segala sesuatu yang menjadikan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an, baik
untuk mengomentari, menjawab ataupun menerangkan hukum, pada saat
sesuatu itu terjadi. Selain itu Asbab Al-Nuzul adalah peristiwa yang terjadi
pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu tidak boleh ada jalan lain
untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan yang benar (Naql Al-
Shohih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya
ayat Al-Qur’an.80
Al-Wahidi berpendapat bahwa tidak akan mungkin bisa menafsirkan
ayat Al-Qur’an dan mengetahui maknanya, tanpa mengetahui kisah dan
sebab turunnya,81 hal ini senada dengan pendapat Al-Suyuthi. Di samping
itu ia juga menyertakan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa
penguasaan Asbab Al-Nuzul merupakan unsur penentu dalam memahami
sebuah ayat, karena sesungguhnya pengetahuan tentang “sebab” akan
melahirkan pengetahuan tentang “akibat”.82
Al-Zarqoni dan Al-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang
berpendapat bahwa mengetahui Asbab Al-Nuzul merupakan hal yang sia-
sia dalam memahami al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba
memahami Al-Qur’an dengan meletakkannya dalam kontek historis itu
sama halnya dengan membatasi pesan-pesan pada ruang dan waktu
tertentu.83
Untuk lebih terperinci, para Ulama menyebutkan beberapa manfaat
Asbab Al-Nuzul. antara lain;
1. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an bagi
ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah
sebab yang bersifat khusus (Khusus Al-Sabab) dan bukan lafadz
yang bersifat umum, seperti dalam pemulaan (QS. Al-Mujadalah)
80 Al-Zarqoni, Op. Cit., hal. 95. 81 Abi al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-Wahidi, Asbab An-Nuzul, (Saudi Arabia: Dar al-Maiman, 2005), hal. 41. 82 Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah Risalah, 2008), hal. 71. 83 Rosihon Anwar, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 62.
43
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian
umum, seperti dalam (QS. Al-Anam: 145)
3. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya turunnya
ayat Al-Qur’an, seperti dalam (QS. Al-Ahqof: 17)
4. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian
dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an, seperti dalam (QS. Al-
Baqarah: 115).84
Pada tahapan selanjutnya. Peneliti menyusun runtutan ayat-ayat al-
Qur’an sesuai dengan masa turunnya dan memahami korelasi
(Munasabah) ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing. Korelasi
ayat dan surat al-Qur’an yang termasuk bidang kajian ilmu Munasabah
merupakan salah satu diskursus yang sempat menyita perhatian sejumlah
pakar dalam lintasan perkembangan sejarah studi al-Qur’an, mulai dari
yang klasik hingga modern-kontemporer, karena ia mempunyai peran yang
sangat penting dalam memahami konteks redaksional al-Qur’an. Hal ini
terindikasi ketika suatu ayat atau surat diturunkan tanpa diiringi oleh Asbab
al-Nuzul-nya, atau ada Asbab al-Nuzul-nya tetapi belum mengantarkan
pada kejelasan makna ayat atau surat yang dimaksud. Oleh karena itu,
dengan adanya wawasan pengetahuan dan pemahaman tentang korelasi
ini dapat membantu memperjelas konteks redaksional ayat atau surat
tersebut.85
Munasabah dari segi bahasa bermakna kedekatan.86 Sedangkan
secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para
ulama terkait dengan ilmu Munasabah ini. Imam al-Zarkasyi salah satunya,
memaknai Munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian
permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal
khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat
84 Al-Zarqoni, Op. Cit., hal. 91-94. 85 Ahmad Syukri Saleh, Korelasi Ayat dan Surat, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2014), hal. 1-2. 86 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), hal. 243.
44
dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).87
Menurut Imam al-Suyuti, sekurang-kurangnya ada tujuh macam
Munasabah Al-Qur’an, yaitu :
1. Munasabah antara surat yang satu dengan surat sebelumnya;
2. Munasabah antara nama surat dengan tujuan turunnya;
3. Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu
ayat;
4. Munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu surat;
5. Munasabah antara kalimat penutup ayat (fasilah) dengan kandungan
ayatnya;
6. Munasabah antara awal uraian dengan akhir uraian suatu surat, dan
7. Munasabah antara penutup satu surat dengan awal surat
berikutnya.88
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang Munasabah
bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan
ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para
sahabatnya. Oleh karena itu tidak ada keharusan mencari Munasabah pada
setiap ayat. Alasannya Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh sebab itu,
terkadang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang
lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia
tidak diperkenankan memaksakan diri.89
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah untuk
mencari Munasabah. Berikut ini adalah langkah-langkah yang biasa
ditempuh oleh ahli tafsir mutaakhirin dan dipandang dapat memudahkan
mencari Munasabah, yaitu:
1. Memperhatikan tujuan yang dibahas dalam surat.
87 Badr al-Din Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al Burhan fi ulum Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Turats, 1957), hal. 35. 88 Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), hal.37. 89 Rosihon Anwar, Op. Cit., hal. 83.
45
2. Memperhatikan uraian-uraian dari ayat-ayat sesuai dengan tujuan
yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkat uraian-uraian itu; apakah ada hubungannya atau
tidak ada.
4. Ketika menarik kesimpulan dari uraian-uraian tersebut harus
memperhatikan ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak
berlebih-lebihan.90
Setelah memahami korelasi ayat, peneliti menyusun pembahasan
dalam kerangka yang sempurna, sistematis dan utuh kemudian melengkapi
penjelasan ayat dengan hadits, riwayat sahabat, dan lain-lain yang relevan
bila dipandang perlu sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna
dan semakin jelas. sehingga kesemuanya bertemu dalam suatu muara
tanpa perbedaan atau pemaksaan sehingga lahir satu kesimpulan tentang
pandangan Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar-nya menyangkut tema yang
peneliti bahas.
E. Verifikasi Data
Tahap ini merupakan tahap penarikan kesimpulan dari semua
data yang telah diperoleh sebagai hasil dari penelitian. Penarikan
kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk mencari atau memahami
makna/arti, keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat atau
proposisi. Menarik kesimpulan penelitian selalu harus mendasarkan diri
atas semua data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian. Dengan kata
lain, penarikan kesimpulan harus didasarkan atas data, bukan atas angan-
angan atau keinginan peneliti. Adalah salah besar apabila kelompok peneliti
membuat suatu kesimpulan yang bertujuan menyenangkan hati pemesan
dengan cara memanipulasi data.91
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab
rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak,
90 Nawir Yuslem, Op. Cit., hal. 45. 91 Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal. 385.
46
karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah
dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang
setelah peneliti berada dilapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif
adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang
sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti
menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau
teori.92
F. Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah memahami Tesis ini serta penulisannya lebih
sistematis, maka penulis membaginya menjadi beberapa bab sebagai
berikut:
Bab Pertama, merupakan pendahuluan dalam bab ini yang meliputi:
latar belakang masalah, rumusan masalah, fokus penelitian, tujuan dan
kegunaan penelitian.
Bab Kedua, menjelaskan tentang landasan teori dan penelitian
relevan, 1. Toleransi, 2. Kebebasan beragama, 3. Toleransi beragama.
Bab Ketiga, menjelaskan tentang metodologi penelitian, 1.
Pendekatan penelitian, 2. Jenis dan sumber data, 3. Tekhnik pengumpulan
data, 4. Tekhnik dan analisis data, 5. Verifikasi data, 6. Sistematika
penulisan, 7. Rencana dan waktu penelitian.
Bab Keempat, merupakan pembahasan inti yaitu melihat biografi
Hamka, penafsiran Hamka tentang ayat-ayat toleransi dan kebebasan
beragama dalam kitab Tafsir al-Azhar. Serta menganalisis penafsiran
Hamka dan melihat Batasan toleransi dan kebebasan beragama menurut
Hamka dalam kitab Tafsirnya.
Bab Kelima, adalah bab terakhir atau penutup dari penelitian atau
penulisan tesis ini yang meliputi: kesimpulan akhir, saran-saran penulis
92 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015), hal. 99.
47
tentang segala pembahasan di atas, serta kata penutup yang mengakhiri
penelitian.
G. Rencana dan Waktu Penelitian
NO KEGIATAN
Bulan/Tahun 2019
Maret April Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Studi Pendahuluan (Grand
Tour) X X X
2 Pengajuan Judul Proposal X X X
4 Pembuatan Proposal X X X
5 Seminar Proposal X
6 Revisi Draf Proposal X X X
7 Pengesahaan Riset
Penelitian X
48
BAB IV
HAMKA DAN BANGUNAN PEMIKIRAN
TOLERANSI DAN KEBEBASAN BERAGAMA HAMKA
DALAM TAFSIR AL-AZHAR
A. Hamka dan Penafsirannya
1. Biografi Hamka
Berbicara soal Islam, Indonesia adalah salah satu negara yang
masyarakatnya mayoritas beragama Islam membutuhkan pemahaman
atau penafsiran mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang akan digunakan
sebagai pedoman hidup masyarakat muslim yang ada di Indonesia. Salah
satu tokoh mufassir al-Qur’an di Indonesia yang terkenal adalah Prof. Dr.
Hamka. Kitab tafsirnya diterbitkan pada tahun 80-an yang bernama tafsir
al-Azhar.93 Adapun yang menarik di sini bahwa penulisan al-Azhar berasal
dari ceramah kuliah subuh yang disampaikan Hamka di masjid Agung al-
Azhar sejak tahun1959.94
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan Hamka
adalah seorang sastrawan Indonesia, ulama, aktivis politik. Gelar Buya
yang diberikan kepadanya, sebuah panggilan buat orang minangkabau
yang berasal dari kata abi atau abuya yang dalam Bahasa Arab berarti
ayahku, atau seorang yang dihormati.95 Hamka lahir di sungai batang,
Maninjau sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 februari 1908 M.
bertepatan dengan 13 Muharam 1326 H. Ia lahir dari kalangan keluarga
yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering
disebut Haji Rasul bin Syeikh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah
Saleh. Ayahnya dikenal sebagai pelopor Gerakan Islah (tajdîd) di
93 Moh. Masrur, M.Ag, Metode Penulisan Tafsir al-Qur‟an di Nusantara, (CV. Karya Abadi Jaya, Semarang, 2015), hal. 82. 94 Hasani Ahmad Said, MA, Diskursus Munasabah al-Qur‟an dalam Tafsir al-Mishbah, (AMZAH, Jakarta 2015), hal. 132. 95 Badiatul Roziqin, Badiatul Muchlisin Asti, Junaidi Abdul Manaf, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,(e-Nusantara, Yogyakarta, 2009), hal. 188
49
minangkabau sekembalinya dari Makkah tahun 1906.96 Sedangkan
ibundanya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Bagindo Nan Batuah (H.
Zakaria, yang meninggal pada tahun 1943. Dari geneologis ini dapat
dikerahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan
memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau
pada abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat
Minangkabau yang menganut system matrilineal. Oleh karena itu, dalam
silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku
ibunya.97
Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca al-
Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun
1914, ia dibawa ayahnya ke padang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian
dimasukkan ke sekolah dasar yang hanya dienyamnya selama 3 tahun,
karena kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama,
banyak ia peroleh dengan belajar sendiri (autodidak).98 Hamka lebih banyak
belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti falsafah, kesastraan, sejarah, sosiologi, dan politik,
sama ada Islam ataupun Barat.
Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan
mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah
Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu Bahasa arab.
Sumatera Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang
mengusahakan dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan
dengan Islam yang membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat.
Awalnya sumatera Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan
murid-murid atau pelajar mengaji di surau Jembatan Besi Padang Panjang
dan surau Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam
96 Badiatul Roziqin, Badiatul Muchlisin Asti, Junaidi Abdul Manaf, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,(e-Nusantara, Yogyakarta, 2009), hal. 188 97 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 15-18 98 Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid I, hal. 46
50
perkembangannya, Sumatera Thawalib langsung bergerak dalam bidang
Pendidikan dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah
pengajian surau menjadi sekolah berkelas.99
Secara formal, Pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi.
Pada usia 8-15 tahun, ia mulai belajar agama disekolah Diniyyah School
dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Diantara guru-
gurunya adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid,
Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy. Keadaan saat itu di Padang
Panjang ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan
ayahnya sendiri.100 Pelaksanaan Pendidikan waktu itu masih bersifat
tradisional dengan menggunakan sistem halaqah.101 Pada tahun 1916,
sistem klasik baru diperkenalkan di sumatera Thawalib Jembatan Besi.
Hanya saja, pada saat itu sistem klasikal yang diperkenalkan belum
memiliki bangku, meja, kapur dan papan tulis. Materi Pendidikan masih
berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, Sharaf,
manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya. Pendekatan Pendidikan
dilakukan dengan menekankan kepada aspek hafalan. Pada waktu itu,
sistem hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan
Pendidikan.102
Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf arab
dan latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan
membaca kitab-kitab arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran
sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan Pendidikan
tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya
banyak diantara teman-teman Hamka yang fasih membaca kitab, akan
tetapi tidak bisa menulis dengan baik. Meskipun tidak puas dengan sistem
99 Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hal. 53 100 Badiatul Roziqin, Badiatul Muchlisin Asti, Junaidi Abdul Manaf, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, e-Nusantara, Yogyakarta, 2009, h. 189 101 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 21 102 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 21
51
Pendidikan pada waktu itu , namun ia tetap mengikuti dengan seksama. Di
antara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode Pendidikan
yang digunakan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy yang menarik hatinya.
Pendekatang yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar
(transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses mendidik
(transformation of value). Melalui Diniyyah School Padang Panjang yang
didirikannya, ia telah memperkenalkannya bentuk Lembaga Pendidikan
Islam modern dengan menyusun kurikulum Pendidikan klasik dengan
menyediakan kursi dan bangku/ tempat duduk siswa, menggunakan buku-
buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti,
Bahasa, matematika, sejarah, dan ilmu bumi.103
Rajin membaca membuat Hamka semakin kurang puas dengan
pelaksanaan pedidikan yang ada. Kegelisahan intelektual yang dialaminya
telah menyebabkan ia berhasrat untuk merantau guna menambah
wawasannya. Oleh karenanya, Diusia yang masih sangat muda Hamka
telah melang-lang buana, tatkala usianya masih 16 tahun (pada tahun
1924), ia sudah meninggalkan Minangkabau, menuju jawa. Di Yogyakarta.
Ia tinggal Bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah. Ia berkenalan dan
menimba ilmu pergerakan kepada para aktivis, seperti Haji Oemar Said
Tjokroaminoto (Sarekat Islam) Ki Bagus Hadi Kusumo (Ketua
Muhammadiyah), K.H. Fakhrudin, dan RM soerjo Pranoto. Hamka bersama
dengan kaum muda aktivis, ikut kursus tentang pergerakan. Beberapa
bulam kemudia ia pergi ke pekalongan A.R Sutan Mansur, tokoh
Muhammadiyah Pekalongan yang juga kakak iparnya. Di sini Hamka
berkenalan lebih jauh dengan para tokoh Muhammadiyah di kota batik itu.
Pertengahan tahun 1925, Hamka kembali ke Padang Panjang dan ikut
mendirikan tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya.104
Berbekal pengetahuan yang telah diperolehnya, dan dengan
103 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 22 104 Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Gema Insani Press, Jakarta), hal. 61
52
maksud ingin memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan
Islam, ia pun membuka kursus pidato di Padang Panjang. Hasil kumpulan
pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib Al-
Ummah. Selain itu, Hamka banyak menulis pada majalah seruan Islam, dan
menjadi koresponden di harian Pelita Andalas. Hamka juga diminta untuk
membantu pada harian Bintang Islam dan suara Muhammadiyah di
Yogyakarta. Berkat kepiawaian Hamka dalam menulis, akhirnya ia diangkat
sebagai pemimpin majalah Kemajuan Zaman.105
Dengan kemahiran bahasa arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di timur tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-‘Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti dan Hussein
Haikal. Melalui Bahasa arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris, Jerman seperti Albert Camus, Wiliam James, Freud, Toynbee, Jean
Sastre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar
fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chakroaminoto,
Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus
Hadikusumo sambal mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang
pemidato yang handal.106 Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui
pertumbuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertumbuhan itu mulai
tahun 1925 bagi menentang khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat
di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetahui cawangan
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan
pusat latihan pendakwah Muhammadiyah di Makassar.107
Hamka menikah diusia yang masih tergolong muda, ia menikah pada
tanggal 29 April 1929, saat ia masih berusia 22 tahun sedang istrinya Siti
Raham Binti Endah Sutan berusia 15 tahun.108
105 Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Islami, 2006), h. 62 106 Biografi Hamka, dalam Kumpulan Buku Islami Karya Hamka, di akses pada tanggal 10 semptember 2019 107 Ibid, Biografi Hamka, dalam Kumpulan Buku Islami Karya Hamka, di akses pada tanggal 10 semptember 2019 108 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Gema Insani, Jakarta, 2015), hal. xii
53
Dua tahun setelah kembali dari Jawa tepatnya pada tahun 1927
Hamka menunaikan ibadah Haji. Kesempatan ibadah haji itu ia menfaatkan
untuk memperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam bulan ia bekerja
di bidang percetakan di Mekkah. Ada pengalaman menarik ketika Hamka
berada di Mekkah. Di Tanah Suci ini dia bertemu dengan Haji Agus Salim.
Hamka sempat meminta nasihatnya untuk menuntut ilmu dan bermukim di
Makkah.109
Sekembalinya dari Mekkah, ia tidak langsung pulang ke
Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu
lamanya. Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual mulai terbentuk.
Hal tersebut bisa diketahui dari kesaksian Rusydi Hamka, salah seorang
puteranya: “Bagi Hamka, Medan adalah sebuah kota yang penuh dengan
kenangan. Dari kota ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang
pengarang yang melahirkan sejumlah novel dan buku-buku agama, filsafat,
tasawuf, dan lain-lain. Disini pula ia memperoleh sukses sebagai wartawan
dengan pedoman masyarakat. Tapi disini pula, ia mengalami kejatuhan
yang sangat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka yang membuat ia
meninggalkan kota ini menjadi salah satu pupuk yang menumbuhkan
pribadinya di belakang hari”.
Di Medan ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub dan
Muhammad Rasami, bekas sekretaris Muhammadiyah. Meskipun
mendapatkan banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran
majalah ini berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya mencapai 4000
eksemplar setiap penerbitnya. Namun ketika jepang datang, kondisinya jadi
lain. Pedoman masyarakat dibredel, aktifitas masyarakat diawasi, dan
bendera merah putih dilarang dikibarkan. Kebijakan jepang yang merugikan
tersebut tidak membuat perhatiannya untuk mencerdaskan bangsa luntur,
terutama melalui dunia Jurnalistik. Pada masa pendudukan jepang, ia
masih sempat menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun kehadiran
109 Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spritual dari Hamka Ke Aa Gym, (Pustaka Nun, Semarang), hal. 25
54
majalah ini tidak bisa menggantikan kedudukan majalah Pedoman
Masyarakat yang telah melekat di hati rakyat. Di tengah-tengah
kekecewaan masa terhadap kebijakan Jepang, ia memperoleh kedudukan
yang istimewa dari pemerintah jepang sebagai anggota Syu Sangi Kai atau
Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944. Sikap Kompromistis dan
kedudukannya sebagai “anak emas” Jepang telah menyebabkan Hamka
terkucil, dibenci dan dipandang sinis oleh masyarakat. Kondisi yang tidak
menggantungkan ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke
Padang Panjang pada tahun 1945.110
Seolah tidak puas dengan berbagai upaya pembaharuan Pendidikan
yang telah dilakukannya di Minangkabau, ia kemudian mendirikan sekolah
dengan nama Tabligh School. Sekolah ini didirikan untuk mencetak
mubaligh Islam dengan lama Pendidikan dua tahun. Akan tetapi, sekolah
ini tidak bertahan lama karena masalah operasional, Hamka ditugaskan
oleh Muhammadiyah ke Sulawesi Selatan. Dan baru pada konggres
Muhammadiyah ke-11 yang digelar di Maninjau, maka di putuskan untuk
melanjutkan sekolah Tabligh School ini dengan mengganti nama menjadi
Kulliyatul Muballighin dengan lama belajar tiga tahun. Tujuan Lembaga ini
pun tidak jauh berbeda dengan Tabligh School, yaitu menyiapkan Mubaligh
yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi khatib, mempersiapkan
guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyah, serta membentuk kader-kader
pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan masyarakat pada umumnya.111
Hamka merupakan koresponden di banyak majalah dan seorang
yang amat produktif dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan penilaian
Andries Tew, seorang guru besar Universitas Leiden dalam bukunya yang
berjudul Modern Indonesia Literature I. Menurutnya, sebagai pengarang,
Hamka adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu tulisan yang
bernafaskan Islam berbentuk sastra. Untuk menghargai jasa-jasanya dalam
110 Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Islami, 2006), hal. 62 111 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 102
55
penyiaran Islam dengan Bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada
permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi Universitas al-Azhar Kairo
memberikan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris causa) kepad
Hamka. sejak itu ia menyandang titel “Dr” di pangkal Namanya. Kemudia
pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari
Universitas Kebangsaan Malasyia pada bidang kesusastraan, serta gelar
Professor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Kesemuanya ini diperoleh
berkat ketekunannya yang tanpa mengenal putus asa untuk senantiasa
memperdalam ilmu pengetahuan.112
Secara kronologis, karir Hamka yang tersirat dalam perjalanan
hidupnya adalah sebagai berikut:
1. Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama di
Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang.
2. Pendiri sekolah Tabligh School, yang kemudian diganti Namanya
menjadi Kulliyatul Muballighin (1934-1935). Tujuan Lembaga ini adalah
menyiapkan mubaligh yang sanggub melaksanakan dakwah dan
menjadi khatib, mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat
Tsanawiyah, serta membentuk kader-kader pimpinan Muhammadiyah
dan pimpinan masyarakat pada umumnya.
3. Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia (1947), konstituante
melalui partai masyumi dan menjadi pemidato dalam pilihan Raya
Umum (1955).
4. Koresponden berbagai majalah, seperti Pelita Andalas (Medan), seruan
Islam (Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah
(Yogyakarta), Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta).
5. Pembicara konggres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi (1930) dan
konggres Muhammadiyah ke-20 (1931).
6. Anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah
(1934).
112 Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), hal. vi
56
7. Pendiri Majalah al-Mahdi (Makassar, 1934)
8. Pimpinan majalah Pedoman Masyarakat (Medan, 1936)
9. Menjabat Anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada
pemerintahan Jepang (1944)
10. Ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur (1949)
11. Pendiri Majalah Panji Masyarakat (1959), majalah ini dibrendel oleh
pemerintah karena denga tujuan mengkritik konsep demokrasi
terpimpin dan memaparkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang
telah dilakukan Soekarno. Majalah ini diterbitkan kembali pada
pemerintah Soeharto.
12. Memenuhi undangan pemerintah Amerika (1952), anggota komisi
kebudayaan di Muangthai (1953), menghadiri peringatan mangkatnya
Budha ke-2500 di Burma (1954), di lantik sebagai pengajar di
Universitas Islam Jakarta pada tahun 1957-1958. Di lantik menjadi
Rektor perguruan tinggi Islam di Lahore (1958), menghadiri konferensi
negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Makkah
(1976), seminar tentang Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur,
menghadiri peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore, dan
Konferensi ulama Kairo (1977), Badan pertimbangan kebudayaan
kementrian PP dan K, Guru besar perguruan tinggi Islam di Universitas
Islam Makassar.
13. Departemen Agama pada masa KH. Abdul Wahid Hasyim, beliau
menjadi Penasehat Kementrian Agama dan Ketua Dewan Kurator
PTIQ.
14. Imam Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta, yang kemudian Namanya
diganti oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut
menjadi Masjid Agung al-Azhar. Dalam perkembangannya, al-Azhar
adalah pelopor sitem Pendidikan Islam modern yang punya cabang di
berbagai kota dan daerah, serta menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah
modern berbasis Islam. Lewat mimbar di al-Azhar. Hamka melancarkan
kritik-kritiknya terhadap demokrasi terpimpin yang sedang digalakkan
57
oleh Soekarno Pasca Dekrit Presiden tahun 1959. Karena dianggab
berbahaya, Hamka pun dipenjarakan Soekarno pada tahun 1964. Ia
baru dibebaskan setelah Soekarno runtuh dan orde baru akhir, tahun
1967. Tapi selam dipenjara itu, Hamka berhasil menyelesaikan sebuah
karya monumentasl, yaitu Tafsir al-Azhar 30 Juz.
15. Ketua MUI (1975-1981), Hamka dipilih secara aklamasi dan tidak ada
calon lain yang diajukan untuk menjabat sebagai ketua umum dewan
pimpinan MUI. Ia dipilih dalam suatu musyawarah, baik oleh ulama
maupun pejabat.113 Namun di tengah tugasnya, ia mundur dari
jabatannya karena berseberangan prinsip dengan pemerintah yang
ada.
Dua bulan setelah Hamka mengundurkan diri sebagai ketua umum
MUI, beliau masuk rumah sakit. Setelah kurang lebih satu minggu dirawat
di rumah sakit pusat pertamina, tepat pada tanggal 24 Juli 1981 ajal
menjemputnya untuk kembali menghadap ke hadirat Allah Swt. Dalam usia
73 tahun.114 Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU)
Tanah Kusir Kebayoran Lama Jakarta dengan diantar ribuan kaum
muslimin. Meskipun ia telah tiada, namun jasa dan pengaruhnya masih
terasa hingga kini.115 Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan,
ulama, dan budayawan. Tapi, Hamka juga seorang pemikir Pendidikan
yang pemikirannya masih relevan dan dapat digunakan pada zaman
sekarang, itu semua dapat kita lihat dari karya-karya peninggalan beliau.
2. Karya-Karya Hamka
Sebagai seseorang yang berfikiran maju, Hamka tidak hanya
merefleksikan kemerdekaan melalui berbagai mimbar dalam ceramah
agama. Hamka merupakan ulama yang produktif dalam menuangkan
pikirannya dalam tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai disiplin
113 Rusydi Hamka, Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), hal 55 114 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), hal. 230 115 Rusdi Hamka, dkk. Perjalanan Terakhir Buya Hamka, (Pustaka Panjimas, Jakarta 1981), hal 21
58
ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, Pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqh,
sastra dan tafsir. Terbukti tidak kurang dari tujuh puluh judul buku yang ia
karang. Adapun karya Hamka sebagaimana tercatat dalam buku Jejak
Tokoh Islam di Indonesia di antaranya sebagai berikut:
1. Tafsir al-Azhar juz 1-30. (ditulis pada masa beliau dipenjara oleh
Sukarno).
2. Khotibul Umam (3 jilid) ditulis dalam huruf Arab.
3. Si Sabariyah (1928).
4. Pembela Islam (Sejarah Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq) (1929).
5. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).
6. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929).
7. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).
8. Hikmat Isra‟ dan Mi‟raj.
9. Arkanul Islam (1932) di Makassar.
10. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
11. Majallah “Tentera” (4 nomor) 1932, di Makassar
12. Majallah Al Mahdi (9 nomor) 1932, di Makassar
13. Mati Mengandung Malu (1934).
14. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat, Balai
Pustaka.
15. Tenggelam Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai
Pustaka.
16. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai
Pustaka.
17. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
18. Margareta Gauthier (terjemahan) (1940)
19. Tuan Direktur (1939)
20. Dijemput Mamaknya (1939)
21. Keadilan Ilahi (1939)
22. Tasawuf Modern (1939)
23. Falsafah Hidup (1939)
59
24. Lembaga Hidup (1940)
25. Lembaga Budi (1940).116
26. Majalah “Semangat Islam” (Zaman Jepang 1943)
27. Majalah “Menara” (Terbid di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946
28. Negara Islam (1946)
29. Islam dan Demokrasi (1946)
30. Revolusi Pikiran (1946)
31. Revolusi Agama (1946)
32. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, (1946)
33. Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946)
34. Didalam Lembah Cita-Cita (1946)
35. Sesudah Naskah Remville (1947)
36. Pidato Pembalasan Peristiwa Tiga Maret (1947)
37. Menunggu Beduk Berbunyi (1949) di Bukit Tinggi, sedang Konperasi
Meja Bundar.
38. Ayahku (1950) di Jakarta
39. Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950)
40. Mengembala Dilembah Nill (1950)
41. Ditepi Sungai Dajlah (1950)
42. Kenangan-kenangan Hidup 1, Autobiografi sejak lahir 1908 sampai
pada tahun 1950
43. Kenangan-kenangan hidup 2
44. Kenangan-kenangan hidup 3
45. Kenangan-kenangan hidup 4
46. Sejarah Umat Islam Jilid 1, ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950
47. Sejarah Umat Islam Jilid 2
48. Sejarah Umat Islam Jilid 3
49. Sejarah Umat Islam Jilid 4
50. Pedoman Mubaligh Islam, Cetakan 1 (1937), Cetakan ke 2 tahun 1950
116 Yunuardi Syukur & Arlen Ara Guci, Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, (Tinta Medina, Solo 2017). hal. 105-108
60
51. Pribadi, (1950)
52. Agama dan Perempuan (1939)
53. Muhammadiyah melalui 3 zaman, 1946, di Padang Panjang
54. 1001 Soal Hidup (Kumpulan Karangan dari Pedoman Masyarakat,
dibukukan 1950).
55. Pelajaran Agama Islam (1956)
56. Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad (1952)
57. Empat Bulan di Amerika (1953) Jilid I
58. Empat Bulan di Amerika Jilid 2
59. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo
1958), Untuk Doktor Honoris Causar.
60. Sejarah Islam di Sumatera.
61. Muhammadiyah di Minangkabau (1975), Menyambut Kongres
Muhammadiyah di Padang.117
62. Soal Jawab 1960, desain dari karangan-karangan Majalah Gema Islam.
63. Dari pembendaharaan lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan
1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
64. Lembaga Hikmah, 1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
65. Islam dan Kebatinan, 1972 Bulan Bintang
66. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970
67. Sayid Jamaluddin Al-Adhany 1965, Bulan Bintang
68. Ekspansi Ideologi (Alghazmul Fikri), 1963 Bulan Bintang
69. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968
70. Falsafah Ideologi Islam 1950
71. Keadilan Sosial dalam Islam 1950
72. Cita-cita kenegaraan didalam Ajaran Islam 1970
73. Studi Islam 1973, diterbitkan Oleh Panji Masyarakat
74. Himpunan Khutbah-khutbah
75. Urat Tunggang Pancasila
117 Biografi Hamka, dalam Kumpulan Buku Islami Karya Hamka, di akses pada tanggal 10 semptember 2019
61
76. Do’a-do’a Rasulullah Saw, 1974
77. Sejarah Islam di Sumatra
78. Bohong di Dunia
79. Pandangan Hidup Muslim (1960)
80. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973).118
Berkaitan dengan karya terbesar Hamka yaitu Tafsir al-Azhar, Tafsir
ini pada mulanya merupakan kajian yang disampaikan pada kuliah subuh
oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak dikebayoran baru sejak tahun
1959. Setelah sebelumnya dikunjungi dan diresmikan oleh syeikh
Mahmoud Shalthut, semasa kunjungannya ke Indonesia sembari
memberikan Piagam Doktor Kehormatan untuk Hamka dari Universitas al-
Azhar. Penamaan Masjid dengan nama al-Azhar adalah pemberian sang
Syeikh dengan harapan agar menjadi kampus al-Azhar di Indonesia.
Sedang penamaan tafsir karya Hamka dengan nama Tafsir al-Azhar tidak
terlepas dari tempat dimana tafsir itu lahir.
Tiap-tiap tafsir al-Qur‟an memberikan corak haluan dari pribadi
penafsirnya, begitu tulis Hamka dalam mengomentari haluan tafsirnya ini.
Kemudian ia mengatakan bahwa dia memelihara sebaik-baiknya hubungan
antara naqal dan akal. Di antara riwâyah dengan dirâyah. Hamka tidak
hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang
terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman sendiri.
Dan tidak pula semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya
melalaikan apa yang dinukil dari orang yang terdahulu.119 Maka tafsir
karangan Buya Hamka ini dapat dikatakan menggunakan pendekatan
riwâyah yang dikombinasikan dengan dirâyah sabagaimana yang
disebutkan di atas. Namun tafsir riwâyah lebih mendominasi pada tafsir ini.
Tafsir karangan Hamka ini adalah menafsirkan al-Qur‟an sesuai urutan
118 Biografi Hamka, dalam Kumpulan Buku Islami Karya Hamka, di akses pada tanggal 10 semptember 2019 119 Hamka. Tafsir al-Azhar, (Gema Insani, Jakarta, 2015), hal. Xii, dalam buku lain yaitu buku Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, yang ditulis oleh Yunuardi Syukur & Arlen Ara Guci. (Tinta Medina, Solo 2017). hal. 111
62
pada Mushaf Usmani, yaitu dimulai dengan surat al-Fâtihah dan sampai
pada surat yang terakhir yaitu an-Nâs. Tafsir yang dengan metode demikian
disebut dengan tafsir Tahlili.
Corak sebuah karya terlebih lagi karya tafsir tidak terlepas dari latar
belakan penulisnya, begitupun tafsir al-Azhar karangan Hamka ini, dengan
latar belakangnya yang, Ulama, Dai, sastrawan, wartawan, penulis, editor
dan aktivis, dengan corak tafsir al-Adabi ijtima‟i Hamka berupaya tafsirnya
dapat dipahami oleh mayoritas golongan, bukan hanya tingkat masyarakat
elit namun merambah ke semua elemen masyarakat berdasarkan kondisi
sosial pada waktu itu.
3. Tafsir Al-Azhar
Ada dua hal yang penting yang akan dikemukakan tentang tafsir ini.
Pertama, sejarah penulisan dan penamaan tafsir tersebut dengan Al-Azhar.
Kedua, cara menafsirkan kitab-kitab yang dijadikan rujukan serta corak
penafsiran.
a. Sejarah penulisan dan penamaan Al-Azhar
Tafsir Al-Azhar pada mulanya, merupakan ceramah-ceramah Hamka
setelah shalat subuh, sejak tahun 1958, disebuah masjid di depan
rumahnya, yang ketika itu masih bernama Masjid Agung Kebayoran Baru,
Jakarta.
Hamka Berkata: “Maka hanya beberapa hari saja setelah saya sampai
di rumah saya (yakni dari Mesir untuk menerima gelar Doktor Honorius
Causa pada tahun 1958) mulailah bersembahyang di masjid itu, karena
kebetulan letaknya di hadapan rumah saya. Dari jamaah yang mulanya
hanya lima atau enam orang, berangsurlah dia ramai. Dan beberapa bulan
saja setelah dimulai, dia sehabis selesai sembahyang subuh saya mulai
menafsirkan al-Qur’an beberapa ayat. Setelah habis menafsirkan itu di
dalam masa kira-kira 45 menit setiap pagi, jamaahpun pergilah ketempat
pekerjaan masing-masing”.120
120 M. Jamil, Hamka dan Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. XII No. 2, Juli-Desember 2016. hal 131
63
Pada bulan Desember 1960, nama masjid ini berganti dengan Al-
Azhar, atau Masjid Agung Al-Azhar. Nama tersebut diberikan oleh Rektor
Universitas Al-Azhar Kairo, Syaikh Mahmoud Syaltout yang berkunjung ke
Indonesia sebagai tamu negara. Dalam wejangannya di masjid Agung
Kebayoran, Syaikh Mahmoud Syaltout, antara lain berkata: “Bahwa mulai
hari ini, saya sebagai Syaikh (Rektor) dari Jami’ Al-Azhar memberikan bagi
masjid ini nama “Al-Azhar”, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta,
sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo”.121
Atas usulan Haji Yusuf Ahmad (tata usaha majalah Gema Islam),
segala pelajaran tafsir waktu subuh di masjid tersebut dimuat di dalam
majalah Gema Islam,122 tepatnya sejak Januari 1962 sampai Januari 1964,
mulailah Hamka menuliskan materi tentang tafsir al-Qur’an di majalah
Gema Islam. Dalam kurun waktu dua tahun, ternyata hanya mampu dimuat
satu setengah juz penafsiran. Hamka pun bertanya-tanya, “kapan tafsir ini
akan selesai?” sementara itu, umurnya semakin menua dan kesibukan
berdakwah serta mengajar di beberapa Universitas begitu padat.123
Adapun yang memotivasi Hamka dalam menulis tafsir Al- Azhar Adalah
(1) ia melihat bahwa mufasir-mufasir klasik sangat gigih atau ta’assub
(fanatik) terhadap mazhab yang mereka anut, bahkan ada di antara
mereka yang sekalipun redaksi suatu ayat nyata-nyata lebih dekat kepada
satu mazhab tertentu, akan tetapi ia tetap menggiring pemahaman ayat
tersebut kepada mazhab yang ia anut; (2) Adanya suasana baru di negara
(Indonesia) yang penduduknya mayoritas Muslim, dan mereka haus akan
121 M. Jamil, Hamka dan Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. XII No. 2, Juli-Desember 2016. hal 132 122 Majalah ini terbit sejak bulan Januari 1962. Kantor redaksi di masjid Agung Al-Azhar. Diterbitkan oleh perpustakaan Islam Al-Azhar. Penerbitan majalah ini adalah atas bantuan Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi. Meskipun secara formal pimpinan majalah ini adalah Jenderal Sudirman, tetapi yang aktif memimpinnya adalah Hamka sendiri. Majalah ini, diterbitkan sebagai sebuah media menggantika majalah Panji Masyarakat yang dibredel pada bulan Agustus 1960 oleh pemerintah Orde Lama karena pada penerbitan no. 22 tahun 1960 majalah tersebut memuat artikel Muhammad Hatta yang berjudul: “Demokrasi Kita” yang mengeritik tajam konsep demokrasi terpimpin dan berbagai pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Soekarno. 123 Yunuardi Syukur & Arlen Ara Guci, Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, (Tinta Medina, Solo 2017). hal. 64
64
bimbingan agama serta haus untuk mengetahui rahasia Al-Quran124
Tulisan-tulisan Hamka dalam tafsirnya di majalah ini dinamai oleh
Hamka sendiri dengan Tafsir Al-Azhar. Menurut Hamka ada dua alasan
bagi penamaan tersebut. Pertama, karena tafsir tersebut timbul di dalam
masjid Agung Al-Azhar. Kedua, sebagai tanda terima kasih atas
penghargaan Al-Azhar yang telah diberikan kepadanya.125
Hingga datanglah hari itu … tanggal 12 Ramadhan 1383 H, bertepatan
dengan 27 Januari 1964, Hamka dijebloskan ke penjara atas tuduhan
menggelar rapat gelap ditangerang untuk merencanakan pembunuhan
terhadap menteri Agama dan Presiden Soekarno, serta melakukan kudeta
terhadap pemerintah atas sokongan dana dari perdana Menteri Malaysia,
Tengku Abdul Rahman. Meski tidak terbukti, Hamka tetap ditahan selama
dua tahun 4 bulan.126 Tepatnya dari 27 Januari 1964 sampai 21 Januari
1966, dalam masa tahanan ini, Hamka ditempatkan di beberapa rumah
peristirahatan di Kawasan puncak, yaitu Bunglow Herlina, Harjuna,
Bunglow Brimob Megamendung, dan kamar tahanan polisi Cimacan.
Kemudian karena kondisi kesehatan yang tidak baik, Hamka dipindahkan
ke Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta. Kemudian ditambah
tahanan rumah selama dua bulan dan tahanan kota selama dua bulan.
Selama dalam tahanan inilah, Hamka memiliki kesempatan yang cukup
lapang meneruskan penulisan tafsir al-Qur’an.127
Selama dalam tahanan ini, Hamka menjelaskan kegiatannya sebagai
berikut. “mengarang tafsir di waktu pagi, membaca buku-buku di petang
hari, tilawah al-Qur’an diantara magrib dan Isya’, sementara sebagian
malamnya ia habiskan untuk menegakkan shalat Tahjud. Demikianlah,
124 Dewi Murni, Tafsir Al-Azhar (Suatu Tinjauan Biografis dan Metodologis), dalam Jurnal Syahadah Vol. III, No. 2, Oktober 2015. hal 28 125 M. Jamil, Hamka dan Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. XII No. 2, Juli-Desember 2016. hal 133 126 Yunuardi Syukur & Arlen Ara Guci, Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, (Tinta Medina, Solo 2017). hal. 64 127 M. Jamil, Hamka dan Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. XII No. 2, Juli-Desember 2016. hal 133
65
Hingga penafsiran tersebut selesai 30 Juz.128
Penerbitan dan cetakan Tafsir Al-Azhar untuk pertama kalinya
dilakukan oleh Penerbit Pembimbing Masa, pimpinan H. Mahmud.Yaitu
menyelesaikan penerbitan dari juz 1 sampai juz ke-4 Lalu diterbitkan juga
juz 15 sampai dengan juz 30 oleh Pustaka Islam Surabaya. Akhirnya
Yayasan Nurul Islam Jakarta menerbitkan juz 5 sampai dengan juz 14.129
b. Cara Penafsiran Hamka
Menurut Hamka, ada empat cara menafsirkan al-Qur’an. Pertama,
menafsirkan dengan al-Sunnah. Kedua, dengan perkataan sahabat-
sahabat Rasulullah. Ketiga, dengan perkataan-perkataan para Tabi’in.
Keempat, dengan pendapat akal (al-ra’yi).
Pertama, menafsirkan dengan al-Sunnah. Sebelum menjelaskan
kedudukan al-Sunnah dalam menafsirkan al-Qur’an, Hamka terlebih
dahulu membagi kandungan al-Qur’an kepada tiga bagian:
1) Ayat-ayat tentang hukum, halal dan haram baik yang berkenaan
tentang hal ibadah atau mu’amalah.
2) Ayat-ayat tentang alam yang bertujuan untuk memperkuat akidah
kepada Allah.
3) Ayat-ayat yang bercerita tentang kisah-kisah dan cerita-cerita zaman
lampau.130
Terhadap ayat-ayat hukum, Hamka mengatakan mestilah ditafsirkan
dengan sunnah Nabi. Dalam hal ini, akal tidak diberikan kesempatan yang
banyak untuk menafsirkannya.
Disebutkan oleh M. Jamil dalam jurnalnya bahwa Hamka mengatakan
“hal-hal ini dinyatakan dengan tegas tafsirnya oleh sunnah Nabi, dan akal
tidak banyak kesempatan buat menerawang lagi mencari penafsiran lain
dari pada yang telah ditentukan Nabi itu. Karena bagian pertama inilah
128 Yunuardi Syukur & Arlen Ara Guci, Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, (Tinta Medina, Solo 2017). hal. 65 129 Dewi Murni, Tafsir Al-Azhar (Suatu Tinjauan Biografis dan Metodologis), dalam Jurnal Syahadah Vol. III, No. 2, Oktober 2015. hal 30 130 M. Jamil, Hamka dan Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. XII No. 2, Juli-Desember 2016. hal 134
66
saripati dari Risalah Muhammadiyah. Nabi telah menjelaskan dengan
perkatan, perbuatan, dan pengakuannya. Kalau ada orang yang berani
menafsir-nafsirkan saja al-Qur’an yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum
yang demikian, tidak berpedoman kepada sunnah Rasulullah. Maka,
tafsirnya itu telah melampaui, atau telah keluar dari garisan yang ditentukan
oleh syari’at.131
Terhadap ayat-ayat yang bercerita tentang alam yang bertujuan untuk
menguatkan akidah kepada Allah, menurut Hamka, tidak banyak dapat
ditafsirkan dengan al-Sunnah, karena tidak banyak sunnah Nabi yang
bercerita tentang itu. Hal itu dikarena sunnah Rasulullah tidak banyak
menjelaskan ayat-ayat seperti itu, maka tidak ada salahnya seorang penafsi
menafsirkan dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal
tersebut, seperti yang dilakukan oleh Syaikh Tanthawi Jauhari, tetapi
dengan selalu ingat tujuan ayat-ayat tersebut, yakni untuk memperkuat
tauhid Uluhiyah dan Rububiyah.132
Adapun ayat-ayat yang bercerita tentang kisah-kisah dan cerita-cerita
zaman lampau, menurut Hamka. tidak banyak ditafsirkan dengan sunnah,
karena tidak banyak hadis yang bercerita tentang itu. Yang agak banyak
menurutnya adalah, dari riwayat sahabat Rasulullah Saw dan para tabi’in.
ayat-ayat bercerita tentang kisah-kisah menurut Hamka, hendaklah
ditafsirkan dengan menghubungkan suatu kisah di dalam satu ayat atau
surah dengan ayat surah lain. Jika ada hadis maka ditafsirkan dengan
hadis, jika tidak ada, maka dengan perkataan para sahabat atau tabi’in,
tetapi mesti benar-benar berhati-hati dengan riwayat-riwayat Isra’iliyyat.133
Kedua, menafsirkan dengan perkataan sahabat Rasulullah Saw. Jika
ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum tidak ditemukan
penafsirannya dalam hadis Nabi, maka ayat-ayat tersebut ditafsirkan
dengan pendapat dan perkataan sahabat-sahabat Rasulullah, sebab para
131 Ibid., hal 134 132 Ibid., hal 135 133 M. Jamil, Hamka dan Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. XII No. 2, Juli-Desember 2016. hal 135
67
sahabat Rasulullah ini hadir di hadapan Rasulullah seketika ayat diturunkan
dan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya. Tentang kedudukan kata-
kata para sahabat di dalam menafsirkan al-Qur’an ditegaskan oleh Hamka
sebagai berikut: “kata-kata sahabat-sahabat yang khas di dalam
menafsirkan al-Qur’an itu mengungkapkan makna dan maksudnya, hampir
sama kedudukannya dengan hadis Nabi sendiri bila bersangkutan dengan
hukum-hukum syara’ sebab kita percaya bahwa pada pokoknya tentu
sahabat itu menerimanya dari pada Rasulullah Saw. Tetapi kalau ada dalil
bahwa itu hanyalah pendapat sahabat itu sendiri, maka tidaklah sama
derajatnya pendapat beliau-beliau itu dengan hadis Nabi Muhammad
Saw”.134
Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Hamka, perkataan para
sahabat dapat dijadikan dalil yang hampir sama kedudukannya dengan
hadis Nabi Muhammad Saw. Dalam menafsirkan al-Qur’an jika pendapat-
pendapat mereka itu tidak dibantah oleh sahabat-sahabat yang lain,
sehingga pendapat sahabat tersebut menjadi Ijma’ (kesepakatan) para
sahabat.
Ketiga, menafsirkan dengan perkataan tabi’in.
Keempat, menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat akal (al-ra’yi).
Dalam hal ini apakah boleh menafsirkan al-qur’an dengan akal fikiran,
dalam jurnal M. Jamil disebutkan bahwa Hamka mengemukakan dua
pendapatnya yang bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya.
Pertama, ia mengungkapkan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengharamkan
penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yi (pendapat sendiri), dan pendapat al-
Zamakhsyari dan al-Ghazali yang membolehkannya.135
Berkaitan tentang kedua pendapat ini M. Jamil menulis didalam
jurnalnya bahwa Hamka lebih condong kepada pendapat Imam
Zamakhsyari dan Ghazali sebab penafsiran tentang ibadah kepada Allah
dan akidah tentang tauhid selamanya tidak akan pernah berubah. Tetapi,
134 Ibid., hal 136 135 Ibid., hal 136
68
pengetahuan tentang alam selalu berkembang, dan luar biasa
perkembangannya. Padahal al-Qur’an mengatasi seluruh zaman yang
dihadapinya. Oleh sebab itu maka al-Qur’an akan tetap ditafsirkan, sesuai
dengan ilmu pengetahuan, melalui ruang dan waktu, tidak berhenti-henti.
Dengan demikian, Hamka sepakat dengan pendapat yang
membolehkan penafsiran dengan al-ra’yi atau akal fikiran. Bagaimanapun,
agar penafsiran dengan menggunakan al-ra’yi dapat diterima, Hamka
mengemukakan empat syarat berikut:
1) Mengetahui Bahasa arab, dengan pengetahuan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Agar dapat tercapat makna dengan sejelas-
jelasnya.
2) Jangan menyalahi dasar-dasar yang diterima dari Nabi Muhammad
saw.
3) Jangan berkeras urat leher untuk mempertahankan satu mazhab
pendirian lalu dibelok-belokkan maksud ayat al-Qur’an agar sesuai
dengan mazhab yang dipertahankan itu.
4) Harus ahli pula dalam Bahasa tempat menafsirkan.136
c. Metode dan Aliran Tafsir Al-Azhar
1) Menurut sumber penafsirannya
Hamka menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur dan bil al-ra’yi karena
keduanya dihubungkan dengan berbagai pendekatan-pendekatan umum,
seperti Bahasa, sejarah, interaksi sosio-kultur dalam masyarakat, bahkan
sia juga memasukkan unsur cerita masyarakat tertentu untuk mendukung
maksud dari kajian tafsirnya.
Dalam mukaddimah tafsir al-Azhar, Hamka sempat membahas
kekuatan dan pengaruh karya-karya tafsir yang dirujuknya, seperti tafsir al-
Razi, al-Kasysyaf karya al-Zamkhsyari, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, al-
Jami’ lil Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, tafsir al-Maraghi, al-Qasimi, al-
Khazin, al-Thabari, dan al-Manar. Hamka memelihara sebaik-baiknya
136 Ibid., hal 137
69
hubungan di antara naqli dan aqli. Di antara riwayah dan dirayah. Ia tidak
hanya mengutip atau memindah pendapat orang yang terdahulu, tetapi
mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman sendiri.137
2) Menurut susunan penafsiran
Hamka menggunakan metode tahlili karena dimulai dari surah al-
Fatihah hingga surah An-Nas.
3) Menurut cara penjelasannya
Hamka menggunakan metode muqarin yaitu tafsir berupa penafsiran
sekelompok ayat-ayat yang berbicara dalam suatu masalah dengan
membandingkan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis, dan
menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu antara objek yang dibandingkan
dengan cara memasukkan penafsiran dari ulama tafsir yang lain.
4) Menurut keluasan penjelasan
Hamka menggunakan metode tafshili yaitu tafsir yang penafsirannya
terhadap al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan secara ayat per-ayat,
dengan suatu uraian yang terperinci tetapi jelas dan ia menggunakan
bahasa yang sederhana sehingga dapat dikonsumsi bagi masyarakat
awam maupun intelektual.
5) Corak yang dipakai
Corak yang mendominasi dalam penafsiran Hamka adalah al-Adabi
ijtima’I yang terlihat jelas dari latar belakang Hamka sebagai seorang
sastrawan sehingga ia berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa
yang difahami semua golongan dan bukan hanya ditingkat akademisi atau
ulama. Disamping itu ia memberikan penjelasan berdasarkan kondisi sosial
yang sedang berlangsung dan situasi politik pada waktu itu.138
d. Sistematika kitab tafsir Al-Azhar
Dalam menyusun tafsir Al-Azhar Hamka menggunakan sistematika
tersendiri, yaitu:
137 Avif Alviyah, Metode Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. 15 No. 1, Januari 2016. hal 31 138 Avif Alviyah, Metode Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. 15 No. 1, Januari 2016. hal 32
70
1) Menurut susunan penafsirannya, Hamka menggunakan metode tartib
Usmani yaitu menafsirkan ayat secara runtut berdasarkan
penyususnan Mushaf Usmani, yang dimulai dari surah al-fatihah
sampai surah an-Nas. Metode tafsir yang demikian disebut juga dengan
metode tahlili.139
2) Dalam setiap surah dicantumkan pendahuluan dan pada bagian akhir
dari tafsirnya, Hamka senantiasa memberikan ringkasan berupa pesan
nasehat agar pembaca bisa mengambil ibrah-ibrah dari berbagai surah
dalam al-Qur’an yang ia tafsirkan.
3) Sebelum beliau menterjemahkan beserta penafsiran sebuah ayat
dalam satu surah, tiap surah itu ditulis dengan artinya, dan tempat
turunnya ayat. Contohnya: surah al-Fatihah (pembukaan), surah
pertama yang terdiri dari 7 ayat, diturunkan di Makkah. Dan surah al-
Takatsur (bermegah-megahan), surah ke 102 yang terdiri dari 8 ayat
dan diturunkan di Makkah.
4) Penyajiannya ditulis dalam bagian-bagian pendek yang terdiri dari
beberapa ayat (satu sampai lima ayat) dengan terjemahan bahasa
Indonesia bersama dengan teks arabnya. Kemudian diikuti dengan
penjelasan Panjang, yang terdiri dari satu sampai lima belas halaman.
5) Dalam tafsirnya dijelaskan tentang sejarah dan peristiwa kontemporer.
Sebagai contoh yakni komentar Hamka terhadap pengaruh
orientalisme atas Gerakan-gerakan kelompok nasionalis di Asia pada
abad ke 20.
6) Terkadang disebutkan pula kualitas hadis yang dicantumkan untuk
memperkuat tafsirnya tentang suatu pembahasan. Sebagai contoh
yakni dalam pembahasan tentang surah al-Fatihah sebagai rukun
sembahyang, hadis tentang Imam yang membaca surah al-Fatihah
dengan Jahr, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkannya.
139 Ibid., hal 29
71
“dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. Berkata:
sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan ikutan kamu, maka
apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila ia
membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri.” (diriwayatkan oleh
yang berlima, kecuali al-Turmuzi, dan berkata muslim: hadis ini shahih”.
7) Dalam tiap surah, Hamka menambahkan tema-tema tertentu dan
mengelompokkan beberapa ayat yang menjadi bahan bahasan.
Contohny dalam surah al-Fatihah terdapat tema antara lain: al-Fatihah
sebagai rukun sembahyang, di antara Jahr dan sir dan lainnya.
8) Di dalam Tafsir Al-Azhar, nuansa Minang pengarangnya tampak sangat
kental.140
e. Berbagai komentar terhadap Tafsir Al-Azhar
Ciri khas Hamka yang menarik adalah ia tidak pernah menimba ilmu
di Timur Tengah secara formal, tetapi beliau mampu menafsirkan al-
Qur’an yang standar dengan tafsir-tafsir yang ada di dunia Islam.
secara sosio-kultural Tafsir Al-Azhar penuh dengan sentuhan problem-
problem umat Islam di Indonesia dan juga menzahirkan upaya
penafsiran dalam mengetengahkan corak pemikiran dan penafsiran
yang kontemporer.
Berikut ini pendapat para ulama mengenai Tafsir Al-Azhar:
1) Abu Syakirin menegaskan Tafsir Al-Azhar merupakan karya Hamka
yang memperlihatkan keluasan pengetahuan dan hampir mencakupi
semua disiplin ilmu penuh dengan informasi.
2) Moh, Syauqi Md Zhahir mengatakan Tafsir Al-Azhar merupakan
kitab tafsir al-Qur’an yang lengkap dengan bahasa Melayu boleh
dianggab sebagai tulisan terbaik yang dihasilkan masyarakat Melayu
muslim.
140 Avif Alviyah, Metode Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. 15 No. 1, Januari 2016. hal 30
72
Keistimewaan yang terdapat dalam tafsir ini antara lain:
1) Diawali dengan pendahulan yang berbicara tentang ilmu-ilmu al-
Qur’an, seperti defenisi al-Qur’an, Makiyah dan Madaniyah, Nuzulul
Qur’an, pembukuan mushaf, haluan tafsir, sejarah Tafsir Al-Azhar
dan I’jaz.
2) Menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu, sehingga
memudahkan pembaca Indonesia memahami tafsirnya.
3) Beliau tidak hanya menafsirkan dengan pendekatan bahasa, ilmu-
ilmu sosial, dan ushul fiqh saja, tetapi juga dengan bidang yang lain.
4) Selektif dalam memilih pendapat dari sahabat atau ulama tentang
suatu pembahasan karena beliau akan tetap menolak pendapat
mereka jika bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.
Disamping kelebihan itu, Tafsir Al-Azhar juga mengandung
beberapa kelemahan di antaranya:
1) Yang di cantum kedalam tafsirnya terkadang hanya arti hadis saja
tanpa mencantumkan teks hadisnya, dan terkadang juga tidak
ditemukan sumber hadisnya. Contohnya seperti “…. Hadis Abu
Hurairah secara umum menyuruh takbir apabila imam telah takbir
dan berdiam diri apabila imam membaca al-Fatihah. Inipun umum.
Maka dikecualikan oleh hadis Ubadah yang menegaskan larangan
Rasulullah membaca apapun, kecuali al-Fatihah. (tanpa teks hadis
arab dan Mukharrij-nya)
2) Bahasa yang digunakan dalam menafsirkan dan menjelaskan
tentang suatu bahasan terkadang tidak mengikuti kaidah EYD,
karena masih bercampur antara bahas Indonesia dengan Melayu.141
141 Avif Alviyah, Metode Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, dalam jurnal Vol. 15 No. 1, Januari 2016. hal 34-35
73
B. Penafsiran Hamka Tentang Ayat-ayat Toleransi dan Kebebasan
Beragama dalam Tafsir Al Azhar
Dari penelitian penulis berkaitan tentang toleransi dan kebebasan
beragama menurut Hamka ini. Penulis banyak sekali menemukan ayat-ayat
yang menjelaskan tentang toleransi dan kebebasan beragama tersebut
dalam Al-Qur’an, namun hanya saja penulis mengambil beberapa ayat saja
yang lebih mendekati terhadap pembahasan penulis yang diterangkan
dalam kitab tafsir Al-Azhar karya ulama ternama yaitu Hamka. dari hasil
penelitian, penulis merangkum ayat-ayat toleransi dan kebebasan
beragama ini dengan beberapa tema-tema yaitu, berlaku adil dan baik
terhadap non muslim, larangan menghina sembahan non muslim, Batasan
toleransi terhadap keimanan dan peribadatan, dan tidak ada paksaan
dalam beragama.
1. Berlaku Adil dan Baik Terhadap Non Muslim
a) Surah Al-Fatihah ayat 1
بسم الله الرحن الرحيم Artianya : Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi
maha penyayang.142 (QS. Al-Fatihah ayat 1)
Penafsiran Hamka Dalam ayat pertama surah al-fatihah ini disebutkan dua sifat Allah
Swt. Yaitu Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang berarti pemurah, kasih sayang,
cinta, santun, dan pelindung.143 Alasan kedua sifat ini dijelaskan terlebih
dahulu sebelum menyebut sifat-sifatnya yang lain adalah untuk menangkis
anggapan terhadap penghayalan orang yang masih primitif tentang Allah.
Sebagian besar mereka menggambarkan tuhan itu sebagai sesuatu yang
amat ditakuti atau menakutkan, seram, dan kejam, yang orang terpaksa
memujanya karena takut akan murkanya. Maka, ketika bacaan dimulai
142 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 1 143 Hamka Tafsir al-Azhar, jilid 1, (Gema Insani, Jakarta 2015), hal 65.
74
dengan menyebut nama Allah, dengan kidua sifatnya yang Ar-Rahman dan
Ar-Rahim, mulailah Nabi Muhammad saw menentukan perumusan baru
dan yang benar tentang Allah. Sifat utama terlebih diketahui dan dirasakan
oleh manusia bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim.144
b) Surah Asy Syura ayat 15
من كتاب وأمرت هواءهم وقل ءامنت بآ أنزل الله م كمآ أمرت ولات تبع أ فلذلك فادع واستق
نكم الله رب نا وربكم لنآأعمال نا ولكم أعمالكم لاحجة لأعدل ب ي
ن نا وإليه ال نكم الله يمع ب ي ن نا وب ي مصي ب ي Artianya : Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan
tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:"Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".145 (QS. Asy Syura : 15).
Penafsiran Hamka
Dalam ayat ini Hamka menjelaskan bahwa Allah Swt. Menyuruh Nabi
Muhammad agar mengajak manusia agar Bersatu dalam agama yang hanif
dan berpegang teguh pada tali agama Allah, serta jangan berpecah belah.
Dan Allah pun juga menyuruh untuk beriman kepada semua agama kitab
samawi, serta berlaku adil di antara manusia dan bersikap duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi di antara dirinya dengan mereka. Yakni jangan
menyuruh mereka kepada sesuatu yang dia sendiri tidak melakukannya,
atau jangan mencegah mereka kepada sesuatu yang dia sendiri
melanggarnya. Allah mereka semua adalah satu, dan bahwa setiap orang
akan dimintai pertanggung jawaban tentang perbuatannya, Allah akan
144 Ibid, Hamka, hal 65. 145 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 484
75
mengumpulkan umat manusia pada hari kiamat dan memberi balasan
kepada mereka atas amal mereka masing-masing.
c) Surah Al Mumtahanah ayat 7-9
نكم وب ين الذين عادي ٧( غفور رحيم تم منهم مودة والله قدير والله عسى الله أن يعل ب ي
هاكم الله عن الذين ل ي قاتلوكم ف ا) ين ول يرجوكم من د لاي ن ن ت ب روهم وت قسطوا ياركم أ لد
ا ي ن )٨(إليهم إن الله يب المقسطين ين وأخرجوكم اهاكم الله عن الذين قات لوكم ف إن لد
المون م فأولئك هم الظ هم ومن ي ت ول من دياركم وظاهروا على إخراجكم أن ت ولو Artinya: Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang
antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil, Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.146 (QS. Al-Mumtahanah ayat 7-9).
Penafsiran Hamka
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu
dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka”.(pangkal ayat 7)
di pangkal ayat ini Hamka membayangkan bahwa barang yang tidak
mustahil terjadi permusuhan yang sangat mendalam terhadap Nabi
Muhammad Saw. Dan pengikutnya dengan kaum Quraisy musyrikin suatu
waktu akan mereda. Itu semua Sebab Nabi Muhammad Saw mempunyai
budipekerti yang baik, dan perjuangan yang begitu hebab menegakkan
akidah dan melawan kekafiran, tidaklah beliau memaki-maki mengenai
146 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 550
76
pribadi orang. Seseorang yang sangat memusuhinya yaitu Abu Sufyan
yang memimpin peperangan untuk menyerbu Madinah dan perang Uhud,
beliau lunakkan sikap orang yang menginginkan kemegahan itu dengan
menikahi anak perempuannya. Yaitu Ummi Habibah yang nama kecilnya
Ramlah. Seketika didengar oleh Abu Sufyan bahwa anaknya telah dinikahi
oleh Nabi Muhammad Saw, ketika anaknya hijrah ke Habasyah, dan yang
menjadi wali Nabi Muhammad Saw menikahinya ialah Najasyi, yaitu raja
besar Habsyi yang telah Islam, dengan mas kawain 400 dinar, bukan main
bangganya Abu Sufyan, meskipun Nabi Muhammad Saw itu musuhnya.
Maka kasih sayang seorang ayah terhadap anak perempuannya,
itulah yang membuat hati Abu Sufyan tergetar dan merasa bangga di
samping memusuhi. Itulah yang disebutkan pada pangkal ayat ini, bahwa
mudah bagi Allah menukar kebencian menjadi hubungan kasih sayang
yang baik, “Dan Allah itu Maha Kuasa”, merubah keadaan dari keruh ke
jernih, dari kusut ke selesai, sebab itu tergantung kepada ketulusan hati
manusia adanya. “Dan Allah itu Maha Pengampun”, Orang yang tadinya
musuh besar, bisa saja jadi teman akrab dan dosanya diampuni oleh Allah
Swt, dan “Allah Maha Penyayang”, di tunjukkannya jalan, dibimbingnya
jiwa, dan diberikannya petunjuk menuju kebenaran.147
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil, Pada pangkal ayat 8 ini Hamka menyebutkan
bahwa Allah dengan tegas tidak melarang kamu, hai pemeluk agama islam
untuk berbuat baik, bergaul dengan baik dan berlaku adil dan jujur dengan
golongan lain, baik mereka itu Yahudi atau Nasrani atau pun musyrik,
selama mereka tidak memerangi kamu, tidak memusuhi kamu atau
mengusir kamu dari kampung halaman kamu. Dengan begini hendaknya
disisihkan di antara perbedaan kepercayaan dengan pergaulan sehari-hari.
147 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid IX (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 7299-7300
77
Menurut sebuah hadis yang diriwatkan oleh Abu Daud, setelah terjadi
perdamaian diantara Nabi Muhammad Saw dan kaum Quraisy sehabis
perjanjian Hubaidillah ada orang-orang dari Makah datang menemui
keluarganya yang telah hijrah ke Madinah. Di antaranya ialah Qutailah,
mantan istri dari Abu Bakar Shiddiq yang telah beliau ceraikan di zaman
jahiliyah. Ia adalah ibu dari anak beliau Asma’ bin Abu Bakar. Dia datang
ke Madinah karena rindu hendak menemui anak perempuannya itu dan
dibawaknnya berbagai hadiah. Tetapi Asma’ masih ragu-ragu hendak
menerima hadiah dari ibu kandungnya itu, sebab ia masih jahiliyah. Lalu ia
datang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. Maka turunlah ayat ini,
bahwa tidak ada larangan berbuat baik dan berlaku adil dengan orang yang
tidak memusuhi kamu dan tidak mengusir kamu dari negeri kamu. Niscaya
tidaklah ibu Asma’ yang bernama Qutailah itu tergolong orang yang turut
mengusir Nabi dan memusuhi kaum muslimin. Beliau hanya saja belum
terbuka baginya itu hidayah dari Allah.148
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil, Ujung
ayat ini tersebut Muqsithiin yang kita artikan berlaku adil. Sebenarnya arti
dari Qisthi lebih luas dari adil. Karena adil adalah khusus ketika menghukum
saja, jangan Zhalim, menjatuhkan keputusan, sehingga yang tidak bersalah
disalahkan juga. Qisthi adalah lebih luas, mencakup pergaulan hidup.
Tegasnya jika kita berbaik dengan tetangga sesama Islam, hendaknya
dengan tetangga yang selain Islam kita berbaik juga. Jika kita kepada
tetangga sesame Islam mengantarkan makanan yang enak, maka
hendaklah kita Qisth, hantari pula makanan yang enak kepada tentangga
yang berlain agama. Jika mereka di dalam kesedihan, tunjukkan kepada
mereka bahwa kita pun turut bersedih.149 Sebagaimana sikap Nabi yang
menjenguk seorang anak sakit dari keluarga Yahudi, yang anak lelaki
tersebut pernah menjadi pembantu dirumah Nabi. Ketika anak itu dalam
keadaan sekarat dibujuk oleh Rasulullah agar mengakui Islam sebagai
148 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid IX (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 7303 149 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid IX (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 7304
78
agamanya. Dan akhirnya anak itupun mengucapkan kalimat syahadat,
sehingga meninggal dalam keadaan Islam.150
Hamka menyatakan bahwa ayat ini adalah ayat “Muhkamah” artinya
berlaku buat selama-lamanya, tidak dimansukhkan. Dalam segala zaman
hendaknya kita berbuat baik dan bersikap adil dan jujur kepada orang yang
tidak memusuhi kita dan tidak bertindak mengusir kita dari kampung
halaman kita. Kita diwajibkan menunjukkan budi Islam kita yang tinggi.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Pada
pangkal ayat 9 ini Hamka menyebutkan bahwa mereka yang berlain agama
dan keyakinan dengan kita sudah terang memusuhi kita dan memerangi
kita, sudah sampai mengusir kita dari negeri kita sendiri. Artinya meskipun
mereka tidak ikut keluar pergi memerangi Islam, tetapi mereka memberikan
bantuan. Misalnya ialah yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw
sendiri Abu Lahab. Dia tidaklah ikut dalam agkatan perang kaum musyrikin
Quraisy ketika mereka pergi memerangi Nabi dan peperangan dengan
dahsyat di peperangan Badar. Tetapi mereka memberikan bantuan berupa
harta banyak sekali kepada orang-orang yang hendak berangkat pergi
berperang, “Bahwa kamu menjadikan mereka teman”. Tegasnya dilarang
keraslah oleh Allah berteman, berkawan karib, mengharapkan pertolongan
dari pada orang yang telah nyata memerangi dan hendak menghapuskan
Islam, hendak mengusir, mengikis habis Islam dengan jalan mengusirmu.
“dan barang siapa yang berkawan dengan mereka, maka itulah orang-
orang yang aniaya”. Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh
yang nyata jelas memusuhi Islam, memerangi dan bahkan sampai
mengusir atau membantu pengusiran, jelaslah dia itu orang yang aniaya.
Sebab dia telah merusak strategi, atau siasat perlawanan Islam terhadap
musuh. Tandanya orang yang membuat hubungan ini tidak teguh imannya,
150 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid IX (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 7305
79
tidak ada gairahnya dalam mempertahankan agama. Sama saja halnya
dengan orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata, “Bagi
saya segala agama sama saja, karena sama-sama baik tujuannya”. Orang
yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya.
Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai
dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang
sebenarnya itu hanya Islam.151
2. Larangan Menghina Sembahan Non Muslim
a) Surah Al Baqarah ayat 62
صالا لآخر وعمل الصابئين من أمن بالله والي وم اإن الذين أمن وا والذين هادوا والنصاري و
م ولاهم يزن ون ف لهم أجرهم عند ربArtinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang jadi yahudi dan Nasrani dan shabi’in, barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian dan beramal saleh, maka mereka akan mendapat ganjaran disisi Allah mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tiadalah mereka berduka cita.152 (QS. Al-Baqarah ayat 62)
Penafsiran Hamka Hamka menyebutkan dalam menafsirkan ayat diatas, ”kesan
pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup
berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dalam
dunia ini”.153 Hamka merasa cemas terhadap pemeluk agama yang fanatik.
Yang kadang saking fanatiknya, imannya bertukar dengan cemburu, “orang
yang tidak seagama dengan kita adalah musuh kita.” Dan ada lagi yang
bersikap agresif, menyerang, menghina dan menyiarkan propaganda
agama mereka dan kepercayaan yang tidak sesuai ke dalam daerah negeri
yang telah memeluk suatu agama. Itu semua menjadi kecemasan Hamka.
Menurut Hamka ayat ini dengan jelas menganjurkan persatuan agama,
151 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid IX (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 7304-7305 152 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 10 153 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid IX (Gema Insani, Jakarta, 2015), hal. 680
80
jangan agama dipertahankan sebagai suatu golongan, melainkan
hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah
dia hakikat kebenaran. Iman kepada Allah dan hari akhirat diikuti oleh amal
yang saleh. Hamka juga tidak sependapat dengan keterangan yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim jika ayat di atas telah
mansukh, tidak belaku lagi. Dan telah di-nasikh-kan oleh ayat 58 dari surah
Ali Imran yang berbunyi:
ر الإسلام دي نا ف لن ي قبل من ومن ي بتغ غ ه وهو ف الأخرة من الاسرين ي Artinya: dan barang siapa yang mencari dari Islam menjadi agama,
sekali-kali tidaklah akan diterima darinya. Dan dia di akhirat akan termasuk
orang-orang yang rugi.154 (QS. Ali Imran ayat 85)
Dalam pandangan Hamka ayat ini bukanlah menghapus (Nasikh)
ayat 62 surah Al-Baqarah ayat 62, melainkan memperkuat. Sebab, lanjut
Hamka, hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan hari akhirat. Percaya
kepada Allah artinya percaya kepada segala firman Allah, segala Rasulnya
dengan tanpa terkecuali. Termasuk kepercayaan terhadap Nabi
Muhammad Saw, dan hendaklah di ikuti oleh amal yang soleh. Kalau
dikatakan bahwa ayat 62 surah Al-Baqarah telah di Nasikh-kan oleh ayat
85 surah Ali Imran, yang timbul hanyalah Fanatik, yaitu mengakui Islam
walau tidak mengamalkannya. Dan surge itu dijamin hanya untuk kita saja.
Akan tetapi kalau kita fahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah
saling lengkap melengkapi, pintu dakwah senantiasa terbuka dan
kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap dalam kemurniaanya
sesuai dengan jiwa asli manusia, begitulah menurut Hamka.155
154 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 61 155 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid I (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 169-167
81
b) Surah Al An’am ayat 108
ا لكل أمة عملهم كذلك زي ن الله عدوا بغي علم ولاتسبوا الذين يدعون من دون الله ف يسبوا
م مرجعهم ف ي نبئ هم با كان وا ي عملون ث إل ربArtinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.156 (QS. Al-An’am : 108).
Penafsiran Hamka
”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan”. Pada ayat ini Hamka menyebutkan
bahwa diperingatkanlah kepada sekalian orang mukmin bahwa berhala-
berhala yang disembah oleh orang jahiliyah itu janganlah di maki atau
dihinakan. Lebih baik tunjukan saja dengan alasan yang masuk akal
bagaimana keburukan menyembah berhala. Tetapi jangan berhala itu
dicaci atau dicerca. Sebab kalau pihak orang-orang yang beriman sudah
mulai memaki-maki atau mencerca dan menghinakan berhala mereka,
tandanya pihak kita sudah kehabisan alasan untuk memburukkan
perbuatan mereka. Dan kalau berhala yang mereka sembah dimaki oleh
pihak muslimin, niscaya mereka akan mencerca dan memaki pula apa yang
disembah oleh orang-orang yang beriman. Yang disembah oleh orang-
orang yang beriman, tidak lain hanyalah Allah Swt. Maka oleh karena jahil,
tidak ada ilmu tentang Allah Swt, mereka nanti akan memaki Allah Swt pula.
Padahal sebagaimana dimaklumi orang-orang yang menyembah berhala
itu mengakui juga bahwa Allah Swt tetap ada dan tetap esa.
Mereka menyembah berhala sebagai perantara saja yang akan
menyampaikan permohonan mereka kepada Allah Swt. Tetapi kalau
156 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 141
82
lantaran hati mereka telah tersakiti, sebab berhala mereka dimaki, dengan
tiada ada pertimbangan ilmu lagi, akhirnya mereka pun memaki Allah Swt.
Sakit hati mereka terhadap kaum muslimin yang memaki berhala mereka,
mereka balaskan dengan memaki Allah Swt. Dengan demikian keadaan
tidak akan bertambah baik, melainkan bertambah kacau. Kalau mereka
memaki Allah karena membalaskan caci-makian orang beriman terhadap
berhala mereka, niscaya orang Islam yang memaki itu tidak lepas dari dosa,
sebab mereka yang memulai.157
Ayat ini menunjukkan bahwa maki-memaki karena perbedaan
pendapat atau pendirian tidaklah menunjukkan bahwa orang-orang yang
mengerjakannya itu adalah orang yang berilmu. Di dalam Bahasa arab di
ungkapkan:
البادئ أظلم Artinya : “yang memulai lebih dahulu, itulah yang lebih zalim”.
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Al-
Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin ‘Amr, berkata Rasulullah Saw:
من الكبائر شتم الرجل والديه Artinya : “Termasuk dosa besar seseorang mencerca ayah dan
bundanya”
Maka bertanyalah mereka: “ya Rasulullah! Adakah orang yang
mencerca ayahnya? Beliau pun menjawab :
سب أمه يسب أباالرجل ف يسب أباه ويسب أمه ف ي
Artinya : “Dia memaki ayah seseorang, lalu orang itu memaki
ayahnya pula. Lalu dimakinya ibunya, diapun membalas memaki ibunya
pula”.
157 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid III (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 2134
83
Apabila orang Islam memegang teguh agamanya, tidaklah mungkin
terjadi pertengkarang yang mengakibatkan maki-memaki. Di dalam ayat
udah diisyaratkan bahwasanya perbuatan yang demikian hanya timbul
dengan sebab tidak ada ilmu. Sebagaimana pepatah yang terkenal: “kalau
isi otak tidak ada yang akan dikeluarkan, padahal mulut hendak berbicara
juga, maka akhirnya isi usulah yang akan dikeluarkan!” demikian juga
orang Kristen yang memegang agama denga benar, niscaya mereka tidak
akan memakai perkataan yang dapat menyakitkan hati, kebohongan dan
makian di dalam melakukan propaganda agama mereka sebab dalam salah
satu isi Injil yang mereka pegang ialah “kasihanilah musuhmu”.158 Hamka menyebutkan ada dua atau tiga macam Asbabun Nuzul ayat
tersebut dalam kitab tafsir, yang kesimpulannya adalah bahwa memang
pernah kejadian kaum muslimin ketika berada di Mekah memaki dan
mencela dan mencerca berhala-berhala kaum musyrikin itu, maka lantaran
sakit hati berhala mereka dimaki, mereka maki pula Allah. Sebab kaum
beriman menyembah Allah. Maka datanglah ayat ini, larangan kepada
kaum muslimin memaki berhala mereka, supaya mereka pun tidak memaki
Allah Swt.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Lanjutan ayat ini menegaskan lagi kebiasaan jiwa tiap-tiap
golongan umat, yaitu selalu merasa bangga dengan kelebihan dan
keutamaan yang ada pada mereka. Segala amal perbuatan dihiaskan,
artinya dirasa paling bagus, paling benar. Lantara telah dihiaskan dalam
hati, maka amal yang benar di angkat dan ditonjolkan setinggi langit, yang
sepuluh di jadikan seratus, dan amalan yang salah dibela mati-matian,
supaya dipandang benar.
Pada intinya ayat ini, menerangkan bahwa rasa bangga dengan
usaha sendiri itu adalah ditanamkan oleh Allah sendiri dalam hati tiap-tiap
umat. Dapatlah kita rasakan bahwa penghiasan begini ditanamkan Allah
158 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid III (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 2134-2135
84
untuk menjaga niscaya kebanggaan dan hiasan itu dapat membawa
kegelapan. Adat jahiliyah pusaka nenek moyang yang nyata salahnya, tidak
masuk akal, sebagai menyembah berhala, tentu akan dipertahnkan juga.
Sebagai umat arab sendiri, di zaman jahiliyah dihiaskan bagi mereka
kebanggaan kabilah, kebanggaan berhala, setelah datang Islam,
dikalangan merekalah timbul Nabi akhir zaman Nabi Muhammad Saw. Dan
dengan Bahasa mereka Al-Qur’an diturunkan. Hal ini bolehlah
dibanggakan, karena telah dihiaskan Allah kepada mereka. Tetapi kalau
Nabi Muhammad Saw. Dibanggakan oleh orang arab sebab dia bangsa
arab pada hal yang amalan yang beliau ajarkan tidak diamalkan. Atau orang
arab berbangga sebab Al-Quran berbahasa arab, tetapi tuntunan Al-Qur’an
tidak di ikuti, sama sajalah keadaannya dengan perhiasan yang
dibanggakan orang di zaman jahiliyah.
Di ayat ini Hamka menyebutkan bahwa amal itu dihiaskan Allah
kepada satu umat. Tetapi di ayat yang lain kelak kita akan bertemu pula,
bahwa syaitan pun turut menghiaskan amalan yang jahat kepada orang
yang diperdayakannya, sebagaimana yang tersebut dalam surah Al An’am
sendiri ayat 40 dan 137, surah Al Anfal ayat 49, atau An Nahl ayat 63, An
Naml ayat 24, Al Ankabut ayat 38, atau Hamim-Sajadah ayat 25, dan lain-
lainnya.159
“Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” pada
akhir ayat 8 ini Hamka menyebutkan bahwa bolehlah mereka bangga
menerima apa yang dihiaskan oleh Allah, dan jangan merasa bangga
merima apa yang dihiaskan oleh syaitan. Selama masih hidup di dunia
berlombalah berbuat yang baik, dan bertambah banyak berbuat kebajikan
yang timbul dari hati yang ikhlas, bertambah banyak pula lah pahala yang
akan diterima disisi Allah Swt. Setelah semua mahluk atau umat di
kembalikan kehadirat Allah. Diwaktu itulah nanti akan dijelaskan oleh Allah
159 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid III (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 2135
85
apa saja macam amalan yang kita lakukan di dunia, baik akan dibalas baik
dan keburukan pun akan dibalas dengan keburukan juga. Semua itu akan
dibalas oleh Allah Swt dengan seadil-adilnya.160
3. Batasan Toleransi terhadap keimanan dan peribadatan
Surah Al Kafirun ayat 1-6
ولآأ ) ٣(ولآأنتم عابدون مآأعبد )٢(لآأعبد مات عبدون )١(ن قل ياأي ها الكافرو نا عابد
دينكم ول دين لكم )٥(ولآأنتم عابدون مآأعبد )٤(ماعبدت
Artinya : Katakanlah:"Hai orang-orang kafir!, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah, Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.161 (QS. Al-Kafirun : 1-6).
Penafsiran Hamka
Hamka menyebutkan surah ini diturunkan di Mekah dan tujuan ayat-
ayat ini ialah kaum musyrikin, yang kafir, artinya tidak mau menerima
seruan dan petunjuk kebenaran yang dibawakan Nabi kepada mereka.
Katakanlah Olehmu hai utusanku, kepada orang-orang yang tidak mau
percaya itu. “Hai orang-orang kafir”. Hai orang yang tidak mau percaya.
Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad
Saw untuk menyampaikan kepada orang-orang kafir, yang sejak semula
berkeras menantang ajaran Nabi Muhammad Saw dan sudah diketahui
dalam ilmu Allah Swt bahwa sampai saat terakhir pun mereka tidak akan
mau menerima kebenaran. Mereka menentang, dan Nabi Muhammad Saw
pun dengan tegas pula dalam sikapnya menentang penyembahan mereka
kepada berhala, sehingga timbullah suatu pertandingan siapa yang paling
kuat semangatnya mempertahankan pendirian masing-masing. Maka pada
160 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid III (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 2136 161 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 603
86
satu waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulan-pukulan itu, mencela
berhala mereka, dan menyalahkan kepercayaan mereka.162
Maka bermuafakatlah pemuka-pemuka Quraisy musyrikin itu hendak
menemui Nabi. Mereka bermaksud hendak mencari, “damai”. Yang
mendatangi Nabi itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina ialah Al-
Walid bin Al-Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswas bin Al-Muthalib dan
Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damai, “Ya
Muhammad ! mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang
kamu sembah, tetapi engkau pun hendaknya sedia pula menyembah yang
kami sembah , dan di dalam segala urusan negeri kita ini, engkau turut serta
Bersama kami. Jika seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya
dari pada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya
dengan engkau. Dan jika pegangan kami ini yang lebih benar dari pada apa
yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya
dengan kami, sama mengambil bagian padanya”. Inilah usulan yang
mereka kemukankan kepada Nabi Muhammad Saw.163
Tidak berapa lama setelah mereka mengemukakan usulan ini,
turunlah ayat ini, “katakanlah, hai orang-orang yang kafir ! “Aku tidaklah
menyembah apa yang kamu sembah” (ayat ke 2).
Hamka mengutip dari perkataan Ibnu Katsir yang disalinnya dari Ibnu
Taimiyah arti dari ayat yang kedua: “Aku tidaklah menyembah apa yang
kamu sembah”. Ialah menafikan perbuatan (Nafyul fi’li). Artinya bahwa
perbuatan begitu tidaklah pernah aku kerjakan. “Dan tidak pula kamu
menyembah apa yang aku sembah” (ayat ke 3). Artinya persembahan kita
ini sekali-kali tidak dapat diperdamaikan atau digabungkan. Karena yang
aku sembah hanyalah Allah Swt dan kalian menyembah kepada benda
yaitu kayu, atau batu yang kamu perbuat sendiri dan kamu besarkan
sendiri. “Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana yang aku sembah”
(ayat ke 4). “Dan kamu bukanlah penyembah sebagaimana aku
162 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8132 163 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8132
87
menyembah” (ayat ke 5). Maka apa yang kita sembah itu berlainan: kamu
menyembah berhala dan aku menyembah Allah yang maha esa, maka cara
kita menyembah pun lain pula. Kalau aku menyembah Allah maka aku
melakukan shalat di dalam syarat dan rukun yang telah ditentukan.
Sedangkan kamu menyembah berhala itu sangat berbeda dengan cara aku
meyembah Allah. Oleh sebab itu tidaklah dapat pegangan kita masing-
masing ini didamaikan, “Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah
agamaku”.164 (ayat ke 6)
Hamka meyebutkan jika sesuatu itu berkaitan dengan masalah
akidah, di antara tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat
dikompromika atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau udah
didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.
Hamka juga mengutip perkataan Syech Muhammad Abduh
menjelaskan perbedaan ini di dalam tafsirnya, “dua jumlah kata yang
pertama (ayat 2 dan 3) adalah menjelaskan perbedaan cara beribadah, dan
isi dua ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara
beribadah. Tegasnya apa yang disembah lain dan cara menyembah pun
juga lain. Tidak satu dan tidak sama, yang aku sembah ialah Allah yang
maha esa, yang bersih dari pada segala macam persekutuan, perkongsian,
dan mustahil menyatakan dirinya pada diri seseorang atau sesuatu benda.
Allah yang memberikan karunianya kepada siapa saja yang ikhlas
beribadah kepadanya. Dan maha kuasa menarik ubun-ubun orang yang
menolak kebenarannya dan menghukum orang yang menyembah kepada
yang lain. Sedangkan yang kamu sembah bukan itu, bukan Allah Swt,
melainkan benda. Aku menyembah Allah saja, dan kamu menyembah
sesuatu selain Allah dan kamu persekutukan yang lain itu dengan Allah.
Sebab itu maka menurut aku, ibadahmu itu bukanlah ibadah dan tuhanmu
itu bukan tuhan. Untuk kamulah agama kamu, pakailah agama itu sendiri,
jangan pula aku diajak menyembah yang bukan tuhan itu. Dan untuk akulah
164 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8133
88
agamaku, jangan sampai hendak kamu campur adukkan dengan apa yang
kamu sebut agama itu.165
Hamka mengutip pendapat Al-Qurthubi tentang ringkasan seluruh
ayat surah Al-Kafirun ini. “katakanlah olehmu wahai utusanku, kepada
orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah
berhala-berhala yang kamu sembah dan kamu puja itu, kamu pun rupanya
tidak mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan
dan aku serukan. Malahan kamu persekutukan berhala kamu dengan Allah.
Maka kalau kamu mengatakan kamu menyembah Allah, Perkataan itu
adalah sebuah kebohongan, karena kamu adalah musyrik. Sedangkan
Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain.166 Dan ibadah kita
pun berlainan. Aku tidak menyembah kepada Allah sebagaimana kamu
menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat
diperdamaikan atau dipersatukan, “Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah
agamaku pula”.
Surah Al-Kafirun ini memberikan pedoman yang tegas kepada kita
umat Nabi Muhammad Saw. Bahwa sanya akidah tidak dapat
diperdamaikan. Tauhid dan kesyirikan tidak dapat dipertemukan. Kalau
yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah
yang menang. Oleh sebab itu maka akidah tauhid itu tidaklah mengenal apa
yang dinamakan Cynscritisme, yang berarti menyesuai-nyesuaikan. Misal
seperti penyembahan berhala dengan sembahyang atau menyembelih
binatang guna pemujaan hantu atau jin dengan membaca Bismillah. Ini
tidak bisa disatukan.167
165 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8133 166 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8134 167 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8134
89
4. Tidak ada Paksaan dalam Beragama
a) Surah Al Baqarah ayat 256
الرشد من الغي ين قد ت ب ين ف قد استمسك فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن بالله لآإكراه ف الد
.ليم ع بالعروة الوث قى لا انفصام لا والله سميع Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.168 (QS. Al-Baqarah: 256).
Penafsiran Hamka
Dalam Menafsirkan ayat ini Hamka mengemukakan asbabun nuzul
yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Mundzir, Ibnu Jarir, Ibnu
Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaihi, dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas dan
beberapa riwayat lainnya. Bahwa penduduk Madinah sebelum memeluk
agama Islam, merasa bahwa kehidupan orang yahudi lebih baik dari
kehidupan mereka sebab mereka masih jahiliyah. Sebab itu, di antara
mereka ada yang menyerahkan anaknya kepada orang yahudi untuk dididik
dan setelah besar mereka menjadi yahudi. Ada pula perempuan Arab yang
tiap beranak mati, maka kalua ia beranak lagi, lekas-lekas diserahkan
kepada orang yahudi. Dan oleh orang yahudi anak-anak tersebut
diyahudikan. Selanjutnya, orang Madinah menjadi Islam, dan menjadi kaum
Anshar. Maka setelah Rasulullah pindah ke Madinah, dibuatlah perjanjian
dengan kabilah-kabilah yahudi yang tinggal di Madinah. Akan tetapi dari
bulan ke bulan, tahun ke tahun, perjanjian itu mereka ingkari, baik dengan
cara halus maupun kasar. Akhirnya, terjadilah pengusiran terhadap Yahudi
Bani Nadhir yang telah didapati telah dua kali hendak membunuh Nabi.
Namun ditengah-tengah Bani Nadhir itu ada anak orang Anshar yang telah
menjadi Yahudi. Ayah anak itu memohon kepada Nabi supaya anak itu
168 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 42
90
ditarik kepada Islam, kalua perlu dengan paksaan. Si ayah yang telah
memeluk Islam tidak sampai hati melihat anaknya yang menjadi Yahudi.
“Belahan diriku sendiri akan masuk neraka, ya Rasulullah!” kata orang
Anshar itu. Di waktu itulah turun ayat ini.169
“Tidak ada paksaan dalam beragama”, Hamka menjelaskan dalam
pangkal ayat ini melalui asbabun nuzul nya kalau seorang anak itu sudah
jelas menjadi yahudi, tidak boleh ia dipaksa memeluk Islam. Menurut
riwayat Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad Saw. Hanya memanggil anak-
anak itu dan disuruh memilih, apakah sudi memeluk agama ayah mereka,
yaitu Islam, atau tetap dalam yahudi dan turut diusir? Menurut riwayat, ada
di antara anak-anak itu yang memilih Islam dan ada yang terus menjadi
Yahudi lalu berangkat dengan orang Yahudi yang mengasuhnya itu
meninggalkan Madinah. Menurut Hamka ayat ini merupakan suatu
tantangan kepada manusia karena Islam adalah benar. Orang tidak akan
dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya diajak untuk berfikir. Asal dia
berfikir sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam.170 Keyakinan suatu
agam tidak boleh dipaksakan, sebab “Telah nyata kebenaran dan
kesehatan”. Orang boleh menggunakan akalnya untuk menimbang dan
memilih kebenaran itu, dan orang pun mempunyai pikiran waras untuk
menjauhi kesesatan.171
“Maka barang siapa yang menolak segala pelanggaran batas dan
beriman kepada Allah, maka sesunggunya telah berpeganglah dia dengan
tali yang amat teguh, yang tidak akan putus selama-lamanya”. Agama Islam
memberikan kesempatan buat mempergunakan fikirannya yang murni,
guna mencari kebenaran. Asal orang sudi membebaskan diri pada hanya
turut-turutan dan pengaruh dari hawanafsunya, niscaya dia akan bertemu
dengan kebenaran itu. Apabila inti kebenaran telah di dapatkan, niscaya
iman kepada Allah mesti timbul. Dan segala pelanggaran yang melampaui
169 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid I (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 623 170 Ibid, Hamka. hal 623 171 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid I (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 624
91
batas mesti hilang. Tetapi suasana yang seperti ini tidak bisa dipaksakan,
mesti timbul dari keinsafan diri sendiri. di ujung ayat ini dijelaskan “dan Allah
maha mendengar, lagi mengetahui”. Sungguh ayat ini merupakan suatu
tantangan kepada manusia, karena Islam adalah benar. Orang tidak akan
dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya diajak buat berfikir. Asal ia berfikir
sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam. tetapi kalau ada paksaan, mesti
timbul pemerkosaan fikiran, dan mestilah timbul taqlid.
Ayat ini adalah dasar teguh dari Islam. musuh-musuh Islam
membuat berbagai macam fitnah yang dikatakan ilmiah sifatnya bahwa
Islam dimajukan dengan pedang. Islam dituduh memaksa orang memeluk
agama. “Pengetahuan” seperti inipun kadang-kadang dipaksakan supaya
diterima orang, terutama dimasa-masa negeri Islam dalam penjajahan.
Hamka menyebutkan orang dipaksa menerima teori itu dan tidak diberikan
kesempatan membandingkan.172
Hamka menyebutkan, kalau orang bener-bener hendak Ilmiah
memilih kebenaran sesuatu, maka cari dari sumber aslinya. Apa sumber
asli Islam kalau bukan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Hadis). Ayat 256
surah Al-Baqarah inilah yang menjadikan sumber bahwa Islam tidak pernah
memaksa dalam memeluk agama. Kita melihat jelas bahwa kaum Yahudi
Bani Nadhir diusir habis dari Madinah, karena mereka mengadakan suatu
kelompok untuk membunuh Nabi Muhammad Saw. Yang waktu itu menjadi
pemimpin masyarakat Madinah. Tidak ada perkataan ketika itu bahwa kalau
mereka sudi memeluk Islam, mereka akan diusir. Malahan anak-anak kaum
anshor sendiri, yang telah jadi Yahudi, tidak dipaksa memeluk agama ayah
mereka, meskipun ayah itu sendiri meminta kepada Nabi Muhammad Saw.
Supaya anak itu dipaksa. Dalam pengusiran bani Nadhir itu sudahlah
sangat terang perbedaan soal politik dengan soal keyakinan agama.
Mereka diusir dari Madinah. Karena mereka ingin membunuh Nabi. Tetapi
mereka tidak dipaksa masuk Islam, dan anak-anak orang arab sendiri yang
172 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid I (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 625
92
telah memeluk Yahudi tidak dipaksa supaya memeluk agama ayah-bunda
mereka.173
Jadi pada ayat ini Hamka menjelaskan kepada kita bahwa dalam
Islam tidak ada yang Namanya nya pemaksaan dalam beragama. Yang ada
adalah agama Islam hanya dianjurkan untuk berdakwah yang benar saja,
tanpak memaksa. Karena setiap manusia mempunyai fikiran yang waras
dalam menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik dalam hal
Bergama.
b) Surah Yunus ayat 99-100
ي وا مؤمنين عا أفأنت تكره الناس حت يكون ولو شآء ربك لأمن من ف الأرض كلهم ج
لاي عقلون ل الرجس على الذين وماكان لن فس أن ت ؤمن إلا بإذن الله ويع Artinya : Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah ka(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya, Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.174 (QS. Yunus: 99-100).
Penafsiran Hamka
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya.” (pangkal ayat 99) Hamka menyebutkan
Rasulullah Saw tentu ingin sekali agar seluruh isi bumi ini beriman kepada
Allah. Jangan ada juga hendaknya orang yang durhaka kepada Allah.
Ibaratnya penuh sesaklah masjid oleh orang yang beribadah kepada Allah,
tidak ada lagi yang masih bersilang-siur di luar tidak mempedulikan
sembahyang. Semua yang hidup di dunia ini percaya kepada Allah, tidak
seorang pun yang membantah. Allah pun maha kuasa berbuat yang
demikian itu. Bukankah Allah telah menciptakan malaikat yang taat dan
setia selalu, Bukankah Allah telah menjadikan semut atau lebah yang
173 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid I (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 626 174 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 220
93
sepakat dan tidak pernah bertingkah. Tetapi jika Allah menciptakan
manusia seperti yang demikian itu, niscaya manusia bukan sebagai
manusia lagi. Karena hilanglah akal manusia itu, yang tertinggal hanyalah
naluri saja.175
Allah menjadikan manusia dan diberikannya akal, manusia menjadi
khalifah Allah di muka bumi ini, satu makhluk yang luar biasa ajaibnya.
Dengan adanya manusia berakal itu timbullah pertimbangan mencari
perbedaan mana yang buruk dan mana yang benar, dan untuk mengetahui
apa artinya iman, manusia tidak akan tahu kalau tidak ada kufur. Maka
kalau Allah menghendaki supaya manusia itu beriman semuanya, mudah
saja bagi Allah. Akan tetapi manusia akan kehilang kegiatan berfikirnya dan
hilanglah perjuangan manusia untuk mencari nilai-nilai dalam kehidupan.
“Maka apakah hendak engkau paksa manusia sehingga semuanya itu
menjadi beriman?”.(Ujung ayat 99) pada ujung ayat ini Hamka
menyebutkan bahwa penggalan ayat ini berbentuk pertanyaan :” apakah
engkau hendak memaksa orang?”, padahal paksaan hanya dapat di
lancarkan untuk merubah kulit, namun batin manusia tidaklah dapat
dikuasai. Kewajiban Rasul bukanlah memaksakan, melainkan
menyampaikan, memberikan dakwah, menerangkan bahaya yang
mengancam bagi orang yang tidak mau percaya dan memberikan kabar
gembira bagi siapa yang beriman. Hamka menyebutkan bahwa paksaan
hanya memperbanyak kurban. Paksaan hanya dapat dilakukan oleh orang
yang memiliki kekuasaan, yang hati kecilnya sendiripun tidak yakin bahwa
dia dipihak yang benar.176
Ayat ini dan ayat 256 dari surah Al-Baqarah, yang bermakna tidak
ada paksaan dalam agama, adalah pokok asas dari dakwah Islam. Menurut
Hamka paksaan itu tidak perlu, yang diperlukan adalah kegiatan dakwah.
Manusia memiliki akal yang waras, dan memiliki fitrah. Pandangan manusia
yang hidup dipengaruhi oleh lingkungannya. Penilaian benar atau salah
175 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid V (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 3399 176 Ibid, Hamka, hal 3399
94
dipegaruhi alam sekelilingnya. Kalau dia mendapatkan keterangan ataupun
dakwah yang sesuai dengan hatinya, artinya bebas dari paksaan, mereka
akan menyerah dengan sendirinya. Kalau orang dipaksa masuk Islam,
padahal batin/hatinya tidak menerima, maka akan percuma saja dan
keadaanpun tidak akan berubah.177
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah”.
(pangkal ayat 100), Hamka menyebutkan artinya Allah telah memberikan
manusia akal fikiran buat menimbang di antara yang buruk dan baik. Nabi
atau Rasul sendiripun tidaklah berkuasa membuat orang menjadi beriman.
Manusia hanya berikhtiyar dan saling mengingatkan antara lainnya.
Adapun yang akan menganugerahkan iman yang begitu mulia, iman yang
menjadi sinar dari sekalian hidup manusia ialah Allah sendiri. Manusia
memang bebas memilih sesuatu dalam lingkaran sebab dan akibat, tetapi
kebebasannya itu terbatas di dalam susunan sunnatullah dan takdir. Di ayat
ini dituliskan “Dengan izin Allah”, artinya dengan kehendak Allah yang
sesuai dengan hikmatnya yang tetinggi. Begitu juga seperti maut. Allah Swt
berfirman di dalam surah Ali Imran ayat 145 bahwa seseorang tidak akan
mati, kalau tidak ada izin dari Allah.
Maka ada orang yang mencoba ingin bunuh diri dengan melompati
jembatan, tiba-tiba diluar perhitungannya, celananya tersangkut di salah
satu kaitan besi jembatan tersebut, sehingga dia tidak jadi hanyut kesungai,
dan dapat ditolong oleh orang lain. Demikian pula masalah Iman. Nabi
Muhammad Saw berusaha, guru-guru agama berusaha, dan orang yang
bersangkutanpun berusaha, namun keputusan memberikan Iman itu
adalah Allah Swt sendiri.178
Pada ujung ayat 100 Allah Swt menyebutkan “dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”.
Walaupun pada pangkal ayat ini sudah dijelaskan bahwa meresapnya Iman
seseorang atas izin Allah, semoga Allah memudahkan kudrat dan
177 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid V (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 3400 178 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid V (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 3401
95
sunnahnya. Namun pada ujung ayat ini Allah memberikan titik terang bagi
orang yang suka mempergunakan akal dan fikiran. Sebab manusia telah
diberikan akal oleh Allah. Dengan akal itu hendaknya manusia itu sendiri
memilih mana yang baik dan menjauhi yang buruk.
Serta mempertimbangkan mana yang manfaat dan mudharat. Tetapi
orang yang tidak mau mempergunakan akalnya dengan baik, seperti
mempunyai mata tapi tidak mau melihat, mempunyai telinga tapi tidak mau
mendengar, dan berotak tidak mau berfikir, itulah yang akan diliputi oleh
kotoran. Yaitu kotoran batin, sebab yang mereka ikuti itu bukanlah akal
melaikan hawa nafsunya.179
c) Surah Al Kahfi ayat 29
لمين نارا أحاط آء ف ليكفر إنآ أعتدنا للظاوقل الق من ربكم فمن شآء ف لي ؤمن ومن ش
سآءت مرت فقامهل يشوي الوجوه بئس الشراب و سرادق ها وإن يستغيثوا ي غاثوا بآء كال بم Artinya: Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.180 (QS. Al-Kahfi ayat 29).
Penafsiran Hamka
“Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu” (Pangkal
ayat 29) Hamka menyebutkan bahwa kebenaran hanya milik Allah, bukan
dari aku atau kamu. Kebenaran adalah di atas dari kita semua. Dalam
mengadapi kebenaran tidaklah berbeda di antara orang kaya dengan orang
yang muskin, atau orang yang kuat dengan ornag yang lemah. “Sebab itu
maka barangsiapa yang mau berimanlah”. Kalau ia merasa bahwa yang
179 Ibid, Hamka, hal. 3401 180 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 297
96
benar memang besar, disetujui oleh hati sendiri, maka berimanlah. “dan
barang siapa yang mau, maka kafirlah!”, sebab kamu sendiri ada diberikan
akal oleh Allah Swt. Engkau sendiri dapatlah menimbang dan mengunci
kebenaran itu. Jika kamu beriman selamatlah kamu, sebab kamu telah
menurut dari akalmu sendiri.
Dan jika kamu mau kafir, yang akan menanggung akibat dari
kekafiran itu bukan pula orang lain, melainkan kamu sendiri.
“Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang yang zalim itu,
api neraka, yang mengepung kepada mereka pagar-pagarnya”. Orang yang
kafir adalah orang yang zalim, orang yang aniaya. Karena ia melawan
kepada kebenaran dari Allah Swt. Maka nerakalah tempatnya, karena ia
sendiri yang memilih jalan kepada hal itu. “dan jika mereka meminta minum,
akan diberi minum mereka dengan air yang seperti logam cair, yang
menghanguskan muka mereka”. Sebab itu mereka tidak akan terlepas dari
kehausan, melainkan semakin diminum maka semakin sengsara, muka
habis dibakar oleh panasnya api neraka dan panasnya minuman yang
seperti logam cair itu: “Sejahat-jahat minuman dan seburuk-buruk tempat
duduk”. (ujung ayat 29) begitulah akhir kesudahan atau akibat dari pada
orang-orang yang sombong itu, yang merasa kedudukannya sekarang
terlalu tinggi, lalu menolak kebenaran yang datangnya dari Allah.181 d) Surah Lukman ayat 15
هما ف اوإن جاهداك على أن تشرك ب ماليس لك به ع ن يا لم فلا تطعهما وصاحب لد
ملون مرجعكم فأن بئكم با كنتم ت ع معروفا واتبع سبيل من أناب إل ث إل
Artinya : Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang
181 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid VI (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 4190-4191
97
telah kamu kerjakan.182 (QS. Luqman :15).
Penafsiran Hamka
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu”. (pangkal ayat 15)
Hamka menyeburkan bahwa Ilmu yang sejati niscaya diyakini oleh
manusia. Manusia yang telah berilmu amat payah untuk digeserkan oleh
sesama manusia kepada suatu pendirian yang tidak berdasar ilmiah.
Bahwa Allah adalah esa, adalah puncak dari segala ilmu. Satu waktu
pernah ada seorang anak yang setia kepada orang tuanya akan didesak,
dikerasi, kadang-kadang dipaksa oleh orang tuanya buat mengubah
pendirian yang telah diyakini. Sekarang terjadi ibu dan bapak yang wajib
dihormati itu sendiri yang mengajak agar menukar ilmu dengan kebodohan,
menukar tauhid denga syirik. Tegas-tegas dalam ayat ini Allah memberikan
pedoman: “janganlah engkau ikuti keduanya”.
Tentu timbul pertanyaan, “Apakah dengan demikian si anak bukan
mendurhaka kepada orang tua?” jawabnnya udah diteruskan oleh Allah
pada lanjutan ayat, “Dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan
sepatutnya”. Artinya ialah bahwa keduanya selalu dihormati, disayangi,
dicintai dengan sepatutnya, dengan yang ma’ruf. Jangan mereka dicaci dan
dihina, melainkan tunjukkan saja bahwa dalam hal akidah memang berbeda
akidah engkau dengan akidah beliau. Kalau mereka sudah tua, asuh
jugalah mereka dengan baik. Tunjukkan bahwa muslim yang memiliki
budipekerti yang baik.
Menurut riwayat hal seperti ini terjadi pada masa sahabat, ada
seorang anak yang khitmat kepada ibunya. Setelah aku masuk Islam ibuku
berkata: “Apakah yang aku lihat telah terjadi pada dirimu ini? Engkau
tinggalkan agama ini, atau aku tidak makan dan minum sampai aku mati,
sehingga semua orang menyalahkan engkau, dikatakan orang: “Hai
pembunuh ibu!”. Lalu aku jawab: “Jangan engkau berbuat begitu, wahai
182 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 412
98
ibuku! Aku tidak akan meninggalkan agamaku ini, walaupun apa
sebabnya!”.183
Maka ibunya pun tidak mau makan sampai tiga hari semalam.
Setelah hari pagi kelihatan ibunya itu sudah letih. Setelah anaknya lihat
keadaan ibunya demikian, berkatalah seorang anak itu: “wahai ibuku!
Hendaklah ibu ketahui, walau ibu mempunyai 100 nyawa, lalu nyawa itu
lepas dari tubuh ibu satu demi satu, tidaklah aku akan meninggalkan
agamaku ini. Kalau ibu suka, lebih baik ibu makan. Kalai ibu tidak suka
teruslah tidak makan. Mendengar jawaban setegas itu akhirnya beliau
makan juga”, inilah kisah pada zaman sahabat.184
“dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaku”. Yaitu jalan yang
ditempuh oleh orang-orang yang beriman. Karena itulah jalan yang selamat,
yang tidak berbahaya. “kemudian itu kepada akulah kamu sekalian akan
pulang”. Karena datangnya kita ini adalah dari Allah, perjalanan hidup di
dunia dalam jaminan Allah dan kelaknya akan pulang kepadanya. “maka
akan aku berikan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (ujung ayat
15). Allah yang akan menilai baik buruknya apa yang kamu amalkan selama
dalam dunia ini. Sebab itulah dari sekarang pula bimbingan Allah wajib
diterima, dengan menempuh jalan yang ditempuh oleh orang yang beriman.
Jangan menempuh jalan sendiri.185
C. Analisis Pemikiran Hamka Tentang Ayat-Ayat Toleransi dan
Kebebasan Beragama
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap penafsiran
Hamka tentang ayat-ayat toleransi dan kebebasan beragama dalam kitab
tafsir al Azhar. Penulis beranggapan, dunia ini sangat beragam, tidak hanya
satu warna, tetapi kompleks. Di samping bermacam-macam dan bertingkat-
tingkat, warna tersebut juga hampir tak terhingga, bisa diolah dan di campur
dengan warna lain sehingga menjadikan warna baru. Walaupun sudah ada
183 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid VII (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 5568 184 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid VII (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 5569 185 Ibid, Hamka. hal 5569
99
banyak jenis warna, masih mungkin untuk menambah warna baru dengan
cara meramu antara satu warna dengan warna yang lain.
Indonesia menjadi salah satu Negara yang menjadi tempat
berkembangnya berbagai agama seperti, Yahudi, Kristen, Islam, Hindu,
Budha, dan aliran-aliran kepercayaan lain yang bertujuan untuk mencari
ketenangan. Perbedaan tersebut sering kali menimbulkan konflik antar
umat atas nama agama dengan mengklaim agama atau aliran yang
dianutnya adalah benar (truth claim) dan menganggap selain yang di anut
itu salah, bahkan sampai mengkafirkan. Tidak seharusnya perbedaan
tersebut menjadikan timbulnya konflik (atas nama agama) antar sesama
pemeluk agama, khususnya agama Islam. Karena dalam Islam
mengajarkan kepada perdamaian, yaitu ajaran yang hanif (kasih sayang,
toleransi) untuk seluruh umat manusia.
Al-Qur’an sebagai kitab yang bersifat universal memberikan petunjuk
kepada umat Islam untuk bersifat toleran kepada umat agama lain. Melalui
ayat-ayat nya Allah memberikan petunjuk kepada seluruh umat beragama
untuk melaksanakan sikap toleransi dan memberikan kebebasan dalam
beragama sebagaimana yang penulis dapatkan dari penafsiran Hamka.
Maka oleh karena itu, penulis membagi ayat-ayat toleransi dan
kebebasan beragama kepada empat tema yaitu, berlaku adil dan baik
terhadap non muslim, larangan menghina sembahan non muslim, Batasan
toleransi terhadap keimanan dan peribadatan, dan tidak ada paksaan
dalam beragama.
1. Berlaku adil dan baik terhadap non muslim
Hamka menjelaskan surah Al-Fatihah ayat 1 ini mengandung dua
sifat Allah swt yaitu al-Rahmân dan al-Rahîm yang menurut Hamka adalah
bermakna maha pemurah, kasih sayang, cinta, santun dan perlindungan.
Fungsi kedua sifat ini disebut terlebih dahulu sebelum menyebutkan sifat-
sifat Allah yang lain, guna untuk menangkis anggapan orang yang
menggambarkan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang amat ditakuti, atau
menakutkan, seram, dan kejam, sehingga orang yang memuja-Nya di
100
karena takut akan murka-Nya. Dengan demikian ayat ini secara implisit
menggambarkan bahwa Allah swt adalah dzat yang maha pemurah,
penyayang dan melindungi. Allah swt tidak memaksa manusia untuk
memuja-Nya karena Ia tidak butuh dipuja sebagaimana keterangan Hamka.
Hamka menjelaskan dalam surah Asy-Syura ayat 15 ini bahwa
walaupun kita berbeda agama dengan orang lain. Sikap adil terhadap
sesama manusia harus tetap terjaga, seperti mencetuskan sebuah
kebenaran dan kenyataan di dalam membuat keputusan haruslah dengan
adil. Karena Hamka menginginkan setiap manusia Bersatu dan tidak
berpecah belah. Sesuai dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad
Saw. Agar manusia Bersatu pada agama yang hanif dan berpegang teguh
pada tali agama Allah dan jangan berpecah belah.
M. Quraish Shihab menjelaskan juga dalam tafsir Al-Misbah surah
Asy-Syura ayat 15, untuk mengajak manusia seluruhnya Bersatu dan
istiqamah dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana diperintahkan
kepadamu oleh Allah Swt. Dan janganlah mengikuti hawa nafsu dan berlaku
adil diantara kamu semua.186 Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wasith,
Allah memerintahkan Nabinya untuk mengatakan, “Aku membenarkan
seluruh kitab yang diturunkan dari langit, Allah yang menurunkannya
kepada nabi-nabi dan rasul-rasulnya, yang meliputi Taurat, Injil, Zabur,
serta shuhuf (lembaran) milik Ibrahim, Musa dan Syits. Allah juga
memerintahkan nabinya untuk bersikap adil di antara manusia biar apapun
agama mereka berbeda-beda, dengan mengedepankan kebenaran dan
keadilan dalam menetapkan keputusan hukum apabila mengajukan
gugatan perkara kepadanya.187
Hamka menjadikan juga Surah Al-Mumtahanah ayat 7-9 sebagai
pedoman bagi umat Islam untuk bergaul dan berinteraksi sehari-hari
dengan komunitas di luar Islam. Umat Islam dipersilahkan untuk bergaul
186 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, vol 12, Cetakan: Pertama, (Jakarta: Lentera Hati 2013). hal 476 187 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith (Al-Qashash-An-Nas) Jilid 3, diterjemahkan oleh Muhtadi, dkk, Cetakan pertama, (Jakarta: Gema Insani 2012). hal 361
101
dengan akrab, bertetangga, saling tolong menolong, bersikap adil dan jujur
kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika ada bukti bahwa pemeluk agama
lain itu hendak memusuhi, memerangi dan mengusir umat Islam, maka
semua yang diperbolehkan itu menjadi terlarang. “Meskipun pandangan
kita sebagai umat beragama berbeda, tapi kita masih bisa bertetangga
secara jujur. Karena pada pendirian kami, agama itu tidak bisa dipaksakan.
Karena agama merupakan persoalan petunjuk dan hidayah illahi”. Kalimat
tersebut, keluar dari lisan Hamka, ulama sekaligus pengarang yang luas
wawasan keilmuannya. Sepintas kita akan segera tahu maksud dari tulisan
itu, yakni mengandung semangat toleransi dalam bermasyarakat,
khususnya di Indonesia.
“Kami” yang dimaksud dalam tulisan tersebut tentu merujuk kepada
umat Islam. Inilah yang mesti difahami segenap muslim, sebagai pedoman
hidup dalam bermasyarakat. Di satu sisi, umat muslim memang
diperintahkan untuk berdakwah, demi menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar di muka bumi. Akan tetapi, disisi lain mesti difahami juga bahwa
dalam berdakwah, hendaknya dengan cara yang baik-baik. Tidak
dibenarkan dakwah dengan kekerasan, karena dengan demikian akan
membuat masyarakat takut dan menjauh. Perlu disadari pula bahwa
perbedaan di antara manusia adalah sebuah keniscayaan atau yang biasa
disebut dengan sunnatullah yang tidak bisa dirubah.
Namun, perbedaan ada bukan untuk diseragamkan, melainkan
dikelolah. Maka wajar jika Hamka sebagai muslim mengatakan, bahwa
perbedaan tidak menghalangi untuk bertetangga. Oleh karena itu ayat ini
menganjurkan kepada kita untuk menerapkan kerukunan antara umat Islam
dengan non muslim agar tidak menimbulkan pertikaian antara sesama umat
manusia, serta berbuat baik dan berlaku adil-lah agar tali persaudaraan
antara umat beragama tetap terbina dengan kokoh dan tidak ada timbul
permusuhan ataupun peperangan antara umat beragama.
102
2. Larangan menghina sembahan non muslim
Sebagai seorang muslim kita dilarang untuk saling menghina satu
sama lain, apa lagi semua itu berkaitan tentang agama. Yang dianjurkan
kepada kita ialah menjalani hidup dengan damai, sebagaimana yang di
jelaskan Hamka dalam tafsirnya surah Al-Baqarah ayat 62. Hamka
menyebutkan bahwa ayat ini menyatakan tentang hidup berdampingan
secara damai dan menganjurkan persatuan antara pemeluk agama.
Dan Hamka menjelaskan pula dalam surah Al-An’am ayat 108 bahwa
Umat manusia dianjurkan untuk menghormati sembahan non muslim agar
mereka juga mampu menghormati Allah yang disembah oleh kita umat
Islam. Dan sebaliknya kita sebagai umat Islam dilarang mencaci-maki
sesembahan yang disembah oleh orang non muslim karena itu akan
menyebabkan mereka akan balik memaki Allah dengan tanpa ilmu. Lebih
baik ditunjukkan saja kepada mereka alasan yang masuk akal bagaimana
keburukan menyembah berhala atau tuhan selain Allah.
Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan pula bahwa Allah dan Rasul melarang
kaum muslimin memaki sesembahan orang musyrik sekalipun dalam
makian terkandung maslahat hanya saja akan mendapatkan mafsadah
kerusakan yang lebih besar dari itu, yang di maksud adalah makian
terhadap kaum musyrikin kepada tuhan kaum muslimin.188 Dalam
kesempatan lain M. Quraish Shihah menyebutkan bahwa ayat ini juga
memberikan bimbingan kepada kaum muslimin untuk tidak melakukan hal-
hal yang tidak menyangkut mencaci tuhan-tuhan non muslim maupun
penganut agama selain Allah Swt. Boleh jadi mereka berbalik memaki Allah
melebihi Batasan kewajaran.189
Oleh karena itu, sebaiknya kita sebagai seorang muslim bisa berfikir
cerdas dalam mengambil sebuah tindakan. Sebab jika kita salah dalam
188 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith (Al-Qashash-An-Nas) Jilid IV, diterjemahkan oleh Muhtadi, dkk, Cetakan pertama, (Jakarta: Gema Insani 2012). hal 344 189 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, vol 12, Cetakan: Pertama, (Jakarta: Lentera Hati 2013). hal 606
103
berucap, itu akan menjadi boomerang bagi diri kita sendiri dan tentunya
akan merugikan diri kita dan orang banyak. Maka sepantasnya kita sebagai
seorang muslim untuk menjaga kemajemukan di Negara kita ini, agar
kerukunan antar umat beragama akan tetap terjaga dan hidup pun akan
menjadi tenteram.
3. Batasan toleransi terhadap keimanan dan peribadatan
Pada surah Al-Kafirun ini Hamka menjelaskan kepada kita bahwa
adanya Batasan terhadapat toleransi keimanan dan peribadatan, Sehingga
di dalam surah Al-Kafirun itu ditegaskan adanya larangan
mencampuradukkan akidah dan keimanan Islam dengan agama lain.
Karena kemurnian akidah Islam harus dijaga dengan baik. Sebagaimana
pada ayat pertama surah Al-Kafirun ini menjelaskan tentang ikrar kemurnian
tauhid. Disitu jelas, bahwa tidak ada yang dapat menyamai kebenaran
akidah Islam.
Oleh karena itu Allah melarang hambanya mencampuradukkan akidah
dan keimanan yang ia anut dengan keyakinan umat lain. Pada ayat kedua
dalam Al-Kafirun ini, menjelaskan tentang ikrar penolakan terhadap semua
bentuk praktik peribadatan kepada selain Allah Swt. Seperti yang dilakukan
oleh orang-orang kafir. Islam menganjurkan umatnya bertoleransi. Akan
tetapi, jika sudah menyangkut masalah akidah, keimanan, dan ibadah Islam
tidak lagi mengenal toleransi.
Hamka pernah menjabat sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia)
pertama, dan beliau juga dikenal sebagai ulama Muhammadiyah. Pada saat
itu beliau mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam terkait perayaan Natal
bersama. Pada 19 Mei 1981. Hamka meletakkan jabatannya sebagai ketua
MUI karena merasa ditekan oleh menteri agama waktu itu, Alamsjah Ratoe
Perwiranegara. Ia memilih mundur ketimbang harus menganulir fatwa
tersebut.190
190 Yunuardi Syukur & Arlen Ara Guci, Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, (Tinta Medina, Solo 2017). hal. 53
104
Namun dalam hal ini Hamka bukan melarang mengucapkan selamat
Natal, beliau hanya mengharamkan mengikuti ibadah perayaan Natal,
seperti menyanyi di gereja, membakar lilin atau apapun yang termasuk
ibadah pada hari Natal. Irfan Hamka pernah mengisahkan dalam bukunya
Ayah, bahwa Hamka juga pernah mengucapkan “selamat telah merayakan
Natal kalian” bagi penganut Kristen. Kata “Natal Kalian” itu untuk membatasi
akidah. Pasalnya dalam al-Qur’an disebutkan “Bagimu Agamamu, Bagiku
Agamaku. Bahkan Hamka pernah meminta Istrinya untuk memberikan
rendang kepada tetangganya. Tapi, rendang tersebut diberikan bukan saat
malam Natal, melainkan tahun baru masehi.
Dilihat dari pemaparan Hamka sangat tegas, bahwa masalah akidah
tidak bisa di kompromikan, karena ini berkaitan dengan masalah keyakinan
dan keimanan. Sikap tegas Hamka ini dapat difahami sebagai wujud
keterpengaruhannya Hamka terhadap kehidupan beragama pada saat itu.
Maka, kita sebagai seorang muslim hendaknya selalu memegang prinsip
akidah tersebut. Jangan sampai kita mudah dipecahkan atau dipermainkan
dengan kehidupan yang ada tanpa melihat bagaimana agama memandang
itu semua.
M. Quraish Shihab berpandangan bahwa umat Islam diperbolehkan
menghadiri perayaan hari raya non-Muslim dan mengucapkan selamat
Natal, dengan argumen bahwa Allah swt., mengabadikan ucapan selamat
Natal di dalam surat Maryam ayat 33:
ي وم أب عث حياوالسلام علي ي وم ولدت وي وم أموت و
Artinya: Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada
hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan
hidup kembali".191
Melalui ayat di atas M. Quraish Shihab berpendapat bahwa dalam
konteks ucapan selamat Natal, kalaupun non-muslim memahami ucapan
191 Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1- Juz 30 (Departemen Agama RI, 2004), hal. 244.
105
tersebut sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena
seorang muslim yang mengucapkannya memahami ucapannya sesuai pula
dengan keyakinannya. Adapun larangan pengucapan selamat Natal oleh
MUI menurutnya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang khawatir akan
hilangnya akidah. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat ulama
pada umumnya, Ali Mustafa Yakub mengatakan bahwa M. Quraish Shihab
juga berargumen tentang pembolehan ucapan selamat Natal dengan hadis
nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
نة أخب رنا إسحاق بن عبد الله بن أب ط ث نا سفيان بن عي ي ث نا بشر بن الكم حد لحة حد
ع أنس بن مالك رضي الله عنه ي قول و طلحة اشتكى ابن لأب طلحة قال فمات وأب أنه سم
و طلحة خارج ف لما رأت امرأته أنه قد مات هيأت شيئا ونته ف جانب الب يت ف لما جاء أب
طلحة أن ها قال كيف الغلام قالت قد هدأت ن فسه وأرجو أن يكون قد است راح وظن أبو
ع صادقة قال ف بات ف لما أصبح اغتسل ف لما أراد أن يرج أعلمته أنه قد مات فصلى م
هما ف قال رسول النب صلى الله عليه وسلم ث أخب ر النب صلى الله عليه وسلم ب ا كان من
لتكما الله صلى الله عليه وسلم لعل الله أن ي بارك لكما ف لي Artinya: Anas bin Malik meriwayatkan bahwa anak dari Abu Thalhah
mengeluh kesakitan, sehingga meninggal dunia sedangkan Abu Thalhah
sedang keluar. Ketika isterinya melihat kematian anaknya, maka ia
memindahkan anaknya ke sudut rumah. Lalu ketika Abu Thalhah pulang, ia
bertanya, “bagaimana keadaan si anak? “isterinya menjawab: tubuh si anak
telah tenang tertidur, aku berharap ia bisa beristirahat.” Abu thalhah
mengira bahwa isterinya berbicara yang sebenarnya. Kemudian Abu
Thalhah tidur. Setelah pagi hari ia mandi. Ketika Abu Thalhah ingin
berangkat keluar, isterinya memberitahukan bahwa sebenarnya anak
106
mereka telah meninggal. Lalu Abu Thalhah salat subuh berjamaah denan
Nabi saw., setelah itu, ia memberitahukan kepada Nabi saw., keadaan yang
menimpa keluarganya. Maka Nabi saw., bersabda, “semoga Allah telah
memberkahi malam kalian berdua”.192
Hadis yang dijadikan dalil oleh M. Quraish Shihab adalah sahih
karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri yang telah disepakati
kesahihannya dan diterima oleh umat Islam. Namun menurut Ali Mustafa
Yaqub metode pengambilan dalilnya untuk memperbolehkan pengucapan
Selamat Hari Raya Natal oleh seorang Muslim kepada orang Kristen; jika ia
berniat dengan pengucapan itu salam terhadap Nabi Isa bin Maryam, perlu
ditinjau kembali.
Pasalnya jika ditinjau apa yang terjadi pada sahabat Abu Thalhah
tidaklah berkaitan dengan permasalahan akidah. Perkataan tersebut tidak
merusak agama dan akidah. Menurut Ali Mustafa Yakub tindakan isteri Abu
Thalhah pada hadis tersebut bermaksud untuk menenangkan hati
suaminya yang baru datang dari luar rumah. Sikap tersebut hanya untuk
menjaga keharmonisan rumah tangga saja, agar suaminya tidak terlalu
bersedih karena kematian anaknya.
Imam as-Syatibi (790 H) pernah mengungkapkan dalam kitab al-
muwafaqat bahwa prinsip-prinsip ritual keagamaan bertujuan untuk
menjaga agama (Hifzu ad-Din) dari aspek yang nyata seperti keimanan,
pengucapan syahadat, salat, zakat, puasa, haji dan hal-hal lainnya.
Karnanya dalam hal ini menjaga agama merupakan suatu kewajiban
sedang merusaknya merupakan suatu keharaman.
Ali Mustafa Yakub menyebutkan bahwa ada delapan macam
toleransi dalam masalah agama yang diharamkan, seperti; tolong-
menolong dalam dosa, perbuatan yang merusak akidah, mencampurkan
yang hak dengan yang batil, menghadiri perayaan Agama non-Muslim
192 Lidwa, Hadist No – 1218.
107
(Syahadah az-Zur), membantu kezaliman, berbuat bahaya, hal-hal yang
dilarang dalam kaidah fikih, mengakui kebenaran Agama non-Islam.193
Titik temuan dari perbedaan pendapat di atas ada pada persoalan
akidah. M. Quraish Shihab pun tidak serta-merta membolehkan
pengucapan selamat Natal, namun beliau memberi syarat kepada si
pengucap selamat Natal dengan tolak ukur niatnya. Akan tetapi justru
pilihan tersebut dibantah oleh Ali Mustafa Yakub karena pengambilan dalil
yang tidak tepat. Hamka memperbolehkan pengucapan selamat Natal
kalian harus menggunakan kata “Natal kalian” agar tetap ada perbedaan
dalam akidah. Terlepas dari kontroversi di atas, hemat penulis selamat
Natal tidak perlu untuk diucapkan, dengan tidak mengucapkan selamat
Natal pun tidak mengurangi sikap toleransi seorang muslim, sebab sikap
toleransi itu adalah ketika orang-orang non-muslim beribadah, haram
hukumnya mengganggu ibadah, mencaci-maki tuhan mereka apalagi
sampai memaksa mereka untuk memeluk Islam.
4. Tidak ada paksaan dalam beragama
Hamka berpendapat bahwa semua manusia diberikan kebebasan
oleh Allah Swt untuk memeluk agama apapun tanpa ada paksaan. Hal ini
sebagaimana yang di uraikan Hamka dalam tafsirnya surah Al-Baqarah
ayat 256 dan surah yunus ayat 99-100. Hamka mengatakan bahwa
sesungguhnya ayat ini adalah suatu tantangan kepada manusia, karena
Islam adalah benar. Orang tidak akan dipaksa untuk memeluknya, tetapi
orang hanya di ajak berfikir sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam.
Tetapi kalau ada paksaan, pastilah akan timbul pemaksaan pemikiran, dan
mestilah timbul taqlid. Ayat ini adalah dasar teguh dari agama Islam. Bahwa
dalam hal agama tidak boleh ada pemaksaan. Pemaksaan hanya akan
menimbulkan banyak korban namun tidak menunjukkan sikap yang
bijaksana. Ulama lain juga menjelaskan penafsiran yang sama seperti M.
Quraish Shihab menyebutkan bahwa, mengapa mesti ada paksaan,
193 Daniel Prima, Penafsiran Ucapan Selamat Natal Dan Prinsip-Prinsip Toleransi Beragama Dalam Tafsir Al-Misbah, dalam jurnal Vol. 4, No. 1, 2015: hal. 8.
108
padahal sudah jelas jalan yang lurus.194 Dan menurut Wahbah Az-Zuhaili,
ia menyebutkan bahwa paksaan dalam memeluk suatu agama itu dilarang.
Tidak ada paksaan dan ancama untuk masuk ke dalam agama Islam. dan
tidak boleh juga ada pemaksaan dan penindasan setelah dalil-dalil dan
ayat-ayat yang jelas menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad Saw. Atas
apa yang di sampaikan dari Allah. Siapa yang menolaknya silahkan kufur.
Adapun peperangan yang dilakukan kaum muslimin merupakan pembelaan
hingga kaum musyrikin menghentikan fitnah mereka terhadap kaum
muslimin dan membiarkan manusia merdeka.195
Oleh karena itu dalam tafsiran Hamka tentang surah Al-Kahfi ayat 29
dan surah Lukman ayat 15, bahwa keimanan itu adalah pilihan, atas
persetujuan hati Nurani dan akal setiap individu, bukan merupakan paksaan
dari luar. Pilihan keimanan adalah pilihan atas kebenaran dan keyakinan
manusia terhadap Allah Swt.
Jadi menurut penulis, tidak ada yang Namanya pemaksaan dalam
beragama dan memilih keyakinan. Namun yang ada hanyalah saling
menasehati dalam kebenaran. Sebab kebenaran itu sudah jelas
sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
D. Prinsip-Prinsip Toleransi dan Kebebasan Beragama
Keragaman agama mengharuskan sikap saling hormat-
menghormati antar satu dengan yang lainnya atau sikap toleran. Karena hal
tersebutlah, penulis merangkum beberapa prinsip tolerensi dan kebebasan
beragama yang harus ada dalam lingkungan kita. Berikut beberapa ajaran
al-Qur’an tentang prinsip toleransi beragama:
1. Sikap kasih sayang, sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Fatihah
ayat 1, yaitu pada kata Ar-Rahman yang dimaknai dengan kasih sayang
Allah kepada siapa saja tanpa memandang latar belakang agamanya.
Yang dilarang oleh Allah hanyalah berkasih-kasihan kepada mereka
194 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, vol 1, Cetakan: Pertama, (Jakarta: Lentera Hati 2013). hal 552 195 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith (Al-Qashash-An-Nas) Jilid I, diterjemahkan oleh Muhtadi, dkk, Cetakan pertama, (Jakarta: Gema Insani 2012). hal 344
109
yang telah memerangi kamu karena agama yang kamu peluk, dan
kepada mereka yang telah mengusir kamu dari kampung halamanmu,
serta kepada mereka yang telah memberikan bantuan untuk mengusir
kamu, barang siapa berkasih-kasihan kepada mereka itu semua, ia
tergolonglah orang-orang yang aniaya. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam surah Al-Mumtahanah ayat 9.
2. Tidak memaksa pendapat dalam beragama. Maksudnya adalah setiap
manusia memiliki kebebasan untuk menganut agama apapun yang ia
yakini, ini semua sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam al-
Qur’an surah Al-Baqarah ayat 256, dalam ayat ini dapat juga kita fahami
bahwa agama Islam tidak mengenal unsur-unsur pemaksaan, hal ini
terlaku terhadap cara, tingkah laku serta sikap hidup. Meskipun al-
Qur’an memberi penegasan bahwa Islam adalah satu-satunya agama
yang diterima oleh Allah sebagaimana yang diterangkan dala surah Ali
Imran ayat 58.
ر الإسلام دي نا ف لن ي قبل من وهو ف الأخرة من الاسرين ه ومن ي بتغ غي Artinya : dan barang siapa yang mencari dari Islam menjadi
agama, sekali-kali tidaklah akan diterima darinya. Dan dia di akhirat
akan termasuk orang-orang yang rugi.196 (QS. Ali Imran ayat 85)
3. Hidup damai dan berdampingan. Sebagaimana dijelaskan dalam
surah Al-Baqarah ayat 62. Dalam ayat ini Hamka memberikan
keterangan bahwa ayat ini menegaskan tentang anjuran untuk hidup
damai dan berdampingan. Karena tujuan Islam adalah perdamaian
bukan peperangan. Walaupun didalam al-Qur’an terdapat pula ayat-
ayat perang, namun hanya bersifat exception (pengecualian) dan
menjadi alternative terakhir. Sungguhpun demikian, tidak boleh
melanggar hak-hak asasi manusia, seperti merusak tempat suci
agama, menghina agama, dan lainnya.
196 Al-Qur’an dan Terjemah Juz 1-30 (Kementrian Agama RI, Bandung 2018). hal 61
110
4. Berbuat adil kepada siapa saja tanpa memandang latar belakang
agama. Ini semua sejalan dengan yang diterangkan dalam al-Qur’an
surah Al-Mumtahanah ayat 8. Yang mana pada ayat ini diterangkan
bahwa kita diberikan kebebasan dalam beragama dan dianjurkan
berbuat adil kepada agama lain sebagai manifestasi dari mengikuti
eksistensi agama lain. Karena tidak ada larangan untuk berbuat adil
kepada orang yang tidak memusuhi kita.
Demikianlah Hamka memberikan pelajaran kepada kita melalui ayat-
ayat al-Qur’an untuk bersikap toleran dan memberikan kebebasan dalam
beragam. Namun satu hal yang harus diperhatikan ialah Hamka
menjelaskan bahwa Islam tidak membenarkan bila toleransi diartikan
dengan mengakui kebenaran semua agama, karena Allah telah
menentukan, bahwa agama yang sah disisi Allah adalah Islam, meskipun
harus diakui juga adanya kemungkinan segi kebenaran pada agama lain.
E. Batasan Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Tafsir Al-Azhar
Islam memerintahkan umatnya untuk berperilaku yang baik atau
bersikap toleran kepada umat beragama lain. Toleransi tersebut harus
dikembangkan dalam berbagai aspek terkhusus dalam tingkatan hubungan
sosial antara manusia satu dengan yang lainnya. Karena manusia di klaim
sebagai makhluk sosial dan sudah barang tentu mereka harus membangun
hubungan sosial yang baik pula.
Dalam hal sosial, politik, dan ekonomi atau dalam Islam yang dikenal
dengan muamalat, manusia dituntut untuk saling toleran pada setiap
manusia yang berbeda keyakinan. Namun dalam hal aqidah atau keyakinan
Hamka menganjurkan kepada setiap manusia harus berpegang teguh
terhadap apa yang sudah menjadi Batasan sentral terhadap sikap toleransi
antar umat beragama.
Berkenaan dengan hal keimanan, Hamka mengambil posisi yang
jelas dan tidak setengah-setengah dalam mempertahankan aqidah Islam.
Bentuk batasan-batasan tersebut di antaranya:
111
1. Tidak mempertaruhkan keyakinan
Dalam hal ini al-Qur’an memberikan pedoman dalam melaksanakan
sikap toleransi tersebut, dalam surah Al-Kafirun ayat 1-6 mengandung
pelajaran tentang cara bersikap terhadap perbedaan agama yaitu
mengatakan dengan tegas terhadap kaum yang berlainan agama itu,
bahwa aku tidak akan menyembah tuhan yang kamu sembah. Dan kamu
tidak akan pernah menyembah tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak akan
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kemudian diakhiri
dengan mengatakan bagiku agamaku dan bagimu agamamu.
Hamka mengutip dari perkataan Ibnu Katsir yang disalinnya dari Ibnu
Taimiyah tersebut bahwa seruan Allah melalui utusannya pada ayat kedua
dalam surah ini: “Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah”.
Mengandung maksud (Nafyul fi’li) yaitu menafikan perbuatan atau
meniadakan perbuatan maksudnya, hal tersebut adalah (menyembah
berhala seperti orang-orang kafir) tidak akan terjadi bahkan tidak akan
pernah dikerjakan oleh umat Nabi Muhammad Saw. Kemudian pada ayat
setelahnya dijelaskan. “Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku
sembah” (ayat ke 3). Ayat ini mengandung maksud bahwa persembahan
kita ini sekali-kali tidak dapat diperdamaikan atau digabungkan. Karena
yang aku sembah hanyalah Allah Swt dan kalian menyembah kepada
benda yaitu kayu, atau batu yang kamu perbuat sendiri dan kamu besarkan
sendiri.197
Pada sambungan ayat dijelaskan. “Dan aku bukanlah penyembah
sebagaimana yang aku sembah” (ayat ke 4). “Dan kamu bukanlah
penyembah sebagaimana aku menyembah” (ayat ke 5). Maka apa yang
kita sembah itu berlainan: kamu menyembah berhala dan aku menyembah
Allah yang maha esa, maka cara kita menyembah pun lain pula. Kalau aku
menyembah Allah maka aku melakukan shalat di dalam syarat dan rukun
yang telah ditentukan. Sedangkan kamu menyembah berhala itu sangat
197 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8132
112
berbeda dengan cara aku meyembah Allah. Oleh sebab itu tidaklah dapat
pegangan kita masing-masing ini didamaikan, maka Allah menurunkan ayat
terakhir dari surah ini “Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah
agamaku”.198
Menurut penulis dari penjelasan Hamka dalam kitab tafsirnya ini, kita
diperbolehkan bersikap toleran terhadap agama lain. Namun harus tetap
pada koridor atau batasannya. Dan dalam masalah keyakinan, dari ayat ini
kita dilarang untuk bersikap toleran bahkan diharuskan berusaha untuk
memperkokoh keyakinan dengan cara lepas diri dari keyakinan agama lain.
Sebagaimana tersebut dalam ayat terakhir dalam surah Al-Kafirun yaitu
dengan mengatakan “Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah
agamaku”.
2. Tidak menghina sembahan non muslim
Sebagai seorang muslim kita dilarang untuk saling menghina satu sama
lain, apa lagi itu berkaitan tentang agama. Yang dianjurkan kepada kita
ialah menjalani hidup dengan damai. Sebagaimana yang dijelaskan Hamka
dalam tafsirannya surah Al-Baqarah ayat 62. Namun Hamka merasa
khawatir terhadap orang yang fanatik kepada agama. Sehingga merasa
agama yang di anutnya yang paling benar. Sedangkan orang yang tidak
seagama dengan dia merupakan musuhnya. Hingga menimbulkan sikap
untuk menghina agama lain. Menurut Hamka ayat ini jelas menganjurkan
persatuan agama. Bukan membuat permusuhan dalam agama.
Dalam surah Al-An’am ayat 108 Hamka juga menjelaskan bahwa dalam
ayat tersebut melarang kita untuk memaki sesembahan agama lain. Karena
pasti akan menimbulkan saling caci-mencaci antara agama, yang
menimbulkan perpecahan didalam pemeluk agama. Apabila orang Islam
memegang teguh agamanya, tidak mungkin terjadi pertengkaran yang
mengakibatkan maki-memaki. Di dalam ayat ini udah di isyaratkan
198 Hamka. Tafsir al-Azhar, Jilid X (Pustaka Nasional Pte Ltd: Singapura, 2003), hal. 8133
113
bahwasanya perbuatan yang demikian hanya timbul dengan sebab tidak
ada ilmu pada diri orang tersebut.
3. Tidak memaksa kehendak
Hamka berpendapat bahwa semua manusia diberikan kebebasan oleh
Allah Swt untuk memeluk agama apapun tanpa ada paksaan. Hal ini
sebagaimana yang diuraikan Hamka dalam tafsirnya surah Al-Baqarah ayat
256. Ayat ini merupakan suatu tantangan kepada manusia karena Islam
adalah benar. Orang tidak akan dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya
diajak untuk berfikir. Asal dia berfikir sehat, dia pasti akan sampai kepada
Islam. keyakinan suatu agama tidak boleh dipaksakan, sebab “Telah nyata
kebenaran dan kesesatan”. Orang boleh menggunakan akalnya untuk
menimbang dan memilih kebenaran itu, dan setiap orang pun mempunyai
fikiran waras untuk menjauhi kesesatan.
Hamka menyebutkan dalam surah Yunus ayat 99 bahwa Rasulullah
Saw tentu ingin sekali agar seluruh bumi ini beriman kepada Allah Swt.
Jangan ada juga hendaknya orang yang durhaka kepada Allah Swt.
Hendaknya masjid-mesjid penuh sesak dengan orang yang beribadah
kepada Allah Swt, tidak ada lagi yang tidak mempedulikan sembahyang.
Semua yang hidup di dunia ini percaya kepada Allah, tidak seorangpun
yang membantah. Allah pun maha kuasa berbuat yang demikian itu.
Bukankah Allah telah menciptakan malaikat yang taat dan setia selalu, serta
Allah pun menjadikan semut dan lebah yang tidak pernah bertingkah. Tetapi
jika Allah menciptakan manusia seperti yang demikian itu, maka hilanglah
akal manusia dan yang tertinggal hanya naluri saja. Kewajiban Rasulullah
dalam berdakwah bukan memaksakan manusia untuk beriman, melainkan
hanya menyampaikan, menerangkan bahaya yang mengancam bagi orang
yang tidak mau percaya dan memberikan kabar gembira bagi siapa saja
yang beriman. Hamka menyebutkan bahwa paksaan itu tidak perlu, yang
diperlukan ialah berdakwah. Karena setiap manusia telah Allah berikan akal
dan fikiran untuk memilih mana yang baik dan menjauhi yang buruk.
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Analisis penulis dari penafsiran Hamka dalam kitab tafsir al-Azhar
adalah pertama, kita harus berlaku adil dan baik terhadap non muslim.
Sikap adil terhadap sesama manusia harus tetap terjaga, kita sebagai umat
manusia harus tetap menjalin hubungan dan komunikasi dengan orang
yang berbeda agama. Karena umat Islam dipersilahkan untuk bergaul,
bertetangga, saling tolong menolong, bersikap adil dan jujur kepada
pemeluk agama lain, agar tidak ada terjadi perselisihan antar umat
beragama. Kedua, kita dilarang menghina sesembahan non muslim,
karena kita sebagai makhluk sosial hanya dianjurkan menjalani kehidupan
dengan damai. Ketiga, dalam bertoleransi kita harus membatasi dalam hal
akidah atau keyakinan seperti, tidak mempertaruhkan keyakinan, tidak
menebar kebencian kepada orang lain, tidak memaksa keyakinan.
Keempat, tidak ada paksaan dalam beragama. Hamka memberikan
pelajaran kepada kita melalui ayat-ayat al-Qur’an untuk bersikap toleran
dan memberikan kebebasan dalam beragam. Namun satu hal yang harus
diperhatikan ialah Hamka menjelaskan bahwa Islam tidak membenarkan
bila toleransi diartikan dengan mengakui kebenaran semua agama, karena
Allah telah menentukan, bahwa agama yang sah disisi Allah adalah Islam,
meskipun harus diakui juga adanya kemungkinan segi kebenaran pada
agama lain.
Batasan toleransi dan kebebasan beragama dalam kitab Tafsir al-Azhar
karya Hamka adalah Dari penelitian yang telah penulis lakukan, penulis
menemukan pemahaman bahwa dalam aspek hubungan sosial dengan
masyarakat luas (non muslim) sikap toleransi ini harus dikembangkan.
Namun dalam hal beragama, aqidah atau keyakinan akan suatu agama
tertentu, toleransi tetap harus pada Batasan-batasannya. Pertama, tidak
mempertaruhkan keyakinan, kedua, tidak menebar kebencian kepada
115
orang lain, dan ketiga, tidak memaksa keyakinan
Penulis melihat dari pendapat Hamka bahwa semua manusia diberikan
kebebasan oleh Allah Swt untuk memeluk agama apapun tanpa ada
paksaan. tetapi orang hanya diajak untuk berfikir. Asal dia berfikir sehat, dia
pasti akan sampai kepada Islam. keyakinan suatu agama tidak boleh
dipaksakan, sebab “Telah nyata kebenaran dan kesesatan”. Kewajiban
Rasulullah dalam berdakwah bukan memaksakan manusia untuk beriman,
melainkan hanya menyampaikan, menerangkan bahaya yang mengancam
bagi orang yang tidak mau percaya dan memberikan kabar gembira bagi
siapa saja yang beriman. Hamka menyebutkan bahwa paksaan itu tidak
perlu, yang diperlukan ialah berdakwah. Karena setiap manusia telah Allah
berikan akal dan fikiran untuk memilih mana yang baik dan menjauhi yang
buruk.
B. Implikasi
Implikasi yang disampaikan dalam bagian ini mengacu kepada
kesimpulan di atas, yaitu pelaksanaan prinsip-prinsip kerukunan antar umat
beragama yang dijelaskan Hamka dalam kitab tafsirnya dapat di
klasifikasikan berdasarkan status sosial seseorang muslim di tengah
masyarakat:
1. Sebagai anggota dan warga masyarakat
Pemeluk agama Islam sebagai anggota dan warga masyarakat di mana
pun mereka berada, tidak lepas dari kehidupan bertetangga, berteman dan
bermitra dengan pemeluk agama lain, disamping juga bergaul dengan
warga masyarakat yang seagama. Ketentraman, ketertiban, keamanan dan
kemakmuran hidup adalah merupakan kebutuhan yang mesti diciptakan,
walaupun suatu saat kita harus bertetangga, berteman dan bermitra dengan
pemeluk agama lain. Kita tetap harus menjaga dan tidak melanggar
batasan-batasan syari’ai yaitu berkenaan tentang masalah akidah dan
keimanan.
116
2. Sebagai pemimpin dan ormas keagamaan dan tokoh agama
Seorang muslim yang dipercaya sebagai seorang pemimpin ormas atau
dijadikan sebagai tokoh agama/ masyarakat, memiliki kewajiban dan tugas
lebih besar dibandingkan orang muslim yang bukan pemimpin/ tokoh
agama. Sebagai pemimpin atau tokoh agama mereka harus menjadi yang
terbaik dalam menjalankan ketentuan dan prinsip menjalin kerukunan
antara umat beragama. Karena mereka adalah teladan sekaligus pelindung
dan pembimbing anggota masyarakat.
Oleh karena itu, mereka berkewajiban memberi penjelasan dan
pembinaan yang cukup kepada umat yang dipimpinnya agar kualitas umat
Islam dalam beragama semakin mantab serta militan dan dalam saat yang
sama umat Islam juga akan menyadari akan perlunya kerukunan antar umat
beragama secara benar.
3. Sebagai pejabat pemerintah
Seorang muslim yang berketetapan sebagai pejaba pemerintah atau
negara, wajib melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan bertanggung
jawab. Sudah menjadi keniscayaan, pejabat muslim harus melindungi,
melayani, menyediakan berbagai kebutuhan hidup, sarana prasarana
publik dan seterusnya terhadap seluruh warga negara.
Pada dasarnya ketentuan dan kewajiban yang berlaku bagi individu
umat Islam dalam berinteraksi sosial dengan umat agama lain, juga berlaku
bagi pejabat muslim dalam menjalani tugas-tugas sebagai pejabat. Oleh
karena itu, bagi pejabat muslim dalam menjalankan tugas pemerintah harus
bertujuan untuk menjaga keutuhan negara, menjaga persatuan bangsa,
menghindari kerusakan dan membangun kemaslahatan umum guna
meraih ketentraman dan kemakmuran yang berkadilan.
Jadi umat Islam yang dipercaya menjadi menjabat pemerintah, wajib
berupaya membangun dan menciptakan kehidupan yang rukun, damai dan
Bersatu bagi seluruh rakyat tanpa membedakan agama dan keyakinan.
Teladan seorang pemimpin pemerintah dalam membangun toleransi dan
kerukunan antar umat Bergama tercermin dari sikap Umar bin Khattab ra.
117
Saat beliau menolak tawaran Patriak (pemuka gereja) untuk shalat di
gereja. Sebab beliau khawatir jika umat Islam setelahnya akan menjadikan
gereja tersebut sebagai masjid. Dan Hamka pun juga pernah menolak
penggabungan hari raya Islam dengan Natal pada satu waktu, karna
Hamka berpendapat dalam hal akidah tidak bisa dicampur adukkan antara
keyakinan suatu agama terhadap keyakinan agama lain.
C. Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, berikut ini ada
beberapa rekomendasi, pertama kita harus menekankan terhadap prinsip
toleransi dalam kehidupan beragama. Karena dengan prinsip inilah semua
pemeluk agama akan saling menghormati dan menghargai terhadap
pemeluk agama lain. Kedua, toleransi dalam beragama akan membentuk
sikap saling memberikan kebebasan bagi orang lain untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing dengan rasa aman.
D. Saran
Dari hasil penelitian ini, semoga bisa mendatangkan manfaat bagi
masyarakat pada umumnya dan penulis sendiri khususnya. Dari penelitian
ini pula penulis merasa mempunyai banyak sekali keterbatasan
pengetahuan yang dimiliki penulis, namun penulis berharap penelitian ini
semakin menambah khazanah pengetahuan khususnya dalam bidang
toleransi dan kebebasana beragama dalam kitab Tafsir al-Azhar, agar bisa
menyikapi kehidupan yang majemuk ini dengan sebaik-baiknya.
Dan bagi para pembaca khususnya yang berjuang dalam agama atau
sebagai panutan agama bisa lebih berhati-hati dalam membawa dan
membimbing umatnya agar tidak terjadi benturan dengan agama lain.
E. Kata Penutup
Akhirnya puji dan syukur yang tak terhingga penulis ucapkan kehadirat
Allah Swt. Atas segala nikmat dan karunia serta pertolongannya kepada
penulis, sehingga dapat menyelesaikan karya tulis dalam bentuk tesis yang
di dalamnya berisikan informasi tentang toleransi dan kebebasan beragama
menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar. Ucapan terimaksih juga penulis
118
ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penyusunan dan penulisan tesis ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah
ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca khususnya yang
berjuang dalam agama atau panutan agama bisa lebih berhati-hati dalam
membawa dan membimbing umat agar tidak terjadi benturan dengan
agama lain.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini mempunyai banyak sekali
kekurangan serta keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, namun penulis
berharap penelitian ini semakin menambah khazanah pengetahuan
khususnya dalam bidang toleransi dan kebebasana beragama dalam kitab
Tafsir al-Azhar, agar bisa menyikapi kehidupan yang majemuk ini dengan
sebaik-baiknya.
Demikian hasil penelitian ini yang dapat penulis sajikan. Kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan dalam mencapai
kesempurnaan tesis ini. Kepada Allah Swt penulis mengharap keberkahan
dan keridhaan.
هات ك ر ب و الله ة ح ر و م ك ي ل ع م لا الس و Jambi, 21 November 2019
Penulis,
Wahyu Pebrian
MSQ. 172720
119
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman et.al, Al-qur’an dan Isu-isu Kontemporer, (eLSAQ Press,
Sleman Yogyakarta, 2011)
Ahmad Azhar Basyir, Akidah Islam (Beragama Secara Dewasa), Edisi
Revisi (Yogyakarta: UII Press, 2013)
Ali Abi al-Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-Wahidi, Asbab An-
Nuzul, (Saudi Arabia: Dar al-Maiman, 2005)
Amin Ma’ruf, Melawan Terorisme Dengan Iman (Jakarta: Tim
Penanggulangan Terorisme)
Anwar Rosihon, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Arikunto Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik,(Jakarta: Rineka Cipta, 2013)
Asbandi, Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka dalam kitab Tafsir Al-
Azhar, Jurnal Pemikiran Islam 2017
Awdah Abdal Qadir, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami; Muqaranam bi al-Qanun
al-Wad’i, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994)
Badr al-Din Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al Burhan fi ulum Al-
Qur’an, (Kairo: Dar al-Turats, 1957)
Badiatul Roziqin, Badiatul Muchlisin Asti, Junaidi Abdul Manaf, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia,(e-Nusantara, Yogyakarta, 2009)
Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009)
Bakar Abu, Konsep Toleransi Dan Kebebasan Beragama, vol. 7, No.2 Juli-
Desember 2015.
Barnadib Imam, Filsafat Pendidikan : Sistem dan Metode, (Yogyakarta:
Andi Offset, 1994)
Bungin Burhan, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis
dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003)
120
Bungin Burhan, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, (Jakarta:
Kencana, 2015)
Creswell, Jhon W, Research Design, terjemahan Achmad Fawaid,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014)
Digdoyo Eko, Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, dan Tanggung
Jawab Sosial Media, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan,
Vol. 3, No. 1 Januari 2018
Dinata Muhammad Ridho, Konsep Toleransi Beragama Dalam Tafsir Al-
Qur’an Tematik Karya Tim Departemen Agama Republik Indonesia,
Esensia, Vol XIII No. 1 Januari 2012.
Hadi Syamsul, Abdurrahman Wahid Pemikiran Tentang Kerukunan Antar
Umat Beragama di Indonesia, Tesis, program pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta 2015.
Hamka Rusydi, dkk. Perjalanan Terakhir Buya Hamka, (Pustaka Panjimas,
Jakarta 1981)
____________, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Republika
Penerbit, 2015)
____________, Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Republika Penerbit,
2015)
Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid I (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura
cet V, 2013)
____________, Tafsir al-Azhar, Jilid III (Pustaka Nasional Pte Ltd:
Singapura, 2003)
____________, Tafsir al-Azhar, Jilid V (Pustaka Nasional Pte Ltd:
Singapura, 2003)
____________, Tafsir Al-Azhar Jilid VI (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd
Singapura cet V, 2013)
____________, Tafsir al-Azhar, Jilid VII (Pustaka Nasional Pte Ltd:
Singapura, 2003),
____________, Tafsir Al-Azhar Jilid IX (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd
121
Singapura cet V, 2013)
____________, Tafsir Al-Azhar Jilid X (Jakarta: Pustaka Nasional Pte Ltd
Singapura cet V, 2013)
____________, Tafsir al-Azhar, juz III, (Jakarta: Pt Pustaka Panji mas,
1982)
____________, Dari Hati Ke Hati, (Jakarta, Gema Insani 2015)
____________, Lembaga Hidup, ( Jakarta: Republika Penerbit, 2015)
____________, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika Penerbit, 2015)
____________, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
____________, Biografi Hamka, dalam Kumpulan Buku Islami Karya
Hamka, di akses pada tanggal 10 semptember 2019
Harun Abd al-Salam, Tahdzib sirah Ibn Hisyam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Hasani Ahmad Said, MA, Diskursus Munasabah al-Qur‟an dalam Tafsir al-
Mishbah, (AMZAH, Jakarta 2015)
Hasyim Umar, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
Sebagai dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama,
(Bina Ilmu : Surabaya, 1979).
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
(Gema Insani Press, Jakarta)
Husaini Usman & Purnomo S. Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Cet. Ke-
4 (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan sosial (Kuantitatif dan
Kualitatif) (GPPress: Jakarta, 2008)
Kholis Nur, Abdurrahman Wahid tentang Toleransi Antar Umat Beragama
dan Implementasi dalam Pendidikan Agama Islam, Tesis Universitas
Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014.
Majid Nurcholish, Islam Dokrin dan Perdaban, Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernaan, (Yayasan
Wakaf Paramadina, Jakarta 1992)
Mansur Sufa’at, Toleransi dalam Islam, (Yogyakarta: Harapan Kita, 2012)
Masrur M. Metode Penulisan Tafsir al-Qur‟an di Nusantara, (CV. Karya
122
Abadi Jaya, Semarang, 2015)
Martono Nanang, Metode Penelitian Sosial: Konsep-Konsep Kunci,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015)
Misrawi Zuhari, Al-Qur‟an Kitab Toleransi,(Penerbit Pustaka Oasis,
anggota IKAPI, Jakarta 2017)
Moleong J.Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014)
Mukhlis, Inklusifisme Tafsir al-Azhar, (Mataram: IAIN Mataram Press, 2014)
Munawar Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, (Penerbit: Ciputat
Press, Jakarta)
Nasution Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan,
2000)
Natsir M., Islam dan Kristen di Indonesia (Jakarta: Media Dakwah, 1988)
Nisvilyah Lely, Toleransi Antar Umat Beragama dalam Memperkokoh
Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam dan
Kristen Dusun Segaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto),
Jurnal, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 2
Tahun 2013.
Nizar Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008)
Noor Juliansyah, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2013)
Pohan Rahmad Asri, Toleransi Inklusif, Menapak Jejek Sejarah Kebebasan
dalam Piagam Madinah, (Yogyakarta: KAUKABA, 2013)
Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1- Juz 30 (Departemen Agama RI, 2018)
Al-Qatthan Manna’, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1995)
Rodin Dede, Riddah dan Kebebasab Beragama dalam Al-Qur’an, (Jurnal,
Vol.XIV, No. 2, Juli 2014)
Rofiqah, “Penanaman Sikap Toleransi Beragama dalam Pendidikan Agama
Islam (Studi Atas Agama Islam, Kristen, dan Katolik di SMK YPKK 2
123
Sleman Yogyakarta), Tesis, Kementrian Agama Pascasarjana
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015.
Al-Suyuthi Jalaluddin, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah
Risalah, 2008)
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi,
t.t.), edisi Abdullah Darraz, Juz II
Saebani Beni Ahmad, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Saleh Ahmad Syukri, Korelasi Ayat dan Surat, (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2014)
Sarjuni, & Didiek Ahmad Supadie, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 2011)
Satori Djam’an dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Alfabeta, 2013)
Shihab Quraish, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013)
_____________, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2013)
_____________, Tafsir Al Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur‟an, (Lentera Hati, 2002)
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2015)
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2013)
Suma M. Amin, Ulumul Qur’an. (Jakarta: Rajawalipress, 2014)
Suryana Toto, Konsep Dan Aktualisasi Kerukunan Antar umat beragama,
Jurnal Pendidikan Agama Islam–Ta’lim Vol. 9 No. 2 – 2011
Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spritual dari Hamka Ke Aa Gym, (Pustaka
Nun, Semarang)
Susanto A., Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009)
Yasir Muhammad, Makna Toleransi dalam Al-Qur’an, (JURNAL
USHULUDDIN Vol. XXII No. 2, Juli 2014)
Yuslem Nawir, Ulumul Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010)
Yunuardi Syukur & Arlen Ara Guci, Buya Hamka Memoar Perjalanan Hidup
Sang Ulama, (Tinta Medina, Solo 2017).
124
Al-Zarqoni Abdul Azhim, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-
Kitab al-‘Arabi,1995), Jilid I
Zarkasyi Hamid Fahmy, Islam, HAM dan Kebebasan Beragama (Jakarta:
INSIST, 2011)
125
CURRICULUM VITAE
Informasi Diri
Wahyu Pebrian dilahirkan di rumah sakit Raden
Mataher Kota Jambi, pada 15 Februari 1994.
Beralamat di Rt 12 Desa Simp. Sei. Duren Jambi Kec.
Jambi Luar Kota. Putra dari Yusni Amran dan
Aswarnida.
Contact Person 0853 7836 1298
Riwayat Pendidikan
Memperoleh Sarjana Tafsir Hadis dari Institut Agama Islam Negeri
Jambi pada 2016, Ijazah Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Al Baqiatush
Shaliha Kuala Tungkal Jambi diperoleh pada tahun 2011, Madrasah
Tsanawiyah Pondok Pesantren Al Baqiatush Shaliha Kuala Tungkal Jambi
pada 2008, memperoleh Ijazah Sokalah Dasar (SD) pada 2005.
Karya Ilmiah
Karya Ilmiah yang pernah ditulis yaitu berjudul “Rawi Yang Dianggap
Dha‘if Dalam Kitab Al-Bukhari (Kritik Shahih Al-Bukhari Dalam Timbangan
Kitab-Kitab Rijal)”
Pengalaman Pekerjaan
Pengalaman kerja yaitu, sebagai Guru Qur’an RTQ Adh Dhuha
Jambi 2015, Guru Smp Ahmad Dahlan Kota Baru Jambi 2017 – sekarang.